Analisis Pengembangan Kurikulum
Analisis Pengembangan Kurikulum
ANALISIS
PENGEMBANGAN
KURIKULUM DAN
PEMBELAJARAN
ANALISIS PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN
Penulis
Muhammad Kristiawan
Editor
Wachidi
Riyanto
Badeni
Syukri Hamzah
Rudi Chandra
Penerbit
Unit Penerbitan dan Publikasi FKIP Univ. Bengkulu
Gedung Laboratorium Pembelajaran FKIP
Jalan W.R. Supratman, Kandang Limun, Kota Bengkulu 38371A
Telp. (0736) 21186, 0811737956 Fax. (0736) 21186
Laman: fkip.unib.ac.id/unit-penerbitan/ email: uppfkip@unib.ac.id
ISBN: 978-623-7074-29-8
Penulis
Kurikulum 3
pelajaran sekolah. Brady dan Kenedy (2007) menyatakan bahwa
kurikulum mencakup pengalaman berkelanjutkan peserta didik
yang diperolehnya selama di sekolah.
Kurikulum sebagai bagian dari materi ajar (Matematika,
Ilmu pengetahuan, Bahasa Inggris, Sejarah dan lain-lain).
Penekanan pada sudut pandang ini adalah pada fakta, konsep dan
penyeragaman beberapa subjek tertentu. Sementara itu George
Beauchamp (Ornstein & Hunkins, 1988) menegaskan bahwa
hanya definisi yang mencakup rencana, sistem dan bidang studi
yang dapat mewakili penggunaan kata kurikulum, dan faktanya
para praktisi menggunakan kurikulum yang seperti ini dalam
keseharian, sementara para teoritis jarang menggunakannya.
Secara garis besar makna kurikulum merupakan seperangkat
pengalaman peserta didik yang berisi tujuan pembelajaran, materi
ajar, strategi pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Kurikulum
juga sebagai refleksi apa yang orang rasakan, pikirkan, dipercayai
dan apa yang dilaksanakan manusia, kurikulum juga apa yang
dipilihkan oleh generasi tua untuk generasi muda yang isinya bisa
sejarah, politik, suku, kebudayaan, gender, fenomena, estika, etika,
ketuhanan dan internasional. Kurikulum menjadikan generasi
berusaha untuk mencari siapa itu dirinya.
Kurikulum 5
seleksi dan organisasi informasi yang akan dikuasai peserta didik.
Tentu saja dalam definisi kurikulum, mesti dimasukkan unsur-
unsur lain dalam lingkungan pendidikan, misalnya kondisi yang
membantu peserta didik untuk berinteraksi dengan isi pelajaran.
Kurikulum 7
pembelajaran yang diinginkan (Johnson, 1968) sementara yang
lain disebut pengajaran.
Kurikulum 9
maka rencana tertulis disebut kurikulum dokumen atau kurikulum
tidak bergerak, dan kurikulum yang dijalankan di kelas sebagai
kurikulum hidup atau operative curriculum.
2. Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum harus bersifat lentur atau fleksibel. Artinya,
kurikulum itu harus bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang
ada. Kurikulum yang kaku atau tidak fleksibel akan sulit diterapkan.
Prinsip fleksibilitas memiliki dua sisi yaitu 1) fleksibel bagi
pendidik, yang artinya kurikulum harus memberikan ruang gerak
bagi pendidik untuk mengembangkan program pengajarannya
sesuai dengan kondisi yang ada; 2) fleksibel bagi peserta didik,
artinya kurikulum harus menyediakan berbagai kemungkinan
program pilihan sesuai dengan bakat dan minat peserta didik.
3. Prinsip Kontinyuitas
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa perlu dijaga
saling keterkaitan dan kesinambungan antara materi pelajaran
pada berbagai jenjang dan jenis program pendidikan. Prinsip ini
sangat penting bukan hanya untuk menjaga agar tidak terjadi
pengulangan-pengulangan materi pelajaran yang memungkinkan
program pengajaran tidak efektif dan efisien, akan tetapi juga
untuk keberhasilan peserta didik dalam menguasai materi
pelajaran pada jenjang pendidikan tertentu.
Kurikulum 11
4. Prinsip Efektivitas
Prinsip efektivitas berkenaan dengan rencana dalam suatu
kurikulum dapat dilaksanakan dan dapat dicapai dalam kegiatan
belajar mengajar. Terdapat dua sisi efektivitas dalam suatu
pengembangan kurikulum yaitu 1) efektivitas berhubungan
dengan kegiatan pendidik dalam melaksanakan tugas
mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas. Kedua, efektifitas
kegiatan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan belajar.
Efektivitas kegiatan pendidik berhubungan dengan keberhasilan
mengimplementasikan program sesuai dengan perencanaan
yang telah disusun. Sedangkan efektivitas kegiatan peserta didik
berhubungan dengan sejauh mana peserta didik dapat mencapai
tujuan yang telah ditentukan sesuai dengan jangka waktu tertentu.
5. Prinsip Efisiensi
Prinsip efisiensi berhubungan dengan perbandingan antara
tenaga, waktu, suara, dan biaya yang dikeluarkan dengan hasil
yang diperoleh. Betapapun bagus dan idealnya suatu kurikulum,
manakala menuntut peralatan, sarana dan prasarana yang sangat
khusus serta mahal pula harganya, maka kurikulum itu tidak
praktis dan sukar untuk dilaksanakan.
3. Pendidik
Pendidik dalam kurikulum berada pada sayap yang
berbeda, mereka adalah profesional. Pelatihan-pelatihan mereka
membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang
kemungkinan besar mengembangkan mereka menjadi akademisi
daripada vokasional, mengembangkan mereka menjadi teoritisi
bukan praktisi dan menjadi orang yang berbeda bukan relevan.
Di satu sisi, pendidik hanya menerapkan pedoman kurikulum
yang mengatur sekolah. Namun yang lebih penting mereka
menginterpretasi dan menambah dimensi pedagogis yang
menciptakan pengalaman kurikulum harian peserta didik (RPP).
Pendidik juga berperan sebagai mediator dari kurikulum.
Kurikulum 13
4. Kelompok Individu
Kelompok individu juga memiliki kepentingan khusus
pada kurikulum sekolah. Di Australia misalnya, sekarang diakui
kurikulum khusus untuk kebutuhan anak perempuan, kebutuhan
orang Aborigin dan Selat Tores, kebutuhan penyandang cacat,
kebutuhan orang dari latar belakang berbahasa non-Inggris, dan
kebutuhan bagi peserta didik yang hidup dalam kemiskinan dan
terisolasi secara geografis, atau 3T kalau di Indonesia. Masing-
masing kelompok mempunyai kepentingan khusus yang tidak
dapat dipenuhi dengan asumsi bahwa setiap orang adalah sama.
Kurikulum harus memenuhi perbedaan dan menunjukkan
bagaimana perbedaan tersebut dapat dihargai.
5. Pemerintah
Pemerintah memiliki kepentingan yang besar meskipun
tidak secara ekonomi eksklusif. Pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan merupakan fokus perhatian pemerintah. Kurikulum
sekolah akan menentukan pengetahuan dan keterampilan warga
Negara di masa depan yang memilki kapasitas untuk dapat
berkontribusi pada perekonomian Negara secara produktif. Pada
umumnya Negara demokratis ingin melihat suatu komunitas yang
kohesif, melek politik, budaya canggih atau melek digital dan
teknologi, toleran dan adil. Kurikulum sekolah hendaknya dapat
berkontribusi untuk mewujudkannya.
6. Komunitas Bisnis
Komunitas bisnis banyak ikut andil dalam kepentingan
ekonomi pemerintah. Pebisnis harus produktif dan sejahtera,
mereka membutuhkan pekerja yang handal, berhitung dan
Kurikulum 15
memberikan yang terbaik untuk memberikan nasihat dan bantuan
dalam konteks yang lebih luas.
Stakeholders kurikulum mencakup secara keseluruhan, di
mana kurikulum tidak berdiri terpisah dari masyarakat, di dalam
merumuskan kurikulum sekolah harus mempertimbangkan
semua unsur stakeholders yaitu peserta didik, pendidik, orang
tua, kelompok individu, pemerintah, komunitas bisnis, universitas
dan agen pendidikan dan latihan, dan kelompok masyarakat
lain. Kurikulum harus dapat memenuhi kebutuhan individu dan
kelompok. Khusus yang menjadi kekhawatiran bagi kita akan
kemampuan pendidik di dalam membantu peserta didik berkaitan
dengan isu-isu sosial seperti kepedulian tentang kesehatan fisik,
mental, kehidupan peserta didik di luar sekolah atau di lingkungan
masyarakat yang mempengaruhi sikap perilaku peserta didik.
Dalam perumusan kurikulum sekolah diharapkan juga melibatkan
sosiolog dan psikolog.
Landasan Kurikulum 19
“Apa itu realita?” Karena kita percaya dengan apa yang budaya
percayai, maka apa yang realita adalah apa yang dikatakan budaya
realita. Tetapi permasalahannya tidak semudah itu, ia terkait
dengan ruang, manusia, ide, symbol, dan pengalaman. Apa yang
dianggap realita akan mempengaruhi pemilihan mata pelajaran
atau kurikulum. Pendidik yang menempatkan nilai ontologis
lebih tinggi dari benda dibandingkan pada simbol cenderung
mendukung kurikulum yang menekankan pada mata pelajaran
seperti fisika, biologi, kimia, geologi, geografi fisika, bahasa Inggris
praktis, pembukuan, pertukangan, dan menjahit. Tidak ada
jawaban yang sederhana untuk pertanyaan tentang realita atau
apa yang dimaksud dengan ‘ada’.
Bagi perumus kurikulum, pertanyaan tentang hakikat realitas
tidak dapat dihindari walaupun tidak dapat dipecahkan. Jelas
bahwa apapun yang kita ajarkan di sekolah, kita ingin memiliki
basis yang nyata daripada yang palsu atau tiruan. Singkatnya,
hakikat kurikulum akan tergantung dalam banyak hal pada apa
yang kita percayai nyata dan apa yang khayalan atau pura-pura.
Filsafat dapat dikelompokkan atas tiga kategori besar
berdasarkan jenis ontologinya. Ontologi pertama menempatkan
lokus realitas dalam alam supernatural. Filsafat yang berdasarkan
ontologi supernatural ini masih lazim di antara sejumlah kelompok
sosial kontemporer dan memiliki pengaruh besar pada banyak
pengembangan kurikulum di Amerika. Filsafat yang kedua memiliki
asumsi bahwa realitas menyatu dengan bumi yang ada saat ini.
Filsafat yang ketiga, yang terbaru, telah berkembang menyebutkan
bahwa realitas bisa terletak hanya dalam pengalaman manusia
(Zais, 1976).
Kedua, epistemologi adalah masalah filosofis yang berkaitan
dengan hakikat pengetahuan (the nature of knowledge) dan hakikat
Landasan Kurikulum 21
yang telah dituliskan, (3) dengan menggunakan kelima indera, (4)
dengan menggunakan akal pikiran atau verifikasi antar orang, dan
(5) dengan menggunakan metode logika (Zais, 1976).
Ketiga, aksiologi adalah cabang filsafat yang menprediksi
masalah nilai (the problems of value). Ia menanyakan apa yang
bagus? Apa yang seharusnya disukai manusia? Apa yang seharusnya
diinginkan? Masalah-masalah aksiologis biasanya dibagi atas dua
kategori utama, yaitu etika dan estetika. Etika berkenaan dengan
konsep benar dan salah, baik dan buruk, yang menyangkut kelakuan
manusia. Pertanyaan sentral yang diajukan inquiry etis adalah ‘Apa
yang seharusnya saya lakukan?’ Estetika berkenaan dengan kualitas
kecantikan dan kesenangan dalam pengalaman manusia. Pertanyaan
sentral yang diajukan estetika adalah ‘Apa yang seharusnya saya
sukai? (Zais, 1976). Kedua kategori tentang nilai ini tentu saja
memiliki hubungan langsung dengan kurikulum.
Landasan Kurikulum 23
Selain hubungan ‘de facto’ antara filsafat dan kurikulum di atas,
hubungan yang lebih positif adalah bahwa filsafat dan kurikulum
dalam makna yang paling nyata adalah pendekatan yang berbeda
untuk masalah yang sama. Keduanya menyangkut isu pertanyaan
sentral manusia bisa jadi apa? Perbedaannya adalah bahwa filsafat
menanyakan manusia dalam makrokosmos sedangkan kurikulum
menanyakannya dalam mikrokosmos (Zais, 1976). Jadi, sebelum
memulai merumuskan kurikulum, ahli kurikulum harus lebih
dulu berusaha menentukan dan memahami asumsi dasar dan
komitmen filsafatnya sendiri.
Dasar filsafat kurikulum sangat penting karena menentukan
apa yang akan dicapai sekolah, tujuan sekolah, struktur kurikulum,
apa yang dianggap benar dicapai oleh peserta didik. Segala bentuk
kurikulum dengan kandungan yang ada ditentukan oleh filsafat
kurikulum. Filsafat membantu orang–orang yang berhubungan
dengan kurikulum yang didasarkan bagaimana sekolah dan
kelas disusun. Misalnya, bisa menjawab apa yang akan didirikan
oleh sekolah, apa mata pelajaran yang bernilai diberikan kepada
peserta didik, bagaimana peserta didik belajar dengan materi
pelajaran, aktivitas apa yang disiapkan untuk peserta didik sampai
semua kegiatan-kegiatan yang lainnya.
Pentingnya filsafat itu menentukan keputusan-keputusan dalam
sebuah kurikulum. Apapun keputusan yang diambil berbasis pada
filsafat yang dianutnya. Selanjutnya filsafat itu penting untuk semua
aspek kurikulum. Apakah filsafat itu dinyatakan secara jelas atau
tidak. Filsafat adalah titik awal dalam memutuskan suatu kurikulum
dan menjadi dasar untuk semua bagian dari suatu kurikulum.
Filsafat menjadi kriteria untuk menentukan tujuan, alat, dan hasil
dari kurikulum. Peran filsafat dalam pengembangan kurikulum
adalah 1) memformulasi tujuan pendidikan; 2) menyeleksi dan
Landasan Kurikulum 25
kebenaran dan nilai-nilai yang sifatnya absolut, universal dan tak
terbatas waktu. Pikiran dan ide sifatnya permanen terus menerus
dan tersusun pada susunan yang sempurna. Mengetahui adalah
memikirkan kembali ide terakhir yang pernah muncul dalam
pikiran. Tugas pendidik adalah membangkitkan pengetahuan
yang dimiliki kepada kesadaran, karena itu belajar melibatkan,
mengingat dan bekerja dengan ide. Kemudian pendidikan
sangat konsen dengan konsep-konsep materi. Pendidikan yang
idealis lebih menyukai susunan dan pola dari ilmu pengetahuan
dalam kurikulum yang berhubungan dengan ide-ide dan konsep
satu sama lain.
Menurut idealisme Matematika sangat penting karena dia
berhubungan dengan berpikir abstrak. Sejarah dan Bahasa
juga penting karena berhubungan dengan moral dan kultural.
Urutan-urutan yang berpengaruh pada idealisme ini adalah
filsafat, Matematika, Sejarah dan Bahasa, Literatur, Natural dan
Fisikal Sains karena fisikal sains itu nyata dan bisa dipelajari
secara konkrit.
b. Realisme (Aristotles, John Locke, Galileo)
Tokoh-tokoh aliran realisme ini adalah Aristotles, Thomas
Aquinas. John Locke, Harry Broudy, Galileo dan Jhon Wild. Kaum
realisme melihat dunia dari segi objek dan materi (Kristiawan,
2016). Orang sampai ke pengetahuan tentang dunia melalui
sensoris dan alasan-alasannya. Segala sesuatu ditentukan dari
alam dan dia berhubungan dengan hukum alam. Perilaku manusia
merupakan rasional jika dihubungkan dengan hukum alam.
Kaum realisme menekankan kurikulum berisi mata pelajaran
yang diorganisasi secara terpisah. Menurut realisme yang
sangat penting adalah membaca, menulis, dan aritmatika. Bagi
kaum idealisme, pengetahuan berasal dari mempelajari ide-
Landasan Kurikulum 27
Epistemologi pragmatis dibangun atas konsep transaksi.
Transaksi adalah saling tukar di mana individu melakukan
sesuatu terhadap lingkungan dan lingkungan merespon
dengan melakukan sesuatu kembali untuk individu tersebut.
Transaksi melibatkan fenomena di mana individu bertindak
dan kemudian menjalani konsekuensi dari tindakannya. Tentu
saja transaksi terjadi pada kita semua setiap menit kehidupan
kita. Tetapi transaksi yang menjadi perhatian utama pragmatis
adalah transaksi yang di dalamnya individu mengasosiasikan
tindakan dengan konsekuensi yang diharapkan. Dalam transaksi
seperti inilah intelegensi beroperasi. Pragmatis mendefinisikan
intelegensi sebagai derajat pemahaman individu pada level yang
makin meningkat tentang hubungan yang ada antara tindakan
mereka dengan respon lingkungan. Bagi pragmatis, hanya
respon yang masuk akallah yang demokratis.
Ada tiga ciri penting versi pengetahuan tentang kebaikan
menurut pragmatisme. Yang pertama, pengetahuan pragmatis
hanya dianggap benar secara tentatif. Yang kedua, pengetahuan
pragmatis umumnya memiliki rujukan sosial. Yang ketiga,
pengetahuan pragmatis tidak diterima atau ditemukan, tetapi
direkonstruksi.
Aplikasi kurikulum kontemporer, gerakan progresif pasca
Perang Dunia I adalah contoh terbaik aplikasi filsafat
pragmatis. Kurikulum tidak berfokus pada sejumlah mata
pelajaran yang akan dipelajari, tetapi pada serangkaian
kegiatan yang dilalui peserta didik kemudian diarahkan untuk
mengkonstruk realitas dunianya sendiri. Proses adalah yang
terpenting dalam kurikulum pragmatis. Pragmatis percaya
bahwa peserta didik perlu diajarkan (1) proses membuat
pengetahuan; dan (2) hakikat tentatif semua pengetahuan.
Landasan Kurikulum 29
secara bebas untuk memilih apa yang ingin dipelajarinya dan
apa yang dianggapnya benar. Karena sasaran eksistensialisme
sama dengan pragmatisme yaitu meningkatkan kehidupan
umat manusia, maka pilihan yang diperolehnya sangat banyak
tergantung potensi yang dimiliki. Karena itu, pembelajaran lebih
banyak diskusi atau dialog tentang apa yang dianggapnya baik.
Signifikansi eksistensialisme bagi kurikulum bersifat
problematik, pertama karena ia sangat baru dalam dunia
filsafat dan kedua karena ia lebih memperhatikan individu
sedangkan pendidikan pada dasarnya adalah proses sosial.
Eksistensialisme tidak memiliki kualifikasi sebagai filsafat,
tetapi hanya sebagai “sikap terhadap kehidupan”.
Banyak filosof selama berabad-abad mempertanyakan
“Apa hakikat manusia?” Bagi eksistensialis, ini merupakan
pertanyaan yang salah untuk ditanyakan. Bila Descartes
mendasarkan filsafatnya pada premis ‘Saya berpikir, maka
saya ada” tetapi eksistensialis memulai dengan premis “Saya
ada, maka saya berpikir”. Singkatnya, bagi eksistensialis,
eksistensi mendahului esensi. Menurut eksistensialisme,
manusia tidak bisa membebaskan dirinya dari tanggungjawab
untuk memilih dan mendefinisikan dirinya sendiri.
Ontologi eksistensialis menempatkan realitas tertinggi “di
dalam” diri individu setiap manusia. Sebagaimana pragmatisme,
eksistensialisme secara jelas menolak konsep filsafat tradisional
bahwa kosmos adalah realitas akhir yang sudah selesai.
Eksistensialisme memandang manusia dan dunia sebagai
perusahaan yang terbuka. Selanjutnya, filsafat eksistensialisme
juga menolak otoritarianisme yang dianut filsafat yang berpusat
pada bumi dan filsafat duniawi lain. Ia menempatkan kekuatan
membuat keputusan langsung di tangan setiap individu.
Landasan Kurikulum 31
Perenialisme menganggap bahwa hakikat manusia adalah
konstan atau tetap. Manusia mempunyai kemampuan
memahami dan mengerti kebenaran-kebenaran universal dari
alam. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan rasionalitas
manusia dan membuka kebenaran-kebenaran universal
dengan cara melatih intelektual.
Kurikulum perenial adalah subject center (berpusat pada
subjek) berasal dari disiplin-disiplin ilmu apa yang disebut
dengan liberal dengan tekanan pada Bahasa, Sastra,
Matematika, Arts dan Sains. Pendidik dipandang orang yang
ahli di bidangnya, karena itu harus menguasai bidangnya
atau disiplin ilmunya, dan membimbing peserta didik untuk
berdiskusi. Mengajar didasarkan terutama sekali pada metode
Socrates yaitu penjelasan secara lisan, perkuliahan. Minat
peserta didik tidak relevan untuk pengembangan kurikulum
karena peserta didik tidak punya pertimbangan untuk
menentukan pengetahuan dan nilai-nilai apa yang terbaik
bagi mereka. Nilai-nilai terbaik yang akan dipelajarinya. Oleh
karena itu dalam kurikulum ini sangat sedikit yang sifatnya
elektif (semua sudah ditentukan/tidak ada pilihan).
f. Essensialisme (Thomas Brigg, William Bagley)
Pencetus essensialisme adalah William Bagley. Essensialisme
lebih konsen pada isu-isu kontemporer. Menurut esensialis
kurikulum sekolah harus diarahkan kepada sifatnya yang esensial
saja, Sains, Sejarah, Sastra, Matematika dan Seni. Sedangkan
untuk sekolah menengah, Bahasa Inggris, Matematika, Sains,
Sejarah dan Bahasa Asing. Sebagaimana perenial, essensial yang
menolak subjek-subjek yang lain seperti Art, Fisika, Vokasional.
Sebagaimana perennial, esssensial juga menganggap setiap
peserta didik apapun kemampuannya harus mengikuti
Landasan Kurikulum 33
Humanistik kurikulum menekankan pada hasil belajar afektif
yang berakar pada Abraham Moslow dan Ragger bahwa tujuan
utama adalah untuk menciptakan orang-orang yang mampu
beraktualisasi diri. Reformasi sekolah yang radikal, mengubah
suasana sekolah dari suasana yang eksis saat ini di mana
pendidik berperan sebagai penjaga penjara, sekolah sebagai
penjara, tidak ada kebebasan untuk berekspresi diubah ke
situasi sekolah yang memiliki kebebasan yang besar.
h. Rekonstruksionisme (Teodore Branell, George Count)
Rekonstruksionisme tokohnya adalah Teodore Branell.
Rekonstruksionisme menganggap peserta didik dan pendidik
tidak hanya mengambil posisi tertentu tetapi juga mesti
bertindak sebagai agen perubahan untuk memperbaharui
masyarakat. Netralitas dalam kelas tidak perlu untuk proses
demokrasi, tetapi pendidik dan peserta didik harus mengambil
sikap untuk memberikan alasan-alasan berpartisipasi dalam
tanggungjawab sosial. Dalam kurikulum, pendidikan harus
sesuai dengan ekonomi politik yang baru. Bagi rekonstruksionis
analisis, interpretasi dan evaluasi dari masalah tidak cukup,
komitmen dan aksi dari peserta didik dan pendidik diperlukan
karena masyarakat selalu berubah maka kurikulum juga
berubah. Peserta didik dan pendidik bertindak sebagai agen
perubahan. Kurikulum yang didasarkan pada isu-isu sosial dan
pelayanan sosial dianggap ideal. Masalah-masalah yang terjadi di
masyarakat dimasukan ke dalam kurikulum, perubahan dalam
masyarakat ditangani oleh kurikulum termasuk kesempatan
untuk mendapat pendidikan.
Landasan Kurikulum 35
1. Zaman Kolonial : masih banyak tau tentang agama
2. Zaman Nasional : perkembangan itu banyak menerima dari
luar yang mengembangkan konsep baru
3. Universal : pendidik untuk semua
Landasan Kurikulum 37
2. Psikologi Belajar
Pengembangan kurikulum tidak akan terlepas dari teori
belajar. Sebab pada dasarnya kurikulum disusun untuk
membelajarkan peserta didik. Menurut aliaran behavioristik,
belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara
kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecendrungan untuk
bertindak atau hubungan antara stimulus dan Respons (S-R). Oleh
karena itulah teori ini juga dinamakan teori Stimulus-Respons.
Dengan demikian, menurut aliran behavioristik proses belajar
sangat tergantung pada adanya rangsangan atau stimulus yang
muncul dari luar diri atau yang kita kenal dengan faktor lingkungan.
Psikologi membicarakan bagaimana orang belajar dan
memberikan dasar untuk memahami proses belajar dan mengajar.
Pertanyaan lain yang menarik ahli psikologi dan ahli kurikulum
adalah bagaimana seharusnya kurikulum disusun untuk
meningkatkan kualitas belajar dan mengajar? Bagi John Dewey,
psikologi merupakan dasar untuk memahami bagaimana individu
belajar berinteraksi dengan objek dan orang dalam lingkungannya.
Proses tersebut berlangsung selama hidup, dan kualitas interaksi
menentukan banyaknya jenis belajar. Ralph Tyler menganggap
psikologi sebagai penguat untuk membantu menentukan apa saja
tujuan kita dan bagaimana kita belajar. Jerome Bruner (1960)
menghubungkan cara-cara berpikir yang mendasari metode
yang digunakan dalam berbagai bidang ilmu, terdiri dari disiplin-
disiplin ilmu khusus. Tujuan memanfaatkan metode ini ialah untuk
merumuskan konsep, prinsip, dan generalisasi yang membentuk
struktur disiplin ilmu. Singkatnya, psikologi adalah unsur yang
menyatukan proses belajar, membentuk dasar untuk metode,
materi, dan aktivitas belajar, dan berfungsi sebagai daya pendorong
untuk membuat keputusan kurikulum. Menurut Sejarah, teori
1) Koneksionisme
Seorang Amerika (Edward Thondike) melakukan
percobaan tentang ide Stimulus-Respon (pengkondisian
klasik). Di Harvard, Thorndike melakukan percobaanya
dengan binatang dan menghasilkan hubungan
yang komplek dari perilaku binatang tersebut. Ia
mendefinisikan belajar sebagai pembentukan kebiasaan
dan mengajar sebagai pengatur kelas untuk meningkatkan
hubungan yang diharapkan sebagai ikatan. Thorndike
mengembangkan tiga hukum belajar yang utama yaitu
hukum kesiapan, ketika satuan kondisi siap bertindak,
maka bertindak akan menyenangkan dan tidak bertindak
menjadi menyebalkan. Maksudnya, sebelum belajar harus
Landasan Kurikulum 39
siap mengingat antara materi sebelumnya dengan materi
sekarang; hukum Latihan, diperkuat sebanding dengan
banyak kalinya perulangan, sebanding dengan intensitas
dan durasinya. Maksudnya, peserta didik belajar melalui
latihan dan mendapat hasil belajar melalui latihan; hukum
pengaruh dan respon, yang disertai kepuasan untuk
memperkuat hubungan sebaliknya respon yang disertai
ketidaksenangan akan melemahkan koneksi. Maksudnya,
hsil belajar akan mendapatkan reward (penghargaan)
atau punishment (hukuman).
Hukum Kesiapan menyatakan bahwa bila susunan syaraf
sudah siap untuk bertindak, maka ia akan mengarah pada
keadaan menyenangkan, ini disalah artikan oleh sebagian
pendidik sebagai kesiapan mengikuti pendidikan.
Hukum Latihan memberikan pembenaran pada latihan,
pengulangan, tinjauan dan sekarang diterapkan pada
pendekatan pembelajaran keterampilan dasar dan
modifikasi prilaku. Hukum effect dari Thorndike,
membenarkan teori penghargaan dan hukuman yang
telah diterapkan di sekolah berabad-abad sebelumnya.
Model prilaku operant (instrumen) menurut B.F. Skinner
adalah pembelajaran terprogram, dan ide-ide baru yang
didasarkan pada pengalaman yang menyenangkan
serta penguatan dalam bentuk umpan balik. Thorndike
meyakini bahwa prilaku lebih dipengaruhi oleh kondisi
belajar; sikap dan kemampuan pelajar bisa berubah
(meningkat) seiring waktu melalui stimulus (ransangan)
yang tepat; pengalaman belajar dapat dirancang dan
dikontrol; dan perlu memilih stimulus yang tepat atau
pengalaman belajar yang terintegrasi dan konsisten serta
Landasan Kurikulum 41
membahas prinsip belajar terorganisir dan koneksionisme
yang sejalan dengan teori transfer Torndike. Taba malah
membahas ‘transfer belajar” serta pengaruh Thorndike
dan ahli lain terhadap teori belajar ini. Seperti Thorndike,
Taba berpendapat bahwa praktik saja tidak memperkuat
ingatan atau transfer belajar. “Karena tidak ada satu
program yang dapat mengajar segala sesuatu, maka
tugas semua pendidik adalah mentransfer yang maksimal
dengan cara mengembangkan metode atau muatan yang
mengarah pada generalisasi dan yang memiliki nilai
transfer luas, ini mengarah pada pendapat Taba yang
mendukung teknik pemecahan masalah dan penemuan.
Walaupun dipopulerkan oleh Bruner (1960), gagasan
“belajar bagaimana belajar” dan “penemuan” berakar
pada ide Thorndike. Thorndike, dan kemudian Bruner
(1960), menganggap bahwa belajar yang melibatkan
susunan pengalaman yang bermakna dapat ditransferkan
lebih baik daripada penghapalan. Semakin abstrak suatu
generalisasi dan prinsip, semakin mudah ditransfer. Ini
sejalan dengan ide Dewey tentang pemikiran reflektif
(pemikiran yang mencerminkan) dan langkah-langkah
yang dia susun untuk pemecahan masalah.
Bagi Bruner (1960), mempelajari struktur disiplin ilmu
memberikan dasar untuk transfer belajar yang spesifik.
Perbedaan Thorndike dengan Bruner adalah bahwa bagi
Thorndike semua pelajaran sama pentingnya, sedangkan
menurut Bruner (1960) Sains dan Matematika lebih
penting untuk mengajarkan struktur. Intinya bagaimana
pengajar mau mengajak peserta didik untuk belajar.
Landasan Kurikulum 43
makanan, air dan seks. Penguatan sekunder tidak
memenuhi kebutuhan pokok tetapi tetap penting, seperti
mendapat pengakuan dari pendidik dan teman, mendapat
hadiah juara sekolah, dan memperoleh uang, dan bisa
dikonversikan menjadi penguatan primer. Penguatan
umum adalah penguatan penyamarataan.
Prilaku operant akan terhenti bila tidak diikuti oleh
penguatan. Skinner membedakan penguatan atas penguatan
positif dan negatif. Penguatan positif adalah munculnya
stimulus yang menguatkan, dan penguatan negatif adalah
penarikan atau penghilangan stimulus. Walaupun Skinner
percaya pada kedua penguatan, dia menolak adanya
hukuman karena akan merusak pembelajaran.
b) Program Pembelajaran
Belajar terprogram memberikan pendekatan langkah
demi langkah terhadap belajar dengan penguatan
langsung, sering, dan teratur, yang mendorong
stimulus-respon berkelanjutan secara efektif.
b. Behaviorisme dan Kurikulum
Behaviorisme memiliki dampak besar pada pendidikan.
Pendidik yang menganut paham behaviorisme dan terkait
dengan kurikulum menggunakan prinsip-prinsip prilaku
untuk membimbing penciptaan program baru, seperti
membangun pengalaman positif yang dimiliki peserta didik
ketika memperkenalkan topik atau kegiatan baru. Para
behavioris percaya bahwa kurikulum harus disusun sehingga
peserta didik mengalami kesuksesan dalam menguasai
mata pelajaran dan ini sangat preskriptif (menentukan)
dan diagnostik (mempunyai dasar) dalam pendekatan serta
percaya pada metode belajar terstruktur tahap demi tahap.
Untuk peserta didik yang mengalami kesulitan belajar,
kurikulum dan pembelajaran dipecah-pecah menjadi satuan-
satuan kecil dengan tugas yang sesuai dengan perilaku yang
diharapkan. Teori perilaku ini terus hidup dan berhubungan
dengan banyak bagian dari praktik bidang pendidikan dan
berdampak pada kelas dan sekolah. Sebagian besar aplikasi
teori psikologi sekarang ini yang berlangsung di sekolah
menggunakan pendekatan behavior. Konsep dari sasaran
tingkah laku dan perubahan berada pada semua tingkat
pendidikan.
Landasan Kurikulum 45
Behaviorisme terus hidup dan berkembang sehingga sekarang
terbukti dalam teori, prinsip, atau kecendrungan yang terkait
dengan 1) tujuan prilaku dalam menulis, menilai, belajar, dan
evaluasi; 2) program latihan ketrampilan dasar dalam bahasa dan
membaca; 3) pendidikan individual; 4) rancangan pembelajaran
atau model rancangan sistem; 5) program pelatihan pendidik; 6)
teknologi pendidikan, dan 7) program perencanaan dan evaluasi.
Pendekatan prilaku dan program-program behaviorisme adalah
1) mengatasi permasalahan pembelajaran dan meningkatkan
kemajuan pembelajaran; 2) sasaran pengajaran untuk jangka
panjang maupun jangka menengah dirumuskan dengan baik; 3)
menyesuaikan materi pengajaran dan media pengajaran yang
singkron dengan peserta didik; 4) penentuan tugas, aktivitas
langkah demi langkah dan pemberian penguatan positif; dan 5)
mendiagnosa kembali kebutuhan pelajar, sasaran, aktifitas, tugas
dan perintah. Empat prinsip prilaku antara laian 1) waktu untuk
mengerjakan tugas tergantung pada kemampuan pembelajar
untuk menguasai belajar; 2) pengulangan adalah praktik dan
latihan dihubungkan dengan pemancingan respon yang benar; 3)
penguatan adalah belajar diperkuat bila didasarkan pada pelajaran
sebelumnya; dan 4) pembentukan yaitu prilaku tentang belajar
lebih mudah diperoleh melalui aproksimasi suksesif (serangkaian
respon yang makin mendekati prilaku yang diharapkan).
c. Perkembangan Pengetahuan (Kognitif)
Sekarang kebanyakan ahli psikologi mengelompokkan
pertumbuhan dan perkembangan manusia menjadi
pengetahuan, sosial, psikologis, dan fisik dan mereka
percaya bahwa belajar di sekolah merupakan bentuk dari
pengetahuan. Pertumbuhan dan perkembangannya mengacu
pada perubahan dalam struktur dan fungsi karakteristik
Landasan Kurikulum 47
termasuk kapasitasnya untuk membentuk makna dan
pemahaman. Kontinuitas mengacu pada belajar situasi
dan interaksi yang mengikuti, sama dengan ekuilibrasi.
Landasan Kurikulum 49
pengetahuan dan peralatan. Struktur pengetahuan
tersebut memberikan dasar untuk transfer belajar.
Equilibrasi Piaget membentuk dasar gagasan Bruner
tentang “kurikulum spiral”. Belajar sekarang merupakan
dasar untuk belajar selanjutnya, belajar harus berlanjut,
mata pelajaran harus saling berhubungan dan dibangun
atas suatu pondasi. Bruner juga dipengaruhi oleh Dewey
yang menggunakan istilah kontinuitas dalam belajar
untuk menjelaskan bahwa pelajar menjadi instrumen
pemahaman situasi berikutnya.
Bruner menganggap bahwa tindakan belajar terdiri atas
tiga proses yang berkaitan, sama dengan proses kognitif
Piaget a) akuisisi adalah memahami informasi baru, ini
biasanya berhubungan dengan asimilasi; b) transformasi
ialah kapasitas individu untuk memproses informasi
baru. Proses ini tumpang tindih dengan akomodasi; dan c)
evaluasi ialah penentuan apakah informasi telah diproses.
Ini berhubungan dengan equilibrasi.
Yang penting bagi pendidikan ialah bahwa pendidik
(serta ahli psikologi pendidikan dan ahli kurikulum)
harus menentukan penekanan yang tepat yang diberikan
pada tahap pengembangan kognitif dan proses berpikir
ala Piaget. Proses kognitif Piaget tumpang tindih
dengan metode Tyler, strategi Taba, dan proses Bruner.
Kemampuan mencocokkan pengalaman belajar yang
tepat dengan keempat tahapan pengembangan Piaget
dan ketiga proses berpikir sangat penting bagi pendidik
SD karena selama perode SD inilah anak-anak beralih dari
tahap dua ke tahap tiga dan tahap empat.
Landasan Kurikulum 51
mencakup bentuk pengolahan informasi baru. Salah satu
pendapat yang bertentangan ialah bahwa pemecahan masalah
(dulu disebut berpikir reflektif) didasarkan atas berpikir
induktif, prosedur analitik, dan proses konvergen. Berpikir
reflektif didasarkan atas berpikir deduktif, orisinalitas, dan
proses divergen. Dalam pandangan yang kedua ini, pemecahan
masalah kondusif untuk berpikir rasional dan ilmiah dan
merupakan metode untuk sampai pada solusi sementara
kreativitas kondusif untuk berpikir artistik dan sastra dan
merupakan kualitas pikiran. Mungkin hal yang paling penting
untuk dicatat ialah bahwa tugas kognitif yang kompleks ini
harus diajarkan sebagai keterampilan umum dan prinsip-
prinsip yang relevan dengan semua pokok permasalahan.
Idenya adalah untuk mengembangkan strategi metakognitif
yang dapat ditransfer peserta didik ke banyak wilayah
kurikulum.
f. Berpikir Reflektif
Pemecahan masalah memainkan peran utama dalam konsep
pendidikan Dewey. Ia tidak hanya percaya bahwa pemecahan
masalah di sekolah dapat mengembangkan intelegensi
dan pertumbuhan sosial, tetapi juga bahwa keterampilan
yang dikembangkan dalam pemecahan masalah dapat
ditransferkan ke pemecahan masalah sehari-hari dalam
masyarakat. Konsep pemecahan masalah Dewey berakar dari
idenya tentang metode ilmiah dan telah menjadi model klasik
antara lain 1) menyadari adanya kesulitan; 2) mengidentifikasi
masalah; 3) mengelompokkan data dan membentuk hipotesis;
4) menerima atau menolak hipotesis sementara; dan 5)
membentuk kesimpulan dan mengevaluasi.
Landasan Kurikulum 53
yang bisa diajarkan. Pendukung aliran ini ialah Matthew
Lipman dan Robert Sternberg. Lipman berusaha membantu
perkembangan 30 keterampilan kritis, yang umumnya
dirancang untuk tingkat SD. peserta didik didorong untuk
mengembangkan, misalnya konsep, generalisasi, hubungan
sebab-akibat, inferensi alogistik, konsistensi dan kontradiksi,
analogi, hubungan bagian-keseluruhan dan keseluruhan-
bagian, formulasi masalah, membalikkan pernyataan logis,
dan aplikasi prinsip ke situasi kehidupan nyata.
Sternberg menjelaskan tiga proses mental yang meningkatkan
kemampuan berpikir kritis 1) komponen-komponen
meta proses mental tingkat tinggi yang digunakan untuk
merencanakan apa yang akan kita lakukan, memonitor apa
yang sedang kita lakukan, dan mengevaluasi apa yang sedang
kita lakukan; 2) komponen performansi langkah aktual atau
strategi yang kita ambil; dan 3) komponen pemerolehan
pengetahuan, proses yang digunakan untuk menghubungkan
materi lama dengan materi baru dan untuk mengaplikasikan
dan menggunakan materi baru.
Beberapa pendidik membantah pendapat Lipman dan
Sternberg karena menurut mereka keterampilan berpikir
kritis itu sangat kompleks dan tidak bisa dipecah-pecah
menjadi proses-proses kecil. Penganut teori humanistik dan
fenomenologi percaya bahwa mengajar orang berpikir sama
dengan mengajar orang mengayun tongkat golf, melibatkan
pendekatan yang menyeluruh bukan usaha sebagian-sebagian.
Kritikan utama muncul dari pendukung metode itu sendiri.
Sternberg memperingatkan bahwa jenis berpikir kritis yang
kita tekankan di sekolah dan cara kita mengajarkannya
“tidak mempersiapkan peserta didik dengan cukup untuk
Landasan Kurikulum 55
Kesepakatan tentang definisi kreativitas sangat sedikit, antara
lain kreativitas mewakili kualitas pikiran. Ia terdiri atas
komponen kognitif dan humanistik dalam belajar. Menurut
Carl Rogers, esensi kreativitas adalah kebaruannya. Eric
Fromm mendefinisikan sikap kreatif sebagai 1) kemauan untuk
berpikir untuk mengorientasikan dirinya pada sesuatu yang
baru tanpa merasa frustasi; 2) kemampuan berkonsentrasi; 3)
kemampuan mengalami sendiri sebagai pemula tulen dalam
tindakannya; dan 4) kemauan menerima konflik dan tekanan
yang disebabkan oleh iklim opini atau kurangnya toleransi
terhadap ide-ide kreatif.
Bagi pendidik, definisi kreativitas adalah bagaimana
memunculkan ide-ide baru. Kreativitas berkaitan dengan
proses logis, dapat diobservasi dan proses tak sadar dan tidak
dapat dikenali.
i. Berpikir Intuitif
Berpikir intuitif bukanlah hal baru, tetapi proses berpikir
ini tidak didukung karena praktik pedagogik tradisional
mengandalkan fakta dan hapalan, berpikir intuitif diabaikan
karena susah mendefinisikan dan mengukurnya. Bruner
mempopulerkan ide ini dalam bukunya Process of Education.
Pemikir yang baik tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi
juga pemahaman intuitif tentang pokok persoalan. Berpikir
intuitif adalah bagian dari proses penemuan. Ia tidak ada
hubungannya dengan pendekatan tahap demi tahap atau
konvergen tetapi dengan penemuan yang dipasangkan
dengan kemampuan menempatkan pengetahuan yang akan
digunakan dan menemukan cara-cara baru untuk membuat
kecocokan. Menurut interpretasi ini, pemecahan masalah
dan penemuan bebas datang bersama, pengetahuan bersifat
Landasan Kurikulum 57
fleksibel dan terbuka. Sebaliknya, discovery melibatkan
eksplorasi ekstensif hal-hal yang kongkrit pada level dasar.
Bruner yang terkenal telah mengelaborasi ide discovery dengan
mendefinisikannya sebagai belajar yang terjadi ketika peserta
didik tidak disuguhi dengan mata pelajaran dalam bentuk
finalnya, ketika mata pelajaran tidak diorganisir oleh pendidik
tetapi oleh peserta didik sendiri. Discovery adalah pembentukan
sistem pengkodean yang dengannya peserta didik menemukan
hubungan yang ada di antara data yang disajikan.
Karakteristik paling nyata dari discovery sebagai teknik
mengajar adalah bahwa sesudah tahap awal ia membutuhkan
input atau bimbingan pendidik. Discovery kurang terpusat
pada pendidik, dan peserta didik memiliki tanggung jawab
atas belajarnya sendiri. Agar menjadi bagian discovery, belajar
harus bisa ditransfer. Transfer yang meningkat dibuktikan
oleh apa yang disebut Bruner “potensi intelektual”.
k. Kognisi dan Kurikulum
Kebanyakan ahli kurikulum, dan ahli teori belajar dan pendidik,
cenderung berorientasi kognitif karena 1) pendekatan
kognitif memiliki metode yang logis untuk mengorganisir dan
menginterpretasi belajar; 2) pendekatan ini berakar dari tradisi
mata pelajaran; 3) pendidik telah dilatih dalam pendekatan kognitif
dan memahaminya lebih baik. Pendidik yang memiliki gaya
mengajar terstruktur akan lebih menyukai metode pemecahan
masalah, berdasarkan berpikir reflektif dan metode ilmiah.
Lebih dari 1000 SD dan sekolah menengah yeng menerapkan
pembelajaran berpusat pada pendidik dan peserta didik,
tetapi tidak menerapkan pemecahan masalah. Pembelajaran
yang sesuai dengan dunia nyata dan bermakna jarang terjadi
Landasan Kurikulum 59
seberapa banyak kita belajar, ditentukan oleh konsep kita
tentang diri kita sendiri.
1) Teori Gestalt
Ide-ide ahli fenomenologi berakar dari teori-teori lapangan
yang memandang organisme total dalam hubungan
dengan lingkungan, atau apa yang disebut “lapangan”,
dan persepsi peserta didik tentang lingkungan. Teori
lapangan diturunkan dari psikologi Gestalt tahun 1930-an
dan 1940-an. Kata Gestalt (bahasa Jerman) berkonotasi
dengan rupa, bentuk, dan konfigurasi. Dalam konteks ini
stimulus dipahami hubungan dengan yang lain dalam satu
lapangan. Apa yang dipahami seseorang akan menentukan
makna yang dia berikan pada lapangan, begitu juga
solusi seseorang terhadap satu masalah tergantung pada
pengenalannya terhadap hubungan antara stimulus dan
keseluruhannya. Inilah yang dianggap sebagai hubungan
berdasarkan lapangan (field-ground relationship). Jadi,
faktor yang penting dalam belajar adalah menstrukturisasi
dan merestrukturisasi hubungan-hubungan lapangan
untuk membentuk pola-pola yang selalu berubah.
Atas dasar ini, belajar menjadi kompleks dan abstrak.
Ahli kurikulum harus memahami bahwa pembelajar
memahami sesuatu dalam hubungannya dengan yang
lain-lain dalam suatu keseluruhan, dan apa yang mereka
pahami terkait dengan pengalaman mereka sebelumnya
(Ornstein & Hunkins, 1988).
Landasan Kurikulum 61
dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain; c) tidak
dibebani rasa bersalah, malu, dan cemas; d) spontan dan
alamiah; dan e) berpusat pada masalah bukan pada diri.
4) Klarifikasi Nilai
Klarifikasi nilai kadang-kadang disebut juga membangun
nilai, adalah bagian dari proses belajar pendidik. Ahli
klarifikasi nilai sangat menghargai kreativitas, kebebasan,
dan realisasi diri. Mereka lebih menyukai peserta didik
yang mengekplorasi sendiri keinginan-keinginan mereka
dan membuat pilihan-pilihan mereka. Nilai yang dianut
seseorang tergantung pada banyak faktor, termasuk
Landasan Kurikulum 63
menentukan prilaku dan belajar justru aspek psikologis.
Para ahli fenomenologi mencoba memahami apa yang terjadi
di dalam diri kita, kebutuhan, keinginan, harapan, perasaan,
nilai, dan cara kita memahami. Ide tentang kebebasan
pribadi merupakan isu penting dalam fenomenologi/
psikologi humansitik. Ide kebebasan ini merupakan intisari
dari tesis Rogers tentang belajar. Semakin sadar atau peduli
anak-anak dengan kebebasan mereka, semakin banyak
kesempatan mereka untuk menemukan dirinya sendiri
dan berkembang sebagai manusia seutuhnya. Pembuat
kurikulum harus memberikan kesempatan dan pilihan
bagi peserta didik untuk belajar tanpa mengurangi otoritas
pendidik. Idenya adalah merancang kurikulum yang
membantu pembelajar menyadari potensi maksimal mereka
dalam lingkungan belajar humanisik yang memperhatikan
prilaku dan kognitif.
Karena setiap individu memiliki kebutuhan dan minat
khusus terkait dengan pemenuhan dirinya dan realisasi
dirinya, maka tidak ada kurikulum humanistik yang
baku. Peserta didik bisa belajar melalui pengalaman,
pokok permasalahan, dan keterampilan intelektual yang
diperlukan untuk mencapai potensi penuh. Ilmu Sastra
dan Seni, khususnya Filsafat, Psikologi dan Estetika
merupakan muatan yang tepat karena meningkatkan
introspeksi, refleksi, dan kreativitas. Kurikulum yang
menekankan sikap dan perasaan juga bisa diterima.
Matematika dan Sains dianggap tidak perlu. Yang lebih
penting ialah hubungan peserta didik dengan pendidik
harus didasarkan atas kepercayaan dan kejujuran. Peserta
didik boleh memilih apa yang akan dikerjakan dan
Landasan Kurikulum 65
6) Konsep Enkapsulasi
Berbicara masalah psikologis berarti juga berbicara
masalah enkapsulasi (keterkungkungan). Enkapsulasi
merupakan Masyarakat terkungkung yang terbagi
menjadi tiga hal a) fisik (misalnya, panca indra) mata
tidak bisa melihat fatamorgana); b) psikologis (ingatan);
dan c) adat budaya. Enkapsulasi dapat terjadi oleh dua
fakta yaitu keterbatasan fisiologis dan keterbatasan
psikologis. Kedua keterbatasan ini dikemukakan secara
rinci oleh Zais (1976).
a) Keterbatasan Fisiologis
Secara genetika dan fisiologis, manusia dibatasi
kemampuan untuk melihat dunia sekelilingnya.
Umpama, manusia hanya mampu mendengar suara
antara 20 – 20.000 saikel per detik, di luar skala ini
dia tidak mendengar apa-apa. Kemampuan melihat
hanya 1/70 dari keseluruhan panjang gelombang
cahaya. Kemampuan mencium dan mencicipi manusia
sangat jelek. Oleh karena itu manusia memandang
dunia ini seperti seperangkat indera fisiologisnya
yang diyakininya sangat akurat, padahal sebenarnya
hanya benar menurut pandangan manusia itu saja.
b) Keterbatasan Psikologis
Banyak sekali fakta-fakta psikologis yang membuat
manusia terkurung dalam kapsulnya, dalam kajian
kurikulum, kita hanya mengambil beberapa hal yang
sangat penting saja dari Zais (1976) (1) kemampuan
manusia untuk belajar dan berpikir sangat terbatas.
Umpamanya, daya ingat manusia sangat terbatas
Landasan Kurikulum 67
Keadaan ini membuatnya optimis dan bermotivasi untuk
berkembang (growth motivated). Orang ini yang cenderung
melihat lingkungan secara lebih objektif daripada orang
yang kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi.
Antara rentangan kedua kutub yang berlainan ini
(neurosis dan puas diri), terbentang spektrum tingkat-
tingkat kesehatan psikologis. Jumlah penderita gangguan
jiwa tidak begitu banyak di masyarakat. Jumlah orang
yang benar-benar sehat, yaitu yang puas diri, jauh lebih
sedikit. Artinya, sebagian besar manusia, menurut teori
Maslow, dengan variasi yang berbeda-beda adalah
penderita dorongan tidak disadari itu. Persepsi mereka
kurang akurat, dan kalau mereka mengambil keputusan
cenderung berdasarkan kata-kata yang kurang lengkap
atau yang tidak benar. Dengan perkataan lain, sebagian
besar manusia berada dalam enkapsulasi, disebabkan
terutama oleh kebutuhan pokok yang tidak dipenuhi,
walau kita mengakui bahwa kita baik-baik saja.
Untuk lebih memahami dinamika tingkah laku orang
menderita kekurangan motivasi dengan orang yang
tingkah laku bermotivasi, Maslow membandingkan
ciri-ciri tingkah laku manusia itu dalam 13 butir. Dalam
kaitannya dengan enkapsulasi yang di bicarakan diatas,
kita mengutip 4 butir saja dari lima butir yang dikutip Zais
(1976), sebagai berikut.
Landasan Kurikulum 69
sebagai sumber untuk memenuhi keinginannya.
Umpamanya, dia melihat pelayan restoran sebagai
pembawa makanan, dia melihat tukang pos sebagai
pengantar surat, dia melihat administrator sebagai
pemerintah, dan memandang pendidik sebagai
pemberi nilai rapor dan nilai ujian dan bukan sebagai
pendidik. Dan dia menceritakan anaknya yang pintar
sebagai kebanggaannya, dan melihat bapaknya
sebagai penyuplai belanja dan keperluan lainnya.
Yang demikian, orang yang terlibat tidak sadar akan
realita dirinya yang memanipulasi tingkah lakunya.
Berlainan dengan itu, orang yang puas diri tidak
melihat orang lain sebagai sumber pemenuhan
kebutuhan dirinya karena dia tidak membutuhkan
apa-apa dari orang lain. Hubungan dengan orang lain
berupa hubungan objektif yaitu hubungan yang biasa
antara orang dengan orang lainnya, berdasarkan
kedudukan yang sederajat. Seorang dihargainya
karena menurutnya orang pantas dihargai, bukan
karena orang itu memberikan sesuatu yang
dibutuhkannya atau dapat mengisi kekosongan cinta
yang ada. Persepsi orang yang kurang percaya diri
makin sukar jika defisit kebutuhan makin besar.
Landasan Kurikulum 71
Maslow, ingin dilihat sebagai individu yang utuh. Dia
tidak suka dianggap sebagai benda yang berguna
bagi suatu keperluan atau sebagai alat, karena itu, dia
tidak suka diperalat orang (Zais, 1976). Teori Maslow
dianggap memberikan kontribusi yang cukup besar
pada pemahaman kita tentang hakikat manusia.
Lebih-lebih bagi teori ini menjelaskan beberapa hal
tentang penyebab enkapsulasi.
Teori Freud yang menyangkut mekanisme kekuatan
yang tidak disadari manusia dalam mempengaruhi
pikiran dan perbuatan manusia untuk membuatnya
berada dalam enkapsulasi, adalah (Zais, 1976)
(a) rasionalisasi berarti pembenaran (justifikasi)
kepercayaan atau tingkah laku dengan alasan yang
bagus, bukan alasan yang sesungguhnya. Sikap ini
dipakai untuk mempertahankan diri. Orang secara
tidak sadar berusaha merubah tingkah lakunya
dengan alasan yang sebenarnya; (b) proyeksi adalah
usaha untuk melindungi suatu perasaaan atau untuk
menghindarkan kegagalan yang tidak menyenangkan
dengan jalan memindahkan kesalahan atau
kelemahan sendiri pada orang lain. Dia pada dasarnya
menipu diri sendiri, dan karena itu, mengabaikan
kemungkinan untuk perbaikan diri, proses ini tidak
lebih dari sekadar elaborasi pelarian psikologis
akibat yang tidak menyenangkan; (c) Displacement
merupakan mekanisme bela diri untuk menyalurkan
perasaan tidak enak yang diarahkan pada orang lain
sebagai substansi. Umpama, seorang yang kesal, pada
dasarnya, mengalihkan kekesalannya pada istri atau
Landasan Kurikulum 73
dinamika masyarakat. Sekolah didirikan untuk mengembangkan
kebudayaan masyarakat. Bentuk pendidikan yang perlu
diberikan pada peserta didik menentukan masyarakat sekarang
dan masa depan. Penerusan kebudayaan pada anak-anak
sebagai generasi penerus merupakan tujuan utama pendidikan.
Kurikulum harus mereflesikan kebudayaan masyarakat dan ikut
mengembangkan individu peserta didik, sehingga peserta didik
akan memajukan masyarakat. Kurikulum bukan berisi berbagai
nilai suatu masyarakat akan tetapi bermuatan segala sesuatu yang
dibutuhkan masyarakatnya. Kurikulum sebagai pedoman dalam
proses pendidikan harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat.
Yang perlu dikembangkan pada struktur masyarakat itu ada
3 yaitu 1) universal (umum); 2) spesial; 3) alternative. Fungsi
sekolah adalah bagaimana membuka keterkungkungan itu supaya
bisa membuka cakrawala untuk berkembang. Sumber perubahan
itu antara lain 1) masyarakatnya; 2) sekolah; dan 3) IPTEK.
Sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar mereka
dapat berperan aktif di masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum
sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di sekolah
harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Landasan Kurikulum 75
ataukah untuk mendorong perkembangan individu mereka?"
Jadi sangat jelas ada hubungan kurikulum dengan kebudayaan
sehingga dapat dikatakan bahwa "kajian tentang kurikulum pada
dasamya adalah kajian tentang masyarakat dan kebudayaan".
Landasan Kurikulum 77
dengan memperluas kemungkinan bagi perkembangan perilaku
individual. Oleh karena itu rancangan kurikulum yang paling baik
adalah yang paling mengerti kekomplekan pemikiran-pemikiran
dalam suatu kebudayaan.
5. Struktur Budaya
Linton mengklasilikasikan elemen budaya menjadi 3 katagori
utama yaitu yang bersifat universal, khusus, dan alternatif. Struktur
kebudayaan universal adalah semua nilai-nilai kepercayaan dan
adat istiadat yang dianut oleh semua anggota masyarakat dewasa.
Misalnya beberapa macam kebiasaan pada daerah tertentu,
tentang penggunaan bahasa, jenis makanan, kepercayaan dan
system ekonomi yang dipakai. Tentu saja beberapa variasi akan
timbul dan pada hal-hal tertentu mungkin dapat menimbulkan
sanksi bagi hal-hal yang dianggap tabu. Kadang-kadang sanksi
ini bisa menjadi brutal atas penyimpangan yang dilakukan pada
elemen universal.
Struktur kebudayaan khusus mencakup aspek-aspek
kebudayaan yang ditemukan hanya pada subkelompok dari sebuah
masyarakat. Subkelompok masyarakat ini berkaitan dengan
lingkungan kerja anggota masyarakat, nilai-nilai yang dianutnya,
adat istiadat, agama atau kepercayaan tertentu yang berbeda
dengan tingkah laku, nilai, makanan, agama dari orang-orang
dari kelompok etnik yang berbeda. Klasifikasi aspek kebudayaan
khusus ini dapat juga berkaitan dengan tingkat kelas sosial (tinggi,
menengah, rendah) atau jenis kelamin (pria dan wanita) atau
umur (anak, pemuda dewasa dan lainnya). Tentu saja bisa terjadi
cara berpikir, tingkah laku, nilai-nilai tertentu overlap dengan cara
berpikir, tingkah laku atau nilai dari subgroup lainnya.
Landasan Kurikulum 79
6. Kebudayaan dan Nilai
Seperti kita ketahui bahwa kebudayaan menentukan
pandangan, tata cara hidup dan tingkah laku masyarakat, yang
merupakan tata cara hidup yang lebih dapat diterima dan lebih
baik dari tata cara hidup lain. Oleh karena itu, kita dapat melihat
kebudayaan sebagai sesuatu yang penuh muatan nilai. la membuat
masyarakat dapat menentukan perbuatan yang baik dan yang
buruk, yang indah dan yang jelek, yang boleh dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan.
Seperti juga konsep kebudayaan maka nilai adalah konsep
yang juga rumit. Kesulitan terbesar terletak pada area penafsiran
yang akurat terhadap nilai yang dianut oleh individu maupun
masyarakat sebagaimana yang dipertanyakan oleh Van Cleve
Morris, bagaimana menentukan nilai-nilai yang dianut oleh
seseorang dengan kenyataan nilai-nilai yang dilaksanakannya.
Salah satu jawaban yang ditawarkan oleh Charles Morris dengan
membedakan antara conceived values (nilai yang dipikir orang,
yang mereka percayai) dengan operative values (nilai-nilai yang
tersirat dari perilaku mereka). Umumnya pada masyarakat akan
ditemui discrepancy antara apa yang dinilaikan dengan apa yang
dilaksanakan (action speaks louder than words).
Beberapa keputusan perihal kurikulum harus
mempertimbangkan setting sosial, khususnya hubungan antar
sekolah dan masyarakat serta pengaruhnya terhadap keputusan-
keputusan kurikulum tersebut. Kecerdasan sosial perlu bagi
perancang dan pengembang kurikulum dewasa ini. Sesungguhnya
para pembuat kurikulum perlu mempertimbangkan dan
menggunakan pondasi sosial guna merencanakan dan
mengembangkan kurikulum. Dalam banyak teks kurikulum,
pertimbangan terhadap dasar sosial sering mengarah pada
Landasan Kurikulum 81
sosial dan pribadi seseorang dan peningkatan kualitas masyarakat,
atau sebaliknya (atau apa yang Dewey sebut dengan kesalahan
pendidikan).
Kebanyakan kita menganggap pendidikan sama dengan
sekolah. Sesungguhnya, walaupun sebuah masyarakat tidak punya
sekolah-sekolah formal, sebenarnya mereka masih mendidik
generasi mudanya melalui keluarga atau ritual khusus dan
latihan-latihan. Sekolah memainkan peranan yang besar dalam
pendidikan pada industri modern (masyarakat). Sekolah menjadi
lebih penting dan menentukan masyarakatnya mau jadi apa,
menjadi lebih komplek dan menjadi gambaran perkembangan
ilmu pengetahuan.
Sederhananya, pada masyarakat non-teknologi, hampir setiap
orang menjadi ahli, melebihi gugusan dari ilmu pengetahuan
yang diperlukan agar bertahan hidup. Dalam masyarakat
teknologi (Revolusi Industri 4.0) orang memperoleh keahlian
dan kemampuan yang berbeda. Tidak seorangpun bisa mencapai
semua kemampuan dari segenap ilmu pengetahuan atau berharap
menjadi ahli pada semua bidang. Dalam masyarakat tradisional
yang buta huruf, pendidikan berlangsung lewat upacara-
upacara, ritual-ritual, cerita-cerita, pengamatan dan usaha-usaha
meningkatkan kapabilitas anak yang terdahulu atau yang lebih
tua, dengan pemaksaan kehendak lewat aturan tingkah laku atau
tindak tanduk.
Pada masyarakat modern dan teknologi era Revolusi Industri
4.0, proses pendidikan mulai dari rumah tetapi sekolah memegang
peranan yang lebih besar dalam memdidik anak-anak menjadi
lebih dewasa dengan skill complex problem solving. Sekolah adalah
institusi yang vital untuk membantu generasi muda memperoleh
ilmu pengetahuan yang sistematis, mempersiapkan mereka
Landasan Kurikulum 83
kemiskinan, nasib, atau pemerintah terhadap kegagalan. Namun,
orang-orang cendrung untuk tidak menyalahkan diri mereka
sendiri.
Para orang tua biasanya menyuruh anak-anak mereka untuk
meneruskan tradisi-tradisi keluarga, meneruskan perusahaan,
perkebunan, peternakan atau semacamnya. Generasi pertama
dan kedua para orang tua menginginkan anak-anak mereka
untuk meninggalkan rumah demi kehidupan yang lebih baik.
Orang-orang cenderung untuk mengevaluasi diri mereka sendiri
seberapa tinggi yang mereka peroleh dibanding bapak mereka dan
bagaimana mereka membandingkan dengan teman-teman dan
tetangga mereka. Orang-orang merasa mereka tidak meraih yang
sesungguhnya, pendakian belum berakhir.
Komponen Kurikulum 87
ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi
dilingkungan individu, rumah tangga, masyarakat, dan Negara,
menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi
yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi, membentuk sikap
bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan memiliki pengetahuan
dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen, dan akuntansi yang
bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat, dan Negara,
dan membuat keputusan yang bertanggungjawab mengenai nilai-
nilai sosial ekonomi dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam
skala nasional maupun internasional; 3) tujuan Mata Pelajaran
Kewirausahaan pada SMK/MAK yaitu memahami dunia usaha
dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan
masyarakat, berwirausaha dalam bidangnya, menerapkan perilaku
kerja prestatif dalam kehidupannya, dan mengaktualisasikan
sikap dan perilaku wirausaha; dan 4) tujuan Mata Pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial di SMK/MAK yaitu memahami konsep-konsep
yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya,
berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan
keterampilan dalam kehidupan sosial, berkomitmen terhadap nilai-
nilai sosial dan kemanusiaan, dan berkomunikasi, bekerjasama dan
berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal,
nasional, dan global.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional
sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak
dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan
dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang
lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran dari setiap mata pelajaran. Pada tingkat operasional
ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan
Komponen Kurikulum 89
materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan
aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat
progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan
lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri
peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan
aspek afektif. Pengembangan kurikulum dengan menggunakan
filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan
pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah
sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama. Sementara
kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar
filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka
tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan
pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh
dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-
tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori
pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan
konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan
kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan
model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan
memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga
dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara
berimbang. Zais (1976) menyebutkan anak itu didik bukan jadi
ilmuan tetapi menjadi warga yang baik.
Komponen Kurikulum 91
inilah yang disebut dengan ends. Jika ends dan mean merupakan
dua cara yang mudah mengarah dan menghubungi kepada
kejadian-kejadian yang sama dikaitkan dengan sebab akibat, maka
ends dan means memungkinkan keluar dari pembicaraan tentang
logika, yang pada dasarnya memerlukan pertimbangan yang lain.
Pendidikan penuh makna merupakan pendidikan yang
difokuskan pada outcame yang biasanya diekspresikan dalam
beberapa level yang berbeda. Level yang paling umum dapat
direfleksikan dalam pernyataan tujuan, yang paling spesifik
dimuat dalam pernyataan sasaran. Tetapi, bagaimanapun
spesifiknya, pendidik menggunakan pernyataan ini untuk
meningkatkan perkembangan, impelementasi, pemeliharaan
dan evaluasi program pendidikan. Pernyataan seperti aim, goals
dan objective tidaklah diciptakan dalam sebuah kehampaan.
Formulasinya menggambarkan bagaimana pekerjaan pendidik
dalam melaksanakan tugas-tugas yang banyak dipengaruhi oleh
filosifi yang mereka yakini.
Komponen Kurikulum 93
berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari
disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil
hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu
kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas
dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih
kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat
dari filsafat yang melandasi pengembangam kurikulum terdapat
perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran. Namun
dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi
pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu.
Maka dalam praktiknya cenderung digunakan secara eklektik
dan fleksibel. Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki
wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai
dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak
dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam praktiknya untuk
menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan 1) Sahih
dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-
benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu,
juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak
ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman
ke depan; 2) tingkat kepentingan, materi yang dipilih benar-benar
diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut
penting untuk dipelajari; 3) kebermaknaan yaitu materi yang dipilih
dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis.
Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan
keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang
pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat
mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam
Komponen Kurikulum 95
(d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes; dalam
mengajarnya, pendidik memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan
peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e).
Pada kasempatan lain pendidik menyajikan data tentang masalah
lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk
mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya; 7) Sekuens
berdasarkan hierarki belajar yaitu prosedur pembelajaran dimulai
menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari
suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan
atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan
urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik,
berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.
Konsep Konten menurut Zais (1976) mencakup tiga komponen
utama, yaitu ilmu pengetahuan, proses, dan nilai-nilai. Proses konten
mengajarkan proses apa yang belum diketahui. Nilai-nilai adalah
mengandung bidang studi yang akan dipelajari. Terdapat enam
kriteria yang biasa dipakai dalam penetapan konten 1) signifikansi
dipakai untuk menetapkan bagian apa dari suatu bidang ilmu yang
perlu dimasukkan atau ditekankan, misalnya konsep-konsep dan
prinsip-prinsip dasar dalam setiap disiplin ilmu perlu diutamakan;
2) kebutuhan social, sekolah didirikan antara lain untuk memenuhi
kebutuhan sosial anak-anak agar mereka memiliki kemampuan
untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosial dan meningkatkan nilai-
nilai masyarakat; 3) kegunaan, diharapkan materi kurikulum
yang dipilih dapat bermanfaat bagi pelajar atau peserta didik itu
sendiri, sekolah dan masyarakat; 4) minat, materi yang didasarkan
pemilihannya pada minat peserta didik merupakan salah satu usaha
untuk membuat kurikulum lebih relevan dengan peserta didik; 5)
perkembangan manusia, yaitu perkembangan setiap individu anak
dan juga perkembangan anak secara keseluruhan dalam kehidupan
Komponen Kurikulum 97
banyak dan pendidik belajar sedikit (what student does, no what
teacher does). Kegiatan belajar merupakan jantungnya kurikulum.
Kurikulum akan baik mana kala isi dan kegiatan belajarnya
baik. Kalau salah satu tidak baik, maka kurikulumnya menjadi
disfunctioned. Contoh kegiatan belajar yang baik adalah sebagai
berikut.
Kegiatan Belajar Ilmu Kegiatan Belajar Pengalaman
Komponen Kurikulum 99
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada pendidik
tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut
kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses
pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara
aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan
minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-
cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai
tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang
menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika
kelompok. Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode
dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk
penyajian dari pendidik tetapi lebih bersifat individual, langsung,
dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif),
seperti pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role
playing, diskusi, dan sejenisnya. Dalam hal ini, pendidik tidak
banyak melakukan intervensi. Peran pendidik hanya sebagai
facilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, pendidik
berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar
yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, pendidik
berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya
agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai
guider, pendidik melakukan pembimbingan dengan berusaha
mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis
teknologi (Computer Based Instruction) yang menekankan
pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi
tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih
bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam
pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologi masih
6. Model-Model Evaluasi
a. Evaluasi Intrinsik dan Evaluasi Hasil
FDMichael Scriven sebagai pelopor dari teori evaluasi ini
menyatakan bahwa kriterianya tidak diformulasikan dalam
operasionalnya, kriteria evaluasi merujuk pada kurikulum itu
sendiri. Mengevaluasi kurikulum dengan pendekatan intrinsik
ini perlu diperhatikan; tujuan pendidikan dan tipe-tipe materi
yang akan dipergunakan. Jika rencana kurikulum mempunyai isi
yang kuat dan akurat dari organisasi tertentu maka kurikulum
itu akan efektif membangkitkan peserta didik dalam belajar. Nilai
dasar kurikulum yang telah dievaluasi perlu diuji terlebih dahulu
sebelum disampaikan. Dalam melakukan evaluasi hasil harus
memperhatikan dampaknya terhadap peserta didik, pendidik,
orang tua, dan tenaga administrator sekolah.
1) Desain
Desain meliputi desain program dengan standar desain.
Program diuji untuk menentukan apakah benar sesuai
dengan jangka waktu, sumber, materi dan lainnya. Semua
ketidaksesuaian yang ada dalam desain program dan
standar dilaporkan kepada pengambil keputusan dan
harus memutuskan antara memutuskan dan membatalkan,
merevisi atau menerima.
2) Pemasangan
Pelaksanaan program seharusnya dibandingkan
dengan pemasangan standar atau kriteria yang benar.
Karakteristik program dievaluasi, termasuk fasilitas,
media, metode, kemampuan peserta didik dan kualifikasi
staf, ketidaksesuaian antara program dan kriteria dicatat
dan dilaporkan kepada pengambil keputusan untuk
mengambil langkah-langkah yang tepat.
4) Produk
Implikasi secara keseluruhan program dievaluasi dalam
kaitannya dengan tujuan. Peserta didik dan staff produk,
seperti halnya produk berhubungan dengan masyarakat
dan sekolah itu. Informasi yang diperoleh akan membantu
pembuat keputusan tentang program harus dilanjutkan,
diakhiri, atau dimodifikasi.
5) Biaya
Produk-produk program harus dievaluasi dari segi biaya,
keuntungan, bahkan bukan saja dari segi uang tetapi
juga medan dan waktu yang tersirat jawabannya dan
mempunyai implikasi ekonomi, social dan politik.
Provous mengatakan bahwa rencana evaluasi ini dapat
digunakan membuat evaluasi program terus menerus
dalam semua tindakan. Dari perencanaan sampai kepada
implementasinya. Hal ini dapat dilaksanakan pada tingkat
wilayah, regional, dan bahkan nasional.
KEPUTUSAN
INSTRUMEN
TINDAK LANJUT
TES NON TES
Lisan 1. Kuesioner
1. Individu 2. Observasi
2. Kelompok 3. Wawancara
Tulis 4. Checklist
1. Uraian (Terbuka & Terstruktur) 5. Sosiometri
2. Pilihan Ganda (B – S & Pilihan 6. Alat Ukur Terstandar
Ganda serta Menjodohkan)
Keterampilan
1. Individu
2. Kelompok
Content
Learning Organization
4. Budaya Kolaboratif
Budaya perlunya melakukan kolaborasi merupakan prasyarat
untuk melakukan perubahan. Tujuan utamanya adalah 1)
mendorong kesempatan untuk belajar, kolaborasi menyediakan
pendidik dengan lebih banyak kesempatan untuk belajar dari
satu sama lainnya, baik dengan mengamati mengajar satu sama
lain atau dengan berbagi pengetahuan melalui kerja kolegial
demi perubahan; 2) meningkatkan efektivitas pendidik; 3)
merespon perubahan, kolaborasi memungkinkan respon tuntutan
perubahan, karena melibatkan pengalaman dan keahlian kolektif
dari kelompok besar; 4) mendorong peningkatan kualitas
sekolah yang berkesinambungan, kolaborasi mempromosikan
kesempatan untuk belajar, meningkatkan efektivitas pendidik,
dan meningkatkan daya tanggap terhadap perubahan, mendorong
pandangan bahwa perbaikan sekolah merupakan proses yang
berkesinambungan bukan peristiwa sesaat; 5) mengurangi beban
kerja, kolaborasi mengurangi beban kerja karena komitmen
bersama, bukan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh
seorang pendidik individu; 6) menciptakan keyakinan profesional,
karena kolaborasi mengurangi kecemasan dan ketidakpastian.
Jika kolaborasi tersebut begitu kaya manfaat dan diklaim
sebagai syarat untuk perubahan, apa sebenarnya kolaborasi itu?
Kolaborasi menyiratkan adanya ketergantungan kuat, komitmen
3. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis mengganti
Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde
Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati.
Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi
pelajaran kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar,
dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak menyebut
Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. Hanya memuat mata
pelajaran pokok-pokok saja, katanya. Muatan materi pelajaran
bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di
lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan
kepada peserta didik di setiap jenjang pendidikan.
5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski
mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap
penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang
disempurnakan”. Posisi peserta didik ditempatkan sebagai subjek
belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan,
hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar peserta didik Aktif
(CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik
lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan,
Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga
Rektor IKIP Jakarta-sekarang Universitas Negeri Jakarta periode
1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya
di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan
reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah
kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana
gaduh di ruang kelas lantaran peserta didik berdiskusi, di sana-sini
9. Kurikulum 2013
Alasan pentingnya pengembangan ke Kurikulum 2013
adalah karena ada tantangan masa depan yaitu 1) Globalisasi:
WTO, ASEAN Community, APEC, CAFTA; 2) masalah lingkungan
hidup; 3) kemajuan teknologi informasi; 4) konvergensi ilmu
dan teknologi; 5) ekonomi berbasis pengetahuan; 6) kebangkitan
industri kreatif dan budaya; 7) pergeseran kekuatan ekonomi
dunia; 8) PENGARUH dan imbas teknosains; 9) Mutu, investasi dan
transformasi pada sektor pendidikan; dan 10) materi TIMSS dan