Anda di halaman 1dari 312

Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.

Dr. A. Khalik, M.Pd.


Dra. Siti Asiah, M.Pd.
Drs. Ilyas Idris, M.Ag

Editor:
Dr. Asep Ajidin, S.Pd.I, M.H.

|i
Penulis:
Dr. A.A. Musyaffa, M.Pd.
Dr. A. Khalik, M.Pd.
Dra. Siti Asiah, M.Pd.
Drs. Ilyas Idris, M.Ag
Layout & cover design:
Tim Oman Publishing

Editor:
Dr. Asep Ajidin, S.Pd.I, M.H.

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia


oleh Penerbit Oman Publishing, Oktober 2020
CV Oman Publishing
Kompleks Panghegar
Jln. Pasangrahan VI No. 1 RT 03 RW 10
Kel. Cipadung Kulon Kec. Panyileukan
Bandung 40614
Telp. 081319544445
e-mail: penerbitoman@gmail.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

x + 302 hlm; 14.8 x 21 cm


ISBN: 978-623-6751-02-2

Cetakan Pertama, Oktober 2020

ii |
Kata Sambutan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Sultan Thaha Saifuddin Jambi............................................. vii
Kata Sambutan Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan (FTIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan
Thaha Saifuddin Jambi ........................................................ viii
Prakata Penulis.................................................................... ix

I. Mengkaji Ulang (Rethingking) Makna Pendidikan .. 1


A. Pendidikan Islam sebagai Lembaga ............................ 2
B. Pendidikan Islam Sebagai Materi................................ 4
C. Pendidikan Islam Sebagai Aktivitas ............................ 5
D. Pendidikan Islam sebagai Nilai ................................... 6
E. Pendidikan Islam sebagai Pemikiran /Konseptual ..... 9
II. Paradigma Pemikiran Pendidikan Islam .................. 13
A. Paradigma Tradisional ................................................ 16
B. Paradigma Modern ...................................................... 19
C. Paradigma New Modernis ........................................... 20
D. Paradigma Liberal (aliran Kiri) ................................... 21
E. Pemikiran Pendidikan Islam ....................................... 22

III. Pendekatan Sistemik-Holistik dalam Menelaah


Idealita dan Realita Pendidikan Islam ...................... 73
A. Makna Pendekatan Sistematik-Holistik ..................... 73
B. Aspek Ideal Pendidikan Islam ..................................... 76
C. Aspek Real Pendidikan Islam ...................................... 84
D. Gap (Kesenjamgan) Antara Aspek Ideal dan Real serta
Anasir/Faktor-Faktor Gap (Kesenjangan) Antara
Idealita Dan Realita dalam Pendidikan Islam .................. .87
E. Pendidikan Holistik-Sistematik; Solusi Alternatif ...... 90

| iii
IV. Pendidikan Agama Islam (sebagai Materi) di
Madrasah dan Pendidikan Agama Islam (sebagai
Materi) di Sekolah Umum ......................................... 93
A. Pendidikan di Madrasah dirinci menjadi Aqidah
Akhlak, SKI, Fiqh, Bahasa Arab, Al Qur’an Hadist ..... 93
B. Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
di Madrasah dan Sekolah Umum ................................ 101
C. Reorientasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Umum.......................................................................... 105

V. Aspek Landasan (foundational Aspect) dan Aspek


Operational Bangunan Pendidikan Islam ................ 115
A. Aspek Landasan Pendidikan Islam ............................. 115
B. Aspek Operational Pendidikan Islam ......................... 117
C. Problem Landasan Pendidikan Islam dalam
operasionalisasinya...................................................... 119

VI. Pendidikan Islam dan Karakter ................................ 123


A. Konsep Karakter .......................................................... 123
B. Pelaksanaan Pendidikan Karakter............................... 128
C. Faktor-faktor Kurang Berhasilnya Pendidikan
Karakter ....................................................................... 128
D. Paradigma Baru Pendidikan Karakter di Indonesia
dalam Tinjauan Psikologis .......................................... 131
VII. Pendidikan Islam, antara tradisi dan modernisasi .. 133
A. Tradisi Pendidikan Islam di Madrasah ....................... 135
B. Tradisi Pesantren......................................................... 136
C. Tradisi Pendidikan di Pesantren ................................. 139
D. Pesantren dan Kitab Kuning Kesinambungan ............ 144
E. Tantangan Era Globalisasi bagi Dunia Pesantren ....... 145

iv |
VIII. Analisis Kebijakan Nasional dalam Pendidikan
Islam ........................................................................... 153
A. Kedudukan UUD 1945 dan Implikasinya bagi
Pendidikan Islam......................................................... 153
B. Kedudukan UUSPN Nasional 2003 dan Implikasinya
bagi Pendidikan Islam ................................................. 169
C. Analisis Peraturan Perundangan Terhadap
Pendidikan Islam......................................................... 189
IX. Analisis UU Guru dan Dosen 2005 dan
Hubungannya Dengan Guru/Dosen Pendidikan
Islam ........................................................................... 191
A. Hakikat Profesional Guru dan Dosen ......................... 192
B. Hakikat Sertifikasi Guru dan Dosen ........................... 205
C. Sertifikasi Guru dan Era Baru Profesional Guru di
Indonesia ..................................................................... 215
X. Analisis PP No. 66 Tahun 2010 Pengganti PP No. 17
tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan
dan Implikasinya Bagi Madrasah .............................. 229
A. Kondisi Madrasah di Indonesia................................... 229
B. Substansi PP No. 66 Tahun 2010 dalam
Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah ..................... 231
C. Kedudukan PP No. 66 Tahun 2010 Pengganti PP No.
17 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan
dan Implikasinya bagi Madrasah ................................ 234
D. Kebijakan pemerintah terhadap penyelenggaran
madrasah .....................................................................
XI. Analisis PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional (Khususnya Standar Isi) dan Implikasinya
bagi Lulusan Lembaga Pendidikan Islam
(Madrasah). ................................................................ 239
A. Substansi PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional (Khususnya Standar Isi) ............................... 239

|v
B. Analisis PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional (Khususnya Standar Isi) dan Implikasinya
bagi Lulusan Lembaga Pendidikan Islam
(Madrasah). ................................................................. 239
C. Pelaksanaan PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional (Khususnya Standar Isi) dan Implikasinya
bagi Lulusan Lembaga Pendidikan Islam
(Madrasah). ................................................................. 253
XII. Problematika Manajemen Pendidikan di Indonesia ... 265
A. Sumber Daya Manusia ................................................ 267
B. Pembiayaan ................................................................. 275
C. Sarana Prasarana/Teknologi ....................................... 287
Daftar Pustaka ............................................................................ 291
Tentang Penulis .......................................................................... 299

vi |
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Saya selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha


Saifuddin Jambi menyambut dengan gembira diterbitnya buku
Kapita Selekta Pendidikan. Menurut saya buku ini memberikan
kontribusi bagi pengetahuan kita terhadap permasalahan
tentang pendidikan.
Buku Kapita Selekta Pendidikan Islam menuntun dan
mengarahkan bagi pembaca agar berpikir analitis dan kritis
terutama dengan menerapkan kaidah deduktif dan induktif,
dan buku ini bertujuan bagi mahasiswa memiliki wawasan
luas dalam menanggapi permasalahan pendidikan di
Indonesia.
Buku Kapita Selekta Pendidikan Islam ini mencakup
pembahasan tentang persoalan-persoalan kontemporer
kependidikan Islam di Indonesia, tema-tema yang dibahas
menyangkut konsep dan penyelenggaraan pendidikan serta
pembaharuannya, terutama berkenaan dengan sistem
pendidikan Islam, system pendidikan nasional, lembaga
pendidikan Islam, penyelenggaraan pendidikan agama Islam,
kebijakan politik penyelenggaraan pendidikan, komposisi
pendidikan Islam dalam arena pendidikan modern, dan
perbandingan pendidikan dengan sebagian negara lain di
dunia

| vii
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTIK)
Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Saya selaku pimpinan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK)


UIN STS Jambi, sangat bersyukur dengan terbitnya buku karya
ilmiah para dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN
STS Jambi.
Buku ini merupakan salah satu referensi pada setiap program
studi di lingkungan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN
STS Jambi, dan menambah wawasan para mahasiswa dan dosen
tentang masalah pendidikan Islam baik deduktif maupun
induktif. Sehingga para mengetahui problematika pendidikan.
Semoga dengan adanya karya ini, menambah aktifitas
keilmiah para kalangan dosen dilingkungan secara khususnya
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN STS Jambi.

viii |
Prakata

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas


izinNyalah sehingga penulis mampu menyelesaikan buku
referensi “Kapita Selekta Pendidikan”.
Buku ini disusun sebagai pegangan mahasiswa tingkat
sarjana maupun pascasarjana terkhusus dalam bidang
pendidikan. Penulis menyadari bahwa masalah pendidikan yang
sangat kompleks memerlukan penanganan yang tepat sehingga
dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karenanya buku referensi
ini disusun agar dapat membantu memahami secara konseptual
berbagai topik pilihan yang aktual dan fenomenal tentang
pendidikan yang akan berguna kelak memperkuat struktur
intelektual yang dimiliki sebagai pendidik/tenaga kependidikan.
Buku ini akan menjadi pedoman yang tepat bagi mahasiswa
terutama calon pendidik untuk memahami berbagai konsep-
konsep pendidikan dari berbagai sudut pandang, agar mahasiswa
dan calon pendidik dapat mempersiapkan diri menghadapi
masalah pendidikan dalam dunia nyata. Buku ini disusun melalui
berbagai pengalaman yang telah dilalui penulis, pengamatan
langsung dan juga teori-teori belajar dari berbagai literatur.
Ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dan jajarannya, Dekan
FTK Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dan
jajarannya,. Buku referensi Kapita Selekta Pendidikan diharapkan
mampu menjadi jawaban bagi mahasiswa, calon pendidik,
pendidik dan masyarakat pada umumnya atas berbagai
pertanyaan terkait masalah pendidikan yang di Indonesia.

Jambi, Oktober 2020

Penulis

| ix
x|
Pendidikan merupakan kebutuhan pokok manusia, karena
manusia disaat dilahirkan tidak mengetahui sesuatu apapun,
sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an sebagai berikut:

          

     

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan


tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Nahl [16]: 78)

Namun disisi lain manusia memiliki potensi dasar (fitrah)


yang harus dikembangkan sampai batas maksimal. Menurut
Hasan Langgulung potensi dasar tersebut sebanyak sifat-sifat
Tuhan yang terangkum dalam asma’al husna yaitu; 99 (sembilan
puluh sembilan) sifat.
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
oleh hidup dan kehidupan manusia. Bagaimana sederhana
komunitas manusia memerlukan pendidikan. Maka dalam
pengertian umum, kehidupan dan komunitas tersebut akan
ditentukan oleh aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab
pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup
manusia.

|1
A. Pendidikan Islam sebagai Lembaga
Pendidikan islam yang berlangsung melalui proses operasional
menuju tujuannya memerlukan model dan sistem yang konsisten
yang dapat mendukung nilai-nilai moral-spiritual yang
melandasinya. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan berdasarkan
orientasi kebutuhan perkembangan fitrah murid (learner
potensials orientation) yang dipadu dengan pengaruh lingkungan
kultural yang ada. Karena itu, manajemen kelembagaan
pendidikan islam memandang bahwa seluruh proses
kependidikan dalam institusi adalah sebagai suatu sistem yang
berorientasi kepada perbuatan yang nyata.1
Kelembagaan pendidikan islam merupakan subsistem dari
sistem masyarakat atau bangsa. Dalam operasionalisasinya selalu
mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan
masyarakat. Tanpa sikap demikian, lembaga pendidikan dapat
menimbulkan kesenjangan sosial dan kultural. Kesenjangan
inilah yang menjadi salah satu sumber konflik antara pendidikan
dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang
intensitasnya berbeda-beda menurut tingkat atau taraf
kebutuhan masyarakat. Untuk mengetahui kesenjangan antara
lembaga pendidikan dan masyarakat yang berkenaan dengan
kebutuhan yang meningkat ialah dengan melakukan pengukuran
(assessment).2
Secara etimologi, lembaga pendidikan adalah asal sesuatu,
acuan sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau
organisasi yang bertujuan mengadakan suatu penelitian keilmuan
atau melakukan suatu usaha. Dari pengertian tersebut dapat
dipahami bahwa lembaga pendiidkan mengadung dua arti, yaitu

1
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam Cet. ke-5, (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2011), h. 8
2
Ibid., h. 8

2|
;(1) pengertian secara fisik. Materil, konkret, dan (2) pengertian
secara non-fisik, non-materil, dan abstrak.3
Dalam bahasa Inggris, lembaga pendidikan Islam disebut
institute (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi
untuk mencapai tujuan tertentu, dan lembaga pendidikan dalam
pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution, yaitu suatu
sistem normal untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga pendidikan
dalam pengertian fisik juga dengan bangunan dan lembaga
pendidikan daam pengertian nonfisik disebut dengan pranata. 4
Secara terminologi menurut Hasan Langgulung, lembaga
pendidikan adalah suatu sistem peraturan yang bersifat mujarrad,
suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma,
ideologi-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak,
termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik;
kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang
dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan
tertentu dan tempat-tempat kelompok yang melaksanakan
peraturan-peraturan tersebut adalah mesjid, sekolah, kuttab dan
sebagainya.
Menurut Daud Ali dan Habibah Daud, menjelaskan bahwa
ada dua unsur yang kontradikti dalam pengertian pendidikan,
pertama, pengertian secara fisik materil, konkret, dan kedua
pengertian secara non fisik, non material dan abstrak. Terdapat
dua versi pengertian lembaga dapat dimengerti karena lembaga
ditinjau dari seg fisik menampakkan suatu badan dan sarana yang
didalamnya ada beberapa orang yang menggerakkannya dan
ditinjau dari aspek non fisik lembaga meruapakan suatu sistem
yang berperan dalam membantu mencapai tujuan. 5

3
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), Cet ke.9,
hlm. 277
4
Ibid
5
Ibid.

|3
B. Pendidikan Islam Sebagai Materi
Sebagaimana diketahui bahwa dalam surah al Baqarah ayat 30-34,
dimana ayat ini membicarakan tentang mengenai khalifah, ayat
ini juga memberikan gambaran bahwa ilmu itulah khalifah yang
bukan saja mengandung ibadah tetapi juga siyadah atau
kekuasaan (mastery). Pendidikan buatan manusia berusaha
menghidupkan ilmu yang terpendam pada diri manusia itu untuk
sebab itu perbincangan tentang ilmu ini merupakan pokok
pembahasan filosof-filosof Islam dan ahli-ahli tasawuf.
Epistemologi Islam menyatakan bahwa semua ilmu itu
merupakan produk Allah SWT semata, sedangkan manusia hanya
meninterpretasikan sesuai dengan surah al kahfi ayat 109 dan al
Isra’ ayat 85 dan al Fushsilat ayat 53. Berdasarkan analisis dari
ayat tersebut, maka tiga isi daripada kurikulum pendidikan Islam
yakni;6
a) Isi kurikulum yang berorientasi pada “Ketuhanan”
b) Isi kurikulum yang berorientasi pada “Kemanusian”
c) Isi kurikulum yang berorientasi pada “Kealaman”
Untuk itu, Dalam sistem penjenjangan pada kurikulum
pendidikan Islam berorientasi pada kemampuan pola, irama
perkembangan, dan kematangan mental peserta didik. Dari sini
dapat ditentukan bobot materi yang diberikan, misalnya :
1. Untuk Tingkat Dasar (IbtidaIyah). Bobot materi hanya
menyangkut pokok-pokok ajarn Islam. Misalnya masalah
akidah (rukun iman), masalah syariah (rukun Islam), dan
masalah akhlak (rukun Ihsan).
2. Untuk Tingkat Menengah Tingkat Pertama (Tsanawiyah).
Bobot materi mencakup bobot materi yang diberikan pada
jenjang dasar dan tambahan dengan argumen-argumen dari
dalil naqli dan dalil aqli

6
Perbandingan pendapat ibnu Taimiyah mengenai klafikasi ilmu, lihat
Majid ‘Irsan al-Kaylani, al-Fikri al-Tarbawi ‘inda Ibn Taymiyah. (al-Madinah al
Munawwarah: Maktabah Dar al Tarats, 1986). Hal. 117-120.

4|
3. Untuk Tingkat Menengah Atas (Aliyah). Bobot materi
mencakup bobot materi yang diberikan pada jenjang dasar
dan jenjang menengah pertama ditambah dengan hikmah-
hikmah dan manfaat di balik materi yang diberikan.
4. Untuk Tingkat Perguruan Tinggi (Jami’iyah). Bobot materi
mencakup bobot materi yang diberikan pada jenjang dasar,
menengah pertama, menengah atas, dan perguruan tinggi
dengan materi yang bersifat ilmiah dan filosofis.7

C. Pendidikan Islam Sebagai Aktivitas


Pada hakikatnya aktivitas belajar merupakan suatu proses yang
dilalui oleh individu untuk memperolah perubahan tingkah laku
ke arah yang lebih baik sebagai hasil dari pengalaman individu
dalam interaksi dengan lingkungan. Perubahan tingkah laku
sebagai hasil belajar dapat terjadi melalui usaha mendengar,
membaca mengikuti petunjuk, mengamati, memikirkan,
menghayati, meniru, melatih atau mencoba sebdiri dengan
pengajaran atau latihan. Adapun perubahan tingkahlaku sebagai
hasil belajar tersebut relatif tetap atau bukan hanya perubahan
yang bersifat sementara. Tinkahlaku mengajami perubahan
menyangkut semua aspek kepribadian, baik perubahan
pengetahuan, kemampuan, ketrampilan, kebiasaan, sikap dan
aspek perilaku lainnya.
Belajar sebenarnya telah dimulai semenjak Nabi Adam a.s
sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an;

           

              

  

7
TIM Kemenag RI. Islam

|5
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat
lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar! Mereka menjawab:
"Mahasuci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah [2]
31-32)

D. Pendidikan Islam sebagai Nilai


Pendidikan selain mengandung unsur pengalihan pengetahuan,
keterampilan, juga mengandung unsur penanaman nilai. Bahkan,
tidak sedikit ahli pendidikan yang memandang penanaman nilai-
nilai yang erat kaitannya dengan pembentukan watak pribadi
peserta didik merupakan bagian hakiki pendidikan. Tokoh
pendidikan nasional Indonesia telah menekankan bahwa,
kegiatan pendidikan mempunyai dua aspek pokok, yaitu : (1)
aspek pengajaran dan latihan sebagai saranapenyampaian
pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat baik bagi pribadi
peserta didik maupun masyarakat; (2) aspek pembudayaan
kepribadian melalui pendidikan budi pekerti.
Penanaman nilai-nilai merupakan bagian hakiki pendidikan,
maka bagi mereka yang mempersiapkan diri menjadi pendidik
merupakan suatu kewajiban untuk mendalami aksiologi atau
ilmu tentang nilai-nilai, baik itu nilai estetis, nilai moral, maupun
nilai spiritual. Pertanyaan pokok yang muncul disini adalah nila-
nilai mana yang seharusnya atau paling tidak selayaknya
ditanamkan dalam proses pendidikan. Jawaban atas pertanyaan
ini tentu saja ada berbagai macam sesuai dengan filsafat hidup
yang dianut oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Untuk lembaga-lembaga pendidikan di indonesia yang
menganut falsafah hidup pancasila, semestinya dibicarakan
tentang penanaman nilai-nilai Pancasila dalam proses
pendidikan. Dan untuk lembaga-lembaga pendidikan agama

6|
islam memiliki falsafah hidup “islami”, maka semestinya yang
dibicarakan adalah tentang penanaman nilai-nilai islami dalam
proses pendidikan.8
islam memandang nilai sebagai sesuatu yang absolut dan
relatif sekaligus. Perintah-perintah dan larangan-larangan tuhan
(wahyu) yang dinyatakan secara jelas dan tegas dalam kitab suci
lebih khusus lagi pada dimensi ibadah khas, bagi islma
merupakan nilai-nilai yang absolute sedangkan norma-norma
kemanusiaan merupakan nilai-nilai yang relative. Pada nilai
pertama, karena bersifat absolute dan berlaku universal bagi
semua kaum muslimin tanpa melihat kapan dan dimana ia hidup,
maka nilai-nilai tersebut harus diterima dan dilaksanakan apa
adanya. Sedangkan pada nilai yang kedua, karena bersifat
relativis, maka selama tidak bertentangan nilai-nilai universal
(wahyu), manusia dipersilahkan untuk mengembangkan
kreativitasnya. Pada nilai-nilai muamalat ini, tidak mesti sama
antara umat islam yang satu denagn umat islam yang lainnya,
yang hidup pada masa dan tempat yang berbeda.9
Agama islam yang diwahyukan Allah kepada Muhammad
saw. Pada hakikatnya merupakan suatu ajaran yang sarat dengan
nilai-nilai, baik nilai yang absolut universal maupun nilai-nilai
yang yang bersifat relatif. Hal tersebut missalnya dapat ditangkap
dari beberapa informasi wahyu dan sunnah Rasul seperti sabda
Rasulullah saw: “sesungguhnya aku diutus hanya untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia”. Akhlak mulia dimaksud
adalah meliputi akhlak mulia kepada Allah swt. Atau dimensi
ubudiyah dan akhlak mulia kepada sesama manusia (muamalat)
dan makhluk-makhluk tuhan yang lain.10
Aspek nilai dalam islam, meskipun dapat dibedakan kedalam
kategori yang ubudiyah dan mu’amalat namun nilai dan moralitas

8
Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan (Meretas Filsafat Pendidikan islam)
Cet Ke-3, (Mataram : Alam Tara Institute, 2009), h. 133-134
9
Ibid., h. 141
10
Ibid ., h. 142

|7
islami sesungguhnya bersifat menyeluruh (komprehensif) dan
terpadu (integral), tidak terpecah-pecah menjadi bagian-bagian
yang satu dengan yang lain berdiri sendiri . nilai-nilai tersebut,
bila dilihat secara noratif mengandung dua kategori yaitu
pertimmbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, hak
dan batil , diridhoi dan dikutuk oleh Allah swt. Nilai-nilai
mengandung lima pengertian kategorial yang enjadi prinsip
standarisasi perilaku manusia yaitu :
1) Wajib atau fardhu, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat
pahala dan bila ditinggalkan orang akan endapat siksa Allah swt.
2) Sunnah atau mustahab, yaitu bila dikerjakan orang akan
mendapat pahala dan bila ditinggalkan orang tidak akan
mendapat siksa.
3) Mubah atau jaiz yaitu bila dikerjakan orang tidak akan
mendapat siksa dan bila ditinggalkan juga tidak akan mendapat
siksa.
4) Makruh yaitu bila dikerjakan orang tidak akan disiksa, hanya
tidak disukai oleh Allah dan bila ditinggalkan orang akan
mendapat pahala.
5) Haram yaitu bila dikerjakan orangg akan mendapat siksa dan
bila ditinggalkan akan mendapat pahala.
Nilai-nilai yang tergolong kedalam lima kategori tersebut
bersifat operatif dan berlaku dalam situasi dan kondisi biasa.
Apabila manusia dalam situasi dan kondisi darurat (terpaksa),
peberlakuan nilai-nilai tersebut bisa berubah. Sebagai contoh
pada waktu orang berada dalam situasi dan kondisi kelaparan
karena tidak ada makanan yang halal, maka orang diperbolehkan
memakan makanan yang dalam keadaan biasa haram, seperti
dagingg babi, anjing, bangkai dan sebagainya.
Pendidikan islam memiliki tujuan pokok yaitu membentuk
pribadi muslim. Pribadi muslim dimaksud adalah pribadi yang
segala dimensi kehidupannya senantiasa diwarnai oleh nilai-nilai
islami. Pribadi yang dalam segala dimensi kehidupannya diwarnai

8|
oleh nilai-nilai islami inilah yang disebut denagn pribadi akhlakul
karimah. Hakikat tujuan pendidikan islam adalah membentuk
manusia berkeribadian muslim. Maka kurikulum dan
pelaksanaan pendidikan islam sangat menekankan pentingnya
penanaman nilai-nila moral agama. Isi kurikulum dan tata cara
pelaksanaan pendidikan islam boleh jadi bersifat variatif, tetapi
nilai-nilai islami tetap dikedepankan atau dihadirkan sebagai
pengontrol operasionalisasi pendidikan.11

E. Pendidikan Islam sebagai Pemikiran /Konseptual


Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berkesadaran dan
bertujuan, Allah telah menyusun landasan pendidikan yang jelas
bagi seluruh manusia melalui syariat Islam. Allah menciptakan
alam semesta ini dengan tujuan yang jelas. Dia menciptakan
manusia dengan tujuan untuk menjadi khalifah di muka bumi
melalui ketaatan kepada-Nya. Untuk mewujudkan tujuan itu,
Allah memberikan hidayah serta berbagai fasilitas alam semesta
kepada manusia. Jika tugas manusia dalam kehidupan ini
demikian penting, pendidikan harus memiliki tujuan yang sama
dengan tujuan penciptaan manusia. Bagaimanapun pendidikan
Islam sarat dengan pengembangan nalar dan penataan perilaku
serta emosi manusia dengan landasan agama. Dengan demikian
tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan
kepada Allah dalam kehidupan manusia, baik secara individual
maupun secara sosial.
Realisasi tujuan pendidikan melalui ibadah tidak diartikan
sebagai upaya manusia yang hanya berfokus pada aspek ritual
saja seperti shalat, membaca al-Qur`an dan lain-lain. Untuk
menyempurnakannya ibadah dimaknai sebagai ketaatan yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Namun demikian sistem
pendidikan Islam saat ini banyak ditinggalkan oleh umat
manusia, karena beranggapan pendidikan Islam tidak menyentuh

11
Ibid., h 141-142

|9
seluruh aspek kehidupan, sehingga sistem yang digunakan lebih
berorientasi pada sistem pendidikan yang berasal dari dunia
barat, padahal itu adalah sebuah kekeliruan yang perlu
diluruskan. Bahkan Sistem pendidikan Islam jika dibandingkan
dengan sistem pendidikan lain memiliki keunggulan. Berikut ini
adalah beberapa perbandingan konsep Islam dengan konsep yang
dimunculkan pada konsep pendidikan barat, dimana adapun
konsep tersebut dapat direalisasi sebagai;
1) Islam sebagai Konsep Aktualisasi Diri. Konsep pendidikan
Islam dalam memenuhi tujuan aktualisasi diri adalah,
pertama, Allah memberikan kebebasan memilih kepada
manusia serta menjelaskan konsekuensi pilihan yang
dirasakan manusia di akhirat kelak. Kedua, Allah
memberikan ajang kompetisi dalam kebaikan tetap terbuka
bagi manusia. Prinsip yang Dia tekankan adalah penyesuaian
balasan di akhirat kelak dengan perbuatan manusia di dunia.
Ketiga, Allah menjadikan penghambaan dan ketaatan
manusia pada-Nya sebagai tujuan tertinggi. Hanya itulah
yang menjadikan tolok ukur aktualisasi diri dalam Islam.
Keempat, Allah menciptakan manusia dan alam semesta ini
dengan kemampuan yang membawa manusia pada
perbedaan profesi sesuai keahliannya.
2) Islam sebagai Konsep Perkembangan. Sebagian ahli dan
filosof pendidikan menganggap bahwa tujuan inti
pendidikan adalah perkembangan, baik perkembangan
intelektual, fisik, batin, maupun sosial. Namun, konsepsi
tersebut hanya terbatas pada perkembangan yang
menyangkut perkembangan wujud, perubahan berat,
penambahan pengetahuan, atau peningkatan kualitas pola
kehidupan anak sejak lahir hingga dewasa yang menyangkut
perilaku dan segala aktivitasnya. Sedangkan konsep
pendidikan Islam memandang bahwa seluruh aspek
perkembangan sebagai sarana mewujudkan aspek ideal,
yaitu penghambaan dan ketaatan kepada Allah sertaaplikasi
keadilan dan syariat Allah dalam kehidupan sehari-hari.

10 |
Dengan demikian pendidikan Islam mencakup pemeliharaan
seluruh aspek perkembangan, baik itu aspek material,
spiritual, intelektual, perilaku sosial, apresiasi atau
pengalaman. Dan yang terpenting, Islam mengarahkan
perkembangan tersebut ke arah perwujudan tujuan
pendidikan yang tinggi.
3) Islam dan Konsep Perkembangan Jasmani. Dalam membina
kekuatan fisik, Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam
untuk berolahraga, seperti berkuda, memanah atau
berenang. Banyak hadist Nabi yang menganjurkan umatnya
agar memiliki kekuatan fisik. Dari gambaran tersebut, dapat
dikatakan bahwa pendidikan Islam sangat memperhatikan
masalah perkembangan fisik dan pelatihan angota tubuh
yang diarahkan untuk kebaikan manusia dan masyarakat.
Pengarahan tersebut dilakukan melalui dua langkah berikut,
pertama, mengarahkan kekuatan pada segala perkara yang
diridlai Allah, misalnya untuk membantu orang yang sedang
mengalami kesulitan. Kedua, menjauhkan kekuatan fisik dari
segala perkara yang dibenci Allah, seperti memberatkan
hukuman, menyulut permusuhan dll.

| 11
12 |
Menurut Muhammad Labib al-Najihi (1967:13) yang dikutip
Hasan Langgulung menyatakan bahwa definisi pendidikan;
“bukanlah ia fikiran mewah, juga bukan seperti anggapan
sebagian filosof sebagai usaha mencari kebenaran, terlepas dari
budaya dimana ia berada, tetapi (pendidikan itu) adalah
pernyataan sudut pandang seorang atau lebih filosof terhadap
peristiwa-peristiwa sosial, lembaga-lembaga, nilai-nilai dan
sistem-sistem yang menguasai zamannya di atas mana budaya
atau serangan terhadapnya, ataukah sintesis antara berbagai
kepentingan atau maslahat, tetapi pada akhirnya adalah suatu
pernyataan terhadap apa yang menguasai budaya itu dan
pantulan terhadap berbagai pertarungan yang sedang bergolak
dalam budaya tersebut.1
Pendidikan Islam dalam tafsir pendidikan (menurut )Islam
adalah suatu pandangan yang didasari pengertian bahwa islam
adalah ajaran tentang nilai-nilai dan norma-norma kehidupan
yang ideal yang bersumber al qur’an dan sunah .
Pendidikan Islam dalam tafsir pendidikan berdasarkan sudut
pandang, bahwa islam adalah ajaran-ajaran sistem budaya dan
peradaban yang tumbuh dan berkembang serta didukung oleh
umat Islam sepanjang sejarah sejak zaman Nabi Muhammad
SAW sampai sekarang dari sini dapat dipahami bahwa
pendidikan Islam adalah proses dan praktek penyelenggaraan
pendidikan dikalanga umat Islam yang berlangsung secara
kesinambungan dari generasi ke generasi dalam rentang sejarah
1
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta; Pustaka Al
Husna, 2003). hal. 115-116

| 13
Islam. Dengan demikian dapat di tinjau sejarah bahwa
pendidikan Islam dalam perkembangannya telah melalui
berbagai suatu dan kondisi, dimana unsur-unsur budaya yang
dominan di negara-negara Islam menghadapi banyak perubahan
sebagai respons terhadap berbagai kebutuhan yang memaksakan
dirinya kepada kehidupan kaum muslimin pada masyarakat-
masyarakat ini. Filsafat pendidikan dan pemikiran pendidikan
Islam cepat membuat respons bagi semua perubahan dari dua hal
yaitu; ideologi Islam seperti yang gambarkan oleh al Qur’an dan
al sunnah serta suasa baru yang muncul di dunia Islam.
Pendidikan Islam modern menurut Hasan Langgulung
mengacu pada dua pola yaitu bersifat asimilatif dan adoftif, pola
pertama dilakukan dengan cara mengasimilasi sistem pendidikan
Islam dengan sistem pendidikan barat sedangkan pola kedua
adalah dengan mengadopsi sistem pendidikan barat kedalam
sistem pendidikan Islam.Perubahan seperti ini menurut winarno.
Pemikiran pendidikan Islam sebagai bagian penting atas
perkembangan dan kemajuan pendidikan islam tentunya harus
mendapat perioritas untuk dikaji secara dinamis semenjak masa
Nabi Muhammad SAW sebagai awal dimulainya proses
pendidikan hingga saat ini. Pengkajian pemikiran pendidikan
tidak lain bermanfaat.
Pertama, secara umum sejarah pemikiran pendidikan islam
mempunyai nilai fungsi sebagai salah satu faktor keteladanan.
Faktor keteladanan ini dapat dilihat dari unsur kekhasan
pemikiran yang telah di gagas serta relevansi dengan kebutuhan
dunia pendidikan hingga saat ini. Pemikiran pendidikan Islam
pertama yang di gagas oleh Nabi Muhammad SAW yakni
memiliki kekhasan dan kemapanan yang sempurna dibandingkan
dengan impelementasi pendidikan saat ini.
Nabi Muhammad SAW sebagai seorang pendidik pada saat
itu mampu menerapkan konsep pendidikan tidak sebatas
pengajaran namun mencakup ruh pendidikan itu sendiri. Dengan
pemahaman lain, proses pendidikan Nabi Muhammad SAW tidak

14 |
berhenti pada tatatan teoritis tapi praktis. Nabi Muhammad SAW
tidak sebatas mengajarkan fakta-fakta dan pengetahuan Islam,
namun lebih mengajarkan bagaimana menjadi seorang muslim
yang sejati2 , inilah nilai keteladanan atas pemikiran pendidikan
pertama dalam dunia Islam yang kemudian diikuti oleh tokoh-
tokoh pendidikan Islam yang lain.
Kedua, mengetahui dan memahami pertumbuhan serta
perkembangan pemikiran pendidikan Islam sejak masa awal
hingga saat ini, atau bahkan mampu meneropong wajah dunia
pendidikan Islam mendatang. Sebab pemikiran pendidikan Islam
tidak kenal berhenti mengkaji perubahan, perkembangan dan
kebutuhan serta tuntutan dunia pendidikan terhadap realitas
kebutuhan masyakat. Perkembangan pemikiran dari masa ke
masa ini tentunya dipengaruhi oleh faktor modernisasi berbasis
teknologi infomasi dan komunikasi tanpa terlepas dari lanadasan
pokok pendidikan Islam. Melalui tujuan ini kita bisa tahu ciri
khas setiap pemikiran pendidikan Islam dalam mengemas
gagasan-gagsannya serta menjadikan pemikiran pendidikan Islam
klasik sebagai dasar mengembangkan rumusan pemikiran
pendidikan kontemporer.
Ketiga, melakukan kitik dan koreksi terhadap pemikiran
pendidikan yang sudah tidak relevan dengan pemikiran
pendidikan Islam sekarang. Sifat kritis ini tentunya didasari oleh
sikap positif terhadap gagasan pemikiran yang ada dengan
maksud menemukan pemikiran yang lebih relevan dan
komprehensif untuk saat ini, tanpa menyudutkan kredibilitas
keilmuannya. Adapun bagian ini pasca menyampaikan kritik dan
koreksi tersebut.
Keempat, melakukan evaluasi terhadap metode dari proses
pendidikan Islam yang selama ini dilakukan. Artinya melalui
proses evaluasi ini mampu menunjukkan problem serta
kelemahan-kelemahan yang dihadapi oleh pendidikan Islam. I

2
Anshori, Pendidikan Islam Transformatif (Jakarta: Referensi, 2012), h. 24

| 15
Dengan melakukan analisa terhadap problem ataupun
kelemahan-kelemahan pemikiran pendidikan Islam, pada
akhirnya mampu menunjukkan alternatif-alternatif pemecahan
masalah tersebut. Setelah melalui proses seleksi terhadap
alternatif-alternatif tersebut, maka alternatif yang paling efektif
dapat dipraktikkan sebagai program dan proses pendidikan.
Berdasarkan poin di atas, dapat disimpulkan bahwa melalui
gagasan pemikiran pendidikan Islam secara konkret dapat
memberikan informasi apakah proses pendidikan Islam yang
berjalan selama ini sudah mencapai tujuan pendidikan Islam yang
ideal atau tidak. Pada akhirnya pengembangan pendidikan Islam
akan semakin menemukan arah mencapai kemajuan sesuai
dengan tujuan dan cita-citanya.

A. Paradigma Tradisional
Dalam konteks saat ini pendidikan tradisional sering kali menjadi
pembahasan yang serius, mengingat tergerusnya budaya
ketimuran yang dipengaruhi oleh budaya barat, dengan indikator
pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bentuk
persaingan global terutama dalam perkembangan dunia
pendidikan.
Pendidikan tradisional masih sangat dianggap kolot,
konvensional dan tidak mengikuti perkembangan zaman, tetapi
pada sisi yang lain pendidikan tradisional pada kenyataanya
memiliki akar yang kuat yang ikut serta membangun peradaban
manusia. Salah satu contohnya mengenai pendidikan pesantren
yang bergelut dengan mata pelajaran kitab dan proses
pembelajaran yang diletakkan di musholla ataupun di masjid-
masjid.
Mengacu pada hal tersebut Gus Dur, panggilan akrab dari
K.H. Abdurrahman Wahid masih memegang prinsip yang
mengacu pada koidah fiqih yang berbunyi “al muhafadhatu alal
qodimissholih wal ahdu biljadidil aslih” yang artinya : “memelihara

16 |
dan melestarikan nilai lama yang masih relevan dan mengambil
nilai-nilai baru yang lebih relevan”.3
Konsepsi dari pendidikan tradisional, bukan lantas tidak
mengikuti perkembangan zaman, akan tetapi lebih jauh dari itu,
bahwasanya pendidikan tradisional masih cukup kuat
memelihara dan melestarikan nilai lama yang cukup relevan
dengan kondisi saat ini, sehingga pendidikan tradisional itu
sendiri dalam konstek sosial budaya, masih memiliki nilai yang
berakar kuat dalam kehidupan bermasyarakat.
Sementara pendidikan yang berkembang dalam teradisi
pesantren salafiyah, dengan kurikulum pengajian kitab-kitab,
merupakan tradisi yang bersifat sentralistik. Kyai dalam dunia
pendidikan pesantren merupakan ujung tombak dari seluruh
aktifitas yang telah membentuk sistem yang bergerak secara
turun temurun. Disinilah kajian mengenai pendidikan pesantren
yang bercorak pada satu arah, sehingga dalam konstek
perkembangan sains dan teknologi, bisa dikatakan tertinggal,
walaupun tidak bisa kita pungkiri pendidikan pesantren menjadi
pusat pembelajaran yang continuitas dalam membentuk peserta
didiknya.
Pendidikan tradisional dengan konsep mendengarkan dan
mengikuti yang kemudian di ikuti dengan kepatuhan yang cukup
tinggi, disinyalir hanya akan menumpulkan nilai-nilai kritisisme
oleh peserta didik, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya
menjadi lambat.
Pendidikan dalam pesanatren memberikan kesan sebagai
lembaga pendidikan keagamaan yang sulit dielakkan. Namun
perlu ada penjelasan mengenai pendidikan dalam dunia
pesantren. Tidak bisa kita pungkiri memang ada pesantren yang
dikhususkan pendidikannya untuk mencapai spesialisasi bidang
keagamaan. Misalnya, spesialisasi ilmu hadist dan tafsir, atau
spesialisasi ilmu bahasa Arab. Seiring dengan perkembangan
3
Faisol, Gus Dur dan pendidikan Islam, upaya mengembalikan esensi
pendidikan di era global, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 27

| 17
zaman, pendidikan dalam pesantren yang bercorak tradisional
juga telah merambah pada pendidikan keusahawanan, yakni
melatih peserta didik untuk bekerja keras, namun pendidikan
tersebut tidak terkordinir dengan baik yang konsekuensinya
usahawan-usahawan tersebut bergerak sendiri-sendiri, yang pada
akhirnya mereka akan menjadi usahawan-usahawan otodidak,
yang tidak mendekati masalahnya dari segi ilmiah, tetapi
berdasarkan instuisi.4
Prinsip dasar dari pendidikan pesantren, tidak terlepas dari
kitab-kitab klasik atau literatur universal pesantren yang
merupakan latar belakang kultural sistem nilai yang
dikembangkan pesantren. Untuk mempelajarinya para santri
memiliki keyakinan bahwa bimbingan seorang kiai merupakan
syarat utama untuk menguasai ilmu-ilmu tersebut dengan baik
dan benar. Para santri sangat taat pada kiainya, baik yang
berbentuk perintah maupun sikap dan perilaku kiai senantiasa
dijadikan sebagai pedoman dalam keseharian mereka. Dalam hal
kepemimpinan seorang kiai memiliki peran ganda yakni, satu sisi
sebagai pelestari budaya Islam dan disisi yang lain sebagai
penjaga ilmu-ilmu agama.5
Disinilah kemudian yang membentuk sentralisasi
pendidikan pesantren yang telah tertanam dalam pesantren
ratusan tahun silam, sehingga para kiai sebagai pucuk pimpinan
dalam sebuah pesantren tetap melestarikan tradisi yang telah
dikembangkan sejak terdahulu. Paradigma pendidikan pesantren
telah memberikan warna tersendiri dalam proses perubahan dan
perkembangan suatu kultur dalam masyarakat.
Paradigma dari suatu pendidikan tradisional, tidak bisa
dielakkan masih bersifat sentralistik yang memungkinkan bagi
peserta didik untuk berpikir kritis menjadi terhambat, sebab

4
Abdur Rahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta, LkiS, 2010,
Hal. 115-116
5
www.pesantren-ciganjur.org, Prinsip-Prinsip pendidikan pesantren, di
aksen pada 18 Januari 2015

18 |
kekuatan doktrinal yang cukup kuat mempengaruhi pola berpikir
dari peserta didik itu sendiri.

B. Paradigma Modern
Pesatnya perkembangan pengetahuan dan teknologi dewasa ini,
memberikan dampak yang signifikan dalam suatu perubahan,
baik perubahan terhadap pola berpikir maupun dalam bentuk
tindakan.
Perubahan itu sendiri tidak lepas dari bentuk pemikiran dan
perbuatan manusia, apakah bentuk tersebut mengarah pada
sesuatu yang positif ataupun mengarah pada sesuatu yang
negatif. Salah satu sumber dari suatu perubahan, salah satunya
pentingnya peran dari suatu pendidikan yang telah memberikan
ruang yang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk menggali dan
mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki.
Pendidikan modern merupakan bentuk perkembangan dari
situasi yang menjadi tuntutan dalam kompetisi global, dimana
berkembangnya pengetahuan dan teknologi secara drastis telah
membuka kesadaran pemerintah, pendidik, dan masyarakat
untuk bersama-sama membaca perubahan dan perkembangan
zaman.
Mudahnya akses teknologi informasi telah memberikan
pengaruh yang luar biasa dalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat. Teknologi informasi merupakan salah satu bentuk
dalam kerangka menghadapi arus budaya global, sehingga
pendidikan diharapkan mampu mengontrol dan memfilter arus
westernisasi yang semakin merambah kedalam dunia pendidikan
itu sendiri.
Modernisasi sebagai sebuah gagasan pendidikan ingin
memberikan kesetaraan dan pengakuan akan ragam budaya yang
memiliki sejarah panjang. Parktek mengenai berjalannya
pendidikan modern diberbagai negara, baik di barat maupun di
timur telah menghasilkan kesepakatan bersama (mutual
agrement) bahwa salah satu pilar pendidikan adalah “living

| 19
together” yakni memberikan latihan dan keterampilan kepada
para siswa akan pentingnya pengakuan dan penghargaan kepada
orang yang memiliki ragam bahasa, budaya, etnis, maupun
agama.6
Paradigma pendidikan modern telah menjadi suatu acuan
dalam perkembangan pendidikan, khususnya di negeri ini.
Modernitas adalah bentuk akan perubahan dan pergeseran
budaya dalam kehidupan suatu masyarakat, begitu pula dalam
konstek dunia pendidikan, modernitas menjadi langkah yang
strategis guna memudahkan proses tranformasi ilmu
pengetahuan terhadap peserta didik. Oleh karenanya
perkembangan teknologi sangat memudahkan bagi proses belajar
mengajar, disamping itu pula sebagai alat untuk membantu para
siswa menggali dan mengembangkan seluruh potensinya.

C. Paradigma New Modernis


Kalangan Neo Modernis untuk memahami ajaran-ajaran dan
nilai-nilai mendasar dalam al qur’an dan al sunnah harus
berupaya mengikat sertakan dan mempertimbangkan khasanah
intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan
dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia
teknologi modern. Jadi model ini selalu mempertimbangkan al
qur’an dan al sunah, khazanah pemikiran Islam klasik, serta
pendekatan-pendekatan keilmuan yang muncul pada abad ke 19
M dan 20 M. Pemikiran ini sering dikumandangkan adalah -“al-
Muhafadzah ‘ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-
Ashlah”, yakni memelihara hal-hal yang baik yang telah ada
sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.
Kata al-Muhafazah ‘ala al-Qadim al-Salih adalah unsur
perenialism dan essensialism, yakni sikaf regresif dan konservatif
terhadap nilai-nilai Ilahi dan Insani yang telah ada yang telah
dibangun dan dikembangkan oleh masyarakat.Sedangkan kata al-

6
Samsun Niam, Pendidikan Multi Kultur, Radar Jember, kamis 28 oktober
2010, hal 39

20 |
Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlahyakni mencari alternatif lain yang
terbaik dalam konteks pendidikan masyarakat muslim
kontemporerdan menunjukkan adanya sikap dinamis dan
progresif serta sikap rekonstruktif walaupun tidak bersikap
radikal. Karena itu, tipologi ini juga disebut sebagai tipologi
perenial-esensialis kontektual-falsifikatif.7
Tipologi ini lebih bersifat kritis karena ada upaya tindakan
atau proses menempatkan informasi dalam konteks dan
pengguguran teori lewat fakta-fakta serta lebih bersifat
menyeluruh dan terpadu dalam membangun kerangka filsafat
pendidikan Islam.Kajian-kajian tentang pokok pendidikan Islam
dan segala persoalannya dibangun dari nash Al-Qur’an dan al-
Hadits melalui dengan penafsiran tematik serta tetap
mempertimbangkan nilai-nilai khazanah intelektual klasik yang
relevan, bahkan memperhatikan sistem pendidikan Islam yang
perlu dikembangkan.

D. Paradigma Liberal (Aliran Kiri)


Paradigma pendidikan liberal yang bermuara pada semangat
modernisasi di barat justru mengutamakan kebebasan individu.
Lahirnya fenomena modernisasi sebenarnya merupakan suatu
gerakan protes terhadap kekuasaan gereja yang dianggap
berlebihan. Adapun filsafat pendidikan yang mewarnai
paradigma pendidikan liberal adalah filsafat pendidikan
progresivis dan eksistensialis.8
Filsafat pendidikan progresivis adalah filsafat pendidikan
yang menekankan kepada perubahan, relativitas, kebebasan,
dinamika, ilmiah dan perbuatan nyata. Bagi kaum progresivis,
tidak ada yang abadi selain daripada perubahan, ukuran
kebenaran ditentukan saat ini akibatnya cenderung kepada

7
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 95-96
8
Yudha Nata Saputra, Kepemimpinan dan Mutu Pendidikan, (STT Karisma,
t.th), hlm. 8

| 21
pragmatisme, sebagaimana tidak ada kebenaran yang pasti
demikian juga tidak ada tujuan yang pasti. Jika progresivis
menekankan kepada perubahan maka eskistensialis menekankan
kepada kenyataan, pengetahuan seseorang tentang sesuatu
tergantung kepada kesadarannya untuk mendapatkan
pengalaman, kebenaran ditentukan oleh masing-masing individu
bukan oleh nilai-nilai sosial karena penyesuaian terhadap norma-
norma sosial berakibat menghilangkan eksitensi indvidu.
Penjegalan kebebasan individu di masa skolastik, telah
menenggelamkan eksistensi manusia maka era
kebebasan dengan paham keilmuan baru rasionalisme
merupakan pertanda baik bagi keberadaan (eksistensia) manusia
sebab manusia dengan seluruh potensi yang dimiliknya sangat
diakui dan dihargai. Karakter rasionalis dan pengakuan terhadap
hak-hak individual menjadi karakter utama filsafat
progresifisme dan eksistensialisme.

E. Pemikiran Pendidikan Islam


1. Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh
Biografi Singkat Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 Masehi.9 Nama
lengkapnya, Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah, lahir
di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah Mesir. Ayah
Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah berasal
dari Turki dan telah menetap lama di Mesir. Ibu Muhammad
Abduh bernama Junainah binti Utsman al-Kabir, jika ditelusuri
asal usul keluarga, Junainah berasal dari keturunan bangsa Arab
yang silsilahnya sampai kepada Umar Ibn al-Khattab.10

9
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan. (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 59
10
Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi Perspektif Modernisme
Muhammad Abduh dan Neo Modernisme Fazlur Rahman (Yogyakarta: Teras,
2009), hal. 9

22 |
Pada usia 10 tahun, pendidikan pertama yang Muhammad
Abduh terima ialah belajar menulis dan membaca di bawah
bimbingan kedua orang tuanya.11 Setelah Muhammad Abduh
mahir membaca dan menulis, ia dikirim kepada salah seorang
guru yang hafiz al-Qur’an. Dalam kurun waktu dua tahun
Muhammad Abduh berhasil menghafal al-Qur’an.12
Pada tahun 1862 ia dikirim oleh orang tuanya ke perguruan
agama di masjid Ahmadi yang terletak di Tantha.13 Muhammad
Abduh merasa tidak puas dan merasa jengkel dengan metode
mengajar yang diterapkan. Akhirnya, pada tahun 1864 ia pun
memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dan
bertekad membantu orangtuanya bertani.14
Melalui jasa pamannya, Muhammad Abduh akhirnya
kembali mencintai ilmu pengetahuan dan bertekad kembali ke
masjid Syaikh Ahmadi untuk menyelesaikan studinya. Setelah
belajar di Tantha, pada tahun 1866 ia melanjutkan ke perguruan
tinggi al-Azhar di Kairo.18 Pada tahun 1866 Jamaluddin al-
Afghany datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istambul. Pada
Tahun inilah Muhammad Abduh bertemu dengan Jamaluddin al-
Afghany untuk pertama kali bersama teman-temannya.15
Pertemuan Muhammad Abduh dengan al-Afghany, benar-
benar telah membuka wawasan pemikiran Muhammad Abduh.
Pada tahun 1871, Muhammad Abduh aktif menulis karangan di
media al-Ahram.16 Pada tahun 1877, Muhammad Abduh lulus dari
al-Azhar dengan mendapat gelar ‘Alim.17 Oleh karena itu, dari

11
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah (Jakarta: UI
Press, 1987), hal. 11
12
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah III; Pengantar Studi Pemikiran dan
Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raya Gafindo
Persada, 1998), hal. 78
13
Ibid, hal. 78
14
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah,
1994), hal. 12
15
Harun Nasution, Ibid, hal. 60
16
Quraish Shihab, Ibid, hal. 14
17
Harun Nasution, Ibid, hal. 61

| 23
ijazah yang diperolehnya, ia berhak dan memiliki kewenangan
untuk mengajar di al-Azhar.18 Pada tahun 1882 pecah revolusi
urabi Pasya, Muhammad Abduh yang memimpin surat al-Waqa’i
al-Misriyyat dituduh terlibat dalam kasus tersebut. Akhirnya,
pemerintah Mesir mengasingkannya ke Beirut Syria.19 Dalam
pengasingannya, Muhammad Abduh bertemu kembali dengan
Jamaluddin al-Afghany dan mendirikan organisasi surat kabar al-
‘Urwatul al-Wutsqa.20
Penerbitan surat kabar ini mendapat larangan dari Inggris,
Perancis dan Belanda, akhirnya pada tahun 1885 Muhammad
Abduh meninggalkan Paris dan kembali ke Beirut. Di Beirut ini,
Muhammad Abduh mendapat kesempatan untuk mengajar di
perguruan tinggi Sulthaniyah.21 Pada tahun 1894 Abduh diangkat
menjadi anggota majelis A’la dari al-Azhar. Sebagai anggota
majelis, Muhammad Abduh banyak memberikan perubahan-
perubahan dan perbaikan ke dalam tubuh al-Azhar sebagai
universitas.22 Muhammad Abduh meninggal dunia pada tanggal 11
Juli 1905. Jenazahnya dikebumikan di makam Negara di kota
Kairo.23

Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh


Jika mengacu kepada berbagai sumber, konsep pendidikan
Muhammad Abduh adalah pendidikan integral yang memadukan
antara teori dan praktik, dan memadukan antara ilmu agama dan
umum. Ia mengatakan, bahwa setiap sekolah perlu
mempraktikkan pelajaran yang diajarkan setelah pelajaran
tersebut selesai.24 Oleh karena itu, metode ini tidak akan mampu

18
Harun Nasution, Ibid, hal. 14
19
Quraish Shihab, Ibid, hal. 15
20
Ahmad Amir Aziz, Ibid, hal. 14
21
Quraish Shihab, Ibid, hal. 15
22
Harun Nasution, Ibid, hal. 62
23
Ahmad Amir Aziz, Ibid, hal 16
24
Muhammad Imarah (ed.), Al-A’mal al-Kaamilah al-Imam as-Syaikh
Muhammad Abduh al-Juz atsalis (Kairo: Dar Asyuruk, 1993), hal. 124

24 |
berjalan tanpa seorang pendidik yang memadai secara keilmuan,
di samping memadai dalam hal akhlaknya. Abduh mengatakan,
dalam mengukur kompetensi para pendidik maka akhlak dan
kemampuan dalam mendidik yang menjadi tolak ukurnya.25
Cara Abduh dalam mengatasi persoalan dikotomi ilmu
agama dan ilmu umum adalah dengan melakukan lintas disiplin
ilmu antara sekolah agama dan sekolah pemerintah atau sekolah
asing, dengan cara memasukkan ilmu-ilmu agama ke dalam
sekolah pemerintah atau sekolah asing, dan memasukkan ilmu-
ilmu Barat ke dalam sekolah agama.26
Dengan demikian, cara Abduh dalam menyatukan ilmu
agama dan ilmu umum adalah dengan cara lintas disiplin ilmu, ia
memasukkan ilmu agama ke sekolah pemerintah atau sekolah
asing, sebaliknya, ia memasukkan ilmu Barat ke sekolah agama,
khususnya al-Azhar. Di al-Azhar, Abduh menambah mata kuliah
yang sebelumnya belum diajarkan, ia menambahkan ilmu kalam
dengan pandangan rasional yang dapat mengembangkan akal.27
Abduh dalam memadukan ilmu agama dan umum bermodel
modernisasi Islam. Model modernisasi Islam lebih cenderung
mengembangkan ajaran Islam dalam konteks perubahan sosial
dan perkembangan iptek dengan melakukan penyesuaian
terhadap kemajuan zaman tanpa meninggalkan sikap kritis
terhadapnya. Dengan demikian, makna Islamisasi pengetahuan
yang ditawarkan adalah membangun semangat umat Islam untuk
terus maju, modern, progresif dan terus melakukan perbaikan
terhadap diri sendiri dan terhadap perbaikan masyarakat agar
terhindar dari keterbelakangan, kebodohan, dan ketertinggalan
dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.28

25
Ibid
26
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat (Depok: PT Raja
Grafindo Persada, 2013), hal. 309
27
Muhammad Imarah (ed.), op.cit, h. 86
28
Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam (Ciputat: CRSD Press, 2007), hal.
117

| 25
2. Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman
Biografi Singkat Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di
daerah Hazara (anak benua India) yang sekarang terletak di
sebelah barat laut Pakistan. Pertama-tama ia dididik dalam
sebuah keluarga muslim yang taat beragama. Fazlur Rahman
dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius.
Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang
mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman
seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya
sekalipun. Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang
demikian, maka menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun ia
sudah dapat menghafal Alquran. Adapun mazhab yang dianut
oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.29
Walaupun hidup di tengah-tengah keluarga mazhab Sunni,
Fazlur Rahman mampu melepaskan diri dari sekat-sekat yang
membatasi perkembangan intelektualitasnya dan keyakinan-
keyakinannya. Dengan demikian, Fazlur Rahman dapat
mengekspresikan gagasan-gagasannya secara terbuka dan bebas.
Seperti pendapat mengenai wajibnya shalat tiga waktu yang
dijalani oleh penganut mazhab Syi’ah, Fazlur Rahman
beranggapan bahwa praktek tersebut dibenarkan secara historis
karena Muhammad saw. pernah melakukannya tanpa sesuatu
alasan.30
Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi
pembentukan watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui
ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai
kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan cinta. Ayah Fazlur
Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat,
namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Tidak
seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya ketika itu,

29
Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistimologi, dan
Sistem Pendidikan, (Cirebon: Pustaka Belajar, 2006), hlm.60 - 61
30
Ibid., hlm. 61.

26 |
Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang
modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-
kesempatan. Pandangan ayahnya inilah yang kemudian
mempengaruhi pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman. Selain
itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman pada kemudian
hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun dalam
mendapatkan pengetahuan dari pelbagai sumber, dan melalui
ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam
mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam.
Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya
di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam
pendidikan formal, Fazlur Rahman pun mendapatkan pendidikan
atau pengajaran tradisional dalam kajian-kajian keislaman dari
ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang
diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika
menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara
India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah
mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis
dan tafsir.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur
Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya dengan
mengambil bahasa Arab sebagai kosentrasi studinya dan pada
tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua
tahun kemudian, tokoh utama gerakan neomodernis Islam ini
berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang sama dan
mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab. Menurut Amal,
ketika telah menyelesaikan studi Masternya dan tengah belajar
untuk menempuh program Doktoral di Lahore, Fazlur Rahman
pernah diajak oleh Abul A’la Mauwdudi, yang kelak menjadi
“musuh” intelektualitasnya, untuk bergabung di Jama’at al Islami
dengan syarat meninggalkan pendidikannya.31
pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk
melanjutkan studinya di Oxford University. Keputusannya untuk

31
Ibid., hlm. 61 – 62.

| 27
melanjutkan studinya di Inggris dikarenakan oleh mutu
pendidikan di India ketika itu sangat rendah. Dibawah bimbingan
Profesor S. Van den Berg dan H A R Gibb, Fazlur Rahman berhasil
menyelesaikan studinya tersebut dan memperoleh gelar Ph. D
pada tahun 1949 dengan disertasi tentang Ibnu Sina. Disertasi
Fazlur Rahman ini kemudian diterbitkan oleh Oxford University
Press dengan judul Avicenna’s Psychology.
Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur Rahman
menyempatkan diri untuk belajar pelbagai bahasa asing. Bahasa-
bahasa yang berhasil dikuasai olehnya diantaranya ialah Latin,
Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan Urdu. Penguasaan
pelbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman dalam
memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya
(khususnya studi keislaman) melalui penelusuran pelbagai
literatur.32
Setelah menyelesaikan studinya di Oxford University, Fazlur
Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu
sudah melepaskan diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal
beberapa saat disana. Ketika tinggal di tinggal di Inggris, Fazlur
Rahman sempat mengajar di Durham University. Kemudian
pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill
University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of
Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan Fazlur
Rahman, ketika menempuh studi pascasarjana di Oxford
University dan mengajar di Durham University, konflik antara
pendidikan modern yang diperolehnya di Barat dengan
pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di negeri
asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya
pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya
dalam bidang filsafat.
Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya
pada awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah

32
Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam Gagasan-Gagasan
Para Ilmuwan Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 592.

28 |
sebelumnya diminta bantunnya oleh Ayyub Khan untuk
membangun negeri asalnya, Pakistan. Menurut Moosa,
permintaan Ayyub Khan kepada Fazlur Rahman ialah bertujuan
untuk membawa Pakistan pada khittah berupa negara yang
bervisi Islam Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman
diminta oleh Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam
(Islamic Research Institute) dan menjadi anggota Dewan
Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic
Ideology). Motivasi Fazlur Rahman untuk menerima tawaran dari
Ayyub Khan dapat dilacak pada keinginannya untuk
membangkitkan kembali visi Alquran yang dinilainya telah
terkubur dalam puing-puing sejarah.
Kursi panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya
menuai pelbagai reaksi. Para ulama tradisional menolak jika
Fazlur Rahman mendudukinya, ini disebabkan oleh latar
belakang pendidikannya yang ditempuh di Barat. Penentangan
atas Fazlur Rahman akhirnya mencapai klimaksnya ketika
jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan tulisannya yang kemudian
menjadi dua bab pertama bukunya yang berjudul Islam. Pada
tulisan tersebut, Fazlur Rahman mengemukakan pikiran
kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya
dengan Muhammad saw. Menurut Fazlur Rahman, Alquran
sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah swt, namun
dalam arti biasa, Alquran juga merupakan perkataan Muhammad
saw. Akibat pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman
dinyatakan sebagai munkir-i-Quran (orang yang tidak percaya
Alquran). Menurut Amal, kontroversi dalam media masa Pakistan
mengenai pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga
kurang lebih satu tahun, yang pada akhirnya kontroversi ini
membawa pada gelombang demonstrasi massa dan mogok total
di beberapa daerah Pakistan pada September 1968. Menurut
hampir seluruh pengkaji pemikiran Fazlur Rahman berpendapat
bahwa penolakan atasnya bukanlah ditujukan kepada Fazlur
Rahman tetapi untuk menentang Ayyub Khan. Hingga akhirya
pada 5 September 1968 permintaan Fazlur Rahman untuk

| 29
mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam
dikabulkan oleh Ayyub Khan.
Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan
Pakistan untuk memenuhi tawaran Universitas California, Los
Angeles, dan langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran
Islam di universitas yang sama. Mata kuliah yang ia ajarkan
meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam, tasawuf, hukum
Islam, pemikiran politik Islam, modernism Islam, kajian tentang
al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lain-lain.
Salah satu alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk
mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-
gagasan yang ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur
di Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya
keterbukaan atas pelbagai gagasan dan suasana perdebatan yang
sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan.
Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencurahkan seluruh
kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya
banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya
di basement rumahnya, yang terletak di Naperville, kurang lebih
70 kilometer dari Universitas Chicago. Dari konsistensinya dan
kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya Rahman
mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan berskala
internasional. Pengakuan tersebut salah satunya ialah pada tahun
1983 ia menerima Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von
Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas
California, Los Angeles.
Pada pertengahan dekade 80-an, kesehatan tokoh utama
neomodernisme Islam tersebut mulai terganggu, dintaranya ia
mengidap penyakit kencing manis dan jantung. Akhirnya, pada
26 Juli 1988 profesor pemikiran Islam di Univesitas Chicago itu
pun tutup usia pada usia 69 tahun setelah beberapa lama
sebelumnya dirawat di rumah sakit Chicago.

30 |
Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman
Kemunculan Fazlur Rahman memberi harapan bagi masa
depan Islam, karena selain menawarkan apa yang ia sebut dengan
neo-modernisme Islam, ia juga memberikan interpretasi baru
terhadap slogan kembali ke Al-Qur‘an dan Sunnah. Meskipun hal
itu disadarinya sebagai sesuatu yang berjangka panjang, sebab
penyebaran dan penerapannya harus dilakukan oleh tangan-
tangan terdidik. Dan itu hanya bisa diwujudkan melalui
pendidikan. Rahman menegaskan bahwa pembaharuan Islam
bagaimanapun yang harus dilakukan, mestilah dimulai dengan
pendidikan.

1. Tujuan Pendidikan Islam


Dewasa ini pendidikan Islam sedang dihadapkan dengan
tantangan yang jauh lebih berat dari tantangan yang dihadapi
pada masa permulaan penyebaran Islam. Tantangan tersebut
berupa beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat
bekas saingan musuh sepanjang sejarah. Kesulitan ini semakin
menjadi akut karena faktor psikologis lain, yang timbul sebagai
kompleks pihak yang lain (berbeda dengan kedudukan
internasional Islam klasik yang pada waktu itu umat Islam adalah
pihak yang menang dan berkuasa).
Fenomena tersebut, menurut Syed Sajjad Husain dan Syed
Ali Ashraf, telah menyuburkan tumbuhnya golongan-golongan
penekan. Golongan ini dengan cepat meraih kekuasaan dari
orang-orang yang pikirannya lebih cenderung kepada agama.
Akibatnya munculah semacam ketegangan dan pertentangan
antara golongan sekular dengan golongan agama. Pertentangan
ini telah menampakan diri secara terang-terangan di beberapa
negara seperti Turki, Mesir dan Indonesia.
Sehingga pada gilirannya mengakibatkan pendidikan Islam
tidak diarahkan kepada tujuan yang positif. Tujuan pendidikan
Islam cenderung berorientasi kepada kehidupan akhirat semata

| 31
dan bersifat defensif. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Rahman bahwa:
“Strategi Pendidikan Islam yang ada sekarang ini tidaklah
benar-benar diarahkan kepada tujuan yang posistif, tetapi
cenderung lebih bersifat defensif yaitu untuk menyelamatkan
pikiran kaum Muslim dari pencemaran atau kerusakan yang
ditimbulkan oleh dampak gagasan-gagasan Barat yang
datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-
gagasan yang akan meledakkan standar moralitas Islam”. 33
Dalam kondisi kepanikan spiritual itu, strategi pendidikan
Islam yang dikembangkan di seluruh dunia Islam secara universal
bersifat mekanis. Akibatnya muncul lah golongan yang menolak
segala apa yang berbau Barat, bahkan ada pula yang
mengharamkan pengambil alihan ilmu dan teknologinya
.Sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut akan dapat
mengakibatkan kemunduran umat Islam.34
Menurut Rahman ada beberapa hal yang harus dilakukan.
Pertama, tujuan pendidikan Islam yang bersifat defensif dan
cenderung berorientasi hanya pada kehidupan akhirat harus
dirubah. Tujuan Pendidikan Islam harus diorientasikan kepada
kehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta bersumber kepada Al
Qur‘an.35 Menurutnya bahwa: Tujuan pendidikan dalam
pandangan al-Quran adalah untuk mengembangkan kemampuan
inti manusia dengan cara sedemikian rupa sehingga seluruh ilmu
pengetahuan yang diperolehnya akan menyatu dengan
kepribadian kreatifnya. Kedua, beban psikologis umat Islam
dalam menghadapi barat harus dihilangkan. Untuk
menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut, Rahman
menganjurkan supaya dilakukan kajian Islam yang menyeluruh
secara historis dan sistematis mengenai perkembangan disiplin-

33
Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis
Pembaharuan Pendidikan Islam, (Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999), hlm. 105.
34
Ibid., hlm. 105.
35
Ibid., hlm. 105.

32 |
disiplin ilmu Islam seperti teologi, hukum, etika, hadits, ilmu
sosial, dan filsafat, dengan berpegang kepada al-Qur‘an sebagai
penilai. Sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang telah berkembang
dalam sejarah itulah memberikan kontinuitas kepada wujud
intelektual dan spiritual masyarakat Muslim. Sehingga melalui
upaya ini diharapkan dapat menghilangkan beban psikologis
umat Islam dalam menghadapi Barat. 36 Ketiga, sikap negatif
umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah.
Sebab menurut Rahman, ilmu pengetahuan tidak ada yang salah,
yang salah adalah penggunanya. Misalnya, manusia telah mulai
menjelajah angkasa namun masalah yang ada di bumi tetap tak
terpecahkan. Disamping itu, meskipun manusia terus
menyingkap pengetahuan-pengetahuan yang baru, namun
dorongan untuk memecahkan masalah-masalah etika tak juga
bertambah.37

2. Sistem Pendidikan
Diskursus klasik yang masih sering dipersoalkan adalah
adanya dikotomi dalam sistem pendidikan Islam. Sebenarnya hal
itu tidak boleh terjadi, karena dikotomi itu yaitu sistem
pendidikan Barat yang dinasionalisasikan dengan menambah
beberapa mata pelajaran agama Islam dan sistem pendidikan
agama Islam yang berasal dari zaman klasik (tradisional) yang
tidak diperbaharui secara mendasar, mempunyai arah yang
berbeda atau dalam beberapa sisi penting justru bertolak
belakang.38
Tidak diterimanya sistem dikotomi ini karena sejarah telah
membuktikan bahwa sistem pendidikan Barat seringkali merusak
Islam. Memang ada pihak yang mengklaim bahwa pada masa
lampau pihak Barat justru pernah belajar kepada Islam tetapi
sekarang sejarah telah berbalik yaitu orang Islam yang belajar ke

36
Ibid., hlm. 106.
37
Ibid., hlm. 106.
38
Ibid., hlm. 107.

| 33
Barat. Dengan demikian orang Barat mengolah epistemologi yang
mereka pelajari dari Islam. Jika benar klaim tersebut menjadi
kerangka ilmu yang sesuai dengan keinginan mereka yang justru
menggrogoti Islam dari dalam. Cendikiawan Muslim tidak
mampu lagi mengolahnya kembali agar epistemologi Barat
dimaksud dapat bersahabat dengan Islam.
Sementara itu sistem pendidikan dari zaman klasik tidak
mempunyai kekuatan lagi untuk bersaing dalam era globalisasi
pada penghujung abad dua puluh ini. Sistem tradisional kuno
dalam Islam didasarkan atas seperangkat nilai-nilai yang berasal
dari al-Qur‘an. Di dalam al-Qur‘an dinyatakan bahwa tujuan
pendidikan yang sesungguhnya adalah menciptakan manusia
yang taat kepada Tuhan dan akan selalu berusaha untuk patuh
terhadap perintah-Nya sebagaimana yang dituliskan dalam kitab
suci. Dilain pihak sistem modern, yang tidak secara khusus
mengesampingkan Tuhan, berusaha untuk tidak melibatkan-Nya
dalam penjelasannya mengenai asal-usul alam raya atau
fenomena dengan mana manusia selalu berhubungan setiap
harinya.
Ditengah maraknya persoalan dikotomi sistem pendidikan
Islam tersebut, Rahman berupaya untuk menawarkan solusinya.
Menurutnya untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan
Islam tersebut adalah dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-
ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum secara menyeluruh. Sebab
pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi dan tidak dapat
dipisah-pisahkan.
Dengan demikian, di dalam kurikulum maupun silabus
pendidikan Islam harus mencakup baik ilmu-ilmu umum seperti
ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alam dan sejarah dunia maupun
ilmu-ilmu agama seperti fiqh, kalam, tafsir dan hadits. Menurut
hemat penulis, metode integrasi seperti yang ditawarkan oleh
Rahman itu pernah diterapkan pada masa keemasan Islam. Pada
masa itu ilmu dipelajari secara utuh dan seimbang antara ilmu-
ilmu yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan dunia (ilmu-

34 |
ilmu umum) maupun ilmu-ilmu untuk mencapai kebahagiaan di
akhirat (ilmu-ilmu agama). Pendekatan integralistik seperti itu,
telah berhasil melahirkan ulama-ulama yang memiliki pikiran-
pikiran yang kreatif dan terpadu serta memiliki pengetahuan
yang luas dan mendalam pada masa klasik, misalnya Ibnu Sina,
selain ahli agama, psikolog, juga ahli dalam ilmu kedokteran dan
juga ahli hukum.
Menurut Rahman bahwa ilmu pengetahuan itu pada
prinsipnya adalah satu yaitu dari Allah SWT. Hal ini sesuai
dengan apa yang dijelaskan di dalam al-Qur‘an. Menurut al-
Qur‘an semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian
diwahyukan pada orang yang dipilih-Nya melalui ayat-ayat
Quraniyah dan sebagian lagi melalui ayat-ayat Kauniyah yang
diperoleh manusia dengan menggunakan indera, akal dan
hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai kebenaran
yang absolut sedangkan pengetahuan yang diperoleh,
kebenarannya tidak mutlak.39

3. Anak Didik (Peserta Didik)


Anak didik yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam di
negara-negara Islam berkaitan erat dengan belum berhasilnya
dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum
ditumbangkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Belum
berhasilnya penghapusan dikotomi antara ilmu-ilmu agama
dengan ilmu-ilmu umum mengakibatkan rendahnya kualitas
intelektual anak didik, bahkan yang lebih ironis lagi dikotomi
sistem pendidikan tersebut mengakibatkan tidak lahirnya anak
didik yang memiliki spritual dan intelektual yang mendalam
terhadap Islam dari lembaga-lembaga pendidikan Islam. Menurut
Fazlur Rahman beberapa usaha yang harus dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut di atas antara lain pertama, anak
didik harus diberikan pelajaran Al-Qur’an melalui metode-
metode yang memungkinkan kitab suci bukan hanya dijadikan

39
Ibid., hlm. 110.

| 35
sebagai sumber inspirasi moral tetapi juga dapat dijadikan
sebagai rujukan tertinggi untuk memecahkan masalah-masalah
dalam kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks dan
menentang. Dalam kaitannya dengan hal ini, Fazlur Rahman
menawarkan metode sistematisnya dalam memahami dan
menafsirkan Al-Qur’an. Metode itu terdiri dari dua gerakan
ganda yaitu dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan
dan kembali lagi ke masa kini.
Kedua, memberikan materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara
historis, kritis dan holistik, yang meliputi: Teologi, hukum etika,
ilmu-ilmu sosial dan filsafat.40
4. Pendidik
Pendidik dalam perspektif Islam mempunyai peranan yang
penting dalam proses pendidikan. Sebab dialah yang bertanggung
jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan
perkembangan seluruh potensi anak didik baik potensi afektif,
kognitif maupun psikomotornya. Dan Rahman melihat bahwa
pendidik yang berkualitas dan profesional serta memiliki pikiran
yang kreatif dan terpadu yang mampu menafsirkan hal-hal lama
dalam bahasa yang baru sebagai alat yang berguna untuk idealita
masih sulit ditemukan pada masa modern.
Dalam mengatasi kelangkaan pendidik seperti itu, Rahman
menawarkan beberapa gagasan, pertama, merekrut dan
mempersiapkan anak didik yang memiliki bakat terbaik dan
mempunyai komitmen yang tinggi terhadap lapangan agama
(Islam). Kedua, mengangkat lulusan madrasah yang relatif cerdas
atau menunjuk sarjana-sarjana modern yang telah memperoleh
gelar doktor di universitas Barat dan telah berada di lembaga
keilmuan tinggi sebagai guru besar pada bidang studi bahasa
Arab, bahasa Persi dan sejarah Islam. Ketiga, para pendidik harus
dilatih di pusat studi keislaman di luar negeri khususnya ke Barat.
Keempat, mengangkat beberapa lulusan madrasah yang memiliki

40
Ibid., hlm. 111-112

36 |
pengetahuan bahasa Inggris dan mencoba melatih mereka dalam
tehnik riset modern dan sebaliknya menarik lulusan bidang
filsafat dan ilmu sosial dan memberi mereka pelajaran bahasa
Arab dan disiplin Islam klasik Kelima, Menggiatkan para
pendidik untuk melahirkan karya-karya keislaman secara kreatif
dan memiliki tujuan.

5. Sarana Pendidikan
Atas dasar pengamatan Rahman di beberapa negara Islam
yang dikunjunginya menunjukkan bahwa keadaan perpustakaan
di lembaga pendidikan Islam tersebut masih belum memadai,
terutama jumlah bukunya baik yang berbahasa Arab maupun
Inggris. Untuk mengatasi masalah tersebut Rahman mengusulkan
agar fasilitas perpustakaan harus dilengkapi dengan buku-buku
yang berbahasa Arab dan Inggris.41

F. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia


1. Pemikiran Pendidikan Harun Nasution
Biografi Singkat Harun Nasution
Harun Nasution adalah seorang tokoh pendidikan kenamaan di
Indonesia yang lahir di Pemantang Siantar, Sumatera Utara, pada
hari Selasa 23 September 1919. Ayah beliau bernama Abdul Jabar
Ahmad yang merupakan seorang ulama di daerah Mandailing,
Tanah Bato, Tapanuli Selatan. Dari segi ekonomi, ayahnya adalah
seorang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai
qadhi,hakim agama dan imam masjid di Kabupaten Simalungun.
Karena kemampuannya dalam bidang ekonomi ia berkesempatan
pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah Haji pada saat
masih muda. Dan Ibunya adalah seorang keturunan ulama yang
berasal dari tanah Bato Mandailing, Tapanuli selatan. Pada masa
gadisnya ia pernah bermukim di Makkah dan pandai berbahasa
Arab. Kemudian Harun Nasution adalah anak ke empat dari lima

41
Ibid, hlm. 116.

| 37
bersaudara. Saudara pertama dari Harun Nasution bernama M
Ayyub, kedua M. Khalil, ketiga Sa’idah, dan yang terakhir adalah
Hafsah. Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan
agama senantiasa memberikan kontribusi terhadap dalam
penanaman pendidikan agamanya.42
Dalam dunia pendidikan, Harun Nasution telah menempuh
beberapa pendidikan di Sekolah formal. Ia pertama kali sekolah
dengan masuk pada Sekolah Dasar milik Belanda pada waktu itu
atau yang sering disebut dengan Hollandsch-In-Landshe School
(HIS). Harun Nasution menyelesaikan studinya di sekolah
tersebut selama tujuh tahun dan lulus pada usia 14 tahun. Selama
mengikuti pendidikan di sekolah dasar Belanda tersebut, Ia
berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu
pengetahuan umum. Setelah itu pada tahun 1934 Ia meneruskan
studinya ke Moderne Islamietische Kweekschool (MIK) dan tamat
di sekolah tersebut pada tahun 1937. Sekolah tersebut adalah
sekolah guru menengah swasta pertama modern yang ditempuh
selama tiga tahun. Ia belajar disana dengan bahasa pengantarnya
adalah bahasa Belanda.43
Dalam jenjang pendidikan tinggi, Harun Nasution
berkesempatan untuk menempuh pendidikan di Universitas Al
Azhar Kairo Mesir Fakultas Ushuludin pada tahun 1940. Tidak
hanya bersekolah di Al Azhar saja, Harun Nasution juga
berkesempatan memasuki Universitas Amerika, Kairo dan
memperoleh gelar Bachelor of Art (BA) dalam studi sosial pada
tahun 1952. Selepas mengenyam pendidikan di Mesir, Harun
Nasution kembali ke Indonesia pada tahun 1953, dan di tugaskan
di Departemen Luar Negeri Bagian Timur Tengah kala itu. Selama
tiga tahun sejak tahun 1955 Ia bertugas di Brussel dan banyak
mewakili berbagai pertemuan, terutama karena kemampuannya
bahasa Belanda, Perancis serta Inggris.

42
Herlina Harahap, Pembaharuan Pendidikan Islam Perspektif Harun
Nasution,(Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2016), hlm.35.
43
Ibid., hlm.36

38 |
Setelah itu Harun Nasution melanjutkan perjalanan studinya
ke Mesir tepatnya di Al Dirasah Al Islamiyyah namun terhambat
biaya, maka studinya tidak dapat dilanjutkan. Akhirnya Ia
menerima beasiswa dari Institute Of Islamic Studies McGill di
Montreal Kanada sehingga pada tahun 1962 ia melanjutkan
studinya di Universitas tersebut. Kemudian pada tahun 1965
Harun Nasution berhasil memperoleh gelar Magister of Art (MA)
dalam Studi Islam dengan judul tesisnya The slamic State in
Indonesia : The Rise of The Ideology, The Movement for Its
Creation and The Theory of The Masjumi. Tiga tahun kemudian
tepatnya pada tahun 1968 , Harun Nasution mendapatkan gelar
Doktor (Ph.D)dalam Studi Islam di McGillKanada, dengan
disertasi yang berjudul : The Place of Reason in Abduh’s Theology.
Its Impact on His Theological System and Views44.
Setelah mendapatkan gelar Doktor, pada tahun 1969 Harun
Nasution kembali ke Indonesia dan melanjutkan karirnya sebagai
profesional tenaga pendidikan di IAIN Jakarta. Di samping itu
beliau juga menjabat sebagai tenaga pendidik (dosen luar biasa)
di IKIP Jakarta pada tahun 1970, Dosen di Universitas Nasional
Jakarta tahun 1970, dan Fakultas dosen Sastra di Universitas
Indonesia Jakarta (UNJ) pada tahun 1975. Tidak hanya itu karir
beliau juga merambah pada jajaran jabatan tinggi dii kampus,
beliau menjadi rekor di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 11
tahun (1973-1984), selain itu beliau menjabatsebagai ketua
lembaga pembinaan pendidikan agama di IKIP Jakarta dan
terakhir menjadi dosen Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sejak 1982 hingga akhir hayatnya pada tahun
1998.45

44
Herlina Harahap, Pembaharuan Pendidikan Islam Perspektif Harun
Nasution..., hlm. 37
45
Harun Nasution, Islam Rasional, (Jakarta: Mizan, 1995), hlm. 5.

| 39
Pemikiran Pendidikan Harun Nasution
1. Hakikat Pembaharuan Pendidikan Islam
Menurut Harun Nasution, istilah pembaharuan tidak lepas
dengan kata modernisasi. Dalam bahasa Indonesia, kata modern,
modernisasi, dan modernisme seperti yang terdapat dalam istilah
“aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam modernisasi”.
Modernisme dalam masyarakat Barat berarti aliran,gerakan dan
pemahaman guna mengubah paham-paham adat-istiadat,
institusi-institusi lama untuk diselaraskan atau disesuaikan
dengan suasana yang baru. Di dunia barat pemahaman
modernisme ajaran agama bertujuan untuk menyesuaikan ajaran-
ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan
ilmu pengetahuan dan Falsafah Modern, hal tersebut
menyebabkan adanya Aliran Sekularisme di dunia Barat.46
Dalam pembaharuan Islam yang di gagas oleh Harun
Nasution adalah upaya menyelaraskan antara pembaharuan
pandangan ber Islam dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi di dunia modern.47 Maksudnya adalah pembaharuan
pandangan dalam Islam bukan berarti mengurangi, menambah
atau teks dalam Alquran maupun teks dalam hadits, akan tetapi
Harun Nasution berupaya mengubah atau menyesuaikan
pemahaman atas dua teks tersebut sesuai dengan keadaan
perkembangan zaman.
Pada hakikatnya pembaharuan pendidikan Islam merupakan
usaha reinterpretasi berkelanjutan dan secara eksplisit di tujukan
terhadap mengembangkan fitrah keberagamaan
(religiusity)peserta didik (mahasiswa) agar supaya lebih mampu
dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama
Islam sesuai dengan semangat kemajuan zaman. Implikasi dari
pengertian ini adalah pendidikan Agama Islam merupakan

46
Herlina Harahap, Pembeharuan Pendidikan Islam Perspektif Harun
Nasution,..., hlm. 23
47
Muhammad Husnol Hidayat, Harun Nasution Dan Pembaharuan
Pendidikan Islam..., hlm. 28

40 |
komponen yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa semangat
pembaharuan memosisikan pendidikan Islam sebagai jalur
pengintegrasian wawasan agama dengan bidang-bidang studi
(pendidikan) yang lain. Implikasi lebih lanjut mengenai
pemberharuan Islam adalah, pendidikan agama harus
dilaksanakan sejak usia dini melalui pendidikan keluarga sebelum
anak memperoleh pendidikan dan pengajaranilmu-ilmu yang
lain.48 Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
semangat dari pembaharuan Islam adalah untuk membentuk
terwujudnya insan kamil yang berlandaskan Alquran dan Sunnah.
Dengan demikian diharapkan seseorang yang telah paham
akan gebrakan Harun Nasution tersebut bisa memiliki
pemahaman bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tidak
hanya serta merta langsung dari Allah, tanpa bisa di rasio dengan
akal manusia. Artinya segala fenomena yang terjadi di alam
semesta ini pasti ada hukum kausalitasnya. Memang segala
sesuatu akan terjadi karena takdir Allah namun ada sebab akibat
(kausalitas) yang bisa dinalar oleh pikiran manusia dengan
berlandaskan sumber-sumber Islam baik Alquran dan Assunah.
Misalnya dalam Alquran Qs Azzumar 39;21 diterangkan bahwa
Allah menurunkan hujan dari langit ke muka bumi ini adalah
sebagai sumber-sumber kehidupan bagi makhluk hidup.
Ditinjau dari hal tersebut dengan pemikiran Islam Rasional
yang di gagas oleh Harun Nasution mengantarkan pemikiran
bahwa memang benar Allah lah yang menciptakan adanya hujan
namun lebih dari itu proses terjadinya hujan dari langit dan turun
ke bumi bisa di kaji lebih lanjut dengan rasio manusia. Artinya
terjadinya hujan di muka bumi ini ada sebab akibat
(hukumkausalitas) yangmempengaruhinya. Terjadinya hujan
disebabkan oleh proses kondensasi di awan yang mengubah awan
menjadi molekul air, terjadinya awan disebabkan oleh adanya
proses evaporasi air laut yang kemudian mengubah air menjadi

48
Ibid., hlm. 29.

| 41
awan dan seterusnya hingga menjadi lah siklus hujan. Dari sedikit
gambaran tentang siklus hujan itu menunjukkan bahwa segala
sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pasti ada hukum
kausalitasnya atau hukum sebab akibat.
Harun Nasution juga melakukan sebuah gebrakan dalam
pengembangan sistem pendidikan di bidang akademik khususnya
pendidikan perguruan tinggi. Dalam tradisi akademik perguruan
tinggi Islam di Indonesia, ada tiga perubahan dan pembaharuan
sistem yang diupayakannya yaitu sebagai berikut:
a. Memasukan strategi pembelajaran yang mengasah
kemampuanpemikiran mahasiswa tentang Islam seperti
diskusi dan seminar. Karena sebelumnya sistem
pembelajaran di perkuliahandinilai feodal.
b. b.Harun Nasution menuntut mahasiswanya untuk menulis.
Hal tersebut ditujukan untuk melatih kemampuan
mahasiswa untuk menuangkan ide dan gagasannya tidak
hanya di lontarkan lewat lisan namun ditulis dengan kaidah
penulisan yang sistematis.
c. Mahasiswa dituntut untuk memahami Islam secara
universal. Dominasi pendekatan fiqih selama ini dalam
sistem pengkajian Islam membuat kajian Islam agak
mandek.49

2. Ruang Lingkup Pendidikan


Hubungan antara Agama dan Moral
Hubungan agama dengan moral sangat erat sekali dan
merupakan hal yang esensial. Demikian juga halnya dengan
Islam. Didalam Al-Qu’an banyak terdapat ajaran-ajaran mengenai
akhlak. Dan Nabi Muhammad sendiri menjelaskan bahwa beliau

49
Muhammad Husnol Hidayat, Harun Nasution Dan Pembaharuan
Pendidikan Islam.., hlm. 32

42 |
diutus kedunia ini untuk menyempurnakan ajaran-ajaran
mengenai budi luhur.50
Dalam Pendidikan agama terutama di TK, SD, SMP, SMA,
pendidikan moral inilah rasanya yang perlu diutamakan.
Pelajaran-pelajaran mengenai keagamaan lain, terutama ibadah
sebaiknya dihubungkan dengan pendidikan moral ini. Di
Perguruan tinggi, pendidikan moral masih dapat dilanjutkan,
tetapi disini yang perlu ditekankan adalah pendidikan spiritual
dan pelajaran rasional tentang ajaran agama.51

Kurikulum
Penyusunan kurikulum atau silabus pendidikan agama
disekolah-sekolah umum sebaiknya didasarkan pada hal-hal
berikut:
Untuk TK dan tahun-tahun pertama SD mencakup: (1)
mengenal Tuhan sebagai pemberi dan sumber dari segala yang
dikasihi dan disayangi anak didik (2) berterimakasih atas
pemberian-pemberian itu, (3) pendidikan: jangan menyakiti
orang lain, binatang dan tumbuh-tumbuhan, (4) pendidikan
berbuat baik dan suka menolong orang lain, binatang dan
tumbuh-tumbuhan, (5) pendidikan sopan santun dalam
pergaulan.
Untuk SMP dan selanjutnya meliputi: (1) kenal dan cinta
kepada Tuhan sebagai yang maha Pengasih, Penyayang dan
Pengampun, (2) Ibadah sebagai tanda terimakasih kepada Tuhan
atas nikmat-Nya, (3) memperdalam rasa sosial dan kesediaan
menolong orang lain, binatang dan lain-lain, (4) ajaran dan
didikan tentang akhlak Islam, (5) pengetahuan tentang agama

50
Herlina Harahap, Pembaharuan Pendidikan Islam Perspektif Harun
Nasution, ..., hlm. 109.
51
Ibid., hlm. 110.

| 43
Islam seperti tauhid, fiqh, dan lain-lain, sekadar perlu dan sesuai
dengan perkembangan anak didik.52
Untuk SMP dan SMA mencakup: (1) memperdalam hal-hal
tersebut dalam sub SD di atas, (2) ibadah disini diajarkan sebagai
latihan spiritual sebagai pendekatan terhadap Tuhan Tujuannya
ialah memperoleh kesucian dan ketentraman jiwa, (3)
pengetahuan tentang agama diperdalam dan diperluas, (4)
menanamkan rasa toleransiterhadap mazhab-mazhab yang ada
didalam agama, (5) dedikasi terhadap masyarakat.
Untuk Tingkat PT mencakup: (1) memperdalam rasa
keagamaan dengan pendekatan spiritual dan intelektual, (2)
Ibadah sebagai didikan mahasiswa untuk merendahkan hati,
disamping berpengetahuan tinggi, tidak merasa takabur tapi
sadar bahwa diatasnya masih terdapat Zat yang Maha
Mengetahui dan berkuasa dari manusia manapun, (3)
memperluas pengetahuan agama secara global, (4) memperdalam
rasa toleransi, (5) memperdalam rasa dedikasi terhadap
masyarakat.53

Metode
Karena tujuan utama dari pendidikan Islam adalah
pendidikan moral, maka metode yang sebaiknya dipakai ialah: (1)
Pemberian contoh dan teladan, (2) Nasihat, (3) tuntunan dalam
menyelesaikan persoalan, (4) kerjasama dengan lingkungan, (5)
kerjasama dengan pendidik lainnya, (6) Tanya jawab dalam hal
intelektual.54

Kualitas Pendidik Agama


Menurut Harun Nasution ada beberapa syarat-syarat yang
perlu bagi pendidik agama antar lain: (1) menjadi teladan, (2)
menguasai ilmu pengetahuan, (3) mempunyai pengetahuan yang

52
Ibid., hlm. 111.
53
Ibid., hlm. 112.
54
Ibid, hlm. 113

44 |
luas tentang agama selalin pengetahuan yang menjadi jurusan,
(4) mempunyai pengetahuan yang seimbang dengan
pengetahuan siswa.55

2. Pemikiran Pendidikan Nurcholis Majid


Biografi Singkat Nurcholis Madjid
Nurcholis madjid adalah salah satu seorang cendikiawan
muslim terkemuka di Indonesia. Pemikirannya menjadi pusat
perbincangan banyak kalagan, baik di dalam negeri maupun
diluar negeri. Ia dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal
17 Maret 1939. Riwayat pendidikannya, pagia hari ia sekolah di
sekolah rakyat (SR) dan sorenya di Madrasah milik ayahnya. Pada
usia 14 tahun, ia nyantri di pesantren Darul Ulum, Rejoso,
Jombang. Di pesantren ini, ia memperoleh prestasi-prestasi yang
mengagumkan. Tidak selesai di Darul Ulum, ayahnnya
memindahkannya ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa
Timur.56
urcholish Madjid semula hidup di tengah lingkungaan
keagamaan tradisional yang kental dengan pendekatan
keagamaan yang formalistik yakni di tempat kelahirannya
Jombang. Menjelang dewasa ia meninggalkan kampung
halamannya untuk pindah ke Gontor, sebuah balai pendidikan
Islam yang modern yang memiliki motto pendidikan berbudi
tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas
dengan menikmati pergaulan yang majemuk (plural) baik dalam
segi etnis maupun paham keagamaan para santri di lingkungan
pesantren tersebut.57
Gontor membicarakan pengaruh bagi perkembangan
intelektual Madjid. Padda usia 21 tahun, ia menyelesaikan

55
Ibid, hlm. 114
56
Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam,Jakarta: PT
Grasindo, 2003, hlm. 222.
57
Drs. Muslih Fuadie, Dinamika pemikiran Islam Di Indonesia, Surabaya:
Pustaka Firdaus, 2005, hlm.28.

| 45
studinya di gontor, dan untuk beberapa tahun ia mengajar di
bekas almamaternya. Jika diukur dengan masa sekarang,
pendidikan di Gontor ketika Nurcholis Nyantri di akhir tahun 50-
an, dapat dianggap sebagai pendidikan yang progresif. Jika
dilihat dari ukuran saat itu, gaya pendidikan yang dipelopori
Gontor sangat revoslusioner. Kurikulumm Gontor menghadirkan
perpaduan yang liberal yakni tradisi belajar klasik ddengan gaya
modern Barat, yang diwujudkan secara baik dalam sistem
pengajaran maupun mata pelajarannya. Para santri yang belajar
di Gontor tidak hanya di proyeksikan mampu mengusai bahasa
Arab klasik, tetapi juga bahasa Inggris dengan alasan bahwa
bahasa Inggris merupakan bahasa yang dibutuhkan dalam
menguasai ilmu pengetahuan di masa sekarang. Penguasaan
disini mencakup kefasihan bicara secara lisan, dimana para santri
didorong untuk berkomunikasi antarmereka hanya dengan
bahasa Arab atau bahasa Inggris, dan tidak diperbolehkan
menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia.58
Tamat dari Gontor, Nurchoolis melanjutkan ke IAIN Jakarta,
mengambil bidang bahasa Arab di Fakultas Adab. Predikat
mahasiswa terbaik diperolehnya di IAIN.
Ketika masih kuliah di S-1, dua kali ia dipercaya menjadi
Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebuah
organisasi modern Islam independen di kalangan mahasiswa.
Karena pikiran-pikirannya yang dinamis, ia mandapat sebutan
“Natsir Muda”. Julukan ini seolah-olah menyiratkan satu harapan
kalangan islam modernis akan munculnya tokor penerus
Mohammad Natsir, tokoh Masyumi yang pernah dipercaya
menjadi Perdana Mentri RI. Namun, sejak ia menggulirkan
gagasan-gagasan pembaharuannya yang kontroversial dalam
beberapa kesempatan ditahun 1970, harapan itu menjadi luntur.
Ia tidak lagi dijuluki “Natsir Muda”.59

58
Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, hlm. 223.
59
Ibid., hlm. 223.

46 |
Setelah gelar sarjana diperolehnya, ia melanjutkan ke
Universitas of Chicago, Amerika Serikat. Disana ia berguru
kepada pemikir modern berkebangsaan Pakistan, Fazlur Rahman.
Tahun 1984, ia kembali ke indonesia dengan menyandang gelar
doktor bidang filsafa Islam. Tidak lama kemudian, ia dengan
kawan-kawannya mendirikan klub kajian agama Paramadina,
sebuah lembaga pengkajian islam yang membuka forum-forum
diskusi tentang soal-soal keislaman.60
Nurcholish Madjid adalah salah seorang tokoh pembaru
yang banyak mengemukakan gagasan pembaruan Islam yang
banyak di tentang oleh kalangan Islam tradisionalis.61
Selain sebagai orang yang banyak berkecimpung di
organisasi dan memangku berbagai jabatan, Nurcholish Madjid
juga sebagai seorang penulis yang produktif. Di antara karya
tulisnya yang dapat disebutkan di sini adalah (1) Khazanah
Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987), Islam
Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta, Yayasan
Wakaf paramadina, 1992), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah, (Karya bersama para pakar Indonesia lainnya), (Jakarta,
Yayasan Wakaf paramadina, 1995), Islam Agama peradaban,
Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah,
(Jakarta, Yayasan Wakaf paramadina, 1995), Pintu-pintu menuju
Tuhan, (Jakarta Wakaf Paramadina, 1995), Masyarakat Religius,
(Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997), Kaki Langit
Peradaban Islam, (Jakarta, Yayasan Wakaf paramadina, 1997),
Tradisi Islam Peran Dan Fungsinya Dalam Pembangunan Di
Indonesia, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997), dan

60
Muhamad Wahyuni Nafis, Kesaksian Intelektual, Jakarta Selatan:
Paramadina, 2005, hlm. 184
61
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), hlm.332.

| 47
Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
politik Kontemporer, (Jakarta, Yayasan Wakaf Pramadina, 1998).62
Selain menulis buku, ia juga pernah menerjemahkan buku
Sunah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah
Pembelaan Kaum Suni, karya Mustafa al-Sibai. Hal lain yang
dilakukan Nurcholish Madjid adalah, bahwa ia banyak
mendorong kaum intelektual muda Islam serta memprakarsai
penulisan buku-buku Sejarah Filsafat Islam, karya Madjid Fakhri
yang diterjemahkan oleh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, saudara Mulyadi Kartanegara.
Tidak hanya dalam buku, Nurcholish Madjid juga menulis
berbagai artikel tentang keislaman, politik Islam, moral, dan
sebagainya yang dimuat dalam Harian Kompas, Pelita, Suara
Pembaharuan, Republika, Jurnal Ulumul Qur’an, Panji
Masyarakat, Prisma, Amanah dan lain sebagainya.

Pemikiran Pendidikan Nurcholis Madjid


Gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid sebagaimana
disebutkan di atas adalah bukan hanya mencakup satu bidang
saja, melainkan dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya
masalah doktrin, ilmu pengetahuan dan peradaban. Dari berbagai
pemikirannya ini dapat ditelusuri dan dilacak gagasan dan
konsep yang berkaitan dengan pendidikan. Uraian berikut ini
akan mencoba melihat dan menjajagi pemikiran dan gagasan
Nurcholish Madjid dalam bidang pendidikan Islam.63
Pertama, pembaruan pesantren. Sesuai dengan latar
belakang kehidupannya sebagaimana tersebut diatas, yaitu
sebagai seorang cendikiawan yang dibesarkan di lingkungan
pesantren, Nurcholish Madjid memiliki perhatian tentang
pembaruan pesantren. Gagasan dan pemikirannya tentang
pesantren ini dapat dilihat dari karyanya yang berjudul Bilik-bilik
Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Dalam bukunya ini
62
Ibid., hlm. 324.
63
Ibid, hlm. 326

48 |
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa pesantren berhak, malah
lebih baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi pokoknya
semula, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan
agama.
Kedua, kebangkitan gerakan intelektual di kalangan umat
islam. Pemikiran Nurcholish Madjid dalam bidang pendidikan
juga terlihat dari upayanya membangkitkan rasa percaya diri
pada umat Islam. Caranya antara lain dengan menunjukkan
bahwa umat Islam pernah tampil sebagai pelopor dalam bidang
ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum, serta tampil
sebagai adikuasa. Untuk ini Nurcholish Madjid memperkenalkan
pemikiran para tokoh filosof tingkat dunia, seperti al-Kindi, al-
Asy’ari, al—Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibn
Taimiyah, Ibnu Khaldun, al-Afghani, dan Muhammad Abduh.
Ketiga, pengingkatan pengalaman agama. Menurut
Nurcholish Madjid, bahwa sekarang yang sangat penting untuk
diperhatikan adalah masalah bagaimana agar “taat menjalankan
agama”, tidak berhenti dan terbatas hanya pada pelaksanaan segi-
segi formal simbolik, seperti ibadah, ritual, sakramen,. Namun
sikap taat ini harus ditindaklanjuti dengan amal perbuatan atas
dasar kesadaran mendalam dan menyeluruh akan makna dan
semangat ajaran agama itu.
Keempat, perpustakaan masjid. Menurut Nurcholish
Madjid, kini semakin terasa adanya tuntutan agar masjid-masjid
dilengkapi dengan perpustakaan, dengan simpanan buku-buku
atau kitab-kitab yang bakal mampu memperkaya perbendaharaan
kaum Muslimin. Dalam hubungan ini, ia menghubungkan
dengan kalimat dalam Alquran yang pertama kali diturunkan,
yang isinya perintah membaca. Etos membaca yang dalam umat
Islam begitu besar potensinya harus didorong hingga menjadi
kenyataan. Masjid-masjid diseluruh tanah air dapat merupakan
pusat-pusat kampanye tradisi membaca yang kuat, ditopang oleh
etos Islam bahwa “perintah Allah yang pertama ialah membaca”.
Menurutnya, membaca adalah kegiatan manusia yang paling

| 49
produktif, sebab dengan membaca orang dapat melakukan
penjelajahan bebas kemana-mana, ke daerah-daerah (ilmu
pengetahuan) yang belum dikenal. Membaca adalah kegiatan
memahami apa yang tertulis.
Kelima, pendidikan agama dalam rumah tangga. Menurut
Nurcholish Madjid, bahwa pendidikan agama sesungguhnya
adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik.
Pendidikan agama tidak benar jika dibatasi hanya kepada
pengertian-pengertiannya yang konvensional dalam masyarakat.
Menurut Nurcholish Madjid bahwa pendidikan agama akhirnya
menuju kepada penyempurnaan berbagai keluhan budi.
Keenam, pendidikan akhlak. Sejalan dengan pentingnya
pendidikan agama dalam lingkungan keluarga yang ditekankan
pada pengalaman ajaran agama terkait erat dengan etika, moral
dan akhlak. Untuk ini Nurcholish Madjid memiliki komitmen
terhadap tegaknya etika, moral dan akhlak. Dalam berbagai
kesempatan dalam tuisannya, ia banyak menyinggung
kehancuran suatu bangsa dari sejak zaman klasik yang penyebab
utamanya adalah kehancuran akhlak.
Ketujuh, pesan-pesan takwa. Seiring dengan komitmennya
pada pendidikan keagamaan yang bertumpu pada penanaman
dan pembiasaan akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari,
Nurcholish Madjid banyak mengungkapkan tentang pesan-pesan
takwa. Dengan mengacu pada bagian pertama surat Al-Baqarah,
Nurcholish madjid mengatakan bahwa sifat-sifat utama kaum
bertakwa itu adalah (1) beriman kepada yang gaib; (2)
menegakkan sholat; (3) mendermakan sebagian dari harta yang
dikaruniakan Tuhan kepada mereka; (4) beriman kepada kitab
suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw; (5) beriman
kepada kitab suci yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad
Saw; dan (6) yakni akan Hari Kemudian (Akhirat).
Tidak ada gagasan yang berdiri sendiri di atas angin. Setiap
gagasan baru lahir, ia senantiasa mengundang respon bahkan
polemic. Demikian pula dalam dinamika pemikiran keagamaan,

50 |
hal serupa senantiasa terjadi. Bahkan kemudian tak terhindarkan
lahir ketegangan-keteengan dan konflik, yang muncul mengiringi
perkembangan pemikiran itu. Inilah yang terjadi di sekitar
gagasan-gagasan keagamaan Nurcholish Madjid.64

3. Pemikiran Pendidikan Azyumardi Azra


Biografi Singkat Azyumardi Azra
Azyumardi Azra lahir di Lubuk Alung, Sumatera Barat, pada
tangga l4 Maret 1955. Pendidikan yang ditempuhnya meliputi
Fakultas Ta rbiya h IAIN Ja ka rta pa da ta hun 1982, Master of Art
(M.A.) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah,
Columbia University tahun 1988, Master of Philosophy (M.Phil.)
pada Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan
Doctor of Philosophy Degree (Ph.D) tahun 1992, dengan disertasi
berjudul The Transmission of Islamic Re formism to Indonesia : Ne
twork of Middle Eastern and Malay -Indonesian‘Ulama in the Se ve
nteenth and Eighte enth Centurie s.1 Sejak 2007 sampai sekarang,
sebagai guru besar sejarah; dan Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebelumnya dia adalah Re ktor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah
selama dua periode (IAIN, 1998-2002, dan UIN, 2002-2006).65
Sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam di Indonesia,
Azyumardi Azra juga doktor dan guru besar sejarah, namun
pandangannya terhadap pendidikan Islam tidak diragukan lagi.
Be gitupun dengan pemikiran beliau mengenai pendidikan Islam
itu sendiri.

64
Siswanto, Pendidikan Islam Kontekstual, Surabaya: Pena Salsabila, 2013,
hlm. 151.
65
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Ten gah
Tantangan Milenium III (C et . I: Jakarta: Kencana Prenada Media Group , 2012),
hlm. 232.

| 51
Pemikiran Pendidikan Azyumardi Azra
Dalam uraian berbagai macam sumber, pemikiran Azra
tentang pendidikan pada hakikatnya lebih mengerucut pada
modernisasi pemikiran dan institusi pendidikan Islam. Sehingga
modernisasi rasional, demokratis, toleran terhadap perbedaan,
berorientasi ke depan (future oriented) dan tidak backward
looking ( melihat kebelakang).
Modernisasi pendidikan Islam yang ditawarkan Azra di atas
dengan menekankan perubahan bentuk dan isi pendidikan Islam
di Indonesia menjadi sebuah kebutuhan dan tuntutan zaman.
Artinya lembaga pendidikan Islam yang dulu lebih terpisah dari
pendidikan umum khususnya pada masa pra-kemerdekaan, kini
harus memiliki visi keislaman, kemoderenan dan kemanusiaan
agar compatible dengan perkembangan zaman. Sehingga produk
akhirnya adalah orang yang di dalam dirinya terintegrasi
keislaman, keindonesia dan kemanusiaan.
Karena kecenderungan pada modernitas, maka Azra
merumuskan pendidikan merupakan sebuah proses pemindahan
nilai guna mempersiapkan generasi mudanya mampu
menjalankan kehidupan serta untuk memenuhi tujuan hidup
secara efektif dan efisien. Hal ini menyatakan bahwa meskipun
modernitas menjadi sesuatu yang dibidik namun transfer of value
yang bersumber pada al qur’an dan al sunnah serta
ijtihadmenjadi bagian utama dalam proses pendidikan, sehingga
melalui nilai-nilai tersebut terjadi kesinambungan ajaran Islam di
masyarakat.
Untuk menciptakan lembaga pendidikan Islam yang mampu
memproduk lulusan yang memiliki visi keIslaman, kemoderenan
dan kemanusiaan, tentunya diperlukan kurikulum sebagai
software (perangkat lunak) yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan lingkungannya. Dengan istilah lain perlu adanya
pembaharuan kurikulum pendidikan secara keseluruhan (tidak
hanya kurikulum pendidikan Islam) sesuai dengan tantangan dan
keadaan zaman.

52 |
Pemikiran moderen dalam pendidikan Islam juga perlu
dilakukan melalui koreksi terhadap hasil ijtihad ulama dahulu
yang tidak relevan dan tidak rasional lagi dengan kondisi dan
tuntutan kebutuhan sekarang. Selain itu, moderenisasi
pendidikan menurut Azra juga dilihat dari aspek peserta dalam
lembaga pendidikan Islam harus memiliki kemampuan dan
keterampilan serta ilmu yang dibutuhkan untuk menjawab
tantangan zaman atau kemoderenan (mempunyai keahlian,
kepakaran, pemikiran rasional, future oriented dan sebagainya).
Atau dalam istilah lain tujuan pendidikan Islam adalah
menciptakan insan kamil dan insan taqwa. Secara garis besar
tujuan pendidikan Islam yang diungkapkan oleh Azra yaitu
berpadunya tiga ranah pendidikan dalam diri peserta didik;
kognitif, afektif, dan psikomotor serta terintegrasinya antara
ilmu. Iman dan amal.
Untuk mencapai ranah tujuan tersebut, pembaharuan
kurikulum pendidikan Islam menurut Azra harus bisa lepas dari
dogma-dogma ritual (fiqh-oriented), namun beralih pada
pengembangan wawasan keIslaman yang lain, termasuk wawasan
Islam mengenai kemoderenan, kemajuan ilmu pengetahuan dan
kebagsaan.

4. Pemikiran Pendidikan Abuddin Nata


Biografi Singkat Abuddin Nata
Abuddin Nata, lahir di Bogor, 2 Agustus 1954. Setelah
menamatkan Madrasah Ibtidaiyah Wajib Belajar di Nagrog,
Ciampea Bogor pada tahun 1968, ia melanjutkan pendidikan pada
Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 tahun sambil mondok di
Pesantren Nurul Ummah di alamat yang sama dan tamat tahun
1972. Setelah itu pendidikannya dilanjutkan pada Pendidikan
Guru Agama (PGA) 6 tahun sambil mondok di pesantren

| 53
Jauharatun Naqiyah, Cibeber, Serang, Banten dan tamat pada
tahun 1974.66
Abuddin Nata memperoleh gelar Sarjana Muda (BA) pada
tahun 1979 dan Sarjana Lengkap (Drs) jurusan Pendidikan Agama
Islam pada Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
atau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan tamat tahun 1981. Gelar
Magister (MA) bidang Studi Islam diperoleh pada tahun 1991,
sedang gelar Doktor bidang Studi Islam diperoleh pada tahun
1997 masing-masing dari Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dengan desertasi berjudul Konsep
Pendidikan Ibnu Sina. Pada tahun 1999 sampai dengan awal tahun
2000 berkesampatan mengikuti Visiting Post Doctorate Program
di Institute of Islamic Studies McGill University Montreal Canada
atas biaya Canadian Internasional Development Agency (CIDA)
dengan fokus kajian pada Pemikiran Pendidikan Imam al-
Gazhali.
Karir bidang pekerjaan dimulai sebagai tenaga peniliti lepas
pada Lembaga Studi Pembangunan (LSP) di Jakarta tahun 1981-
1982. Instruktur pada Lembaga Bahasa dan Ilmu Al-Qur`an
(LBIQ) Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 1982-1985, Pengisi
Acara Oborolan Ramadhan (Obor) pada Radio Mustang Jakarta
tahun 1992-1998. Setelah itu, ia bertugas sebagai Dosen Mata
Kuliah Filsafat Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, mulai tahun 1985.
Semasa kuliah, ia tercatat sebagai aktivis antara lain sebagai
Ketua Bidang II Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang
Ciputat (1978-1979), Pengurus Senat Masiswa Fakultas Tarbiyah
(1978-1979), Ketua Badan Pembinaan Kegiatan Mahasiswa
(BPKM) (1980-1981) masing-masing pada Institute Agama Islam
Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Negara-negara yang
pernah dikunjunginya antara lain Saudi Arabia, Canada, Amerika

66
Abuddin Nata, Pafadigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan
Islam, (Jakarta: PT Gramedia, 2001), hlm. 338.

54 |
Serikat, Alaska, Singapore, Hongkong. Jabatan yang pernah
dipegang antara lain sebagai Ketua Jurusan Kependidikan Islam
Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1997-1998),
Pembantu Dekan II Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (1998-1999), dan Pembantu Rektor Bidang Administrasi
Umum IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1999.67
Di tengah-tengah kesibukan beliau dalam menjalankan
aktifitas kesehariannya sebagai dosen, pengisi acara di Radio dan
banyak lagi kesibukan lainnya, beliau masih menyempatkan
waktu untuk menulis karya-karnya, diantara karya beliau, Sejarah
Islam (1990), Ilmu Kalam (1990), Al-Qur`an Hadist (Dirasah
Islamiyah Islam) (1992), Ilmu Kalam Filsafat dan Tasawuf,
(Dirasah Islamiyah Metodologi Studi Islam) (1997), Akhlaq
Tasawuf (1996), Filsafat Pendidikan Islam (1995), Pola Hubungan
Guru Murid (2001), Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (2002),
Manajemen Pendidikan (2003), Pemikiran Pendidikan Islam Abad
Pertengahan (terj) Islamic Educational Thaught in the Midle ages
(2003), Dimensi Pendidikan Spritual Dalam Tradisi Islam (2003),
dan sejumlah entri untuk Entry Ensiklopedi Islam (1989),
Ensiklopedi Islam Indonesia (1993), Entry Ensiklopedi Islam (5
Jilid) (1996), Entry Ensiklopedi Al-Qur`an (1997), Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi (2001), Membangun Pusat
Keunggulan Studi Islam (2002), Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu
Umum (2005), Pembaharuan Tokoh Pendidikan Islam Indonesia
(2005), Perspektif Islam tentang Pendidikan Kedokteran (2005),
Pendidikan dalam Perspektif Hadist, Kajian Tematik al-Qur`an
(2005), serta karya-karya beliau tentang buku-buku Agama Islam
untuk Sekolah Menengah Lanjutan Atas yang juga ditulis pada
tahun (2005).68

67
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama,
2005), hlm. 275.
68
Ibid, hlm. 30

| 55
Pemikiran Pendidikan Abuddin Nata
Gagasan dan pemikiran pendidikan Abuddin Nata dapat
ditelusuri dari berbagai karya dan tulisan beliau di bidang
pendidikan, serta aktifitas beliau di dunia pendidikan,
sebagaimana yang telah diuraikan pada point sebelumnya. Dari
berbagai judul buku yang pernah ditulisnya tersebut, dapat
disimpulkan dan diidentifikasi aspek-aspek pemikiran dan
pendidikan Islam yang dimajukan oleh Abuddin Nata sebagai
berikut:
1. Visi dan Misi Pendidikan Islam
Visi pendidikan Islam menurut Abuddin Nata sesungguhnya
melekat pada visi ajaran Islam itu sendiri yang terkait dengan visi
kerasulan para Nabi, mulai dari Visi kerasulan Nabi Adam Alaihi
as-Salam hingga kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wasallam yaitu membangun sebuah kehidupan manusia yang
patuh dan tunduk kepada Allah serta membawa Rahmat bagi
seluruh alam.69 Visi ini tercantum dalam Al-Qur`an Surah Al-
Anbiya 107.
Sejalan dengan visi pendidikan Islam sebagaimana tersebut
di atas, maka misi pendidikan Islam menurut Abuddin Nata juga
erat kaitannya dengan misi ajaran Islam itu sendiri. Berdasarkan
petunjuk dan Isyarat yang terdapat dalam Al-Qur`an, dijumpai
inforimasi bahwa misi pendidikan Islam terkait untuk
memperjuangkan, menegakkan, melindungi, mengembangkan
dan membimbing tercapainya tujuan kehadiran agama bagi
manusia, Abuddin Nata kemudian menukil pendapat Imam al-
Syathibi bahwa tujuan kehadiran agama Islam adalah untuk
melindungi lima hal yang merupakan hak-hak asasi manusia
yaitu: 1) untuk hidup (al-nafs/al-hayat), 2) hak beragama (ad-din),
3) hak untuk berakal (al-aql), 4) hak untuk memperoleh

69
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensip, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2011) Cet Pertama. hlm. 211

56 |
keturunan/pasangan hidpup (al-nasl), 5) hak memperoleh harta
benda (al-mal).70

2. Tujuan Pendidikan Islam


Abuddin Nata dalam buku Filsafat Pendidikan Islam membuat
struktur perumusan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
a) Tujuan umum yang dikenal pula dengan tujuan akhir.
b) Tujuan khusus, sebagai penjabaran dari tujuan umum.
c) Tujuan perbidang pembinaan, misalnya tujuan dari
pembinaan aspek akal.
d) Tujuan setiap bidang studi sesuai dengan bidang-bidang
pembinaan tersebut.
e) Tujuan setiap pokok bahasan yang terdapat dalam setiap
bidang studi.
f) Tujuan setiap sub pokok bahasan yang terdapat dalam setiap
pokok bahasan.71

Rumusan di atas dimaksudkan oleh Abuddin Nata agar


memudahkan tugas para pemikir dan tugas para pendidik Islam,
karena ketika mereka akan melaksanakan kegiatan pendidikan,
maka sebelum merumuskan bidang kegiatan lain-lainnya,
terlebih dahulu ia harus dapat merumuskan dengan jelas
mengenai sosok manusia yang ingin dihasilkan melalui kegiatan
pendidikannya itu. Rumusan pendidikan tersebut jelas
harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur`an dan Al-Hadist.

3. Dasar-dasar Pendidikan Islam


Yang dimaksud dengan dasar pendidikan Islam menurut
Abuddin Nata adalah pandangan hidup yang melandasari seluruh
aktivitas pendidikan.Karena dasar menyangkut masalah ideal dan
fundamental, maka diperlukan landasan pandangan hidup yang
kokoh dan komprehensif, serta tidak mudah berubah. Lanjut

70
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama,
2005), Cet Pertama, hlm. 35
71
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, hlm. 110

| 57
menurut Abuddin Nata bahwa Al-Qur`an dan Al-Hadist yang
merupakan sumber utama pendidikan Islam telah menguraikan
dengan jelas dasar-dasar pendidikan Islam sebagai berikut:
a) Dasar Tauhid, seluruh kegiatan pendidikan Islam dijiwai
oleh norma-norma Ilahiyahdan sekaligus dimotivasi sebagai
ibadah. Dengan ibadah pekerjaan pendidikan lebih
bermakna, tidak hanya makna material tetapi juga makna
spritual. Dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist, masalah tauhid
adalah masalah yang pokok, Ibnu Ruslan contohnya yang
ditulis oleh Abuddin Nata mengatakan bahwa yang pertama
diwajibkan bagi seorang muslim adalah mengetahui
Tuhannya dengan penuh Tauhid atau keyakinan.
b) Dasar Kemanusian, yang dimaksud dengan dasar
kemanusiaan adalah pengakuan akan hakikat dan martabat
manusia. Hak-hak sesorang harus dihargai dan dilindungi,
dan sebaliknya untuk merealisasikan hak-hak tersebut, tidak
dibenarkan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, karena
setiap muslim memiliki persamaan derajat, hak, dan
kewajiban yang sama. Yang membedakan antara seorang
muslim dengan lainnya hanyalah ketaqwaannya {Qs.Al-
Hujurat 13}.
c) Dasar Kesatuan Ummat Manusia, yang dimaksud dengan
dasar ini adalah pandangan yang melihat bahwa perbedaan
suku bangsa, warna kulit, bahasa dan sebagainya, bukanlah
halangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan ini,
karena pada dasarnya semua manusia memiliki tujuan yang
sama yaitu mengabdi kepada Tuhan {Qs.Ali-Imran 105, Al-
Anbiya 92, Al-Hujurat 112}.Prinsip kesatuan ini selanjutnya
menjadi dasar pemikiran global tentang nasib ummat
manusia di seluruh dunia. Yaitu pandangan, bahwa hal-hal
yang menyangkut kesejahteraan, keselamatan, dan
keamanan manusia, termasuk masalah-masalah yang
berkaitan dengan pendidikan, tidak cukup dipikirkan dan
dipecahkan oleh sekelompok masyarakatatau bangsa
tertentu, melainkan menjadi tanggung jawab antara suatu
bangsa dan bangsa lainnya.

58 |
d) Dasar Keseimbangan, yang dimaksud dengan dasar
keseimbangan adalah prinsip yang melihat antara urusan
dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, individu dan sosial,
ilmu dan amal dan sesterusnya adalah merupakan dasar yang
antara satu dan lainnya saling berhubungan dan saling
membutuhkan. Prinsip keseimbangan ini merupakan
landasan terwujudnya keadilan, yakni adil terhadap diri
sendiri dan adil terhadap orang lain.
e) Dasar Rahmatan Lil Alamin, maksud dari dasar ini adalah
melihat bahwa seluruh karya setiap muslim termasuk dalam
bidang pendidikan adalah berorientasi pada terwujudnya
rahmat bagi seluruh alam,hal ini termaktub dalam Al-
Qur`an Surah Al-Anbiya 107.

4. Pengertian Anak Didik


Menurut Abuddin Nata, anak didik dapat dicirikan sebagai
orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu,
bimbingan, dan pengarahan. Dalam pandangan Islam, hakikat
ilmu adalah milik Allah. Sedangkan proses memperolehnya
dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu dari Allah,
maka membawa konsekuensi perlunya anak didik mendekatkan
diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia
yang disukai Allah.
Adapun akhlaq yang harus dimiliki oleh seorang anak didik,
Abuddin Nata dalam buku Filsafat Pendidikan Islam, mengutip
pendapat Asma Hasan Fahmi bahwa ada empat akhlaq yang
harus dimiliki seorang anak didik, yaitu: 1) Seorang anak didik
harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa
sebelum ia menuntut ilmu, karena belajar merupakan ibadah
yang tidak sah dikerjakan kecuali dengan hati yang bersih.
2) Seorang anak didik harus mempunyai tujuan menuntut
ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keutamaan,
mendekatkan diri kepada Allah dan bukan untuk mencari
kemegahan dan kedudukan; 3) Seorang pelajar harus tabah
dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan bersedia pergi

| 59
merantau; dan 4) Seorang anak murid wajib menghormati
guru dan berusaha agar senantiasa memperoleh kerelaan dari
guru.72
Dari berbagai komponen tersebut dalam pelaksanaannya
harus sesuai dengan prinsip wajib belajar mengajar, pendidikan
berwawasan global, pendidikan untuk semua, integralistik dan
seimbang, sesuai dengan bakat dan minat peserta didik,
menyenangkan dan menggembirakan, berbasis pada riset dan
rencana yang matang, unggul dan profesional, rasional dan
objektif, berbasis pada masyarakat, sesuai dengan perkembangan
zaman, sejak usia dinidan pendidikan terbuka.73

5. Lingkungan Pendidikan Islam


Lingkungan pendidikan Islam adalah suatu institusi atau
lembaga dimana pendidikan itu berlangsung. Lingkungan
Tarbiyah al-Islamiyah di dalamnya terdapat ciri-ciri keislaman
yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan
baik, lingkungan sebagai sebuah tempat kegiatan sesuatu hal,
mendapat pengarahan dan perhatian dari Al-Qur`an al-Kariim,
lingkungan dalam Al-Qur`an dikenal dengan istilah al-qaryah
yang diulanda dalam Al-Qur`an sebanyak 52 kali.
Adapun fungsi likngkungan Tarbiyah Islamiyah antara lain
menunjang terjadinya kegiatan proses belajar mengajar secara
aman, tertib, dan berkelanjutan. Untuk ini, Al-Qur`an memberi
isyarat tentang pentingnya menciptakan suasana saling
menolong, saling menasehati dan seterusnya agar kegiatan yang
dijalankan manusia dapat berjalan dengan baik.
Yang termasuk lingkungan atau tempat berlangsungnya
kegiatan pendidikan Islam terdiri dari rumah, masjid, kutab dan
madrasah, lanjut tentang lingkungan pendidikan Islam, Abuddin
Nata membagi lingkungan pendidikan Islam tiga bagian, Satuan

72
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 135.
73
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, hlm. 214

60 |
Pendidikan Luar Sekolah yaitu lingungan keluarga, Lingkungan
Pendidikan Dalam Sekolah, serta Lingkungan Masyarakat.74

6. Kurikulum Pendidikan Islam


Pendidikan Islam sepanjang sejarah kegemilangannya
memandang kurikulum pendidikan sebagai alat untuk mendidik
generasi muda dengan baik dan menolong mereka untuk
membuka dan mengembangkan kesediaan-kesediaan, bakat-
bakat, kekuatan-kekuatan, dan keterampilan mereka yang
bermacam-macam dan menyiapkan mereka dengan baik untuk
melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi
Adapun ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam, Abuddin Nata
mengutip pendapat Omar Muhammad at-Toumy al-Syaibani
bahwa kurikulum pendidikan Islam memiliki lima ciri yaitu:
a) Menonjolkan tujuan agama dan akhlaq pada berbagai
tujuannya, kandungan, metode, alat, dan tekniknya bercorak
agama.
b) Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya, yaitu
kurikulum yang betul-betul mencerminkan semangat,
pemikiran dan ajaran yang menyeluruh.
c) Bersikap seimbang diantara berbagai ilmu yang dikandung
dalam kurikulum yang akan digunakan.
d) Bersikap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran
yang diperlukan anak didik.
e) Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan dengan minat
dana bakat anak didik.
f) Kurikulum pendidikan Islam selain memiliki ciri-ciri
sebagaimana disebutkan di atas, ia juga memiliki prinsip
yang harus ditegakkan. Al-Syaibany menurut yang dikutip
Abuddin Nata menyebutkan tujuh prinsip kurikulum
pendidikan Islam, yaitu: 1) Prinsip pertautan yang sempurna
dengan agama, 2) Prinsip menyeluruh (universal) pada
tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum, yakni

74
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 172

| 61
mencakup akidah, akal, dan jasmani, 3) Prinsip
keseimbangan yang relatif antara tujuan-tujuan dan
kandungan kurikulum, 4) Prinsip keterkaitan antara bakat,
minat, kemampuan-kemampuan, keterampilan dan
kebutuhan pelajar, 5) Prinsip pemeliharaan perbedaan-
perbedaan individual antara para pelajar, 6) Prinsip
menerima perkembangan dan perubahan sesuai dengan
perkembangan zaman dan tempat, 7) Prinsip keterkaitan
antara berbagai mata pelajaran dengan pengalaman-
pengalaman dan aktifitas yang terkandung dalam
kurikulum.75

7. Evaluasi Pendidikan Islam


Evaluasi pendidikan memiliki kedudukan yang sangat
strategis, karena hasil dari kegiatan evaluasi dapat digunakan
sebagai input untuk melakukan perbaikan kegiatan pendidikan.
Ajaran Islam juga menaruh perhatian yang besar terhadap
evaluasi tersebut. Allah SWT dalam berbagai fiman-Nya dalam
kitab suci Al-Qur`an memberitahukan kepada kita, bahwa
pekerjaan evaluasi terhadap manusia didik adalah merupakan
suatu tugas penting dalam tangkaian proses pendidikan yang
telah dilaksanakan oleh pendidik. Adapun tujuan evaluasi
menurut ajaran Islam, berdasarkan pemahaman terhadap ayat-
ayat Al-Qur`an antara lain dapat disebutkan sebagai berikut: 1)
Untuk menguji daya kemampuan orang manusia beriman
terhadap berbagai macam problema hidup yang dialaminya. 2)
Untuk mengetahui sampai dimana hasil pendidikan wahyu yang
telahditerapkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
terhadap umatnya. 3)Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat-
tingkat hidup keislaman atau keimanan manusia, sehingga
diketahui manusia yang paling muliadi sisi Allah SWT.76

75
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 180
76
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 190

62 |
5. Pemikiran Pendidikan Muhammad M Nuh
Biografi Singkat Muhammad Nuh
Mohammad Nuh, (ahir di Surabaya, Jawa Timur, 17 Juni 1959;
umur 61 tahun adalah Menteri Pendidikan Nasional Indonesia
sejak 22 Oktober 2009 hingga 20 Oktober 2014. Sebelumnya ia
menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (2007–
2009) dan rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Surabaya periode tahun 2003–2006. Setelah turun dari jabatannya
sebagai Menteri Pendidikan Nasional, ia kembali mengajar di
Jurusan Teknik Elektro dan Teknik Biomedik, kampus Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Mohammad Nuh adalah anak ketiga dari 10 bersaudara.
Ayahnya H. Muchammad Nabhani, adalah pendiri Pondok
Pesantren Gununganyar Surabaya. Ia melanjutkan studi di
Jurusan Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya,
dan lulus tahun 1983.77
Mohammad Nuh mengawali kariernya sebagai dosen Teknik
Elektro ITS pada tahun 1984. Ia kemudian mendapat beasiswa
menempuh magister di Universite Science et Technique du
Languedoc (USTL) Montpellier, Prancis. Mohammad Nuh juga
melanjutkan studi S3 di universitas tersebut.
Nuh menikah dengan drg. Layly Rahmawati, dan ia
dikaruniai seorang puteri bernama Rachma Rizqina Mardhotillah,
yang lahir di Prancis.
Pada tahun 1997, Mohammad Nuh diangkat menjadi
direktur Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) ITS.
Berkat lobi dan kepemimpinannya, PENS menjadi rekanan
tepercaya Japan Industrial Cooperation Agency (JICA) sejak tahun
1990.
Pada tanggal 15 Februari 2003, Mohammad Nuh dikukuhkan
sebagai rektor ITS. Pada tahun yang sama, Nuh dikukuhkan
sebagai guru besar (profesor) bidang ilmu Digital Control System
77
http://www.profilpedia.com/2015/12/mohammad-nuh.htm

| 63
dengan spesialisasi Sistem Rekayasa Biomedika. Ia adalah rektor
termuda dalam sejarah ITS, yakni berusia 42 tahun saat menjabat.
Semasa menjabat sebagai rektor, ia menulis buku berjudul
Strategi dan Arah Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (disingkat Indonesia-SAKTI).
Selain sebagai rektor, Mohammad Nuh juga menjabat
sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
Jawa Timur, Pengurus PCNU Surabaya, Sekretaris Yayasan Dana
Sosial Al Falah Surabaya, Anggota Pengurus Yayasan Rumah Sakit
Islam Surabaya, serta Ketua Yayasan Pendidikan Al Islah
Surabaya. Mohammad Nuh juga dikenal sebagai seorang Kiayi,
sering memberi ceramah dan khutbah jumat di berbagai masjid
di Surabaya dan dikenal sebagai Ulama.

Pemikiran Pendidikan Muhammad Nuh


Dari hasil bacaan penulis, konsep pendidikan M. Nuh
mengacu kepada hakikat pendidikan. Menurutnya, pendidikan
pada hakikatnya bertujuan untuk menghilangkan tiga penyakit
masyarakat, yaitu mengilangkan kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan peradaban.78
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dimanifestasikan
dalam konsep Tazkiyah (attitude), Tilawah (pengetahuan) dan
Ta'alim (keterampilan). Pada saat itu saya menemukan surat yang
menerangkan tentang tilawah, tazkiyah dan ta'alim ini, saya baca
berulang-ulang surat ini. Saya pikir inilah yang saya cari-cari
selama ini,” jelas Nuh.79 “Sikap kita sudah jelas. Yaa Bunaya irham
ma'ana, wala takunu ma'al kafiriin. Maka janganlah ikuti jalan
orang-orang yang menentang," lanjut Nuh.

78
https://edukasi.kompas.com/read/2013/05/04/21062649/Ini.Penjelasan.M.
.Nuh.Tentang.Kurikulum.2013
79
Ibid

64 |
6. Pemikiran Pendidikan Anis Baswedan
Biografi Singkat Anies Baswedan
Anies Rasyid Baswedan, lahir di Kuningan, Jawa Barat 7 Mei
1969. Anies Baswedan merupakan cucu dari AR Baswedan,
pejuang pergerakan nasional yang pernah jadi Menteri
Penerangan masa awal kemerdekaan Indonesia. Beliau anak
pertama Drs. Rasyid Baswedan (Dosen Fak Ekonomi UII) dan
Prof. Dr. Aliyah Rasyid (Dosen Fak Ilmu Sosial, UNY). Pendidikan
Anies Baswedan dimulai dari TK Masjid Syuhada dan
melanjutkan ke SD Laboratori, Yogjakarta. Selulus dari SMP
Negeri 5 Yogjakarta, Anies Baswedan melanjutkan pendidikannya
ke SMA 2 Yogjakarta, beliau terpilih sebagai ketua OSIS di
sekolahnya. Selama menempuh pendidikan menengah atas ini,
beliau sempat terpilih untuk mengikuti program pertukaran
pelajar sisa Indonesia-Amerika yang diselenggarakan AFS80, 1
tahun SMA-nya di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat (1987-
1988). Beliau kemudian melanjutkan kuliah di UGM.
Pada 2007, Anies Baswedan menjadi rektor termuda di
Indonesia (38 tahun) saat terpilih sebagai Rektor Universitas
Paramadina. Aines Baswedan menggagas Paradima Fellowship.81
Program ini merekrut anak-anak terbaik dari mana saja untuk
berkuliah di Universitas Paradima secara gratis. Anies Baswedan
juga menggagas pengajaran anti korupsi dengan membuat mata
kuliah wajib Anti korupsi. Sebelum menjabat sebagai Menteri

80
AFS Intercultural Program, Inc. adalah suatu organisasi non-
governmental dan non-profit berbasis internasional yang menjadi wadah untuk
memberikan kesempatan bagi para siswa yang ingin belajar dan memahami lebih
jauh mengenai perbedaan budaya dengan tujuan untuk menciptakan perdamaian
dunia. Melalui organisasi ini, para siswa akan dikirimkan ke berbagai negara
untuk tinggal selama kurang lebih satu tahun bersama host family dan belajar di
sekolah lokal. Tidak hanya itu, para siswa yang dikirim untuk program ini juga
diharapkan dapat mempromosikan budaya serta nilai-nilai dari negara asalnya.
Negara tujuan program AFS ini sangat beragam, mulai dari Negara-negara di
benua Asia, Eropa, hingga Amerika.
81
Suatu beasiswa dimana merekrut anak-anak terbaik dari mana saja
untuk berkuliah di Universitas Paradima secara gratis

| 65
Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan sudah cukup
dikenal oleh masyarakat. Beliau adalah salah satu tokoh yang
sangat peduli terhadap masa depan republik ini. Melalui buku
berjudul “Merawat Tenun Kebangsaan”, Anies Baswedan telah
menuangkan gagasannya terkait persoalan yang sedang dihadapi
republik ini. Ada tiga isu besar yang ia tuangkan dalam karya
barunya, yaitu masalah kepemimpinan, demokrasi dan terakhir
pendidikan. Terkait persoalan kepemimpinan, Anies Baswedan
mengatakan bahwa negeri ini butuh pemimpin yang siap untuk
“lecet-lecet” melawan status quo yang merugikan rakyat, berani
bertarung melunasi semua janjinya.82

Pemikiran Pendidikan Anies Baswedan


Setelah menjabat sebagai menteri pendidikan, Anies
mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia pada hakikatnya
berada pada posisi sudah sangat gawat. Ketika dilihat dari jumlah
sekolah, mahasiswa dan sarana pendidikan lainnya sejak era
kemerdekaan tampak meningkat dan berprestasi secara
kuantitas. Seiring dengan perihal tersebut Anies memiliki
kekhasan pemikiran diantaranya83:
Pertama, melunasi janji kemerdekaan. Menurut Anies
memperoleh kesempatan pendidikan dan peran global
merupakan salah satu janji atas kemerdekaan RI. Karena sifatnya
bukan sebatas cita-cita tetapi lebih dipahami sebagai janji maka
sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum terlunasi janji
kemerdekaannya. Perihal ini tampak pada belum meratanya
pendidikan diperoleh setiap anak bangsa. Bagi Anies pelunasan
janji itu tidak hanya tanggung jawab konstitusional negara dan
pemerintah melainkan tanggung jawab moral setiap anak bangsa
yang telah mendapat pelunasan janji yakni telah terlindungi,

82
Gun Gun Heriyanto dan Iding Rosyidin, 10 Tokoh Transformatif
Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2015), hlm. 8-10
83
Ibid, hllm. 12

66 |
tersejahterakan, dan tercerdaskan.84 Untuk melunasi janji
kemerdekaan tersebut, maka Anies Baswedan memiliki beberapa
pemikiran dan inisiatif yang is wujudkan dengan beberapa pihak
yang bersama-sama bersedia turun tangan. Selain aspek
pendidikan, salah satu janji kemerdekaan yang banyak
mendapat perhatian saat ini adalah soal janji perlindungan untuk
setiap warga negara. Hal ini terkait dengan beberapa tindakan
yang mendiskriminasikan minoritas. Menurut Anies Baswedan
Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara.la
mengilustrasikan Republik ini sebagai sebuah tenun kebangsaan
yang dirajut dari kebhinekaan suku, adat, agama, keyakinan,
bahasa, geografis yang sangat unik. Kekerasan atas nama
apapun akan merusak tenun tersebut. Dalam soal perlindungan
terhadap warga negara atas kekerasan yang kerap terjadi menurut
Anies Baswedan dilihat sebagai warga negara menyerang warga
negara lainnya, terjadi bukan soal mayoritas lawan minoritas.
Menurutnya negara tidak bisa mengatur perasaan, pikiran,
ataupun keyakinan warga negaranya. Namun, negara sangat bisa
mengatur cara mengekspresikannya. Dialog antar pemikiran
setajam apapun boleh, namun begitu berubah jadi kekerasan
maka pelakunya berhadapan dengan negara dan hukum.
Kedua, pendidikan sebagai eskalator ekonomi. Menurut
Anies saat ini pendidikan menjadi eskalator sosial ekonomi
masyarakat Indonesia bahwa naiknya status sosial ekonomi
seseorang sangat ditentukan oleh pendidikan tinggi yang
dimilikinya. Akan tetapi karena mahalnya biaya pendidikan dan
terbatasnya jenjang perguruan tinggi berdampak pada tidak bisa
dinaikinya eskalator ini. Atas permasalahan tersebut, Anies
Baswedan menelurkan beberapa inisiatif pendidikan yang
menciptakan perubahan positif di masyarakat.
Diantara beberapa inisiatif Anies adalah sebagai berikut:

84
Safrudin Azis, Pemikiran Pendidikan Islam.....hlm. 328

| 67
1. Indonesia Menyala
Program Indonesia Menyala pertama kali diluncurkan pada
15 April 2011. Program ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan
mayoritas masyarakat Indonesia yang masih kekurangan bahan
bacaan yang bermutu. Sehingga perlu membangun perpustakaan-
perpustakaan yang bertempat di wilayah penempatan pengajar
muda Adapun perpustakaan Indonesia Menyala terdiri dari dua
bentuk yakni perpustakaan tetap dan perpustakaan berputar.
Perpustakaan tetap yaitu perpustakaan yang berisikan buku yang
hanya digunakan di satu sekolah penempatan. Sedangkan,
perpustakaan berputar berbentuk sebuah tas yang dibawa keliling
oleh Pengajar Muda untuk dibaca oleh masyarakat sekitar.
Program Indonesia Menyala menghilangkan sekat besar akses
terhadap bacaan yang terbatas pada masyarakat masyarakat
pedesaan di Indonesia, sehingga semakin meneguhkan bahwa
pendidikan adalah hak yang harus diterima oleh setiap
masyarakat.85

2. Menciptakan Kelas Inspirasi


Kelas inspirasi adalah sebuah program pendidikan dengan
mengundang para profesional sukses karena pendidikannya,
untuk berbagi cerita dan pengalaman kerja selama satu hari.
Tujuan program ini tidak lain untuk membekali peserta didik
belajar dari secara langsung dari para profesional sukses serta
efek balik dari para profesional khususnya kelas menengah untuk
memahami realita dan fakta kondisi pendidikan kita. Kelas
inspirasi juga tampaknya menjadi agenda silaturahmi antara
sekolah dengan para profesioal kelas menengah. Sehingga
diharapkan melalui kegiatan itu mampu mendorong peran aktif
kalangan profesional dalam dunia pendidikan.

85
http://www.indonesiamengajar.org Tentang Indonesia Menyala

68 |
3. Menciptakan program Indonesia Mengajar.
Program Indonesia Mengajar pada hakikatnya dilandasi oleh
semangat janji kemerdekaan RI sebagaimana tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Karena hingga saat ini masih banyak masyarakat Indonesia
yang belum menikmati pendidikan yang disebabkan atas
tidak terdistribusinya pendidik yang tidak merata. Selain itu,
program ini juga bertujuan mengirimkan anak-anak muda terbaik
bangsa yang disebut sebagai Pengajar Muda (PM) untuk
mengajar selam.a satu tahun di Sekolah Dasar di desa-desa
terpencil di penjuru negeri. Tak hanya mengajar para PM juga
berinteraksi langsung dengan pemangku kepentingan di daerah
dan masyarakat. Selanjutnya program-ini juga bertujuan
menciptakan calon pemimpin yang memiliki pemahaman akar
rumput dan kompetensi global. Pentingnya program tersebut
sejak tahun Indonesia Mengajar telah memberangkatkan lebih
dari 200 PM ke 17 kabupaten yang tersebar dari barat sampai
timur Indonesia. 86

4. Pemikiran tentang Kualitas Manusia Indonesia


Menurut Anies garda terdepan untuk mernperoleh
kemenangan bukan ditentukan oleh Sumber Daya Alam
semata. Tetapi kualitas manusia. Ia menggunakan istilah kualitas
manusia bukan kualitas sumber daya manusia. Hal tersebut
dikarenakan manusia Indonesia tidak boleh dipandang se-
mata-mata sebagai sumber daya. Kualitas manusia ini hanya
bisa diraih lewat pendidikan yang berkualitas. Pendidikan
berkualitas itu sebab utamanya bukan karena gedung, buku,
kurikulum atau bahasa yang berkualitas. Untuk mendorong hal
tersebut menurutnya kepemimpinan yang dibutuhkan adalah
kepemimpinan yang menggerakkan manusia Indonesia.
Kepemimpinan yang menginspirasi, bukan mendikte. Kepe-
mimpinan yang bersifat patron-client tidak lagi cocok untuk
86
Ibid

| 69
kondisi Indonesia saat ini. Yang lebih cocok menuru Anies
adalah kepemimpinan yang mampu membuat orang bergerak,
turun tangan dan berkontribusi untuk menyelesaikan masalah.

5. Pemahaman Akar Rumput dan Kompetensi Global


Salah satu janji kemerdekaan adalah janji berperan dalam
tingkat global. Menurut Anies Baswedan dahulu pada saat
Sumpah Pemuda misalnya seorang Jawa atau Sunda menjadi
Indonesia tanpa kehilangan Jawa atau Sundanya, sekarang
kesadaran seperti itu adalah bahwa kita juga warga dunia.
Menurutnya kesadaran yang saat ini diperlukan adalah
kesadaran melampaui Indonesia (beyond Indonesia). Kepada para
mahasiswa Anies sering mengatakan kompetitor mereka bukan
lagi dari Universitas yang berada di negeri ini. Kompetitor
mahasiswa itu adalah lulusan Melbourne, AS, Tokyo, dan lain-
lain yang memiliki kemampuan bahasa, ilmu pengetahuan, dan
jaringan internasional. Menurutnya yang penting untuk dimiliki
saat ini adalah kompetensi yang bersifat global dan pemahaman
akan permasalahan akar rumput yang nyata terjadi di masyarakat.
Istilah yang kerap ia kemukakan adalah grass roots understanding
and world class compotences. 87

6. Pendidikan Antikorupsi
Menurut Anies budaya anti korupsi tepat untuk dimulai,
dari dunia pendidikan. Proses ini dapat dilakukan melalui
upaya penanaman nilai anti korupsi oleh guru saat proses
belajar mengajar di sekolah88. Melalui program ini guru sebagai
pengajar bertugas sebagai sumber teladannya. Dengan ketela-
danan diharapkan mampu mencerminkan sikap anti korupsi bagi
peserta didik. Selain keteladanan, membangun budaya anti

87
Pemahaman akar rumput dan kompetensi tingkat dunia
88
Kompas, 28 Oktober 2009. Kesadaran Melampaui Batas

70 |
korupsi juga bisa dilakukan dengan cara-cara yang inovatif dan
kreatif namun tetap menyenangkan89
Selain pemikiran di atas, terdapat pemikiran pendidikan lain
yang lain yang masih hangat dibenak banyak orang, yakni Anis
sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru
melakukan langkah cerdas, salah satunya:
Biarkan kurikulum 2013 berjalan secara lentur, Dalam
pengolahan dan pelaporan hasil evaluasi, sekolah yang memang
sudah memiliki perangkat T'I yang memadai, terapkan kurikulum
2013. Sekolah yang belum memiliki perangkat TI, pengolahan
nilai dan sistem pelaporan bisa menggunakan cara manual,
seperti cara pada KTSP. Kurikulum 2013 secara filosofis pada
hakikatnya memiliki landasan yang kuat. Karena kurikulum 2013
memang dirancang untuk mempersiapkan generasi emas serta
mengantisipasi berkembangnya TI yang telah melanda
masyarakat dan tentu saja melanda dunia pendidikan. Akan
tetapi implementasi kurikulum 2013 ini dilakukan secara tergesa-
gesa karena baru diluncurkan menjelang akhir jabatan
Muhammad Nuh. Adapun perangkat TI dan semacamnya
tampaknya belum dipersiapkan kelengkapannya di tiap sekolah.
Padahal kurikulum 2013 ini penekanannya pada belajar mandiri
dan pemanfaatan TI.90

89
Anies, Baswedan, Budaya Anti Korupsi di Mulai dari Sekolah, www.
Republika.co.id.
90
Edi Sumanto, Relavansi Pendidikan Islam, hlm. 15

| 71
72 |
A. Makna Pendekatan Sistematik-Holistik
Karakteristik kesisteman (sistemik) Pendidikan, pendidikan
Nasional merupakan satu kesatuan kegiatan dan satuan
pendidikan yang dirancang dan dilaksanakan serta
dikembangkan untuk ikut berusaha mencapai tujuan nasional.
Dalam bahasa pendekatan sistem pendidikan Nasional adalah
sebuah sistem yang menjadi sub sistem dari sistem kehidupan
bernegara kebangsaan untuk mencapai tujuan nasional.
Pendidikan Nasional mempunyai tugas utama agar tiap-tiap
warga negara berhak mendapat pengajaran (UUD 1945, pasal 39).
Untuk membuka kesempatan pendidikan yang seluas-luasnya,
pendidikan Nasional mencakup baik jalur pendidikan sekolah
maupun jalur pendidikan luar sekolah. Sistem pendidikan
Nasional terdiri atas sub sistem pendidikan sekolah dan sub
sistem pendidikan luar sekolah. Sehubungan dengan penyediaan
kesempatan pendidikan yang luas, maka dianut asas pendidikan
seumur hidup.
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan
yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang
individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup
melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan
nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik
sebetulnya bukan hal yang baru.
Beberapa tokoh klasik perintis pendidikan holistik, di
antaranya: Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry
Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel

| 73
dan Francisco Ferrer. Berikutnya, kita mencatat beberapa tokoh
lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik,
adalah : Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John
Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan,
Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham
Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.
Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan
holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan
paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun
1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari
kalangan penganut aliran holistik. Kemajuan yang signifikan
terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan
Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas
California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The
Mandala Society dan The National Center for the Exploration of
Human Potential. Enam tahun kemudian, para penganut
pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar
pendidikan holistik dengan sebutan 3 R’s, akronim dari
relationship, responsibility dan reverence. Berbeda dengan
pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih
diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau di
Indonesia dikenal dengan sebutan calistung (membaca, menulis
dan berhitung).
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu
mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran
yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan
humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik
diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam
arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil
keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan
dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat
mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).

74 |
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka
pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk
memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai
dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau
kemandirian; dan (4) kepercayaan.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi
yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual,
emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses
pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga
menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi
pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan
bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus
dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi
pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan
pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur
pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui
lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5)
pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk
memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit
dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan
fasilitator. Forbes (1996) mengibaratkan peran guru seperti
seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan
menyenangkan.
Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru
bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan.
Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan
individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Gagasan pendidikan holistik telah mendorong
terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin
dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan
pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling,
yang saat ini sedang berkembang, termasuk di Indonesia.

| 75
B. Aspek Ideal Pendidikan Islam
Islam sejak awal kemunculannya telah memperlihatkan
pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia. Ayat pertama
yang diterima Nabi Muhammad adalah Iqra’ yang mengandung
pesan tentang perintah memberdayakan potensi akal yang
dimiliki manusia, dan itu merupakan inti pendidikan dalam
Islam. Namun, perlu diakui bahwa pendidikan Islam ketika itu
belum mempunyai bentuk yang formal dan sistematis, karena
peranan pendidikan pada awal perkembangan Islam masih
sebatas upaya-upaya penyebaran dakwah Islam berupa
penanaman ketauhidan dan praktek-praktek ritual keagamaan.
Keadaan di atas berlangsung sejak Nabi Muhammad masih hidup
hingga sampai pada suatu zaman dimana pemikiran umat Islam
mulai bersentuhan dengan peradaban dan kebudayaan dari luar
Islam (Arab).1 Masuknya filsafat Yunani merupakan faktor yang
sangat dominan bagi perkembangan pemikiran dalam Islam,
termasuk dalam bidang pendidikan.
Pendidikan zaman dulu seharusnya menjadi cerminan untuk
pendidikan masa yang akan datang. Yang baik dari zaman dulu
dan sisi buruknya ditinggalkan. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan solusi menghadapi globalisasi dan perkembangan
zaman yang jauh berbeda dengan zaman dahulu. Filsafat
pendidikan dan pemikiran pendidikan Islam, dalam hal ini harus
turut memberi respon bagi semua perubahan dan perkembangan
itu. Karena filsafat dan pemikiran Islam itu selalu merupakan
akibat dari dua hal yaitu ideologi Islam seperti digambarkan
dalam al-Qur’an dan al-Hadis serta suasana baru yang muncul
dalam dunia Islam (pendidikan) itu sendiri sehingga perlu
dibentuk konsep pendidikan Islam yang ideal yang dapat
menyesuaikan terhadap perkembangan zaman dengan tanpa
melupakan nilai-nilai keagamaan Islam dalam dunia pendidikan.

1
Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan
Pertengahan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 99

76 |
Sebelum membahas tentang aspek ideal pendidikan Islam,
terlebih dahulu membahas apa itu pendidikan? Menurut M.J.
Langeveld; “Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa
membimbing yang belum kepada kedewasaan.” Ahmad
D.Marimba, merumuskan pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya keperibadian
yang utama.2
Demikian dua pengertian pendidikan dari sekian banyak
pengertian yang diketahui. Dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989, “pendidikan
dirumuskan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi
perannya di masa yang akan datang”. Sedangkan, “pendidikan
dalam pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atau
semua usaha generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan)
pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilan-
nya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan
mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah
maupun rohaniah.3
Pendidikan Islam ideal adalah membentuk manusia yang
bertaqwa kepada Allah SWT, mampu menggunakan logikanya
secara baik, berinteraksi sosial dengan baik dan bertanggung
jawab. Dengan kata lain, pendidikan Islam ideal adalah
membina potensi spiritual, emosional dan intelegensia secara
optimal. Ketiganya terintegrasi dalam satu lingkaran.
Aktifitas pendidikan Islam pada dasarnya merupakan upaya
dalam mewujudkan spirit Islam, yaitu suatu upaya dalam
merealisasikan semangat hidup yang dijiwai oleh nilai Islami.
Selanjutnya spirit tersebut digunakan sebagai pedoman hidup.

2
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-
Ma’arif, 1974), Cet.III, hlm. 20.
3
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),
Cet. II, hlm. 2

| 77
Spirit Islam ini berakar dalam teks-teks suci Al-Qur’an yang
disampaikan Allah kepada Muhammad SAW. Sebagai Kitab Suci
agama Islam, Al-Qur’an mengintroduksikan dirinya sebagai
‘pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus’ (QS. 17: 19), petunjuk-
petunjuknya bertujuan memberikan kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi manusia baik secara pribadi maupun kelompok,
dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam
kedua bentuk tersebut. Rosul sebagai penerima Al-Qur’an
bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut,
menyucikan dan mengajarkannya kepada manusia (QS 67: 3).
Menyucikan dapat diidentikan dengan mendidik (menjadikan
seseorang bersih/suci), sedangkan mengajar tidak lain kecuali
mengisi jiwa anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan
dengan alam fisik dan metafisik.
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian
dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah SWT
sejalan dengan tujuan penciptaan manusia sebagaimana yang
ditegaskan oleh Al-Qur’an dalam Surat Al-Dzariat 56 ‘aku tidak
menciptakan manusia dan Jin kecuali untuk menjadikan tujuan
akhir atau hasil segala aktifitasnya sebagai pengabdian kepada-
Ku’. Aktifitas yang dimaksudkan disini tersimpul dalam
kandungan ayat 30 Surat Al-Baqarah ‘sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi’ dan Surat Hud 61 ‘ dan
Dia (Allah) menciptakan kamu (manusia) dari bumi (tanah) dan
menugaskan kamu memakmurkan’. Maksud dari ayat ini, manusia
yang dipercaya oleh Allah sebagai khalifah itu bertugas
memakmurkan atau membangun bumi ini sesuai dengan konsep
yang ditetapkan oleh yang menugaskan (Allah).
Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan
dalam Al-Qur’an adalah membina manusia secara pribadi dan
kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai
hamba Allah dan khalifah-Nya guna membangun dunia ini sesuai
dengan konsep yang ditetapkan oleh Allah. Dari uraian tersebut
juga dapat dirumuskan konsep pendidikan Islam sebagai berikut :

78 |
1. Pendidikan dalam konsepsi ajaran Islam merupakan
manifestasi dari tugas kekhalifahan ummat manusia di muka
bumi. Manifestasi ini akan bermakna fungsional jika seluruh
fenomena kehidupan yang muncul dapat di beri batasan-
batasan nilai moralitasnya, sehingga tugas kekhalifahan itu
tidak justru berada di luar lingkar nilai-nilai itu. Dan
konsekuensinya, mengisyaratkan kepada manusia agar
dalam proses pendidikannya selalu cenderung pada ajaran-
ajaran pokok dari sang Pendidik yang paling utama dan
pertama, yaitu Allah sebagai rabb al-‘alamiin dan sekaligus
sebagai rab an-naas.
2. Pendidikan Islam memahami alam dan manusia sebagai
totalitas ciptaan Allah, sebagai satu kesatuan, di mana
manusia yang diberi otoritas relatif untuk mendayagunakan
alam, tidak bisa terlepas dari sifat ar-rahman dan ar-rahim
Allah yang termasuk sifat ke-rubbubiyyahan-Nya. Oleh
karena itu pendidikan sebagai bagian pokok dari aktifitas
pembinaan hidup manusia harus mampu mengembangkan
rasa kepatuhan dan rasa syukur yang mendalam kepada
Khaliq-nya. Sehingga beban tanggungjawab manusia tidak
ditujukan kepada selain Allah. Inilah sebenarnya makna
tauhid yang mendasari segala aspek pendidikan Islam.
3. Atas dasar ketauhidan tersebut, pendidikan Islam haruslah
mendasarkan orientasinya pada penyucian jiwa, sehingga
setiap diri manusia mampu meningkatkan dirinya dari
tingkatan iman ke tingkatan ikhsan yang mendasari seluruh
kerja kemanusiaannya (amal sholeh).
Dari orientasi pendidikan Islam ini, maka asas pendidikan
Islam tidak lain adalah berupaya mengefektifkan aplikasi-aplikasi
nilai-nilai agama yang dapat menimbulkan transformasi nilai dan

| 79
pengetahuan secara utuh kepada manusia, masyarakat, dan dunia
pada umunya4
Al-Syaibany menyatakan bahwa pendidikan Islam harus
mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya sesuai
dengan ruh (spirit) Islam;
2. Berkaitan dengan realitas masyarakat dan kebudayaan serta
sistem sosial, ekonomi, dan politiknya;
3. Bersifat terbuka terhadap segala pengalaman yang baik
(hikmah);
4. Pembinaannya berdasarkan pengkajian yang mendalam
dengan memperhatikan aspek-aspek yang melingkungi;
5. Bersifat universal dengan standar keilmuan;
6. Selektif, dipilih yang penting dan sesuai dengan ruh agama
Islam;
7. Bebas dari pertentangan dan persanggahan antara prinsip-
prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya; dan
8. Proses percobaan yang sungguh-sungguh terhadap
pemikiran pendidikan yang sehat, mendalam dan jelas.
Selain itu, menurut Malik Fajar, pendidikan Islam harus
memenuhi 4 tuntutan sebagai berikut :
1. Kejelasan cita-cita dengan langkah-langkah operasional di
dalam mewujudkan cita-cita pendidikan Islam.
2. Memberdayakan kelembagaan dengan menata kembali
sistemnya.
3. Meningkatkan dan memperbaiki manajemen.
4. Meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM).
Dalam pelaksanaan pendidikan Islam, dalam menunjang
pendidikan Islam dan penyelesaian problem pendidikan sangat

4
Syamsul Arifin, dkk. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan,
(Yogyakarta: Si Press, 1996), hlm. 166-167

80 |
berkaitan dengan masalah bidang lainnya, seperti ekonomi,
hukum, sosial dan politik. Tidak bisa menyelesaikan masalah
pendidikan hanya dari satu sudut bidang pendidikan semata,
karena hasil pendidikan siswa disekolah sangat dipengaruhi juga
oleh lingkungan dan keluarganya, maka solusinya harus bersifat
revolusioner yaitu merubah secara total paradigma berpikir dan
bersikap dari pola pikir dan pola sikap dari kapitalis menjadi pola
berpikir Islam.
Di masyarakat kita saat ini berkembang persepsi kapitalis,
semisal sekolah bertujuan dapat kerja, sekolah biar jadi orang
kaya, sekolah sekedar mengisi waktu luang atau dari pada
menganggur. Pelajaran ekonomi misalnya, mengajarkan: demi
keuntungan sebesar-besarnya, dengan pengorbanan sekecil-
kecilnya.
Kerusakan yang lama ada pada pola pendidikan di negara
Barat sepatutnya ditinggalkan oleh kaum muslimin. Kerusakan
tersebut timbul dikarenakan tidak adanya muatan ruhiyah dalam
penelitian dan pengembangan sains dan teknologinya. Sehingga
dampak yang bisa dirasakan, pola pendidikan tersebut
menghasilkan output berpikir dan bersikap berdasarkan pada
prinsip materialisme dengan menanggalkan prinsip syari’at
Islam.5 Dari sinilah problem sosial kemasyarakatan muncul dan
kerusakan tatanan kehidupan.
Membangun kepribadian islami yang terdiri dari pola pikir
dan pola jiwa bagi umat yaitu dengan cara menanamkan tsaqofah
Islam berupa aqidah, pemikiran, dan perilaku islami ke dalam
akal dan jiwa anak didik. Mempersiapkan generasi Islam untuk
menjadi orang ‘alim dan faqih di setiap aspek kehidupan, baik
ilmu diniyah (Ijtihad, Fiqh, Peradilan, dll) maupun ilmu terapan
dari sains dan teknologi (kimia, fisika, kedokteran, dll). Sehingga
output yang didapatkan mampu menjawab setiap perubahan dan

5
Tim Penulis, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press,
2005), hlm. 53

| 81
tantangan zaman dengan berbekal ilmu yang berimbang baik
diniyah maupun madiyah-nya.6
Kemudian tujuan dari pola pendidikan Islam bisa terlaksana
jika ditopang dengan pilar yang akan menjaga keberlangsungan
dari pendidikan Islam tersebut. Pilar penopang pendidikan Islam
yang dibutuhkan untuk bekerja sinergis terdiri dari :
1. Keluarga
Dalam pandangan Islam, keluarga merupakan gerbang
utama dan pertama yang membukakan pengetahuan atas segala
sesuatu yang dipahami oleh anak-anak. Keluarga-lah yang
memiliki andil besar dalam menanamkan prinsip-prinsip
keimanan yang kokoh sebagai dasar bagi si anak untuk menjalani
aktivitas hidupnya. Berikutnya, mengantarkan dan mendampingi
anak meraih dan mengamalkan ilmu setingggi-tingginya dalam
koridor taqwa. Jadi keluarga harus menyadari memiliki beban
tanggung jawab yang pertama untuk membentuk pola akal dan
jiwa yang Islami bagi anak. Singkatnya, keluarga sebagai cermin
keteladanan bagi generasi baru. Sebagaimana Rasulullah SAW
bersabda :
ّ ‫أو ُي َه‬ ّ َُ ْ َ ّ َ ُ ُ َ َ ْ ْ َ َ ُ َ ْ ُ ْ ُ ْ َ ُّ ُ
– ًِ ‫ج َسا ِى‬ِ
ْ ً‫ِصاى‬
ِ ِ َ ِ ‫لَع ال ِفط َر ِة فأة ََاه يٍ َِدا ِى ًِ أو يي‬ ‫ُك مَلَ ٍد يََل‬
‫رواه ابلخاري‬
“Setiap anak dilahirkan atas fitrah. Maka kedua orangtuanyalah
yang menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nasrani, atau
Majusi.” (HR. Bukhari).

2. Masyarakat
Pendidikan generasi merupakan aktivitas yang berkelanjutan
tanpa akhir dan sepanjang hayat manusia. Oleh karena itu, pola
pendidikan Islam tidak berhenti dan terbatas pada pendidikan

6
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) , (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hlm. 27.

82 |
formal (sekolah), namun justru pendidikan generasi Islami yang
bersifat non formal di tengah masyarakat harus beratmosfer
Islam pula. Kajian tsaqofah islam serta ilmu pengetahuan dan
sarana penunjangnya menuntut peran aktif dari masyarakat pula.
Ada beberapa peran yang bisa dimainkan masyarakat sebagai
pilar penopang pendidikan generasi islami yaitu sebagai controh
penyelenggaraan pendidikan oleh negara dan laboratorium
permasalahan kehidupan yang kompleks..

3. Madrasah/Sekolah/Lembaga Pendidikan
Tempat untuk mengkaji keilmuan lebih intensif dan
sistematis terletak pada Madrasah. Semasa Rasulullah SAW,
masjid-masjid yang didirikan kaum muslimin menjadi lembaga
pendidikan formal bagi semua manusia. Didalamnya tidak
semata-mata membahas ilmu diniyah, namun juga ilmu terapan.
Rasulullah menjadikan masjid untuk menyampaikan ajaran-
ajaran Islam, tapi penyusunan strategi perang pun juga seringkali
dilakukan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat didalam
masjid. Sedangkan dimasa modern saat ini pendidikan bisa
dialihkan yang semula masjid ke tempat dengan fasilitas yang
menunjang dalam proses pembelajaran lebih efektif baik itu
sekolah maupun perguruan tinggi. Hal ini sah-sah saja dan tidak
bisa dianggap sebagai upaya memisahkan anak didik dari masjid.

4. Negara
Negara sebagai pilar penopang bisa mewujudkan pola
pendidikan Islami akan lebih optimal, efektif dan sempurna jika
didukung dengan semua kebijakan yang dikeluarkan terhadap
aspek kehidupan ini berlandaskan syari’at Islam. Peran yang bisa
diambil oleh Negara dalam mewujudkan pola pendidikan Islami
diantaranya:

| 83
1. Seleksi dan kontrol ketat terhadap para tenaga pendidik.
Penetapan kualifikasi berupa ketinggian syakhsiyah
islamiyah dan kapabilitas mengajar. Jika sudah didapatkan
tenaga pendidikan yang sesuai kualifikasi, negara harus
menjamin kesejahteraan hidup para tenaga pendidik agar
mereka bisa focus dalam penelitian dan pengembangan ilmu
bagi anak didik dan tidak disibukkan aktivitas mencari
penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
2. Menyajikan konten pendidikan dengan prinsip al-Fikru li al-
‘Amal (Link and Match/ilmu yang bisa diamalkan). Artinya
jangan sampai isi materi pendidikan tidak membumi (tidak
bisa diterapkan) sehingga tidak berpengaruh dan tidak
memotivasi anak didin untuk mendalaminya.
3. Tidak membatasi proses pendidikan dengan batasan usia
dan lamanya belajar. Karena hakikat pendidikan adalah hak
setiap manusia yang harus dipenuhi oleh Negara. Allah
mengamanahkan penguasa negara untuk benar-benar
memenuhi kebutuhan umat tanpa syarat termasuk
pendidikan.

C. Aspek Real Pendidikan Islam


Ada beberapa aspek-aspek pendidikan Islam. Di kalangan para
ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber pendidikan Islam
yang utama adalah al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan penalaran
atau akal pikiran hanya sebagai alat untuk memahami al-Qur’an
dan Sunnah. Ketentuan itu sesuai dengan eksistensi Islam sebagai
wahyu yang berasal dari Allah Swt. yang penjabarannya dilakukan
oleh Nabi Muhammad Saw.
Menurut Zakiyah Darajat, dikutip dalam Abudin Nata,
bahwa dari segi aspek materi didikannya, pendidikan Islam
sekurang-kurangnya mencakup pendidikan fisik, akal, agama,
(akidah dan agama), akhlak, kejiwaan, rasa keindahan, dan sosial
kemasyarakatan.

84 |
Pendidikan Islam sebagai sebuah sistem adalah suatu
kegiatan yang di dalamnya mengandung aspek tujuan,
kurikulum, guru, metode pendidikan, sarana prasarana,
lingkungan administrasi, dan sebagainya. Antara satu dan yang
lainnya saling berkaitan dan membentuk suatu sistem terpadu.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa aspek
pendidikan Islam itu luas dan komprehensif. Berbagai aspek
materi yang tercakup dalam pendidikan Islam tersebut dapat
dilihat dalam al-Qur’an dan Sunnah serta pendapat para ulama.
Materi pendidikan Islam pada prinsipnya ada dua: materi
pendidikan yang berkenaan dengan masalah keduniaan dan
materi pendidikan yang berkenaan dengan masalah keakhiratan.
Hal ini didasarkan pada kandungan ajaran Islam yang
mengajarkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Selanjutnya, Abudin Nata mengemukakan bahwa aspek
kandungan materi dari pendidikan Islam, secara garis besar
mencakup aspek akidah, ibadah dan akhlak.

1. Akidah
Akidah dalam syariat islam meliputi keyakinan/keimanan
dalam hati kepada Allah, Tuhan yang wajib disemabah; ucapan
dengan lisan dalam bentuk dua kalimah syahadat; dan perbuatan
amal shaleh. Akidah demikian itu, mengandung arti bahwa dari
orang yang beriman tidak hanya ada dalam hati atau ucapan di
mulut dan perbuatan, melainkan secara keseluruhan
menggambarkan iman kepada Allah. Yakni tidak ada niat,
ucapan, dan perbuatan dari orang yang beriman kecuali sejalan
dengan kehendak dan perintah dari Allah serta atas dasar
kepatuhan kepada-Nya.
Dengan begitu, Pendidikan akidah berarti pengesaan Allah,
tidak menyekutukannya, dan mensyukuri segala nikmat-Nya.
Sebagaimana firman Allah. “Dan (ingatlah) ketika Luqman
berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan

| 85
Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-
benar kezaliman yang besar" (QS. Luqman: 13).
Pengajaran agama selama ini kebanyakan mengisi
pengertian. Hasilnya ialah siswa mengerti bahwa tuhan itu Maha
Mengetahui, tetapi mereka tetap saja berani berbohong. Siswa
tahu apa iman, tetapi mereka belum beriman. Ini tragedy
pendidikan agama di sekolah.
Memang, kunci pendidikan agama itu adalah pendidikan
agar anak didik itu beriman, jadi berarti membina hatinya, bukan
membina mati-matian akalnya. Pendidikan di rumah yang
sesungguhnya paling dapat diandalkan untuk membina hati,
membina rasa bertuhan. Iman itu ada di hati bukan dikepala.
Pengetahuan seorang muslim akan eksistensi Allah, akan
melahirkan suatu keyakinan bahwa semua yang ada di dunia ini
adalah ciptaan Allah, semua akan kembali kepada-Nya, dan
segala sesuatu berada dalam urusannya. Dengan demikian, segala
perkataan, perbuatan, sikap, dan tingkah laku akan selalu
berpokok pada modus keyakinan tersebut

2. Ibadah
Pendidikan ibadah mencakup segala tindakan dalam
kehidupan sehari-hari, baik yang berhubungan dengan Allah
seperti shalat, maupun yang berhubungan dengan sesama. Materi
ibadah ini dapat dilihat dari nasehat Luqman sebagaimana
tercantum dalam QS. Luqman/31:17.

             

    

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)


mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.

86 |
Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah).
Pengertian etimologis ibadah adalah pengabdian. Sedangkan
terminologis ibadah yaitu pengabdian yang dimaksud oleh agama
Islam yaitu berserah diri kepada kehendak Allah dan ketentuan
Allah swt. untuk memperoleh ridha-Nya (mardhatillah).7

3. Akhlak
Misi utama Rasulullah dimuka bumi untuk
menyempurnakan akhlak manusia. contoh-contoh utama akhlak
mulia yang diharapkan dari seorang manusia adalah sabar,
syaja’ah (keberanian), al-itsar (mendahulukan kepentingan orang
lain), syukur, jujur, dan amanah.
Cara mendidikkan akhlak yang mulia itu adalah:
1. Mengosongkan hati dari itikad dan kecintaan kepada segala
hal yang bathil.
2. Mengaktifkan dan menyertakan seseorang dalam perbuatan
baik (al-birr) serta melatih dan membiasakan seseorang
dalam perbuatan baik itu.
3. Memberi gambaran yang buruk tentang akhlaq tercela. Dan
menunjukan bukti-bukti nyata sebagai buah dari akhlaq
yang mulia

D. Gap (Kesenjangan) Antara Aspek Ideal dan Real Serta


Anasir/faktor-faktor Gap (kesenjangan) antara
Idealita dan Realita dalam Pendidikan Islam
Pendidikan Islam yang ideal sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, adalah membina potensi spiritual, emosional dan
intelegensia secara optimal. Namun dalam realitasnya,
pendidikan masih lebih banyak terfokus kepada penguatan satu
aspek intelektual atau kognitif. Pendidikan yang membentuk

7
Muh. Ruddin Emang, Pendidikan Agama Islam (Cet.1; Makassar: Yayasan
Fatiya, 2002), hlm. 71

| 87
watak dan kemandirian peserta didik dengan konsep yang ideal
masih dalam tataran teoritis. Dalam praksisnya, pendidikan
belum mampu membentuk watak peserta didik.
Fenomena degradasi moral remaja denga munculnya istilah
yang ironis, seperti “arisan seks” di sebuah kota/kabupaten
menjadi hal yang sangat memilukan. Artinya, antara idealitas dan
realitas terjadi gap (kesenjangan). Satu sisi, lembaga pendidikan,
khususnya pendidikan Islam, gencar melakukan berbagai upaya
dalam membentuk watak, namun di sisi lain, arus budaya atau
bi’ah sayyi’ah (lingkungan negatif) lebih kuat menggerus perilaku
anak didik di luar lembaga yang telah mendidiknya.
Memang tidak dimungkiri, sama halnya dengan pendidikan
umum pendidikan Islam juga “dinilai” memiliki problematika
yang lebih besar lagi. Selain problematika yang telah disebutkan,
kendala kualitas, relevansi, elitisme, dan manajemen. Katakan
saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung
selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan
kebutuhan, perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila
diberi label “embel-embel Islam”, dianggap berkonotasi
kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara
berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam
yang telah menunjukkan kemajuan.8
Hingga kini pendidikan Islam masih saja menghadapi
permasalahan yang komplek, dari permasalahan konseptual-
teoritis, hingga persoalan operasional-praktis. Tidak terselainya
persoalan ini menjadikan pendidikan Islam tertinggal dengan
lembaga pendidikan lainnya, baik secara kuantitatifmaupun
kualitatif, sehingga pendidikan Islam terkesan sebagai pendidikan
“kelas dua”. Tidak heran jika kemudian banyak dari generasi
muslim yang justru menempuh pendidikan di lembaga
pendidikan non Islam.

8
Soeroyo, (1991), Berbagai Persoalan Pendidikan Nasional dan Pendidikan
Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya,
VOL.1,Yogyakarta: Fak. Tarbiyah IAIN SUKA

88 |
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN) menyebutkan pendidikan Islam merupakan sub-sistem
pendidikan nasional. Jadi sistem pendidikan itu satu yaitu
memanusiakan manusia, tetapi pendidikan memiliki banyak
wajah, sifat, jenis dan jenjang, mulai dari pendidikan keluarga,
sekolah, masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program
diploma, sekolah tinggi, institusi, universitas, dsb., dan hakikat
pendidikan adalah mengembangkan harkat dan martabat
manusia, memanusiakan manusia agar benar-benar mampu
menjadi khalifah.9
Pendidikan Islam yang dibanggakan pada perguruan tinggi
yang beralmamater Islam sebenarnya merupakan solusi terhadap
pendidikan sekuler, tetapi pendidikan Islam sekarang ini
dipandang sebagai acuan keterbelakangan dan kemunduran,
bahkan simbol yang sering muncul ke permuakan ketika
berbicara masalah pendidikan Islam adalah pendidikan yang
hanya untuk kalangan garis bawah, bahkan sering disandingkan
dengan teroris. Hal ini tentu tidak benar karena tidak adalembaga
pendidikan Islam yang merumuskan tujuannya untuk
memproduk gerakan-gerakan kekerasan. Namun kondisi yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari banyak pola kekerasan
tersebut yang sering bersandingan mengatasnamakan Islam. Dari
sini mungkin ada kesalah pahaman dalam segi politik, sistem,
proses dan bahkan orientasinya.
Menurut hemat penulis kendala pendidikan Islam jika
dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya dapat berupa:
1. Rumusan yang terlambat dalam menanggapi kemajuan
era sekarang dan akan datang
2. Hanya beroperasi pada bidang sosial dan humaniora
3. Pembaharuan yang tidak bersifat esensial
4. Berorientasi pada masa silam ketimbang masa depan
5. Belum profesional dalam pengelolaan

9
Mastuhu, (2003), Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional
dalam Abad 21, Yogyakarta: Safiria Insani Press dan MSI, 2003), hlm. 84

| 89
E. Pendidikan Holistik-Sistematik; Solusi alternatif
Saat ini banyak model pendidikan yang dibangun
berdasarkan pandangan modern (Cartesian Newtonian) yang
menekankan pada konsep dualism (dikotomik), reductionism
(belajar terkotak-kotak), linier thinking (bukan sistem) dan
positivism (fisik yang utama), materialism (materilistik), saintism
(instrumentalis dan teknologis). Paradigma seperti itu telah
melahirkan berbagai persoalan yang sangat mendasar bagi
pengembangan anak bangsa, khususnya yang paling terasa ialah
telah lahirnya generasi (out put pendidikan) yang berkepribadian
instrumentalistik, materialistik, terkotak-kotak dan sempit serta
terbatas, dan sangat lemah dari segi karakter dan kepribadian
bangsa dan agama.
Atas dasar persoalan mendasar itu, maka salah satu alternatif
paradigma yang dibutuhkan dalam sistem pendidikan saat ini
adalah paradigma pendidikann yang holistik, yaitu pendidikan
yang dibangun berdasarkan asumsi connectedness, wholeness
dan being fully human atau paradigma pendidikan yang
memandang pendidikan sebagai sebuah usaha sadar untuk
mengembangkan potensi manusia (anak didik) sesuai dengan
potensinya masing-masing sebagai manusia yang unik dan
holistik (jasmani dan rohani yang merupakan kesatuan) sebagai
ciptaan Allah yang sempurna.
Meskipun telah muncul kesadaran dan upaya untuk
mewujudkan pendidikan yang dikonsep dan dipraktikkan
berdasarkan paradigma holistik, seperti antara lain tertuang
dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN dan
konsep dan teori pendidikan dan pembelajaran yang banyak
ditawarkan saat ini, seperti konsep quantum teaching and
learning, pendidikan karakter bangsa, pendidikan kepribadian,
dan sebagainya. Akan tetapi, didasari bahwa baik secara konsep
maupun praktek hal ini masih perlu penyempurnaan dari segi
konsep dan model. Begitu juga untuk memunculkan kesadaran
serta kemauan segenap pihak yang terkait, khususnya political

90 |
well dari pemegang kebijakan dan praktisi pendidikan di
lapangan masih perlu ditumbuhkan. Hal ini diperlukan, di
samping untuk memperkuat konsep pendidikan holistik itu
sendiri, juga guna menghadapi berbagai hambatan di lapangan
yang masih tidak sedikit. Sebut saja misalnya konsep kurikulum
dan pembelajaran yang masih didesain atas dasar model
teknologis dan subjek akademik. Begitu juga kebiasaan dan
kemampuan yang telah tertanam lama pada praktisi pendidikan
dalam menjalankan praktek pendidikan dan pembelajaran dalam
bentuk subjek akademik dan teknologis tersebut, suatu
pembelajaran yang lebih banyak atau hanya memperhatikan
pengembangan aspek kognitif tanpa atau kurang sekali
memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik atau praktek
pendidikan yang lebih banyak memperhatikan aspek intelektual
dan kurang sekali memperhatikan aspek emosional, spiritual dan
aspek lainnya. Dalam kata lain, bahwa untuk meninggalkan
begitu saja konsep dan praktik pendidikan yang dikembangkan
atas dasar paradigm Cartesian-Newtonian yang telah
menghegemoni dan telah menjadi sistem yang agak mapan serta
diterapkan begitu lama bukanlah suatu hal yang mudah untuk
dilakakukan, lebih-lebih dalam kondisi ketergantungan diri kita
terhadap sains dan teknologi modern yang hingga saat ini masih
menjadi kebutuhan keseharian.
Terlepas dari persoalan danntantangan tersebut paradigma
pendidikan yang dibangun atas dasar paradigma holistik-sistemik
harus diwujudkan dan pendidikan yang kini terbangun atas
paradigma modern Cartesian-Newtonian yang dualistik,
mekanistik, atomistik, oposisi biner, reifikasi, dan materialistik,
saintivistik, instrumentalistik, dan tekonologis harus
ditinggalkan.

| 91
92 |
A. Pendidikan di Madrasah dirinci menjadi Aqidah
Akhlak, SKI, Fiqh, Bahasa Arab , Al Qur’an Hadist
Bertolak dari asumsi bahwa pendidikan merupakan persoalan
hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan
manusia adalah proses pendidikan seperti yang telah
dikemukakan Lodge, maka pendidikan Islam pada dasarnya
hendak mengembangkan pandangan hidup Islami yang
diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup
orang Islam.
Apa pandangan dan sikap hidup kita. Hal ini bisa dipahami
dari makna hidup itu sendiri yang dalam bahasa arab disebut al-
hayah. Makna al-hayah (hidup) adalah al-harakah (bergerak atau
gerakan/kegiatan), dan al-harakah adalah al-barkah (bergerak
atau beraktivitas yang bisa mendatangkan berkah), dan al-barkah
adalah al-ziyadah (nilai tambah dalam hidup), al-ni’mah
(kenikmatan atau kenyamanan hidup), dan al-sa’adah
(kebahagiaan). Karena itu, pandangan hidup yang
dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup

| 93
seseorang harus bisa mendatangkan berkah, yakni nilai tambah,
kenikmatan, dan kebahagiaan dalam hidup.1
Namun demikian, timbul pula pertanyaan apa saja aspek-
aspek kehidupan itu? Dalam konteks inilah para pemikir dan
pengembang pendidikan Islam mempunyai visi yang berbeda-
beda. Perbedaan tersebut tidak bisa dilepaskan dari sistem politik
dan latar belakang sosio-kultural yang mengitarinya. Secara
historis-sosiologis setidak-tidaknya telah muncul beberapa
paradigma pengembangan pendidikan Islam sebagai berikut:

1. Paradigma Formisme
Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan
sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi. Segala
sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-
laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat,
madrasah dan non madrasah, pendidikan keagamaan dan non
keagamaan atau pendidikan agama dan pendidikan umum dan
begitu seterusnya.2
Pandangan yang dikotomis tersebut pada giliran selanjutnya
dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan
dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani sehingga
pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat
saja atau kehidupan rohani saja. Dengan demikian pendidikan
keagamaan dihadapkan dengan pendidikan nonkeagamaan,
pendidikan keislaman dengan nonkeislaman, pendidikan agama
dengan pendidikan umum. Karena itu, pengembangan
pendidikan hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrowiyang
terpisah dengan kehidupan duniawi. Pendidikan Islam hanya
mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan
ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi
dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi

1
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 39
2
Ibid

94 |
garapan bidang pendidikan umum. Pandangan dikotomis inilah
yang menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan. Istilah
pendidikan agama dan pendidikan umum atau ilmu agama dan
ilmu umum sebenarnya muncul dari paradigma formisme
tersebut.
Paradigma formisme mempunyai implikasi terhadap
pengembangan pendidikan Islamyang lebih berorientasi pada
keakhiratan. Sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting,
serta menekankan pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan yang
merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat,
sementara sains dianggap terpisah dari agama. Demikian pula
pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat pada keagamaan
yang normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan
untuk menjadi perilaku yang loyal, memiliki sikap dan dedikasi
yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu kajian-
kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis,
dianggap dapat menggoyahkan iman sehingga perlu ditindih oleh
pendekatan keagamaan yang normatif dan doktriner tersebut.

2. Paradigma Mekanisme
Paradigma mekanisme memandang kehidupan terdiri atas
berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman
dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang maasing-
masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan
sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-
elemen yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-
sendiri dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling
berkonsultasi atau tidak.3
Jika ditarik pada pendidikan Islam maka paradigma
mekanisme ini membuat pendidikan Islam sebagai salah satu
pendidikan yang dipelajari oleh siswa disamping mempelajari
ilmu-ilmu lain dari pendidikan umum karena pendidikan Islam
dan pendidikan umum adalah merupakan bagian dari sebuah

3
Ibid., hal. 43

| 95
komponen yang menjalankan fungsinya masing-masing. Untuk
pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual
atau dimensi afektif dari pada kognitif dan psikomotor sehingga
berbeda dengan mata pelajaran lainnya. Implikasi dari paradigma
ini adalah pengembangan pendidikan Islam bergantung pada
kemauan, kemampuan, dan political-will dari para pembinanya
dan sekaligus pimpinan dari lembaga pendidikan tersebut,
terutam dalam membangun hubungan kerja sama dengan mata
pelajaran lainnya.

3. Paradigma Organisme
Paradigma organisme bertolak dari pandangan bahwa
pendidikan Islam adalah kesatuan atau sebagai sistem (yang
terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha
mengembangkan pandangan atau semangat hidup Islam, yang
dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup
yang Islami.4
Dalam konteks semacam ini pendidikan Islam berarti
pendidikan dalam Islam dan pendidikan di kalangan orang-orang
Islam. Pengertian ini menggarisbawahi pentingnya kerangka
pemikiran yang dibangun dari doktrin fundamental dan nilai
fundamental yang tertuang dan terkandung dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang sahih sebagai sumber pokok, kemudian mau
menerima kontribusi pemikiran dari para ahli serta
mempertimbangkan konteks historisitasnya. Karena itu nilai
Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang
bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan
sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai relasi horisontal-lateral
atau lateral-sekuensial, tetapi harus berhubungan vertikal-linier
dengan nilai agama.
Model paradigma tersebut tampaknya mulai dirintis dan
dikembangkan dalam sistem pendidikan Islam di Madrasah yang
dideklarasikan sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam.
4
Ibid., hal. 46

96 |
Kebijakan pengembangan madrasah berusaha
mengakomodasikan tiga kepentingan utama, yaitu: sebagai
wahana untuk membina ruh atau praktek hidup keislaman,
memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sederajat
dengan sistem sekolah, sebagai wahana pembinaan warga negara
yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif,
mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan, dalam arti
sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki
era globalisasi, industrialisasi maupun era informasi.5
Ruang Lingkup bahan ajar baik di madrasah maupun di
sekolah umum pada dasarnya sama yaitu meliputi :
1) Hubungan manusia dengan Allah SWT
2) Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
3) Hubungan manusia dengan sesama manusia
4) Hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungan
alam sekitar
Adapun tujuan pendidikan agama, yaitu untuk
berkembangnya kemampuan peserta didik dalam
mengembangkan, memahami, menghormati dan mengamalkan
nilai-nilai agama Islam, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni. Perlu diingat bahwa dalam pelaksanaan pendidikan
agama harus memerhatikan prinsip dasar sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada
kurikulum pendidikan agama yang berlaku sesuai
dengan agama yang dianut peserta didik.
2. Pendidikan agama harus mendorong peserta didik
untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam
kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai
landasan etika dan moral dalam berbangsa dan
bernegara.
3. Pendidikan agama harus dapat menumbuhkan sikap
kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis sehingga menjadi

5
Ibid

| 97
pendorong peserta didik untuk menguasai ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Pendidikan agama harus mampu mewujudkan
keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat internal
agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
5. Satuan pendidikan yang berciri khas agama dapat
menciptakan suasana keagamaan dan menambah
muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan, seperti
tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalamannya.
Dengan demikian, setiap satuan pendidikan wajib
menyelenggarakan pendidikan agama, dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat
menyelenggarakan pendidikan agama.
b. Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan
tempat menyelenggarakan pendidikan agama dapat
bekerja sama dengan satuan pendidikan yang
setingkat atau penyelenggaraan pendidikan agama
di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan
agama bagi peserta didik.
c. Satuan pendidikan seharusnya menyediakan
tempat dan kesempatan kepada peserta didik untuk
melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan
persyaratan agama yang dianut oleh peserta didik.
d. Tempat melaksanakan ibadah agama dapat berupa
ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan
pendidikan yang dapat digunakan peserta didik
menjalankan ibadahnya.
e. Satuan pendidikan yang bercirikan khas agama
tertentu tidak berkewajiban membangun tempat
ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri
khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan.
b. Adapun kualifikasi minimum pendidik pendidikan
agama tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK, atau

98 |
bentuk lain yang sederajat adalah sarjana agama,
ditambah sertifikat profesi pendidik pendidikan
agama dari perguruan tinggi yang terakreditasi.
Pendidik pendidikan agama adalah guru mata
pelajaran pendidikan agama harus memiliki latar
belakang agama sesuai dengan agama yang dianut
peserta didik dan mata pelajaran pendidikan agama
yang diajarkan bagi pendidik yang tidak memenuhi
kualifikasi minimum sebagaimana tersebut, tetapi
memiliki di bidang agama setelah melalui uji
kelayakan dan kesetaraan.
c. Pendidik pendidikan agama pada satuan
pendidikan disediakan oleh satuan pendidikan
yang bersangkutan atau disediakan oleh
pemerintah atau pemerintah daerah. Mengenai
pengawasan pendidikan agama dilakukan oleh
pengawas pendidikan agama terhadap
penyelenggaraan pendidikan agama, yang meliputi
pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan
tindak lanjut hasil pengawasan. Laporan
sebagaimana dimaksud di atas berisi evaluasi
terhadap pelaksanaan teknis pendidikan agama dan
ditujukan kepada Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota atau Kantor Wilayah Departemen
Agama6
Terdapat beberapa aspek pengajaran Pendidikan Agama
Islam baik di madrasah maupun di sekolah umum,
penjabarannya adalah sebagai berikut:
Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) di madrasah dibagi
dalam 5 sub mata pelajaran, yaitu:
1) Qur’an Hadits

6
Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama & Pembangunan Watak
Bangsa, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 15-23.

| 99
2) Akidah Akhlak
3) Fiqih
4) Sejarah dan Kebudayaan Islam
5) Bahasa Arab
Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah
umum meliputi 7 unsur pokok, yaitu :
1) Al Qur’an
2) Keimanan
3) Akhlak
4) Ibadah
5) Mu’amalah
6) Syari’ah
7) Tarikh

Madrasah merupakan salah satu sekolah yang


mengedapankan ilmu-ilmu Islam dan makanya banyak cabang
cabang ilmu islam yang dipecahkan dari sekolah madrasah
tersebut.

Pendekatan Pengajaran
Pengajaran PAI Di Madrasah :
a. Al Qur’an Hadits; memiliki pendekatan aktivitas siswa
dengan berbagai metode, antara lain:
1) Drill
2) Kerja Kelompok
3) Tanya Jawab
4) Diskusi
5) Resitasi
6) Ceramah, dsb

b. Akidah Akhlak; memiliki 5 pendekatan, yaitu:


1) Emosional
2) Rasional
3) Fungsional

100 |
4) Keteladanan
5) CBSA

c. Fikih; mempunyai pendakatan sebgai berikut:


1) Rasional
2) Emosional

d. SKI; memiliki pendekatan sebgai berikut:


1) Emosional
2) Azas Manfaat
3) Rasional
4) Keteladanan

e. Bahasa Arab
Mata pelajaran Bahasa Arab menggunakan pendekatan
Komunikatif dengan memakai electic method, yaitu perpaduan
antara beberapa kelebihan dari berbagai metode seperti tanya
jawab, dramatisasi, peragaan, penugasan, drill dan pengungkapan
kembali isi wacana.7

B. Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum hanya


bernama Pendidikan Agama Islam
Sistem pendidikan Indonesia, memang mengedepankan
cognititive-oriented, tidak seperti Jepang yang memprioritaskan
values-oriented. Sehingga hasilnya, Indonesia memiliki banyak
SDM cerdas yang tidak berakhlak. Tidak heran, jika korupsi
menjadi budaya yang menjamur.
Konsep pelaksanaan pembelajaran yang diterapkan pada
Kurikukulum 2013, bukanlah hal yang baru. Akan tetapi pun
sudah pernah diterapkan pada kurikulum sebelumnya. Seperti,

7
http://rahmatikhsanmubut.blogspot.com/2015/04/kapita-selekta-pai-pai-
sebagaimateri_21.html

| 101
Kurikulum 2004 (KBK) dan kurikulum 2006 (KTSP). Dalam
semua kurikulum ini guru dituntut menerapkan dan memberi
penilaian terhadap siswa dari segi kognitif, apectip dan
psikomotor(pengetahuan,sikapdanketrampilan).
Namun yang mendasari kegiatan pembelajaran pada
Kurikulum 2013 adalah pendekatan ilmiah (scientific approach).
Kurikulum 2013 ini mempunyai ciri-ciri mengedepankan kegiatan
proses yaitu mengamati, menanya, mencoba menginformasikan
dan mengumpulkan. Sebenarnya Kurikulum 2013 bagi
pembelajaran di madrasah hanyalah sebagai tukar sampul saja.
Sebab yang termasuk dalam bidang studi agama Islam di
madrasah itu seperti Alquran hadist, aqidah akhlak, fiqh dan
Sejarah Kebudayaan Islam pada umumnya memerlukan teori,
praktikdanpembentukanakhlahyangbaik.
Misalnya bersuci, salat, puasa, membaca ayat-ayat Alquran,
mengetahui tempat bersejarah dalam Islam, mengenal akhlak
yang baik dan akhlah yang buruk. Secara otomatis guru
memberikan penilaian mulai dari spiritual sampai dengan sikap
atau akhlah siswa sehari-hari. Ditambah lagi dengan penerapan
ibadah siswa. Pada saat ini dunia pendidikan semakin menjadi
sorotan tajam dari berbagai pihak, baik dari sekolah umum
maupun madrasah. Apalagi kalau ditambah dengan hasil evaluasi
belajar, sikap dan keterampilan yang menurun.
Proses pengajaran dan pembelajaran memiliki permasalahan
yang harus diselesaikan. Salah satu caranya adalah memberikan
pengajaran dan pembelajaran yang membuat siswa termotivasi
mengikuti mata pelajaran yang disajikan. Oleh sebab itu guru
harus mengubah cara mengajar yang biasanya monoton atau
berceramah, perlu melakukan inovasi pembelajaran yang
bervariasi dan menyenangkan.
Sehingga siswa aktif dan tidak mendatangkan kebosanan.
Akan tetapi membuat mereka merasa bermain dengan teman.
Padahal sebenarnya mereka sedang melakukan kegiatan belajar.

102 |
Guru pendidikan agama Islam di madrasah perlu mencari
model pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum 2013 untuk
diterapkan dalam pembelajaran di sekolah.
Model artinya adalah kerangka konseptual yang digunakan
sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Model
pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari
awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan
kata lain model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai
dari penerapan suatu pendekatan, metode dan
tekhnikpembelajaran.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 65 tentang standar
proses, model pembelajaran yang diutamakan. Dalam
inplementasi Kurikulum 2013 adalah model pembelajaran Inkuiri
(Inquiri Bassed learning), model pembelajaran discovery
(discovery learning ), model pembelajaran berbasis proyek
(project based learning) dan model pembelajaran berbasis
permasalah (problem based learning).8
Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah
mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) terutama pada
standar isi, standar proses pembelajaran, standar pendidik dan
tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana pendidikan.
Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah juga
mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun
2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,
bahwa pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
bentuk, pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam
bentuk pendidikan agama Islam di satuan pendidikan pada
semua jenjang dan jalur pendidikan. Kedua, pendidikan umum
berciri Islam pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur
formal dan non formal, serta informal. Ketiga, pendidikan

8
https://www.riaumandiri.co/read/detail/6615/mengoptimalkanpengajaran-
agama-islam-di-madrasah.html

| 103
keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan
pondok pesantren yang diselenggarakan pada jalur formal, dan
non formal, serta informal.
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada
sekolah diarahkan pada peningkatan mutu dan relevansi
pendidikan agama Islam pada sekolah dengan perkembangan
kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global, serta kebutuhan
peserta didik. Kegiatan dalam rangka pengembangan kurikulum
adalah pembinaan atas satuan pendidikan dalam pengembangan
kurikulum pendidikan agama Islam tingkat satuan pendidikan.
Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah yang sedang
berlangsung belum semuanya memenuhi harapan kita sebagai
umat Islam mengingat kondisi dan kendala yang dihadapi, maka
diperlukan pedoman dan pegangan dalam membina pendidikan
agama Islam. Ini semua mengacu pada usaha strategis pada
rencana strategis kebijakan umum Direktorat Jendral Pendidikan
Agama Islam Departemen Agama yaitu peningkatan mutu khusus
mengenai pendidikan agama Islam di sekolah, peningkatan mutu
itu sendiri terkait dengan bagaimana kualitas hasil pembelajaran
pendidikan agama Islam pada peserta didik yang mengikuti
pendidikan di sekolah. Mutu itu sendiri sebetulnya sesuatu yang
memenuhi harapan-harapan kita. Artinya kalau pendidikan itu
bermutu hasilnya memenuhi harapan-harapan dan keinginan-
keinginan kita. Kita bukan hanya sebagai pengelola, tetapi juga
sebagai pelaksana bersama semua pemangku kepentingan
(stakeholder) termasuk masyarakat, orang tua. Dalam kenyataan
pendidikan agama Islam di sekolah masih banyak hal yang belum
memenuhi harapan.
Misalnya kalau guru memberikan pendidikan agama Islam
kepada peserta didik, maka tentu yang kita inginkan adalah
peserta didik bukan hanya mengerti tetapi juga dapat
melaksanakan praktek-praktek ajaran Islam baik yang bersifat
pokok untuk dirinya maupun yang bersifat kemasyarakatan.
Karena di dalam pendidikan agama Islam bukan hanya

104 |
memperhatikan aspek kognitif saja, tetapi juga sikap dan
keterampilan peserta didik.9

C. Reorientasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah


Umum
Perbincangan soal upaya perbaikan kualitas pendidikan,
khususnya pendidikan agama terasa sangat dilematis. Di satu sisi
guru masih dilihat sebagai satu-satunya elemen terpenting,
sehingga kualitas pendidikan apapun harus dimulai dari guru.
Sementara itu Gorton (dalam Bafadal, 2002) telah menempatkan
muatan buku ajar sebagai elemen yang secara bersamaan juga
harus diperhatikan. Padahal selama ini perhatian serius di seputar
materi buku ajar yang ada di sekolah –sebagaimana yang
disinyalir Gorton– belum banyak dilakukan.
Pesan-pesan materi pendidikan agama hendaknya
mencerminkan sifat toleran, inklusif, dan humanis. Karena
pendidikan agama adalah upaya menyiapkan siswa dalam
meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agamanya
melalui kegiatan bimbingan dan pengajaran secara
berkesinambungan, maka antara guru dan buku ajar sebagai
elemen proses pembelajaran secara bersamaan harus
diperhatikan.
Jika agama yang dipentingkan bukan sekadar simbol, namun
lebih dari itu adalah ruh, semangat dari agama itu sendiri, yaitu
iman dan amal saleh, maka pendidikan agama mesti memusatkan
perhatian pada pembentukan anak didik yang memiliki
kepribadian ideal, yaitu jiwa solidaritas yang tinggi, jujur, adil,
jauh dari kekerasan dan teror yang meresahkan bangsa. Orientasi
pendidikan semacam ini juga akan terasa sangat bermanfaat
ketika dihadapkan pada kompleksitas dan pluralitas agama. Di
sini pula pluralitas agama harus menjadi kekuatan konstruktif-
transformatif dalam mengembangkan potensi dan model

9
Rahmat Ikhsan Mubut, Op.Cit, hlm. 63

| 105
pendidikan agama, sementara itu kekuatan konstruktif-
transformatif akan berkembang jika masing-masing komunitas
agama memahami dan menjunjung tinggi nilai toleransi dan
kerukunan melalui keteladanan seorang guru (uswah hasanah).
Reorientasi pendidikan agama di atas sudah saatnya dimulai
dari TK hingga perguruan tinggi dengan me-review kurikulum
kita yang selama ini dianggap kurang memenuhi syarat sebagai
kurikulum yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan dan agama
damai (harmoni). Agama damai adalah agama yang dapat
membimbing umatnya penuh kedamaian, ketenangan dan
ketenteraman. Ayat-ayat damai (salam) adalah ayat-ayat al-
Qur’an yang menekankan pada kebutuhan tidak saja toleransi
antarumat beragama, melainkan untuk bekerja sama secara moral
yang berusaha menegakkan kebajikan di muka bumi. Dalam ayat-
ayat salam, al-Qur’an menandaskan bahwa dalam berhubungan
dengan kelompok musuh, umat Islam seharusnya mencoba
mengingatkan mereka akan kewajiban moral mereka kepada
Tuhan, tetapi jika musuh itu dengan angkuh menolak kebenaran,
umat Islam boleh meninggalkan mereka tetapi tetap memberikan
salam kepada mereka (lihat QS. al-Furqon: 63).
Dalam dinamika ini, umat Islam seyogyanya menunjukkan
sikap yang dapat meyakinkan musuh mereka bahwa perbedaan
pendapat di antara mereka tidaklah bersifat personal, dan bahwa
umat Islam tidak menampakkan dendam atau kebencian
terhadap musuh mereka. Sampai-sampai ketika musuh menolak
ajaran dan berpaling, al-Qur’an memandu umat Islam bahwa
satu-satunya respons yang tepat terhadap penolakan ini adalah
mendoakan agar musuh mereka mendapat anugerah kedamaian.
Indonesia bukan daerah perang (dar alharb), oleh sebab itu tidak
ada alasan yuridis Islam (hujjah fiqhiyyah) untuk menabuh
genderang perang melawan agama lain, bahkan perang melawan
intern umat beragama.
Lantas apa yang harus kita lakukan sebagai umat beragama?
Bagaimana peran agama dalam kehidupan berbangsa dan

106 |
bernegara? Persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya,
sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi
terciptanya kehidupan yang harmonis antarumat beragama
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimaksud
Secara umum, peran agama dalam kehidupan manusia dapat
dilihat dari dua aspek. Pertama adalah aspek konatif (conative
aspects). Aspek ini berkaitan dengan kemampuan agama dalam
menyediakan sarana kepada masyarakat dan anggota-anggotanya
untuk membantu mereka menyelesaikan berbagai persoalan
kehidupan. Kedua, aspek yang bersifat kognitif (cognitive
aspects). Aspek ini terkait dengan peranan agama dalam
menetapkan kerangka makna yang dipakai oleh manusia dalam
menafsirkan secara moral berbagai kesukaran dan keberhasilan
pribadi mereka; juga sejarah masyarakat mereka di masa yang
silam dan keadaannya di masa kini, (E.K. Nottingham, 1985:107-
108).
Pemahaman terhadap peran agama semacam itu dapat
ditemukan batu pijakannya dalam berbagai sumber suci agama-
agama semit. Dalam Islam misalnya, al-Quran tidak hanya
mewajibkan kepada umatnya untuk melakukan ibadah-ibadah
ritual-seremonial yang bisa memberikan kelegaan emosional dan
spiritual, tetapi juga membuka ruang penafsiran intelektual guna
membantu manusia dalam mendapatkan makna dari seluruh
pengalaman hidupnya (baca: kontekstualisasi dan reaktualisasi).
Peran Islam seperti ini tampak dengan jelas dalam hampir setiap
ibadah ritualnya selalu terkandung apa yang biasa disebut dengan
pesan moral. Bahkan begitu pentingnya pesan moral ini, “harga”
suatu ibadah dalam Islam dinilai dari sejauh mana pesan
moralnya bisa dijalankan oleh manusianya. Apabila suatu ibadah
tidak bisa meningkatkan moral seseorang, maka ibadahnya
dianggap tidak ada maknanya. Oleh karena itu, ketika seseorang
melakukan hal-hal yang terlarang secara fiqh dalam suatu ibadah,
maka tebusannya adalah menjalankan pesan moral itu sendiri.
Misalnya, pada bulan puasa, sepasang suami istri berhubungan

| 107
intim pada siang hari, maka kifarat (dendanya) ialah memberi
makan enam puluh (60) orang miskin, karena salah satu pesan
moral puasa ialah memperhatikan orang-orang yang lapar di
sekitarnya.
Aspek kognitif peran agama semacam ini juga bisa dijumpai
dalam agama Kristen. Narasi tentang Ayub dalam Bibel misalnya,
–atau Nabi Ayyub dalam al-Quran)– merupakan simbol persoalan
kemanusiaan yang mengandung ajaran moral sangat dalam.
Kesungguhan Ayub dalam menjalankan kewajiban sosial dan
keagamaan memang tidak serta merta menjadikannya bahagia,
sebaliknya menyebabkannya memperoleh cobaan dan
penderitaan. Tetapi kesungguhan Ayub dalam menghayati niali-
nilai sakral yang terdapat dalam perintah-perintah Tuhan bukan
hanya menyebabkan dia bertahan atas penderitaan tersebut,
namun juga membantu dia menemukan makna dari seluruh
pengalaman hidupnya. Sehingga, ketika Ayub minta keterangan
kepada Tuhan tentang apa yang terjadi, bukan keadaan dirinya
yang diutamakan tetapi justru nasib buruk yang menimpa
seluruh umatnya yang dikedepankan. (E. K. Nottingham,
1985:108-109).
Pesan agama yang terpantul dari kisah tentang Ayub itu
adalah, bahwa ketidaksamaan nasib untung dan malang manusia
tidak dapat dijelaskan begitu saja menurut ukuran baik buruk
manusiawi. Tetapi harus dilihat pula dari segi adanya penilaian-
penilaian Tuhan di dalamnya. Di situlah terletak (salah satu)
fungsi agama yang penting, yaitu “memberikan makna moral
dalam pengalaman-pengalaman kemanusiaan”. Makna moral di
sini paralel dengan apa yang dikatakan oleh Paul B. Horton dan
Chester L. Hunt (dalam M. Zainuddin, 2007: 42), bahwa semua
agama besar menekankan kebajikan seperti kejujuran dan cinta
sesama. Kebajikan seperti ini sangat penting bagi keteraturan
perilaku masyarakat manusia, dan agama membantu manusia
untuk memandang serius kebajikan seperti itu.

108 |
Persoalan makna agama sebagaimana tergambar pada ajaran
Islam dan Kristen di atas merupakan persoalan makna agama
dalam pengalaman individual. Secara esensial, persoalan yang
sama juga bisa ditemukan pada level masyarakat secara
keseluruhan. Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan sosial,
kesenjangan ekonomi, serta persoalan kekuasaan merupakan
rahasia umum dalam kehidupan masyarakat manusia. Jik suatu
masyarakat mampu memahami peran agama dalam membantu
menafsirkan secara moral pengalaman hidupnya, maka agama
akan hadir sebagaimana fungsinya. Sebaliknya, jika mereka salah
dalam melakukan interpretasi-interpretasi tersebut maka agama
bisa menjadi lahan subur bagi perkembangan konflik di tengah-
tengah masyarakat.
Oleh sebab itu menurut Shahab (dalam Dian Interfidei,1995),
jika setiap penganut agama mempertahankan kebenaran sejati
setiap agama, bukan simbol, maka tidak akan terjadi konflik.
Sebab bila realitas Tertinggi pada hakikatnya adalah Satu, maka
secara otomatis prinsip-prinsip filosofis yang digunakan semua
agama juga satu. Oleh sebab itu menurut Shahab, dalam masalah
perbandingan agama hendaknya yang dijadikan patokan adalah
perspektif filosofis, bukan sosiologis, tanpa terjebak oleh simbol-
simbol agama. Ketika ‘allamah Thabathaba’i berbicara tentang
agama pada level filosofis, ia tidak pernah bersikap permissif,
tetapi ketika kajiannya mulai menyentuh dataran sosiologis ia
sangat toleran, begitu pula muridnya, Muthahhari.
Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of
Civilization and the Remarking of World Order (1996)
mengatakan, bahwa benturan yang terjadi antar peradaban
sangatlah besar pengaruhnya terhadap perdamaian dunia. Dalam
konteks dunia internasional peradaban merupakan pengaman
terpenting dalam mencegah terjadinya perang dunia. Padahal
yang disebut sejarah peradaban ialah sejarah manusia itu sendiri.
Sementara agama adalah karakteristik utama yang mencirikan
sebuah peradaban. Lebih dari itu Christopler Dowson

| 109
mengatakan bahwa agama-agama besar adalah bangunan dasar
bagi peradaban-peradaban besar.
Pluralitas agama di Indonesia seharusnya menjadi kekuatan
konstruktif-transformatif, bukan sebaliknya menjadi kekuatan
destruktif. Potensi pertama, yaitu kekuatan konstruktif-
transformatif akan berkembang jika masing-masing komunitas
agama memahami dan menjunjung tinggi nilai toleransi dan
kerukunan. Sebaliknya potensi destruktif akan dominan jika
masing-masing komunitas agama tidak memiliki sikap toleran,
bahkan memandang inferior agama lain.
Oleh sebab itu salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam
menciptakan harmonisme umat beragama di Indonesia adalah:
pertama, pendidikan agama harus mampu membentuk watak
siswa, bahwa agama merupakan kebutuhan ruhani bagi
penciptaan kerukunan dan kedamaian, pemupuk persaudaraan
dan ketenteraman sesuai dengan missinya. Atau dengan kata lain,
perlu ada reorientasi pendidikan agama yang berwawasan
kemanusiaan universal dan keramahan (rahmatan lil ‘alamain).
Kedua, upaya peningkatan kualitas pendidikan pada masing-
masing umat. Pendidikan dimaksud adalah pendidikan humanis
yang melahirkan akhlak karimah dengan indikator: adanya sikap
jujur, toleran, dan cinta-kasih antarsesama. Bukan pendidikan
eksklusif yang melahirkan manusia-manusia keras dan absolut.
Berikut beberapa kesalahpahaman umum tentang
pendidikan dan sekaligus pandangan alternatifnya (Tauhidi,
2003: 3-13):

110 |
Komponen Seharusnya Senyatanya
Pendidikan dianggap
Pendidikan dipandang
sebagai disiplin yang
secara holistik,
terpisah; partikularistik,
Visi menyeluruh dan
masih memakai
berparadigma
paradigma mekanistik
rekonstruktif.
(model perusahaan).
Beyond schooling,
bagaimana belajar (how
Perolehan informasi
to learn), pembelajaran
ansich, pengetahuan dan
seumur hidup (life long
Tujuan keterampilan hanya untuk
education),
perolehan pekerjaan
pengembangan manusia
(promise of job).
seutuhnya (khaira
ummah).
Pembelajaran bersifat
Pembelajaran bersifat konvensional, sekadar
kontekstual, informatif, tidak relevan
Isi transformatif, realistik, dengan kehidupan riil
kurikulum berbasis siswa, hanya terfokus
kehidupan nyata. pada instruksi/pengajaran
textbook.
Gagasan bersifat
powerful (powerful
ideas), mampu memberi Struktur tidak koheren
Struktur inspirasi dan atau disusun oleh disiplin
transformasi, mampu akademik yang rigid.
membangun kepribadian
dan jati diri anak.
Discovery learning, Didaktik (ceramah,
Metode terpusat pada siswa, monolog); guru sebagai
pengajaran bervariasi, pusat, satu model untuk

| 111
Komponen Seharusnya Senyatanya
dialogis, interaktif, guru semua siswa, tidak
sebagai penunjuk inspiratif.
(guide), modellling dan
mentoring, model
pembelajaran
terpadu/integrated
learning model (ILM)
Life mastery, terpusat
pada hal-hal kekinian, ”
belajar menjadi Muslim”, Terfokus pada masa
Islam sebagai gaya lampau, belajar tentang
Program
hidup; Islam untuk Islam dan kepemilikan
pemahaman atau Islam, ritual-seremonial.
penguasaan hidup/ Islam
for Life Mastery (ILM).
Authentic assessment,
Tes formal bersifat
berhubungan dengan
textbook, benar- salah,
Penilaian dunia riil, penilaian
lulus atau tidak lulus, tes
bersifat multi
standar.
intelligensi.

Para sarjana Muslim saat ini dituntut mampu menemukan


solusi real terhadap permasalahan-permasalahan dan tantangan-
tantangan yang dihadapi komunitas muslim –termasuk
“bagaimana” dan “apa” yang harus diajarkan pada anak-anak kita.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, pembaruan visi
pendidikan sangat mendesak dilakukan, salah satunya adalah
mencetak generasi yang mempunyai tingkat pemahaman,
komitmen, dan tanggung jawab sosial yang mampu mengabdikan
diri pada kemanusiaan dan sosial secara efektif. Adapun visi
pendidikan di sini bukanlah visi yang baru, tetapi lebih
merupakan visi pendidikan yang diperbarui (renewd).

112 |
Kurikulum sebetulnya juga tidak saja yang verbal, yang
tertulis mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, tetapi lebih
dari itu ada kurikulum non-verbal (hidden curriculum) yang
berupa uswah dan qudwah para pendidik, guru (termasuk
pemimpin bangsa). Maka hakikat guru, pendidik dan pemimpin
itu seharusnya semua ucapan, perbuatan dan ketetapannya
menjadi panutan orang lain (murid, siswa dan yang
dipimpinnya).
Sudah saatnya umat beragama mengkaji ajaran agamanya
secara benar dan kritis, tidak terjebak pada persoalan-persoalan
yang formalistik dan bersifat simbol belaka, dan sudah saatnya
melakukan reorientasi pada substansi ajarannya yang penuh
perhatian terhadap persoalan kemanusiaan seperti keadilan,
kejujuran dan kedermawanan. Dengan demikian, reorientasi
pendidikan agama harus dimulai dari TK hingga sekolah dengan
me-review kurikulum kita selama ini dan mengimplementasikan
religious culture dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, rumah
tangga dan masyarakat, karena pendidikan merupakan tanggung
jawab kita bersama: pemerintah (sekolah), orang tua dan
masyarakat

| 113
114 |
A. Aspek Landasan Pendidikan Islam
Konsep pendidikan ini telah dilaksanakan sendiri oleh Rasulullah
SAW dalam membina para sahabat beliau sehingga menjadi
manusia-manusia pilihan yang berguna bagi agama dan seluruh
umat manusia. Dalam membicarakan dasar pendidikan Islam ini
pembahasan dibagi menjadi dua bagian yaitu dasar yang bersifat
perennial dan dasar yang bersifat rasional.1
1. Dasar Pokok
Risalah yang disampaikan Rasulullah SAW kepada umat
manusia berupa al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sebagai dasar
dan sumber pendidikan Islam. Sebagai dasar keduanya dianggap
sebagai dalil atau teori dalam pelaksanaan pendidikan Islam,
sehingga merupakan landasan pendidikan Islam yang tidak goyah
oleh goncangan situasi dan kondisi perubahan zaman. Sedangkan
sebagai sumber berarti keduanya merupakan dalil atau teori yang
bisa dikembangkan dan ditelaah secara ilmiah, dalam arti bahwa
al-Qur’an dan al-Sunnah memiliki makna atau tafsir yang
konstekstual dinamis.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an secara istilah adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara

1
Zakiah Dradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2014), hlm. 21

115
malaikat Jibril yang disampaikan kepada generasi beriutnya
dengan tidak diragukan . Al-Qur’an sendiri mulai diturunkan
dengan ayat-ayat pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan
islam harus menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber dalam
merumuskan berbagai teori tentang pendidikan islam sesuai
dengan perubahan dan pembaharuan. al-Qur’an. Al-Qur’an
adalah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan kepada
nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril. Al-
Qur’an sebagai dasar atau landasan pendidikan Islam
dijelaskan oleh Allah SWT dalam firmannya

         

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 2)

b. As-Sunnah
As-Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan ataupun
pengakuan Rasulullah SAW sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh para muhadditsin. Ketiga dimensi al-
Sunnah (perkataan, perbuatan dan persetujuan)
menggambarkan tingkah laku Rasulullah selaku guru
pertama dalam Islam. Beliau bukan hanya seorang yang
bersifat teoritis tetapi juga praktis. Maka dari itu sunnah
merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi
manusia muslim.

2. Dasar Rasional (Ijtihad)


a. Ijtihad
Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berfikir dengan
menggunakan ilmu yang dimiliki parailmuah syariat islam dalam
hal-hal yang ternyata belum ditegaskan untuk menetapkan
sesuatu hukum syariat islam dalam hal-hal yang ternyata belum
ditegaskan hukunya dalam Al-qur’an dan sunnah. Ijtihad dalam
hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk

116 |
aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-qur’an dan
sunnah. Namun demikian, ijtihad harus mengikuti kaidah-kaidah
yang diatur oleh para mujtahid tidak boleh bertentangan dengan
isi Al-qur’an daan sunnah tersebut. Ijtihad dalam pendidikan
harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah yang diolah
oleh akan yang sehat dari para ahli pendidikan islam. Ijtihad
tersbut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung
dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan
situasi tertentu. Teori-teori pendidikan baru hasil ijtihad harus
dikaitkan dengan ajaran islam dan kebutuhan hidup.

B. Aspek Operational Pendidikan Islam


1. Dasar Operational
a. Landasan historis
Pendidikan Nasional Indonesia tidak terlepas dari
sejarah bangsa indonesia itu sendiri. Bangsa Indonesia
terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup
panjang sejak zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya,
Majapahit sampai datangnya bangsa lain yang menjajah
serta menguasai bangsa Indonesia.
b. Landasan hukum
Pendidikan adalah peraturan yang dijadikan tolak ukur
dalam melaksanakan kegiatan pendidikan. Tetapi, tidak
semua kegiatan pendidikan dilandasi oleh aturan-aturan
ini, seperti cara mengajar dan membuat persiapan
mengajar, sebagian besar dikembangkan sendiri oleh
pendidik.
c. Landasan Ekonomi
Pada zaman pasca modern atau globalisasi sekarang ini,
yang sebagian besar manusianya cenderung
mengutamakan kesejahteraan materi dibanding
kesejahteraan rohani, membuat ekonomi mendapat
perhatian yang sangat besar. Oleh sebab itu ada
kewajiban suatu lembaga pendidikan untuk

117
memperbanyak sumber-sumber dana yang mungkin
bisa digali adalah sebagai berikut :
1) Dari pemerintah dalam bentuk proyek-proyek
pembangunan, penelitian-penelitian bersaing,
pertandingan karya ilmiah anak-anak, dan
perlombaan-perlombaan lainnya.
2) Dari kerjasama dengan instansi lain, baik
pemerintah, swasta, maupun dunia usaha. Kerjasama
ini bias dalam bentuk proyek penelitian, pengabdian
kepada masyarakat dan proyek pengembangan
bersama.
3) Membentuk pajak pendidikan, dapat dimulai dari
satu desa yang sudah mapan, satu daerah kecil, dan
sebagainya.
4) Usaha lainnya seperti dana rutin, dana
pembangunan, dan dana bantuan masysrakat.

d. Landasan Sosiologis
Dasar sosiologis berkenaan dengan perkembangan,
kebutuhan dan karakteristik masayarakat.Sosiologi
pendidikan merupakan analisi ilmiah tentang proses
sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem
pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh
sosiologi pendidikan meliputi empat bidang:
1) Hubungan sistem pendidikan dengan aspek
masyarakat lain.
2) Hubungan kemanusiaan.
3) Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya.
4) Sekolah dalam komunitas,yang mempelajari pola
interaksi antara
5) sekolah dengan kelompok sosial lain di dalam
komunitasnya.

118 |
e. Landasan Psikologis
Dasar psikologis berkaitan dengan prinsip-prinsip
belajar dan perkembangan anak. Pemahaman
terhadap peserta didik, utamanya yang berkaitan
dengan aspek kejiwaan merupakan salah satu kunci
keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, hasil kajian
dan penemuan psikologis sangat diperlukan
penerapannya dalam bidang pendidikan.

f. Landasan Filosofis
Landasan filosofis bersumber dari pandangan-
pandangan dalam filsafat pendidikan, menyangkut
keyakianan terhadap hakikat manusia, keyakinan
tentang sumber nilai, hakikat pengetahuan, dan tentang
kehidupan yang lebih baik dijalankan. Aliran filsafat
yang kita kenal sampai saat ini adalah Idealisme,
Realisme, Perenialisme, Esensialisme,
Pragmatisme dan Progresivisme dan Ekstensialisme.

C. Problem Landasan Pendidikan Islam dalam


Operasionalisasinya
Konsep dasar pendidikan nasional di Indonesia, sebagaimana
diketahui adalah tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara, yang salah satu pointnya menyatakan sebagai berikut:
Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan
bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, kecerdasan, ketrampilan, mempertinggi budi
pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat
kebangsaan, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

Berdasarkan kutipan tersebut jelaslah sebagaimana


pendidikan yang lain di Indonesia, konsep dasar pendidikan
Islam berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan segi-segi

119
ketaqwaan, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti dan semangat
kebangsaan pada diri anak, yang kesemuanya itu diarahkan
untuk kepentingan pembangunan di tanah air kita.
Keinginan tersebut juga dilatarbelakangi oleh pengalaman
histori yang lain. Selama ratusan tahun dijajah oleh Belanda.
Melihat kenyataan tersebut, kelompok pembaharuan Islam di
Indonesia, setelah mendapatkan inspirasi atau pengaruh dari
gerakan pembaharuan di Timur Tengah, akhirnya merumuskan
khittah baru dalam bidang pendidikan. Caranya menggabungkan
system dan isi pendidikan dari pesantren dan sekolah umum
kemudian mereka mengambil segi-segi positifnya dan
menciptakan model baru dalam lembaga pendidikan yaitu
madrasah.
Dalam garis besar, problem yang sekarang ini banyak terjadi
di madrasah adalah soal tenaga, biaya dan lingkungan. Tentang
tenaga intinya menyangkut dua hal, yaitu kemampuan
professional dan sikap mental.
Dalam keprofesionalan, banyak diantara pendidik yang
masih jauh belum memenuhi persyaratan untuk terjun atau
diterjunkan dalam kependidikan. Kelemahan ini bisa diatasi
kalau saja tersedia biaya yang cukup, misalnya untuk
menyelenggarakan atau mengikutsertakan mereka pada program
penataran, kursus profesi dan semacamnya.
Sikap mental seseorang akhirnya juga berpengaruh terhadap
kesungguhan dan cara kerjanya. Karena sikap mental lemah,
seseorang bisa melakukan tugas semaunya saja, tidak serius, tidak
disiplin, tidak mau berusaha meningkatkan diri dan lain-lain.
Serta sikap kurang jujur dapat mengarahkan kepada
penyelewengan, penyalah gunaan kesempatan dan semacamnya.
Problem selanjutnya adalah dalam biaya. Secara jujur mesti
diakui bahwa dunia madrasah pada umumnya lemah dalam
bidang biaya. Padahal dengan tersedianya biaya yang memadai,
segala sesuatu bisa diatur, artinya ditingkatkan kuantitas maupun
kualitasnya. Sementara, soal biaya ini berkaitan dengan sikap

120 |
mental manusianya, masyarakat dan akhirnya lingkungan secara
keseluruhan. Misalnya, berbeda dengan masa-masu lalu, kaum
muslimin sekarang relative menurun gairah untuk beramal demi
kepentingan agamanya.
Lingkungan, juga bisa mempengaruhi sikap dan cara anak
didik menghadapi kewajiban studinya sehari-hari, termasuk anak
didik madrasah. Mereka belajar, jauh-jauh sudah disertai niat
yang kuat untuk mencapai ijazah. Ijazah perlu diraih dengan nilai
sebaik-baik mungkin. Untuk memperoleh nilai baik, berbagai
macam cara pun dilalui, dari yang jujur sampai dengan yang
paling curang. Karena jengkel melihat atau mendengar kasus
semacam ini, Ivan D. Illich sampai berpendapat lebih baik
lembaga pendidikan formal dibubarkan saja.

121
122 |
Topik kajian tentang Pendidikan Karakter di Indonesia dapat
ditinjau secara psikologi dikarenakan sebagai berikut;
Pertama, dewasa ini pendidikan karakter tampak tidak memiliki
visis, misi, tujuan dan strategi dan pendekatan yang tidak jelas
atau semakin kabur. Jika di masa lalu, pra kemerdekaan
Kedua,

A. Konsep Karakter
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin
“Charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat
kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Sedangkan
secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada
umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang
tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Pendidikan karakter
dapat diartikan juga sebagai usaha yang sungguh-sungguh untuk
memahami, membentuk, memupuk nilai-nilai etika, baik untuk
diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat atau warga
negara secara keseluruhan.1
Kajian tentang pendidikan karakter dalam wacana
intelektual muslim dan khazanah dunia pendidikan Islam
menarik lebih dalam karena beberapa alasan sebagai berikut :
Pertama, bahwa pendidikan karakter temasuk salah satu isu
terpenting yang mendapat perhatian yang cukup besar dari
kalangan intelektual muslim. Di masa sekarang pendidikan
karakter mendesak untuk diterapkan, karena gejala kemerosotan

1
Zubaedi. Design pendidikan karakter. (Jakarta: Prenada Media Group,
2011), hlm. 19

|123
moral2 Pendidikan karakter selalu menjadi dasar pertimbangan,
tujuan utama dan jiwa dari setiap gagasan dan pemikiran yang
mereka kemukakan. Berbagai kajian yang mereka lakukan, baik
dalam bidang agama, sosial, politik, ekonomi, hukum,
pendidikan, dakwah dan sebagainya pada akhirnya selalu
ditunjukkan pada pembinaan karakter. Para intelektual muslim
dari sejak zaman klasik, seperti al-Farabi (w.339 H), Ibn Sina
(370-428 H), Ibn Miskawaih (421 H), al Gazali (w. 1111 M), hingga
zaman modern, seperti Muhammad Abduh, Ahmad Amin, Abbas
Mahmud al-Aqqad hingga Fazlur Rahman, telah memberikan
perhatian yang besar terhadap pendidikan karakter, sebagaimana
dapat dijumpai dalam berbagai karya tulis yang mereka lakukan.
Perhatian para intelektual muslim yang demikian besar terhadap
pendidikan karakter yang demikian itu perlu diapreasi dan dikaji
untuk kemudian digunakan sebagai bahan rujukan dalam
mengatasi krisis moral yang melanda kehidupan manusia pada
umumnya, dan sebagian bangsa Indonesia pada khususnya.
Kedua, bahwa di dalam menentukan konsep pendidikan
karakter, para intelektual muslim memiliki perbedaan dan
kesamaan dengan konsep pendidikan yang berasal dari Barat dan
konsep pendidikan karakter yang diwariskan para pemikir Yunani
Kuno, abad pertengahan di Eropa dan zaman Arab Jahiliyah.
Adanya persamaan dan perbedaan ini perlu dikaji seksama, selain
untuk memantapkan konsep pendidikan karakter dalam Islam,
juga dalam rangka menghindar konsep pendidikan karakter yang
sejalan dengan spirit dan konsep Islam yang akan menjauhkan
umat Islam dari ajaran Islam itu sendiri. Adanya mindset (pola
pikir), pandangan, paradigma, sikap, ideologi dan
Pendidikan karakter secara sederhana dapat diartikan
membentuk tabiat, perangai, watak dan kepribadian seseorang
dengan menanamkan nilai-nilai luhur sehingga nilai-nilai
tersebut mendarah daging, menyatu dalam hati, pikiran, ucapan

2
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global, (Jakarta; Grasindo, 2007) cet. I, hlm. 134

124 |
dan perbuatan dan menampakkan pengaruhnya dalam realitas
kehidupan secara mudah, atas kemauan sendiri, orisinal dan
karena ikhlas semata karena Allah swt. Penanaman dan
pembentukan kepribadian tersebut dilakukan bukan hanya
dengan cara memberikan pengertian dan mengubah pola pikir
dan pola pandang seseorang tentang sesuatu yang baik dan
benar, melainkan nilai-nilai kebaikan tersebut dibiasakan,
dilatihkan, dicontohkan, dilakukan secara terus-menerus dan
praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.3
Berkaitan dengan konsep pendidikan karakter sebagaimana
dikemukakan beberapa tokoh pendidikan sebagai berikut:
1) Menurut Ibn Miskawih yang merupakan penyempurnaan
konsep pendidikan karakter yang dikemukakan para filosuf
Yunani, Hamka menemukan pemikiran Ibn Miskawaih yang
berkaitan dengan metode perbaikkan karakter yang berbasis pada
pendekatan yang dilakukan oleh thabib (dokter), menurut Ibn
Miskawaih. Dalam hubungan ini, Ibn Maskawaih berkata,
“Seorang tabib (dokter yang berpengalaman tidaklah langsung
saja mengobati suatu penyakit sebelum diketahuinya panas dan
dinginnya, barulah dia memberikan ramuan obat (resep) yang
bertujuan menangkis serangan penyakit dan selanjutnya
membalas dengan serangan yang serupa. Karena jiwa manusia itu
adalah kekuatan ilahi yang bukan jasmani, tetapi berhubungan
erat dengan tubuh jasmani dengan satu hubungan rahasia ilahi,
maka wajiblah diketahui benar bahwa syahwat selalu berkait
dengan badan, dan badan berkait dengan nyawa. Berubah nyawa,
berubah badan, sehat nyawa sehat badan, sakit nyawa sakitlah
badan.”4
2) Menurut al-Gazali, pendidikan karakter dapat melalui
tahapan takhalli, tahalli, dan tajalli. Pada tahap takhalli,
seseorang berusaha membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang

3
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; Raja Grafindo Persada,Jakarta,
2005) hlm. 65-68
4
Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), cet. VIII, hlm. 13

|125
tercela atau penyakit kejiwaan, seperti riya’, ‘ujub, sombong,
gurur, serakah, iri, dengki, dan was-was. Selanjutnya, pada tahap
tahalli, seseorang bisa menghias dirinya dengan akhlak yang
mulia, sehingga akhlak tersebut dipahami, dihayati dan
diamalkan dalam kehidupannya sehari-hari, atau dalam teks
Arabnya, al-takhalluq bi akhlaq al-karimah= berakhlak dengan
akhlak yang mulia. Sedangkan pada tajalli, seseorang
menampakkan sifat-sifat yang terpuji tersebut di dalam dirinya,
sehingga tampak kuat pengaruhnya dalam karisma dan
kepribadian.5
3) Menurut Fazlur Rahman, pendidikan karakter sejatinya
termuat dalam Kitab Suci al-Qur’an. Ia mengajuan sebuah tesis,
bahwa al-Qur’an merupakan sebuah kitab yang berisi prinsip-
prinsip keagamaan dan moral serta anjuran-anjuran, dan bukan
sebagai dokumen hukum. Namun, ia mengandung ketetapan-
ketetapan hukum yang penting dikeluarkan selama pembentukan
masyarakat negara di Madinah. Di antara peraturan-perturan
perekonomian, larangan minuman keras, merupakan upaya yang
menarik dalam metode al-Qur’an, dalam menetapkan hukum dan
merangkan sikap al-Qur’an dalam watak dan fungsinya sebagai
sumber hukum. Ajaran moral al-Qur’an tersebut berbasis kepada
tauhid, hubungan yang baik dengan Tuhan dan hubungan baik
dengan sesama manusia. Tesisnya ini ia perkuat dengan
menunjukkan pesan-pesan moral yang terdapat dalam al-Qur’an
tentang akidah, ibadah, mu’amalah, sejarah, dan lain sebagainya
yang pada intinya diarahkan pada membentuk akhlak yang mulia.
Ajaran akidah misalnya, ditujukan agar manusia merasa diawasi
oleh Tuhan, meniru sifat-sifat Tuhan, mendekati dan
menyintainya. Demikian pula ketika al-Qur’an bercerita tentang
para nabi dan rasul, maka tujuannya adalah agar mereka menjadi
contoh dan teladan bagi generasi berikutnya.6

5
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 301
6
Fazlur Rahman, al-Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), cet. I, hlm. 58-66

126 |
4) Menurut al-Toumy al-Syaibani, prinsip pengembangan
pendidikan karakter ada enam. Pertama, prinsip bahwa akhlak
termasuk salah satu di antara makna yang terpenting dalam
hidup ini. Kedua, prinsip bahwa akhlak adalah kebiasaan atau
sikap yang mendarah dalam jiwa dari mana timbul perbuatan-
perbuatan dengan mudah dan gampang. Ketiga, prinsip bahwa
akhlak Islam yang berdasar syariat Islam yang kekal yang
ditunjukkan oleh teks-teks agama Islam dan ajaran-ajarannya
begitu juga ijtihad-ijtihad dan amalan-amalan ulama-ulama yang
saleh dan pengikut-pengikutnya yang baik, adalah akhlak
kemanusiaan yang mulia. Keempat, prinsip bahwa tujuan
tertinggi agama dan akhlak adalah menciptakan kebahagiaan dua
kampung (dunia dan akhirat), kesempurnaan jiwa bagi individu,
dan menciptakan kebahagiaan, kemajuan, kekuatan, dan
keteguhan bagi masyarakat. Kelima, prinsip percaya bahwa agama
Islam adalah sumber tertinggi bagi akhlak dan faktor penting
yang memengaruhi pertumbuhan akhlak ini, dalam
membentuknya dan memberinya corak ke-Islaman yang
membedakannya dari yang lain. Keenam, prinsip, bahwa akhlak
tidak akan sempurna kecuali jika di dalamnya ditentukan lima
segi pokok, yaitu hati nurani akhlak (moral conscience); paksaan
akhlak (moral obligation); hukum akhlak (moral judgment);
tanggung jawab akhlak (moral responsibility), dan ganjaran
akhlak (moral reward).7

Demikianlah berbagai konsep pendidikan akhlak/karakter


yang ditawarkan oleh para intelektual yang berbeda-beda itu,
disebabkan karena hasil analisis terhadap masalah yang dihadapi
masyarakat berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa konsep
pendidikan karakter itu berbeda-beda antara satu dan lainnya.

7
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (terj.)
Hasan Langgulung dari buku Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), cet. I, hlm. 324-325.

|127
B. Pelaksanaan Pendidikan Karakter
Prasetyo dan Rivasintha menuliskan bahwa "dalam pelaksanaan
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus
dilibatkan termasuk komponen-komponen pendidikan itu
sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas, pemberdayaan
sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan
lingkungan sekolah".
Pendidikan karakter sebenarnya bukan hal baru dalam
dunia pendidikan di Indonesia sebab sudah ada mata pelajaran
Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang
telah lama diajarkan di sekolah-sekolah dasar hanya saja kedua
mata pelajaran tersebut belum mampu mengintensitaskan
pembentukan karakter positif peserta didik karena masih kurang
substansi waktunya dalam pembelajaran di sekolah sehingga
dibutuhkan program pendidikan untuk membina karakter
peserta didik yang lebih kompleks dan dapat diintegritaskan ke
dalam pembelajaran di sekolah. Pendidikan karakter merupakan
suatu program pengembangan dunia pendidikan di Indonesia
yang harus direalisasikan sehingga peran serta kita semua sangat
dibutuhkan untuk mendukung program tersebut.

C. Faktor-Faktor Penyebab Kurang Berhasilnya


Pendidikan Karakter
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kurang berhasilnya
pendidikan karakter antara lain adalah sebagai berikut:
1. Faktor keluarga
Dalam proses pendidikan karakter tentulah faktor keluarga
sangat dibutuhkan, dimana keluarga merupakan sekolah pertama
bagi seorang anak sebelum anak tersebut mengenyam bangku
sekolah, keluarga yang diperankan utamanya oleh kedua orang
tua memiliki posisi sentral dalam mengintroduksi seorang anak

128 |
kepada pendidikan karakter. namun banyak yang terjadi pada
saat ini banyak orang tua yang kurang memahami betapa
pentingnya pendidikan karakter bagi anak sehingga para orang
tua banyak yang mengabaikan akan hal ini yang mana banyak
orang tua kurang memperhatikan segala hal yang berhubungan
dengan anaknya, baik itu yang berhubungan dengan lingkungan,
pendidikan, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang
menjadi salah satu faktor pemicu kurang berkembangnya
pendidikan karakter pada anak.
2. Faktor lingkungan
Sama-sama kita ketahui bahwa lingkungan mempunyai
peran yang begitu besar dalam proses pembentukan karakter bagi
seoranag anak. Betapa bagusnya sebuah keluarga dalam
mengajarkan pendidikan karakter di rumah namun jika
lingkungan anak tersebut tidak mendukung, sudah pasti proses
ini kurang berhasil bahkan bisa menjadi sebuah bentuk
kegagalan.
Indonesia sendiri adalah Negara yang sedang berkembang.
Berabagi macam informasi masuk dan dikonsumsi oleh
masyarakatnya dari yang muda hingga yang tua. Tentu hal ini
bagus, akan tetapi kemamouan manganalisa dan menyaring
informasi tersebut masih belum masih belum dimiliki oleh
pelajar kita. Dalam hal ini informasi yang telah dikonsumsi
dengan tanpa adanya kemampuan mengkritisi akan menjadi
karakter bagi seorang anak yang membentuk kepribadiannya.
Pada tahun 2008 lalu seorang anak sekolah dasar meninggal
dunia akibat bermain smack down bersama temannya. Perilaku
ini di pengaruhi oleh tontonan serupa disalah satu stasiun TV
nasional pada kala itu.
Terlebih di era milenial seperti sekarang ini, anak-anak
terlihat lebih menikmati dunia maya ketimbang dunianya sendiri.
Hilangnya permainan tradisional yang memacu kerja sama,
kepedulian, kejujuran, dan ketangkasan, adalah salah satu
diantara banyak akibat yang muncul dari pergeseran peradaban

|129
pada saat sekarang. Oleh karena itu marilah sama-sama kita
perhatikan pergaulan setiap anak agar mereka tidak terjerumus
kedalam hal-hal yang bersifat negatif, agar terciptanya suatu
karakter yang baik yang memberikan dampak positif baik itu bagi
keluarga, sekolah, maupun dalam lingkungan masyarakat.8

3. Faktor kurikulum dan pendidik


Dalam praktiknya di lapangan, pemerintah telah merevisi
berkali-kali kurikulum nasional yang menekankan akan
pentingnya nilai-nilai karakterditerapkan dalam pembelajaran.
Beberapa diantaranya adalah kejujuran, religious, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,dan sebagainya. Langkah
seperti ini masi terlihat belum optimal mengingat toleransi
khususnya kepada yang berbeda keyakinan mulai menurun di
kalangan para pelajar, Keseriusan pelaksana pendidikan dalam
hal ini guru masih belum maksimal. Pembelajaran di kelas,
seperti banyak kita rasakan masih menitik beratkan murid
kepada kemampuan kognitif saja. Orientasi pembelajaran masih
banyak dipengaruhi oleh nilai rapor bukan internalisasi karakter
itu sendiri. Lebih parah lagi dikotomi mata pelajaran eksakta dan
social-bahasa menambah keru rekam jejak pendidikan selama ini.
Setiap sekolah lebih mementingkan rasa gengsi mereka untuk
meluluskan anak didiknya dalam memasuki PTN fovorit. Tentu
ini hal yang baik namun melupakan tujuan utama pendidikan,
yaitu character building.
Pemerintah masih perlu bekerja keras membangun iklim
pendidikan yang ideal bagi penanaman karakter yang telah lama
di rancangkan dalam kurikulum sekolah selama ini.

8
Barnawi dan M. Arifin, strategi dan kebijakan pembelajaran pendidikan
karakter, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2013 ), hlm. 25- 26.

130 |
D. Paradigma Baru Pendidikan Karakter di Indonesia
Dalam Tinjauan Psikologis
Di masa lalu, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang
ramah, menjunjung tinggi tata krama, sopan santun, budi pekerti
luhur, gotong royong dan kekeluargaan. Namun, masyarakat
Indonesia saat ini sudah jauh berbeda keadaannya. Perbedaan
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, masyarakat Indonesia saat ini sudah berubah
dari kehidupan masyarakat budaya agraris kepada masyarakat
budaya industrialis dan informasi, atau masyarakat budaya
kota. Pada masyarakat budaya kota ini ditandai oleh hal-hal
berikut:
1. Orientasi kehidupan ke masa depan;
2. Lebih bersifat rasional, pragmatis dan hedonistik;
3. Sangat menghargai waktu;
4. Bekerja dengan penuh perhitungan dan perencanaan yang
cermat;
5. Komunikasi banyak bertumpu pada penggunaan peralatan
teknologi komunikasi;
6. Kurang memiliki waktu untuk melakukan pekerjaan-
pekerjaan rumah;
7. Mengikuti budaya pop atau sesuatu yang sedang tenar;
8. Profesional dalam bekerja
9. Cenderung individualistik
10. Cenderung mengikuti budaya barat yang hedonistik,
materialistik dan pragmatis.

Keadaan masyarakat yang demikian itu telah mempengaruhi


cara pandang atau paradigma dalam memperlakukannya. Metode
dan pendekatan dalam membentuk karakter masyarakat urban
seperti itu jauh berbeda dengan metode dan pendekatan dalam

|131
membentuk karakter masyarakat agraris sebagaimana tersebut di
atas.9

Kedua, masyarakat Indonesia saat ini sudah semakin kritis,


ingin diperlakukan secara adil, demokratis, egaliter, manusiawi.
Keadaan ini selain dipengaruhi oleh perkembangan global, yakni
perjuangan menegakan HAM, juga oleh perubahan budaya politik
yang terjadi di era reformasi pada kurun waktu 10 tahun terakhir,
yakni perubahan dari sistem pemerintahan yang sentralistik
menjadi sistem pemerintahan yang desentralistik, dan dari
keadaan masyarakat yang tertutup dan terkekang menjadi
masyarakat yang terbuka dan bebas. Keadaan ini telah merubah
paradigma dalam memberikan pelayanan pada masyarakat,
termasuk memberikan pelayanan pada pendidikan.
Ketiga, masyarakat Indonesia saat ini sudah banyak yang
terpengaruh oleh budaya global (budaya barat) yang cenderung
hedonistik, materialistik, pragmatis dan sekularistik. Dalam
masyarakat yang demikian itu, nilai-nilai moral, akhlak mulia,
spritual dan transendental semakin terabaikan dan terpinggirkan.
Berbagai keputusan dan tindakan yang diputuskan masyarakat
saat ini banyak didasarkan pada pertimbangan nilai-nilai
hedonistik, materialistik, pragmatis dan sekularistik.10 Hal ini
dapat dilihat dari cara mereka menentukan pilihan lembaga
pendidikan bagi putera-puterinya, yaitu lembaga pendidikan
yang menjanjikan masa depan ekonomi yang lebih baik.
Dengan mengemukakan tiga hal diatas, dapat diketahui
bahwa masyarakat telah berubah. Yakni dari masyarakat agraris
menjadi masyarakat industrialis, informatis dan urban. Selain itu,
masyarakat Indonesia juga sudah dipengaruhi tuntutan
penegakan HAM, corak pemerintahan yang desentralistik,
perilaku yang bebas tanpa terkendali, serta peralatan teknologi
informasi.

9
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), cet. II, hlm. 203-217.
10
Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Era Global, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
1999), cet I, hlm, 89-97.

132 |
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan
perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai
agama maupun arus budaya. Islam mulai masuk ke Indonesia
dalam akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar Nusantara
dalam abad ke-16. Garis besar penyebaran Islam di Indonesia
adalah sebagai berikut;
Penyelenggaraan Pendidikan Islam tradisional, menenurut
Abuddin Nata ciri pendidikan tradisional yang sangat menonjol
adalah lebih bertumpu perhatiannya terhadap ilmu-ilmu
keagamaan semata dengan mengabaikan ilmu-ilmu modern
dengan mengabaikan ilmu-ilmu keagamaan, proses ini mulai
dilakukan di rumah-rumah, kuttab, mesjid dan madrasah ilmu
yang diajarkan seputar pengajaran ilmu keagamaan.1
Modernisasi merupakan suatu proses menuju masa kini atau
proses menuju masyarakat modern. Modernisasi dapat pula di
artikan sebagai proses perubahan dari masyarakat tradisional ke
masyarakat modern.
Pengertian dari Pendidikan itu sendiri ialah Pendidikan
berasal dari kata didik yang diberi awalan pe dan akhiran an yang
berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan, cara mendidik.
Istilah Pendidikan berasal dari bahasa yunani, paedagogy, yang
memiliki arti seorang anak yang pergi dan pulang sekolah dengan

1
Abuddin Nata, Rekontruksi Pendidikan Islam ( Jakarta: Rajawali Press,
2009) hlm. 235

|133
diantar oleh seorang pelayan. Awalnya, istilah paedagogos berarti
pelayan atau pelayanan, tetapi pada perkembangan selanjutnya,
paedagogos dimaknai sebagai seseorang yang tugasnya
membimbing anak pada masa pertumbuhannya sehingga menjadi
anak yang mandiri dan bertanggung jawab. Menurut bahasa,
pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal, cara, dan sebagainya)
mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau
pemeliharaan(latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin dan
sebagainya. Adapun pengertian pendidikan menurut istilah
adalah suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis, yang
dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk
memengaruhi anak agar mempunyai sifat-sifat dan tabiat sesuai
cita-cita pendidikan.
Selanjutnya adalah definisi Islam. Islam dari segi bahasa
berarti patuh, tunduk, taat dan berserah diri kepada Tuhan dalam
upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia
maupun di akhirat. Adapun kata Islam menurut istilah ialah
mengacu pada agama yang bersumber pada wahyu yang datang
dari Allah SWT. bukan berasal dari manusia, dan bukan pula
berasal dari Nabi Muhammad saw, posisi Nabi dalam islam diakui
sebagai utusan Allah untuk menyebarkan ajaran islam kepada
umat manusia.
Dari beberapa definisi di atas dapat di simpulkan bahwa
Modernisasi Pendidikan Islam ialah upaya sadar dan terencana
dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami,
menghayati hingga mengimani agama islam serta bertakwa dan
berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama islam dan
keterampilan yang diperlukan dari cara yang tradisional menuju
ke cara yang lebih modern.2
Program modernisasi pendidikan Islam mempunyai akar-
akarnya tetang “Modernisasi” pemikiran dan instituisi Islam
secara keseluruhan. Dengan kata lain modernisasi pendidikan

2
A.Munir, Aliran Modern Dalam Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994),
hlm. 3

134 |
Islam tidak bisa dipisahkan dengan gagasan dan program
modernisasi Islam. Kerangka dasar yang berada dibalik
modernisasi Islam secara keseluruhan adalah modernisasi
pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan persyarat bagi
kebangkitan kaum muslim di masa modern.
Pendidikan Islam baik itu kelembagaan dan pemikiran
haruslah dimodernisasi, mempertahankan kelembagaan Islam
tradisional hanya akan memperpanjang nestapa
ketidakberdayaan kaum muslimin dalam berhadapan dengan
kemajuan dunia modern.
Menurut Ibn Taimiyah secara umum pembaharuan dalam
Islam timbul karena : 1) membudayanya khurafat di kalangan
kaum Muslimin, 2) kejumudan atau ditutupnya pintu ijtihad
dianggap telah membodohkan umat Islam, 3) terpecahnya
persatuan umat Islam sehingga sulit membangun dan maju, 4)
kontak antara barat dengan Islam telah menyadarkan kaum
Muslimin akan kemunduran.3
Pembaharuan atau modernisasi pendidikan Islam di
Indonesia di awali oleh para pelajar-pelajar Muslim Indonesia
yang belajar ke timur Tengah lebih khusus di Mekkah. Setelah
selesai mereka kembali dengan membawa perubahan dalam
pendidikan Islam dari cara tradisional ke pendidikan secara
modern

A. Tradisi Pendidikan di Madrasah


Dinamika madrasah di Indonesia berbeda dengan sejarah awal
munculnya madrasah di Timur Tengah sebagai lembaga
pendidikan formal yang dikenal sejak awal abad ke-11 M/5 H (1065
M/457 H) yaitu terkenal madrasah Nizhamiyah di Bagdad yang
didirikan oleh Nizam al-Mulk seorang wazir Dinasti Saljuk (w.485

3
Abuddin Nata, Op.Cit, hlm. 188

|135
H)4 Kecenderungan pendapat umumnya menyatakan bahwa
lembaga madrasah mulai didirikan dan berkembang pada masa
tersebut.5Pada masa itu ajaran Islam telah berkembang secara
luas dalam bentuk aliran atau mazhab dalam bidang fikih, ilmu
kalam, atau ilmu tasawuf, dan ilmu pengetahuan lain yang
mencakup bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika
(aljabar), dan ilmu bumi.6 Tampaknya popularitas Nizamiyah
inilah yang dijadikan pertimbangan oleh penulis sejarah ketika
memasukkannya sebagai madrasah besar yang menjadi tonggak
pertama madrasah di dunia Islam yang berpengaruh ke berbagai
negara Muslim.
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang
berkembang subur di kalangan umat Islam termasuk di
Indonesia. Menarik bahwa madrasah di Indonesia memiliki
perbedaan yang cukup mencolok dibandingkan dengan madrasah
di dunia Islam lain, bahkan dengan awal mula munculnya sejarah
madrasah itu sendiri dalam pergumulan umat Islam di Timur
Tengah.

B. Tradisi Pesantren
Pondok pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan Islam7
karena merupakan lembaga yang berupaya menanamkan nilai-
nilai Islam di dalam diri para santri. Sebagai lembaga pendidikan
Islam, pesantren memiliki karakteristik yang berbeda
dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain,
yakni jika ditinjau dari sejarah pertumbuhannya, komponen-

4
Ahmad Syalabi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, Nuzumuh Falsafah Tarikh (Kairo,
Maktabah al-Nadah al-Mishriyah, 1987) h. 110, pendapat tersebut sejalah dengan
Philip K. Hitti, History of The Arab (London, MacMillan Press Ltd, 1974).hlm. 410
5
Maksum, Madrasah Sejarah & Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), hlm. 79
6
Umar Rida Kahhalah, Jaulah fi Rubu’ al-Tarbiyah al-Siyasa wa al-Ta’lim
(Beirut: Muassanah al-Risalah, 1980), h. 124
7
Mukti Ali, Berbagai Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta; Rajawali, 1987),
hlm. 73-74

136 |
komponen yang terdapat didalamnya, pola kehidupan warganya,
serta pola adopsi terhadap berbagai macam inovasi yang
dilakukannya dalam rangka mengembangkan sistem pendidikan
baik pada ranah konsep maupun praktik.
Pesantren merupakan agen perubahan (agent of change)
sebagai lembaga perantara yang diharapkan dapat berperan
sebagai dinamisator dan katalisator pemberdayaan sumber daya
manusia, penggerak pembangunan di segala bidang serta
pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
menyongsong era global.8 Disinilah perubahan merambah ke
dalam dunia kepesantrenan. Pada era saat ini, selain sebagai agen
pemberdayaan masyarakat bermoral dan beretika, pesantren juga
diharapkan mampu meningkatkan peran kelembagaannya
sebagai kawah candradimuka generasi muda Islam dalam
menimba ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bekal dalam
menghadapi era globalisasi.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang
berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam,
pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim di
Indonesia.9 Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
yang bertujuan untuk tafaqquh fī al-dīn (memahami agama) dan
membentuk moralitas umat melalui pendidikan. Pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki akar secara
historis yang cukup kuat, sehingga menduduki posisi relatif
sentral dalam dunia keilmuan. Adapun unsur dari pesantren
adalah kiai, santri, masjid, pondok dan kitab-kitab Islam klasik.
Kehadiran pesantren dikatakan unik karena dua alasan. Pertama,
pesantren hadir untuk merespon situasi dan kondisi suatu
masyarakat yang dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral
atau bisa disebut perubahan sosial. Kedua, didirikannya

8
Yuniar N. Gina, “Sistem Pendidikan Pesantren”, diakses pada 11 September
2016 dalam https://www.kompasiana.com/yuniargina/57d50eb2 6323bd71428
0c64c/ sistem-pendidikan-pesantren
9
Fa’uti Subhan, Membangun Sekolah Unggulan dalam Sistem
Pesantren,(Surabaya: Alpha, 2006), hlm.8.

|137
pesantren adalah untuk menyebar luaskan ajaran universalitas
Islam ke seluruh pelosok nusantara.10
Tinjauan sejarah pertumbuhan pesantren, sebagai unit
lembaga pendidikan dan sekaligus lembaga dakwah. Pesantren
pertama kali dirintis oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Pesantren pertama didirikan di Kembangkuning, yang waktu itu
hanya dihuni oleh tiga santri , yaitu Wiryo Suroyo, Abu Hurairah,
dan Kiai Bangkuning. Pesantren tersebut kemudian dipindahkan
ke kawasan Ampel di seputar Delta Surabaya, karena ini pulalah
Raden Rahmat akhirnya dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.
Selanjutnya, putra dan satri dari Sunan Ampel mendirikan
beberapa pesantren baru, seperti; pesantren Giri oleh Sunan Giri,
Pesantren Demak oleh Raden Patah dan Pesantren Tuban oleh
Sunan Bonang.11 Fungsi pesantren pada awalnya hanyalah sebagai
media Islamisasi yang memadukan tiga unsur yaitu ibadah untuk
menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan Islam, dan ilmu
serta amal untuk mewujudkan kegiatan sehari-hari dalam
kehidupan bermasyarakat.12
Berdasarkan literatur, dimana setiap pesantren ternyata
berproses dan bertumbuh kembang dengan cara yang berbeda-
beda di berbagai tempat, baik dalam bentuk maupun kegiatan-
kegiatan kurikulernya. Namun, di antara perbedaan-perbedaan
tersebut masih bisa diidentifikasi adanya pola yang sama.
Persamaan pola tersebut, menurut A. Mukti Ali, dapat dibedakan
dalam dua segi, yaitu; segi fisik dan segi non-fisik. Segi fisik
terdiri dari empat komponen pokok yang selalu ada pada setiap
pesantren, yatiu; (a) kiai sebagai pemimpin, pendidik, guru, dan
panutan, (b) santri sebagai peserta didik atau siswa, (c) mesjid
sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, dan

10
Depag, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah (Jakarta: DEPAG RI,
2003), hlm.7
11
Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2013),
hlm.33-34
12
Wahjoetomo,Perguruan Tinggi Pesantren(Jakarta: Gema Insani Press,
1997), hlm.70

138 |
peribadatan, dan (d) pondok sebagai asrama untuk mukim santri.
Adapun non-fisik , yakni yang terkait dengan komponen non-
fisik, adalah pengajian (pengajaran agama). Pengajian ini
disampaikan dengan berbagai metode yang secara umum nyaris
seragam, yakni standarisasi kerangka sistem nilai baik dan buruk
yang menjadi standar kehidupan dan perkembangan pondok
pesantren. Hampir senada dengan A. Mukti Ali, Zamakhsyari
Dhofier juga merumuskan pola yang sama. Hanya saja, Dhofier
menitikberatkan komponen non-fisik pada pengajaran kitab-
kitab Islam klasik. Pasalnya , tegas Dhofier, tanpa pengajaran
kitab-kitab Islam klasik tersebut pesantren dapat dianggap tidak
asli lag (indigenous).13
Adapun hasil penelusuran di lapangan dan beberapa literatur
menjelaskan , pola kehidupan pada pesantren termanifestasikan
dalam istilah “ pancajiwa” yang didalamnya memuat “lima jiwa”
yang diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan
karakter santri. Kelima jiwa tersebut adalah jiwa keikhlasan,
kesederhanaan, jiwa kemandirian, jiwa ukhuwah Islamiyah dan
jiwa kebebasan yang bertanggung jawab.14

C. Tradisi Pendidikan di Pesantren


Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah menjadikan pesatnya ilmu
pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya
belajar di mesjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga,
yaitu “kuttab” (pondok pesantren). Kuttab, dengan karakteristik
khasnya, merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang
semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqah
(sistem wetonan). Pada tahap berikutnya kuttab mengalami
perkembagan pesat karena didukung oleh dana dari iuran

13
Op.cit Modernisasi Pesantren (Studi Transformasi Kepempinan Kiai dan
Sistem Pendidikan Pesnatren), hlm. 37
14
Op.cit Modernisasi Pesantren (Studi Transformasi Kepempinan Kiai dan
Sistem Pendidikan Pesnatren) hlm. 44

|139
masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi
oleh pendidik dan peserta didik.
Pesantren atau pondok pesantren merupakan sebuah
pondok pendidikan yang terdiri dari seorang guru-pemimpin
umumnya seorang haji, yang disebut kyai dan kelompok murid
laki-laki yang berjumlah tiga sampai ribuan orang yang disebut
santri. Secara tradisional, sampai tingkat tertentu, para santri
tinggal dalam pondok yang menyerupai asrama biara, mereka
mengurusi diri sendiri mulai dari memasak hingga mencuci
pakaian sendiri.
Bangunan pokok pesantren hampir keseluruhan, kecuali
dewasa ini, terletak di luar kota, biasanya terdiri dari sebuah
masjid, rumah kyai dan sederet pondokan santri. Pengajaran
sendiri dilakukan tanpa paksaan, santri tidak dipaksa untuk
menghadiri pengajian yang dilakukan kyai, karena santri dapat
tetap di pondok asal dapat menafkahi dirinya sendiri. Karena itu
tingkat penguasaan santri amat tergantung pada individu santri
sendiri. Individu yang giat akan memperoleh hasil yang
memuaskan, sebaliknya banyak pula santri yang tidak membawa
bekal ilmu yang berarti. Dengan demikian dalam system pondok
tidak terdapat kelas atau penilian, karena santri dapat
meninggalkan kapanpun mereka mau.
Dengan demikian jalur keluar masuk orang dalam pondok
pesantren sangat bebas, tidak ada ikatan, cukup dengan izin kyai
yang mudah diperoleh jika memiliki reputasi baik. Bagi santri
ingin menjelajahi berbagai pondok pesantren demi spesialisasi ke
ilmuan yang dimiliki para kyai yang jelas dan berbeda. Seorang
kyai mungkin ahli dalam fiqh, hadits, teologi, ataupun filsafat.
Walaupun ada indikasi yang menyamakan pesantren dengan
biara, namun pesantren amat berbeda dengan biara karena tidak
dihalangi bagi santri untuk menikah, status perkawinan apapun

140 |
yang dimiliki seseorang tidak menghalanginya untuk pondok di
pesantren15
Pesantren mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Pondok pesantren adalah lembaga tafaqquh fī al-dīn yang
mengemban misi meneruskan risalah nabi Muhammad
SAW.
b. Berdasarkan sejarahnya, pondok pesnatren memiliki tiga
peran dan fungsi yang dilaksanakan secara serentak dan
dijiwai watak kemandirian dan semangat juang yang
meliputi:
1) Sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan ajaran
Islam. Pesantren ikut bertanggung jawab
mencerdasakan kehidupan bangsa dan mempersiapkan
sumber daya manusia Indonesia yang memiliki ilmu
pengetahuan dan teknologi yang handal, serta dilandasi
iman dan taqwa yang kokoh.
2) Sebagai lembaga perjuangan dan dakwah Islamiyah.
Pesantren bertanggung jawab mensyiarkan agama Allah
dan ikut berpartisipasi dalam membina kehidupan
bangsa umat beragama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3) Sebagai lembaga pemberdayaan dan pengabdian
masyarakat. Pesantren berkewajiban mendarma
baktikan peran, fungsi dan potensi yang dimiliki untuk
memperbaiki kehidupan. Tidak lain dari hal tersebut
yakni memperkokoh eksistensi masyarakat demi
terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil, beradab,
sejahtera dan demokratis berdasarkan pancasila dan
UUD 1945.

15
Disarikan dari Cliford Geetz, The Religion of Java, ( Ter), Aswab Mahasin,
Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Jakarta : Kerja sama Yayasan
ilmu-ilmu social dan Dunia Pustaka Jaya. 1983, Cet. Ke-3 hlm. 241-244.

|141
Sistem yang ditampilkan dalam pondok pesantren
mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang
diterapkan dalam lembaga pendidikan pada umumnya, yaitu;
1. Memakai sistem tradisional, yang memiliki kebebasan
penuh dibandingkan dengan sekolah modern, sehingga
terjadi hubungan dua arah antara kyai dan santri.
2. Kehidupan di pesantren menampakkan semangat
demokrasi, karena mereka praktis bekerja sama
mengatasi problem non-kurikuler mereka sendiri.
3. Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu
perolehan gelar dan sarjana, karena sebagian besar
pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri
dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa
adanya ijazah tersebut. Hal ini karena tujuan utama
mereka hanya ingin mencari keridhaan Allah SWT
semata.
4. Sistem pondok pesantren mengutamakan
kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan,
rasa percaya diri dan keberanian hidup.
5. Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki
menduduki jabatan pemerintah, sehingga mereka
hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.16

Sebagai lembaga yang tertua, sejarah perkembagan pondok


pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat non-
klasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan metode
pengajaran wetonan dan sorogan. Di Jawa Barat, metode tersebut
diistilahkan dengan bendungan, sedangkan di Sumatera
digunakan istilah halaqah.
a. Metode wetonan (halaqah), metode yang didalamnya
terdapat seorang kyai yang membaca suatu kitab dalam
waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab

16
Amien Rais M, Cakrawala Islam: Anatara Cita dan Fakta, (Bandung:
Mizan, 1989), hlm. 162

142 |
yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan
kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar
mengaji secara kolektif.
b. Metoda sorogan. Metode yang santrinya cukup pandai
men-sorog-kan (mengajukan) sebuah kitan kepada kyai
untuk membaca dihadapannya, kesalahan dalam
bacaanya itu langsung dibenari kyai. Metode ini dapat
dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.17
c. Tujuan utama pondok pesantren meliputi:
1. Menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu
agama Islam yang diharapkan dapat mencetak
kader-kader ulama. Turut mencerdaskan masyarakat
Indonesia.
2. Dakwah menyebarkan agama Islam
3. Benteng pertahanan umat Islam bidang akhlak.

Sejalan dengan tujuan utama pondok di atas, maka tujuan


pesantren juga dapat dijelaskan berdasarkan tujuan umum dan
tujuan khusus. Tujuan pesantren secara umum yakni membina
warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-
ajaran agama Islam. Menanamkan rasa keagamaan pada semua
aspek kehidupan. Menjadikan santri sebagai orang yang berguna
bagi agama, masyarakat dan negara. Sedangkan tujuan khusus
pesantren adalah sebagai berikut:
a. Mendidik santri menjadi seorang muslim yang bertaqwa
kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki
kecerdasan, keterampilan, dan sehat lahir batin sebagai
warga negara yang berpancasila.
b. Mendidik santri menjadi manusia muslim selaku kader-
kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah,
tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan sejarah Islam
secara utuh dan dinamis.
17
Aziz Masyhuri, Pokok Pikiran tentang Pengembangan Pengkajian Kitab,
Majalah Tebuireng, No. 5 September, 1989 hlm. 38

|143
c. Mendidik santri supaya mempunyai kepribadian baik
dan mempunyai semangat kebangsaan agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang
dapat membangun dirinya dan bertanggung jawab
kepada pembangunan bangsa dan negara
d. Mendidik tenaga-tenaga pembangunan mikro
(keluarga) dan regional (pedesaan/ masyarakat
lingkungannya)
e. Mendidik santri supaya menjadi tenaga-tenaga yang
cakap dalam berbagai sektor pembangunan khususnya
pembangunan mental spiritual
f. Mendidik santri agar mampu membantu meningkatkan
kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan, dalam
rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.

Unsur-unsur kunci Islam tradisional adalah lembaga


pesantren sendiri, peranan dan kepribadian kiai (ajengan, tuan
guru dan lain sebagainya tergantung daerahnya) yang sangat
menentukan dan karismatik, sebagaimana diketahui karismatik
menurut pengertian Weberian merupakan sikap hormat , takzim
dan kapatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai
pertama yang ditanamkan pada setiap santri.18 Kepatuhan itu
diperluas lagi, sehingga mencakup penghormatan kepada ulama
sebelumnya dan a fortiori, ulama yang mengarang kitab-kitab
yang dpelajarinya. Kepatuhan ini, menurut sebagian pengamat
terlihat adanya lebih penting daripada usaha penguasai ilmu
tetapi bagi kiai hal ini merupakan bagian integral dari ilmu yang
akan dikuasai.

D. Pesantren dan Kitab Kuning Kesinambungan


Salah satu tradisi agung (great tradition) di Indonesia adalah
tradisi pengajaran agama Islam seperti yang muncul di pesantren
Jawa dan lembaga-lembaga serupa di luar jawa serta semenanjung

18
Op cit Kitab Kuning, hlm. 18

144 |
malaka. Adapun alasan pokok munculnya pesantren ini adalah
untuk mentrasmisikan Islam sebagaimana yang terdapat dalam
kitab-kotab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-
kitab ini dikenal di Indonesai sebagai kitab kuning. Jumlah teks
klasik yang diterima di pesantren sebagai ortodoks (al kutub al
mu’tabarah) pada prisipnya terbatas. Ilmu yang bersangkutan
dianggap sesuastu yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah
hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali. Meskipun
terdapat karya-karya baru, namun kandungannya tidak berubah.
Kekakuan tradisi itu sebenarnya telah banyak dikritik, baik
peneliti asing maupun oleh kaum muslim reformis dan
modernis.19
Kitab-kitab yang merupakan penompang utama tradisi
keilmuan Islam ditulis pada abad ke-10 sampai abad ke-15 M,
beberapa karya penting ditulis sebelum periode tersebut dan
beberapa karya baru dengan corak yang sama terus ditulis tetapi
sejak akhir abad ke-15 pemikiran Islam tidak mengalami
kemajuan yang berarti. Pola pemikiran dalam ilmu-ilmu
keislaman tetap sama, namun dalam ilmu lain seperti;
matematika, fisika dan kedokteran paradigma telah mengalami
perubhan, karena pengaruh Eropa.

E. Tantangan Era Globalisasi Bagi Dunia Pesantren


Ada ungkapan paradoks pada tradisi pesantren, di satu sisi ia
berakar di bumi Indonesia; pondok pesantren bisa dianggap
lembaga yang khas Indonesia. Meskipun ia merupakan lembaga
pendididkan Islam tradsional, namun dalam beberapa aspek,
berbeda dengan sekolah tradisional di dunia Islam mana pun. Di
sisi lain, pada saat yang sama ia berorientasi internasional dengan
Makkah sebagai pusat orientasinya, bukan Indonesia.

19
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning (Pesantren dan Tarekat), hlm. 17

|145
Pola khas pesantren sebagai lembaga pendidikan juga
mencerminkan pengaruh asing dan mungkin juga punya akar
asing (meskipun bercampur dengan tradisi lokal yang lebih tua).
Ia menyerupai madrasah yang ada di India dan Timur Tengah.
Hampir semua kiai besar menyelesaikan tahap akhir
pendidikannya di pusat-pusat pengajaran Islam prestisius di
tanah Arab. Mereka bisa di anggap sebagai perantara antara
tradisi besar keilmuan Islam yang bersifat Internasional dengan
varian tradisi Islam yang masih sederhana di Indoensia.
Tradisi pesantren bukanlah satu-satunya tradisi budaya
Indonesia yang mempunyai akar asing. Namun berbeda dengan
tradisi-tradisi Indonesai yang berakar ke India dan Cina yang
telah terintegrasi dengan budaya setempat dan berkembang lebih
lanjut, yang kemudian terlepas dari sumber asing mereka. Tradisi
pesantren sangat berhati-hati terhadap sinkretisme dan
senantiasa memperbarui diri kembali melalui sumbernya sendiri.
Sumber yang sangat penting bagi Islam tradisional adalah kota
suci Makkah sebagai pusat orientasi semua dunia Islam dan
menyusul madinah, tempat pertama Nabi Muhammad
membangun mesjid dan wafat.
Urgensi kajian tentang inovasi pesantren di dalam proses
trasformasinya adalah rangka memahami lebih jauh terjadinya
perubahan-perubahan atau pengeseran-pengeseran di tubuh
pesantren. Sebab, setiap transformasi berpotensi memunculkan
inovasi atau temuan-temuan. Dengan kata lain, secara teoritis
dapatlah dikatakan bahwa trasformasi dapat melahirkan inovasi
dan, sebaliknya, inovasi juga turut memengaruhi proses
transformasi.
Menurut Dhofier, setiap pesantren berkembang melalui cara
yang bervariansi. Pesantren sendiri, menurut Dhofier, terbagi ke
dalam dua kategori, yaitu; salafi dan khalafi.20 Sedikit berbeda
dengan Dhofier, Abdullah Syukri Zarkasyi mengklafikasikan ke

20
ZamakhsyariDhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Kyai
(Cet. VII; Jakarta: LP3ES, 1997), hlm. 41

146 |
dalam tiga kategori, yaitu; pesantren tradisional, pesantren
modern, dan pesantren perpaduan antara tradisional dan
modern.21 Berdasarkan hasil survei Departemen Agama,
Menurut Noeng Muhadjir22menyatakan bahwa istilah
penemuan dapat ditermahkan menjadi discovery, invention,
ataupun innovation Discovery biasa diartikan sebagai penemuan
sesuatu yang sudah ada, tetapi belum dikenal oleh satuan
masyarakat, seperti Colombus sebagai warga masyarakat Eropa
menemukan benua Amerika. Invention biasa diartikan sebagai
penemuan sesuatu yang sama sekali baru bagi warga masyarakat
mana pun, seperti Edison menemukan listrik. Adapun innovation
biasanya berkaitan erat dengan upaya-upaya yang dilakukan
untuk memecahkan suatu masalah.
Pesantren dituntut untuk terus merubah wajah, dari lembaga
yang hanya mengandalkan metode klasik menuju metode
didaktik modern. Konsekwensinya yang pasti dilakukan ialah
merubah paradigma pendidikan dari klasik menjadi lebih ilmiah,
logis dan modern. Perubahan paradigma diawali dari konsep
metodologi pembelajaran pesantren seperti pendirian lembaga
formal: SMP, SMA atau perguruan tinggi, serta lembaga
keterampilan, bengkel, LPK. Perubahan wajah pesantren perlu
dilakukan dengan mengubah menjadi lebih inklusif yaitu
tuntutan membuka diri dan jaringan ke siapapun atau lembaga
manapun. Sebab visi ini cukup bermanfaat bagi pesantren
terutama untuk investasi jangka panjang
Eksistensi dan peran strategis pesantren dihadapkan pada
tantangan baru sebagai akibat dari arus globalisasi. Tantangan
tersebut antara lain:
a. Adanya penggunaan sains dan teknologi dalam kehidupan
masyarakat yang mempengaruhi lahirnya pola komunikasi,

21
Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren: Studi Transformasi
Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: LKiS, 2013), hlm.
48

|147
interaksi, sistem layanan publik, dan pelaksanaan berbagai
kegiatan
b. Masuknya nilai-nilai budaya modern (barat) yang bercorak
materialistik, hedonistik, dan sekularistik yang menjadi
penyebab dekadensi moral
c. Interdependensi (saling ketergantungan) negara yang
menyebabkan terjadinya dominasi dan hegemoni negara
kuat atas negara yang lemah
d. Meningkatnya tuntutan publik untuk mendapatkan
perlakuan yang semakin adil, demokratis, egaliter, cepat dan
tepat yang menyebabkan terjadinya fragmentasi politik
e. Adanya kebijakan pasar bebas (free market) yang
memasukkan pendidikan sebagai komoditas yang
diperdagangkan yang selanjutnya berpengaruh terhadap visi,
misi, dan tujuan pendidikan beserta komponen lainnya.23
Selain tantangan di atas, tantangan dan masalah internal
pesantren pasca modernisasi dan tantangan globalisasi pada hari
ini dan masa depan secara umum adalah sebagai berikut:
1) Jenis pendidikan yang dipilih dan dilaksanakan. Adanya
perubahan kebijakan dalam pendidikan sejak tahun 1970
menjadikan pesantren memiliki peluang juga tantangan
berkenaan dengan jenis pendidikan yang dapat dipilih dan
diselenggarakan yang setidaknya kini menyediakan empat
pilihan:
a. Pendidikan yang berpusat pada tafaqquh fī al-dīn, seperti
tradisi pesantren pada masa pra modernisasi (pesantren
slafiyyah), dengan kurikulum yang hampir sepenuhnya
ilmu agama. Di tengah arus modernisasi, terdapat
kecenderungan pada sejumlah pesantren dalam
mempertahankan dan kembali kepada karakter
salafiyyahnya.

23
Abudin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,
2012), hlm. 312.

148 |
b. Pendidikan madrasah yang mengikuti kurikulum
kemendikbud dan kemenag. Madrasah pada awal
mulanya merupakan pendidikan agama plus umum,
tetapi ekuivalensi seperti digariskan UUSPN 1989 adalah
sekolah umum berciri agama
c. Sekolah Islam yang mengikuti kurikulum kemendikbud
yang pada dasarnya adalah pendidikan umum plus
agama.
d. Pendidikan keterampilan (vocational training)/ SMK.

Keempat jenis pendidikan tersebut dapat dilaksanakan


dalam satu pesantren. Keempat pilihan ini secara implisit
mengakomodasi hampir keseluruhan harapan masyarakat
sekaligus kepada pesantren. Harapan utama pesantren
adalah tetap menjalankan peran sangat krusialnya dalam 3
hal pokok: 1) transmisi ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam
(transmission of Islamic knowledge), 2) pemeliharaan tradisi
Islam (maintenance of Islamic tradition), 3) reproduksi ulama
(reproduction of ‘ulama’). Harapan kedua adalah supaya para
santri tidak hanya mengetahui ilmu agama, tetapi juga ilmu
umum. Sehingga mampu menjalankan mobilitas pendidikan.
Harapan ketiga agar santri memiliki keterampilan, keahlian
atau life skill khususnya dalam bidang sains dan teknologi
yang menjadi karakter dan ciri globalisasi. sehingga, santri
memiliki dasar competitive advantage dalam lapangan
pekerjaan seperti yang dituntut dalam globalisasi.
2) Identitas pesantren berkaitan dengan masalah yang pertama.
Pada satu segi, pengakuan penyetaraan pendidikan yang
berlangsung di pesantren telah membuka peluang bagi
penyelenggaraan berbagai jenis pendidikan di pesantren.
Tetapi pengambilan pilihan bisa jadi dapat mengorbankan
identitas pesantren sebagaimana telah terpatri dalam
masyarakat.
3) Penguatan kelembagaan dan manajemen. Perubahan
kebijakan pendidikan nasional misalnya yang menekankan

|149
pada peran pesantren sebagai community based education
dan tantangan global mengaharuskan pesantren
memperkuat dan memberdayakan kelembagaannya. UU
yayasan juga menghendaki pesantren dan hubungannya
dengan para pelaksana kependidikan: madrasah atau
sekolah. Kelembagaan pesantren haruslah bertitik pada
prinsip kemandirian (otonom), akuntabilitas dan
kredibilitas. Pendidikan yang ada di pesantren dapat
diselenggarakan dengan lebih efektif dan efisien apabila
menggunakan prinsip-prinsip manajemen modern (TQM).

Era globalisasi yang menimbulkan tantangan dalam


penguasaan iptek, telah dijawab oleh pesantren dengan
melakukan pengembangan kurikulum dan membuka program
pendidikan yang makin variatif. Membentuk lembaga yang
memberikan kemampuan pesantren dalam menjawab isu-isu
kontemporer. Selanjutnya era globalisai yang menimbulkan
tantangan di bidang budaya asing telah dijawab oleh pesantren
dengan menyelenggarakan pendidikan karakter yang efektif
dengan berbasis pada thariqat dan tasawuf. Tantangan globalisasi
berupa persaingan bisnis dalam pendidikan telah dijawab oleh
dunia pesantren dengan menerapkan pendidikan yang berbasis
masyarakat. Tantangan globalisasi dalam bentuk pengembangan
ilmu telah dijawab oleh dunia pesantren dengan
mengembangkan kegiatan penelitian, kajian, penerbitan,
seminar, dan sebagainya.
Dalam mengahadapi budaya barat yang hedonistik,
materialistik, pragmatis, dan sekularistik yang berdampak pada
dekadensi moral. Dunia pesantren diakui sebagai lembaga
pendidikan yang paling efektif dalam membentuk karakter.
Melalui nilai religiusitas yang berbasis pada ajaran Tasawuf yang
ditanamkan di pesantren melalui pembiasaan, bimbingan,
keteladanan, dan pengamalan yang dilakukan secara
berkelanjutan (istiqamah) dan berada di bawah pengawasan
langsung para kiai.

150 |
Kebiasaan tindakan tersebut sebagai alat pembentukan
karakter atau akhlak mulia para santri di pesantren berlangsung
secara efektif.
Sampai saat ini, pesantren masih tetap eksis dan mampu
bertahan sebagai model pendidikan alternative, meski harus
bersaing dengan tumbuhnya pendidikan modern dan sekuler.
Seiring era globalisasi, harapan masyarakat terhadap pesantren
semakin meningkat. Perlu menata manajemen pesantren agar
lebih maju:
a)
Mengadopsi manajemen modern
b)
Membuat wirausaha dan melakukan
pelatihan kewirausahaan
c)
Membuat network ekonomi.

|151
152 |
A. Kedudukan UUD 1945 dan Implikasinya Bagi
Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan
harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat,
yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Pendidikan dalam proses mencapai tujuannya perlu dikelola
dalam suatu sistem terpadu dan serasi, baik antar sektor
pendidikan dan sektor pembangunan lainnya; antar daerah dan
antar berbagai jenjang dan jenisnya.
Pendidikan yang dilaksanakan baik di sekolah maupun di
luar sekolah perlu disesuaikan dengan perkembangan tuntutan
pembangunan yang memerlukan berbagai jenis keterampilan dan
keahlian disegala bidang serta ditingkatkan mutunya sesuai
dengan kemajuan ilmu dan teknologi, seperti di sekolah-sekolah
kejuruan dan politeknik. Kerjasama antara dunia pendidikan
dengan dunia usaha perlu dikembangkan sedemikian rupa
sehingga produk dunia pendidikan siap pakai oleh dunia usaha
karena memenuhi persyaratan keterampilann dan kecakapan
yang sejalan dengan tuntutan pembangunan di berbagai bidang.
Sebagai bangsa Indonesia, kita harus mengartikan
pendidikan sebaga perjuangan bangsa, yaitu pendidikan yang
berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan
pada Pancasila dan UUD 1945 dalam operasionalisasinya,
pendidikan nasional dengan sifat dan kekhususan tujuannya,
yang dikelola dalam perjenjangan sesuai dengan tahapan atau

|153
tingkat perkembangan peserta didik, keluasan dan kedalaman
bahan pengajaran. Oleh karena itu pendidikan berlangsung harus
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam pasal
4 UUSPN adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan
mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

1. UUD 1945 sebagai Landasan Yuridis


Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia,
mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan
menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR
dan Presiden pada tanggal 8 Juni 2003 telah mengesahkan
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai
pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.
Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari
22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan
dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998.
Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang
Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan
desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan
globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan
peserta didik.
Tiap-tiap Negara memiliki peraturan perundang-undangan
sendiri. Semua tindakan yang dilakukan di Negara itu didasarkan
pada perundang-undangan tersebut. Negara Republik Indonesia
mempunyai berbagai peraturan perundang-undangan yang
bertingkat, mulai dari UUD 1945, UU, Peraturan Pemerintah,
Ketetapan dan Surat Keputusan. Semuanya mengandung hukum
yang harus ditaati, dimana UUD 1945 merupakan hukum yang
tertinggi. Landasan hukum merupakan peraturan baku sebagai

154 |
tempat berpijak atau titik tolak dalam melaksakan kegiatan
tertentu, dalam hal ini kegiatan pendidikan.
Landasan yuridis pendidikan Indonesia dalam hal ini merupakam
seperangkat konsep peraturan perundang-undangan yang
menjadi titik tolak sistem pendidikan Indonesia, yang menurut
Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia, Ketetapan MPR, Undang-Undang Peraturan
Pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah,
Keputusan Presiden, peraturan pelaksanaan lainnya, seperti
peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
Sebagai penyelenggaraan pendidikan nasional yang utama,
perlu pelaksanaannya berdasarkan undang-undang. Hal ini
sangat penting karena hakikatnya pendidikan nasional adalah
perwujudan dari kehendak UUD 1945 utamanya pasal 31 tentang
Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31:
1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
pemerintah wajib membiayainya.
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang.
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendid ikan nasional.
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama
dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
Pentingnya undang-undang sebagai tumpuan bangunan
pendidikan nasional di samping untuk menunjukkan bahwa
pendidikan sangat penting sebagai penjamin kelangsungan hidup

|155
bangsa Indonesia, juga dapat dipedomani bagi penyelenggaran
pendidikan secara utuh yang berlaku untuk seluruh tanah air.
Landasan yuridis bukan semata-mata landasan bagi
penyelenggaraan pendidikan namun sekaligus dijadikan alat
untuk mengatur sehingga penyelenggaraan pendidikan yang
menyimpang, maka dengan landasan yuridis tersebut dikenakan
sanksi.
Dalam praktek penyelenggraan pendidikan tidak sedikit
ditemukan penyimpangan. Memang penyimpangan tersebut
tidak begitu langsung tetapi dalam jangka panjang bahkan dalam
skala nasional dapat menimbulkan kerugian bukan hanya secara
material tapi juga spiritual. Penyelenggaraan pendidikan yang
sangat komersial dan instan dapat merusak pendidikan sebagai
proses pembentukan watak dan kepribadian bangsa sehingga
dalam jangka panjang menjadikan pendidikan bukan sebagai
sarana rekonstruksi sosial tetapi dekonstruksi sosial. Itulah
sebabnya di samping dasar regulasi sangat penting juga harus
pula dilandasi dengan dasar yuridis untuk sanksi.

a. Pancasila Sebagai Landasan Idil


Pancasila telah diakui sebagai ideologi dan dasar negara
yang terumuskan dalam pembukaan UUD 1945, pada
hakikatnya mencerminkan nilai-nilai keseimbangan,
keserasian, keselarasan, persatuan, dan kesatuan. Perpaduan
nilai-nilai tersebut mampu mewadahi kebhinekaan seluruh
aspirasi bangsa Indonesia. Pancasila merupakan sumber
motifasi bagi perjuangan seluruh bangsa Indonesia dalam
tekadnya untuk secara berdaulat dan mandiri manata
kehidupan didalam negara kesatuan republik Indonesia.
Pancasila sebagai falsafah ideologi bangsa dan dasar negara
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para
penyelenggara negara, para pemimpin rakyat dan seluruh
rakyat indonesia.

156 |
Pengajawahan pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diaktulisasikan
dengan mesyukuri akan segala anugrahnya baik dalm wujud
kontelasi dan posisi geografi maupun segala isi dan potensi
yang dimiliki wilayah nusantara untuk dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi peningkatan harkat, martabat bangsa
dan negara Indonesia. Hal-hal tersebut menimbulkan
rangsangan dan dorongan kepada bangsa Indonesia untuk
membina dan mengembangkan segala aspek dan dimensi
kehidupan nasionalnya secara dinamis, utuh dan
menyeluruh, agar mampu mempertahankan identitas,
integritas dan kelangsungan hidup serta pertumbuhannya
dalam perjuangan mewujudkan cita-cita nasional. Setelah
menegara dalam menyelenggerakan kehidupan nasionalnya.
Bangsa Indonesia didorong oleh motifasi untuk mencapai
tujuan nasional dalam rangka mewujudkan cita-cita
nasional.

b. Pasal-pasal UUD 1945 sebagai landasan yuridis


Pendidikan Nasional
1) Pasal 31, ayat (1)
Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan
pengajaran.
2) Pasal 31 ayat (2)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pengajaran nasional , yang diatur dengan
undang-undang.
3) Pasal 32
Pemerintah memajukan kebudayaan nasional
Indonesia. Dalam UU No. 2 Thn 1989, dinyatakan
bahwa kebudayaan nasional adalah akar sistem
pendidikan Nasional.

|157
2. Pendidikan Islam pada Zaman Sebelum Kemerdekaan
Sejarah pendidikan agama di Indonesia pada awalnya adalah
pendidikan agama untuk penyebaran agama yang dilakukan
secara tradisional dengan model dan bentuk yang
beranekaragam.
Adapun pola-pola bentuk kebijakan pemerintah sebelum
kemerdekaan, Pada periode penjajahan terjadi praktek politik
pendidikan yang diskriminatif sebagai bagian dari strategi politik
penjajah. Pemerintah kolonial belanda memperkenalkan sekolah-
sekolah modern menurut system persekolahan yang berkembang
di dunia barat, sedikit banyaknya memepengaruhi pendidikan di
indonesia, yaitu pesantren. Padahal di ketahiu bahwa pesantren
adalah satu satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia
sebelum adanya colonial belanda, justru sangat berbeda dalam
system dan pengelolaanya dengan sekolah yang diperkenalkan
oleh belanda.1
Hal ini dapat di lihat dari terpecahnya dunia pendidikan di
Indonesia pada abad 20 M menjadi dua golongan yaitu: 1.
Pendidikan yang di berikan oleh sekolah barat yang sekuler yang
tidak mengenal ajaran agama, dan 2. Pendidikan yang di berikan
oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja. Dengan
terpecahnya dunia pendidikan menjadi dua corak yang sangat
berbeda, tentunya tidak akan membawa keuntungan bagi
perkembangan masyarakat Indonesia bagi masa yang akan
datang. Di satu sisi perlu mengetahui perkembangan dunia luar/
teknologi, di sisi lain juga di perlukan adanya pemahaman
keagamaan.
Dalam hal ini muncul kesadaran dari pendidikan islam
ulama-ulama yang pada waktu itu menyadari bahwa system
pendidikan tradisional dan langgar tidak sesuai lagi dengan iklim
pada masa itu, maka di rasakanya penting untuk member
pendidikan di sekolah dan di madrasah secara teratur.

1
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Indonesia (Jakarta : PT. Grafindo
Persada, 1996), hlm. 14

158 |
Muhammad abduh dan rasyid ridha dengan pembaharuan di
bidang sosial dan kebudayaan berdasarkan tradisi islam Al-
Qur’an dan hadis yang di bangkitkan kembali dengan
menggunakan ilmu-ilmu barat.2 Dan juga merupakan jalan untuk
maju dan berpartisipasi dalam pembaharuan, maka munculah
tokoh tokoh pembaharuan di Indonesia yang mendirikan sekolah
islam di mana-mana.
Adapun madrasah-madrasah yang didirikan di Indonesia:
1. Madrasah Adabiyah School
Menurut penelitian Mahmud yunus, bahwa pendidikan
islam yang mula mula berkelas dan memakai bangku, meja, dan
papan tulis adalah sekolah adabiyah/ madrasah adabiyah school
di padang panjang. Sekolah ini didirikan oleh H. Abdullah pada
tahun 1907 di padang panjang.3
2. Madrasah Diniyyah School
Tokoh lain dalam pembaharuan dunia islam di minangkabau
adalah Zainuddin Labia El-Yunisi 1890-1924, mendirikan
madrasah diniyyah pada tahun 1915, sebagai sekolah agama yang
dilaksanakan menurut sistem pendidikan modern yakni dengan
alat tulis dan alat peraga, coeducation.4
3. Madrasah Muhammadiyah
Kemudian tokoh yang memiliki pola pemikiran yang senada
dengan yang di lakukan Abdullah Ahmad di padang panjang
adalah KH. Ahmad Dahlan 1868-1923, yang mendirikan organisasi
Muhammadiyah dengan teman-temannya di kota yogjakarta pada

2
Chadijah ismail, Sejarah Pendidikan Islam, (Padang: IAIN Press, 1999) hlm.
78
3
Samsul Nizar, Sejarah Dan Pergolakan Pemikir Pendidikan Islam, Potret
Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm.
94
4
Hayati Nizar, Analisis Historis Pendidikan Demokratis di Minangkabau,
Dalam Majalah Hadharah PPS IAIN Imam Bonjol Padang, Vol 3, edisi februari
2006, hlm. 143

|159
tahun 1912, yang bertujuan mengajarkan pengajaran rasulullah
kepada penduduk bumi putra dan memajukan agama islam.5
Sementara itu surau pertama yang memakai system kelas,
dalam proses belajar mengajar adalah Sumatra thawalib padang
panjang yang di pimpin oleh seykh Abdullah karim amrullah
pada tahun 1921.
4. Madrasah Salafiah
Di samping itu terdapat madrasah lain yang berpran dalam
pembaharuan islam di jawa, yaitu pondok pesantren tebuireng di
jombang jawa timur, yang didirikan pada tahun 1989 oleh KH.
Hasyim Asy’ari. Yang mengenalkan pola pendidikan madrasah
dengan menitik beratkan pada ilmu-ilmu agama dan bahasa arab
dengan system sorogan dan bandongan. Madrasah yang didirikan
ini hampir sama dengan madrasah yang didirikan oleh
muhammadiyah, karena lebih mengutamakan pendidikan sosial,
tablig, kemanusiaan bahkan politik, di bawah naungan organisasi
islam Nahdatul Ulama Dan masih banyak lagi Madrasah lainya
yang cukup popular di berbagai daerah yang ikut serta dalam
pembaharuan.
Sedangkan kebijakan dilakukan pemerintah, tidak dapat di
pungkiri bahwa penjajah belanda selama tiga ratus lima puluh
tahun dengan misi kristenisasi dan westernisasi, dengan berbagai
penindasan yang telah di lakukan terhadap rakyat Indonesia
dengan berbagai kebijakan politik yang sangat merugikan bangsa
Indonesia. Zainuddin zuhri menggambarkan bahwa rakyat
Indonesia yang mayoritas muslim itu tidak memandang orang
orang barat yang menjajah Indonesia sebagai pembawa kemajuan
dan teknologi. Adapun begitu kuat ajaran dan politik curang
orang-orang barat tersebut seperti:

5
Ramayulis, Samsul Nizar, Ensklopedia Tokoh Pendidikan Indonesia,
Mengenal Tokoh Pendidikan Islami Dunia Islam Dan Indonesia, (Jakarta :
Quantum Teaching, 2005) hlm. 204

160 |
1. Agama sangat di perlukan bagi penjajah
2. Agama di pakai untuk menjinakan dan menaklukan
rakyat
3. Setiap aliran agama yang di anggap palsu oleh para
pemeluk agama yang bersangkutan di gunakan untuk
memecah belah mereka dan mencari bantuan kepada
pemerintah.
4. Janji dengan rakyat tidak perlu di tepati jika merugikan
5. Tujuan dapat menghalalkan berbagai cara
Kebijakan belanda dalam mengatur jalannya pendidikan
dimaksudkan untuk kepentingan mereka sendiri terutama untuk
kepentingan Kristen. Hal ini dapat di lihat ketika Vand Den Boss
menjadi gubernur jendral di Jakarta pada tahun 1983 dengan
mengeluarkan kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja di anggap
sebagai sekolah pemerintah. Sedangkan departemen yang
mengurus pendidikan dan keagamaan di jadikan satu. Dan
mereka juga menerapkan peraturan-peraturan seperti : (1). Pada
tahun 1882 pemerintah belanda membentuk suatu badan khusus
yang bertugas mengawasi beragama dan pendidikan islam. Dan
juga mengeluarkan peraturan baru yang isinya bahwa orang yang
memberikan pengajaran agama Islam harus terlebih dahulu
kepada pemerintah belanda. (2). Pada tahun 1925 keluar lagi
peraturan yang lebih ketat, yaitu tidak semua kiyai boleh
mengajarkan pelajaran mengaji kecuali mendapat rekomendasi
dari pemerintah belanda. (3). Pada tahun 1932 keluar lagi
peraturan bahwa wewenang untuk memberantas madrasah-
madrasah dan sekolah yang tidak ada izin, atau memeberi
pelajaran yang tidak di sukai oleh pemerintah belanda.

Pendidikan Islam Sebelum Tahun 1900


Secara rumah tangga dan secara surau/ langgar atau masjid,
pendidikan pendidikan secara perorangan dalam rumah tangga
lebih mengutamakan pelajaran praktis seperti: ketuhanan,
keimanan dan masalah-masalah yang berhubungan dengan

|161
ibadah. Sedangkan pendidikan surau mempunyai dua tingkatan
yaitu pelajaran Al-Qur’an. Kemudian baru melanjutkan
pengkajian kitab seperti ilmu nahu, sharaf, tafsir dll setelah
menyelaesaikan pelajaran Al-Qur’an.
Pada masa ini memang sulit untuk menemukan secara pasti
kapan dan dimana surau atau pesantren yang pertama kali
berdiri, tetapi dapat di ketahui bahwa pada abad ke 17 M, di pulau
jawa tengah terdapat pesantren sunan boning di tuban, sunan
ampel di Surabaya, sunan giri di sidomukti giri dll. Dan jauh dari
pada itu juga di temukan pesantren di hutan gladah sebelah
selatan jepara yang didirikan oleh raden fatah pada tahun 1475M.

Pendidikan Islam Pada Masa Peralihan


Pada masa peralihan, terjadi perubahan dalam pelaksanaan
pendidikan islam pada masa peralihan dengan masa peralihan
dengan masa sebelumnya. Baik dalam kebijakan belanda
terhadap pendidikan islam yang lebih ketat, dan juga perbedaan
ciri pelajaran agama islam pada masa peralihan, seperti:
1. Pelajaran untuk dua sampai enam ilmu di himpun secara
sekaligus
2. Pembelajaran ilmu nahu di samakan dengan ilmu syaraf
3. Buku-buku pelajaran semuanya karangan kyai kuno dan
dalam bahasa arab
4. Buku-buku semuanya di cetak
5. Satu ilmu di ajarkan dari berbagai macam buku, rendah,
menengah, dan tinggi

Pendidikan Islam Sesudah Tahun 1909


Dengan tampilnya budi utomo dengan isu nasionalisnya,
menyadarkan bangsa indonesia bahwa perjuangan selama ini
hanya mengandalkan kekuatan kedaerahan tanpa adanya
persatuan, sehingga sulit mencapai kemerdekaan. Dan Dengan

162 |
begitu banyaknya perlawanan dari pihak indonesia secara tegas
dan pasti, terhadap pemerintah belanda.

Kebijakan Jepang dalam Bidang Pendidikan Islam.


Setelah belanda angkat kaki dari bumi indonesia, maka
muncul pergerakan jepang, jepang tidak begitu ketat terhadap
pendidikan islam di indonesia, jepang memeberikan toleransi
yang cukup banyak terhadap pendidikan islam di indonesia,
kesetaraan penduduk pribumi sama dengan penduduk atau anak-
anak penguasa, bahkan jepang banyak mengajarkan ilmu-ilmu
bela diri terhadap pemuda indonesia. Begitu juga pada masa
penjajahan jepang banyak berdiri lembaga-lembaga pendidikan
dan pengajaran serta pendirian tempat-tempat ibadah dan
lembaga pendidikanpun dapat dikembangkan dan anak-anak di
bolehkan untuk belajar agama dan mengaji.6 Jepang bahkan
menawarkan bantuan dana bagi madrasah, serta membiarkan
masyarakat membuka kembali madrasah-madrasah yang pernah
ditutup oleh pemerintah penjajah Belanda.

3. Pendidikan Islam pada Zaman Setelah Kemerdekaan


a. Perkembangan Pendidikan Nasional Indonesia
Merdeka Zaman Awal Kemerdekaan, Demokrasi Liberal
dan Terpimpin.
Perkembangan pendidiakn di Indonesia diwarnai berbagai
macam bentuk penerapan pendidiakn dibeberapa era
pemerintahan. Secara umum, perkembanagn pendidikan di
Indonesia dibagi menjadi 5 masa(era) yaitu masa awal
kemerdekaan, masa demokrasi liberal, masa demokrasi
terpimpin, orde baru, dan masa reformasi. Bentuk-bentuk
penerapan pendidikan di 5 masa tersebut akan diuraikan pada
bagian pembahasan berikut ini.

6
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia. ( Jakarta: Kencana, 2009 ), hlm. 314

|163
Secara garis besar pendidikan diawal kemerdekaan
diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati system
pendidikan di negara-negara maju. Pada masa peralihan antara
tahun 1945-1950 bangsa Indonesia merasakan berbagai kesulitan
baik di bidang sosial ekonomi, politik maupun kebudayaan,
termasuk pendidikan. Dari sejumlah anak-anak usia sekolah
hanya beberapa persen saja yang dapat menikmati sekolah,
sehingga sisanya 90% penduduk Indonesia masih buta huruf.
Oleh karena itu, segera setelah proklamasi kemerdekaan,
pemerintah mengangkat Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K).
Ki Hajar Dewantara menjabat jabatan ini hanya selama 3
bulan. Kemudian, jabatan Menteri PP dan K dijabat oleh Mr.
T.S.G. Mulia yang hanya menjabat selama 5 bulan. Selanjutnya,
jabatan Menteri PP dan K dijabat oleh Mohammad syafei.
Kemudian, ia digantikan oleh Mr. Soewandi.
Pada masa jabatan Mr. Suwandi, dibentuk Panitia Penyelidik
Pengajaran Republik Indonesia yang bertugas untuk meneliti dan
merumuskan masalah pengajaran setelah Kemerdekaan. Setelah
menyelesaikan tugasnya, panitia ini menyampaikan saran-saran
kepada pemerintah. Kemudian, disusunlah dasar struktur dan
sistem pendidikan di Indonesia.
Tujuan umum pendidikan di Indonesia merdeka adalah
mendidik anak- anak menjadi warga negara yang berguna, yang
diharapkan kelak dapat memberikan pengetahuannya kepada
negara. Dengan kata lain, tujuan pendidikan pada masa itu lebih
menekankan pada penanaman semangat patriotisme.
Kurikulum awal kemerdekaan saat itu diberi nama Leer Plan
dalam bahasa Belanda artinya Rencana Pelajaran, lebih terkenal
ketimbang kurikulum1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan
di Indonesia masih dipengaruhi sitem pendidikan colonial
Belanda dan Jepang. Sehingga hanya meneruskan yang pernah
digunakan sebelumnya. Rencana Pelajaran 1947 dikatakan sebagai
pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena saat itu

164 |
bangsa Indonesia masih dalam semangat juang merebut
kemerdekaan dan bertujuan untuk pembentukan karakter
manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar
dengan bangsa lain di muka bumi.
Pendidikan pada awal Kemerdekaan terbagi atas 4 tingkatan,
yaitu:

1. Pendidikan rendah
Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal
kemerdekaan yang disebut dengan Sekolah Rakyat (SR) lama
pendidikannya semula 3 tahun. Maksud pendirian SR ini adalah
selain meningkatkan taraf pendidikan pada masa sebelum
kemerdekaan juga dapat menampung hasrat yang besar dari
mereka yang hendak bersekolah. Mengingat kurikulum SR diatur
sesuai dengan putusan Menteri PKK tanggal 19 nopember 1946
NO 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR dimana
tekanannya adalah pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat
telihat bahawa dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam adalah
untuk bahasa Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17 jam
berhitung untuk kelas IV< V dan VI. Tercatat sejumlah 24.775
buah SR pada akhir tahun 1949 pada akhir tahun 1949 di seluruh
Indonesia.

2. Pendidikan menengah pertama


Sekolah Menengah Pertama (SMP) seperti halnya pada
zaman jepang, SMP mempergunakan rencana pelajaran yang
sama pula, tetapi dengan keluarnya surat keputusan menteri PPK
thun 1946 maka diadakannya pembagian A dan B mulai kelas II
sehingga terdapat kelas II A,IIB, IIIA dan IIIB. Dibagian A
diberikan juga sedikit ilmu alam dan ilmu pasti. Tetapi lebih
banayak diberikan pelajaran bahasa dan praktek administrasi.
Dibagian B sebaliknya diberikan Ilmu Alam dan Ilmu Pasti.

|165
3. Pendidikan menengah atas(tinggi)
Kementerian PPK hanya mengurus langsung SMT yang ada di
jawa terutama yang berada di kota-kota sperti: Jakarta,bandung,
semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Cirebon. SMT di
Luar Jawa berada di bawah pengawasan pemerintah daerah
berhubung sulitnya perhubungan dengn pusat. SMT merupakan
pendidikan tiga tahun setelah SMP dan setelah lulus dapat
melanjutkan ke perguruan tinggi. Mengenai rencana pelajaran
belum jelas, dan yang diberikan adalah rencana pelajaran dalam
garis besar saja. Karena pada waktu itu msaih harus
menyesuaikan dengan keadaan zaman yang masih belum stabil.
Demikian rencana pembelajaran yang berlaku yaitu:
(1) isinya memenuhi kebutuhan nasional,
(2) bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia,
(3) mutunya setingkat dengan SMT menjelang kemerdekaan.
Ujian akhir dapat diselenggarakan oleh masing-masing sekolah
selama belum ada ujian negara, tetapi setelah tahun 1947 barulah
berlaku ujian negara tersebut.
4. Pendidikan tinggi.
Pada akhir tahun 1949, tercatat sejumlah 24.775 buah sekolah
rendah di seluruh Indonesia. Untuk pendidikan tinggi, sudah ada
sekolah tinggi dan akademi di beberapa kota seperti Jakarta,
Klaten, Solo dan Yogyakarta. Selain itu, ada pula universitas
seperti Universitas Gajah Mada.

b. Perkembangan Pendidikan Indonesia Tahun 1950-1959


(Demokrasi Liberal)
1. Undang-Undang
Pada masa demokrasi liberal, UUD sementara 1950
merupakan konstitusi sementara Republik Indonesia. Meskipun
begitu, pancasila tetap sebagai dasar Negara dan pasal mengenai
pendidikan rumusannya juga sama dengan pasal 30 konstitusi
sementara RIS.

166 |
2. Tujuan dan Dasar Pendidikan
Hal ini termaktub dalam UU No 12 tahu 1954. pasal 3 tentang
tujuan membentuk SDM berkualitas dan demokratis serta
bertanggungjawab terhadap kesejahteraan Negara, pasal 4
tenteang pendidikan yang berazaskan pancasila dan UUD serta
sesuai budaya bangsa, dan pasal 5 tentang bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar. UU No. 4 tahun 1950 berlaku
menyeluruh dalam rangka Negara kesatuan pada tanggal 18 Maret
1954, setelah menjadi UU No. 12 tahun 1954.

3. Sistem Persekolahan
Sistem Persekolahan disesuaikan dengan UU No. 12 tahun
1954
Pasal Ayat Jenis Pendidikan
6 1 Tentang pembagian jenis pendidikan, yaitu
Pendidikan dan Pengajaran TK, Rendah,
Menengah dan Tinggi
6 2 Tentang Pendidikan dan Pengajaran SLB untuk
mereka yang memiliki kekhususan.
7 1 Tentang Pendidikan dan Pengajaran TK sebagai
persiapan sekolah dasar.
7 2 Tentang Pendidikan dan Pengajaran untuk
pembentukan rohani, pengembangan bakat dan
minat, serta pemberian dasar pengetahuan.
7 3 Tentang Pendidikan dan Pengajaran Menengah
untuk memperluas wawsan dan mempersiapkan
untuk terjun ke masyarakat.
7 4 Tentang Pendidikan dan Pengajaran Tinggi
untuk memperdalam ilmu dam memajukannya,
serta mencetak para pemimpin.
7 5 Tentang Pendidikan dan Pengajaran Luar Biasa

|167
bagi peserta pendidikan yang mempunyai
kekurangan jasmani atau rohani.

25 Agustus 1950 terjadi perubahan berdasarkan


Pengumuman Mentri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
NKRI No 1983/I-A/1950 tentang perubahan nama sekolah, lama
jenjang, kurikulum, tata penyelenggaraan pendidikan dan bahasa
pengantar pendidikan. Contohnya, NIEUWE KS menjadi SGA, SR
Negeri menjadi sekolah biasa dengan bahasa pengantar B.
Indonesia, lama belajar SMP Negeri menjadi tiga tahun dan
sebagainya.

4. Penyelenggaraan Pendidikan
a. Persiapan Kewajiban belajar
Tahun 1950 diadakan kursus pengajar untuk Kursus
Pengantar ke Kewajiban Belajar (KPKPKB). Tahun 1953 KPKPKB
diganti menjadi SGB. selain KPKPKB,pendidikan guru lainnya
yaitu:
1) Sekolah Guru untuk Sekolah Dasar, seperti SGB dan
SGPD.
2) Sekolah Guru untuk Sekolah Lanjutan, seperti SGA dan
PGSLP.
3) Kursus BI dan BII untuk guru sekolah menengah atas.

b. PP No. 65 tahun 1951


Menetapkan tugas dan Kewajiban Kementrian Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan untuk menyelenggarakan sekolah
rendah, memberi subsidi pendidikan, menyelenggarakan kursus
pengetahuan umum, memberikan sarana belajar seperti
perpustakaan, menjadi penghubung pemerintah dengan pemuda
dan memaju8kan seni daerah.

168 |
c. Pendidikan Agama
Peraturan bersama Mentri Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan dengan Mentri Agama No. 17678/Kab. tanggal 16 Juli
1951 berisi tentang penetapan diwajibkan adanya pendidikan
agama, tata penyelenggaraan pendidikan dan kualifikasi guru
pengajarnya.

d. Pendidikan Masyarakat
Untuk menambah pendidikan dan keterampilan kerja
masyarakat didirikan beberapa kursus, seperti kursus pengasuh
pendidikan masyarakat setelah tamat SD, Kursus penjenjang
Pendidikan Masyarakat setelah tamat SMP, Kursus pemilik
Pendidikan setelah tamat SMA dan pusat latihan pendidikan
masyarakat.

e. Partisipasi Pendidikan Swasta


Makin maraknya sekolah swasta berdiri, tidak hanya sekolah
bercirikan agama, tapi sekolah yang netral pun makin
banyak.Perkembangan Pendidikan Indonesia 1950-1959
(Demokrasi Liberal) menarik untuk dibahas, tinggalkan
tanggapan untuk memperkaya khasanah.

B. Kedudukan UUSPN Nasional 2003 dan Implikasinya


Bagi Pendidikan Islam
Manusia membutuhkan pendidikan untuk menjalani
kehidupannya. Pendidikan memberi bekal manusia untuk
menjalani kehidupan menjadikan dewasa dengan dapat
menentukan hal yang baik dan benar, dan menjalani tugas untuk
belajar sepanjang hayat. Tujuan pendidikan tersebut untuk
mengarah pada menjadikan manusia lebih baik. Pendidikan
berproses berdasarkan landasan yang memiliki peran penting
dalam pencapaian tujuan tersebut.

|169
Salah satu landasan tersebut adalah landasan pendidikan
yang menentukan secara teratur rencana yang ditentukan untuk
pencapaian tujuan. Suatu landasan kebijakan pendidikan berarti
adalah suatu dasar keputusan untuk melakukan sesuatu dari
stakeholder yang merancang aturan pencapaian keputusan
pendidikan. Landasan kebijakan pendidikan tersebut menjadi
acuan langkah dalam melaksanakan pendidikan. Kebijakan yang
diputuskan telah dipertimbangkan dan disusun denga hati-hati
dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas pendidkan yang lebih
baik. Setiap kebijakan pendidikan juga akan berubah seiring
dengan perkembangan zaman yang terjadi bahkan ada perubahan
kebijakan yang bersifar reformatif.
Reformasi membuka ruang partisipasi formal dan informal
secara lebih luas. Kebebasan pers memberi sumbangan amat
berarti bagi partisipasi publik, sehingga pendidikan dasar dapat
dengan cepat menjadi isu publik untuk didiskusikan dan
diadvokasi secara bebas. Indonesia yang mengalami beberapa kali
zaman kepemimpinan juga memengaruhi perubahan kebijakan
pendidikan namun landasan kebijakan utama tetap dari
Pembukaan Undang-Undang tahun 1945, hingga pada Sistem
Pendidikan Nasional dan Rencana Strategis di bidang pendidikan.
Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan
mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan
pendidikan. Salah satu perubahan mendasar adalah manajemen
Negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen
berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah
diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia
No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan disempurnakan
menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pedoman pelaksanaannyapun telah dibuat
melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonom.

170 |
Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah tersebut dalam bentuk perubahan arah paradigma
pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, yang tentu
juga berdampak pada proses formulasi kebijakan pendidikannya
Islam. Secara ideal, paradigma baru pendidikan tersebut mestinya
mewarnai kebijakan pendidikan baik kebijakan pendidikan yang
bersifat substantif maupun implementatif. Selain itu,
implementasi kebijakan tersebut diharapkan berdampak positif
terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan di tingkat satuan
pendidikan. Namun apakah kebijakan di bidang pendidikan
selama ini telah membawa dampak positif terhadap hasil
pendidikan.

1. Kebijakan Pendidikan Islam dalam UU Nomor 20


Tahun 2003
Pengaturan berdasarkan UU terhadap pelaksanaan
pendidikan agamadi Indonesia, khususnya terhadap pelaksanaan
pendidikan agama Islam, kualitasnya memiliki grafik yang turun
naik dari masa ke masa. Dari sudut pandang ilmu hukum yang
mengatur materi pendidikan agama dalam undang-undang
memang sangat terasa nuansa pertarungan kepentingan ideologi
dari berbagai kelompok masyarakat. Paling tidak, ada tiga
kelompok yang paling dominan dalam mempengaruhi lahirnya
berbagai UU dan peraturan yang berkaitan dengan pendidikan.
Baik dari kelompok politik, kelompok ekonomi dan bisnis,
maupun dari berbagai kelompok keyakinan agama tertentu.
Nuansa pertarungan kepentingan ideologi juga tetap muncul.
Pada masa pemerintahan rezim Soekarno masih berkuasa, terjadi
pertarungan antara kepentingan ideologi komunis, nasionalis
sekulerdan kelompok agama Islam. “Tiga kekuatan ideologis ini
sering kali berbenturan dan saling mengalahkan. Presiden
Soekarno adalah tokoh yang menganut ideologi nasionalis yang
berbasis ke Indonesiaan dan kultural. Dalam posisinya itu, ia

|171
terkadang dekat dengan kelompok Islam dan terkadang dekat
dengan kelompok sekularis-komunis.7
Barulah pada akhir tahun sembilan puluhan Pemerintah
Orde Baru melahirkan UU No.2 tahun 1989 tentang sistem
pendidikan nasional, walaupun harus melalui perdebatan sengit
baik di parlemen maupun di tengah-tengah masyarakat.
Perdebatan yang paling dominan adalah mengenai masuknya
pendidikan agama dalam UU. Umat Muslim memperjuangkan
pendidikan agama masuk dalam UU, sedangkan kelompok
nasionalis sekuler menolaknya. Perdebatan panjang terhadap
Rencana UU sistem pendidikan nasional ini adalah sebagai
refleksi sikap umat Islam terhadap posisi pendidikan Islam yang
diabaikan oleh UU No. 4 tahun1950. Karena UU tersebut tidak
memihak kepada pendidikan Islam, sehingga isu-isu pendidikan
agama selalu diperdebatkan dan menjadi perbincangan
masyarakat. Harus diakui bahwa akumulasi dari perdebatan
panjang yang melelahkan ini memberikan pengaruh terhadapisi
UU NO.2 tahun 1989 sebagai UU Sistem Pendidikan
Nasional“jilid dua” yang disahkan pada tanggal27 Maret1989.
Terutama masalah isi UU yang menyangkut dengan
permasalahan kewajiban mengikuti pelaksanaan pendidikan
agama.
Dalam UU yang muncul39 tahun kemudian dariUU pertama
ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai
mendapat tempat yang cukup signifikan dibandingkan
denganUU yang sebelumnya. Undang-undang SistemPendidikan
Nasional ini akhirnya menetapkan pendidikan agama sebagai
salah satu unsur inti dalam kurikulum nasional dan wajib dimuat
dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan. Pada pasal4
Undangundang Nomor2 Tahun1989 ini, menetapkan keimanan
dan ketakwaan sebagai bagian yang harus dicapai dalam tujuan
pendidikan nasional. Keimanan dan ketakwaan adalah

7
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan
di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 14.

172 |
terminologi yang sangat identik dan akrab dengan pendidikan
agama dan keagamaan. Untuk itu pada pasal11 ayat1 dan6, dan
pasal15 ayat2 menetapkan bahwa pendidikan keagamaan diakui
sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah. Kemudian pada pasal
39 ayat2 dan3, menetapkan bahwa dalam penyusunan kurikulum,
pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap
jenis, jalur dan jenjang pendidikan. Selain itu pasal10 juga
menetapkan, bahwa pendidikan keluargayang merupakan bagian
dari jalur pendidikan luar sekolah, juga harus memberikan
keyakinan agama, di samping nilai budaya, nilai moral dan
keterampilan. Adapun penerimaan seseorang sebagai peserta
didik tidak boleh dibedakan berdasarkan keyakinan agama,
sebagaimana diatur dalam pasal7. Dengan ditetapkannya UU
No.2 Tahun1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta
peraturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, dan Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah,
menjadikan pendidikan Islam terintegrasi secara kuat dalam
sistem pendidikan nasional. Namun, di tengah masyarakat
akhirnya terjadi polemik, karena sekolah yang diselenggarakan
oleh yayasan atau badan hukum dengan berciri khas berdasarkan
agama tertentu, tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikaan
agama lain dari agama yang menjadi ciri khas lembaga
pendidikan tersebut. “Inilah poin pendidikan yang kelak
menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, di
mana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan
agama yayasan/sekolah), karena mengalami pendidikan agama
yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya.8
Perkembangan selanjutnya, rezim pemerintahan orde
Reformasi merevisi UU No. 2 Tahun1989 tentang sistem
pendidikan nasional dengan mengusulkan UUbaru, karena
menganggap bahwa UU No.2 tahun1989 sudah tidak sesuai

8
M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan
Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2015), hlm. 205.

|173
dengan perkembangan zaman. Sementara saat akan
diundangkannya Rencana UU sistem pendidikan nasional yang
baru sebagai pengganti UU yang lama terjadi juga kontroversi
dan perdebatan yang sangat tajam di tengah masyarakat.
Terutama yang dianggap paling kontroversial adalah ketentuan
yang menyatakan bahwa “setiap peserta didik berhak
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Substansi
yang ditentang umumnya adalah pasal yang berisi keharusan
sekolah-sekolah swasta menyediakan guru agama yang seagama
dengan peserta didik. Mereka memberi alasan bahwa pasal ini
menimbulkan konsekuensi tambahan biaya terhadap lembaga-
lembaga penyelenggara pendidikan baik Kristen maupun Islam.
Karena mereka harus merekrut guru-guru agama sesuai dengan
berbagai keyakinan agama yang dianut oleh anak-anak muridnya.
UU No.20 Tahun2003 akhirnya disahkan dan
ditandatanganioleh Presiden Megawati SoekarnoPutri pada
tanggal8 Juli2003. Sebagaimana diatur pada pasal 4, secara garis
besar isi dari UU No.20 Tahun2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional ini memberikan penekanan bahwa prinsip
penyelenggaraan pendidikan harus dilaksanakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan diselenggarakan
sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan
multi makna. Selain itu, pendidikan diselenggarakan sebagai
suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat, dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta
didik dalam proses pembelajaran; dengan mengembangkan
budaya membaca, menulis,dan berhitung bagi segenap warga
masyarakat, dan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu layanan pendidikan. UU ini pada pasal 13
menetapkan bahwa pendidikan nasional dilaksanakan melalui

174 |
jalur formal, non formal, dan informal yang penyelenggaraannya
dapat saling melengkapi dan saling memperkaya. Jenjang
pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan mencakup
pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi,
keagamaan, dan khusus. Menetapkan pendidikan agama sebagai
salah satu unsur inti dalam kurikulum nasional dan wajib
dimuatdalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan. UU
No.20 Tahun2003ini juga menetapkan dalam pasal3, bahwa
keimanan dan ketakwaan adalah sebagai bagian yang harus
dicapai dalam tujuan pendidikan nasional. Sedangkan pada
pasal15 menetapkan bahwa pendidikan keagamaan diakui sebagai
salah satu jalur dan jenis pendidikan.

2. UU Nomor 20 Tahun 2003 Versus Sistem Pendidikan


Islam dan UUD 1945
Berdasarkan ketentuan Pasal2 UU Sistem Pendidikan
Nasional menetapkan bahwa “Pendidikan nasional berdasarkan
Pancasila dan UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.”
Dengan ketentuan ini berarti filosofi dari ketentuan tertulis yang
terkandung dalam Pancasila dan UUD Negara Kesatuan Republik
IndonesiaTahun1945 tentu sepenuhnya harus dijabarkan dan juga
dijadikan pedoman dalam menyelenggarakan pendidikan
nasional. Namun apabila ditelaah beberapa ketentuan dalam UU
No. 20 Tahun 2003, didapati banyak isinya yang tidak selaras,
bahkan bertentangan antara satu dengan lainnya.
Dalam amanat pembukaan UUD tersebut pada alenia
keempat disebutkan bahwa salah satu tugas dan fungsi
“pemerintah negara Indonesia” adalahmemajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Meminjam
pendapat As’ad Said Ali mengatakan bahwa “konstitusi memberi
tekanan tersendiri pada paham kesejahteraan. Pasal 33 UUD 1945
di bawah judul Bab “Kesejahteraan Sosial” amat jelas
menyebutkan “untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.” Kata
“kesejahteraan juga juga tertera di dalam Pembukan UUD 1945

|175
dengan istilah “kesejahteraan umum.”9 Selain itu,Majda El Muhtaj
juga mengatakan bahwa “dalam gagasanwelfare state ternyata
negara memiliki kewenangan yang relatif lebih besar ketimbang
format negara dalam tipe negara hukum klasik (formal). Selain
itu, dalam welfare state yang terpenting adalah negara semakin
otonom untuk mengatur dan mengarahkan fungsi dan peran
negara bagi kemaslahatan masyarakat.”10 Lalu dipertegas lagi
dalam pasal29 ayat1 UUD1945, yang jelas menunjukkan bahwa
Republik Indonesia adalah merupakan negara yang berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Atas dasar pemikiran di atas, dapat dilihat bahwa beberapa
ketentuan yang terdapat pada beberapa pasal berikut ini, isinya
saling bertentangan. Pertama,pada pasal6 ayat 2 disebutkan
bahwa “setiap warga negara bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.” Ketentuan pasal
ini tidak jelas apa maknanya, karena dimanakah sebenarnya
tanggung jawab negara dan pemerintah.
Kedua, pada pasal 7 ayat 2 menyebutkan bahwa “orang tua
dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan
pendidikan dasar kepada anaknya.” Ketentuan pasal ini jugatidak
jelas apa maksudnya. Apakah maksudnya setiap orang tua wajib
memberikan pendidikan dasar secara formal walaupun secara
akademis tidak memiliki kemampuan, atau mungkin maksudnya
adalah orang tua “wajib menyekolahkan anaknya ke suatu
lembaga pendidikan atau sekolah.”
Ketiga, pada pasal 9 tertulis, “masyarakat berkewajiban
memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan.” Ketentuan pasal ini jelas tidak sejalan
denganketentuan Undang Undang Dasar yang menetapkan
bahwa “pemerintah bertanggung jawab membiayai
penyelenggaraan pendidikan dasar dan pemerintah bertanggung

9
As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa (Jakarta:
LP3S, 2009), hlm. 212.
10
Majda el-Muhtaj,Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Jakarta:
Prenada Media, 2005), hlm. 29.

176 |
jawab mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional.”
Keempat, pada pasal 12 ayat (2) poin b yang menetapkan
bahwa, “setiap peserta didik berkewajiban ikut menanggung
biaya penyelenggaraan pendidikan.” Ketentuan pasal ini jelas
sekali bertentangan dengan keberadaan Indonesia sebagai Negara
Kesejahteraan seperti dimaksudkan dalam Pembukaan UUD dan
ketentuan pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa “setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.”
Kelima, pasal 46 ayat (1) tentang tanggung jawab pendanaan
yang menetapkan sebagai berikut. “Pendanaan pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat.” Ketentuan ini secara nyata bertentangan
dengan ketentuan yang tertulis dalam pasal 31 ayat2, ayat 3
maupun pada ayat 4 Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Keenam, ketentuan pada pasal 3 yang menyatakan bahwa
salah satu tujuan pendidikan nasional adalah, “untuk
berkembangnya potensi agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.” Kemudian dalam pasal 37,
menyatakan bahwa “kurikulum pendidikan dasar dan
menengah,serta kurikulum pendidikan tinggi, wajib memuat
pendidikan agama.” Tetapi isi pasal 37 ini sangat paradoks dengan
ketentuan yang diatur dalam pasal 12. Karena dalam pasal 12
menetapkan bahwa “setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak: mendapatkanpendidikan agama sesuai
dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang
seagama.” Ketentuan kedua hal tersebut di atas, bila dianalisa
berdasarkan logika hukum, maka berarti, bahwa penyelenggara
pendidikan, yaitu orang tua, masyarakat dan pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah, dalam menyelenggarakan
pendidikan wajib mencantumkan dalam setiap kurikulum

|177
pendidikannya materi pendidikan agama. Tetapi secara
berlawanan peserta didik tidak wajib mengikuti pelajaran
pendidikaan agama sebagaimana diatur dalam pasal 12.
Ketentuan pasal ini bertentangan dengan Pancasila, Pembukaaan
dan isi pasal 29 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Demikian juga halnya dengan ketentuan pasal4 UU Sistem
Pendidikan Nasional yang mensejajarkan kedudukan agama
dengan nilai-nilai kultural atau budaya, bangsa dan ketentuan
pasal 15 yang melakukan dikotomi antara pendidikan agama
dengan pendidikan umum, sertaketentuan pasal 36 dan 37
tentang isi dan pengertian kurikulum pendidikan agama
danpendidikan keagamaan.
Ketujuh,adapun terkait dengan pembiayaan pendidikan,
dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tidak ada isi
pasalnya yang secara nyata menterjemahkan ketentuan pasal 31
ayat 2 UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa
“pemerintah bertanggung jawab membiayainya.” Tetapi malah
menggunakan istilah hibah yang berkonotasi sebagai pemberian
dan bukan kewajiban dari pemerintah kepada rakyatnya. Seperti
yangtertulis pada pasal 49 ayat 3 dan 4, yang bunyinya sebagai
berikut “dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah
daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dana pendidikan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah
diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.”
Pasal 31 UUD 1945 menegaskan tentang “kewajiban
pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.”
Namun menurut pasal 50 ayat 3 justru kewajiban pemerintah
hanya menjadi kewajiban minimal, karena pasal 50 ayat 3
menetapkan bahwa “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
menyelenggarakansekurang-kurangnya satu satuan pendidikan
pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi
satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Ketentuan pada

178 |
pasal ini menunjukkan rendahnya rasa kebangsaan Indonesia,
karena secara yuridis seolah diakui dalam hukum Indonesia
bahwa pada hakikatnya sesuatu yang bersifat “nasional” itu lebih
rendah kedudukannya dari pada yang bersifat “internasional.”
Kedelapan,ketentuan pasal 53 UU No.20 Tahun2003 tentang
Badan Hukum Pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan.
Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11-14-21-126 dan
136/PUU-VII/2009, maka ketentuan pasal ini telah dibatalkan.
Namun pada kenyataannya pasal mengenai Badan Hukum
Pendidikan dalam UU No.20 Tahun 2003 tersebut tidak
dihapuskan. Ini artinya dunia pendidikan dilepaskan pada
mekanisme pasar, karena pemerintah hanya akan menanggung
pendidikan dasar saja. Dengan ketentuan ini, yang akan terjadi
tidak ada lagi keadilan dan pemerataan pendidikan. Karena
masyarakat miskin akan terpinggirkan dan yang dapat mengikuti
pendidikan hanya bagi masyarakat kaya dan golongan yang
mampu saja.

3. Usul Revisi terhadap UU Sisdiknas No.20 Tahun2003


Berikut ini akan disampaikan beberapa usul perubahan dan
revisi dari UU No. 20 Tahun 2003.Pertama, pada konsideran
Menimbang poin “d”, kalimatnya perlu diubah dan ditambah
sehingga berbunyi sebagai berikut: d. Bahwa UUNo.20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan
perlu digantiserta perlu disempurnakan agar sesuai dengan
amanat perubahan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia
tahun 1945, dan sifat religius masyarakat Indonesia yang
berimandan bertakwa sebagai manusia yang beragama.
Kedua, pada konsideran Menimbang perlu ditambah satu
poin baru, yaitu poin f yang berbunyi sebagai berikut: f. Bahwa
Sistem Pendidikan Nasional harus mampu dan menjamin
terlaksananya pendidikan dan pengajaran agama pada semua
jenjang, jenis, dan lembaga pendidikan.
Ketiga, pada BAB I pasal1 ayat1,2,3,4,5,6 dan19, kalimatnya
perlu diubah dan ditambah sehingga berbunyi sebagai berikut:

|179
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:1). Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pendidikan, karena termasuk pembudayaan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keimanan berdasarkan nilai-nilaikeagamaan dan ajaran
agama, rasa kebangsaan Indonesia, pengendalian
diri,kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, agama bangsa dan negara.
2). Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berketuhanan
dengan berdasarkan pada Pancasila dan UUDNegara Kesatuan
Republik Indonesia tahun1945 yang berakar pada ajaran agama,
nilai-nilai kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman. 3). Sistem pendidikan nasional
adalah keseluruhan komponen pendidikan baik jasmani maupun
ruhani yang saling terkait secara terpadu dan berproses untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional. Sistem pendidikan
nasional merupakan bagian dari supra sistem penyelenggaraan
pemerintahan Republik Indonesia.4). Peserta didik adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pendidikan dan pembelajaran yang tersedia pada
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.5). Tenaga
kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri
dan diangkat untuk melaksanakan tugas dalam menunjang
penyelenggaraan pendidikan, dan bertanggung jawab bersama
penyelenggara pendidikan lainnya untuk mencapai tujuan
pendidikan.6). Pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar,
widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang
sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan, dan bertanggung jawab bersama
penyelenggara pendidikan lainnya untuk mencapai tujuan
pendidikan.19). Kurikulum adalah semua pengalaman yang
diperoleh peserta didik dari lembaga pendidikan, baik di dalam
maupun di luar lingkungan sekolah. Kurikulum formal adalah

180 |
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
Keempat, pada BAB I pasal 1, perlu ditambah dua ayat baru,
yang berbunyi sebagai berikut: 30 a. Pendidikan agama dan
pendidikan keagamaan adalah merupakan satu sistem dalam
sistem pendidikan nasional, yang wajib dilaksanakan oleh negara
melalui dan untuk penganut dan pemeluk agamanya masing-
masing.30b. Penganut dan pemeluk agama adalah kelompok
masyarakat yang meyakini dan menganut serta memeluk agama
tertentu yang telah diakui oleh negara, dan ikut bertanggung
jawab bersama pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan
dan pengajaran agama.
Kelima, Pada BAB II pasal 2 dan 3, kalimatnya perlu diubah
dan ditambah sehingga berbunyi sebagai berikut, Pasal 2:
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berketuhanan
dengan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 3: Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dan
berketuhanan dalam rangka menumbuhkembangkan rasa
kebangsaan Indonesia mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai
makhluk Tuhan yang beragama, serta bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Keenam, pada BAB III pasal4, kalimatnya perlu diubah dan
ditambah dua ayat baru sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan berdasarkan
pada ajaran agama, serta melaksanakan dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai-nilai ajaran agama, serta
nilai-nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

|181
2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang
sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna.
3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat.
4. Pendidikan diselenggarakan melalui keteladanan
pendidik dan tenaga kependidikan dengan memberi
keteladanan, membangun kemauan,dan mengembangkan
kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
5. Pendidikan diselenggarakan antara lain dengan melalui
pengajaran yang mengembangkan budaya membaca,
menulis, berhitung, dan membiasakan untuk
menjalankan serta mengamalkan ajaran agama bagi
segenap warga masyarakat
6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan
semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.
7. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang
terpadu dan tidak terpisahkan dengan penyelenggaraan
pendidikan agama.
8. Isi suatu penyelenggaraan pendidikan terdiri dari
komponen berikut: a) Pendidikan agama, b) Pendidikan
akhlak, c) Pendidikan Pancasila, d) Pendidikan
kebangsaan dan kewarganegaraan, e) Pendidikan sains
dan teknologi, f) Pendidikan keterampilan kerja, g)
Pendidikan budaya bangsa, h) Pendidikan sejarah bangsa,
i) Pendidikan jasmani.
Ketujuh, pada BAB IV pasal5, perlu ditambah satu ayat baru
sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu.

182 |
2. Warga negara yang memiliki kekhususan kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus.
4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
5. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan
meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
6. Warga negara yang memiliki kecerdasan tinggi wajib
difasilitasi Pemerintah untuk mengembangkan potensi
kemampuan diri dan kecerdasannya dalam melakukan
penelitian dan meneruskan pendidikannya pada jenjang
perguruan tinggi.

Kedelapan, pada BAB IV pasal6 ayat2, perlu diubah sehingga


berbunyi sebagai berikut:
1. Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
limabelas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
2. Pemerintah bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
3. Setiap warga negara bersama-sama dengan pemerintah
dapat ikut serta untuk bertanggung jawab terhadap
keberlangsunganpenyelenggaraan pendidikan.
Sedangkan pada pasal 7 perlu ditambah satu ayat dan ayat2
perlu dirubah sehingga menjadi sebagai berikut.
1. Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan
pendidikan dan memperoleh informasi tentang
perkembangan pendidikan anaknya.
2. Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban
mematuhi undang-undang wajib belajar dalam
memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.

|183
3. Orang tua siswa wajib bekerja sama dengan guru dan
pemerintah dalam pelaksanaan proses pendidikan anak di
sekolah dan di rumah tangga.
Sedangkan pada pasal8 kalimatnya dirubah sebagai berikut:
“masyarakat berhak membantu pemerintah untuk ikut berperan
serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi
program pendidikan. Pada Pasal9, kalimatnya juga dirubah
sebagai berikut: “masyarakat berhak untuk ikut memberikan
dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.”
Kesembilan, pada BAB V pasal12 ayat1, perlu diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:1) Setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak: mendapatkan pendidikan dan
pengajaran agama sesuai dengan agama yang dianutnya, serta
wajib mengikuti pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama
yang dianutnya tersebut dan diajarkan oleh guru agama yang
seagama; Pemerintah dan lembaga penyelenggara pendidikan
yang dilaksanakan oleh masyarakat atau pihak swasta, wajib
menjamin terselenggaranya pendidikan pendidikan dan
pengajaran agama ini.
Kesepuluh, pada BAB VI pasal15, perlu diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut “jenis pendidikan mencakup pendidikan
yang mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan sains
dan teknologi, pendidikan keagamaan yang mempelajari dan
mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber pada wahyu
dari Tuhan Yang Maha Esa, pendidikan kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan dan pendidikan khusus. Pada pasal 17
ayat 1 juga perlu diubah sebagai berikut: “Pendidikan dasar
merupakan jenjang pendidikan yang bertujuan untuk
menanamkan dasar-dasar keimanan dan ketakwaan pada Tuhan
yang Maha Esa, serta menumbuh kembangkan rasa kebangsaan
Indonesia, mengembangkan sikap dan kemampuan dasar yang
diperlukan untuk berfungsinya kepribadian sebagai warga negara
yang baik serta melandasi jenjang pendidikan menengah.” Pada
pasal 18 ayat 1 juga perlu diubah sehingga berbunyi sebagai

184 |
berikut: “Pendidikan menengah bertujuan untuk
mengembangkan sikap beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, serta memberikan kesadaran sebagai
warganegara, menyiapkan keterampilan peserta didik untuk
terjun ke masyarakat dan memasuki dunia kerja serta merupakan
lanjutan dari pendidikan dasar.
Pasal 19 ayat 1 juga perlu diubah sebagai berikut: “Pendidikan
tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah yang bertujuan untuk menyiapkan peserta didik
menjadi kaum intelektual dan insan akademis yang memahami
dan menjalankan ajaran agamanya, dan menjadi anggota
masyarakat yang profesional dan mampu berkontribusi serta
berkompetisi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sains
dan teknologi dan juga seni serta mempunyai kecintaan untuk
mengabdikan ilmunya bagi agama, kesejahteraan bangsa dan
tanah air yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana,
magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh
pendidikan tinggi.
Pasal30 ayat4 juga perlu diubah sebagai berikut: “Pendidikan
keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, madrasah,
dan nama lain yang sejenis yang dilaksanakan oleh umat Islam,
dan pendidikanpasraman,pabhaja samanera dan bentuk lain yang
sejenis yang dilaksanakan oleh umat beragama lainnya.
Kesebelas, pada BAB X pasal36 ayat3, pasal 37 ayat 1 dan 2,
perlu diubah sehingga berbunyi sebagai berikut. Pasa l36 ayat 3
disempurnakan kemudian ditambah satu ayat sehingga menjadi
sebagai berikut: 3)Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan memperhatikan: a) terpeliharanya pertumbuhan dan
perkembangan agama. b) peningkatan iman dan takwa. c)
peningkatan akhlak mulia. d) peningkatan potensi, kecerdasan,
dan minat peserta didik; e) keragaman potensi daerah dan
lingkungan; f)tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
g)tuntutan dunia kerja; h) perkembangan ilmu pengetahuan,

|185
teknologi, dan seni; i) pengembangan nilai-nilai dan ajaran
agama; j) dinamika perkembangan global; dan k) persatuan
nasional dan nilai-nilai kebangsaan. 4) kurikulum pendidikan
keagamaan seperti madrasah, diniyah, pesantren dan bentuk lain
yang sejenis, harus disusun dan dikembangkan agar peserta didik
dapat menjadi pembimbing dan pemimpin masyarakat yang
memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dan menjadi ahli
ilmu agama dan ilmu pendidikan agama. Pada pasal 37 ayat 1 dan
2 dengan menambahkan “pendidikan Pancasila dan pendidikan
kebangsaan” dalam isi kurikulum pendidikan, dan menambah
dua ayat baru,yaitu 4)pendidikan dan pengajaran agama harus
terintegrasi dengan semua kurikulum dan mata pelajaran yang
ada. 5) muatan kurikulum pendidikan agama dan keagamaan
disusun dan dikembangkan untuk memperluas pemahaman dan
pengamalan ajaran agama.
Keduabelas, pada BAB XI pasal40 perlu ditambah satu ayat
yang bunyinya sebagai berikut.3). Pendidik dan tenaga
kependidikan tidak dapat dituntut di depan hukum bila
melakukan tindakan dengan memberikan hukuman pendidikan
kepada anak didik yang dilakukan dalam kegiatan belajar
mengajar, yang dilakukan dengan maksud untuk mendisiplinkan
anak didik.
Ketigabelas, pada BAB XIII pasal46 dan pasal49 perlu
ditambah satu ayat yang bunyinya sebagai berikut.3) Pasal46
ayat3 “pendanaan pendidikan yang sumbernya dari masyarakat
harus dapat mencegah praktek liberalisasi, kapitalisasi dan
komersialisasi pendidikan.” 6) Pasal49 ayat6 “dana pendidikan
yang bersumber dari masyarakat dialokasikan sesuai kemampuan
keuangan dari masyarakat dan lembaga pendidikan yang ada.
Keempatbelas, pada BAB XIV pasal53 perlu ditambah satu
ayat yang bunyinya sebagai berikut. “dengan adanya Badan
Hukum Pendidikan (BHP) sebagai penyelenggara satuan
pendidikan, pemerintah dan pemerintah daerah tetap
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan dan pembiayaan dana
pendidikan

186 |
Kelimabelas, pada BAB XV pasal55 ayat1 perlu diubah
sehingga bunyinya sebagai berikut. “masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada
pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama
yang dianut masyarakat, sosial, dan budaya untuk kepentingan
masyarakat Indonesia sebagai manusia yang beragama.
Keenambelas, pada BAB XVIII pasal65 ayat2 perlu diubah
sehingga bunyinya sebagai berikut.1)lembaga pendidikan asing
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan
pendidikan agama, pendidikan Pancasila dan pendidikan
kewarganegaraan bagi peserta didik warga negara Indonesia.

4. Kedudukan Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan


Nasional.
Pendidikan Islam merupakan sistem tersendiri di antara
berbagai sistem di dunia ini, kendatipun ada perincian-perincian
dan unsur-unsurnya yang bersamaan. Dia merupakan sistem
tersendiri, baik tentang cakupannya maupun tentang
kesadarannya terhadap detak-detak jantung, goresan hati karsa
dan rasa manusia. Pengaruhnya merupakan sistem tersendiri
dalam jiwa dan kehidupan nyata. Di atara pengarunya adalah
umat yang pernah mengagumi sejarah yaitu umat yang memulai
karirnya dari sekecil-kecilnya sampai mampu menyebar luaskan
ajaranya ke saetero jagat, umat yang betul-betul bercerai-berai
dan hampir tidak mejadi umat yang kokoh dan bersatu. Tidak ada
tolak bandingnya di bumi, menaklukkan dan menjarah,
memakmurkan, membangun menegakkan nilai-nilai moral dan
kemanusiaan yang belum dikenal, baik sebelum maupun
sesudahnya, menjadi umat yang terbesar ke seluruh muka
menyebarkan cahaya petunjuk, membangun kehidupan ini atas
izin Tuhan.
Kedudukan pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional adakalanya sebagai mata pelajaran dan adakalanya
sebagai lembaga.

|187
a) Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran
Istilah pendidikan Agama Islam di Indonesia
dipergunakan untuk nama suatu mata pelajaran di
lingkungan sekolah-sekolah yang berada di bawah
pembinaan Depatemen Pendidikan Nasional. Pendidikan
agama dalam hal ini agama Islam termasuk dalam
struktur kurikulum. Ia termasuk kedalam kelompok mata
pelajaran wajib dalam setiap jalur jenis dan jenjang
pendidikan berpadanan dengan mata pelajaran lain
seperti pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa,
Matematika, Sosial, Budaya (Pasal 37 ayat 1). Memang
semenjak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
terwujudnya Undang-undang no. 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan disempurnakan dengan
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, eksistensi pendidikan Islam sudah
diakui pemerintah sebagai mata pelajuaran wajib di
sekolah.

b) Pendidikan Islam sebagai lembaga


Apabila pendidikan Islam di lingkungan lembaga
pendidikan yang berada di bawah naungan Depatemen
Pendidikan Nasional terwujud sebagai satuan pendidikan
yang berjenjang mulai dari taman kanak-kanak (Raudhat
al-Athfal) sampai ke perguruan tinggi (al-Jami’at)
pengertian pendidikan keagamaan di sini dapat
dilaksanakan pada jalur pendidikan non-formal
(pesantren, madrasah, dan madrasah Diniah) dan dalam
keluarga (pendidikan in-formal).

188 |
C. Analisis Peraturan Perundangan Terhadap
Pendidikan Islam
Berdasarkan telaah terhadap berbagai peraturan dan perudangan-
undangan yang ada terkait dengan pendidikan agama Islam,
setidaknya terdapat tiga permasalahan yang penting untuk dikaji
dan dirumuskan solusinya, yakni;
Pertama, dari sekian banyak peraturan dan perundangan
yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tentang pendidikan
agama Islam, telah awal diindikasikan adanya berbagai
kelemahan dan kekurangan selain tentu adanya berbagai
kelemahan dan kekurangan selain tentu saja banyak kelebihan
dibandingkan peraturan terdahulu berupa ketidaksingkronan
atau bahkan pertentangan antara satu peraturan dengan
peraturan lainnya.
Kedua, Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2010
tentang standar pendidikan Nasional Pendidikan telah
mengamanatkan agar pendidikan agama di sekolah, baik standar
isi yang terkait dengan standar kompetensi maupun standar
penilaian menggarap sekaligus tiga ranah pendidikan, yaitu
kognitif, efektif dan psikomotorik seca berimbang dan
proporsional. Namun tinjauan dilapangan terhadap prakteknya
peraturan-peraturan Menteri Pendidikan Nasional dan
pelaksanaan pendidikan agama di sekolah lebih banyak
menggarap aspek kognitif peserta, dengan hanya sedikit
perhatian terhadap aspek efektif dan psikomotorik.
Ketiga, Teori-teori dan praktek pendidikan mutakhir
menarik kesimpulan bahwa belajar akan mencapai efektifitas
tertinggi jika dilakukan secara terintegrasi antar berbagai mata
pelajaran atau sering disebut integrated learning.

|189
190 |
Abad ke-21 yang ditandai dengan globalisasi teknologi dan
infomasi telah membawa dampak yang luar biasa bagi peran guru
dan dosen dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Peran
guru dan dosen sebagai satu-satunya sumber informasi dan
sumber belajar, sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Guru harus
menemukan peran-peran baru yang lebih kontekstual dan
relevan.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, persoalan tentang
mutu pendidikan di Indonesia telah lama menjadi sorotan dan
berbagai perspektif dan cara pandang. Salah satu sorotan
terhadap rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, sebagaimana
dikaitkan dengan profesional guru.
Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 mengamantkan
bahwa guru profesional harus memiliki syarat kualifikasi
akademik sekurang-kurangnya S1/D-IV dan memliki empat
kompetensi utama yakni; kompetensi pedagogik, kompetensi
profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial.
Keempat kompetensi itu kemudian dijabarkan secara rinci dalam
sub-sub kompetensi melalui Permendiknas No. 16 Tahun 2007
Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.1

1
Badan Standar Nasional Pendidikan, Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru (Jakarta; BNSP, 2007) hlm. 8-60

|191
A. Hakikat Profesional Guru dan Dosen
Guru dan dosen merupakan sama-sama pendidik profesional.
Namun yang membedakan antara keduanya adalah terkait tugas
utama yang dilakoni dan jenjang subjek yang dididik. Tugas
utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Peserta didik yang dimaksud berada pada jenjang usia dini,
pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Sedangkan tugas utama dosen adalah mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat. Adapun jenjang subjek yang
dididik oleh seorang dosen adalah pada tingkat perguruan tinggi.
Dapat disimpulkan bahwa kesamaan antara guru dan dosen
adalah sama-sama sebagai pendidik profesional. Disamping itu,
dari uraian di atas sangat jelas pula perbedaan antara keduanya.
Kepada profesi guru tidak dibebankan kewajiban meneliti dan
mengabdi kepada masyarakat. Sedangkan kepada dosen selain
mendidik, diwajibkan pula meneliti dan mengabdi kepada
masyarakat.
1. Kualifikasi Guru dan Dosen dalam Perspektif Duniawi
Untuk layak menyandang profesi guru, maka wajib memiliki
kualifikasi pendidikan minimum sarjana (S1) atau diploma empat
(D-IV) dan memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Sedangkan profesi dosen wajib memiliki kualifikasi pendidikan
minimum magister (S2) dan juga memiliki kompetensi
sebagaimana telah disebut di atas.
Namun demikian, seseorang yang dengan bangga mengakui
dirinya sebagai dosen yang bergelar magister/doktor, tetapi tidak
pernah meneliti (dengan output akhir publikasi ilmiah) dan tidak
pernah melakukan pengabdian kepada masyarakat, pada
hakikatnya dia bukanlah seorang dosen. Mungkin kepadanya

192 |
cukup layak disebut guru saja. Apakah guru SMA, guru SMP atau
guru SD.
Dibalik itu semua, penulis mencatat paling tidak ada dua hal
yang membanggakan pada profesi guru. Guru sering disebut
sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Kemudian ada peringatan hari
guru setiap tanggal 25 November. Kedua hal tersebut tentunya
tidak ada pada profesi dosen. Kepada Anda yang berprofesi
sebagai dosen, jangan pula berkecil hati. Dari segi jenjang karir,
pada profesi dosen ada jenjang karir tertinggi yang disebut
dengan guru besar (profesor), yang tidak ada pada profesi guru.

2. Kualifikasi Guru dan Dosen dalam Perspektif Ukhrawi


Sangat berbeda dengan perspektif duniawi, dalam perspektif
ukhrawi sesungguhnya terdapat 5 (lima) kualifikasi yang harus
dimiliki oleh seorang guru ataupun dosen, yakni: alim, wara’,
lebih tua, penyantun dan penyabar. Alim bermakna bahwa
seorang guru/dosen harus pintar dan cerdas sesuai bidang
ilmunya. Dalam proses pembelajaran sipendidik benar-benar
menguasai atas apa yang disampaikannya kepada peserta didik.
Sedangkan kualifikasi lebih tua dapat dimaknai bahwa
seorang guru/dosen idealnya secara umur harus lebih tua/senior
dari pada peserta didik. Ini tentunya sangat penting menyangkut
dengan kewibawaan. Di samping itu guru/dosen harus memiliki
banyak pengalaman dan memiliki wawasan yang luas. Kualifikasi
wara’ berarti seorang guru/dosen harus mampu menjaga dirinya
dari kemaksiatan. Guru/dosen wajib menjaga etika yang baik
karena mereka merupakan teladan bagi peserta didik.
Guru/dosen harus dapat digugu dan ditiru.
Kualifikasi penyantun, berarti guru/dosen harus santun
dalam bertutur dan santun pula dalam bersikap. Seseorang yang
tidak santun seharusnya tidak layak diluluskan pada saat seleksi
menjadi calon guru ataupun dosen. Terakhir adalah penyabar.
Guru/dosen harus sabar dalam mendidik. Terkadang ada peserta
didik yang lambat dalam memahami atas bahan pembelajaran

|193
yang telah disampaikan. Di situlah diuji tingkat kesabaran
seorang guru/dosen, hingga akhirnya peserta didik dapat
termotivasi dalam belajar dan sukses memahami terhadap apa
yang dipelajari dari sang guru/dosen.
Profesi menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang
menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap
profesi. Suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh
sembarang orang yang tidak dilatih atau disiapkan untuk itu.
(Dedi Supriadi: 1999).
Jadi profesi bukanlah sembarang pekerjaan tetapi pekerjaan
yang berlandaskan pada keahlian. Keahlian tersebut diperoleh
melalui suatu pendidikan dan pelatihan melalui suatu lembaga
yang telah mendapat otoritas.
Guru diwacanakan sebagai profesi sebagaimana profesi
pengacara, dokter, ataupun akuntan. Profesi yang dipahami
secara ilmiah dengan pengertian sbb:
1. Berdasarkan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui
pendidikan atau pelatihan.
2. Pengetahuan tersebut memuat teknik-teknik bekerja.
3. Adanya standar kompetensi yang ditetapkan.
4. Bekerja demi pelanggan.
5. Dibutuhkan oleh masyarakat.
6. Adanya prosedur kerja.
7. Mengutaman kualitas.
8. Menjunjung kode etik profesi.
9. Mempunyai organisasi profesi.
10. Mempunyai badan kehormatan profesi

194 |
Prinsip Profesi Guru
 Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme.
 Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu
pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.
 Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang
pendidikan sesuai dengan bidang tugas.
 Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan
bidang tugas
 Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas
keprofesionalan
 Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai
dengan prestasi kerja
 Memiliki kesempatan untuk mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar
sepanjang hayat
 Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan.
 Memiliki organisasi profesional yang mempunyai
kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
tugas keprofesionalan guru.
Karena guru sebagai profesi, berdasarkan kriterian tersebut
sudah barang tentu tidak semua orang yang mengajar bisa
disebut guru. Dan secacara otomatis para guru adalah
profesional. Semua itu merupakan tantangan dan tuntutan agar
ke depan guru bertindak profesional.

Profesional:
Profesional secara kebahasaan berarti expert (ahli) atau
specialist (seorang spesialis). Pengertian umum sering dimaksud
dengan seorang yang bekerja baik dengan keras, tanpa menunjuk
pada pekerjaan tersebut sebagai profesi atau tidak.

|195
Profesional adalah orang yang melaksanakan profesi yang
berpendidikan minimal S1 dan mengikuti pendidikan profesi dan
lulus ujian profesi. Dokter, akuntan, notaris, penasihat hukum,
psikolog di samping lulus pendidikan S1 dalam bidangnya juga
harus mengikuti pendidikan profesi (dokter, notaris, psikolog)
atau lulus ujian profesi (akuntan dan penasihat hukum) dengan
cara itu profesional dapat buka praktek profesional sendiri
melayani masyarakat tanpa harus bekerja di suatu organisasi.
(Wirawan: 2001)
Ada juga yang mengartika profesional adalah pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran,
atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma
tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Guru sebagai
tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya
dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi
akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan
persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru
berkewajiban:
1. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses
pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran;
2. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi
akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni;
3. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan
kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan
status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
4. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan,
hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan
etika; dan

196 |
5. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan
bangsa.

Profesionalisme:
Dedi Supriadi (1999) mengatakan bahwa bahwa
profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang
sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai
profesi, ada yang profesionalismenya tinggi, sedang, dan rendah.
Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen
anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi
dan kode etik profesi.
Dengan demikian profesionalisme merupakan performance
quality dan sekaligus sebagai tuntutan perilaku profesional dalam
melaksanakan tugasnya. Konsekuensinya guru sebagai
profesional dituntut untuk bisa bekerja dalam koridor
profesionalisme.
Guru adalah pekerja profesi oleh karena itu harus menjunjung
profesionalisme. Pengertian umum profesionalisme
menunjukkan kerja keras secara terlatih tanpa adalanya
persyaratan tertentu. Pemahaman secara scientific
profesionalisme menunjuk pada ide, aliran, atau pendapat bahwa
suatu profesi harus dilksanakan oleh profesional denganmengacu
kepada profesionalisme (Wirawan: 2001)

Hak Guru
1. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup
minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
2. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan
tugas dan prestasi kerja.
3. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas
dan berhak atas kekayaan intelektual.
4. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan
kompetensi.

|197
5. Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana
pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas
keprofesionalan.
6. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan
ikut menentukan kelulusan, penghargaan atau sangsi
pada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan,
kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
7. Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam
melaksanakan tugas
8. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi
profesi
9. Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan
kebijakan pendidikan.
10. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan
meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi
11. Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi
dalam bidangnya.

Kewajiban Guru
 Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses
pembelajaran yang bermutu serta menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran.
 Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi
akademik dan kompetensi secara berlanjut sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni.
 Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik,
latar belakang, dan status sosial ekonomi peserta didik
dalam pembelajaran.
 Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan
hukum, kode etika, dan nilai-nilai etika.

198 |
 Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan
bangsa.

Tujuan Kedudukan Guru Sebagai Tenaga Profesional


Menurut UU No 14 Tahun 2005, Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama: mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Melaksanakan sistem pendidikan nasional sistem pendidikan
nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab.
Pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui
pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, keahlian,
tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan
bangsa dan kode etik profesi.
Suatu pekerjaan profesional jelas memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Sehingga
yang dimaksud dengan guru profesional adalah guru yang
memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan dalam mendidik,
membelajarkan, membimbing, mengarahkan, melatih dan
mengevaluasi peserta didik.
Pengakuan dan kedudukan guru sebagai tenaga profesional
pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal
dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Jadi sertifikat pendidik
adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada
guru sebagai tenaga profesional.

|199
Profesi menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang
menuntut keahlian , tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap
profesi. Suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh
sembarang orang yang tidak dilatih atau disiapkan untuk itu.
(Dedi Supriadi: 1999).
Jadi profesi bukanlah sembarang pekerjaan tetapi pekerjaan
yang berlandaskan pada keahlian. Keahlian tersebut diperoleh
melalui suatu pendidikan dan pelatihan melalui suatu lembaga
yang telah mendapat otoritas.
Guru diwacanakan sebagai profesi sebagaimana profesi
pengacara, dokter, ataupun akuntan. Profesi yang dipahami
secara ilmiah dengan pengertian sbb:
1. Berdasarkan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui
pendidikan atau pelatihan.
2. Pengetahuan tersebut memuat teknik-teknik bekerja.
3. Adanya standar kompetensi yang ditetapkan.
4. Bekerja demi pelanggan.
5. Dibutuhkan oleh masyarakat.
6. Adanya prosedur kerja.
7. Mengutaman kualitas.
8. Menjunjung kode etik profesi.
9. Mempunyai organisasi profesi.
10. Mempunyai badan kehormatan profesi

Prinsip Profesi Guru


 Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme.
 Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu
pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.
 Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang
pendidikan sesuai dengan bidang tugas.

200 |
 Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan
bidang tugas
 Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas
keprofesionalan
 Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai
dengan prestasi kerja
 Memiliki kesempatan untuk mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar
sepanjang hayat
 Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan.
 Memiliki organisasi profesional yang mempunyai
kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
tugas keprofesionalan guru.

Karena guru sebagai profesi, berdasarkan kriterian tersebut


sudah barang tentu tidak semua orang yang mengajar bisa
disebut guru. Dan secacara otomatis para guru adalah
profesional. Semua itu merupakan tantangan dan tuntutan agar
ke depan guru brtindak profesional.

Profesional:
Profesional secara kebahasaan berarti expert (ahli) atau
specialist (seorang spesialis). Pengertian umum sering dimaksud
dengan seorang yang bekerja baik dengan keras, tanpa menunjuk
pada pekerjaan tersebut sebagai profesi atau tidak.
Profesional adalah orang yang melaksanakan profesi yang
berpendidikan minimal S1 dan mengikuti pendidikan profesi dan
lulus ujian profesi. Dokter, akuntan, notaris, penasihat hukum,
psikolog di samping lulus pendidikan S1 dalam bidangnya juga
harus mengikuti pendidikan profesi (dokter, notaris, psikolog)
atau lulus ujian profesi (akuntan dan penasihat hukum) dengan
cara itu profesional dapat buka praktek profesional sendiri

|201
melayani masyarakat tanpa harus bekerja di suatu organisasi.
(Wirawan: 2001)
Ada juga yang mengartika profesional adalah pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran,
atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma
tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Guru sebagai
tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya
dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi
akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan
persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:
1. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses
pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran;
2. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi
akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni;
3. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan
kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan
status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
4. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan,
hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan
etika; dan
5. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan
bangsa.

Profesionalisme:
Dedi Supriadi (1999) mengatakan bahwa bahwa
profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang
sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai

202 |
profesi, ada yang profesionalismenya tinggi, sedang, dan rendah.
Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen
anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi
dan kode etik profesi.
Dengan demikian profesionalisme merupakan performance
quality dan sekaligus sebagai tuntutan perilaku profesional dalam
melaksanakan tugasnya. Konsekuensinya guru sebagai
profesional dituntut untuk bisa bekerja dalam koridor
profesionalisme.
Guru adalah pekerja profesi oleh karena itu harus
menjunjung profesionalisme. Pengertian umum profesionalisme
menunjukkan kerja keras secara terlatih tanpa adalanya
persyaratan tertentu. Pemahaman secara scientific
profesionalisme menunjuk pada ide, aliran, atau pendapat bahwa
suatu profesi harus dilksanakan oleh profesional denganmengacu
kepada profesionalisme (Wirawan: 2001)

Hak Guru
1. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup
minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
2. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan
tugas dan prestasi kerja.
3. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas
dan berhak atas kekayaan intelektual.
4. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan
kompetensi.
5. Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana
pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas
keprofesionalan.
6. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan
ikut menentukan kelulusan, penghargaan atau sangsi
pada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan,
kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.

|203
7. Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam
melaksanakan tugas
8. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi
profesi
9. Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan
kebijakan pendidikan.
10. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan
meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi
11. Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi
dalam bidangnya.

Kewajiban Guru
 Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses
pembelajaran yang bermutu serta menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran.
 Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi
akademik dan kompetensi secara berlanjut sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni.
 Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik,
latar belakang, dan status sosial ekonomi peserta didik
dalam pembelajaran.
 Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan
hukum, kode etika, dan nilai-nilai etika.
 Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan
bangsa.

Tujuan Kedudukan Guru Sebagai Tenaga Profesional


Menurut UU No 14 Tahun 2005, Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama: mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi

204 |
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Melaksanakan sistem pendidikan nasional sistem pendidikan
nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab.
Pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui
pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, keahlian,
tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan
bangsa dan kode etik profesi.
Suatu pekerjaan profesional jelas memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Sehingga
yang dimaksud dengan guru profesional adalah guru yang
memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan dalam mendidik,
membelajarkan, membimbing, mengarahkan, melatih dan
mengevaluasi peserta didik.
Pengakuan dan kedudukan guru sebagai tenaga profesional
pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal
dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Jadi sertifikat pendidik
adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada
guru sebagai tenaga profesional.

B. Hakikat Sertifikasi Guru dan Dosen


1. Gagasan dan Problematika Konseptual
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada sesuatu
objek tertentu (orang, barang, atau organisasi tertentu) yang
menandakan bahwa objek tersebut layak menurut kriteria, atau
standar tertentu. Sertifikat merupakan sebuah bentuk jaminan

|205
mutu (quality assurance) kepada pengguna objek tersebut,
sehingga para pengguna tidak merasa dirugikan.
Sertifikasi merupakan sebuah fenomena unik yang lahir dari
gerakan standarisasi. Adapun akar historisnya dapat ditelusuri
dari lahirnya konsep manajemen ilmiah (scientific management)
sebagaimana yang dikemukakan oleh E.W. Taylor, dalam dunia
bisnis sertifikasi terhadap produk biasa dilakukan karena terkait
dengan kepuasan pelanggan. Sertifikasi di satu sisi untuk
menjamin mutu (produk atau jasa) sebelum dipasarkan, dengan
demikian menjamin hak-hak konsumen untuk menggunakan
produk itu secara aman, pelanggan. Produk yang sudah
disertifikasi dinyatakan layak untuk digunakan oleh pengguna
karena itu para pelanggan memiliki jaminan bahwa produk yang
dibeli tidak mengecewakan atau merugikannya. Karena itu
serifikasi merupakan suatu bentuk jaminan mutu dan sekaligus
mengendalian mutu yang dilaksanakan setelah sebuah proses
produksi tertentu (after-the- event-process) karena merupakan
sebuah mekanisme untuk menentukan kelayakan dari suatu
produk sebelum dipasarkan.
Akhir-akhir ini sertifikasi juga merambat kepada pekerjaan-
pekerjaan tertentu yang dikategorikan sebagai pekerjaan
profesional. Beberapa profesi yang sudah sering disertifkasi;
psikolog, advokat, dokter, arsitek, dsb, sementara serifikasi guru
nampaknya masih relatif baru dan masih menuai problematika
tertentu.

2. Perkembangan Pendidikan Guru di Indonesia sebagai


konteks Historis sertifikasi.
Pada halaman sebelumnya telah diuraikan secara singkat
bahwa akar historis konsep tentang sertikasi dapat ditelusuri dari
lahirnya konsep manajemen ilmiah (scientific management)
sebagaimana yang dikemukakan oleh E.W Taylor. Namun
demikian dalam konteks guru, akar historis sertikasi guru
sebenarnya dapat ditelusuri dari program pendidikan yang
terorganisir yang sudah muncul sejak abad-19 di Belanda.

206 |
Tinjauan di lapangan bahwa guru merupakan ujung tombak
proses kemanusiaan dan pemanusiaan telah diterima sepanjang
sejarah pendidikan formal, bahkan sebelum itu. Hingga saat ini
agenda kerja, wajah kegiatan, dan fungsi yang ditampilkan oleh
guru tidak berubah, yaitu menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran di kelas. Mereka ini menjadi ujung sekaligus pengarah
tombak proses kemanusiaan dan pemanusiaan melalui jalur
pendidikan formal.
Pada tataran perilaku, apa yang ditampilkan oleh guru relatif
khas, paling tidak banyak berbeda secara visual dengan perilaku
warga masyarakat profesional bukan guru. Mereka senantiasa
berperilaku seperti pamong praja tulen, sebagian besar di
antaranya berperilaku secara manusiawi, tanpa ada pretensi
untuk tampil eksentrik, norak, apalagi glamour. Perilaku sosial
yang mereka tampilkan mencerminkan kapasitas sosial, ekonomi,
mobilitas dan kepribadian sebagai guru.
Sosok guru tidak hanya tercermin dalam kesederhanaan
mereka berpakaian, bertutur kata, berbelanja di pasar, atau dalam
pola menikmati waktu senggang, seprti; rekreasi. Mereka tidak
mempunyai beban untuk menyisihkan anggaran berlibur akhir
tahun atau pesta ulang tahun atau berbelanja ke super market,
disebabkan karena ekonominya relatif serba terbatas dan
penampilan guru cenderung seperti itu. Mereka merasa cukup
berbelanja di kaki lima atau di pasar-pasar yang biasa
menawarkan barang dengan harga murah, tanpa perlu perhatikan
kualitas produk yang di beli. Dalam hal tertentu posisi guru
memang serba salah. Sisi lemah ini diduga disebabkan oleh
beberapa hal, seprti latar budaya, warisan pendidikan zaman
kolonial atau karena memang harus begitu. Sebagaimana
diketahui bahwa pertama, mereka menuntut agar muridnya
menggugu dan meniru. Anak didik diwajibkan berperilaku
sebagai anak manis, tidak memancing perbedaan pendapat
dengannya di kelas, lebih-lebih berbau menggurui. Tidak jarang

|207
ada kesan kuat. Kesantunan anak didik lebih mereka utamakan
daripada

3. Tujuan dan Manfaat Sertifikasi


Dalam buku Sujanto2 dijelaskan bahwa pada dasarnya
pelaksanaan sertifikasi guru mempunyai banyak tujuan. Berikut
ini beberapa tujuan utama sertifikasi guru.
a. Menentukan kelayakan guru sebagai agen
pembelajaran
Sebagai agen pembelajaran berarti guru menjadi pelaku
dalam proses pembelajaran. Guru yang sudah menerima
sertifikat pendidik dapat diartikan sudah layak menjadi
agen pembelajaran
b. Meningkatkan proses dan mutu pendidikan
Mutu pendidikan antara lain dapat dilihat dari mutu
siswa sebagai hasil proses pembelajaran. Mutu siswa ini
diantaranya ditentukan dari kecerdasan, minat, dan
usaha siswa yang bersangkutan. Guru yang bermutu
dalam arti berkualitas dan profesional menentukan mutu
siswa
c. Meningkatkan Martabat Guru
Dari bekal pendidikan formal dan juga berbagai kegiatan
guru yang antara lain ditunjukkan dari dokumentasi data
yang dikumpulkan dalam proses sertifikasi maka guru
akan mentransfer lebih banyak ilmu yang dimiliki kepada
siswanya. Secara psikologis kondisi tersebut akan
meningkatkan martabat guru yang bersangkutan.

2
Bedjo Sujanto, Cara Efektif Menuju Setifikasi Guru. (Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2009), hlm. 8

208 |
d. Meningkatkan Profesionalisme
Guru yang profesional antara lain dapat ditentukan dari
pendidikan, pelatihan, pengembangan diri, dan berbagai
aktivtas lainnya yang terkait denga profesinya. Langkah
awal menjadi guru profesional dapat ditempuh dengan
mengikuti sertifikasi guru.

Sedangkan untuk manfaat utama dari sertifikasi guru adalah


sebagai berikut:
 Melindungi profesi guru dari praktik-pratik yang
merugikan citra profesi guru
 Melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang
tidak berkualitas dan profesional (Sujanto, 2009: 9-10)

4. Tujuan Kedudukan Guru Sebagai Tenaga Profesional


Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, undang-undang nomor 14 tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
mengamanatkan bahwa guru adalah pendidik profesional.
Seorang guru atau pendidik profesional harus memiliki kualifikasi
akademik minimum sarjana (S1) atau diploma empat (D4),
menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial, dan
kepribadian), memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
Sertifikasi guru merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru, serta berfungsi
untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen
pembelajaran. Dengan terlaksananya sertifikasi guru, diharapkan
akan berdampak pada meningkatnya mutu pembelajaran dan
mutu pendidikan secara berkelanjutan.
Sasaran sertifikasi guru dalam jabatan melalui penilaian
portofolio tahun 2008 ditetapkan oleh pemerintah sejumlah

|209
200.000 guru, meliputi PNS dan bukan PNS pada satuan
pendidikan negeri atau swasta yang meliputi TK, SD, SMP, SMA,
SMK dan SLB.
Persyaratan peserta sertifikasi guru melalui penilaian
portofolio sebagai berikut.
1. Memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana (S1) atau
diploma empat (D-IV) dari program studi yang
terakreditasi.
2. Mengajar di sekolah umum di bawah binaan
Departemen Pendidikan Nasional.
3. Guru PNS yang mengajar pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah atau guru yang
diperbantukan pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
4. Guru bukan PNS yang berstatus guru tetap yayasan
(GTY) atau guru yang diangkat oleh Pemda yang
mengajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh pemerintah daerah.
5. Memiliki masa kerja sebagai guru minimal 5 tahun pada
satu sekolah atau sekolah yang berbeda dalam yayasan
yang sama;
6. Memiliki nomor unik pendidik dan tenaga
kependidikan (NUPTK). Persyaratan dan prioritas
penentuan calon peserta sertifikasi guru baik untuk
guru PNS maupun bukan PNS berlaku sama, kecuali
pangkat dan golongan.
Dalam Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang
Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan disebutkan bahwa sertifikasi
bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi
dalam bentuk penilaian portofolio alias penilaian kumpulan
dokumen yang mencerminkan kompetensi guru, dengan
mencakup 10 (sepuluh) komponen yaitu : (1) kualifikasi
akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman

210 |
mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5)
penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7)
karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum
ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan
sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang
pendidikan.
Tabel ..... Pemetaan Komponen Portofolio dalam konteks
Kompetensi Guru

No. KOMPONEN PORTOFOLIO KOMPETENSI GURU


(Sesuai Permendiknas No. 18
Tahun 2007) Pedg Kepri Sos Profe

Kualifikasi Akademik

Pendidikan dan Pelatihan

Pengalaman Mengajar 

Perencanaan dan Pelaksanaan


Pembelajaran

Penilaian dari Atasan dan


Pengawas

Prestasi Akademik

Karya Pengembangan Profesi

Keikutsertaan dalam Forum


Ilmiah

Pengalaman Menjadi Pengurus


Organisasi di Bidang
Kependidikan dan Sosial

Penghargaan yang Relevan   


dengan Bidang
Pendidikan

|211
Jika kesepuluh komponen tersebut telah dapat terpenuhi
secara obyektif dengan mencapai skor minimal 850 atau 57% dari
perkiraan skor maksimum (1500), maka yang bersangkutan bisa
dipastikan untuk berhak menyandang predikat sebagai guru
profesional, beserta sejumlah hak dan fasilitas yang melekat
dengan jabatannya.
Sayangnya, untuk memenuhi batas minimal 57 % saja
ternyata tidak semudah yang dibayangkan, sejumlah
permasalahan masih menghadang di depan. Permasalahan tidak
hanya dirasakan oleh para guru yang belum memiliki kualifikasi
D4/S1 saja, yang jelas-jelas tidak bisa diikutsertakan, tetapi bagi
para guru yang sudah berkualifikasi D4/S1 pun tetap akan
menjumpai sejumlah persoalan, terutama kesulitan guna
memenuhi empat komponen lainnya, yaitu komponen : (1)
pendidikan dan pelatihan, (2) keikutsertaan dalam forum ilmiah,
(3) prestasi akademik, dan (4) karya pengembangan profesi. Saat
ini, keempat komponen tersebut belum sepenuhnya dapat
diakses dan dikuasai oleh setiap guru, khususnya oleh guru-guru
yang berada jauh dari pusat kota. Frekuensi kegiatan pelatihan
dan pendidikan, forum ilmiah, dan momen-momen lomba
akademik relatif masih terbatas. Begitu juga budaya menulis,
budaya meneliti dan berinovasi belum sepenuhnya berkembang
di kalangan guru. Semua ini tentu akan menyebabkan kesulitan
tersendiri bagi para guru untuk meraih poin dari komponen-
komponen tersebut.
Oleh karena itu, jika ke depannya kegiatan sertifikasi guru
masih menggunakan pola yang sama, yaitu dalam bentuk
penilaian portofolio dengan mencakup 10 (sepuluh komponen)
seperti di atas, maka perlu dipikirkan upaya-upaya agar setiap
guru dapat memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk
meraih poin dari komponen-komponen tersebut, diantaranya
melalui beberapa upaya berikut ini :
Pertama, Meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan
pendidikan dan pelatihan, serta forum ilmiah di setiap daerah

212 |
dan para guru perlu terus-menerus dimotivasi dan difasilitasi
untuk dapat berpartisipasi di dalamnya. Memang idealnya,
kegiatan pendidikan dan pelatihan atau mengikuti forum ilmiah
sudah harus merupakan kebutuhan yang melekat pada diri
individu guru itu sendiri, sehingga guru pun sudah sewajarnya
ada kerelaan berkorban, baik berupa materi, tenaga dan fikiran
guna dan mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan maupun
forum ilmiah. Tetapi harus diingat pula bahwa kegiatan
pendidikan, pelatihan dan forum ilmiah tidak hanya untuk
kepentingan individu guru yang bersangkutan semata, tetapi
organisasi pun (baca : sekolah atau dinas pendidikan) didalamnya
memiliki kepentingan. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika
sekolah atau dinas pendidikan berusaha seoptimal mungkin
untuk memfasilitasi kegiatan pendidikan dan pelatihan atau
forum ilmiah bagi para guru
Kedua, Meningkatkan frekuensi moment lomba-lomba, baik
untuk kalangan guru maupun siswa (guru akan diperhitungan
dalam perannya sebagai pembimbing) di daerah-daerah, secara
berjenjang mulai dari tingkat sekolah, kecamatan sampai dengan
tingkat kabupaten dan bahkan bila memungkinkan bisa
diikutsertakan pada tingkat yang lebih tinggi. Lomba bagi guru
tidak hanya diartikan dalam bentuk pemilihan guru berprestasi
yang sudah biasa dilaksanakan setiap tahunnya, tetapi juga
bentuk-bentuk perlombaan lainnya yang mencerminkan
kemampuan akademik, pedagogik dan sosio-personal guru.
Kegiatan lomba bagi guru dan siswa pada tingkat sekolah
sebenarnya jauh lebih penting, karena melalui ajang lomba pada
tingkat sekolah inilah dapat dihasilkan guru-guru dan siswa
terpilih, yang selanjutnya dapat diikutsertakan berkompetisi pada
ajang lomba tingkat berikutnya. Agar kegiatan lomba pada
tingkat sekolah memperoleh respons positif, khususnya dari para
guru, sudah barang tentu sekolah harus mampu memberikan
apresiasi yang seimbang dan menarik

|213
Ketiga, Untuk menumbuhkan budaya menulis, kiranya perlu
dipikirkan agar di setiap sekolah diterbitkan bulletin, majalah
sekolah atau media lainnya (publikasi melalui internet atau
majalah dinding, misalnya), yang beberapa materinya berasal dari
para guru secara bergiliran. Dalam hal ini, untuk sementara bisa
saja mengabaikan dulu apakah berbobot atau tidaknya karya
tulisan mereka, yang diutamakan di sini adalah kemauan mereka
untuk memulai menulis. Apabila memang ditemukan karya guru
yang dipandang bagus dan berbobot, tidak ada salahnya untuk
mencoba dikirimkan ke majalah atau koran-koran tertentu yang
memungkinkan bisa dipertimbangkan untuk kepentingan
penilaian sertifikasi.
Keempat, Untuk menanamkan budaya meneliti di kalangan
guru, sekolah-sekolah dapat memfasilitasi dan memberikan
motivasi kepada guru untuk melaksanakan kegiatan Penelitian
Tindakan Kelas, bisa saja dalam bentuk lomba Penelitian
Tindakan Kelas atau bahkan bila perlu dengan cara mewajibkan
para guru untuk melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas,
minimal dalam satu tahun satu kali. Di samping untuk
kepentingan penilaian sertifikasi, kegiatan Penelitian Tindakan
Kelas terutama dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perbaikan
mutu proses pembelajaran guru yang bersangkutan, sehingga
guru tidak terjebak dan berkutat dalam proses pembelajaran yang
sama sekali tidak efektif. Tentunya, dalam hal ini setiap hasil
karya dari setiap guru perlu diapresiasi secara seimbang pula,
baik dalam bentuk materi maupun non materi.
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan, forum
ilmiah dan aneka lomba akademik bagi guru, sudah pasti harus
menjadi tanggung jawab pemerintah, khususnya pemerintah
daerah melalui sekolah atau Dinas Pendidikan setempat. Akan
tetapi, organisasi profesi, perguruan tinggi dan masyarakat
setempat pun seyogyanya dapat turut ambil bagian untuk
menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut,

214 |
sebagai wujud nyata dari tanggung jawab dan kepeduliannya
terhadap pendidikan.
Dengan semakin terbukanya peluang-peluang untuk
mengikuti berbagai kegiatan di atas, maka kesempatan guru
untuk memperoleh poin penilaian dalam rangka mengikuti
program sertifikasi pun semakin terbuka lebar. Bersamaan itu
pula, niscaya kualitas guru dapat menjadi lebih baik dalam
mengantarkan pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia
menuju ke arah yang lebih berkualitas sesuai dengan tujuan dan
manfaat sertifikasi

C. Sertifikasi Guru dan Era Baru Profesional Guru di


Indonesia
Kualitas guru kita, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan.
Berdasarkan data tahun 2017/2018, dari ... ribu guru TK-
SLTA/Sederajat kita saat ini, hanya 88,%nya yang berijasah
sarjana.3 Realitas semacam ini, pada akhirnya akan
mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi
masalah, dimana seorang guru sering mengajar lebih dari satu
mata pelajaran yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari
pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar
mengajar menjadi tidak maksimal.
Banyak guru yang belum memiliki persyaratan kualifikasi.
Guru TK sebanyak 137.069 orang, yang sudah memiliki
kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru
12.929 orang (9,43%). Guru SD sebanyak 26,261 orang, yang sudah
memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi
pendidikan S1 baru orang (45,26%), guru yang masih belum S1
atau < S1 berjumlah 5,581 orang guru. Guru SMP sebanyak 10,025
orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan
kualifikasi pendidikan S1 baru 696 orang (.....%), dan yang guru
masih < S1 berjumlah 696 orang guru. Guru SMA sebanyak 5,459

3
Data Statistik Pendidikan . http://statistik.data.kemdikbud.go.id/

|215
orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan
kualifikasi pendidikan S1 baru 5,345 orang (%), guru yang masih
< S1 berjumlah 114 orang. G uru SMK sebanyak 3930 orang, yang
sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi
pendidikan baru 3717 orang (63,02%), guru yang masih atau < S1
berjumlah 213 guru 4
Hasil Persentase guru layak mengajar terhadap guru menurut
status sekolah di Jambi SMP/ junior secondary school (JSS) tahun:
2017/2018.5

Guru Jumlah/total %
No
Negeri Layak % Swasta Layak % Guru Layak

1 10,736 8,105 75.49 1,374 1,066 77.58 12,110 9,171 75.73

 Jumlah guru yang masih kurang


Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang,
apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab
itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat
ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang
satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah
angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan
mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak
lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses
belajar mengajar yang maksimal.
Di Provinsi Jambi perkembangan jumlah guru Negeri dan
swasta dari tahun 2003/2004 s/d tahun 2005/2006 yaitu:

4
Ibid
55
Data Dinas Pendidikan Provinsi Jambi,

216 |
Status sekolah
No Tahun Jumlah
Negeri Swasta

1 2003/2004 7,295 673 7,968

2 2004/2005 8,612 884 9,496

3 2005/2006 9,067 1,174 10,241

 Masalah distribusi guru


Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan
masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di
daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya
kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan
keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas
dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang
diharapkan.

 Masalah kesejahteraan guru


Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat
kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan.
Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi,
apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu
atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian
para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas
pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis dilingkungan
sekolah dimana mereka mengajar tenaga pendidik. Peningkatan
kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan
profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru
melakukan praktek bisnis di sekolah.

|217
1. Kebijakan Pemerintah
Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemerintah sebagai
institusi penyelenggara Negara mempunyai peranan tersendiri
dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Kebijakan
pemerintah, pada dasarnya dapat dikatagorikan dalam dua
bentuk, yaitu kebijakan yang bersifat konstitusional dan
kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan konstitusional
lebih mengarah pada bagaimana pemerintah menetapkan
perundang-undangan maupun peraturan-peraturan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita. Dalam Konteks
ini, beberapa langkah maju telah dicapai oleh pemerintah saat ini.
Lahirnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, merupakan strategi jangka panjang dalam membenahi
carut marut dunia pendidikan kita. Sudah barang tentu, UU
tersebut masih diperlukan penjabaran lebih lanjut dalam
berbagai bentuk peratutan-peraturan yang berada dibawahnya,
termasuk issu Badan Hukum Pendidikan (BHP), peraturan
perbukuan maupun issu sertifikasi bagi para pengajar untuk
meningkatkan standar kualitas mereka.
Kebijakan operasioanal pemerintah, lebih mengarah pada
kebijakan alokasi anggaran yang ditujukan bagi sektor
pendidikan nasional. UU No. 20 Tahun 2003, memang telah
mengamanatkan untuk menglaokasikan 20% dari APBN/APBD
untuk sektor pendidikan. Namun mengingat kemampuan
keuangan Negara yang masih terbatas, maka alokasi 20% ini
rencananya akan dicapai dalam beberapa tahap sesuai dengan
kemampuan keuangan Negara. Dalam tahun anggaran 2004 yang
lalu, untuk sektor pendidikan baru di alokasikan sebesar 6,6%.
Tahun 2005, jumlahnya telah meningkat menjadi 9,29% dan
tahun 2006, rencananya akan dialokasikan 12,01%, 14,60% untuk
anggaran tahun 2007 dan berturut-turut sampai tahun 2009
nanti, diharapkan anggaran untuk sektor pendidikan akan
menjadi 17,40% dan 20,10%.

218 |
2. Manajemen sekolah
Manajemen pendidikan di Indonesia, secara umum
dikatagorikan dalam dua kelompok yaitu yang diatur dan
dibawah kendali langsung pemerintah (sekolah negeri) dan
sekolah-sekolah yang di kelola oleh pihak swasta (sekolah
swasta). Perbedaan manajemen ini pada akhirnya, sedikit banyak
akan mempengaruhi mutu dan kualitas anak didik di masing-
masih sekolah serta secara tidak langsung telah ikut menciptakan
“ketimpangan” dalam pengelolaan sekolah. Bagi para keluarga
yang secara ekonomi mapan, maka mereka cenderung akan
mampu memasukkan anak-anaknya pada sekolah-seklah favorit
yang biasanya memerlukan alokasi dana yang tidak sedikit.
Begitu pula sebaliknya, bagi yang keluarga yang kurang mampu,
biaya sekolah dirasakan mahal dan menjadi beban tersendiri bagi
ekonomi keluarga. Belum lagi kebijakan pemerintah dimasa
lampau yang cenderung membedakan berbagai bentuk bantuan
untuk sekolah negeri dan swasta, secara langsung maupun tidak
telah ikut memperparah ketimpangan dunia pendidikan. Dalam
konteks ini, pemerintah telah mengambil kebijakan untuk tidak
membedakan antara sekolah yang di kelola oleh Negara maupun
sekolah yang dikelola oleh pihak swasta.

3. Saran dan prasarana sekolah


Sarana dan prasarana sekolah, merupakan salah satu kendala
yang masih dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Kemampuan
keuangan yang masih terbatas, salah kelola maupun tingkat KKN
yang masih tinggi serta faktor-faktor lain, telah menyebabkan
kondisi sekolah masih jauh dari memadai. Mulai dari jumlah
gedung yang rusak, ruang kelas yang terbatas maupun
kelengkapan alat-alat laboratorium yang sangat dibutuhkan
dalam pencapaian proses belajar mengajar yang belum maksimal,
merupak beberapa kendala nyata yang masih kita hadapi.
Sarana dan Prasarana Pendidikan. Banyaknya ruang kelas
yang tidak layak untuk proses belajar. Ruang kelas TK yang
jumlahnya 93.629 ruang, yang kondisinya masih baik 77.399

|219
ruang (82,67%), Ruang kelas SD yang jumlahnya 865.256 ruang,
yang kondisinya masih baik 364.440 ruang (42,12%), Ruang kelas
SMP yang jumlahnya 187.480 ruang, yang kondisinya masih baik
154.283 ruang (82,29%), Ruang kelas SMA yang jumlahnya 124.417
ruang, yang kondisinya masih baik 115.794 ruang (93,07%),
(Sumber : Indonesia Educational statistics in brief 2003/2004;
Balitbang Diknas).
Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) melalui peningkatan mutu pendidikan. Tantngan
ke depan bukanlah semakin ringan tetapi justru bertambah berat,
karena kondisi ekonomi yang sepenuhnya belum pulih dari krisis
berdampak lambannya pembngunan pendidikan, artinya
permasalahan yang bakal muncul menjadi beragam yang
menuntut profesionalisme dari semua pihak. Keterpurukan SDM
Indonesia tidak lepas dari peranan guru, namun tidak semuanya
menjadi tanggung jawab guru.
Dalam GBHN diamanatkan bahwa Pendidikan Nasionl
bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman, dan bertakwa terhdap Tuhan yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rochani, kepribdian yang mantap dan
mandiri serta rsa tanggung jawab kemasyarakatan serta
kebangsaan (Departemen P dan K: 1999). Hal tersebut dapat
memberi gambaran ke depan tanggung jawab yang harus
diemban oleh guru.
Tanggung jawab utama guru tidak sekedar mengajar namun
sekaligus mendidik, sesungguhnya suatu kegiatan yang sangat
kompleks, karena tidak hanya berhubungan dengan ilmu,
teknologi, seni, namun juga berhubungan dengan nilai-nilai lain.
Apalagi dengan diberlakukannya kurikulum KTSP yang menuntut
guru bersikap profesional agar tugas yang diemban dapat
bermakna bagi siswa.
Seiring dengan otonomi daerah maka muncullah paradigma
baru dalam pengelolaan pendidikan, yaitu manajemen berbasis

220 |
sekolah, yang secara operasional dikenal dengan nama
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
MPMBS diartikan sebagai model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong
pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara
langung semua warga sekolah ( kepala sekolah, guru, karyawan,
orang tua siswa,dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu
sekolah.
Dengan berbagai permasalahan di atas maka gurulah yang
banyak disorot dan disalahkan dan guru, akhirnya menjadi salah
satu faktor menentukan dalam konteks meningkatkan mutu
pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang
berkualitas karena guru adalah garda terdepan yang berhadapan
langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar
mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai dengan guru
yang profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen merupakan sebuah perjuangan sekaligus komitmen untuk
meningakatkan kualitas guru yaitu kualifikasi akademik dan
kompetensi profesi pendidik sebagai agen pembelajaran.
Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi
program sarjana (S1) atau D4. Sedangkan kompetensi profesi
pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial.
Dengan sertifikat profesi, yang diperoleh setelah melalui uji
sertifikasi lewat penilaian portofolio (rekaman kinerja) guru,
maka seorang guru berhak mendapat tunjangan profesi sebesar 1
bulan gaji pokok. Intinya, Undang-Undang Guru dan Dosen
adalah upaya meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring
dengan peningkatan kesejahteraan mereka.
Persoalannya sekarang , bagaimana persepsi guru terhadap
uji sertifikasi?, bagaimana pula kesiapan guru untuk menghadapi
pelaksanaan sertifikasi tersebut ? dan adakah suatu garansi bahwa
dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu ?. Analisa
terhadap pertanyaan-pertanyaan ini mesti dikritisi sebagai

|221
sebuah feed back untuk pencapaian tujuan dan hakikat
pelaksanaan uji sertifikasi itu sendiri.
Pengalaman di lapangan, menunjukan bahwa di mata guru,
uji sertifikasi adalah sebuah ” revolusi” untuk peningkatan gaji
guru. Padahal, ini adalah suatu political will pemerintah dalam
rangka meningkatkan kualitas guru yang sangat besar
kontribusinya bagi peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Miskonsepsi semacam ini, membuat para guru dapat
menghalalkan segala cara dalam membuat portofolionya dengan
memalsukan dokumen prestasi atau kinerjanya, seperti yang
terjadi di Yogyakarta dan Bali. Dalam konteks ini diperlukan
kejelian dari tim penilai portofolio untuk melakukan identifikasi
dan justifikasi. Semua penyimpangan harus diungkap atas nama
kualitas, dengan melakukan cross check di lapangan.
Uji Sertifikasi bagi guru mesti dipahami sebagai sebuah
sarana untuk mencapai tujuan yaitu kualitas guru. Sertifikasi
bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman yang benar
tentang hakikat sertifikasi akan melahirkan aktivitas yang benar
dan elegan, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk
mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus
untuk kualifikasi, maka proses belajar kembali mesti dimaknai
dalam konteks peningkatan kualifikasi akademik yaitu
mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru, sehingga
mendapatkan ijazah S1 / D4. Ijazah S1 bukan tujuan yang harus
dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar
seperti jual-beli ijazah, melainkan konsekuensi dari telah belajar
dan telah mendapat tambahan ilmu dan ketrampilan baru.
Demikian pula kalau guru yang mengikuti uji sertifikasi, tujuan
utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan
untuk dapat menunjukan bahwa yang bersangkutan telah
memiliki kompetensi sebagaimana diisyaratkan dalam standard
kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis
yang menyertai adanya kemampuan dimaksud. Dengan
menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan pintas
guna memperoleh sertifikat profesi kecuali dengan

222 |
mempersiapkan diri dengan belajar yang benar dan tekun
berkinerja menyongsong sertifikasi.
Idealisme, semangat dan kinerja tinggi disertai rasa tanggung
jawab mesti menjadi ciri guru yang profesional. Dengan
kompetensi profesional, guru akan tampil sebagai pembimbing
(councelor), pelatih (coach) dan manejer pembelajaran ( learning
manager) yang mampu berinteraksi dengan siswa dalam proses
transfer pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang baik.
Semangat untuk tetap belajar (bukan hanya mengajar) akan
membantu guru untuk meng-upgrade pengetahuannya, sehingga
dapat menyiasati kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta peluang pemanfaatannya untuk memajukan proses belajar
mengajar di kelas. Sertifikasi guru adalah amanat Undang-
undang bagi semua guru di Indonesia yang jumlahnya sekitar 2,8
juta baik negeri maupun swasta, jadi bukan sesuatu yang mesti
diperebutkan oleh guru. Semua akan kebagian, asalkan telah
memenuhi persyaratan. Marilah kita terus tingkatkan kompetensi
dan profesionalisme kita, sehingga dapat meraih prestasi dan
prestise dibidang pendidikan, untuk selanjutnya dapat berdiri
sejajar dan bersaing dengan negara-negara lain.

Solusi :
Jalan yang dapat dilakukana untuk meningkatkan
Profesionalisme guru antara lain:
 Gaji yang memadai. Perlu ditata ulang sistem penggajian
guru agar gaji yang diterimanya setiap bulan dapat
mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya dan
pendidikan putra-putrinya. Dengan penghasilan yang
mencukupi, tidak perlu guru bersusah payah untuk
mencari nafkah tambahan di luar jam kerjanya. Guru
akan lebih berkonsentrasi pada profesinya, tanpa harus
mengkhawatirkan kehidupan rumah tangganya serta
khawatirakan pendidikan putra-putrinya. Guru
mempunyai waktu yang cukup untukmempersiapkan diri
tampil prima di depan kelas. Jika mungkin, seorang guru

|223
dapat meningkatkan profesinya dengan menulis buku
materi pelajaran yang dapat dipergunakan diri sendiri
untuk mengajar dan membantu guru-guru lain yang
belum mencapai tingkatnya. Hal ini dapat lebih
menyejahterakan kehidupan guru dan akan lebih
meningkatkan status sosial guru. Guru akan lebih
dihormati dan dikagumi oleh anak didiknya. Jika anak
didik mengagumi gurunya maka motivasi belajar siswa
akan meningkat dan pendidikan pasti akan lebih berhasil.
 Kurangi beban guru dari tugas-tugas administrasi yang
sangat menyita waktu. Sebaiknya tugas-tugas
administrasi yang selama ini harus dikerjakan seorang
guru, dibuat oleh suatu tim di Diknas atau Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang disesuaikan dengan
kondisi daerah dan bersifat fleksibel (bukan harga mati)
lalu disosialisasikan kepada guru melalui sekolah-sekolah.
Hal ini dapat dijadikan sebagai pegangan guru mengajar
dalam mengajar dan membantu guru-guru prmula untuk
mengajar tanpa membebani tugas-tugas rutin guru.
 Pelatihan dan sarana. Salah satu usaha untuk
meningkatkan profesionalitas guru adalah pendalaman
materi pelajaran melalui pelatihan-pelatihan. Beri
kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan
tanpa beban biaya atau melengkapi sarana dan
kesempatan agar guru dapat banyak membaca buku-buku
materi pelajaran yang dibutuhkan guru untuk
memperdalam pengetahuannya.

Namun menurut Supriadi dalam bukunya Mengangkat Citra


Guru dan Martabat Guru, ia mengatakan bahwa masalah guru
antara lain:
1. Latar Belakang Guru
Latar belakang pendidikan guru sewaktu SLTA sebagian
besar bersal dri SMA (71,7%) Namun sayang tidak disebutkan
latar belakang sekolahnya. Padahal ini penting untuk mengetahui

224 |
kecenderungan sikap siswa terhadap profesi guru.
Fakta di sekolah yang dianggap faforit pada tingkat Kabupaten
atau Kota Besar sebagian kecil atau bahkan jarang siswa
menduduki rangking atas mempunyai keinginan menjadi guru.
Mereka lebih suka memilih profesi yang mempunyai prospek
secara ekonomis lebih menjanjikan.
Pada lapisan sekolah di bawahnya, terutama untuk sekolah
yang berada di pinggiran, jumlah siswa mendaftar pada Fakultas
Keguruan agak lumayan besar. Tetapi hal tersebut lebih
menyangkut pada keterpaksaan karena kondisi ekonomi orang
tua. Dengan demikian pilihan profesi guru bukan merupakan top
priority. ( Dedi Supriadi: 1999)
2. Banyak Guru Tidak Layak Mengajar
Data Pusat Informatika Balitbang Dikbud 1996/1997 ada
3,72% guru SLTA berpendidikan D2, dan menurut statistik
persekolahan 1995/1996 guru yang tidak memenuhi kualifikasi
minimal pada tingkat SLTA 26%.
Jumlah guru yang tidak layak mengajar pada SMA ada 75.684
orang. Sedangkan guru yang mengajar tidak sesuai dengan
keahliannya ada 15% dari seluruh guru dari tingkat SD sampai
dengan SLTA yang berjumlah 2,6 juta guru (Kompas, 9-12-2005).
Guru masih jauh dari nilai-nilai profesionalisme. Banyak
pergurruan tinggi pendidikan menyelenggarakan program sarjana
setengah matang, dengan cara perkuliahan yang minim dan
jaminan lulus. Banyak guru mismatch, mengajar tidak sesuai
dengan keahlian. Hal ini mengindikasikan bahwa sembarang
orang bisa jadi guru, dan jelas tidak tidak mempunyai kompetensi
kompetensi untuk mengajar mata pelajaran yang bukan bidang
keahliannya, sehingga dapat menurunkan kualitas pembelajaran.

3. Guru Berprestasi Minim Penghargaan


DP3 berfungsi untuk persyaratan kenaikan pangkat
pegawai.Sistem penilaian DP3 tidak lagi bisa mencerminkan
kinerja guru yang sesungguhnya. Guru tidak perlu bekerja keras
agar DP3-nya mendapat nilai baik, karena kinerja guru seperti

|225
apapun, Kepala Sekolah tidak akan berani memberikan penilaian
yang obyektif. Sehingga bisa saja terjadi guru yang sering
membolos kenaikkan pangkatnya lancar dibanding guru yang
rajin. Kasus ini terjadi karena guru yang malas, rajin mengurus
kenaikan pangkatnya, sedangkan guru yang rajin malah
sebaliknya.
Hak-hak guru berprestasi belum bisa diberikan oleh
pemerintah, semua guru mendapat perlakuan yang sama. Hal ini
menurunkan motivasi berprestasi dan semangat profesionalisme.

4. Guru Semakin Terbelakang


Kondisi kesejahterann guru yang memprihatinkan,
mengisyaratkan perlunya perubahan secepatnya sistem
penggajian guru berbeda dengan pegawai. Dampak dari sistem
penggajian sekarang guru tidak mampu mengalokasikan gajinya
untuk membeli buku apalagi melakukan saving. Dapatlah
dimaklumi kalau referensi bacaan guru kebayakan berupa LKS
atau buku-buku untuk siswa dari penerbit sebagai kopensasi atas
dipakainya buku tersebut atas siswanya. Maka tidaklah
mengherankan bila guru bukannya semakin maju tetapi malah
berjalan di tempat.

Solusi/Pemecahan Masalah
Dengan memahami permasalahan-permasalahan di atas,
dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
1. Pendidikan dan Rekruitmen Guru
Untuk mendapat input guru yang berkualitas dalam
rekruitmen perlu di SMA-SMA ada sosialisasi tentang LPTK dan
lulusan yang berprestasi diarahkan untuk memasuki LPTK.
Kecuali itu keberadaan LPTK jumlahnya perlu dibatasi,
Perguruan tinggi yang mencetak guru harus perguruan tinggi
yang berkualitas.

226 |
2. Pembinaan dan Karier Guru
Fungsi DP3 sebagai sarana pembinaan guru tidak berjalan
dengan baik karena budaya yang dibangun sejak awal tidak
mencerminkan performance guru. Oleh sebab itu dalam
penilaian perlu didengar suara siswa, sebab guru sebagai pemberi
jasa berupaya untuk memuaskan pelanggan (siswa). Pemberian
reward untuk guru berprestasi perlu dilaksanakan.
3. Kesejahteraan dan konpensasi guru
Kondisi kesejahteraan guru yang memprihtinkan,
mengisyaratkan perlunya perubahan sistem penggajian guru
berbed dengan pegawai negeri sipil lainnya. Ada tunjangan
pengembangan profesi guru, sehingga melalui sistem yang baru
diharapkan guru mampu mengikuti perkembangan zaman dan
mampu mengembangkan profesinya

|227
228 |
A. Kondisi Madrasah di Indonesia
Perdebatan panjang yang melahirkan pro dan kontra terkait
dengan kewenangan pengelolaan madrasah saat ini, mestinya
tidak terus menerus dijadikan perhatian pemerintah terhadap
madrasah, dan seharusnya tidak menciutkan niat untuk bisa
memberikan perhatian yang lebih. Hal ini dimaksudkan agar
kualitas madrasah juga bisa mengimbangi dengan pendidikan
umum lainnya. Bukankah peserta didik yang ada di madrasah
atau di sekolah umum juga warga negara Indonesia yang sama-
sama memiliki hak dan kewajiban yang sama?. Pada masa dulu,
madrasah diniyah ini di beberapa tempat ternyata hasilnya cukup
baik. Karena dibina oleh orang-orang yang ikhlas, dan sifatnya
tidak terlalu formal, para santrinya tidak sebatas mengejar ijazah
atau sertifikat, maka menurut informasi dari beberapa sumber,
tidak sedikit santri madrasah diniyah mampu memahami kitab
kuning. Padahal sementara itu, lulusan perguruan tinggi agama
Islam, belum tentu mampu. Kegagalan itu, mungkin karena niat
mereka kurang ikhlas, tidak sungguh-sungguh dan apalagi masih
ditambah kelemahan lainnya, yakni mereka kuliah hanya bersifat
formalitas untuk mendapatkan ijazah.
Namun, rupanya keberadaan peraturan perundangan seperti
UU No.20/2003 tentang SISDIKNAS, PP No.55/2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, PP No. 66/2010

|229
tentang Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan
Pendidikan, dan beberapa undang-undang lainnya yang berkaitan
dengan otonomi daerah seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi
madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena
selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak
diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya
yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan
dan dipertahankan eksistensinya.
Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa karakteristik
pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan
Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah
masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok
pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan
kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-
anak yang menginginkan pengetahuan agama di luar jalur
sekolah formal. Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam
lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat
nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan
yang diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada
pendidikan formal di pagi hari. Keempat, pendidikan diniyah
yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi
diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya
sekolah formal.
Daoed Joesoef pernah mengungkapkan betapa pentingnya
pendidikan bahwa “pendidikan merupakan alat yang
menentukan sekali untuk mencapai kemajuan dalam segala
bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang
baik, yang sesuai dengan martabat manusia1.” Dalam hadist yang
diriwayatkan Bukhori sebagai berikut’

1
M. Joko Susilo, Pembodohan Siswa Tersistematis. (Yogyakarta: Penerbit
PINUS, 2007), hlm.13

230 |
َّ َ ُ َّ َ ُْ َُ َ َ َ َ َُْ ُ َ َ َّ َ ْ ْ َ
‫اهلل َعليْ ًِ َو َسل َم‬ ‫هلل صَل‬
ِ ‫ قال رسَل ا‬: ‫ِض اهلل عيً قال‬ ِ ‫اس ر‬ ِ ‫عو ِاب ُو عت‬
‫(ر َو ُاه‬ َّ ‫َليْو َو ِا َّن َها ال ْ ِعلْ ُم ة‬
َ ...... ‫اال َعلُّم‬ ّ ْ ُ ْ ّ َُ ًْ َ ُ ُ ْ َ
ِ ِ ِ ِ ‫نو ي ِر ِد اهلل ةِ ًِ خْيا يف ِقًٍ ِِف ا‬:
َ ُْ
)‫ار ْى‬
ِ ‫ابل‬
‫خ‬
Dari Ibnu Abbas R.A Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi baik, maka dia akan
difahamkan dalam hal agama. Dan sesungguhnya ilmu itu dengan
belajar.” (HR. Bukhari)

B. Subtansi PP No. 66 Tahun 2010 dalam


Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah.
Pada tanggal 31 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi melalui
Putusan Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 telah menyatakan
bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan
Hukum Pendidikan tidak mengikat secara hukum. Putusan
tersebut telah mengakibatkan ketiadaan ketentuan yang
mengatur tentang penyelenggara dan tata kelola satuan
pendidikan, karena pengaturan tentang hal tersebut telah diatur
di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan yang ditetapkan pada tanggal 28 Januari 2010 tidak
mengatur tentang penyelenggara dan tata kelola satuan
pendidikan.
Sebagaimana disebutkan dalam Bab II, pasal 1 bahwa :
“Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945″. Secara
konseptual, dasar pendidikan nasional ini mengandung nilai-nilai
yang tidak diragukan lagi kehandalannya, amat ideal dan luhur,
dan secara konsensus seluruh bangsa Indonesia sudah
menerimanya. Karena hakikat kedua dasar tersebut secara
filosofis merupakan bagian dari filsafat Islam, artinya seluruh

|231
kandungan isi dan maknanya tidak bertentangan dengan ajaran
Islam, bahkan tercerminkan dalam ajaran Islam. Karena itu,
kedua dasar tersebut harus diterjemahkan dan ditafsirkan secara
Islami, dengan pola menginternalisasikan nilai-nilai Islami ke
dalam seluruh kandungan isi dan makna kedua dasar tersebut.
Dengan demikian, setiap penyelenggaraan negara termasuk
penyelenggaraan satuan pendidikan akan terisi oleh nilai-nilai
yang semakin identik dengan ajaran Islam.
Ada diantaranya dalam PP No 66 Tahun 2010 pasalnya yang
mengenai penyelenggaraan pendidikan :
Pasal 49
(1) Pengelolaan satuan pendidikan bertujuan memajukan
pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan
menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi
pada jenjang pendidikan tinggi.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan didasarkan pada prinsip:
a. nirlaba, yaitu prinsip kegiatan satuan pendidikan yang
bertujuan utama tidak mencari keuntungan, sehingga
seluruh sisa lebih hasil kegiatan satuan pendidikan harus
digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu
layanan satuan pendidikan;
b. akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen satuan
pendidikan untuk mempertanggung jawabkan semua
kegiatan yang dijalankan kepada pemangku kepentingan
sesuai dengan ketentuan peraturan per undang -undang;
b. penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik satuan
pendidikan dalam memberikan layanan pendidikan
formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional
Pendidikan secara berkelanjutan;
c. transparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan satuan
pendidikan menyajikan informasi yang relevan secara
tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan per

232 |
undang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku
kepada pemangku kepentingan.
d. akses berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan
formal kepada calon peserta didik dan peserta didik,
tanpa pengecualian.
Pasal 52
Satuan atau program pendidikan mengelola pendidikan sesuai
dengan kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Pasal 17, Pasal 28, dan Pasal 39, serta sesuai
dengan ketentuan peraturan Pe undang -undangan. Yang mana
isi-isi pasal tersebut yaitu:
1. Pasal 5
Menteri bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan
nasional serta merumuskan dan/atau menetapkan
kebijakan nasional pendidikan.
2. Pasal 17
Gubernur bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan
nasional di daerahnya serta merumuskan dan menetapkan
kebijakan daerah bidang pendidikan sesuai kewenangan nya
3. Pasal 28
Bupati/walikota bertanggung jawab mengelola sistem
pendidikan nasional di daerahnya dan merumuskan serta
menetapkan kebijakan daerah bidang pendidikan sesuai
kewenangannya.
4. Pasal 39
Penyelenggara satuan pendidikan yang di dirikan
masyarakat bertanggung jawab mengelola sistem
pendidikan nasional serta merumuskan dan menetapkan
kebijakan pendidikan pada tingkat penyelenggara satuan.
Pasal 53
(1) Satuan pendidikan wajib memberikan layanan pendidikan
kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang
latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan
kemampuan ekonomi.

|233
(2) Satuan pendidikan wajib menjamin akses pelayanan
pendidikan bagi peserta didik yang membutuhkan pendidikan
khusus, dan layanan khusus. Dalam konteks ini yang kami
kaitkan yaitu mengenai penyelenggaraan pendidikan di madrasah
dan pesantren.

Sebagaimana disebutkan dalam Bab II, pasal 1 bahwa :


“Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945″. Secara
konseptual, dasar pendidikan nasional ini mengandung nilai-nilai
yang tidak diragukan lagi kehandalannya, amat ideal dan luhur,
dan secara konsensus seluruh bangsa Indonesia sudah
menerimanya. Karena hakikat kedua dasar tersebut secara
filosofis merupakan bagian dari filsafat Islam, artinya seluruh
kandungan isi dan maknanya tidak bertentangan dengan ajaran
Islam yakni tidak boleh bertentangan dengan Al- Quran dan
Hadits, bahkan ter cermin kan dalam ajaran Islam. Karena itu,
kedua dasar tersebut harus diterjemahkan dan ditafsirkan secara
Islami, dengan pola menginternalisasikan nilai-nilai Islami ke
dalam seluruh kandungan isi dan makna kedua dasar tersebut.
Dengan demikian, setiap penyelenggaraan negara termasuk
penyelenggaraan satuan pendidikan akan terisi oleh nilai-nilai
yang semakin identik dengan ajaran Islam.

C. Kedudukan PP No. 66 Tahun 2010 Pengganti PP No.


17 tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan
Pendidikan dan Implikasinya Bagi Madrasah
Madrasah dalam khazanah kehidupan manusia Indonesia
merupakan fenomena budaya yang telah berusia satu abad lebih.
Bahkan, bukan suatu hal yang berlebihan, madrasah telah
menjadi salah satu entitas budaya Indonesia yang dengan
sendirinya menjalani proses sosialisasi yang relatif intensif.
Indikasinya adalah kenyataan bahwa wujud entitas budaya ini
telah diakui dan diterima kehadirannya dalam satu bangunan
sistemik pendidikan Nasional. Madrasah berhasil mendapat

234 |
statusnya yang sekarang ini hanya setelah melalui perjuangan
yang panjang. Perjangan ini diawali dengan terbitnya Surat
Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 1975 mengenai
peningkatan mutu madrasah yang menegaskan kesejajaran
kurikulum madrasah dan sekolah umum.Puncak perjuangan
memperoleh kesejajaran status madrasah ini adalah dengan
lahirnya kebijakan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN) Nomor 2 tahun 1989 yang secara tegas menyebutkan
bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu peran suatu
lembaga pendidikan sebagaimana hadist berikut ini;
َ َُ ُ َ َ ُ َ ٌُ ‫عو أيب‬
ًْ‫اهلل علي‬
ُ ‫َصَل‬
ِ‫ِض اهلل ُ عيً قال س ِهعج رسَل اهلل‬ َ ‫ريرة َر‬
ْ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َ َ َّ َ
َ ‫اهلل يَ ْر‬
‫جع (رواه‬ِ ِ ‫ب ال ِعل ِم فٍَ ِف َس ِبيْ ِل‬
ِ ‫لـم يقَل نو خرج ِف طل‬ ‫وس‬
)‫الرتنذي‬
Dari Abu Hurairah RA berkata: saya mendengar Rosulullah SAW
bersabda:barang siapa keluar untuk menuntut ilmu maka dia
adalah pergi jihad di jalan Allah. (HR. Tirmidzi)
Hadits di atas menjelaskan bahwa menuntut ilmu
disetarakan dengan jihad di jalan Allah, yang notabenenya jihad
adalah ibadah yang paling tinggi dibandingkan dengan ibadah
lain. Secara implisit, kita sebagai umat Islam selain diperintah
jihad di jalan Allah juga diperintah untuk menuntut ilmu agar
umat Islam mampu bersaing dalam hal papun dengan musuh-
musuh Islam, sehingga tidak mudah untuk menghancurkan
Islam. Sehingga pendidikan mempunyai peran yang sangat
penting bagi semua aspek kehidupan manusia khususnya umat
Islam.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
pesertar didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri,

|235
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Penyelenggaraan pendidikan adalah pengelolaan pendidikan
yang mencakup seluruh kegiatan pendidikan formal, nonformal,
dan informal sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah.
Pendidikan formal, jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar dan pendidikan
menengah. Pendidikan nonformal, jalur pendidikan di luar
pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur
dan berjenjang. Pendidikan informal, jalur pendidikan keluarga
dan lingkungan.
Pendidik adalah anggota masyarakat yang berkualitas
sebagai guru, pamong belajar, tutor, instruktur, fasilitator, dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Peserta Didik
adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Madrasah dalam khazanah kehidupan manusia Indonesia
merupakan fenomena budaya yang telah berusia satu abad lebih.
Bahkan, bukan suatu hal yang berlebihan, madrasah telah
menjadi salah satu entitas budaya Indonesia yang dengan
sendirinya menjalani proses sosialisasi yang relatif intensif.2
Kegiatan Pendidikan Selalu Berlangsung di dalam suatu
lingkungan. Dalam konteks pendidikan, lingkungan dapat
diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar diri anak.
Lingkungan dapat berupa hal-hal yang nyata, seperti tumbuhan
orang, keadaan, politik, kebudayaan, sosial ekonomi, kepercayaan
dan upaya lain yang dilakukan oleh manusia termasuk di
dalamnya pendidikan.
Dalam memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak,
lingkungan ada yang sengaja diadakan (usaha sadar) ada yang

2
Tirtarahardja Umar, 2010. ‘’Pengantar Pendidikan’’ Hlm :11

236 |
tidak usaha sadar dari orang dewasa yang normatif disebut
pendidikan, sedang yang lain disebut pengaruh. Lingkungan yang
sengaja diciptakan untuk mempengaruhi anak ada 3, yaitu
lingkungan keluarga, lngkungan sekolah, dan lingkungan
masyarakat. Ketiga lingkungan ini disebut lembaga pendidikan
atau satuan pendidikan.
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan mempunyai
tugas utama, tugas utama sekolah adalah mengajar murid supaya
dapat belajar, dan meresapi ilmu pengetahuan secara mandiri.
Kenyataan bahwa kita tidak boleh lagi menganggap usia muda
hanya menjadi tanggung jawab sektor pendidikan, maka kita
tidak lagi boleh menganggap usia muda hanya menyediakan
segala kebutuhan yang diperlukan untuk hidup dan karena itu,
memberi kesan yang kuat akan perlunya usaha untuk mengejar
ketinggalan seluruhnya.
Jenjang pendidikan adalah tahap pendidikan yang
berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat
perkembangan peserta didik. Jenjang pendidikan sekolah terdiri
dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi.

1. Pendidikan Dasar
Pendidikan Dasar adalah pendidikan yang memberikan
pengetahuan dan ketrampilan, menumbuhkan sikap dasar yang
diperlukan dalam masyarakat, serta mempersiapkan peserta didik
untuk mengikuti pendidikan menengah.

2. Pendidikan Menengah
Pendidikan Menengah adalah pendidikan yang
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik
dengan lingkungan sosil budaya dan alam sekitar, serta dapat
mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau
pendidikan tinggi. Pendidikan menengah terdiri dari pendidikan
menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.

|237
3. Pendidikan Tinggi
Pendidikan Tinggi adalah pendidikan yang mempersiapkan
peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki
tingkat kemampuan tinggi yang bersifat akademik dan atau
profesional sehingga dapat menerapkan, mengembangkan dan
atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam
rangka pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahteraan
manusia.

238 |
A. Subtansi PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional (Khususnya Standar Isi).
Manusia membutuhkan pendidikan untuk menjalani
kehidupannya. Pendidikan memberi bekal manusia untuk
menjalani kehidupan menjadikan dewasa dengan dapat
menentukan hal yang baik dan benar, dan menjalani tugas untuk
belajar sepanjang hayat. Tujuan pendidikan tersebut untuk
mengarah pada menjadikan manusia lebih baik. Pendidikan
berproses berdasarkan landasan yang memiliki peran penting
dalam pencapaian tujuan tersebut.
Salah satu landasan tersebut adalah landasan pendidikan
yang menentukan secara teratur rencana yang ditentukan untuk
pencapaian tujuan. Suatu landasan kebijakan pendidikan berarti
adalah suatu dasar keputusan untuk melakukan sesuatu dari
stakeholder yang merancang aturan pencapaian keputusan
pendidikan. Landasan kebijakan pendidikan tersebut menjadi
acuan langkah dalam melaksanakan pendidikan. Kebijakan yang
diputuskan telah dipertimbangkan dan disusun denga hati-hati
dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas pendidkan yang lebih
baik. Setiap kebijakan pendidikan juga akan berubah seiring

|239
dengan perkembangan zaman yang terjadi bahkan ada perubahan
kebijakan yang bersifar reformatif.
Menurut John Dewey dalam Tilaar menyebutkan Education
is the fundamental method of social progress and reform. All
reforms wich rest simply upon the enactment of law, or the
thereathenig of certain penalties, or upon changes in mechanical or
autward arrangements, are transitory and futile (Tilaar, 1999).
Pendidikan adalah metode dasar kemajuan sosial dan reformasi.
Semua reformasi yang sisanya hanya pada berlakunya hukum,
atau memberlakukan denda tertentu, atau atas perubahan
pengaturan mekanis atau luar, yang sementara dan sia-sia.
Reformasi membuka ruang partisipasi formal dan informal
secara lebih luas. Kebebasan pers memberi sumbangan amat
berarti bagi partisipasi publik, sehingga pendidikan dasar dapat
dengan cepat menjadi isu publik untuk didiskusikan dan
diadvokasi secara bebas. Indonesia yang mengalami beberapa kali
zaman kepemimpinan juga memengaruhi perubahan kebijakan
pendidikan namun landasan kebijakan utama tetap dari
Pembukaan Undang-Undang tahun 1945, hingga pada Sistem
Pendidikan Nasional dan Rencana Strategis di bidang pendidikan.
Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan
mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan
pendidikan. Salah satu perubahan mendasar adalah manajemen
Negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen
berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah
diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia
No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan disempurnakan
menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pedoman pelaksanaannyapun telah dibuat
melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonom.
Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah tersebut dalam bentuk perubahan arah paradigma

240 |
pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, yang tentu
juga berdampak pada proses formulasi kebijakan pendidikannya
Islam. Secara ideal, paradigma baru pendidikan tersebut mestinya
mewarnai kebijakan pendidikan baik kebijakan pendidikan yang
bersifat substantif maupun implementatif.
Seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra bahwa dengan
era otonomi daerah : ”lembaga-lembaga pendidikan, seperti
sekolah, madrasah, pesantren, universitas (perguruan tinggi), dan
lainnya – yang terintegrasi dalam pendidikan nasional- haruslah
melakukan reorientasi, rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan
reposisi, serta berusaha untuk menerapkan paradigma baru
pendidikan nasional”1.
Selain itu, implementasi kebijakan tersebut diharapkan
berdampak positif terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan
di tingkat satuan pendidikan. Namun apakah kebijakan di bidang
pendidikan selama ini telah membawa dampak positif terhadap
hasil pendidikan
Landasan yuridis atau kebijakan pendidikan Indonesia
adalah seperangkat konsep peraturan perundang-undangan yang
menjadi titik tolak system pendidikan Indonesia, yang menurut
Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia, Undang-Undang Peraturan Pemerintah
pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan lainnya.
Berikut landasan kebijakan pendidikan yang diselenggarakan di
Indonesia:
1) Dalam pembukaan UUD 1945: Atas berkat Ramat Tuhan
yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan berkebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu
untuk membentuk statu pemerintahan negara republik
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
1
Azra, A. (2002). Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas), hlm. xii

|241
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam statu undang-undang
dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam statu
susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan yang Maha
Esa, kemanusiaan yang adil dab beradap, persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan,
serta dengan mewujudkan statu keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia
2) Pasal 31 UUD 1945 menyatakan bahwa a) Setiap warga
negara berhak mendapatkan pendidikan; b) Setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya; c) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; d)
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan
dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional; serta e)
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
3) UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang: Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

242 |
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.
4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
pendidikan menyatakan bahwa pendidikan nasional
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional. Pendidikan Pasal 1
yang berisi bahwa Standar nasional pendidikan adalah
criteria minimal tentang sistem pendidikan diseluruh
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005,


terdapat delapan standar pendidikan nasional yang digarap oleh
BSNP yaitu,

1. Standar Isi
Standar isi merupakan ruang lingkup materi dan tingkat
kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang
kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian,
kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran
yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan
jenis pendidikan tertentu. Standar isi ini memuat
kerangka dasar, struktur kurikulum, beban belajar,
kurikulum tingkat satua pendidikan dan kalender
pendidikan/akademik.

|243
2. Standar Proses
Standar proses ini meliputi pelaksanaan pembelajaran
pada satuan pendidikan untuk mencapai standar
kompetensi lulusan.
3. Standar Kompetensi Lulusan
Standar ini merupakan kulifikasi kemampuan lulusan
yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan
ketrampilan.
4. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Standar ini merupakan standar nasional tentang kriteria
pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun
mental serta pendidikan dalam jabatan dari tenaga guru
dan tanaga kependidikan lainnya.
5. Standar Sarana dan Prasarana
Standar ini merupakan kriteria minimal tentang ruang
belajar, perpustakaan, tempat olahraga, tempat ibadah,
tempat bermain dan rekreasi, laboratorium, bengkel
kerja, sumber belajar lainnya yang diperlukan untuk
menunjang proses pembelajaran. Dalam standar ini
termasuk pula penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi.
6. Standar Pengelolaan
Standar ini meliputi perencanaan pendidikan,
pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan, pengelolaan pendidikan di
tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pada tingkat
nasional. tujuan dari standar ini ialah meningkatkan
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
7. Standar Pembiayaan
Standar ini merupakan standar nasional yang berkaitan
dengan komponen dan besarnya biaya operasi satuan
pendidikan selama satu tahun.

244 |
8. Standar Penilaian Pendidikan
Standar ini merupakan standar nasional penilaian
pendidikan tentang mekanisme, prosedur, instrumen
penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian yang
dimaksud di sini adalah penilaian pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah yang meliputi:
penilaian hasil belajar oleh pendidik, penilaian hasil
belajar oleh satuan pendidikan dan penilaian hasil
belajar oleh pemerintah. Sedangkan bagi pendidikan
tinggi, penilaian tersebut hanya meliputi: penilaian hasil
belajar oleh pendidik dan satuan pendidikan

Delapan standar nasional pada akhirnya akan bermuara pada


suatu tujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat.Pemerintah
mewajibkan setiap satuan pendidikan, baik formal maupun
nonformal untuk melakukan penjaminan mutu pendidikan yang
dilakukan secara bertahap, sistematis dan terencana serta
memiliki target dan kerangka waktu yang jelas agar dapat
memenuhi atau bahkan melampaui standar nasional pendidikan.
Sebuah sistem pendidikan meniscayakan adanya sebuah
evaluasi guna mengontrol kinerja suatu satuan pendidikan,
sehingga dengan adanya fungsi kontrol tersebut tingkat
efektivitas, produktivitas, berhasil dan gagalnya sistem
pendidikan dapat dipantau. Sebagaiman tercantum dalam bab XII
pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, bahwa
evaluasi pendidikan tersebut meliputi,
1. Evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh satuan
pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas
2. Evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan pemerintah
3. Evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi

|245
4. Evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah kabupaten.
5. Evaluasi oleh lembaga evaluasi mandiri yang dibentuk
masyarakat/ organisasi profesi untuk menilai
pencapaian standar nasional pendidikan.
Di samping ikut serta dalam proses evaluasi kinerja
pendidikan, pemerintah juga berwenang dalam melakukan
akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Yang
dimaksud akreditasi di sini adalah kegiatan penilaian kelayakan
program dan atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang
telah ditetapkan.
Akreditasi oleh pemerintah ini dilaksanakan oleh BAN- S/M
(pada jenjang pendidikan dasar dan menengah), BAN-PT (pada
jenjang pendidikan tinggi), dan BAN-PNF (pada jenjang
pendidikan nonformal). Badan Akreditasi Nasional tersebut
berada di bawah menteri dan bertanggung jawab kepada menteri.
Berkaitan dengan sertifikasi sebagai bukti legalitas pencapaian
kompetensi peserta didik, dalam bab XIV pasal 89 dijelaskan
bahwa pencapaian kompetensi akhir peserta didik dinyatakan
dalam dokumen ijazah dan atau sertifikat kompetensi yang
diterbitkan oleh satuan pendidikan yang telah terakreditasi.
Dalam dokumen ijazah atau sertifikasi kompetensi tersebut
setidaknya harus mencantumkan identitas peserta didik,
pernyataan yang menyatakan peserta didik yang bersangkutan
telah lulus dari penilaian akhir satuan pendidikan beserta daftar
nilai mata pelajaran yang ditempuhnya.Pernyataan tentang
kelulusan peserta didik dari Ujian Nasional beserta daftar nilai
mata pelajaran yang diujikan, dan pernyataan bahwa peserta
didik yang bersangkutan telah memenuhi seluruh kriteria dan
dinyatakan lulus dari satuan pendidikan.
Selanjutnya, pada bab XVI pasal 94 tentang Ketentuan
Peralihan disebutkan bahwa pada saat mulai berlakunya
peraturan pemerintah tentang standar nasional pendidikan ini:

246 |
1. Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS), Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BANTA), Panitia
Nasional Penilaian Buku Pelajaran (PNPBP) masih tetap
menjalankan tugas dan fungsinya sampai dibentuknya
badan baru berdasarkan Peraturan Pemerintahan ini.
2. Satuan Pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan
ketentuan Peraturan Pemerintahan ini paling lambat 7
(tujuh) tahun.
3. Standar Nasional untuk peserta didik SD/MI/SDLB
mulai dilaksanakan 3 (tiga) tahun sejak ditetapkan
Peraturan Pemerintahan ini.
4. Penyelenggaraan Ujian Nasional dilaksakan oleh
pemerintah sebelum BSNP menjalankan tugas dan
wewenangnya berdasarkan Peraturan Pemerintahan
ini.2

B. Analisis Analisis PP No. 19 Tahun 2005 Tentang


Standar Nasional (Khususnya Standar Isi) dan
Implikasinya Bagi Lulusan Lembaga Pendidikan
Islam (Madrasah)
Secara juridis formal, peraturan perundangan kita saat ini
mempunyai perhatian yang jauh lebih besar terhadap persoalan
kompetensi lulusan jika dibandingkan dengan produk-produk
regulasi masa lalu. Sebagaimana diketahui pada UU No 20 Tahun
2003 secara eksplisit menyebutkan kompetensi lulusan sebagai
salah satu dari delapan aspek standar nasional pendidikan (psl 35
ayat 1). Hal ini tidak disingungg sama sekali pada UU sebelumnya
(UU No 2 tahun 1989) maunpun turunannya. Bukan hanya di
tingkat Undang-undang, masalah kompetensi lulusan juga
dibahas cukup mendetail di dalam PP 19/2005, bahkan secara

2
https://www.scribd.com/doc/59334794/Analisis-Kebijakan-Kurikulum-
Sekolah-Peraturan-Pemerintah-Republik-Indonesia-Nomor-19-Tahun-2005-
Tentang-Standar-Nasional-Pendidikan-Di-Mi-Al

|247
khusus aspek ini diatur dalam satu regulasi tersendiri yakni
Permendiknas No 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP).
Tujuan dari standar kompetensi lulusan . sebagaimana pada
halaman sebelumnya Standar Kompetensi Lulusan merupakan
salah satu dari 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan
sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 35 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup Sikap, Pengetahuan, dan Keterampilan,
yang akan menjadi acuan bagi pengembangan kurikulum dalam
rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Cakupan
kompetensi lulusan satuan pendidikan berdasarkan
Permendikbud RI Nomor 54 Tahun 2013 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah elemen-
elemen yang harus dicapai dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel Kompetensi lulusan


DOMAIN Elemen SD SMP SMA-SMK

Menerima + Menjalankan +
Proses Menghargai + Menghayati +
Mengamalkan

beriman, berakhlak mulia (jujur,


disiplin, tanggung jawab, peduli,
Individu
santun), rasa ingin tahu, estetika,
SIKAP
percaya diri, motivasi internal

toleransi, gotong royong, kerjasama,


Sosial
dan musyawarah

pola hidup sehat, ramah lingkungan,


Alam
patriotik, dan cinta perdamaian

PENGETAHUAN Proses Mengetahui + Memahami +


Menerapkan + Menganalisis +

248 |
DOMAIN Elemen SD SMP SMA-SMK

Mengevaluasi

ilmu pengetahuan, teknologi, seni,


Objek
dan budaya

manusia, bangsa, negara, tanah air,


Subyek
dan dunia

Mengamati + Menanya + Mencoba +


Proses Mengolah + Menyaji + Menalar +
Mencipta

KETERAMPILAN membaca, menulis, menghitung,


Abstrak
menggambar, mengarang

menggunakan, mengurai, merangkai,


Konkret
memodifikasi, membuat, mencipta

Cakupan Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan secara holistik


dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel...... Cakupan Kompetensi

DOMAIN SD SMP SMA-SMK

Menerima + Menjalankan + Menghargai +


Menghayati + Mengamalkan

SIKAP Pribadi yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri,


dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial, alam sekitar, serta
dunia dan peradabannya

Mengetahui + Memahami + Menerapkan +


PENGETAHUAN Menganalisis + Mengevaluasi

pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan,

|249
DOMAIN SD SMP SMA-SMK

teknologi, seni, budaya dan berwawasan


kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
peradaban

Mengamati + Menanya + Mencoba + Mengolah +


Menyaji + Menalar + Mencipta
KETERAMPILAN
pribadi yang berkemampuan pikir dan tindak yang
efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret

1. Kemampuan Lulusan dalam Dimensi Sikap Dari tabel di atas,


cakupan kompetensi lulusan secara holistik dirumuskan
sebagai berikut:
Manusia yang memiliki pribadi yang beriman, berakhlak
mulia, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial, alam
sekitar, serta dunia dan peradabannya. Pencapaian pribadi
tersebut dilakukan melalui proses: menerima, menjalankan,
menghargai, menghayati, dan mengamalkan.
2. Kemampuan Lulusan dalam Dimensi Pengetahuan
Manusia yang memiliki pribadi yang menguasai ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan berwawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
peradaban. Pencapaian pribadi tersebut dilakukan melalui
proses: mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis,
dan mengevaluasi.
3. Kemampuan Lulusan dalam Dimensi Keterampilan
Manusia yang memiliki pribadi yang berkemampuan pikir
dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan
konkret. Pencapaian pribadi tersebut dilakukan melalui
proses: mengamati; menanya; mencoba dan mengolah;
menalar; mencipta; menyajikan dan mengkomunikasikan

250 |
Perumusan kompetensi lulusan antar satuan pendidikan
mempertimbangkan gradasi setiap tingkatan satuan pendidikan
dan memperhatikan kriteria sebagai berikut:
a. perkembangan psikologis anak,
b. lingkup dan kedalaman materi,
c. kesinambungan, dan
d. fungsi satuan pendidikan.
Dengan cakupan kompetensi lulusan di atas, Kompetensi
Lulusan Satuan Pendidikan SD/MI/SDLB/Paket A diharapkan
menjadi manusia yang memiliki sikap, pengetahuan, dan
keterampilan, sebagai berikut:

Tabel. Kompentensi Lulusan Satuan Pendidikan


SD/MI/SDLB/Paket A

DIMENSI KOMPETENSI LULUSAN


Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang
beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan
SIKAP bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial dan alam di sekitar rumah,
sekolah, dan tempat bermain.
Memiliki pengetahuan faktual dan konseptual dalam
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan
PENGETAHUAN wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
peradaban terkait fenomena dan kejadian di
lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan
KETERAMPILAN kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan
yang ditugaskan kepadanya.

Dalam sebuah sistem pendidikan meniscayakan adanya


sebuah evaluasi guna mengontrol kinerja suatu satuan
pendidikan, sehingga dengan adanya fungsi kontrol tersebut
tingkat efektivitas, produktivitas, berhasil dan gagalnya sistem
pendidikan dapat dipantau. Sebagaiman tercantum dalam bab XII

|251
pasal 78 PP nomor 19/2005, bahwa evaluasi pendidikan tersebut
meliputi:
1. Evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh satuan
pendidiakn sebagai bentuk akuntabilitas
2. Evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan pemerinta
3. Evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi
4. Evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah kabupaten
5. Evaluasi oleh lembaga evaluasi mandiri yang dibentuk
masyarakat/ organisasi profesi untuk menilai pencapaian
standar nasional pendidikan.

Evaluasi kinerja pendidikan oleh pemerintah, sebagaimana


tercantum pada poin kedua di atas, dilakukan oleh menteri
pendidikan nasional. Setelah menerima hasil laporan evaluasi
kinerja pendidikan dari kabupaten/kota, provinsi dan atau
lembaga evaluasi mandiri, kemudian menteri melakukan evaluasi
komprehensif untuk menilai:
a. Tingkat relevansi pendidikan nasional terhadap visi, misi,
tujuan dan paradigma pendidikan nasional
b. Tingkat relevansi pendidikan nasional terhadap
kebutuhan masyarakat akan sumber daya manusia yang
bermutu dan berdaya saing
c. Tingkat mutu dan daya saing pendidikan nasional
d. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pendidikan
e. Tingkat efisiensi, produktivitas dan akuntabilitas
pendidikan nasional.
Di samping ikut serta dalam proses evaluasi kinerja
pendidikan, pemerintah juga berwenang dalam melakukan
akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Yang
dimaksud akreditasi di sini adalah kegiatan penilaian kelayakan
program dan atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang
telah ditetapkan. Akreditasi oleh pemerintah ini dilaksanakan

252 |
oleh BAN- S/M (pada jenjang pendidikan dasar dan menengah),
BAN-PT (pada jenjang pendidikan tinggi), dan BAN-PNF (pada
jenjang pendidikan nonformal). Badan Akreditasi Nasional
tersebut berada di bawah menteri dan bertanggung jawab kepada
menteri.
Berkaitan dengan sertifikasi sebagai bukti legalitas
pencapaian kompetensi peserta didik, dalam bab XIV pasal 89
dijelaskan bahwa pencapaian kompetensi akhir peserta didik
dinyatakan dalam dokumen ijazah dan atau sertifikat kompetensi
yang diterbitkan oleh satuan pendidikan yang telah terakreditasi.
Dalam dokumen ijazah atau sertifikasi kompetensi tersebut
setidaknya harus mencantumkan identitas peserta didik,
pernyataan yang menyatakan peserta didik yang bersangkutan
telah lulus dari penilaian akhir satuan pendidikan beserta daftar
nilai mata pelajaran yang ditempuhnya, pernyataan tentang
kelulusan peserta didik dari Ujian Nasional beserta daftar nilai
mata pelajaran yang diujikan, dan pernyataan bahwa peserta
didik yang bersangkutan telah memenuhi seluruh kriteria dan
dinyatakan lulus dari satuan pendidikan.

C. Pelaksanaan PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar


Nasional (Khususnya Standar Isi) dan Implikasinya
Bagi Lulusan Lembaga Pendidikan Islam
(Madrasah).

PP No 19 Tahun 2005 Pasal 19 ayat 1 menjelaskan bahwa : “Proses


pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang
yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik”. Dalam standar isi tentang proses pembelajaran
menggunakan model, metode, media, dan sumber pembelajaran.
Sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini;

|253
            

    

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan


yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah. (QS. al-Ahzab [33]: 21)
Ayat diatas dapat dijadikan sebagai salah satu landasan
pembuatan metode pembelajaran yang interaktif , inspiratif, dan
juga menyenangkan dalam kegiatan belajar mengajar, karna
dengan mencontoh rasulluah s.a.w pendidikan dapat dilihat pada
praktek yang dilakukan oleh Rasulullah. Rasul sebagai pendidik
agung dalam pandangan pendidikan Islam, sejalan dengan tujuan
Allah mengutus beliau kepada manusia yaitu untuk
menyempurnakan akhlak. Hal ini juga dijelaskan pada ayat
berikut ini;

         

       

Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari


kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-
ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-
Qur’an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-
Baqarah [2]: 129)
Ayat tersebut mengajarkan kepada kita tentang kandungan
al-Kitab yaitu al-Qur’an, atau tulis baca, dan al-Hikmah yakni
Sunnah, atau kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal yang
mendatangkan manfaat serta menampil mudharat, serta

254 |
mensucikan jiwa umatnya dari segala macam kotoran,
kemunafikan, dan penyakit-penyakit jiwa.
Standar Isi adalah kriteria mengenai ruang lingkup materi
dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan
pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Ruang lingkup materi
dan tingkat kompetensi peserta didik yang harus dipenuhi atau
dicapai pada suatu satuan pendidikan dalam jenjang dan jenis
pendidikan tertentu dirumuskan dalam Standar Isi untuk setiap
mata pelajaran.Oleh karena itu, Standar Isi dikembangkan untuk
menentukan kriteria ruang lingkup dan tingkat kompetensi yang
sesuai dengan kompetensi lulusan yang dirumuskan pada Standar
Kompetensi Lulusan, yakni sikap, pengetahuan, dan
keterampilan.
Struktur kelompok mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
dan Bahasa Arab dalam kurikulum Madrasah meliputi: 1) Al-
Qur’an Hadis, 2) Akidah Akhlak, 3) Fikih, 4) Sejarah Kebudayaan
Islam (SKI), dan 5) Bahasa Arab. Masing-masing mata pelajaran
tersebut pada dasarnya saling terkait dan melengkapi.adapun
keterkaitan matapelajaran sebagaimana tertuang sebagai berikut;
a. Al-Qur’an-Hadis merupakan sumber utama ajaran Islam,
dalam arti keduanya merupakan sumber akidah-akhlak,
syari’ah/fikih (ibadah, muamalah), sehingga kajiannya
berada di setiap unsur tersebut.
b. Akidah merupakan akar atau pokok agama. Syari’ah/fikih
(ibadah, muamalah) dan akhlak.Bertitik tolak dari akidah,
yakni sebagai manifestasi dan konsekuensi dari keimanan
dan keyakinan hidup. Akhlak merupakan aspek sikap hidup
atau kepribadian hidup manusia, yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah SWT. dan hubungan manusia dengan
manusia lainnya. Hal itu menjadi sikap hidup dan
kepribadian hidup manusia dalam menjalankan sistem
kehidupannya (politik, ekonomi, sosial, pendidikan,
kekeluargaan, Kebudayaan/seni, ilmu pengetahuan dan

|255
teknologi olahraga/kesehatan, dan lain-lain) yang dilandasi
oleh akidah yang kokoh.
c. Fikih (syari’ah) merupakan sistem atau seperangkat aturan
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT.
(oablum-Minallwh), sesama manusia (oablum-Minan-nwsi),
dan dengan makhluk lainnya (oablum -Ma‘al-Gairi).
d. Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) merupakan catatan
perkembangan perjalanan hidup manusia muslim dari masa
ke masa dalam beribada, bermuamalah dan berakhlak serta
dalam mengembangkan sistem kehidupan atau
menyebarkan ajaran Islam yang dilandasi oleh akidah.
e. Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar untuk memahami
ajaran Islam. Dengan Bahasa Arab, ajaran Islam dapat
difahami secara benar dan mendalam dari sumber utamanya,
yaitu Al-Qur’an dan Hadis serta literatur-literatur
pendukungnya yang berbahasa Arab seperti Kitab Tafsir dan
Syarah Hadis.3
Dalam dokumen ini dibahas standar isi sebagaimana
dimaksud oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, yang secara keseluruhan
mencakup:
a. Kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan
pedoman dalam penyusunan kurikulum pada tingkat satuan
pendidikan.
b. Beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan
dasar dan menengah.
c. Kurikulum tingkat satuan pendidikan yang akan
dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan panduan
penyusunan kurikulum sebagai bagian tidak terpisahkan dari
standar isi, dan

3
https://www.nomifrod.com/2017/10/standar-isi-pendidikan-agama-
islam-dan.html diakses pada tanggal 28-11-2005 pukul 8. 35.

256 |
d. Kalender pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan
pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan
menengah.

Standar Isi dikembangkan oleh Badan Standar Nasional


Pendidikan (BSNP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat
(1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum,
kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah terdiri atas:
a. Kerangka Dasar Kurikulum
1. Kelompok Mata Pelajaran
a) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian;
c) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi;
d) Kelompok mata pelajaran estetika;
e) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan
kesehatan.
2. Prinsip Pengembangan Kurikulum
Kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan
dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite
sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan
standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat
oleh BSNP. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-
prinsip berikut.
a) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa
peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan
kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

|257
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
b) Beragam dan Terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan
keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan
jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama,
suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi
dan gender.
c) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara
dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum
mendorong peserta didik untuk mengikuti dan
memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
d) Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin
relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan,
termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia
usaha dan dunia kerja.
e) Menyeluruh dan berkesinambungan.
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi
kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran
yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan
antarsemua jenjang pendidikan.
f) Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan,
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat.
g) Seimbang antara kepentingan nasional dan
kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan
memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan
daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat,

258 |
berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan
kepentingan daerah harus saling mengisi dan
memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Prinsip Pelaksanaan Kurikulum


Dalam pelaksanaan kurikulum di setiap satuan pendidikan
menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a) Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi,
perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai
kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini peserta
didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang
bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk
mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan
menyenangkan.
b) Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar
belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami
dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan
dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama
dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk
membangun dan menemukan jati diri, melalui proses
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Salah satu kemukjizatan (keistimewaan) Alquran yang paling
utama adalah hubungannya dengan ilmu pengetahuan,
begitu pentingnya ilmu pengetahuan dalam Alquran
sehingga Allah menurunkan ayat yang pertama kali QS. Al-
‘Alaq: 1-5,

            

           

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang


Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal

|259
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-Alaq
[96]: 1-5)

Hal ini juga sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

‫طلب العلم فريضث لَع ُك مسلم‬


Menuntut ilmu itu suatu kewajiban kepada setiap muslim.
(HR. Ibnu Majah)
c) Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik
mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan,
dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap
perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap
memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta
didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan,
kesosialan, dan moral.
d) Kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta
didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai,
akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri
handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada
(di belakang memberikan daya dan kekuatan, di tengah
membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan
contoh dan teladan).
e) Kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi
yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar
sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi
guru (semua yang terjadi, tergelar dan berkembang di
masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam
semesta dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan).
f) Kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi
alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk

260 |
keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan
kajian secara optimal.
g) Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi
mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri
diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan
kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan
jenis serta jenjang pendidikan.

4. Beban Belajar
Beban belajar yang diatur pada ketentuan ini adalah beban
belajar sistem paket pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah. Sistem Paket adalah sistem penyelenggaraan program
pendidikan yang peserta didiknya diwajibkan mengikuti seluruh
program pembelajaran dan beban belajar yang sudah ditetapkan
untuk setiap kelas sesuai dengan struktur kurikulum yang
berlaku pada satuan pendidikan. Beban belajar setiap mata
pelajaran pada Sistem Paket dinyatakan dalam satuan jam
pembelajaran. Beban belajar dirumuskan dalam bentuk satuan
waktu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk mengikuti
program pembelajaran melalui sistem tatap muka, penugasan
terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Semua itu
dimaksudkan untuk mencapai standar kompetensi lulusan
dengan memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik.
Kegiatan tatap muka adalah kegiatan pembelajaran yang berupa
proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Beban
belajar kegiatan tatap muka per jam pembelajaran pada masing-
masing satuan pendidikan ditetapkan sebagai berikut:
1. SD/MI/SDLB berlangsung selama 35 menit;
2. SMP/MTs/SMPLB berlangsung selama 40 menit;
3. SMA/MA/SMALB/ SMK/MAK berlangsung selama 45 menit.
Beban belajar
Kegiatan tatap muka per minggu pada setiap satuan
pendidikan adalah sebagai berikut:

|261
1. Jumlah jam pembelajaran tatap muka per minggu untuk
SD/MI/SDLB: 1) Kelas I s.d. III adalah 29 s.d. 32 jam
pembelajaran; 2) Kelas IV s.d. VI adalah 34 jam
pembelajaran.
2. Jumlah jam pembelajaran tatap muka per minggu untuk
SMP/MTs/SMPLB adalah 34 jam pembelajaran.
3. Jumlah jam pembelajaran tatap muka per minggu untuk
SMA/MA/SMALB/ SMK/MAK adalah 38 s.d. 39 jam
pembelajaran.

5. Kalender Pendidikan
Kurikulum satuan pendidikan pada setiap jenis dan jenjang
diselenggarakan dengan mengikuti kalender pendidikan pada
setiap tahun ajaran. Kalender pendidikan adalah pengaturan
waktu untuk kegiatan pembelajaran peserta didik selama satu
tahun ajaran yang mencakup permulaan tahun pelajaran, minggu
efektif belajar, waktu pembelajaran efektif dan hari libur.

1. Alokasi Waktu
Permulaan tahun pelajaran adalah waktu dimulainya
kegiatan pembelajaran pada awal tahun pelajaran pada setiap
satuan pendidikan. Minggu efektif belajar adalah jumlah minggu
kegiatan pembelajaran untuk setiap tahun pelajaran pada setiap
satuan pendidikan. Waktu pembelajaran efektif adalah jumlah
jam pembelajaran setiap minggu, meliputi jumlah jam
pembelajaran untuk seluruh matapelajaran termasuk muatan
lokal, ditambah jumlah jam untuk kegiatan pengembangan diri.
Waktu libur adalah waktu yang ditetapkan untuk tidak diadakan
kegiatan pembelajaran terjadwal pada satuan pendidikan yang
dimaksud. Waktu libur dapat berbentuk jeda tengah semester,
jeda antar semester, libur akhir tahun pelajaran, hari libur
keagamaan, hari libur umum termasuk hari-hari besar nasional,
dan hari libur khusus.
Kalender pendidikan adalah pengaturan waktu untuk
kegiatan pembelajaran peserta didik selama satu tahun ajaran

262 |
yang mencakup permulaan tahun pelajaran, minggu efektif
belajar, waktu pembelajaran efektif dan hari libur.
2. Penetapan Kalender Pendidikan
a. Permulaan tahun pelajaran adalah bulan Juli setiap tahun
dan berakhir pada bulan Juni tahun berikutnya.
b. Hari libur sekolah ditetapkan berdasarkan Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional, dan/atau Menteri Agama
dalam hal yang terkait dengan hari raya keagamaan, Kepala
Daerah tingkat Kabupaten/Kota, dan/atau organisasi
penyelenggara pendidikan dapat menetapkan hari libur
khusus.
c. Pemerintah Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dapat
menetapkan hari libur serentak untuk satuan-satuan
pendidikan.
d. Kalender pendidikan untuk setiap satuan pendidikan
disusun oleh masingmasing satuan pendidikan berdasarkan
alokasi waktu sebagaimana tersebut pada dokumen Standar
Isi ini dengan memperhatikan ketentuan dari
pemerintah/pemerintah daerah.

|263
264 |
Tujuan pertama reformasi pendidikan adalah membangun
suatu sistem pendidikan nasional yang lebih baik, lebih mantap,
dan lebih maju dengan mengoptimalkan dan memberdayakan
semua potensi dan partisipasi masyarakat. Sebab pendidikan
merupakan struktur pokok yang memberikan fasilitas bagi warga
masyarakat untuk bisa menentukan barang dan jasa apa yang
diperlukan.1 Bahkan secara makro, pendidikan merupakan
“jantung” sekaligus “tulang punggung” masa depan bangsa dan
negara,2 bahkan keberhasilan suatu bangsa sangat ditentukan
oleh keberhasilan dalam memperbaiki dan memperbarui sektor
pendidikan.3 Sedangkan di sisi yang lain, sistem pendidikan Islam
merupakan suatu kawah candradimuka pembentuk manusia
sempurna sebagai fondasi awal dalam pembangunan peradaban
madani,4 dan mewujudkan rahmat bagi seluruh umat manusia.5
Dengan demikian, pendidikan tersebut dilakukan manusia dalam
rangka memperbaiki dan meningkatkan taraf hidupnya, melalui
proses pendidikan diharapkan manusia menjadi cerdas atau

1
Zamroni, Dinamika Peningkatan Mutu, (Yogyakarta: Gavin Kalam Utama,
2011), hlm. 83
2
Zian Farodis, Panduan Manajemen Pendidikan ala Harvard University,
(Yogyakarta: Diva Press, 2011), hlm. 7
3
Aulia Reza Bastian, Reformasi Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan
dan Pemberdayaan Pendidikan Dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan
Indonesia, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2002) hlm. 24
4
Sukarno, Budaya Politik Pesantren Perspektif Interaksionisme Simbolik,
(Yogyakarta: Interpena, 2012), hlm. 15
5
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), hlm. 44

|265
memiliki kemampuan, yang biasa dikenal dengan istilah skill
dalam menjalani kehidupannya.6
Problema pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia
saat ini, tanpa terkecuali pendidikan Islam di antaranya adalah: 1)
masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, 2) masih
rendahnya mutu dan relevansi pendidikan; 3) masih lemahnya
manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya
keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan
akademisi dan kemandirian. Berbagai usaha telah dilakukan
untuk mengatasi masalah pendidikan lebih khusus pendidikan
Islam, misalnya penggantian kurikulum nasional dan lokal dari
kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013,
namun dengan melalui penggantian kurikulum ini bukannya
menyelesaikan permasalahan pendidikan tapi justru malah
menambah permasalahan baru dalam pendidikan di negeri ini.
Usaha selanjutnya dalam mengatasi problema pendidikan yaitu
peningkatan kompetensi dan konvensasi guru melalui pelatihan
dan sertifikasi, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan
dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan
peningkatan mutu manajemen sekolah.
Dari problem di atas tentunya sangat berpengaruh terhadap
manajemen pendidikan yang ada pada saat ini, oleh karena itu
dalam buku ini membahas tiga komponen besar yang menjadi
problem manajemen pendidikan islam dewasa ini antara lain: 1)
Sumber Daya Manusia, 2) Pembiayaan, dan 3) Sarana/Prasarana
dan Teknologi.

6
Jerry H. Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan,
(Bandung: CV Alfabeta, 2011), hlm. 1

266 |
A. Sumber Daya Manusia
1. Terbatasnya Sumber Daya Manusia sebagai Problem
Manajemen Pendidikan Islam
Sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi
SDM potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk
mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif
dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta
seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya
kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan
berkelanjutan. Dalam pengertian praktis sehari-hari, SDM
lebih dimengerti sebagai bagian integral dari sistem yang
membentuk suatu organisasi. Oleh karena itu, dalam bidang
kajian psikologi, para praktisi SDM harus mengambil
penjurusan industri dan organisasi.
Sebagai ilmu, SDM dipelajari dalam manajemen sumber
daya manusia atau (MSDM). Dalam bidang ilmu ini, terjadi
sintesa antara ilmu manajemen dan psikologi. Mengingat
struktur SDM dalam industri-organisasi dipelajari oleh ilmu
manajemen, sementara manusia-nya sebagai subyek pelaku
adalah bidang kajian ilmu psikologi.
Dewasa ini, perkembangan terbaru memandang SDM bukan
sebagai sumber daya belaka, melainkan lebih berupa modal atau
aset bagi institusi atau organisasi. Karena itu kemudian
muncullah istilah baru di luar H.R. (Human Resources), yaitu
H.C. atau Human Capital. Di sini SDM dilihat bukan sekedar
sebagai aset utama, tetapi aset yang bernilai dan dapat
dilipatgandakan, dikembangkan (bandingkan dengan portfolio
investasi) dan juga bukan sebaliknya sebagai liability
(beban,cost). Di sini perspektif SDM sebagai investasi bagi
institusi atau organisasi lebih mengemuka.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam rangka menjadi
khalifah dimuka bumi, hal ini banyak dicantumkan dalam al-
Qur’an dengan maksud agar manusia dengan kekuatan yang

|267
dimilikinya mampu membangun dan memakmurkan bumi serta
melestarikannya. Untuk mencapai derajat khalifah di buka bumi
ini diperlukan proses yang panjang, dalam Islam upaya tersebut
ditandai dengan pendidikan yang dimulai sejak buaian sampai ke
liang lahat.[
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) merupakan
bagian dari ajaran Islam, yang dari semula telah mengarah
manusia untuk berupaya meningkatkan kualitas hidupnya yang
dimulai dari pengembangan budaya kecerdasan. Ini
berarti bahwa titik tolaknya adalah pendidikan yang akan
mempersiapkan manusia itu menjadi makhluk individual yang
bertanggung jawab dan makhluk sosial yang mempunyai rasa
kebersamaan dalam mewujudkan kehidupan yang damai,
tentram, tertib, dan maju, dimana moral kebaikan (kebenaran,
keadilan, dan kasih sayang) dapat ditegakkan sehingga
kesejahteraan lahir batin dapat merata dinikmati bersama.
Pendidikan tentu saja memiliki tujuan utama (akhir). Dan,
tujuan utama atau akhir (ultimate aim) pendidikan dalam Islam
menurut Hasan Langgulung adalah pembentukan
pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh dan
jasmani, kemauan yang bebas, dan akal. Pembentukan pribadi
atau karakter sebagai khalifah tentu menuntut kematangan
individu, hal ini berarti untuk memenuhi tujuan utama tersebut
maka pengembangan sumber daya manusia adalah suatu
keniscayaan. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut
diperlukan strategi untuk menggapainya. Karena strategi
merupakan alternatif dasar yang dipilih dalam upaya meraih
tujuan berdasarkan pertimbangan bahwa alternatif terpilih itu
diperkirakan paling optimal.
Strategi adalah jantung dari tiap keputusan yang diambil kini
dan menyangkut masa depan. Tiap strategi selalu dikaitkan
dengan upaya mencapai sesuatu tujuan di masa depan, yang
dekat maupun yang jauh. Tanpa tujuan yang ingin diraih,
tidak perlu disusun strategi. Selanjutnya, suatu strategi hanya

268 |
dapat disusun jika terdapat minimal dua pilihan. Tanpa itu, orang
cukup menempuh satu-satunya alternatif yang ada dan dapat
digali. Sedangkan Hasan Langgulung dengan definisi yang telah
dipersempit berpendapat bahwa strategi memiliki makna
sejumlah prinsip dan pikiran yang sepatutnya mengarahkan
tindakan sistem-sistem pendidikan di dunia Islam. Menurutnya
kata Islam dalam konteks tersebut, memiliki ciri-ciri khas yang
tergambar dalam aqidah Islamiyah, maka patutlah strategi
pendidikan itu mempunyai corak Islam. Adapun strategi
pendidikan yang dipilih oleh Langgulung terdiri dari dua model,
yaitu strategi pendidikan yang bersifat makro dan strategi
pendidikan yang bersifat mikro.7
Dalam Islam sosok manusia terdiri dua potensi yang harus
dibangun, yaitu lahiriah sebagai tubuh itu sendiri dan ruhaniyah
sebagai pengendali tubuh. Pembangunan manusia dalam Islam
tentunya harus memperhatikan kedua potensi ini. Jika dilihat dari
tujuan pembangunan manusia Indonesia yaitu menjadikan
manusia seutuhnya, maka tujuan tersebut harus memperhatikan
kedua potensi yang ada pada manusia. Namun upaya kearah
penyeimbangan pembangunan kedua potensi tersebut selama 32
tahun masa orde baru hanya dalam bentuk konsep saja tanpa
upaya aplikasi yang sebenarnya. Telah dimaklumi bahwa
pendidikan Islam memandang tinggi masalah SDM ini khususnya
yang berkaitan dengan akhlak (sikap, pribadi, etika dan moral).
Kualitas SDM menyangkut banyak aspek, yaitu aspek sikap
mental, perilaku, aspek kemampuan, aspek intelegensi, aspek
agama, aspek hukum, aspek kesehatan dan sebagainya (Djaafar,
2001 : 2). Kesemua aspek ini merupakan dua potensi yang masing-
masing dimiliki oleh tiap individu, yaitu jasmaniah dan ruhaniah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek jasmaniah selalu ditentukan
oleh ruhaniah yang bertindak sebagai pendorong dari dalam diri

7
Syukri Rifa’i, Skripsi, “Strategi Pendidikan Islam Dalam Meningkatkan
Kualitas Sumber Daya Manusia [Studi atas Pemikiran Hasan Langgulung]”
Mahasiswa S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

|269
manusia. Untuk mencapai SDM berkualitas, usaha yang paling
utama sebenarnya adalah memperbaiki potensi dari dalam
manusia itu sendiri, hal ini dapat diambil contoh seperti
kepatuhan masyarakat terhadap hukum ditentukan oleh aspek
ruhaniyah ini. Dalam hal ini pendidikan Islam memiliki peran
utama untuk mewujudkannya.

Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang patut diwaspadai dalam mensikapi
SDM Indonesia adalah globalisasi (perdagangan pasar bebas).
Perdagangan pasar bebas bukanlah gossip atau rumor yang
kehadirannya sudah jelas kita ketahui bersama kemarin ketika
tahun baru dating 01 januari 2010 menjadi tanggal bersejarah
beraninya bangsa ini membuka FTA (Free Trade Area) Asena
dengan China. Globalisasi adalah pendatang baru yang sudah
membeli tiket yang akan datang dan menetap di negeri ini
dengan jangka waktu yang sangat lama. Banyak sekali masalah
yang kemudian kita hadapi dengan globlisasi yang kini mnjedi
momok menakutkan terhadap penumbuhan kualitas SDM bangsa
ini apalagi SDM bangsa ini sebenarnya belum siap menghadapi
FTA ditambah adanya kesan seperti sangat dipaksakan entah
karena gengsi atau apalah namanya bangsa ini ikut serta dalam
menyetujui FTA Asean dengan China.

Faktor Internal
Kejumudan produktivitas keislaman yang pada kenyataan
kali ini ummat islam banyak terkotak-kotakan dalam nuansa
keasyikan bermadzhab sampai ke titik fanatis sehingga
menyalahkan madzhab yang lain yang nota benenya masih
sesame islam sehingga muncul banyak perdebatan-perdebatan
sis-sia yang hanya menyumbat tingkat peningkatan kualitas
pendidikan sebagai investasi pembentukn sumber daya manusia
ummat islam sehingga menyumbat pula tingkat produktivitas

270 |
keislaman akibat kejumudan pemikiran serta taklid buta
terhadap fanatisme kemadzhaban.
Abdul Rachman Shaleh (2000 : 203) menyatakan bahwa
untuk menjawab tantangan dan menghadapi tuntutan
pembangunan pada era globalisasi diisyaratkan dan diperlukan
kesiapan dan lahirnya masyarakat modern Indonesia. Aspek yang
spektakuler dalam masyarakat modern adalah penggantian
teknik produksi dari cara tradisional ke cara modern yang
ditampung dalam pengertian revolusi industri. Secara keliru
sering dikira bahwa modernisasi hanyalah aspek industri dan
teknologi saja. Padahal secara umum dapat dikatakan bahwa
modernisasi masyarakat adalah penerapan pengetahuan ilmiah
yang ada kepada semua aktivitas dan semua aspek hidup
masyarakat.

2. Upaya untuk Mengatasi Sumber Daya Manusia


Untuk meningkatkan mutu pendidikan, kita perlu melihat
dari banyak sisi. Telah banyak pakar pendidikan mengemukakan
pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi
kemerosotan mutu pendidikan di lndonesia. Dengan masukan
ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan
pendidikan nasional tercapai.
Hal-hal berikut adalah elemen dasar bagaimana kita dapat
meningkatkan mutu pendidikan atau sumber daya manusia di
Indonesia.

1) Insan Pendidikan Patut Mendapatkan Penghargaan


Karena itu Berikanlah Penghargaan
Manajemen Sumber Daya Manusia” mengatakan,
penghargaan diberikan untuk menarik dan mempertahankan
SDM karena diperlukan untuk mencapai saran-saran
organisasi. Staf (guru) akan termotivasi jika diberikan
penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi)

|271
maupun penghargaan instrinsik (pujian, tantangan,
pengakuan, tanggung jawab, kesempatan dan
pengembangan karir). Mc. Keena & Beech (1995 : 161).
Manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang
memiliki lima tingkatan (hierarchy of needs) yakni, mulai
dari kebutuhan fisiologis (pangan, sandang dan papan),
kebutuhan rasa aman ( terhindar dari rasa takut akan
gangguan keamanan), kebutuhan sosial (bermasyarakat),
kebutuhan yang mencerminkan harga diri, dan kebutuhan
mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat. Abraham H.
Maslow.
Pendidik dan pengajar sebagai manusia yang
diharapkan sebagai ujung tombak meningkatkan mutu
berhasrat mengangkat harkat dan martabatnya. Jasanya yang
besar dalam dunia pendidikan pantas untuk mendapatkan
penghargaan intrinsik dan ekstrinsik agar tidak
termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat.

2) Meningkatkan Profesionalisme Guru/Pendidik


Kurikulum dan panduan manajemen sekolah sebaik
apapun tidak akan berarti jika tidak ditangani oleh guru
profesional. Karena itu tuntutan terhadap profesinalisme
guru yang sering dilontarkan masyarakat dunia
usaha/industri, legislatif, dan pemerintah adalah hal yang
wajar untuk disikapi secara arif dan bijaksana.
Fenomena menunjukkan bahwa kualitas
profesionalisme guru kita masih rendah. Faktor-faktor
internal seperti penghasilan guru yang belum mampu
memenuhi kebutuhan fisiologis dan profesi masih dianggap
sebagai faktor determinan. Akibatnya, upaya untuk
menambah pengetahuan dan wawasan menjadi terhambat
karena ketidakmampuan guru secara financial dalam
pengembangan SDM melalui peningkatan jenjang
pendidikan.

272 |
Hal itu juga telah disadari pemerintah sehingga program
pelatihan mutlak diperlukan karena terbatasnya anggaran
untuk meningkatkan pendidikan guru. Program pelatihan ini
dimaksudkan untuk menghasilkan guru sebagai tenaga yang
terampil (skill labour) atau dengan istilah lain guru yang
memiliki kompetensi.
UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1)
menyebutkan pendidik harus memiliki kualifikasi minimum
dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar,
sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Uraian pasal 42 itu
cukup jelas bahwa untuk menjadi guru sebagai tahapan awal
harus memenuhi persyaratan kualifikasi minimal (latar
belakang pendidikan keguruan/umum dan memiliki akta
mengajar). Setelah guru memenuhi persyaratan kualifikasi,
maka guru akan dan sedang berada pada tahapan
kompetensi. Namun, fenomena menunjukkan bahwa
pendidik di sekolah masih banyak yang tidak memenuhi
persyaratan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa
lapangan pekerjaan guru sangat mudah untuk dimasuki oleh
siapa saja.

3) Sebisa Mungkin Kurangi dan Berantas Korupsi


Menurut laporan BPK tahun 2003 lalu, Depdiknas
merupakan lembaga pemerintah terkorup kedua setelah
Departemen Agama. Kemudian Laporan ICW menyebutkan
bahwa korupsi dalam dunia pendidikan dilakukan secara
bersama-sama (Amin Rais menyebutnya korupsi berjamaah)
dalam berbagai jenjang mulai tingkat sekolah, dinas, sampai
departemen. Pelakunya mulai dari guru, kepala sekolah,
kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi.
Sekolah yang diharapkan menjadi benteng pertahanan yang
menjunjung nilai-nilai kejujuran justru mempertotonkan
praktik korupsi kepada peserta didik.

|273
Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari
pemerintah dan dana yang langsung ditarik dari masyarakat.
Jika selama ini anggaran pendidikan yang sangat minim
dikeluhkan, ternyata dana yang kecil itupun tak luput dari
korupsi. Hal ini tidak terlepas dar kekaburan sistem
anggaran sekolah. Kekaburan dalam sistem anggaran
(RAPBS) itu memungkinkan kepala sekolah mempraktikkan
Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana operasional
pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana
pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.
Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada
tahun 2004, tak perlu hanya kita sesali, melainkan
menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit dari
keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah dari
menerapkan konsep yang berpijak pada akar masalah.

4) Berikan Sarana dan Prasarana yang Layak


Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang
Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah harus memiliki
persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan
dengan serba lengkap dan cukup seperti, luas lahan, perabot
lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur,
sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran
Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat karena dengan
keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di
sekolah tidak “kebablasan cepat” atau “keterlaluan
tertinggal” di bawah persyaratan minimal sehingga kualitas
pendidikan menjadi semakin terpuruk.
Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat (1)
berbunyi, setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan
prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik,
kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan
peserta didik. Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa

274 |
hanya sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di
Indonesia saja yang memenuhi persyaratan SPM, umumnya
sekolah negeri dan swasta favorit. Berdasarkan fakta ini,
keterbatasan sarana dan prasarana pada sekolah-sekolah
tertentu, pengadaannya selalu dibebankan kepada
masyarakat. Alasannya pun telah dilegalkan berdasarkan
Kepmendiknas No. 044/U/2002 dan UU Sisdiknas No.
20/2003 pasal 56 ayat (1). Dalam peningkatan mutu
pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan,
pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui
dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah, ayat (2)
Dewan pendidikan, sebagai lembaga mandiri dibentuk dan
berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan
dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan
ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota yang tidak
mempunyai hubungan hierarkis, dan ayat (3) Komite
sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dan
memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga,
sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan.
Dengan melandaskan pada cita-cita luhur pendidikan,
diharapkan mutu pendidikan Indonesia terus
meningkat dan terjadi perkembangan pada perbaikan yang
terus menerus.

B. Pembiayaan
1. Terbatasnya dan Pembiayaan sebagai Problem
Manajemen Pendidikan Islam
Dalam perkembangan dunia pendidikan dewasa ini dengan
mudah dapat dikatakan bahwa masalah pembiayaan menjadi
masalah yang cukup pelik untuk dipikirkan oleh para pengelola
pendidikan. Karena masalah pembiayaan pendidikan akan
menyangkut masalah tenaga pendidik, proses pembelajaran,

|275
sarana prasarana, pemasaran dan aspek lain yang terkait dengan
masalah keuangan. Fungsi pembiayaan tidak mungkin
dipisahkan dari fungsi lainnya dalam pengelolaan sekolah. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa pembiayaan menjadi masalah
sentral dalam pengelolaan kegiatan
pendidikan. Ketidakmampuan suatu lembaga untuk
menyediakan biaya, akan menghambat proses belajar mengajar.
Hambatan pada proses belajar mengajar dengan sendirinya
menghilangkan kepercayaan masyarakat pada suatu lembaga.
Namun bukan berarti bahwa apabila tersedia biaya yang
berlebihan akan menjamin bahwa pengelolaan sekolah akan lebih
baik.
Dalam memahami permasalahan pembiayaan pendidikan di
Indonesia, kita perlu memahami permasalahan apa saja yang
timbul serta alternatif penyelesaiannya. Pemahaman tentang
pembahasan ini juga akan membawa kita pada bagaimana praktik
pelaksanaan pembiayaan pendidikan beserta permasalahan-
permasalahan yang timbul dalam pelaksaaannya.
Biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost)
dan biaya tidak langsung (Inderect Cost). Biaya langsung terdiri
dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan
pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat
pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, gaji guru, baik yang
dikeluarkan pemerintah, orang tua, maupun siswa
sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan yang
hilang (oportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama
belajar.8
Anggaran biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang
berkaitan satu sama lain, yaitu sisi anggaran penerimaan dan
anggaran pengeluaran untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
Untuk sekolah dasar negeri, umumnya memiliki sumber-sumber
anggaran penerimaan, yang terdiri dari pemerintah pusat,

8
Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Rosda Karya,
Bandung, 2000), cet ke-1, hlm.23.

276 |
pemerintah daerah, masyarakat sekitar, orang tua murid, dan
sumber lain.
Berdasarkan pendekatan unsur biaya (ingredient approach),
pengeluaran sekolah dapat dikaegorikan ke dalam beberapa item
pengeluaran, yaitu :
1. Pengeluaran untuk pelaksanaan pelajaran
2. Pengeluaran untuk tata usaha sekolah,
3. Pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah,
4. Kesejahteraan pegawai,
5. Administrasi,
6. Pembinaan teknis educative, dan
7. Pendataan9.

2. Upaya Untuk Mengatasi Terbatasnya Dana untuk


Pembiayaan dalam Lembaga Pendidikan Islam
a) Pembiayaan Pendidikan
Permasalahan pendidikan nasional tak pernah usai. Lebih
khusus lagi jika menyangkut masalah pembiayaan pendidikan,
siapa pun mengakui makin mahalnya biaya untuk memasuki
jenjang pendidikan saat ini. Memang tidaklah salah jika
dikatakan pendidikan bermutu membutuhkan biaya. Namun
persoalannya, daya finansial sebagian masyarakat di negeri ini
masih belum memadai akibat sumber pendapatan yang tak pasti.
Fenomena pendidikan yang menyedot biaya begitu
besar dari masyarakat ini juga sempat terlihat saat pendaftaran
siswa baru (PSB) beberapa waktu lalu. Orangtua siswa pun dibuat
meradang mengenai biaya yang harus ditanggung dalam
menyekolahkan anaknya. Memang harus diakui jika Pemerintah
tak lepas tangan membiayai pendidikan. Untuk bidang
pendidikan khusus siswa SD-SMP, Pemerintah telah
menggulirkan program bantuan operasional sekolah (BOS) untuk
BOS tetaplah terbatas. Apalagi jika bicara dana BOS khusus buku
yang masih minim untuk membeli satu buku pelajaran

9
Ibid, h. 24

|277
berkualitas. Dengan masih terbatasnya dana BOS itu mungkin
ada yang berdalih jika Pemerintah sekadar membantu dan
meringankan beban masyarakat miskin. Jika benar demikian,
maka Pemerintah bisa dikatakan tidak peka. Bukti konkret adalah
angka drop out anak usia sekolah antara usia 7-12 tahun pada
2005 lalu. Hasil survei menyebutkan 185.151 siswa drop out dari
sekolah. Padahal, siapa pun tahu jika program BOS mulai dirintis
sejak 2005.
Dalam hal ini, kita perlu memikirkan bersama persoalan
pembiayaan pendidikan. Di lihat dari konstitusi, Pemerintah
bertanggung jawab mutlak membiayai anak-anak usia sekolah
untuk menempuh jenjang pendidikan dasar. Dalam UUD 1945
Pasal 31 (2) ditegaskan mengenai kewajiban pemerintah
membiayai pendidikan dasar setiap warga negara. Kita tentu
melihat ketidaktaatan Pemerintah terhadap konstitusi. Jika
mengacu pada UUD 1945 Pasal 31 (2), anak usia sekolah berhak
mendapatkan pendidikan dasar tanpa biaya. Lalu muncul
pertanyaan, atas dasar apa pula pihak sekolah sering kali menarik
pungutan-pungutan kepada siswa dan orang tua siswa. UU No
20/2003 Pasal 34 (2) tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) pun menggariskan agar Pemerintah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan
dasar tanpa pemungutan biaya.
Ditinjau lebih jauh, Pemerintah tampak tak memiliki
komitmen politik terhadap pendidikan. Sebut saja misalnya
ketentuan anggaran pendidikan sebesar 20 % dalam APBN.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU No
18/2006 tentang APBN 2007 yang mengalokasikan anggaran
pendidikan 11,8 % bertentangan dengan UUD 1945 malah
ditanggapi dingin Pemerintah. Tidak jauh berbeda pada 2006
lalu, dimana Pemerintah tidak merespon positif putusan MK yang

278 |
memutuskan UU No 13/2005 tentang APBN 2006 dengan alokasi
anggaran pendidikan 9,1 % bertentangan dengan UUD 1945.10
Bagaimana pun, kita tidak bisa menutup mata terhadap
mahalnya biaya menempuh jenjang pendidikan di negeri
ini. Ketika disinggung tentang anggaran pendidikan sebesar 20 %
dari APBN/APBD sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU No.
20/2003 Tentang Sisdiknas, pemerintah selalu mengatakan tidak
memiliki anggaran yang cukup. Ada sektor kebutuhan non-
pendidikan yang semestinya juga harus diperhatikan disamping
terus mengupayakan secara bertahap anggaran pendidikan
menuju 20 %.
Melihat kenyataan pengelolaan anggaran negara di republik
ini, tampaknya terjadi ketidakefektifan di samping mentalitas
korupsi yang masih akut. Pemerintah tidak bisa tidak memang
perlu memikirkan lebih serius lagi pembiayaan pendidikan di
Indonesia. Anggaran negara seyogianya dikelola lebih hemat dan
efektif agar benar-benar memberikan kontribusi signifikan
terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Disadari atau tidak, apa yang tertera dalam UUD 1945 tentu
menyimpan harapan besar terhadap kemajuan pendidikan
nasional. Sebagaimana diketahui, Pasal 31 (2) merupakan
perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan 10 November 2001 dan
Pasal 31 (4) merupakan perubahan keempat UUD 1945 yang
disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Rumusan UUD 1945 hasil
amandemen itu secara implisit mengajak Pemerintah untuk
memperhatikan pembangunan sektor pendidikan. Siapa pun
tentu sepakat bahwa pembangunan sektor pendidikan tidak bisa
diabaikan mengingat salah satu fungsi negara adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terkait dengan pembiayaan pendidikan, kita selalu
mengharapkan komitmen Pemerintah agar tidak berlepas tangan.
Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan harus dimiliki para

10
www.kabarindonesia.com/beritaprint.php

|279
penyelenggara negara untuk lebih memprioritaskan
pembangunan manusia melalui usaha pendidikan. Hasil
pendidikan yang tidak bisa dinikmati seketika mungkin
memberatkan para penyelenggara negara yang bermental
pragmatis alias ingin menikmati hasil dengan segera. Yang perlu
diingat, pendidikan merupakan aspek fundamental
meningkatkan kualitas individu-individu manusia. Melalui
pendidikan, individu-individu manusia diupayakan memiliki
kemampuan dan daya adaptabilitas terhadap perkembangan
zaman. Bangsa yang ingin maju tentu saja tidak bisa
mengabaikan pendidikan anak bangsanya.
Biaya pendidikan memang mahal. Tidak ada satu individu
yang dari dirinya sendiri mampu membiayai kebutuhan
pendidikan. Karena itu harus ada manajemen publik dari negara.
Sebab negaralah yang dapat menjamin bahwa setiap warga
negara memperoleh pendidikan yang layak. Negaralah yang
semestinya berada di garda depan menyelamatkan pendidikan
anak-anak orang miskin. Tanpa bantuan negara, orang miskin tak
akan dapat mengenyam pendidikan.

b) Pendidikan Gratis
Impian masyarakat akan datangnya pendidikan gratis yang
telah ditunggu-tunggu dari sejak zaman kemerdekaan Republik
Indonesia telah muncul dengan seiring datangnya fenomena
pendidikan gratis untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama. Fenomena pendidikan gratis ini memang sangat
ditunggu-tunggu, pasalnya Pemerintah mengeluarkan dana BOS
(Biaya Operasional Sekolah) untuk menutupi harga-harga buku
yang kian hari kian melambung, sumbangan ini-itu, gaji guru
yang tidak cukup dan biaya-biaya lainnya.
Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik
yang punya semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada
tantangan, salah satunya tantangan biaya. Generasi muda
dipupuk untuk tidak mempunyai mental serba gratisan.

280 |
Sebaiknya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati,
toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus
ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing di dunia
internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia,
bukan hanya menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus
mengonsumsi produk. Paling susah adalah pemerintah
menciptakan kondisi agar setiap orangtua mendapat penghasilan
yang cukup sehingga mampu membiayai pendidikan anak-
anaknya.
Tidak hanya murid saja melainkan guru yang terkena imbas
dari pendidikan gratis ini. Kebanyakan dari guru sekolah gratisan
mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan
kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir
soal ”bertahan hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran:
pelayanan pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian
situasinya, maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu
pendidikan.
Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan
menutup biaya operasional sekolah, apalagi menyejahterakan
gurunya. Pembiayaan seperti listrik, air, perawatan gedung,
komputer, alat tulis kantor, transpor, uang makan, dan biaya lain
harus dibayar. Mencari donor pun semakin sulit. Sekolah masih
bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian
pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan
menutup pembiayaan itu.
Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan
kualitas pendidikan, penurunan minat belajar para siswa, dan
penurunan tingkat kinrerja guru dalam kegiatan belajar mengajar
di dunia pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang
diringankan dalam hal biaya, namun kini para guru juga akan
merasa lega dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan akan
kesejahteraan guru. Tahun 2011 ini pemerintah telah memenuhi
ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk
pendidikan sebesar 20%. Sehingga tersedianya anggaran untuk

|281
menaikkan pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil
(PNS) berpangkat rendah yang belum berkeluarga dengan masa
kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya berpendapatan Rp. 2 juta.
Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan
dana tersebut untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka
penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan pendidikan
(SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan
ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah.
Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan
memiliki biaya besar, seperti: study tour (karyawisata), studi
banding, pembelian seragam bagi siswa dan guru untuk
kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian
bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah,
semuanya tidak ditanggung biaya BOS. Dan pemungutan biaya
tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan tiap-tiap
sekolah, serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan
menjamin agar biaya-biaya tersebut tidak memberatkan para
siswa dan orangtua. Bagaimana jika suatu waktu terjadi
hambatan atau ada sekolah yang masih kekurangan dalam
pemenuhan biaya operasionalnya? Pemerintah daerah wajib
untuk memenuhi kekurangannya dari dana APBD yang ada. Agar
proses belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa kekurangan
biaya.
Melihat kondisi di atas, semua itu adalah usaha pemerintah
untuk mensejahterahkan rakyatnya dalam hal ekonomi dan
pendidikan, tapi alangkah baiknya tidak memberlakukan sekolah
gratis melainkan sekolah murah, dan program bea siswa.
Mengapa sekolah harus murah. Diantaranya; sekolah murah
adalah harapan semua orang, tidak hanya para murid dan
orangtuanya, namun juga para guru selagi kesejahteraannya
mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sekolah murah dalam
banyak hal bisa menyenangkan, tanpa dibebani tanggungan biaya
sekolah sang anak yang mahal, orangtua dapat tenang
menyekolahkan anaknya dan urusan pencarian dana untuk

282 |
memenuhi kebutuhan keluarga lebih dikosentrasikan kepada
kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan. Sang anak
pun bisa tenang melakukan aktivitas pendidikan, sebab tidak lagi
merasa menjadi beban bagi orangtua.
c) Konsekuensi Pendidikan Gratis
Pendidikan gratis seperti kita ketahui bersama, mungkin saja
dapat dilaksanakan oleh suatu pemerintahan, namun tentunya
dengan menimbulkan beberapa konsekuensi yaitu anggaran
pemerintah daerah di bidang pendidikan akan terkuras untuk
membiayai operasional pendidikan di daerah tersebut, sehingga
anggaran untuk peningkatan mutu pendidikan yang menyangkut
perbaikan/peningkatan sarana-prasarana tentulah harus
dikalahkan. Konsekuensi lainnya pendidikan gratis untuk semua
dapat dilakukan, namun dengan mutu yang sangat minim atau
dengan kualitas yang seadanya. Sebab, seluruh anggaran telah
terkuras untuk operasional sekolah saja.
Di samping itu dengan terkonsentrasinya dana pendidikan
untuk pendidikan gratis maka kesejahteraan dan peningkatan
kualitas SDM pendidik akan dikesampingkan, dan menempati
urutan berikutnya. Apabila ini telah terjadi maka akan sia-sia saja
memberikan pendidikan gratis tetapi output-nya atau lulusannya
tidak bermutu
Yang patut dan harus diprogramkan adalah memberikan
pendidikan gratis bagi anak didik tertentu saja, yaitu yang
memiliki kemampuan tinggi dan prestasi yang bagus (pintar),
dan bagi yang kehidupan perekonomian orangtuanya di bawah
rata-rata (miskin), atau pun bagi anak-anak yatim piatu. Anak-
anak yang tergolong seperti itulah yang patut dan wajib
mendapatkan pendidikan gratis dari pemerintah.
Kata gratis sering menjebak kita dan memberikan harapan
besar kepada masyarakat, akan lebih tepat kalau kata itu diganti
sesuai realitas. Misalnya, pendidikan yang disubsidi. Atau
pendidikan yang terjangkau, atau pendidikan bagi yang tidak
mampu. Kesan bombastis melekat dalam ungkapan gratis, karena

|283
kenyataan pungutan sekolah sering lebih mahal dari komponen
yang digratiskan. Kata gratis memang mudah sekali diklaim
keberhasilan elite politik tertentu. Padahal, fakta di lapangan
gratis, tetapi masih banyak pungutan.
Penyelenggaraan pendidikan bermutu tidak lepas dari
partisipasi masyarakat. Kata gratis membuat masyarakat enggan
berpartisipasi sekaligus membuat masyarakat kian bergantung.
Selama ini, masyarakat mengerti gratis tanpa pungutan
tambahan, seperti sekarang ini gratis.
Untuk mengatasi kesenjangan pendidikan, tidakkah lebih
baik, misalnya, pemerintah menerapkan konsep subsidi silang
yang sudah lama dirintis oleh para penyelenggara pendidikan
swasta? Mereka cukup berpengalaman mengelola subsidi silang
dari anak-anak mampu kepada anak-anak miskin.
Model ini lebih berkeadilan daripada mengkampanyekan
sekolah gratis. Masyarakat dan terutama orangtua adalah pilar
penting pendidikan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

d) Permasalahan Pembiayaan Pendidikan di Tingkat


Mikro
Hal paling krusial yang dihadapi pendidikan kita adalah
masalah pembiayaan/keuangan, karena seluruh komponen
pendidikan di sekolah erat kaitannya dengan komponen
pembiayaan sekolah. Meskipun masalah pembiayaan tersebut
tidak sepenuhnya berpengaruh langsung terhadap kualitas
pendidikan, namun pembiayaan berkaitan dengan sarana-
prasarana dan sumber belajar. Berapa banyak sekolah-sekolah
yang tidak dapat melakukan kegiatan belajar mengajar secara
optimal, hanya masalah keuangan, baik untuk menggaji guru
maupun untuk mengadakan sarana dan prasarana pembelajaran.
Dalam kaitan ini, meskipun tuntutan reformasi adalah
pendidikan yang murah dan berkualitas, namun pendidikan yang
berkualitas senantiasa memerlukan dana yang cukup banyak.

284 |
Terkait dengan efisiensi dan efiktifitas, sekolah harus
mampu memenej keuangan yang ada sehingga dapat
menghindari penggunaan biaya yang tidak perlu. Efektifitas
pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi, program
kegiatan tidak hanya dihitung berdasarkan biaya tetapi juga
waktu, dan amat penting menseleksi penggunaan dana
operasional, pemeliharaan, dan biaya lain yang mengarah pada
pemborosan.
Menurut Bobbit yang kami kutip dari sumber
internet (1992), sekolah secara mandiri dan berkewenangan
penuh menata anggaran biaya secara efisien, karena jumlah
enrollment akan menguras sumber-sumber daya dan dana yang
cukup besar.
Adanya konsep manajemen berbasis sekolah pada
hakikatnya menampilkan konsep pengelolaan anggaran
pendidikan dengan tujuan untuk menjawab persoalan bagaimana
mendayagunakan sumber-sumber pembiayaan yang relatif kecil
dan terbatas itu secara efektif dan efisien, bagaimana
mengembangkan sumber-sumber baru pembiayaan bagi
pembangunan pendidikan, agar tujuan pendidikan tercapai
secara optimal.
Dalam kondisi dana yang sangat terbatas dan sekolah
dihadapkan kepada kebutuhan yang beragam, maka sekolah
harus mampu membuat keputusan dengan berpedoman kepada
peningkatan mutu. Manakala sekolah memiliki rencana untuk
mengadakan perbaikan suasana dan fasilitas lain seperti
memperbaiki pagar sekolah atau memperbaiki sarana olah raga.
Tetapi pengaruhnya terhadap peningkatan mutu proses belajar
mengajar lebih kecil dibanding dengan pengadaan alat peraga
atau laboratorium, maka keputusan yang paling efisien adalah
mengadakan alat peraga atau melengkapi laboratorium.
Dalam biaya pendidikan, efisiensi hanya akan ditentukan
oleh ketepatan di dalam mendayagunakan anggaran pendidikan

|285
dengan memberikan prioritas pada faktor-faktor input
pendidikan yang dapat memacu prestasi belajar siswa
ncana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS)
merupakan suatu rancangan pembiayaan pendidikan di sekolah
dalam rangka mengatur dan mengalokasikan dana pendidikan
yang ada sumbernya dan sudah terkalkulasi jumlah dan
besarannya baik yang merupakan dana rutin bantuan dari
pemerintah berupa Dana Bantuan Operasional atau dana lain
yang berasal dari sumbangan masyarakat atau orang tua siswa.
Dalam merancang dan menyususn Anggaran Pendapatan
dan Belanja Sekolah ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
diantaranya masalah efektivitas pembiayaan sebagai salah satu
alat ukur efisiensi. Efektivitas pembiayaan merupakan faktor
penting yang senantiasa diperhitungkan bersamaan dengan
efisiensi, artinya suatu program kegiatan tidak hanya menghitung
waktu yang singkat tetapi tidak memperhatikan anggaran yang
harus dikeluarkan seperti biaya operasional dan dana
pemeliharaan sarana yang mengarah pada pemborosan. Jadi
dalam hal ini Kepala Sekolah bersama-sama guru dan Komite
Sekolah dalam menentukan anggaran pembelajaran harus
berdasarkan kebutuhan yang riil dan benar-benar sangat
dibutuhkan untuk keperluan dalam rangka menunjang
penyelenggaraan proses pembelajaran yang bermutu.11

e) Penganggaran
Penganggaran merupakan kegiatan atau proses penyusunan
anggaran (Budget). Budget merupakan rencana operasional yang
dinyatakan secara kuantitatif dalam bentuk satuan uang yang
digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan-
kegiatan lembaga dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu,
dalam anggaran tergambar kegiatan-kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh suatu lembaga.

11
kaka22mln.blogspot.com/2011/02/pendidikan-gratis.html

286 |
Penyusunan anggaran merupakan langkah-langkah positif
untuk merealisasikan rencana yang telah disusun. Kegiatan ini
melibatkan pimpinan tiap-tiap unit organisasi. Pada dasarnya,
penyusunan anggaran merupkan negosiasi atau perundingan/
kesepakatan antara puncak pimpinan dengan pimpinan
dibawahnya dalam menentukan besarnya alokasi biaya suatu
penganggaran. Hasil akhir dari suatu negosiasi merupakan suatu
pernyataan tentang pengeluaran dan pendapatan yang
diharapkan dari setiap sumber dana.12

C. Sarana Prasarana/Teknologi
1. Sarana/Prasarana dan Teknologi yang Tidak
Memadai Sebagai Problem dalam Manajemen
Pendidikan
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dari sisi pendidikan adalah
sarana dan prasarana pendidikan itu sendiri dimana sarana dan
prasarana pendidikan ini merupakan salah satu faktor yang
mendukung keberhasilan program pendidikan dalam proses
pembelajaran.
Mutu sarana dan prasarana masih sangat bervariasi. Hal ini
dapat kita lihat dilingkungan kita dimana masih banyak sekolah-
sekolah yang keadaan gedungnya tidak aman dan kurang
memadai untuk digunakan melaksanakan proses belajar
mengajar (lembab, gelap, sempit, rapuh). Sering juga dijumpai
bahwa lahan/tanah (status hukum) bukan milik sekolah atau
dinas pendidikan; letaknya yang kurang memenuhi persyaratan
lancarnya proses pendidikan misalnya letak sekolah berada di
tempat yang ramai, terpencil, kumuh, dan lain-lain; perabotan
berkenaan dengan sarana yang kurang memadai bagi
pelaksanaan proses pendidikan misalnya meja/kursi yang kurang
layak digunakan, alat peraga yang tidak lengkap, buku-buku
paket yang kurang memadai, dan lain-lain.

12
Ibid., hal. 49

|287
a) Fasilitas yang Minim
Volume sarana dan prasarana yang minim masih mejadi
permasalahan utama disetiap sekolah di Indonesia.
Terutama di daerah pedesaan yang jauh dari perkotaan.
Kasus seperti ini dapat menimbulkan kesenjangan mutu
pendidikan. Banyak peserta didik yang berada di desa tidak
bisa menikmati kenyamanan dan kelengkapan fasilitas
seperti peserta didik di Kota. Oleh karena itu, kualitas
pendidikan di desa semakin kalah bersaing dengan kualitas
pendidikan di kota. Selain itu masih banyak fasilitas yang
belum memenuhi mutu standar pelayanan minimal. Hal
seperti ini membuktikan bahwa lembaga pendidikan kurang
memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam mengembangkan
diri. Akibat ketidak tersedianya fasilitas tersebut, para pelajar
mengalokasiakan kelebihan waktunya untuk hal-hal yang
negatif.

b) Alokasi dana yang terhambat


Banyaknya kasus penyalahgunaan dana adminitrasi
sekolah, membuat sarana dan prasarana sekolah tidak
terwujud sesuai dengan harapan, adanya permainan uang
dalam adminitrasi membuat pendidikan semakin tidak cepat
mencapai titik kebehasilan.

c) Perawatan yang Buruk


Ketidak pedulian dari sekolah terhadap perawatan
fasilitas yang ada menjadikan buruknya sarana dan
prasarana. Sikap acuh tak acuh dan tidak adanya
pengawasan dari pemerintah, membuat banyak fasilitas
sekolah yang terbengkalai. Ketidaknyamanan menggunakan
fasilitas yang ada, akibat kondisi yang banyak rusak,
membuat para pelajar enggan menggunakannya. Kasus
seperti ini biasanya terjadi karena tidak adanya kesadaran
dari setiap guru, siswa, dan pengurus sekolah.

288 |
Dari ketiga point di atas, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa sarana dan prasarana pendidikan di
Indonesia masih perlu dibenahi. Banyaknya permasalahan
sarana dan prasana akan menghambat proses pembelajaran,
yang akibatnya berpengaruh pada ketercapaian dari tujuan
pendidikan.

2. Upaya untuk Mengatasi Kurang Memadainya


Sarana/Prasarana Dan Teknologi Pendidikan
Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam
memperbaiki anomali-anomali pendidikan ini antara lain:
 Terorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah, bahkan hingga daerah
terpencil sekalipun sehingga tidak terputusnya
komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah.
 Dengan adanya koordinasi pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah maka selanjutnya kita dapat
meningkatkan Sarana dan Prasarana
Pendidikan. Adapun sarana dan prasarana pendidikan
yang digunakan dalam rangka meningkatkan output
pendidikan tentunya kita harus menaikan cost (harga),
menaikkan harga disini maksudnya adalah
meningkatkan sarana dan prasarana penunjang
pendidikan. Adapun sarana tersebut meliputi sarana
fisik dan non fisik.

Sarana fisik
Pemenuhan sarana fisik sekolahan ini meliputi pembanguan
gedung sekolahan, laboratorium, perpustakaan, sarana-sarana
olah raga, alat-alat kesenian dan fasilitas pendukung lainnya.
Dalam hal ini tentunya pemerintah memegang tanggung jawab
yang besar dalam pemenuhan ini, karena pemerintah
berkepentingan dalam memajukan pembangunan nasiaonal. Jika

|289
sarana belajar ini telah terpenuhi tentunya akan semakin
memudahkan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sarana fisik
Sarana non fisik ini diibaratkan software dalam komputer, jika
software ini dapat mengoprasikan perangkat komputer dengan
baik maka pekerjaan akan cepat selesai. Begitu juga dalam
pendidikan jika sistem dan pengajarnya bermutu maka akan
mempercepat pembangunan nasional. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara:
a. Peningkatan kualitas guru
Kualitas guru harus ditekankan demi berjalannya pendidikan
itu sendiri, tugas guru adalah merangsang kreativitas dan
memberi pengajaran secara fleksibel, artinya berkedudukan
seperti siswa yang belajar tidak ada patron client. Peningkatan
mutu ini bukan hanya pada intelektual guru saja, melainkan juga
mengembangkan psikologis guru itu sendiri misalnya dengan
memahami karakteristik siswa, psikologi perkembangan dan
sebagainya.Dengan adanya peningkatan ini tentunnya akan
berdampak pada membaiknya output pendidikan. Dikarenakan
guru dapat menempatkan dirinya sebagaimana mestinya dan
bersifat fleksibel. Kenakalan remaja biasanya terjadi justru karena
prilaku guru itu sendiri misalnya melakukan hukuman fisik
kepada siswa ataupun penekanan psikologis.

b. Pembentukan lembaga studi mandiri


Pembentukan lembaga studi mandiri ini berfungsi sebagai
wadah pengembangan kepribadian siswa.Jika lembaga studi ini
dapat dibentuk tentunnya akan memperbaiki kualitas fakultas
maupun menambah pengalaman mahasiswa.

290 |
A, Doni Koesoema Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di
Zaman Global, Jakarta; Grasindo, 2007
Ali, Mukti, Berbagai Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta;
Rajawali, 1987
Ali, As’ad Said, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa
Jakarta: LP3S, 2009
al-Syaibani, Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan
Islam, (terj.) Hasan Langgulung dari buku Falsafah al-
Tarbiyah al-Islamiyah, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Anshori, Pendidikan Islam Transformatif, Jakarta: Referensi, 2012
Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah III; Pengantar Studi Pemikiran
dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Pendidikan Islam
Jakarta: PT Raya Gafindo Persada, 1998
Arifin, Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam Cet. ke-5,
Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011
Arief, Armai, Reformasi Pendidikan Islam, Ciputat: CRSD Press,
2007
Arifin, Syamsul, dkk. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa
Depan, Yogyakarta: Si Press, 1996
Aziz, Ahmad Amir, Pembaharuan Teologi Perspektif Modernisme
Muhammad Abduh dan Neo Modernisme Fazlur Rahman
Yogyakarta: Teras, 2009
Aziz, Safrudin. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam. Yogjakarta :
Kalimedia
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di
Tengah Tantangan Milenium III (C et . I: Jakarta: Kencana
Prenada Media Group , 2012
------., Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2002.

|291
Barnawi dan M. Arifin, strategi dan kebijakan pembelajaran
pendidikan karakter, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2013
Baswedan, Anies, Budaya Anti Korupsi di Mulai dari
Sekolah. www. Republika.co.id.diakses tanggal 10 Mei
2018 pukul 18:45
Badan Standar Nasional Pendidikan, Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru, Jakarta; BNSP, 2007
Bastian, Aulia Reza, Reformasi Pendidikan: Langkah-langkah
Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan Dalam Rangka
Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta:
Lapera Pustaka Utama, 2002
D. Marimba, Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: al-Ma’arif, 1974, Cet.III
Daradjat, Zakiah, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2014
Data Statistik Pendidikan . http://statistik.data.kemdikbud.go.id/
Data Dinas Pendidikan Provinsi Jambi
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Kyai, Cet. VII; Jakarta: LP3ES, 1997
Depag RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta:
DEPAG RI, 2003
Emang, Muh. Ruddin, Pendidikan Agama Islam, Cet.1; Makassar:
Yayasan Fatiya, 2002
el-Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia
Jakarta: Prenada Media, 2005
Faisol, Gus Dur dan pendidikan Islam, upaya mengembalikan
esensi pendidikan di era global, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media,
2011
Fuadie, Muslih, Dinamika pemikiran Islam Di Indonesia,
Surabaya: Pustaka Firdaus, 2005
Farodis, Zian, Panduan Manajemen Pendidikan ala Harvard
University, (Yogyakarta: Diva Press, 2011

292 |
Fattah, Nanang, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Rosda
Karya, Bandung, cet ke-1, 2000, hal.23.
Gina, Yuniar N. “Sistem Pendidikan Pesantren”, diakses pada 11
September 2016 dalam https://www. kompasiana.com/
yuniargina/57d50eb26323bd714280c64c/sistem-pendidikan-
pesantren
Geetz, Cliford The Religion of Java, (Ter), Aswab Mahasin,
Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Jakarta:
Kerja sama Yayasan ilmu-ilmu social dan Dunia Pustaka Jaya.
1983, Cet. Ke-3
Harahap, Herlina, Pembaharuan Pendidikan Islam Perspektif
Harun Nasution, Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2016
Hasbullah, M., Kebijakan Pendidikan dalam Perspektif Teori,
Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia,
Jakarta: Rajawali Press, 2015
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Indonesia, Jakarta : PT.
Grafindo Persada, 1996
Harun Nasution, Harun, Islam Rasional, Jakarta: Mizan, 1995
http://www.profilpedia.com/2015/12/mohammad-nuh.htm
Heriyanto, Gun Gun dan Iding Rosyidin, 10 Tokoh Transformatif
Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2015
https://edukasi.kompas.com/read/2013/05/04/21062649/Ini.Penje
lasan.M..Nuh.Tentang.Kurikulum.2013
http://rahmatikhsanmubut.blogspot.com/2015/04/kapita-selekta-
pai-pai-sebagaimateri_21.html
https://www.riaumandiri.co/read/detail/6615/mengoptimalkan-
pengajaran-agama-islam-di-madrasah.html
https://www.scribd.com/doc/59334794/Analisis-Kebijakan-
Kurikulum-Sekolah-Peraturan-Pemerintah-Republik-
Indonesia-Nomor-19-Tahun-2005-Tentang-Standar-
Nasional-Pendidikan-Di-Mi-Al
https://www.nomifrod.com/2017/10/standar-isi-pendidikan
agama-islam-dan.html diakses pada tanggal 28-11-2005
pukul 8. 35.

|293
http://www.indonesiamengajar.org Tentang Indonesia Menyala
Iqbal, Abu Muhammad, Pemikiran Pendidikan Islam Gagasan-
Gagasan Para Ilmuwan Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015
Imarah, Muhammad, (ed.), Al-A’mal al-Kaamilah al-Imam as-
Syaikh Muhammad Abduh al-Juz atsalis (Kairo: Dar Asyuruk,
1993
Ismail, Chadijah, Sejarah Pendidikan Islam, Padang : IAIN Press,
1999
Kahhalah, Umar Rida, Jaulah fi Rubu’ al-Tarbiyah al-Siyasa wa al-
Ta’lim, Beirut: Muassanah al-Risalah, 1980
kaka22mln.blogspot.com/2011/02/pendidikan-gratis.html
Kompas, 28 Oktober 2009. Kesadaran Melampaui Batas
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta; Pustaka
Al Husna, 2003
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional
dalam Abad 21, Yogyakarta: Safiria Insani Press dan MSI, 2003
Majid ‘Irsan al-Kaylani, al-Fikri al-Tarbawi ‘inda Ibn Taymiyah. al-
Madinah al Munawwarah: Maktabah Dar al Tarats, 1986
Munir, A., Aliran Modern Dalam Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta,
1994
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2012
-------, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis
Pembaharuan Pendidikan Islam, Cirebon: Pustaka Dinamika,
1999
-------, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002
Masyhuri, Aziz, Pokok Pikiran tentang Pengembangan Pengkajian
Kitab, Majalah Tebuireng, No. 5 September, 1989
Maksum, Madrasah Sejarah & Perkembangannya, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999

294 |
Makawimbang, Jerry H., Supervisi dan Peningkatan Mutu
Pendidikan, Bandung: CV Alfabeta, 2011
Nafis, Muhamad Wahyuni, Kesaksian Intelektual, Jakarta Selatan:
Paramadina, 2005
Nata, Abuddin, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Depok: PT
Raja Grafindo Persada, 2013
------, Tokoh-tokoh pembaruan pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005
-------, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005
-------, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010
-------, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan
Islam, Jakarta: PT Gramedia, 2001
------, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2005
-------,
Studi Islam Komprehensip, 2011, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. Cet Pertama
----- Filsafat Pendidikan Islam, 2005, Jakarta: Gaya Media
Pratama. Cet Pertama
------, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan
Pertengahan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
------,Pendidikan Islam di Era Global, Jakarta: UIN Jakarta Press,
1999, cet I
------, Rekontruksi Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2009
------, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2012
------, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan
di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 14.
Niam, Samsun Pendidikan Multi Kultur, Radar Jember, kamis 28
oktober 2010, hal 39
Nizar, Samsul, Sejarah Dan Pergolakan Pemikir Pendidikan Islam,
Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta:
Quantum Teaching, 2005

|295
Nizar, Hayati, Analisis Historis Pendidikan Demokratis di
Minangkabau, Dalam Majalah Hadharah PPS IAIN Imam
Bonjol Padang, Vol 3, edisi februari 2006
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2009
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran
dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1987
Rahman, Fazlur, al-Islam, cet. I, Jakarta: Bina Aksara, 1987
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011),
Cet ke.9
Ramayulis, Samsul Nizar, Ensklopedia Tokoh Pendidikan
Indonesia, Mengenal Tokoh Pendidikan Islami Dunia Islam
Dan Indonesia, Jakarta : Quantum Teaching, 2005
Rais, M. Amien, Cakrawala Islam: Anatara Cita dan Fakta,
Bandung: Mizan, 1989
Rifa’i, Syukri, Skripsi, “Strategi Pendidikan Islam Dalam
Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia [Studi atas
Pemikiran Hasan Langgulung]” Mahasiswa S2 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Saputra, Yudha Nata, Kepemimpinan dan Mutu Pendidikan, (STT
Karisma, t.th
_______
, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah (Jakarta: UI
Press, 1987
Soebahar, Abd. Halim Modernisasi Pesantren: Studi Transformasi
Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta:
LKiS, 2013
--------. Halim, Modernisasi Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2013
Subhan, Fa’uti, Membangun Sekolah Unggulan dalam Sistem
Pesantren,(Surabaya: Alpha, 2006
Saefuddin, Didin Pemikiran Modern dan Postmodern
Islam,Jakarta: PT Grasindo, 2003

296 |
Shihab, Quraish, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1994
Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistimologi,
dan Sistem Pendidikan, Cirebon: Pustaka Belajar, 2006
Soeroyo, Berbagai Persoalan Pendidikan Nasional dan Pendidikan
Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem
dan Prospeknya, VOL.1,Yogyakarta: Fak. Tarbiyah IAIN
SUKA, 1991
Shaleh, Abdul Rachman, Pendidikan Agama & Pembangunan
Watak Bangsa, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006
Siswanto, Pendidikan Islam Kontekstual, Surabaya: Pena
Salsabila, 2013
Syalabi, Ahmad, al-Tarbiyah al-Islamiyah, Nuzumuh Falsafah
Tarikh, Kairo, Maktabah al-Nadah al-Mishriyah, 1987
Sujanto, Bedjo, Cara Efektif Menuju Setifikasi Guru. Jakarta: Raih
Asa Sukses, 2009
Sukarno, Budaya Politik Pesantren Perspektif Interaksionisme
Simbolik, Yogyakarta: Interpena, 2012
Susilo, M. Joko, Pembodohan Siswa Tersistematis. (Yogyakarta:
Penerbit PINUS, 2007) hlm.13
Sumanto, Edi. Relavansi Pendidikan Islam. Jurnal At-Ta’lim Vol.
15, No. 2, Juli 2016
Tentang Indonesia Mengajar, http://www.indonesiamengajar.org
(diakses tanggal 10 Mei 2018 pukul 17:53

Thoib, Ismail Wacana Baru Pendidikan (Meretas Filsafat


Pendidikan islam) Cet Ke-3, Mataram : Alam Tara Institute,
2009
Tim Penulis, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI
Press, 2005
Wahid, Abdur Rahman, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta,
LkiS, 2010
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Jakarta: Gema Insani
Press, 1997),70

|297
www.kabarindonesia.com/beritaprint.php
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1995, Cet. II
Zubaedi. Design pendidikan karakter. Jakarta: Prenada Media
Group, 2011
Zamroni, Dinamika Peningkatan Mutu, (Yogyakarta: Gavin Kalam
Utama, 2011

298 |
Dr. A A Musyaffa, M.Pd, lahir di Jambi, 02
Juni 1978, dari Pasangan Drs. H. Ali Hasan
Abdullah (Alm) dan Hj. Siti Aminah (Almh),
merupakan suami Muthmainnah, S.E.,M.S.Ak
menempuh pendidikan dimulai SD 47/IV Kota
Jambi, selanjutnya SMP Ibrahimy Jawa Timur,
SLTA/MA Laboratorium Jambi. Jenjang
Pendidikan tinggi dimulai dari S1 FKIP Prodi
Kimia pada Univ. Jambi, S2 Manajemen
Pendidikan Islam pada IAIN STS Jambi dan
Program Doktor (S3) pada IAIN Imam Bonjol Padang. Pada masa
pendidikan strata satu (S1) penulis menekuni karya ilmiah
dengan mengikuti beberapa perlombaan karya ilmiah tingkat
provinsi hingga tingkat nasional.
Jenjang karir dimulai dari dalam dunia pendidik; sebagai
tenaga pengajar pada MA Lab Jambi (2000-2005), MA
Muhammadiyah Jambi (2000-20005), Sebagai Asisten Dosen FKIP
Prodi Kimia Univ. Jambi pada mata kuliah Pratikum Kimia
Organik, Kimia Dasar, Kimia Anorganik (2000-2003), sebagai
Tenaga Pengajar Pada SMA N 13 Kab. Tebo (2009-20012), Sebagai
Dosen STIT Kab Tebo (2008-2016).
Penulis juga pernah menduduki jabatan sebagai Kasi
Kurikulum Pada Pendidikan Menengah Pada Bid. DIKMEN pada
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Tebo, dan sebagai Kasi.
Pembinaan Pendidikan Keluarga, Kursus dan Pelatihan pada Bid.
Pembinaan PIAUD dan PNF Dinas Tebo Kab. Tebo.
Penulis juga aktif di organisasi sosial masyarakat; Penulis
juga aktif dalam organisas GP Ansor Kota Jambi, Wakil Sekretaris
PCNU Kab. Tebo. Anggota ISNU Kab. Tebo. Pengurus MUI Kab.
Tebo 2014-2019, sebagai Wakil Sek IPIM Prov. Jambi (2020-2023).
Karir bidang Dosen Pada UIN STS Jambi pada Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan, hasil karya ilmiah penulis; Pemisahan

|299
Ekstrak Metilen Klorida Kayu Bulian (Eusideroxylon Zwageri.T.et
B) dan Uji Antimakan Terhadap Kumbang Kepik (E.Sparsa)
(Skripsi), Implementasi Sistem Informasi Manajemen Pendidikan
Dalam Meningkatkan Mutu Layanan Pendidikan Perguruan
Tinggi ( Studi Pada Universitas Jambi (tesis, 2008), Penerapan
Total Quality Management Dalam Meningkat Mutu Madrasah
Aliyah Negeri Insan Cendikia Muaro Jambi (Disertasi,2015), Total
Quality Management Dalam Meningkatkan Mutu Madrasah
(2019), penulis juga menghasil karya pada jurnal internasional,
Impact of Supply Chain Leadership and Supply Chain Fellow Ship
on the Productivity and Performance Dynamics in Pharmaceutical
Industry of Indonesia (2020, International Journal of Supply Chain
Management), The Influence of Motivation and Leadership Style
On Productivity And Performance Of Education Management In
Aliyah Madrasah Swasta (MAS) As'ad Jambi City (2020,
International Journal of Supply Chain Management), Employee
Engagement Lecturer UIN STS Jambi (2020, Journal of Seybold
Report), Total Quality Manajement dalam Meningkatkan Mutu
Madrasah. A-Empat (2018).

Dr. A. Khalik, M.Pd, lahir di Talang Duku, 31


Desember 1956, merupakan buah hati H. Syar’i
bin Sani (Alm) dan Hj. Aminah Binti Thahir
(Almh), merupakan suami dari Dra. Siti Asiah,
M.Pd. sebagai ayah dari dr. Miftahurrahmah.
Sp.B.A, Muthmainnah, S.E.,M.S.Ak, Abdul Barik,
S,Pd., M.Pd.,Maghfiroh, Abdul Khobir.
Jenjang Pendidikan dimulai dari SR di Kota
Karang Batang Hari (1970),MTs As’ad Olak Kemang Kota Jambi
(1973), MA AIN Olak Kemang Kota Jambi (1976), Sarjana Muda,
IAIN STS Jambi (1980), Sarjana IAIN STS Jambi Fak. Tarbiyah
(1983), S2. IAIN STS Jambi (2004), S3 Univ. Pakuan Bogor (2016)
Jenjang Karir, dimulai sebagai tenaga pendidik pada SMP N
Rantau Rasau Tanjung Jabung Barat Jambi (1983), selanjut pada
SMA N 2 Muara Buliah Kab. Batang Hari Prov Jambi (1985),
penulis juga pernah menduduki kepala sekolah pada SMA N 4

300 |
Sungai Bahar Kab. Batang Hari Jambi (1997), Kepala Sekolah SMA
N 7 Kota Jambi (2000-2003), sekarang sebagai Dosen UIN STS
Jambi pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan prodi MPI
Hasil karya ilmiah dihasilkan; Tinjauan Tentang Pelaksanaan
Pendidikan Umum Di Pondok Pesantren As'Ad Olak Kemang
Kodya Jambi (Skripsi), Kepemimpinan Madrasah Aliyah (Studi
Kasus MAS di Kab. Muaro Jambi) (Tesis) Hubungan Antar
Budaya organisasi, kepemimpinan Trasformasi dan motivasi Kerja
Dengan Komitmen Pada organisasi (Studi Pada Dosen IAIN STS
Jambi) (Disertasi), penulis juga aktif menulis pada jurnal
internasional Impact of Supply Chain Leadership and Supply Chain
Fellow Ship on the Productivity and Performance Dynamics in
Pharmaceutical Industry of Indonesia (2020, International Journal
of Supply Chain Management), THE INFLUENCE OF
MOTIVATION AND LEADERSHIP STYLE ON PRODUCTIVITY
AND PERFORMANCE OF EDUCATION MANAGEMENT IN
ALIYAH MADRASAH SWASTA (MAS) AS'AD JAMBI CITY (2020,
International Journal of Supply Chain Management), Employee
Engagement Lecturer UIN STS Jambi (2020, Journal of Seybold
Report), OMITMEN ORGANISASI:Perspektif Budaya Organisasi,
Kepemimpinan Transformasional dan Motivasi Kerja. PUSAKA
Jambi, 2017

Dra. Siti Asiah, M.Pd lahir di, Jambi, 19 Des


1961 dari KH. Ismail Yusuf (Alm) dan Hj.
Aisyah. (Almh).
Istri dari Dr. A. Khalik, M.Pd, Ibu dari
anak-anaknya; dr. Miftahurrahmah. Sp.B.A,
Muthmainnah, S.E.,M.S.Ak, Abdul Barik, S,Pd.,
M.Pd.,Maghfiroh, Abdul Khobir. Jenjang
pendidikan dari; SD Islam As’ad (1974), MTs
AIN (1978), MAN Olak Kemang Kota Jambi (1981). Sarjana S1 pada
Fak. Ushuluddin IAIN STS Jambi (1997), Sarjana S2 pada Program
Manajemen Pendidikan Universitas Pakuan Bogor (2004), penulis

|301
merupakan Dosen Tetap pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
(FTK) UIN STS Jambi
Karya Ilmiah yang dihasilkan; Motivasi Al-Qur'an Dalam
Menciptakan Lingkungan Hidup Yang Nyaman (Skripsi), Studi
Korelasi Antara Komitmen Guru dan Supervisi Kepala Sekoah
Dengan Kinerja Guru Madrasah Tsanawiyah Seberang Kota Jambi.
(Tesis).

Drs. Ilyas Idris, M.Ag, lahir; Teluk Majlis, 4


Juli 1965 buah hati dari Raja Idris (Alm) dan
ibu Zainah (Almh) suami dari Maisarah ayah
dari Alfi Syahri, S.Hum, Ramziah Imilda. S.Pt,
Rasyid Ramadhani
Pendidikan dimulai dari ; SD 17 di Teluk
Majelis, Madrasah Tsanawiyah Nurul Iman
Jambi 1982, Aliyah (KMI Gontor) 1986,
pendidikan S1 IAIN STS Jambi, S2 IAIN Imam Bonjol Padang.
Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Doktor dan tahap
penyelesaian Pada Program Pasca sarjana UIN STS Jambi.
Penulis aktif sebagai Dosen tetap pada Fakultas Tarbiyah
dan Keguruan (FTK) UIN STS Jambi.
Karya ilmiah yang telah dihasilkan; Studi Tentang Penerapan
Metode Baru Dalam Pengajaran Al-Qur'an di Taman Kanak-Kanak
Al-Qur'an Masjid Amal Bakti Muslim Pancasila Bangko Propinsi
Jambi (Skripsi), Konsep Tingkah Laku Sabar dan Tawakal Serta
Pengaruhnya bagi Pembinaan Kondisi Kesehatan Mental (Tesis)

302 |

Anda mungkin juga menyukai