Anda di halaman 1dari 13

AKUNTANSI MANAJEMEN LINGKUNGAN,

ENVIRONMENTAL COST OF
QUALITY, TRIPLE BOTTOM
ACCOUNTING

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS MERCU BUANA
I. PENDAHULUAN
Informasi yangdi dapatkan dari beberapa artikel online baru-baru ini, Burger
King, Unilever, Nestle dan Kraft Foods memutuskan menghentikan pembelian minyak
kelapa sawit yang diproduksi oleh Grup Sinar Mas. Alasan mereka adalah dugaan
adanya perusakan hutan tropis yang membahayakan kehidupan satwa, mengurangi
kemampuan penyerapan karbon dioksida yang merupakan salah satu penyebab utama
perubahan iklim global yang lebih dikenal dengan global warming.
Lembaga sertifikasi kayu, Forest Setwardship Council (FSC), menunda rencana
kerjasama dengan Sinarmas setelah perusahaan milik konglomerat Eka Tjipta Widjaja
itu ketahuan membabat hutan alami dan berusaha merahasiakan aktivitas tersebut lewat
struktur korporasi yang samar. Sertifikat FSC dibutuhkan produsen kertas dan mebel
untuk memasarkan produk yang ramah lingkungan dengan harga premium di pasar
internasional. Stempel berlambang pohon itu krusial terutama untuk bisa mengakses
pasar Eropa dan Amerika Utara.
Dilansir dari tirto.id, Kerja sama PepsiCo Inc dengan PT Anugerah Indofood
Beverage Makmur (AIBM)—cucu usaha salim Grup—lewat perjanjian Exclusive
Bottling Agreement (EBA) resmi berakhir per tanggal 10 Oktober 2019 lalu. Semua
bermula dari investigasi lembaga non-pemerintah, Rainforest Action Network (RAN),
tentang dugaan pelanggaran hak-hak buruh di perkebunan sawit IndoAgri milik Salim
Grup di Provinsi Sumatera Utara, pada tahun 2016.
Berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi belakangan ini, semakin banyak
tuntutan agar perusahaan memperhatikan faktor-faktor lingkungan dalam menjalankan
usahanya. Tuntutan ramah lingkungan bukan saja berasal dari pemerintah, yang semakin
banyak mengeluarkan peraturan-peraturan untuk memaksa perusahaan menjadi ramah
lingkungan, namun juga banyak perusahaan yang memasukkan unsur ramah lingkungan
sebagai bagian dari strateji usaha mereka. Perusahaaan dituntut untuk menjadi eco-
efficien, yang berarti kemampuan untuk memproduksi barang untuk memuaskan
konsumen dengan biaya yang kompetitif, namun juga sekaligus mengurangi dampak
negatif terhadap lingkungan. Dengan alasan-alasan tersebut, maka kebutuhan informasi
keuangan dan non keuangan mengenai pengelolaan lingkungan menjadi semakin
dibutuhkan perusahaan.
II. AKUNTANSI MANAJEMEN LINGKUNGAN
1. Akuntansi Manajemen Lingkungan
A. Pengertian Akuntansi Manajemen Lingkungan
Akuntansi Lingkungan (Environmental Accounting atau EA) merupakan istilah
yang berkaitan dengan dimasukkannya biaya lingkungan (environmental costs) ke dalam
praktek akuntansi perusahaan atau lembaga pemerintah. Biaya lingkungan adalah
dampak yang timbul dari sisi keuangan maupun non-keuangan yang harus dipikul
sebagai akibat dari kegiatan yang mempengaruhi kualitas lingkungan. Akuntansi
Manajemen Lingkungan (Environmental Management Accounting) merupakan salah
satu sub sistem dari Akuntansi Lingkungan yang menjelaskan mengenai persoalan
pengukuran dari dampak-dampak bisnis perusahaan ke dalam sejumlah unit moneter.
Akuntansi Manajemen Lingkungan juga dapat digunakan sebagai suatu tolak ukur dalam
kinerja lingkungan (Rustika, 2011 dalam mardikawati, dkk,2014).
Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau United States
Environmental Protection Agency (US EPA) akuntansi lingkungan adalah : “fungsi
penting akuntansi lingkungan adalah untuk menyajikan biaya-biaya lingkungan bagi
para stakeholders perusahaan, yang mampu mendorong pengidentifikasian cara-cara
mengurangi atau menghindari biaya-biaya ketika pada waktu yang bersamaan,
perusahaan sedang memperbaiki kualitas lingkungan.”
Akuntansi Manajemen Lingkungan merupakan pengembangan dari Manajemen
Lingkungan dan seluruh kinerja ekonomi perusahaan serta implementasi dari lingkungan
yang tepat dalam hubungan antara sistem Akuntansi dan praktiknya (Mardikawati, dkk,
2014). Badan Perlindungan Amerika Serikat atau United States Environment Protection
Agency (EPA) menambahkan lagi bahwa istilah akuntansi lingkungan dibagi menjadi
dua dimensi utama. Pertama, akuntansi lingkungan merupakan biaya yang secara
langsung berdampak pada perusahaan secara menyeluruh (dalam hal ini disebut dengan
istilah “biaya pribadi”). Kedua, akuntansi lingkungan juga meliputi biaya-biaya
individu, masyarakat maupun lingkungan suatu perusahaan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
B. Fungsi Akuntansi Manajemen Lingkungan
Menurut IFAC (2005) akuntansi manajemen lingkungan (environmental
management accounting) merupakan pengelolaan lingkungan sekaligus kinerja ekonomi
organisasi melalui pengembangan dan implementasi sistem dan praktik akuntansi yang
sesuai dengan kebutuhan organisasi tersebut. Pada dasarnya terdapat tiga hal utama
dalam akuntansi manajemen lingkungan, yaitu:
1. Kepatuhan (Compliance) - dalam hal ini akuntansi manajemen lingkungan harus
dapat memberikan informasi mengenai kepatuhan perusahaan terhadap peraturan-
peraturan yang terkait dengan lingkungan, yang dibuat sendiri oleh perusahaan
tersebut maupun yang dibuat oleh pemerintah.
2. Eco-Effisien – dalam hal ini akuntansi manajemen lingkungan harus dapat
melakukan menitoring terhadap efisiensi penggunaan sumber daya alam seperti
penggunaan bahan baku, bahan bakar, air, dan lain lain dan dampaknya terhadap
lingkungan dan juga biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan.
3. Posisi stratejik – dalam hal ini organisasi harus membuat program-program yang
terkait dengan lingkungan untuk mencapai tujuan jangka panjang peruahaan.
Akuntansi manajemen lingkungan harus dapat memonitor apakah biaya-biaya yang
dikeluarkan dapat mencapai tujuan tersebut.

2. Environmental Cost Of Quality


A. Pengertian Biaya Lingkungan
Biaya lingkungan adalah biaya-biaya yang terjadi karena adanya kualitas
lingkungan yang buruk atau karena kualitas lingkungan yang buruk mungkin terjadi.
Maka, biaya lingkungan berhubungan dengan kreasi, deteksi, perbaikan dan pencegahan
degradasi lingkungan (Hansen dan Mowen , 2009:413).

B. Pengelolaan dan Pengendalian Biaya Lingkungan


Pengelolaan dan pengendalian biaya lingkungan dapat dilakukan dengan
membagi biaya yang terkait denga biaya lingkungan menjadi empat bagian, yaitu :
1. Biaya lingkungan yang bersifat pencegahan (Environmental prevention costs)
Yang termasuk dalam kategori ini adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dapat dipergunakan untuk menjaga agar
perusahaan dalam melakukan aktivitasnya tidak menghasilkan sesuatu yang dapat
berdampak negatif terhadap lingkungan. Contoh dari kelompok biaya ini adalah :
 Memilih dan mengevaluasi pemasok, sehingga didapatkan pemasok yang
ramah lingkungan
 Merancang proses produksi yang ramah lingkungan
 Memperoleh sertifikat ISO 14001 tentang Environmental Management, ISO
50001 tentang Energy Management, maupun OHSAS 18001 tentang
Occupational Health and Safety Management.
 Merancang produk yang ramah lingkungan

2. Biaya lingkungan yang bersifat pemeriksaan (Environmental appraisal costs)


Biaya-biaya ini dikeluarkan untuk memastikan apakah produk yang dihasilkan
peursahaan ataupun proses dan aktivitas yang dilakukan perusahaan memang sudah
sesuai dengan standar lingkungan yang terdapat pada peraturan pemerintah ataupun
peraturan perusahaan sendiri. Aktivitas-aktivitas ini dilaksanakan untuk dapat
mendeteksi sedini mungkin jika terdapat produk atau proses yang tidak sesuai
dengan peraturan atau standar tersebut, sehingga jangan sampai dampaknya meluas.
Contoh dari kelompok biaya ini adalah :
 Melakukan pemeriksaan (audit) terhadap aktivitas yang berkaitan dengan
lingkungan
 Melakukan inspeksi terhadap produk dan proses yang dilakukan
 Mengembangkan tolak ukur yang berkaitan dengan lingkungan
 Melakukan testing untuk melihat apakah terdapat kontaminasi

3. Biaya lingkungan karena adanya kegagalan internal (Environmental internal failure


costs).
Biaya-biaya ini muncul karena dalam kegiatannya perusahaan menghasilkan
elemen-elemen yang dapat merusak lingkungan, namun elemen-elemen tersebut
dapat dikendalikan oleh perusahaan, sehingga tidak mencemari lingkungan. Contoh
dari kelompok biaya ini adalah :
 Biaya untuk mengamankan dan membuang ekses produksi yang tidak ramah
lingkungan
 Biaya untuk mengoperasikan dan memelihara peralatan yang berkait dengan
polusi.
4. Biaya lingkungan karena adanya kegagalan eksternal (Environmental external
failure costs)
Biaya-biaya ini muncul karena elemen-elemen yang dapat merusak lingkungan
yang dihasilkan perusahaan ternyata mengkontaminasi lingkungan. Contohnya
adalah kasus kapal tanker pengangkut minyak yang karam, yang mengakibatkan
tumpahan minyak ke laut. Environmental external failure cost dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu:
a. Realized external failure cost, dalam hal ini adalah biaya-biaya yang benar-
benar dikeluarkan perusahaan, karena adanya kontaminasi atau kerusakan
lingkungan akibat kegiatan operasi perusahaan. Contoh dari biaya-biaya ini
adalah :
o Biaya untuk membersihkan minyak yang tertumpah dilaut karena bocor
atau karamnya kapal tanker pengangkut minyak.
o Biaya untuk membersihkan danau atau sungan yang tercemar
o Biaya yang dikeluarkan untuk membayar ganti rugi pada penduduk atau
pihak ketiga karena keruasakan lingkungan yang dibuat perusahaan.
b. Unrealized external failure (societal) cost, dalam kasus ini kontaminasi dan
kerusakan lingkungan memang berasal dari kegiatan operasi perusahaan,
namun biaya yang timbul tidak ditanggung oleh perusahaan, tapi ditanggung
oleh pihak lainnya diluar perusahaan. Contoh dari biaya-biaya ini adalah :
 Kesehatan penduduk yang menurun karena sungai terkontaminasi
 Mata pencaharian nelayan yang hilang karena laut terkontaminasi.
C. Pengelolaan Biaya Lingkungan
Pada dasarnya, prinsip pengelolaan biaya lingkungan sama dengan prinsip
pengelolaan biaya kualitas yang telah dibahas sebelumnya. Biaya lingkungan terbesar
yang dihadapi perusahaan adalah biaya lingkungna karena adanya kegagalan eksternal.
Biaya ini memang tidak sering muncul, namun jika biaya tersebut muncul, maka akan
dapat membebani perusahaan dengan biaya yang amat besar, bahkan dalam kasus yang
ekstrim dapat menimbulkan kebangkrutan perusahaan. Contohnya adalah kasus lumpur
lapindo. Karena itu untuk mengelola dan mengurangi biaya yang terkait dengan
lingkungan, maka perusahan harus memperbanyak proporsi biaya yang bersifat
pencegahan dan pemeriksaan. Contoh dari laporan yang berkaitan dengan pengelolaan
biaya lingkungan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

PT Kacau Balau

Laporan Biaya Lingkungan

Untuk Tahun yang berakhir, 31 Desember 20x3

Biaya Pencegahan Lingkungan

Biaya untuk Melakukan Sertifikasi ISO 14001 Rp 300.000.000

Biaya untuk Melakukan Pemilihan Pemasok Rp 100.000.000 Rp 400.000.000 5,95%

Biaya Pemeriksaan Lingkungan

Biaya untuk Mengukur tingkat Kontaminasi Rp 125.000.000

Biaya untuk Melakukan Pemeriksaan terhadap Proses Produksi Rp 200.000.000 Rp 325.000.000 4,83%

Biaya Lingkungan karena adanya Kegagalan Internal

Biaya untuk Membuang "Waste" dari Produksi Rp 800.000.000

Biaya untuk Mengoperasikan Peralatan untuk Mengendalikan Polusi Rp 200.000.000 Rp 1.000.000.000 14,87%

Biaya Lingkungan karena adanya Kegagalan Eksternal

Biaya untuk membersihkan sungai yang terkena polusi Rp 1.800.000.000

Biaya untuk membayar ganti-rugi pada penduduk yang terkena dampak polusi Rp 3.200.000.000 Rp 5.000.000.000 74,35%

Total Biaya Lingkungan Rp 6.725.000.000 100%


Pada tabel tersebut, terlihat bahwa perusahaan belum menerapkan pengelolaan
biaya lingkungan dengan baik, hal ini tercermin dari tingginya biaya kegagalan baik
internal maupun eksternal serta rendahnya biaya pencegahan dan pemeriksaan. Bisa
saja, perusahaan baru saja mau memulai memberikan perhatian yang lebih pada
lingkungan, dan hal tersebut tercermin dari adanya biaya untuk memperoleh sertifikasi
ISO 14001.

3. Triple Bottom Accounting


Triple bottom accounting merupakan kerangka akuntansi yang melihat dari tiga
sisi, yaitu people (orang), planet (lingkungan), profit. Dalam pelaporan keuangan secara
tradisional, biasanya perusahaan hanya melaporkan profit atau keuntungan yang
dihasilkan perusahaan. Namun demikian, apa yang terjadi apabila profit tersebut
diperoleh dengan kegiatan yang merusak lingkungan ataupun dengan melakukan
outsourcing pada perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan pekerja dibawah umur.
Collin dan Porras (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa perusahaan-
perusahaan yang memiliki tujuan utama untuk memaksimalkan kekayaan pemegang
saham, biasanya tidak akan bertahan hidup dalam waktu yang lama. Menurut penelitian
tersebut, perusahaan yang dapat bertahan sukses dalam waktu yang lama adalah
perusahaan-perusahaan yang berusaha untuk mencapai beberapa tujuan (cluster of
objectives), dimana memaksimalkan kekayaan pemegang saham hanya merupakan salah
satu tujuan yang ingin dicapai, dan biasanya bukan merupakan tujuan yang utama.
John Elkington tahun 1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line (TBL
atau 3BL). Atau juga 3P – People, Planet and Profit. Singkat kata, ketiganya merupakan
pilar yang mengukur nilai kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi,
lingkungan, dan sosial. Sebenarnya, pendekatan ini telah banyak digunakan sejak awal
tahun 2007 seiring perkembangan pendekatan akuntansi biaya penuh (full cost
accounting) yang banyak digunakan oleh perusahaan sektor publik. Pada perusahaan
sektor swasta, penerapan tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR)
pun merupakan salah satu bentuk implementasi TBL Konsep TBL mengimplikasikan
bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan kepentingan stakeholder (semua pihak
yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan yang dilakukan perusahaan) daripada
kepentingan shareholder (pemegang saham).
Aplikasi konsep 3P secara riil perusahaan di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. People, menekankan pentingnya praktik bisnis suatu perusahaan yang
mendukung kepentingan tenaga kerja. Lebih spesifik konsep ini melindungi
kepentingan tenaga kerja dengan menentang adanya eksplorasi yang
mempekerjakan anak di bawah umur, pembayaran upah yang wajar, lingkungan
kerja yang aman dan jam kerja yang dapat ditoleransi. Bukan hanya itu, konsep
ini juga meminta perusahaan memperhatikan kesehatan dan pendidikan bagi
tenaga kerja.
2. Planet, berarti mengelola dengan baik penggunaan energi terutama atas sumber
daya alam yang tidak dapat diperbarui. Mengurangi hasil limbah produksi dan
mengolah kembali menjadi limbah yang aman bagi lingkungan, mengurangi
emisi CO2 ataupun pemakaian energi, merupakan praktik yang banyak
dilakukan oleh perusahaan yang telah menerapkan konsep ini. The Body Shop,
dalam Values Report 2005, mencantumkan salah satu target inisiatif Protect Our
Planet untuk tahun 2006 dengan mengurangi hingga 5% emisi CO2 dari listrik
yang digunakan di gerainya. Starbucks memiliki program Coffee and Farmer
Equity (CAFE) untuk memperoleh dan mengolah kopi dengan memperhatikan
dampak ekonomi, sosial dan lingkungan. Starbucks mendefinisikan
sustainability sebagai model yang layak secara ekonomis untuk menjawab
kebutuhan sosial dan lingkungan dari semua partisipan dalam rantai pasokan dari
petani sampai konsumen.
3. Profit, di sini lebih dari sekadar keuntungan. Profit di sini berarti menciptakan
fair trade dan ethical trade dalam berbisnis. Sebagai contoh, Starbucks dan The
Body Shop yang mengaplikasikan fair trade – bukan mencari harga termurah –
dalam mencari bahan bakunya.

Pelaporan yang hanya memfokuskan pada kinerja keuangan dianggap tidak


cukup, karena hanya mencerminkan kinerja janga pendek perusahaan. Namun, tidak
dapat diingkari, masih banyak perusahaan yang melihat program ini sebagai suatu
program yang menghabiskan banyak biaya dan merugikan. Bahkan, beberapa
perusahaan menerapkan program ini karena “terpaksa” untuk mengantisipasi penolakan
dari masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Selain sisi internal perusahaan,
hambatan lainnya dari sisi eksternal karena belum adanya dukungan regulator dan
profesi akuntansi tentang penyajian pelaporan nonfinansial. Kesulitan utama dalam
menerapkan konsep ini adalah menyiapkan laporan yang dapat menggabungkan ketiga
elemen ini. Salah satu contoh dari laporan triple bottom accounting dapat dilihat pada
laporan yang dibuat oleh Cascde Engineering, yang dapat diakses dalam situs
www.cascadeng.com/triple-bottom-line.
III. PENUTUP
Kecenderungan publik yang ada saat ini memiliki harapan yang tinggi agar
perusahaan memiliki tanggung jawab lebih besar lagi terhadap dampak non-finansial
termasuk dampak pada komunitas sosial dan lingkungan sekitarnya. Semakin
meningkatnya kesadaran dan harapan pelanggan turut mempengaruhi perusahaan untuk
mengintegrasikan kepedulian lingkungan terhadap proses manajemen strategi pada
perusahaan mereka. Perusahaan yang telah menyatukan isu lingkungan dalam strategi
bisnis mereka akan cenderung lebih mampu bertahan dalam jangka panjang.
Triple Bottom Accounting menggunakan tiga pilar utama dalam mengkur kinerja
perusahaan, yaitu people, profit, dan planet atau dikenal dengan 3P. Triple Bottom
Accounting banyak diimplementasikan melalui corporate social responsibility (CSR)
atau tanggung jawab perusahaan. Konsep ini berdampak terhadap dunia akuntansi dan
akuntan karena menciptakan pelaporan keuangan perusahaan menjadi lebih
komprehensif. Pelaporan keuangan tidak hanya fokus pada indikator keuangan saja
melainkan indikator non keuangan pun menjadi fokus penting. Hal ini karena indikator
kesuksesan atau kinerja perusahaan bukan lagi sekedar kinerja keuangan saja. Para
stakeholder, terutama investor dan kreditor, akan menilai kinerja perusahaan dalam
sosial dan lingkungannya juga.
Perusahaan dengan kinerja sosial dan lingkungan yang buruk tentu akan
mendapatkan penilaian yang buruk dari para investor. Kondisi tersebut tentu memaksa
akuntan manajemen untuk meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan perusahaan.
Selain itu akuntan manajemen juga perlu melaporkan kinerja perusahaan dalam sosial
dan lingkungannya dalam laporan keuangan. Akuntan manajemen juga harus mampu
mengelola biaya-biaya terkait kegiatan sosial dan lingkungan perusahaan. Jangan sampai
implementasi konsep ini memperburuk kinerja keuangan perusahaan. Perencanaan dan
strategi yang baik dalam penerapan, misalnya berupa CSR yang dijalankan sangat
dibutuhkan.
REFERENSI

Modul Chartered Accountant, Akuntansi Manajemen Lanjutan, IAI, 2015


Muqodim, Susilo Joko. 2013. “Triple Bottom Line Reporting Dalam Pelaporan Tahunan
Perusahaan Go Public Di Indonesia”. JAAI Volume 17 No.1, Juni 2013: 31-42.
https://www.kompasiana.com/rosita167/5d15d708097f3621ed7e15a3/pentingnya-
penggunaan-akuntansi-manajemen-lingkungan-terhadap-kelangsungan-
operasional-perusahaan-manufaktur?page=all#
https://jagoakuntansi.com/2015/05/06/triple-bottom-line-accounting/
https://swa.co.id/swa/my-article/triple-bottom-line-lebih-dari-sekadar-profit
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-akuntansi-lingkungan-artikel.html

Anda mungkin juga menyukai