Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Mikologi Indonesia Vol 4 No 1 (2020): 125-133

JMI
Available online at: www.jmi.mikoina.or.id

Jurnal Mikologi Indonesia Online


ISSN: 2579-8766

Pengaruh Material Pembawa dalam Perbanyakan Spora Fungi


Mikoriza Arbuskula

The Effect of Carrier Material on Arbuscular Mycorrhizal Fungi


Propagation

Siregar ZK, Fikrinda, Alvisyahrin T

Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh

Siregar, Z. K., Fikrinda, & Alvisyahrin, T. (2020). Pengaruh Material Pembawa dalam
Perbanyakan Spora Fungi Mikoriza Arbuskula. Jurnal Mikologi Indonesia, 4(1), 125–133.
doi: 10.46638/jmi.v4i1.84

Abstrak
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) memiliki simbiosis mutualisme dengan lebih dari 80%
spesies tumbuhan terestrial. Material pembawa yang sering dilaporkan efektif digunakan
sebagai bahan pembawa inokulan FMA adalah zeolit. Akan tetapi, zeolit harganya lebih
mahal dibandingkan material pembawa lain seperti pasir dan arang sekam. Upaya yang dapat
dilakukan untuk perbanyakan spora dan mengurangi penggunaan zeolit yaitu
mengombinasikan zeolit dengan material pembawa lain berbasis bahan baku lokal dan
ekonomis. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri atas
dua faktor (komposisi material pembawa dan jenis FMA) dengan pola 4×2 dan empat
ulangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa material zeolit + pasir (1:1) dan zeolit +
tanah (1:1) sama efektifnya dengan zeolit 100% untuk perbanyakan spora Acaulospora
tuberculata dan Gigaspora gigantea. A. tuberculata menunjukkan tingkat kolonisasi akar
(62.68%) lebih tinggi dibandingkan G. gigantea (50.80%) pada semua material pembawa.
Tidak ada interaksi yang signifikan antara jenis material pembawa dan jenis spora FMA
terhadap jumlah spora dan infeksi akar.
Kata kunci – material pembawa – mikoriza arbuskula – perbanyakan – simbiosis

Abstract
Arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) have mutualistic relationships with more than 80% of terrestrial
plant species. The carrier material that is often and effectively used as an inoculant AMF carrier is
zeolite. However, zeolite is more expensive than other carrier materials such as sand and burnt rice
husk. To reduce the use of pure zeolite in the propagation of AMF spores, we combined zeolite with a
cheaper and locally available carrier material such as sands, burnt rice husk, and soil. This study
used a Randomized Complete Block Design consisting of two factors (the composition of the carrier
material and AMF types) with four×two patterns and four replications. The results of this study
indicated that zeolite + sand (1: 1) and zeolite + soil (1:1) are an alternative material that appears to
be similarly effective as zeolite 100% for the propagation of Acaulospora tuberculata dan
Gigaspora gigantea. A. tuberculata showed better root colonization (62.68%) than G. gigantea
(50.80%) for all carrier materials. There is no significant interaction of carrier materials and the
types of AMF on the number of spores and root colonization.

Dikirimkan 27 Februari 2020, Diterima 12 Juni 2020, Terbit online 30 Juni 2020
Corresponding Author: Zakiyah Khairani Siregar, e-mail: zakiyah206@gmail.com
Siregar et al, 2020

Keywords – carrier material – mycorrhizal arbuscular – propagation – symbiosis

Pendahuluan
Mikoriza merupakan istilah yang dikemukakan pertama kali oleh Albert Bernhard
Frank pada 1885 (Trappe, 2005). Mikoriza menunjukkan suatu bentuk kerjasama yang
bersifat simbiotik antara fungi dengan akar tanaman untuk membedakan dari fungi yang
bersifat patogenik. Salah satu kelompok fungi yang sudah banyak dipelajari dan
dikembangkan adalah fungi mikoriza arbuskula (FMA).
Keanekaragaman FMA di dunia tercatat sekitar 250 jenis yang berasosiasi dengan
tumbuhan yang tersebar dari daerah tropik sampai subtropik bahkan kutub utara (Schüßler 
Walker, 2010). Di Indonesia, Glomus, Acaulospora, Gigaspora adalah tiga marga yang
paling sering dijumpai dan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman (Masfufah
et al., 2016; Ginting et al., 2018).
Material pembawa yang sering dan efektif digunakan sebagai bahan pembawa
inokulan FMA adalah zeolit (Dewi et al., 2017). Zeolit adalah mineral kristal alumina silika
tetrahidrat yang membentuk struktur dan berpori-pori yang saling tertaut membentuk saluran
panjang dengan beragam ukuran tergantung pada mineralnya. Saluran-saluran ini
memungkinkan pergerakan yang mudah dari ion ke struktur dan sebaliknya (Polat et al.,
2004). Zeolit bersifat stabil sehingga tidak mudah rusak akibat siraman air dan dapat
meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) dan aktivitas mikroorganisme. Akan tetapi, harga
zeolit lebih mahal dibandingkan kandidat material pembawa lain seperti pasir dan arang
sekam. Untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya lokal dan menciptakan biaya produksi
yang lebih ekonomis, diperlukan suatu usaha untuk mencari solusi alternatif material
pembawa yang kualitasnya sama atau lebih baik dari zeolit dan berbiaya murah. Oleh karena
itu, penelitian ini dilakukan untuk menguji beberapa material alternatif untuk meningkatkan
produksi inokulan spora FMA indigen dari lahan kering Aceh sebagai sumber inokulum.

Metoda Penelitian
Waktu dan tempat
Penelitian ini dilakukan di rumah kasa, Laboratorium Biologi Tanah dan Laboratorium
Penelitian Tanah dan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Penelitian
berlangsung pada bulan Agustus sampai Desember 2018.

Material pembawa
Material pembawa yang digunakan ada empat macam yaitu zeolit, pasir, arang sekam,
dan tanah. Komposisi material pembawa yang digunakan dalam penelitian ini adalah zeolit
100%, zeolit + pasir (1:1 v/v), zeolit + arang sekam (1:1 v/v) , dan zeolit + tanah (1:1 v/v).
Jenis FMA
Inokulan spora FMA yang digunakan yaitu A. tuberculata Janos & Trappe dan G.
gigantea (T.H. Nicolson & Gerd.), Gerd. & Trappe berasal dari Laboratorium Biologi Tanah,
Universitas Syiah Kuala.
Persiapan material pembawa
Material pembawa pasir dan zeolit dicuci sampai bersih untuk menghilangkan debu
yang melekat sedangkan tanah dan arang sekam tidak dicuci. Penyiapan material pembawa
campuran dilakukan dengan mencampur bahan-bahan tersebut terlebih dahulu sebelum
disterilisasi. Sterilisasi dilakukan menggunakan autoklaf pada suhu 120oC selama 15 menit.

126
Siregar et al, 2020

Sterilisasi material pembawa campuran zeolit + tanah (1:1) dilakukan sebanyak tiga kali,
sedangkan sterilisasi material material pembawa zeolit 100%, zeolit + arang sekam (1:1) dan
zeolit + pasir (1:1) dilakukan satu kali.
Penyiapan benih jagung sebagai tanaman inang
Biji jagung yang digunakan sebagai tanaman inang disterilkan permukaannya dengan
merendamnya dalam larutan NaOCl 3% selama 10 menit kemudian dibilas dengan air
akuades steril sebanyak tiga kali, dan direndam dalam air akuades steril hangat selama 12 jam.
Penyemaian benih dilakukan di medium pasir steril pada bak penyemaian di Laboratorium
Biologi Tanah selama lima hari atau bibit telah memiliki dua helai daun.
Inokulasi spora FMA dan penanaman
Aplikasi FMA dilakukan pada saat memindahkan bibit jagung kedalam pot kultur
berukuran 6.5 × 8.5 cm. Material pembawa yang telah dipersiapkan diisi ke dalam pot kultur
sesuai perlakuan sebanyak sepertiga bagian (50 g) pada bagian dasarnya. Kemudian,
sebanyak lima spora FMA sesuai perlakuan ditempelkan menggunakan pinset spora pada
akar tanaman inang yang telah dipersiapkan. Setiap pot percobaan ditanami dua bibit jagung
yang telah diinokulasikan spora FMA tersebut.
Pemeliharaan
Pemeliharaan kultur meliputi kegiatan penyiraman, pemberian hara dan pengendalian
hama secara manual. Penyiraman tidak perlu dilakukan secara teratur namun cukup dengan
menjaga kelembaban material pembawa. Larutan hara yang digunakan adalah pupuk NPK
(25-5-20) dengan konsentrasi 1 g L-1 sebanyak 20 mL setiap pot kultur. Pemberian larutan
hara dilakukan seminggu sekali setelah tanaman berumur tujuh hari. Pemberian larutan hara
dihentikan ketika tanaman memasuki masa pembungaan (generatif).

Stressing dan pemanenan spora


Setelah kultur berumur delapan minggu kegiatan penyiraman dihentikan untuk
mengondisikan kultur pada keadaan stres kekeringan. Proses pengeringan ini berlangsung
bertahap sehingga dapat merangsang pembentukan spora lebih banyak. Pada kondisi ini,
dilakukan pemangkasan ¾ bagian atas tanaman. Periode pengeringan ini berlangsung selama
dua minggu sebelum tanaman siap dibongkar dari material pembawanya untuk dilakukan
isolasi spora.

Pengamatan
Sifat kimia media pembawa
Kriteria sifat kimia material pembawa disesuaikan dengan kriteria kesuburan tanah
oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2017). Parameter sifat kimia yaitu pH H2O
(Elektrometrik), Kapasitas tukar kation (KTK) (1 N NH4OAc pH 7), N-total (Kjeldahl), P-
tersedia (Bray II) dan K dapat ditukar (K-dd) (1 N NH4OAc pH 7).
Jumlah spora
Spora FMA diisolasi menggunakan teknik penyaringan basah dan dilanjutkan dengan
teknik sentrifugasi (Brundrett et al., 1996).
Kolonisasi FMA
Pewarnaan akar (staining) dilakukan dengan metode Vierheilig et al. (1998). Kolonisasi
FMA akar tanaman dikategorikan dalam lima kelas menurut Rajapakse  Miller (1992).

127
Siregar et al, 2020

Analisa data
Data pengamatan dianalisis dengan sidik ragam statistik ANOVA menggunakan
Microsoft Office Excel, apabila berpengaruh diuji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) pada probabilitas 5%.

Hasil
Sifat kimia material pembawa
Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh material pembawa bereaksi alkalis (pH >
8,5) dengan kisaran nilai pH H2O 8.44 – 9.47. Kapasitas tukar kation (KTK) material
pembawa tergolong sangat tinggi berkisar antara 58.8 – 98 cmol(+)/kg. N-total pada material
pembawa sangat rendah (0.03%). P-tersedia pada beberapa material pembawa zeolit 100%,
zeolit + pasir (1:1), dan zeolit + arang sekam (1:1) tergolong sangat tinggi (>15 mg/kg)
namun pada media zeolit + tanah (1:1) termasuk kriteria tinggi. Kadar K dapat ditukar (K-dd)
pada semua material pembawa tergolong sangat tinggi dengan nilai tertinggi pada material
pembawa zeolit + arang sekam (1:1) (5.02 cmol(+)/kg) dan terendah dijumpai pada material
campuran zeolit + tanah (1:1) (2.51 cmol(+)/kg).

Tabel 1 Hasil analisis awal sifat kimia material pembawa


Material Pembawa
No Aspek Analisis Zeolit + Arang
Zeolit Zeolit + Pasir Zeolit + Tanah
Sekam
1 pH-H2O 8.86 (A) 9.47 (A) 9.34 (A) 8.44 (A)

2 KTK (cmol(+) /kg) 98.00 (ST) 58.80 (ST) 87.20 (ST) 76.00 (ST)
3 N-total (%) 0.03 (SR) 0.03 (SR) 0.03 (SR) 0.03 (SR)

4 P-tersedia (mg /kg) 27.60 (ST) 32.90 (ST) 68.40 (ST) 14.80 (T)

5 K-dd (cmol(+)/kg) 4.68 (ST) 3.59 (ST) 5.02 (ST) 2.51 (ST)
Keterangan: A: Alkalis, ST: Sangat Tinggi, T: Tinggi, S: Sedang, SR: Sangat Rendah.
Sumber: Hasil Analisis Laboratorium Penelitian Tanah dan Tanaman (2018)

Jumlah spora
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan komposisi material pembawa
berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah spora FMA, sedangkan perlakuan jenis spora
FMA dan interaksi antara komposisi material pembawa dan jenis spora FMA memberikan
pengaruh tidak nyata terhadap jumlah spora FMA. Rata-rata jumlah spora akibat perlakuan
komposisi material pembawa dan jenis spora FMA disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rata-rata jumlah spora FMA akibat perlakuan komposisi material pembawa dan
jenis spora FMA
Material Pembawa
Jenis FMA Zeolit+ Zeolit + Arang Zeolit + Rata-rata
Zeolit
Pasir sekam tanah
A. tuberculata 30 19 6 25 20.08
G. gigantea 19 17 6 11 13.08
Rata-rata 25.33b 17.83b 5.83a 18.33b
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5 % (DMRT0.05=
8.92; 9.38)

128
Siregar et al, 2020

Kolonisasi FMA
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis spora FMA berpengaruh sangat nyata
terhadap kolonisasi akar, sedangkan perlakuan komposisi material pembawa dan interaksi
antara komposisi material pembawa dan spora FMA memberikan pengaruh tidak nyata
terhadap kolonisasi akar. Rata-rata kolonisasi akar pada tanaman inang jagung tertera pada
Tabel 3. Hasil penelitian (Tabel 3) menunjukkan bahwa A. tuberculata memiliki pengaruh
lebih baik dibandingkan G. gigantea dengan tingkat kolonisasi akar yang tergolong tinggi
(51-75 %).

Tabel 3 Rata-rata kolonisasi akar (%) akibat perlakuan material pembawa dan jenis spora
FMA
Material Pembawa
Jenis FMA Zeolit+ Zeolit + Arang Zeolit + Rata-Rata
Zeolit
Pasir sekam tanah
A. tuberculata 57.38 70.80 61.13 61.40 62.68b
G. gigantea 48.48 54.38 56.68 43.68 50.80a
Rata-rata 52.93 62.59 58.90 52.54
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5 % DMRT0.05=
6.33

A B C
Gambar 1 Penampang akar tanaman jagung varietas Bisi 2 yang terinfeksi A. tuberculata (A)
vesikula, (B) hifa, (C) akar yang tidak terinfeksi FMA

Pembahasan
Menurut Bainard et al. (2014) bahwa jumlah spora dan kolonisasi akar dipengaruhi oleh
sifat-sifat kimia material yang berbeda. Berdasarkan hasil analisis bahwa P-tersedia pada
beberapa komposisi material pembawa zeolit 100%, zeolit + pasir (1:1), dan zeolit + arang
sekam (1:1) tergolong sangat tinggi yaitu >15 mg/kg dan pada material zeolit + tanah (1:1)
yang tergolong kriteria tinggi. Ketersediaan P-tersedia yang tinggi pada material dapat
menurunkan aktivitas FMA (Cardoso et al., 2017). Lebih lanjut dijelaskan bahwa saat
tanaman berumur 120 hari, apabila konsentrasi P-tersedia sebesar 25 mg/kg akan terjadi
kolonisasi akar hampir 50% oleh FMA yang lebih tinggi dibandingkan konsentrasi P-tersedia
sebesar 200 mg/kg. Sedangkan apabila konsentrasi P-tersedia sebesar 1000 mg/kg, baru mulai
terjadi kolonisasi pada akar tanaman (Nogueira  Cardoso, 2006).
Hasbi (2005) menyatakan bahwa jumlah spora tergolong rendah apabila ditemukan 1-6
spora dalam 50 g material. Berdasarkan pendapat tersebut hasil penelitian menunjukkan
bahwa hanya komposisi material zeolit + arang sekam (1:1) yang jumlah sporanya tergolong
rendah yakni 6 spora per 50 g material. Hal ini diduga disebabkan drainase material tersebut
yang lambat sehingga ketersediaan air tinggi pada material pembawa, apabila ketersediaan air

129
Siregar et al, 2020

rendah di dalam material menyebabkan tanaman tersebut mengalami cekaman air, jika
cekaman air pada tanaman berlangsung lama akan menyebabkan pertumbuhan tanaman inang
terganggu dan pada akhirnya tanaman akan mati, hal inilah yang memacu FMA tersebut
untuk memproduksi spora yang banyak. Faktor lain diduga karena memiliki kandungan P-
tersedia yang tinggi sebesar 68.40 mg/kg dibandingkan material lainnya sehingga dapat
menurunkan perkecambahan FMA. Menurut De Miranda  Harris (1994) bahwa
pertumbuhan hifa FMA menurun secara signifikan saat P-tersedia di atas 37.5 mg/kg.
Penggunaan material zeolit 100% dapat meningkatkan hara yang diberikan teradsorpsi
dan akan dilepaskan hara secara perlahan-lahan. Pelepasan hara secara perlahan akan
menjamin terpenuhinya hara akar tanaman inang yang mempunyai kapasitas tukar kation
(KTK) tinggi sehingga sangat baik sebagai material pembawa untuk produksi spora fungi
mikoriza arbuskula (Prafithriasari  Nurbaity, 2010). Nilai KTK berkaitan dengan tingkat
kesuburan suatu material pembawa. Material pembawa dengan KTK yang tinggi mampu
menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik dibandingkan dengan KTK rendah. Hasil
ini sejalan dengan penelitian Karti et al. (2006) dan Prasetia et al. (2012) yang menunjukkan
bahwa material zeolit adalah material terbaik untuk memproduksi spora FMA.
Jumlah spora A. tuberculata dan G. gigantea lebih banyak ditemukan pada material
zeolit 100% (Tabel 2). Karti et al. (2006) melaporkan bahwa Acaulospora sp. ditemukan
dalam jumlah banyak pada material zeolit dibandingkan material pasir dan tanah latosol.
Material zeolit mampu meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi, terutama N dan K,
mengabsorpsi gas sehingga dapat menghilangkan bau, pengabsorpsi air yang tinggi sehingga
dapat melindungi akar dari kekeringan, meningkatkan pertukaran ion terutama kation dan
melepaskannya secara perlahan (slow released), serta mampu memelihara aerasi kelembaban
material pembawa dalam waktu lama (Polat et al., 2004).
Rata-rata jumlah spora A. tuberculata lebih banyak namun tidak berbeda nyata dengan
G. gigantea. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan dalam pengembangan spora masing-
masing spesies FMA. Spesies Acaulospora membutuhkan waktu lebih sedikit untuk
menghasilkan spora daripada spesies Gigaspora di lingkungan yang sama. Selanjutnya,
spesies Gigaspora biasanya membentuk miselium sebagai bentuk aktifnya dan lebih sedikit
menghasilkan spora dibandingkan spesies Acaulospora. Perbedaan jumlah spora FMA ini
juga ditunjukkan oleh Wang  Jiang (2015) yang melaporkan bahwa spesies Acaulospora
membutuhkan waktu lebih sedikit untuk menghasilkan spora karena ukuran spora yang lebih
kecil sehingga menghasilkan spora lebih banyak daripada spesies Gigaspora di lingkungan
yang sama.
Jumlah spora yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan
hasil penelitian Chalimah et al. (2007) dan Prasetia et al. (2012). Hal ini diduga dipengaruhi
oleh tingginya kadar P-tersedia pada material pembawa penelitian ini. Perkembangan FMA
dibatasi oleh ketersediaan hara unsur P, sampai batas tertentu peningkatan kadar P dapat
meningkatkan kolonisasi FMA, namun pada kadar yang semakin tinggi berpengaruh negatif.
Menurut Silva et al. (2005) bahwa kadar P yang tinggi dapat mengurangi pertumbuhan hifa
serta kolonisasi dan sporulasi FMA. Tingginya kadar P pada material pembawa dapat
menurunkan permeabilitas sel membran untuk karbohidrat, sehingga penyediaan fosintat bagi
FMA terganggu (Trisilawati et al., 2001). Namun menurut Nouri et al. (2014) bahwa tanaman
inang dapat bersimbiosis dengan FMA meskipun dibatasi salah satu unsur dari dua unsur
utama yaitu P dan N.
Tabel 3 menunjukkan bahwa jenis material pembawa yang diuji memberikan pengaruh
yang sama terhadap kolonisasi FMA dengan kategori tinggi namun material zeolit + pasir
(1:1) memberikan pengaruh lebih tinggi (62.59%) namun tidak berbeda dengan material
lainnya. Hal ini diduga karena kemampuan kapasitas tukar kation yang tinggi, material yang
bertekstur kasar dan drainase yang baik cocok sebagai medium pertumbuhan tanaman inang

130
Siregar et al, 2020

dan infeksi akar oleh FMA. Carrenho et al. (2007) menyatakan bahwa pH material, kadar
hara, kadar bahan organik dan struktur media pembawa yang berbeda mempengaruhi
perkembangan kolonisasi FMA pada akar tanaman.
Hasil ini sejalan dengan Prihantoro et al. (2015) yang menunjukkan bahwa A.
tuberculata dapat menginfeksi akar tanaman Centrosema pubescens lebih baik daripada G.
margarita dan Glomus etunicatum. Bahkan Sufaati et al. (2010) menunjukkan bahwa
Acaulospora sp mampu menginfeksi akar tanaman hampir 98% pada tanaman pertanian non-
legum. Jenis inokulum FMA yang berbeda mempengaruhi pertumbuhan tanaman inang,
kolonisasi dan sporulasi berbeda pula (Lee et al., 2013).
Persentase kolonisasi akar tertinggi akibat perlakuan A. tuberculata dijumpai pada
material zeolit + pasir (1:1) yaitu 70.80% dengan kategori tinggi, sedangkan kolonisasi G.
gigantea tertinggi pada material zeolit + arang sekam (1:1) yaitu 56.68 % dengan kategori
yang tinggi. Menurut Gaur  Adholeya (2000) rata-rata persentase infeksi FMA lebih tinggi
pada material padat yang relatif ringan, berpori, drainase baik, memungkinkan terjadi suplai
oksigen dan pertumbuhan akar yang baik. Media tersebut dapat berupa pasir sungai dan pasir
kuarsa.
Meskipun jumlah spora hasil isolasi langsung pada material pembawa zeolit 100%
tertinggi namun berbeda tidak nyata dengan material zeolit + pasir (1:1) yang memiliki
kolonisasi FMA tertinggi. Hasil ini menunjukkan jumlah spora yang banyak tidak selalu
diikuti oleh kolonisasi FMA yang tinggi. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian
Khaekhum et al. (2017) dan He et al. (2002) bahwa tingginya jumlah spora tidak diikuti
dengan tingkat kolonisasi akar yang tinggi, apabila kondisi material cocok untuk
perkecambahan spora, kolonisasi FMA meningkat dan jumlah spora menurun. Hasil ini juga
menunjukkan bahwa penggunaan material zeolit 100% dapat digantikan dengan material
zeolit + pasir (1:1) untuk kolonisasi FMA.

Pustaka
Bainard, L.D., Bainard, J.D., Hamel, C. & Gan, Y. (2014). Spatial and temporal structuring
of arbuscular mycorrhizal communities is differentially influenced by abiotic factors
and host crop in a semi-arid prairie agroecosystem. FEMS Microbiology Ecology, 88,
333–344.
Brundrett, M., Bougher, N., Dell, B., Grove, T. & Malajczuk, N., (Eds.). (1995). Working
with Mycorrizhas in Forestry and Agriculture. Australian Centre for International
Agricultural Research (ACIAR).
Cardoso, E.J.B.N., Nogueira, M.A. & Zangaro, W. (2017). Importance of mychorrhizae in
tropical soils. In: de Azevedo JL, Quecine MC (Eds.). Diversity and Benefits of
Microorganisms from the Tropics. Springer.
Carrenho, R., Trufem, S.F.B., Bononi, V.L.R. & Silva, E.S. (2007). The effect of different
soil properties on arbuscular mycorrhizal colonization of peanuts, sorghum and maize.
Acta Botanica Brasilica, 21(3), 723-730.
Chalimah, S., Muhadiono., Aznam, L., Haran, S. & Toruan-Mathius, N. (2007).
Perbanyakan Gigaspora sp. dan Acaulospora sp. dengan kultur pot di rumah kasa.
Biodiversitas, 7(4), 12-19.
De Miranda, J.C.C. & Harris, P.J. (1994). Effects of soil phosphorus on spore germination
and hyphal growth of arbuscular mycorrhizal fungi. New Phytologist, 128(1), 103-108.
Dewi, T.M., Nurbaity, A., Suryatmana, P. & Sofyan, E.T. (2017) Efek sterilisasi dan
komposisi media produksi inokulan fungi mikoriza arbuskula terhadap kolonisasi akar,
panjang akar dan bobot kering akar sorgum. Jurnal Agro, 4(1), 24-31.
Gaur, A. & Adholeya, A. (2000). Effects of the particle size of soil-less substrates upon
AM fungus inoculum production. Mycorrhiza, 10(1), 43-48.

131
Siregar et al, 2020

Ginting, I.F., Yusnaini. S., Dermiyati. & Rini, M.V. (2018). Pengaruh inokulasi fungi
mikoriza arbuskular dan penambahan bahan organik pada tanah pasca penambangan
galian C terhadap pertumbuhan dan serapan hara P tanaman jagung (Zea mays L.).
Jurnal Agrotek Tropika, 6(2), 110-118.
Hasbi, R. (2005). Studi diversitas cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada berbagai
tanaman budidaya di lahan gambut Pontianak. Jurnal Agrosains, 2(1), 46-51.
He, X., Mouratov, S. & Steinberger, Y. (2002). Temporal and spatial dynamics of
vesicular–arbuscular mycorrhizal fungi under the canopy of Zygophyllum dumosum
Boiss. in the Negev Desert. Journal of Arid Environments, 52, 379–387.
Karti, P.D.M.H., Setiana, M.A., Ariyanti, G.J. & Kusumawati, R. (2006). Penggunaan
zeolit, pasir dan tanah sebagai media tumbuh dan rumput serta legum pakan sebagai
tanaman inang untuk produksi massal inokulum cendawan mikoriza arbuskula. Jurnal
Zeolit Indonesia, 5(1), 33-36.
Khaekhum, S., Lumyong, S., Kuyper, T.W. & Boonlue, S. (2017). Species richness and
composition of arbuscular mycorrhizal fungi occurring on eucalypt trees (Eucalyptus
camaldulensis Dehnh.) in rainy and dry season. Current Research in Environmental
and Applied Mycology, 7(4), 282-292.
Lee, E.H,, Eo, J.K., Ka, K.H. & Eom, A.H. (2013). Diversity of arbuscular mychorrhizal
fungi and their roles in ecosystems. Mycobiology, 41(3), 121-125.
Masfufah, R., Proborini, M.W. & Kawuri, R. (2016). Uji kemampuan spora cendawan
mikoriza arbuskula (CMA) lokal bali pada pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine
max L.). Simbiosis, 4, 26-30.
Nogueira, M.A. & Cardoso, E.J.B.N. (2006). Plant growth and phosphorus uptake in
mycorrhizal rang purlime seeedlings under different levels of phosphorus. Pesq.
Agropec. bras, 41(1), 93–99.
Nouri, E., Breuillin-Sessoms, F., Feller, U. & Reinhardt, D. (2014). Phosphorus and
nitrogen regulate arbuscular mychorrhizal symbiosis in Petunia hybrida. PloS One,
9(6), e90841.
Prafithriasari, M. & Nurbaity, A. (2010). Infektivitas inokulan Glomus sp. dan Gigaspora
sp. pada berbagai komposisi media zeolit-arang sekam dan pengaruhnya terhadap
pertumbuhan sorgum (Sorghum bicolor). Jurnal Agrikultura, 21(1), 39-45.
Prasetia, D., Haryani, T.S. & Trisilawati, O. (2012). Efektivitas media dan tanaman inang
untuk perbanyakan fungi mikoriza arbuskular (FMA). Balitro. Bogor.
Prihantoro, A.F., Rachim., Aryanto, A.T. & Karti, P.D.M.H. (2015). Efektivitas
perbanyakan Kultur tunggal cendawan mikoriza arbuskula (Gigaspora margarita,
Glomus etunicatum, Acaulospora tuberculata) pada inang Centrosema pubescens.
Prosiding Seminar Nasional IV HITPI, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Pp. 190-193. Disampaikan pada seminar Strategi pengembangan hijauan pakan lokal
berkualitas untuk peningkatan mutu ternak, Purwokerto, 18-20 Oktober 2015.
Polat, E., Karaca, M., Demir, H. & Onus, A.N. (2004). Use of natural zeolite (clinoptilolite)
in agriculture. Journal Fruit Ornamental Plant Research. Plant Res. Special ed, 12,
183-189.
Rajapakse, S. & Miller, J.C Jr. (1992). Methods for studying vesicular arbuscular
mycorrhizal root colonization and related root physical properties. In: Norris JR,
Read DJ, Varma AK (Eds.). Methods in Microbiology 24, Techniques for the Study of
Mycorrhizae. Academic Press.
Schüßler, A. & Walker, C. (2010). The Glomeromycota: A species list of with new families
and new genera. http://www.amf-phylogeny.com/species_infos/highertaxa-
/funneliformisclaroideoglomus_rhizophagus_redeckera.pdf (Diakses tanggal 14
Februari 2019).

132
Siregar et al, 2020

Silva, F.S.B., Yano-Melo, A.M., Brandão, J.A.C. & Maia, L.A.C. (2005). Sporulation of
arbuscular mycorrhizal fungi using Tris-CHl buffer in addition to nutrient solutions.
Brazilian Journal Microbiology, 36(4), 327-332.
Sufaati, S., Suharno. & Bone, I.H. (2011). Endomikoriza yang berasosiasi dengan tanaman
pertanian non-legum di lahan pertanian daerah transmigrasi Koya Barat, Kota
Jayapura. Jurnal Biologi Papua, 3(1), 1-8.
Trappe, M. (2005). A.B. Frank and mycorrhizae: The challenge to evolutionary and
ecologic theory. Mycorrhiza, 15(4), 277-281.
Trisilawati, O., Titin, S. & Ida, I. (2001). Pengaruh mikoriza arbuskular dan pupuk fosfat
terhadap pertumbuhan jambu mente pada tanah podsolik merah kuning. Jurnal
Biologi Indonesia, 3(2), 91-98.
Vierheilig, H., Coughlan, A.P., Wyss, U. & Piché, Y. (1998). Ink and vinegar, a simple
staining technique for arbuscular-mycorrhizal fungi. Applied Environmental
microbiology, 64(12), 5004-5007.
Wang, M. & Jiang, P. (2015). Colonization and diversity of AM Fungi by morphological
analysis on medicinal plants in Shoutheast China. The Scientific World Journal
(article 753842): 1-7.

133

Anda mungkin juga menyukai