https://www.facebook.com/groups/356278057872365/permalink/1158217737678389/
Seperti halnya patung dan lukisan, puisi itu sisi lain kedirian penyair dan penghayat yang
tersusun-tata dari keajaiban semesta kata-kata, dan pada akhirnya serasa asing saat bersitatap
dengan tuannya (lifespirit, 1 Oktober 2014)
PENGANTAR
Tahun 2006 pertama kali saya bersentuhan dengan dunia virtual atau dunia maya, dan pertama
kali pula saya mulai mengenal sastra puisi secara lebih dalam dibandingkan sebelum saya
bergabung di komunitas persajakan Y!A answer.
Saya masih ingat saat pertama kali saya memosting karya puisi, karya saya tersebut dikritik habis
oleh sahabat saya, Almarhum Archi/arch222 yang pada waktu itu mengatakan karya saya tak
ubahnya seperti catatan diary, dan lebih pas disebut sampah dari pada puisi, dan bukan di room
persajakan tempatnya posting.
Apakah saya jengkel karya saya dikatai seperti itu? Kalau saya bilang tidak tersinggung, atau
tidak jengkel, itu pastinya sok sabar, sok baik, dan sok sok yang lainnya (kalau tidak boleh
dikatakan Munafik). Jengkel, kecewa, marah, adalah manusiawi, kita hanya perlu untuk
mengajak dialog mahkluk-mahkluk imut yang bernama kejengkelan, kekecewaan, dan
kemarahan diri tadi secara proporsional. Dari sana saya merasa tertantang (dalam tanda kutip)
bahwa suatu saat karya saya akan berbicara “Ini lho saya sekarang, bukan sampah!” Dari sana
saya mulai baca karya-karya sahabat di persajakan Y!A yang pada waktu itu boleh dibilang yang
aktif hanya beberapa orang saja: Resa Pundarika, Charlene, Raihan alias Kuda Biru,
Archi/arch222, Robert Wiliam Martin dan Della anna.
Terus berproses, saya cermati karya-karya Archie, Resa, dan Charlene banyak dituang dengan
puisi ber-rima akhir, sedangkan Della Anna dan Kuda Biru dan Robert Wiliam Martin lebih ke
puisi bebas. Sambil terus mempelajari karya-karya teman yang di posting, khususnya nama-
nama yang saya sebut di atas, saya akhirnya tahu kalau archi, Charlene dan Resa lagi
mempopulerkan dan mendalami puisi yang mereka sebut dengan pola tuang 444—4 kata dalam
satu larik—4 larik dalam satu bait—4 bait dalam satu puisi dan berima akhir, di taman
persajakan Y!A (kita menyebutnya Negeri di atas awan) yang menurut mereka terinspirasi pusi-
puisi pujangga lama yang indah dengan rima teratur.
Puisi 444 Archie dan charlene gaya ungkap bahasanya lebih lepas dibandingkan dengan gaya
ungkap dan gaya bahasa puisi 444 Resa Pundarika yang lebih kental pengaruh puisi-puisi china
klasik yang banyak memberinya inspirasi.
Konsep Pola Tuang 444:
1. 4 kata dalam tiap larik/baris. Kata majemuk dihitung setara 1 kata. Dalam artian empat kata,
baik kata dasar, kata sisispan, berimbuhan kata turunan dll. Pada 444 dihitung 1 kata, preposisi
(kata depan), dan simbolik tanda baca tidak dihitung.
3. 4 bait dalam satu kesatuan utuh puisi yang saling berkorespondensi/berkaitan dalam
membentuk citraan dengan rima akhir.
Beberapa puisi 444 yang ditulis saat masih aktif di Y!A answer katagori persajakan
1. Syair Cinta
1 Januari 2008
By arch222
2. NYANYIAN CINTA
Karya lifespirit:
2. TOBAT
( 2008 )
3. Terali Hati
(2008)
Beberapa contoh puisi di atas, didasarkan pada Konsep Pola Tuang 444 di bawah ini:
1. 4 kata dalam tiap larik/baris. Kata majemuk dihitung setara 1 kata. Dalam artian
empat kata, baik kata dasar, kata sisispan, berimbuhan kata turunan dll. Pada 444
dihitung 1 kata, preposisi (kata depan), dan simbolik tanda baca tidak dihitung.
3. 4 bait dalam satu kesatuan utuh puisi yang saling berkorespondensi/berkaitan dalam
membentuk citraan dengan rima akhir.
Seiring saya berproses di Y!A itulah, pada tahun 2008 saya pada akhirnya terulik simpul kreatif
saya “bisakah hanya dengan 4 huruf yang ada dalam kata dasar memuat idea, gagasan,
tema/amanat yang besar dengan susunan kata yang berima akhir dapat menghadirkan
puisi yang indah namun juga bermakna yang dalam?” maka lahirlah puisi 4444 pertama saya
pada tahun 2008 itu tapi pada saat itu saya masih menyebutnya puisi 444 karena belum terpikir
lebih lanjut tentang Konsep. Baru terpikirkan Konsep 4444 di penghujung 2009, dan tahun
2010 Konsep mulai saya tuangkan dalam bentuk esai. Dan di tahun 2010 Konsep Puisi Pola
Tuang 4444 mulai saya perkenalkan di jejaring sosial, yang tentunya ada yang pro dan kontra.
Dua puisi yang menjadi cikal bakal lahirnya Konsep puisi pola tuang 4444—Padma
@ lifespirit 19 Jan. 08
(lifespirit 2009)
Secara garis besar Konsep puisi 4444 (PADMA) tertuang di bawah ini:
1. 4 huruf dalam 1 kata—ditolerir lebih huruf jika merujuk tempat, waktu, nama orang,
hewan, tumbuhan dan nama benda mati yang karena kekhususan maknanya tidak mungkin
tergantikan kata/diksi lainnya. Penambahan unsur imbuhan, konsonan huruf rangkap—ng, ny,
sy, kh—dipandang setara 1 huruf. Diftong— ai, au, oi—vokal rangkap tidak dipandang setara
1 huruf sebab diftong terkait perhitungan kosa kata.
2. 4 kata dalam 1 larik—ditolerir maksimal 2 kata, jika kata tadi merupakan kata hubung,
kata adverbial
4. 4 bait dalam satu kesataun utuh puisi, baik pemenuhan struktur fisik puisi pun struktur
batin puisi, dengan rima akhir, di sarankan rima akhir abba baab
Mengingat, semenjak Konsep PUISI 4444 ini diperkenalkan ke public, dari tahun 2010 hingga
tulisan ini dibuat/ditulis (3 Oktober 2014). Kendala utama yang banyak menjadi sorotan dan
dipermasalahkan para pemerhati sastra puisi pada Konsep Puisi 4444-Puisi Padma, adalah
ketidakjelasan atau kerancuan pemahaman dalam memandang huruf dan kata yang
bagaimana yang dianggap khusus sehingga boleh kurang atau boleh lebih huruf pada kata
dan juga boleh lebih kata pada baris.
Puncak dari kegelisahan tanya tadi pada tanggal 30 September 2014, group PADMA, Kang
Ramdan melemparkan pertanyaan, mengutip dari pernyataan Prof. Cunong Nunuk Suraja—
Dosen mata kuliah sastra di Uniersitas Umi Khuldun Bogor, sebagai berikut: “namun seperti
kata pak Cunong, bagaimana dengan phoneme (ng dan ny dan diftong). Lalu mau
dikemanakan kata yang terdiri dari lima atau enam huruf (bibir bimbang bagus benar betul
bagai galau pulau bintang pintar pandai amboi asoi)?”
Dari pertanyaan yang terkesan sederhana, namun jawabannya tidaklah sesederhana yang tertulis
secara teks, mekanisme otak saya berfikir, “Sebuah Konsep terkait perhitungan huruf dan
kata yang diperbolehkan pada Puisi Padma hendaknya memberikan keseragaman
pemahaman pada creator dan pembaca sehingga dengan mudah dapat mengklafisikasikan
puisi mana yang 4444 dan puisi mana yang bukan termasuk dalam Konsep puisi 4444”.
Dari sana, dengan segala pertimbangan yang dalam, tanpa merubah secara total yang menjadi
Kosep dasar Puisi 4444 sebelumnya, dan tetap menjaga keunikan yang menjadi ciri Khas
Puisi 4444-Puisi Padma, yang serba 4 (empat), maka kelebihan huruf atau kekurangan huruf
dalam kata/diksi, juga kelebihan kata pada larik/baris, dengan tetap mengacu prasyarat yang
sudah ada, maka untuk untuk huruf rangkap konsonan ng, ny, kh, dan sy dipandang setara
dengan 1 huruf. Dan kelebihan kata diperbolehkan maksimal 16 kata yang
perhitungannya didasarkan pada keseluruhan isi tubuh puisi yang terdiri dari 16
larik/baris terbagi dalam 4 bait (Diharapkan dengan batasan maksimal 16 kata, keunikan
Puisi Padma—Puisi 4444 tetap terjaga, dengan dasar pemikiran 16 larik/baris dibagi 4
akan ketemu angka 4!, yakni 4 kata!).
Kejelasan tolak ukur ini sangat penting, untuk itu dengan dasar pertimbangan pemaparan saya di
atas, terhitung tanggal 3 Oktober 2014, sebagai dasar creator menulis/membuat/menciptakan/
menuangkan idea, gagasan, tema/amanat dalam Puisi pola tuang 4444—Puisi Padma adalah
sebagaimana di bawah ini:
1. 4 huruf dalam 1 kata—ditolerir lebih huruf jika merujuk tempat, waktu, nama orang,
hewan, tumbuhan dan nama benda yang karena kekhususan maknanya tidak mungkin
tergantikan kata/diksi lainnya. Penambahan unsur imbuhan, konsonan huruf rangkap—ng, ny,
sy, kh—dipandang setara 1 huruf. Diftong—ai, au, oi—vokal rangkap tidak dipandang setara
1 huruf sebab diftong terkait perhitungan kosa kata.
2. 4 kata dalam 1 larik—ditolerir lebih maksimal 2 kata, jika kata tadi merupakan kata
hubung, kata adverbial, dan kata benda
4. 4 bait dalam satu kesataun utuh puisi, baik pemenuhan struktur fisik puisi pun struktur
batin puisi, dengan rima akhir, di sarankan rima akhir abba baab
5. Terkait poin 1 dan 2, hal kelebihan kekurangan huruf, kelebihan huruf, dan kelebihan
kata (baca: penyimpangan Konsep), maka penyimpangan tatasastra tadi diperbolehkan
maksimal 16 kata yang diperhitungkan dari keseluruhan satuan isi tubuh puisi.
Untuk melengkapi penjelasan poin 1 & 2 dalam Konsep Puisi PADMA—Puisi 4444 di atas,
semoga beberapa catatan tambahan di bawah ini dapat lebih menginspirasi para pelaku sastra
dalam mengenal Konsep PUISI PADMA.
dan, atau, tetapi, sesudah, jika, agar, supaya, dengan, bahwa, karena, ketika, maka,
sedangkan, hingga, meski, lalu, sambil, serta, apabila, andaikata, sebab, sebelum, selama,
sehingga, seandainya, sekiranya, melainkan, semenjak, andaikan, bagaikan; bagai; bak,
asalkan, jangankan, walaupun. Meskipun, kendatipun, hanya, sekalipun, sungguhpun,
melainkan, sampai-sampai, tatkala, kecuali, seraya, sambil
Kata keterangan waktu: sekarang, nanti, kemarin, esok,lusa, bila hari, minggu, bulan,
tahun dll.
Kata-kata seperti: sudah, telah, akan, sedang, tidak termasuk dalam keterangan
waktu, tapi lebih pada kata yang menunjukkan terjadinya suatu peristiwa.
Suatu kata yang tidak mempunyai arti namun mempunyai fungsi sebagai penunjuk kata
tempat: di, ke, dari
Suatu kata yang menegaskan sikap dari pembicara tentang hal pernyataan.
Kepastian : memang, niscaya, pasti, sungguh, tentu, tidak, bukannya, bukan.
Pengakuan : ya, benar, betul, malahan, sebenarnya.
Kesangsian : agaknya, barangkali, entah, mungkin, rasanya, rupanya, dan lain-
lain.
Keinginan : moga-moga, mudah-mudahan.
Ajakan : baik, mari, hendaknya, kiranya.
Larangan : jangan.
Keheranan : masakan, mustahil, mana boleh.
Kata keterangan yang menjelaskan derajat berlangsungnya suatu peristiwa atau jumlah
dan banyaknya suatu tindakan dikerjakan: amat, hampir, sedikit, cukup, hanya, dll.
7. Adverbia kecaraan
Kata keterangan yang menjelaskan/menggambarkan makna, bagaimana peristiwa itu
berlangsung atau terjadi: diam-diam, pelan-pelan, cepat-cepat, jingkat-jingkat, seperti,
serupa dll
Dan beberapa kata adverbial yang sering dipergunakan dalam memperkuat pernyataan
termasuk pada karya puisi: jikalau, seandainya, biarpun, meski, meskipun, sekalipun, sebab,
karena, supaya, agar, hendak, untuk, sebagai, seperti, seakan, laksana, umpama, bagaikan,
kecuali, hanya, sekadar, sering, jarang, kadang,
Dipenghujung catatan ini, saya sertakan contoh kasus PENYIMPANGAN kurang huruf, lebih
huruf atau lebih kata, dan maksimal 16 kata dalam satu ikatan utuh puisi—dalam 16 larik yang
terbagi dalam 4 bait, tidak berlaku untuk kata yang di dalamnya ada huruf Rangkap Konsonan
ng, ny, kh, sy dengan catatan jika kata tadi dihitung adalah 4 huruf!.
Catatan: Secara fisik dan batin memenuhi PATMA. Tapi rima akhir kurang optimal
PENUTUP
Sering kita dengar dan baca pendapat seperti ini “Pusi itu bahasa ungkapan penyair, jadi puisi
itu mestinya bebas dari segala aturan yang memasung [mengikat] kreatifitas penyair
dalam menuangkan idea, gagasan, pesan, tema/amanat yang merupakan manifestasi
bahasa jiwanya.”
Pendapat seperti itu tidak sepenuhnya salah, puisi adalah dunia kata-kata tempat dimana pikiran
dan perasaan penyair hidup dan bertumbuh di sana. Dalam konteks lain saya lebih senang
menyebutnya sebagai renkarnasi olah rasa, olah imaji, dan olah pikir penghayat. Dalam artian
puisi dipandang sebagai ruh atau jiwa bebas penyair mengungkapkan gejolak perasaan
terdalamnya.
Namun pernyataan di atas juga tidak sepenuhnya benar, sebab puisi adalah media seni yang tidak
bisa dilepaskan begitu saja dengan kreatifitas seni. Dan kreatifitas seni tidak terlepas dari rasa
nyaman dan tidak nyaman pelaku seni dalam menuangkan idea, gagasan, tema/amanat pada
media tuang yang dianggapnya mampu memberi nilai tambah baik secara estetika bentuk
maupun estetika hayatan/makna. Jadi pilihan ragam pola tuang, terikat, terpola, terkonsep, atau
bebas, bahkan yang bebas pun tidak sepenuhnya bebas, sebab ada unsur-unsur mendasar yang
tidak bisa ditinggalkan sebagai ciri dari bagian seni, missal pada sastra seni tulis/lisan, adalah
tidak mungkin dihilangkan unsur yang mendasari suatu sastra seni tadi bisa di sebut Prosa atau
disebut Puisi.
“Mimpi membawa bagi kami suatu pikiran yang terlepas dari siapa dan bagaimana kami,
hingga jiwa akan mampu meluruskan sifatnya, menebarkan layar lebar dengan tali-temali yang
lebih panjang dan meluncur dengan sukacita menuju ketakterbatasan” (Helen Keller—Kayla
Pustaka; hal. 146)
Sebagai akhir tulisan ini, saya pribadi berpendapat, “Pada akhirnya bukan hal pertanyaan
pola apa yang dipakai gaya ungkap dan gaya bahasa puisi. Tapi bagaimana hasil karya
puisi dapat memberikan nilai keindahan dan manfaat bagi penyair selaku pelaku seni dan
pembaca selaku pribadi hayatan hidup, yang berbudaya.”
Referensi:
1. Catatan pribadi
2. Helen Keller—Kayla Pustaka; hal. 146
3. Berbagai sumber literatur
Tanya Jawab Terkait Konsep:
Cunong Nunuk Suraja (3 oktober 2014) Coba tegaskan dasar hitungan kata bukan huruf tapi bunyi.
Huruf hanya 26/27 sedang bunyi sampai 30 - 45 phoneme. Tingkat berikutnya apakah menghitung kata
dari segi makna akan terganjal adanya free dan bound morpheme. Lebih lanjut pada syntax dan
semantic.
Lifespirit:
CNS: “Coba tegaskan dasar hitungan kata bukan huruf tapi bunyi. Huruf hanya 26/27 sedang bunyi
sampai 30 - 45 phoneme.”
Answer: Benar, jumlah huruf ada 26 yang terbagi dalam 2 klasifikasi, 5 huruf vokal dan 21
huruf konsonan. Dasar utama saya memakai hitungan huruf dalam kata dasar, adalah untuk
mendapatkan sisi keunikan sebuah kata saat ditata menjadi serangkaian susunan kata, dan
masing-masing dari kata tersusun juga terdiri dari 4 huruf yang ada dalam kata dasar terpilih.
Pertimbangan lain saya memilih perhitungan 4 huruf dalam kata, selain unik/khas, juga kata
dasar yang terdiri dari 4 huruf tadi juga mempunyai makna. Memang penetapan prasyarat 4
huruf akan membatasi perbendaraan kata lainnya yang memiliki makna dan tidak terakomodir
oleh pembatasan 4 huruf. Maka untuk mengakomodir hal tersebut, terkait adanya pembentukan
kata dan terkait adanya penyimpangan dari pembatasan huruf, diperkenankan dengan suatu
ketentuan khusus seperti pemberian imbuhan, adanya huruf rangkap konsonan kh, sy, ng, ny
yang mana hal tadi terkait dengan pemaknaan dan bunyi (detai pada esai PUISI POLA TUANG
4444—PUISI PADMA SEBUAH KONSEP SENI).
Susunan huruf yang membentuk kata, juga dengan sendirinya akan membentuk bunyi,
membentuk makna, tergantung dari hasil susunan huruf yang membentuknya.
Misal pada puisi Padma bertajuk / LAJU KATA JADI SIAR/, saya petikan bagian bait di bawah
ini
Dengan acuan perhitungan huruf dan batasan lain hal penyimpang yang telah ditentukan, Puisi
Padma jadi terasa khas dan unik. Juga tetap tidak menghilangkan hal-hal yang menjadi
bagian/instrument pusi, missal pada larik 3 puisi di atas, perubahan fonem huruf (l) dan (b) pada
kata /luka/ dan /buka/ menjadikan pergeseran maka dan bunyi. Jadi di sini bunyi dan makna
terkait seni puisi, tidak terlepas dari kemampuan penyair dalam memahami bahasa dengan segala
aspek yang menyerta. Dan ini juga yang kian mempertegas saya memilih perhitungan huruf
dalam kata, pada puisi 4444.
CNS: Tingkat berikutnya apakah menghitung kata dari segi makna akan terganjal adanya free dan bound
morpheme. Lebih lanjut pada syntax dan semantic.
Answer: Dengan adanya pembatasan diperbolehkan adanya penyimpangan maksimal 16 kata
dalam perhitungan satu kesatuan isi dalam tubuh puisi yang terbagi dalam 67 kata yang terbagi
dalam 16 larik yang terbagi dalam 4 bait, maka kemampuan kreatifitas creator semestinya tidak
akan terganjal adanya gejala bahasa pun hal-hal terkait intrisik, eksttrisik, semantic, structural semantic
dll.
CNS (5 Oktober 2014): kata cakra - lodra - kriya - krida - kreta - kroto - matra - patri - srutu -
brutu termasuk diijinkan dihitung bunyi gabung -dr-tr-sr-br-pr-fr-gr-jr-mr-nr-wr?
PADMANABA)*
NgIndonesia 2014
)* teratai merah
lifespirit answer: Dalam konteks ini saya tidak menghitungnya berdasarkan bunyi oleh adanya
pengaruh dari fonem (satuan terkecil terkait bunyi yang merubah makna). Namun saya lebih
memandangnya dari grafem (tentang hal terkait huruf). Jadi seperti halnya huruf rangkap
konsonan ng, ny, sy, kh, maka huruf konsonan rangkap lainnya yang tidak bisa dipisah karena
huruf konsonan rangkap tadi melekat dengan huruf terdekatnya dalam membentuk bunyi, akan
dihitung 1 (satu) huruf. Misal huruf rangkap /pr/ pada kata praktik /pr/ di sini melekat dengan
huruf terdekat /ak/ dalam pembentukan bunyi. Sedangkan huruf konsonan rangkap /kt/ pada
/praktik/ secara grafem /kt/ tidak bisa dianggap satu huruf, sebab dalam pembentukan bunyi /kt/
saling melekat secara terpisah pada masing-masing huruf terdekatnya /ak/ dan /ti/.
Karena Pola 4444 atau PADMA ini tidak didasarkan dengan fonem yang secara perhitungan
bukan didasarkan pada huruf tapi pada suku kata, maka saya memakai pendekatan grafem
(hal terkait huruf), namun untuk menentukan apakah huruf konsonan rangkap tadi dihitung
1(satu) huruf apa tidak, kita bisa terlebih dahulu memakai cara pembelahan/pemisahan pada suku
kata.
Misal huruf konsonan rangkap pt, ks, rg, , dr, tr, sr, br, pr, fr, gr, jr, mr, rm, mp, nr, kl, ps, as,
sn, kt, lm, fs, st, dll.
Apakah semua huruf rangkap di atas dihitung satu huruf atau tidak secara grafem, maka kita
bisa lakukan pendekatan pemisahan secara suku kata dulu.
Terkait perhitungan kurang huruf, lebih huruf, dan lebih kata pada PUISI PADMA—PUISI 4444
maka puisi bertajuk /PADMANABA/ karya Cunong Nunuk Suraja secara bentuk penyajian
menyerupai puisi 4444, namun jika dicermati secara Konsep Perhitungan pada Puisi Padma, ada
27 kata penyimpangan yang melebihi dari batas maksimal 16 kata yang diperbolehkan lebih dan
kurang dengan acuan sesuai poin 1 dan 2 dalam Konsep PADMA.
salam lifespirit!