Anda di halaman 1dari 305

SAINS

ISLAM
DAN PEMBENTUKAN
RENAISSANS
EROPA
GEORGE SALIBA

The MIT Press


Cambridge, Massachausets
London, England

2007

Ditrasnsliterasikan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:

Agung Sholihin, Andi Gumungtiri, Argarry Akbar, Faiq Falahi, Hidayat Edi Santoso, Lexi Z.
Hikmah, Moch. Taufiqurrahman, Novie Febrianti, Rico, Rinawati, Rizky Prayogo, Rusdiana,
Saifil Muiz, Sofyan R.H. Zaid.

Desember, 2023
14x20. hlm. vii + 294

Sebagai pemenuhan tugas UAS mata kuliah Ilmu dan Sejarah Peradaban Islam program
Magister Ilmu Agama Islam,Universitas Paramadina, bersama Prof. Dr. Herdi Syahrazad.
Daftar Isi

Pengantar iii

1. Tradisi Ilmiah Islam: Pertanyaan tentang Permulaan I 1


2. Tradisi Ilmiah Islam: Pertanyaan tentang Permulaan II 26
3. Pertemuan Dengan Tradisi Ilmiah Yunani 74
4. Astronomi Islam Mendefinisikan Dirinya Sendiri:
Inovasi-inovasi Kritis 134
5. Sains, Antara Filsafat dan Agama: Kasus Astronomi 173
6. Sains Islam dan Renaissans Eropa: Koneksi Copernican 195
7. Era Kemunduran: Kesuburan Pemikiran Astronomi 232

Catatan dan Rujukan 256


Bibliografi 280
Index 294

II
Pengantar

Ini pada dasarnya adalah sebuah esai historiografi. Buku ini mengkritik tren historiografi ilmu
pengetahuan Islam dan Arab saat ini dan berupaya memanfaatkan temuan-temuan sejarah
terbaru untuk mengusulkan historiografi baru yang dapat menjelaskan dengan lebih baik
perkembangan ilmiah dan, dalam pengertian yang lebih umum, tren-tren utama dalam sejarah
intelektual peradaban Islam. Hal ini menyentuh periodisasi, hubungan sains dengan lingkungan
intelektual umum, dimensi sosial dan politik dari produksi ilmiah, dan hubungan antara detil
teknis ilmiah, dalam disiplin tertentu serta dukungan dan pengakuan sosial dari disiplin ilmu
tersebut.

Gagasan utama yang dibahas di sini telah diartikulasikan, sebagai pendahuluan, dalam buku
saya al-Fikr al-'ilmi al-'Arabi (Balamand University Press, Lebanon, 1998). Kini buku tersebut
tersedia—yang dikembangkan secara lebih luas dalam beberapa bidang utama yang lain—bagi
mereka yang tidak bisa membaca bahasa Arab. Tesis utama yang diungkapkan dalam tesis di
buku ini dari yang sebelumnya di dalam al-Fikr didukung oleh bukti yang lebih lengkap. Lebih
jauh lagi, literatur-literatur baru yang muncul sejak terbitnya al-Fikr, khususnya yang memuat
tesis utama buku tersebut, dikritik dalam buku ini. Maka, hal ini dapat dilihat sebagai kritik
terhadap isi literatur tersebut, dan terhadap kesimpulan yang dicapai di dalamnya. Penelitian
yang cermat terhadap kesimpulan-kesimpulan tersebut diperlukan karena adanya bukti-bukti
baru yang menimbulkan keraguan mengenai validitas kesimpulan-kesimpulan tersebut.

Istilah "ilmu pengetahuan Islam" dan "astronomi Arab", yang digunakan secara luas dalam
buku ini, memerlukan penjelasan yang jelas. Yang dimaksud dengan “ilmu pengetahuan Islam”
adalah ilmu-ilmu yang dikembangkan dalam peradaban Islam dan tidak termasuk dalam
lingkup disiplin ilmu yang biasanya disebut dengan ungkapan Arab al-'ulum al-islamiya
(ilmu-ilmu Islam). Rumpun ilmu yang disebut terakhir itu biasanya membahas pemikiran
keagamaan Islam secara mutlak dan karenanya tidak menjadi perhatian utama dalam buku ini.
Sebaliknya, “ilmu-ilmu Islam” yang dipelajari di sini adalah yang biasanya dianggap sebagai

III
bagian dari ilmu-ilmu yang “asing” atau “rasional” ('ulum al’-awail atau ulum al-aqliya), atau
bahkan ilmu-ilmu "filosofis" (al-'ulum al-falsafiya atau al-hikmiya), pada zaman Islam klasik,
dan sama sekali tidak menunjuk pada ilmu agama, fiqih, tafsir, linguistik, atau ilmu-ilmu
Al-Qur'an yang biasanya digolongkan tersendiri sebagai al-'ulum al-naqliya (ilmu-ilmu yang
ditranmisikan). Oleh karena itu, di sini, kata "Islam" digunakan dalam pengertian peradaban
yang lebih kompleks dan bukan dalam pengertian keagamaan itu.

Istilah "Arab" mendapat validasi dalam dua cara utama: Pertama, bahasa Arab telah lama
menjadi bahasa ilmiah peradaban Islam, dari abad kedelapan dan kesembilan hingga zaman
kita sekarang, sama seperti bahasa Arab., ilmu-ilmu agama juga, terlepas dari wilayah
geografis di mana ilmu-ilmu tersebut ditulis atau dipelajari. Kondisi-kondisi ini, yang terjadi
sepanjang sebagian besar sejarah Islam, membuka berbagai jalan bagi orang-orang dari
berbagai ras dan latar belakang agama untuk berpartisipasi dalam produksi peradaban ini.
Orang-orang yang sama mungkin berbicara dalam bahasa Persia, Syria, atau bahkan kemudian
bahasa Turki dan Urdu di rumah. Namun mereka sebagian besar mengekspresikan produksi
intelektual mereka, dan khususnya bagian ilmiahnya, dalam bahasa Arab, misalnya seperti Ibnu
Maymun (Maimonides) yang menulis sebagian besar karya filosofis dan medisnya dalam
bahasa Arab sambil menggunakan bahasa Ibrani untuk produksi keagamaan dan yuridisnya.
Kedua, sejarah disiplin ilmu astronomi digunakan dalam buku ini sebagai acuan untuk
menggambarkan periodisasi dan naik turunnya pemikiran ilmiah Islam pada umumnya. Dan
jenis ilmu astronomi yang paling lazim dalam peradaban Islam, dan juga paling dinamis,
adalah ilmu astronomi baru yang disebut 'ilm al-hay'a (ilmu tentang konfigurasi [dunia] =
Astronomi) , sebuah frasa Arab yang--sebenarnya--tidak ada padanannya dalam bahasa Yunani.
Astronomi inilah yang terus ditulis hampir secara eksklusif dalam bahasa Arab sejak abad
kesembilan. Astronomi inilah yang menjadi fokus utama buku ini. Lebih jauh lagi, sepanjang
sejarah intelektual Islam, tidak pernah ada istilah “Astronomi Arab” yang mungkin diartikan
bahwa astronomi ini dengan cara apa pun terbatas pada lingkup geografis wilayah berbahasa
Arab, atau bahwa bahasa Arab adalah wilayah yang berbahasa Arab sebagai bahasa eksklusif
disiplin itu. Cara penggunaan istilah ini di sini berarti bahwa bahasa Arab jelas merupakan
bahasa yang digunakan dalam sebagian besar karya disiplin ini ditulis, sebagaimana dibuktikan
oleh sebagian besar teks yang masih ada.

Meskipun buku ini ditulis dalam bahasa Inggris, dan mungkin nantinya akan muncul dalam
bahasa-bahasa Eropa lainnya, pesan utamanya mungkin akan diterima secara berbeda oleh para
pembaca yang merasakan rasa kekeluargaan dengan peradaban Islam, apapun afiliasi ras,

IV
kebangsaan, bahasa, atau agama mereka. Bagi para pembaca, isu-isu yang dibahas di sini
mungkin akan menjadi yang paling masuk akal, terlepas dari apakah mereka ingin menyebut
produksi ini sebagai produksi Islam atau Arab. Dan kepada para pembaca yang sama, saya
menyampaikan undangan untuk berpartisipasi dalam diskusi yang saya harap dapat dihasilkan
oleh buku ini.

Namun saya harus segera mengingatkan para pembaca untuk tidak membaca buku ini sebagai
sebuah ekspresi kehebatan tradisi ilmiah Islam, meskipun ia memang merupakan salah satu
tradisi terbesar di antara tradisi-tradisi tersebut, namun membacanya sebagai sebuah ajakan
untuk merefleksikan makna sejarah mereka sendiri, terutama di masa “pasca-kolonial” namun
sangat “kolonial” bagi dunia Muslim dan Arab.

Saya dengan tulus ingin mengajak para pembaca untuk mempertimbangkan pada akhirnya jenis
sejarah yang dapat ditulis ketika kita tidak lagi menekankan sejarah politik dan agama yang
lazim yang sering dinarasikan tanpa membuat mual, dan lebih mengutamakan produksi ilmiah
serta kompleksitas sosial, ekonomi, dan kondisi intelektual yang memungkinkan terjadinya
produksi tersebut.

Jika ada pelajaran yang bisa dipetik di sini dari sejarah ilmu pengetahuan untuk zaman modern
kita, dan jika ada harapan untuk belajar sesuatu tentang mekanisme sosial, politik, dan ekonomi
yang memungkinkan produksi ilmu pengetahuan menjadi makmur, untuk tujuan pembangunan
modern di dunia yang hampir semua negara berkembang, terlepas dari warisan agama atau
budayanya, harus berpijak pada sejarah ilmu pengetahuan yang memperhatikan seluk-beluk
teknis pemikiran ilmiah itu sendiri, dan pada saat yang sama menyelidiki aspek sosial, politik,
situasi ekonomi yang meliputinya, yangmana dalam sudut pandang tersebut masih
memungkinkan pemikiran ini berkembang. Buku ini dimaksudkan untuk menjelaskan hal
tersebut.

Sekarang saya beralih ke tugas yang paling menyenangkan, yaitu menyebut semua bantuan
yang saya terima selama ini sehingga buku ini dapat terwujud. Dalam hal ini, rasa terima kasih
saya yang terdalam pertama-tama harus saya sampaikan kepada M. Francois Zabbal, dari
Institut du Monde Arabe (Paris), karena telah memungkinkan pengungkapan pertama buku ini
ketika beliau mengundang saya untuk memberikan isi awalnya sebagai serangkaian ceramah di
bawah naungan La Chaire de l'Institut du Monde Arabe sepanjang musim semi tahun 2004.
Namun tentu saja masih banyak lagi yang namanya tidak disebutkan karena menghindari
ketaktersebutan sejumlah nama karena begitu banyaknya nama yang hendak disebutkan.

V
Namun, dalam proses mengubah isi ceramah-ceramah awal tersebut menjadi sebuah buku, saya
tidak bisa tidak memberikan penghormatan kepada orang-orang tertentu yang tanpa nasihat dan
dorongannya buku ini tidak akan pernah terbit. Di antara mereka yang mewujudkan buku ini
adalah Jed Buchwald, editor seri (jurnal?--pen) Transformations, dan kolega serta teman saya
Noel Swerdlow. Dorongan yang saya terima dari kedua orang tersebut dan kritik-kritik yang
sangat berharga sungguh tak terhitung banyaknya, dan tentunya sangat membantu
menyelamatkan saya dari banyak kesalahan dan kekeliruan. Apapun kesalahan dan salah
pernyataan yang ada, sepenuhnya merupakan kesalahan saya sendiri dan tidak ada orang lain
yang boleh dianggap terlibat dalam kebodohan saya.

Ucapan terima kasih yang khusus juga harus saya sampaikan kepada M. Alain Segonds, dari
Belles Lettres, Paris, yang membaca naskah ini dengan sangat teliti ketika masih dalam tahap
paling awal, dan yang menyarankan sejumlah koreksi yang membantu saya untuk
mempertajam argumen. Saya juga berhutang budi kepada para mahasiswa saya dan kepada
berbagai kalangan yang telah mengikuti kuliah umum saya selama bertahun-tahun, ketika saya
pertamakali mulai menggali bibit-bibit gagasan tersebut, yang belum dirumuskan secara utuh,
dan kini dikembangkan lebih lanjut dalam buku ini. Orang-orang itu dengan sabar
mendengarkan apa yang bagi mereka terdengar seperti pemikiran setengah matang, dan, selalu
mendorong saya untuk mengembangkan ide-ide tersebut lebih jauh guna mencapai bentuk yang
telah saya capai sekarang.

Pada saat yang sama saya juga berterima kasih kepada semua pihak (kawan-kawan Prancis)
yang telah menjadikan malam musim semi di Paris begitu indah sebab telah setia
berbondong-bondong datang ke Institut du Monde Arabe di Paris, setiap Selasa malam, selama
enam minggu pada bulan Mei dan Juni 2004 , untuk berpartisipasi dalam presentasi formal
ceramah yang menjadi dasar buku ini. Kepada orang-orang tersebut, saya secara khusus
berterima kasih kepada mereka yang mengajukan berbagai pertanyaan menantang yang
memaksa saya untuk mempertimbangkan kembali sejumlah besar permasalahan dan
mengartikulasikannya kembali dengan lebih tepat. Namun pertanyaan-pertanyaan tersebut
tidak akan muncul jika bukan karena tim penerjemah secara simultan dan begitu rajin
menerjemahkan ceramah bahasa Inggris saya yang tidak tertulis ke dalam bahasa Prancis yang
koheren; suatu prestasi yang terus membuat saya takjub.

Semua orang tersebut sama sekali tidak bertanggung jawab atas ambiguitas yang tak
terhindarkan yang mungkin masih ada dalam usulan formulasi historiografi ilmiah Arab yang

VI
baru ini. Karena sifat dari proposal ini menjadikannya rentan terhadap bahaya eksperimental
yang ditimbulkan oleh hal-hal baru.

Saya juga berhutang budi kepada teman-teman dan rekan-rekan saya, baik di Amerika Serikat
maupun di Perancis, yang bidang keahliannya sangat mirip dengan sejarah ilmu pengetahuan
Arab, dan yang telah memberikan apresiasi terbesarnya kepada saya dengan menghadiri kuliah
di IMA dan dengan menunjukkan, demi kebaikan saya, kekuatan dan kelemahan argumen yang
saya buat di sana. Perbaikan-perbaikan halus itulah yang tidak dapat lagi dipisahkan dari alur
pemikiran utama saya, juga tidak dapat dicatat secara terpisah, yang kini telah menjadi bagian
tak terpisahkan dari keyakinan saya dan, tentu saja, menjadi masukan bagi pemikiran terkini
saya mengenai subjek tersebut. Dalam pengertian global ini, saya berterima kasih kepada
mereka atas perbaikan tersebut. Namun begitu, saya tetap harus menyebutkan teman-teman dan
rekan-rekan saya yang terkasih: Profesor Muhsin Mahdi dari Harvard, yang menyemangati
saya dengan kehadirannya di beberapa kuliah bahkan ketika dia sedang tidak enak badan, dan
M. Maroun Aouad, dari CNRS di Paris, karena telah memberi saya kesempatan menyenangkan
dalam berargumen selama bertahun-tahun, dan yang tidak pernah gagal menunjukkan
kebodohan saya dengan sangat sopan. Sekarang dia jelas menyadari bahwa dia belum berhasil
menyembuhkan saya sepenuhnya. Kebodohan yang masih ada dalam buku ini dapat dengan
mudah membuktikan hal itu. Namun jika salah satu argumen yang saya buat di sini dapat
memberikan sedikit perubahan dalam mengubah pemikiran masyarakat tentang hakikat ilmu
pengetahuan Arab dan Islam, maka semua argumen tersebut tidak akan sia-sia, dan sebaliknya,
saya dengan senang hati menerima tanggung jawab atas kegagalannya jika itu terjadi.

Juga kepada editor naskah di The MIT Press yang dengan baik hati mau mendengarkan saya
dan mengikuti permintaan saya untuk "bersikap ringan" (atas naskah buku ini--pen).

Yang terakhir, saya juga harus berterima kasih kepada semua orang-orang luar biasa di Pusat
Perpustakaan Kongres Kluge yang memungkinkan penerbitan buku ini dengan menawarkan
kepada saya, selama tahun cuti panjang saya, sebuah ruang kerja yang saya gambarkan sebagai
portal terdekat ke surga sejauh yang pernah saya lihat.

VII
SAINS
ISLAM
DAN PEMBENTUKAN
RENAISSANS
EROPA
GEORGE SALIBA

VIII
1. Tradisi Ilmiah Islam:
Pertanyaan tentang Permulaan I

Bab ini dan bab berikutnya membahas salah satu aspek paling menarik dari peradaban Islam:
kebangkitan tradisi ilmiah yang penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan universal di
zaman pra-modern. Bab-bab ini dihubungkan dengan judul yang sama, untuk menunjukkan
saling ketergantungannya. Bab pertama ini mensurvei berbagai teori yang menjawab
pertanyaan mengapa dan kapan tradisi ilmiah ini muncul. Ini dimulai dengan penjelasan rinci
tentang teori-teori tersebut. Kritik berikut ini membahas kegagalan mereka dalam menjelaskan
fakta-fakta yang kita ketahui dari sumber-sumber ilmiah dan sejarah utama pada masa awal
Islam; hal ini juga menjadi landasan bagi penjelasan alternatif atas fakta-fakta tersebut pada
bab berikutnya. Karena struktur ini, pembaca mungkin akan menjumpai banyak pertanyaan
yang belum terjawab di bab pertama, dan akan berulang kali diminta menunggu jawaban yang
akan muncul di bab kedua.

Hampir tidak ada buku mengenai peradaban Islam, atau tentang sejarah ilmu pengetahuan
secara umum, yang tidak mengakui pentingnya tradisi ilmiah Islam dan peran tradisi ini dalam
perkembangan peradaban manusia secara umum. Para penulis berbeda dalam hal berapa
banyak ruang yang mereka alokasikan untuk peran ini, namun mereka semua tampaknya
sepakat dalam sebuah narasi dasar, yang akan saya sebut sebagai narasi klasik. Garis besar
narasi ini berasal dari Abad Pertengahan dan Renaisans dan telah diulang berkali-kali.

Narasi tersebut tampaknya dimulai dengan asumsi bahwa peradaban Islam adalah peradaban
gurun pasir, jauh dari kehidupan perkotaan, yang mempunyai peluang kecil untuk
mengembangkan sendiri ilmu pengetahuan yang dapat menarik minat budaya lain. Peradaban
ini mulai mengembangkan pemikiran ilmiah hanya ketika bersentuhan dengan peradaban lain
yang lebih kuno, yang diasumsikan lebih maju, namun dengan nuansa tertentu menjadi “maju”.

1
Peradaban kuno yang dimaksud adalah peradaban Yunani-Hellenistik di tepi barat, dan
tumpang tindih dengan, wilayah geografis peradaban Islam, dan peradaban Sasanian (dan juga
India) di timur dan tenggara. Peradaban-peradaban di sekitarnya biasanya mempunyai
sifat-sifat kuno, produksi ilmiah tingkat tinggi (setidaknya pada suatu waktu dalam sejarah
mereka), dan dengan tingkat vitalitas intelektual yang tidak mungkin ada pada peradaban gurun
Islam. Narasi yang sama selalu menceritakan upaya yang memang dilakukan pada masa Islam:
penggunaan aktif ilmu-ilmu peradaban kuno melalui proses penerjemahan yang disengaja. Dan
gerakan penerjemahan ini konon mencakup hampir seluruh teks ilmiah dan filosofis yang
pernah dihasilkan oleh peradaban kuno tersebut.

Narasi klasik kemudian melanjutkan dengan menceritakan bagaimana penerjemahan tersebut


terjadi pada periode awal masa Abbasiyah (sekitar tahun 750-900 M) dan bagaimana
penerjemahan tersebut dengan cepat menghasilkan zaman keemasan ilmu pengetahuan dan
filsafat Islam. Dalam konteks ini, hanya sedikit penulis yang mampu mengkarakterisasi zaman
keemasan Islam ini lebih dari sekadar reka ulang kejayaan Yunani kuno, dan tidak lebih dari
kejayaan India kuno atau Iran Sasanian. Kadang-kadang ada yang berani mengatakan bahwa
produksi ilmiah Islam memang menambah beberapa fitur pada kumpulan ilmu pengetahuan
Yunani, namun penambahan ini biasanya tidak digambarkan sebagai sesuatu yang tidak dapat
dilakukan oleh orang-orang Yunani jika mereka diberi waktu yang cukup. Misalnya saja, tak
seorang pun berani menyatakan bahwa para ilmuwan yang bekerja pada zaman Islam bisa saja
menghasilkan ilmu pengetahuan jenis baru (berbeda dengan ilmu pengetahuan yang
dipraktikkan pada zaman Yunani klasik), atau menyatakan secara tidak langsung bahwa para
ilmuwan tersebut mungkin telah mencapai kemajuan. Disadari kemudian, dari sudut pandang
Islam di kemudian hari, bahwa ilmu pengetahuan Yunani, yang tersedia bagi mereka melalui
proses penerjemahan yang panjang, pada dirinya sendiri masih kurang dan penuh dengan
kontradiksi.

Namun, narasi klasik tetap membayangkan bahwa ilmu pengetahuan Islam yang didorong oleh
terjemahan-terjemahan ekstensif ini hanya berumur pendek sebagai sebuah usaha karena segera
berkonflik dengan kekuatan-kekuatan yang lebih tradisional dalam masyarakat Islam, yang
biasanya dianggap sebagai salah satu jenis ortodoksi agama, atau lainnya. Serangan anti-ilmiah
yang dilakukan oleh mereka yang sangat ortodoks, diperkirakan mencapai puncaknya pada
karya terkenal teolog abad kesebelas-kedua belas Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111). Karya
besar Al Ghazali yang banyak dikutip dalam hal ini adalah karyanya Tahafut al-Faliisifa
(Kerancuan Para Filsuf), yang terkadang juga disalah artikan sebagai Tahafut al-Falsafa

2
(kerancuan filsafat).

Berkat keberuntungan dan kebetulan, Barat Latin mulai bangkit pada waktu yang hampir
bersamaan. Dan kebangkitan ini memicu gerakan penerjemahan yang mengidentifikasi dan
menerjemahkan teks-teks filosofis dan ilmiah utama Arab ke dalam bahasa Latin selama
periode yang kemudian dikenal sebagai Renaisans abad kedua belas. Beberapa teks yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada periode ini telah diterjemahkan dari teks-teks
Yunani dan Sansekerta yang jauh lebih awal ke dalam bahasa Arab. Saya khususnya
memikirkan karya-karya besar Yunani seperti Almagest karya Ptolemeus (w. ca. 150 M) dan
Elements of Euclid (w. ca. 265 SM), yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab lebih dari
satu kali selama abad kesembilan. Sebuah abad, dimana masuknya angka-angka India melalui
bahasa Arab ke Eropa, yang kemudian dikenal sebagai angka "Arab".

Narasi klasik melanjutkan dengan dalil bahwa sejak saat itu Eropa tidak membutuhkan materi
ilmiah Arab, dan bahwa tradisi ilmiah Islam mulai menurun akibat serangan karya-karya
Ghazali sehingga tidak lagi dianggap penting oleh budaya lain. Dalam skema besarnya,
Renaisans Eropa kemudian dicirikan sebagai upaya yang disengaja untuk mengabaikan materi
ilmiah Islam, dengan kata lain tindakan “apropriasi”, dan untuk menghubungkan kembali
secara langsung dengan warisan Yunani-Romawi, di mana hampir semua ilmu pengetahuan
dan ilmu pengetahuan berada. Filsafat Eropa dimulai kembali, dan di mana Renaisans Eropa
dapat menemukan sumbernya.

Kritik terhadap Narasi Klasik

Berikut ini, saya ingin menjadikan narasi klasik ini mendapat kritik dan menunjukkan beberapa
masalah yang gagal dipecahkan di dalamnya. Ini dilakukan sebelum saya mengusulkan, di bab
berikutnya, sebuah narasi alternatif yang, menurut saya, menjadi penyebabnya. Sebuah
pembeberan fakta sejarah dengan cara yang jauh lebih komprehensif. Saya melakukan hal ini
karena narasi klasik meninggalkan kita dengan beberapa masalah yang belum terselesaikan
yang tidak bisa kita abaikan jika kita ingin memahami proses aktual munculnya ilmu
pengetahuan Islam pada saat itu, dan dengan cara yang lebih umum proses yang dengannya
ilmu pengetahuan Islam muncul yangmana ilmu pengetahuan, secara umum, lahir dan
dipelihara di masyarakat mana pun. Namun untuk melakukan hal itu, pertama-tama saya harus
mendekonstruksi beberapa prinsip dasar narasi klasik tersebut.

Bahwa peradaban Islam terisolasi di lingkungan gurun merupakan penyederhanaan yang

3
berlebihan. Sebagaimana diketahui, peradaban Islam muncul di sekitar kota Mekkah dan
Madinah serta di sekitar wilayah suku-suku Arab bagian utara dan kota-kota yang sebenarnya
bukan padang pasir. Dalam lingkungan tersebut, peradaban Arab pra-Islam telah
mengembangkan beberapa ilmu dasar astronomi dan kedokteran yang bertahan hingga zaman
Islam. Dalam bab yang ditulis sekitar 15 tahun yang lalu namun baru diterbitkan pada tahun
2001, saya mencoba merangkum ilmu pengetahuan Arab pra-Islam, dan sampai pada
kesimpulan bahwa ilmu-ilmu yang dapat didokumentasikan di sana tidak jauh berbeda
kualitasnya dengan ilmu-ilmu yang ada di daerah sekitar Byzantium, Sasanian Iran, atau
bahkan India. [1]

Namun yang paling penting, narasi klasik ini meninggalkan pada kita permasalahan yang lebih
serius dan tidak dapat dijelaskan, baik yang berkaitan dengan awal mula ilmu pengetahuan
Islam maupun yang berkaitan dengan kemunduran dan akhirnya kehancurannya. Dalam hal
permulaan, narasi klasik menciptakan kesan bahwa kelahiran ilmu pengetahuan Islam terjadi
pada periode awal masa Daulah Abbasiyah, terutama pada paruh akhir abad kedelapan dan
awal abad kesembilan dari satu atau lebih proses transformasi berikut:

(1) Kontak antara peradaban Islam yang baru lahir dan peradaban kuno Byzantium dan Iran
Sasan diperkirakan terjadi ketika wilayah peradaban Islam meluas ke luar Jazirah Arab dan
mewarisi wilayah peradaban sebelumnya atau berbagi wilayah geografis yang luas dengan
mereka.[2] "Teori kontak" ini mempunyai keunggulan tersendiri dalam menjelaskan lahirnya
ilmu pengetahuan Islam sebagai akibat dari kekuatan-kekuatan luar; sebuah sifat yang sudah
ditandai oleh pembacaan tertentu atas sumber-sumber Arab klasik. Sumber-sumber tersebut
misalnya berbicara tentang “ilmu-ilmu kuno” ketika mereka ingin mendeskripsikan ilmu-ilmu
yang dibawa ke dalam peradaban Islam dari luar, atau ketika mereka ingin membandingkan
ilmu-ilmu tersebut dengan “ilmu-ilmu Islam” (biasanya dipahami sebagai ilmu agama yang
tumbuh dalam peradaban). Kadang-kadang kedua ilmu tersebut dianggap bertentangan secara
langsung.

Kelemahan dari teori ini adalah bahwa teori ini tidak dapat memberikan penjelasan atas
kualitas tinggi teks-teks ilmiah dan filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
selama periode kontak pada masa awal Abbasiyah ketika budaya-budaya kontemporer di
sekitarnya pada saat itu belum berpartisipasi dalam hal ini produksi teks-teks tersebut
berabad-abad sebelum masuknya Islam.[3] Dengan kata lain, teks-teks ilmiah dan filosofis yang
biasanya disebut dengan istilah “ilmu-ilmu kuno” dalam sumber-sumber Arab klasik, memuat
materi yang sudah ditulis pada periode klasik Islam. Peradaban Yunani, dan sebagian besar

4
memang dihasilkan sebelum abad ketiga atau keempat Masehi. Sejauh yang kami tahu, dan
sejauh yang ditunjukkan oleh sumber-sumber, tidak ada aktivitas serupa yang terus terjadi di
peradaban Bizantium[4] atau Sasanian yang dapat menghasilkan, mengedarkan teks-teks
tersebut dan dengan demikian membuatnya tersedia bagi para penerjemah yang bekerja dalam
gerakan penerjemahan ekstensif pada awal masa Abbasiyah. Ketika kita mengkaji gerakan
penerjemahan tersebut, kita menemukan penerjemah seperti Hunain bin Ishaq (w. 873) mencari
teks-teks ilmiah Yunani klasik di seluruh wilayah Bizantium kuno, dan terkadang gagal
menemukan apa yang dibutuhkan.[5] Dalam kondisi seperti itu, ketika buku-buku tidak
diajarkan atau digunakan dalam peredaran luas, bagaimana kontak bisa menghasilkan transfer
pengetahuan yang positif dan efektif? Narasi klasik tidak mempunyai jawaban yang
meyakinkan terhadap pertanyaan yang begitu jelas.

Selain itu, agar kontak ilmiah dapat berhasil, wajar jika kita berasumsi bahwa kedua budaya
tersebut harus berada pada tingkat perkembangan yang sama sehingga ide-ide dari satu budaya
dapat dengan mudah diterima di budaya lain.

(2) Mereka yang sadar akan kelemahan teori kontak, dan kegagalannya dalam
mendokumentasikan para ilmuwan kontemporer dari Byzantium atau Sasanian Iran yang dapat
menghasilkan teks-teks serupa dengan yang dicari oleh para penerjemah pada masa Abbasiyah
(itu adalah, teks-teks dari kualitas teks-teks ilmiah dan filosofis Yunani kuno yang lebih klasik),
berpikir mereka dapat menghindari jebakan tersebut dengan mengusulkan bentuk transfer lain
yang saya sebut teori transmisi saku.[6]

Dalam teori baru ini, asumsi dibuat tentang kelangsungan teks ilmiah dan filosofis kuno di
beberapa kota di Byzantium atau di Kekaisaran Sasanian yang saat itu sudah tidak ada lagi. Di
kota-kota tersebut, teks-teks ilmiah Yunani klasik seharusnya dilestarikan. Antiokhia (tempat
lahirnya agama Kristen awal), Harran (tempat banyak legenda dicatat dalam sumber-sumber
Islam kemudian), dan Jundlshapur (tempat akademi, rumah sakit, dan observatorium
seharusnya berkembang) semuanya disebutkan pada suatu waktu atau yang lain sebagai gudang
utama teks-teks Yunani klasik kuno.

Namun melestarikan teks-teks abad kedua selama ratusan tahun, atau bahkan membuat salinan
baru ketika diperlukan di Baghdad (seperti yang dilakukan pada abad kesembilan[7]), tidak
dapat menjamin bahwa akan ada orang yang dapat memahami teks-teks tersebut, ketika
kitab-kitab tersebut sedang dicari untuk diterjemahkan[8] pada masa Abbasiyah, sekitar 700
tahun setelah kitab-kitab tersebut ditulis. Selain itu, ide-ide ilmiah dan filosofis biasanya

5
berkembang melalui diskusi terbuka. Dan kecil kemungkinannya bahwa diskusi semacam itu
akan terjadi antara abad keempat dan kedelapan dalam jumlah yang cukup untuk
mempengaruhi budaya baru yang akan datang. Bagaimanapun, ada beberapa pembalikan besar
dalam pengetahuan ilmiah selama periode tersebut--misalnya, Cosmas Indicopleustes (w. 550
M), mengusulkan Bumi datar sekitar 800 tahun setelah Eratosthenes mengukur keliling Bumi.[9]
Mengetahui perlakuan yang ditimpakan pada ahli matematika, Hypatia, yang berada di antara
dua kekuatan yang saling bersaing pada masanya (gereja dan negara), dan terlebih kematiannya
yang kejam di tangan gerombolan pengikut gereja yang menggunakan rumor bahwa lingkaran
pembelajarannya sebagai tempat pembangkangan dan perjuangan politik mereka, membuat
jenis ilmu pengetahuan rakyat dan populer yang disebarkan oleh Cosmas lebih merupakan ciri
ilmu pengetahuan Bizantium daripada ilmu pengetahuan yang lebih canggih pada zaman
Yunani klasik sebelumnya. Berdasarkan hal ini, tidak dapat dibayangkan bahwa ada sarjana
Bizantium pada masa itu dapat menghasilkan yang sama canggihnya dengan Ptolemy, Euclid,
atau Galen, atau bahkan sepenuhnya memahami apa yang telah ditulis oleh para raksasa
tersebut.

Lebih jauh lagi, baik di Antiokhia, Harran, maupun Jundishapiir, tidak ada satu pun ilmuwan
atau filsuf penting yang dapat menghasilkan karya apa pun yang dapat menunjukkan
kecanggihan pemahamannya terhadap teks-teks ilmiah dan filsafat Yunani klasik, apalagi
cocokkan mereka dengan cemerlang. Tentu saja, kita dapat menemukan beberapa referensi
terhadap ide-ide ilmiah tradisional seperti nama-nama bintang, perkiraan kalender, atau
ramalan astrologi, seperti yang kita lihat dalam karya-karya ilmuwan Syria yang disebutkan di
bawah, atau bahkan karya-karya Paulus Alexandrinus.[10] Kita bahkan mungkin menemukan
beberapa teks kedokteran dasar, atau teks yang berhubungan dengan ramalan cuaca dan
konfigurasi bintang, atau bahkan teks yang berisi materi farmakologis (kebanyakan dalam
bentuk pengobatan rumahan). Namun tidak ada teks ilmiah Yunani klasik yang dapat
ditemukan.

Selain itu, bagaimana mungkin satu atau dua kota di kerajaan mana pun dapat memperoleh dan
mempertahankan tradisi ilmiah yang dapat bertahan jika tidak ada bukti konkrit mengenai
tradisi yang berkembang pesat di kota-kota tersebut, dan juga tidak ada bukti nyata mengenai
tradisi ilmiah yang berkembang di kota-kota tersebut. Adakah bukti bahwa kota-kota lain di
kekaisaran bisa menghasilkan hal semacam itu? Jika ibu kota tidak dapat menyediakan
ilmu-ilmu tersebut, dan jika mereka yang mengalami kesulitan besar untuk mempelajarinya
(seperti yang terjadi pada Leon sang Ahli Matematika) dipandang buruk oleh siswanya sendiri,

6
lalu bagaimana ilmu-ilmu tersebut dapat tersedia sebagai hal penting di pusat-pusat yang sama,
sehingga mereka dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap budaya asing yang
bersentuhan dengan mereka? Jika kantong-kantong tersebut dapat bertahan selama ratusan
tahun dalam isolasi seperti itu, dan masih mempertahankan tingkat produksi filosofis dan
ilmiah yang canggih serupa dengan apa yang dicapai pada zaman klasik sebelum abad ketiga
Masehi, hal ini akan menjadi fenomena yang tidak ada bandingannya dan memerlukan banyak
upaya dokumentasi oleh para pendukung teori tersebut sebelum dapat benar-benar diterima.

Namun ada beberapa bukti yang bisa diperdebatkan. Dalam kisahnya mengenai transmisi
filsafat ke negeri-negeri Islam.[11] Al Farabi (w. 950) sang filsfuf menceritakan kisah
bagaimana filsafat ditransmisikan dari Yunani ke Aleksandria, dan dari sana ke Antiokhia,
Harran, dan Marw, dan akhirnya ke Bagdad. Namun jika kita mengkaji lebih dekat kisah
tersebut (yang menjadi dasar artikel terkenal Max Meyerhof, “Von Alexandrien nach
Baghdad”[12]) membuat orang menghargai komentar Paul Lemerle tentang hal itu: “Je ne suis
pourtant pas sure qu’on puisse receiver sans retouche la seduisante con struction de M.
Meyerhof."[13] Cerita ini tampaknya mengungkapkan lebih banyak tentang keinginan Farabi
untuk menghubungkan dirinya dengan garis filsafat yang panjang mulai dari Aristoteles
daripada keinginannya untuk menghasilkan catatan sejarah yang akurat tentang transmisi
filsafat yang sebenarnya dari Yunani hingga peradaban Islam. Hal ini dikuatkan oleh fakta
bahwa Farabi yang sama, dan dalam cerita yang sama, telah menceritakan penganiayaan
terhadap para filsuf (dan kita harus memahami bahwa termasuk ilmuwan, karena sains, pada
saat itu, sebenarnya adalah filsafat alam) pada saat itu oleh tangan kaisar Bizantium serta gereja
Kristen. Di dalamnya ia hanya menyebutkan jeda singkat dari penganiayaan yang terjadi pada
masa pemerintahan Flavius Claudius Julius (361-363) yang sangat singkat. Lebih jelasnya lagi,
Farabi juga yang menceritakan, dalam cerita yang sama, penganiayaan terhadap filsafat oleh
agama Kristen (konsisten dengan apa yang baru saja kami sebutkan tentang nasib Hypatia dan
yang lainnya). Dan dalam hal ini, Farabi menegaskan, dengan tegas, bahwa filsafat pada
akhirnya baru terbebas ketika mencapai tanah Islam.

Jika hal ini yang terjadi, dan terdapat banyak bukti yang menguatkan kisah penganiayaan
seperti yang telah kita lihat, lalu bagaimana filsafat Yunani klasik dapat mempertahankan
tradisi yang ketat, di kota-kota yang berjauhan, dan pada saat kebijakan resmi negara adalah
dengan menekan tradisi yang sama, dan ketika satu-satunya dukungan yang pernah diberikan
kepada filsafat adalah pada masa pemerintahan tiga tahun seorang kaisar yang berperang di
segala bidang dan memang disebut sebagai "yang murtad"? Dengan semua pertanyaan tersebut,

7
dan dengan bukti-bukti yang digunakan untuk mendukungnya, kita tidak perlu mengatakan
apapun lagi tentang ketidakmampuan teori ini untuk menjelaskan transmisi ilmu pengetahuan
Yunani ke Arab.

(3) Lalu ada pula yang mengajukan teori yang lebih bernuansa transmisi ilmu-ilmu filsafat
Yunani ke peradaban Islam dengan mendalilkan transmisi yang melalui media Syria terlebih
dahulu. Dan teori ini juga mempunyai beberapa bukti yang mendukungnya. Dalam konteks ini
orang-orang mengutip karya penulis Siria Paul orang Persia (w. 550) dan Sergius dari Ras'aina
(w. 536), dan penulis yang agak belakangan, Severus Sebokht (w. 660) dan George, Uskup
Arab (w.724). Teori ini menyatakan bahwa orang-orang tersebut membawa tradisi Yunani ke
dalam bahasa Syria terlebih dahulu, baru kemudian tersedia untuk terjemahan bahasa Arab.

Dan semua penulis Syria tersebut menghasilkan karya yang dapat digambarkan sebagai karya
ilmiah, dengan tingkat keseriusan tertentu. Namun bila karya-karya tersebut diperiksa dengan
cermat, ternyata kualitasnya sama dengan karya-karya yang dihasilkan di Kekaisaran
Bizantium yang lebih luas; artinya, teks-teks tersebut relatif mendasar terhadap teks-teks
Yunani klasik. Karya Paulus tampaknya tidak melampaui risalah dasar mengenai logika,[14] dan
Sergius tampaknya tidak melakukan eksplorasi astronomi lebih jauh dari Apotesmatica karya
Paulus Alexandrinus (w. 378), yang darinya ia mengadopsi metode perkiraan yang sangat
mendasar untuk menghitung posisi matahari dan denahnya.[15] Metode ini sangat kasar
sehingga tidak dapat dibandingkan dengan metode yang lebih teliti seperti Almagest dan
Handy Tables karya Ptolemeus. Fakta bahwa Sergius mengetahui karya-karya agung tradisi
Yunani klasik tersebut dibuktikan dengan referensinya terhadap karya-karya tersebut, tetapi
hanya untuk mengatakan bahwa karya-karya tersebut hanya boleh dicari oleh mereka yang
membutuhkan ketelitian yang lebih tinggi. Tampaknya ia sudah puas dengan karya Paulus
Alexandrinus.

Karya-karya Severus Sebokht yang sedikit lebih canggih (misalnya, risalahnya tentang
penggunaan astrolabe[16]), dan karya-karya George, Uskup Arab,[17] tidak lebih mirip dengan
teks-teks ilmiah Yunani klasik, dan secara umum karya-karya tersebut menunjukkan standar
yang lebih dapat dipahami secara historis dan memiliki kualitas yang hampir sama dengan
sumber-sumber Bizantium kontemporer yang tampaknya menjadi sumber inspirasinya. Dan
mengapa harus sebaliknya? Mengapa rakyat Bizantium yang miskin, seperti halnya rakyat
yang berbahasa Syria, mengetahui lebih banyak dibandingkan penguasa Bizantium yang lebih
canggih dan kaya?

8
Faktanya, kita mendapatkan gaung dari perbedaan kelas sosial ini, dan permusuhan yang
menyertainya, dari karya Severus Sebokht sendiri, yang tidak segan-segan menyombogkan diri
terhadap orang-orang Yunani Bizantium dengan menyatakan bahwa nenek moyangnya berasal
dari masa lalu Babilonia, dan bahwa ada negara-negara lain, seperti India, yang bisa
mengakali Yunani dalam ilmu pengetahuan.[18] Ia mengutip bukti keunggulan orang-orang
India dalam pengetahuan mereka tentang sistem desimal, yang menurutnya, “mereka
menghitung dengan sembilan angka saja."[19]

Semua bukti ini menggambarkan bahwa jalur transmisi di Suriah, setidaknya pada masa
pra-Islam dan awal Islam, sangat dapat diandalkan dibandingkan dengan teori kontak atau teori
saku dalam penularan. Namun kebangkitan tradisi ilmiah Islam yang lebih canggih pada
masa-masa awal Islam sangat bergantung pada perolehan warisan ilmiah Yunani dan
terjemahan langsung teks-teks ilmiah dan filsafat Yunani klasik. Bagaimana ini bisa terjadi?
Saya harap bab berikutnya akan memberikan sedikit pencerahan mengenai hal ini.

Setelah menggunakan tiga metode penularan yang sering disebutkan oleh para pendukung
narasi klasik, kami bingung menjelaskan bagaimana penularan ini terjadi. Hal ini belum lagi
motivasi para khalifah Abbasiyah awal untuk menguasai ilmu-ilmu kuno ini, yang telah
ditinggalkan selama sekitar 700 tahun sebelum para khalifah awal Abbasiyah mulai
menerjemahkannya. Kenapa tiba-tiba terbangun? Dan mengapa Bani Abbasiyah begitu
termotivasi pada awal abad kesembilan untuk membiayai, mendukung, dan melaksanakan
operasi besar tersebut, atau bahkan menjadikannya “kegiatan rutin negara,”[20] seperti yang
sering ditekankan oleh narasi klasik namun jarang dijelaskan? Diharapkan bab berikutnya juga
dapat memberikan pencerahan mengenai hal ini.

Keterlibatan Abbasiyah awal dalam aktivitas transmisi masih harus dijelaskan, bahkan jika
semua permasalahan mengenai cara di mana "ilmu-ilmu kuno" disebarkan ke peradaban Islam
telah terselesaikan untuk selamanya, dan bahkan jika narasi klasik yang memunculkannya
mereka ditinggalkan. Karena masih ada masalah kedua yang lebih penting: yaitu waktu
terjadinya transmisi ini, yang menurut narasi klasik terletak pada awal masa Abbasiyah.
Mengapa pada saat itu khususnya dan bukan pada masa pemerintahan 100 tahun Bani
Umayyah sebelumnya? Apa yang istimewa dari Bani Abbasiyah? Di sini narasi klasik
menawarkan tiga penjelasan yang masuk akal untuk titik awal tersebut, dua di antaranya
merupakan konsekuensi satu sama lain:

(1) Telah diketahui dengan baik, seperti yang berulang kali ditekankan dalam narasi klasik,

9
bahwa karakter umum Dinasti Abbasiyah memungkinkan masuknya “unsur-unsur Persia”
dalam kerajaan Islam. Karena, menurut argumen tersebut, Bani Abbasiyah pertama-tama
melakukan pemberontakan di Transoxania, dan mereka melakukan hal tersebut melawan Bani
Umayyah, yang pada gilirannya dicirikan oleh narasi klasik yang mendasarkan diri pada
banyak sumber-sumber Arab klasik lainnya sebagai pendukung revolusi "unsur-unsur Arab"
dari kekaisaran. Faktanya, kita dapat menemukan beberapa kesamaan dari pertentangan
tersebut dalam sumber-sumber Arab klasik itu sendiri.

Memang benar bahwa Bani Abbasiyah, yang berkuasa dengan pedang pasukan Asia Tengah,
membawa serta klien-klien mereka yang memerintah atas nama mereka di provinsi-provinsi
Transoxanian, dan dengan demikian sangat bergantung pada kesetiaan pasukan Asia Tengah
tersebut, banyak diantaranya yang berasal dari Turki dan Persia. Benar juga bahwa orang-orang
yang menduduki posisi tinggi pemerintahan, setidaknya pada awal masa Abbasiyah, dan pada
jajaran wazir dan sejenisnya, seperti anggota keluarga Barmakid, adalah keturunan Persia. Dan
meskipun keluarga Barmakid mengalami kehancuran menjelang awal abad kesembilan (ketika
seluruh keluarga tersingkir dari kekuasaan[21]) keluarga Persia lainnya seperti keluarga
Nawbakht menggantikan mereka dalam posisi tinggi di pemerintahan. Bahwa sumber-sumber
tersebut berbicara tentang orang-orang Persia, Turki, dan Arab (antara lain) selama periode
awal Abbasiyah menunjukkan bahwa sumber-sumber ini, yang menjadi sumber inspirasi narasi
klasik, mulai mencerminkan, pada saat itu, susunan ras yang berkuasa. Fenomena itu sendiri
harus dijelaskan dan bukannya ditetapkan dalam istilah-istilah esensialis, seperti yang
tampaknya dilakukan oleh narasi klasik dengan latar sejarah tertentu.

Dengan kata lain, dan bahkan jika kita mengistimewakan narasi klasik dengan kekuatan analitis,
maka kita masih harus menjelaskan mengapa “elemen Persia” dari kerajaan Islam akan
terpaksa menerjemahkan sumber-sumber ilmiah dan filosofis Yunani dan tidak membatasi diri
mereka pada menerjemahkan sumber-sumber ilmiah dan filosofis Yunani saja tetapi juga tidak
menghlangi mereka menerjemahkan sumber dari Persia, misalnya. Dimitri Gutas, dalam buku
terbarunya Greek Thought, Arabian Culture,[22] memberikan penjelasan yang masuk akal.
Gutas mengacu pada apa yang dia klaim sebagai ideologi yang berlaku saat itu, tercermin
dalam sumber yang dikutip dalam Fihrist al-Nadim (w. 987), dan yang menyatakan bahwa
semua ilmu pengetahuan dimulai di Persia dan ilmu-ilmu tersebut diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Yunani pada saat invasi Alexander ke Persia, sehingga Persia kehilangan warisan
mereka setelah kehancuran dahsyat yang menimpa mereka di tangan Alexander. Jadi ketika
orang-orang Persia berkuasa, entah kenapa hanya pada masa Abbasiyah dan bukan sebelumnya

10
pada masa Sasaniyah ketika mereka adalah penguasa penuh atas tanah di sebelah timur Sungai
Eufrat dan kadang-kadang bahkan di sebelah baratnya, mereka sadar akan warisan kuno
tersebut dan memutuskan untuk merebutnya kembali. Dengan demikian, mulai dari al-Manshur,
khalifah Abbasiyah kedua yang menikmati masa pemerintahan yang relatif panjang, setelah
al-Mahdi, dan Harun al-Rasyid, dan tentu saja hingga Al-Ma'mun, yang melambangkan tren ini,
satu demi satu khalifah dengan gigih berusaha untuk mendapatkan kembali warisan ilmu
pengetahuan Yunani. Mereka juga mendukung terjemahan-terjemahan Persia yang lebih
sastrawi, hanya karena tidak ada lagi ilmu pengetahuan yang tersisa dalam bahasa Persia
setelah ditinggalkan sejak zaman penjarahan Alexander.

Penjelasan ini sangat sesuai dengan kecenderungan yang berlaku pada saat itu dalam
sumber-sumber klasik yang baru saja disebutkan, yang menyatakan bahwa “unsur-unsur
Persia” dianggap bertanggung jawab atas usaha besar Abbasiyah ini. Namun hal ini tidak
menjelaskan kurangnya minat nyata terhadap reklamasi ilmu-ilmu asli Persia dari orang-orang
Yunani pada masa Sasanian, ketika mereka adalah penguasa wilayah tersebut, dan dalam
peperangan terus-menerus dengan orang-orang Yunani. Kenyataannya, laporan-laporan yang
sama yang berbicara tentang reklamasi ilmu-ilmu Persia dari Yunani pada masa Abbasiyah
juga menyebutkan upaya-upaya Sasanian sebelumnya untuk mendapatkan kembali ilmu-ilmu
Persia, tetapi terutama dari India dan Cina, dan dari Yunani hanya sebagai sebuah renungan.
Upaya reklamasi ini masih belum terbukti.[23]

Saat mencari bukti teks ilmiah aktual yang dihasilkan atau diterjemahkan pada zaman Sasan,
kita pasti dapat menemukan setidaknya satu karya astronomi, yang disebut Zij-i Shahriyiir,
yang kemudian diterjemahkan dari bahasa Persia ke bahasa Arab. Dan karena Zij sendiri
disusun pada zaman Sasanian, hal ini memang menunjukkan adanya ketertarikan terhadap
karya ilmiah di Kekaisaran Sasanian. Sayangnya Zlj sudah tidak ada lagi. Namun dari sedikit
kutipan dalam sumber-sumber Arab yang belakangan, nampaknya sumber tersebut lebih
berhutang budi pada sumber-sumber astronomi India dibandingkan sumber-sumber Yunani,[24]
dan dengan demikian sumber khusus ini, yang hampir unik, tidak membuktikan ketertarikan
Sasanian Iran dalam melakukan reklamasi warisan Yunani mereka. Sebaliknya, ini menunjuk
ke arah lain.

Teks astrologi lainnya, seperti Anthologia karya Vettius Valens[25] dan Carmen Astrologicum
karya Dorotheus Sidonius,[26] memang diambil kembali dari bahasa Yunani ke bahasa Persia
kuno, dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa Abbasiyah. Namun
teks-teks astrologi tersebut pun sulit disebut sebagai reklamasi ilmu-ilmu Yunani pada skala

11
atau kecanggihan yang diperoleh kembali pada masa Abbasiyah. Melihat teks kedua dan
potongan-potongan yang telah dikutip dari teks pertama mengungkapkan bahwa teks-teks
tersebut sebagian besar merupakan buku-buku astrologi deskriptif dan bukan astrologi
horoskopik yang lebih canggih dan menuntut, yang hanya dapat dicapai setelah terjemahan
teks-teks yang lebih canggih seperti Tabel Praktis Ptolemeus. Tabel seperti itu memang
memungkinkan seseorang untuk membuat ramalan bintang.

Lebih jauh lagi, ketika kita mengamati teks-teks yang diterjemahkan pada masa Abbasiyah,
kita menemukan perbedaan kualitatif yang besar antara teks-teks yang diterjemahkan pada
masa itu dan teks-teks yang diterjemahkan sebelumnya, baik ke dalam bahasa Syria atau ke
dalam bahasa Pahlavi. Pada masa-masa awal, teks-teks dasar yang sebagian besar bersifat
deskriptif diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Pada masa akhir Dinasti Abbasiyah,
sebagian besar buku yang dicari untuk diterjemahkan secara keseluruhan bersifat teoritis dan
isinya jauh lebih canggih. Sebaliknya, pada periode selanjutnya kita menemukan
terjemahan-terjemahan seperti Almagest karya Ptolemy, Euclid's Elements, Arithmetica karya
Diophantus, Conics karya Apollonius, dan Arithmetic karya Nicomachus, serta teks-teks yang
lebih deskriptif namun teoritis analitis, seperti Tetrabiblos dari Ptolemy. Tidak ada catatan
bahwa Tetrabiblos telah diterjemahkan ke dalam bahasa Syria atau Pahlevi pada masa
pra-Abbasiyah. Teks Syria yang ditetapkan sebagai Tetrabiblos di Bibliotheque Nationale de
France [Syr. 346, fol. 1-35] sebenarnya adalah sebuah parafrase, dan merupakan sebuah
parafrase yang buruk, dan bukan terjemahan seperti yang dilakukan dalam kasus teks-teks yang
lebih teoretis yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa Abbasiyah. Namun kita
bahkan tidak tahu kapan parafrase ini dibuat.

Oleh karena itu, ketika narasi klasik mencari motivasi untuk aktivitas penerjemahan dalam
dominasi “elemen Persia” di kerajaan Abbasiyah, dan dalam keinginan mereka untuk merebut
kembali apa yang mereka anggap sebagai milik mereka dalam ilmu-ilmu Yunani, maka
penjelasan tersebut menciptakan lebih banyak kesulitan dibandingkan dengan ilmu-ilmu
Yunani. mereka mengambil keputusan, karena mereka tetap diam mengenai kurangnya bukti
konkrit yang mendukung motivasi tersebut pada masa kekuasaan tertinggi Persia pada masa
Sasaniyah. Lebih jauh lagi, legenda penerjemahan ilmu-ilmu Persia ke dalam bahasa Yunani
pada masa Alexander bukanlah cerita yang dapat diandalkan sehingga dapat dijadikan dasar
penjelasan atas gerakan penerjemahan yang terjadi pada awal masa Abbasiyah. Faktanya, kisah
itu sendiri merupakan bagian dari fenomena gerakan penerjemahan itu sendiri dan merupakan
ciri kehidupan intelektual masa awal Abbasiyah dan bukan penyebab penjelasnya.

12
Kemungkinan besar, cerita tersebut dibuat berdasarkan fakta sehingga perlu dijelaskan.

(2) Motivasi lain kegiatan penerjemahan pada awal masa Abbasiyah, yang sering dikutip oleh
para pendukung narasi klasik, adalah naiknya kekuasaan al-Ma'mun pada tahun 813, dan
ketergantungannya pada mazhab Mu'tazilah sehingga nampak menjadikannya sebagai sebuah
pemimpin negara-teologi. Khalifah ini sering kali memiliki ketertarikan pada ilmu-ilmu filsafat
dan keasyikan memperkenalkan doktrin-doktrin Mu'tazilah ke dunia nyata, sehingga ia mulai
bermimpi yang membenarkan wataknya. Dalam salah satu mimpinya, dia dianggap telah
melihat Aristoteles sendiri,[27] dan mendapat kesempatan untuk menginterogasi guru besar
tersebut mengenai isu-isu etika dan filosofis yang besar pada masa itu. Dia bertanya kepada
Aristoteles, misalnya, “Apa yang baik?” Aristoteles seharusnya menjawab, "Apa yang baik
dalam pikiran." Dan ketika ditanya, "Apa selanjutnya?" Aristoteles seharusnya menjawab,
"Apa yang baik dalam hukum." Ketika al-Ma'mun ngotot bertanya “Apa selanjutnya?”
Aristoteles seharusnya menambahkan "Apa yang dianggap baik oleh masyarakat." Namun
ketika dia kembali bertanya, "Apa selanjutnya?" Aristoteles berhenti dan berkata, "Tidak ada
yang berikutnya." Dalam catatan lain, Aristoteles konon terus menasihati al-Ma'mun agar
memperlakukan mereka "yang menasihatinya tentang emas seperti emas" (yang jelas merujuk
pada para alkemis), dan kemudian dia konon mengatakan "dan kamu harus berpegang teguh
pada keesaan Tuhan ('alaika bi-tawhid)." Ungkapan terakhir jelas merujuk pada doktrin
Mu'tazilah, karena orang-orang tersebut disebut "orang-orang yang memiliki keesaan" (ahl
al-tawhid) karena desakan mereka pada keesaan Tuhan, yang bahkan tidak membolehkan
Al-Qur'an dan firman Tuhan, hidup berdampingan dengan-Nya pada awal zaman.

(3) Motivasi ketiga juga dikaitkan dengan kaum Mu'tazilah dan hubungannya dengan
al-Ma'mun, yang menjadikan doktrin mereka sebagai doktrin resmi negara. Kebijakan ini juga
diikuti oleh dua penerusnya dan pada akhirnya mengarah pada sejenis inkuisisi yang sering
disebut dalam sumber-sumber sebagai mihna (pengujian/interogasi, inkuisisi),[28] yang
bukanlah suatu lingkungan terbuka yang mencerahkan untuk penyelidikan ilmiah. Dalam
mihna ini masyarakat seharusnya menyatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan pada waktunya,
khususnya sesuai dengan doktrin Mu'tazilah yang menekankan keesaan Tuhan pada mulanya.
Orang-orang yang menolak menerima doktrin seperti itu, termasuk ahli hukum besar Ahmad b.
Hanbal (w. 855), dipenjarakan.[29] Iklim ini dianggap telah memberi energi pada pemikiran
filosofis selama periode pemerintahan Abbasiyah, atau setidaknya begitulah narasi klasik
berjalan, dan dengan demikian hal ini pastilah memotivasi perolehan hak-hak tersebut.
teks-teks filsafat Yunani utama, dan dengan demikian membuka pintu bagi banyak terjemahan

13
berikutnya. Dengan kata lain, narasi klasik menegaskan bahwa ketika perdebatan doktrinal
dalam masyarakat Islam mencapai puncaknya dan menjadi bagian dari kebijakan negara,
negara harus mendorong penerjemahan semua teks filosofis dan ilmiah untuk mendukung
posisi intelektualnya.

Penjelasan ini mungkin masuk akal jika didukung oleh fakta. Dalam hal ini, sumber-sumber
sejarah memberi tahu kita bahwa hubungan Mu'tazilah dengan negara memang berumur
pendek, dan ketika khalifah al-Mutawakkil berkuasa (847 M) ia tidak hanya membalikkan
kebijakan al-Ma'mun tetapi kemudian mendukung kelompok penentang Mu'tazilah, yang pada
saat itu disebut ahl al-Hadith (orang-orang yang menganut tradisi - yang berarti orang-orang
yang mencari pembenaran hukum dalam tradisi nabi, dan lebih sedikit lagi dalam penalaran
manusia seperti Mu'tazilah). Namun pada masa pemerintahan khalifah terakhir inilah jumlah
terjemahan terbesar dari sumber-sumber Yunani berhasil diselesaikan dan sebagian besar
dilakukan oleh penerjemah produktif pada masa itu, Hunain ibn Islāq (w. 873), yang bekerja
sebagai seorang dokter di istana al-Mutwakkil. Kitab-kitab yang diterjemahkan dari bahasa
Yunani, sebagian besar pada masa al-Mutawakkil, jauh melebihi kitab-kitab yang diasuh oleh
al-Ma'mun. Faktanya, saya hanya mengetahui satu kitab yang masih ada yang secara tegas
disebutkan telah diterjemahkan atas perintah al-Ma'mun, namun saya tidak yakin apakah
sebutan tersebut ada pada kitab tersebut ketika pertama kali diterjemahkan pada tahun 829 atau
tidak. itu ditambahkan kemudian oleh pemilik atau pustakawan lain yang mencoba
memberikan sejarahnya.[30]

Sumber-sumber klasik pada kenyataannya berbicara tentang segala macam kegiatan ilmiah
yang didukung oleh al-Ma'mun, beberapa di antaranya tampak nyata seperti misi yang ia
kirimkan ke gurun Sinjar untuk mengukur panjang satu derajat di sepanjang meridian bumi, [31]
dan untuk melakukan beberapa pengamatan astronomi. Kisah-kisah lain, yang mungkin lebih
khayalan, seperti misi yang dikirimnya ke Konstantinopel untuk memperoleh manuskrip ilmiah
Yunani atau para ilmuwan Yunani menunjukkan ketertarikan khalifah ini terhadap hal-hal
tersebut.[32] Namun tidak pernah jelas apakah kegiatan-kegiatan tersebut memang diperintahkan
oleh al-Quran sendiri atau oleh birokrat yang bekerja di pemerintahannya. Peran para biro akan
menjadi lebih jelas pada bab berikutnya. Untuk saat ini, sumber sejarah yang sama melaporkan
bahwa para birokrat kemudian, yang bekerja di pemerintahan al-Mutawwakil, adalah mereka
yang mensponsori dan membayar sejumlah besar buku untuk diterjemahkan. Mereka juga
melaksanakan sejumlah besar proyek ilmu pengetahuan dan teknologi.[33] Sebenarnya saya
tidak mengetahui satu pun buku yang diterjemahkan untuk al-Mutawakkil sendiri, meskipun

14
terdapat aktivitas intelektual besar yang terjadi pada masa pemerintahannya, namun saya
mengetahui sebuah sejumlah besar buku yang diterjemahkan untuk tiga bersaudara, yang
secara kolektif dikenal sebagai Banii Miisa, yang bekerja di istananya, dan terkadang
menghadapi risiko besar. Saya punya alasan untuk kembali ke aspek gerakan penerjemahan ini
di bab berikutnya ketika saya menjelaskan narasi alternatif mengenai kebangkitan ilmu
pengetahuan di masa awal Islam. Untuk saat ini, saya melanjutkan kritik terhadap narasi klasik.

Masalah Lain dengan Narasi Klasik

Jika berbicara secara rinci, narasi klasik tidak dapat menjelaskan fakta-fakta ilmiah yang telah
dilestarikan baik dalam sumber-sumber sejarah klasik pada masa itu maupun dalam teks-teks
ilmiah itu sendiri. Misalnya, lebih dari satu sejarawan menceritakan kepada kita[34] bahwa
ketika khalifah al-Mansur ingin membangun kota Bagdad, pada tahun 762 M, ia
mengumpulkan tiga ahli nujum dan menugaskan mereka untuk membuat ramalan bintang
untuk kota masa depan. Mereka harus memilih waktu untuk mendirikan yayasan sehingga tidak
ada penguasa yang terbunuh di kota. Horoskopnya sendiri tersimpan dalam Kronologi Birini,
dan di beberapa sumber lainnya. Sebagian besar sumber sepakat bahwa para ahli nujum yang
diberi tugas itu termasuk Nawbakht (seorang ahli nujum Persia yang menjadi nenek moyang
keluarga ahli nujum Nawbakht, yang melayani khalifah selama satu abad penuh), Ibrahim
al-Fazari, dan Masha'allah al-Farisl. Biruni menyatakan secara eksplisit bahwa Nawbakht-lah
yang menentukan hari pendirian kota tersebut bertepatan dengan tanggal 23 Juli tahun itu.

Jika ilmu-ilmu Yunani kuno seharusnya dibawa ke Arab oleh unsur-unsur dinasti Abbasiyah
yang condong ke Persia, meskipun kita mengakui bahwa minat ini dimulai dengan al-Mansuir
sendiri, dan jika kita mengakui bahwa mereka dapat merekrut astronom Persia Nawbakht dan
Masha'allah untuk tujuan horoskop, maka siapakah Ibrahim al-Fazari ini, tentu sajaseorang
Arab dari suku Fazara, yang juga diundang untuk bergabung dengan mereka, dan dari mana dia
memperoleh pengetahuan astronomi tingkat lanjut yang diperlukannya untuk membuat
horoskop seperti itu pada awal pemerintahan Abbasiyah? Dimana kolaboratornya yang biasa,
Ya'qub b. Tariq mempelajari astronominya sendiri sehingga ia dapat menghasilkan, bersama
dengan Fazarl, terjemahan dari bahasa Sansekerta Sidhanta (al-Sindhind), yang diselesaikan
pada masa kekhalifahan al-Mansur (754-775 M)?[35]' Sumber-sumber selanjutnya selalu
menggabungkan kedua nama tersebut,[36] sehingga terkadang sulit untuk menentukan siapa
yang melakukan apa. Untuk keperluan horoskop Bagdad, kita dapat menetapkan bahwa Fazarl

15
mungkin mempelajari keahliannya di Persia. Namun sumber-sumber tersebut tidak
menyebutkan hal tersebut, dan kita tidak mengetahui banyak tentang astronomi Persia pada
masa itu selain keberadaan Shariyar (yang dikutip dalam sumber-sumber selanjutnya). Lebih
jauh lagi, sumber-sumber sejarah yang menghubungkan keduanya menyatakan bahwa Fazarl
dan/atau Ibnu Tariq juga menulis sebuah karya astronomi teoritis yang disebut Tarkib al-aflak,
yang sepertinya telah hilang. Fazarl yang sama juga dikreditkan dengan kepenulisan juznya
sendiri, di mana ia menggunakan "tahun arab" ( ala siniy al-'Arab) Menulis teks astronomi
teoretis, mentransfer ke kalender lain dengan kalender yang sama sekali berbeda skema
interkalasi, dan memproduksi instrumen astronomi seperti astrolab – sebagaimana kita juga
diberitahu tentang orang-orang ini – tidak mungkin dilakukan oleh astronom amatir. Siapa
yang mendidik Fazarl dan Ibnu Tariq dalam semua bidang astronomi ini? Dan bahkan jika kita
percaya bahwa ketiga ahli nujum tersebut juga menggunakan Zii Shahriyar Persia untuk
keperluan horoskop, kita juga harus bertanya tentang orang Arab lainnya, 'Ali b. Ziyad
al-Tamimi, dari suku Tamlm, yang seharusnya menerjemahkan juz ini ke dalam bahasa
Arab.[38] Yang mengajarkan al-Tamimi bagaimana menerjemahkan, dan ketika dia
melakukannya dia juga menerjemahkannya ke dalam tahun Arab (seperti kita diberitahu bahwa
Fazarl telah melakukannya)?

Semua bukti ini menunjukkan bahwa terdapat sekelompok orang, yang sudah ada pada saat
Abbasiyah mengambil alih Dinasti Umayyah, yang cukup kompeten untuk menggunakan
instrumen astronomi yang canggih, membuat horoskop, menerjemahkan teks-teks astronomi
yang sulit, dan untuk mentransfer parameter kalender dasar mereka, serta untuk menyusun
teks-teks astronomi teoritis seperti Tarkib al-aflak. Kegiatan seperti ini tidak mungkin
dilakukan oleh orang-orang yang baru belajar bagaimana melakukan penerjemahan pada masa
pemerintahan Abbasiyah paling awal, seperti yang diklaim oleh narasi klasik.

Situasinya menjadi lebih rumit, sekali lagi pada tingkat detailnya, ketika kita melihat
karya-karya yang dihasilkan sekitar 75 tahun kemudian oleh orang-orang seperti al-Hajjaj b.
Matar (w. 830), yang menerjemahkan dua teks ilmiah Yunani paling canggih: Elements karya
Euclid dan Almagest karya Ptolemy. Kita tahu, misalnya, bahwa al-Hajjaj menyelesaikan
terjemahan Almagestnya pada tahun 829, sebagaimana dibuktikan dalam salinan yang masih
ada yang sekarang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden (Or. 680). Dan ketika kita
melihat terjemahan ini kita langsung dikejutkan oleh dua fenomena yang paling mengejutkan:
bahasa teksnya sangat bagus dalam bahasa Arab, istilah-istilah teknis dan sebagainya; dan
terjemahan bahasa Arab bahkan mengoreksi "kesalahan" Almagest Yunani asli. Siapa yang

16
mengajari al Hajjaj istilah-istilah teknis, dan siapa yang mengajarinya cara memperbaiki
kesalahan Almagest? Tak satu pun dari pertanyaan-pertanyaan ini yang dapat dipecahkan jika
kita terus mempercayai narasi klasik yang menyebutkan awal mula terjemahan serius ini terjadi
pada masa al-Ma'mun (813-833). Terjemahan awal biasanya kesulitan dengan terminologi
teknis, dan biasanya tidak melampaui isi teks dan tidak akan pernah berani memperbaiki
kesalahannya, jika mereka dapat memahami teksnya terlebih dahulu.

Lebih jauh kita tahu bahwa terjemahan karya ilmiah al-Hajjaj tersebut bukanlah yang pertama.
Faktanya, kami secara eksplisit diberitahu oleh beberapa sumber bahwa kedua buku tersebut
telah diterjemahkan di bawah naungan Khalid al Barmakl, wazir Harun al-Rashid (w. 809), dan
mungkin oleh al-Hajjaj sendiri, dan oleh orang lain bahwa mereka diterjemahkan pada masa
al-Mansur (754-775).[39] Namun semakin jauh terjemahan ini diundur, semakin rumit ceritanya,
karena pertanyaan mengenai perkembangan terminologi teknis masih tetap ada dan bahkan
menjadi lebih sulit untuk dijawab. Apa pun yang terjadi, teks yang kini tersimpan dalam
terjemahan tahun 829 M ini mengungkapkan kedewasaan yang tidak mungkin datang dari satu
generasi penerjemah saja. Oleh karena itu, kita harus menyediakan jangka waktu penerjemahan
yang lebih lama sehingga lebih dari satu generasi penerjemah dapat menghasilkan cukup
banyak tenaga untuk menghasilkan terminologi teknis dan mengajarkan matematika canggih
serta keterampilan linguistik yang diperlukan untuk menerjemahkan Almagest, Elemen, dan
sejenisnya. buku-buku ke dalam jenis bahasa Arab yang koheren di mana buku-buku tersebut
disimpan.

Pada periode awal yang sama—yaitu pada masa pemerintahan al-Ma'mun—kita juga
menyaksikan penciptaan disiplin baru aljabar oleh Muhammad b. Musa al-Khawarizmi
(w.830),[40] sudah dalam format yang matang, misalnya bidang persamaan derajat dua dalam
bentuk yang paling umum. Ini terjadi sebelum terjemahan karya Diophantus dan
sumber-sumber Yunani lainnya. Hal ini tidak berarti bahwa sumber-sumber Yunani klasik, atau
dalam hal ini sumber-sumber Babilonia kuno, tidak memuat soal-soal aljabar, namun
penggunaan istilah baru untuk aljabar (al-jabr), dan pernyataan disiplin ilmu secara umum
berbeda dengan sumber-sumber lain. aritmatika,[41] memerlukan semacam kedewasaan yang
tidak mungkin dicapai oleh para penerjemah generasi pertama jika kita berasumsi bahwa
penerjemahan dimulai pada masa awal Abbasiyah sebagaimana ditetapkan oleh narasi klasik.
Dalam keadaan seperti itu kita berhak bertanya “Siapakah yang mengajarkan al-Khawarizmi
melakukan apa yang dilakukannya?”

Demikian pula, beberapa tahun kemudian, atau bahkan bersamaan dengan Khawarizmi, kita

17
menyaksikan terciptanya disiplin Hay'a, seperti dalam 'ilm al-hay'a, yang juga tidak memiliki
persamaan dalam bahasa Yunani. Dan hal itu juga tidak mungkin terjadi, seperti yang terjadi
pada karya Qusta b. Luqa (fl. ca. 850), yang masih disimpan dalam Naskah Oxford,[42] selama
terjemahan generasi pertama. Terlebih lagi, sungguh luar biasa untuk dicatat bahwa Qusta
sendiri, seperti para penerjemah ulung lainnya pada masanya, sudah menyusun buku-buku
ilmiah barunya, seperti buku Hay'a yang baru saja disebutkan, sementara dia masih
menerjemahkan buku-buku ilmiah Yunani yang lebih tua dan teks yang lebih umum. Hunain
melakukan hal yang sama, dan begitu pula banyak orang lainnya pada periode ini. Semua itu
tidak mungkin terjadi di tangan orang-orang yang baru pertama kali menerjemahkan, dan perlu
menciptakan terminologi teknis baru untuk terjemahan mereka serta komposisi aslinya. Di
Qusta terjemahan bahasa Arab B.Luqa atas Arithmetica Diophantus terdapat adopsi yang jelas
dari bahasa aljabar yang dikembangkan oleh para ahli aljabar dalam tulisan Arab pada zaman
Qusta. terbukti dari referensi Qusta pada judul karya Diophantus sebagai sina'at al-jabr (Seni
Aljabar), sebuah istilah yang tidak ada dalam bahasa Yunani, dan seperti yang dibahas oleh
Rashed.[43] Kebebasan penerjemahan semacam ini dengan jelas menunjukkan sifat dinamis dari
proses penerjemahan pada awal abad kesembilan . Teks-teks ilmiah Yunani klasik dapat
dengan mudah disesuaikan dengan ilmu-ilmu Arab terkini pada masa itu, sehingga mengubah
proses penerjemahan menjadi proses kreatif yang simultan.

Lebih jauh lagi, kemajuan luar biasa yang dibuat oleh Habash al-Hasib (w. 850) dalam bidang
trigonometri dan proyeksi matematis jauh melampaui apa yang diketahui dari sumber-sumber
India dan Yunani, dan mereka tidak dapat melakukannya telah dicapai oleh seseorang yang
hanya merupakan penerima manfaat dari tahap awal penerjemahan. Habbash merancang
cara-cara baru untuk memproyeksikan astrolab bidang bola yang mempertahankan fitur-fitur
mendasar seperti arah ke suatu titik tertentu di bumi (dalam hal ini Mekah) dan jarak ke titik
tersebut.[44] Proyeksi seperti itu tidak diketahui dari peradaban sebelumnya, dan keberadaan
mereka pasti menimbulkan pertanyaan mengenai kemungkinan dihasilkannya hasil seperti itu
oleh orang-orang yang masih berjuang dengan penciptaan istilah-istilah teknis baru jika mereka
sezaman dengan para penerjemah generasi awal.

Generasi matematikawan dan astronom awal ini pasti juga telah mengembangkan sistem angka
India sedemikian rupa sehingga pada abad berikutnya kita akan melihat kemunculan pertama
pecahan desimal bersama dengan titik desimal dalam sebuah naskah yang diselesaikan di
Damaskus pada tahun 952 oleh Uqlidisi.[45] Ringkasnya, hasil-hasil seperti aljabar dan
trigonometri baru, hay'a baru serta metode proyeksi baru dan pengenalan angka India serta

18
pengembangan pecahan desimal, tidak dapat dihasilkan semuanya pada waktu yang bersamaan
tanpa karya sebelumnya di domain tersebut atau di domain yang terkait langsung dengannya.
Akibatnya, jika narasi klasik menekankan dimulainya gerakan penerjemahan dengan datangnya
Kesultanan Abbasiyah, dan karena alasan yang hanya dimotivasi oleh keinginan para khalifah
Abbasiyah, maka pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab sebelum klaim tersebut dapat
terwujud. diterima.[46]

Instrumen Ilmiah dan Astronomi Observasional

Dalam bidang instrumentasi ilmiah, seperti produksi proyeksi matematis jenis baru yang
diciptakan oleh Habash sebagaimana telah disebutkan, instrumen-instrumen tersebut tidak
mungkin diciptakan ex nihilo, seperti yang diinginkan oleh narasi klasik untuk kita terima.
Dalam kasus astrolabe Habash, proyeksi baru tersebut tampaknya terkait dengan persyaratan
Islam baru untuk menghadap Mekah sambil shalat lima waktu dan menunaikan ibadah haji
setidaknya sekali seumur hidup. Namun perkembangan tersebut masih memerlukan
kecanggihan yang luar biasa dalam penerapan metode geometri dan trigonometri. Dalam
keadaan normal, semua fitur ini biasanya tidak muncul sekaligus, melainkan berkembang
secara perlahan seiring berjalannya waktu.

Demikian pula, para ilmuwan dari generasi yang sama yaitu Hajjaj, Khwarizmi, dan Habash
serta rekan-rekan mereka tampaknya juga mengambil tindakan untuk memeriksa ulang hasil
pengamatan yang dilaporkan dalam sumber-sumber Yunani dan India tempat mereka berasal
mencoba mendapatkan inspirasi mereka sendiri. Dan di sana juga, kita menemukan hasil luar
biasa yang telah dicapai pada periode awal ini yang menunjukkan bahwa kita telah mengenal
bidang-bidang tersebut lebih lama lagi. Pengamatan yang menentukan bahwa kemiringan
ekliptika bukanlah 23;5 1,20° (seperti yang dilaporkan dalam Almagest[47] karya Ptolemy) atau
24°4M (seperti yang dilaporkan dalam sumber-sumber India), tetapi sekitar 23;30°
(sebagaimana ditentukan pada paruh pertama abad kesembilan[49]). Hal ini tidak mungkin
terjadi berkat upaya para astronom yang tidak berpengalaman yang melakukan pengamatan
tersebut untuk pertama kalinya. Ketepatan seperti itu hanya dapat dicapai oleh para astronom
dewasa yang tahu persis apa yang mereka lakukan. Bahwa nilai kecenderungannya masih
beredar hingga saat ini merupakan bukti kecerdikan para pengamat abad kesembilan tersebut.

Senada dengan itu, penentuan nilai baru untuk parameter presesi sebesar 1°/66 tahun[50] atau
untuk nilai persamaan matahari, atau gerak puncak matahari—yang seharusnya ditetapkan oleh

19
Ptolemeus—juga tidak mungkin dilakukan terjadi di tangan para astronom yang tidak
berpengalaman yang pertama kali mencoba disiplin ini, tepat pada saat teks-teks utama dari
disiplin tersebut diterjemahkan. Semua hasil ini harus mengandaikan pengenalan yang lebih
lama terhadap metode pengamatan, gagasan baru tentang presisi, dan refleksi terhadap fungsi
instrumen dalam menentukan parameter penambangan baru. Singkatnya, mereka harus
mengasumsikan jangka waktu pengajaran dan pengenalan konsep-konsep tersebut lebih lama
sebelum upaya tersebut mulai membuahkan hasil.

Ditambah lagi dengan kritik terhadap pendekatan observasional dan teoritis Yunani terhadap
astronomi yang dilontarkan oleh Muhammad b.Musa b.Shakir[51] dan saudara-saudaranya
Ahmad dan Hasan. Muhammad, anak pertama dari tiga bersaudara, akan mengkritik Ptolemy
karena deskripsinya yang tidak koheren tentang operasi fisik di antara bola langit, dan
menganggap gerakan seperti itu secara fisik tidak mungkin dilakukan. Dan ketiga bersaudara
tersebut bersama-sama, atau seseorang di lingkaran mereka, akan mengkritik metode yang
digunakan Ptolemeus dalam menentukan posisi puncak matahari.[52] Ini bukanlah upaya yang
dapat dilakukan sekaligus tanpa pengalaman sebelumnya dalam teknik observasi, pengenalan
instrumen, dan lain-lain. penilaian kritis terhadap sumber kesalahan, konsep presisi yang
dikembangkan, dan hubungan yang matang antara observasi dan hasil teoretis yang dicapai.
Orang-orang yang masih kesulitan menerjemahkan teks untuk pertama kalinya tidak dapat
mencapai kedewasaan tersebut.

Problematika Babakan Akhir

Narasi klasik tidak hanya gagal memecahkan masalah yang telah saya bahas sejauh ini, yang
terkait dengan awal mula aktivitas ilmiah dalam peradaban Islam; ia juga gagal menjelaskan
pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada abad-abad berikutnya. Secara khusus, kemunduran
ilmu pengetahuan Islam, yang seharusnya disebabkan oleh lingkungan religius yang
ditimbulkan oleh serangan Ghazali terhadap para filsuf atau oleh pengenalannya terhadap visi
"instrumentalis", tampaknya tidak terjadi pada kenyataannya. Sebaliknya, jika kita hanya
melihat dokumen-dokumen ilmiah yang masih ada, kita dapat dengan jelas menggambarkan
aktivitas yang sangat berkembang di hampir setiap disiplin ilmu pada abad-abad setelah
Ghazali. Apakah itu dalam bidang mekanika, dengan karya-karya al- Jazari (1205); atau dalam
bidang logika, matematika, dan astronomi, dengan karya-karya Athir al-Din al-Abhari (w.
1240), Mu'ayyad al- Din al-'Urdi (w. 1266), "Nashir al-Dln al-Thusi (w. 1274), Qutb al-Din

20
al-Shirazi (w. 1311), Ibn al-Shatir (w. 1375), al-Qushji (w.1474), dan Shams al-Din al-Khafri
(w. 1550), atau di bidang optik, dengan karya-karya Kamal al-Din al-Farisi (w. 1320); atau
dalam Farmakologi, dengan karya-karya Ibn al-Baitar (w. 1248); atau dalam bidang kedokteran,
dengan karya-karya Ibn al-Nafis (w. 1288) masing-masing bidang tersebut memiliki karya asli
dan revolusioner yang muncul setelah kematian Ghazali dan serangannya terhadap para filsuf,
dan terkadang juga di dalam lembaga-lembaga keagamaan.

Bukan hanya karena narasi klasik tidak dapat menjelaskan produksi ilmiah yang produktif ini,
pada saat seluruh dunia Islam seharusnya dicengkeram oleh semangat religius, seperti yang
dikatakan oleh narasi klasik. Kegagalannya bahkan lebih jauh lagi. Ia membelokkan produksi
para ilmuwan tersebut dengan menganggap hasil-hasilnya tidak signifikan, dan ketika ia
mencatat bahwa hasil-hasil tersebut tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin selama periode
abad pertengahan, dan dengan demikian menyimpulkan bahwa Renaisans Eropa dicapai secara
mandiri dari apa yang terjadi di abad-abad terakhir dunia Islam. Karya-karya dunia ini yang
muncul di antara abad pertengahan Eropa dan masa Renaisans tidak dapat dimasukkan ke
dalam jenis sejarah ilmu pengetahuan umum yang dapat diasimilasikan oleh narasi klasik.
Akibatnya, perpecahan antara apa yang terjadi di dunia Islam dan apa yang terjadi di Barat
Latin antara Abad Pertengahan dan Renaisans semakin dalam dengan penerapan narasi klasik
terhadap sejarah ilmu pengetahuan. Pada akhirnya, jurang pemisah itu begitu dalam sehingga
hubungan antara kedua dunia tersebut tidak dapat dipahami lagi, jika studi tentangnya pernah
dilakukan.

Dengan kebangkitan Eropa yang dianggap sebagai hasil produksi Eropa yang independen, dan
dengan lintasan perkembangan ilmiah yang berfokus pada apa yang terjadi pada kebangkitan
Eropa, kita juga kehilangan pandangan tentang kegiatan menarik yang terjadi di perbatasan
antara peradaban Islam dan Bizantium. Dengan narasi klasik yang menekankan pentingnya
sumber-sumber Arab, hanya sejauh sumber-sumber itu dapat mengarah pada pemulihan zaman
kuno Yunani klasik--yang merupakan objek Renaisans seperti yang umumnya dipegang--aliran
ide-ide ilmiah dari tanah Islam ke wilayah Bizantium melalui penerjemahan dari bahasa Arab
ke dalam bahasa Yunani (bahasa Yunani Bizantium pada masa itu), yang dimulai paling tidak
sejak abad kesepuluh dan berlanjut hingga runtuhnya kekaisaran Bizantium di abad ke-15,
masih belum diperhitungkan. Akibatnya, seluruh episode kegiatan ilmiah yang bermigrasi
melintasi budaya hampir sepenuhnya hilang hingga hari ini. Seandainya bukan karena
upaya-upaya kecil yang dilakukan oleh Neugebauer, Pingree, Tihon, dan rekan-rekannya, dan
yang terbaru adalah Mavroudi, tak seorang pun akan mengetahui bahwa ada sebuah episode

21
yang kaya akan pertukaran ilmu pengetahuan antara Islam dan Bizantium dengan arah yang
sama sekali tak terduga. Pertukaran ini, seperti yang semakin lama semakin jelas, mungkin
telah memainkan peran yang sangat penting dalam mentransmisikan ide-ide ilmiah dari
peradaban Islam ke Renaisans Eropa, dan dengan demikian harus mengubah citra Renaisans itu
sendiri ketika hal itu sepenuhnya diperhitungkan.

Dari masalah-masalah yang terkait dengan narasi klasik, kita harus mencatat bahwa desakan
pada kemandirian Renaisans Eropa dari pengaruh luar juga membuat kita tidak menghargai
peran ilmuwan Renaisans yang kurang dikenal seperti Guillaume Postel (1510-1581), yang
anotasi tulisan tangannya pada naskah-naskah astronomi Arab, yang masih tersimpan di
perpustakaan-perpustakaan Eropa, harus memunculkan pertanyaan mengenai sifat alamiah dari
kegiatan astronomi Renaisans Eropa. Ketika kita melihat beberapa manuskrip astronomi Arab
yang dimiliki oleh Postel dan diberi anotasi dengan tangannya sendiri, dan mengingat bahwa
Postel mungkin saja menggunakan manuskrip-manuskrip yang sama untuk menyampaikan
kuliahnya dalam bahasa Latin di lembaga yang kemudian menjadi College de France, kita
kemudian dipaksa untuk bertanya, "Ilmu pengetahuan siapakah yang merupakan ilmu
pengetahuan Arab di Eropa pada masa Renaisans?". Semua persoalan ini harus dipecahkan,
tidak hanya untuk memahami sejauh mana ilmu pengetahuan Islam menjadi bagian integral
dari ilmu pengetahuan Renaisans, tetapi juga untuk memahami hakikat ilmu pengetahuan
Renaisans itu sendiri.

Dengan nada yang sama, jika kita mengabaikan, seperti yang didorong oleh narasi klasik,
kontak teoretis antara tanah Islam dan Eropa Renaisans, seperti transmisi teorema matematika
yang digunakan dalam teori-teori astronomi, maka kemunculan tiba-tiba teorema-teorema
tersebut dalam bahasa Latin Renaisans. Teks-teks itu juga akan tetap tidak diketahui dan tidak
dapat dipahami. Kita telah mengetahui bahwa para astronom di dunia Islam telah
menggunakan teorema-teorema tersebut selama beberapa abad. Kita akan memiliki kesempatan
untuk kembali ke ranah penelitian yang sangat subur ini ketika kita mempertimbangkan
hubungan antara astronomi matematis Copernicus dan para pendahulunya yang beragama
Islam.

Kasus disiplin astronomi secara khusus sangat relevan di sini karena alasan lain. Karena
disiplin ilmu inilah yang tampaknya paling menderita akibat popularitas dan hegemoni narasi
klasik. Di satu sisi, kita mencatat aktivitas yang luar biasa, dengan tingkat ketelitian matematis
dan teknis tertinggi, yang terus berkembang di dunia Islam setelah kematian Ghazali,
sedemikian rupa sehingga saya menjuluki periode pasca-Ghazali ini sebagai masa keemasan

22
astronomi Islam, namun tidak ada satu pun dari hasil-hasil yang dicapai pada masa itu yang
memiliki peluang untuk dipertimbangkan oleh para pendukung narasi klasik sebagai sesuatu
yang patut diperhatikan, apalagi mempertimbangkan pengaruhnya terhadap Eropa Renaisans.
Bahkan, seperti yang akan kita lihat nanti, beberapa hasil yang dicapai pada periode ini sangat
kurang dipahami oleh sedikit orientalis yang berusaha mempelajarinya, sehingga
signifikansinya tidak dipahami dengan baik, baik oleh sejarawan ilmu pengetahuan Islam
maupun sejarawan ilmu pengetahuan Renaisans.

Sebagai contoh, ketika orientalis besar Baron Carra De Vaux mencoba untuk memahami bab
terpenting dalam karya astronomi Nashir al-Din al- Tusi, al-Tadhkira (jilid II, bab 11), untuk
membuat hasil dari bab ini dapat digunakan oleh Paul Tannery untuk buku klasiknya
Recherches sur l'Histoire de l'Astronomie Ancienne, De Vaux mengatakan hal ini: "Le chapitre
dont nous allons donner Ia traduction suffira peut-etre a faire sentir ce que Ia science
musulmane avait de faiblesse, de mesquinerie, quand elle voulait etre originale." (Bab yang
terjemahannya akan kami berikan ini mungkin akan cukup untuk memberikan gambaran
tentang kelemahan dan kepicikan ilmu pengetahuan Muslim ketika mereka ingin menjadi
orisinil.) Ia melanjutkan: "La portee de ce chapitre n'est done pas tres grande; il merite
neanmoins d'etre lu a titre de curiosite." (Cakupan bab ini memang tidak terlalu luas, namun
layak untuk dibaca sebagai rasa ingin tahu). Hal ini dikatakan tentang bab yang paling relevan
dengan astronomi Copernicus, yang sendiri menggunakan hasil yang telah ditetapkan di
dalamnya oleh Tusi untuk menyusun sebuah komponen yang sangat penting dari karya
astronominya, De Revolutionibus. Sebagai hasil dari kerangka berpikir yang dihasilkan oleh
narasi klasik, signifikansi nyata dari episode ini terhadap revolusi melawan astronomi
Ptolemeus, dan terhadap karya Copernicus yang akan datang, benar-benar hilang bagi
sejarawan yang bersikeras bahwa tidak ada hasil baru yang dapat dihasilkan setelah serangan
Ghazali terhadap para filsuf.

Masih dalam bidang astronomi, dan untuk merinci lebih jauh jumlah kerusakan yang
disebabkan oleh hegemoni narasi klasik dalam sejarah intelektual, kita ambil contoh karya luar
biasa dari seorang orientalis lain, Francois Nau, yang mengedit dan menerjemahkan karya Bar
Hebraeus (1286), Livre de l'Ascension de l'Esprit sur La Forme du Ciel et de La Terre (Buku
tentang kenaikan roh dalam bentuk langit dan bumi). Tidak diragukan lagi, ini adalah karya
paling inovatif dalam bahasa Syria. Dikarang sekitar tahun 1279, karya ini sangat dipengaruhi
oleh revolusi astronomi Arab yang terjadi pada abad ke-13. Ketika mengedit dan
menerjemahkan karya tersebut, Nau tidak dapat memahami "hal-hal aneh" (sharbe noukroyoye,

23
choses etrangeres) yang dikaitkan dengan "sifat planet bulan", padahal hal-hal tersebut
sebenarnya adalah daftar keberatan terhadap astronomi Ptolemeus, yang bahkan diketahui oleh
Bar Hebraeus, meskipun ia bukanlah seorang ahli astronomi. Terminologi yang sama
digunakan oleh Bar Hebraeus untuk menggambarkan masalah equant, yang lebih terkait
dengan planet-planet "atas" (Saturnus, Yupiter, Mars, dan Venus) dalam astronomi Ptolemeus.
Hal-hal "aneh" yang dimaksud oleh Bar Hebraeus sebenarnya berada dalam konteks keberatan
yang sama dengan keberatan-keberatan terhadap astronomi Ptolemeus, dan telah ditulis dan
dikodifikasi dalam sumber-sumber Arab sejak abad kesembilan. Hal-hal tersebut ditulis dengan
sangat rinci dalam karya Ibn al-Haitham (w. 1049) yang terkenal yang masih ada, yang disebut
al-Syukuk 'ala Batlamyus (Dubitationes in Ptolemaeum, Keraguan atas Ptolemeus).

Lebih jauh lagi, Nau tidak mungkin menyadari adanya saling ketergantungan antara teks Bar
Hebraeus dengan teks-teks pengarang sezamannya, seperti Mu'ayyad al-Din al-Urdi dan
Nashir al-Din al-Tusi serta karya- karya lainnya. Karya-karya para astronom yang menulis
dalam bahasa Arab tersebut belum dipelajari pada saat Nau menulis, kecuali satu bab dari
karya Tusi yang diterjemahkan oleh De Vaux dan tidak ada padanannya dalam karya Bar
Hebraeus. Tetapi kemungkinan besar, karya-karya pasca-Ghazali tersebut tidak dipelajari
karena para pendukung narasi klasik tidak menganggapnya cukup penting karena berasal dari
periode di mana tidak ada karya-karya penting yang seharusnya ditulis. Ini adalah contoh khas
dari ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya.

Hal serupa juga terjadi dalam bidang kedokteran. Untuk menyebutkan satu contoh lagi dari
kerusakan yang ditimbulkan oleh narasi klasik terhadap teks-teks pasca Ghazali, saya menarik
perhatian pada karya Ibn al-Nafis yang terkenal dari Damaskus dan Kairo, yang berani
memeriksa karya fisioterapis Yunani, Galen, dan dengan berani mengatakan bahwa ada
masalah medis dalam karya tersebut. Galen telah menetapkan bahwa darah dimurnikan di
dalam jantung dengan cara melewati ventrikel kanan ke ventrikel kiri melalui lorong di antara
kedua ventrikel. Ibn al-Nafis memprotes dengan keras, sekitar tahun 1241, bahwa tidak ada
lorong di antara kedua ventrikel jantung. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa tubuh
jantung pada saat itu solid dan tidak memungkinkan adanya lorong yang terlihat seperti yang
dikatakan oleh kebanyakan orang, dan juga tidak ada lorong yang tidak terlihat, seperti yang
dinyatakan oleh Galen. Setelah menolak otoritas Galen, dengan hanya menggunakan bukti
bahwa ia pasti telah melihat dengan matanya sendiri, ia melanjutkan dengan mengartikulasikan
perlunya darah melewati paru-paru sebelum dapat dibersihkan dan dialirkan ke ventrikel kiri
sehingga dapat dipompa ke seluruh tubuh lagi. Tentu saja temuan ini muncul kemudian dalam

24
karya-karya Michael Servetus (sekitar tahun 1553) dan Realdo Colombo (sekitar tahun 1559),
yang kemudian disempurnakan dan diartikulasikan kembali oleh Harvey pada tahun 1627 dan
menjadi sirkulasi paru atau peredaran darah yang terkenal. Poin penting yang ingin saya
sampaikan di sini adalah bahwa keberatan-keberatan Ibn al-Nafis luput dari perhatian para
pendukung narasi klasik, karena para pendukung tersebut tidak mengharapkan untuk
menemukan pemikiran orisinil seperti itu pada masa setelah Ghazali. Akibatnya,
keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dikontekstualisasikan dalam habitat Islam yang
normal, di mana keberatan-keberatan medis dan filosofis yang serupa terhadap Galen telah
diajukan sebelumnya oleh orang-orang seperti Abu Bakar al-Razi (w. 925) dalam bukunya
yang terkenal, al-Syukuk 'ala Jalinus (Keraguan terhadap Galen), atau terhadap karya-karya
astronomi Ptolemeus sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn al-Haitham yang baru saja dikutip.

Perdebatan masih berkecamuk tentang pentingnya temuan Ibn al-Nafis dan relevansinya
dengan para ilmuwan Eropa pada abad keenam belas dan ketujuh belas, semuanya karena
narasi klasik telah begitu kuat menguasai pikiran orang, dan begitu lama, sehingga sekarang
tampaknya hampir tidak mungkin untuk berpikir di luar batas-batasnya. Ini adalah jenis usia
bendungan yang telah ditimbulkan oleh narasi klasik ini pada pemahaman kita tentang
teks-teks pasca-Ghazali, serta teks-teks Renaisans Eropa itu sendiri.

25
2. Tradisi Ilmiah Islam:
Pertanyaan tentang Permulaan II

Narasi Alternatif

Kritik yang mendetail terhadap narasi klasik, pada bab sebelumnya, dilakukan dengan tujuan
untuk membebaskan sumber-sumber sejarah dan ilmiah dari benteng ide-ide yang diandaikan.
Dan sekarang setelah kita melihat ketidakmampuan narasi klasik itu, saya pikir sudah saatnya
untuk meninggalkannya sama sekali demi sebuah narasi alternatif yang dapat menjelaskan
teks-teks dan fakta-fakta sejarah dengan lebih baik. Dalam hal ini, seperti halnya di seluruh
buku ini, saya akan lebih banyak mengandalkan disiplin ilmu astronomi untuk
mengilustrasikan perkembangannya dalam terang narasi lain yang dapat menjelaskan berbagai
fase-fase yang ada dengan lebih baik. Saya memilih astronomi, bukan hanya karena disiplin ini
selalu dianggap sebagai ratu ilmu pengetahuan di hampir semua kebudayaan, tetapi juga karena
bidang ini terus mengalami perkembangan yang stabil sejak awal kemunculannya di masa awal
Islam hingga abad ke-16 dan setelahnya. Saya menduga bahwa narasi yang dapat menjelaskan
sejarah astronomi pada akhirnya dapat diuji keefektifannya ketika narasi tersebut juga
digunakan untuk menjelaskan sejarah disiplin ilmu lainnya. Kita bisa terus menguji ulang
narasi alternatif dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang mungkin dihasilkan oleh disiplin
ilmu lain, dan mengulangi proses tersebut hingga kita mencapai hari ketika kita bisa
membangun sebuah narasi yang benar-benar dapat membantu kita memahami peran
fundamental sains dalam peradaban Islam. Hanya dengan demikian kita dapat dengan aman
dan lebih yakin menghubungkan peran sains Islam dengan peran yang dimainkan oleh
sains-sains lain dalam budaya lain.

Saya sadar bahwa apa yang kita ketahui sekarang dari masing-masing disiplin ilmu Islam
masih merupakan puncak gunung es, dan dengan demikian puncak ini dapat menghasilkan

26
gambaran yang cacat ketika diambil untuk mewakili keseluruhan gunung es. Tapi saya percaya
bahwa kita cukup tahu, setidaknya dalam disiplin ilmu astronomi, sehingga kita bisa
menggunakan itu untuk membangun narasi yang lebih akurat untuk menempatkan sains pada
budaya Islam.

Kita dapat menggunakannya sebagai kerangka untuk kita dapat membangun narasi yang lebih
akurat mengenai tempat ilmu pengetahuan dalam budaya Islam. Saya mengundang rekan-rekan
yang bekerja dalam disiplin lain dari budaya yang sama, terutama disiplin-disiplin yang
mengalami pertumbuhan berkelanjutan selama berabad-abad, untuk menguji narasi baru ini
dengan fakta-fakta yang dapat mereka kumpulkan dalam disiplin masing-masing dan memulai
dialog tentang cara terbaik untuk menjelaskan peran berbagai aspek ilmu pengetahuan Islam.
Saya yakin bahwa akan sangat sulit untuk berbicara tentang satu ilmu pengetahuan Islam yang
memiliki karakteristik ini atau itu, tetapi jauh lebih mungkin berbicara tentang berbagai disiplin
yang mengalami lintasan berbeda sepanjang sejarah panjang peradaban Islam. Dan inilah cerita
terakhir yang seharusnya kita upayakan untuk rinci.

Akar dari narasi alternatif yang saya usulkan ini harus dicari dalam sumber-sumber sejarah itu
sendiri. Ini, meskipun kita tidak dapat menemukan banyak sumber yang teoretis tentang awal
kegiatan ilmiah itu sendiri. Namun, kita masih menemukan beberapa yang melakukan sesuatu
yang dekat dengan itu atau yang lain dari mana kita dapat menarik upaya dasar semacam itu.
Sumber-sumber tersebut, khususnya, yang ingin saya tanyakan, dan untuk menekankan pada
titik ini, agar konteks sejarah sebisa mungkin dekat dengan peristiwa yang kita coba uraikan.

Teori utama dari periode awal Islam adalah seorang pria yang biografinya agak samar, tetapi
karyanya, yang hampir seluruhnya masih ada, penuh dengan informasi yang tampaknya luput
dari perhatian mahasiswa sejarah intelektual Islam modern serta sejarawan ilmu pengetahuan
Islam modern. Orang yang dimaksud adalah Abu al-Faraj Muhammad b. Abi Ya'qub Ishaq
al-Nadim, juga dikenal sebagai al-Warraq, pedagang kertas dan/atau penjual buku. Dari bukti
namanya saja, kita tidak bisa mengatakan apakah Abu al-Faraj sendiri yang memperoleh gelar
al-Nadim (teman karib), atau apakah gelar itu sudah dimiliki oleh ayahnya Abu Ya'qub. Saya
memilih yang pertama, karena kita tidak tahu apa-apa tentang sang ayah. Selain itu, jenis karya
yang dihasilkan Abu al-Faraj sendiri, di mana ia menggabungkan sejarah naratif anekdotal dan
serius, cukup memenuhi syarat baginya untuk menjadi teman dekat setiap khalifah. Namun,
masih banyak orang yang menyebutnya sebagai Ibn al-Nadim (anak dari teman karib, terj.).
Kita tidak tahu banyak tentang tanggal kelahiran atau kematian, tetapi yang menarik bagi kita
di sini adalah karyanya yang luar biasa, al-Fihrist, sebuah buku yang menurut pernyataannya

27
sendiri, ia selesaikan pada tahun 377 H (987-988 M). Di dalamnya, al-Nadim mencoba
menjelaskan sejarah intelektual peradaban Islam, hingga masanya, dengan survei terhadap
produksi intelektual, dalam semua disiplin yang diketahui pada awal Islam, yang dia sendiri
temui atau tentangnya dia sudah mendengar. Buku ini diatur dalam sepuluh risalah (maqalah),
masing-masing didedikasikan untuk salah satu bidang intelektual yang diakui pada masanya.

Risalah ketujuh dari risalah-risalah itu, yang langsung berkaitan di sini, membahas tentang
"ilmu-ilmu kuno," atau dengan kata-katanya sendiri "mengandung kisah para filsuf dan
ilmu-ilmu kuno serta semua buku yang ditulis dalam bidang-bidang itu." Dan di dalam risalah
ini kita menemukan keterangan berikut tentang awal kegiatan ilmiah di awal Islam. Saya
memberikan keterangan-keterangan ini sebagai pengantar untuk memperkenalkan narasi
alternatif karena saya ingin mengklaim bahwa narasi alternatif ini sudah diajukan oleh
al-Nadim sendiri dengan cara yang sederhana. Hanya saja hingga sekarang, belum ada yang
melibatkan diri dalam pengembangannya lebih lanjut. Latihan ini tidak hanya menjanjikan
pemahaman yang lebih baik terhadap karya al-Nadim itu sendiri, tetapi juga dapat memberikan
kita alat untuk memahami perkembangan ilmiah yang hanya dinarasikan oleh al-Nadim dan
oleh para bibliografer yang mengikutinya kemudian pada abad kesebelas dan ketiga belas.

Catatan Sejarah Munculnya Ilmu Pengetahuan pada Awal Islam Menurut Al-Nadim

Saya ingin memulai keterangan al-Nadim dengan menyatakan bahwa masalah-masalah yang
berkaitan dengan awal kegiatan ilmiah pada awal zaman Islam yang dibahas dalam bab
sebelumnya, serta kemunculan ilmu pengetahuan yang fenomenal selama periode tersebut,
tidak luput dari perhatian generasi awal intelektual yang hidup dalam abad-abad awal Islam.
Faktanya, topik-topik semacam itu pasti telah menjadi subjek perdebatan yang diangkat oleh
semua orang yang tertarik untuk menjelaskan munculnya produksi ilmiah dalam peradaban
Islam. Dan seperti yang diketahui, konsep "ilmu-ilmu kuno" itu sendiri—yang dibedakan dari
"ilmu-ilmu Islam"— diciptakan pada saat ini, dan harus cepat menjadi topik utama
pembahasan bagi sejarawan intelektual Islam sejauh yang tercatat dalam sumber-sumber.
Tetapi abad kesembilan dan kesepuluh khususnya sangat signifikan untuk pembahasan ini,
karena seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, istilah-istilah "kuno" dan "Islam," atau
"rasional" versus "tradisional" memiliki makna yang cukup khusus pada periode ini.

Sumber-sumber abad kesembilan, dan kemudian lebih terperinci pada abad kesepuluh,
membicarakan fenomena semacam itu dan menawarkan penjelasan mereka sendiri. Tetapi

28
bagian paling canggih tentang munculnya ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam awal dan
motivasinya, yang saya ketahui, adalah bagian ini sendiri, yang diberikan dalam al-Nadim
dalam Fihrist .

Dalam bagian pengantar dari Risalah Ketujuh Fihrist al-Nadim, risalah yang didedikasikan
untuk "ilmu-ilmu kuno" dan masuknya ilmu mereka ke dalam peradaban Islam seperti yang
baru saja kita katakan, al-Nadim mencoba menyurvei berbagai pendapat yang umumnya
dipegang tentang subjek tersebut pada masanya sendiri. Di sini, dia bertindak lebih sebagai
sejarawan intelektual yang berusaha menjelaskan peristiwa sejarah daripada sejarawan yang
hanya mencatatnya. Dengan gaya sendiri untuk menarik perhatian pembaca, ia menyusun
keterangan-keterangan itu dalam bentuk anekdot, lebih seperti cerita pendek (ia sebenarnya
menyebut setiapnya sebuah hikayat (cerita), tetapi dalam setiap kasusnya ia melaporkan
transmisi ilmu pengetahuan dari satu budaya ke budaya lain seolah-olah ia mencoba
meletakkan dasar teoretis untuk fenomena transmisi ilmu pengetahuan secara umum. Tanpa
secara eksplisit mengatakan demikian, dia tentu berharap dapat menggunakan berbagai cerita
ini untuk menjelaskan pengenalan "ilmu-ilmu kuno" ke dalam bahasa Arab.

Dua cerita pertama diatributkan kepada para ilmuwan itu sendiri, yaitu mereka yang mencari
nafkah dari pengetahuan mereka tentang "ilmu-ilmu kuno." Dengan ilmuwan, al-Nadim
tampaknya mengindikasikan para profesional yang mencari nafkah dari "ilmu-ilmu kuno" dan
yang kemungkinan besar lebih tahu sejarah profesinya daripada orang lain. Pada dasarnya, itu
adalah asumsi yang sangat wajar, pikir seseorang. Tetapi sayangnya al-Nadim tidak
memberikan indikasi bahwa ia tahu bahwa asumsi itu sendiri terbuka untuk bias internal dari
para profesional itu sendiri. Dalam pandangan al-Nadim, para ilmuwan itu pantas mendapatkan
bagian terbesar dari narasi interpretatif yang mengatur sejarah disiplin mereka. Karena bagian
dari diskusi ini menyentuh aspek interpretatif dari munculnya ilmu pengetahuan dalam
peradaban Islam, setidaknya sejauh yang diketahui oleh al-Nadim, dan karena ini penting
secara teoritis maupun historis untuk diskusi kita, maka saya akan mengutip akun al-Nadim ini
dengan cukup rinci pada titik ini. Al-Nadim mengambil ceritanya yang pertama dari sebuah
buku yang disebut Kitab al-Nahmatan. Buku itu sendiri sudah tidak ada lagi secara lengkap,
dan tampaknya hanya tersisa dalam fragmen-fragmen, seperti yang dikutip di sini oleh
al-Nadim. Penulisnya adalah Abu Sahl al-Faql b. Nawbakht, yang hanya disebut Abu Sahl oleh
al-Nadim. Ia tampaknya adalah Abu Sahl yang juga merupakan ahli astrologi dari Harun
al-Rasyid, dan Putra Nawbakht yang turut serta dalam pembuatan horoskop Baghdad pada
masa pemerintahan al-Mansur, seperti yang telah kita ketahui sebelumnya. Meskipun kita tahu

29
bahwa Nawbakht, sang ayah, mungkin meninggal pada akhir pemerintahan al-Mansur pada
tahun 775, kita tidak tahu seberapa lama putranya Abu Sahl hidup, jika ia masih hidup, setelah
Harun al-Rasyid yang meninggal pada tahun 809. Dalam setiap kasus, dalam tulisan al-Nadim
sesuai teks al-Nahmatan dikutip sebagai berikut (dengan beberapa perubahan untuk
menghindari bahasa yang berlebihan):

Cerita Abu Sahl b. Nawbakht

Jenis-jenis ilmu dari ilmu perbintangan untuk mengambil ramalan tentang hal-hal di masa
depan sudah diketahui dan dijelaskan dalam buku-buku orang Babel. Dari buku-buku itu lah
orang Mesir belajar kerajinannya, dan orang India juga menggunakannya di negara mereka
sendiri. Itu terjadi pada saat orang-orang kuno itu belum melakukan dosa dan perbuatan jahat,
dan mereka belum tenggelam begitu dalam dalam ketidaktahuan yang menyebabkan pikiran
mereka menjadi bingung dan mimpi-mimpi mereka meninggalkan mereka. Kebingungan
mereka menyebabkan kehilangan agama mereka, dan dengan demikian mereka menjadi
benar-benar hilang dan sepenuhnya bodoh. Mereka tetap dalam kondisi itu untuk sementara
waktu sampai beberapa keturunan mereka mengalami pencerahan yang memungkinkan mereka
mengingat ilmu-ilmu masa lalu dan kondisi zaman dulu serta bagaimana hal-hal biasa diatur
dan konsekuensi yang biasa ditarik tentang keadaan penduduk dan posisi bola langit mereka,
jalur mereka, dan detail-detail mereka serta tempat-tempat tinggal mereka baik di langit
maupun di bumi di semua arah mereka. Itu terjadi pada masa raja Jam anak Onjihan, sang raja.

Orang-orang terpelajaran dari kalangan masyarakat mengetahui hal-hal itu pada saat itu dan
mencatatnya dalam buku-buku mereka dan menjelaskan isi buku-buku tersebut. Mereka juga
menggambarkan kondisi alam semesta di sekeliling dengan segala keagungannya dan
penyebab pembentukannya serta bintang-bintangnya. Mereka juga mengetahui kondisi
obat-obatan, pengobatan, dan talisman (jimat), dan hal-hal seperti itu yang digunakan orang
dalam urusan mereka untuk hal kebaikan dan juga kejahatan. Mereka bertahan demikian
selama beberapa waktu sampai masa al-Dahhak b. Qayy. [Dari kata-kata selain Abu Sahl:
dahak, berarti sepuluh malapetaka yang oleh orang Arab diubah menjadi al-Dahhak —kini kita
kembali ke pernyataan Abu Sahl]. Ibn Qayy memerintah selama pemerintahan, alokasi,
kedaulatan, dan gubernur Jupiter memerintah selama bertahun-tahun, di tanah Sawad [yaitu
Babel kuno]. Di sana ia membangun sebuah kota yang namanya berasal dari nama Jupiter. Ia
mengumpulkan di dalamnya ilmu-ilmu dan ilmuwan, dan membangun di dalamnya dua belas

30
istana, jumlah yang sama dengan tanda-tanda zodiakal, dan memberi nama (istana-istana)
sesuai dengan nama (tanda-tanda zodiak). Di sana ia menyimpan buku-buku dari para
cendekiawan dan membuat para ilmuwan tinggal di dalamnya.

[Dari kata-kata selain Abu Sahl: ia membangun tujuh rumah, jumlah yang sama dengan tujuh
planet dan memberikan setiap rumah tersebut kepada satu orang, dengan mempersembahkan
rumah Merkurius kepada Hermes, rumah Jupiter kepada Tinkalus, rumah Mars kepada
Tinqarus (Teukreus?).]

Kita kembali ke pernyataan Abu Sahl.

Masyarakat taat pada mereka dan mengikuti petunjuk mereka, karena mereka tahu seberapa
jauh lebih maju mereka dalam hal pengetahuan dan cara memastikan kesejahteraan mereka,
sampai seorang nabi diutus kepada mereka. Begitu nabi muncul di antara mereka dan begitu
mereka mengetahui tentangnya, mereka melupakan ilmu-ilmu mereka, dan pikiran mereka
menjadi bingung. Akibatnya, mereka menjadi terpecah dan pendapat mereka beragam sesuai
dengan hawa nafsu dan kelompok mereka, sedemikian rupa sehingga setiap orang dari para
ulama itu pergi ke sebuah kota untuk menetap di sana dan memerintah penduduknya.

Di antara mereka ada seseorang bernama Hermes. Dia adalah yang paling sempurna dari segi
intelektualnya, paling presisi dalam pengetahuan, dan paling cerdas. Dia datang ke tanah Mesir.
Ia memerintah penduduknya, memperkaya tanahnya dan meningkatkan kondisi penduduknya,
dan memanifestasikan ilmunya di dalamnya. Tetapi sebagian besar ilmu itu dan yang terbaik
dari ilmu itu tetap di Babel, sampai saat raja Alexander dari Yunani menyerbu tanah Persia,
dari sebuah kota yang orang Yunani sebut Makedonia. Itu terjadi pada saat raja Persia Darius
menolak upeti yang dikenakan pada Babel dan Persia, dan dengan demikian Alexander
membunuh raja Dara putra Dara dan mengambil alih kekuasaannya. Dia menghancurkan
kota-kota dan menara-menara yang dibangun oleh iblis dan raksasa dan meruntuhkan semua
bangunan dengan semua ilmu yang diukir di batu-batu dan kayunya. Dia menghancurkan dan
membakar semua itu dan menyebarkan isinya ke mana-mana. Dia menyalin apa yang
dikumpulkan di perpustakaan dan kantor pemerintahan kota Istakhr. Dia menerjemahkan
semua itu ke dalam bahasa Yunani dan Koptik. Dan setelah dia selesai menyalin apa yang dia
butuhkan dari semuanya itu, dia membakar semua yang tetap tertulis dalam bahasa Persia,
termasuk sebuah buku yang disebut al-Kushtaj. Dia mengambil semua yang dia butuhkan dari
buku-buku ilmu bintang, kedokteran, dan ilmu alam dan mengirimkannya bersama dengan apa
yang dia kumpulkan dari ilmu-ilmu, harta karun, dan ilmuwan lainnya ke Mesir.

31
Ada sedikit hal yang dikirim oleh raja-raja Persia untuk disimpan di India dan China pada masa
nabi mereka Zaradasht (Zoroaster) dan Jamasp Si Bijak. [Ini terjadi] ketika mereka diingatkan
oleh nabi dan Jamasp akan perbuatan Alexander dan penaklukannya atas tanah mereka,
penghancuran buku-buku dan ilmu mereka, dan pemindahannya ke negerinya sendiri.

Pada saat itu, ilmu pengetahuan di Irak menghilang, terpecah-belah, dan para ilmuwan, sekecil
mereka, berselisih pendapat dan sangat berbeda. Masyarakat terbelah sepanjang garis partai
dan tersebar dalam perpecahan, sehingga setiap kelompok dari mereka mengambil seorang raja
untuk dirinya sendiri, dan dengan demikian disebut muluk al-tawaif (raja-raja sekte).

Kemudian orang Yunani datang di bawah satu kekuasaan selama masa Alexander; dan setelah
terpecah dan terlibat perang satu sama lain, mereka akhirnya bersatu dengan satu tangan.
Sementara kekuasaan Babel tetap lemah, korup, dan terpecah-belah, dan penduduknya tertindas,
dan dikalahkan, sehingga mereka tidak dapat membela kehormatan mereka atau
menghilangkan setiap bahaya. Kondisi ini berlangsung, sampai datangnya pemerintahan
Ardashir, putra Babak, dari dinasti Sassan. Dia mempersatukan perpecahan mereka,
menyatukan berbagai sekte mereka, dan menaklukkan musuh mereka serta menguasai negara
mereka. Dia menyatukan mereka di bawah kekuasaannya, menghilangkan paham sempit
mereka, dan berambisi menguasai mereka dengan penuh. Lalu ia mengirim utusan ke India dan
Cina serta ke Yunani untuk buku-buku yang mereka miliki. Ia menyalin semua yang telah jatuh
ke tangan mereka, dan mengejar ilmu yang sangat sedikit yang masih bertahan di Irak. Ia
mengumpulkan semua yang telah tersebar, dan mengumpulkan semua yang tercecer.

Putranya, Shapur, yang menggantikannya, tetap mempertahankan kebijakan ini, sampai semua
buku itu disalin ke dalam bahasa Persia: di antaranya buku-buku Hermes dari Babel yang
memerintah di Mesir, Dorotheus dari Suriah, Phaedrus dari Yunani dari kota Athena yang
terkenal dengan keilmuannya, Ptolemy dari Aleksandria, Farmasp dari India. Mereka kemudian
menjelaskan buku-buku itu dan mengajarkannya kepada masyarakat, sama seperti mereka
belajar dari buku-buku itu, yang pada awalnya berasal dari Babel.

Kemudian Chosroes Anushirvan menggantikan kedua orang itu [yang dimaksud Ardashlr dan
Shapur] dan melakukan pengumpulan dan pengumpulan buku sendiri, dan menggunakannya
karena cintanya dan gairahnya terhadap pengetahuan. Dan begitu pula halnya dengan setiap
bangsa yang telah mengalami peristiwa semacam itu pada saat-saat tertentu dan nasib mereka
berubah. Mereka akan memperoleh ilmu pengetahuan baru sesuai dengan takdir yang

32
ditetapkan oleh planet dan tanda-tanda zodiak yang mengendalikan dunia ini atas perintah
Tuhan Yang Maha Kuasa. Di sini berakhir ucapan Abu Sahl.

Cerita ini memang mengemukakan legenda-legenda. Tetapi mudah untuk mendeteksi


maksudnya dan alasan mengapa Abu Sahl menceritakannya. Selain menyindir kemungkinan
konflik antara raja dan nabi, Abu Sahl jelas ingin menyoroti dua isu utama: 1) kekunoan ilmu
bintang, yaitu astrologi, yang merupakan profesinya, dan 2) ia ingin mengaitkan asal-usul
semua ilmu pengetahuan dengan Babel, dan secara luas dengan Persia yang memerintah Babel
untuk jangka waktu yang lama. Mungkin ia melakukannya untuk membanggakan asal-usul
Persia- dan di sini kita dapat mendeteksi kebanggaan rasial yang halus yang menjadi bagian
dari sentimen shu’ubiya (anti-Arab) pada waktu itu--atau mengenai kontrolnya terhadap
disiplin astrologinya, atau keduanya.

Sentimen shu’ubiya, yang mungkin tersembunyi dalam cerita Abu Sahl, tidak menghalangi
usahanya untuk menjelaskan fenomena budaya lainnya pada saat yang sama, dan menegaskan
tempat khusus bagi budaya Persia yang jelas-jelas menjadi bagian darinya. Dengan memulai
dengan ilmu pengetahuan yang berasal dari Babel, ia melanjutkannya dengan mengkritik
Alexander Agung, musuh tradisional Persia, karena membakar ilmu pengetahuan Persia. Bagi
Abu Sahl, hal ini dapat menjelaskan mengapa ilmu-ilmu tersebut menghilang dan perlunya
untuk mengembalikannya di masa Shapur dan Chosroes. Dengan cara ini, Abu Sahl
kemungkinan besar juga ikut serta dalam tradisi sastra umum pada zamannya: tradisi yang
terbaik tercermin beberapa tahun kemudian dalam karya Jahiz (w. tahun 869), yang
menyajikan risalah khusus tentang keutamaan berbagai bangsa. Penekanan Abu Sahl bahwa
ilmu-ilmu itu kembali disatukan dalam bahasa Persia di bawah Shapur dan Chosroes adalah
upaya yang hampir transparan untuk memuliakan peran Persia dalam pelestarian dan transmisi
ilmu pengetahuan. Namun, kita hanya memiliki kata-katanya untuk itu, meskipun memang
benar bahwa beberapa ilmu pengetahuan Yunani dan India, khususnya ilmu pengetahuan
astrologi dasar, memang diterjemahkan ke dalam bahasa Persia pada waktu itu. Namun,
menggeneralisasi kisah itu untuk mencakup semua ilmu pengetahuan mendorong cerita itu ke
ranah legenda. Juga benar bahwa legenda bisa saja mengandung inti kebenaran. Dan cerita Abu
Sahl mungkin memang mengandung beberapa fakta yang tidak disengaja yang, menurut saya,
tidak dicari oleh Abu Sahl atau bahkan tidak diketahuinya pada saat itu. Hanya sekarang kita
tahu bahwa banyak pengamatan kuno Babylonia tentu digunakan oleh ahli astronomi Yunani
penting seperti Hipparchus (sekitar 150 SM) dan Ptolemy (hidup sekitar 150 M) dan memang
menjadi dasar observasional bagi karya mereka, seperti yang akan kita lihat. Beberapa

33
parameter Babylonia yang diadopsi oleh ahli astronomi Yunani terlalu halus bagi Abu Sahl
untuk mengakui.

Namun, niat sejati Abu Sahl sebenarnya bukan untuk menceritakan semua itu, karena saya
percaya dia mencoba menegaskan validitas disiplin astrologinya sendiri, dan bahwa validitas
ini sebagian didasarkan pada kekunoan disiplin tersebut. Pernyataan terakhirnya tentang
ketetapan planet dan tanda zodiak serta bagaimana mereka mengendalikan nasib bangsa
akhirnya mengungkapkan niat sejatinya sebagai seorang astrolog. Itu adalah jenis kepercayaan
yang juga diungkapkan oleh astrolog Persia lainnya, Masha'allah, dalam sejarah bangsa-bangsa
miliknya. Secara keseluruhan, kita dapat dengan mudah berasumsi bahwa Abu Sahl akan
membuat pernyataan logis berikutnya bahwa disiplinnya valid, dan bahwa dia adalah orang
yang paling berpengetahuan tentangnya. Selanjutnya, dengan melacak disiplin ini ke orang
tertentu dalam setiap periode dan tempat, terdengar sangat mirip dengan kisah yang diuraikan
oleh al-Farabi tentang sejarah filsafat, yang sudah kita kutip sebelumnya, dan di mana selain
memiliki seorang filsuf yang terkait dengan seorang raja tertentu dalam setiap periode (seperti
Aristoteles yang terkait dengan Alexander), Farabi akhirnya melacak sejarah disiplin filsafat
sehingga dia akan keluar sebagai penerima manfaat utama dari disiplin tersebut. Di sini lagi,
setiap bijak memiliki negara untuk diperintah, dan sebuah planet untuk memberinya kekuatan.
Semua legenda ini harus ditempatkan dalam kerangka astrologi yang umum pada bagian
pertama abad kesembilan, dan yang menetapkan bahwa semua orang dan semua bangsa tunduk
pada ketetapan bintang-bintang, sebagaimana yang ditegaskan dengan tegas dalam karya
Masha'allah yang baru saja disebutkan.

Upaya legendaris ini, baik itu Farabi, atau Masha'allah, dan sekarang Abu Sahl, menunjukkan
keinginan sepanjang waktu untuk mencari asal-usul, terlepas dari apakah asal-usul tersebut
terkait dengan ilmu pengetahuan, budaya, atau bahkan legenda dan epik, kisah Abu Sahl dapat
dianggap sebagai sebuah kisah penciptaan yang menargetkan penciptaan budaya. Namun, yang
lebih penting saat ini adalah alasan mengapa al-Nadim menggunakan anekdot ini. Tanpa bukti
lebih lanjut, pertanyaan ini sulit dijawab. Namun, dari perspektif al-Nadim, yang berperan
sebagai sejarawan intelektual pada zamannya, dapat dikatakan bahwa dia menggunakan
anekdot khusus ini dalam upaya untuk menyajikan narasi tentang kemunculan ilmu
pengetahuan yang mungkin umum di kalangan anggota komunitas Persia Kekhalifahan
Abbasiyah pada masa al-Nadim. Seperti yang akan kita lihat nanti, akun Abu Sahl mungkin
juga digunakan oleh al-Nadim untuk berbagi dengan pembacanya cerita umum tentang
transmisi ilmu pengetahuan yang dikenal pada zamannya. Dan karena kisah ini memiliki benih

34
kebenaran, seperti yang baru saja disebutkan, al-Nadim mungkin merasa dapat
menggunakannya sebagai penjelasan pertama yang masuk akal tentang transmisi ilmu
pengetahuan, penjelasan yang jelas umum diadopsi oleh komunitas Persia pada awal masa
Abbasiyah. Selanjutnya, memulai dengan kisah Abu Sahl juga memberikan kesempatan kepada
al-Nadim untuk memulai dari awal, yaitu, dari asal-usul ilmu pengetahuan di Babilonia, yang
mungkin juga menjadi keyakinannya sendiri. Kisah-kisah kemudian, yang akan segera kita
lihat, mengambil sisa narasi dari titik di mana Abu Sahl meninggalkannya (yaitu, dari waktu
ketika semua ilmu pengetahuan dikumpulkan kembali di Persia). Mulai dari situ, al-Nadim
dapat mengikuti perkembangan mereka hingga mencapai peradaban Islam, yang merupakan
lintasannya sejak awal. Untuk menggambarkan niat ini, kita harus menekankan terlebih dahulu
bahwa dalam kisah ini Abu Sahl tidak mengatakan apa-apa tentang sejarah ilmu pengetahuan
zaman nya sendiri, dan mengakhiri cerita seolah-olah semua ilmu pengetahuan Persia masih
ada untuk diakses, yang kita tahu tidak benar secara historis. Bagi al-Nadim, bagaimanapun,
yang perlu dilakukannya hanya merangkai kisah ini bersama dengan yang lain untuk membawa
ilmu pengetahuan yang sama dari Persia ke dalam peradaban Islam. Anekdota-anekdota berikut
berhasil mencapai tujuan tersebut dengan sangat baik, seperti yang akan kita lihat.

Kisah Abu Ma'shar

Kisah kedua al-Nadim berasal dari seorang ahli astrologi terkenal, Abu Ma'shar al-Balkhi,
seorang sarjana hadis yang pada suatu waktu teralihkan dari pencariannya dalam ibadah haji
dan ilmu hadis dengan mempelajari astrologi.

Menurut Tannukhi, Abu Ma'shar terus belajar astrologi hingga akhirnya menjadi seorang ateis
(hatta alhada). Alasan beralihnya dari ilmu hadis ke astrologi dilaporkan disebabkan oleh
permusuhan dengan filsuf terkenal al-Kindi (w. 870) karena ketertarikan Al-Kindi pada ilmu
pengetahuan kuno, suatu hal yang pertama kali ditentang oleh Abu Ma'shar. Al-Kindi yang
meyakinkannya untuk mempelajari geometri dan aritmatika, tampaknya karena kegunaan
mereka dalam studi keagamaan, dan memasuki ilmu pengetahuan kuno membawa Abu Ma'shar
untuk mengejar astrologi. Kisah ini mencerminkan hubungan astrologi dengan ilmu keagamaan
pada saat itu dan mencerminkan upaya awal untuk menyerang ilmu pengetahuan kuno karena
kaitannya dengan disiplin astrologi yang dikecam secara agama. Kita akan memiliki
kesempatan untuk kembali ke dinamika ini nanti. Namun, penting untuk dicatat di sini bahwa
Kindi menggunakan aritmatika dan geometri sebagai pintu masuk ke ilmu pengetahuan asing,

35
dan tampaknya diterima oleh orang-orang beragama. Kita juga akan memiliki kesempatan
untuk kembali ke topik ini juga.

Untuk saat ini, pentingnya kisah Abu Ma'shar bagi al-Nadim adalah bahwa kisah ini dimulai
dari tempat kisah Abu Sahl berhenti, dan kisah Abu Ma'shar memiliki potensi untuk melacak
transmisi ilmu pengetahuan satu langkah lebih maju sebelum akhirnya dibawa ke dalam
peradaban Islam. Buku Abu Ma'shar di mana kisah ini muncul disebut Kitab ikhtilaf al-zijat
(Buku tentang variasi di antara zijes), dan seperti buku Abu Sahl, tampaknya buku ini juga
hilang, kecuali untuk fragmen ini yang jelas masih ada dalam karya al-Nadim. Untuk tujuan
al-Nadim, kisah ini memiliki minat khusus dengan alasan berikut:

Abu Ma'shar mengatakan, dalam bukunya Kitab ikhtilaf al-zijat, bahwa kecintaan raja-raja
Persia terhadap pelestarian ilmu pengetahuan, kehati-hatian ekstrem mereka dalam
mempertahankannya sepanjang zaman, dan kekhawatiran mereka untuk melindunginya dari
bencana alam, baik yang berkaitan dengan iklim maupun bencana di bumi, telah mendorong
mereka untuk mencari media tulisan yang paling stabil (makatib), paling tahan lama, dan
paling tidak mungkin terkena kerusakan dan penyilauan, yaitu, kulit kayu khadank (pohon
poplar), yang disebut tuz. Orang India, Cina, dan bangsa lain di sekitar mereka meniru mereka
dalam hal itu. Mereka juga memilih kayu yang sama untuk anak panah mereka karena
kekakuan, kelancaran, dan ketahanannya.

Setelah mereka mengumpulkan media tulisan terbaik yang bisa mereka temukan, di mana ilmu
pengetahuan mereka dapat disimpan, mereka mencari bangunan di suatu tempat di Bumi yang
memiliki tanah dan tanah liat terbaik, paling tidak mungkin menyebabkan kerusakan, dan
paling jauh dari gempa bumi dan tanah longsor. Mereka mencari di wilayah kerajaan, dan tidak
menemukan tempat di bawah langit yang memiliki sebagian besar kualitas itu selain Isfahan.
Lalu mereka mencari di wilayah itu, mereka tidak dapat menemukan tempat yang lebih baik
daripada perkemahan (rustaq) Jayy. Begitu juga di dalam Jayy, mereka tidak dapat menemukan
tempat yang memiliki lebih banyak kualitas daripada tempat di mana kota Jayy dibangun
kemudian.

Mereka datang ke Quhunduz, yang berada di dalam kota Jayy, dan menaruh ilmu pengetahuan
mereka di sana. Bangunan itu masih berdiri hingga saat ini dan sekarang disebut Saruyah. Dan
karena bangunan ini, orang tahu siapa yang pertama kali membangunnya. Ini karena
bertahun-tahun yang lalu, bagian dari konstruksi itu runtuh, yang mengungkapkan sebuah
kubah yang dibangun dari tanah liat sangat keras (Siltah). Di sana mereka menemukan

36
berbagai ilmu pengetahuan kuno, yang dilestarikan pada kulit pohon tuz, dan ditulis dalam
bahasa Persia kuno. Salah satu buku itu dibawa kepada seseorang yang bisa memahaminya.
Dia membacanya dan menemukan surat yang ditulis oleh salah satu raja kuno Persia. Di
dalamnya, ia menceritakan bahwa ketika raja Tahmurath, yang mencintai ilmu pengetahuan
dan para ilmuwan, mengetahui tentang peristiwa iklim yang akan terjadi di barat, di mana
hujan akan terus-menerus turun dan melampaui batas biasa, dan bahwa selama dua ratus tiga
puluh dua tahun dan tiga ratus hari akan memisahkan hari pertama pemerintahannya dari
peristiwa tersebut—menurut para ahli astrologi yang memperingatkannya di awal
pemerintahannya bahwa peristiwa ini akan berpindah dari barat ke timur—ia memerintahkan
para insinyur untuk menemukan tempat terbaik di kerajaan dalam hal tanah dan udara. Mereka
yang memilih untuknya adalah struktur yang dikenal sebagai Saruyah, yang masih berdiri di
dalam kota Jayy. Dia kemudian memerintahkan agar bangunan padat ini didirikan. Ketika
selesai, dia mengangkut banyak ilmu pengetahuan dari perpustakaannya sendiri ke sana, dan
semuanya ditulis pada media kulit pohon taz. Dia meletakkannya di satu sisi rumah agar tetap
terjaga setelah melewati peristiwa iklim.

Di antara (buku berharga itu) ada sebuah buku yang diatributkan kepada salah seorang bijak
bestari kuno, yang berisi tahun dan revolusi tertentu dari mana seseorang bisa mengekstrak
pergerakan rata-rata planet dan penyebab pergerakan mereka. Orang-orang yang hidup pada
zaman Tahmurath, dan mereka yang datang sebelum mereka dari bangsa Persia, dulu biasa
menyebut revolusi-revolusi itu sebagai siklus hazarat (Ribuan). Sebagian besar ilmuwan India,
serta semua raja mereka yang memerintah di seluruh bumi, dan orang-orang Persia dan Kaldia
kuno, yang tinggal di tenda di Babel kuno, dulu biasa mengekstrak pergerakan rata-rata ketujuh
planet dari tahun-tahun dan revolusi ini. Orang-orang yang hidup pada waktu itu menetapkan
[pergerakan rata-rata] menurut zij yang mereka temukan sebagai yang paling benar menurut uji
coba dan paling ringkas dari semua zijes yang dikenal saat itu. Ahli astrologi mengekstrak
darinya sebuah zij yang mereka sebut Shahriyar, yang berarti raja zij. Inilah akhir pernyataan
Abu Ma'shar.

Pada titik ini, al-Nadim menyisipkan laporannya sendiri dari cerita-cerita yang jelas-jelas
beredar pada zamannya. Teks menambahkan:

Muhammad bin Ishaq [yaitu al-Nadim] berkata: Seseorang yang dapat dipercaya melaporkan
kepada saya bahwa pada tahun 350 hijriah [961 M], sebuah kubah lain juga runtuh, lokasinya
tidak terdeteksi karena atapnya dianggap padat sampai runtuh, dan dengan demikian,
mengungkapkan banyak buku yang tidak dapat dibaca oleh siapa pun. Yang saya lihat dengan

37
Dengan mata kepala sendiri, pecahan buku yang ditemukan sekitar tahun empat puluh [yakni,
sekitar tahun 950 M] dalam kotak yang diletakkan di tembok Isfahan dan dikirim oleh Abu
al-Faql Ibn al-'Amid [Muhammad b. al-Husain w. 970]. Buku-buku itu berbahasa Yunani, dan
oleh karena itu dipercayakan kepada orang seperti Yuhanna yang bisa membacanya. Mereka
ternyata berisi nama-nama prajurit dan gajinya. Tetapi mereka sangat membusuk dan berbau
sangat busuk seolah-olah baru saja diambil dari penyamakan kulit. Setelah ditahan di Baghdad
selama setahun atau lebih, mereka mengering dan tidak berbau lagi. Beberapa dari mereka
masih disimpan oleh guru kita Abu Sulaiman. Dikatakan bahwa Saruyah adalah salah satu
bangunan lama dan sangat bagus yang luar biasa, di timur, dibandingkan dengan Piramida di
tanah Mesir, di barat, dalam hal konstruksi yang megah dan luar biasa.

Niat dari cerita ini adalah untuk menunjukkan cinta raja-raja Persia terhadap ilmu pengetahuan
dan upaya yang mereka lakukan untuk melindungi ilmu pengetahuan. Karena mereka, gerakan
rata-rata planet dilestarikan bagi para ahli astrologi yang dapat menggunakan nilai-nilai
tersebut untuk membuat horoskop dan sejenisnya. Rincian akun mengenai jenis materi tempat
mereka ditulis dan tempat-tempat di mana mereka disimpan, dan perhatian ekstra yang
diberikan untuk melestarikannya, semuanya menunjukkan bahwa gerakan rata-rata tersebut
dapat dipercayai, dan astrologer seperti Abu Ma'shar sendiri seharusnya memilih untuk
menggunakannya. Ini jelas memberikan keuntungan bagi Abu Ma'shar dibandingkan dengan
orang lain, karena pengetahuannya yang intim tentang parameter-parameter tersebut.

Di sisi lain, cerita ini juga menekankan bahwa adalah para ahli astrologi yang memprediksi
bencana iklim yang akan datang dari barat, dan merekalah yang mendorong pelestarian buku,
dengan demikian bertindak sebagai penjaga warisan intelektual. Moral dari cerita ini adalah
pengetahuan para ahli astrologi dapat dipercayai dan dihargai karena kemampuan mereka
untuk memprediksi peristiwa masa depan, seperti yang mereka lakukan, tampaknya berhasil
menurut cerita, dengan bencana iklim.

Sumber lain dari seabad kemudian, seperti dalam kasus Biruni (w. tahun 1050), tampaknya
menguatkan niat cerita tersebut: untuk menyoroti perhatian dengan yang raja-raja Persia
berusaha melestarikan dan menghargai buku-buku di tanah Persia. Fakta bahwa cerita-cerita
seperti ini terus-menerus diulang hanya dapat berarti bahwa mereka pasti beredar luas pada
abad kesepuluh dan kesebelas. Namun, tujuan cerita ini, seperti yang dapat dilihat dari satu ini,
adalah untuk menekankan tidak hanya kekunoan ilmu astrologi, tetapi juga bahwa
sumber-sumbernya telah dijamin dan dilestarikan dengan baik selama berabad-abad, suatu

38
kebutuhan utama untuk suatu disiplin yang harus bergantung pada peristiwa yang
berulang-ulang yang oleh sifatnya memerlukan berabad-abad untuk terjadi kembali.

Saya membaca cerita-cerita ini kurang sebagai sumber sejarah, lebih sebagai upaya putus asa
oleh ahli astrologi untuk melegitimasi disiplin mereka menghadapi serangan yang sangat berat
yang pasti mereka hadapi pada saat ini, seperti yang sangat baik didokumentasikan dalam
karya utama yang masih ada dari Abu Ma'shar yang sama: Pengantar Astrologi, yang berasal
dari periode yang sama.

Cerita-cerita seperti ini mengenai transmisi ilmu pengetahuan tidak dapat memiliki validitas
sejarah mereka sendiri. Nilai mereka hanya simbolis sebagai tanda keberadaan buku-buku di
perpustakaan raja-raja Persia, tetapi semuanya sepakat bahwa pada saat itu tidak ada yang tahu
jenis buku yang sebenarnya. Semua ini dapat dengan mudah terdeteksi dari trope pencarian
harta karun yang kadang-kadang muncul dalam cerita-cerita ini. Buku-buku yang diakses oleh
al-Nadim, seperti yang dilaporkan oleh al-Biruni seabad kemudian, memang sangat
terfragmentasi, berbau busuk seperti yang tidak disayangkan oleh al-Nadim (dan dengan
demikian tampaknya tidak terlestarikan dengan baik seperti yang dimaksudkan cerita), pada
dasarnya masih berbahasa Yunani. Hanya spesialis yang bisa membacanya, dan ketika
akhirnya didekripsi, ternyata hanya berisi nama-nama prajurit dan gajinya. Mereka mungkin
berisi beberapa tabel gerakan rata-rata yang dapat digunakan untuk pembuatan zij seperti zij
Shahriyar. Tetapi itu saja yang dapat dikatakan cerita-cerita ini.

Laporan-laporan ini tidak dapat dianggap sebagai catatan serius untuk transmisi ilmu
pengetahuan dari satu budaya ke budaya lainnya, karena secara historis tidak mungkin ada
transmisi pengetahuan ilmiah yang dapat bertahan hidup yang bergantung pada kebetulan
menemukan harta karun, dan ketika harta karun tersebut ditemukan, mereka tidak dapat dibaca
atau digunakan kecuali oleh sangat sedikit orang. Agar ilmu pengetahuan berkembang, harus
ada infrastruktur umum untuk itu, dan sejumlah besar orang dalam masyarakat harus dapat
berpartisipasi dalam produksinya. Jika tidak, cerita tersebut menjadi kisah tentang ilmu rahasia,
alkimia, atau talismanik yang bahkan Ibn Khaldun, pada abad keempat belas, telah
mengutuknya sebagai lingkungan yang tidak sehat untuk penyebaran ilmu. Sambil menyerang
disiplin astrologi, Ibn Khaldun menegaskan bahwa disiplin ini tidak dapat valid karena tidak
dapat diterbitkan dan didebatkan secara bebas di masyarakat, dan para ahli astrologi harus
menjalankan kerajinan mereka secara rahasia dan dengan demikian tidak dapat memiliki ilmu
yang valid, karena semua ilmu yang valid harus dipraktikkan di depan umum dan dalam cahaya
penuh, bisa dikatakan.

39
Dengan cerita Abu Ma'shar, kita sekali lagi dihadapkan pada cerita yang mirip dengan Abu
Sahl yang menekankan kekunoan disiplin astrologi. Tetapi di sini Abu Ma'shar menambahkan
sentuhan bahwa astronomis Parameter astronomi, yang menjadi dasar semua prediksi astrologi,
juga seharusnya dapat diandalkan dan memiliki keotentikan yang aman. Ini menyoroti
pentingnya nilai astronomi seperti pergerakan rata-rata planet, dan menekankan bahwa tabel
astronomi yang mencatat nilai-nilai ini disusun selama periode Persia.

Namun, seperti legenda pertama tentang Abu Sahl, yang kedua ini juga memiliki benih
kebenaran, karena kita tahu dari sumber-sumber independen bahwa buku-buku tangan
astronomi Persia tersebut ada, dan mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, atau
setidaknya luas digunakan pada awal zaman Abbasiyah. Bahwa ada sebuah zij, yang disebut
Shariyar-i zij, atau zij-i Shah, tanpa ragu benar karena sudah diakui dan digunakan oleh begitu
banyak sumber awal Abbasiyah. Tidak diragukan lagi pula bahwa astrolog awal Abbasiyah
menggunakan pergerakan rata-rata planet yang sudah dilestarikan dalam sumber Persia
sebelumnya. Tetapi pertanyaannya tetap mengenai bagaimana pergerakan rata-rata ini
diperoleh pada awalnya, dan sayangnya, cerita ini tidak memberikan banyak cahaya sejarah
pada hal tersebut. Legenda-legenda tampaknya menunjukkan arah sejarah, tetapi sangat kurang
dalam menjelaskan detail-detail pentingnya. Cerita Abu Ma'shar ini tidak berbeda.

Namun, sah untuk bertanya tentang niat al-Nadim dalam memulai catatan sejarah ilmu
pengetahuan Islamnya dengan dua cerita ini. Saya berpendapat bahwa ia hanya ingin
menyampaikan pendapat-pendapat yang beredar pada zamannya tentang asal-usul ilmu
pengetahuan Islam, seperti legenda-legenda itu. Cerita pertama mengaitkan transmisi ilmu
pengetahuan Yunani kembali ke rumah asalnya di Persia, dan yang kedua hanya
menyimpannya di sana, serta memberikan petunjuk tentang bagaimana kemudian
ditransmisikan ke peradaban Islam awal. Dalam kedua kasus ini, disiplin astrologi digunakan
sebagai template untuk sejarah umum ilmu pengetahuan, dengan cara yang mirip dengan usaha
kita sendiri dalam menggunakan disiplin astronomi sebagai template untuk perkembangan
lebih lanjut dalam ilmu pengetahuan Islam. Jika digabungkan, dengan penekanan pada apa
yang terjadi di Persia kuno dan lebih baru, dua cerita ini tampaknya mengungkapkan
sumber-sumber timur dari ilmu pengetahuan Islam, atau setidaknya menunjuk ke arah di mana
sumber-sumber tersebut bisa dicari. Dengan segala kemungkinan, itulah niat al-Nadim dalam
mengelompokkan dua cerita ini bersama-sama dengan cara ini. Yang kemudian diharapkan
dari al-Nadim adalah bergerak ke barat, yaitu ke tanah Byzantium, untuk melengkapi

40
komponen barat dari sumber-sumber ilmu pengetahuan Islam. Dan itulah yang tepat
dilakukannya.

Cerita ketiga langsung membahas masalah transmisi ilmu pengetahuan Yunani ke dalam
bahasa Arab. Ini adalah cerita yang sama yang telah kita sebutkan sebelumnya ketika kita
berbicara tentang catatan Farabi tentang asal-usul filsafat Islam. Dalam catatan itu, isu penting
adalah penekanan pada konflik yang ada antara Kekristenan dan Filsafat. Dalam catatan
al-Nadim, ia mencoba menghadapi isu ilmu pengetahuan pada zamannya sendiri, dan di sana ia
menyajikan dirinya sebagai seorang sejarawan ilmu pengetahuan sejati yang ingin menyelidiki
cara ilmu-ilmu itu dapat berpindah dari satu budaya ke budaya lainnya. Dalam catatannya, ia
mengangkat isu-isu sangat penting yang berkaitan dengan faktor-faktor sosial yang
menghambat atau mendorong transmisi dan praktik ilmu pengetahuan. Ia melanjutkan untuk
merenung, dengan cara yang sangat wawasan, tentang hubungan antara peradaban Islam dan
peradaban lain yang berhubungan dengannya. Catatan al-Nadim berbunyi sebagai berikut:

Cerita Ketiga

Pada zaman dahulu, filsafat (hikmah) hanya dibatasi untuk mereka yang sifatnya mampu
menerimanya. Para filsuf (falasifah) biasanya mempertimbangkan horoskop (mawalid) mereka
yang berusaha mempelajari filsafat (hikmah). Jika horoskop orang tersebut menunjukkan
bahwa dia termasuk orang yang bisa menerimanya, maka filsafat akan diajarkan kepada orang
itu, dan jika tidak, tidak akan diajarkan. Filsafat biasa dipelajari secara terbuka di antara orang
Yunani dan Romawi sebelum munculnya keyakinan Kristus, semoga damai sejahtera
bersamanya. Ketika orang-orang Romawi mengadopsi Kekristenan, mereka melarangnya, dan
membakar beberapa bukunya, sementara yang lain dikunci (disimpan). Orang dilarang untuk
terlibat dalam percakapan filsafat, karena pada saat itu dianggap bertentangan dengan ajaran
kenabian. Pada suatu waktu, orang Romawi (Rum, yang berarti orang Yunani, tetapi di sini
Bizantium) murtad dan kembali ke ajaran filsuf-filsuf. Alasannya adalah bahwa Julian, yang
tinggal di Antiokhia, pada saat itu menjadi raja Romawi dan menunjuk seorang wazir bernama
Themistius, komentator buku-buku Aristoteles. Dan ketika Shapur dhu al-aktaf (Shapur II)
berusaha menaklukkan mereka, ia ditangkap oleh Julian, baik melalui pertempuran, atau bahwa
Shapur dikenali ketika ia masuk ke tanah Romawi (yaitu Bizantium) untuk melakukan
pengintaian, dan ditangkap. Ceritanya bervariasi tentang ini.

41
Julian kemudian pergi ke tanah Persia sampai dia mencapai Jundishapur, di mana sampai
sekarang ada parit yang dikenal sebagai parit Bizantium, dan di mana ia mengepung kepala
suku dan komandan-komandan Persia. Dia mengepungnya untuk waktu yang lama tetapi tidak
bisa merebutnya. Sementara itu, Shapur masih ditawan di istana Julian. Di sana, putri Julian
jatuh cinta padanya dan menyelamatkannya. Dia kemudian melakukan perjalanan melintasi
negara itu secara sembunyi-sembunyi sampai dia mencapai Jundishapur dan masuk ke dalam
kota. Para pengikutnya, dari kalangan penduduk kota, bersemangat ketika melihatnya, dan
keluar dari rumah mereka dan terlibat dalam pertempuran melawan Romawi, menganggap
pelarian Shapur sebagai pertanda baik. Dia kemudian menangkap Julian dan membunuhnya.

Sebagai hasilnya, orang-orang Romawi bertengkar di antara mereka sendiri. Konstantinus


Agung berada di dalam pasukan dan mereka bertengkar di antara mereka sendiri begitu lama
sehingga tidak dapat lagi menolaknya. Dan karena Shapur menyukai Konstantinus, ia
menunjuknya sebagai pemimpin Romawi, dan berbaik hati kepada mereka karena dia. Dia
memudahkan kepergian mereka dari negaranya, setelah membuat persyaratan kepada
Konstantinus bahwa ia harus menanam sebatang pohon zaitun di sebelah setiap pohon kurma di
negaranya (yaitu Persia) dan sawad (yaitu Mesopotamia), dan bahwa ia harus mengirimkan
mesin dan persediaan dari Byzantium untuk merekonstruksi yang telah dihancurkan oleh Julian.
Dia memenuhi janjinya, dan Kekristenan dilanjutkan seperti sebelumnya. Dan juga dilanjutkan
larangan terhadap buku-buku filsafat dan penyimpanannya oleh mereka [yaitu Bizantium]
seperti biasa sampai hari ini. Orang Persia telah menerjemahkan beberapa buku logika dan
kedokteran ke dalam bahasa mereka di masa lalu, dan buku-buku itu pada gilirannya
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ibn al-Muqaffa' (w. 759).

Dalam catatan ini, kita jelas melihat niat al-Nadim untuk menunjukkan bagaimana filsafat
dianiaya di Bizantium, dan sebagai pemikiran tambahan, ia tampaknya menunjukkan bahwa
beberapa buku dasar tentang logika dan kedokteran telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia
pada zaman kuno. Dia mengakhiri ceritanya dengan terjemahan karya Ibn al-Muqaffa' untuk
memberikan penghargaan kepada semua orang yang memang menerjemahkan buku-buku kuno
Persia ke dalam bahasa Arab. Dia melakukan ini untuk menekankan peran yang dimainkan
oleh orang-orang tersebut dalam transmisi ilmu pengetahuan ke Islam. Namun, dia tetap
bersikeras dalam kalimat sebelumnya bahwa ketika Kekristenan kembali ke Bizantium,
larangan terhadap filsafat juga kembali, dan situasinya terus berlanjut hingga waktu al-Nadim
sendiri, yaitu hingga akhir abad kesepuluh: "Dan juga dilanjutkan larangan terhadap
buku-buku filsafat dan penyimpanannya oleh mereka seperti biasa sampai hari ini."

42
Ketika menulis Fihrist -nya, menuju akhir abad kesepuluh, al-Nadim, yang saat itu
memposisikan diri sebagai sejarawan ilmu pengetahuan zamannya, dengan tegas menyatakan
bahwa Bizantium pada abad kesepuluh tidak mendorong filsafat, dan tampaknya menggunakan
buku-buku filsafat sebagai harta karun perdagangan. Ia tampaknya yakin bahwa Bizantium
tidak memiliki apresiasi terhadap filsafat sebagai suatu hal, meskipun ada bukti independen,
tetapi kontroversial dari pihak Bizantium, yang berbicara tentang munculnya "humanisme
pertama" Bizantium pada waktu itu. Di sini lagi, tampaknya sumber-sumber utama
menguatkan cerita al-Nadim seperti yang dilakukan cerita Farabi yang disebutkan sebelumnya.
Sebenarnya ada beberapa cerita "legendaris" (dan legenda hampir selalu memiliki inti
kebenaran) tentang misi-misi yang dikirim oleh penguasa Muslim ke Bizantium.

Para kaisar mencari buku-buku yang sangat berharga itu dari mereka. Beberapa dari cerita
tersebut menggambarkan misi yang berakhir di kuil-kuil tua, dengan akses terbatas, dan akan
mengalami kesulitan besar dalam memperoleh buku-buku yang sangat berharga di sana. Ilmu
pengetahuan yang terus terkurung hingga abad kesepuluh, dan yang diperangi oleh dogma
Kristen, tidak mungkin menghasilkan tradisi ilmiah yang dapat diteruskan ke budaya lain, baik
melalui kontak, maupun melalui kantong-kantong terisolasi. sudah diperdebatkan sebelumnya.

Lebih penting lagi, kisah-kisah yang berkaitan dengan misi al-Ma'mun kepada kaisar
Byzantium untuk meminta buku-buku Yunani menyatakan bahwa al-Ma'mun tidak dapat
menemukan buku-buku semacam itu di wilayah kekuasaannya, dan kaisar Bizantium juga tidak
dapat menemukannya pada awalnya, sampai dia dituntun ke sana oleh seorang pendeta yang
mengetahui tentang kuil terkunci yang menyimpan buku-buku semacam itu. Hal ini tidak
mengherankan, mengingat beberapa laporan tentang kelangkaan buku-buku ilmiah di
Byzantium pada saat itu.

Fakta bahwa kondisi seperti itu, seperti yang dijelaskan oleh Lemerle, tampaknya lazim terjadi
di wilayah Bizantium, khususnya selama "zaman kegelapan" Byzantium juga dapat
dikonfirmasi ketika kita mempertimbangkan materi ilmiah Syria kontemporer, yang menurut
pendapat saya adalah terinspirasi langsung oleh sumber-sumber Bizantium. Dan jika kita
mempertimbangkan sumber-sumber Syria yang masih ada, seperti sumber Sergius dari
Ras'aina (w. 536), Severus Sebokht (c. 661), atau George, Uskup bangsa Arab (c. 724), atau
bahkan karya-karya Ayub dari Edessa (c. 817), khususnya dalam buku ensiklopediknya, Book
of Treasures, mengenai ilmu-ilmu Syria pada awal periode Abbasiyah, pada saat pergerakan
penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa Arab berada pada puncaknya, orang dapat dengan
mudah memahaminya. memahami buku-buku ilmiah dasar, sangat mirip dengan buku-buku

43
logika dan kedokteran dasar yang terus digunakan di Byzantium dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Persia kuno seperti yang diberitahukan kepada kita oleh al-Nadim. Mengapa kita harus
berharap sebaliknya? Ketika kita mengetahui bahwa sebagian besar dari mereka yang menulis
dalam bahasa Syria hidup di bawah kekuasaan Bizantium, dan bisa dibilang dianiaya oleh
penguasa Yunani mereka. Gema dari penganiayaan ini terlihat jelas dalam pernyataan spontan
yang dibuat oleh Severus Sebokht, dan yang telah diterbitkan oleh Nau, sehubungan dengan
referensi Sebokht terhadap angka-angka India sebagai argumen melawan klaim Yunani bahwa
mereka adalah penguasa semua ilmu pengetahuan. dan sepanjang masa. Apa yang ditunjukkan
dengan jelas oleh sumber-sumber ini adalah bahwa kita tidak mungkin mengharapkan rakyat
Bizantium untuk mengakali tuan mereka dan menciptakan ilmu pengetahuan baru yang dengan
sendirinya ditekan oleh Bizantium.

Kita akan mempunyai kesempatan untuk kembali ke peran yang dimainkan oleh komunitas
penutur bahasa Syria, yang juga kadang-kadang menguasai bahasa Yunani untuk kebutuhan
liturgi mereka, dalam transmisi ilmu-ilmu Yunani ke dalam bahasa Arab tetapi tidak sebelum
akhir abad kedelapan dan awal abad kesembilan. Kita akan melihat betapa pentingnya peran
tersebut, dan berupaya mencari tahu penyebab terjadinya hal tersebut. Namun untuk saat ini,
saya ingin kembali ke niat al-Nadim dan bertanya sekali lagi tentang alasan yang ada dalam
pikirannya untuk menceritakan kisah ketiga tentang transmisi ilmu pengetahuan ini. Menurut
pendapat saya, dia tidak hanya ingin menunjukkan bahwa posisi ilmu-ilmu filsafat benar-benar
terancam di Byzantium pada masanya, namun bahwa situasinya sudah seperti itu sejak lama,
setidaknya sejak masa-masa sebelumnya, dan segera menyusul setelah kematian Julian The
Apostate Ia ingin menekankan bahwa Julian adalah satu-satunya yang mengizinkan filsafat
dipelajari dan dikejar. Namun jika kita ingat bahwa Julian hanya memerintah selama dua tahun
saja, yaitu antara tahun 361 dan 363, maka gambaran yang coba dilukiskan oleh al-Nadim
menjadi sangat jelas. Gambaran tersebut mengisahkan kisah penindasan umat Kristiani yang
terus menerus terhadap filsafat, sehingga menggemakan ungkapan al-Farabi yang menyatakan
bahwa filsafat “terbebas” hanya ketika sampai di tanah Islam.

Sampai saat ini, pembaca teks al-Nadim masih belum bisa menjelaskan secara utuh transmisi
ilmu pengetahuan dari kebudayaan kuno ke dalam peradaban Islam. Pembaca seperti itu masih
berhak bertanya: bagaimana ilmu-ilmu seperti itu, yang dianiaya di wilayah Bizantium aslinya,
asalkan ada aktivitas ilmiah yang harus dianiaya, bisa diteruskan ke budaya Islam lain yang
tidak memiliki ilmu pengetahuan sendiri seperti baik, seperti yang sering kita diberitahu?
Al-Nadim belum mencapai tahap narasinya. Anekdot-anekdot persiapannya, yang ia gunakan

44
untuk memperkenalkan risalahnya tentang “ilmu-ilmu kuno”, belum mencapai kesimpulan.
Tapi kita hampir bisa melihat ke mana dia pergi. Beliau telah mengindikasikan bahwa tidak
mungkin terjadi transmisi ilmu pengetahuan secara langsung dari Byzantium ke Arab, seperti
yang sering ditegaskan oleh narasi klasik, jika kondisinya memang seperti yang dijelaskan oleh
al-Nadim. Dan untuk menjawab pertanyaan bagaimana ilmu-ilmu tersebut bisa dibawa ke
dalam peradaban Islam, khususnya dari Byzantium jika situasinya seperti yang ia gambarkan,
jawaban al-Nadim terletak pada anekdot keempat yang rupanya dijadikan klimaks dari
anekdot-anekdot sebelumnya. Karena pentingnya hal tersebut, dan seperti itu akan menjadi
fokus pembahasan berikut ini rendahnya, di sini saya berikan terjemahan dekat dari anekdot
keempat ini, seperti yang muncul dalam Fihrist karya al-Nadim.

Kisah Keempat

Khalid bin Yazid bin Mu'awiyah dikenal sebagai orang yang bijaksana dari keluarga Marwan
(Marwan Sang Hakim). Ia memiliki keistimewaan tersendiri, sangat antusias dan penuh dengan
kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Pada suatu ketika ia terpikir untuk menekuni ilmu
Alkimia, untuk itu ia mengumpulkan sekelompok orang Yunani dari Mesir yang menguasai
bahasa Arab. Dia kemudian memerintahkan mereka untuk menerjemahkan buku-buku Alkimia
dari bahasa Yunani dan Koptik ke dalam bahasa Arab. Ini adalah terjemahan pertama dalam
Islam dari satu bahasa ke bahasa lain.

Kemudian ada terjemahan diwan, yang dalam bahasa Persia ke dalam bahasa Arab selama
hari-hari al-Hajjaj bin Yusuf (w. 714). Orang yang menerjemahkannya adalah Salih bin
Abdurahman, seorang kaln Bani Tamim, yang pernah menjadi salah satu tawanan (saby) dari
Sijistan, dan yang dulu bekerja sebagai sekretaris Zadan Farrukh, bin Piri seorang sekretatis
dari al-Hajjaj, baik dalam bahasa Arab maupun Persia, dan al-Hajjaj menggunakan untuk
mendukungnya. Suatu hari Salih berkata kepada Zadan Farrukh: “Anda adalah penyebab (mata
pencaharian) saya, dengan sebuah perintah, dan saya merasa bahwa dia menyukai saya. Saya
tidak akan yakin bahwa suatu hari nanti ia tidak akan mempromosikanku mendahului kamu
dan menurunkan pangkatmu,” yang mana dia [yaitu Zadan] menjawab: 'Jangan menjawab,
jangan terlalu yakin, karena menurutku dia lebih membutuhkanku daripada aku
membutuhkannya, karena dia tidak dapat menemukan orang yang dapat menyelesaikan
hisabnya untuknya (yakfihi hisabahu) kecuali saya." Salih kemudian menjawab: 'Demi Allah,
jika saya ingin mengubah perhitungan (uhawwil al hisab)ke dalam bahasa Arab, saya pasti bisa

45
melakukannya." Yangmana [Zadan] menjawab: 'ubah beberapa baris sehingga saya
memahami,' yang kemudian dia lakukan. Dia kemudian memerintahkannya: 'berpura-puralah
sakit,' yang mana dia lakukan. Al-Hajjaj kemudian mengiriminya dokternya sendiri, Theodoros,
yang tidak dapat menemukan sesuatu yang salah dengannya, dan berita itu sampai ke Zadan
Farukh, yang kemudian memerintahkannya untuk kembali bekerja.

Pada saat itu, kebetulan Zadan Farrukh terbunuh selama pemberontakan Ibn al-Ash'at (w.
sekitar tahun 704) ketika ia sedang dalam perjalanan dari suatu tempat ke rumahnya. Saat
itulah al-Hajjaj menggantikannya dengan Salih sebagai sekretarisnya, yang pada gilirannya
mengatakan kepadanya apa yang terjadi antara dia dan tuannya di diwan. Akibatnya al-Hajjaj
menguungkan niat untuk melakukannya (yaitu menerjemahkan diwan), dan dia menugaskan
Salih untuk melakukannya.

Mardanshah putra Zadan Farrukh bertanya kepadanya: 'apa yang akan Anda lakukan dengan
dhehwih dan shehwih?' yang dia jawab: 'Saya akan menulis sepersepuluh atau setengah dari
persepuluh'. Ketika ditanya 'apa yang akan Anda lakukan dengan wid?’ Dia berkata: 'Saya akan
menulis 'kelanjutannya' (aydan).' Dia berkata: 'al-wid adalah al-nayyif, dan peningkatannya
berati ditambahkan.' Dia kemudian didoakan : 'Semoga Tuhan mencabut keturunanmu dari
dunia ini seperti kamu telah mencabut Persia.'

Orang-orang Persia menawarinya seratus ribu dirham agar dia berpura-pura tidak mampu
menterjemahkan diwan, tetapi dia menolak dan bersikeras menterjemahkannya sampai dia
menyelesaikannya. Abdul Hamid bin Yahya (w. 750) [sekretaris Umayyah terkenal dan guru
Ibnu al-Muqaffa] biasa berkata: 'Betapa hebatnya Salih, dan betapa luas biasanya bantuan
kepada sekretatis (Alpkuttab)!’ Al-Hajjaj telah menetapkan untuknya (maksudnya Salih) batas
waktu untuk menterjemahkan diwan.

Adapun diwan Suriah, ditulis dalam bahasa Yunani. Orang yang bertanggung jawab atas hal itu
adalah Sarjun bin Mansur, di bawah Mu'awiyah bin Abi Sufyan (w. 680), yang kemudian
digantikan oleh Mansur bin Sarjun. Diwan dikonversi pada masa Hisyam bin Abdul Malik
(memerintah 724-743). Dan itu dikonversi oleh Abu Tsabit Sulaiman bin Sa'd klien dari
Husein, yang dulunya adalah seorang sekretaris epistolary pada masa 'Abd al-Malik
(memerintah 685-705). Juga dikatakan bahwa diwan itu diterjemahkan pada masa 'Abd
al-Malik juga. [Karena] secara kebetulan bahwa 'Abd al-Malik telah memerintahkan Sarjun,
pada suatu hari, untuk melakukan sesuatu, dan sering menunda-nunda masalah, yang

46
membuat marah 'Abd al-Malik. Dia kemudian meminta kepada Sulaiman yang kemudian
menjawab: "Saya akan menterjemahkan diwan”

Setelah membuat hubungan penting antara impor sains ke dalam peradaban Islam dengan
gerakan penerjemahan, Al-Nadim tampaknya telah meletakkan strategi yang cermat untuk
narasinya sendiri. Dengan cerita ketiga, Ia telah mengesampingkan kemungkinan sains
datang melalui kontak belaka dengan Byzantium, suatu kali dia menunjukkan kemiskinan ilmu
pengetahuan itu di tanah utara dan barat Byzantium. Impor dari Timur sama-sama tidak
mungkin karena dua cerita yang dia laporkan lebih banyak di bentuk pengetahuan astrologi
legendaris , bukan peristiwa sejarah. Selain Mereka dilaporkan oleh dua astrolog yang
memiliki kepentingan koneksi dalam hal itu. Untuk itu, bahkan Al-Nadim sendiri mungkin
akan menghakimi mereka secara historis sama-sama tidak dapat diandalkan. Al-Nadim pasti
tahu itu. Dan dia pasti juga tahu bahwa dia masih harus menjelaskan asal-usul Ilmu
pengetahuan Islam.

Pada titik ini ia tidak bisa melarikan diri dari memberikan catatannya sendiri tentang
orisinalitas dari tradisi ilmiah dalam Islam. Dan saat itulah dia menunjukkan metodologi yang
disukainya dan dengan demikian memungkinkan kami untuk melihat melalui jendela kecil
pada pikiran yang dia pertontonkan. Untuk alasan spesifik itu, narasinya sendiri menjadi
sangat penting bagi diskusi kita. Dengan memulai kisah terakhir dengan pernyataan tentang
Khalid bin Yazid sebagai penerjemah pertama, dia jelas ingin pembaca untuk
mengorientasikan kembali dirinya dan memikirkan pengenalan ilmu pengetahuan ke dalam
peradaban Islam sebagai tindakan yang disengaja yang dilakukan oleh beberapa tokoh sejarah
yang memiliki kepentingan untuk memperoleh ilmu-ilmu tersebut. Dengan pengantar ini, ia
juga mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak masuk ke dalam peradaban Islam melalui
suatu proses 'alamiah' dari kontak dengan dengan peradaban lain, karena ia tampaknya
menunjukkan bahwa tidak ada peradaban yang berhubungan dengannya secara langsung, atau
melalui legenda misterius yang bertahannya buku-buku di dalam lemari besi yang
langit-langitnya runtuh, atau melalui beberapa kantong-kantong pembelajaran tinggi yang tidak
disebutkannya. Sebaliknya seluruh fenomena adalah hasil dari proses akuisisi yang disengaja
secara langsung yang dia ingin pembaca mempertimbangkannya.

Dan segera setelah dia menyelesaikan tiga kalimat pertama tentang peran Khalid dalam akuisisi
ilmu pengetahuan, dan di sini, ia tampaknya tidak memiliki informasi yang cukup tentang
Khalid ini selain bahwa ia memiliki minat pribadi dalam akuisisi semacam itu, dia dengan
cepat mengakhiri pengantar singkat itu dengan pernyataan blak-blakan bahwa "ini adalah

47
terjemahan pertama dalam Islam dari satu bahasa ke bahasa lain," seolah-olah mengatakan
bahwa penerjemahan itu sendiri merupakan jawaban terhadap impor ilmu pengetahuan.
Masalahnya adalah penerjemahan yang mana? Dia bisa saja menceritakan narasi klasik, pada
titik ini, dan mengatakan kepada kita bahwa ada terjemahan dari bahasa Yunani ke dalam
bahasa Syria, atau bahwa kaum Abbasiyyah membawa ideologi Persia untuk mengklaim
kembali ilmu-ilmu Yunani kembali ke asal-usulnya, yang telah diklaim oleh legenda-legenda
mereka. Sebaliknya, ia langsung masuk ke dalam apa yang ia pikir merupakan langkah penting
dalam proses penerjemahan ini, "penerjemahan diwan," dan dengan cepat mencatat bahwa
proses ini adalah proses Umayyah dan bukan proses Abbasiyah. Untuk itu, ia memberikan
rincian yang sangat rinci tentang bagaimana penerjemahan diwan ini terjadi. Seolah-olah ia
menuntun kita selangkah demi selangkah untuk dengan susah payah mengapresiasi dinamika
sosial pada masa Bani Umayyah yang mengharuskan penerjemahan seperti itu penerjemahan
yang harus dilakukan.

Segera setelah dia selesai menceritakan intrik dan kondisi sosial yang mengatur kehidupan di
diwan, dan setelah menjelaskan bagaimana masalah-masalah penerjemahannya diselesaikan,
baik di Irak maupun di Suriah, ia dengan cepat menghubungkannya dengan kisah lain, kali ini
mengangkat pertanyaan tentang penyebaran ilmu-ilmu dalam peradaban Islam, daripada
mempertanyakan awal peradaban Islam seperti yang ia coba lakukan dalam empat kisah
sebelumnya. Ketika ia datang menjelaskan penyebaran ilmu pengetahuan dalam peradaban
Islam, ia memberi judul kisah baru ini dengan judul seperti itu: "Menceritakan alasan mengapa
buku-buku filsafat dan ilmu-ilmu kuno lainnya telah meningkat di negeri ini." Perhatikan, dia
tidak mengatakan alasan mengapa buku-buku ini 'muncul di tempat pertama' tetapi alasan
"mereka meningkat," sehingga permulaannya, pada tahap narasi itu, telah diterima begitu saja.

Kisah berikutnya hanya memberikan "satu" dari alasan-alasan itu, seperti yang sepatutnya
diberi judul lagi: "salah satu alasan untuk [peningkatan] itu." Dia kemudian melanjutkan untuk
menulis kembali kisah yang sekarang paling akrab dan terkenal tentang mimpi al-Ma’mun
dalam istilah berikut:

Al-Ma'mun pernah melihat dalam mimpinya seorang pria yang tampak seolah-olah berwarna
putih, dengan kulit kemerahan, dahi lebar, alis terhubung, berkepala pucat, bermata biru tua
'
kemerahan (ashhal), dan tampan, duduk di tempat tidurnya. Al-Ma'mun berkata: "Aku berada
di depannya seolah-olah dipenuhi dengan kekaguman." Aku berkata: "Siapa Anda?" kemudian
dia menjawab: "Saya Aristoteles." Saya sangat senang dengan itu, kemudian saya berkata:
"Semoga Saya bisa mengajukan pertanyaan?" Dia berkata: "Silakan, tanyakan." Saya berkata:

48
'Apa yang baik'?", kemudian dia menjawab: "Apa yang dianggap baik untuk akal (maa hasuna
fi al-aql)." Ketika saya berkata: "Lalu apa?" dia berkata: "Apa yang dianggap baik oleh hukum
(Maa Hasunafil ashar)." Kemudian saya berkata lagi: "Lalu apa?" Dia berkata: "Apa yang
dianggap baik oleh orang-orang (maa hasuna inda jumhur)" Dan ketika saya menekan dengan:
"lalu apa lagi?" Dia menjawab: "Tidak ada lagi (tsumma laa tsumma).

Untuk memastikan bahwa pembaca mengerti maksudnya, Al-Nadim memberikan laporan


alternatif dari mimpi yang sama:

Dan dalam riwayat lain, saya berkata: "Lanjutkan," yang dia jawab: "Siapa pun yang
menasihati Anda tentang emas, biarkan dia menjadi Anda seperti emas, dan pastikan untuk
mengikuti tauhid [doktrin Mu'tazilah tentang desakan pada keesaan Tuhan]." Mimpi ini adalah
alasan paling pasti untuk akuisisi buku (ikhraj al-kutub). Karena al-Ma'mun berkorespondensi
dengan raja Byzantium, dan al-Ma'mun telah menguasainya. Dia kemudian menulis kepadanya
meminta izin bahwa dia mengirim kepadanya seseorang yang akan membuat pemilihan dari
ilmu-ilmu kuno yang berharga (al mazina almudzakkar) di tanah Bizantium. Dia menyerah
pada permintaannya setelah keraguan awal. Al-Ma'mun kemudian mengirim sekelompok orang
yang termasuk al-Hajjaj bin Matar, Ibn al-Bitriq, dan Salm penguasa Rumah Kebijaksanaan
(Bait al-hikmah), serta yang lainnya. Mereka mengambil apa yang mereka inginkan dari
buku-buku yang mereka temukan. Dan ketika mereka membawanya kepadanya [yaitu, kepada
al-Ma'mun] dia memerintahkan agar mereka diterjemahkan, dan mereka diterjemahkan.
Dikatakan bahwa Yuhanna bin Masawaih termasuk di antara mereka yang pergi ke tanah
Byzantium.

Muhammad bin Ishaq [yaitu, Al-Nadim] berkata: dari mereka yang mengambil perhatian
khusus untuk memperoleh buku-buku (ikhraj al-kutub) dari Byzantium adalah Muhammad,
Ahmad, dan Al Hasan, putra-putra Shakir sang peramal. Mereka menghabiskan [dalam hal itu]
hadiah besar (ragha'ib), dan mengirim Hunain bin Ishaq dan yang lainnya ke tanah Bizantium,
yang membawa kembali bagi mereka buku-buku yang paling menarik (tara'if al-kutub) dan
komposisi filsafat, musik, aritmatika dan kedokteran yang paling menarik. Qusta bin Luqa
al-Ba'albaki juga membawa beberapa buku, yang ia terjemahkan, dan yang lainnya
diterjemahkan untuknya.

Abu Sulaiman al-Mantiqi al-Sijistani berkata: anak-anak peramal [yaitu Bani Musa bin
Shakir] biasa menngupah sekelompok penerjemah, di antaranya adalah Hunain bin ishaq,

49
Hubais bin al-hasan, Tsabit bin Qurra, dan lain-lain, dalam sebulan, jumlah lima ratus dinar
untuk terjemahan dan dedikasi.

Muhammad bin Ishaq [yaitu Al-Nadim melanjutkan] berkata: Saya mendengar Abu Ishaq bin
Shahram menceritakan dalam sebuah pertemuan umum bahwa ada sebuah kuil tua di tanah
Byzantium, dengan pintu besi dua sisi, seperti ukurannya belum pernah terlihat sebelumnya.
Orang Yunani kuno biasa menghormatinya, berdoa dan mempersembahkan korban di
dalamnya di masa lalu ketika mereka menyembah planet dan berhala. Dia berkata: "Saya
meminta raja Byzantium membukanya untuk saya, tetapi dia menolak karena ditutup sejak
saat orang-orang Yunani masuk Kristen. Saya memaksa dalam permintaan saya, terus
berkorespondensi dengannya, dan bertanya langsung kepadanya setiap kali saya berada di
hadapannya.” Dia melanjutkan dengan mengatakan: 'Dia kemudian membukanya untukku, dan
lihatlah, rumah itu terbuat dari marmer dan paling berwarna berisi batu-batu penuh, berisi
begitu banyak prasasti dan tulisan indah yang belum pernah saya lihat atau dengar sebelumnya.
Di kuil itu, ada buku-buku yang hanya bisa dibawa oleh beberapa unta, dia bahkan
melebih-lebihkan dan berkata 'seribu unta.' Beberapa dari [buku-buku] itu sudah usang, yang
lain masih dalam kondisi aslinya, sementara yang lain telah dimakan oleh cacing. Dia
melanjutkan dengan mengatakan: 'Saya melihat di dalamnya semua jenis bejana emas untuk
persembahan dan hal-hal luar biasa lainnya.' Dia berkata: "Dia kemudian menutup
pintusetelah keberangkatan saya, dan mengatakan kepada saya bahwa dia telah membantu
saya.” Dia mengatakan bahwa (kejadian) itu terjadi pada zaman Sayf al-Dawla (945-967).
Dia mengklaim bahwa kuil itu adalah perjalanan tiga hari dari Konstantinopel, dan mereka
yang tinggal di sekitar tempat itu adalah sekelompok orang yang tinggal di sana Saba'ians
dan Kasdim, yang telah diizinkan oleh Bizantium untuk mempertahankan iman mereka setelah
membayar pajak penduduk.

Ini menyimpulkan laporan Al-Nadim tentang mengapa buku-buku filsafat dan ilmu-ilmu lain
mulai berkembang dalam peradaban Islam. Setelah ini kejadian ini, dia melanjutkan untuk
membuat daftar rincian proses penerjemahan, dimulai dengan nama-nama penerjemah dari
berbagai bahasa.

Narasi Alternatif Al-Nadim

Alternatif untuk narasi klasik, yang membentuk inti dari bab ini dan di sini diusulkan untuk
pertama kalinya, sejauh yang saya tahu, mengambil inspirasinya dari narasi Al-Nadim ini.

50
Setelah kami melihat pengamatannya pada cerita pada zamannya tentang pengenalan ilmu-ilmu
kuno ke dalam Peradaban Islam, dan menutupnya dengan narasinya sendiri, itu menjadi
penting untuk membaca kembali teks Al-Nadim mengingat masalah yang Narasi klasik coba
angkat telah gagal diselesaikan seperti yang telah kami nyatakan di atas. Kita sekarang bisa
menegaskan, bahwa unsur Persia dalam kerajaan Abbasiyah yang dipegang untuk mereklamasi
ilmu-ilmu Yunani yang didasarkan pada cerita legenda yang pertama kali diusulkan oleh
Al-Nadim, tetapi yang asalnya adalah karya tersebut dari peramal Persia yang jelas memiliki
minat besar dalam mempromosikan ideologi itu untuk mengamankan pekerjaannya dan
keturunan sesudahnya. Bahkan taktiknya tampaknya berhasil, meskipun tidak untuk alasan
yang sama, seperti kita akan lihat segera, dan masa-masa Abbasiyah awal menyaksikan secara
terus menerus mempekerjakan satu Nawbakht atau yang lain sebagai Astrolog di level tertinggi
kekhalifahan untuk jangka waktu 100 tahun atau lebih.

Dari pihak Bizantium, beberapa catatan Al-Nadim tentang penganiayaan Para filsuf di negeri
itu, perbendaharaan buku-buku kuno di kuil tertutup dan sejenisnya, sampai pertengahan abad
kesepuluh, seperti yang dia laporkan, hanya mencerminkan keadaan sejarah yang sebenarnya,
seperti yang kita lakukan telah melihat, dan lebih lanjut menegaskan bahwa teori kontak tidak
bisa telah bekerja, karena tidak ada orang Bizantium yang berpengetahuan luas yang bisa
menguasai sumber-sumber Yunani klasik sendiri untuk meneruskannya ke tetangga peradaban
Islam. [42]

Ketika tiba saatnya baginya untuk memperkenalkan narasinya sendiri, Al-Nadim, tidak
menghasilkan legenda lain sendiri. Sebaliknya, ia langsung menuju ke fenomena sejarah
penerjemahan. Dan dia memulai dengan benar laporan tentang terjemahan paling awal yang
diketahui olehnya (Terjemahan dari Khalid bin Yazid), lebih tepatnya daripada terjemahan
selama periode Abbasiyahnya sendiri, seperti yang ingin diperdebatkan oleh narasi klasik.
Al-Nadim pasti ingin kembali ke fakta sejarah, dan tidak ada intensi perdebatan dari ideologi
yang datang kemudian untuk membingkai interpretasi fakta-fakta itu. Dia tentu ingin
menekankan fakta bahwa kegiatan penerjemahan sudah dimulai selama periode Umayyah, dan
dengan Khalid bin Yazid secara khusus. Namun, apa yang gagal dia laporkan adalah alasan
Khalid yang sebenarnya pada waktu itu terkait minat dalam teks-teks Yunani klasik yang
berhubungan dengan Alkimia. Alih-alih langsung menggali sosial, politik, ekonomi dan
administrasi sejarah terkait periode itu, sehingga ia dapat menemukan kekuatan pendorong
untuk kegiatan penerjemahan itu, ia hanya mengawali semua itu dengan deskripsi Khalid yang
b

sering diulang bahwa ia "Seseorang yang tertarik dan penuh cinta terhadap ilmu pengetahuan

51
(lahu himmatun wa mahabbatun lil ulum).” Jika seseorang membaca sejarah dalam istilah
esensialis, ia bisa berhenti pada kata pengantar ini dan mengaitkan segala macam keinginan
dan niat Khalid.[43] Tapi bukan Al-Nadim, karena segera setelah dia menyimpulkan dengan tiga
kalimat "ini adalah terjemahan pertama dalam Islam dari satu bahasa ke bahasa lain," ia segera
melanjutkan ke subjek terjemahan diwan, seolah mengatakan itu, dalam benaknya, ada 2
kegiatan yang secara organik terhubung. Apa arti hubungan itu dengan Al-Nadim sangat
mudah. Dia rupanya memahami proses akuisisi ilmu-ilmu kuno untuk sudah mulai dengan
upaya Khalid bin Yazid yang kontemporer atau segera diikuti oleh terjemahan diwan.

Adapun minat Khalid pada ilmu-ilmu kuno itu, yang motivasinya Al-Nadim tetap diam seperti
yang kami katakan, kami memiliki sumber lain untuk ' mengisi celah Memotivasi-nya. Kita
diberitahu oleh Abu Hilal al-'Askari (c. 1000) dalam bukunya al-awa’il, antara lain, bahwa:

“Abdul Malik b. Marwan mulai menulis surat al ikhlas (Qur’an, 112) dan penyebutan nabi
pada dinar dan dirham, ketika raja Byzantium menulis kepadanya pesan berikut: 'Anda telah
memperkenalkan dalam dokumen resmi Anda (tawamir) sesuatu yang mengacu pada nabi
Anda. Tinggalkanlah, jika tidak, kamu akan melihat pada dinar kami penyebutan hal-hal
yang kamu benci.' Hal itu membuat marah Abd al-Malik, jadi dia memanggil Khalid bin Yazid
bin Mu'awiyah, yang sangat terpelajar dan bijaksana, untuk berkonsultasi dengannya mengenai
masalah ini. Khalid kemudian berkata kepadanya, "Jangan takut, wahai panglima orang-orang
beriman! Melarang dinar mereka dan menyerang pemikiran baru orang-orang dengan
menyebutkan Tuhan pada mereka, serta menyebutkan nabi, semoga doa dan damai besertanya,
dan tidak membebaskan mereka dari apa yang mereka benci dalam dokumen resmi. Dan dia
melakukannya.[44]

Jika anekdot ini diambil bersamaan dengan minat Khalid yang diungkapkan dalam Alkimia,
kita dapat melihat mengapa buku-buku tentang Alkimia semacam itu mungkin sangat berguna
untuk seseorang yang tertarik untuk mencetak koin emas baru. Dimana Para Alkemis akan
lebih siap untuk mengidentifikasi emas murni, daripada logam yang lain? Dan siapa selain para
Alkemis yang akan menjadi ahli yang bisa menilai paduan dan sejenisnya? Artinya, mereka
memiliki pengetahuan yang sangat dibutuhkan oleh seorang ahli percetakan uang baru.

Kita juga ingat bahwa reformasi 'Abd al-Malik tidak hanya mencakup Arabisasi diwan, yaitu
reformasi administrasi internal kekaisaran, tetapi bahwa ia melampaui itu untuk menciptakan
mata uang baru kekaisaran Arab yang baru lahir, yang sampai saat itu masih menggunakan
koin Bizantium dari kerajaan di barat, dan koin Sasanian di timur. Dalam keadaan sejarah

52
seperti itu, minat Khalid pada aturan paduan emas, yang bisa didapat dari buku-buku Alkimia,
jelas bukan hanya minat akademis. Fakta bahwa 'Abd al-Malik akan berkonsultasi dengannya
mengenai hal-hal seperti itu semakin menegaskan keandalannya dan jenis jawaban yang
seharusnya dia dapatkan dari buku-buku Alkimianya.

Kembali ke cerita terakhir Al-Nadim tentang alasan penyebaran buku-buku filosofis dan ilmiah
dalam peradaban Islam dan hubungan yang menyebar ke mimpi al-Ma'mun, yang perlu kita
ingat adalah bahwa meskipun cerita itu dari jenis legenda, itu masih berbicara tentang
penyebaran buku-buku itu, dan bukan karena mereka datang untuk berada di tempat pertama.
Tidak pernah sama sekali, para orientalis yang menciptakan dan memperjuangkan narasi klasik
di tempat pertama berbicara tentang hal itu, dan membuat hubungan langsung antara ekspresi
yang diucapkan oleh Aristoteles dalam cerita itu seperti "argumen," "tauhid," dua spesifik
kata-kata kunci Mu'tazilah, untuk mendapatkan darinya fitur narasi klasik yang
menghubungkan impor ilmu-ilmu kuno ke dalam peradaban Islam dengan kecenderungan
Mu'tazilah Al-Ma'mun, seperti yang telah kita lihat sebelumnya. Dan seperti yang telah kami
katakan sebelumnya, hubungan ini masih sering diulang dalam sumber-sumber yang
berhubungan dengan Ilmu pengetahuan Islam. Mereka yang mengulang cerita itu lalai
menekankan alasan Al-Nadim karena menceritakan mimpinya, yaitu untuk memberikan alasan
penyebaran buku dan bukan kedatangan mereka.

Para orientalis yang sama juga memberikan pada cerita itu twist yang lain. Dengan
menghubungkan Aristoteles dengan Mu'tazilah melalui mimpi, dan kemudian dengan
menghubungkan seluruh gerakan penerjemahan ke pemikiran filosofis dan ilmiah Yunani,
menyimpulkan bahwa Mu'tazilah, yang merupakan musuh bebuyutan dari apa yang
kemudian disebut Ahlu Al-Hadits (orang-orang yang secara tradisi kemudian menjadi ahlu
sunnah dan ahlil hadits), atau apa yang mereka sebut tradisionalis, adalah orang-orang yang
bertanggung jawab atas impor ilmu-ilmu kuno ke dalam peradaban Islam, banyak yang tidak
disukai oleh Muslim Tradisionalis. Dalam kata-kata Rosenthal: "Mungkin bukan kebetulan
bahwa Mu'tazilah seharusnya berkembang selama tahun-tahun yang menentukan dari aktivitas
penerjemahan Yunani-Arab, yaitu, dari dekade terakhir abad kedelapan hingga masa
pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun (813-833) dan penerus langsungnya. Sebaliknya,
pengaruh Mu'tazilah pada para penguasa Abbasiyyah harus dianggap sebagai penyebab
sebenarnya dari sikap resmi terhadap warisan kuno klasik yang membuat ketentuan
mengesankan untuk diadopsi dalam Islam."[45]

53
Dengan cara ini, model konflik yang sudah mapan yang telah disebarkan di Eropa sejak zaman
akal, sebagai konflik antara sains dan agama, sekarang dipindahkan ke peradaban Islam dalam
bentuk Mu'tazilah versus Tradisionalis. Dengan "twist" ini, orang-orang lupa alasan di balik
kisah Al-Nadim tentang mimpi itu.

Begitu kita menanggalkan mimpi ini sebagai penafsiran yang fasil, menggoda apa adanya, dan
jika kita memahaminya dalam konteks yang benar, kita kemudian dapat kembali ke paragraf
sebelumnya di mana keilmuan sejarah Al-Nadim paling baik ditunjukkan. Di sana kita melihat
Al-Nadim memberikan pendapatnya sendiri tentang kisah munculnya ilmu-ilmu dalam
peradaban Islam sebagai hasil dari kebutuhan administratif kekaisaran pada masa 'Abd
al-Malik, dan bukan sebagai hasil dari kisah-kisah legenda yang diceritakan oleh astrolog yang
melayani diri sendiri yang berjuang untuk mempertahankan posisi mereka di pengadilan
Abbasiyah. Itulah sebabnya Al-Nadim memulai kisahnya sendiri dengan kisah-kisah Khalid
dan terjemahan diwan, dan bukan dengan legenda lain seperti mimpi al-Ma'mun.

Kita masih harus menentukan apa yang ada dalam pikiran Al-Nadim ketika ia menghubungkan
terjemahan Khalid dari buku-buku Alkimia dan terjemahan administratif dari diwan untuk
penyebaran buku-buku filosofis dan ilmiah dalam peradaban Islam. Apa hubungan antara
terjemahan diwan dan terjemahan buku-buku tentang filsafat dan sains? Jika kita ingin
mendapatkan beberapa wawasan mengenai pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus mengejar
petunjuk halus yang sudah disediakan oleh Al-Nadim sendiri.

Alasan mengapa petunjuk-petunjuk itu tampaknya tidak mudah menghubungkan titik-titik bagi
kita antara terjemahan diwan dan teks-teks filosofis dan ilmiah, dan dengan demikian telah
membuat kita sejauh ini tidak menghargai masukan nyata dari Al-Nadim tentang masalah ini,
harus dicari dalam penggunaan khusus Al-Nadim kata diwan di akun ini. Istilah itu sendiri juga
digunakan dalam beberapa sumber sebelumnya dan kemudian tanpa pernah menentukan apa
yang dimaksud dengan itu. Kata ini masih digunakan dalam bahasa Arab modern, tetapi
sekarang telah datang untuk menunjuk entitas yang sama sekali berbeda, seperti kantor
pemerintah (misalnya, al-diwan al-muhasaba) atau kantor kerajaan pribadi (misalnya,
al-diwan al-malaki). Dalam arti tertentu kata ini kadang-kadang masih digunakan dalam arti
klasik ketika merujuk pada kantor-kantor administrasi yang menangani urusan tentara seperti
dalam diwan al-jaysh, biro perpajakan seperti dalam diwan al-kharaj, tempat kanselir seperti
dalam diwan ar-rasail, dll. Jika kita membatasi diri pada makna umum dari kata tersebut,
maka kita akan merasa sulit untuk menghubungkan kantor-kantor pemerintah tersebut dengan
terjemahan buku-buku filosofis dan ilmiah.

54
Tetapi ketika kita kembali ke kisah Arabisasi diwan itu sendiri, kita menemukan bahwa baik
Al-Nadim, dalam Fihrist-nya, dan penulis awal abad kesepuluh al-Jahshiyari (w. 942) dalam
bukunya al-wuzara wal-kuttab,[46] keduanya mencoba membimbing kita ke makna yang benar
dari diwan dengan memberi kita contoh jenis kegiatan yang mereka tahu sedang terjadi di
dalamnya. Satu-satunya contoh yang mereka berikan, yang telah sedikit terdistorsi dalam versi
Al-Nadim yang telah sampai kepada kita, menunjukkan bahwa kedua penulis bermaksud
operasi diwan berarti prosedur akuntansi diwan yang Zadan Farrukh membual tentang dia
mengklaim bahwa dia adalah satu-satunya yang bisa melaksanakannya. Atas dasar
pengetahuan khusus itu dia dapat menegaskan bahwa al-Hajjaj membutuhkannya
daripada yang dia mutuhkan dari al-Hajjaj. Contoh jenis perhitungan yang diberikan kedua
penulis jelas diperlukan penanganan operasi aritmatika yang dilakukan fraksi dan sejenisnya,
jenis aritmatika yang masih sedikit rumit oleh standar modern kita. Oleh karena itu diwan
yang membutuhkan terjemahan adalah diwan di mana operasi rumit seperti itu dibentuk, dan
bukan seperti yang dipikirkan kebanyakan orang kantor pemerintah di mana catatan personil
dan gaji mereka disimpan.

Jenis diwan kedua, di mana gaji dijatuhkan, tidak memerlukan terjemahan apa pun karena itu
dalam bahasa Arab di tempat pertama. Kita secara eksplisit diberitahu oleh al-Jahshiyarl:
"Selalu ada dua diwan di Kufah dan Basra: satu dalam bahasa Arab, di mana catatan orang dan
hibah mereka disimpan, yaitu diwan yang dilembagakan oleh Umar [bin al-Khattab], dan
yang lainnya adalah untuk tujuan pendapatan (li-wujuh al-amwal) yang dalam bahasa Persia.
Situasi serupa di Suriah, di mana ada diwan dalam bahasa Yunani dan satu lagi dalam bahasa
Arab. Hal-hal tetap dengan cara ini sampai hari-hari 'Abd al-Malik." [47]
Oleh karena itu,
diwan yang dibicarakan Al-Nadim adalah diwan pendapatan, dan pendapatan adalah tulang
punggung pemerintah mana pun saat itu, seperti sekarang.

Karena operasi yang berurusan dengan pendapatan memerlukan operasi aritmatika yang pada
gilirannya mengharuskan setidaknya operasi dasar lainnya seperti survei real estat, dan survei
ulang ketika perkebunan diteruskan sebagai warisan, petugas diwan, sebagai pengumpul
pendapatan harus memiliki kualifikasi untuk melaksanakan prosedur tersebut. Selain itu,
perhitungan waktu dalam tahun-tahun matahari, ketika pajak harus dibayar, dan seperti yang
kita ketahui tahun-tahun matahari dan bulan tidak selalu mudah untuk dikoordinasikan tanpa
setidaknya beberapa elemen pengetahuan astronomical, itu juga harus memaksa petugas
diwan untuk belajar astronomi. Demikian pula, pembagian kembali pembayaran, terutama
setelah pembagian warisan, penggalian kanal, perdagangan, dll. Semua mengharuskan petugas

55
tersebut memperoleh keterampilan operasional seperti yang Muhammad bin Musa
al-Khawarizmi harus menulis sebuah buku lengkap tentang Aljabar hanya untuk tujuan yang
sama.[48] Kebetulan, persyaratan itu tampaknya telah mengarah pada kredo disiplin Aljabar qua
disiplin,[49] dimana tidak dikenal oleh orang Yunani dengan cara yang diartikulasikan oleh
al-Khwarizmi.

Semua operasi yang seharusnya dilakukan oleh petugas diwan tidaklah mudah, dan pasti ada
beberapa teks dasar atau manual yang digunakan untuk melatih mereka yang bekerja di diwan.
Sangat disayangkan bahwa tidak ada dokumen semacam itu yang tampaknya bertahan dari
periode awal ini, mungkin karena mereka dianggap cukup sederhana untuk dipelajari dan
dibuang, atau karena isinya secara lisan diterjemahkan dari ayah ke anak, dan dengan demikian
tidak perlu mempublikasikannya ke publik. Tapi kami memiliki beberapa informasi yang
sedikit tidak langsung tentang isinya, dan jenis opera yang diperlukan dalam diwan ini. Karena
kita temukan dalam karya Ibnu Qutayba (w. 879), yang mendahului Jahshiyarl setengah abad
dan Al-Nadim hampir satu abad penuh, dan yang dirinya sendiri sezaman dengan periode
terjemahan terakhir yang mengikuti terjemahan diwan, Sinopsis singkat kualifikasi mereka
yang mencari pekerjaan di diwan, atau mereka yang kemudian disebut Kuttab. Kuttab itu
tidak diragukan lagi adalah ahli waris dari karyawan diwan yang fungsinya sekarang kita
cari.

Dalam bukunya Adab Al-Katib, ia menyesalkan dalam pendahuluan pengabaian yang telah
menjadi bagian dari ilmu-ilmu Arab pada masanya. Ibnu Qutayba melanjutkan dengan
menekankan bahwa katib harus mencari ilmu-ilmu berikut, jika ia ingin layak menyandang
nama Katib, dan tidak berada di antara mereka yang mengejar jabatan katib hanya dalam nama:

Dia harus -selain buku-buku yang kami tambahkan- menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan
survei tanah, sehingga dia akan tahu segitiga siku-siku, segitiga miring akut, dan tumpul; garis
tegak lurus vertikal (musaqit al-ahjar), berbagai kotak (sic), busur dan kurva, dan garis
vertikal. Pengetahuannya harus diuji di tanah dan bukan di buku-buku, karena orang yang
melapor tidak seperti saksi mata. Dan orang-orang non Arab ('ajam) biasa berkata: 'siapa pun
yang bukan ahli dalam hal-hal yang berkaitan dengan distribusi air (ijra al-miyah), Penggalian
parit untuk air minum, penutup parit, dan pergantian hari dalam hal panjang bertambah dan
berkurang, perputaran matahari, terbitnya bintang-bintang, kondisi bulan ketika menjadi bulan
sabit serta kondisi lainnya, dan kontrol bobot, dan pengukuran permukaan segitiga, persegi,
dan poligon, ereksi lengkungan dan jembatan serta alat pengangkat air dan norias di sisi air,
dan kondisi para pengrajin dan rincian perhitungan, dia akan cacat dalam keahliannya.[50]

56
Bekerja di diwan non-Arab, sejauh Ibn Qutayba bisa ketahui, harus mencakup penguasaan
semua ilmu-ilmu yang baru saja dikutip oleh Ibn Qutayba dari sumber-sumber sebelumnya.
Seperti yang dapat kita katakan dengan mudah, ilmu-ilmu itu tidak menyebutkan hibah tentara
dan sejenisnya. Ini harus berarti bahwa diwan yang diterjemahkan harus memasukkan teks-teks
dasar dari ilmu-ilmu tersebut. Untuk itu, sangat tidak mungkin bahwa Ibnu Qutayba akan
memanggil kuttab pada masanya untuk memperoleh ilmu-ilmu ini jika tidak ada teks yang
melaluinya mereka dapat diperoleh. Bagaimanapun, dialah yang ikut serta dalam
menyediakan teks-teks semacam itu dengan menyusun kitab al-anwa' (Kitab Terbit dan
Terbenam atau Bintang), yang menyentuh beberapa ilmu tersebut, dan khususnya ilmu-ilmu
yang menghubungkan terbit dan terbenamnya bintang-bintang dengan kebutuhan agrikultural
(baca pendapatan).[51] Aku akan segera kembali ke bagian lain dari buku-buku lain dalam hal
ini.

Untuk saat ini, ketertarikan pada pernyataan Ibnu Qutayba adalah bahwa hal itu menegaskan
makna diwan, yang saya klaim adalah yang dimaksudkan oleh Al-Nadim dan al-Jahshiyari jika
makna itu diterima, maka orang dapat mengatakan bahwa terjemahan diwan Persia dan
Yunani ke dalam bahasa Arab pasti termasuk sekelompok teks ilmiah dasar, yang pada
gilirannya sangat banyak terhubung dengan teks-teks filosofis dan ilmiah yang disebutkan
sebelumnya. Bagaimana bisa sebaliknya jika kita mengetahui bahwa suatu pemerintahan harus
menguasai ilmu-ilmu dasar tersebut agar dapat berfungsi dengan cara yang canggih?

Konfirmasi lain untuk bacaan ini datang dari kontemporer lain al-Jahshiyari dan Al-Nadim
yang juga tertarik pada pendidikan kuttab dan birokrat pemerintah. Beberapa bukunya telah
sampai kepada kita dari sekitar pertengahan abad kesepuluh. Penulis yang dimaksud adalah
ilmuwan terkenal, Abu al-Wafa' al-Buzjani (w. 998), yang namanya sangat erat kaitannya
dengan karya-karya matematika dan astronomi Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Abu al-Wafa' inilah yang telah meninggalkan kami dua buku yang secara langsung
membahas kebutuhan geometris dan aritmatika para pengrajin dan pekerja (jelas termasuk
pegawai pemerintah), yang disebut: Apa yang dibutuhkan Pengrajin melalui Geometri, dan
Apa yang dibutuhkan pekerja dan kuttab melalui Aritmatika.[52] Dalam kedua teks ini, Abu
Al Wafa' mengambil masalah matematika dasar, dari jenis-jenis yang jelas dibahas dalam
diwan pada masanya, atau di antara mereka yang dipekerjakan di departemen pemerintah yang
kemudian belajar bagaimana melaksanakan fungsi-fungsi baru yang membutuhkan ilmu-ilmu
baru.

57
Selain itu, kita hanya perlu melirik Kunci Ilmu Pengetahuan (Mafatih Al-Ulum), sebuah buku
karya al-Khwarizmi Al-Katib, yang hidup sekitar sepuluh tahun atau lebih setelah Al-Nadim
dan yang dirinya sendiri adalah seorang karyawan diwan, untuk menghargai Ensiklopedi
Pengetahuan karyawan seperti itu pada waktu yang dibutuhkan untuk tahu. Di sini kita juga
melihat hubungan langsung antara ilmu pengetahuan yang dipraktekkan di diwan dan
ilmu-ilmu filsafat, dimulai dengan logika. Sebagian besar ilmu yang tersisa terdaftar oleh
Al-Khawarizmi sebenarnya adalah inti dari ilmu-ilmu kuno yang sekarang kita diskusikan.

Bahkan dalam periode yang relatif berdekatan, kita melihat bahwa ilmu-ilmu itu terus
dipraktekkan di diwan pemerintah. Ini seharusnya tidak mengherankan karena kita sudah tahu
bahwa sebagian besar kantor administrasi biasanya sangat konservatif dan cenderung
melestarikan praktik selama berabad-abad pada suatu waktu, praktik yang merupakan sesuatu
yang diwarisi dari satu karyawan ke karyawan berikutnya, jika bukan dari ayah ke anak. Dari
tradisi, kita melihat dalam karya, kitab qawawin ad-dawawin (The Book of the Rules of the
diwan) dari Ibn Mamati (w. 1209) banyak bahan ilmiah aritmatika dan alami yang
seharusnya diketahui oleh karyawan diwan.[54] Dan Ibnu Mamati seharusnya lebih tahu, karena
dia sendiri adalah keturunan dari sebuah keluarga yang bekerja di diwan Mesir selama
berabad-abad.

Demikian pula, generasi selanjutnya telah meninggalkan kita beberapa Zisba (Pengawasan
Pasar) yang menyebutkan tidak hanya buku-buku ilmiah yang harus diketahui oleh Pengamat
Pasar sendiri, tetapi juga buku-buku ilmiah yang harus dia gunakan untuk menguji berbagai
profesional dan untuk mengendalikan produk mereka dari pemalsuan dan sejenisnya. Para
profesional ini termasuk ahli tulang, dokter, apoteker, serta lain-lain yang namanya telah
diringkas dalam karya Ibn Al-Ukhuwah dari Mesir (w. 1329) yang disebut Ma'alim Al-Qurba
fi Ahkam al-hisba.

Bagi mereka yang mungkin keberatan dan mengatakan bahwa buku ini sangat terlambat, dan
isinya mungkin tidak berlaku untuk jenis pengetahuan yang seharusnya diketahui oleh pekerja
Umayyah, dan jenis yang dibicarakan Al-Nadim, saya hanya bisa mengatakan: mungkinkah
tidak akan ada di masa awal Islam seseorang yang akan mengawasi urusan publik, kesehatan
masyarakat mereka, perlindungan mereka dari penipuan, dll., Dan bahwa fungsi-fungsi ini
memasuki administrasi Islam di kemudian hari saja? Bukankah itu bagian dari tugas
administrator perbendaharaan publik (Bayt al-maal) untuk memastikan bahwa proporsi emas
yang tepat dilemparkan ke dalam dinar yang dicetak, bersama dengan apa semua itu
menyiratkan dengan cara mengelola paduan, komposisi logam, dan bobot yang tepat dan

58
ukuran yang pas? Bukankah fungsi-fungsi seperti itu termasuk beberapa Alkimia, atau
setidaknya tumpang tindih dengannya, atau apa yang kemudian disebut al-san’a, yang sedang
dicari oleh Khalid? Bukankah al-san’a ini juga terhubung dengan ilmu farmasi, dan
pengetahuan tentang bobot dan ukuran, serta yang lainnya?

Singkatnya, meskipun tidak ada manual aktual yang melestarikan bagi kita deskripsi operasi
aktual yang terjadi di diwan awal, atau konten manual awal atau ilmu yang diterjemahkan,
ini terlepas dari semua bukti yang telah kita tinjau sejauh ini tentang keberadaan operasi dan
ilmu pengetahuan tersebut, kita masih tidak bisa mengabaikan Arabisasi diwan, yang diikat
oleh Al-Nadim sendiri dengan proses transmisi ilmu-ilmu kuno ke peradaban Islamis.
Konsekuensi yang dapat ditenggelamkan darinya dapat membantu kita menyelesaikan
beberapa masalah yang dibiarkan tidak terpecahkan oleh kontak atau melanjutkan teori saku
yang biasanya digunakan sebagai akibat wajar dari narasi klasik.

Dari Catatan akuntansi Al-Nadim, kami mencatat bahwa proses Arabisasi, termasuk
restrukturisasi fondasi pemerintahan Islam, terjadi pada masa 'Abd al-Malik, khalifah pertama
yang mencetak dinar Arab yang independen dari dinar Bizantium, yang juga mengukir pada
mereka ayat-ayat Alquran daripada gambar kaisar, seperti yang telah kita lihat.

Dia juga salah satu dari banyak sumber yang berbicara sebagai yang pertama untuk mengatur
ulang administrasi pemerintahan Islam dan untuk memusatkan fungsinya dan
merampingkannya, untuk menggunakan bahasa modern secara anakronistik. Dia rupanya
melakukan semua itu melalui Arabisasi diwan. Bukankah reformasi administratif pemerintah
ini benar-benar penting untuk fondasi negara Islam yang baru, ketika kita juga melihat bahwa
Abbasiyyah sendiri, yang berkuasa hampir lima puluh tahun setelah 'Abd al-Malik, tidak
mengubah kembali reformasi apa pun yang telah diperkenalkan oleh 'Abd al-Malik? Ini
terlepas dari permusuhan yang dipendam dan ditunjukkan Abbasiyah terhadap Bani Umayyah,
dan terlepas dari klaim yang dibuat oleh narasi klasik dan beberapa orientalis bahwa tulang
punggung utama Kekaisaran Abbasiyah adalah "elemen" Persia. Seandainya kategorisasi rasial
ini benar, bukankah Abbasiyah akan mengembalikan diwan kembali ke Persia? Bukankah ini
berarti bahwa reformasi 'Abd al-Malik sangat signifikan dan tidak bisa begitu saja dilewati
demi fokus pada "elemen" Persia dari Abbasiyyah?

Konsekuensi dari Penerjemahan Diwan : Kenaikan ke Kekuasaan oleh Cara lain

59
Sekarang kita dapat lebih menghargai pentingnya administrasi reformasi 'Abd al-Malik, setelah
menekankan perlunya menghubungkannyadengan gerakan penerjemahan umum teks-teks
filosofis dan ilmiah, seperti yang telah dilakukan Al-Nadim dalam Fihrist-nya, kita harus, pada
titik ini, kembali untuk membahas kondisi sosial yang membuka jalan bagi impor ilmu-ilmu
asing ke dalam peradaban Islam. Sebuah impor yang terbukti dari waktu ke waktu menjadi
pencapaian paling luar biasa dan unik yang dibentuk oleh komunitas berbahasa Persia dan
Yunani dari kekaisaran Abbasiyah awal. Dan dengan berfokus pada kondisi sosial kita akan
berada dalam posisi yang lebih baik untuk menjawab pertanyaan yang lebih besar tentang
kebutuhan historis aktual yang dipenuhi oleh transmisi ilmu-ilmu kuno tersebut.

Membaca teks-teks yang menggambarkan terjemahan diwan, terutama yang telah dilestarikan
oleh jahshiyari dan Al-Nadim, memberikan indikasi yang sangat jelas tentang konsekuensi
sosial yang serius dari kegiatan itu. Dari antara konsekuensi-konsekuensi itu, Arabisasi diwan
tampaknya telah menyebabkan hilangnya pekerjaan administratif iklan yang dipegang oleh
penutur bahasa Persia dan Yunani di kekaisaran, yang sebagian besar adalah Zoroaster atau
Kristen. Sebelum Arabisasi ini, kelas-kelas birokrat awal itu pasti merasa sangat aman tentang
posisi mereka dalam administrasi bahwa mereka mampu membuang Zadan Farrukh dan
arogansi Sarjun.

Kami juga melihat bahwa komunitas Persia bersedia menyuap Salih bin Abdul Rahman
sehingga dia akan berpura-pura gagal Arabisasi diwan. Kami juga melihat dalam laporan
Jahshiyar referensi untuk pertemuan yang diadakan, pada saat al-Hajjaj baru saja datang ke
Irak, oleh tokoh-tokoh Persia (dahaqin), di rumah seorang pria bernama Jamil, untuk
mendiskusikan di antara mereka sendiri bagaimana melindungi komunitas dari al-Hajjaj.
Mereka kemudian diberitahu oleh Amil: "Kamu akan adil dengannya jika kamu tidak
menderita oleh seorang katib dari antara kamu, yang berarti seseorang dari Babylonia. Dan
mereka sebenarnya menderita oleh Zadan Farrukh yang adalah orang jahat bermata satu."[56]
Dalam konteks itulah Jamil menceritakan perumpamaannya yang terkenal tentang kepala
kapak yang dilemparkan di hutan. Pohon-pohon kemudian berbicara di antara mereka sendiri
mengatakan itu bukan karena alasan yang baik bahwa/itu kapak ini dilemparkan ke sini. "Yang
ditanggapi pohon sederhana, jika salah satu cabang Anda tidak masuk ke ujungnya, maka
Anda tidak punya alasan untuk takut."[57]

Bukankah anekdot ahshiyari ini menunjuk pada rasa permusuhan kolektif di pihak
komunitas, kali ini komunitas Persia, dan upaya akhirnya para anggotanya untuk saling
menuduh pengkhianatan, seperti yang bisa diprediksi oleh sosiolog mana pun dalam

60
keadaan seperti itu? Bukankah natural untuk hal-hal seperti itu terjadi dalam komunitas yang
tiba-tiba menemukan dirinya kehilangan haknya, setelah dengan senang hati memonopoli
posisi kekuasaan di pemerintahan selama bertahun-tahun, hanya karena anggota komunitas itu
dapat mengendalikan satu bahasa atau lainnya, atau beberapa sains atau lainnya? Bukankah
sentimen yang biasa disebut dengan istilah shuubiya (prasangka rasial), yang begitu sering
diulang dalam sumber-sumber periode itu, mewakili sesuatu semacam itu juga? Bukankah
terjemahan diwan menghasilkan kecemasan kelompok seperti itu sehingga Zadan Farrukh
harus memberi tahu teman-temannya, ketika ali) telah berhasil menerjemahkan beberapa baris
diwan "pergi mencari tempat tinggal selain ini," seperti yang dilaporkan oleh Jahshiyari?[58]

Saya hampir yakin bahwa semua itu terjadi. Dan bahwa referensi yang sering diulang tentang
persaingan antara mereka yang dipekerjakan oleh pemerintah dengan mereka yang mencari
pekerjaan seperti itu hanya menegaskan hal ini, terutama ketika kita semua tahu bahwa
pemerintah selalu merupakan pasar tepung terigu, seperti yang sudah diketahui oleh Ibn
Qutayba dan kemudian kepada Ibn Khaldun,59 karena biasanya pekerja utama sepanjang
waktu dan di semua tempat.

Apa yang dapat dilakukan komunitas-komunitas tersebut dalam menanggapi


peristiwa-peristiwa tersebut? Bagaimana mereka dapat bangun dari kejutan pertama mereka
dan mencoba merebut kembali kejutan mereka sebelum posisi di koridor pemerintahan? Saya
pikir mereka melakukan apa yang paling mungkin akan melakukannya dalam keadaan seperti
itu: kembali dan cobalah untuk monopoli posisi pemerintah dengan cara lain. Salah satu
yang dimaksud adalah untuk memperoleh spesialisasi yang lebih maju dalam ilmu-ilmu yang
sangat dibutuhkan oleh pemerintah sehingga mereka akan menjadi sekali lagi sangat diperlukan
untuk menjalankan pemerintahan.

Bagaimana akuisisi ilmu-ilmu canggih itu bisa terjadi ketika saya memiliki pendapat bahwa
tidak ada guru dan tidak ada ahli untuk mengajarkan disiplin ilmu tersebut? Tetapi jika kita
berhenti berpikir bahwa sains tidak selalu maju dengan instruksi guru, melainkan oleh
lompatan yang diambil oleh sangat cerdas individu yang mampu melampaui apa yang telah
diambil guru mereka, dan yang biasanya terinspirasi oleh kebutuhan mendesak untuk
melakukannya, maka jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi sedikit lebih mudah untuk
dipahami.

Pertimbangkan keadaan beriku, para birokrat, yang bekerja di diwan sebelum diArabisasikan,
adalah orang-orang yang mengetahui ilmu-ilmu dasar dan menggunakan keterampilan

61
linguistik dan ilmiah mereka untuk memonopoli posisi mereka diwan, seperti yang telah kita
perdebatkan. Para birokrat itu juga tahu bahwa ilmu-ilmu yang mereka kuasai untuk tujuan
mereka yang terbatas hanyalah pengantar ilmu-ilmu yang lebih maju yang tidak perlu mereka
peroleh selama posisi mereka aman melalui monopoli. Saya mengatakan ini karena saya
hampir dapat mendengar seseorang seperti Sergius dari Ras'aina, yang meninggal menjelang
pertengahan abad keenam, dan Severus Sebokht dari abad ketujuh, mengatakan dalam risalah
pengantar mereka tentang astronomi: "siapa pun yang ingin memverifikasi masalah ini atau itu,
lebih tepatnya, dia harus mencari teks-teks Ptolemeus yang lebih maju yang disebut Almagest,
atau Tabel Praktis."[60] Dan mereka adalah ilmuwan Siria yang paling maju pada periode
sebelum Islam atau pada masa awal Islam. Kami mencatat bahwa mereka masih menggunakan
jenis bahasa tentang sumber-sumber Yunani. Bukankah rekan seagama mereka dan anggota
komunitas mereka, yang dipekerjakan di pemerintahan, beberapa abad kemudian, memiliki
harapan yang sama dari sumber-sumber Yunani, dan setidaknya memiliki jenis pengetahuan
yang mirip dengan mereka? Kemungkinan besar mereka juga biasa menemukan dalam
teks-teks ilmiah administratif mereka sendiri referensi yang serupa dengan yang masih dapat
kita temukan dalam karya-karya Sergius dan Sebokht yang masih ada.

Agar dapat bersaing dengan penghuni baru diwan, dan kembali memonopoli posisi tinggi
pemerintahan, anggota ini Komunitas Bureacrats harus memanfaatkan pengetahuan mereka
tentang bahasa Yunani dan ilmu-ilmu pendidikan yang mereka gunakan di diwan, dan mencoba
untuk mendidik diri mereka sendiri atau anak-anak mereka dalam ilmu pengetahuan yang
lebih maju, yang oleh ilmu-ilmu dasar mereka disebut untuk presisi dan kecanggihan yang
lebih tinggi. Mereka melakukan semua itu untuk dapat menyebarkan informasi baru itu dan
memenangkan posisi mereka sebelumnya di diwan. Sekarang setelah mereka kehilangan
pekerjaan, mereka memiliki motivasi yang sangat baik untuk pergi ke Almagest Ptolemeus,
bahwa mereka hanya tahu nama sebelumnya, ketika mereka tidak membutuhkannya, dan ke
mana mereka dirujuk oleh rekan seagama mereka.

Di bawah keadaan baru, dan dengan rasa sakit karena pengangguran, komunitas-komunitas
birokrat ini akan kembali untuk mengajar anak-anak mereka dan rekan-rekan seagama mereka
dan mendesak mereka untuk memperoleh ilmu-ilmu yang lebih maju yang tentangnya mereka
mendapat informasi yang baik dari sumber-sumber klasik Yunani dan Persia. Dan karena
bahasa Arab pada saat itu telah menjadi bahasa kompetisi, mereka diwajibkan untuk
menunjukkan kompetensi mereka baik dalam bahasa birokratik baru maupun dalam
ilmu-ilmu orde tinggi. Sekali lagi, semua kesulitan itu harus dinegosiasikan ulang sebelum

62
mereka dapat membangun kembali monopoli yang pernah mereka miliki di diwan. Dalam satu
atau dua generasi, anak-anak dari kedua komunitas ini berhasil mencapai itu, dan di bawah
persaingan ketat mereka juga berhasil melakukan prestasi unik dan luar biasa yang mereka
lakukan. Anak-anaklah yang melampaui guru-guru mereka dalam memperoleh ilmu-ilmu
pengetahuan baru yang maju, karena mereka termotivasi untuk melakukannya oleh tekanan
kelangsungan hidup mereka belaka.

Bahwa hal seperti itu sebenarnya terjadi juga dilaporkan dalam sumber-sumber klasik, ketika
sumber-sumber itu melaporkan kembalinya seluruh keluarga kembali ke posisi tertinggi di
istana Abbasiyah. Keluarga yang anggotanya tahu betul bahasa dan ilmu pengetahuan orang
Yunani dan Persia. Keluarga-keluarga baru itu sekarang bisa menempati posisi yang jauh lebih
sensitif daripada pekerjaan diwan lama; mereka bisa menjadi penasihat pribadi khalifah sendiri.
Pikirkan tentang keluarga Bakhtishu', yang mendidik beberapa dokter berpangkat tinggi
untuk pengadilan Abbasiyah dan yang anggotanya mewariskan pekerjaan itu dari ayah ke anak
selama hampir 100 tahun. Keluarga Nawbakht yang sama, yang kami bicarakan sebelumnya,
juga mencapai status tinggi astrolog istana, dan juga untuk beberapa generasi ayah dan anak.

Pikirkan juga Hunain bin Ishaq, yang berhasil merekrut putra dan keponakannya, antara lain,
ke istana khalifah sebagai penerjemah dan physicians di tingkat pemerintahan tertinggi. Dan
untuk melihat sekilas lingkungan kompetitif yang mematikan yang harus dilalui para calon
baru, pikirkan juga persaingan yang sangat sulit yang harus dihadapi Hunain sendiri dan
rekan-rekan seagamanya sendiri dan penutur bahasanya, seperti dia sendiri berkeluh kesah
dalam catatan yang disimpan dalam karya biobibliograf abad ke-13 Ibnu Abi Usaybi'a.

Apa yang diusulkan di sini adalah bahwa gerakan penerjemahan yang sedang dibahas
dihasilkan oleh keinginan dua komunitas untuk mendapatkan kembali pekerjaan yang telah
hilang dari orang tua dan rekan seagama mereka di kantor-kantor pemerintah. Dan untuk
melakukan itu, pada waktu tertentu, yaitu selama tahun-tahun awal kekaisaran Abbasiyah,
mereka bertujuan untuk menjadi yang sangat dibutuh oleh pemerintah dengan kepemilikan
semata-mata pengetahuan yang sangat khusus. Dari pos-pos baru itu, mereka mencoba
membangun kembali monopoli baru bahwa para pekerja diwan yang lebih rendah bahkan
tidak bisa bermimpi selama mereka tetap dengan ilmu-ilmu dasar mereka.

Bukti bahwa hal-hal seperti itu memang terjadi berasal dari semua sumber yang berbicara
tentang persaingan di antara birokrat tertinggi di pemerintahan dan berbagai upaya mereka
untuk mengecualikan orang lain dari kompetisi melalui keraguan tentang kompetensi mereka

63
dalam ilmu-ilmu maju. Risalah Hunain yang baru saja dikutip, dan di mana ia menceritakan
serangan yang harus dideritanya di tangan dokter Kristen lainnya, yang akan memfitnahnya
dengan menyebutnya sebagai "hanya penerjemah dan bukan dokter," adalah contoh cemerlang
dari kegiatan itu. Ini juga membuka bagi kita sebuah jendela kecil di istana Abbasiyah pada
awal abad kesembilan, dengan para birokrat istana berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
menciptakan monopoli baru yang akan mengembalikan pekerjaan mereka.

Sumber-sumber juga telah melestarikan bagi kita solidaritas komunal yang mulai muncul di
antara komunitas Suriah dan Persia, dan kadang-kadang bahkan di antara orang-orang di kota
yang sama. Kita tahu, misalnya, bahwa Yuhana bin Masawayh menolak untuk mengajar
Hunain bin Ishaq ilmu kedokteran karena Hunain berasal dari orang-orang 'Ibad (sekelompok
suku Arab timur) dari Hira, yang anggotanya mencari nafkah sebagian besar dari menukar
uang. Yuhanna, di sisi lain, berasal dari Jundisapur yang menghasilkan keluarga Bakhtishu
yang terkenal yang baru saja kita bicarakan. Menurut Ibnu Abi Usaybi'a, "orang-orang
Jundishapur khususnya, dan dokter mereka, menghindar jauh dari orang-orang Hira dan
membenci memperkenalkan anak-anak pedagang terkait profesi mereka."[62]

Kami juga membaca dalam sumber-sumber klasik yang sama tentang lingkungan arogansi baru
yang di masa lalu digunakan untuk mengkarakterisasi kehidupan diwan, seperti yang kita lihat
dalam kasus Zadan Farrukh dan Sarjun di diwan masing-masing. Di era baru, kita sekarang
mulai melihat kelas orang baru, yang berhasil menciptakan, entah bagaimana, monopoli baru,
di tingkat pemerintahan tertinggi. Dan orang-orang itu tampaknya telah berani, seperti dalam
kasus Yuhanna bin Masawayh, yang, menurut Al-Nadim, adalah "seorang ahli fisika, dihormati
oleh raja-raja, seorang ulama dan penulis besar, yang telah melayani di bawah al-Ma'mun,
al-Mu'ta im, al-Wathiq dan al-Mutawakkil,"[63] dan di atas semua berani berperilaku dengan
cara berikut di hadapan khalifah al-Mutawakkil sendiri:

Al-Nadim mengatakan: "Saya membaca di tangan al-Hakimi, yang berkata: 'Ibnu Hamdun
sahabat dekat [khalifah] bercerita kepada Ibn Masawayh, suatu hari, di hadapan al-Mutawakkil,
kepada siapa Ibn Masawayh menjawab: 'jika Anda memiliki kecerdasan sebanyak yang Anda
miliki, saya mendengus, dan jika kecerdasan itu didistribusikan lebih dari seratus kumbang,
maka masing-masing kumbang itu akan memiliki kecerdasan lebih dari Aristoteles."[64] Jika ini
benar, dan tidak ada alasan yang meragukan kebenaran Al-Nadim dalam catatan ini, maka kita
dapat mengatakan lingkungan yang kompetitif ini menghasilkan bagi birokrasi Abbasiyyah
kelas pelayan terbaik, yang memiliki kompetensi luar biasa, dan yang juga mencoba
menjalankan kekuasaan mereka yang baru ditemukan dengan pamer di posisi tertinggi

64
pemerintahan. Para birokrat baru yang berkualifikasi tinggi itu pasti merasa cukup aman di
pos-pos baru mereka, ketika mereka duduk di sebelah khalifah, dan di dalam lingkarannya
yang paling akrab. Kalau tidak, mengapa seseorang seperti khalifah al-Mutawakkil
mentolerir perilaku Ibn Masawayh yang berani menghina sahabat khalifah itu sendiri?

Anekdot ini hanya menggambarkan bahwa kelas birokrat baru ini sebenarnya telah berhasil
mencapai salah satu prestasi paling penting dalam sejarah peradaban Islam. Mereka
memotivasi dan menghasilkan gerakan penerjemahan, yang terutama merupakan gerakan
administratif di tempat pertama, di mana berbagai kompetensi memperebutkan posisi
pemerintah, dan di mana banyak tuduhan pengkhianatan dan sejenisnya sering terjadi.
Seharusnya tidak mengherankan, karena setiap sosiolog dapat dengan mudah memprediksi
bahwa persaingan dan perilaku seperti itu akan sangat alami dalam kasus-kasus persaingan
ekstrem.

Sebagai produk sampingan dari gerakan ini dan persaingan yang ditimbulkannya, bahasa Arab,
yang pada saat itu telah menjadi bahasa yang baru ilmu pengetahuan, juga berhasil memperluas
lingkaran persaingan, dan membuka kesempatan bagi orang-orang Arab, yang sekarang bekerja
di diwan, untuk bergabung dalam petisi agar mereka juga dapat memperoleh ilmu-ilmu baru
dan mempertahankan posisi baru mereka. Para birokrat Arab atau berbahasa Arab itu
sekarang memiliki alasan sendiri untuk mempertahankan kekuasaan, dan dengan demikian
harus bergabung dengan kompetisi juga, baik dengan mengumpulkan pengetahuan secara
langsung, atau dengan mengamankan kejahatan orang-orang yang dapat memperoleh
pengetahuan lanjutan itu untuk mereka. Itulah yang terjadi dengan banyak birokrat saat itu.
Dan untuk alasan itu kita melihat bahwa sebagian besar terjemahan, yang diproduksi selama
abad kesembilan, adalah mereka dilindungi oleh birokrat, yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Terjemahan-terjemahan itu jarang dilindungi oleh khalifah sendiri, jika memang pernah.
Khalifah hanya mendapatkan sekleompok karyawan terbaik yang kompeten, tetapi para
karyawan mengurutkan diri mereka sendiri berdasarkan penyaringan dan persaingan mereka
sendiri. Kita semua tahu bahwa kekuatan politik biasanya tetap jauh dari sains itu sendiri dan
kadang-kadang bahkan mengabdikan dirinya untuk eksploitasi para ilmuwan. Mengapa harus
berbeda selama masa Abbasiyah? Hanya pada kesempatan langka seseorang menemukan
seorang yang terpelajar, dan jika orang itu pernah ada, pengaruhnya tidak dapat menjangkau
periode besar kegiatan ilmiah yang dihasilkan selama masa Abbasiyah dan sesudahnya.
Sesuatu yang lain pasti sedang bekerja, dan model kami memprediksi lingkungan kompetitif
yang berkelanjutan di tingkat birokrasi yang membuat ilmu-ilmu itu tetap hidup dan makmur.

65
Dalam risalah lain yang masih ada dari Hunain bin Ishaq, tentang buku-buku medis Galen yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan yang catatannya diminta untuk diberikan oleh
salah satu birokrat yang juga dekat dengan khalifah, ia menceritakan dengan sangat rinci
kondisi yang menyebabkan terjemahan 129 kitab Galen.[65] Di dalamnya ia memberi tahu kita
bahwa sebagian besar dari kitab-kitab itu diterjemahkan untuk anak-anak Musa bin Shakir, dan
terutama untuk Muhammad dan Ahmad, dua bersaudara yang bersama-sama melindungi
lebih dari 80 buku dari total – dan tidak ada satu buku pun yang pernah diterjemahkan untuk
khalifah. Ini selain fakta bahwa Hunain sendiri, yang memiliki bagian terbesar dalam
terjemahan-terjemahan itu, pada saat yang sama adalah dokter khalifah.

Kesimpulan

Melihat gerakan terjemahan ini, yang bertanggung jawab atas introduksi ilmu-ilmu kuno ke
dalam peradaban Islam, dari perspektif ini, memungkinkan kita untuk membuka jendela baru
ke dalam sejarah intelektual Islam, dan untuk mulai melihat motivasi yang memunculkan
gerakan ini. Kita bisa kemudian melihat bagaimana anggota masyarakat tertentu, yang mata
pencahariannya terancam ddidorong oleh reformasi 'Abd al-Malik, harus memastikan mata
pencaharian itu oleh orang dan sarana lain. Mereka secara alami menggunakan spesialisasi
yang lebih tinggi melalui penerjemahan dari ilmu-ilmu yang lebih maju. Itu pada gilirannya
membantu mereka mendapatkan keunggulan di kompetisi baru. Dan sebagai hasilnya mereka
bisa mengamankan, seperti Ibnu Masawayh dan beberapa lainnya mencoba melakukannya,
monopoli baru di eselon pemerintahan yang lebih tinggi. Ketika kita ingat bahwa eselon-eselon
itu sebenarnya adalah pengadilan kekhalifahan paling tinggi itu sendiri, kita kemudian dapat
menghargai kekuatan besar yang berhasil dikumpulkan orang-orang itu untuk diri mereka
sendiri dan seringkali untuk keturunan mereka. Persaingan "sehat" ini juga menyebabkan
peningkatan yang sehat dalam perolehan ilmu-ilmu yang lebih maju, hanya untuk
menghasilkan persaingan lebih lanjut, dan seterusnya.

Oleh karena itu, kondisi yang berlaku selama abad pertama pemerintahan Abbasiyah bagi saya
tampaknya merupakan kondisi paling sehat untuk memperoleh ilmu pengetahuan secara
kompetitif di mana para khalifah memiliki sekelompok orang berkualifikasi tinggi yang dapat
bersaing untuk proyek apa pun yang diimpikan oleh khalifah. Tentu saja, penyebaran ilmu
pengetahuan yang dihasilkandengan sendirinya menciptakan kondisi yang lebih sehat untuk
perkembangan lebih lanjut dalam sains. Bahkan, mungkin lingkungan inilah yang menciptakan

66
apa yang kemudian dikenal sebagai Zaman Keemasan peradaban Islam, dan yang dirayakan
oleh narasi klasik.

Semua kegiatan kompetitif ini tampaknya tidak ada hubungannya dengan "elemen" Persia dari
Kekaisaran Abbasiyah yang konon berusaha merebut kembali zaman kuno mereka sendiri
dengan merebut kembali ilmu pengetahuan mereka dari Yunani. Pada perjanjian itu tampaknya
terjadi karena Abbasiyyah ternyata adalah pewaris tanpa disadari reformasi 'Abd al-Malik yang
mendahului mereka sekitar satu generasi penuh. Reformasi-reformasi itulah yang
menggerakkan persaingan yang sehat di urutan pertama, dan melalui kompetisi ini
keinginan yang semakin meningkat untuk memperoleh buku-buku ilmiah yang semakin maju
untuk menjaga persaingan tetap berjalan.

Semua kondisi ini perlu diselidiki lebih teliti. Berbagai sejarahwan dari berbagai disiplin ilmu
dan filsafat perlu memeriksa kembali kegiatan-kegiatan ini, yang hanya sedikit disinggung di
sini, sebelum kesimpulan yang lebih pasti dapat ditarik. Tapi revisi ini sendiri diharapkan
harus memberi ruang bagi pemahaman taruhan tentang mimpi al-Ma'mun, peran Mu'tazilah,
dan peran sebenarnya dari komunitas berbahasa Suriah dan Persia. Itu adalah anggota dari
komunitas mereka yang perlu mencari sumber-sumber klasik Yunani dan Persia, yang telah
disimpan di kuil-kuil gelap yang tidak dapat diakses selama berabad-abad, dan untuk
membersihkan mereka dan sebarkan kembali informasi di dalamnya untuk kebutuhan mereka
sendiri demi bertahan hidup dari petisi mematikan yang mereka hadapi selama awal Masa
Abbasiyah.

Yang paling penting, revisi ini, yang merupakan narasi alternatif. Kita sekarang pasti dapat
menunjukkan bahwa akuisisi klasik ilmu pengetahuan, dan terutama yang dari Yunani klasik,
bukan hanya tindakan buta semata, tetapi harus disesuaikan dengan kebutuhan waktu seperti
yang akan kita lihat nanti di atas. Tetapi masih banyak yang harus dilakukan sebelum
seseorang dapat membuktikan secara komprehensif efek dari semua kegiatan ini dalam istilah
yang sangat nyata.

Namun, beberapa hasil awal telah dicapai hanya dengan menerapkan kerangka narasi alternatif
ini. Sekarang kita bisa menaruh beberapa dari hasil tersebut di atas meja dan
menggunakannya untuk melukiskan gambaran yang sedikit berbeda dari narasi klasik yang
biasanya ditawarkan. Seperti yang dapat kita lihat sekarang, gerakan penerjemahan bukanlah
gerakan untuk meniru budaya yang lebih tinggi yang ada di sana dalam persaingan dengan
budaya sendiri. Sebaliknya, budaya pemeroleh harus menggali teks-teks, yang benar-benar

67
sesuai dengan teks-teks itu, yang praktis terlupakan dalam budaya sumber. Karena meskipun
Bizantium masih berbicara dan menulis dalam bahasa Yunani, mereka menyimpan buku-buku
klasik di lemari besi selama bertahun-tahun sampai buku-buku dibawa keluar sebagai akibat
dari permintaan di Baghdad, di mana mereka sekarang lebih dihargai. Dalam arti tertentu,
sumber-sumber itu diberi kesempatan hidup baru sebagai akibat dari kebutuhan mendesak
kelompok berbahasa Syiria dan Persia yang perlu merebut kembali posisi pemerintah yang
telah hilang dari nenek moyang mereka. Tetapi yang lebih penting, lingkungan kompetitif
memaksa para pencari pengetahuan baru untuk dengan cepat memotong produk ilmiah di
Byzantium pada saat itu dan untuk mencari lawan bicara mereka dalam sumber-sumber klasik
terbaik. Tidak mengherankan bahwa nama-nama filsuf dan ilmuwan yang bahkan tidak
sezaman, dan yang semuanya menghasilkan pengetahuan mereka sebelum abad ketiga era
Kristen (Plato, Aristoteles, Galen, Ptolemy, dan Diophantus, antara lain) menjadi nama
terkenal di Baghdad abad kesembilan.

Hasil lain yang sekarang dapat dilihat jauh lebih jelas, dan terus menjadi lebih jelas setiap hari,
adalah bahwa gerakan penerjemahan masa Abbasiyah awal, karena dihasilkan oleh kondisi
sosial pemerintah Islam itu sendiri, tidak hanya menterjemahkan teks-teks klasik, mencerna
mereka dan kemudian mulai menciptakan ilmu sendiri sebagai narasi klasik terus berlanjut
untuk menginformasikannya kepada kita. Apa yang tampaknya telah terjadi adalah bahwa
terjemahan dan penciptaan sedang berlangsung pada saat yang sama, seperti yang juga akan
kita lihat lagi. Atau lebih baik lagi, dengan narasi alternatif kita dapat melihat beberapa
kegiatan kreatif untuk dimiliki mendahului terjemahan teks lanjutan, dan bahwa mereka yang
aktif kreatif dengan sendirinya diperlukan terjemahan lebih lanjut untuk menghasilkan lebih
banyak kredo pemikiran kreatif dan sebagainya. Dengan cara ini kita dapat memahami
mengapa al-Hajjaj bin Matar harus membaca teks Ptolemy dengan sangat hati-hati dan
memperbaikinya kapan saja Dia pikir itu salah.

Selanjutnya, hasil awal ini juga menunjukkan bahwa keduanya penerjemah serta pelindung
terjemahan itu sendiri, dan dalam kebanyakan kasus, Ilmuan dalam hak mereka sendiri. Dan
meskipun mereka dekat dengan kekuatan politik, mereka menggali ceruk mereka sendiri di
dalam penguasa birokrasi yang bisa bertahan lebih lama dari khalifah itu sendiri. Dengan kata
lain, itu Birokrat memiliki kebutuhan mereka sendiri untuk orang-orang itu dan untuk para
ilmuwan yang terkadang menemani mereka. Dalam sejumlah kasus mereka adalah ilmuwan itu
sendiri juga. Untuk menggambarkan kekuasaan mereka sendiri, yang harus kita lakukan adalah
mempertimbangkan hubungan mereka dengan pribadi khalifah itu sendiri, hanya untuk

68
menyadari betapa jauh lebih mapan mereka untuk bertahan hidup dalam beberapa kasus di
istana khalifah bahkan setelah suksesi tiga hingga empat khalifah yang kadang-kadang akan
disingkirkan dengan keras dari kekuasaan. Namun para ahli fisika, astrolog, insinyur, dll.,
Akan bertahan dan terus menjalankan peran yang sangat diperlukan yang dimiliki orang tua
mereka untuk mereka, ketika mereka berangkat untuk meraih ilmu-ilmu klasik yang lebih
maju.

Sejarahwan modern ilmu pengetahuan Islam telah mulai menunjukkan penelitian cerdik yang
tampaknya telah terjadi pada masa awal Islam, seperti halnya penerjemahan yang sedang
dilakukan. Dan jika kita menyadari, seperti yang kita harapkan sekarang, bahwa terjemahan
diwan telah membuka pintu untuk terjemahan yang lebih maju, maka menjadi wajar untuk
mengharapkan hasil kreatif seperti itu begitu pintu untuk kegiatan kreatif telah diayunkan
terbuka lebar bagi semua orang yang memenuhi syarat untuk bersaing. Ini akan menjadi mimpi
ideal bagi masyarakat yang sedang menjalani apa yang sekarang kita sebut pembangunan
bangsa. Dan sesuatu semacam itu tampaknya telah terjadi.

Penelitian modern juga telah mulai mengungkap bahwa kegiatan kreatif ini mencakup sebagian
besar dan sebelum proses penilaian ulang warisan ilmiah Yunani, seperti yang akan kita
lihat nanti, yang merupakan program aktif untuk memperbaiki kesalahan Yunani. Bahkan
melangkah lebih jauh dari itu untuk menciptakan disiplin ilmu baru, seperti aljabar dan
trigonometry, seperti yang telah kita llihat. Bahkan merumuskan kembali disiplin ilmu yang
lebih tua, seperti halnya dengan disiplin ilmu astronomi ketika ilmu baru hay'a (astronomi
teoritis) diciptakan pada periode yang sama. Semua hasil ini perlu dikerahkan dan
konsekuensinya dikejar lebih jauh sebelum kita dapat mengatasi implikasi sosial dan budaya
secara total.

Tetapi kita juga dapat mengatakan bahwa hasil-hasil yang telah ditetapkan selama ini jelas
dapat menunjukkan dengan sangat jelas bahwa proses monopoli yang pertama kali dilakukan
oleh karyawan diwan, dan kemudian dicoba lagi oleh kelas keturunan mereka yang lebih
berpendidikan, seperti yang jelas ditunjukkan oleh perlakuan Ibnu Masawayh terhadap Hunain
dan kelompok dokter di istana al Mutawakkil, yang menimpa Hunain yang sama dengan
segala macam ikatan dan intrik alami, tidak berhasil. Alasan kegagalannya berasal dari sifat
sains itu sendiri, yang tidak dengan mudah memungkinkan monopoli kegiatan semacam itu,
terutama ketika ada kebutuhan masyarakat yang putus asa untuk mengejar tuntutan mereka.
Kita juga dapat mengatakan bahwa kegiatan berkembang yang dihasilkan pada masa
Abbasiyah awal, yang mereka sendiri hanya mewarisi semua kelas yang bersaing dari

69
orang-orang yang sangat berkualitas dari Reformasi Umayyah, menciptakan pemulihan ilmu
kuno yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan keinginan mendalam untuk menyebarkan
mereka untuk tujuan waktu, sebuah fenomena yang tidak akan terulang sampai masa
renaisans Eropa akhir.

Pada titik ini, saya ingin kembali dan mengajukan pertanyaan tentang manfaat aktual yang
dapat diperoleh dari adopsi narasi alternatif baru ini. Dalam pembelaan saya, yang bisa saya
katakan adalah bahwa narasi baru ini harus diadopsi setelah saya sepenuhnya yakin dengan
strategi Al-Nadim dalam mengirim argumennya tentang gerakan penerjemahan. Dalam
perdebatan itulah ia membuat hubungan langsung antara perampasan ilmu-ilmu kuno oleh
Peradaban Islam dan reformasi 'Abd al-Malik yang terutama berpusat di sekitar tatanan untuk
menerjemahkan diwan. Al-Nadim juga yang melihat apropriasi itu sebagai konsekuensi dari
reformasi. Orang bertanya-tanya apakah 'Abd al-Malik sendiri pernah merenungkan semua
konsekuensi yang ditimbulkan dari perintahnya. Tetapi bagi kami, dengan mengadopsi narasi
baru ini, jika tidak ada gunanya bagi kami, setidaknya itu pasti akan membantu kami
menjelaskan perilaku karyawan diwan, dan kondisi sosial yang terjadi dengan mengisolasi
mereka sebagai kelas yang anak-anaknya sejak saat itu akan berusaha untuk kembali ke
pemerintah di tingkat yang lebih tinggi, posisi yang lebih diinginkan dan lebih dibutuhkan.

Tetapi pada tingkat teoretis, apa manfaatnya mengadopsi narasi baru dalam preferensi untuk
narasi klasik yang sebenarnya pemikiran baru dari beberapa orientalis yang paling terkemuka?
Ini, ketika kita Juga ketahuilah bahwa narasi yang sangat klasik ini tampaknya telah melayani
komunitas sejarahwan intelektual Islam selama lebih dari satu abad sekarang. Jawaban atas
pertanyaan ini harus dicari pada dua tingkatan: Tingkat praktis yang menyentuh langsung pada
proses menceritakan sejarah internal ilmu itu sendiri, di mana kita bisa mengejar
perkembangan ide-ide ilmiah dari satu konsep ke konsep berikutnya, dan tingkat metodologis,
yang menyentuh atas alasan di mana sejarah ilmu pengetahuan ditulis di tempat pertama.
Sebagai akibat wajar, jawabannya juga menyentuh cara terbaik untuk menulis sejarah secara
umum.

Pada tingkat praktis, dengan mengadopsi narasi alternatif, kita akan mampu menjawab
beberapa pertanyaan yang akan dibahas nanti ketika kita gunakan disiplin astronomi sebagai
templet atau disiplin ilmu yang tersisa dan sebagai aplikasi langsung dari dampak narasi baru.
Ini akan melayani kita baik ketika kita berusaha untuk menjelaskan perkembangan dalam
disiplin itu sendiri dan setelah itu datang untuk dikejar dan dirumuskan kembali dalam
peradaban Islam. Kita kemudian akan melihat bahwa banyak fenomena, yang tadinya masih

70
menjadi teka-teki dalam narasi klasik, kini dapat dengan mudah dimengerti dengan narasi
alternatif. Untuk memberikan satu tinjauan singkat saja pada saat ini, saya menunjuk pada
bahasa terjemahan itu sendiri dan cara bahasa ini dapat menyelesaikan permasalahan teknis
ilmiah.Syarat agar seseorang seperti al-Hajjaj bin Matar dapat menghasilkan terjemahan
Almagest paling awal yang masih ada dengan cara yang lancar, teknis, dan sangat mudah
dibaca dalam bahasa Arab. Ini, ketika kita tahu bahwa buku ini mungkin adalah salah satu
buku teknis yang paling padat ditulis, jika bukan, dan di mana istilah-istilah seperti "auj,"
"hadid," "ufuq" untuk "apogee," "perigee," dan "horizon" masing-masing, digunakan secara
bebas tanpa harus mentransliterasi bahasa Yunani seperti yang dilakukan dalam karya-karya
lain dari periode yang sama atau bahkan dari periode berbeda, seperti dalam karya-karya Qusta
dan Ishaq bin Hunain. Bagaimana mungkin al-Hajjaj, yang merupakan salah satu penerjemah
Abbasiyah yang paling terkenal, menciptakan bahasa teknis ini? Bagaimana dia bisa sukses
ketika kita tahu betapa sulitnya usaha seperti itu? Untuk meyakinkan diri sendiri tentang
kesulitan itu, yang harus dilakukan adalah mempertimbangkan upaya heroik yang telah
dilakukan di negara-negara Arab modern, selama lima puluh tahun terakhir ini, dan terus
dikejar, untuk menciptakan hal teknis seperti itu? Jika narasi alternatif tidak menjawab
pertanyaan apa pun selain yang satu ini, memang akan membuktikan nilainya melebihi karya
klasik yang lebih tua narasi yang tetap diam tentang hal itu, atau mengubahnya menjadi tidak
dapat menyelesaikan teka-teki di tempat pertama.. Artinya, jika kita tetap berpegang pada
narasi klasik, yang berasumsi bahwa tidak ada ilmu pengetahuan untuk dibicarakan sebelum
penerjemahan periode Abbasiyah, hegemoni Mu'tazilah, impian al-Ma'mun dan hal lain
seperti itu, kami tidak akan dapat menjelaskan munculnya bahasa teknis Al-Hajjaj pada periode
awal ini.

Tetapi jika kita mengikuti Al-Nadim dan menegaskan bahwa terjemahan sudah dimuali dengan
penerjemahan ilmu-ilmu dasar ziwan,[66] dan kemudian ingat bahwa gerakan penerjemahan
ziwan ini mendahului penerjemahan al-Hajjaj sekitar satu abad penuh, maka akan menjadi
mudah untuk memahami manfaatnya terjemahan-terjemahan sebelumnya yang telah
menghasilkan penggunaan istilah teknis untuk seseorang seperti al Hajjaj untuk digunakan
secara bebas 100 tahun kemudian. Tidak ada keraguan bahwa al-Hajjaj pasti telah
memperkenalkan beberapa istilahnya sendiri, karena kita masih bisa melihat keraguan
orang-orang seperti Qusta dan Ishaq untuk mengikutinya. Pada titik ini, saya tidak memiliki
keinginan untuk meremehkan upaya yang pasti dikeluarkan oleh al-Hajjaj sendiri dalam
menyelesaikan proyek ini, tetapi saya ingin menekankan bahwa narasi alternatif

71
menempatkannya dalam konteks historisnya, yang memungkinkan dia untuk mengambil dari
bahasa diwan yang baru tersedia terjemahan-nya, tambahkan beberapa miliknya sendiri, seperti
yang dapat dipahami dalam proses sejarah normal, dan tidak memaksanya untuk melakukan
mukjizat dengan menciptakan bahasa teknis baru dari awal, seperti narasi klasik akan
meminta kita untuk percaya.

Bahasa teknis Hajjaj hanyalah salah satu dari banyak sumber kesulitan yang akan kita temui
dalam bab-bab berikutnya, dan ketika kita akan memiliki kesempatan lagi dan lagi untuk
berbicara kembali tentang manfaat yang dapat diperoleh dari adopsi narasi alternatif ini.

Pada tingkat teoritis, mengapa saya menyerukan adopsi narasi alternatif ini? Dalam respon saya
harus menunjukkan pentingnya menghubungkan teori ilmu pengetahuan dengan kondisi
sosial di mana ilmu pengetahuan dilahirkan. Karena meskipun saya tidak berpikir kita akan
dapat menentukan dengan tepat mengapa ilmu tertentu didukung dalam masyarakat tertentu
pada waktu tertentu, sementara bidang pengetahuan lain tertahan, saya yakin kita tidak dapat
sepenuhnya memahami cara kerja batin interaksi antara produksi ilmiah dan kondisi sosial,
ekonomi dan politik tanpa memperhatikan dialek. Mengadopsi narasi alternatif akan
memungkinkan kita setidaknya untuk memahami mengapa terjemahan tertentu dilakukan pada
waktu tertentu, dan mengapa tindakan penerjemahan menjadi penting ketika itu terjadi. Ini
pasti akan menyelamatka kita dari kebingungan yang biasanya dihadirkan oleh narasi klasik
bahwa mengaitkan asal-usul gerakan penerjemahan dengan ciri-ciri esensial Agama Islam itu
sendiri, sementara di lain waktu berfokus pada komposisi masyarakat Islam awal, seperti
menghubungkan minat pada terjemahan ke "elemen" Persia dari kekaisaran Abbasiyah, seperti
kita sering ceritakan.

Dengan narasi alternatif ini, kita dapat melihat untuk pertama kalinya, setelah wawasan
Al-Nadim, hubungan yang jelas antara produksi ilmiah dan faktor-faktor sosial yang membuat
produksi tersebut menjadi penting di satu sisi, dan memungkinkan di sisi lain. Dengan
wawasan tersebut, kita dapat mendekati pemahaman yang lebih baik tentang sejarah intelektual
awal peradaban Islam. Dan dari perspektif tersebut, kita akhirnya dapat menghargai peran yang
dimainkan oleh para birokrat pemerintah (para kuttab dan wazir) dalam mempromosikan
akuisisi ilmu-ilmu kuno, dengan cara melindungi akuisisi ini untuk tujuan persaingan dan
kemajuan pekerjaan mereka.

Kita tidak perlu lagi mengaitkan ketertarikan tersebut dengan mimpi seorang khalifah atau
sejenisnya, seolah-olah sejarah berjalan seirama dengan mimpi seorang penguasa atau yang

72
lainnya. Lebih jauh lagi, narasi alternatif ini memungkinkan kita untuk menjelaskan mengapa
129 buku Galenic tentang kedokteran semuanya diterjemahkan untuk para birokrat dan tidak
ada satu pun yang ditujukan untuk seorang khalifah, seperti yang diberitahukan kepada kita
oleh Hunain sendiri dalam risalah yang telah disebutkan di atas. Kita juga dapat memahami
mengapa terjemahan ketiga, atau mungkin keempat, dari Almagest juga dilindungi oleh
seorang birokrat lain yang bernama Abu Saqr bin Bulbul (w. sekitar tahun 892), yang
pertama-tama bekerja sebagai katib dan kemudian dipromosikan menjadi wazir, dan bukan
oleh sang khalifah sendiri.

Saya akan memiliki kesempatan untuk kembali ke isu-isu ini dalam terang sejarah tradisi
astronomi Arab, di mana, seperti yang telah saya katakan, saya akan menggunakan disiplin
ilmu tersebut sebagai kerangka yang akan saya gunakan untuk memeriksa validitas narasi
alternatif ini. Saya akan terus menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk
mengilustrasikan keuntungan yang diperoleh dengan mengadopsi narasi alternatif ini dan
terhadap yang klasik, dengan harapan bahwa kita dapat memahami lebih baik perkembangan
pemikiran ilmiah Islam.

Dengan semua itu, saya harap saya telah cukup menekankan perlunya kembali ke
sumber-sumber utama, baik sejarah maupun ilmiah, dan mencoba membaca ulang tanpa bias
narasi ideologis apa pun, sebanyak mungkin, untuk mendeteksi dari sumber-sumber itu sendiri
arah yang diambil oleh produksi ilmiah dan mengapa proses tersebut diharapkan akan
membawa kita pada pemahaman yang lebih baik tentang perkembangan ilmu pengetahuan
Islam yang sebenarnya, berbagai periode yang dilaluinya, dan pada akhirnya dapat
mengapresiasi, sebanyak mungkin, kekuatan-kekuatan sosial yang kekuatan sosial yang
memungkinkan semua itu terjadi.

Sekarang saya telah menjelaskan motivasi untuk akuisisi ilmu-ilmu ilmu-ilmu kuno, dan
mudah-mudahan menjelaskan proses dan faktor-faktor sosial yang membawanya, sekarang
saatnya untuk beralih ke kondisi sosial sekali lagi dan mencoba untuk mendeteksi dampak dari
ilmu-ilmu "kuno" yang baru ini terhadap peradaban Islam yang baru lahir dan bagaimana
mereka sendiri ditransformasikan oleh peradaban ini. Saya akan mencurahkan bagian terbesar
dari diskusi ini pada dampak ilmu-ilmu Yunani pada masyarakat Islam awal, tanpa alasan lain
selain fakta bahwa ilmu-ilmu tersebut menjadi fokus perhatian besar dari abad-abad awal dan
terus menangkap imajinasi para ilmuwan di kemudian hari dalam segala hal yang mereka
lakukan, dengan mengabaikan ilmu-ilmu Persia dan India. ilmu pengetahuan yang dampaknya
tampaknya mulai memudar dengan cepat di sekitar pertengahan abad kesembilan.

73
3. Pertemuan dengan Tradisi Ilmiah Yunani

Seperti semua pesan yang menderita karena reputasi sang pembawa pesan,
terjemahan-terjemahan teks Yunani dan Sansekerta yang masuk, mulai diproduksi menjelang
akhir masa Umayyah dan awal masa Abbasiyyah, sebagai hasil dari reformasi 'Abd Al-Malik,
secara alamiah mulai dikaitkan dengan kelas-kelas masyarakat yang sekarang dianggap berada
di luar birokrasi diwan, dan dengan demikian asing dengan politik hirarki pemerintahan itu
sendiri. Di pihak yang berlawanan adalah mereka yang mendapatkan pekerjaan baru mereka
berdasarkan penguasaan bahasa Arab, yang sekarang menjadi bahasa baru kaum diwan. Sekutu
alamiah dari kelompok kedua adalah mereka yang juga mempertaruhkan posisi mereka sendiri
yang bergantung pada penguasaan bahasa Arab.

Ketergantungan mereka adalah untuk tujuan yang sedikit berbeda. Para sekutu ini, yang
sebagian besar adalah tokoh-tokoh agama dan ahli hukum, membutuhkan penguasaan bahasa
Arab agar dapat menggunakannya sebagai alat otoritatif yang memungkinkan mereka untuk
menguasai teks Al-Qur'an, di tempat pertama, serta menguasai ilmu-ilmu pendukung lainnya
seperti hadis-hadis kenabian (uṣul Al- fiqh), tata bahasa, leksikografi, sastra, puisi, dan semua
disiplin ilmu yang bertujuan untuk memperoleh pendapat-pendapat hukum dari teks-teks
tersebut. Kedua kelompok tersebut: para ulama dan ahli hukum di satu sisi dan para birokrat
baru pemerintahan di sisi lain, yang klaim otoritasnya didasarkan pada penguasaan mereka atas
bahasa Arab, mulai dianggap sebagai satu kelompok yang lebih besar hanya jika mereka
dikontraskan dengan mereka yang klaim utama mereka atas kekuasaan didasarkan pada
penguasaan mereka atas "ilmu-ilmu asing" yang baru saja diterjemahkan, dan secara alami
berasal dari luar budaya mereka. Dalam konteks ini, mudah untuk melihat mengapa pembagian
epistemologis awal antara "ilmu-ilmu asing" dan "ilmu-ilmu Islam" dapat dengan cepat
mendapatkan tempat, pada periode awal ini dan dapat bertahan sepanjang sejarah intelektual
Islam

74
Meskipun terjemahan-terjemahan tersebut berasal dari dua tempat penyimpanan budaya utama,
India dan Persia, di timur, dan dari negeri-negeri Helenistik, di barat, tradisi klasik Yunani
mulai mengungguli tradisi-tradisi lain yang saling bersaing. Kita telah melihat bahwa beberapa
naskah Sansekerta utama mulai diterjemahkan pada masa pemerintahan khalifah Abbasiyah
kedua, Al-Mansur (754-775), jika bukan sebelumnya, beberapa naskah tentang logika bahkan
sebelum itu, dan telah diterima secara umum bahwa naskah-naskah Persia dan Sansekerta,
meskipun jumlahnya sedikit, adalah naskah-naskah yang pertama kali diterjemahkan. Fakta
bahwa terjemahan bahasa Sanskerta dan Persia tampaknya menjadi yang pertama, harus berarti
bahwa anggota komunitas penutur bahasa Persia adalah yang pertama kali menyadari perlunya
mengimpor "ilmu-ilmu asing", agar dapat bersaing di pasar pemerintah yang baru. Hal ini juga
dapat menjelaskan berkembangnya pemberontakan selama paruh pertama abad ke-8, yang
semuanya dipimpin oleh orang-orang Persia yang menentang otoritas kekaisaran Umayyah
yang saat itu sedang mengalami keruntuhan dan upaya pemberontakan mereka akhirnya
dimahkotai oleh keberhasilan "revolusi" Abbasiyah pada pertengahan abad itu. Revolusi
tersebut pada awalnya dianggap sebagai persekutuan berbagai faksi, termasuk beberapa faksi
Persia, yang pada saat itu semuanya tidak puas dengan Bani Umayyah.

Setelah keberhasilan awal komunitas Persia ini, komunitas yang berbahasa Syiria mulai
mengikuti jejak mereka dan memulai penerjemahan teks-teks Yunani ke dalam bahasa Arab.
Untuk sumber-sumber filosofis dan ilmiah, para pendahulu penerjemahan bahasa Suryani
termasuk, misalnya, upaya awal Ibn Al-Muqaffa' untuk menerjemahkan teks-teks Persian
tentang logika. Kita harus berasumsi bahwa setidaknya ada beberapa teks berbahasa
Sansekerta/Persia lainnya, yang berhubungan dengan pengobatan dan farmakologi, yang
dengan cepat mengikutinya. Dan mereka pasti telah memasukkan upaya Al-Fazari dan Ibn
Tariq, yang telah disebutkan sebelumnya, untuk menerjemahkan teks-teks astronomi Sanskerta
ke dalam bahasa Arab dan menghasilkan teks-teks Arab yang mencontoh teks-teks Sansekerta.
Komposisi-komposisi tersebut mungkin juga mencakup teks-teks Sansekerta yang telah
dimodifikasi agar isinya sesuai dengan lingkungan Arab yang baru dengan menyesuaikan,
misalnya, tahun-tahun gerakan rata-rata ke dalam tahun-tahun Arab, yang berarti tahun-tahun
Hijriah yang lebih kecil daripada tahun-tahun matahari dengan selisih sekitar 11 hari. Tugas
konversi ini bukanlah tugas yang sepele seperti yang telah kami katakan sebelumnya. Namun
kita cukup yakin bahwa hal itu telah dilakukan sesuai dengan laporan Al-Nadim tentang
Al-Fazari ketika ia mengatakan bahwa Al-Fazari telah membuat sebuah "zij 'ala siniy Al-
'Arab" (sebuah tabel astronomi menurut tahun-tahun Arab)."

75
Dari perspektif budaya, dan sebaliknya, terjemahan bahasa Arab dari sumber-sumber Yunani,
yang sebagian besar dilakukan oleh komunitas berbahasa Suriah, jauh lebih komprehensif, dan
berkaitan, selain ilmu-ilmu murni dan kedokteran, juga teks-teks yang sangat canggih tentang
filsafat dan logika. Secara keseluruhan, korpus filosofis Yunani, yang juga dipahami mencakup
disiplin ilmu seperti kedokteran, astronomi, dan matematika, muncul sebagai sebuah badan
pengetahuan yang mandiri dan terintegrasi yang dapat menjelaskan banyak fenomena yang
beragam dengan menggunakan sistem filosofis yang mencakup semua, seperti sistem
Aristoteles. Dan kemungkinan besar, sistem ini ditemukan sangat menarik, terutama karena
penerapannya yang umum untuk berbagai fenomena dan karena keterkaitan dari berbagai
prinsip-prinsip ilmiah yang tertanam ke dalam formulasi sistem tersebut. Dalam beberapa
tahun, yaitu hanya dalam waktu setengah abad, antara tahun 820 dan 870, hampir semua
penerjemahan bergeser, untuk semua tujuan praktis, dari bahasa Persia dan Sansekerta, sebagai
bahasa utama, ke bahasa Yunani sebagai bahasa yang lebih disukai untuk disadur pada semua
tingkatan.

Keberhasilan penerjemahan yang terakhir ini tak tertandingi. Upaya ini mencakup semua
teks-teks filosofis dan ilmiah Yunani yang serius. Dan secara teknis, penerjemahan itu mulai
lebih terorganisir, lebih sistematis, melibatkan kerja sama tim, dan terkadang beroperasi sangat
mirip dengan lokakarya. Ketika seseorang berpikir tentang seseorang seperti Hunain bin Ishaq
dan putranya, Ishaq serta keponakannya, Hubaish, yang semuanya terlibat dalam kegiatan yang
sama atau proyek-proyek bersama pada periode yang sama, seseorang dapat mulai mendeteksi
struktur keluarga dari kegiatan tersebut. Kita juga dapat mengantisipasi kemungkinan
penyalahgunaan kegiatan-kegiatan ini oleh para pengusaha yang memonopoli, atau oleh para
pelanggan yang kadang-kadang ingin mengendalikan informasi yang dibawa oleh
penerjemahan-penerjemahan tersebut ke dalam peradaban Islam. Kondisi-kondisi ini juga
dapat menjelaskan mengapa Hunainaq bin Ishaq hampir mencurahkan seluruh waktunya untuk
menerjemahkan bagi Bani Misa, sementara ia juga menduduki jabatan resmi sebagai dokter
Khalifah, terutama pada masa kekuasaan Al- Mutawakkil (847-861).

Para pengusaha yang memonopoli kadang-kadang termasuk para profesional yang


membutuhkan terjemahan teks-teks Yunani tertentu ke dalam bahasa Syria dan bukan bahasa
Arab, sehingga mereka setidaknya memonopoli informasi untuk sementara waktu sebelum teks
tersebut akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kita tahu dari catatan I:Yunain tentang
terjemahan buku-buku Galenik bahwa ia telah menerjemahkan beberapa buku ke dalam bahasa
Syria untuk para dokter seperti Jibril bin Bakhtshu'. Hal yang sama mungkin juga terjadi pada

76
buku-buku Aristoteles yang dilaporkan oleh Al-Nadim yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Syria selama periode ini, atau sebelumnya. Seperti yang telah kami katakan, apa yang
disebut "terjemahan lama" (naql qadim), mungkin juga merupakan bagian dari upaya
kompetitif untuk memonopoli informasi oleh komunitas penutur bahasa Syria.

Bagi mereka yang tidak terlibat dalam kegiatan penerjemahan, dunia tampak seperti sudah
diatur oleh dua kelompok utama. Di satu sisi, ada orang-orang yang memiliki informasi yang
terkandung dalam "ilmu-ilmu asing" yang sekarang dipahami sebagai ilmu-ilmu Yunani.
Orang-orang yang sama bekerja di eselon tertinggi di kantor-kantor pemerintahan seperti
penasihat para khalifah atau bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang sama dari luar
pemerintahan. Di sisi lain, ada orang-orang yang memiliki penguasaan bahasa Arab dan
bekerja di eselon bawah pemerintahan pada pekerjaan dewan lama tetapi sekarang bersekutu
dengan tokoh-tokoh agama yang telah disebutkan sebelumnya yang juga bersama-sama
mengklaim sumber-sumber kekuasaan yang sama: Ilmu-ilmu linguistik Arab. Perpecahan
intelektual ini terus mengekspresikan dirinya, seperti yang baru saja kita lihat, dalam berbagai
bentuk seperti "asing" versus "asli", "kuno" versus "modern", "rasional" versus "tradisional",
dan sebagainya, yang semuanya menandakan dua pusat utama dari struktur kekuasaan yang
baru.

Dalam lingkungan seperti itu, dan dengan afiliasi orang-orang yang terlibat dalam pengajaran
ilmu-ilmu tersebut, mudah untuk menjelaskan kemunculan gerakan-gerakan seperti gerakan
syu ubaya, yang tersebar luas selama paruh pertama abad kesembilan, dan yang
mempertentangkan Arab dan non-Arab di hampir semua bidang kehidupan. Istilah etnis Arab
pada periode ini mungkin harus dipahami sebagai Arabofil, atau orang yang menuntut
kekuasaan melalui penggunaan bahasa Arab. Anekdot demi anekdot menceritakan sentimen ini,
bahkan ketika tujuan anekdot itu murni hiburan. Kisah Al-Jai’i misalnya, seperti yang
dilaporkan dalam bukunya Al-Bukhala: tentang dokter Arab Asad bin Jani (sebelum tahun 850)
berbicara secara langsung tentang sentimen yang meluas ini. Asad pernah diberitahu bahwa
bisnis medisnya diharapkan berkembang selama tahun wabah, dan dia menjawab bahwa tidak
mungkin lagi bagi orang seperti dia untuk mencari nafkah. Ketika ditanya alasannya, dia
berkata: bahwa dia adalah seorang Muslim dan orang-orang selalu berpikir, bahkan sebelum
dia menjadi seorang dokter atau bahkan sebelum dia dilahirkan, bahwa Muslim tidak akan
pernah berhasil dalam bidang kedokteran; namanya adalah Asad padahal seharusnya Saliba,
Moratel (sic), Yulanna atau Piri; nama kecilnya adalah Abu Al-l;larith padahal seharusnya Abu
'Isa, Abu Zakariya, atau Abu Ibrahim. Selain itu, katanya, ia mengenakan kain katun putih,

77
padahal seharusnya jubah sutra hitam. Dan diksinya adalah bahasa Arab, padahal seharusnya
bahasa penduduk Jundishapur.

Persaingan antara orang Arab dan non-Arab, dan antara Muslim, Kristen, dan Yahudi, tidak
dapat diungkapkan dengan lebih baik lagi. Lebih jauh lagi, anekdot ini menggambarkan
perbedaan yang jelas antara mereka yang bergantung pada bahasa asing untuk mencari nafkah,
seperti orang-orang Jundishapur, dan orang-orang Arab atau Arabofil yang berusaha
membangun otoritas mereka melalui Bahasa Arab.

Anekdot ini juga menggambarkan mengapa orang-orang seperti Asad secara alamiah akan
bersekutu dengan para agamawan yang juga mencari kekuasaan melalui bahasa Arab. Dalam
lingkungan seperti itu, kita juga dapat memahami mengapa orang-orang non-Arab, terutama
mereka yang berasal dari keturunan Persia, seperti Sibawaih (765-796), juga berusaha
menguasai bahasa Arab begitu mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat bersaing dalam
bidang "ilmu-ilmu asing", yang dengan cepat dimonopoli oleh orang-orang yang lebih
menguasai bahasa Yunani daripada bahasa Persia. Para ahli bahasa tersebut, meskipun berasal
dari non-Arab tetapi mungkin Arabofil, pada akhirnya akan bersekutu dengan ilmu-ilmu agama
juga, dan dengan mereka yang menjauhi kedekatan dengan kekuasaan politik, berlawanan
dengan mereka yang terus menerjemahkan ilmu-ilmu "asing" ke dalam bahasa Arab dan
semakin mendekatkan diri kepada khalifah sendiri melalui dukungan para birokrat tingkat
tinggi. Bidang-bidang yang bergantung pada penguasaan ilmu-ilmu asing, pada eselon tertinggi
pemerintahan, adalah bidang-bidang yang menjadi sangat penting bagi pemerintah seperti yang
telah disebutkan sebelumnya.

Ini tidak berarti bahwa persaingan terbatas pada orang-orang dari kelompok bahasa dan etnis
yang berbeda, jika seseorang dapat berbicara tentang etnis pada saat itu. Karena kita tahu
bahwa persaingan yang mematikan itu pasti menyebar ke seluruh birokrasi untuk memasukkan
orang-orang yang memiliki agama dan profesi yang sama, seperti yang telah kita lihat dalam
kasus Hunain bin Ishaq di istana khalifah Al-Khulafa Al-Rasyidin al Mutawakkil.

Dalam lingkungan seperti itu, wajar jika ada kendala dari luar yang disambut oleh sebagian
orang dan segera ditolak oleh sebagian lainnya. Dan karena ketidakseimbangan dalam bidang-
bidang pengetahuan yang tersedia, yang sekarang dipahami sebagai alat untuk kekuasaan
politik, maka hilangnya mata pencaharian sebagian orang dan keuntungan bagi sebagian yang
lain, seperti yang telah terjadi pada penerjemahan diwan, sebuah fakta yang masih segar dalam
benak masyarakat selama abad kedelapan dan awal abad kesembilan. Dalam kondisi seperti itu,

78
semua orang yang berkepentingan akan dengan cepat meneliti pengenalan ide baru apa pun.
Dan pemeriksaan ini pertama-tama akan dilakukan oleh para penentang mereka yang
mengimpor ide baru, atau sains dalam hal ini, dan kemudian oleh para pendukungnya untuk
memastikan bahwa ide tersebut dapat bertahan dari serangan dari kubu yang berlawanan.
Bahkan bukan hal yang aneh jika beberapa ide baru yang masuk juga diserang oleh mereka
yang berada di kubu yang sama, tetapi mereka sendiri juga bersaing dan berebut untuk
mendapatkan bagian kekuasaan yang lebih besar. Dalam lingkungan seperti itulah ilmu-ilmu
Yunani yang baru diimpor dilemparkan.

Para pengimpor astronomi Yunani harus memastikan bahwa bidang mereka terpisah dari
astrologi, yang tidak disukai oleh agama. Untuk mencapai hal tersebut, para astronom inilah
yang berhasil membentuk kembali disiplin ilmu mereka dan menciptakan astronomi baru, yang
kemudian dikenal sebagai 'ilm Al-Haya dan tidak memiliki padanan dalam bahasa Yunani.
Begitu mereka dapat menghindari disiplin ilmu perbintangan, maka para importir astronomi
Yunani, dan juga para penyusun teks-teks hanya dapat dengan mudah berperan sebagai
sekutu dari lembaga keagamaan juga, dan kemudian dapat berkembang dalam lembaga tersebut
saat mereka membawa karya mereka untuk diterapkan dalam ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri.
Kecenderungan ini menjelaskan penciptaan bidang baru dari miqat" menjelang awal abad
kesebelas, selain penciptaan 'ilm Al- hay'a, seperti halnya juga menjelaskan penciptaan disiplin
matematika 'ilm Faraid di sekitar periode yang sama.

Dalam lingkungan yang terpolarisasi, yang bertahan sepanjang sejarah Islam, kita dapat
menjelaskan kemunculan disiplin ilmu baru tertentu dan hilangnya disiplin ilmu yang lain. Kita
juga dapat mendeteksi fleksibilitas produksi ilmiah ketika ia menyesuaikan diri dengan kondisi
sosial yang baru. Perkembangan-perkembangan ini terbukti sangat penting bagi kelanggengan
sains Islam secara umum, dan memberikan bayangan khusus pada perkembangan yang terjadi
dalam bidang astronomi, dimana beban konflik ini terfokus. Dan karena alasan itulah,
penerimaan tradisi astronomi Yunani memberikan kita gambaran ilustrasi terbaik tentang
kondisi umum yang pasti dihadapi oleh disiplin ilmu lain. Kemunculan astronomi Islam
sebagai sebuah disiplin ilmu sendiri sangat ditentukan oleh kondisi-kondisi awal yang dialami
disiplin ilmu ini dan terus mewarnai perkembangannya di abad-abad berikutnya.

Reaksi terhadap warisan Ilmiah Yunani

Sangat mudah untuk melihat mengapa para pencari teks-teks ilmiah Yunani tidak terlalu rentan
dibandingkan dengan mereka yang mencari teks-teks filosofis; atau bisa dikatakan bahwa

79
pertarungan mereka lebih mudah dimenangkan. Dalam kasus ilmu pengetahuan, terutama yang
eksak, seperti matematika dan astronomi, lebih mudah untuk mendeteksi kesalahan dan
membuktikan keunggulan satu pendapat terhadap pendapat lainnya. Hanya ketika disiplin ilmu
seperti astrologi dimasukkan ke dalam ilmu-ilmu tersebut, seperti yang dilakukan dalam tradisi
Yunani, situasinya menjadi sedikit lebih kompleks.

Dalam teks-teks yang murni ilmiah, seperti yang akan kita lihat, ada nilai-nilai astronomi
dalam tradisi Yunani yang dapat dengan mudah dibuktikan salah. Dan hal itu dapat menjadi
bahaya bagi mereka yang membawa ilmu-ilmu tersebut ke dalam bahasa Arab. Karena jika
mereka tidak ekstra hati-hati dalam menyisihkan kesalahan-kesalahan tersebut, maka seluruh
usaha dapat dengan mudah dikecam. Dalam kasus ide-ide filosofis, batas antara benar dan
salah tidak setajam itu, dan ranah yang mereka bahas tumpang tindih secara berbahaya dengan
beberapa ranah yang dicadangkan untuk spekulasi agama.

Meskipun akan sangat penting secara ilmiah untuk mengetahui bahwa pengukuran Ptolemeus
terhadap parameter ini atau itu salah dan dengan demikian perlu dikoreksi, temuan ini tidak
akan memiliki implikasi sosial yang berbahaya. Namun, mencoba untuk menegakkan gagasan
filosofis bahwa dunia ini abadi seperti yang dikatakan oleh beberapa teks filosofis Yunani akan
segera mengalami masalah dengan kalangan religius yang sudah pasti menetapkan keyakinan
mereka pada doktrin penciptaan dunia, oleh Tuhan yang unik.

Dengan memperhatikan kondisi sosial seperti itu, kita kemudian dapat menghargai situasi di
mana ide-ide tertentu diterima sementara yang lain ditolak. Kondisi-kondisi tersebut juga akan
menjelaskan proses masuknya ilmu-ilmu "asing" dan perjuangan yang harus dilalui oleh
ilmu-ilmu tersebut. Fakta bahwa para pendukung ilmu-ilmu asing itu sendiri sangat waspada
terhadap jenis ilmu yang mereka impor, dan ingin memastikan bahwa ilmu tersebut bebas dari
cacat, sehingga dapat bertahan dari serangan- serangan yang baru saja kita jelaskan, perhatian
ini sekarang dapat menjelaskan alasan mengapa seseorang seperti Al-Hajjaj bin Matar pada
akhirnya mengoreksi naskah Ptolemeus dari Almagest ketika ia menerjemahkannya.

Dalam teks Almagest (IV, 2], Al-Hajjaj menemukan laporan Ptolemeus tentang panjangnya
bulan lunar. Di dalamnya Ptolemeus mengatakan bahwa ia hanya mengikuti Hipparchus yang
telah mengambil dua gerhana bulan yang dipisahkan oleh 26.007 hari dan 1 jam, di mana bulan
melakukan 4.267 revolusi. Ptolemeus kemudian mengatakan bahwa jika seseorang membagi
jumlah hari dengan jumlah revolusi, yaitu membagi 1 26,0Q7ct dan 1 jam dengan 4.267, maka
ia akan mendapatkan panjang bulan lunar adalah 29 hari, 31 menit, 50 detik, 8 pertiga, 20

80
seperempat (atau ditulis sebagai 29; 31,50,8,2 Qct). Bahkan jika seseorang melakukan
pembagian, seperti yang ditentukan oleh Ptolemeus, jawabannya tidak akan seperti yang
diberikan dalam teks Ptolemeus, melainkan 29;31 50,8,9,20ct, yang merupakan angka yang
sama persis dengan angka yang terdapat dalam terjemahan bahasa Arab yang paling awal yang
masih ada dari Almagest oleh Al-Hajjaj.

Mengingat bahwa Al- Hajjaj rupanya sadar akan lingkungan persaingan yang baru saja kita
bicarakan, ia tidak dapat membiarkan apa yang tampak seperti kesalahan dalam terjemahannya,
dan mengambil tanggung jawab untuk mengoreksi teks Yunani. Sekarang apakah angka ini
sebenarnya merupakan 'kesalahan' dalam teks Ptolemeus atau tidak, sebuah masalah yang
sudah dihadapi oleh Asger Aboe hampir setengah abad yang lalu, tidaklah penting di sini. Poin
penting yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa Al-Hajjaj pasti mengira bahwa ini
merupakan sebuah kesalahan, dan dengan demikian merasa bahwa ia harus mengoreksinya,
agar penerjemah lain yang lebih kompeten atau ahli astronomi tidak akan menunjukkan hal itu
dan dengan demikian meremehkan kemampuan ilmiahnya.

Riwayat klasik tidak mungkin menjelaskan nuansa seperti itu dalam proses penerjemahan,
karena riwayat tersebut tidak memperhatikan persaingan yang ditimbulkan oleh reformasi 'Abd
Al-Malik, dan juga tidak mengakui pengalaman yang diperoleh oleh para penerjemah
ilmu-ilmu dasar diwan selama satu atau dua generasi, yang dapat memberikan seseorang
seperti Al-Hajjaj keahlian yang diperlukan untuk melakukan koreksi. Tetapi dengan narasi
alternatif, semua kegiatan tersebut menjadi sangat alamiah, dan secara historis dapat
dimengerti.

Di sisi pengamatan, persaingannya tidak kalah berat. Kita tahu dari laporan-laporan awal
bahwa para astronom sangat ingin mengoreksi nilai-nilai astronomi dari tradisi Yunani klasik,
bukan hanya karena mereka mungkin didorong oleh motif yang sama dengan Al-Hajjaj, yaitu
untuk memastikan bahwa teks-teks yang mereka terjemahkan bebas dari kesalahan, tetapi juga
karena mereka dapat mengambil manfaat dari berlalunya waktu untuk mengecek ulang
parameter-parameter astronomi Yunani yang dapat disempurnakan dari waktu ke waktu.[14]
Sebagai contoh, nilai Yunani untuk gerak presesi dianggap 1°/100 tahun (atau sekitar
0,36°/tahun), seperti yang tercatat dalam Almagest Ptolemeus [VII, 2, et passim J. Jika hal ini
benar, maka itu berarti bahwa selama Pada paruh pertama abad ke-9, yaitu sekitar 700 tahun
kemudian, bintang-bintang tetap, khususnya bintang Regulus (Liones) yang bujurnya mudah
diamati karena kedekatannya dengan ekliptika, akan bergeser bujurnya dari posisi saat diamati
pada masa Ptolemeus sekitar 7°. Sebaliknya, garis bujur bervariasi sebanyak 11° selama

81
periode tersebut, sehingga memerlukan nilai presisi yang baru: sekitar 1° /66 tahun (0,54,54° /
tahun), atau sekitar 1° / 70 tahun (0,0,51 ° / tahun), sedangkan nilai modern untuk parameter ini
sekitar 0,0,50° / tahun.

Setelah nilai baru ditemukan, para astronom yang bekerja pada paruh pertama abad ke-9 mulai
menggunakannya dalam karya-karya mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh para astronom
Ma'mun. Ibnu Katsir Al-Farghani (w. 861), yang menulis rangkuman astronomisnya pada
waktu yang sama, tetap menggunakan nilai Ptolemeus yang lama, yaitu 1°/100 tahun,
kemungkinan besar sebagai upaya untuk mengikuti tradisi Yunani. Pada saat yang lain, seperti
dalam kasus penggunaan nilai baru untuk inklinasi ekliptika, ia tidak ragu-ragu untuk
meninggalkan nilai Ptolemeus dan berpihak pada pengamatan baru pada masanya.

Seperti yang juga telah kita lihat sebelumnya, kemiringan ekliptika yang ditentukan oleh
Ptolemeus sebesar 23;5·1,20° ternyata terlalu besar, dan pengukuran baru yang dilakukan di
Baghdad, sekitar awal masa pemerintahan abad kesembilan, menyimpulkan bahwa suhunya
mendekati 23;33°, sebuah nilai 17 yang masih digunakan sampai sekarang.

Nilai-nilai baru ini pastilah muncul sebagai hasil dari penyempurnaan yang telah ada jelas
diterapkan pada metode pengamatan, seperti yang akan segera kita lihat, dan jenis instrumen
yang digunakan untuk tujuan tersebut, serta ukurannya.

Lalu ada puncak matahari, yang dianggap ditetapkan pada 5:30° Gemini oleh Ptolemy, dan
juga terlihat telah berpindah secara signifikan pada abad kesembilan. Kenyataannya,
pergerakan apogee ini diketahui sangat bersesuaian dengan pergerakan presesi bintang-bintang
tetap, dan oleh karena itu, pada saat diamati di Baghdad, pergerakan tersebut diketahui telah
bergerak sekitar 11°.

Semua temuan ini pasti ditentukan oleh para astronom yang sangat kompeten, setidaknya sama
kompetennya dengan Ptolemeus, atau bahkan lebih kompeten. Akibatnya, mereka memaksa
kita untuk mengajukan pertanyaan yang sama yang telah diajukan sebelumnya: Siapa yang
melatih para astronot tersebut untuk melakukan pengamatan yang begitu baik dan menentukan
nilai-nilai yang tepat yang telah teruji oleh waktu dan masih kita temukan yang digunakan saat
ini? Narasi klasik, pada titik ini, akan gagal menjelaskan fenomena ini. Namun jika kita
mempertimbangkan implikasi reformasi 'Abd Al-Malik, dan mengasumsikan persaingan yang
selama ini kita asumsikan, maka masuk akal untuk menyatakan bahwa persaingan ini mungkin
telah menghasilkan perhatian dan keseriusan yang cukup sehingga setiap astronom akan

82
mencoba mengakalinya yang lain dan terus menerus teruslah berusaha menemukan nilai yang
lebih baik dan lebih baik lagi untuk parameter dasar astronomi tersebut.

Namun akumulasi dari begitu banyak parameter yang berbeda dengan yang dilaporkan dalam
teks-teks Yunani pastilah mengarah pada penelitian yang lebih serius pada awal masa
Abbasiyah. Karena kita menemukan bahwa pada paruh pertama abad ke-9, metode observasi
baru diusulkan untuk menghindari kesalahan metode observasi Yunani, dan untuk
memperbaiki hasil observasi Yunani. Orang-orang mulai mendiskusikan dampak dari
instrumen itu sendiri, serta strategi observasinya, semuanya dalam upaya untuk menjelaskan
alasan mengapa mereka menemukan hasil yang tentunya berbeda dari apa yang ditemukan oleh
Ptolemy sekitar 700 tahun sebelumnya

Salah satu tantangan awal terhadap metode observasi Ptolemeus terjadi pada abad yang sama,
ketika seseorang menyarankan bahwa posisi puncak matahari dapat ditentukan dengan teknik
yang lebih canggih. Teknik baru ini melibatkan pengamatan deklinasi harian matahari pada
titik tengah musim, bukan pada permulaan musim seperti yang dilakukan oleh Ptolemy.
Artinya, para astronom abad kesembilan tersebut memahami bahwa strategi observasi
Ptolemeus, yang mengharuskan observasi dilakukan pada saat matahari akan melintasi titik
ekuinoks dan titik balik matahari, sangatlah keliru. Dan mereka juga memahami bahwa strategi
ini tentu akan menimbulkan kesulitan dalam menentukan deklinasi harian matahari, katakanlah,
pada kuadran mural, tidak peduli seberapa besarnya, terutama ketika matahari berada di sekitar
titik balik matahari. Faktanya, pada titik-titik tersebut matahari tidak akan menunjukkan
deklinasi yang berarti dan variasi deklinasi harian sebenarnya sangat kecil. Oleh karena itu, hal
itu tidak dapat diamati secara akurat. Oleh karena itu, para astronot tersebut pasti mempunyai
alasan bahwa seseorang akan jauh lebih baik jika mengamati deklinasi tersebut ketika matahari
melintasi titik-titik tengah musim, yaitu derajat kelima belas Taurus, Leo, Scorpio, dan
Aquarian, dan di mana deklinasinya akan lebih terlihat. Metode baru yang digunakan untuk
pengamatan ini disebut metode Fusul (metode musim) karena ketergantungannya pada titik
tengah musim sebagai titik pengamatan, yang jelas bertentangan dengan permulaan musim
sebagai dilakukan oleh Ptolemy.

Karena pergeseran dalam teknik pengamatan ini, dan dalam satu gerakan penuh, nilai-nilai
baru untuk puncak matahari, eksentrisitas matahari, serta nilai persamaan matahari maksimum
yang menyertainya, semuanya dapat ditentukan pada saat yang sama, dan pada saat yang sama.
tingkat presisi yang jauh lebih tinggi. Dan begitulah mereka, seperti dilaporkan dalam apa yang
disebut mumtalan zij (Tabel astronomi terverifikasi) yang diperkirakan disusun pada masa

83
pemerintahan Al-Ma'mun (813-833).[19] Semua yang terjadi pada awal abad kesembilan, suatu
prestasi yang tidak mungkin dicapai oleh para pemula yang baru mulai mengenal teks-teks
Yunani yang begitu canggih sehingga mereka menerjemahkannya pada saat yang bersamaan.
Beberapa generasi penerjemah ilmu-ilmu dasar sebelumnya pasti telah membuka peluang bagi
kegiatan-kegiatan tersebut, seperti yang ingin diusulkan oleh narasi alternatif.

Kegiatan tersebut terus dilakukan secara rutin, dan metode observasi terus dilakukan
pengecekan ulang. Penelitian baru mengenai jenis dan ukuran instrumen juga harus dilakukan,
dan harus dilanjutkan pada abad-abad berikutnya hingga menjadi sebuah tradisi tersendiri.

Kita mendapatkan info dari semua ini dalam laporan-laporan yang disimpan sejak abad
kesepuluh. Salah satu salinan laporan tersebut telah dikutip dalam kamus bibliografi abad
ketiga belas, Ta'rikh Al-lukamii' dari Qifti.[20] Di dalamnya kita diberitahu bahwa pada masa
awal Buyid, yaitu pada paruh kedua Pada abad kesepuluh, astronom terkenal Abu Sahl Al-Kuhi
(c. 988) dipanggil untuk melakukan pengamatan baru guna memeriksa kembali nilai-nilai yang
sama untuk puncak matahari, eksentrisitas matahari, serta persamaan maksimum matahari.
Laporan tersebut selanjutnya mengatakan bahwa Abu Sahl lebih memilih untuk menentukan
masuknya matahari pada titik balik matahari musim panas dan ekuinoks musim gugur, seperti
yang dilakukan oleh Ptolemy sebelumnya. Namun, yang lebih penting, kita juga diberitahu
bahwa Abu Sahl dihadiri oleh sekelompok orang pada saat observasi, termasuk ulama, hakim,
ahli matematika, astronom, birokrat terkenal Abu Hilal al Sabi' (w. 1010) serta pejabat lainnya
Abu Sahl menyuruh semua pejabat membubuhkan tanda tangan mereka pada laporan observasi.
Beragamnya profesi dan tingkatan individu yang terlibat hanya dapat menekankan pentingnya
sosial dari kegiatan-kegiatan tersebut pada saat itu. Namun pertanyaannya tetap: Mengapa Abu
Sahl memilih metode Ptolemeus, padahal dia seharusnya mengetahui bahwa metode tersebut
telah digantikan oleh metode fusul lebih dari satu abad sebelumnya? Apakah dia mencoba
"mengakali" Ptolemy dengan melakukan observasi yang sama?

Gema lain dari penelitian instrumen yang lebih baik dan lebih besar juga datang kepada kita
dari karya Al-Khujandi (w. ca. 1000), di mana kita diberitahu bahwa ia berusaha membuat
instrumen yang sangat besar dalam upaya terus menerus untuk mendapatkan hasil instrumen
yang lebih presisi. Khujandi seharusnya berusaha membuat sex-tant yang radiusnya sekitar 20
hasta, dan lulus sedemikian rupa sehingga dapat mencapai akan memungkinkan pengamat
untuk mengukur hingga beberapa menit lebih derajat.[22]

84
Pada abad-abad berikutnya, kegiatan serupa terus dilakukan, dan instrumen terus
disempurnakan. Pada abad ketiga belas, metode fu’ul yang sama, yang pertama kali ditemukan
pada paruh pertama abad kesembilan, juga disempurnakan, dan metode baru lainnya
dikembangkan yang mengharuskan pengamatan matahari dilakukan hanya pada tiga titik di
ekliptika. bukannya empat, dan hanya dua observasi yang harus terpisah secara diametral.

Pengamatan yang Lebih Halus

Kesalahan-kesalahan lain yang ditemukan dalam Almagest sedikit lebih canggih, dan
tampaknya tidak segera disadari ketika teks Almagest pertama kali diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Dua contoh kesalahan seperti itu sudah cukup untuk saat ini.

Yang pertama berkaitan dengan pernyataan yang dibuat oleh Ptolemeus sehubungan dengan
ukuran relatif dari dua benda langit yang mempengaruhi gerhana.[24] Pada saat itu Ptolemeus
tidak hanya mengatakan bahwa ukuran piringan matahari yang tampak oleh pengamat di Bumi
sama besarnya dengan piringan bulan ketika bulan berada pada jarak terbesarnya dari Bumi,
tetapi juga bahwa ukurannya selalu demikian dan tidak menunjukkan perubahan ukuran bagi
pengamat yang sama. Tentu saja ketika bulan lebih dekat ke pengamat, tidak ada pertanyaan
tentang ukuran relatifnya sehubungan dengan piringan matahari karena durasi gerhana
matahari akan menyelesaikan masalah ini. Namun, terjadinya gerhana annular, sebuah
fenomena yang bahkan tidak disebutkan oleh Ptolemeus, tentu saja akan memberikan contoh
tandingan untuk pernyataan Ptolomeus. Gerhana annular seperti ini dapat menunjukkan bahwa
ketika bulan berada pada jarak terjauhnya, ukuran semu bulan masih lebih kecil daripada
ukuran semu matahari, jika tidak, matahari tidak akan tampak seperti cincin yang mengelilingi
piringan bulan pada saat gerhana annular. Dalam Tahrirnya, Tusi (w. 1274) memilih fenomena
tersebut dan memberikan catatan pengamatan yang lebih baru yang benar-benar
mendokumentasikan gerhana annular tersebut. Ia kemudian mengatakan lebih lanjut bahwa
piringan matahari yang tampak sebenarnya tidak tetap, seperti yang dikatakan oleh Ptolemeus,
tetapi ukurannya berubah-ubah. Dan perubahan itu dapat dideteksi dengan menghitung
berbagai durasi gerhana pada berbagai posisi relatif dari para tokoh. Kesimpulan yang sama
dicapai sekitar satu abad kemudian oleh Ibn Al-Shatir (w. 1375) dari Damaskus, yang bahkan
melangkah lebih jauh lagi dengan menghitung variasi dalam ukuran yang tampak pada cakram
matahari yang sama, dan diharuskan untuk membuat sebuah model matematis yang
menggambarkan gerakan matahari untuk mengakomodasi perhitungan-perhitungan baru yang

85
mungkin ia dasarkan pada analisisnya yang mendetail mengenai gerhana. Kita akan memiliki
kesempatan untuk kembali pada analisis konstruksi Ibn Al-Shatir ini saat kita mendiskusikan
solusi-solusi alternatif yang diberikan pada masalah-masalah Ptolemaeus pada masa Islam.

Contoh kedua kesalahan canggih namun halus yang ditemukan dalam teks Almagest
melibatkan konfigurasi matematika yang dijelaskan oleh Ptolemy sehubungan dengan
pergerakan bulan. Dalam konfigurasi spesifik tersebut, yang memberikan banyak masalah bagi
Ptolemeus sebelum dia memutuskan untuk membuat versi finalnya [Almagest V, 5-10],
Ptolemeus harus membuat mekanisme tipe engkol yang dapat menjelaskan variasi persamaan
kedua bulan dari nilai sekitar 5;1°, ketika bulan berada dalam konjungsi atau berlawanan
dengan matahari, hingga sekitar 7;40°, ketika bulan berada pada kwadratur dari matahari (yaitu
sekitar 90° dari posisi rata-rata matahari). Model matematika Ptolemeus bekerja cukup baik
dalam memprediksi posisi bulan di panjang itu. Namun seperti yang diamati dengan benar oleh
Ibn Al-Shatir, model tersebut juga "mengharuskan bahwa diameter Bulan harus hampir dua
kali lebih besar pada kuadratnya dibandingkan pada awalnya, dan hal ini tidak mungkin
dilakukan, karena tidak dilihat seperti itu lam yura kadzalika.

Ibn Al-Shatir menegaskan bahwa variasi ukuran bulan yang tampak seperti itu disebabkan oleh
model Ptolomeus mengenai gerak bulan. Dan karena ketergantungannya pada pengamatan
gerhana yang baru dilakukannya, Ibn Al-Shatir harus membuat model alternatif pergerakan
bulan yang juga akan dibahas dalam konteks solusi yang dikembangkan pada masa Islam di
oposisi terhadap Ptolemeus.

Semua evaluasi, teknik baru, solusi baru, dan penyempurnaan yang dikembangkan ini tidak
akan dihasilkan jika para astronom yang memproduksinya tidak membaca teks astronomi
Ptolomeus dengan semangat kritis. Hampir semua parameter astronomi yang mereka temui di
Almagest terbukti mengalami kesalahan secara mendasar, dan diperlukan program observasi
dasar untuk memperbaikinya. Tampaknya apa yang terjadi pada periode awal ini adalah hal
yang sama, karena kita mendengar satu demi satu astronom berupaya mencari jalan keluar dari
kesulitan-kesulitan yang dihadapi para astronom. Almagest Telah menghadapi mereka. Hasil
karya sastra yang mereka hasilkan sebagai tanggapannya, baik dalam risalah yang membahas
topik metode observasi, atau dalam pembuatan tabel astronomi baru yang disebut mumtahan
(terverifikasi), atau sejenisnya, semuanya dapat dianggap sebagai hasil logis dari pendekatan
kritis yang digunakan para astronom awal untuk menerima maha karya ilmiah Yunani. Pada
saat yang sama, literatur baru ini juga dapat dilihat sebagai produk sampingan dari keinginan
yang jelas untuk menetapkan parameter yang lebih andal untuk bidang astronomi baru yang

86
sedang berkembang; parameter yang pada akhirnya akan jauh lebih unggul daripada parameter
yang menimbulkan masalah di Almagest.

Kritik dan evaluasi terhadap parameter mendasar serta kritik terhadap metode yang
menghasilkannya bukanlah satu-satunya hal yang mengarahkan budaya penerima untuk
menegosiasikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam teks Ptolemeus. Satu bagian dari
Almagest,Buku VII Dan VIII, ditangani secara khusus dengan konstelasi dan deskripsi
bintang-bintang penyusunnya yang pernah dialami oleh budaya penerima; meskipun
tampaknya ia tidak memiliki tabulasi sistematis yang relatif terhadap bintang-bintang tersebut.
Namun dalam domain ini kami masih kekurangan informasi penting tentang peristiwa yang
terjadi pada periode awal ini. Namun yang dapat ditegaskan adalah bahwa beberapa modifikasi
teks Yunani telah terjadi sehubungan dengan adanya berbagai terjemahan, di mana nama-nama
lain diberikan kepada konstelasi-rasi bintang tersebut, selain nama-nama yang diterjemahkan
dari bahasa Yunani atau ke mengganti semuanya.

Pada abad ke-10, literatur tentang bintang tetap mulai menghasilkan dua tradisi yang saling
bersaing: Yang satu merupakan keturunan langsung dari bahasa Yunani, dan dengan demikian
dicatat dalam buku pegangan astronomi dan sejenisnya, dan tentu saja diabadikan dalam
berbagai terjemahan kitab tersebut. Almagest dan kitab-kitab yang diturunkan darinya.
Sementara tradisi lainnya diwakili oleh sejumlah besar teks yang dikhususkan untuk sastra
anwar' yang paling baik dapat dikarakterisasi sebagai berkaitan dengan kegunaan terbit dan
terbenamnya konstelasi untuk tujuan pertanian dan untuk tujuan umum kehidupan sehari-hari.
Tradisi terakhir ini mendekati subjek dari latar belakang asli Arab dengan memanfaatkan
ilmu-ilmu asli dan pengetahuan asli tentang konstelasi yang diketahui dari sumber-sumber
sastra Arab yang banyak dibaca.

Di dapat dilihat kubu-kubu yang berseberangan terpecah menurut garis yang serupa dengan
kubu-kubu yang dibahas di atas: Ada orang-orang yang lebih menyukai ketergantungan pada
ilmu-ilmu “kuno” non-Arab, dan mereka sendiri diidentifikasi sebagai kelompok yang lebih
tinggi di birokrat pemerintah, dan mereka yang lebih suka mengandalkan cara-cara orang Arab
di kalangan non-pemerintah atau birokrasi tingkat bawah. Sebagai hasilnya, banyak sekali
literatur yang membahas tentang bintang-bintang. Dan karena beragamnya tradisi yang terlibat,
kumpulan literatur yang sama memerlukan sistematisasi.

Adalah 'Abd Al-Rahman Al-Sufi (w. 986) yang melakukan pekerjaan itu dengan menghasilkan
sebuah mahakarya tentang konstelasi yang tidak dapat dilampaui hingga zaman modern.

87
Bukunya Suwar Al-Kawakib Al-thabita (Figur Bintang Tetap) tidak hanya mencakup deskripsi
latar belakang umum setiap konstelasi dan bintang penyusunnya baik dalam tradisi Yunani
maupun Arab, mengidentifikasi, bila memungkinkan, berbagai nama yang diberikan kepada
bintang atau kelompok bintang yang sama, namun juga mencakup serta tabel sistematis garis
bujur, garis lintang, dan besaran masing-masing bintang itu sendiri. Teks ini, yang hanya
tersedia dalam edisi awal dari Hyderabad, belum pernah dipelajari secara rinci.[30] Tetapi
bahkan dengan membacanya secara sepintas pun terungkap bahwa teks tersebut mengandung
dialog panjang dengan tradisi Yunani, khususnya diungkapkan dalam bentuk keberatan
terhadap teks yang diterima Ptolemeus. Kita tidak bisa tidak memperhatikan banyaknya
kesempatan ketika Sufi mengatakan bahwa bintang atau konstelasi ini atau itu adalah ini dan
itu menurut Ptolemeus, namun menurut saya seharusnya demikian, dan orang-orang Arab,
sebaliknya, mengatakan demikian tentang hal itu. Karena sifat komprehensifnya yang
disengaja, dan mungkin karena kedudukannya yang otoritatif sebagai buku referensi standar
tentang konstelasi yang seharusnya, teks ini cocok untuk produksi patronase kerajaan, dan
salinannya diilustrasikan dengan sangat indah sehingga banyak orang di antara mereka masih
dianggap sebagai chef d'oeuvres dari seni Islam.

Rekonstruksi Matematika Almagest

Dua jenis kritik lain yang ditujukan pada Ptolemeus Almagest, juga perlu disebutkan dalam
konteks ini, meskipun isu-isu tersebut sedikit berbeda dari isu-isu yang telah dibahas sejauh ini.
Kelompok pemikiran kritis ini tidak menyentuh persoalan kesalahan dalam Almagest Itu
sendiri, seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Sebaliknya, hal ini menyentuh dua bidang
lain dari teks yang mungkin perlu diperbarui: Pertama, terdapat kritik yang dapat
diklasifikasikan dalam judul upaya untuk memperbaiki teks dari teks tersebut. Almagest,yaitu
membawa pendekatan matematika yang diterapkan dalam teks agar setara dengan pengetahuan
matematika saat ini. Misalnya saja yang sangat terkenal teorema matematika yang digunakan
pada awal Almagest untuk menyusun sistem trigonometri yang digunakan di seluruh teks,
menggunakan teorema trigonometri bola Yunani klasik yang menggunakan fungsi akor seperti
yang dilakukan, misalnya, oleh teorema Menelaus Untuk pemaparannya tentang teorema
tersebut, dan pembuktiannya itu, Ptolemy melampirkan tabel akord untuk memfasilitasi
perhitungan berikut di sisa buku ini. Materi inilah yang jelas menjadi sasaran berbagai revisi
pada masa awal Islam. Dan hal ini memang sudah dipastikan, karena pada saat itu para
astronom yang sedang merekonstruksi disiplin ilmu astronomi telah memiliki sistem

88
trigonometri sinus, cosinus, tangen, dan sejenisnya yang hampir sepenuhnya berkembang.
Selain itu, sistem ini telah tertanam sepenuhnya dalam budaya penerima di mana Almagest
sedang diterjemahkan, dan kadang-kadang bisa hidup berdampingan dengan nyaman dengan
sistem akord Yunani yang diwarisi dengan kecanggungan komparatifnya untuk dilihat semua
orang.

Dari para penerjemahnya sendiri kita tidak akan mengetahui keberadaan bidang trigonometri
lain ini, yang tidak diketahui oleh tradisi Yunani. Namun berbagai penulis yang menghasilkan
karya astronominya sendiri, seperti Almagest sedang diterjemahkan, tidak segan-segan
menggunakan fungsi trigonometri baru untuk menggambarkan fenomena yang sama seperti
yang dijelaskan di Almagest. Dari beberapa contoh yang dapat dikutip mengenai penggunaan
matematika baru untuk memperbarui teks Almagest, sejauh ini yang terbaik berasal dari
periode yang agak belakangan, sekitar pertengahan abad ketiga belas. Di dalam Tahrir
Almajisty Tusi (Redaksi dari Almagest), telah disebutkan sebelumnya, yang ditulis pada tahun
1247, sampai mendekati bagian ini Almagest dengan cara berikut. Setelah mengakhiri
paparannya tentang tabel akord Almagest, ia melanjutkan dengan membuat pernyataan berikut:
"Saya katakan, karena metode modern, yang menggunakan sinus pada titik ini daripada akord,
lebih mudah digunakan, seperti yang akan saya jelaskan di bawah, saya ingin rujuk juga
kesana." Dia kemudian melanjutkan dengan memberikan teorema sinus bola yang setara
dengan teorema Menelaus dan menumbuhkannya pada konfigurasi lain menggunakan fungsi
tangen, bukan sinus. Dia menyimpulkan bagian itu dengan membuat tabel sinus dan tangen
untuk melengkapi alat metrik matematika dan trigono untuk sisa buku ini.

Pembaruan ini Almagest, meskipun tidak cukup sering ditekankan dalam literatur, hal ini
sangat penting untuk memahami kehidupan manusia. Almagest memberi isyarat dalam domain
Islam. Dan ketika kita menyandingkan perlakuan terhadap teks Almagest ini di abad-abad
berikutnya dengan karya independen seseorang seperti Habash Al-Hasib dari abad kesembilan,
di mana kita melihat fungsi-fungsi matrik trigono digunakan secara bebas seperti yang akan
segera kita lihat, kita kemudian dapat dengan jelas mengapresiasi kesegeraan fungsi
trigonometri tersebut. Almagest kirim pesan teks kepada para astronom yang berlatih, dan lihat
dengan jelas kesediaan mereka untuk menggabungkan isinya dengan jenis astronomi yang
sudah mereka praktikkan.

Dalam perkembangan paralel, dan hal ini juga diharapkan, kita akan menemukan para
astronom yang sama, dengan menggunakan hasil penelitian tersebut Almagest, kadang-kadang,
ketika mereka berpikir bahwa hasil-hasil tersebut masih valid, sementara di lain waktu mereka

89
menolak sepenuhnya demi ide-ide baru mereka sendiri. Keberagaman pendekatan terhadap
Almagest ini hanya bisa menandakan reaksi-reaksi yang sangat penting yang pasti telah
diciptakan dalam budaya penerima pada masa awal Islam. Namun kita juga harus ingat bahwa
vitalitas ini selalu menghasilkan suatu Almagest teks yang sangat diperkaya oleh proses
tersebut.

Kembali ke para astronom sebelumnya, seperti Habash Al-Hasib (fl. ca. 850) khususnya, yang
menghasilkan karya independennya sendiri zijes (Buku Pegangan Astronomi), yang hanya
disusun dalam tradisi Ptolemeus Tabel Praktis,kami menemukan bahwa mereka juga telah
menggunakan fungsi trigonometri yang paling mutakhir dan telah dikembangkan sepenuhnya
dalam karya-karya tersebut.

Melihat gambaran lengkap dari periode itu, dan setelah memeriksa sumber-sumber ilmiah itu
sendiri, dapat mulai melihat suatu proses di mana kita menemukan bahwa segera setelah
teks-teks ilmiah Yunani diterjemahkan, teks-teks tersebut juga segera diperbarui oleh teks-teks
ilmiah yang dikenal saat ini. materi dan dimanfaatkan dalam komposisi baru, semuanya demi
menyempurnakan jenis ilmu pengetahuan yang kemudian dihasilkan.

Jenis intervensi kedua dalam teks Almagest tidak ada hubungannya dengan memperbaikinya
secara matematis atau memperbaiki kesalahannya seperti yang telah kita lihat. Melainkan lebih
pada merekonstruksi atau mengedit ulang agar lebih bermanfaat bagi mahasiswa astronomi.
Dalam hal ini kebebasan besar diberikan pada teks tersebut, dengan kebebasan penuh untuk
menambahkan dan menghapus materi dari teks tersebut, semuanya dalam rangka
menjadikannya teks fungsional yang lebih mutakhir.

Ilustrasi terbaik mengenai jenis intervensi ini juga dicontohkan oleh Tahrir Tusi yang telah
disebutkan sebelumnya dan di dalamnya kita menemukan perlakuan baru pada beberapa bab
Almagest, seperti Almagest X, 7, dimana Ptolemy menggunakan metode berulang untuk
menghitung eksentrisitas suatu planet dan kemudian mengulanginya dengan sangat rinci untuk
masing-masing planet lainnya. Daripada menggunakan pendekatan Ptolemeus, Tusi
mengadopsi teknik baru untuk menjelaskan metode dengan sangat rinci dalam kasus satu
planet dan kemudian menggeneralisasikannya ke planet lain tanpa mengulanginya di setiap
kasus.

Saya menyebutkan koreksi yang dilakukan Tusi dalam teks yang sama mengenai ukuran
piringan matahari, dan contoh tandingan dari gerhana cincin yang tampaknya tidak diketahui
oleh Ptolemeus. Saya juga menyebutkan koreksi kesalahan faktual lainnya, termasuk kesalahan

90
laju presesi, kemiringan ekliptika, dan gerak puncak matahari, serta pengembangan metode
observasi seperti pengenalan metode observasi. fuul metode. Dalam semua kasus tersebut, kita
menemukan teks dari Almagest ditinjau secara kritis dan diperbarui sebelum dapat berguna
bagi budaya penerima. Jauh dari menjadi sebuah model yang harus diikuti, meskipun orang
dapat berargumentasi bahwa model tersebut dalam arti tertentu, model ini lebih seperti sebuah
landasan yang harus dibangun, namun hanya setelah memastikan bahwa model tersebut
merupakan landasan yang aman dan bahwa kesalahan-kesalahan serta
kontradiksi-kontradiksinya sudah ada disingkirkan. Ada contoh lain dimana teks Almagest juga
dianggap kurang, namun kali ini karena pertimbangan yang jauh lebih mendasar daripada
pertimbangan yang telah dibahas sejauh ini.

Masalah Kosmologi Almagest

Dengan hanya mempertimbangkan evaluasi faktual yang telah dibahas sejauh ini, kita dapat
dengan mudah sampai pada kesimpulan bahwa teks tersebut Almagest akan dapat digunakan
secara fungsional setelah koreksi tersebut diterapkan. Teks ini sudah cukup, misalnya, untuk
mempraktikkan para astronom dan astrolog dan tidak diperlukan penjabaran lebih lanjut
mengenai hal ini. Namun astrologi dan praktiknya menghadapi perlawanan yang nyata dari
pusat-pusat intelektual utama masyarakat, terutama yang religius, dan dengan demikian
hubungannya dengan astronomi secara sadar diputus oleh para astronom teoretis yang
menemukan disiplin ilmu tersebut. Seperti telah kita lihat, tujuan disiplin ilmu astronomi
tampaknya didefinisikan dengan cara yang sedikit lebih berbeda. Tujuan ini paling baik terlihat
jika seseorang membaca dua karya Ptolemeus yang paling terkenal secara bersamaan.
Karya-karya tersebut adalah: the Almagest di mana seseorang menemukan penjelasan rinci
mengenai hubungan antara fenomena yang diamati dan konstruksi model prediktif geometris
yang menjelaskan perilaku planet setiap saat, dan Hipotesis Planet,di mana orang akan
menemukan penjelasan rinci tentang bola langit yang dibuat, dengan cara Aristotelian sejati,
bertanggung jawab untuk pergerakan planet-planet tersebut. Dengan membaca kedua teks
tersebut secara bersamaan, seperti yang dilakukan kebanyakan orang, begitu teks tersebut
tersedia dalam bahasa Arab, beberapa masalah kosmologis yang serius mulai muncul. Sebagian
besar masalah tersebut terfokus pada pelanggaran Ptolemeus terhadap prinsip kosmologis
paling dasar dalam astronomi Yunani: gerak melingkar seragam planet-planet mengelilingi
Bumi yang tidak bergerak dan terletak di pusat alam semesta. Bahwa bumi terletak di pusat
alam semesta, tidak diragukan lagi merupakan inti dari kosmologi Aristoteles, sedemikian rupa

91
sehingga jika seseorang tidak memiliki Bumi seperti itu, orang akan mengira adanya Bumi
seperti itu di pusat alam semesta. beban berat yang menyebabkan segala sesuatu berputar.

Tantangannya adalah menjelaskan fenomena nyata dari dalam visi kosmologis tersebut, dan
tetap mempertahankan beberapa prediktabilitas dalam model geometris yang menggambarkan
pergerakan planet. Dari perspektif kosmologis itu,Almagest gagal di hampir setiap hitungan.
Meskipun ada anggapan Ptolomeus bahwa alam semesta, yang sedang dideskripsikan, adalah
alam semesta Aristotelian, yang di dalamnya semua elemen telian Aristoteles dapat ditemukan
sebagai bahan penyusun alam semesta tersebut, namun pada setiap titiknya Almagest
menggambarkan situasi yang secara fisik tidak mungkin jika dilihat dari sudut pandang
Hipotesis Planet yang menekankan bahwa kosmologi Aristotelian. Inilah ketidakkonsistenan
antara model matematika yang dibangun di dalamnya Almagest untuk memperhitungkan
pergerakan planet-planet, dan objek fisik yang seharusnya diwakili oleh model-model tersebut,
yang sering saya sebut sebagai masalah utama dalam tradisi astronomi Yunani.

Karena inkonsistensi-inkonsistensi ini mempunyai sifat yang sama sekali berbeda dengan
inkonsistensi-inkonsistensi yang telah disinggung sebelumnya, dan karena
inkonsistensi-inkonsistensi ini merupakan produk langsung dari penerapan kosmologi
Aristoteles, beberapa orang menyebutnya sebagai masalah-masalah filosofis. Alhasil mereka
mencoba membaca Almagest sebagai terpisah dari kosmologi yang sama yang diadopsi dengan
sepenuh hati diHipotesis Planet, teks yang seharusnya melengkapi Almagest, yang diikutinya.
Namun ketidakkonsistenan ini dianggap menyentuh dasar ilmu pengetahuan; dalam arti bahwa
sains tidak boleh menyimpan kontradiksi, seperti yang tampaknya dibiarkan oleh Ptolemeus,
antara sisi fisik sains dan representasi matematis dari alam semesta fisik yang sama yang
sedang dijelaskan.

Kita hanya dapat menegaskan bahwa permasalahan-permasalahan seperti itu adalah


permasalahan filosofis, jika kita memikirkannya hanya dalam pengertian filsafat alam abad
pertengahan di mana isu-isu kosmologis seperti itu dibahas dengan baik. Namun hal-hal
tersebut juga penting bagi para ilmuwan yang juga mencoba memahami fenomena fisik di
sekitar mereka, dan yang menuntut agar disiplin ilmu mereka tidak bertentangan satu sama lain.
Dalam artian, persoalan-persoalan tersebut menjadi persoalan ilmiah yang nyata, dan tidak
hanya tinggal dalam ranah spekulasi filosofis.

Ambil contoh, bidang fisik yang dianggap membentuk alam semesta Aristotelian, dan yang
secara sederhana diwakili oleh lingkaran oleh Ptolemy dalam teks Almagest. Jika kita

92
membatasi diri pada spekulasi filosofis saja, maka bidang-bidang tersebut tidak akan
menimbulkan masalah serius jika dipahami hanya sebagai representasi matematis belaka yang
tidak ada kaitannya dengan realitas. Namun jika pada akhirnya kita menggunakan bola-bola
tersebut untuk memperhitungkan pergerakan planet-planet dan menggunakannya untuk
memprediksi posisi planet-planet tersebut pada waktu tertentu, maka kita harus menghadapi
realitasnya dalam pengertian yang jauh lebih dalam daripada yang telah diakui sebelumnya. .
Dan ketika kenyataan itu ditegaskan kembali diHipotesis Planet,kontradiksi menjadi jauh lebih
serius. Sekali lagi, tidak akan ada masalah jika seseorang hanya menggunakan model bola
tersebut untuk menghitung posisi planet saja. Namun ketika seseorang mengatakan bahwa
bola-bola tersebut sebenarnya bersifat fisik, dalam pengertian fisik Aristotelian, maka mustahil
untuk membayangkan bola-bola tersebut, misalnya, mampu bergerak secara seragam, di tempat,
mengelilingi sumbu yang tidak lewat. melalui pusat-pusat mereka.

Ini adalah kemustahilan yang paling penting dalam keseluruhan astronomi Yunani, atau
setidaknya hal ini dianggap demikian. Absurditas mencolok yang tertanam di hampir setiap
model Almagest tidak bisa luput dari perhatian para astronom, yang tidak hanya diawasi oleh
lawan-lawan mereka di masyarakat, yang pada gilirannya tidak ingin mereka membawa
ilmu-ilmu “kuno” tersebut ke dalam ranah Islam, namun mereka juga dirugikan. diawasi oleh
sesama astronom yang benar-benar percaya, seperti yang pasti dilakukan oleh Al-Hajjaj bahwa
mereka dapat mengakali sesama astronom jika mereka dapat membersihkan sistem yang
diimpor dari cacat tersebut.

Bahwa orang-orang benar-benar berpikir seperti itu diilustrasikan dengan baik oleh salah satu
teks paling awal yang membahas sifat fisik bola: teks Muhammad b. Musa b. Shakir (w. 873),
yang tidak hanya merupakan salah satu pendukung utama penerjemahan teks ilmiah dan
filsafat Yunani, namun juga seorang ilmuwan. Dalam kapasitasnya sebagai seorang ilmuwan
yang berpraktik, ia mencurahkan sebuah risalah tentang absurditas asumsi tersebut keberadaan
bola kesembilan, seperti yang dilakukan Ptolemeus. Menurut Ptolemy, bola kesembilan
terakhir bertanggung jawab atas pergerakan bola kedelapan, yang pada gilirannya membawa
bintang-bintang tetap. Namun Ptolomeus berpendapat bahwa kedua bola tersebut berbagi pusat
alam semesta yang sama. Permasalahannya kemudian direduksi menjadi ketidakmungkinan
dua bola konsentris bergerak satu sama lain tanpa mengasumsikan fenomena seperti gesekan,
yang tidak bisa dibolehkan di alam selestial alam semesta Aristoteles dimana bola selestial,
berdasarkan sifat aslinya yang sangat halus, tidak bisa bergerak. tidak membiarkan terjadinya
gesekan.[40]

93
Bahwa Ptolemeus sendiri mempunyai pemikiran yang sama, terbukti dari kata pengantar
Almagest, di mana dia mengatakan bahwa gerakan langit tidak boleh dibandingkan dengan
gerakan yang kita amati di sekitar kita, karena gerakan tersebut milik suatu bentuk dewa. Yang
dapat ditanggapi adalah: jika memang demikian, dan jika para dewa bertanggung jawab atas
pergerakan planet-planet, maka ilmu astronomi tidak diperlukan lagi, dan observasi ilmiah
tidak diperlukan lagi, karena siapakah yang bertanggung jawab atas pergerakan planet-planet?
manusia yang bisa memprediksi perilaku para dewa? Para pembaca teks Ptolemeus dalam
terjemahan bahasa Arabnya melihat dunia yang berbeda, dan tidak bisa begitu saja
menggunakan dewa-dewa aneh tersebut di tengah masyarakat kompetitif yang mengawasi
setiap langkah yang mereka ambil.

Ketidakcocokan ini antara matematika Almagest dan fisika dari Hipotesis Planet tidak akan
diperhatikan seandainya kedua buku itu tidak dibaca bersama-sama. Dan dalam lingkungan
yang tegang di mana mereka didorong, konflik satu sama lain tidak dapat dihindari. Terlebih
lagi, jika kita ingat bahwa permasalahan tersebut dikemukakan oleh Muhammad b. Musa b.
Syakir menjelang pertengahan abad kesembilan, ketika terjemahan pertama kitab
tersebutAlmagestoleh Al-Hajjaj baru berusia dua dekade, dan terjemahan Ishaq b. Junain (w.
911) belum terjadi, maka kita dapat mulai menghargai kecanggihan tradisi astronomi Yunani
yang diterima ketika sedang diterjemahkan, suatu kecanggihan yang tidak dapat dijelaskan oleh
narasi klasik. Lebih jauh lagi, ini adalah semacam kecanggihan yang hanya bisa muncul dari
pemahaman komprehensif tradisi filsafat Yunani, di mana kosmologi dibaca bersama dengan
ilmu observasional, sebuah bacaan yang tidak ditemukan di peradaban lain manapun hingga
saat itu. Pada abad-abad berikutnya, ketika kontradiksi-kontradiksi lain mulai muncul,
kecanggihan lebih lanjut mulai diperlukan.

Namun semua permasalahan mendasar masih terfokus pada masalah besar mengenai
kurangnya konsistensi dalam tradisi astronomi Yunani yang diimpor. Singkatnya, mereka
masih membahas isu-isu mendasar ilmu pengetahuan.

Setelah isu-isu tersebut mendapat pengakuan luas dari berbagai lapisan masyarakat, mereka
mulai mengembangkan tradisi mereka sendiri. Berbagai risalah yang mulai muncul pada
abad-abad berikutnya, dan yang membahas isu-isu tersebut, mulai membentuk genre ilmiah
tersendiri yang biasanya disebut dengan judul-judul seperti Shukuk (keraguan). Dan karena
dinamika sosial di mana keraguan tersebut diungkapkan, keraguan tersebut tidak terbatas pada
bidang astronomi saja.

94
Teks serupa oleh Abu Bakar Al-Razi (Latin Rhazes, w. 925) disebut Al-Shukuk 'ala Jalinus
(Keraguan Terhadap Galen), termasuk dalam kategori ini juga, dan dengan itu kita dapat
dengan mudah mendeteksi tren budaya umum yang belum dijelaskan. Hanya sketsa kerangka
perkembangan tersebut dan isu-isu utama yang diangkat dalam teks-teks tersebut yang dapat
dicoba saat ini. Tentu saja tradisi astronomi masih mendapat bagian terbesar dari
diskusi-diskusi tersebut, dan hanya dapat digunakan di sini sebagai model representasi dari
diskusi-diskusi lain yang jelas-jelas terjadi di disiplin ilmu lain

Tradisi Astronomi Shukuk

Jika seseorang mengabaikan keberatan-keberatan sebelumnya terhadap parameter pengamatan


Ptolemeus, atau bahkan pertanyaan-pertanyaan kosmologis Muhammad b. Musa b. Shakir,
baru saja disebutkan, sebagai ekspresi awal keraguan yang belum berkembang menjadi genre
tersendiri, maka harus dikatakan bahwa genre tersebut lahir dari buku Razl, yang secara tegas
disebut Shukuk, terlepas dari kenyataan bahwa dalam kasus Razi, bukunya dibatasi pada
keraguan medis dan filosofis. Astronomi Shukuk segera menyusul, meskipun tampaknya
mereka mengambil rute yang sedikit berbeda.

Selama abad kesebelas, mungkin pada paruh kedua abad itu, seorang astronom Andalusia, yang
namanya belum dadentifikasi, telah meninggalkan kita sebuah risalah yang disebut Kitab
al-Hay'a (Buku tentang Astronomi), yang masih disimpan dalam salinan yang tampaknya unik
di perpustakaan Osmania di Hyderabad (Deccan, India). Dalam risalah ini penulis memiliki
beberapa komentar untuk dibuat tentang masalah dalam astronomi Yunani yang diterima.
Tetapi hampir setiap kali dia membuat komentar seperti itu, dia akan dengan cepat mengatakan
bahwa dia telah mengumpulkan masalah-masalah itu dalam sebuah buku yang dia sebut
al-Istidrak ['ala Batlamyus] (yang dapat diterjemahkan secara bebas sebagai: Rekapitulasi
Mengenai Ptolemeus). Buku ini belum ditemukan. Tetapi dari konteks di mana ia disebutkan,
dan masalah-masalah yang tampaknya dirujuknya, kedengarannya seperti itu memiliki sifat
yang sama dengan teks-teks Shukak lain yang sedang dibahas.[41]

Di timur, dan sekitar waktu yang sama, Abu 'Ubayd al-]Uzjan1 (w. ca. 1070), murid Ibnu Sina
(Latin Avicenna w. 1037), juga meninggalkan kita sebuah risalah kecil Tentang Pembangunan
Bola. Dalam risalah ini ia menyebutkan bahwa ia telah berdiskusi dengan gurunya, Ibnu Sina,

95
absurditas Ptolemeus yang terkenal, yang pada saat itu dikenal sebagai masalah mu'addil
al-masar (Ekuator Gerak, atau equant untuk jangka pendek).[42] Fakta bahwa kedua teks
tersebut ada, salah satunya dari Al-Andalus, jangkauan barat terjauh dari dunia Islam pada saat
itu, dan satu dari Bukhara, timur terjauh, dan fakta bahwa teks kedua berasal dari lingkaran
filosofis Ibnu Sina dan bukan dari lingkaran astronom dan matematikawan, hanya bisa berarti
bahwa masalah kosmologis yang dianggap telah mengganggu astronomi Ptolemeus pada saat
itu beredar di kalangan intelektual dan geografis yang tersebar luas; Mereka tidak lagi terbatas
pada elit ahli teori astronomi. Masalah equant itu sendiri, yang memiliki catatan bertahan
paling lama, tidak lain adalah absurditas fisik yang mengusulkan bahwa bola fisik dapat
bergerak secara seragam, di tempat, di sekitar sumbu yang tidak melewati pusatnya. Absurditas
ini merasuki hampir semua model, yang diusulkan dalam Almagest karya Ptolemeus. Apa yang
disarankan oleh teks-teks al-Andalus dan Bukhara adalah bahwa pada abad kesebelas proposisi
itu tampaknya diakui secara luas sebagai kemustahilan fisik.

Dalam ceritanya sendiri yang agak lucu, Abu 'Ubayd memberi tahu kita bahwa ketika dia
mendiskusikan solusi yang diusulkan untuk absurditas Ptolemeus dari equant ini, dengan
gurunya Ibnu Sina, dia diberitahu oleh Ibnu Sina sendiri bahwa dia juga telah
menyelesaikannya, tetapi menahan diri untuk tidak memberikan solusi untuk mendesak siswa
untuk menemukannya sendiri. Dalam kalimat berikutnya, siswa itu melanjutkan dengan
mengatakan bahwa dia tidak percaya bahwa gurunya pernah menyelesaikan masalah itu.

Anekdot, meskipun legendaris, masih menunjukkan jenis masalah yang para penjaga
"ilmu-ilmu asing," para filsuf khususnya, bersaing untuk memecahkan, dan tantangan yang
mereka hadapi, serta ketenaran yang mereka harapkan untuk diperoleh jika mereka bisa
menyingkirkan tradisi astronomi Yunani dari absurditasnya. Anekdot ini juga menunjukkan
bahwa jika para filsuf sudah menyadari pembacaan bersama teks-teks Ptolemeus ini (Almagest
dan Hipotesis Planet) di mana masalah seperti itu akan muncul, ini berarti bahwa para
astronom jelas jauh lebih mengakar dalam perspektif itu. Dan perdebatan yang terakhir pasti
telah memberi tahu yang pertama.

Untuk nasib baik para astronom, juga tampak bahwa perdebatan mereka tentang isu-isu
semacam itu dimaafkan secara sosial. Mereka tidak hanya melampaui lingkaran mereka untuk
mencapai lingkaran para filsuf, tetapi mereka mungkin juga memunculkan kemungkinan untuk
membantah tradisi Yunani yang masuk sama sekali, karena mereka bersikap kritis terhadapnya.

96
Diskusi semacam itu tidak memiliki kaitan langsung dengan persepsi lain yang lebih
kontroversial secara sosial tentang tradisi Yunani: kesediaannya untuk menyimpan ilmu-ilmu
astrologi yang tidak diterima secara luas seperti kritik teoretis yang tampaknya. Namun, untuk
tujuan langsung kita, penting untuk mendokumentasikan tradisi kritik itu sendiri untuk
menunjukkan kecanggihan tradisi itu, dan implikasinya yang lebih luas pada pembentukan
sains Islam.

Sekali lagi di abad yang sama, dan masih di timur, kita menemukan polymath yang produktif
dan astronom terkenal Abu al-Raihan al-Biruni (w. sekitar 1048) yang juga memiliki sesuatu
untuk dikatakan tentang absurditas fisik sistem Ptolemeus. Ini, terlepas dari kenyataan bahwa
produksi astronomi utama Biruni benar-benar diarahkan pada bagian pengamatan matematis
astronomi dan kurang memperhatikan aspek kosmologis disiplin. Dalam bukunya lbtal
al-buhtan bi-Irad al-burhan (Mendiskualifikasi Kepalsuan dengan Menguraikan Bukti), yang
tampaknya telah hilang tetapi dikutip oleh astronom Qutb al-Din ai-Shirazi (w. 131 1), Biruni
mengatakan ini tentang deskripsi Ptolemeus tentang gerakan latitudinal planet-planet: "Adapun
gerakan dari lima apoge episiklik dalam kecenderungan, seperti yang umumnya diketahui,
dan disebutkan dalam Almagest, mereka akan membutuhkan gerakan yang sesuai untuk
perangkat mekanis Bani Musa, dan mereka tidak termasuk dalam prinsip-prinsip
Astronomi."[43] Itu adalah cara sopan Biruni untuk mengatakan bahwa diskusi Ptolemeus
tentang garis lintang planet bukanlah astronomi yang tepat, dan bahwa itu tidak berarti apa-apa.
Begitulah tingkat kritik terhadap Ptolemeus, bahkan oleh orang-orang yang memiliki
kepentingan dalam membelanya melawan para pengkritiknya. Namun mereka tidak bisa
tinggal diam tentang absurditas Ptolemeus, mungkin karena mereka tampaknya merasa bahwa
mereka memiliki minat yang lebih besar untuk bersaing di antara mereka sendiri dengan
menunjukkan bahwa mereka dapat mengakali Ptolemeus.

Teks yang paling terpelihara dan paling rumit dalam genre Shukuk adalah kritik terhadap
Ptolemeus yang dilontarkan oleh polymath lain, dengan nama Ibn al-Haitham (w. ca. 1040
Latin Alhazen), yang juga sezaman dengan para astronom yang disebutkan di atas, dan yang
karyanya tentang Optik adalah satu-satunya karya yang dikenal di Barat Latin dan yang
membuatnya mendapatkan ketenaran yang layak. Kritiknya terhadap astronomi Ptolemeus
terkandung dalam teks Arab yang telah bertahan, tetapi tampaknya tidak pernah diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin. Teks yang dimaksud adalah al-Shukuk 'ala Batlamyus (Dubitationes in

97
Ptolemaeum) yang luas [Shukuk, 44 di mana ia mempermasalahkan beberapa karya Ptolemeus
di mana ia menemukan kesalahan.

Tiga karya Ptolemeus yang dimaksud termasuk Almagest, Hipotesis Planet, dan Optik.
Pengelompokan mereka semata-mata merupakan indikasi yang jelas bahwa karya-karya itu
dibaca bersama, secara komprehensif, dan tidak dalam isolasi seperti yang kadang-kadang
diklaim.[45] Bagi Ibn al-Haitham, benang merah yang menghubungkan ketiga kitab itu
bersama-sama adalah bahwa mereka semua mengandung masalah atau keraguan (shukuk) yang
mengungkapkan kontradiksi yang tidak dapat dijelaskan (al ta'awwul fiiha).[46] Ungkapan ini
juga menunjukkan bahwa setiap upaya telah dilakukan untuk memberi Ptolemeus manfaat
keraguan. Masalah jelas dijelaskan di mana pun itu mungkin,[47] dan hanya absurditas yang
tidak dapat dibenarkan yang diserang. Buku-buku Ptolemeus diambil dalam urutan sebagai
berikut: Almagest, yang memiliki bagian terbesar, dakuti oleh Hipotesis Planet, dan kemudian
Optik. Dalam sekuelnya saya akan mengambil beberapa contoh pilihan dari risalah ini untuk
menggambarkan jenis masalah yang menarik perhatian Ibn al-Haitham.

Dalam kritiknya terhadap Almagest, Ibn al-Haitham melewati bab-bab awal buku itu dengan
sangat cepat, dan memulai kritik nyata dengan deskripsi Ptolemeus tentang model gerakan
bulan. Di dalamnya Ptolemeus mengasumsikan bahwa gerakan bulan, pada epicycle-nya
sendiri, diukur dari garis yang melewati pusat epicycle, tetapi diarahkan, bukan ke pusat dunia,
di mana gerakan epicycle itu sendiri diukur, atau ke pusat bola yang membawa epicycle,
disebut deferent, tetapi sampai titik tertentu, disebut titik prosneusis (nuqtat al-muhaddhats)
oleh Ptolemy. Dalam model Ptolemeus, titik ini jatuh secara diametris berlawanan dengan
pusat deferent dari pusat dunia. Dalam penilaiannya secara keseluruhan terhadap model ini, Ibn
al-Haitham dengan jelas mengatakan bahwa itu pada dasarnya fiktif dan tidak ada
hubungannya dengan dunia nyata yang seharusnya dijelaskan. Dia memilih titik lemah dalam
model dengan komentar berikut: "Diameter episiklik adalah garis imajiner, dan garis imajiner
tidak bergerak dengan sendirinya dengan cara yang jelas yang menghasilkan entitas yang ada
di dunia ini." [48] Selanjutnya: "Tidak ada yang bergerak dalam gerakan nyata apa pun yang
menghasilkan entitas yang ada di dunia ini kecuali tubuh yang [benar-benar] ada di dunia
ini."[49] Kemudian, dia melanjutkan untuk menegaskan sekali lagi: "tidak ada gerakan yang ada
di dunia ini dengan cara apa pun yang dapat dilihat kecuali gerakan benda-benda [nyata]." Dan
kemudian dia menyimpulkan bagian ini dengan menyatakan bahwa epicycle tunggal tidak
mungkin menggerakkan bulan dengan gerakan anomalistiknya sendiri dan pada saat yang sama

98
bergerak sedemikian rupa sehingga diameternya akan selalu diarahkan ke titik prosneusis. Itu
akan mensyaratkan bahwa satu bola seharusnya bergerak dalam dua gerakan terpisah dengan
sendirinya, yang tidak mungkin.

Buku VI-VIII dari Almagest tidak terlalu mengganggu Ibn al-Haitham. Sebaliknya ia bergerak
sangat cepat ke Buku IX di mana masalah equant dibahas. Dalam Almagest IX, 2, Ptolemy
membuat pernyataan eksplisit bahwa planet-planet atas bergerak dalam gerakan melingkar
yang seragam, sama seperti planet-planet lain yang telah ia bahas sebelumnya. Tetapi oleh
Almagest IX, 5, Ptolemeus telah meletakkan dasar untuk masalah equant ketika dia bersikeras
bahwa "kami juga menemukan bahwa pusat epicycle dilakukan pada sebuah eksentrum yang,
meskipun ukurannya sama dengan eksentrum yang menghasilkan anomali, tidak dijelaskan
tentang pusat yang sama dengan yang terakhir." [50]

Poin yang Ptolemy coba buat pada kesempatan itu adalah bahwa dua bola, yang gerakan
gabungannya bertanggung jawab atas gerakan planet, adalah bola yang berbeda: satu, yang
berbeda, hanya membawa epicycle planet, dan yang kedua, dianggap sama dengan deferent
dalam ukuran, bertanggung jawab atas gerakan seragam epicycle planet, tetapi secara
eksplisit menyatakan bahwa gerakan bola terakhir tidak terjadi di sekitar pusat yang sama
dengan deferent. Itu adalah pusat dari bola fiktif yang terakhir, bola gerak seragam, yang
kemudian disebut equant. Dalam bab IX, 6 dari Almagest, Ptolemy melanjutkan untuk
menggambarkan jauh lebih jelas pusat equant. Di sana ia mendefinisikannya sebagai titik di
sepanjang garis apsides sedemikian rupa sehingga jaraknya di atas pusat deferent sama dengan
jarak pusat deferent dari pusat dunia.

Selain itu, garis yang menghubungkan titik equant ini ke pusat epicycle, ketika diperpanjang,
merupakan garis dari mana gerakan rata-rata epicycle diukur. Akibatnya, ini mengatakan
bahwa bola deferent, yang membawa epicycle, dipaksa untuk bergerak secara seragam di
sekitar pusat, sekarang disebut equant, selain pusatnya sendiri, yang secara fisik tidak mungkin.

Pada saat itu, Ibn al-Haitham tampaknya telah jelas menyadari keseriusan masalah ini, seperti
yang ditunjukkan oleh pernyataannya berikut: "Apa yang telah kami laporkan adalah
kebenaran dari apa yang telah ditetapkan Ptolemeus untuk gerakan planet-planet atas; Dan itu
adalah gagasan yang memerlukan kontradiksi."[51] Ini sebenarnya adalah kontradiksi antara
realitas fisik bola langit dan model matematika yang seharusnya mewakili mereka. Karena
seperti Ptolemeus telah menerima gerakan seragam planet-planet atas, pusat-pusat episiklik

99
planet-planet itu dibawa oleh para pembangkang, yang seharusnya bergerak dalam gerakan
seragam ini. Tetapi dengan proposisi equant, seseorang diberitahu bahwa pusat episiklik
menggambarkan busur yang sama dalam waktu yang sama, yaitu bergerak secara seragam, di
sekitar pusat yang bukan pusat deferent yang membawanya.

Tetapi dengan bukti Ptolemeus sendiri dalam Almagest III, jika sebuah benda bergerak secara
seragam di sekitar satu titik, ia tidak dapat bergerak secara seragam di sekitar titik lainnya.
Oleh karena itu pusat episiklik, seperti yang ditetapkan oleh Ptolemy, harus bergerak secara
tidak seragam di sekitar pusat pembawanya sendiri, deferent. Dan karena bola equant adalah
bola fiktif, dan dengan demikian tidak dapat menghasilkan gerakan yang terlihat sendiri,
seperti yang sering diulang oleh Ibn al-Haitham, satu-satunya bola yang dapat menghasilkan
gerakan nyata adalah bola yang berbeda, dan yang sekarang terbukti bergerak tidak seragam di
sekitar pusatnya sendiri. Ini bertentangan dengan asumsi gerak seragam yang diterima oleh
Ptolemy di tempat pertama, maka kontradiksi yang disadari oleh Ibn al-Haitham. Alternatif lain
adalah mengasumsikan bahwa bola fisik yang sama, yang berbeda, dapat bergerak secara
seragam di sekitar sumbu yang tidak melewati pusatnya sendiri yang secara fisik tidak
mungkin, karena itu persis absurditas fisik yang disebutkan sebelumnya.

Semua model Almagest lainnya, kecuali model matahari, yang memiliki masalah sendiri,
berbagi fitur absurd dari equant ini. Dalam kasus bulan, epicycle-nya juga seharusnya
dilakukan pada deferent yang bergerak sedemikian rupa sehingga pusat episiklik bulan tidak
menggambarkan busur yang sama di sekitar pusat deferentnya sendiri, dalam waktu yang sama,
melainkan di sekitar pusat dunia. Itu pada dasarnya membutuhkan bola untuk bergerak secara
seragam di sekitar sumbu yang tidak melewati pusatnya sendiri juga, yang merupakan titik dari
masalah equant.

Model Merkurius, yang jauh lebih rumit daripada model planet lainnya, berbagi fitur ini juga.
Di sana juga, deferent yang membawa epicycle Merkurius bergerak sedemikian rupa sehingga
gerakannya tidak seragam di sekitar pusat deferent tetapi di sekitar titik yang berada di
sepanjang garis apsides setengah jalan antara pusat dunia dan pusat bola direktur lain yang
membawa bola deferent Merkurius.

Lebih jauh lagi, baik dalam kasus Merkurius maupun kasus planet-planet atas, Ptolemeus
bahkan tidak berusaha untuk menunjukkan bagaimana ia tiba di lokasi equant. Itu hanya
dinyatakan untuk menempati posisi ini dan itu tanpa diskusi lebih lanjut tentang mengapa, atau

100
bukti apa pun, seperti yang diharapkan dalam ilmu matematika seperti astronomi. Masalah
inilah yang secara khusus memunculkan pertanyaan, yang diajukan oleh astronom Andalusia
lain dengan nama Jabir b. Aflal (pertengahan abad kedua belas) dan dipilih dalam
penelitiannya sendiri. [52]

Dari semua konfigurasi Ptolemeus itu, Ibn al-Haitham hanya bisa menarik satu kesimpulan:
bahwa mereka semua asing di bidang astronomi. Hal ini bahkan diakui oleh Ptolemeus sendiri
dalam Almagest IX, 2, di mana ia telah menyatakan, tanpa istilah yang ambigu, bahwa ia
menggunakan konfigurasi yang bertentangan dengan prinsip yang diterima (kharija 'an
al-qiyas seperti dalam terjemahan teks Arab, atau "bukan dari beberapa prinsip yang mudah
diterima" seperti dalam terjemahan Toomer dari Almagest). Dari pengakuan itu, Ibn
al-Haitham kemudian hanya bisa menyimpulkan dengan suara memberontak terhadap seluruh
astronomi Ptolemeus, yang diartikulasikan dalam istilah-istilah berikut:

[Karena Ptolemeus] telah mengakui bahwa asumsinya tentang gerakan di sepanjang lingkaran
imajiner bertentangan dengan prinsip-prinsip [yang diterima], maka akan lebih dari itu bagi
garis-garis imajiner untuk bergerak di sekitar titik-titik yang diasumsikan. Dan jika gerakan
diameter episiklik di sekitar pusat yang jauh [yaitu equant] juga bertentangan dengan
prinsip-prinsip [yang diterima], dan jika asumsi benda yang memindahkan diameter ini di
sekitar pusat ini juga bertentangan dengan prinsip-prinsip [yang diterima], karena bertentangan
dengan premis, maka pengaturan, yang telah disusun Ptolemy untuk gerakan lima planet,
juga bertentangan dengan prinsip [yang diterima]. Dan tidak mungkin gerak planet-planet,
yang abadi, seragam, dan tidak berubah bertentangan dengan prinsip-prinsip [yang diterima].
Juga tidak boleh mengaitkan gerakan yang seragam, abadi, dan tidak berubah dengan apa pun
selain prinsip-prinsip yang benar, yang tentu saja disebabkan oleh asumsi yang diterima yang
tidak diragukan lagi. Kemudian menjadi jelas, dari semua yang ditunjukkan sejauh ini, bahwa
konfigurasi, yang telah ditetapkan Ptolemeus untuk gerakan lima planet, adalah konfigurasi
palsu (hay 'a batila), dan bahwa gerakan planet-planet ini harus memiliki konfigurasi yang
benar, yang mencakup benda-benda yang bergerak dalam gerakan yang seragam, abadi, dan
kontinu, tanpa harus menderita kontradiksi apa pun, atau ternoda oleh keraguan. Konfigurasi
itu harus lain dari yang ditetapkan oleh Ptolemy. [53]

Ini bukan kritik terhadap Ptolemeus. Sebaliknya, itu adalah kecaman yang diartikulasikan
dengan sangat baik terhadap fondasi astronomi Ptolemeus dan seruan terbuka untuk
penggulingannya demi astronomi alternatif yang tidak menderita kontradiksi semacam itu. Ini

101
tidak hanya mengekspos kesalahan fatal dan kontradiksi dalam astronomi Ptolemeus, tetapi
bangkit untuk mengartikulasikan seperangkat prinsip baru yang menjadi dasar astronomi baru
alternatif.

Serangan semacam itu, yang diartikulasikan oleh berbagai astronom yang bekerja dalam tradisi
Islam, sebenarnya merupakan perubahan penting dalam konseptualisasi sains Islam baru yang
sedang diartikulasikan. Konseptualisasi baru tidak hanya mengutuk warisan Yunani, tetapi
meletakkan dasar bagi ilmu pengetahuan baru yang konsisten. Dalam ilmu pengetahuan baru,
yang kemudian lahir dari serangan-serangan selama masa Islam, benda-benda fisik akan, sejak
saat itu, secara matematis diwakili oleh model-model yang tidak menghilangkan fisik mereka
seperti yang dilakukan oleh Ptolemy.

Teori lintang Ptolemeus, seperti yang diuraikan dalam Almagest, tidak adil lagi. Di dalamnya
Ptolemeus sendiri telah menyatakan keraguan tentang cara kerjanya yang tepat, sebuah
pengakuan yang hanya mendorong Ibn al-Haitham untuk menyimpulkan:

Ini adalah kemustahilan yang absurd (muhal falush), bertentangan langsung dengan
pernyataannya [yang berarti Ptolemeus] sebelumnya tentang gerakan langit - menjadi kontinu,
seragam dan abadi - karena gerakan ini harus menjadi milik tubuh yang bergerak dengan cara
ini, dan tidak ada gerakan yang terlihat kecuali yang dimiliki oleh tubuh yang ada. [54]

Apa yang dimaksud Ibn al-Haitham adalah gerakan jungkat-jungkit dari bidang miring, yang
membawa epicycle dari planet-planet bawah Merkurius dan Venus. Gerakan itu juga
merupakan kemustahilan lain yang tidak dapat ditoleransi oleh Ibn al-Haitham, dan hanya
dianggap sebagai kesalahan besar lainnya dari pihak Ptolemy. Argumen Ibn al-Haitham dapat
diringkas sebagai berikut: dengan gerakan seperti itu Ptolemy memaksa tubuh fisik untuk
bergerak dalam gerakan yang berlawanan, yang dengan sendirinya secara fisik tidak mungkin.

Berulang kali, Ibn al-Haitham kembali ke visi astronomi baru yang ingin dilihatnya –
astronomi berdasarkan prinsip-prinsip konsistensi baru antara realitas fisik alam semesta
tempat kita hidup dan matematika yang digunakan seseorang untuk mewakili realitas itu.
Dalam astronomi baru, kedua bidang ilmu itu harus selalu konsisten, jika tidak kita akan
berakhir berbicara tentang gerakan imajiner seperti yang dilakukan oleh Ptolemy:

102
Kontradiksi dalam konfigurasi planet-planet atas yang diambil terhadapnya [artinya Ptolemeus]
adalah karena fakta bahwa ia mengasumsikan gerakan terjadi dalam garis dan lingkaran
imajiner dan bukan dalam tubuh yang ada. Begitu (gerakan) itu diasumsikan dalam tubuh yang
ada, kontradiksi mengikuti.[55]

Lebih jauh lagi, Ptolemeus tahu betul bahwa dia merangkul kontradiksi seperti yang dikutip
oleh Ibn al-Haitham untuk mengatakan: "Kami tahu bahwa penggunaan hal-hal seperti itu tidak
merugikan tujuan kami, selama tidak ada ekses signifikan yang diperkenalkan karena
mereka."[56] Ibnu Haitham hanya bisa berkata:

Maksudnya adalah bahwa konfigurasi yang dia kemukakan tidak memerlukan ekses dalam
gerakan planet-planet. Pernyataan ini, bagaimanapun, seharusnya tidak menjadi alasan untuk
mengasumsikan konfigurasi palsu (jerami di batila) yang tidak mungkin ada. Karena jika dia
mengasumsikan konfigurasi yang tidak mungkin ada, dan jika konfigurasi itu mengantisipasi
gerakan sebenarnya dari planet-planet seperti yang dia bayangkan, itu tidak akan
melepaskannya dari kesalahan karena telah keliru mengasumsikan konfigurasi seperti itu.
Karena tidak diperbolehkan untuk menetapkan gerakan aktual planet-planet dengan konfigurasi
yang tidak mungkin ada. Pernyataannya mengenai asumsi hal-hal yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang diterima, bahwa mereka hanya hipotetis dan tidak nyata dan dengan
demikian tidak merugikan gerakan planet-planet, alasan yang akan memungkinkan dia untuk
melakukan absurditas seperti itu (muhaalat) yang seharusnya tidak ada dalam konfigurasi
benda-benda langit. Selain itu, ketika ia mengatakan bahwa 'hal-hal yang diajukan tanpa bukti
hanya dapat dicapai melalui beberapa cara ilmiah, begitu mereka terbukti setuju dengan
fenomena yang dapat diamati, meskipun sulit untuk menggambarkan metode yang dengannya
mereka dicapai' adalah pernyataan yang valid. Dengan itu maksud saya bahwa dia memang
mengikuti beberapa rata-rata ilmiah ketika dia mengasumsikan apa yang dia asumsikan melalui
konfigurasi. Kecuali bahwa maksud yang dia ikuti telah membuatnya mengakui bahwa dia
telah mengasumsikan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip (yang diterima). Begitu
dia tahu bahwa itu bertentangan dengan prinsip-prinsip, dia tidak punya alasan untuk berasumsi
itu, mengatakan bahwa itu tidak merugikan gerakan planet-planet, kecuali jika dia siap untuk
mengakui bahwa konfigurasi sebenarnya berbeda dari apa yang dia asumsikan, dan bahwa dia
tidak dapat mencapai esensinya. Hanya dengan begitu dia akan dimaafkan untuk melakukan
apa yang dia lakukan, dan akan diketahui bahwa konfigurasi yang dia asumsikan bukanlah
yang asli

103
Dalam bagian yang panjang ini, Ibn al-Haitham tidak meninggalkan keraguan tentang niat
sebenarnya. Dia jelas berarti bahwa benda-benda fisik nyata keluar di alam semesta dan sekali
itu diasumsikan benda-benda itu harus diwakili oleh model matematika yang tidak melanggar
sifat fisik sejati mereka, seperti yang dilakukan oleh Ptolemy ketika ia mengasumsikan
keberadaan equant yang akan memaksa bola fisik untuk bergerak secara seragam, di tempat,
pada sumbu yang tidak melewati pusatnya. Itu secara fisik tidak masuk akal dalam astronomi
baru Ibn al-Haitham.

Dalam konteks budaya yang lebih luas, bagian ini juga menunjukkan sejauh mana perdebatan
kosmologis ini mulai mempengaruhi fondasi sains; Mereka memungkinkan persyaratan
konsistensi baru untuk ditunjukkan dengan jelas dengan contoh-contoh nyata dari bidang
astronomi.

Waktu pernyataan itu juga penting, karena memungkinkan kita untuk menyimpulkan bahwa
abad kesebelas, yang telah menghasilkan begitu banyak kritik terhadap astronomi Ptolemeus
seperti yang telah kita lihat, tampaknya adalah waktu ketika proyek-proyek penelitian baru
diluncurkan, dan reorganisasi baru ilmu-ilmu pengetahuan atas dasar konseptual baru pasti
sudah mulai terjadi. Munculnya disiplin baru mlqat, dan fara'iq, segera setelah itu atau sangat
dekat dengan waktu itu, hanyalah beberapa fitur yang pasti menjadi ciri periode ini. Hasil
serupa dapat diperoleh dari analisis perkembangan dalam disiplin matematika dan medis, dan
mereka yang bekerja di bidang tersebut juga dapat mencapai kesimpulan yang sama. Bagi
astronomi, diskusi yang kuat tentang dasar-dasar sains ini tampaknya telah memunculkan
perkembangan jangka panjang yang dampaknya akhirnya mengarah pada hasil yang
benar-benar revolusioner. Hasil-hasil itu, pada gilirannya, menyebabkan penggulingan terakhir
bangunan astronomi Yunani.

Kembali ke kritik Ibn al-Haitham terhadap Almagest karya Ptolemy, saya akan mengutip
kesimpulannya panjang lebar, bukan hanya karena menarik garis demarkasi nyata dari
astronomi baru yang diminta Ibn al-Haitham, tetapi juga karena itu menunjukkan
ketidakpuasan total yang jelas dirasakan dengan astronomi Yunani. Tidak ada yang mungkin
bisa memetakan kontur astronomi baru, atau mengungkapkan sentimen ketidakpuasan dengan
yang lama, lebih baik daripada Ibn al-Haitham sendiri. Dengan kata-katanya sendiri:

Kita harus menjelaskan metode yang dakuti oleh Ptolemy untuk menentukan konfigurasi
planet-planet. Artinya, dia telah mengumpulkan semua gerakan planet-planet individual yang

104
dapat dia verifikasi dengan pengamatannya sendiri, atau pengamatan orang-orang yang telah
mendahuluinya. Dia kemudian mencari konfigurasi yang mungkin ada untuk tubuh nyata yang
bergerak dengan gerakan itu, dan tidak dapat mencapainya. Dia kemudian mengasumsikan
konfigurasi imajiner dengan garis dan lingkaran imajiner yang bisa bergerak dalam gerakan itu,
meskipun hanya beberapa dari gerakan itu yang memang bisa terjadi di tubuh [nyata] yang
bergerak dalam gerakan itu. Dia terpaksa mengikuti rute itu karena dia tidak bisa merancang
yang lain.

Tetapi jika seseorang mengasumsikan garis imajiner, dan membuat garis itu bergerak dalam
imajinasinya, itu tidak akan berarti bahwa harus ada garis yang sesuai yang akan bergerak di
langit dengan gerakan itu. Juga tidak akan benar bahwa jika seseorang membayangkan sebuah
lingkaran di langit, dan membayangkan sebuah planet bergerak di lingkaran itu, bahwa planet
[nyata] akan [pada kenyataannya] bergerak di sepanjang lingkaran imajiner itu. Dan jika
demikian, maka konfigurasi yang diasumsikan oleh Ptolemy untuk lima planet adalah
konfigurasi palsu, dan bahwa dia telah menetapkannya setelah dia tahu bahwa mereka salah,
karena dia tidak dapat memperoleh yang lain. Gerakan planet-planet, bagaimanapun, memiliki
konfigurasi yang benar dalam tubuh [nyata] yang ada yang Ptolemy tidak mengerti dan tidak
bisa dia capai. Karena tidak dapat diterima bahwa gerakan yang jelas, abadi dan seragam
ditemukan tanpa memiliki konfigurasi yang benar dalam tubuh [nyata] yang ada. Hanya ini
yang kami miliki mengenai kitab Almage.1t.'"

Dengan ringkasan kecaman terhadap astronomi Ptolemeus ini, Ibn al-Haitham jelas
menetapkan bidang astronomi Arab pada pijakan yang sama sekali baru. Dia tidak bisa
menekankan lebih kuat lagi perlunya konsistensi antara asumsi tentang sifat benda-benda yang
membentuk alam semesta, dan konstruksi model matematika untuk gerakan planet yang dapat
mewakili benda-benda itu tanpa melanggar realitas fisik dari bidang yang seharusnya dibuat
dunia. Itu adalah pernyataan paling ringkas dari prinsip konsistensi yang menjadi ciri astronomi
baru sejak saat itu.

Singkatnya, harus jelas bahwa seseorang tidak menerima seperangkat prinsip mengenai
pembentukan fisik alam semesta, dan kemudian mengembangkan model matematika untuk
menggambarkan perilaku alam semesta itu dalam istilah sedemikian rupa yang akan
bertentangan dengan fisik objek yang awalnya diterima, atau mengubahnya sehingga mereka
tidak lagi dapat dikenali. Ini seperti mengasumsikan dunia terbuat dari bola dan kemudian

105
untuk tujuan menunjukkan bagaimana ia bergerak, seseorang akhirnya mewakili dunia dengan
angka matematika segitiga.

Kritik serupa juga diarahkan pada teks-teks Ptolemeus pada abad-abad sebelumnya, seperti
yang didokumentasikan sebelumnya, dan beberapa di antaranya telah mengisyaratkan
pendekatan konsistensi baru antara dunia fisik dan perilaku yang diduganya. Tetapi tidak lama
sebelum Ibn al-Haitham pemahaman baru tentang dasar-dasar astronomi baru ini
diartikulasikan dengan sangat baik.

Teks Hipotesis Planet tidak jauh lebih baik dalam perkiraan Ibn alHaitham, dan tentu saja tidak
memajukan cara berpikir baru tentang astronomi. Berbeda dengan Almagest, di mana orang
dapat menemukan alasan untuk Ptolemeus dan mengklaim bahwa ia berbicara tentang
lingkaran dan garis imajiner, yaitu model matematika abstrak, dan bukan tentang tubuh fisik
nyata yang gerakannya akan memerlukan absurditas yang disebutkan, dalam kasus Hipotesis
Planet Ptolemeus berbicara tentang tubuh fisik secara eksplisit. Dengan demikian jenis kritik
yang diajukan oleh Ibn al-Haitham menjadi jauh lebih relevan sehubungan dengan buku itu.
Selain itu, karena Hipotesis Planet ditulis setelah Almagest, Ibn al-Haitham kemudian
mengambil keuntungan dari kronologi itu, dan mengambil kesempatan untuk membandingkan
pemikiran Ptolemeus tentang subjek pada dua tahap yang berbeda dari karir ilmiahnya dan
dalam dua karya yang berbeda. Dia menyisir karya kedua, Planetary Hypotheses, untuk
menentukan apakah absurditas Almagest pada saat itu telah diselesaikan.

Anehnya, dia menemukan bahwa masalahnya menjadi jauh lebih buruk. Alih-alih
menyelesaikan beberapa masalah luar biasa dari Almagest, Ptolemy menambahkan beberapa
yang baru dalam Hipotesis Planet.

Ibn al-Haitham membaca kedua teks dan menghasilkan daftar perbandingan bola dan gerakan
yang dijelaskan dalam Almagest, dan sekarang diubah dalam Hipotesis Planet. Sementara
konfigurasi yang ditarik untuk matahari tetap sama dalam dua teks, dan sementara gerakan
bulan secara nominal juga sama, gerakan yang dijelaskan dalam Almagest sebagai
menghasilkan koreksi untuk fenomena prosneusis tidak disebutkan dalam Hipotesis Planet.
Dalam kasus Merkurius hanya lima gerakannya yang disebutkan dalam Almagest
dipertahankan, dan tiga dijatuhkan. Demikian pula dalam kasus Venus, empat gerakan
dipertahankan dan tiga dijatuhkan. Planet-planet atas mempertahankan semua gerakan yang
dijelaskan dalam Almagest dan hanya gerakan lintang di sekitar lingkaran kecil yang

106
dijatuhkan. Tetapi ada beberapa perubahan drastis yang dibuat dalam sisa pengaturan yang
telah ditetapkan Ptolemeus untuk gerakan planet-planet di garis lintang.

Setelah melalui survei komparatif ini secara rinci, Ibnu Haitham mencapai kesimpulan awal
bahwa konfigurasi yang dijelaskan dalam Hipotesis Planet berbeda dari yang dijelaskan dalam
Almagest, jika tidak ada alasan lain kecuali bahwa sekitar sepuluh gerakan tidak lagi
disebutkan dalam teks baru dan gerakan dalam garis lintang dirombak. Ibn al-Haitham
mengatakan:

Pengaturan ini, yang dirinci dalam risalah pertama Hipotesis Planet bertentangan dengan yang
diusulkan dalam Almagest, dan juga bertentangan dengan gerakan latitudinal yang diamati dari
planet-planet di utara atau ke selatan ketika mereka dekat dengan apogee episiklik mereka.
Kemudian menjadi jelas bahwa konfigurasi yang dijelaskan dalam risalah pertama Hipotesis
Planet tidak hanya bertentangan dengan pengamatan, tetapi juga bertentangan dengan apa yang
telah ia tetapkan di Almagest. [59]

Setelah studi menyeluruh tentang berbagai gerakan yang dijelaskan dalam Hipotesis Planet,
dan penyebabnya, Ibn al-Haitham mendapati dirinya mengutip Ptolemeus, dalam beberapa
bagian, di mana Ptolemeus akan tertangkap mengatakan bahwa semua gerakan itu harus
dipertanggungjawabkan oleh benda bulat nyata yang bertanggung jawab atas mereka. Itu
meninggalkan Ibn al-Haitham dengan satu kesimpulan: bahwa Ptolemy telah secara eksplisit
berkomitmen untuk "menemukan untuk setiap gerakan yang disebutkan dalam Almagest tubuh
yang sesuai yang digerakkan oleh gerakan itu." [60]

Adapun kontradiksi yang jelas, bahkan dalam buku yang sama, itu pasti digunakan sebagai
makanan lebih lanjut untuk mendukung tesis Ibn al-Haitham. Untuk memberikan satu contoh
saja dari jenis masalah yang ditekankan Ibn al-Haitham, ia mencatat bahwa dalam risalah
kedua dari Hipotesis Planet Ptolemeus telah mengatakan bahwa gerak dengan paksaan tidak
diperbolehkan di alam langit, ketika ia telah mengatakan dalam risalah pertama bahwa
masing-masing bola itu akan memiliki gerakannya sendiri dan satu lagi yang dipaksakan
padanya.[61]

Adapun benda-benda fisik baru yang diperkenalkan oleh Ptolemy dalam Planetary Hypotheses,
yaitu irisan bola (manshurat) alih-alih bola penuh yang diasumsikan dalam Almagest, Ibn
al-Haitham berpikir bahwa manshurdt adalah langkah ke arah yang salah. Untuk irisan itu pada

107
gilirannya mensyaratkan "kemustahilan absurd (muhaalat falusha), yang terdiri dari dua jenis:
Satu terjadi ketika tubuh mengosongkan satu ruang untuk mengisi yang lain, dan yang kedua
ketika tubuh harus bergerak dalam gerakan yang berbeda dan berlawanan. " [62]

Dalam kasus bola penuh yang diasumsikan dalam Almagest, mereka setidaknya mensyaratkan
"hanya satu jenis kemustahilan, dan itu adalah gerakan yang berbeda dan berlawanan, dan tidak
memerlukan yang lain, yaitu, mengosongkan satu ruang dan mengisi yang lain."[63] Contoh
bola, yang harus bergerak dalam gerakan yang berbeda dan berlawanan, disebutkan sekali lagi
sehubungan dengan masalah equant yang sudah dihadapi di Almagest. [64]

Sikap Ibn al-Haitham terhadap irisan bola dari Hipotesis Planet bergema dua abad kemudian,
dalam karya Mu'ayyad al-Din al-'Urqi (w. 1266), yang juga mengatakan bahwa, sejauh
menyangkut irisan bola itu, ketidakmungkinan bahwa mereka akan memerlukan bahkan lebih
jelek (aqbaz) daripada bola penuh dan lebih tidak pantas. Karena mereka akan menghasilkan
kemustahilan yang sama yang disebutkan sebelumnya, seperti mereka bergerak secara tidak
seragam di sekitar pusat-pusat mereka sendiri, dan di samping itu mereka akan memerlukan
bola-bola yang tidak bulat, melainkan permukaan berbeda yang terputus, yang merupakan
kemustahilan dalam ilmu alam.[65]

Ibn al-Haitham mengatakan ini tentang gerakan di garis lintang, yang telah dijelaskan Ptolemy
dalam Almagest dengan menggunakan perangkat dua lingkaran kecil yang akan menggerakkan
jari-jari episiklik, sebuah fitur yang dijatuhkan dalam Hipotesis Planet:

Kemudian menjadi jelas bahwa Ptolemeus salah ketika dia mengabaikan deskripsi konfigurasi
ini, atau bahwa dia salah untuk menetapkan gerakan ini untuk planet-planet ketika dia
menentukan gerakan latitudinal di Almagest. [66]

Demikian pula, dalam kasus planet-planet inferior, Merkurius dan Venus, lingkaran-lingkaran
kecil yang dijelaskan dalam Almagest untuk menjelaskan gerakan epicycles mereka di garis
lintang, dan yang sekarang dijatuhkan dalam Hipotesis Planet harus mengarah pada kesimpulan
bahwa Ptolemy salah dalam menjatuhkan mereka sekarang, atau dalam menyebutkan mereka
di Almagest di tempat pertama. Bagaimanapun, perlakuan dalam kedua buku itu bertentangan,
dan itu adalah satu lagi tanda yang jelas bahwa kedua buku itu dibaca bersama.

108
Menjelang akhir risalah kedua dari Hipotesis Planet, Ptolemeus tampaknya condong ke arah
keyakinan bahwa adalah mungkin untuk memikirkan planet yang akan bergerak sendiri, yaitu
tidak memerlukan bola yang akan menggerakkan mereka. Ibn al-Haitham mendokumentasikan
pernyataan tersebut dengan sangat hati-hati hanya untuk menyimpulkan bahwa bahkan gerakan
bergulir (tadahruj) tidak diizinkan. Untuk saat itu

Jika Ptolemeus dapat menemukan bahwa diperbolehkan bahwa sebuah planet dapat bergerak
dengan sendirinya, tanpa ada benda yang menggerakkannya, maka kebolehan itu akan
membuat semua irisan bola serta bola [itu sendiri] tidak valid.[67]

Intinya, Ibn al-Haitham mengatakan jika planet dapat menunjukkan semua gerakan itu sendiri,
tanpa ada benda yang menggerakkannya, maka semua asumsi bola dan irisan bola dan
sejenisnya akan benar-benar berlebihan. Dan di sini sekali lagi 'Urdi mengadopsi sikap yang
sama dalam kritiknya sendiri terhadap Ptolemy dalam konteks yang sedikit berbeda:

Jika seseorang menerima kemustahilan seperti itu dalam disiplin ini (sina’a), semuanya akan in
vain, dan orang akan merasa cukup untuk mengambil hanya satu bola konsentris untuk setiap
planet, sehingga membuat bola eksentrik dan episiklik menjadi tidak berguna.[68]

Ibn al-Haitham menyimpulkan kritiknya terhadap Hipotesis Planet Ptolemeus dengan


pernyataan berikut:

Dia [yang berarti Ptolemeus] tahu tentang kemustahilan yang akan dihasilkan dari kondisi yang
dia ambil dan tetapkan, atau dia tidak tahu. Jika dia menerimanya tanpa mengetahui
kemustahilan yang dihasilkan, maka dia akan tidak kompeten dalam keahliannya, disesatkan
dalam usahanya untuk membayangkannya dan merancang konfigurasi untuk itu. Dan dia tidak
akan pernah dituduh melakukan itu. Tetapi jika dia telah menetapkan apa yang dia tetapkan
sementara dia tahu hasil yang diperlukan - yang mungkin terjadi sesuai dengannya - dengan
alasan bahwa dia wajib melakukannya karena dia tidak dapat menemukan solusi yang lebih
baik, dan [namun] dia terus maju dan dengan sadar menyelidiki kontradiksi ini, maka dia akan
keliru dua kali: sekali dengan menetapkan gagasan ini yang menghasilkan kemustahilan ini,
dan kedua kalinya dengan melakukan kesalahan ketika dia tahu bahwa itu adalah kesalahan.

Agar adil, seandainya semua ini dipertimbangkan, Ptolemeus akan menetapkan konfigurasi
untuk planet-planet yang akan bebas dari semua kemustahilan ini, dan dia tidak akan

109
menggunakan apa yang telah dia tetapkan - dengan semua kemustahilan besar yang dihasilkan
- juga tidak akan menerima bahwa seandainya dia mampu menghasilkan sesuatu yang lebih
baik.

Kebenaran yang tidak menyisakan ruang untuk keraguan adalah bahwa ada konfigurasi yang
benar untuk pergerakan planet-planet, yang ada, konsisten, dan tidak memerlukan satu pun dari
ketidakmungkinan dan kontradiksi ini. Tetapi mereka berbeda dari yang didirikan oleh Ptolemy.
Dan Ptolemeus tidak dapat memahaminya. Imajinasinya juga tidak dapat mencapai sifat
sejatinya.[69]

Dengan beralih dari kritik terhadap Hipotesis Planet langsung ke Optik Ptolemeus, Ibn
al-Haitham tidak hanya menunjukkan bahwa tradisi astronomi Yunani pada dasarnya cacat
tetapi bahwa ilmu-ilmu lain, seperti optik, menderita inkonsistensi yang sama juga. Ini adalah
indikasi yang jelas dari meresapnya semangat kritis ini di zaman Islam, dan menegaskan apa
yang dinyatakan sebelumnya tentang motivasi sosial untuk kritik semacam itu yang sama
sekali tidak terbatas pada astronomi saja. Selain itu, ini juga menunjukkan sejauh mana tradisi
ilmiah Yunani itu sendiri diambil secara keseluruhan; dan secara keseluruhan dikritik dari
berbagai perspektif. Tetapi kritik terkonsentrasi terhadap tradisi astronomi, seperti yang banyak
dalustrasikan sejauh ini, harus meyakinkan kita tentang perlunya mempertimbangkan tahap
astronomi Islam ini sebagai awal baru untuk astronomi, dalam arti bahwa kebutuhan akan
astronomi baru pada saat itu telah ditunjukkan dengan jelas.

Untuk menggambarkan kesuburan pendekatan historiografi baru kita, dan menghargai dampak
dari kritik terhadap tradisi ilmiah Yunani seperti yang dilontarkan oleh seseorang seperti Ibn
al-Haitham, dan bertentangan dengan harapan narasi klasik yang menandai periode ini setelah
abad kesebelas sebagai periode penurunan yang stabil, Sekarang saya beralih ke beberapa
kritik kemudian untuk menunjukkan umur panjang tradisi itu, dan untuk menunjukkan arah
yang terus dakutinya. Alih-alih melestarikan tradisi ilmiah Yunani, kritik-kritik selanjutnya ini,
yang sekarang kita bahas, menggambarkan meresapnya serangan-serangan terhadapnya.

Perkembangan astronomi yang terjadi setelah masa Ibn al-Haitham memiliki arti khusus karena
alasan lain. Mereka tidak hanya menggambarkan kesinambungan tradisi kritis sebelumnya,
tetapi juga menunjukkan jenis pertanyaan baru yang mulai muncul, dan kesamaan antara
pertanyaan-pertanyaan itu dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kemudian selama
Renaissance Eropa.

110
Nasir al-Din al-Tusi (w. 1274), yang disebutkan sebelumnya sehubungan dengan berbagai
kritik terhadap teks Ptolemeus dari Almagest, memiliki keraguan sendiri tentang isu-isu
kosmologis yang telah diangkat sejauh ini. Dalam bukunya Tahrir al-majistli (selesai pada
1247), ia hanya mengkritik Ptolemeus secara sporadis. Tetapi dalam karyanya kemudian,
Tadhkira (selesai pada 1260), ia mencurahkan bagian yang lebih panjang untuk pertanyaan
kosmologis dan mulai merumuskan model matematikanya sendiri untuk menggantikan model
Ptolemy. Kita akan memiliki kesempatan untuk kembali ke model reformasi Tusi nanti. Untuk
saat ini, dan dalam konteks perjumpaan dengan tradisi Yunani, pernyataan yang dia buat dalam
Ta/Jrlr-nya harus memberi kita gambaran tentang pemikirannya tentang masalah ini sekitar
pertengahan abad ketiga belas.

Dengan membandingkan berbagai karya Tusi, menjadi jelas bahwa ia mulai merenungkan
pentingnya isu-isu kosmologis untuk pertama kalinya ketika ia menyusun Ta/Jrlr, sebuah buku
yang dikhususkan untuk produksi versi Almagest yang berguna dan diperbarui, sehingga secara
alami menawarkan kesempatan yang ideal untuk menyuarakan keberatannya sendiri tentang
buku yang ia edit ulang.

Dalam Tahrir, dan ketika membahas model bulan Ptolemeus, Almagest [V, 2], Tusi
menyimpulkan bagian itu dengan komentar berikut: "Adapun kemungkinan gerakan sederhana
pada keliling lingkaran, yang seragam di sekitar titik selain pusat, itu adalah titik halus yang
harus diverifikasi."[70] Tidak diragukan lagi, ini adalah ketidakteraturan yang sama yang
disebutkan sebelumnya dalam konteks masalah equant, yaitu absurditas yang timbul dari
situasi ketika sebuah bola dipaksa untuk bergerak secara seragam, di tempat, di sekitar sumbu
yang tidak melewati pusatnya.

Selanjutnya, dalam kasus titik prosneusis model bulan, Tasi hanya mengatakan: "Gerakan ini
mirip dengan gerakan lima [planet] dalam kemiringan dan kemiringan, seperti yang akan
ditunjukkan nanti, kecuali bahwa itu adalah gerakan di lintang sementara yang ini di bujur.
Seseorang harus melihat kemungkinan adanya gerakan melingkar lengkap yang akan
menghasilkan gerakan yang dapat diamati seperti itu [yaitu mirip dengan gerakan prosneusis
berosilasi dari diameter episiklik.] Biarkan itu diverifikasi."[71] Orang dapat dengan mudah
melihat bagaimana kebingungan ini bisa menjadi asal mula pemikiran Tusi, dan yang
kemudian membawanya untuk menemukan teorema matematikanya yang terkenal, sekarang
disebut Tusi's Couple dalam literatur. Teorema itu sendiri mencapai hal itu: gerakan osilasi
yang dihasilkan oleh kombinasi dua gerakan melingkar.

111
Faktanya, gerakan latitudinal planet-planet berbagi banyak fitur dengan gerakan bola bulan,
dan khususnya dengan kemiringan titik prosnesis. Artinya, osilasi sumbu, yang menandai awal
gerakan episiklik bulan, mirip dengan osilasi bidang miring planet-planet yang lebih rendah.
Dan teori Ptolemeus tentang garis lintang planet inilah yang menghabiskan kesabaran Tusi. Dia
menyimpan kritiknya yang paling tajam hanya untuk gagasan itu. Singkatnya, Ptolemeus
menjelaskan gerakan bidang miring planet di garis lintang dengan menyarankan bahwa
seseorang dapat menempelkan ujung diameter bidang tersebut ke sepasang lingkaran kecil di
mana ujung diameter bidang tersebut akan bergerak. Dan segera setelah dia menyarankan
lingkaran-lingkaran kecil itu, dia tahu bahwa dia tidak mematuhi prinsip-prinsip yang diterima,
seperti yang kami isyaratkan sebelumnya, dan dengan demikian merasa bahwa dia harus
membenarkan solusinya dengan cara berikut: Janganlah seorang pun, mengingat sifat rumit
dari perangkat kita, menilai hipotesis semacam itu terlalu rumit. Karena tidaklah tepat untuk
membandingkan [konstruksi] manusia dengan ilahi, atau untuk membentuk keyakinan
seseorang tentang hal-hal besar seperti itu berdasarkan analogi yang sangat berbeda."[72] Untuk
ini, Tusi hanya bisa mengatakan:

Pernyataan ini, pada titik ini, asing bagi seni [astronomi] (kharij 'an al sina'a). Karena adalah
tugas mereka yang bekerja dalam seni ini untuk menempatkan lingkaran dan bagian-bagian
yang bergerak seragam sedemikian rupa sehingga semua gerakan yang diamati bervariasi akan
dihasilkan sebagai kombinasi dari gerakan reguler ini. Selain itu, karena diameter epicycles
harus dibawa oleh lingkaran kecil sehingga mereka dapat dipindahkan ke utara dan selatan,
yang juga mensyaratkan bahwa mereka akan dipindahkan juga dari bidang eksentrik [yaitu
deferent] sehingga mereka tidak lagi menunjuk ke arah pusat ekliptika, Mereka juga tidak
akan sejajar dengan diameter spesifik dalam bidang ekliptika, tetapi mereka lebih suka
bergoyang bolak-balik dalam bujur dengan jumlah yang sama dengan garis lintang mereka, itu,
bertentangan dengan kenyataan. Orang bahkan tidak dapat mengatakan bahwa variasi ini hanya
dirasakan dalam kasus garis lintang, dan bukan dalam garis bujur, karena besarnya sama dan
sama jauhnya dari pusat ekliptika.[73]

Dalam konteks kritik terhadap Ptolemeus ini, Tusi tidak hanya mendefinisikan kembali fungsi
astronom sehubungan dengan pengamatan dan metode matematika yang dengannya
pengamatan ini harus dijelaskan, tetapi ia melanjutkan untuk mengusulkan teorema baru yang
dapat menyelesaikan kesulitan khusus Ptolemeus ini. Teorema baru, yang diungkapkan dalam
Talpir dengan cara awal hanya untuk dikembangkan lebih lanjut ke dalam Tusi's Couple yang

112
baru disebutkan nanti dalam Tadhkira, akan ditinjau kembali dalam sekuel ketika kita kembali
ke konteks model non-Ptolemeus yang dibangun untuk tujuan khusus merumuskan alternatif
untuk astronomi Ptolemeus.

Kembali ke tradisi shukuk, kami mencatat bahwa sekitar tiga abad kemudian, pada akhir abad
kelima belas, ketika narasi klasik telah memberitakan kematian sains Islam, masalah
(shukuk/ishkalat) astronomi Ptolemeus terus menarik perhatian astronom yang bekerja. Bahkan
masalah-masalah itu menjadi begitu terkenal, dan begitu luas pada saat itu, sehingga mereka
diangkat sendiri dan dijadikan subjek karya individu, dengan cara yang mengingatkan pada
Shukuk khusus Razi dan Ibn al-Haitham hampir setengah milenium sebelumnya.

Salah satu karya abad kelima belas tersebut (sekitar empat puluh folio dalam satu naskah)
disusun oleh Muhyiddin Muhammad b. Qasim, dikenal sebagai al-Akhawayn (w. ca. 1500).
Judul karya ini hanyalah al-Ishkalat fi 'ilm al-hay'a (Masalah dalam Ilmu Astronomi), dan
tampaknya telah diambil dari kalimat pertama buku yang mengikuti pengantar biasa. Kalimat
itu segera dimulai dengan penghitungan masalah astronomi yang terkenal. Menurut hitungan
al-Akhawayn, masalah-masalah itu dapat direduksi menjadi tujuh, dan semuanya dapat
ditemukan dalam astronomi Ptolemeus yang diterima.

Risalah AI-Akhawayn dimulai sebagai berikut:

Ketahuilah bahwa masalah-masalah terkenal yang berkaitan dengan ilmu astronomi


(al-ishkalat fi ilmi al-hay'a) sehubungan dengan konfigurasi bola ada tujuh. Yang pertama
adalah (masalah) mempercepat, memperlambat, dan berarti gerakan. . . . Yang kedua
(menyangkut penampilan) benda-benda planet yang kadang-kadang kecil, dan kadang-kadang
besar. Yang ketiga (menyangkut) stasiun, retrograde, dan gerak langsung . . . . Keempat
(perhatian) gerakan seragam di sekitar titik yang berbeda dari pusat penggerak. Yaitu, ketika
penggerak menggerakkan benda lain dalam gerakan melingkar dan benda kedua mencakup
sudut yang sama dalam waktu yang sama di sekitar titik selain pusat penggeraknya. Yang
kelima (menyangkut) gerakan yang seragam di sekitar titik tertentu karena mendekati titik itu
dan menjauh darinya. Keenam (menyangkut) kemiringan arah diameter satu bola yang
digerakkan oleh bola lain dari pusat bola itu (artinya bola yang bergerak) . . . . Ketujuh
(keprihatinan) kurangnya revolusi lengkap di antara gerak-gerak langit seperti yang akan
dijelaskan dalam detaiJ.74

113
Keuntungan Al-Akhawayn atas Ibn al-Haitham, yang risalahnya Shukuk al-Akhawayn dapat
dengan mudah dibandingkan, berbohong. fakta bahwa Al-Akhawayn tidak hanya dapat
menyebutkan masalah-masalah terkenal astronomi Ptolemeus, tetapi pada masanya ia juga
dapat menawarkan solusi kepada mereka. Beberapa solusi sederhana dan langsung sudah
disarankan dalam teks-teks Ptolemeus sendiri. Yang lain membutuhkan lebih banyak
kecerdikan dan dikembangkan oleh para astronom kemudian yang bekerja di peradaban Islam.
Al-Akhawayn mengutip kedua solusi ketika dia bisa, tetapi tetap sangat singkat, seolah-olah
bermaksud risalahnya untuk menjadi teks pengantar untuk kursus lanjutan tentang astronomi di
mana selera siswa hanya akan tergugah oleh masalah dan solusi seperti itu dan siswa akan
didesak untuk mempelajari lebih lanjut dalam teks-teks yang lebih maju.

Akibatnya, risalah tersebut berhasil merangkum tidak hanya status masalah dalam astronomi
Ptolemeus pada tanggal yang relatif terlambat ini, tetapi juga memberikan penjelasan tentang
banyak solusi yang telah menjadi terkenal sendiri. AlAkhawayn tidak menawarkan semua
solusi yang diketahui untuk setiap masalah, tetapi membatasi dirinya hanya pada beberapa
yang dipilih dengan baik. Dia hanya memilih dari korpus solusi yang sangat besar yang telah
terakumulasi selama beberapa abad sebelum waktunya. Penelitian modern telah
mendokumentasikan solusi tersebut secara rinci. Tetapi yang disukai oleh al-Akhawayn jelas
membawa tanda-tanda sentuhan pribadi yang biasanya ditemui setiap kali antologi dicoba.
Tanpa membahas secara rinci, seperti yang cenderung dilakukan oleh antologi, al-Akhawayn
hanya menyatakan, tetapi secara eksplisit demikian, bahwa beberapa masalah itu khusus untuk
planet-planet tertentu, dan bahwa orang seharusnya tidak mengharapkan masing-masing
masalah itu ditemukan di semua planet yang Ptolemy telah menyarankan model matematika.

Setelah pengantar singkat, al-Akhawayn mencurahkan sisa risalah untuk eksposisi sistematis
konfigurasi masing-masing planet, seperti yang diberikan dalam astronomi Ptolemeus yang
terkenal, menyebutkan jumlah masalah yang diderita konfigurasi spesifik, dan melanjutkan
untuk memberikan solusi yang dia ketahui. Dengan demikian risalahnya dapat dianggap
sebagai antologi yang menarik dan disederhanakan dari jenis penelitian yang dilakukan selama
hampir setengah milenium, dan yang juga berfokus pada kekurangan astronomi Ptolemeus.
Akibatnya, orang dapat dengan mudah mengatakan bahwa pada abad keenam belas telah
terakumulasi korpus besar kritik, serta solusi alternatif untuk, hampir semua masalah utama
yang melanda astronomi Ptolemeus. Pada awal abad keenam belas, tidak ada astronom yang

114
menghargai diri sendiri yang akan terus menjunjung tinggi astronomi Ptolemeus yang telah
lama dibuang dan usang.

Namun demikian, bagi para astronom yang bekerja di kemudian hari, astronomi ini tidak
sepenuhnya dilupakan. Mereka terus menyebutkan masalah utamanya. Tapi itu harus dibaca
sebagai tanda bukan niat mereka untuk mengkritik Ptolemy secara spesifik, tetapi sebagai
indikasi bahwa pengetahuan tentang masalah seperti itu telah menjadi begitu luas di abad-abad
kemudian, seperti yang dinyatakan sebelumnya. Pada masa-masa belakangan ini, disiplin
astronomi itu sendiri, seperti yang dibentuk kembali oleh generasi kritikus berikutnya, tidak
dapat lagi dikejar oleh para astronom yang berpikiran serius tanpa setidaknya menyebutkan
bahwa masalah seperti itu ada.

Kalau dipikir-pikir, tampak bahwa apa yang disebut zaman kemunduran, setelah abad kedua
belas, dapat dicirikan sebagai zaman di mana astronomi teoretis, yaitu pengejaran teori-teori
planet, mulai bercabang menjadi dua tradisi terpisah. Ada orang-orang yang mengejar subjek
kritik itu sendiri, yang pada saat itu membentuk genre penulisan astronomi yang mapan. Dan
ada orang-orang yang berusaha untuk memperbaiki masalah astronomi Ptolemeus dan yang
merupakan tradisi mereka sendiri: tradisi merekonstruksi astronomi Ptolemeus daripada hanya
memuaskan diri mereka sendiri dengan kritiknya. Seorang wakil yang baik dari kelompok
sebelumnya adalah Ibn al-Haitham sendiri yang menawarkan kritiknya yang rumit dan pedas
terhadap astronomi Ptolemeus dan tidak menawarkan alternatifnya sendiri. Dan atas kegagalan
itu ia dikritik habis-habisan, pada gilirannya, oleh astronom 'Urdi.

Bukan hal yang aneh untuk menemukan para astronom yang mencoba menyelesaikan masalah
ini satu per satu, daripada melakukan rekonstruksi astronomi Ptolemeus secara keseluruhan
seperti yang dilakukan oleh para astronom lain seperti 'Urdi dan Ibn al-Shatir. Pada abad
kelima belas, kita menemukan, misalnya, perwakilan yang baik dari kelompok sebelumnya
dalam astronom terkenal 'Ala' al-din al-Qushji (w. 1474). Dia memilih salah satu masalah
paling terkenal dalam astronomi Ptolemeus: masalah equant Merkurius, yang tidak dapat
dipecahkan bahkan oleh Tusi, karena dia sendiri telah secara tegas mengakui dalam
Tadhkira-nya sendiri. Sebaliknya, dan sebagai langkah ke arah yang benar, Qushji dengan
percaya diri menguraikan masalah ini dengan sangat rinci, dan segera mengikutinya dengan
menawarkan salah satu solusi yang paling elegan, semuanya dalam risalah singkat beberapa
pages.ls Kami juga akan memiliki kesempatan untuk kembali ke solusi ini sehubungan dengan
tradisi panjang alternatif yang diusulkan untuk reformasi astronomi Ptolemeus.

115
Tetapi sejauh menyangkut kritik, upaya khusus semacam itu untuk mengisolasi masalah
individu untuk perawatan dengan fasih mengungkapkan ketidakpuasan yang berkelanjutan
dengan setidaknya beberapa aspek dari tradisi Ptolemeus. Dan sebagai masalah yang terisolasi,
mereka harus dipahami sebagai topik penelitian lanjutan yang sangat mirip dengan praktik
modern kita dalam mencurahkan artikel individual untuk perawatan isu-isu tertentu dalam
jurnal lanjutan.

Cucu Qushji, Miram Celebi (w. 1524), yang adalah seorang astronom dengan haknya sendiri,
dan yang juga cucu dari astronom abad kelima belas terkemuka lainnya dengan nama
Qadizadeh al-Rumi (fl. 1440), meninggalkan beberapa karya astronomi; beberapa di antaranya
adalah komentar langsung tentang karya-karya kakeknya Qushji yang lebih umum. Dalam
salah satu komentar itu, ia menyatakan secara eksplisit bahwa ia akan mencurahkan risalah
terpisah yang rumit untuk masalah-masalah astronomi Ptolemeus, yang ia sebut Dhayl
al-Fathiya (Lampiran Fathiya), di mana Fathiya sendiri, karya kakeknya, tidak menyebutkan
masalah seperti itu. Sebaliknya, itu adalah eksposisi astronomi Ptolemeus yang agak mudah.
Kesempatan di mana Miram menyebutkan Dhayl sehubungan dengan masalah konfigurasi
Ptolemeus untuk Bulan dan Merkurius. Tetapi sampai teks Dhayl ditemukan dan dipelajari, isi
lengkapnya masih tetap tidak diketahui.[76]

Abad keenam belas menyaksikan upaya serupa oleh para astronom yang sebagian besar berasal
dari Persia. Salah satunya adalah Ghiyath al-Din Mansur b. Muhammad al-husaini
al-Dashtaghi al-Shirazi (w. 1542/3), yang menghasilkan setidaknya dua karya tentang
astronomi planet: al-Hay'a al-mansuriya (Astronomi Mansur), dan al-Lawami' wa1-Ma arij
(Kilauan dan Kenaikan), yang kedua belum dadentifikasi. Tetapi dalam karya ketiga yang
masih ada, al-Saflr, ia menyatakan secara eksplisit bahwa ia tidak hanya mengkritik Ptolemeus
dalam dua karya sebelumnya, tetapi bahwa ia bahkan mengusulkan solusi baru untuk masalah
Ptolemeus yang dirinci di dalamnya, dan berbicara dengan sangat menyanjung yang ia hasilkan
di Lawami: Membahas konfigurasi Bulan di al-Safir, ia berkata:

(Fakta bahwa) gerak seragam di sekitar pusat dunia, bukan di sekitar pusatnya sendiri [yang
berarti pusat yang terhormat], itulah salah satu masalah (ishkalat) dalam disiplin ini . . . . Saya
memiliki berbagai metode lain (untuk menyelesaikannya), yang telah saya jelaskan dalam
(buku) al-Hay'a al-mansuriya, dan juga telah merujuk pada (masih) metode luar biasa lainnya
dalam (buku) al-Lawami'wa-l-maarij.[l7]

116
Dan ketika menjelaskan masalah prosneusis dalam saflr, ia melanjutkan dengan mengatakan:
"Prosneusis ini juga termasuk di antara masalah (ishkalat) . . . . Kebenaran (mengenai) itu
adalah apa yang telah saya tetapkan dalam al-Hay'a al-mansuriya, yang bersinar dengan
kilauan (Lawami') cahaya." [78]

Dan dalam perjalanan membahas masalah equant dalam konfigurasi untuk planet-planet atas, ia
melanjutkan dengan mengatakan: "Ini juga adalah salah satu masalah (ishkalat), yang al-Hay'a
al-mansuriya mampu memecahkan." [79]

Dengan referensi eksplisit seperti itu, tidak ada keraguan bahwa astronom abad keenam belas
ini tertarik untuk mengejar tradisi kritis yang telah tumbuh di sekitar masalah astronomi
Ptolemeus. Tapi di sini juga, kecuali dua karyanya yang lain dadentifikasi dan dipelajari secara
mendalam, isinya yang sebenarnya dan impor sebenarnya masih tetap misterius dan hanya
spekulatif pada saat ini.

Demikian pula, astronom Suriah Ghars al-Din Ahmad b. Khalil al-Halabi (w. 1563)
menyuarakan keprihatinan serupa dalam risalahnya bahwa ia menyebut Tanbih al-nuqqad 'ala
ma fi al-hay'a al-mashhura min al-fasad (Memperingatkan Para Kritikus Tentang Kesalahan
Astronomi yang Diterima Secara Umum). Di dalamnya ia bahkan mengangkat masalah yang
belum diangkat sejauh ini dalam diskusi ini, tetapi yang akan dibahas di bagian yang
berhubungan dengan hubungan antara astronomi dan filsafat. Untuk tujuan kita saat ini, cukup
untuk memberi sinyal bahwa masalah itu sendiri menyatakan keraguan mengenai dazinkannya
eksentrik yang digunakan dalam konfigurasi Ptolemeus. Dalam konteks itu, Ghars al-Din
menyatakan:

Karena astronomi yang diterima secara umum tidak bebas dari keraguan (Shukak), terutama
yang berkaitan dengan eksentrik, saya telah mengkonfrontasi mereka dalam risalah ini, bukan
untuk meremehkan prinsip-prinsip kerajinan ini (yaitu astronomi), tetapi (untuk menunjukkan)
slip di mana niatnya tidak cocok (hasilnya), dan untuk memilikinya sebagai bukti dari apa yang
telah kami tulis (di tempat lain) . . . . "''

Bab keempat dari risalah itu dikhususkan untuk masalah konfigurasi bulan, dan risalah itu
sendiri bertanggal 1551 Masehi.

117
Pada abad yang sama juga menyaksikan karya-karya Shams al-Dli al-Khafri yang paling luas,
cerdik dan tak tertandingi (w. 1550), yang menggabungkan tradisi kritis serta tradisi konstruksi
alternatif untuk astronomi Ptolemeus. Beberapa dari karya-karya itu telah mengalami beberapa
analisis oleh penulis saat ini, dan kita akan memiliki kesempatan untuk kembali ke mereka di
bagian yang membahas alternatif untuk astronomi Ptolemeus.[81]

Abad berikutnya menyaksikan produksi ilmuwan produktif Baha 'al-Din al-'Amili (w. 1622),
yang tampaknya tidak menghadapi masalah Ptolemeus secara langsung, karena mereka
tampaknya tidak disebutkan secara khusus dalam risalahnya Tashriih al-aflak. Tetapi para
komentatornya tidak mengamati cadangan tersebut. Sebaliknya mereka menyusun teks lengkap
mereka sendiri, atau menambahkan marginalia ke teks 'Amili yang pada saat itu banyak dibaca
dan didistribusikan secara luas di sekolah-sekolah, dan dengan demikian terus mengekspos dan
secara tidak langsung mempopulerkan kesalahan astronomi Ptolemeus. Salah satu komentator
pada teks al-'Amili menambahkan catatan pinggir di mana ia memberikan sejarah kuasi dari
kesalahan-kesalahan itu dan orang-orang yang telah mengatasinya sebelumnya. Dalam satu
naskah, catatan itu berbunyi:

Yang pertama di antara orang-orang modern yang berbicara tentang solusi dari (masalah) yang
tidak terpecahkan adalah al-Wahid Al-Jurjani, murid al-Ra'is Abu 'Ali Ibn Sina [sic., yang
berarti 'Abd al-Wahid al-Jurjani]. Dia menulis sebuah risalah, yang dia sebut Tarkib al-aflak
(Struktur Bola [Surgawi], dan menyebutkan di dalamnya model-model yang dengannya
masalah-masalah ini (ishkalat) dapat dipecahkan. Setelah dia datang Abu 'Ali b. al-Haitham,
kemudian penanya Tusi, dan kemudian Shirazi yang terpelajar, yang mengumpulkan dari
orang-orang sezamannya seperti Muhyi al-din al-Maghribi-karena Prinsip kecenderungan (al
-munajjim/ al-hammadi) disalin darinya, dan kemudian guru besar Shams al-din Muhammad b.
'Ali b. Muhammad al-hammadi. Anda harus mencatat bahwa pernyataan Abu 'Ubayd sangat
lemah, dan tidak ada yang bisa diselesaikan dengan kata-kata Ibn al-Haitham, seperti yang
telah dinyatakan dalam Tadhkira oleh penanya Tusi. Dengan kata-kata penanya (Tusi) sendiri,
seperti yang telah kami salin intinya, masalah porsneusis, equant Merkurius, dan garis lintang
cinctures (manatiq) dari epicycles dan deferents tidak dapat dipecahkan. Adapun penulis Tuhfa
[yaitu Qutb al-din al-Shirazi], ia telah menguraikan terlalu banyak. Guru Muhammad
al-Munajjim al-Hammadi menyusun sebuah risalah, di mana ia mengklaim bahwa
masalah-masalah ini (ishkalat) semuanya dapat diselesaikan dengan seratus empat puluh bola.
Dia memang menetapkan tiga prinsip, yang, pada kenyataannya, keliru. Siapa pun yang

118
membutuhkan (informasi lebih lanjut tentang) mereka, ia harus mencarinya di al-Ma'arij
[bagian] dari Lawami 'al-Mansuriya. [82]

Sinopsis kuasi-historis ini, terlepas dari kekurangan historisnya, setidaknya mengungkapkan


dua tren penting: Pertama, itu menandakan bahwa ada orang-orang yang tertarik pada sejarah
astronomi, dan kedua bahwa masalah astronomi Ptolemeus terus dibahas setelah pertengahan
abad ketujuh belas ketika catatan ini mungkin ditulis. Selain itu, juga mengungkapkan bahwa
karya-karya Dashtaghi pada saat itu telah menjadi referensi standar, setidaknya sejauh
menyangkut penulis catatan pinggir ini.

Sejarawan astronomi Arab belum melakukan perampokan pada abad-abad berikutnya untuk
menentukan tingkat kritik, jika ada, atau untuk mengetahui apakah para astronom kemudian
terus membangun alternatif untuk astronomi Ptolemeus. Penelitian khusus ini akan menjadi
yang paling penting, terutama mengingat fakta bahwa pada abad-abad terakhir ini orang ingin
tahu bagaimana para astronom berurusan dengan penerimaan astronomi modern
pasca-Copernicus di negara-negara Islam. Atau apakah astronomi Ptolemeus lama masih bisa
bertahan dari serangan astronomi pasca Copernicus. Sedikit penelitian yang telah dilakukan
dalam domain ini, yaitu dalam domain kritik terhadap dasar-dasar filosofis alami,
mengungkapkan bahwa selama bagian akhir abad kesembilan belas masih ada orang-orang
yang membela astronomi Ptolemeus melawan para pencelanya, ketika para pencela pada saat
itu mengadopsi alternatif Copernicus dan astronomi yang lebih modern.

Keberatan Teoritis

Akhirnya, ada keberatan dari jenis lain: lebih bersifat teoretis, dalam arti bahwa mereka
membahas masalah-masalah teoretis yang menyentuh dasar-dasar semua kegiatan ilmiah dan
tidak hanya terbatas pada astronomi. Dan ada orang-orang yang mengusulkan model
matematika baru untuk menjelaskan pengamatan yang sama terhadap Ptolemeus, tanpa
menjelaskan motivasi mereka. Tetapi karya-karya alternatif mereka hanya dapat berarti bahwa
mereka tidak puas dengan model-model Ptolemeus yang ada, dan dengan demikian aktivitas
mereka harus dianggap sebagai keberatan itu sendiri. Jadi ketika kita datang untuk mensurvei
berbagai model alternatif yang diusulkan untuk menggantikan model Ptolemeus, orang dapat

119
membaca survei itu sebagai pernyataan rumit tentang keberatan teoretis terhadap astronomi
Ptolemeus juga.

Yang lain mengajukan pertanyaan teoretis lebih lanjut yang dapat dibaca bersama dengan
pertanyaan filosofis yang akan disinggung nanti ketika kita membahas hubungan sains dengan
filsafat dalam kasus astronomi. Dalam konteks perjumpaan dengan tradisi Yunani saat ini,
pertanyaan-pertanyaan itu memperoleh makna khusus ketika mereka menyentuh filsafat ilmu
pengetahuan dalam arti yang lebih terfokus. Artinya, mereka mencoba menentukan domain di
mana satu astronom dibenarkan dalam mengajukan keberatan terhadap karya yang lain. Apa
sebenarnya yang dazinkan untuk ditolak, dan bukti seperti apa yang harus dibawa ke argumen
untuk membuat kasus ini? Apa peran pengamatan dalam astronomi dan apa penjelasan yang
dapat diterima tentang mereka? Untuk jenis pertanyaan ini, perwakilan terbaik adalah astronom
Damaskus Mu'ayyad al-Din al-'Urqi, yang namanya sudah disebutkan beberapa kali. Dalam
risalahnya yang luas, Kitab al-Hay'a,[84] yang dapat dibaca secara keseluruhan sebagai
pernyataan keberatan yang komprehensif terhadap astronomi Ptolemeus, ia mengisolasi isu-isu
tersebut khususnya ketika ia berusaha untuk mereformasi, misalnya, konfigurasi Ptolemeus
yang diusulkan untuk planet Merkurius. Setelah menyebutkan berbagai bidang, gerakan
mereka, dan posisi relatif mereka sehubungan satu sama lain, ia melanjutkan dengan
mengatakan:

Kondisi yang dihasilkan dari pengamatan yang baru saja disebutkan berarti orang-orang dari
mana kondisi ini diketahui-hanya gerakan apogee dan perigee deferent. Adapun arah gerakan
ini, ini tidak diperlukan (oleh pengamatan), melainkan hanya diberikan oleh Ptolemy.

Keberatan-Keberatan yang Bersifat Teoritis

Terakhir, ada keberatan yang lebih bersifat teoritis, dalam artian bahwa keberatan-keberatan ini
membahas isu-isu teoritis yang menyentuh dasar-dasar semua kegiatan ilmiah dan tidak
hanya terbatas pada astronomi. Dan ada juga yang mengusulkan model matematika baru untuk
menjelaskan pengamatan yang sama dengan Ptolemeus, tanpa menjelaskan motivasi mereka.
Namun, karya-karya alternatif mereka hanya bisa berarti bahwa mereka tidak puas dengan
model Ptolemeus yang sudah ada, dan dengan demikian aktivitas mereka harus dianggap
sebagai sebuah keberatan. Jadi, ketika kita mensurvei berbagai model alternatif yang diusulkan

120
untuk menggantikan model Ptolemeus, kita dapat membaca survei tersebut sebagai pernyataan
yang rumit tentang keberatan teoretis terhadap astronomi Ptolemeus juga.

Ada pula yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan teoritis lebih lanjut yang dapat dibaca
bersamaan dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang akan disinggung nanti ketika kita
membahas hubungan sains dan filsafat dalam kasus astronomi. Dalam konteks perjumpaan
dengan tradisi Yunani, pertanyaan-pertanyaan tersebut memiliki arti khusus karena menyentuh
filsafat ilmu pengetahuan dalam arti yang lebih terfokus. Artinya, mereka mencoba untuk
menentukan domain di mana seorang astronom dibenarkan untuk mengajukan keberatan
terhadap hasil kerja astronom lain. Apa sebenarnya yang diperbolehkan untuk menjadi
keberatan, dan bukti seperti apa yang harus dibawa ke dalam argumen untuk mendukung
argumen tersebut? Apa peran pengamatan dalam astronomi dan apa penjelasan yang dapat
diterima dari pengamatan tersebut? Untuk jenis pertanyaan ini, perwakilan terbaik adalah
astronom Damaskus Mu'ayyad al-Din al-'Urqi, yang namanya telah disebutkan beberapa kali.
Dalam risalahnya yang panjang, KiTub al-Hay'a, yang dapat dibaca secara keseluruhan sebagai
sebuah pernyataan komprehensif tentang keberatan terhadap astronomi Ptolemeus, ia
mengisolasi isu-isu semacam itu secara khusus ketika ia mencoba untuk mereformasi, misalnya,
konfigurasi Ptolemeus yang diusulkan untuk planet Merkurius. Setelah menyebutkan berbagai
bola, gerakannya, dan posisi relatifnya terhadap satu sama lain, ia melanjutkan dengan
mengatakan:

Kondisi-kondisi yang dihasilkan dari pengamatan yang baru saja disebutkan - yang berarti
kondisi-kondisi yang diketahui - hanyalah gerakan-gerakan dari apogee dan perigee deferen.
Adapun arah dari gerakan-gerakan ini tidak diperlukan (oleh pengamatan), melainkan hanya
diberikan oleh Ptolemeus.

Seandainya gerakan-gerakan ini sesuai dengan cara yang ia gunakan, dan tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsipnya, maka ia akan mencapai tujuannya.

Dengan mempertanyakan hubungan antara pengamatan dan jenis hasil yang dapat disimpulkan
dari pengamatan tersebut, 'Un;ll ingin mengarahkan perhatian pembacanya pada aktivitas
pembuatan model itu sendiri. Bagian mana yang ditentukan oleh pengamatan dan bagian mana
yang diserahkan kepada astronom untuk membangunnya sendiri? Dan dalam kasus model
planet Merkurius, 'Urdy mengatakan hal ini:

Total (konfigurasi) ini dihasilkan dari banyak faktor: Pengamatan, bukti-bukti yang didasarkan
pada pengamatan, gerakan-gerakan periodik, konfigurasi (hay'a) yang dia (maksudnya

121
Ptolemeus) duga, dan arah-arah (berbagai) gerakan (yang terlibat). Mengenai pengamatan,
bukti-bukti, dan gerakan-gerakan periodik, tidak ada satupun yang dapat dikritik, karena tidak
ada yang terungkap, yang bertentangan dengan mereka.

Adapun metode dugaan (Hads), dia (yaitu Ptolemeus) tidak memiliki prioritas di dalamnya,
(terutama) setelah kesalahannya terungkap dengan jelas. Jika ada orang lain yang menemukan
sesuatu yang sesuai dengan prinsip-prinsipnya, seperti halnya gerakan-gerakan tertentu dari
planet ini yang ditemukan melalui observasi, maka orang tersebut akan memiliki klaim yang
lebih besar terhadap kebenaran.

Ketika kami melihat kesalahan dari pendapat ini, dan berusaha untuk memperbaikinya, seperti
yang kami lakukan pada kasus planet-planet yang lain, kami menemukan bahwa kami dapat
menyempurnakannya jika kami membalikkan arah kedua gerakan yang telah disebutkan
sebelumnya-maksudnya gerakan direktur dan bola yang ditangguhkan.

Dalam istilah yang sangat jelas, hal ini menunjukkan jenis keterlibatan yang ingin dicapai oleh
'Urdi dengan tradisi Ptolemeus. Terhadap beberapa bagian dari tradisi ini, terutama
aspek-aspek pengamatan, ia tidak keberatan karena ia tidak memiliki pengamatannya sendiri
yang dapat dipertanggungjawabkan. Periode planet-planet, dia juga harus menerima karena dia
juga tidak memiliki sumber-sumber kuno yang lebih baik untuk menyimpulkan sendiri.
Matematika Ptolemeus juga luar biasa, terutama setelah diperbarui oleh generasi astronom
yang mengerjakannya sejak abad kesembilan. Namun, dalam hal dugaan (Hads), istilah 'Urdi
untuk berteori, tidak ada alasan untuk lebih memilih teori Ptolemeus daripada yang lain,
terutama ketika teori-teori itu tidak dapat menjelaskan pengamatan dan tetap setia pada
kosmologi Aristoteles yang telah diterima oleh Ptolemeus. Bukan berarti para astronom seperti
'Urdi menyalahkan Ptolemeus karena meninggalkan Aristoteles, dan bahwa mereka begitu
terpikat oleh Aristoteles sehingga mereka ingin kembali memujanya melalui adopsi
kosmologinya, tetapi apa yang mereka anggap tidak dapat diterima adalah kontradiksi teoritis
antara penerimaan Ptolemeus terhadap seperangkat prinsip di satu sisi, tidak peduli prinsip
siapa, dan kontradiksi prinsip-prinsip tersebut ketika ia datang untuk menggambarkan
konstruksi matematika yang mewakili prinsip-prinsip yang sama. Pada tingkat teorisasi
tersebut, mereka merasa bahwa Ptolemeus seharusnya tidak memiliki prioritas di atas mereka.
Bahkan, mereka merasa lebih memenuhi syarat untuk berteori hanya karena mereka
menghindari kontradiksi yang melanda astronomi Ptolemeus. Namun, model-model alternatif
mereka dapat menjelaskan hasil pengamatan sama baiknya dengan model Ptolemeus.

122
Betapapun berbudi luhurnya dia, otoritas Ptolemeus tidak dapat mengatasi
ketidakmampuannya untuk berteori dengan baik.

Pada tahap ini, tradisi astronomi Islam jelas telah mencapai kematangan sehingga dapat
mengangkat isu-isu yang tidak pernah diangkat sebelumnya. Tradisi ini dapat merenungkan
masalah-masalah, hubungan-hubungan, strategi teoretis, yang tidak pernah terpikirkan oleh
Ptolemeus. Keyakinan akan dasar-dasar ilmu pengetahuan yang baru memberikan para
astronom ini kemampuan untuk melampaui kritik terhadap Ptolemeus, dan berani menentang
model-modelnya dengan model-model mereka sendiri, baik dengan menggunakan kembali
matematika yang sama dengan yang digunakan Ptolemeus, maupun dengan membuat model
matematika sendiri untuk menggantikannya. Keyakinan ini juga memungkinkan mereka untuk
melihat alam semesta dari sudut pandang yang berbeda dan menetapkan aturan-aturan baru
untuk ilmu pengetahuan yang pada akhirnya akan menjelaskannya. Hal-hal yang dieksplorasi
dengan cara tersebut menyentuh dasar dari setiap ilmu pengetahuan dan tidak lagi terbatas pada
astronomi saja. Sekali lagi, hal ini harus diingat ketika kita membahas hubungan sains dengan
filsafat nanti.

Dalam konteks saat ini, dan bahkan dengan mengorbankan beberapa tumpang tindih dengan
bab berikutnya, isu-isu teoretis ini harus disoroti di sini juga. Garis-garis teoretis yang
dikembangkan sebagai respons terhadap tradisi astronomi Yunani juga memunculkan
perdebatan tentang diterimanya eksentrisitas dan episentrisitas di antara bola-bola langit,
sebuah perdebatan yang pada intinya bukanlah perdebatan tentang pelanggaran fisik bola-bola
tersebut seperti yang telah dibahas sejauh ini, tetapi sebuah diskusi tentang apakah pada
prinsipnya alam semesta menerima konfigurasi semacam itu. Asal mula masalah ini sudah
dapat ditemukan dalam beberapa karya Aristoteles, tetapi yang paling terkenal adalah De Caelo,
di mana Aristoteles membuktikan, dengan ketelitian filosofis yang sempurna, tidak hanya
bahwa seluruh alam semesta berbentuk bola, tetapi juga bahwa Bumi berada di pusatnya. Dan
jika tidak ada Bumi di sana, kita harus mengasumsikan Bumi sebagai titik tetap dari setiap bola
yang bergerak, selain sebagai titik berat alam semesta. Oleh karena itu, argumen ini merupakan
suatu hal yang perlu dan bukan sekadar pilihan yang mudah untuk menempatkan Bumi sebagai
pusat alam semesta atau tidak. Para astronom dapat memperdebatkan sebanyak yang mereka
inginkan apakah fenomena yang teramati dapat dijelaskan dengan asumsi Bumi yang tetap di
pusat alam semesta, atau dengan Bumi yang berotasi. mengelilingi porosnya sendiri atau
mengelilingi matahari. Beberapa dari mereka memang mengangkat
kemungkinan-kemungkinan ini pada masa pra-Aristoteles dan pasca-Aristoteles serta pada

123
masa Islam, seperti yang dilakukan oleh Aristarkhus dari Samos (sekitar tahun 230 SM),
sebagai contoh, dan oleh Biruni (sekitar tahun 1.048 SM) berabad-abad setelahnya. Mereka
mengakui bahwa fenomena yang sama dapat dijelaskan oleh Bumi yang tetap di pusat atau
oleh Bumi yang bergerak. Namun, hal tersebut tidak mengubah kondisi kosmologis Aristoteles
sedikit pun. Menurut Aristoteles, Bumi secara teoretis" haruslah tidak bergerak di pusat alam
semesta dengan cara yang sama seperti setiap bola yang bergerak haruslah memiliki titik yang
tidak bergerak di pusatnya.

Diskusi yang berkisar pada diterimanya eksentrik dan episentrik merupakan inti dari diskusi
teoretis ini, dan mereka yang tidak mengizinkan konsep-konsep tersebut mengambil posisi
bahwa eksentrik dan episentrik tersebut kemudian akan memperkenalkan sebuah pusat
gravitasi, selain Bumi, yang mengelilingi benda-benda langit yang sederhana yang kemudian
akan bergerak. Ptolemeus mencoba menyelesaikan perdebatan dengan memperkenalkan
teorema Apollonian, yang memungkinkan penggantian eksentrik dengan bola konsentris
sederhana yang membawa episentrum. Namun, masalahnya tidak dapat diselesaikan dengan
mudah karena episentrum itu sendiri juga tidak dapat diterima karena ia juga memperkenalkan
pusat gravitasi di mana episentrum itu sendiri berputar, dan lebih buruk lagi, episentrum itu
harus ditempatkan di luar sana di dunia eter Aristoteles yang didefinisikan sebagai elemen
sederhana yang sangat sederhana.

Para astronom Andalusia seperti Ibnu Baja (Avempace w. 1138/9), Ibnu Tufayl (w. 1185/6),
Ibnu Rushd (Averroes w. 198), dan al-Bitrujl (w. 200), dengan gayanya sendiri-sendiri,
mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap astronomi Ptolemeus, terutama karena
astronomi ini menyimpan benda-benda non-Aristotelian yang mengerikan, seperti benda-benda
eksentrik dan episentrik. Al-Bitruji melangkah lebih jauh dari mereka semua dengan
membangun sebuah konfigurasi alternatif yang lengkap yang menghindari benda-benda
eksentrik ini.

Keberhasilan al-Bitruji dirusak oleh ketidakmampuan konfigurasinya untuk menjelaskan


pengamatan secara kuantitatif yang memungkinkan prediktabilitas posisi planet untuk setiap
saat dan di mana saja. Ujian mendasar dari setiap proposisi astronomi adalah rintangan utama
yang membuat konfigurasi al-Bitruji runtuh. Itu hanyalah upaya untuk menyadarkan kembali
bola-bola Eudoxian lama yang pada satu titik telah memikat Aristoteles sendiri, tetapi bahkan
tidak dapat memprediksi posisi planet mana pun setiap saat, meskipun faktanya mereka dapat
memberikan deskripsi yang agak naif tentang perilaku umum planet. Demikian pula halnya
dengan konstruksi Al-Bitruji, yang juga gagal menjelaskan gerakan planet-planet yang teramati.

124
Karena alasan itulah, penjelasan Bitruji tetap menjadi sebuah proposisi aneh yang tidak dikejar
lebih jauh oleh para astronom di kemudian hari. Saya kira tidak ada astronom atau astrolog
yang perlu menghitung posisi planet-planet yang bisa menganggapnya serius.

Dengan alasan yang lebih serius, dan untuk semua orang yang ingin menjunjung tinggi alam
semesta Aristoteles, pada titik tertentu mereka harus mengakui bahwa alam semesta Arsitoteles
tidak terlalu konsisten. Sekali lagi kita akan kembali ke masalah filosofis ini nanti. Tapi dalam
konteks bab ini, di mana kita berfokus pada penerimaan tradisi ilmiah Yunani ke dalam
peradaban Islam, mari kita lengkapi gambarannya dengan menunjukkan berbagai keberatan
yang diajukan oleh para astronom yang bekerja di masa Islam. Menurut Aristoteles, semua
benda langit, bola, bintang, dan planet, semuanya seharusnya terbuat dari elemen sederhana
Aristoteles yang sama, yaitu eter. Elemen tersebut seharusnya bersifat ilahi, sehingga
merupakan elemen yang paling sederhana dari semua elemen, yang hanya mampu melakukan
satu gerakan: gerakan melingkar yang tidak memiliki awal dan akhir. Akibatnya, elemen
sederhana eter tidak mengambil bagian dalam komposisi apa pun atau generasi atau kerusakan
apa pun, seperti halnya dengan elemen sub-bulan lainnya yang mengalami gerakan berlawanan
secara linier. Jika proposisi Aristoteles itu dipahami secara harfiah, dan ada beberapa orang
yang menganggapnya demikian, maka orang akan bertanya-tanya bagaimana sebuah bola,
katakanlah, yang membawa matahari, dengan cara yang sama seperti cincin membawa
mahkota, memancarkan cahaya yang begitu terang seperti matahari. cahaya matahari, hanya
dari satu bagian saja, di mana matahari berada, sementara bagian lainnya bertindak seperti zat
bola transparan kristal yang tidak memancarkan cahaya apa pun? Ini terjadi ketika matahari
dan bola pembawanya diasumsikan terbuat dari unsur eter yang sama.

Ibn al-Shatir dari Damaskus menghadapi alam semesta Aristoteles dengan cara yang sama dan
dengan pemahaman yang sama persis. Dengan caranya sendiri, ia mengajukan pertanyaan
sebagai berikut: Dia mengatakan bahwa karena bintang-bintang, dan planet-planet, itu sendiri
berbeda dengan bola yang membawanya, seperti halnya matahari yang memancarkan cahaya
sementara bola yang membawanya tidak, maka Aristoteles harus mengakui bahwa dunia langit
tidak sesederhana itu dan harus mengakui adanya beberapa jenis komposisi. Sekarang, karena
para astronom, termasuk Aristoteles, mengetahui bahwa beberapa bintang tetap sebenarnya
jauh lebih besar daripada episentrum planet-planet terbesar, maka jika sebuah komposisi
diperbolehkan untuk bintang-bintang tetap, komposisi yang sama juga harus diakui untuk
episentrum yang jauh lebih kecil. Ibn al-Shatir kemudian menyimpulkan bahwa ia berhak atas
komposisi yang sama di bola langit yang memungkinkan untuk episentrum sebagaimana yang

125
diizinkan oleh Aristoteles untuk bintang-bintang tetap. Dia kemudian melanjutkan dengan
mengatakan, bahwa meskipun Aristoteles dan mereka yang mengikutinya mungkin benar
tentang tidak dapat diterimanya eksentrisitas, mereka semua salah dalam hal tidak dapat
diterimanya episentrisitas. Konsekuensi langsung dari posisi ini membuat Ibn al-Shatir
membangun model matematika yang sangat rumit yang akan menggantikan model Ptolemeus,
tetapi pada saat yang sama mereka semua dibangun tanpa bola eksentrik. Dalam pembelaannya,
ia hanya mengubah asumsi Aristoteles dengan menyatakan bahwa alam semesta tidak
sesederhana dan sekonsisten yang dipikirkan Aristoteles, tapi menurut Ibn al-Shatir, alam
semesta memiliki suatu bentuk komposisi. Dalam arti yang sebenarnya, asumsi baru Ibn
al-Shatir adalah satu-satunya yang saya tahu di mana seorang astronom benar-benar
menghadapi asumsi Aristoteles dengan asumsi-asumsi yang dimilikinya. Hal ini seharusnya
memiliki dampak filosofis yang serius ketika diambil dalam konteks keruntuhan bertahap alam
semesta Aristotelian yang memuncak dengan kudeta terakhir Newton.

Dalam konteks perjumpaan dengan tradisi ilmiah Yunani, dan dalam konteks hubungan ilmu
astronomi dengan ilmu-ilmu lainnya, kasus khusus harus dibuat untuk matematika. Bukan
hanya karena para astronom menggunakan disiplin ilmu ini dengan sangat baik, atau karena
ilmu ini merupakan ilmu demonstratif yang paling baik, tetapi karena para astronom yang sama
yang kemudian mengkritik astronomi Ptolemeus, dan dengan usulan-usulannya yang luas
untuk konstruksi alternatif, mulai mengungkap sifat disiplin ilmu matematika, dengan
memperhatikan bahwa ada begitu banyak konstruksi matematika yang dapat menjelaskan hasil
pengamatan yang sama. Kasus standar dalam hal ini adalah teorema Apollonius yang
digunakan oleh Ptolemeus sendiri untuk menjelaskan pengamatan yang sama, baik dengan
konstruksi eksentrik maupun dengan konstruksi epiklik. Ptolemeus sadar akan fakta bahwa
kedua konstruksi matematika tersebut menggambarkan hasil pengamatan yang sama, dan
memilih untuk menggunakan konstruksi eksentrik karena kesederhanaannya karena hanya
melibatkan satu gerakan seperti yang dia katakan.

Apa yang tidak dikatakan Ptolemeus adalah bahwa kedua konstruksi tersebut, baik yang
eksentrik maupun yang epiklik, melanggar kosmologi Aristoteles. Dalam kasus pertama,
eksentrik mengasumsikan adanya pusat gravitasi yang tetap selain Bumi, yang tidak dapat
diterima, dan dalam kasus kedua, episentrik mengasumsikan adanya pusat gravitasi di alam
semesta seperti yang baru saja kita jelaskan.

Para astronom di kemudian hari yang tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan alam
semesta Aristoteles dengan satu atau lain cara, terkadang bersikap ambivalen terhadap

126
konstruksi-konstruksi tersebut dan mengikuti pilihan Ptolemeus terhadap konstruksi eksentrik.
Seperti yang baru saja kita katakan, hanya Ibn al-Shatir yang keberatan dengan eksentrik dan
menghindari penggunaannya dalam perumusan ulang astronomi.

Namun, yang juga tidak dikatakan adalah validitas disiplin matematika itu sendiri dalam
hubungannya dengan teori astronomi. Bagaimana seseorang menilai konstruksi matematika
mana yang mana yang lebih disukai dan mana yang tidak, terutama ketika kedua konstruksi
tersebut dapat menjelaskan data observasi seperti halnya teorema Apollonius? Kita telah
melihat bagaimana 'Urdi, misalnya, telah mengalah pada penggunaan matematika Ptolemeus,
dan tidak menimbulkan keraguan dalam hal itu. Hanya ketika ia harus merumuskan ulang
model matematika Ptolemeus untuk planet-planet besar, ia merasa berkewajiban untuk
memperkenalkan teorema matematika yang tidak ditemukan dalam teks-teks Yunani, dan
menggunakan teorema tersebut hanya untuk menjelaskan pengamatan dengan model yang jauh
lebih baik daripada model Ptolemeus. Namun, ia tidak melangkah lebih jauh dari itu.

Baru kemudian para astronom berhenti memikirkan hubungan antara matematika dan
astronomi, dan seperti yang baru saja kami katakan, mereka baru mulai menyadari bahwa ada
banyak konstruksi matematika yang dapat menghasilkan hasil yang sama, yaitu menjelaskan
pengamatan dengan sama baiknya. Pada abad ke-16, astronom Shams al-Oin alKhafri (w.
1550), yang telah disebutkan sebelumnya, menggunakan pemahaman matematika yang sama
dengan yang baru ini secara maksimal, di mana dalam penjelasannya tentang model-model
baru yang ia dan yang lainnya kembangkan, ia akan memberikan beberapa model untuk
gerakan planet yang sama. Artinya, ia akan memberikan beberapa alternatif matematis untuk
menginterpretasikan pengamatan yang sama dengan cara yang persis sama. Dalam kasus
gerakan planet Merkurius, misalnya, ia memberikan empat model matematika yang berbeda
dalam salah satu karyanya, yang semuanya memberikan hasil matematika yang sama persis,
dan dengan demikian semuanya menjelaskan pengamatan dengan cara yang sama. Dan dengan
kata-katanya sendiri, ia menawarkan model-model ini satu demi satu hanya sebagai cara yang
berbeda (yang ia sebut wujuh) untuk melihat realitas fisik yang sama. Pemahaman baru ini,
bahwa matematika hanyalah sebuah bahasa yang memungkinkan astronom menggambarkan
realitas fisik yang sama dengan berbagai cara yang berbeda, tidak ada yang lebih baik daripada
karya-karya Khafri.

Kesimpulan

127
Tinjauan singkat ini seharusnya sudah sangat jelas bahwa tradisi astronomi Yunani, terutama
yang diwakili oleh teks-teks terpenting dalam tradisi tersebut, teks-teks Ptolemeus, tidak hanya
dilestarikan dalam budaya Islam, seperti yang sering dituduhkan, tetapi juga telah menerima
penilaian yang sangat kritis sejak awal. Mulai dari mengoreksi kesalahan-kesalahan yang
dianggap ada dalam teks-teks Yunani oleh para penerjemahnya sendiri, hingga evaluasi ulang
yang kritis terhadap hasil-hasil observasi yang mengarah pada perubahan parameter-parameter
astronomi yang paling mendasar dari tradisi tersebut, hingga pengajuan keberatan-keberatan
terhadap tradisi tersebut karena dianggap mengabaikan premis-premis filosofis alamiahnya
sendiri yang berakar kuat pada tradisi Aristoteles, keberatan teoretis terhadap tradisi tersebut
karena kurangnya konsistensi sistematis, dan akhirnya keberatan teoretis yang diajukan
sehubungan dengan dasar-dasar astronomi itu sendiri, bagaimana sains itu sendiri disusun dan
komponen mana yang tunduk pada komponen lain, dan ilmu pengetahuan lain mana yang
digunakan di dalamnya dan dalam kapasitas apa, semua aspek tradisi astronomi Yunani itu
menjadi subyek perselisihan besar.

Pertama, aspek terpenting dari perdebatan yang terjadi adalah bahwa perdebatan tersebut
dilakukan dengan para penulis Yunani paling klasik, sebuah pengamatan yang menegaskan
asumsi kami sebelumnya tentang kurangnya kecanggihan ilmiah dari budaya Bizantium dan
Sasania kontemporer. Tak satu pun dari kritik yang telah kami tunjukkan sejauh ini ditujukan
kepada doktrin-doktrin Bizantium atau Sasania saat ini, melainkan ditujukan kepada Ptolemeus,
Galen, Aristoteles, dan sejenisnya. Ciri yang paling penting dari perjumpaan dengan tradisi
Yunani ini adalah bahwa hal itu merupakan konfrontasi dengan para penulis klasik, dan dengan
demikian, konfrontasi itu sendiri membawa ide-ide klasik itu kembali ke dalam mata uang,
pada saat yang sama ketika ide-ide itu dibantah dan dimodifikasi. Ini bukanlah sebuah polemik
melawan para penulis kontemporer. Para penulis Bizantium, yang menegaskan sekali lagi
bahwa tidak ada peradaban yang begitu maju di Bizantium yang dapat dihubungi, seperti yang
telah kita ulangi berulang kali.

Kedua, konfrontasi ini terjadi dalam konteks kekuatan-kekuatan sosial yang sangat kompleks
yang saling bertentangan satu sama lain, karena alasan-alasan politik dan sosial, dan hanya
secara sekunder ditujukan kepada ilmu pengetahuan itu sendiri. Seperti yang telah kita lihat,
ilmu pengetahuan dan filsafat yang dibawa ke dalam peradaban Islam secara langsung terkait
dengan posisi sosial orang-orang yang membawanya, biasanya posisi politik dan ekonomi, dan
dalam arti tertentu, peluang terakhir mereka untuk diterima atau ditolak dalam peradaban Islam

128
yang menjadi target dikondisikan oleh keberhasilan atau kegagalan kelompok-kelompok yang
mensponsori kegiatan-kegiatan tersebut.

Ketiga, sumber-sumber ilmiah dan filosofis Yunani dicari karena alasan-alasan yang
berhubungan dengan perdebatan yang sedang berlangsung dalam peradaban Islam, perdebatan
yang ditimbulkan oleh reformasi 'Abd al-Malik, seperti yang telah saya tegaskan selama ini,
dan bukan sumber-sumber yang ditemukan secara kebetulan melalui kontak-kontak yang tidak
disengaja di antara dua peradaban. Pemilihan teks-teks yang diterjemahkan secara sadar dan
disengaja, yang oleh Sabra dan Lemerle disebut sebagai apropriasi, karena teks-teks tersebut
memiliki tujuan tertentu dalam perdebatan, juga mewarnai bagaimana teks-teks tersebut
diterima atau ditolak oleh peradaban yang menerimanya. Mereka bukanlah pertemuan
kebetulan yang tidak terarah yang dapat membawa momentum tersendiri dari luar. Dengan
demikian, teks-teks Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab hanya menerapkan arah
tertentu yang telah dipilih sebelumnya dan tidak menciptakan arahnya sendiri, kecuali dengan
cara-cara yang sangat bersinggungan ketika teks-teks tersebut mulai menghasilkan aliran-aliran
filosofisnya sendiri pada abad-abad berikutnya.

Keempat, karena teks-teks yang dicari selama abad kedelapan dan kesembilan telah ditulis
sekitar 700 tahun sebelumnya, dan dalam beberapa kasus bahkan lebih, isi ilmiahnya sudah
usang dalam arti bahwa kesalahan-kesalahannya telah dibesar-besarkan seiring dengan
berlalunya waktu. Sebagai contoh, kesalahan-kesalahan kecil Ptolemeus, yang diakibatkan oleh
perbandingan pengamatannya sendiri dengan pengamatan Hipparchus yang dilakukan sekitar
dua abad sebelumnya, kini telah dibesar-besarkan setelah melewati tujuh abad sebelum
diperiksa kembali di Baghdad pada abad kesembilan. Hanya dari perspektif tersebut kita dapat
memahami mengapa mudah untuk mencatat perbedaan antara hasil-hasil abad kesembilan,
seperti presesi, posisi apogee matahari, dan sejenisnya, dengan hasil-hasil yang ditentukan oleh
Ptolemeus sekitar tujuh abad sebelumnya.

Kelima, hasil-hasil ini, baik yang diperoleh secara langsung dari sumber-sumber Yunani,
maupun yang dimodifikasi oleh pengamatan-pengamatan baru, selalu digunakan dalam
pergulatan yang sedang berlangsung antara para pendukung "ilmu-ilmu kuno", yang klaim
kekuasaannya bergantung langsung pada hasil-hasil baru tersebut, dan para pendukung
orientasi klasik Islam yang klaim kekuasaannya bergantung pada pengetahuan mereka tentang
bahasa Arab. Dan karena persaingan utama antara kedua kelompok ini juga menimbulkan
persaingan lain dengan sesama ilmuwan yang juga berusaha membuktikan relevansi mereka
dengan otoritas politik yang mempekerjakan mereka dalam analisis akhir, maka setiap ilmuwan

129
yang terlibat dalam memperoleh teks-teks Yunani harus khawatir dengan dua kelompok lawan
yang mengintip dari balik bahunya: sesama ilmuwan yang ingin mengklaim otoritas lebih besar
atas teks-teks yang telah mereka dapatkan, dan dengan demikian bersaing untuk mendapatkan
jabatan pemerintahan yang sama, dan lawan yang otoritasnya bersandar pada pengetahuan
mereka akan bahasa Arab yang telah berafiliasi dengan ilmu-ilmu agama di mana hal itu sangat
dibutuhkan. Seperti yang telah kami sebutkan, fenomena ini sendiri dapat menjelaskan
mengapa seseorang seperti al-Hajjaj bin Matar harus memastikan bahwa terjemahannya ditulis
dalam bahasa Arab yang paling baik, agar dapat bersaing dengan mereka yang menguasai
bahasa Arab, dan isinya harus dikoreksi dari segi ilmiah sehingga karyanya lebih baik daripada
karya penerjemah lain yang terkadang hanya menerjemahkan kesalahan-kesalahan dalam teks.
Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa terjemahan Hajjaj bukanlah terjemahan yang pertama,
dan bahwa terjemahannya sudah merupakan perbaikan dari terjemahan yang lebih tua, seperti
yang dikatakan oleh al-Nadim. Lebih jauh lagi, terjemahan ini memiliki lebih sedikit kata yang
diterjemahkan dari bahasa Yunani dibandingkan dengan terjemahan yang diselesaikan sekitar
lima puluh tahun kemudian oleh Ishaq b. Hunain, sebuah indikasi yang jelas bahwa persaingan
linguistik ini telah memudar pada masa Ishaq dan kemudian berubah menjadi persaingan lain
yang didasarkan pada afiliasi etnis dan agama, yang disorot oleh gerakan Shu'ubiya.

Serangan Ghazali di kemudian hari terhadap esensialisme filsafat kausal Yunani juga dapat
dibaca sebagai kelanjutan dari perdebatan terhadap esensialisme Aristotelian yang
mengharuskan bumi tetap di pusat alam semesta, dan kepatuhan yang ketat terhadap alam
semesta kosmologis Aristoteles yang tidak selalu diikuti oleh Ptolemeus. Dengan kata lain,
mereka yang berada dalam peradaban Islam yang melihat karya-karya Aristoteles sebagai
filsafat esensialis yang ketat tidak dapat mentoleransi perbedaan-perbedaan yang ada pada
Ptolemeus dan dengan demikian memprakarsai serangkaian serangan terhadap
penyimpangan-penyimpangannya. Namun, orang-orang yang sama dengan penafsiran
esensialis Aristoteles yang ketat itulah yang dianggap oleh kubu religius yang diwakili oleh
Ghazali sebagai orang yang bertindak terlalu jauh dalam esensialisme mereka dalam isu-isu
kausalitas, misalnya. Jadi, dalam sebuah peristiwa yang ironis, kita dapat mengatakan bahwa
keberatan-keberatan yang diajukan oleh para astronom yang bekerja di wilayah Islam terhadap
astronomi Ptolemeus dimotivasi oleh para astronom puritan Aristoteles yang pada saat yang
sama bertempur dalam pertarungan mereka sendiri dengan para agamawan yang ingin
memahami Aristoteles dengan cara yang lebih santai, hampir sama dengan cara yang sama
dengan cara yang digunakan oleh Ptolemeus dalam memahami Aristoteles.

130
Selain itu, perdebatan yang muncul dalam literatur Shukuk, yang telah kita lihat beberapa
contohnya, dapat dianggap sebagai salah satu ciri dari fenomena yang jauh lebih besar yang
mencakup serangan agama terhadap astrologi Yunani, kesalahan pengamatan, kesalahan
faktual dalam pengobatan, dan lain-lain, di mana disiplin-disiplin ilmu tersebut juga
berkembang di bawah pengawasan ganda dari musuh-musuh dari luar, yang bersaing
memperebutkan sumber-sumber otoritas dan siapa yang berhak mengklaim kepemilikan
sumber tersebut, dan musuh-musuh dari dalam yang bersaing untuk menentukan siapa ilmuwan
yang lebih baik yang dapat memenuhi syarat untuk jabatan pemerintahan.

Dalam lingkungan yang kompleks inilah, disiplin-disiplin baru seperti Hay'a, Miqat, dan
Faraid, muncul untuk memuaskan persaingan dari luar dengan lawan-lawan yang cenderung
ke arah agama, tetapi pada saat yang sama mengukir disiplin-disiplin yang murni independen
dan dapat bersaing dengan disiplin-disiplin tradisional, yang dipromosikan oleh para ilmuwan
dari dalam, sehingga dapat dikatakan demikian. Dalam lingkungan tersebut, ilmu pengetahuan
seperti Hay'a menjadi ilmu pengetahuan yang dapat diterima secara religius, dan pada saat
yang sama menjadi ilmu pengetahuan yang lebih ketat yang menanggung beban serangan
terhadap astronomi Yunani untuk membuktikan ketegasannya dan kedudukan religiusnya yang
baik.

Dalam lingkungan yang sama, kita bisa lebih memahami desakan pada ketelitian ilmiah ini
sebagai motivasi di balik penekanan terus-menerus oleh para penulis Hay'a pada konsistensi
internal ilmu pengetahuan yang telah disebutkan di atas, sebuah penekanan yang menjadi ciri
khas sejarah panjang tradisi Hay'a. Para penulis Hay'a jelas berusaha mempertahankan
keunggulan ganda ini dibandingkan rekan-rekan astronom mereka, seperti penulis zijes
misalnya, dengan tetap lebih ketat dalam persyaratan konsistensi ilmiah mereka dan dengan
tetap dapat diterima secara agama oleh masyarakat luas. Dalam hal ini, mereka mencetak
kesuksesan yang luar biasa karena disiplin ilmu mereka terus diajarkan hingga saat ini, dan
terkadang juga di dalam institusi pendidikan agama itu sendiri.

Setelah kita dapat melihat motivasi ganda untuk menyerang tradisi Yunani, kita berharap
fenomena ini juga memiliki efek yang sama di bidang-bidang lain. Dan ketika kita
mempertimbangkan bidang kedokteran misalnya, kita sampai pada hasil yang sangat mirip.
Kita telah memiliki kesempatan untuk merujuk pada teks Abu Bakar al-Razi di mana ia
menolak teori-teori Galen tetapi juga melanjutkan dan menyusun buku ilmiahnya sendiri yang
ketat tentang perbedaan antara cacar dan campak, sebuah perbedaan yang rupanya tidak
diketahui oleh Galen, terlepas dari protes Razl.

131
Semangat kritis yang sama juga ditunjukkan dalam karya 'Abd al-Latif al-Baghdadi (w.
1293)[90] yang mengunjungi Mesir pada awal abad ke-13 dan yang juga menemukan dirinya
berada pada jalur yang bertabrakan dengan Galen dalam beberapa hal medis. Dalam catatan
perjalanannya ke Mesir, dia menyebutkan bahwa dia telah menemukan poin-poin anatomi
tertentu yang sangat sulit untuk dijelaskan kepada murid-muridnya, dan bagi mereka untuk
memahami poin-poin tersebut, karena secara teori, kata tertulis selalu kurang jelas
dibandingkan dengan pengamatan, atau bahwa "pengamatan selalu jauh lebih kuat daripada
kata-kata" seperti yang dia katakan.[91] Hal ini tidak mengherankan karena pembedahan tidak
biasa dilakukan pada zaman pramodern. Namun, Baghdadi melanjutkan dengan mengatakan
bahwa ia mengambil keuntungan dari wabah yang baru-baru ini menimpa Mesir, dan
mengunjungi bersama murid-muridnya tumpukan kerangka yang masih tergeletak di pinggiran
Kairo. Selama penyelidikan mereka, Baghdadi menceritakan bahwa ia mencatat tulang rahang
kerangka-kerangka tersebut, dan ia menemukan bahwa itu adalah satu tulang, bukan dua tulang,
seperti yang dikatakan Galen. Ia kemudian menceritakan bahwa ia mengulangi pengamatannya
beberapa kali, pada banyak kerangka, dan ia selalu menemukan bahwa itu adalah satu tulang.
Dia kemudian bertanya kepada beberapa orang lain yang juga mengamatinya di hadapannya
dan mereka sendiri dan mereka semua setuju bahwa itu adalah satu tulang. Dia kemudian
berjanji untuk menulis sebuah risalah di mana dia akan menjelaskan perbedaan antara apa yang
dia lihat dan apa yang dia baca di dalam buku-buku Galen. Namun dia terus mengatakan
bahwa dia terus menyelidiki masalah ini di kuburan-kuburan dari berbagai usia untuk melihat
apakah ada jahitan atau perpecahan pada tulang tersebut seiring bertambahnya usia. Dan
sebanyak apapun ia ingin menyelamatkan teks Galen, ia tidak menemukannya.

Dalam contoh lain, Baghdadi yang sama juga melaporkan bahwa penyelidikan awalnya
bertentangan dengan ajaran Galen, namun pengamatan yang dilakukannya berulang-ulang
kemudian mengkonfirmasi teks-teks Galen.

Karya-karya Ibn al-Nafls dari Damaskus (w. 288), yang telah disebutkan sebelumnya,
termasuk dalam kategori yang sama, dalam hal ini mereka menunjukkan kecenderungan untuk
mencoba menyelamatkan teks-teks Yunani dari kebodohan mereka sendiri, sehingga bisa
dikatakan, mereka harus menolaknya ketika ada bukti yang lebih baik tentang kesalahan
mereka. Penemuan Ibn al-Nafls tentang sirkulasi darah paru yang lebih kecil berasal dari tradisi
yang sama dengan Razl dan Baghdadi, dan mewakili pemberdayaan yang pasti dirasakan oleh
para ilmuwan di wilayah Islam ketika mereka mulai memperhatikan pemaparan serangkaian

132
kesalahan dalam teks-teks ilmiah Yunani klasik, dan ketika mereka mulai mempercayai apa
yang mereka lihat dengan mata kepala sendiri.

Disiplin ilmu lain juga mengalami transformasi yang sama, di mana mereka berhasil
membersihkan kesalahan-kesalahan dari tradisi Yunani, jika memungkinkan, tetapi juga
melangkah lebih jauh dengan menempa wilayah baru mereka sendiri yang tidak diketahui oleh
para penulis Yunani. Secara khusus, disiplin matematika tampaknya telah menerima dorongan
yang sangat menarik menjelang abad keenam belas ketika hubungannya dengan astronomi
akhirnya dipahami dengan benar di tangan seseorang seperti Khafri (w. 1550) yang akhirnya
dapat melihat bahwa matematika hanyalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk
menggambarkan fenomena fisik, dan bahwa matematika tidak menyimpan kebenaran itu
sendiri.

Satu-satunya kritik astronomi yang tidak disinggung secara rinci dalam tinjauan umum ini
adalah kritik yang tersirat dalam berbagai upaya generasi astronom yang berusaha mereformasi
astronomi Ptolemeus dengan membangun model matematika baru yang dapat menggambarkan
realitas pengamatan, dan dasar-dasar filosofis alam teoretis dengan cara yang lebih koheren dan
konsisten. Hal ini akan dieksplorasi dalam bab ini, yang akan mensurvei model-model
non-Ptolemeus seperti yang telah dijanjikan.

Peradaban Islam tampaknya tidak menghasilkan kritik astronomi yang ketat seperti yang akan
mempertanyakan dasar-dasar filosofis alamiah astronomi Yunani. Meskipun beberapa
kosmologi yang diilhami oleh agama memang berbicara tentang hal tersebut, namun tidak ada
astronom yang saya kenal yang mengadopsi pandangan-pandangan ini atau berusaha
menafsirkan implikasi astronomi dari kosmologi tersebut. Penolakan terakhir terhadap
kosmologi Aristoteles terjadi di akhir sejarah astronomi, dan hanya setelah melalui perjuangan
panjang dan berat yang diprakarsai oleh ilmu pengetahuan modern di bawah kondisi yang sama
sekali berbeda dengan kondisi yang ada di peradaban Islam.

133
4. Astronomi Islam Mendefinisikan Dirinya
Sendiri: Inovasi-inovasi Kritis

Setelah kita melihat reaksi-reaksi yang muncul dari pertemuan dengan sains Yunani dalam
peradaban Islam, kita bisa lebih memahami konteks perkembangan astronomi yang terjadi,
ketika kita terus menggunakan astronomi sebagai contoh untuk disiplin ilmu lain yang pasti
mengalami transformasi serupa. Dalam astronomi, reaksi yang muncul, di semua tingkatan,
berkisar dari koreksi sederhana terhadap apa yang dianggap sebagai kesalahan dalam teks,
seperti yang dilakukan oleh al-Hajjaj dalam kasus Almagest, mengoreksi parameter dasar
dengan pengamatan baru, seperti dalam kasus penentuan ulang nilai presesi dan kemiringan
ekliptika yang lebih baik, hingga mengkritik metode pengamatan, seperti yang dilakukan dalam
kasus metode fu iil, dan akhirnya meragukan keandalan dasar-dasar tradisi astronomi Yunani
itu sendiri yang tampaknya menyalahi prinsip-prinsip yang menjadi dasarnya.

Semua perkembangan ini, ketika digabungkan dengan pengawasan yang sangat ketat dari
kelompok-kelompok yang bersaing yang telah kita bicarakan sebelumnya, baik dari dalam
profesi maupun dari luar, menghasilkan sikap skeptis terhadap tradisi yang masuk. Sikap ini
dengan sendirinya mendorong para astronom untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
lebih dalam dan lebih dalam lagi ketika mereka terus meneliti tradisi Yunani ini dalam
penelitian mereka sendiri. Dalam lingkungan seperti ini, menjadi mudah untuk memahami
mengapa para astronom yang kompeten dan baik tidak dapat terus mempraktikkan astronomi
dengan hanya menerima tradisi astronomi Yunani begitu saja. Mereka harus bersaing dengan
membuktikan bahwa mereka dapat mencapai hasil yang lebih baik daripada yang dicapai oleh
orang-orang Yunani dan yang terus menerus dikritik pada saat itu.

Ini tidak berarti bahwa sumber-sumber astronomi Yunani menghasilkan kesalahan yang sangat
besar sehingga tidak dapat lagi digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan duniawi
yang sederhana seperti meramal bintang atau sejenisnya. Namun, hal ini berarti bahwa

134
astronom profesional, sejak masa Abbasiyah awal, tidak dapat lagi bertahan dalam persaingan
jika ia membatasi diri pada pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti itu. Para astronom yang
serius harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih rumit mengenai kesesuaian
konfigurasi astronomi Ptolemeus yang diusulkan dalam memperhitungkan pengamatan di satu
sisi, dan dalam mewujudkan sistem kosmologi Aristoteles yang berlaku di sisi lain. Bagi
mereka, tidak lagi cukup untuk menemukan posisi planet-planet pada suatu waktu untuk tujuan
meramal horoskop atau hal-hal semacam itu, tetapi mereka harus mengetahui bagaimana
planet-planet bergerak, apa yang menyebabkan gerakan mereka, mengapa mereka tampak
mengalami berbagai macam perilaku yang tidak beraturan, dan bagaimana cara
memperhitungkannya, semuanya dalam asumsi alam semesta yang terdiri dari bola-bola yang
semuanya bergerak di tempat dengan kecepatan yang seragam seperti yang telah ditentukan
oleh Aristoteles. Pada tingkat keseriusan seperti ini, astronomi Ptolemeus ternyata sangat
kekurangan.

Dengan karya Muhammad bin Musa bin Shakir, selama paruh pertama abad kesembilan,
mengenai sifat-sifat dan diterimanya keberadaan bola kesembilan, panggung telah disiapkan
untuk melakukan perombakan total terhadap seluruh bangunan astronomi Yunani. Ketika
ditemukan kemudian, seperti yang telah kita lihat dengan kritik dari Ibn al-Haitham, bahwa
fondasi fisik dari konfigurasi Ptolemeus tidak sesuai dengan representasi matematis yang
ditawarkan oleh Ptolemeus, motivasi untuk mereformasi keseluruhan astronomi tersebut
menjadi sebuah keharusan dan bukannya sebuah pilihan. Hanya para ahli astrologi yang
berpraktik yang dapat memuaskan diri mereka sendiri, jika mereka mau, dengan menggunakan
Tabel Praktis Ptolemeus, misalnya, untuk menghitung posisi planet yang mereka perlukan
untuk ramalan horoskop mereka. Tetapi para astrolog itu sendiri berada di bawah pengawasan
masyarakat luas, meskipun kemampuan mereka untuk terus berfungsi, dan masih mencoba
untuk membuat diri mereka berguna bagi masyarakat tersebut. Bahkan kemudian, mereka juga
harus membutuhkan tabel astronomi yang lebih baik dan lebih baik lagi (zijes) untuk pekerjaan
mereka, karena parameter-parameter lama dari tabel Ptolemeus terus dikoreksi seiring
berjalannya waktu. Namun, secara sosial, tidak ada astronom yang memiliki harga diri yang
mau mengenakan pakaian astrolog, jika ia bisa membantu. Ini terlepas dari fakta bahwa
beberapa dari mereka melakukannya. Sementara yang terbaik dari mereka ingin
mengasosiasikan diri mereka dengan tradisi kritis yang mulai meningkat sejak dekade awal
abad kesembilan. Yang terakhir ini harus memberikan nama baru untuk disiplin yang mereka

135
praktikkan (disiplin 'ilm al-hay'a), karena mereka tidak ingin diasosiasikan dengan sosok yang
lebih rendah dari seorang ahli perbintangan.

Lingkungan inilah yang memotivasi penelitian astronomi Islam yang baru. Misi utamanya,
seperti yang dinyatakan kemudian oleh Mu'ayyad al-Din al-'Urdi (w. 1226) dari Damaskus,
salah satu astronom terkemuka dalam tradisi tersebut, adalah untuk menciptakan astronomi
yang tidak memiliki kekurangan kosmologis seperti yang dimiliki astronomi Ptolemeus, yang
dapat menjelaskan hasil pengamatan sebaik astronomi Ptolemeus, bahkan lebih baik lagi, dan
tidak membatasi diri hanya pada kritik terhadap Ptolemeus saja, meskipun ada banyak
keuntungan yang diperoleh dari kritik yang mendetil terhadap kesalahan-kesalahan yang
dilakukan Ptolemeus. Kebutuhan mendesak akan bentuk astronomi ilmiah yang lebih tinggi ini
hampir dirasakan oleh semua astronom serius yang karya-karyanya baru kita ketahui baru-baru
ini, dan yang membentuk tradisi berkelanjutan yang diresmikan pada awal abad kesembilan
dan terus berlanjut hingga abad keenam belas. Satu demi satu astronom menganggap serius
pernyataan Ibn al-Haitham yang menyatakan bahwa harus ada teori astronomi, atau dalam
bahasanya konfigurasi astronomi (hay'a), yang dapat menjelaskan pengamatan yang dilakukan
di dunia fisik nyata tanpa harus merepresentasikan dunia tersebut dengan seperangkat
garis-garis dan lingkaran-lingkaran khayal sebagaimana yang dilakukan oleh Ptolemeus.2 Kita
dapat mendengar mereka semua mengulangi: jika dunia ini nyata, terdiri dari bola-bola nyata,
seperti yang dikatakan oleh Aristoteles, maka biarlah dunia ini direpresentasikan dengan model
matematika yang tidak bertentangan dengan realitas fisik tersebut.

Pada tingkat yang lebih biasa, ketika itu adalah masalah memeriksa ulang pengamatan yang
akan menjelaskan perilaku dunia fisik nyata, atau yang akan membantu membangun
pengamatan yang akan digunakan sebagai blok bangunan representasi teoritis, itu harus
dianggap serius juga. Itulah sebabnya kita dapat mendokumentasikan beberapa upaya untuk
memeriksa ulang nilai-nilai parameter dasar, seperti yang telah kita lihat, atau untuk memulai
seluruh diskusi tentang metode observasi yang optimal seperti yang telah kita lihat, atau untuk
memulai bidang baru dalam menyempurnakan instrumen observasi atau menciptakan yang
baru ketika ada kebutuhan untuk itu. Kegiatan-kegiatan ini terus berlangsung seiring dengan
berkembangnya tradisi astronomi. Kajian-kajian dari karya-karya Khujandi yang masih ada
mengenai instrumen-instrumen yang lebih besar, dan dengan demikian lebih presisi, atau
kajian-kajian 'Urdi mengenai pembangunan instrumen-instrumen observatorium Maragha, di
antara yang lainnya, berbicara dengan tepat mengenai konsep-konsep seperti itu. Namun,

136
apakah yang sebenarnya salah dengan astronomi Ptolemeus sehingga memunculkan semua
diskusi tersebut?

Masalah-masalah dalam Astronomi Ptolemeus

Bisa dikatakan bahwa Ptolemeus melihat alam semesta astronomi dengan empat cara yang
berbeda: Alam semesta yang sepenuhnya terdiri dari bola-bola Aristoteles yang dapat
dijelaskan dengan bahasa yang sama dengan yang digunakan dalam Hipotesis Planet, atau
sebuah dunia komplementer yang terbentuk dari bola-bola yang sama dan diwakili oleh model
matematika prediktif yang lebih akurat seperti yang dilakukan dalam Almagest, atau bahwa itu
adalah dunia yang telah ditentukan dan perilakunya ditabulasikan seperti yang dilakukan dalam
Tabel-Tabel Praktis, atau dunia yang terus-menerus berada di bawah belas kasihan bola-bola
langit yang berputar yang mengatur dunia perubahan di wilayah sublunar tempat kita hidup,
seperti yang dilakukan dalam Tetrabiblos.

Bagi para astronom yang bekerja di peradaban Islam, alam semesta Tabel Praktis tidak
memberikan banyak tantangan, karena yang perlu dilakukan adalah memperbaiki
kesalahan-kesalahan dalam Tabel Praktis dengan pengamatan baru setiap kali menentukan
posisi planet untuk setiap waktu dan tempat. Parameter baru bisa digunakan, seperti yang
dilakukan oleh generasi penulis zij yang terus memperbarui Tabel Praktis. Kadang-kadang
mereka menambahkan konsep-konsep baru yang tidak dikenal dalam tradisi Yunani yang
membutuhkan tabel-tabel tersendiri, seperti tabel untuk visibilitas bulan, atau tabel untuk waktu
salat, atau arah kiblat, dan lain-lain, yang dibutuhkan oleh agama baru Islam dan bahkan tidak
terpikirkan oleh orang seperti Ptolemeus. Dalam kasus-kasus seperti itu, persyaratan Islam
yang baru ditetapkan untuk menemukan waktu dan lokasi terbaik untuk visibilitas bulan lebih
terinspirasi oleh praktik keagamaan daripada keingintahuan ilmiah atau kebutuhan astronomi.
Dan dalam kasus-kasus seperti itulah pemikiran keagamaan akan memunculkan pemikiran
ilmiah dan sains dapat menjadi pelayan agama, seperti yang akan kita lihat di bawah ini.

Deskripsi Ptolemeus yang kedua tentang dunia, yang tercermin dalam Tetrabiblos, dengan
cepat ditemukan terlalu umum untuk digunakan oleh para ahli astrologi. Karena meskipun
Tetrabiblos memberikan analisis yang cukup canggih tentang bagaimana bola dan planet-planet
Aristoteles memberikan pengaruhnya terhadap wilayah sublunar, Tetrabiblos tidak
memberikan petunjuk terperinci tentang bagaimana menerjemahkan analisis teoritis tersebut ke
dalam nujum praktis yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu pada waktu-waktu

137
tertentu. Oleh karena itu, buku-buku yang lebih spesifik harus dikembangkan untuk menutupi
kekurangan tersebut. Buku Birunl tentang Elemen-elemen Astrologi adalah sebuah karya
agung dalam hal ini,[6] demikian pula buku-buku dari berbagai astrolog yang mencoba
pendekatan yang lebih langsung pada subjek ini, seperti Pengantar Astrologi karya Abu
Ma'shar.[7]

Namun, buku-buku Ptolemeus yang paling banyak menimbulkan masalah bagi para astronom
peradaban Islam adalah Planetary Hypotheses dan Al-magest. Meskipun kedua buku tersebut
saling melengkapi satu sama lain, namun keduanya saling bertentangan dalam hal menjelaskan
kosmologi Aristoteles dengan cara yang lebih sistematis. Dari perspektif tersebut, Hipotesis
Planet berbicara langsung pada sistem bola-bola fisik, kurang lebih sesuai dengan bola-bola
Aristoteles, sementara Al-magest berbicara tentang lingkaran-lingkaran yang mewakili
bola-bola, dan dengan demikian hanya secara implisit mengakui bola-bola Aristoteles. Namun,
kedua buku tersebut berbicara tentang ketidakmungkinan fisik seperti equants dan sejenisnya.
Ketidakmungkinan dan ketidakmasukakalan yang bertentangan dengan kosmologi Aristoteles
itulah yang paling tidak disukai.

Bukan berarti para astronom yang bekerja di peradaban Islam terpikat oleh kosmologi
Aristoteles dan ingin menyelamatkannya dengan cara apa pun.[8] Melainkan karena mereka
melihat di dalam kedua buku tersebut indikasi-indikasi yang jelas tentang asumsi-asumsi
Aristoteles tentang komposisi alam semesta dan bagian-bagian penyusunnya, tetapi mereka
tidak dapat melihat gambaran-gambaran deskriptif tentang alam semesta tersebut, sebagaimana
yang dilakukan di dalam Almagest, yang benar-benar melakukan keadilan terhadap ilmu
astronomi itu sendiri. Ketika orang membaca kedua buku tersebut, dan mereka jelas
membacanya bersama-sama, seperti yang telah kita sebutkan di berbagai kesempatan
sebelumnya, atau ketika mereka membaca dengan seksama asumsi-asumsi yang mendasari
seperti yang diungkapkan dalam Almagest dengan terlalu serius, apa yang mereka lihat adalah
bidang yang telah menerima seperangkat premis kosmologis Aristoteles, tetapi melanjutkan
dan berbicara tentang premis-premis itu dalam bahasa yang bertentangan dengan esensinya.
Sebagai contoh, mereka melihat Ptolemeus berbicara tentang bola-bola Aristoteles sebagai
elemen-elemen penyusun alam semesta, dan kemudian berbalik dan merepresentasikan
bola-bola itu dengan bola-bola matematis yang sifat-sifatnya akan menghilangkan sifat
kebulatannya. Kontradiksi-kontradiksi mendasar seperti inilah yang dianggap mengurangi
dasar ilmiah astronomi, dan dalam kondisi apa pun para astronom yang serius tidak dapat
menerima kontradiksi-kontradiksi tersebut.

138
Berikut ini saya hanya menyoroti fitur-fitur utama dari kemustahilan-kemustahilan tersebut,
dan mengikutinya dengan deskripsi pendekatan-pendekatan inovatif yang dilakukan oleh para
astronom peradaban Islam untuk mengubah, jika memungkinkan, atau menciptakan
alternatif-alternatif bagi astronomi Ptolemeus yang diimpor.[9]

Gerak Matahari Dalam kasus matahari, Ptolemeus mencatat bahwa jika pengamat benar-benar
berada di pusat alam semesta Aristoteles, seperti yang disyaratkan oleh kosmologi Aristoteles,
maka kita akan memiliki hari yang sama secara rutin sepanjang tahun, tidak akan ada musim,
dan matahari akan mengulangi jalurnya mengelilingi kita hari demi hari. Namun, kenyataan
yang teramati tidak seperti itu. Untuk menjelaskan kenyataan tersebut, Ptolemeus
pertama-tama menentukan parameter dasar, seperti lamanya satu tahun matahari, dan kemudian
mengajukan salah satu dari dua solusi untuk gerakan matahari yang sebenarnya. Ia menyatakan
bahwa matahari dibawa oleh sebuah bola eksentrik, yang pusatnya tidak sama dengan pusat
Bumi, seperti yang ingin ditegaskan oleh Aristoteles, atau bahwa matahari dibawa oleh sebuah
bola lain yang jauh lebih kecil-yang disebut episentrum-yang pada gilirannya dibawa oleh
sebuah bola lain yang konsentris terhadap Bumi (gambar 4.1).

Dalam Buku IIIAlmagest , Ptolemeus memastikan terlebih dahulu bahwa kedua alternatif
tersebut masih dapat menjelaskan pengamatan dengan cukup baik, dan dengan cepat beralih ke
karya Apollonius (sekitar 200 SM) yang sebelumnya yang pada kenyataannya membuktikan
bahwa kedua deskripsi gerak ini dapat diwakili oleh konfigurasi yang secara matematis
ekuivalen dalam segala hal. Oleh karena itu, seseorang tidak perlu memilih salah satu di antara
keduanya, jika tujuannya hanya untuk memperhitungkan pengamatan. [10] Dengan kata-katanya
sendiri, "tugas dan tujuan matematikawan seharusnya adalah untuk menunjukkan semua
fenomena surgawi yang direproduksi oleh gerakan melingkar yang seragam,[11] dan bahwa
bentuk tabel yang paling tepat dan cocok untuk tugas ini adalah yang memisahkan
gerakan-gerakan seragam individu dari gerakan-gerakan tidak seragam [anomali] yang [hanya]

139
tampak terjadi, dan (pada kenyataannya) disebabkan oleh model-model melingkar;
tempat-tempat yang tampak dari tubuh-tubuh itu kemudian ditunjukkan dengan kombinasi dari
dua gerakan ini menjadi satu."[12]

Terlepas dari kenyataan bahwa gerakan matahari yang sebenarnya dapat direpresentasikan
dalam bentuk tabel, baik dalam hal gerak rata-rata maupun gerak anomali, masalahnya masih
terletak pada jenis gerakan bola yang menjelaskan gerakan yang diamati. Jelas, desakan
Ptolemeus pada gerak seragam di sini tidak dapat disangkal. Karena ia tidak dapat pada saat
yang sama mengikuti kosmologi Aristoteles dan membiarkan salah satu dari bola-bola tersebut
bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda sesuai keinginannya. Dan jika ada yang lupa,
dalam Buku III, 3 dari Almagest, dia menjadikan gerakan seragam ini sebagai prinsip panduan
umum astronominya dalam istilah berikut: "Tetapi pertama-tama kita harus membuat poin
umum bahwa perpindahan ke belakang planet-planet sehubungan dengan langit, dalam setiap
kasus, sama seperti gerakan alam semesta sebelumnya, pada dasarnya seragam dan
melingkar."[13]

Jika Ptolemeus berbicara, seperti yang terlihat jelas, tentang bola-bola Aristoteles yang
bergerak secara seragam di tempatnya, maka kedua alternatif yang ia ajukan untuk gerakan
matahari juga memiliki pertimbangan-pertimbangan Aristoteles yang lain seperti yang telah
kita lihat sebelumnya: Pertama, model eksentrik Ptolemeus, akan mengusulkan bahwa ada
sebuah pusat gravitasi di alam semesta di mana benda yang paling jelas terlihat, matahari, akan
bergerak, yang berbeda dengan bumi yang dianggap oleh Aristoteles sebagai pusat gravitasi
yang sempurna. Hal ini bertentangan dengan semua asumsi Aristoteles tentang komposisi alam
semesta, dan tentang perlunya memiliki Bumi sebagai pusat alam semesta, tidak hanya sebagai
pusat gravitasi yang secara alamiah akan menarik atau menjauhi semua elemen lain, tetapi juga
sebagai pusat tetap bola alam semesta yang sama pentingnya dengan pusat tetap lainnya pada
bola matematis yang berputar.

Alternatif kedua, model episentris, juga mengasumsikan keberadaan sebuah bola, di alam
semesta, yang memiliki pusat gravitasi yang relatif tetap, yang berbeda dengan alam semesta,
dan dengan demikian akan membuat elemen eter, yang darinya semua benda-benda angkasa
dibuat, menjadi elemen yang kompleks dan bukan elemen sederhana seperti yang didefinisikan
oleh Aristoteles.

Ini adalah kontradiksi-kontradiksi nyata yang memunculkan diskusi-diskusi abad pertengahan


tentang eksentrik dan epik, dan tentang ketidaksukaan mereka secara umum, yang telah kami

140
sebutkan. Dan seperti yang telah kita lihat, hal ini membuat Ibn al-Shatir (w. 1375) dari
Damaskus jengkel sehingga ia berusaha menyelesaikannya, seperti yang akan kita ulangi di
bawah ini. Adapun Ptolemeus, dan meskipun ia bersikeras pada fitur Aristotelian tentang gerak
seragam, ia tetap diam sama sekali pada pertimbangan-pertimbangan Aristotelian lainnya.
Bahkan, dia melanjutkan seolah-olah tidak ada yang salah dan melanjutkan untuk menilai
kelebihan masing-masing dari dua model sehubungan dengan kriteria kesederhanaan. Dari
sudut pandang tersebut, ia menilai model eksentrik lebih sederhana karena melibatkan satu
gerakan, bukan dua gerakan.[14] Sejauh yang ia ketahui, alasan instrumental ini sudah cukup
untuk membuatnya lupa sementara bahwa ada syarat-syarat Aristoteles yang harus dipenuhi.

Pada kenyataannya, situasinya menjadi lebih buruk ketika ia melanjutkan. Karena meskipun ia
dapat menawarkan dua pilihan untuk kasus gerakan matahari, baik yang eksentrik maupun
yang episiklik, ketika menyangkut planet-planet lain, ia tahu betul bahwa ia tidak lagi memiliki
pilihan ini. Ia harus menggunakan eksentrik dan episiklik untuk menjelaskan gerakan mereka
yang lebih kompleks. Tanpa merujuk pada kosmologi Aristoteles, atau ingatan apapun bahwa
itu adalah kosmologi yang menjadi pedomannya sejak awal, ia melanjutkan dengan
mengatakan: " . . . untuk benda-benda yang menunjukkan anomali ganda, kedua hipotesis di
atas [yang berarti eksentrik dan episentrik] dapat digabungkan, seperti yang akan kita buktikan
dalam diskusi kita tentang benda-benda tersebut. . . . "[15]

Meskipun ia memiliki alasan pedagogis tersendiri untuk melakukan hal tersebut, Ptolemeus
melanjutkan dengan membahas gerakan bulan sebelum membahas gerakan planet-planet
lainnya. Mungkin perlu disebutkan pada titik ini bahwa Ptolemeus mengelompokkan
planet-planet berdasarkan model matematika prediktif yang ia rancang untuk gerakan mereka,
tentu saja dengan mengabaikan kosmologi Aristoteles seperti yang baru saja kita lihat.
Akibatnya, ia memperlakukan gerakan matahari, bulan, dan merkurius, secara terpisah dan
dengan model yang terpisah untuk masing-masing, dan kemudian mengelompokkan
planet-planet "atas" lainnya, Saturnus, Yupiter, Mars, dan Venus bersama-sama dan
menggambarkan gerakan mereka dengan satu model. Lebih jauh lagi, dalam pengaturan akhir
penyajian model-modelnya, ia juga harus meninggalkan prinsip kesederhanaan dan menyajikan
model-model tersebut dengan urutan sebagai berikut: matahari, bulan, planet-planet bagian atas,
dan merkurius.

Untuk tujuan mengilustrasikan masalah kosmologi Aristotelian yang mendasari model-model


ini, saya akan menggunakan kembali prinsip kesederhanaan dan melanjutkan untuk

141
mengekspos masalah-masalah pada model planet-planet besar, sebelum saya beralih ke model
bulan dan merkurius.

Gerakan Planet-planet

Gerakan planet-planet bagian atas Saturnus, Yupiter, Mars, dan Venus, yang dijelaskan dalam
Buku IX Almagest dan dikelompokkan dalam IX, 6, dapat diringkas secara singkat sebagai
berikut (gambar 4.2): Masing-masing planet atas seharusnya dibawa oleh sebuah epicycle,
yang melekat padanya dengan cara yang sama seperti mahkota yang melekat dan dibawa oleh
cincin, untuk menggunakan deskripsi abad pertengahan.

Epicycle itu sendiri dibawa dalam cangkang dan oleh sebuah Model Ptolemy untuk
planet-planet atas. Pengamat sudah tepat sasaran. Planet P dilakukan pada sebuah epicycle
dengan pusat C,yang pada gilirannya dibawa oleh yang bertahan dengan pusat T.Perhatikan
bahwa deferen berputar secara seragam di sekitar equant E dan bukan di sekitar pusatnya
sendiri bola eksentrik yang berbeda,di sini diwakili oleh lingkaran sederhana yang berpusat.
Masing-masing bidang tersebut bergerak secara seragam untuk memperhitungkan gerakan
anomalistik dan gerakan rata-rata. Namun agar dapat memperhitungkan pengamatan dengan
benar, Ptolemy harus berasumsi bahwa bola pembawa yang berbeda tidak bergerak secara
seragam di sekitar pusatnya T, atau di sekitar Bumi yang berada di pusatnya.0alam semesta
masih, tetapi di sekitar titik lain E, yang kemudian disebutmereka setara titik, atau pusat
penyeimbang gerak bila digambarkan oleh Ptolemeus sebagai bola. Tanpa bukti apa pun,
Ptolemy melanjutkan dengan menetapkan bahwa titik ekuant terletak jauh dari pusat deferen,
dengan jarak yang sama dengan jarak pusat deferen itu sendiri yang dipindahkan dari pusat
alam semesta, dan pada sisi yang berlawanan. . Itu adalah eksentrisitas OT sama dengan T.16

142
Dengan pengaturan ini, gerak seragam yang berbeda di sekelilingnyamereka
setaramemperhitungkan gerak rata-rata planet, dan gerak epcyyle di sekitar pusatnya
menyebabkan gerak anomalistik, dan dengan demikian fenomena tersebut cukup
terselamatkan.

Namun dari perspektif Aristotelian, model prediksi baru untuk posisi planet-planet ini tidak
hanya melanggar anggapan Aristotelian sekali dengan penerapan bola eksentrik, tetapi dua kali
dengan penerapan bola episiklik juga. Bahkan lebih dari itu melanggar, dengan cara yang
sangat serius, sifat matematis sebuah bola. Dengan asumsi baru Ptolemy bahwa mungkin ada
bola fisik yang dapat bergerak secara seragam, di tempat, mengelilingi sumbu yang tidak
melewati pusatnya, menjadi sangat jelas bahwa asumsi yang sama akan mengharuskan kita
untuk sepenuhnya meninggalkan konsep matematika. bola dan sifat-sifatnya yang menentukan.
Satu-satunya sumbu di mana bola fisik dapat bergerak secara seragam di tempatnya adalah
sumbu yang harus melewati pusat bola yang tetap; kalau tidak, ia tidak bisa tetap di tempatnya.

Sekalipun Ptolemeus dapat memenuhi syarat-syarat Aristoteles dengan menghindari bola


eksentrik dan menjelaskannya melalui episiklus yang lain, seperti yang ia lakukan pada kasus
matahari, dan bahkan jika ia mengizinkan dirinya sendiri untuk melakukan hal tersebut.

menggunakan epicycles, yang mungkin bertentangan dengan konsep Aristotelian tentang


kesederhanaan unsur eter, seperti yang dilakukan kemudian oleh Ibn al-Shatir dari
Damaskus(1375),misalnya, masih ada persyaratan bahwa setiap bidang fisik dapat bergerak
secara formal di sekitar sumbu yang tidak melewati pusatnya akan membuat keberadaan bola
seperti itu secara fisik tidak mungkin terjadi. Dan sebagaimana dinyatakan dengan jelas oleh
Ibn al-Haitham kemudian, dan telah dikutip sebelumnya, kita tidak hidup dalam sebuah dunia
imajiner di mana bidang-bidang seperti itu mungkin hanya ada dalam pikiran, tetapi dalam
dunia nyata yang pergerakannya harus diperhitungkan.

Sisi positifnya, konfigurasi Ptolemy, meskipun secara fisik tidak masuk akal, masih dapat
menjelaskan dengan baik pergerakan longitudinal planet-planet. Hal ini dapat menjelaskan
pergerakan harian planet-planet dari barat ke timur, yaitu berlawanan dengan arah pergerakan
harian utama langit, dan searah dengan urutan menaik dari tanda-tanda zodiak Aries, Taurus,
Gemini, dll., sebagai akibat dari gerak rata-rata planet itu sendiri. Gerak khusus suatu planet,
kata gerak anomalistik, terjadi secara seragam pada episiklusnya sendiri, dan dapat
menjelaskan gerak maju dan mundur planet serta memperhitungkan stasiun-stasiun di
antaranya. Kondisi positif ini, jika digabungkan dengan kemampuan model untuk memprediksi

143
posisi planet secara akurat, pada masanya, dapat memenuhi prediksi astrologi dan sejenisnya.

Di sisi negatifnya, absurditas konsep equant, dalam bidang fisik, mengubah model ini menjadi
bahan perdebatan yang harus diambil oleh setiap astronom serius hingga dan termasuk
Copernicus.

Gerakan Bulan

Dalam kasus bulan, model Ptolemy menjadi lebih rumit, dan bahkan lebih absurd dibandingkan
dua model matahari dan planet yang telah dibahas sebelumnya. Untuk memperhitungkan gerak
bulan yang dapat diamati, beserta variasi posisi gerhana, gerak semu bulan pada episiklusnya
tanpa mengalami gerak mundur, dan variasi ukuran episiklus yang terlihat oleh pengamat. di
Bumi, ia tidak mungkin menjelaskan semua variabel tersebut dengan model yang relatif
sederhana seperti model matahari atau planet. Sebaliknya ia memperkenalkan "bola simpul"
(gambar 4.3) sebagai bola yang menelan bulan dan membuatnya konsentris dengan Bumi. Dia
menjadikan bola ini bertanggung jawab atas pergerakan bola lain di dalamnya yang dia sebut
deferent, yang pada gilirannya bersifat eksentrik terhadap Bumi. Dia membuat bola simpulnya
bergerak dari timur ke barat, sedangkan bola yang tertelan menyimpang ke arah yang
berlawanan. Bulan akhirnya digerakkan langsung oleh sebuah epicycle yang terbawa dalam

cangkang deferen tetapi bergerak ke arah yang berlawanan dengan arah deferen.

Namun untuk menciptakan variasi ukuran epicycle khususnya dari ketika bulan menjauh

144
matahari sebesar 90°, Ptolemeus membuatModel Ptolemeus untuk bulan dimana bola menelan
yang menggerakkan simpul-simpul serta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya berpusat
pada Bumi pada0.Bola yang berbeda, dengan pusat F,digerakkan oleh bola yang menelan dari
timur ke barat sehingga titik puncaknya bergerak ke suatu titik A.Deferen yang membawa
epicycle di dalam cangkangnya, di sini diwakili oleh lingkaran deferent itu sendiri, bergerak ke
arah yang berlawanan untuk membawa pusat epicycle ke titik C.Perhatikan bahwa gerak
seragam yang berbeda diukur di sekitar pusat alam semesta0,yang berarti bahwa ia tidak
bergerak secara seragam mengelilingi pusatnya F,sehingga menghasilkan konsepnya sendiri
yang mirip equant. Sekarang epicycle bergerak dengan gerakan anomalistiknya sendiri ke arah
yang sama dengan bola yang menelan. Namun gerak anomalinya diukur dari perpanjangan
garis yang menghubungkan pusat epicycle C ke titik prosneusis yang selalu bergerak N.Lebih
lanjut, perhatikan bahwa jarak pusat episiklik dari Bumi, ketika episiklus berjarak 90° dari
matahari berarti hampir setengah jarak yang akan ditempuh ketika pusat episiklik berada dalam
konjungsi atau berlawanan dengan matahari. Artinya, seperempat bulan akan terlihat dua kali
lebih besar dari bulan purnama, dan hal ini jelas tidak benar.

Pergerakan yang berbeda-beda secara seragam di sekitar pusat Bumi, bukan di sekitar pusatnya,
sehingga kembali menciptakan masalah serupa yang serupa dengan yang dihadapi
planet-planet atas. Lebih jauh lagi, dan untuk memperhitungkan anomali bulan yang kedua, ia
menetapkan bahwa gerak bulan pada episiklusnya harus diukur dari garis yang dimulai dari
suatu titik,N pada diagram, yang terletak berlawanan secara diametris dari pusat deferen, F
pada diagram, terhadap Bumi, dan pada jarak yang sama dari Bumi dengan pusat deferen,
tetapi berlawanan arah. Intinya disebut prosneusis titik (nuqtat al-mulzaidit) dan garis yang
menghubungkannya dengan pusat epicycle, bila diperpanjang hingga keliling epicycle,
merupakan titik awal anomali bulan yang sebenarnya. Perlu diperhatikan di sini bahwa poin
prosneusis ini N ia sendiri berada dalam gerak konstan karena ia selalu ditentukan oleh
lokasinya yang berlawanan secara diametris dari pusat gerak F yang berbeda. Artinya, ia hanya
simetris terhadap pusat yang berbeda terhadap pusat alam semesta. Dengan demikian, garis
yang menghubungkan titik prosneusis ke pusat epicycle berosilasi bolak-balik dari garis yang
menghubungkan pusat epicycle ke pusat tetap alam semesta dan tidak pernah menyelesaikan
revolusi penuh. Gerakan osilasi ini juga dianggap tidak pantas, karena menurut Aristoteles,
tidak boleh ada gerakan non-lingkaran di langit, dan dengan demikian semua revolusi harus
diselesaikan.

Namun, karena alasan yang sangat penting, model mirip engkol ini dapat mengakomodasi

145
penanggalan pengamatan dengan cukup baik, sejauh menyangkut garis bujur bulan. Tapi gagal
total ketika menyangkut ukuran bulan. Jika ditanggapi dengan serius, dan dengan
pengoperasiannya yang seperti engkol, model tersebut mengharuskan bulan ditarik sangat
dekat dengan Bumi ketika jaraknya 90° dari matahari rata-rata. Oleh karena itu, jarak bulan
dari Bumi pada saat itu akan menjadi hampir setengah jarak bulan purnama atau bersamaan
dengan matahari. Artinya, bagi seorang pengamat yang berada di Bumi, ketika bulan berada
pada seperempat bulan, maka bulan akan terlihat dua kali lebih besar dibandingkan saat bulan
purnama. Aspek prediksi model ini jelas tidak benar, dan kemudian dijelaskan oleh Ibn
al-Shatir sebagai hal yang tidak dapat dipertahankan karena bulan tidak pernah terlihat seperti
itu. (lam yuri kadhalik).

Selanjutnya, sejak posisi tersebut prosneusis titik itu sendiri ditentukan oleh posisi berlawanan
secara simetris dari pusat yang berbeda di sisi lain bumi, dan karena pusat itu sendiri adalah
bergerak mengelilingi Bumi melalui bola yang mengelilingi titik-titik tersebut, yang berarti
baik pusat deferen maupun titik prosneusis, yang bergantung padanya, berada dalam gerakan
yang konstan. Ini juga berarti bahwa garis yang menghubungkan titik prosneusis ke pusat pusat
epicycle tidak lagi tetap seperti yang baru saja kita katakan, dan dengan demikian dalam istilah
'Unli tidak layak untuk dianggap sebagai garis awal pengukuran. gerak anomalistik, karena
tidak merupakan titik awal yang tetap.

Dengan suatu benda yang bergerak mengelilingi pusatnya sendiri, namun mengukur gerak
seragamnya di sekitar pusat lain, yang sekarang menjadi pusat alam semesta, sehingga
mengulangi hal yang sama.mereka setara masalah, dan dengan pengenalan gerakan
ingprosneusistitik yang memperkenalkan garis osilasi yang tidak pernah menyelesaikan satu
revolusi penuh, dan dengan peningkatan besar dalam ukuran bulan yang terlihat pada kuadratur,
semua tersirat Melalui model Ptolemy, kita dapat melihat mengapa model ini menarik banyak
literatur kritis dalam peradaban Islam. Masalahnya sendiri sering disebut sebagai prosneusis
masalah, dalam analogi dengan mereka setara masalah yang digunakan untuk menggambarkan
kesulitan model planet atas. Beberapa astronom yang bekerja di peradaban Islam mencoba
memperbaiki situasi ini dengan menciptakan model mereka sendiri, beberapa di antaranya
lebih berhasil dibandingkan yang lain. Dalam tradisi tersebut, model bulan Ibn al-Shatir adalah
yang terbaik, bukan hanya karena model tersebut menghilangkan Mataharimereka setara
konstruksi ketika itu membuat semua bola bergerak secara seragam di tempat di sekitar sumbu
yang melewati pusatnya masing-masing, dan mengurangi variasi ukuran bulan yang tampak,
sekaligus menjaga peningkatan ukuran epicycle, tetapi karena hal itu juga ternyata menjadi

146
identik dengan model yang sama yang diusulkan oleh Copernicus (w. 1543) sendiri sekitar 200
tahun kemudian.

Dengan gayanya yang biasa, Ptolemy tidak mengatakan apa pun tentang kesulitan modelnya,
dan bahkan tidak menarik perhatian pada fakta bahwa modelnya secara langsung sangat
bertentangan dengan ukuran sebenarnya. Namun segala sesuatunya berubah dari buruk ke
terburuk, karena model Merkurius berikutnya dan model pergerakan garis lintang planet-planet
masih berada dalam kondisi terburuk.

Pergerakan Planet Merkurius

Karena tingginya kecepatan planet ini, dan karena kedekatannya dengan matahari, sehingga
sulit untuk mengamatinya dengan cara yang dapat diandalkan, model pergerakan planet ini
yang dibuat oleh Ptolemy mencerminkan kondisi pengamatan yang salah.19 Seperti dalam
kasus bulan, dimana model mirip engkol Ptolemy meramalkan bahwa bulan akan berada paling
dekat dengan bumi sebanyak dua kali selama dalam revolusi bulanannya (saat bulan mencapai
90° atau 270° dari rata-rata matahari, atau saat bulan berada pada seperempat pertama atau
ketiga revolusinya), demikian pula halnya dengan Merkurius, yang seharusnya berada paling
dekat dengan matahari. bumi pada dua titik selama revolusinya: ketika Merkurius berjarak 1
20° dari apogee, pada kedua sisi garis apsidal. Artinya, model Merkurius yang dibuat Ptolemy
akan meniru beberapa fitur model bulan.

Di dalam Almagest IX, Ptolemeus mengusulkan model planet Merkurius yang dimilikinya

sebuah bola eksentrik yang menelan disebut pengarah (berpusat di B pada gambar 4.4), yang
pada gilirannya membawa bola eksentrik lain yang disebut deferen (di sini berpusat di G).Tak
perlu dikatakan lagi, kedua eksentrik tersebut secara langsung melanggar anggapan Aristotelian.
Pengarah bergerak mengelilingi pusatnya, ke arah yang berlawanan dengan rangkaian tanda,
yaitu dari timur ke barat, dan membawa serta tanda yang berbeda ke arah yang sama. Yang
berbeda, bagaimanapun, bergerak di tempat, di dalam sutradara, dengan gerakannya sendiri
tetapi berlawanan arah, sehingga menghasilkan mekanisme seperti engkol yang serupa dengan
yang digunakan dalam model bulan. Dan seperti halnya bulan, bulan ini juga tidak bergerak
secara seragam di sekitar pusatnya G,tapi di sekitar pusat E,juga disebut mereka setara seperti
pada model planet-planet atas, namun ditempatkan, sekali lagi tanpa bukti apa pun, di
tengah-tengah antara pusat bumi dan pusat pengarah, bukannya berada di sisi terjauh seperti
yang terjadi pada planet-planet atas. Epicycle, yang membawa planet Merkurius dengan

147
gerakan anomalistiknya sendiri, bergerak searah dengan gerakan deferent, dan dirinya sendiri
terbawa oleh gerakan deferent ke arah suksesi tanda-tanda tersebut.

Jadi, selain dua eksentrik (yang mana orang mungkin berpikir bahwa Ptolemeus dapat
menjelaskannya dengan cara yang sama seperti dia menggunakan teorema Apollonius untuk
menjelaskan eksentrik matahari) dan satu epicycle (tidak dapat dihindari karena anomali
kedua), ada juga absurditas tambahan yang sama yang telah muncul dua kali sebelumnya:
absurditas ketika sebuah bola bergerak secara seragam, pada tempatnya, mengelilingi sumbu
yang tidak melewati pusatnya. Dan seperti halnya model planet-planet atas, terdapat pernyataan
tambahan Ptolemy yang belum terbukti bahwa equant berada di tengah-tengah antara pusat
dunia dan pusat pengarah. Kita bisa melihat mengapa akumulasi pertimbangan teknis seperti
itu akan membuat astronomi Ptolemeus menjadi sasaran kritik keras yang dilontarkan
terhadapnya begitu ia masuk ke dalam peradaban Islam.

Model Ptolemy untuk Merkurius. Pengamat sudah tepat sasaran0,pusat alam semesta. Planet M
dibawa oleh epicycle dengan pusatC,yang dengan sendirinya digerakkan oleh bek dengan
pusatG.Yang berbeda, yang juga digerakkan oleh bola yang menelan disebut direktur dan
pusatnya beradaB,bergerak searah dengan epicycle, tetapi mengukur gerak sama besarnya di
sekitar equantDANdaripada pusatnya sendiriG.Yang setaraDANberada di tengah-tengah antara
pusat alam semesta0dan pusat arahuntukB.Untuk pengamat pada saat itu0,Episiklus Merkurius
akan terjadiAhaltelingapada saat terbesarnyaia paling dekat dengan Bumi, pada jarak ±120°

148
dari puncaknyaA,dan bukan pada kuadratur, yang jaraknya hanya 90° dari puncak yang sama,
seperti yang dipikirkan Copernicus. Kedua gerbang elon di sini diwakili oleh sudut yang
digambar dengan garis putus-putus dan bersambung.

Gerak Planet di Lintang

Lebih buruk lagi, model Ptolemeus mengenai gerak lintang planet-planet semakin
memperkenalkan beberapa absurditas mereka sendiri. Dalam hal ini, dan untuk tujuan
menghitung komponen garis lintang posisi planet, Ptolemy membuat perbedaan antara dua
kelompok planet: Ia mengelompokkan Saturnus, Yupiter, dan Mars dalam satu kelompok dan
menjelaskan Model Ptolemeus untuk garis lintang planet-planet atas. Pengamat sudah tepat
sasaran0,dan bidang miring yang miring mempunyai kemiringan yang tetap. Namun epicycle
mempunyai deviasi tersendiri dari bidang deferen, yang nilainya bergantung pada posisi epi
cycle di sepanjang bidang deferen. gerak lintang mereka dengan satu model, dan
mengelompokkan Venus dan Merkurius ke dalam kelompok lain yang menjadi subjek model
yang berbeda dan cukup menyinggung. Perlu ditekankan pada titik ini, bahwa dalam hal gerak
memanjang, model yang dijelaskan oleh Ptolemy masih memberikan hasil prediksi yang cukup
masuk akal meskipun ada absurditas fisiknya. Hasil-hasil tersebut setidaknya cukup
meyakinkan untuk memungkinkan Ptolemy membuat klaim pragmatisnya bahwa ia pasti

mengikuti beberapa dugaan yang benar dalam mengonfigurasikannya meskipun ia tidak


mengetahui dengan cukup teliti cara kerjanya.

149
Untuk planet atas (gambar 4.5), Ptolemeus mengusulkan model yang menyertakan seorang
pengamat di pusat dunia0,itulah pusat ekliptika. Dia kemudian mengusulkan sebuah bidang
miring eksentrik yang memotong bidang ekliptika pada sudut tetap. Garis perpotongan kedua
bidang melewati posisi pengamat dan menandai kedua titik simpul. Epicycle yang dibawa oleh
bidang miring itu punya sendiri-sendirideviasidari bidang itu juga, tetapi penyimpangan ini
bervariasi tergantung pada posisi memanjang epicycle. Di ujung paling utara dari deferent,
epicycle akan mencapai titik maksimumnyadeviasi,tetapi segera setelah episiklus mencapai
posisi simpul, episiklus akan terletak rata pada bidang ekliptika. Di ujung selatan deferent akan
terjadi fenomena maksimum yang samadeviasi,tapi berlawanan arah. Dan meskipun keduanya
penyimpangan memiliki nilai yang sama, yang di selatan tampak lebih besar karena lebih dekat
dengan pengamat.

Akibatnya, bidang epicycle tampak melakukan gerakan jungkat-jungkit sendiri, karena posisi
epicycle diubah oleh gerakan deferent. Karena gerakan semacam ini tidak pernah
menyelesaikan satu lingkaran penuh, maka jelas dianggap termasuk dalam kategori yang sama
dengan osilasi prosneusis bulan. Dan dengan demikian, hal ini jauh dari gerak melingkar
beraturan, seperti yang disyaratkan oleh Aristoteles, karena hanya gerak melingkar penuh yang
merupakan gerak alami dari unsur eter sederhana yang menyusun seluruh benda langit.

Tidak ada kabar dari Ptolemeus mengenai hal ini. Dan walaupun dia mengklaim bahwa dia
menganut kosmologi Aristoteles, dia masih berperilaku sama seperti sebelumnya ketika
pelanggaran tersebut dilakukan. Artinya, dia masih tidak berusaha menjelaskannya seperti yang
diharapkan. Sebaliknya, ia mengajak pembaca untuk membayangkan bahwa ujung diameter
episiklik dapat dilekatkan pada pasangan "lingkaran kecil". Lingkaran-lingkaran tersebut dapat
ditempatkan tegak lurus terhadap bidang yang difermentasi. Dan saat ujung diameter bergerak
sepanjang "lingkaran kecil" tersebut, gerakan osilasi yang dihasilkan akan menghasilkan efek
jungkat-jungkit yang diperlukan. Dia kemudian mempunyai masalah dalam menyinkronkan
gerakan ujung diameter di sepanjang "lingkaran kecil" dan gerakan epicycles itu sendiri di
sepanjang deferennya, karena deferennya sendiri eksentrik, seperti yang telah kita lihat. Untuk
mengatasi masalah ini, dia sekali lagi menggunakan asumsi bahwa ujung diameter juga
mempunyai bentuknya sendirisetarasama seperti model planet lain yang lebih besar, karena
mereka tampaknya tidak melakukan gerakan melingkar beraturan di sekitar pusatnya.

Sekarang, bahkan jika seseorang dapat menerima pergerakan ujung diameter untuk tujuan

150
menghasilkan efek jungkat-jungkit, yang pada gilirannya “dibenarkan” diperlukan oleh
pengamatan, kita dapat dengan mudah melihat bahwa jungkat-jungkit yang “tidak wajar”
seperti itu juga akan menciptakan efek jungkat-jungkit yang “tidak wajar”. efek goyangan yang
akan mengganggu komponen longitudinal yang menimbulkan banyak rasa sakit saat dihitung
pertama kali.

Ciri khusus gerak latitudinal dalam model Ptolemeus inilah yang membuat astronom abad
ketiga belas Nasir al-Din al-Tusi (w. 1274) menyatakan, dalam bukunya Tahrirr al-magisti
pada tahun 1247, itulah pidato Ptolemeus.

memang tidak dapat ditoleransi, atau, dengan kata-kata sopannya sendiri, melampaui apa yang
diizinkan dalam pesawat itu (khiirij 'an al-snaa).

Pergerakan garis lintang kelompok kedua, planet-planet bawah Merkurius dan Venus, tidak
berjalan lebih baik dalam hal ini. Bagi mereka kecenderungannya dari pesawat pembawa itu
sendiri bervariasi ketika epicycle bergerak sepanjang kelilingnya. Kita harus selalu ingat bahwa
bidang-bidang tersebut dianggap sebagai ekuator bidang fisik, satu-satunya benda yang mampu
menghasilkan gerakan seperti itu di alam semesta Aristotelian. Dalam kasus Venus, ketika
epicycle berada di ujung paling utara dari bidang miring, bidang itu sendiri miring ke utara dan
epicycle di tepi utaranya miring menjauhi bidang yang bergerak di sepanjang tepi timur.
Namun saat epicycle berpindah ke titik simpul, salah satu diameternya bertepatan dengan
ekliptika, sementara diameter lainnya masih miring di sepanjang tepi timur. Ketika epicycle
mencapai ujung paling selatan, seluruh bidang miring miring ke arah yang berlawanan
sehingga ujung selatan sekarang menunjuk ke utara, dan epicycle masih condong menjauhinya
sepanjang tepi timur lagi. Akibatnya, baik bidang miring maupun bidang epicycle itu sendiri
akan mengalami gerakan gergaji yang sama seperti yang terlihat pada model planet atas. Dan di
sini sekali lagi, satu-satunya solusi yang ditawarkan Ptolemy adalah mengusulkan "lingkaran
kecil" yang sama untuk dipasang pada diameter jungkat-jungkit sehingga mereka dapat dipaksa
untuk melakukan gerakan lintang. Dan di sini sekali lagi pengaturan tersebut masih akan
memaksa seluruh pesawat untuk bergoyang dan menghancurkan komponen longi tudinal
seperti sebelumnya. Kami baru saja melihat apa yang dikatakan Tusi mengenai pengaturan
seperti itu.

Singkatnya, model Ptolemy untuk pergerakan bulan dan lima planet-planet memperkenalkan
gagasan-gagasan yang tidak hanya melanggar anggapan-anggapan Aristo telian, namun seperti
yang telah kita lihat, dalam kasus pergerakan garis lintang planet-planet, termasuk

151
pengaturan-pengaturan yang juga menghancurkan komponen-komponen panjang seperti itu
yang bekerja dengan baik dengan sendirinya. Sepertinya Ptolemeus tidak dapat menghitung
komponen gerak mana pun tanpa menghancurkan komponen lainnya. Dengan sangat jengkel,
dia akhirnya mengakui bahwa hanya dewa yang mampu mencapai kesempurnaan seperti itu,
bukan manusia biasa.21 Dengan kesadaran ini, seluruh konfigurasi Ptolemeus tampaknya
berantakan, meskipun faktanya, pada tingkat komputasi, tampaknya telah mampu memprediksi
posisi planet-planet, dan masih dapat melakukannya, dengan akurasi yang luar biasa.
Reformasi astronomi yang terjadi dalam peradaban Islam setelah abad ketiga belas mengalami
kesulitan untuk mempertahankan nilai prediksi astronomi Ptolemeus. Namun mereka jelas
bertujuan untuk mereformasi tatanan konseptual bidang-bidang yang seharusnya melaksanakan
berbagai gerakan ini. Menjelang akhir abad kedua belas, ketika Averroes harus memberikan
penilaiannya terhadap astronomi Ptolemeus, sebuah astronomi yang alternatif.

Tanggapan Islam terhadap Astronomi Ptolemeus: Menciptakan Astronomi


Alternatif

Kita telah melihat beberapa tingkat tanggapan terhadap apa yang dianggap sebagai kesalahan
faktual dalam tradisi Ptolemeus. Entah itu kesalahan sederhana dalam teks, atau parameter
dasar, atau bahkan metode observasi, semuanya diperhatikan dan mulai diperbaiki sejak abad
kesembilan. Genre tulisan baru yang secara khusus membahas keseluruhan masalah Ptolemeus
tersebut, disebutshukuk, istidrak,dan sejenisnya berkembang dan canggih seiring berjalannya
waktu, sedemikian rupa sehingga menjadi bahan diskusi oleh orang-orang yang bahkan bukan
berprofesi sebagai astronom.

Perhatian yang serius terhadap landasan filosofis dan fisika dari bangunan Ptolemeus, yang jika
tidak diisyaratkan sebagai pembangunan model, dan upaya serius untuk menggantikan model
Ptolemeus yang tidak memadai baru dimulai pada abad kesebelas. Namun begitu hal ini
dimulai, hampir setiap astronom yang serius merasa bahwa dia harus mengambil bagian dalam
usaha tersebut. Dalam lanjutannya, saya hanya akan memberi isyarat kepada mereka yang
melakukan perubahan mendasar dalam praktik astronomi dan mengabaikan orang lain yang
menjaga disiplin ini tetap hidup dengan memberikan komentar dan modifikasi individu yang
mereka lihat sebagai perubahan besar yang diperlukan, atau sekadar memanfaatkannya.
perubahan-perubahan tersebut untuk merombak astronomi yang ada saat itu agar dapat

152
menggabungkan perubahan-perubahan tersebut.23 Misalnya, ketika fungsi trigonometri
diperkenalkan ke dalam tradisi ilmiah Islam, dan disempurnakan setelah awalnya diturunkan
dari beberapa fungsi yang sudah dikenal di India, kecenderungannya adalah menggunakan
fungsi-fungsi tersebut dalam diskusi teoretis astronomi apa pun, bukan fungsi-fungsi tali busur
yang digunakan dalam astronomi Almagest dan terjemahannya.

Pergeseran seperti inilah yang menghasilkan astronomi yang kemudian disebut astronomi
Arab/Islam, dan kita berharap dapat diikuti oleh disiplin ilmu lain. Namun, berikut ini saya
akan memberikan perhatian khusus pada perubahan paling halus yang, menurut penilaian saya,
berperan sebagai katalitik dalam menghasilkan inovasi astronomi lainnya, dan menjadi bagian
dari warisan universal astronomi. Seperti yang telah dikatakan, saya akan mengabaikan mereka
yang secara berkala melakukan perubahan konseptual tersebut dan mengintegrasikannya ke
dalam karya mereka tanpa menghasilkan perubahan apa pun.

Fokusnya kemudian akan tertuju pada para astronom yang merasa perlu menciptakan
konsep-konsep baru, atau lebih konkritnya teorema-teorema matematika baru, untuk
memecahkan masalah-masalah astronomi Ptolemeus, dan bukan pada mereka yang
mengikutinya dengan menggabungkan teorema-teorema terbaru ke dalam teori-teori tersebut.
membangunnya untuk menciptakan model planet baru mereka sendiri. Di antara mereka yang
memperkenalkan teorema baru tersebut, nama Mu'ayyad al-Din al-'Urdi (w. 1266) dan Nasir
al-Din al-Tusi (w. 1274) menonjol karena fakta bahwa masing-masing dari mereka
memberikan teorema matematikanya sendiri sambil merombak ciri-ciri dasar astronomi
Ptolemeus.

Karya 'Urdi

'Urdi berpendapat bahwa model matahari yang dibuat Ptolemeus sudah cukup memadai, dan
pilihan model eksentrik sederhana yang dipilih Ptolemeus tidak terlalu berbahaya, sehingga
tidak memerlukan transformasi khusus. Baik 'Urdi maupun Ptolemy tidak berani menyatakan
secara eksplisit apa yang sebenarnya dia pikirkan tentang model episiklik, yang dikemukakan
oleh Ptolemy setidaknya sebagai alternatif terhadap model eksentrik yang "ofensif". Ada yang
menduga bahwa penggunaan epicycles di mana-mana di semua model planet lain, dan
ketidakmungkinan penggantiannya, mungkin menjadikan penggunaannya suatu keharusan
yang tidak dapat dihindari. Namun tidak ada seorang pun yang bersedia membela penggunaan
epicycles tersebut secara eksplisit. Solusi teoritis akhir mereka baru muncul satu abad

153
kemudian melalui karya Ibn al-Shatir (w. 1375) seperti yang akan segera kita lihat.

Adapun pergerakan bulan dan Merkurius, dan yang terkenal kejamsetara di kedua model,
selainprosneusistitik dalam kasus bulan, 'Urdi merasa bahwa dia tidak bisa membiarkan segala
sesuatunya terjadi. Sebaliknya, ia memutuskan untuk memanfaatkan kesamaan antara kedua
model tersebut, dan mencoba mengkonfigurasi ulang keduanya dengan mengadopsi tiga
langkah baru. Pertama dia memutuskan untuk menggeser arah pergerakan berbagai bidang.
Kemudian dia menyesuaikan besarnya gerakan tersebut. Dan akhirnya dia mencoba, secara
global, untuk menghindari cacat Ptolemeus yang mengganggu kedua model tersebut dengan
membuat semua bola bergerak secara seragam pada sumbu yang melewati pusatnya. Pada titik
ini dia masih membatasi dirinya pada matematika yang tersedia bagi Ptolemeus dari
matematika EuclidElemen,misalnya, tanpa harus menawarkan proposisi matematika barunya
sendiri. Namun ada kalanya dia berani untuk mengatakan bahwa dia menyalahkan Ptolemeus
karena ketidakmampuannya berteori (anak-anak) dengan benar, namun tetap menyatakan
kekagumannya terhadap pengamatan Ptolemy dan kontrol matematis terhadap data. Pergeseran
teori seperti itu, selama tidak melibatkan pengenalan materi baru seperti fungsi trigonometri,
dilakukan secara diam-diam tanpa banyak keributan.

Namun jika menyangkut model planet atas, 'Urdi merasa model Ptolemeus tidak lagi dapat
ditebus, dan karenanya harus dikonfigurasi ulang secara mendasar. Di sanalah ia mengusulkan
untuk memperkenalkan apa yang sekarang dikenal dalam literatur sebagai 'Lemma Urdi' untuk
menyelesaikan masalah yang sangat pelik ini. mereka setaramasalah. Pada titik ini, perhatian
'Urdi tidak lagi terfokus pada pilihan kosmologis model eksentrik versus episiklik, namun
terfokus pada model yang lebih mendasar.mereka setaraketentuan yang memaksa bola yang
seharusnya melakukan gerak epicycle kehilangan kebulatannya. Ketidakmungkinan fisik ini
tidak dapat ditoleransi, dan masih berpura-pura menjalankan teori astronomi, sebagaimana para
astronom melihat fungsinya. Sebaliknya, 'UrdI mendekati masalah model planet atas dengan
cara matematis yang tepat.

Setelah mendemonstrasikan kelemahan fisik model Ptolemy, ia melanjutkan dengan


mengatakan bahwa untuk membuat teori yang lebih baik tentang pergerakan planet-planet
tersebut, ia perlu memperkenalkan sebuah teorema baru, yang pernyataannya dapat diutarakan
ulang sebagai berikut: Diberikan dua benda yang sama garis-garis yang membentuk
sudut-sudut yang sama besar dengan suatu garis alas, baik bagian dalamnya maupun bagian
luarnya, maka garis yang menghubungkan ujung-ujung kedua garis tersebut sejajar dengan
garis alas tersebut.

154
Jika dilihat sendiri, Lemma 'Urdi tampak seperti generalisasi dari teorema Apollo nius, di mana
sudut sama yang diperlukan untuk pembuktian keparalelisme garis ujung dengan garis alas
tidak lagi terbatas pada sudut luar yang digunakan dalam konstruksi. dari model episiklik.
Sebaliknya 'Urdi dapat menunjukkan bahwa sudut sama internal akan menghasilkan efek
paralelisme yang sama dan dengan demikian dapat digunakan untuk memperbaiki contoh
persamaan tersebut.mereka setaratanpa kehilangan nilai pengamatannya yang memaksa
Ptolemeus untuk mengadopsinya.

Alih-alih berasumsi (gambar 4.6) bahwa epicycle dibawa oleh sebuah deferent yang bergerak
secara seragam di sekitar sumbu yang tidak melewati pusatnya, seperti yang dilakukan oleh
Ptolemy, 'Urdi menggeser pusat dari deferent barunya ke suatu titik.K,yang terletak di
tengah-tengah antara pusat peninggalan Ptolemeus lamaTdan titik ekuan D.Dia kemudian
mengizinkan hal baru ini.

Model 'Urdi untuk planet atas. Dengan mendefinisikan deferen baru yang berpusat di K,
setengah jalan antara pusat deferent Ptolemeus T dan persamaannya D,'Urdi mengizinkan yang
bersangkutan membawa epicycle kecil yang radiusnya TK=KD.Dia membuat epicycle kecil
bergerak dengan kecepatan yang sama dengan deferen baru, dan dalam arah yang sama.
Dengan menerapkan lemmanya sendiri, 'Urdi dapat mendemonstrasikan garis tersebut ZD,yang
menghubungkan ujung jari-jari epicycle kecil dengan equant, akan selalu sejajar dengan garis
KN,yang menghubungkan pusat deferen baru dengan pusat epicycle kecil. Dia juga bisa

155
menunjukkan hal itu,ujung jari-jari epicycle kecil, sudah sangat dekat dengan titik poin O,yang
merupakan pusat dari siklus epi Ptolemeus, sehingga kedua titik tersebut tidak dapat dibedakan.
Maka mudah untuk melihat gerakan seragam itu yang menurut Ptolemeus terjadi di sekitar
titikDmemang merupakan gerak seragam di sekitar suatu titik N yang pada gilirannya bergerak
secara seragam K,sehingga membuat tampak bergerak secara seragam D dan memuaskan
pengamatan Ptolemeus.

Epicycle kecil bergerak dengan kecepatan yang sama dengan deferent Ptolemeus lama, dan
dalam arah yang sama, dan pada gilirannya membawa epicycle Ptolemeus. Kombinasi gerakan
yang sama memungkinkan garis menghubungkan ujung jari-jari epicycle kecil ke titik-titik K
Dan D masing-masing selalu paralel. Hal ini membuat pusat episiklus Ptolemeus, yang
sekarang berada di ujung episiklus kecil 'Urdi, tampak seperti bergerak secara seragam di
sekitar siklus Ptolemeus.mereka setaraFaktanya, ia bergerak mengelilingi pusat episiklus
kecilnya, dan pusat episiklus tersebut, pada gilirannya, bergerak mengelilingi pusat deferen
baru. Dengan semua bola kini bergerak secara seragam, pada tempatnya, mengelilingi poros
yang melewati pusatnya, 'Urdi berhasil menghindari absurditas teori Ptolemeus.mereka
setarasecara keseluruhan, dan, pada saat yang sama, masih mempertahankan nilai
pengamatannya, seperti yang disyaratkan oleh pengamatan Ptolemeus.

Lemma 'Urdi', yang diperkenalkan melalui mekanisme lingkaran kecil pada model planet atas,
terbukti menjadi alat yang sangat berguna bagi para astronom lain dan pada kesempatan lain
juga. Banyak astronom akhirnya menggunakannya untuk membangun model alternatif mereka
sendiri selain model Ptolemeus. Astronom seperti Qutb al-Dln al-Sh!razl (w.1311)
menggunakannya dalam model bulannya. Sementara Ibn al-Shatir dari Damaskus (w.1375)
akhirnya menggunakannya di lebih dari satu model miliknya. 'Ala' al-Dln al-Qushjl (w.1474)
menggunakannya dalam modelnya untuk planet Merkurius, dan Syams al-Dln al-Khafrl (w.
1550) menggunakannya secara ganda dalam modelnya sendiri untuk planet atas. planet.
Terakhir, Copernicus (w.1543) menggunakannya untuk model planet atas yang sama. Ternyata,
alat matematika ini menjadi sangat berguna dalam membangun segala macam tanggapan
terhadap astronomi Yunani.

Dari perspektif tersebut, lemma yang relatif sederhana ini terbukti merupakan pembuat zaman,
sama seperti Tusi's Couple yang akan disebutkan nanti. Dan seperti halnya Tusi's Couple,
setelah ditemukan, hal ini memungkinkan beberapa generasi astronom untuk berpikir secara
berbeda tentang astronomi Ptolemeus, dan tentang kemungkinan reformasi astronomi ini.

156
Sejauh menyangkut 'Urdi; ternyata dengan satu teorema baru, dan dengan sedikit penyesuaian
pada arah dan besaran gerakan, dia dapat mengkonfigurasi ulang keseluruhan astronomi
Ptolemeus, dan masih menghasilkan konfigurasinya sendiri yang bebas dari absurditas mereka
setaradan sejenisnya. Dalam hal ini, dia akhirnya memainkan peran penting dalam
pengembangan astronomi Arab, peran yang hanya sebanding dengan Nasir al-Din al Tusi (w. 1274)
seperti yang akan segera kita lihat. Namun, karyanya mengenai garis lintang planet, seperti karya semua
astronom abad pertengahan lainnya, hingga dan termasuk Copernicus, tidak dapat menyelesaikan
masalah utama astronomi Ptolemeus seanggun menyelesaikan komponen longitudinal.

Nasir al-Din al-Tusi

'Urdi, mantan bos H di observatorium Maragha menemukan solusinya sendiri mereka setara
masalah dengan cara yang sedikit berbeda. Baginya, persoalan tersebut pada dasarnya bukanlah
persoalan sebuah epicycle yang bergerak secara seragam di sekitar titik yang sama, sehingga
menciptakan absurditas fisik, namun lebih merupakan persoalan gerak seragam yang diamati
dari berbagai jarak sehingga tampak tidak seragam. . Salah satu cara untuk memikirkan hal ini
adalah dengan membiarkan pusat epicycle dalam model planet-planet atas bergerak secara
seragam dan pada saat yang sama tetap membiarkannya mendekati titik yang dikemukakan
Ptolemy.mereka setarasaat dekat dengan apogee, dan menjauh saat berada di perigee. Gerakan
ini pada dasarnya akan menduplikasi fenomena yang menurut Ptolemy ditunjukkan oleh
observasi. Oleh karena itu, seseorang dapat memecahkan masalah ini jika ia dapat merancang
suatu cara di mana suatu benda yang bergerak dalam gerak melingkar beraturan masih dapat
dibiarkan mendekati suatu titik tertentu dan menjauhinya sambil pada saat yang sama
mempertahankan gerak melingkar beraturan tersebut tanpa terganggu. . Efek akhirnya adalah
bahwa benda akan dianggap bergerak dengan kecepatan yang bervariasi dalam gerakan
berosilasi terhadap titik ketika, pada kenyataannya, benda itu sendiri akan terus bergerak dalam
gerakan melingkar beraturan. Masalahnya adalah untuk mencapai gerakan osilasi di bidang
bola yang seharusnya bergerak secara seragam di sekitar pusatnya. Gagasan tentang gerak
osilasi akibat gerak melingkar sepertinya pernah terlintas di benak Tusi ketika dia menangani
masalah teori garis lintang Ptolemeus. Tampaknya ini merupakan keadaan yang sama ketika
Copernicus mencapai hubungan yang sama antara kedua fenomena tersebut. Kemudian dalam
komentar,dan ketika mendeskripsikan pergerakan planet Merkurius, Copernicus melangkah
lebih jauh dengan secara jelas merujuk pada hubungan kedua antara pergerakan Merkurius dan
pergerakan di garis lintang. Pada saat itu, dia sebenarnya menggambarkan Tusi's Couple yang

157
sama yang dia gunakan untuk Model Merkuriusnya sebagai hal yang berkaitan dengan gerakan
yang telah dia gambarkan dalam teori garis lintang. Inilah hubungan antara asal usul Tusi's
Couple dan gerak dalam teori garis lintang pertama kali muncul ketika Tusi telah mencatatnya,
sekitar tiga abad sebelum Copernicus, dalam karyanyaAngkabahwa gerakan osilasi yang
dijelaskan oleh Ptolemeus dalam teori garis lintang dapat dijelaskan dengan kombinasi dua
gerakan melingkar. Setelah ditafsirkan seperti itu, efek bersih dari gerakan Tusi's Couple juga
dapat menjelaskan pernyataan Ptolemeus mengenai bidang miring planet bawah Merkurius dan
Venus, yang seharusnya dibuat seperti jungkat-jungkit untuk menghasilkan gerakan garis
lintang pasangan ini. planet. Keanggunan dan keunggulan solusi gerak osilasi ini, melalui
penerapan Tusi's Couple, menjadi sangat jelas ketika kita mengingat usulan alternatif
Ptolemeus agar ujung-ujung diameter bidang miring dilekatkan pada dua "lingkaran kecil"
sehingga bahwa ia dapat mencapai gerakan jungkat-jungkit itu—sebuah gerakan yang, pada
saat yang sama, akan menghancurkan gerakan memanjang karena akibat goyangan yang
diperlukan oleh "lingkaran-lingkaran kecil". Dalam konteks itulah Tlisl merasa pidato Ptolemy
berada di luar bidang astronomi.

Sebaliknya Tusi menyarankan bahwa seseorang dapat mencapai efek jungkat-jungkit yang
lebih baik, tanpa harus menerima akibat goyangan yang diperlukan. Dan untuk melakukan hal
tersebut, Tusi kemudian membuat konstruksi sederhana berupa dua lingkaran kecil miliknya,
yang dipasang sedemikian rupa sehingga salah satunya berada pada lingkar lingkaran lainnya,
dan memiliki ujung sebesar diameter lingkaran tersebut. bidang miring yang menempel pada
keliling lingkaran kedua juga. Apabila gerak kedua lingkaran tersebut sedemikian rupa
sehingga lingkaran yang berada pada keliling tersebut bergerak dengan kecepatan dua kali lipat
kecepatan lingkaran lainnya dan berlawanan arah, maka titik yang berada di ujung paling ujung
keliling lingkaran tersebut adalah. lingkaran, yaitu ujung diameter bidang miring, akan
berosilasi sepanjang diameter sambungan kedua lingkaran sebagai akibat gerak melingkar
beraturannya. Hal ini sekaligus menghasilkan gerakan osilasi dari dua gabungan gerakan
melingkar seragam, dan memungkinkan ujung lingkar lingkaran berkuda berosilasi sepanjang
garis lurus, sehingga menjaganya agar tidak goyah. Efek gabungan kedua lingkaran Tusi
berhasil menghasilkan gerak lurus dengan menggabungkan dua gerak melingkar, sehingga
menimbulkan dampak yang luar biasa bagi para astronom selanjutnya.

Sekitar 13 tahun setelah dia menulisAngka (yaitu sekitar tahun 1260 atau 1261) Tusi
mengembangkan idenya lebih jauh dalam karyanya al-Tadhkira dan al-Hay'a (Memoir on
Astronomy), dan menghasilkannya dalam bentuk teorema yang sekarang disebut Tusi's Couple

158
(gambar 4.7). Dia mencapai kesimpulan yang sama beberapa tahun kemudian Tusi's Couple.
Jika dua bola seperti AGB dan GHD bersentuhan secara internal di titik A, dan jika diameter A
GB dua kali lebih besar dari diameter GHD, dan jika bola yang lebih besar bergerak secara
seragam ke arah yang ditunjukkan, dan bola yang lebih kecil bergerak ke arah yang berlawanan,
maka dengan kecepatan dua kali lipat, maka titik A akan berosilasi ke atas dan ke bawah
diameter bola AB yang lebih besar sebelumnya ketika dia memasukkan teorema yang sama
dalam teks Persianya Dhayl-i Mu'fnfya,yang tanggal penyusunannya masih belum pasti tetapi
harus ada jarak antara penerbitannyaTahrir pada tahun 1247 dan Tadhkira pada 1260/61,
dimana teorema tersebut dinyatakan dan dibuktikan secara lengkap.

Teorema itu sendiri berbicara tentang dua bola, bukan lingkaran, yang satu berukuran dua kali
bola yang lain, dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga bola yang lebih kecil bersinggungan
secara internal dengan bola yang lebih besar seperti pada gambar 4.7 (1). Kemudian Tus1
melanjutkan dengan membuktikan bahwa jika bola yang lebih besar bergerak secara seragam
pada kecepatan berapapun, sedangkan bola yang lebih kecil juga bergerak secara seragam,
namun dalam arah yang berlawanan, dengan kecepatan dua kali lipat, maka titik singgung

159
persekutuan akan berakhir berosilasi sepanjang diameter. bola yang lebih besar.

Setelah dia menggeneralisasi teorema itu, dia tahu bahwa dia telah menemukan teorema subur
yang dapat digunakan kapan pun seseorang perlu menghasilkan gerak linier sebagai hasil
gabungan gerak melingkar. Dia kemudian melanjutkan untuk memproduksi, dengan cara yang
samaTadhkira,bukti formal untuk teorema tersebut, seperti pada gambar 4.7, dan kemudian
menerapkannya untuk membangun dua model alternatifnya: model bulan dan model planet atas.
Dengan cara ini dia kemudian menjadi dewasa untuk menyelesaikannyamereka setaramasalah
dalam dua model Ptolemeus masing-masing untuk planet-planet tersebut.

Keberhasilan teorema ini mempunyai dampak yang luas. Ini akhirnya digunakan oleh hampir
semua astronom serius setelah Tusi, termasuk astronom Renaisans seperti Copernicus dan
orang-orang sezamannya, seperti yang telah kita isyaratkan dan akan kita lihat lagi secara lebih
rinci nanti. Berbeda dengan Copernicus, satu-satunya tempat di mana Tus1 gagal menerapkan
Pasangannya, adalah dalam kasus planet Merkurius, yang perilakunya cukup menantang bagi
Tusi seperti yang telah kita lihat. Saat membahas pergerakan planet tersebut secara khusus,
Tusi dengan tegas menyatakan bahwa meskipun ia berhasil memecahkan masalah
tersebutmereka setaramasalah model bulan dan planet atas, dia berharap dapat menyelesaikan
tugasnya nanti dengan menyelesaikannya mereka setara masalah Merkurius, yang pada saat itu
dia tidak punya hal baru untuk ditambahkan.

160
Murid dan kolega Tusi, Qutb al-Dln al-Sh1razl (w.1311) memanfaatkan Lemma 'Urdi's dua
kali, sekali dalam mengembangkan model bulannya, dan kali lainnya ketika ia mengadopsi
model yang sama untuk planet-planet atas sebagai yaitu 'Urdi. Dalam model bulan (gambar
4.8), ia menghindari penggunaan persamaan Ptolemeus dengan membagi dua eksentrisitas
deferen Ptolemeus untuk bulan, dan menyesuaikannya dengan menempatkan sebuah lingkaran
kecil pada keliling yang memenuhi Model bulan Shirazi. Dengan mengambil deferen baru yang
pusatnya berada di tengah-tengah antara pusat dunia0dan pusat dari deferent Ptolemeus /,
Shirazi mengkompensasi hal itu dengan memperkenalkan sebuah epicycle kecil baru, dengan
pusat H,yang jari-jarinya sama dengan jarak yang sama antara dua pusat deferen yang
bersangkutan. Dengan membuat epicycle kecil bergerak dengan kecepatan yang sama dengan
deferen baru, dan dalam arah yang sama ia berhasil memenuhi kondisi Lemma 'Urdi, yang
sekarang dapat diterapkan pada garis HE dan OF,sehingga membuat garis EO selalu sejajar
dengan garis HF, dan menjadi pusat epicycle C tampaknya bergerak mengelilingi pusat alam
semesta O.

kondisi yang sama 'lingkaran kecil Unfi terpenuhi dalam kasus planet atas. Artinya, ia
membiarkan lingkaran kecil bergerak dengan kecepatan yang sama dengan lingkaran yang
berbeda dan dalam arah yang sama sehingga memenuhi syarat memiliki dua sudut dalam yang
sama besar, dan dengan demikian menghasilkan garis-garis sejajar. Susunan baru ini, seperti
yang disarankan oleh Shirazi, memastikan bahwa lingkaran kecil, yang bergerak secara
seragam mengelilingi pusat deferennya sendiri, juga memiliki ujung jari-jarinya yang tampak
seolah-olah bergerak secara seragam mengelilingi pusat dunia, yang mana pada gilirannya
adalah kondisi observasi model Ptolemy yang terpenuhi. Jadi, dengan menempatkan episiklus
bulan Ptolemeus di ujung jari-jari tersebut, bulan kemudian akan bergerak mengelilingi
episiklusnya sendiri, namun pada saat yang sama terlihat memenuhi kondisi pengamatan yang
sama seperti yang dipenuhi dalam kasus Ptolemy.

Dalam kasus planet Merkurius, Shirazi memberikan sekitar sembilan model yang dapat
menggambarkan pergerakan planet ini. Model-model tersebut dirinci dalam dua karyanya yang
paling terkenal, the Nihayat al-idrak fii dirayat al-aflak(pemahaman akhir mengenai
pemahaman bidang-bidang), dan Tul:zfa Shahlya (Hadiah Kerajaan). Dalam karya selanjutnya
(Fa'altu fa-/a talum,artinya "Saya harus melakukannya jadi jangan salahkan"), dia memberi
isyarat bahwa tujuh dari model tersebut salah. Selain itu, salah satu dari dua yang terakhir juga
salah. Namun tekad yang mana tidak diungkapkan agar Shirazi bisa menguji kecerdasan para
pembacanya, seperti yang diklaimnya dengan berani. Model terpilih, yang akhirnya dia klaim

161
adalahyang benarsatu, melibatkan penggunaan dua set Tusi's Couple, yang diatur sedemikian
rupa sehingga berhasil menghindari penggunaan Ptolemeus.mereka setaranamun tetap
mempertahankan efek dan kondisi yang ditimbulkannya. Artinya, pusat terakhir episiklus
Merkurius seolah-olah bergerak mengelilingi titik yang disebut sebagaimereka setaraoleh
Ptolemeus, tanpa harus menjadikan gerak tersebut sebagai hasil kali gerak melingkar beraturan
bola mana pun di sekitar sumbu yang tidak melalui pusatnya.

Shirazi tidak menawarkan teorema baru apa pun, tapi jelas dia mendapat manfaat dari dua
astronom kontemporernya, dan menerapkan teorema mereka semaksimal kemampuannya. Kita
bertanya-tanya mengapa, misalnya, ia memilih menggunakan model 'Urdi untuk planet-planet
atas dibandingkan model Tusi yang sama bagusnya. Namun kita juga harus mengakui bahwa
bahkan jika kita tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut dalam keadaan saat ini, kita pasti
dapat menegaskan bahwa Shirazi memiliki setidaknya dua pilihan dan bahwa dia memilih
salah satu yang menyebarkan 'Urdi Saya Lemma untuk solusinya terhadap bulan. model serta
model planet atas, dan menggunakan penggunaan ganda Tusi's Couple untuk model
Merkuriusnya. Kita juga harus mengakui bahwa Shirazi menggunakan Tusi's Couple secara
ganda untukplanet Merkurius, dengan sendirinya merupakan sebuah langkah yang signifikan,
bukan hanya karena ia berhasil di mana Tusi telah menyatakan kegagalannya, tetapi karena ia
tampaknya telah menyebarkan gagasan baru yang lebih luas, seperti penggunaan ganda Tusi's
Couple, yang merupakan dirinya sendiri. suatu perubahan yang luar biasa dari astronomi maic
Ptole yang diterima ketika digunakan sekali. Pencapaian Shirazi yang luar biasa ini tidak hanya
menempatkannya di garis depan para astronom pada masanya, namun juga memungkinkan kita
untuk melihat bagaimana ide-ide baru mulai diterapkan dalam budaya ilmiah. Mereka rupanya
berhasil ketika mulai diterima dan diterapkan oleh orang-orang sezamannya.

Shirazi menegaskan bahwa seseorang dapat mulai berpikir untuk memecahkan perilaku
observasi planet dengan menerapkan teknik matematika yang berbeda dan menghasilkan lebih
dari satu model matematika. Namun pada saat yang sama, Shirazi masih mendapat kesan
bahwa beberapa solusi matematika lebih “benar” dibandingkan yang lain. Sikap ini akan
menjadi sangat penting di kemudian hari ketika kita mempertimbangkan pergeseran konseptual
lain seperti yang dilakukan dalam karya Syams al-Din al-Khafri (w.1550). Sebenarnya, karya
Shirazi terletak pada awal sebuah tradisi yang mulai mencari solusi matematika alternatif untuk
masalah fisik yang sama. Namun pada tahap awal itu, tradisi tersebut masih dicari kebenaran
solusi matematika yang dapat menggambarkan pergerakan planet dengan tepat. Tradisi ini
belum matang hingga masa Khafri. Namun hanya dengan mencari solusi matematis alternatif,

162
dan dengan demikian cara berpikir baru mengenai permasalahan, memungkinkan kita untuk
mengelompokkan Shirazi dengan Urdi dan Tusi, yang juga menciptakan pergeseran baru dalam
artikulasi tanggapan terhadap astronomi Ptolemeus.

Namun karena Shirazi juga mencoba mengelompokkan serangkaian solusi yang ditawarkan
oleh para pendahulunya, rangkaian itulah yang disebutnya kamu akan (prinsip/hipotesis), dan
mencakup konsep-konsep seperti model eksentrik versus model episiklik sebagai dua prinsip
tersebut, ia juga dapat dianggap sebagai cikal bakal karya seseorang seperti Ibn al-Shatir (w.
1375), yang datang sekitar setengah abad kemudian, dan yang juga menggunakan solusi dari
pendahulunya, dan juga menyebutnya secara global kamu akan,seperti Tashih al ushul(koreksi
prinsip). Dalam kasus Ibn al-Shatir, ia juga melampaui para pendahulunya dan berhasil
mencapai kesuksesan ketika mereka gagal, seperti halnya dalam kasus model Mercury yang
diselesaikan dengan tepat oleh Ibn al-Shatir ketika Tusi gagal mencapai hal tersebut. Namun
Ibn al-Shatir masih terus berbuat lebih banyak, dan dengan sengaja mengukir arah baru bagi
astronominya yang juga terbukti sangat produktif bagi para ilmuwan Renaisans.

‘Ala al-Din ibn al-Shatir dari Damaskus (w. 1375)

Ciri khas yang membedakan karya daripada astronom luar biasa yang menghabiskan masa
profesionalnya dengan bekerja sebagai pencatat waktu di pusat Masjid Umayyah di Damaskus.
Meski sebagai Muwaqqit (pencatat waktu) rincian tugasnya banyak tidak diketahui, namun
berbagai karyanya baik yang masih terjaga baik dan hilang, membuat kita bisa berasumsi jika
ia tergolong berhasil memaksimalkan waktu luangnya, untuk merombak astronomi Yunani. Ibn
al-Shatir tidak hanya mendapat keuntungan dari para astronom yang mendahuluinya dengan
eksperimen merombak astronomi Yunani, namun ia juga berhasil melakukan revolusi
konseptual yang luar biasa dalam upaya memahami dan mempraktikkan ilmu astronomi.

Pertama-tama, Ibn al-Shatir kembali ke dasar-dasar astronomi dan bersikeras untuk


menyelesaikan masalah pertama astronomi Yunani: pilihan antara model eksentrik dan model
episiklik.

Baginya pilihan itu jelas terbatas, karena seseorang tidak bisa membenarkan penggunaan
eksentrik. Baginya, kaum eksentrik jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip Aristotelian
tentang sentralitas Bumi, yang hingga masanya setidaknya masuk akal dalam keseluruhan
kosmologi universal Aristoteles. Dalam hal ini dia bersikeras bahwa semua modelnya akan

163
mematuhi prinsip-prinsip ini, dan akan bersifat geosentris. Selain itu, semua modelnya juga
sepenuhnya menghindari hal-hal eksentrik.

Hal ini menimbulkan masalah epicycles, yang, seperti telah kita lihat, harus digunakan di
semua planet lain kecuali matahari. Pada putaran itu dia menyampaikan beberapa pernyataan
yang sangat orisinal, dan sejauh yang saya tahu dia adalah orang pertama, dan mungkin
satu-satunya, yang bersikeras untuk menyampaikannya. Pertama, dia melakukan pengamatan
umum bahwa ukuran beberapa bintang tetap sebenarnya jauh lebih besar dari ukuran epicycles
planet terbesar.

Kedua, jika menyangkut sifat dari epicycles itu sendiri, dia melemparkan bola kembali ke
istana Aristoteles dan ke istana para pengikutnya. Aristoteles dan para pengikutnya telah
bersikeras bahwa epicycles tidak diperbolehkan karena mereka akan memperkenalkan pusat
gravitasi di mana bola epicycle akan bergerak, dan dengan demikian merupakan unsur
komposisi dalam wilayah langit, yang menurut Aristoteles sepenuhnya terbuat dari elemen
sederhana eter. Di sini Ibn al-Shatir bertanya-tanya bagaimana hal itu bisa terjadi, padahal
semua orang tahu bahwa bintang-bintang yang dibawa oleh bola itulah yang tercipta dari unsur
yang sama, eter, memancarkan cahaya yang dapat kita semua lihat, sementara tidak ada cahaya
seperti itu yang dipancarkan oleh bola itu sendiri? Bagaimana mungkin satu bagian bola,
tempat bintang berada, memancarkan semua cahaya itu, sementara bagian lainnya tetap gelap,
atau transparan, dan masih disebut bola sederhana? Bagaimana mungkin bola dan bintang yang
dibawanya terbuat dari unsur sederhana eter yang sama dan memiliki penampakan yang
berbeda? Setelah diakui bahwa fenomena seperti itu ada, dan tidak ada cara untuk menyangkal
sesuatu yang dapat dibuktikan sendiri oleh setiap orang, maka menjadi jelas bagi Ibn al-Shatir
bahwa setidaknya bidang langit yang lebih rendah dari Aristoteles, yang dengannya
bintang-bintang dan alam semesta, berada. planet-planet yang seharusnya dipindahkan, harus
menerima semacam komposisi. Hanya bola paling atas, yang berada di luar bola kedelapan
yang hanya bertanggung jawab atas pergerakan sehari-hari keseluruhan, namun tidak memiliki
bintang sendiri, bola tersebut dapat tetap sesederhana yang diinginkan Aristoteles.

Alasan tersebut memungkinkannya untuk menyimpulkan bahwa komposisi yang diperkenalkan


oleh epicycles planet setidaknya harus dapat diterima seperti komposisi, yang sudah tersirat
dalam keberadaan bintang-bintang dan planet-planet tetap yang dapat dilihat dengan jelas oleh
semua orang di langit.

164
Setelah “memecahkan” masalah epicycles dengan cara ini, dia kemudian melanjutkan dan
secara sistematis membuang semua kalangan eksentrik dari modelnya. Sebaliknya ia
mengganti eksentrisitas dengan epicycles dalam setiap kasus, dengan cara yang sangat mirip
dengan penerapan teorema Apollonius di mana model epicyclic dapat dengan mudah
menggantikan model eksentrik. Hasilnya, ia kemudian berhasil menghasilkan serangkaian
model yang semuanya disatukan oleh geosentrisme yang ketat. Dan untuk mencapai hal
tersebut ia menggunakan kombinasi dua prinsip terkenal yang telah digunakan: persamaan
Apollonius dan Lemma al-Urdi. Yang terakhir ini memungkinkan dia untuk menyesuaikan
persamaan Ptolemaic dengan menambahkan epicycle lain, yang digunakan oleh al-Urdi dalam
model untuk planet-planet atas.

Dan karena semua modelnya bersifat geosentris dan menggunakan dua "prinsip" yang sama
untuk memecahkan masalah Equant, mereka juga berhasil menghapuskan variasi pendekatan
yang diadopsi oleh Ptolemeus dalam struktur model kuadripartitnya—model yang berbeda
untuk astronomi Ptolemeus. Matahari, Bulan, planet atas, dan Merkurius. Dengan pengecualian
model Merkurius, semua model Ibn al-Shatir lainnya memiliki konstruksi yang sama namun
representasi gerakan planet hanya dimanipulasi oleh ukuran dan kecepatan berbagai epicycles
yang harus ia terapkan. Dalam kasus Merkurius, ia hanya memperkenalkan penggunaan
tambahan Tandem Tusi pada langkah terakhir, namun tetap menggunakan dua prinsip lain yang
baru saja disebutkan. Prosedur ini juga diikuti sekitar dua abad kemudian oleh Copernicus, dan
untuk planet yang sama: Merkurius.

Salah satu keuntungan tambahan yang dihasilkan dari penggunaan geosentrisitas secara
sistematis, yang kemudian berguna pada masa Renaisans Eropa: penyatuan semua model
geosentris Ptolemeus di bawah satu struktur yang memungkinkan terjadinya pergeseran
sederhana sentralitas alam semesta. dari Bumi ke Matahari, sehingga menghasilkan
heliosentrisme, tanpa harus melakukan perubahan apapun pada model lainnya yang sesuai
dengan pengamatan Ptolemeus yang dihasilkan dari persamaan tersebut . Seperti yang akan
kita lihat nanti, bukan suatu kebetulan bahwa Copernicus akhirnya sangat bergantung pada
karya-karya Ibn al-Shatir Ketika ia menggunakan, antara lain, model bulan yang identik
dengan karya Ibn al-Shatir dan menggunakan Tandem Tusi yang sama, dengan cara yang sama
seperti yang dilakukan oleh Ibn al-Shatir, untuk menjelaskan pergerakan Merkurius.

Meskipun ada legenda umum yang menyatakan bahwa Copernicus berusaha menghilangkan
persamaan tersebut, dengan mengadopsi teknik Ibn al-Shatir, dan hanya menggeser arah garis

165
yang menghubungkan matahari ke bumi, ia sebenarnya dapat mempertahankan nilai
pengamatannya. dari persamaan tersebut, tanpa harus berasumsi, seperti yang dilakukan oleh
Ptolemeus, adanya bola yang dapat bergerak secara seragam pada suatu sumbu yang tidak
melalui pusatnya.

Selain fleksibilitas model Ibn al-Shatir, dan kendali penuh atas matematika yang
memungkinkan dia menyesuaikan modelnya agar sesuai dengan observasi, Ibn al- Shatir juga
membuat langkah lain yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dia adalah satu-satunya
astronom di bidang Islam yang tampaknya telah mencurahkan seluruh bukunya (Ta'lfq
al-ar$iid, yang berarti Akuntansi untuk Pengamatan) tentang hubungan khusus antara observasi
dan konstruksi model prediktif yang dapat memuaskan pengamatan itu. Sayangnya buku
tersebut sepertinya hilang, sehingga kita mungkin tidak pernah tahu sejauh mana teorinya
mengenai hal ini. Namun sangatlah penting bahwa dia benar-benar melakukan penulisan buku
semacam itu.

Dan bahkan jika kita harus berasumsi bahwa Ta'liq al-Arsad hilang dari kita, kita masih
memiliki beberapa firasat tentang metode dan isi kitab tersebut dari beberapa contoh di mana
pendekatan tersebut telah diikuti dalam karya-karyanya yang masih ada, dan khususnya, dalam
bukunya Nihayat al-sul fi tashih al-usul (Pencarian Terakhir Mengenai Perbaikan
Prinsip-Prinsip [Astronomi]). Dalam buku terakhir ini, kita secara eksplisit diberitahu bahwa
Ibn al-Shatir telah melakukan pengamatannya sendiri. untuk menentukan ukuran nyata dari
kedua benda penerang tersebut. Dan kita juga diberitahu bahwa dengan hasil baru tersebut,
yang sangat bervariasi dari nilai yang diberikan oleh Ptolemeus, dia berhasil membangun
model baru untuk matahari yang juga berbeda-beda. dengan model Ptolemeus. Intinya, karya
ini menunjukkan dengan cukup jelas kemampuan Ibn al-Shatir dalam mengkonstruksi
model-model teoritis yang didasarkan pada hasil observasi, seperti yang dilakukan oleh
Ptolemeus, namun tanpa melakukan inkonsistensi yang dilakukan Ptolemeus. Dalam situasi
seperti itulah sentralitas karya Ibn al-Shatir dapat diapresiasi dengan baik, dan hubungannya
dengan astronomi Copernicus dapat dipahami dengan lebih baik.

Syams al-Din al-Khafri dan Peran Matematika dalam Teori Astronomi

166
Dalam semua tanggapan Islam sebelumnya terhadap astronomi Yunani, kita dapat mendeteksi
adanya kecenderungan yang konsisten untuk memecahkan masalah-masalah astronomi tersebut
satu demi satu. Dari titik prosneusis, kepersamaan, dan akhirnya keselarasan antara observasi
dan model prediktif, apa yang tampaknya dilakukan para astronom adalah mengembangkan
teorema dan teknik yang memungkinkan mereka merekonstruksi astronomi Ptolemeus sejalan
dengan garis yang membuat astronomi tersebut konsisten dengan praanggapan fisik dan
kosmologisnya sendiri. Apa yang tampaknya dilakukan oleh para pendahulu Khafri adalah
mencoba membersihkan astronomi Ptolemeus dari kesalahannya, dengan menggunakan teknik
dan teorema matematika baru yang tidak diketahui oleh Ptolemeus atau tidak diperhatikan
olehnya. Namun tak seorang pun tampaknya memikirkan tindakan teori matematika itu sendiri
dan hubungannya dengan fenomena fisik yang dijelaskan sampai Khafri menjelaskannya.

Bersamaan dengan Khafri, astronomi Islam berpindah ke wilayah yang lebih baru. Dia adalah
orang pertama yang mulai berpikir tentang peran representasi matematis itu sendiri, fungsi
model prediktif, dan hubungan semua itu dengan fenomena fisik sebenarnya. Kita telah
mencatat awal dari pemikiran semacam ini ketika kami menggambarkan upaya Qutb al-Din
al-Shirazi dalam menghasilkan sembilan model berbeda untuk planet Merkurius sebagai
langkah baru yang menandai pencarian alternatif matematis terhadap model sebelumnya yang
diwarisi dari Ptolemeus. Namun kami juga mencatat kegagalan Shirazi dalam mengikuti alur
pemikiran ini ketika dia sepertinya masih terperosok dalam proses menemukan solusi unik,
atau katakanlah representasi unik, dari masalah fisik fenomena yang dapat diringkas dalam satu
model matematika yang benar . Dia sendiri yang mengatakan kebenaran tersebut, karena dialah
yang mengingatkan pembacanya bahwa dari kesembilan model yang dia usulkan untuk planet
Merkurius dalam dua bukunya, tujuh di antaranya salah menurut pengakuannya sendiri,
sedangkan model kedelapan diserahkan kepada muridnya untuk mencari tahu kegagalannya,
dan hanya solusi kesembilan yang merupakan solusi sebenarnya . Jadi meskipun dia mulai
berpikir bahwa ada teknik matematika alternatif untuk menggambarkan fenomena fisik yang
sama, dia tetap berpikir bahwa teknik tersebut harus mencapai klimaks dalam solusi unik yang
mewakili kebenaran masalah tersebut.

Dengan Qushji (w. 1474) kita dapat mulai melihat tren ini didorong sedikit ke depan. Karena
meskipun ia pasti sudah mengetahui bahwa model Merkurius yang dibuat Shirazi dapat
menyelesaikan permasalahan model Ptolemeus dengan cukup baik, ia tetap merasa dapat
menghasilkan satu model lagi yang dapat melakukan hal yang sama, seperti yang ia lakukan

167
dengan model barunya sendiri. Apakah dia berpikir bahwa modelnya, yang bergantung
sepenuhnya pada Lemma al-Urdi untuk memecahkan masalah kesetaraan Merkurius, hanyalah
sebuah alternatif dari model Shirazi, yang hanya menggunakan Tandem Tusi, dalam artian
bahwa model tersebut adalah penerapan sebuah teorema alternatif untuk memecahkan masalah
yang sama, atau apakah dia sebenarnya berpikir bahwa masalah itu sendiri mempunyai banyak
solusi?

Pada tahap ini, kami belum mengetahuinya. Namun dari kenyataan bahwa risalah Qushji
tentang model Merkurius adalah risalah yang sangat singkat yang dikhususkan untuk model ini
saja, orang dapat berasumsi bahwa ia menganggapnya sebagai alternatif terhadap model
Shirazi dan dengan demikian hanya sebagai cara berpikir matematika yang lain.

Dengan adanya Khafri, permasalahannya menjadi sangat jelas. Dalam satu kesempatan ia
menghasilkan empat model gerakan Merkurius yang berbeda, yang disebutnya wujuh
(pendekatan), semuanya memperhitungkan pengamatan dengan cara yang persis sama, dan
tidak ada satupun yang mirip dengan yang lain dalam hal matematisnya. konstruksi matematika.
Khafri seolah-olah akhirnya menyadari bahwa ada perbedaan antara dua cara berpikir
mengenai teorema Apollonius. Di satu sisi, hal ini dapat dianggap mewakili dua solusi
kosmologis yang berbeda untuk konflik antara anggapan Aristotelian dan observasi, dan hal ini
dapat dianggap sebagai dua cara matematis yang berbeda untuk membicarakan variasi
kecepatan matahari terhadap pengamat di Bumi. Pemahaman terakhir itulah yang akhirnya
diwujudkan melalui pendekatan Khafri, sejauh keempat modelnya ekuivalen secara matematis
seperti halnya representasi eksentrik secara matematis ekuivalen dengan representasi episiklik.
Dan meskipun hal ini tidak disebutkan secara tepat, orang hampir dapat mendengar Khafri
mengatakan bahwa model matematika yang ia rancang hanyalah frasa linguistik berbeda yang
digunakan untuk menggambarkan fenomena yang sama.

Dipandang sebagai alat, matematika di tangan Khafri hanya akan menjadi bahasa sains lain,
alat untuk menggambarkan fenomena fisik, dan tidak diperlukan perwujudan kebenaran atau
representasi yang benar, seperti yang dipikirkan Shirazi sebelumnya. Matematika menjadi
sebuah cara yang mudah, sebagaimana mendeskripsikan suatu fenomena dengan bahasa puitis,
dengan prosa, atau dengan figur matematika, dan dengan demikian bahasa itu sendiri kemudian
dapat diisolasi dari fenomena itu sendiri.

168
Kesimpulan

Dengan memusatkan perhatian pada pergeseran besar dalam pemikiran astronomi yang
menjadi ciri respons Islam terhadap astronomi Yunani, kini kita dapat dengan mudah melihat
secara sekilas ciri-ciri utama pergeseran tersebut. Kita dapat melihat betapa pentingnya untuk
mengeksplorasi rincian teknis penuh dari teks-teks astronomi Yunani yang paling canggih
(karya-karya Ptolemeus), tidak hanya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka,
observasional dan lainnya, tetapi juga untuk menyelidiki anggapan- anggapan mereka dan
kebenarannya. cara mereka menghubungkan fenomena yang diamati dengan metode
representasi yang memungkinkan prediksi fenomena tersebut. Peninjauan lebih dekat terhadap
dasar-dasar teks-teks tersebut memunculkan, seperti telah kita lihat, serangkaian teks Arab
yang ditulis secara khusus dengan tujuan untuk mengkritisi kelemahan- kelemahan tradisi
impor Yunani ini. Dari istidrak hingga shukuk, hingga penolakan langsung, semua pemaparan
penuh ini membuat tradisi astronomi Yunani sangat membutuhkan reformasi.

Transformasi paling penting yang terjadi pada masa ini adalah pergeseran dari pendekatan
instrumental Ptolemeus ke arah astronomi (yang memuaskan dengan keberhasilan pragmatis
dari fitur-fitur prediktif model matematika) ke pendekatan yang lebih teoretis yang
mengharuskan hasil prediksi konsisten. tidak hanya dengan observasi tetapi juga dengan
praanggapan kosmologis dari observasi itu sendiri. Dengan kata lain, dalam astronomi Islam,
tidak lagi cukup untuk mengatakan bahwa model matematika prediktif tertentu, seperti model
Ptolemeus, memberikan hasil yang baik mengenai posisi planet-planet pada waktu tertentu.
Persyaratan barunya adalah model itu sendiri juga harus merupakan representasi yang
konsisten dari anggapan kosmologis alam semesta, selain memperhitungkan observasi. Jika
alam semesta terdiri dari kombinasi bola-bola, dan jika bola-bola tersebut, berdasarkan sifatnya,
dianggap bergerak dalam gerakan melingkar yang seragam, maka tidak lagi dapat diterima
untuk merepresentasikan bola-bola tersebut dengan model matematika yang menghilangkan
bola-bola tersebut. sifat-sifat penting dari bola dan memuaskan diri sendiri dengan mengatakan
bahwa mereka memberikan hasil prediksi yang baik.

Apa yang tampaknya terjadi selama konfrontasi antara peradaban Islam yang menerima dan
tradisi Yunani yang diimpor, yang kita tahu sangat diawasi dengan ketat oleh berbagai sektor
masyarakat, adalah menjadikan tradisi yang masuk ini melalui berbagai kriteria yang ketat
sebelum diizinkan untuk masuk ke dalam masyarakat. bertahan dari kritik budaya yang

169
menjadi sasarannya. Dalam konteks tersebut, astronomi bukan lagi sebuah disiplin ilmu yang
hanya memberikan jawaban yang baik tentang posisi planet-planet, atau jawaban yang cukup
baik bagi seorang astrolog untuk membuat ramalan bintang. Namun karena keengganan agama
Islam terhadap astrologi itu sendiri dan terhadap ilmu astrologi secara umum, astronomi harus
mendefinisikan dirinya sebagai disiplin ilmu yang melampaui fitur prediksi sederhana dan
harus menampilkan dirinya sebagai pertanyaan yang jauh lebih relevan dengan pandangan
dunia yang lebih luas. yang memerlukan tindakan tegas di setiap kesempatan. Astronom
tersebut harus menjawab semua pertanyaan intelektual yang lebih besar yang berkaitan dengan
keahliannya. Dalam kekhawatiran tersebut, sang astronom tidak dapat lagi terlihat puas dengan
gambaran alam semesta yang membingungkan, selama ia dapat mencapai hasil yang dapat
diandalkan untuk ramalan astrologi. Astronomi harus membuktikan kegunaannya terhadap
lingkungan sosial dan budaya baru yang harus dihadapinya. Hal ini hanya dapat dilakukan
dengan melakukan kritik teoretis terhadap dasar- dasar astronomi Yunani.

Dalam konteks tersebut, kita kemudian dapat memahami mengapa tidak seorang pun dapat
terus menoleransi dua visi berbeda tentang hakikat alam semesta yang saling bertentangan.
konflik satu sama lain. Kita tidak bisa mengisolasi hasil yang disajikan dalam Almagest, hanya
sebagai alat komputasi dan matematis yang dapat memprediksi posisi planet-planet pada waktu
tertentu, dan mengatakan bahwa hasil-hasil tersebut tidak relevan dengan alam semesta fisik
yang disajikan dalam Hipotesis Planet. Agar adil, Ptolemeus tidak pernah benar-benar
menyatakan hal itu. Di sisi lain; sepanjang Almagest dia berulang kali mengisyaratkan
perlunya mengingat alam semesta Hipotesis Planet. Namun pada saat yang sama dia tetap terus
maju dan melanggar hampir setiap fitur alam semesta dengan merepresentasikannya dengan
konsep-konsep matematika yang sama sekali terpisah dari sifat-sifat matematikanya. Contoh
Equant berbicara langsung pada poin ini, di mana bidang-bidang Hipotesis Planet kehilangan
sifat-sifat bidangnya, jika seseorang merepresentasikannya hanya dengan cara yang
direpresentasikan dalam Almagest.

Dengan pertentangan mendasar tersebut, tugas para astronom dalam menerima budaya Islam
menjadi terfokus pada isu-isu konsistensi tersebut antara visi Hipotesis Planet dan representasi
visi tersebut di Almagest . Pada fase pertama respon terhadap tradisi astronomi Yunani,
masalah tersebut dianggap sebagai masalah kecanggihan teknik representasi, yaitu penerapan
matematika yang sama yang digunakan oleh Ptolemeus untuk mengkonfigurasi ulang
representasi. tasi agar mereka lebih setia pada objek yang mereka wakili. Seseorang seperti

170
Abu 'Ubayd al-Juzjan1 (w. ca. 1070), murid Ibn Sina yang terkenal (w. ca. 103 7) melakukan
hal tersebut dalam usahanya yang gagal untuk mereformasi representasi dari apa yang
kemudian menjadi masalah Equant. Diperlukan waktu sekitar dua abad untuk menyadari
bahwa matematika Ptolemeus sendiri tidak memadai, dan matematika baru harus diciptakan
untuk mencapai tujuan tersebut.

Karya 'Urdi dan Tusi mengantarkan pada fase kedua yang lebih penting, ketika mereka
berbicara langsung mengenai perlunya menciptakan matematika baru.

Dan masing-masing dari mereka memiliki teorema baru untuk ditambahkan. Beberapa
astronom, yang menggunakan matematika yang baru diperkaya, dan yang juga mulai
berspekulasi tentang berbagai cara untuk merepresentasikan fenomena fisik secara matematis,
mengikuti mereka. Sembilan upaya untuk merepresentasikan pergerakan planet Merkurius,
yang dirancang oleh murid dan kolega Tusi, Qutb al-Din al-Shirazi, dan upaya selanjutnya oleh
'Ala' al-Din al-Qushji untuk menghasilkan satu model lagi untuk pergerakan Merkurius,
termasuk dalam kategori tersebut. Tren mendefinisikan ulang matematika sebagai bahasa untuk
menggambarkan fenomena fisik mencapai klimaksnya dengan karya Khafri yang akhirnya
memberikan contoh konkrit dari empat model matematika berbeda yang menggambarkan
pergerakan planet Merkurius, namun semuanya persis setara secara matematis. Dengan cara ini
ia dapat mendemonstrasikan, meskipun tidak pernah dinyatakan secara eksplisit, bahwa
fenomena fisik seperti itu tidak menghasilkan solusi matematis yang unik, namun sebanyak
yang dapat dibayangkan oleh imajinasi manusia, dengan cara yang persis sama dengan fakta
spesifik yang dapat dijelaskan oleh sebuah fenomena. variasi bahasa yang tiada habisnya. Di
bawah kepemimpinan Ibn al-Shatir, reorientasi astronomi mengambil arah lain, kembali ke
landasan kosmologis yang menjadi dasar semua fenomena dan juga representasi dari fenomena
tersebut. Ibn al-Shatir akhirnya mempertanyakan kembali penggunaan konsep eksentrik, dan
menemukan bahwa konsep tersebut secara kosmologis tidak konsisten dengan landasan
kosmologis yang seharusnya diwakilinya. Ketika dihadapkan pada alternatif epicycle yang
tidak bisa dihindarkan, dia bersikeras agar alat seperti itu digunakan meskipun faktanya
penafsiran Aristotelian saat itu pada masanya menganggap epicycle sebagai sesuatu yang asing
bagi alam semesta Aristotelian. Daripada menyerah pada ketidaksempurnaannya sebagai
manusia, seperti yang dilakukan oleh Ptolemeus ketika Ptolemeus gagal menemukan
representasi yang konsisten dengan anggapan kosmologisnya sendiri, Ibn al-Shatir kembali ke
alam semesta Aristoteles itu sendiri untuk mengkritik ketidakkonsistenannya dan menunjukkan

171
fakta bahwa epicycles, dalam arti sempit, konsisten dengan alam semesta Aristoteles jika alam
semesta tersebut dipahami dengan benar.

Setelah membuang semua hal yang eksentrik dalam representasi gerakan planet, dan setelah
melihat kesamaan penting dari semua gerakan tersebut karena semuanya dapat
direpresentasikan dengan model yang sama dengan sedikit penyesuaian tambahan untuk planet
Merkurius, Ibn al-Shatir melanjutkan. untuk menguji kembali hubungan antara fenomena yang
diamati dan model matematika yang seharusnya mewakilinya. Kesiapannya untuk
mengadaptasi model matematisnya agar sesuai dengan observasi menunjukkan banyak hal
tentang prioritasnya dan tentang definisi akhir astronomi. Bagi Ibn al-Shatir, astronomi adalah
disiplin ilmu yang menghasilkan deskripsi sistematis dan akurat tentang perilaku alam semesta
nyata di sekitar kita. Deskripsi itu sendiri harus merupakan representasi matematis ilmiah yang
hanya dapat berupa pernyataan yang menggambarkan realitas pengamatan.

Melihat perkembangan astronomi Islam dengan cara ini memungkinkan kita untuk melihat
betapa menuntutnya budaya penerima, dan betapa tuntutan tersebut mengharuskan pemikiran
ilmiahnya terus didefinisikan dan disempurnakan secara progresif sesuai dengan kriteria presisi
dan konsistensi yang selalu berubah. budaya ini dipaksakan pada dirinya sendiri.

172
5. Sains, Antara Filsafat dan Agama:
Kasus Astronomi

Bab-bab sebelumnya berfokus pada kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang memunculkan
dan menopang ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Kami berkesempatan untuk
memanfaatkan secara luas sumber-sumber historis dan ilmiah itu sendiri untuk
mengilustrasikan dengan contoh-contoh khusus bagaimana proses motivasi dan dorongan serta
penghargaan ini bekerja untuk memungkinkan lahirnya disiplin ilmu tertentu, dan disiplin ilmu
lainnya. ditinggalkan, dan masih ada lagi yang harus dipelihara dan dibangun kembali. Kami
sudah beberapa kali mengisyaratkan bahwa kami menggunakan disiplin ilmu Astronomi hanya
sebagai acuan semata karena terdapat kebutuhan metodologis untuk mengaitkan saran-saran
historiografis dalam disiplin ilmu tertentu agar dapat mengontekstualisasikan
kekuatan-kekuatan sosial yang bekerja jauh lebih sulit untuk didokumentasikan.

Dalam berbagai kesempatan, sering kali referensi dibuat untuk kekuatan masyarakat yang
memerlukan penciptaan disiplin ilmu baru, seperti dalam kasus 'ilm al-miqat, 'ilm al-faraidh,
dan 'ilm al-haya’, sedangkan pada kesempatan lain kami mengisyaratkan, sekali lagi dengan
sangat singkat, transformasi logis dalam dalam disiplin ilmu itu sendiri yang memunculkan
disiplin ilmu lain seperti dalam kasus pengembangan teori trigonometri sebagai akibat dari
kebutuhan untuk memenuhi solusi yang bersifat trigonometri bola. Konsekuensi alami dari
penerapan trigonometri baru adalah matinya fungsi tali busur Yunani kuno, dan metode Yunani
kuno dalam memecahkan masalah trigonometri bola.

Pada saat itu, penelitian historiografi ini dipandu oleh kebutuhan untuk menjelaskan fakta-fakta
sejarah dan ilmiah yang kita ketahui dari sumber-sumber yang masih ada. Sekali lagi

173
penekanannya diberikan pada disiplin astronomi untuk tujuan ilustrasi saja; selalu berharap
agar rekan-rekan yang bekerja di disiplin lain dapat menguji kesimpulan umum yang dicapai
dalam konteks pendekatan metodologis baru terhadap sejarah ilmu pengetahuan Islam yang
diadopsi dengan narasi alternatif.

Data yang sudah mereka ketahui dari disiplin ilmu mereka masing-masing. Dengan pendekatan
ini, kita dapat merekonstruksi perkembangan disiplin ilmu astronomi dan mendeteksi, hampir
di setiap titik waktu, motivasi di balik sebagian besar terobosan baru yang memang terjadi
sepanjang sejarah panjang astronomi Islam. Berbagai tahapan pemikiran astronomi mulai
menyatu dan menjadi lebih masuk akal ketika dipahami dari dalam proses kontekstualisasi ini.

Dalam beberapa kesempatan, referensi dibuat untuk tren umum dalam sejarah astronomi Islam
yang dimotivasi oleh persyaratan agama. Identifikasi tren-tren tersebut dan liku-likunya
memberikan petunjuk tentang betapa rumitnya hubungan antara sains dan agama yang ingin
saya dokumentasikan dalam konteks peradaban Islam. Saya perlu mengikuti jalan tersebut
bukan hanya karena kita perlu mengetahui sejauh mana ide-ide keagamaan tertentu dapat
memotivasi minat ilmiah yang sejati, atau untuk mengetahui peran yang dimainkan oleh para
penganut agama dalam produksi ilmu pengetahuan, namun saya juga memerlukannya. untuk
mengetahui apakah model antagonisme antara ilmu pengetahuan dan agama yang tampaknya
cukup berhasil dalam konteks Eropa, sebagaimana diartikulasikan oleh etos zaman nalar, juga
akan berhasil dalam konteks peradaban Islam. Dan di sini sekali lagi, disiplin ilmu astronomi
selalu digunakan untuk menggambarkan perkembangan umum dengan contoh-contoh nyata,
setidaknya dari produksi ilmiah literatur astronomi.

Meski masih berfokus pada disiplin ilmu astronomi, bab sebelumnya mencoba mengeksplorasi
pergeseran halus yang terjadi dalam disiplin ilmu tersebut. Bagian tersebut menyatakan bahwa
pergeseran-pergeseran tersebut terjadi, di satu sisi, sebagai akibat dari keadaan sejarah belaka,
seperti kebetulan mengamati fenomena astronomi yang sama, yang diamati oleh Ptolemeus
pada abad kedua, dari sudut pandang bumi. Baghdad abad kesembilan, sehingga memanfaatkan
perjalanan waktu sekitar 700 tahun yang tidak disengaja yang pasti dapat menyempurnakan
hasil sebelumnya. Di sisi lain, hal ini berbicara tentang beberapa pergeseran yang diperlukan
oleh perkembangan pemikiran astronomi itu sendiri, sehingga memerlukan penerapan teorema
matematika baru, teknik matematika baru, dan akhirnya persepsi baru mengenai peran
matematika dalam disiplin ilmu tersebut. sebagai disiplin ilmu astronomi. Realisasi terakhir
dari peran matematika sebagai bahasa deskriptif untuk fenomena alam tentunya dapat

174
diterapkan pada disiplin ilmu pengetahuan lain yang dapat menguatkan atau meniadakan proses
yang tampaknya terjadi di bidang astronomi.

Dalam semua kasus, banyak penekanan diberikan pada peran kekuatan sosial, ekonomi dan
politik yang dinamis dalam membentuk konsepsi baru tentang proses astronomi yang pada
akhirnya mengarah pada pengembangan konsep astronomi Islam yang unik dan bukan sekedar
regurgitasi dari astronomi Yunani kuno. astronomi, dan juga bukan merupakan terobosan total,
namun mampu meletakkan dasar bagi perubahan revolusioner terhadap tradisi astronomi
tersebut. Saya dengan hati-hati mencatat bahwa semua perkembangan tersebut, meskipun
dipahami dalam konteks umum masyarakat yaitu perjuangan melawan masuknya “ilmu-ilmu
asing” ke dalam peradaban Islam, pada saat yang sama merupakan perkembangan yang sangat
diperlukan oleh masyarakat. kekurangan tradisi astronomi Yunani itu sendiri, baik pada tingkat
pengamatan praktis maupun pada tingkat teoretis yang lebih maju. Namun semua
perkembangan, liku-liku, dan liku-liku tersebut merupakan gejala dari ketegangan ganda yang
telah disebutkan sebelumnya, sebagai akibat dari suatu disiplin ilmu yang dipaksa untuk
menegosiasikan tempatnya dalam kerangka epistemologis masyarakat yang diterima secara
umum. Di satu sisi, dan dalam inovasi epistemologis umum dari disiplin ilmu itu sendiri di sisi
lain.

Bab ini akan mendorong diskusi ini selangkah lebih jauh dengan berfokus pada dampak dari
perkembangan tersebut, dalam kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis baru yang
mereka ajukan, dan kami akan mencoba meninjau kembali implikasi dari perkembangan
tersebut terhadap hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama dengan menggunakan, sekali
lagi, peran astronomi yang bersifat ilustratif dan instruktif.

Dimensi Filsafat

Semua karya teoritis astronomi yang kita ketahui sekarang dihasilkan dalam peradaban Islam
antara abad kesembilan dan keenam belas dipahami dalam parameter penentu umum
kosmologi Aristoteles. Dengan pengecualian risalah yang secara umum diberi judul al-hay'a
al-sunniya (mungkin diterjemahkan sebagai astronomi Ortodoks) dan diklasifikasikan dalam
astronomi agama, semua risalah lainnya, baik disadari atau tidak, mengasumsikan alam
semesta bulat geosentris, di mana planet-planet berada. Dan bintang-bintang bergerak di
tempatnya, dalam gerakan melingkar, dengan kecepatan seragam, dan seterusnya. Kontur alam

175
semesta ini telah ditentukan oleh kosmologi Aristoteles yang tertanam dalam, dan bahkan
diklaim sebagai dasar astronomi Ptolemeus itu sendiri.

Dalam istilah yang sangat umum, seseorang dapat mengkarakterisasi seluruh tradisi astronomi
teoretis Islam, sebagai upaya terus-menerus untuk menyelamatkan Ptolemeus dari ancaman
kebodohannya sendiri, dalam arti mencoba membuat karyanya lebih selaras dengan
prinsip-prinsip kosmologis Aristotelian yang sama yang telah diterimanya, dan pada saat yang
sama berupaya untuk mempermasalahkannya, dan dengan Aristoteles di belakangnya, untuk
semua kontradiksi yang ditimbulkan oleh visi kosmologis mereka. seterusnya. Namun
ironisnya, seluruh tradisi astronomi teoretis Islam juga merupakan upaya untuk menyelamatkan
Aristoteles, kapan pun gagasannya tidak bertentangan, dan pada saat yang sama meninggalkan
Aristoteles, kapan pun pemikirannya dianggap tidak masuk akal. Jadi secara mendalam, kita
dapat mengatakan bahwa teori astronomi Islam merupakan perdebatan yang berkelanjutan
dengan Aristoteles, namun dipandu oleh komitmen nyata terhadap alam semesta fisik yang
coba dipahami oleh para astronom tersebut

Kita harus memahami bahwa dialog dengan Aristoteles ini juga terjadi dalam budaya yang
pertama-tama dan terutama asing dengan budaya Yunani Aristoteles, dan mempunyai
premis-premis doktrinalnya sendiri yang tidak dapat dilanggar. Misalnya, tidak ada cara untuk
mengabaikan prinsip pengorganisasian agama itu sendiri, keberadaan Tuhan, agama yang
diwahyukan, dan sebagainya, dalam upaya apa pun untuk memahami alam semesta itu sendiri.
Kita tidak perlu berbicara langsung mengenai persoalan keberadaan Tuhan, sambil
menjelaskan gerak planet-planet dan penciptaan model-model matematis yang meramalkan
posisinya pada waktu dan tempat apa pun. Namun kita tidak bisa mendasarkan model dan
teknik penjelasan ini pada asumsi ketidakhadiran Tuhan di alam semesta. Selama kosmologi
Aristoteles tidak bertentangan langsung dengan premis-premis mendasar tersebut, maka
masalah tidak akan muncul.

Namun ketika visi Aristotelian memahami konsep perubahan di dunia sekitar kita melalui
proses pembangkitan dan kerusakan, dan bahwa pembangkitan dan kerusakan itu sendiri pada
gilirannya bergantung pada pergerakan benda-benda langit, maka hal tersebut bertentangan
dengan prinsip fundamental. Prinsip keagamaan yang pada gilirannya menganggap visi
kosmologis Aristotelian sebagai visi pendiri teori astrologi. Dampak dari konflik semacam ini
memang bisa sangat serius. Karena menganggap aktivitas manusia secara langsung dipengaruhi
oleh aktivitas alam semesta, seperti yang ditafsirkan oleh beberapa astrolog Aristoteles, berarti

176
bahwa seseorang dapat melepaskan seseorang dari kewajiban keagamaannya, atau paling tidak
membebaskannya dari akibat-akibat dari aktivitasnya. tindakan. Dalam konteks itulah astrologi
menjadi kelemahan pemikiran Yunani secara umum, dan mempunyai pengaruh yang
merugikan terhadap disiplin astronomi yang sangat erat hubungannya dengan tradisi Yunani.

Untuk menghindari tuduhan tidak mengindahkan ajaran agama, para astronom yang bekerja di
lingkungan peradaban Islam harus mengambil dua pilihan:

Entah mengabaikan otoritas agama dan terus mengasosiasikan disiplin mereka dengan astrologi
seperti yang dilakukan dalam sumber-sumber Yunani sebelumnya, atau mendefinisikan
kembali subjek disiplin mereka sebagai upaya untuk mengetahui posisi planet-planet tanpa
harus memberikan komentar apapun mengenai signifikansi astrologi dari posisi tersebut. Bagi
mereka yang memilih pilihan kedua, disiplin mereka kemudian dengan sengaja dibatasi pada
pencarian posisi planet secara empiris hanya karena masalah penentuan posisi planet itu sendiri
merupakan tantangan yang perlu dihadapi. Tentu saja, mereka juga memilih untuk mendukung
pekerjaan mereka dengan pernyataan keagamaan yang mendorong manusia untuk mempelajari
fenomena alam sebagai tanda-tanda ciptaan Tuhan dan indikator keberadaan Tuhan sendiri.

Apa pun pembenaran yang mereka gunakan untuk disiplin mereka, hasil akhirnya tetap sama:
mereka berusaha membangun model matematika, yang sesuai dengan praanggapan kosmologis,
dalam hal ini praanggapan Aristotelian, namun mampu memprediksi posisi sebenarnya dari
planet-planet. Pada saat yang sama, mereka dengan sengaja menghindari implikasi keagamaan
dan astrologi dari kosmologi Aristoteles. Intinya, mereka memangkas Aristoteles sesuai
kebutuhan mereka.

Didefinisikan dengan cara ini, astronomi tidak lagi tampak seperti padanannya di Yunani,
meskipun dalam banyak hal ia mirip. Sejauh bagian komputasinya, dan perhitungan matematis
yang menghubungkan fenomena yang diamati dengan model prediktif, kedua astronomi
tersebut kurang lebih sama. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa para astronom kemudian di
wilayah Islam mengambil manfaat dari berlalunya waktu untuk memperbaiki kesalahan
parameter astronomi yang terdapat dalam tradisi Yunani. Namun perbedaan terpenting terletak
pada tujuan kedua astronomi tersebut: Tradisi Yunani diperlukan untuk menentukan posisi
planet-planet sehingga dapat memprediksi pengaruhnya terhadap perubahan dunia di wilayah
sub-bulan, sedangkan astronomi Islam membatasi diri pada deskripsi yang sama mengenai
perilaku planet-planet, dengan tingkat akurasi tertinggi yang bisa mereka kumpulkan, namun

177
tetap menahan diri untuk bertanya tentang pengaruh planet terhadap wilayah sub-bulan secara
umum atau perilaku manusia pada khususnya. Di lingkungan inilah lahir disiplin baru 'ilm
al-hay'a (ilmu astronomi). Dan karena itu, tentu saja tidak ada padanannya dalam bahasa
Yunani. Para penulisnya sepenuhnya menyadari hal itu, dan oleh karena itu merek membatasi
diri untuk menyebutnya dengan nama barunya, yang secara harafiah berarti "ilmu tentang
konfigurasi [dunia]".

Setelah tujuan astronomi didefinisikan ulang secara konseptual, maka penelitian astronomi
sepenuhnya dibolehkan dalam peradaban Islam. Ini tidak berarti bahwa astrologi akhirnya
dikucilkan dari ranah sosial. Faktanya, ada banyaknya sumber yang menyatakan sebaliknya
dan bahkan ada yang membuktikan bahwa hal ini berkembang dan diterima secara luas di
kalangan politik karena hal ini terus memandu tindakan para penguasa dan kelompoknya
berdasarkan perintah dari posisi dunia. Namun menghapuskan astronomi dari praktik astrologi
berarti bahwa astronomi itu sendiri dapat berkembang di kalangan elit agama yang
memandangnya sebagai disiplin ilmu yang saling melengkapi, dan dengan demikian merasa
nyaman dengannya, terutama ketika astronomi baru yang spesifik ini mulai mengarahkan
perhatiannya pada kritik terhadap ilmu astrologi

Ciri penting 'ilm al-hay'a ini menandai disiplin ini sejak awal mulanya pada abad kesembilan.
Faktanya, semua teori planet alternatif yang kita ketahui dari ranah Islam diartikulasikan dalam
teks-teks yang mengidentifikasinya diri mereka sebagai teks hay'a . Dan karena hay'a hanya
berarti "konfigurasi [dunia]", ini berarti bahwa teks-teks tersebut terbatas pada aspek deskriptif
astronomi, dan tidak pernah menyediakan tabel aktual yang dapat digunakan untuk penentuan
sebenarnya dari alam semesta. posisi planet-planet seperti yang dilakukan oleh Almagest,
misalnya. Dalam hal ini, teks hay'a lebih mirip Hipotesis Planet Ptolemeus daripada Almagest
atau Tabel Praktis.

Dan karena tujuan baru astronomi ini, maka mereka mampu menjaga jarak dari tradisi Yunani
kuno, dan mengambil kebebasan penuh untuk memberikan kritik paling keras pada tradisi
Yunani kuno kapan pun kritik tersebut dianggap perlu. Bagaimanapun juga Mul)ammad b.
Musa b. Shakir (c. 850), salah satu sponsor paling bersemangat dari terjemahan teks-teks
ilmiah Yunani, yang menawarkan untuk memahami upaya Ptolemeus untuk menjelaskan dua
Gerakan dasar: (1) rotasi harian bola kedelapan yang menghasilkan variasi siang dan malam
dan (2) gerak presesi yang paling banyak diamati pada posisi geser ekuinoks musim semi.
Berangkat dari ajaran filosofis Yunani yang menyatakan bahwa semua gerakan langit

178
dihasilkan oleh benda-benda yang bergerak secara spesifik, dalam hal ini bola-bola individual,
maka kedua gerakan tersebut harus dianggap sebagai dua bola yang terpisah, karena tidak
dapat dibayangkan bahwa bola yang sama dapat bergerak dalam dua bola. gerakan terpisah
pada saat yang sama, sementara masih di tempatnya. Untuk menyelesaikan masalah ini,
Ptolemeus menugaskan gerak harian pada bola kedelapan dari bintang-bintang tetap, dan
kemudian menambahkan bola konsentris kesembilan lainnya untuk menjelaskan gerak presesi.
Seseorang dapat membalik urutannya dan menetapkan presesi dan kemudian menganggap
Gerakan sehari-hari berasal dari bidang ke-sembilan. Urutannya tidak jadi masalah.

Sebaliknya, untuk Muhammad Musa Shakir, 4 masalahnya terletak pada kenyataan bahwa
dua bola terakhir, yang seharusnya melakukan gerakan tersebut, adalah konsentris. Dan
pengaturan tersebut secara khusus menimbulkan masalah fisik yang penting. Karena
bagaimana bola mana pun bisa menggerakkan bola lain, jika kedua bola itu konsentris, dan jika
kedua bola terbuat dari unsur eter yang sama yang tidak memungkinkan adanya sifat-sifat
seperti gesekan, tarikan, dan sejenisnya?

Dengan memahami eter dalam pengertian Aristoteles yang ketat, yaitu bahwa ia merupakan
unsur sederhana yang tidak mempunyai ciri-ciri unsur sublunar seperti berat, ringan, dan
sebagainya, maka tidak mungkin ada dua bola yang terbuat dari dua bola. elemen yang sama
ini, untuk memaksa gerakan satu sama lain jika mereka berbagi pusat yang sama.

Muhammad Musa Shakir tidak mengalami kesulitan dalam menjelaskan bahwa satu bola
memaksa bola eksentrik lainnya untuk bergerak bersamanya, karena hal itu tidak memerlukan
gesekan fisik dan sejenisnya. Namun baginya, "sama sekali tidak mungkin" memiliki bola
kesembilan yang gerakannya memerlukan gerakan bola kedelapan. Sejauh yang kami tahu,
Muhammad Musa Shakir tidak punya solusi nyata terhadap kesulitan ini, tapi dia jelas sangat
keberatan dengan pengaturan Ptole-maic. Dan keberatannya sangat bersifat filosofis karena
sepenuhnya bergantung pada definisi unsur eter.

Tentu saja hilangnya risalah yang di dalamnya Muhammad b. Musa b. Argumen Shakir tidak
membantu kita menentukan apakah dia mempunyai solusi terhadap masalah tersebut atau tidak.
Kajian terkini atas risalah tersebut didasarkan pada kutipan fragmen dari karya seorang
astronom yang hidup berabad-abad setelah Muhammad Musa Shakir.

179
Bagi penulis KiTub al-istidriik asal Andalusia (c. 1 050) yang anonim, yang karyanya KiTub
al-haysa yang masih ada masih disimpan di Hyderabad, India, 5 pertanyaan yang lebih global
adalah menunjukkan dengan tepat status astronomi baru di bidang astronomi. yang tulisannya
sekarang dia ikuti. Dalam bagian kritis tentang bagaimana astronomi baru ini harus
dilaksanakan, dia berkata:

Orang yang mengerjakan bidang ini harus memperoleh gerak [rata-rata], yang dijadikan
sebagai prinsip, dari pengamatan, dan kemudian mempertimbangkan melalui geometri
bagaimana gerak tersebut dapat terjadi, dan konfigurasi mana yang paling sesuai untuk gerak
tersebut. Dalam pencariannya, ia tidak boleh meninggalkan prinsip-prinsip keahlian ini, yang
harus ia terima dari filsafat alam. Oleh karena itu, ia tidak boleh menyimpang dari gerak
seragam bola dan melingkar dan berpindah ke benda yang tidak bulat atau tidak melingkar.
Dan jika dia mampu menemukan banyak konfigurasi untuk planet yang sama, semuanya
menghasilkan hasil pengamatan gerakan tertentu yang sama, maka dia harus memilih
konfigurasi lebih sederhana dan mudah, dengan cara yang sesuai dengan benda langit, seperti
yang telah dilakukan oleh Ptolemeus yang, dalam kasus matahari, memilih model eksentrik,
yang menggambarkan hanya satu gerakan, bukan model episiklik, yang memerlukan dua
Gerakan.

Bagi penulis anonim ini, alam semesta astronomi yang di dalamnya semua gerakan planet
harus dipahami dan disesuaikan, adalah alam semesta Aristotelian yang memiliki premisnya
sendiri yang tidak boleh dilanggar oleh astronom. Dan sembari memuji Ptolemeus, penulis
menggunakan bahasa ini sebagai kritik tersirat terhadap Ptolemeus yang melakukan hal
tersebut. Menurut semua penulis buku tentang keraguan (shukuk), Ptolemeus jelas
menyimpang dari premis alam semesta Aristoteles, dan karenanya pantas dikritik habis-habisan
oleh mereka.

Lebih jauh lagi, penulis Andalusia yang tidak disebutkan namanya itu bermaksud untuk
menekankan bahwa bukan hanya prinsip alam semesta yang bulat, dengan bola yang bergerak
secara seragam, yang harus diamati, namun representasi konfigurasi tertentu dari alam semesta
tersebut juga harus diperhatikan. konsisten dengan sifat alam semesta itu. Dengan kata lain, ia
ingin mendukung pesan utama para penulis hay'a , yang dapat diringkas dalam persyaratan
konsistensi baru yang harus dipatuhi oleh semua teori astronomi. Sederhananya, persyaratan
konsistensi ini menuntut agar matematika, yang digunakan oleh astronom untuk
menggambarkan fenomena yang diamati di alam semesta fisik, tidak boleh menyimpang dari

180
karakteristik matematika alam semesta tersebut. Dalam representasi ini, misalnya, jika
seseorang berani menerima konsep bola yang bergerak secara seragam, pada tempatnya,
mengelilingi sumbu yang tidak melewati pusatnya, maka orang tersebut mungkin juga
menerima absurditas dalam merepresentasikan bola dengan gambar tersebut. dari segitiga
matematika.

Dalam konteks ini, seseorang dapat mendefinisikan ciri utama astronomi baru haya sebagai
astronomi yang terobsesi dengan konsistensi antara premis-premis lapangan dan semua
konstruksi yang diperlukan oleh lapangan tersebut. Bagi penulis anonim ini, alam semesta
astronomi yang di dalamnya semua gerakan planet harus dipahami dan disesuaikan, adalah
alam semesta Aristotelian yang memiliki premisnya sendiri yang tidak boleh dilanggar oleh
astronom. Dan sembari memuji Ptolemeus, penulis menggunakan bahasa ini sebagai kritik
tersirat terhadap Ptolemeus yang melakukan hal tersebut. Menurut semua penulis buku tentang
keraguan (shukuk), Ptolemeus jelas menyimpang dari premis alam semesta Aristoteles, dan
karenanya pantas dikritik habis-habisan oleh mereka.

Bagian terakhir dari kutipan tersebut menggarisbawahi pentingnya prinsip estetika lain yang
telah diketahui oleh para penulis Yunani, dan yang tidak ada hubungannya dengan astronomi
observasional, yaitu prinsip kesederhanaan dan kemudahan. Ptolemeus sendiri telah
mengartikulasikan prinsip itu, dengan banyak kata, ketika dia menjelaskan, dalam buku III A
lmgest, mengapa dia memilih model matahari yang eksentrik daripada model episiklik.

Para astronom dan filsuf lain yang bekerja di bidang Islam mempunyai masalah lain yang harus
dihadapi, yaitu Aristoteles sendiri, dan terkadang dengan Ptolemeus sebagai ahlinya. mewakili
filosofi itu. Lagipula, Ptolemeus-lah yang memulai perdebatan dengan pilihannya yang tak
terucapkan mengenai model surya. Kedua pilihan tersebut melanggar kosmologi Aristotelian.
Yang pertama mengemukakan keberadaan eksentrik yang pusat-pusatnya menurut definisi
tidak bertepatan dengan pusat beban di mana segala sesuatu bergerak, seperti yang disyaratkan
oleh Aristoteles. Pilihan kedua mengasumsikan keberadaan epicycles, di alam angkasa, yang
mempunyai pusat geraknya sendiri, sekali lagi bertentangan dengan rekomendasi Aristoteles.

Dalam kasus matahari, Ptolemeus puas dengan model eksentriknya dan tidak mengatakan apa
pun tentang pilihan lain, kecuali bahwa itu adalah sebuah pilihan. Namun dalam kasus planet
lain, Ptolemeus tidak punya pilihan sederhana seperti itu. Dia harus menerima kedua model

181
tersebut: eksentrik dan juga epicycles. Dalam hal ini, setiap astronom lain yang bekerja di
bidang Islam, kecuali Ibn al-Shatir yang menolak semua hal eksentrik, mengikutinya.

Dalam keadaan seperti ini, dapat dimengerti mengapa seseorang seperti Averroes, yang
hidupsekitar dua abad sebelum Ibn al-Shatir, sangat menolak astronomi pada zamannya, ketika
ia berkata, “untuk mengusulkan sebuah bola eksentrik atau bola episiklik. adalah suatu hal
yang di luar alam (amrun kharijun an al tab'). Ia kemudian melanjutkan dengan mengatakan:

Bola epicycle pada prinsipnya mustahil (ghair mumkin asl"), karena benda yang bergerak
dalam gerak melingkar harus bergerak mengelilingi pusat alam semesta (markaz al-kull) dan
bukan di luarnya. "

Dia melanjutkannya dengan pernyataan yang lebih memberatkan: Ilmu astronomi zaman kita
tidak memuat apa pun yang ada (laysa min syain maujud), melainkan astronomi zaman kita
hanya menganut komputasi, dan tidak menganut eksistensi (hay'an muwafiqat lil husband la lil
wujud).

Sebagaimana telah dicatat, Ibnu al-Shatir-lah yang menganggap serius keberatan-keberatan ini,
dan menanggapi isu kaum eksentrik dengan mengusir mereka dari sistemnya. Namun dalam
kasus epicycles, dia melemparkan bolanya kembali ke halaman Aristoteles untuk menanyakan
tentang hakikat eter seperti yang telah kami katakan juga.

Lalu ada persoalan mengenai bidang Aristoteles itu sendiri, apakah bidang tersebut bergerak
atas kemauannya sendiri atau dipaksa bergerak oleh hal lain.10 Masalahnya muncul
darikenyataan bahwa planet-planet itu sendiri tidak mempunyai jenis gerak yang sama, dan
sepertinya untuk menunjukkan gerakan individu mereka sendiri. Namun menurut Aristoteles,
tidak ada gerakan seperti itu tanpanya penggerak yang menyebabkannya sejak awal. Dengan
demikian setiap planet pasti mempunyai bola yang menyebabkan pergerakannya. Dan karena
rumitnya gerakan tersebut, bola menjadi berlipat ganda, dan seterusnya.

Pergerakan bola ini menimbulkan diskusi yang hidup yang tampaknya dimulai dengan 'Urdli
(1266) pada abad ketiga belas dan berlanjut hingga abad keenam belas dengan karya Ghars
al-D1n b. Ahmad b. Khalil al-I: Ialab1 (wafat 1563). Inti dari perdebatan ini adalah untuk
menunjukkan paradoks pemikiran Aristoteles mengenai bidang-bidang tersebut. Jika bola-bola
tersebut bergerak atas kemauannya sendiri, seperti yang tampaknya memang terjadi, lalu

182
bagaimana kita bisa mengantisipasi pergerakannya, dan memprediksi di mana letak
planet-planet pada waktu tertentu?

Sebaliknya, jika bola dipaksa bergerak dalam gerakan yang dapat diprediksi, bisakah mereka
menunjukkan variasi gerakan seperti yang kita saksikan di alam semesta? 'Urdhi menyela:

Jika kita mengakui bahwa penggerak suatu planet dapat dipercepat dan diperlambat, maka kita
tidak perlu membuat konfigurasi (hay'a), dan astronominya sendiri (hay'a) (yaitu milik
Ptolemeus) akan melakukannya. menjadi sia-sia. Asumsi apa pun yang menyatakan bahwa
suatu planet mempunyai lebih dari satu bola adalah suatu kelebihan yang tidak perlu, dan tidak
mungkin terjadi.

Dia melanjutkan:

Jika demikian halnya, maka gerakan pihak-pihak yang berbeda akan menjadi tidak teratur,
kadang- kadang semakin cepat dan kadang-kadang melambat. Dan itu tidak mungkin menurut
prinsip ilmu ini Jika seseorang mengakui kemustahilan semacam ini dalam disiplin ini (ina 'a),
maka semua itu tidak berdasar, dan cukuplah dikatakan bahwa setiap planet hanya mempunyai
satu bola konsentris, dan bola eksentrik atau bola lainnya hanya mempunyai satu bola
konsentris. lingkup episiklik akan menjadi tambahan yang tidak perlu.

Solusi sederhana yang ditawarkan oleh Ghars al-Din, untuk gerakan sukarela bola, namun
memungkinkan prediktabilitasnya, secara sederhana menyatakan:

Di manakah pentingnya bidang-bidang tertentu yang telah Anda (artinya para astronom
Ptolemeus) ajukan, yang sampai saat ini Anda gagal memperbaikinya, dengan semua
penemuan dan pengelakanyang tersirat di dalamnya? Mari kita katakan bahwa setiap planet
mempunyai satu bola yang bergerak atas kemauannya sendiri, kadang-kadang bertambah cepat,
kadang-kadang melambat, menjadi diam, bergerak maju, dan mundur, dll. Apa yang
menambah kealamiannya adalah kenyataan bahwa ia mengikuti a pola tertentu."

Secara kebetulan, solusi Ghars al-Din mengenai masalah prediktabilitas namun


jugamemungkinkan adanya kemauan, dengan membiarkan lingkungan “mengikuti pola
tertentu,” mengingatkan kita pada konsep adat (ada) yang ditawarkan tentang 500 tahun
sebelumnya oleh Ghazall yang juga memiliki kesulitan yang sama dalam membiarkan mukjizat
terjadi namun tetap memiliki kesinambungan dunia dan prediktabilitas yang diperlukan oleh

183
kesinambungan tersebut.14 Berani kami menyarankan di sini solusi yang berasal dari teks-teks
agama yang diterapkan pada teks-teks astronomi, seperti yang dilakukan Ghars al-Din?

Bagi astronom NaÿIr al-Din al-Tusi (w. 1 274), perlunya mengembangkan teorema matematika
baru untuk menyelesaikan kesulitan Ptolemeus mengenai gerak lintang planet-planet
mempunyai hal-hal lain yang "tidak disengaja" konsekuensi filosofis. Ketika Ptolemeus ingin
membiarkan bidang miring (sebenarnya ekuator bola pembawa) planet- planet bawah Venus
dan Merkurius berosilasi ke utara dan selatan ekliptika Ketika epicycle planet dari
planet-planet tersebut bergerak dari ujung utara ke ujung ekstrim ke selatan, ia mengusulkan
untuk menempelkan ujung diameter bidang miring tersebut pada dua lingkaran kecil yang
ditempatkan tegak lurus bidang ekliptika. Ptolemeus membayangkan bahwa dengan cara ini ia
dapat membuat ujung-ujung diameter bergerak sepanjang lingkaran tersebut dan sebagai
hasilnya, ujung-ujung tersebut akan menghasilkan gerakan osilasi yang diperlukan yang pada
gilirannya akan menjelaskan gerakan garis lintang.

Pada saat itu, Tusi berseru bahwa pidato yang digunakan Ptolemeus berada di luar bidang
astronomi. Bukan hanya karena pemasangan ujung diameter tersebut akan menghasilkan
gerakan goyangan ketika melakukan gerakan lintang yang disyaratkan, namun karena
goyangan yang sama pertama-tama akan menghancurkan komponen gerakan longitudinal yang
telah dihitung dan diperhitungkan dengan susah payah dengan susah payah. sisa model
matematika prediktif. Kedua, hal ini akan memperkenalkan jenis gerakan osilasi atau gerakan
yang tidak berada dalam lingkaran penuh ke dalam alam langit. Persyaratan terakhir ini akan
melanggar esensi definisi Aristotelian tentang bola langit.

Tusi mengusulkan untuk memecahkan masalah tersebut dengan memperkenalkan teoremanya


sendiri, yang sekarang disebut Tusi's Couple, yang memungkinkan solusi dari kedua masalah
Ptolemeus: pertama memungkinkan terjadinya gerak osilasi sebagai akibat dari gerakan
melingkar penuh, dan kedua menghindarinya. goyangan yang diperlukan seperti yang
disyaratkan oleh saran Ptolemeus. Dengan satu teorema, kedua permasalahan diselesaikan
sekaligus.

Sebagai konsekuensi yang tidak disengaja, teorema ini menentang pemisahan dogmatis
Aristotelian antara dunia selestial dan sublunar. Aristoteles telah memisahkan kedua dunia
tersebut berdasarkan sifat gerak yang berkaitan dengan salah satu dunia tersebut. Gerakan linier
adalah hal yang alami bagi sublunar dunia, sedangkan dunia langit hanya bergerak dalam gerak

184
melingkar. Teorema Tusi kini menyajikan contoh tandingan yang paling mencolok. Karena di
sini kita mempunyai, dengan Tusi's Couple, sebuah alam semesta di mana, dalam kondisi yang
tepat, gerak linear dapat dengan sendirinya dihasilkan dari dua gerak melingkar. Hal ini tidak
hanya akan menjadikan pembagian Aristotelian atas dua dunia tersebut sepenuhnya artifisial,
yang tidak wajar dalam pengertian Aristotelian, namun juga akan menjadikan karakterisasi
Aristotelian mengenai pembangkitan dan korupsi sebagai produk sampingan dari gerakan linier
yang berlawanan, khususnya pada dunia sublunar, juga buatan dan sepenuhnya
sewenang-wenang. Lebih lanjut, karena Tusi's Couple juga dapat menunjukkan bahwa gerak
linier osilasi yang dihasilkan oleh dua gerak melingkar beraturan adalah kontinu dan seragam,
maka syarat adanya momen diam antara arah gerak osilasi naik dan turun adalah juga
menimbulkan keraguan.

Tusi tidak melontarkan kritik apa pun terhadap alam semesta Aristotelian pada saat ia
mengajukan teorema barunya, karena saat itu ia lebih peduli dengan kerusakan yang
ditimbulkan oleh gerak lintang Ptolemeus terhadap gerak longitudinal. Namun para
komentatornya, mulai dari murid langsungnya dan kolaboratornya, Qutb al-Dln al-Shfrazf (w.
1311), memperhatikan semua implikasi filosofis yang "tidak disengaja" yang berhasil
dihasilkan oleh teorema tersebut. Dia mengartikulasikan pengamatannya mengenai momen
tersebut. istirahat antara dua gerak yang berlawanan dengan ketentuan sebagai berikut:

Hal ini dapat dijadikan bukti tidak adanya jeda antara dua gerak, yang satu naik dan yang satu
lagi turun. Ini jelas sekali. Dan orang yang berpendapat bahwa harus ada istirahat di antara
kedua gerak tersebut, tidak dapat menyangkal kemungkinan terjadinya gerak benda langit
tersebut hanya karena ia yakin pasti ada istirahat dan ketenangan tidak mungkin terjadi pada
benda langit. Hal ini terjadi karena kita akan menggunakannya setiap kali ada Gerakan naik
dan turun seperti yang akan kita lihat pada pembahasan selanjutnya. Kita tidak dapat
disalahkan jika kita juga menggunakannya untuk menyangkal prinsip tersebut [yaitu prinsip
Aristotelian tentang istirahat antara dua gerakan yang berlawanan], seperti yang dapat
disaksikan dari observasi. Sebab jika kita mengebor sebuah lubang di dasar mangkuk yang
ujungnya berbentuk lingkaran, tetapi tingginya tidak sama di atas alasnya, dan jika kita
memasukkan seutas benang melalui lubang tersebut dan menempelkan benda berat ke
dalamnya. Kemudian jika ujung benang kencang yang lain kita gerakkan sepanjang tepi
mangkuk, benda berat itu akan turun dan naik karena perbedaan ketinggian tepi mangkuk,
meskipun benda itu tidak berhenti. karena penggeraknya tidak berhenti karena asumsi.'

185
Contoh menghasilkan gerak osilasi sebagai hasil gerak melingkar yang terus-menerus ini
merupakan variasi dari contoh lain, yang berhubungan dengan gagasan diam yang sama antara
dua gerak berlawanan yang telah dikemukakan oleh filsuf abad kedua belas Abu al-Barakat
al-Baghdadi (w. 1 152). Al-Baghdadi menetapkan bahwaseseorang dapat menghasilkan
gerakan osilasi seperti itu dengan membuat lubang di tengahpenggaris dan memasukkan
benang melalui lubang tersebut. Jika seseorang mengikatkan tali tegak lurus pada ujung benang
yang satu, dan memegang ujung benang yang lain dengan tangannya, maka ketika seseorang
menggerakkan tangannya terus-menerus dari ujung penggaris yang satu ke ujung yang lain,
garis tegak lurus itu akan terombang-ambing ke atas dan ke bawah tanpa berhenti di antara
gerakan-gerakan yang berlawanan karena sebab dari gerakan-gerakan itu tidak berhenti.

Komentator yang datang setelah Shirazi terus menarik perhatian konsekuensi-konsekuensi


tersebut, namun sebagian besar berfokus pada penolakan momen istirahat antara dua gerakan
yang berlawanan, daripada menghasilkan gerakan linier sebagai akibat dari gerakan melingkar.
Senada dengan itu, Galileo melakukan hal yang sama dan menggunakan Tusi's Couple yang
sama, yang ia pelajari dari De Revolutionibus, III,4 karya Copernicus, untuk menyangkal
gagasan Aristoteles tentang momen istirahat di antara dua gerakan yang berlawanan.

Hanya Khafri yang mencoba mengangkat isu ini sekali lagi dari sudut pandang yang sedikit
berbeda. Walaupun ia sependapat dengan Shirazi dan yang lainnya bahwa gerak melingkar
Tusi's Couple memang menghasilkan gerak linier, namun gerak linier itu sendiri tidak seragam
seperti gerak melingkar. Kekhawatirannya adalah bahwa titik singgung yang bergerak linier
sepanjang diameter bola besar Tusi's Couple ternyata tidak bergerak dengan kecepatan konstan
seperti gerak melingkar yang menyebabkannya. Dalam ketajaman matematisnya yang biasa
dan wawasannya, analisisnya nyaris mendefinisikan konsep batas dan percepatan, tetapi tidak
dalam arti sempit. Ia sekadar mengatakan bahwa gerak linier itu tidak sama di semua titik,
sehingga bertanya-tanya apakah gerak ini sama yang dibicarakan Aristoteles sehingga kini
dibantah oleh Tusi's Couple. Menurutnya hal itu tidak sama. Jadi yang dapat dikatakan
hanyalah bahwa gerak melingkar memang menghasilkan gerak linier, namun tidak dapat
dikatakan bahwa gerak melingkarberaturan akan menghasilkan gerak linier beraturan

Dengan status sastra yang kita miliki sekarang berasal dari Islam abad pertengahan Saat ini,
sulit untuk menentukan apakah aspek terakhir dari teorema ini, yang sebagian besar diambil
oleh para komentator Tusi, telah memicu diskusi di antara para astronom itu sendiri, atau
apakah diskusi ini beralih ke para filsuf. Yang nampaknya pasti adalah contoh yang diberikan

186
oleh salah satu kelompok, misalnya contoh yang diberikan oleh Abu al-Barakat al-Baghdadi
bisa dengan mudah menyeberang ke para astronom, dengan beberapa variasi tentunya.

Variasi yang ditawarkan oleh Shirazi, bagaimanapun, cukup penting karena tampaknya
menghubungkan kedua aspek teorema: implikasinya terhadap momen diam antara dua gerak
yang berlawanan dan implikasinya terhadap gerak melingkar yang menghasilkan gerak linier.
Dengan memperkenalkan mangkuk semi-bulat, bukan penguasa Bagdadi, Shirazi
memperkenalkan pinggiran melingkar, meskipun pada ketinggian yang bervariasi dari dasar
mangkuk terbalik. Dan dengan membiarkan tangan bergerak sepanjang tepi lingkaran, gerakan
itulah yang menghasilkan osilasi linier benda berat tersebut.

Meskipun contoh Abu al-Barakat tampaknya merupakan nenek moyang langsung dari masalah
ini, semua astronom yang saya kenal kemudian, yang mengutip gerak osilasi terus menerus ini,
akan menggunakan variasi Pasangan Tlisi untuk mengilustrasikannya, yaitu selalu diam. dalam
konteks teorema yang mengamankan pembangkitan gerak linier dari gerak melingkar
sebagaimana ditetapkan oleh Pasangan.

Dan seperti yang baru saja kami katakan, sulit untuk menelusuri garis persimpangan antara
para filsuf dan astronom dalam hal ini sehingga seseorang dapat menentukan siapa yang
berutang kepada siapa. Namun yang tampaknya pasti adalah bahwa diskusi itu sendiri, ketika
beralih dari lingkaran filosofis ke lingkaran astronomi, dan sebaliknya, menunjukkan dengan
sangat jelas ketertarikan bersama dari kedua disiplin ilmu tersebut terhadap isu-isu filosofis
tersebut.

Pada titik ini saya kembali lagi pada permasalahan yang diangkat oleh Ibnu al-Shatir, untuk
menggambarkan sekali lagi hubungan langsung antara astronomi dan filsafat. Saya telah
mengutip kata-kata Averroes yang sangat menentang konsep epicycles dan eccentrics. Saya
juga mengatakan di atas bahwa Ibn al-Shatir adalah satu-satunya astronom yang saya kenal
yang mampu menghadapi tantangan ini. Dengan memperdebatkan diperbolehkannya episiklus,
Ibn al-Shatir tidak lagi memperdebatkan hakikat gerakan mereka dan memusatkan perhatian
pada hakikat dunia langit Aristoteles yang menimbulkan masalah tersebut.

Dalam pandangan Ibn al-Shatir, asumsi bahwa bola yang membawa bintang-bintang dan
planet-planet, bersama dengan bintang-bintang yang dibawanya, terbuat dari unsur sederhana
yang sama, yaitu eter, yang sifatnya hanya menunjukkan gerak melingkar, merupakan suatu hal

187
yang sangat serius. Masalah ketika kita menganggap bahwa beberapa bintang tetap, yang
memang sangat besar, dan beberapa lebih besar dari epicycle planet terbesar, memancarkan
cahaya sementara bola yang membawa bintang-bintang tersebut memancarkan cahaya.

Sederhananya, bintang-bintang tetap yang terlihat jelas tidak sama dengan bola tak kasat mata
yang membawa mereka, dan karenanya tidak dapat dibuat dari unsur yang sama. Dan jika ya,
elemen itu tidak mungkin sederhana. Dalam kata-kata Ibn al- Shatir, Aristoteles harus
mengakui bahwa ada "komposisi tertentu" (tark!b"" mii) dalam unsur langit. Dan jika
komposisi ini diperbolehkan di alam angkasa, seperti yang terlihat dari keberadaan
bintang-bintang tetap, maka keberadaan epicycles bisa saja memiliki sifat yang sama dan
dengan demikian seseorang diperbolehkan untuk menggunakannya.

Mengenai kaum eksentrik, kami telah menyatakan bahwa Ibn al-Shatir telah menerima bahwa
mereka memang melanggar prinsip-prinsip Aristoteles dan karenanya harus dihindari dengan
cara apa pun. Oleh karena itu, semua model pergerakan planet yang dikembangkan oleh Ibn
al-Shatir dipahami sebagai model geosentris, seperti yang telah kami nyatakan berulang kali
sebelumnya. Dan dengan demikian Ibn al-Shatir memberikan dirinya kebebasan penuh untuk
menggunakan epicycle sebanyak yang diperlukan untuk memperhitungkan semua gerakan
yang dapat diamati. Begitu pula Copernicus setelahnya, yang rupanya menghadapi masalah
yang sama dari sudut yang sedikit berbeda ketika ia menggeser pusat alam semesta ke
matahari.

Entah itu masalah eksentrik, epicycles, atau sifat gerak langit itu sendiri, hamper semua
astronom yang terlibat dalam mengatasi tuntutan kosmologi Aristoteles yang saling
bertentangan dan bertentangan dengan formulasi kosmologi Ptolemeus tidak hanya
menyalahkan Ptolemeus atas kegagalannya tetapi juga mencoba menjelaskan kesulitan
memahami alam semesta Aristotelian. Masing-masing dengan caranya sendiri mulai
mengajukan argumen yang menentang konsepsi Aristoteles tentang alam semesta, dan
mengungkap kekurangan konsepsi tersebut. Bagi Ibn al-Shatir, misalnya, hakikat definisi unsur
eter sudah tidak memadai lagi dan harus diubah jika ingin memahami fenomena alam di sekitar
kita.

Apakah Ibnu al-Shatir, atau astronom lain yang terlibat dalam usaha ini mempunyai solusi
yang "tepat" untuk masalah tersebut atau tidak, tidak penting pada saat ini. Fakta pentingnya
adalah bahwa mereka membawa diskusi ini ke titik yang bertentangan dengan pandangan dunia

188
Aristoteles dan dengan demikian menekankan perlunya mengubahnya. Jika sains modern ingin
dipahami sebagai ekspresi dari keruntuhan terakhir pandangan dunia Aristoteles, maka akar
dari keruntuhan tersebut harus dicari dalam langkah-langkah mendasar namun berani yang
menyingkapkan kekurangan-kekurangan pandangan tersebut.

Astronomi dan Agama

Adapun persimpangan antara agama dan astronomi, dan melaluinya persimpangan antara sains
dan agama, kita telah melihat bahwa astronomi baru Hay'a dikembangkan bersama-sama
dengan persyaratan agama Islam awal. Dalam arti tertentu, astronomi baru ini dapat
didefinisikan sebagai panduan agama yang jauh dari astrologi. Dengan tekanan dari
tempat-daerah anti astrologi, biasanya bersifat religius atau bersekutu dengan kekuatan agama,
astronomi harus mengarahkan kembali dirinya sendiri untuk menjadi lebih dari disiplin yang
ditujukan pada deskripsi fenomenologis tentang perilaku dunia fisik, dan menjauhkan diri dari
menyelidiki pengaruh yang diberikan bola-bolanya pada wilayah sublunar seperti yang
dibutuhkan astrologi. Sebagian besar teks Hay'a jika tidak semua, secara sistematis akan
menghindari diskusi tentang trines astrologi yang jelas. Untuk alasan itu teks-teks itu terus
diterima di kalangan agama. Orang bahkan dapat mengatakan bahwa disiplin Hay'a itu sendiri
lahir dalam kritik terhadap lingkaran agama yang tidak menyukai siapa pun yang mencari
bimbingan bintang-bintang dengan cara yang sama seperti yang dilakukan para peramal. Oleh
karena itu, dalam konteks itu, tidak sulit untuk melihat bahwa sebagian besar penulis Hay'a
juga pada saat yang sama adalah sarjana agama terkenal itu sendiri, seperti yang akan segera
kita lihat. Tetapi sebelum menceritakan contoh-contoh penulis Hay'a yang juga menjabat
sebagai sarjana agama, penting untuk diingat bahwa kritik agama tidak hanya menghasilkan
dua disiplin ilmu lainnya ('ilm al-fara'iq dan 'ilm al miqat) tetapi memiliki dampak umum pada
ilmu-ilmu lain. Persyaratan sederhana untuk harus menghadapi Mekah, setiap kali seseorang
berdoa, pasti membutuhkan solusi dari salah satu masalah trigonometri bola paling canggih
saat itu, yang dikenal sebagai masalah kiblat. Kiqibla, secara harfiah merupakan arah yang
harus dihadapi seseorang saat berdoa, dan mengetahui bahwa bola dunia seharusnya berbentuk
bulat, berarti bahwa seseorang harus memecahkan sudut yang dibuat oleh horizon lokalnya
sendiri dengan lingkaran besar yang melewati puncaknya sendiri dan puncak Mekah.
Perhitungan itu sendiri membutuhkan penyebaran fungsi trigonometri seperti sinus, kosinus,
tangen, dan kontangen. Itu juga berarti pengembangan hukum trigonometri yang setara yang
berlaku untuk permukaan bola.Jenis fungsi trigonometri seperti itu tidak diketahui dalam

189
tradisi Yunani, dan yang diketahui dari tradisi India tidak cukup untuk menyelesaikan masalah
sepenuhnya. Sebagai hasilnya seluruh rangkaian hukum trigonometri, Seperti hukum sinus
bulat dan kosinus, harus dikembangkan lagi. Setelah itu selesai, hanya ada sedikit yang tersisa
untuk ditemukan di bidang trigonometri.[21] Orang kemudian dapat mengatakan bahwa perintah
agama seperti itu, terlepas dari kesederhanaannya yang jelas mengharuskan orang percaya
untuk hanya menghadapi arah tertentu, adalah salah satu alasan yang memunculkan disiplin
trigonometri bola yang paling rumit. Disiplin baru ini pada gilirannya menjadi tunduk pada
persyaratan agama lainnya, karena banyak yang digunakan di hampir setiap cabang literatur
Miqat.[24] Ini juga melayani disiplin ibu astronomi sama banyaknya, dan tanpa itu, banyak
penelitian astronomi, sampai hari ini akan tetap tidak praktis jika tidak mungkin untuk
dilakukan.

Singkatnya, disiplin trigonometri adalah contoh terbaik bahwa setan strates kepentingan yang
berpotongan antara praktik agama seseorang dan pemikiran ilmiah yang harus dikembangkan
sebagai hasil dari praktik itu. Dengan pemikiran ini, dan melihat bagaimana para ilmuwan, dan
astronom khususnya, dapat berpose sebagai ahli untuk praktik resep agama, seharusnya tidak
mengejutkan untuk menemukan ilmuwan pada zaman ini yang terkait erat dengan fungsi
agama masyarakat. Kadang-kadang mereka bahkan memimpin kantor keagamaan itu sendiri,
seperti yang akan segera kita lihat.

Di bidang ilmiah lain, sangatberbeda dari astronomi, kita juga menemukan pemulihan
hubungan antara sila agama dan praktik ilmiah. Di bidang seperti kedokteran, di mana
pemikiran agama telah menempatkan penekanan besar pada kebutuhan untuk menjaga tubuh
yang sehat,25 dan orang dapat mengutip beberapa ucapan nabi sendiri yang membuktikan
minat itu, sangat sulit untuk melewatkan hubungan antara praktik medis dan agama. Akibatnya,
seharusnya tidak mengejutkan juga untuk menemukan dokter terkenal yang mempraktikkan
fungsi keagamaan mereka pada saat yang sama, dan kadang-kadang meminjamkan otoritas
yang sama besarnya pada praktik keagamaan mereka seperti yang akan mereka lakukan pada
praktik medis. Untuk mengkonfirmasi bahwa hubungan dekat tidak ada yang terkejut
menemukan Ibn al-Nafis yang terkenal (w. 1288), penulis komentar kritis tentang Kanon Ibn
Sina di mana dia mengkritik Galen mengenai fungsi jantung, yang pada gilirannya mengarah
pada penemuan gerakan paru darah, pada saat yang sama menjadi pengacara Shafi'l yang
berpraktik, yang bahkan memberikan kuliah tentang hukum Syai'I di madrasa Masruriya.[25]

190
Mengingat apa yang kita ketahui tentang status kedokteran dalam masyarakat Islam, bergabung
dengan kedua fungsi ini seharusnya tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Kembali ke para astronom, dan khususnya ke astron omers teoretis, yang karyanya telah
ditetapkan sejauh karya Hay'a, orang harus berharap untuk menemukan hubungan dekat yang
sama antara fungsi ilmiah mereka dan fungsi religius mereka, terutama ketika mereka telah
merumuskan astronomi Hay'a baru mereka secara khusus untuk mengeluarkan astrologi dari
domain astronomi dan untuk menanggapi tekanan agama masyarakat. Dalam konfigurasi baru,
astronomi teoretis, yang menjadi domain studi Hay'a, menjadi sekutu dekat pemikiran agama.
Pada satu titik, selama periode Safawi Iran dan setelahnya, itu menjadi subjek lain dari
instruksi religius. Dalam publikasi terpisah saya telah memperdebatkan interpretasi fenomena
penggunaan terus-menerus bahasa Arab dalam produksi teks Hay'a, bahkan ketika bahasa asli
penulis adalah bahasa Persia, sebagai fenomena mengintegrasikan astronomi ke dalam
kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah ini selalu sangat membebani ke arah bahasa Arab
sebagai bahasa teks agama utama Dari wawancara dengan lulusan seminari Iran modern,
pemahaman saya adalah bahwa penggabungan teks Hay'a dalam kurikulum sekolah agama ini
masih berlangsung hingga saat ini.

Dengan aliansi ini, tidak mengherankan untuk menemukan salah satu astronom paling
produktif, Nur al-Din al-Tusi yang sama (w. 1274)[28] yang menghasilkan Tusi Couple yang
terkenal dalam konteks serangannya terhadap astronomi Ptolemaic, pada saat yang sama
menjadi sarjana Ismaili yang hebat terlebih dahulu dan kemudian mengakui otoritas pada
pemikiran Syiah umum. Otobiografi spiritualnya sendiri Syair wa-sulik,[29] serta teks
doktrinalnya Rawqat al-tasllm,[30] berbicara langsung dengan status otoritatifnya dalam
pemikiran religius Isma'ili. Aw iif al-ashrafili dan Tajdid al-i 'tiqad[32]-nya juga berbicara
kepada stautusnya yang jauh lebih mulia di antara para ahli Sufi dan dua belas Syiah,
masing-masing. Bagi sebagian orang (terutama penulis biografi Syiah yang tidak terampil
dalam ilmu astronomi), dia terutama adalah seorang tokoh agama yang mungkin memiliki
minat sampingan dalam astron omy. Muridnya dan mantan rekannya Qutb al-Din al-Shirazi (w.
131 ) juga menghasilkan beberapa karya besar tentang astronomi teoretis, dua di antaranya
adalah komentar terperinci tentang Tadhkira Tusi, dengan kontribusi asli mereka sendiri ke
lapangan. Selain itu, Shirazi juga menduduki posisi hakim yang berlatih di kota Sivas dan
Malatiya, pada tahun 1282, setelah afiliasinya dengan observatorium Maragha, dan ketika dia
masih menulis komentar pertamanya tentang Tadhkira Tusi. Dia juga bertindak sebagai

191
perantara antara Ikhanids dan Mamluk, setelah Ilkhanids telah masuk Islam. Misinya jelas
merupakan pelaksanaan tugas agamanya untuk membawa perdamaian antara dua penguasa
Muslim yang bertikai.

Karya-karya keagamaan Shirazi sama mengesankannya dengan karya astronominya. Sejak ia


menjadi sarjana hadits, bukunya jami’usul al-hadits secara alami menjadi salah satu referensi
utama untuk jenis sastra agama ini pada periode selanjutnya. Dan begitu juga pekerjaannya
pada sharh sunnah kenabian. Tapi komentarnya yang rumit tentang Al-Qur'an, Fath
Al-mannan fi tafsir al-qur'an, pasti membuktikan penguasaannya yang luas terhadap banyak
disiplin agama pada masanya.

Itu juga astronomi serta ajaran agamanya yang memicu minat muridnya sendiri Nizam al-Dln
al-Naisaburi (w. 1328), yang dikenal sebagai al-A'raj (The Lame), untuk menulis tentang dua
mata pelajaran ini juga. keduanya termasuk pada dua karya Tusi yang disebutkan dalam judul.
Dan kedua karya Naisaburi terus diajarkan di sekolah dengan baik setelah kematian penulisnya.
Sebuah komentar yang dibuat dalam teks abad kelima belas tentang pendidikan astronomi di
sekolah potentate dan astronom paling terkenal Ulugh Beg (w. 1449) membuktikan
penggunaan teks astronomi Nisaburi dalam instruksi.[34] Tetapi komentar Naisaburi tentang
Al-Qur'an, Ghara'ib al-qur'an wa-ragha'ib al-furqan [ekspresi] yang Tidak Biasa dalam
Al-Qur'an dan [fitur] yang menarik dari Furqan [sinonim dari Al-Qur'an]) sejauh ini paling
rumit dari karyanya karena jatuh dalam beberapa volume dalam versi cetak. :Js Ibn al-Shatir (w.
1375) dari Damaskus, dari ketenaran astronomi yang besar, hanya seorang muwaqqit (Pencatat
Waktu) di masjid Umayyah di kota yang sama.36 Sebagai fungsionaris masjid dia pasti
mendapatkan mata pencahariannya dari sumbangan agama masjid, dan j ust seperti seorang
hakim juga dianggap fungsionaris agama. Dia rupanya melakukan penelitian teoretisnya
tentang gerakan planet dalam sinkronisasi sempurna dengan tugas agamanya. Secara alami, dia
juga mengembangkan instrumen, seperti jam matahari dan sejenisnya, untuk memberi tahu
waktu doa yang tepat sebagai bagian dari tugas agamanya, tetapi juga harus menikmati
mengembangkannya untuk minat proyeksi matematis mereka. Karya astronominya,
bagaimanapun, sekarang telah menjadi sangat menarik setelah ditunjukkan, pada akhir 1950-an,
bahwa model bulannya identik dengan Copernicus, dan perlakuan teknisnya terhadap gerakan
planet Merkurius menggunakan Tusi's Couple yang sama yang digunakan oleh Copernicus
dengan baik. Modelnya untuk planet-planet atas, yang juga diadopsi oleh Coper nicus setelah
menggeser pusat alam semesta ke matahari, juga termasuk penggunaan 'Urdi Lemma, dan terus

192
menjadi pusat penelitian yang sedang berlangsung yang suatu hari akan menentukan rute di
mana Copernicus mengetahui karya astronom ini dan karya rekan-rekannya dari domain Islam.

Mulla Fathallah al-Shirwani (c. 1440) yang juga menulis komentar tentang Tadhkira Tusi, juga
disebut Sharh al-tadhkira, dari mana kita tahu banyak tentang kegiatan astronomi di sekolah
Ulugh Beg, jelas pertama dan terutama seorang fungsionaris agama seperti yang tersirat oleh
gelarnya Mulla. Selain itu, dia tampaknya adalah salah satu siswa paling cerdas dari Qadizadeh
al-Ruml dalam astronomi. Beberapa karya keagamaannya juga bertahan untuk membuktikan
keterlibatannya di bidan keagamaan juga yan Akhirnya, karya-karya astronom paling produktif
dari abad keenam belas, Shams al-Din al-Khafri (w. 1550), yang telah kami pertimbangkan
lebih dari satu kali sebelumnya sebagai contoh kecanggihan terbaru dalam astronomi Islam,
pada saat yang sama merupakan contoh terbaik dari penggunaan matematika ematics sebagai
bahasa sains. Astronom brilian ini juga seorang sarjana agama terkenal dalam dirinya sendiri.[38]
Penulis biografinya, yang berbicara tentang dia terutama sebagai seorang sarjana agama, hanya
sedikit menyebutkan karya astronominya yang paling terkenal al-Takmila fi sharh al-tadhkira
(Melengkapi Komentar tentang Tadhkira). Pada satu titik dalam karirnya, dia tampaknya
memenuhi fungsi ahli hukum Syiah resmi di Safawid Iran. Biografi yang sama juga
melaporkan pendapat yuridisnya yang mengeluarkan fatwa tentang hal-hal yang berkaitan
dengan doktrin Syiah sebelum kedatangan al-Muhaqqiq 'Ali b. al Husain al-'Amill (w. 1553)
dari Lebanon ke negara itu pada bagian awal abad keenam belas

Kesimpulan

Persimpangan antara astronomi teoretis dengan filsafat dan dengan agama terlalu banyak untuk
diceritakan. Namun, sudah pasti bahwa kedua disiplin ilmu tersebut memiliki interaksi yang
sangat bermanfaat dengan astronomi teoretis Islam, sehingga memungkinkan yang terakhir
untuk meragukan banyak kosmologi Aristote lian pada contoh pertama, dan untuk
merekonstruksi dirinya sebagai ilmu yang dapat diterima secara agama di mata otoritas agama
di contoh kedua. Asosiasi dengan agama ini, bertentangan dengan apa yang diharapkan ketika
menggunakan Paradigma konflik Eropa antara sains dan agama, tampaknya sangat sehat, dan
terus mendukung para astronom, satu demi satu, bahkan pada saat-saat ketika satu-satunya
sumber pendapatan para astronom disediakan oleh lembaga keagamaan tempat mereka
melayani.

193
Dengan gambaran ini, menjadi sangat sulit untuk mendokumentasikan paradigma konflik
antara agama dan sains dalam masyarakat Islam. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua disiplin
astronomi diperlakukan dengan cara yang sama. Seseorang dapat dengan mudah
mendokumentasikan konflik antara agama dan astrologi seperti yang telah kami katakan
beberapa kali sebelumnya, karena astrologi dianggap sejak awal sebagai tujuan penelitian
astronomi di tempat pertama yang sepenuhnya sesuai dengan tradisi Yunani.[40] Tetapi ini tidak
berarti bahwa astrologi sepenuhnya dibuang dari masyarakat Islam.

Orang juga dapat mempertimbangkan hubungan yang lemah antara produksi zijes yang
berfungsi sebagai tabel ephemerid untuk para astrolog, dan produksi tabel mlqat selanjutnya
yang hanya melayani tujuan keagamaan. Al-Zij al-jadid milik Ibn al-Shatir! Misalnya, dapat
berfungsi sebagai alat untuk para peramal, terlepas dari niat asli penulis untuk
menggunakannya sebagian besar untuk kegiatan ketepatan waktu keagamaannya. Di
daerah-daerah seperti itulah batas-batas disiplin mulai kabur, dan kesulitan muncul ketika
mencoba untuk mengkarakterisasi produksi tertentu dengan satu atau lain cara.

194
6. Sains Islam dan Renaisans Eropa:
Koneksi Copernican

Alat matematika baru yang dikembangkan oleh para astronom dunia Islam tidak hanya terbukti
sangat berguna untuk munculnya cara-cara baru dalam memandang astronomi teoretis, seperti
yang telah kita lihat, tetapi juga memungkinkan para astronom untuk memanipulasi model
matematika sehingga mereka dapat memenuhi persyaratan pengamatan. Kami juga telah
melihat tren ini memuncak dalam karya Khafri yang menunjukkan penguasaan matematika
total sehingga ia mencapai kebebasan penuh untuk menggunakan konfigurasi matematika apa
pun yang dia inginkan untuk mewakili fenomena pengamatan fisik yang sama. Matematika
menjadi bahasa baru, dan menjadi alat astronomi yang efisien, setidaknya sejauh menyangkut
karya Khafri.

Karya-karya Ibn al-Shatir, di sisi lain, dengan penekanan mereka pada persyaratan kosmologis
Aristotelian yang ketat untuk menghapus eksentrik, juga membebaskan model astronomi dari
banyaknya bentuk dan bentuk yang sering rumit dan menyatukan semua model planet dengan
satu format geosentris yang dapat dengan mudah diterapkan pada satu planet pada satu waktu
hanya dengan mengubah parameter dari dua bola episiklik yang digunakan di setiap model.
Dengan cara memutar, konsekuensi yang tidak

diinginkan dari model terpadu ini menghasilkan perkembangan "aneh" yang memungkinkan
mereka untuk ditransfer ke model heliosentris, terlepas dari fakta bahwa tidak ada sedikit
dukungan untuk heliosentrisme seperti itu dalam kosmologi Aristotelian yang berkuasa saat itu.
Semua yang harus dilakukan seseorang seperti Copernicus adalah mengambil model Ibn
al-Shatir, menahan matahari tetap dan kemudian membiarkan bola Bumi, bersama dengan

195
semua bola planet lain yang berpusat di atasnya, untuk berputar mengelilingi matahari sebagai
gantinya. Seperti yang akan segera kita lihat itu adalah langkah yang diambil oleh Copernicus
ketika dia tampaknya telah mengadopsi model geosentris yang sama seperti orang-orang dari
Ibn al-Shatir dan kemudian menerjemahkannya ke yang heliosentris ketika situasi
mengharuskannya.

Semua pergeseran pemikiran astronomi yang terjadi dalam peradaban Islam memiliki beberapa
konsekuensi yang sangat serius. Mereka tidak hanya mengekspos semua kesalahan faktual dan
pengamatan astronomi Yunani, tetapi juga setan strated, dengan cara yang paling meyakinkan,
inkonsistensi astron omy dengan prasangka kosmologisnya sendiri. Pada abad-abad kemudian,
ketika astronomi Islam mencapai kematangan teoretisnya, dimulai dengan munculnya diskusi
analitis yang berkelanjutan tentang teori-teori planet setelah abad ketiga belas, orang hampir
tidak dapat menemukan seorang astronom yang serius yang tidak berusaha merumuskan
kembali astronomi Yunani. Pada saat itu, tidak ada yang bisa berharap untuk berlatih astronomi,
dan dianggap serius, jika dia tidak berusaha untuk memecahkan masalah kosmologis yang
berduri dari astronomi Yunani. Satu demi satu astronom, mencoba tangan mereka dalam
merancang model matematika baru yang mewakili gambaran kosmologis yang jauh lebih
konsisten dari tradisi astronomi Yunani. Pada saat yang sama, model-model itu dapat
menjelaskan dengan sangat baik untuk pengamatan yang sama, yang digunakan oleh Ptolemy,
di tempat pertama, untuk membangun model matematika prediktifnya sendiri untuk gerakan
planet.

Pencarian konstan untuk representasi gerakan planet yang lebih konsisten ini menjadi ciri
seluruh bidang penelitian astronomi Islam, terutama pada abad-abad berikutnya setelah abad
ketiga belas. Gerakan terus mereformasi astronomi Yunani menjadi sangat penting sehingga
tampaknya menarik perhatian para astronom dari luar domain Islam. Kita tahu, misalnya,
bahwa omers astron Bizantium, seperti Gregory Chioniades (abad keempat belas) dan lainnya,
akan melakukan perjalanan ke tanah Islam untuk mempelajari perkembangan terbaru dalam
astronomi Islam dan melaporkan temuan mereka kembali ke rekan-rekan mereka dalam bahasa
Yunani mereka sendiri.' Bahkan, seseorang juga dapat mendokumentasikan ketergantungan
astronomi Bizantium akhir pada astronomi Islam hanya dengan menelusuri terminologi teknis
yang digunakan oleh para astronom Bizantium pada saat itu. Terminologi ini menunjukkan
dengan sangat jelas bahwa itu memiliki kemiripan yang jauh lebih dekat dengan

196
sumber-sumber Arab, dari mana ia berasal, daripada teks-teks Yunani klasik seperti yang dari
Ptolemy.[2]

Dengan jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 ke Turki Ottoman, dan kematian terakhir
kekaisaran Bizantium, sejumlah besar sarjana Bizantium melarikan diri ke barat,
kadang-kadang bersama dengan buku-buku mereka. Tapi saat itu Peradaban Bizantium telah
berhubungan langsung dengan Peradaban Islam selama berabad-abad. Dan sebagai hasilnya
buku-buku itu mau tidak mau memiliki tanda telah dipengaruhi oleh produksi intelektual
peradaban Islam, dan dengan demikian mengandung beberapa perkembangan yang telah terjadi
di peradaban itu. Di satu sisi, kontak Bizantium dengan Eropa ini jauh lebih kompleks daripada
kontak yang telah terjadi selama Abad Pertengahan antara dunia Islam dan Barat Latin. Pada
yang pertama, kami melihat beberapa karya Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin,
kadang-kadang tidak tercerna, dan sebagian besar terbatas pada batas-batas kontur teks yang lin
guistic. Dengan kontak Bizantium yang baru, sekarang orang dapat membedakan cara baru
transfer teks. Teks ilmiah Arab dan Persia tampaknya sudah dicerna dalam sumber-sumber
Yunani Bizantium selama sekitar dua abad atau lebih, sebelum teks-teks Bizantium itu dibawa
ke Eropa. Kali ini, isinya tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Sebaliknya, karena
penekanan lingkungan intelektual Renaissance pada bahasa Yunani, mereka dibaca dalam
bahasa Yunani asli. Yang terbaik dari isinya, yang awalnya Arab dan Persia sekarang dapat
langsung berasimilasi ke dalam teks-teks Latin, tanpa harus menerjemahkan seluruh teks ke
dalam bahasa Latin. Metode transfer pengetahuan ini dengan sendirinya merupakan fenomena
baru yang jarang diakui oleh semua orang yang mempelajari transfer pengetahuan lintas
budaya. Lebih penting lagi, transfer pengetahuan selanjutnya dari dunia Islam ke Eropa kali ini
berbicara langsung ke ilmu pengetahuan kontemporer Renaisans, di mana dampaknya dapat
dideteksi dengan baik, seperti yang akan segera kita lihat.

Kira-kira pada periode yang sama yang menyaksikan berbagai kontak antara Byzantium dan
dunia Islam ada berbagai kontak lainnya juga. Seseorang harus memperhatikan beberapa
pelancong Eropa yang melakukan ziarah mereka ke dunia Islam, baik untuk mengunjungi
Tanah Suci, atau hanya mencari pengetahuan dari tanah Islam. Kontak ini juga pasti membawa
beberapa temuan dunia Islam ke negara-negara Eropa. Apa yang mereka bawa khususnya
adalah masalah yang saat ini sedang dalam penyelidikan dan berjanji untuk menghasilkan
beberapa hasil yang sangat menarik.

197
Keadaan pengetahuan kita saat ini, bagaimanapun, sudah dapat memberi tahu kita tentang
beberapa kontak itu dan sifat informasi yang dipertukarkan. Kita sudah tahu, misalnya, bahwa
kontak-kontak itu membawa beberapa temuan teoretis yang sangat maju dari tanah Islam ke
Renaissance Europe, temuan yang tampaknya sangat dihargai oleh Ilmuwan Eropa yang
mengkonsumsi bahan ini dan akhirnya menggabungkannya dalam karya mereka sendiri.[3]
Namun penelitian kami di area tertentu masih dalam tahap awal dan setelah selesai, itu
menjanjikan untuk mengubah banyak pandangan dunia kita, tentang transmisi budaya, kontak
budaya, sifat Renaisans Eropa, dan akar paling awal dari astronomi modern.[4]

Hubungan antara Renaisans Eropa dan Dunia Islam

Sheeracident pada1957 menarik perhatian Ottoneughbauer, ia yang kemudian mengerjakan


astronomi matematika Copernicus, sebuah teks yang berisi astronomi teoretis dari astronomer
Damaskus yang terkenal Ibn al-Shatir (1375). Tidak perlu banyak kejeniusan Neugebauer,
terlepas dari kenyataan bahwa dia tidak membaca bahasa Arab sendiri, untuk menyadari bahwa
model bulan Ibn al Shatir memang identik, dalam segala hal, dengan Copernicus (1543)
(gambar 6.1). Model sebelumnya, telah bertahan dalam teks Ibn al-Shatir Nihayat al-Sul fi
tashih al-usul (Pencarian Terakhir Mengenai Koreksi Prinsip [Astronomi]), dan dibawa ke
perhatian Neugebauer oleh rekan dekat dan temannya Edward Kennedy. Kennedy kemudian
menjadi profesor matematika di American University of Beirut, dan seorang sejarawan
astronomi dan matematika Islam yang terkenal dengan haknya sendiri. Pertemuannya sendiri
dengan karya Ibn al-Shatir di Perpustakaan Bodleian itu sendiri merupakan kecelakaan murni
juga, dan sekarang milik dunia legenda. Tetapi penemuan itu, bersama dengan diskusi
berikutnya dengan Neugebauer, memunculkan publikasi artikel di Isis oleh Victor Roberts,
seorang mahasiswa Kennedy, yang menyebutnya "The Solar and Lunar Theory of Ibn al-Shatir:
A pre Copernican Copernican model.

Secara alami, temuan seperti itu agak mengguncang komunitas ilmiah, karena sampai saat itu
kepercayaan yang berlaku adalah bahwa sains Renaisans, tidak seperti rekan abad
pertengahannya, dianggap sebagai ation mandiri Eropa, hampir ex nihilo. Atau jika seseorang
ingin memperluas wawasannya dan melihat ke luar batas-batas tertentu dari lingkungan Eropa,
seseorang seharusnya menemukan sains Renaisans mengambil inspirasinya dari
sumber-sumber Yunani klasik, daripada sumber paling tidak dari semua sumber-sumber Islam.

198
Pendapat umum menetapkan permusuhan Eropa dengan hal-hal Arab dan Islam dan dengan
demikian tidak ada yang akan mengharapkan kontak yang bermanfaat antara keduanya.[6] Bagi
Neugebauer untuk menemukan bahwa ada hubungan langsung antara karya-karya Copernicus
dan teori planet Arab, yang diproduksi di dunia Islam sekitar 200-300 tahun sebelumnya,
adalah penemuan yang mengejutkan pada masanya sendiri dan belum sepenuhnya dicerna
dalam sumber-sumber sekunder yang berhubungan dengan sejarah sains secara umum. Hanya
segelintir peneliti yang tampaknya masih mengetahuinya, dan menghargai signifikansi
penuhnya.

Tetapi temuan ini membuka pintu untuk penyelidikan lebih lanjut. Neugebauer juga yang
melebarkan lingkaran penelitian dan mulai mencari kesamaan ide lain antara karya-karya
ilmuwan Renaissance dan ilmuwan dunia Islam. Dan dalam konteks itulah dia meninjau
kembali sebuah bab dari Tadhkira (al 'ilm al-Hay'a, dari Nasr al-Din al-Tusi (w. 1274), yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Bernard Carra de Vaux pada tahun 1893 dan
diterbitkan dengan judul "Les spheres celestes selon Nasir-Eddin Attusi." [7]
Dalam bab ini,
yang awalnya ditulis oleh Tusi pada 1260-61, Tusi diformalkan serta digeneralisasikan dan
sekarang memberikan bukti matikal matematika yang ketat untuk teorema terkenal yang telah
dikenal di literatur sebagai Tusi's Couple, yang telah kita lihat sebelumnya.

Kita juga telah melihat bahwa artikulasi pertama dari teorema ini, telah diusulkan pada tahun
1247, dalam karya lain oleh Tusi, Tahrir al-majisti (Redaksi Almagest), yang belum diedit dan
diterbitkan. Dan, seperti yang telah saya catat, artikulasi pertama sebelumnya ini secara khusus
diusulkan untuk menanggapi kegagalan teori garis lintang Ptolemaik dari planet-planet. Latar
belakang teorema ini tidak disebutkan oleh Tlisl juga tidak diisyaratkan oleh Carra de Vaux,
sendiri, juga tidak diketahui oleh Neugebauer yang tidak mengerjakan manuskrip Arab secara
langsung. Pasangan Tlisi, seperti yang telah kita lihat, menawarkan solusi umum untuk
masalah menghasilkan gerakan linier dari kombinasi gerakan melingkar. Itu dinyatakan dalam
hal gerakan dua bola, biasanya disebut dalam literatur astronomi Arab yang mengikuti
al-kabira wa1- saghira (besar dan kecil). Seperti yang telah dicatat, salah satu bola itu diambil
menjadi dua kali ukuran yang lain, dan dalam pengaturan awal bola diambil menjadi internally
tangen pada satu titik. Dengan gerakan bola yang lebih besar pada kecepatan berapa pun, dan
gerakan bola yang lebih kecil pada dua kali kecepatan itu, dalam arah berlawanan titik
singgung kemudian ditemukan berosilasi sepanjang diameter bola yang lebih besar, sehingga
menghasilkan gerakan linier yang diperlukan. Pada 1260-61, setelah memberikan bukti

199
matematika formal untuk teorema ini, Tlisi melanjutkan untuk menggunakannya dalam model
bulan dan kemudian dalam model untuk planet atas, seperti yang telah kita lihat.

Terjemahan Carra de Vaux dari bab ini memberikan semua isi bahasa Arab asli dalam bahasa
Prancis yang agak setia, tetapi kemudian diakhiri dengan penilaian oleh Carra de Vaux sendiri.
Di dalamnya, dan atas dasar pertemuannya dengan karya khusus Tlisi ini, de Vaux
menyimpulkan karakter umum astronomi Arab. Pada zaman de Vaux, dan karena sangat
sedikit hal lain yang diketahui saat itu dari produksi astronomi peradaban Islam dari
periode-periode selanjutnya, de Vaux berani untuk mengatakan, bahwa sementara astronomi
Arab tidak memegang karya Ptolemy dengan banyak hal [sebuah pernyataan meremehkan
memang tentang bab yang dikhususkan secara khusus untuk mengkritik masalah dalam
astronomi Ptolemaik], itu tidak, dengan sendirinya, memiliki cukup "kejeniusan" untuk
mengubah astronomi sama sekali, dan malah menderita dari "faiblesse" dan "mesquinerie"
yang tidak memungkinkannya untuk berkembang lebih lanjut. Dari pernyataan seperti itu, kita
harus menarik kesimpulan bahwa de Vaux tidak dapat sepenuhnya menghargai pentingnya bab
yang dia terjemahkan pada saat itu. Kita akan memiliki kesempatan untuk kembali ke masalah
ini ketika kita berbicara tentang apa yang disebut usia kemunduran ilmu pengetahuan Islam.

Dengan sikap yang sama sekali berbeda, dan tenggelam dalam astronomi matematika
Copernicus pada saat itu, Neugebauer dapat segera melihat esensi dari masalah Tusi, karena dia
juga dapat melihat bahwa itu adalah masalah yang sama yang dihadapi oleh Copernicus di
kemudian hari, di De Revolutionibus III, 4.8 Kedua astronom membutuhkan mekanisme yang
memungkinkan mereka menghasilkan gerakan linier dari gerakan melingkar atau kombinasinya,
seperti yang telah saya katakan beberapa kali. Dan keduanya menggunakan Pasangan yang
sama, kecuali untuk satu perbedaan: Tusi tahu bahwa dia memperkenalkan teorema baru pada
tahun 12479 dan lagi pada tahun 1260-61, yang tidak dapat ditemukan di sumber Yunani
sebelumnya, dan mengatakan demikian, sementara Copernicus diam-diam melanjutkan dan
menggambarkan teorema yang sama dan menghasilkan bukti yang sangat mirip seperti yang
akan kita lihat, tanpa menyebutkan bahwa dia telah menemukan teorema atau bukti itu sendiri,
atau bahwa dia telah melihatnya di sumber lain. Dia hanya menyebutkan referensi yang tidak
jelas untuk pernyataan oleh Proclus,[10] mengacu pada komentar yang terakhir tentang Euclid,
di mana Proclus mengatakan bahwa gerakan linier dapat diperoleh dari gerakan melingkar.
Tetapi bagi mereka yang membaca Proclus dengan seksama akan segera menyadari bahwa
Proclus berbicara tentang garis lengkung dan garis lurus yang dihasilkan dari satu sama lain

200
dan bukan gerakan berosilasi yang dihasilkan dari gerakan melingkar lengkap seperti yang
diminta oleh Tusi dan Copernicus setelahnya.

Pada tahun 1973, Willy Hartner menemukan fitur yang luar biasa dalam bukti Copernicus
tentang teorema yang sama.[11] Dengan membandingkan bukti Tusi, yang diselesaikan pada
1260-61, dengan bukti Copernicus, yang diterbitkan pada tahun 1543, Hartner menemukan
bahwa dua bukti (gambar 6.2) membawa penanda alfabetic yang sama untuk titik-titik
geometris yang penting. Yaitu, di mana bukti Tusi menunjuk titik tertentu dengan huruf Arab
"alif," bukti Copernicus mengisyaratkan titik yang sama dengan huruf Latin fonetik yang setara
"A," di mana Tusi, memiliki "ba" Copernicus memiliki "B," dll., kecuali dalam satu kasus di
mana Tusi memiliki "zain" dan Copernicus memiliki "F." Berdasarkan korespondensi surat,
surat ke surat, Hartner memberanikan diri untuk mengatakan bahwa Copernicus pasti tahu
tentang karya Tusi saat berada di Italia. Implikasi yang juga dijabarkan oleh Hartner adalah
bahwa Copernicus pasti memiliki akses ke karya Tusi dalam beberapa bentuk tidak langsung,
karena sejauh yang kita tahu tidak ada Copernicus yang bisa membaca bahasa Arab, juga teks
Tusi, di mana teorema muncul, tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Bagi
Hartner, itu berarti bahwa Copernicus pasti telah merekrut seseorang yang dapat menjelaskan
kepadanya diagram, sementara dia membuat catatan dan menggunakan catatan itu nanti ketika
dia datang untuk menulis De Revolutionibus.

Bukti Tusi's Couple dari karya Tusi (kiri) dan Copernicus (kanan), menunjukkan identitas
huruf diagram. Di mana pun Tusi memiliki “alif” Copernicus memiliki A, dan di mana pun
Tusi memiliki “ba” Copernicus memiliki B, dan seterusnya, kecuali di mana Tusi memiliki
“zain” untuk pusat bola yang lebih kecil Copernicus memiliki F.

Dalam penilaian ulang hasil Hartner yang lebih baru, saya menambahkan bukti abscripts pria
Arab untuk menjelaskan variasi antara “zain" dan “F" dalam dua bukti.[12] Dengan
membandingkan manuskrip Arab dari periode abad pertengahan, dan mencatat bahwa dua
huruf Arab “zain" dan “fa'" yang biasa digunakan untuk menunjuk titik-titik geometris,
kesamaan antara kedua huruf itu sebenarnya sangat dekat sehingga akan sangat mudah bagi
seseorang, yang tidak cukup berpengalaman dengan tradisi manuskrip Arab, untuk salah
membaca “Zain" untuk “Fa'" (gambar 6.3). Saya berani mengatakan bahwa baik Copernicus
sendiri atau seseorang yang duduk di sebelahnya, melihat teks Arab dari bukti Tlisi, hanya
salah membaca “Zain" dalam manuskrip Arab asli untuk “Fa' sehingga menyebabkan
Copernicus memperkenalkan satu-satunya variasi dalam huruf dari dua bukti.

201
Tetapi kesalahan membaca dan variasi dengan sendirinya sangat berguna untuk mendeteksi
transmisi tekstual. Sebagai hasil dari 11 kesalahan membaca ini" saya menjadi cukup percaya
diri tentang kesimpulan yang baru saja ditarik: bahwa Copernicus sendiri bekerja dari
manuskrip bahasa Arab di mana dia salah mengira “zain" sebagai “fa' yang tidak mungkin
karena kita tidak tahu bahwa dia tahu bahasa Arab sama sekali, atau bahwa dia sedang
membaca, setidaknya diagramnya, dengan bantuan orang lain Yang melakukan kesalahan yang
sama. Selanjutnya, kesesuaian lengkap dari titik geometris lainnya antara dua bukti sekarang
membuat masalah kepercayaan koin dan penemuan independen menjadi skenario yang paling
tidak mungkin.

Oleh karena itu, tidak hanya Copernicus tampaknya berusaha untuk memecahkan masalah
yang sama dari tradisi astronomi Yunani dengan mengadopsi pendekatan yang sama (yaitu,
menambahkan teorema matematika yang memungkinkan generasi gerakan linier dari gerakan
melingkar); dia juga menggunakan teorema yang telah ditemukan oleh Tusi sekitar 300 tahun
sebelumnya, dan memberikan bukti yang sangat mirip dengan yang disediakan oleh Tlisl,
dengan sedikit modifikasi dalam protokol, tetapi masih mematuhi titik geometris yang sama
yang digunakan oleh Tusi dalam bukti asli. Semua ini tidak bisa hanya kebetulan, karena
beberapa orang masih suka berpikir. Dan penelitian masa depan baik di dunia maupun karya
Copernicus, serta dunia dan karya para astronom penulis Arab yang mendahuluinya akan, saya
yakin, pada akhirnya mengungkap rute yang tepat di mana Copernicus belajar dari temuan
astronomi sebelumnya dari para astronom Muslim.

Mu'ayyad al-Din al-'Un;l1 (w. 1266) adalah rekan Tusi, dan seorang astronom dan insinyur
yang berbeda dalam dirinya sendiri. Ketenarannya yang terhormat pasti menjadi faktor penentu
bagi Tusil ketika dia mempekerjakannya untuk membangun instrumen pengamatan untuk
Observatorium Maragha yang terkenal.[13] Observatorium itu sendiri didirikan pada tahun 1259
di kota Maragha di barat laut Iran modern, di bawah perlindungan raja-raja Ilkhanid.[14] Karena
konsentrasi para astronom yang bekerja di observatorium, dan karena hubungan yang
baru-baru ini ditemukan antara karya mereka dan karya Copernicus, observatorium ini
sekarang menjadi sangat terkenal dalam literatur sekunder. 'Urdi' Ketenarannya, bagaimanapun,
jelas didasarkan pada karyanya yang paling penting yang hanya disebut Kitab al-Hay'a (Buku
tentang Astronomi).[15] Di dalamnya dia berusaha untuk mengubah seluruh astronomi Yunani,
yang jelas-jelas dimotivasi oleh pertimbangan yang sama, yang telah dibahas selama beberapa
generasi sebelum dia dalam lingkaran intelektual Peradaban Islam. Masalah yang paling

202
penting untuk saat itu masih diringkas dalam diskusi tentang tidak dapat diterimanya lingkup
yang sama, karena absurditas yang terkenal yang dihasilkan konsep ini.

Mencoba tangannya sendiri pada resolusi masalah ini, 'Urdi mengusulkan teorema sederhana
baru yang memungkinkan dia untuk merekonstruksi model Ptolemaic[16] untuk planet-planet
atas dengan menambahkan bola dan epicycles baru, tetapi masih memperhitungkan
pengamatan yang sama yang dilaporkan oleh Ptolemy, tanpa memiliki absurditas yang diadopsi
oleh Ptolemy. Dalam model 'Urdi, semua bola bergerak secara seragam di tempat di sekitar
sumbu yang melewati pusat mereka. Oleh karena itu, orang dapat mengatakan bahwa dalam
model ini 'Urdi man berusia untuk menghindari penggunaan equant Ptolemaic, tetapi tidak
menghindari memperhitungkan efek pengamatan esensialnya. Teorema itu sendiri (gambar 6.4),
sekarang dikenal sebagai 'Urdi Lemma, sangat sederhana. Ini menetapkan bahwa untuk dua
garis (sepertiAG dan BD) yang panjangnya sama dan membentuk sudut yang sama dengan
garis dasar AB, baik secara internal atau eksternal, garis DG, yang bergabung dengan
ekstremitas lain dari dua garis ini, sejajar dengan garis dasar AB.

Dalam arti tertentu, cara lemma ini berfungsi dalam model 'Urdi untuk planet-planet atas
sangat mirip dengan cara teorema Apollonius berfungsi dalam model matahari Ptolemy. Dalam
yang terakhir teorema Apollonius memungkinkan Ptol emy untuk menyamakan model
eksentrik dan episiklik, dan untuk mengganti satu dengan yang lain. Dalam teorema yang sama
jari-jari epicycle sama dengan eksentrisitas model matahari, dan epicycle itu sendiri bergerak
pada saat yang sama representasi umum dari empat kasus Lemma 'Urdi seperti yang muncul
dalam manuskrip asli. Ini menggambarkan empat kasus kemungkinan persamaan antara sudut
internal dan eksternal.

Kecepatan sebagai bola konsentris, tetapi dalam arah yang berlawanan, sehingga
memungkinkan sudut eksternal untuk tetap sama. Dalam 'Urdi's Lemma, clet epiky tambahan,
yang ditambahkan ke model Ptolemaic, memiliki jari-jari yang sama dengan hanya setengah
dari eksentrisitas planet-planet atas. Dan gerakan epicyclet berada di arah yang sama dengan
deferent dan pada kecepatan yang sama, yang mengharuskan sudut internal sama untuk garis
parallel yang akan dicapai. Ini, pada gilirannya, mengharuskan 'Urdi secara eksplisit
mengintuskan lemma yang menghasilkan sifat-sifat ini. Melihatnya hanya sebagai struktur
matematika, orang dapat dengan mudah melihat bahwa, dengan penggunaan cletepiky kecil,
lemma ini memungkinkan transfer setengah eksentrisitas dari garis apsides ke keliling deferent,
sama seperti Apollonius theo rem memungkinkan transfer seluruh eksentisitas ke jari-jari

203
episiklik pada keliling deferent. Dalam kedua kasus seseorang dapat berbicara tentang siklus
epi yang mengkompensasi eksentrisitas, dan dengan demikian memungkinkan transfer satu
model matematika dari satu realitas fisik ke realitas fisik lainnya. Dan dalam pengertian yang
sama ini orang dapat berbicara tentang teorema Apollonius sebagai kasus khusus dari 'Urdi's
Lemma.

Setelah diucapkan dan dibuktikan oleh 'Urdi, lema ini langsung menjadi sangat populer.
Seseorang seperti Qutb al-Din al-Shirazi (w. 1311), yang dulunya adalah murid Tusi dan
anggota kelompok Maragha, mungkin yang pertama menggunakannya dalam konteks selain
yang dimaksudkan. Dia pertama kali menggunakannya dalam model bulannya, dan kemudian
dia memasukkannya ke dalam model yang sama untuk planet atas yang dia pinjam dari 'Urdi,
teorema dan semuanya. Dalam kedua karya Shirazi, yang ditulis beberapa tahun terpisah pada
tahun 1280-an, model 'Urdi untuk planet-planet atas tetap menjadi model favorit Shirazi,
terlepas dari kenyataan bahwa kedua karya Shirazi tersebut adalah diri mereka sendiri yang
ditulis sebagai komentar pada karya Tusi, dan bukan dari 'Urdi. Dengan memilih Lemma 'Urdi
daripada solusi yang ditawarkan oleh guru Shirazi sendiri Tusi, yang memanfaatkan Tusi's
Couple, pilihan Shirazi hanya dapat dianggap sebagai bukti popularitas Lemma 'Urdi.

Ibn al-Shatir (w. 1375), yang hidup seabad penuh kemudian, mengikutinya. Setelah
menggunakan padanan teorema Apollonius untuk menggeser eksentrisitas ke perlekatan
episiklik, seperti yang telah kita lihat, untuk kembali ke kosmologi geosentris yang ketat, dia
menambahkan ke apa yang dapat disebut siklus epi Apollonius epicycle 'Urdi lain untuk
memperhitungkan gerakan di sekitar ekuan seperti yang dilakukan oleh 'Urdi. Intinya, model
Ibn al-Shatir untuk planet atas sama dengan 'Urdi, kecuali untuk transposisi tricityeccen yang
digunakan oleh 'Urdi, dan yang satu setengah kali lebih besar dari Ptolemy, ke epicycle dengan
radius yang sama. Sisa dari model mempertahankan properti yang sama. Artinya, ia
menggunakan dimensi yang sama untuk epicycle 'Urdi, dan kondisi gerak yang sama, persis
seperti yang dilakukan oleh 'Urdi (gambar 6.5).

Sebagai alat baru, 'Urdi Lemma, juga digunakan oleh astronom lain dan di bidang aplikasi baru
juga, seperti yang juga telah kita lihat sebelumnya, terutama oleh 'Ala' al-Din al-Qushji (w.
1474) dan oleh Shams al-Din al-Khafri (w. 1550) dalam konstruksi masing-masing model
mereka untuk gerakan planet Merkurius. Kedua astronom ini dapat berasumsi bahwa mereka
memiliki alat baru ini dalam repertoar mereka, untuk menggunakannya kapan pun mereka mau.
Fakta bahwa itu digunakan oleh para astronom sebelumnya selama sekitar 200 tahun pasti telah

204
diambil sebagai bukti bahwa pertama, itu bertahan dalam ujian waktu, dan kedua, bahwa itu
adalah bentuk yang lebih umum dari teorema Apollonius. Itu jelas memungkinkan untuk
transposisi eksentrisitas ke keliling yang berbeda. Tetapi yang paling penting, itu juga
memungkinkan untuk transposisi titik referensi untuk gerakan seragam, seperti gerakan equant,
atau pusat gerakan lain yang diperlukan oleh pengamatan.

Dan karena Copernicus telah menggunakan model yang sama untuk planet-planet atas yang
digunakan oleh Ibn al-Shatir (gambar 6.6), dengan transposisi tambahan dari pusat alam
semesta ke matahari tentu saja, dalam arti itu Copernicus juga akhirnya menggunakan Lemma
'Urdi', seperti yang telah dilakukan Ibn al-Shatir sebelum dia.

Copernicus, bagaimanapun, tampaknya tidak menyadari signifikansi penuh dari dua komponen
model Ibn al-Shatir (Apollonius dan 'komponen Urdi'), dan hanya menggunakan model secara
keseluruhan, dengan mengubahnya menjadi heliosentrisme seperti yang baru saja kami katakan.
Akibatnya dia tidak merasa bahwa dia harus menghasilkan bukti formal untuk komponen 'Urdi
seperti yang telah dia lakukan dengan Pasangan Tusi. Kepler (1630) yang menulis kepada
gurunya Maestlin (1631) untuk bertanya kepadanya secara khusus tentang kelalaian ini di
pihak Copernican astronomi, seperti yang telah ditunjukkan oleh Anthony Grafton. [17]
Dan
Maestlin yang memberikan bukti kasus spesifik dari 'Urdi Lemma yang diterapkan pada model
planet atas, tanpa memberikan bukti umum seperti yang telah dilakukan 'Urdi. Untuk tujuan
kami, penggunaan Lemma 'Urdi yang hampir tidak disadari oleh Copernicus, dalam konstruksi
yang identik dengan Ibn al-Shatir, dikurangi heliosentrisme tentu saja, harus menimbulkan
keraguan tentang kesadaran Copernicus tentang akar dari semua teknik matematika yang
diletakkan disposalnya. Apakah dia akan mengusulkan teorema yang sangat baru ini? Dan
apakah dia akan menawarkan bukti formal seperti yang dilakukan oleh 'Urdi , dan seperti yang
dia lakukan untuk representasi skematik A dari model untuk planet-planet atas seperti yang
dikandung oleh Ptolemy, Urdi, Ibn al-Shatir, Copernicus, dan Khafri. Jika seseorang
menganggap jari-jari bola sebagai vektor, semua model memprediksi posisi yang sama untuk
planet P. Complementary Tusi Couple yang juga harus dia gunakan, apakah teorema baru ini
tidak tersedia dari sumber-sumber Islam? Saya sangat meragukannya. Tetapi contoh
penggunaan model Ibn al-Shatir oleh Copernicus ini bahkan tidak mulai menggambarkan
sejauh mana saling ketergantungan teknis antara kedua astronom. Untuk selain konstruksi
identik dari model bulan, yang sudah kita diskusikan sebelumnya, dan sekarang identitas model

205
untuk planet atas, Ibn al-Shatir dan Copernicus juga menggunakan teknik identik untuk
menyelesaikan model terakhir dari teori pesawat klasik (model Merkurius).

Jika seseorang membandingkan model Copernicus untuk planet Merkurius dengan model Ibn
al-Shatir, dan jika seseorang mengizinkan trans- matematika sederhana Posisi dari
geosentrisme ke heliosentrisme dan sebaliknya, seseorang akan dikejutkan oleh kesamaan
antara karya kedua astronom. Dalam contoh ini, baik Ibn al-Shatir dan Copernicus
menggunakan konstruksi model matematika ematical yang digunakan dalam koneksi
terakhirnya penggunaan Tusi's Couple, untuk memungkinkan siklus planet dibawa dekat ke
Bumi, pada dua perigees yang diamati oleh Ptolemy, dan untuk mundur di apogee.
Kesepakatan lengkap tentang teknik untuk mencapai gerakan osiklik ini, sambil menggerakkan
epicycle lebih dekat dan lebih jauh, menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan pengaruh
satu astronom terhadap yang lain, terutama ketika kita sudah mengetahui kesamaan lain yang
telah kita saksikan dalam konteks lain. Tetapi kasus model Merkurius khususnya membawa
beberapa bukti luar biasa untuk kasus saling ketergantungan antara dua astronom; bukti ini
mengangkat diskusi tentang kesamaan ke tingkat yang sama sekali baru.

Ketika Swerdlow mempelajari versi pertama dari model Mercury di Copernicus's


Commentariolus, yang ditulis sebelum 1514, dia segera menyadari bahwa Copernicus tidak
menyadari pentingnya sepenuhnya dari model yang dia gambarkan. Sebagai contoh,
Copernicus berpikir bahwa planet akan memiliki orbit terbesarnya (yaitu ukuran epicycle-nya
akan terlihat terbesar) pada quadrature (yaitu ketika pusat epicycle-atau Bumi dalam bahasa
Copernicus-berada pada jarak 90° dari apogee) sementara model itu sendiri akan memprediksi
dua penampilan terbesar seperti itu ketika pusat epicycle, atau Bumi, berada pada 120° di
kedua sisi apogee, persis seperti yang diprediksi oleh model Ibn al Shatir dan Ptolemaic, dan
bukan pada 90° seperti yang diklaim Copernicus sekarang. Setelah menyadari hal itu,
Swerdlow berkata:

Model Copernicus untuk Merkurius yang, seperti model planetnya yang lain, identik dengan
model Ibn ash-Shatir kecuali untuk representasi heliosentris dari anomali kedua, didasarkan
pada pemisahan persamaan pusat dari gerakan pusat eksentrik dalam model Ptolemy.

Saat mendiskusikan poinnya, Swerdlow melanjutkan untuk menjelaskan mengapa Copernicus


tampaknya tidak menyadari di mana modelnya akan menghasilkan posisi terdekat Merkurius
ke Bumi (gambar 6. 7):

206
Ada sesuatu yang sangat aneh tentang deskripsi Copernicus. Copernicus tampaknya tidak
menyadari bahwa model itu dirancang, bukan untuk memberi Merkurius orbit yang lebih besar
(baca epicycle) ketika Bumi (baca pusat epicycle) adalah 90° dari garis apsidal, tetapi untuk
menghasilkan perpanjangan terbesar ketika Bumi (baca pusat epicycle) adalah ±1200° dari
aphelion (apogee). Sebuah model yang menggambarkan gerakan planet Merkurius seperti yang
dijelaskan oleh Ibn al-Shatir.

Copernicus mengadopsi model yang sama tanpa sepenuhnya menyadari cara fungsinya.
Copernicus tampaknya tidak menyadari bahwa ukuran nyata suatu objek bergantung pada
ukuran objek dan jarak objek dari pengamat. Tampaknya Copernicus membingungkan ukuran
orbit planet, seperti yang ditandai oleh lingkaran putus-putus, dengan penampilannya sebagai
pengamat pada titik 0. Meskipun orbit planet memang mencapai ukuran terbesarnya ketika
pusat episiklik adalah 90° dari apogee, untuk

pengamat pada titik 0 epicycle putus-putus tidak muncul yang terbesar pada titik itu, seperti
yang dikatakan Copernicus. Sebaliknya, itu muncul terbesar ketika pusat episiklik mencapai
±120° dari apogee, seperti yang akan diprediksi oleh pengamatan Ptolemy yang diikuti oleh
Ibn al-Shatir, dan seperti yang dapat dilihat dari perbandingan antara sudut perpanjangan
maksimum pada 90° (garis padat) dan pada 120° (garis putus-putus).

Dengan terungkapnya semua permasalahan ini, Swerdlow menyimpulkan:

Kesalahpahaman ini berarti bahwa Copernicus tidak mengetahui hubungan antara keduanya
model gerak semu Merkurius. Jadi itu bukanlah penemuannya sendiri, jika ya, dia pasti akan
menjelaskan tujuan dasarnya tuliskan pernyataan yang tidak masuk akal bahwa Merkurius
"tampaknya" bergerak dalam orbit yang lebih besar ketika Bumi berjarak 90drajat dari garis
apsidal. Oleh karena itu, satu-satunya alternative adalah dia menyalinnya tanpa sepenuhnya
memahami apa yang sebenarnya terjadi. Karena itu milik Ibnu Asy-Shatir model, ini adalah
bukti lebih lanjut, dan mungkin bukti terbaik, bahwa Copernicus memang demikian sebenarnya
menyalin tanpa pemahaman penuh dari beberapa sumber lain, dan sumber ini akan menjadi
transmisi yang belum diketahui ke sebelah barat planet Ibnu as-Shatir teori.[20] Belakangan,
ketika menilai astronomi Copernicus dalam konteks astronomi Renaisans, Swerdlow kembali
ke titik hubungan ini. antara Copernicus dan para pendahulunya, dan khususnya terhadap
masalah-masalah tersebut dalam model Merkurius:

207
Transmisi merekal artinya para astronom Maragha penemuan dari Bahasa Arab di Timur dan
Latin di Barat tidak jelas. Namun teori bulan dan planet Copernicus dalam garis bujur di
Commmtariolus, hingga komplikasi tambahan untuk Merkurius, hampir sama dengan teori Ibn
al-Shatir dalam setiap detailnya, kecuali teorinya. pengaturan heliosentris dan ekstraksi
parameter dari Tabel Alfonsine, dan sulit dipercaya mengingat begitu banyaknya identitas yang
rumit bahwa Copernicus sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang para
pendahulunya.[21]

Secara keseluruhan, semua bukti sebelumnya tentang saling ketergantungan antar karya
Copernicus dan 'Urdi, Tusi, dan sekarang Ibn al-Shatir, setidaknya harus memperkuat klaim
adanya transmisi ide-ide astronomi ke arah barat dari dunia Islam ke Eropa Renaisans. Karya
dan teorema dan teknik matematika yang baru ditemukan 'Urdi, Tusi dan Ibn al-Shafir,
semuanya terhubung secara organik dan integral dengan yang sebelumnya hasil astronomi
Islam. Bukti ini dengan jelas menunjukkan caranya totalitas dari hasil-hasil sebelumnya yang
pada abad keenam belas menjadi alat astronomi baru yang mulai dibangun Copernicus.

Ketika semua bukti itu digabungkan, maka itulah yang dimaksud harus memahami pernyataan
Swerdlow dan Neugebauer terbaru mereka buku tentang astronomi matematika Copernicus,
ketika mereka mencoba melihat Copernicus sebagai astronom Maragha terakhir dan bukan
sosok yang sepenuhnya terputus yang menempa astronomi baru yang sepenuhnya didasarkan
pada lahan baru yang dibangunnya sendiri.[22]

Kemungkinan Rute Kontak dengan Copernicus

Semua bukti baru saja dikutip, dan kesamaan yang luar biasa di antara keduanya karya
Copernicus dan karya-karya pendahulunya dari Islam dunia tidak luput dari perhatian seperti
yang telah kita lihat. Bahkan terus meningkat beberapa pertanyaan yang sangat mendasar
tentang lingkungan intelektual aktual di mana Copernicus menyusun karyanya yang inovatif.
Dan seperti semuanya hasil penelitian yang bagus, ini hubungan antara Islam dan Copernicus
astronomi tidak hanya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru bagi para mahasiswa
astronomi Copernicus, seperti yang seharusnya terjadi, namun juga pada gilirannya
menimbulkan beberapa pertanyaan yang sangat menarik. masalah bagi astronomi Islam juga,
seperti yang akan segera kita lihat.

208
Bahkan jika seseorang mengakui adanya koneksi tersebut pada intelektual tingkat, masih
masalah kontak antara Copernicus dan pendahulunya, dalam pengertian historis, masih tetap
diperumit oleh fakta yang kita miliki tidak ada bukti apa pun bahwa Copernicus sendiri tahu
bahasa Arab sama sekali. Kami juga tidak mempunyai bukti bahwa karya Urdi, Tusi atau Ibn
al-Shatir, yang tampaknya berhubungan langsung dengan Copernicus, pernah diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin dengan cara yang sama seperti sumber sumber Arab lainnya diterjemahkan
sebelumnya ke dalam bahasa Latin. Kita tidak dapat berbicara tentang karya para astronom ini
dengan cara yang sama kita berbicara tentang terjemahan karyaIbn Sina atauIbn Rusyd yang
masuk ke bahasa Latin selama periode abad pertengahan. Kami bahkan tidak bias bandingkan
dengan terjemahan yang terjadi pada masa Renaisans, seperti terjemahan baru dari karyaIbn
Sina yang dilaksanakan oleh Andreas Alpagus,[23] karena sepertinya tidak ada yang setara
dengan Andreas karya-karya astronomi. Namun kita tahu bahwa hasil-hasil yang diperoleh dari
karya-karya astronomi Arab yang disebutkan sebelumnya, tampaknya membuahkan hasil
menemukan jalan mereka ke repertoar teknis Copernicus sehingga dia bias menggunakannya
secara bebas dalam konstruksi astronominya sendiri, dan di kali bahkan menggunakannya
tanpa mencernanya sepenuhnya seperti yang baru saja kita lihat dalam kasus ini Merkurius.

Lebih jauh lagi, kita mengetahui bahwa teorema dan teknik matematika yang sama, yang
mungkin tampak sebagai hal baru bagi Copernicus, telah digunakan secara luas oleh para
astronom yang menulis bahasa Arab selama berabad-abad, seperti yang baru saja kita lihat.
sebelum Copernicus, serta sezaman dengannya, dan bahkan setelahnya waktunya. Mereka
mempunyai tradisi yang berkesinambungan dalam wilayah Islam kami tidak menemukan
komponen paralel di Barat Latin. Ada beberapa yang menyebutkan penggunaan Pasangan
Tlisl pada masa Copernicus dalam sumber Latin,[24] tapi itu hampir seluruhnya. Kita tidak akan
menemukan banyaknya persamaan yang baru saja dibahas.

Dari perspektif yang sedikit berbeda, dan untuk tujuan hasil yang akan digambar nanti, pada
titik ini kita harus mencatat bahwa keduanya sama hasil astronomi yang ditetapkan dalam
domain Islam adalah secara tegas dihasilkan dalam konteks menolak, merumuskan kembali,
dan meragukan tradisi astronomi Yunani. Dalam arti tertentu, tidak seperti itu karya Ibn Sina
danIbn Rusyd yang bisa dibilang bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Latin untuk memanen
pemikiran Aristotelian Yunani kuno itu yang dikandungnya, mewakili hasil matematis dan
astronomi pemberontakan mereka sendiri terhadap sumber-sumber Yunani tersebut. Dari

209
mereka seseorang tidak bias memulihkan pemikiran Yunani. Sebaliknya, ada kritik terhadap
pemikiran Yunani.

Sumber-sumber astronomi Arab itu sendiri mereka menciptakan alternatif terhadap astronomi
Yunani alih-alih "melestarikannya". seperti yang sering kita katakan. Dan yang paling
mengejutkan, mereka semua berasal dari masa tersebut yang telah dijuluki, selama
berabad-abad, sebagai periode terdalam kemunduran pemikiran Arab. Jadi mengapa seorang
ilmuwan Renaisans tertarik untuk memperoleh informasi dari sumber-sumber tersebut, padahal
sumber sumber tersebut merupakan perwakilan dari kemunduran budaya, jika kita
mempercayai narasi klasik Arab historiografi ilmiah?

Selanjutnya sumber-sumber ini ditulis secara tegas untuk melawan pemikiran astronomi
Yunani daripada melestarikannya. Jadi mengapa ada Ilmuwan Renaisans akan tertarik pada
mereka, jika tujuannya Proyek intelektual Renaisans adalah pemulihan sumber-sumber klasik
Zaman kuno Yunani-Romawi seperti yang sering kita ceritakan? Di sisi lain, jika kita
mengingat perlakuan ikonografis terhadap yang telah ditaklukkan Copernicus, oleh mereka
yang menamai revolusi dia, dan penggambaran peran revolusionernya sebagai pemecah jalan,
itu akan terjadi menjadi sulit membayangkan bagaimana dan mengapa orang yang sama
mencari hasil dari sumber-sumber yang mendalami penyelamatan kosmologi Aristoteles,
seperti yang tampaknya telah dilakukan oleh sumber-sumber astronomi Arab. Jika tujuannya
adalah untuk menggulingkan kosmologi itu sama sekali, seperti yang diceritakan dalam
literature tentang Copernicus, bukankah dia akan mencari di tempat lain? Lebih-lebih lagi, jika
kita percaya bahwa karya Copernicus mengkristalkan semangat ilmu pengetahuan Renaisans
modern, maka kita harus berpendapat bahwa itu adalah hal yang mendasar landasan teknis
untuk ilmu pengetahuan "modern" ini telah diletakkan di dalam Dunia Islam, berabad-abad
yang lalu, seperti yang sekarang kita sadari, hanya ada dua teorema yang digunakan
Copernicus untuk membangun astronominya sendiri, yaitu belum ditemukan dalam Euclid atau
Ptolemy, adalah teorema 'Urdi dan Tusi. Semua pertanyaan dan refleksi ini memaksa kita
untuk meninjau historiografi standar ilmu pengetahuan Renaisans terlebih dahulu, dan
kemudian, yang terpenting, historiografi standar ilmu pengetahuan Renaisans historiografi ilmu
Islam itu sendiri.

Diantara permasalahan yang harus dihadapi oleh proyek historiografi Islam yang diperlukan
adalah menjelaskan karya berbahasa Arab mana yang mungkin dapat dibaca Copernicus, jika
kita terus berpikir bahwa itu adalah hasil astronomis mencapai Copernicus langsung dari

210
sumber-sumber Arab. Kesulitannya menjadi kritis ketika kita menyadari bahwa sejauh ini kita
dapat membangun kesamaan di antara keduanya karya Copernicus dan karya 'Urdi, Tusi dan
Ibn al-Shatir, tetapi di sedemikian rupa sehingga tidak ada satu pun sumber berbahasa Arab
yang dapat menjelaskan semua kesamaan tersebut. Artinya, jika kita berasumsi bahwa
Copernicus mengetahui karya 'Urdi, kita tidak bisa menjelaskan dari karya itu saja
pengetahuannya tentang Pasangan Tusi.

Dan jika kita berasumsi dia mengetahui karya Tusi, maka kita tidak dapat menjelaskan
karyanya mengenal karya 'Urdi melalui karya Tusi. Dan jika kita berasumsi demikian dia
mengetahui karya Ibn al-Shatir, yang hidup satu abad setelah 'Urdi dan Tusi, maka kita tidak
bisa menjelaskan desakan Copernicus untuk membuktikan Pasangan Tusi yang tidak
dibuktikan dalam karya Ibn al-Shatir. Dan tentu saja itu menjadi hampir mustahil untuk
menyimpulkan bahwa dia mengetahui semua karya ini secara individual dan dia
mensintesisnya sendiri ketika dia tidak mengetahuinya bahasa Arab apa pun, dan tidak ada
satupun yang tersedia baginya dalam bahasa Latin. Hipotesis kerja terbaik yang dapat diajukan
saat ini adalah berpikir perkenalan Copernicus dengan beberapa jenis ilmu astronomi Arab
karya yang berisi komentar terhadap karya sebelumnya, seperti karya Qutb al-Dln al-Shirazi (w.
1311) di mana orang dapat menemukan bukti teorema Tusi seperti yang direproduksi oleh
Copernicus, karena karya Shirazi adalah sendiri mengomentari karya Tusi. Selain itu
karya-karya Shirazi juga memuat penerapan model 'Urdi untuk planet atas, yang secara singkat
diadopsi oleh Copernicus melalui karya Ibn al-Shatir dan dimana dia hampir secara tidak sadar
mengadopsi Lemma 'Urdi.

Kami baru saja mengatakan itu model ini adalah model yang dipilih Shirazi dibandingkan
modelnya sendiri guru Tusi Tapi karya Shirazi tidak memiliki pandangan dunia Ibn al-Shatir.
Oleh karena itu, teori ini tidak dapat menjelaskan model bulan yang identik dengan Ibnu
al-Shatir yang diadopsi oleh Copernicus, maupun penempatannya pada Tusi yang sama Teknik
berpasangan seperti yang dilakukan Ibnu al-Shatir ketika mendeskripsikan gerak dari planet
Merkurius. Jika kita mengikuti jalur komentar, maka itu akan terjadi bagi para sejarawan
astronomi Arab untuk menemukan komentator, seperti Shirazi, yang pasti hidup setelah Ibn
al-Shatir, dan mungkin telah menulis komentar panjang tentang Ibn al-Shatir dan mencoba
menempatkan Ibnu al-Shatir.

Karya al-Shatir dalam konteks karya sebelumnya 'Urdi dan Tusi. Tapi tidak ada yang
mengetahui komentar seperti itu dan masalahnya masih belum terpecahkan. Namun, pelajaran

211
historiografisnya adalah sebagai berikut: Kalau saja tidak ada kesamaan yang kini muncul di
antara karya-karya Copernicus dan para astronom terdahulu di bidang Islam, masalah ini tidak
akan terjadi telah muncul sejak awal, dan kita bahkan tidak menduganya komentar seperti itu
bahkan mungkin ada. Masih ada penelitian lain yang harus dilakukan juga, yaitu ini waktu
mengambil arah yang berakar kuat pada karya Tusi. Para komentator Tadhkira karya Tusi
kemudian telah memulai penelitian ini, tetapi masih sangat jauh dari itu hanya sedikit orang
yang mempelajarinya dalam literatur modern.[25]

Penelitian di pertanyaannya ada hubungannya dengan implikasi pecahnya alam semesta


Aristotelian oleh Pasangan Tusi. Pecahnya itu dalam pengertian berikut. Seperti yang kita
miliki telah dikatakan sebelumnya, Aristoteles telah membagi alam semesta berdasarkan gerak
alami unsur-unsurnya, menjadi dua bagian dasar: daerah langit (yang digerakkan oleh gerak
melingkar alami unsur tersebut) eter tempat dunia selestial dibuat) dan wilayah sub-bulan (di
mana gerak linier didominasi). Dengan Pasangan Tusi, kini dapat dibuktikan bahwa gerak
melingkar dapat menghasilkan gerak linier, dan sebaliknya. Apakah ini berarti bahwa
perpecahan Aristoteles harus runtuh? sejauh mana, dan jika ada, apa yang dapat dihemat?
Hanya penelitian di masa depan yang bias melakukannya mengungkap dampak seperti itu.

Kembali ke masalah kontak dengan Eropa, pertanyaan mendasar bagi ilmu antarbudaya masih
tetap ada: Bagaimana Copernicus bisa mengetahui tentang hasil-hasil Arab tersebut, pada
tanggal yang terlambat, dengan semua kondisi yang diketahui dari Renaisans? Jawaban atas
pertanyaan ini harus mengandaikan hal lain pertanyaan tentang Copernicus sendiri. Apakah dia
tahu bahasa Arab sama sekali? Apakah dia ada di dalam kontak dengan orang Arab? Seberapa
baik orang-orang Arab yang dia kenal mengetahuinya ilmu teknis bahasa Arab? Semua
pertanyaan ini masuk ke inti lingkungan intelektual selama Renaisans dan harus diatasi dari
kedua sisi Mediterania.

Rute Bizantium

Sejauh ini asumsinya adalah Copernicus tidak bisa berbahasa Arab, dan karena sumber-sumber
berbahasa Arab tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, maka ia pasti menerjemahkannya
diketahui tentang mereka melalui bahasa lain yang mereka gunakan "diterjemahkan" dan
Copernicus bisa membaca. Sekali lagi Neugebauer-lah yang melakukannya berasumsi dengan
benar bahwa Copernicus, seperti semua orang Renaisans terpelajar lainnya laki-laki, bisa

212
membaca bahasa Yunani dan Latin. Karena bahasa Latin tidak dapat dipertimbangkan sebagai
bahasa terjemahan karena tidak ada bukti bahwa teks berbahasa Arab diterjemahkan ke
dalamnya, sehingga menyisakan bahasa Yunani sebagai satu-satunya kemungkinan dengan
alasan tersirat Neugebauer. Alur pemikiran ini membawa Neugebauer ke sana periksa
sumber-sumber Yunani Bizantium untuk mendapatkan petunjuk tentang solusi masalah
penularan.

Pada saat Neugegauer pertama kali melakukan kontak dengan materi Arab yang menandakan
kemungkinan kontak dengan Copernicus, dia telah mengerjakan teks astronomi Bizantium
untuk karyanya sendiri Studi dalam Terminologi Astronomi Bizantium. Jadi sekilas, Bizantium
Bahasa Yunani sepertinya merupakan jalur yang masuk akal untuk transmisi semacam itu.
Dalam beberapa tahun Pencarian rajin Neugebauer dengan cepat membuahkan hasil yang
sangat menarik bentuk manuskrip Yunani Bizantium yang sekarang disimpan di perpustakaan
Vatikan sebagai Gr.211. Naskah yang dimaksud berisi pasangan Tusi versi Yunani, dan dengan
demikian tampak seperti petunjuk yang bagus untuk dikejar. Namun kini setelah naskah yang
sama diterbitkan,[26] kita dapat melihat dengan jelas bahwa meskipun tampaknya memang
demikian gambaran kualitatif tentang Pasangan Tusi, sepertinya tidak ada bukti Pasangan itu.

Dan seperti yang telah kita lihat sebelumnya, ada hal-hal yang luar biasa persamaan
pembuktian Pasangan Tusi dalam karya Arab Tusi dan karya Latin Copernicus. Dan kita telah
melihat kedua bukti tersebut sangat bergantung pada penggunaan huruf alfabet yang sama
secara identic untuk menunjuk titik-titik geometris yang sama. Jadi bukti-bukti itu penting
untuk dilakukan menjelaskan fenomena ini dan memperkuat argumen tentang kemungkinan
hubungan antara keduanya. Naskah Yunani Vatikan juga tidak memuatnya salah satu materi
Urdi atau Ibn al-Shatir, yang telah kita lihat sangat banyak relevan bagi Copernicus dan entah
bagaimana tersedia baginya. Semua isu dan pertanyaan tersebut melampaui historiografi yang
diterima sains, seperti yang sekarang dipahami secara umum. Kaitan Copernicus dengan materi
Islam terdahulu merupakan bidang penelitian baru yang belum pernah dimilikinya kesempatan
untuk berdampak pada sejarah umum ilmu pengetahuan. Tapi apa pun informasi yang kita
miliki sekarang, pasti membawa kita pada kesimpulan bahwa ada pastilah terdapat hubungan
yang erat, setidaknya pada tingkat matematis teoretis, antara karya Copernicus dan karya para
pendahulunya di dunia Islam.

Sebuah kata peringatan adalah agar masalah kontak ini tidak terjadi Copernicus dan para
pendahulunya di dunia Islam tidak akan bingung dengan ide jenius Copernicus tentang

213
heliosentrisme. Tak satu pun dari para astronom yang bekerja di dunia Islam, dan yang telah
disebutkan sejauh ini, pernah melakukannya ketertarikan pada konsep-konsep seperti
heliosentrisme. Menurut perkiraan saya, memang demikian begitu erat kaitannya dengan
kosmologi Aristotelian yang keras kepala namun komprehensif, yang menentukan alam
semesta geosentris, dan yang terus berkuasa. tertinggi di dunia astronomi hingga zaman
Newton. Inimeskipun ada petunjuk dan komentar yang meremehkan orang akan
mendengarnyawaktu ke waktu oleh para astronom yang bekerja di kedua sisi Mediterania.

Dalam konteks ini pula, kita juga terpaksa mengajukan pertanyaan ilmiah legitimasi
heliosentrisme itu sendiri di alam semesta pra-Newtonian, dimana tidak ada kosmologi
alternatif belum tersedia. Sarjana Copernicus, yang memiliki sibuk mencoba menjelaskan asal
usul heliosentrisme Copernicus belum menjelaskan bagaimana Copernicus bisa meyakinkan
dirinya sendiri bahwa dia bisa berubah pusat gerak matahari tanpa harus mengajukan teori
kosmologi non-Aristotelian yang dapat menyatukan dunia dalam sama seperti yang dilakukan
kosmologi Artistotelian.[27] Artinya, tanpa memanfaatkan hukum gravitasi universal Newton,
bagaimana dia bisa berharap demikian menjaga sistem bersama-sama?

Apa yang dilakukan para pendahulu Copernicus masih dalam batasan kosmologi Aristoteles.
Dan dalam hal ini mereka sangat konsisten dalam upaya mereka untuk menggantikan model
Ptolemeus dengan model alternative yang berperilaku jauh lebih konsisten dengan menghindari
absurditas Model Ptolemeus. Tapi Copernicus mengeluh, dalam pendahuluan
Commentariolusnya tentang equant?, keluhan yang hanya masuk akal alam semesta Aristoteles,
lalu lanjutkan dan tinggalkan semua sistem itu, dan mempertahankan model-model yang
dimodifikasi untuk menghindari absurditas Ptolemeus equant, memang sangat membingungkan.
Model yang dikembangkan di Dunia Islam untuk memecahkan masalah kesetaraan Ptolemeus,
dikembangkan khususnya agar model tersebut konsisten dengan pertimbangan kosmologis
Aristotelian. Jadi jika seseorang bersedia meninggalkan Aristotelian alam semesta, lalu
mengapa mempertahankan model tersebut? Masalah seperti ini harus dibiarkan untuk ditangani
oleh para sarjana Copernicus.

Semua upaya yang dikembangkan di dunia Islam untuk mengubah astronomi Ptolemeus, pada
dasarnya, dimotivasi oleh persyaratan sederhana dan lugas untuk menjaga agar teori astronomi
tetap konsisten dengan teorinya. tempat. Artinya, semua astronom itu percaya pada kata-kata
Ptolemeus bahwa dia ingin mengembangkan model astronomi yang semuanya didasarkan pada
alam semesta Dunia Aristoteles, dan semua dunia bergerak mengelilingi pusatnya

214
masing-masing, di tempat, dengan kecepatan seragam. Ketika mereka mendapati model
Ptolemeus menginginkannya, mereka mengembangkan model alternatif mereka sendiri, yang
terkadang mereka punya untuk mengembangkan teorema matematika yang tepat untuk
menjaga korespondensi antara model tersebut dan observasi yang menjadi dasar model
didasarkan pada tempat pertama.

Dengan sikap itu, mereka berhasil memperkenalkan ciri konsistensi ke dalam teori astronomi,
dan menganggap matematika sebagai alatnya teori. Para astronom ini tidak menoleransi
pelanggaran Ptolemeus terhadap matematika yang elegan dengan mengorbankan sifat fisiknya
bidang yang diasumsikan, kemungkinan besar tidak akan menoleransi keseluruhan sistem
heliosentris baru di mana fondasi dari bola, itu masih dipertahankan oleh Copernicus, tidak lagi
masuk akal dalam heliosentris dunia. Konsistensi antara pengandaian, sifat fisik bola, dan
matematika yang mewakili gerakan bola tersebut bidang, di satu sisi, dan model yang berfungsi
sebagai model prediktif perilaku planet-planet pada waktu dan tempat mana pun, di sisi lain,
menjadi prinsip panduan astronomi Islam pada tahap ini.

Hanya pada tahap selanjutnya, yaitu. menjelang pertengahan abad keenam belas, matematika
akan mengambil alih kekuasaannya peran yang tepat sebagai alat teori astronomi. Fakta bahwa
Copernicus juga meluncurkan penelitiannya sendiri, dalam Commentariolus, dengan sikap
yang sama yaitu ingin memecahkan masalah dunia. equants, berarti pada awal abad keenam
belas, jika tidak jauh sebelumnya, aliran ide melintasi Mediterania sudah penuh gigi. Dan
sekarang kita bisa mendokumentasikan persamaan antara karya-karya tersebut Copernicus dan
para pendahulunya di dunia Islam, hanya mereka saja mengkonfirmasi kelancaran lalu lintas ini.
Setelah hal itu menjadi jelas, maka kita bisa melakukannya menjawab kembali pertanyaan
tentang "lokalitas" versus "esensi" ilmu pengetahuan Islam dengan mendasarkan pembahasan
pada contoh konkrit seperti yang sedang terjadi diangkat di sini.[28] Jika solusi dari masalah
yang dikembangkan di Damaskus di pertengahan abad ketiga belas, dan masih masuk akal bagi
seseorang seperti Copernicus yang menulis dalam konteks dunia Latin.

Renaisans, maka menjadi jelas bahwa tidak ada perjalanan waktu batas-batas budaya juga tidak
dapat menghambat upaya untuk mencapai solusi yang benar-benar valid. Lalu apa yang
dimaksud dengan “lokal” dan apa “esensi” dari solusi tersebut masalah? Temuan ini tidak
hanya menjelaskan latar belakang dan motivasinya karya Copernicus; mereka juga
menjelaskan kesinambungan pemikiran dari Abad Pertengahan ke masa Renaisans, tanpa harus
menjadi liar asumsi tentang ide yang lahir dalam konteks abstrak. Banyaknya jumlah dan

215
kerumitannya, serta sifat teknisnya juga menghilangkan kemungkinan penemuan yang tidak
disengaja, dan memaksa kita untuk setuju dengan Swerdlow dan Neugebauer bahwa
masalahnya bukan lagi “jika” melainkan “kapan, di mana, dan dalam bentuk apa" yang
dipelajari Copernicus dari karya-karya sebelumnya.[29]

Jawabannya pertanyaan ini menjanjikan untuk mengubah pemahaman umum kita tentang
sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, serta mengubah pemahaman kita tentang hakikat ilmu
pengetahuan hubungan antara Eropa dan dunia Islam pada saat yang genting ini dalam sejarah.
Kaum Arab Renaisans Sejauh ini saya telah membatasi diskusi tentang kemungkinan jalur
kontak antara Copernicus dan dunia Islam dengan bahasa Copernicus dapat membaca dan ke
dalamnya sumber-sumber berbahasa Arab dapat diterjemahkan: Yunani Bizantium. Namun
sejak ditemukannya naskah Bizantium, Gr 211, Vatikan, oleh Neugebauer, petunjuk lain
mengenai kemungkinan rute telah muncul untuk diketahui, terutama dari manuskrip Arab itu
sendiri.

Salah satu manuskrip tersebut, yang juga disimpan di Vatikan, Arab 319, merupakan salinan
lain dari Takhkira Nasr al-Din al-Tusi, yang didalamnya tentu saja ada bab yang memuatnya
buktinya Pasangan Tusf. Naskah itu sendiri diteruskan ke Perpustakaan Vatikan sebagai bagian
dari warisan seorang Prancis bernama Guillaume Postel (1510-1581) yang lebih muda sezaman
dengan Copernicus.[30] Apa yang membuat manuskrip Vatikan ini sangat luar biasa adalah
faktanya berjudul "Lambang Almagesti." Dengan bantuan Della Vida kemudian ditentukan hal
itu identifikasi dilakukan oleh Postel sendiri. Namun yang lebih penting, naskah juga memuat
anotasi marginal dalam bahasa Latin, juga oleh Postel, itu menunjukkan kemampuannya
membaca teks astronomi Tusi yang sangat teknis ini. Dia dapat dengan jelas mengomentarinya,
meskipun sangat singkat, yang artinya demikian dia mengerti apa yang dia baca.

Terutama seputar bab yang memuat pernyataan dan pembuktian Pasangan Tusi, dan dengan
demikian tidak akan menimbulkan kesulitan materiil bagi seseorang yang mampu memahami
isinya. Keberadaan manuskrip semacam itu juga menunjukkan bahwa ada orang-orang
Renaisans yang menguasai bahasa Arab, dan pasti mengetahui isi teks-teks ilmiah teknis.[31]
Masalahnya adalah untuk menentukan apakah Copernicus dirinya pernah mengenal
orang-orang seperti itu. Karena jika dia melakukannya, maka itu sudah cukup mungkin untuk
berasumsi dengan Willy Hartner bahwa seseorang bisa memberi pengarahan kepadanya
tentang isi manuskrip tersebut, yaitu memperbaruinya di terbaru dalam astronomi Arab.

216
Skenario seperti itu mungkin secara tidak sengaja membantu memecahkan masalah Copernicus
hutang pada lebih dari satu teks Arab dan untuk itu saya harus berspekulasi tentang adanya teks
yang ditulis setelah zaman Ibnu al-Shatir berupa tafsir yang memuat unsur-unsur karya Tusi,
'Urdi, dan Ibnu al-Shatir; teks yang kita tahu telah menjadi perhatian Copernicus. Dengan
asumsi keberadaan rekan seperti itu, yang dapat dikonsultasikan oleh Copernicus, dapat
memecahkan masalah tersebut: hal itu akan membuat rekan pengumpul informasi tersebut dari
berbagai teks, dan itu bias membuatnya bertanggung jawab untuk meneruskannya ke
Copernicus.

Namun setelah diketahui bahwa Postel memiliki setidaknya satu bahasa Arab teknis naskah
astronomi, masuk akal untuk menyelidiki koleksi lain dan lihat apakah mereka juga
menyertakan manuskrip miliknya, di untuk menentukan sejauh mana komentar Postel sendiri.
Harapannya adalah bahwa penelitian semacam ini akan menjelaskan jenis teks yang dibaca
oleh orang-orang sezaman dengan Copernicus.

Kita juga akan tahu jika Vatikan naskah adalah pengecualian atau kejadian unik. Pencarian
kemudian diperluas hingga mencakup teks-teks astronomi yang ada masih disimpan di
perpustakaan Eropa lainnya. Untungnya langkah pertama dalam hal itu penelitiannya langsung
dihargai dengan koleksi Bibliotheque Kebangsaan Paris. Di antara naskah-naskah Arab yang
masih disimpan dalam koleksi itu, muncullah teks teknis lainnya, yang disebut Muntaha
al-idrak fa taqasim al-aflak (Pemahaman Utama Pembagian Bola), kali ini ditulis oleh Abu
Muhammad 'Abd al-Jabbar al-Kharaqi (1138/9).

Naskah ini pasti ditujukan untuk astronomi matematika seperti yang tertera jelas di judulnya.
Selain itu, secara eksplisit ditandai sebagai telah dimiliki oleh Gillaume Postel yang sama
dengan frasa "ex libris guilielmi postelli'' ditandai dengan jelas pada halaman judul.[32] Pada
halaman pertama, naskahnya juga menyatakan bahwa itu dibeli di Konstantinopel pada tahun
1536, yang ditandai dengan jelas: "G. postellus Contantinopoli 1536." Tahun 1536 juga
merupakan tahunnya yang merupakan puncak dari misi delegasi yang dikirim ke
Konstantinopel oleh Raja Prancis Franc;ois I (1515-47) untuk merundingkan sebuah perjanjian
dengan Sultan Ottoman, Suleiman yang Agung (1520-66). Perjanjian sebenarnya
ditandatangani pada tahun itu.[33]

Postel ini rupanya adalah anggota delegasi. Dan kita tahu bahwa dia didakwa membeli
buku-buku berbahasa Yunani oleh Bude, Pustakawan Prancis I. Namun rupanya Postel

217
memilih untuk membeli teks ilmiah berbahasa Arab. Latar belakang awal Postel, masa kecilnya,
pendidikannya, dan hidupnya penguasaan bahasa Ibrani dan Arab, serta bahasa-bahasa lain
yang dia miliki tampaknya tahu, tetap tidak jelas. Namun faktanya dia terpilih untuk bergabung
delegasi Perancis ke Konstantinopel pasti berarti bahwa dia sudah melakukannya memperoleh
ketenaran sebagai seseorang yang mengetahui apa yang kemudian dikenal sebagai bahasa
oriental, sehingga ia mungkin dapat bertindak sebagai penerjemah bahasa Prancis delegasi.

Akan sangat menarik untuk mengetahui nama Orang tersebut yang bisa mengajarinya bahasa
Arab di Paris pada awal abad keenam belas abad. Dan apakah lingkungan Paris, dalam hal
paparan bahasa-bahasa oriental seperti Arab, jauh berbeda dengan kota-kota lain di Eropa
Timur dan Italia utara tempat Copernicus menghabiskan karir profesionalnya, atau dulu norma?
Pertanyaan seperti itu berhubungan langsung dengan akses Copernicus terhadap bahasa Arab
materi ilmiah, yang tidak harus diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.

Perjalanan Postel ke Konstantinopel rupanya cukup berhasil, karena pada tahun Selain dua
naskah Arab yang dimilikinya, masih ada naskah lain yang ditandai oleh Della Vida, yang
mungkin berakhir di tempat lain Perpustakaan Eropa.[34] Dan karena penandatanganan
perjanjian, yang harus dilakukan telah menyenangkan raja Prancis,[35] Postel rupanya dihadiahi
sebuah penunjukan sebagai profesor matematika dan bahasa oriental di College Royal yang
kemudian menjadi College de France. Filosofis Naskah Arab, dari Perpustakaan Leiden,
dengan jelas membuktikan penunjukan ini karena ditandatangani "Profesor Kerajaan
Matematika",[36] yang harus mengacu pada miliknya penunjukan resmi ke Perguruan Tinggi.
Namun Postel tidak bertahan lama di Kolese tersebut, dan karena alasan yang masih belum
jelas, ia diberhentikan dari jabatannya pada tahun 1543, tahun ketika Copernicus meninggal.
Sejak saat itu, hidupnya berubah secara dramatis ketika ia mulai mengejar topik budaya dan
agama, tetapi terus melakukan perjalanan lebih jauh ke dunia Islam dan untuk memperoleh
teks-teks ilmiah Arab lainnya, terutama antara tahun 1548 dan 1551.

Beberapa perjalanannya membawanya melewatinya Italia utara, di mana dia akhirnya terlibat
dalam pertobatan spiritual itu mungkin menyebabkan kematiannya dan akhirnya dipenjarakan
oleh Paus dan pengasingannya ke sebuah biara dekat Paris di mana dia akhirnya meninggal
pada tahun 1581. Naskah lain di perpustakaan lain seperti Bodleian (Oxford) dan Laurentiana
(Florence), beberapa dari masa hidup Copernicus sementara yang lain dari setelah kematiannya,
juga memuat anotasi pinggir yang serupa, dan kadang-kadang bahkan terjemahan interlinear.
Bukti tersebut membuktikan tersebar luasnya minat sebagian besar kota-kota Eropa terhadap

218
ilmu-ilmu Islam yang terkandung di dalamnya manuskrip. Penyebab ketertarikan Eropa
terhadap ilmu pengetahuan Islam pada abad-abad terakhir ini masih sangat kurang dipelajari.
Seseorang dapat memahami alasannya periode masa hidup Copernicus sendiri, sejak status
ilmu pengetahuan di Kota-kota di Eropa pada waktu itu hampir sejajar dengan kota-kota
lainnya telah dikenal di negeri-negeri Islam.

Namun minat tersebut tampaknya terus berlanjut dengan baik memasuki abad ketujuh belas
dan kedelapan belas. Dan itu menjadi sangat berarti lebih membingungkan.[38] Pertanyaan lain
tetap menarik dalam hal ini, dan berhubungan dengan gambar ilmu pengetahuan Arab/Islam di
kota-kota Eropa tersebut berbeda dengan gambaran ilmu-ilmu yang lebih kuno. Dari
bukti-bukti yang masih ada sejauh ini, dan minat yang meluas di hampir semua bidang ilmu
pengetahuan, mungkin saja terjadi dengan aman berspekulasi bahwa itu adalah orang
Renaisans pada abad keenam belas dan awal Pada abad ketujuh belas ilmu pengetahuan Arab
tampaknya sudah cukup maju melampaui ilmu pengetahuan Yunani yang lebih klasik,
khususnya di bidang Astronomi. Orang seperti itu pasti mengetahuinya dari beberapa sumber,
dan khususnya dari komentar-komentar meremehkan yang sering dikutip Ibn Rusyd sendiri
dalam komentarnya sendiri mengenai karya Aristotelian, itu Astronomi Ptolemeus telah
mendapat serangan di dunia Islam.

Seseorang seperti Andreas Alpagus (w. 1 522), yang tinggal dan belajar di Damaskus sekitar
15 tahun dan yang kembali ke Padua, mungkin mendekati pergantian tahun keenam belas abad,
untuk mengambil alih jabatan kedokteran di Padua pada tahun 1505, dengan demikian
mungkin saja tumpang tindih dengan persinggahan Copernicus di area umum tempat dia
memperoleh gelar terakhirnya dalam hukum kanonik dari dekat Ferrara, mungkin sudah
mengetahuinya dari serangan terhadap astronomi Ptolemeus, atau bahkan mungkin pernah
mendengarnya reformasi luar biasa dari astronomi yang telah dicapai oleh Ibn al-Shatir (1375)
dari kota yang sama di Damaskus hampir 100 tahun sebelumnya. Semua kontak dengan dunia
Islam, yang kami sampaikan secara terbuka di sini minimal dengan memberikan contoh,[39]
akan dengan mudah menyampaikan berita itu astronomi Yunani kuno sudah menjadi
perselisihan besar di negeri-negeri Islam, dan bahwa hasil serta landasan dasarnya sangat
dipertanyakan dan kadang-kadang bahkan terbalik.

Orang Renaisans akan memiliki semuanya alasan untuk mencari informasi tentang reformasi
terbaru yang telah terjadi di dunia Islam, dan kemungkinan besar hanya akan menyimpan
barang antic minat pada detail astronomi Yunani. Dalam pengaturan seperti itu, gambar Ilmu

219
pengetahuan Islam di Eropa Renaisans juga akan memperoleh status serupa seperti yang
dicapai di Byzantium pada awal abad keempat belas, ketika para astronom melakukan
perjalanan dari Konstantinopel ke Trebizond, di untuk memperoleh ilmu astronomi Islam
terkini, seperti yang dilakukan oleh penulis dari manuskrip Yunani Bizantium yang membawa
Pasangan Tusi ke dalam bahasa Yunani.

Maka tidak ada keraguan bahwa terdapat cukup banyak orang Arab di berbagai Negara
Kota-kota di Eropa yang tidak hanya menulis tata bahasa Arab, seperti yang dilakukan Postel,
tapi yang seperti Postel juga cukup kompeten untuk membaca teknisnya isi naskah ilmiah dan
untuk memahami maknanya dan karenanya menyebarkannya baik secara lisan atau bahkan
berdasarkan permintaan dalam bentuk tutorial.

Dengan Polandia, tempat Copernicus dilahirkan, letaknya sangat dekat dengan perbatasan
Negara Kekaisaran Ottoman pada saat itu, dan dengan bebasnya arus buku, perdagangan, dan
sarjana melintasi Mediterania melalui kota-kota Italia utara, di mana Copernicus menerima
pendidikannya, kita harus curiga jumlahnya banyak orang-orang seperti Postel yang bisa
menasihati atau bahkan mengajari Copernicus isi teks astronomi Arab.

Sekarang kita telah menetapkan kemungkinan rute lain, diharapkan penelitian di masa depan
akan terus berlanjut mengeksplorasinya untuk menjelaskan kemungkinan skenario seperti itu.
Kontak di Bidang Instrumen Jangan sampai kita berpikir bahwa teori planet adalah kasus
tersendiri, dan bahwa ada kontak antara dunia Islam dan Eropa Renaisans terbatas pada
hubungan dengan astronomi Copernicus saja, ini penting perlu dicatat bahwa pertukaran serupa
juga terjadi di berbagai disiplin ilmu lainnya.[40] Pada titik ini, beberapa contoh dari bidang
serumpun seperti bidang instrumen ilmiah seharusnya cukup untuk menjelaskan maksudnya.
Bukti tambahan tersebut menunjukkan dua contoh aneh yang menunjukkan hubungan erat
antara instrumen yang diproduksi Eropa Renaisans dan yang sudah diproduksi di masa Islam
dunia.

Instrumen-instrumen tersebut diproduksi dengan selang waktu berabad-abad dan


keberadaannya hanya menandakan jangkauan kontak antara dunia Islam dan Eropa Renaisans.
Contoh pertama kontak antara dunia Islam dan Renaisans Eropa di bidang instrumen ilmiah
menyangkut Antonio de Sangallo the Younger (1484-1546), salah satu arsitek Renaisans paling
terkenal Italia. Di antara surat-suratnya, yang kini masih disimpan di Uffizi di Florence, ada
satu lembar yang berisi, di salah satu sisinya, gambar detail astrolabe itu dibuat di Bagdad

220
sekitar tahun 850, dan di belakangnya ada gambar rete dari astrolabe yang sama.[42] Alasan kita
mengetahui rincian seperti itu tentang Penggambaran astrolabe ini berkat ketelitian de Sangallo,
yang tidak hanya menyalin astrolabe di atas kertas, muka dan punggung serta rete, tetapi,
dengan dengan sangat hati-hati, dia pun menyalin nama pembuat asli astrolabe tersebut yang
terukir di sepanjang tepi kuadran kanan atas di bagian belakang dari astrolabe. Berbeda dengan
kebanyakan benda seni lain yang diproduksi di Domain Islam, dan biasanya tidak membawa
nama artisnya, astrolabe biasanya tertulis di bagian belakang dengan nama pembuatnya. Jadi
astrolabe ini tidak terkecuali. Nama pembuat Baghdad yang asli adalah Khaflf. Rupanya dia
magang dengan ahli astrolab yang lebih terkenal yang tinggal di sekitar Bagdad tahun 850,
dengan nama 'All b. 'Isa.[43]

Karena hubungan itu, Khaflf menandatangani namanya di belakang astrolabe sebagai "ana 'ahu
Khafif ghulam 'Ali b.'lsa, " yang artinya: "Itu dibuat oleh Khafif murid 'Ali b. 'Isa." De Sangallo
dengan patuh menyalin tanda tangan ini, yang tidak memiliki signifikansi astronomis apa pun.
Pertanyaan bahwa satu-satunya makalah Uffizi ini posenya adalah: Mengapa orang seperti de
Sangallo tertarik pada hal tersebut sebuah astrolabe yang dibuat sekitar 800 tahun sebelumnya?
Ini, ketika kita mengetahuinya de Sangallo sendiri adalah seorang arsitek terkenal yang
dipercayakan pembangunan katedral Santo Petrus di Roma, sebuah monumen yang terus
berlanjut menjadi saksi keterampilan dan penguasaannya.

Kecurigaan saya adalah secara ilmiah orang-orang yang berorientasi pada Renaisans,
khususnya pada abad keenam belas, pasti sangat memikirkan semua hal ilmiah yang datang
kepada mereka dunia Islam, bahkan instrumen yang dibuat berabad-abad sebelumnya. Untuk
memperumit teka-teki ini, dan untuk menunjukkan arah yang sudah ditandai dalam kasus
kontak dengan Copernicus, dalam astronomi, dan dengan Michael Servetus dan Real do
Colombo di bidang kedokteran, di sini juga, tidak ada bukti bahwa de Sangallo bisa berbahasa
Arab. Kecurigaan saya adalah gambar itu, yang menduplikasi semua prasasti Arab dari
astrolabe itu, hingga ketanda tangan pembuatnya, hanya membuktikan kemampuannya sebagai
juru gambar.

Dan itu masuk itu sendiri tidak merupakan bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahwa dia
mengetahuinya Arab, kecuali ada yang bisa menunjukkan bahwa de Sangallo pernah
mempelajarinya rab, yang tentunya akan sangat membuat penasaran. Contoh kedua berkaitan
dengan penerimaan Renaisans terhadap hal ini bidang instrumen ilmiah, dan sejauh mana
bidang ini sangat menarik bagi orang-orang Renaisans.44 Ketertarikan itu sendiri dapat dengan

221
mudah ditunjukkan oleh kontak-kontak lain antara dunia Islam dan tokoh-tokoh terkenal
seperti itu. pembuat astrolabe seperti keluarga astrolab Arsenius, yang bekerja di Eropa utara,
terutama di wilayah Flemish, sekitar akhir abad keenam belas.

Untuk mengilustrasikan kontak antara keluarga astrolabis ini dan dunia Islam, perhatikan
astrolabe yang masih ada (gambar 6.8) yang awalnya dibuat di Spanyol Muslim, dan bahannya,
punggung dan pelatnya ditulis dalam bahasa Arab oleh Muhammad Ibn Fattah al-Khama'iri
pada tahun 619 H. = 1222 M. Seperti terlihat pada gambar, anggota keluarga Arsenius
memasang rete astrolabe ini dengan tulisan Latin, dan menghasilkan apelat yang cocok untuk
iklim Eropa utara.45 Keberadaan astrolabe ini, dalam bentuk ini, hanya dapat berarti bahwa
beberapa anggota keluarga tersebut sebenarnya bekerja dengan astrolabe Arab, dan pastinya
kompeten dalam bahasa Arab. Atau katakanlah setidaknya dia bilingual cukup agar rete baru
dapat digunakan dengan baik dengan mater yang telah dibuat oleh Khama'iri.

Alasannya, rete itu bertuliskan bahasa Latin nama-nama bintang, sedangkan tepinya, yang
menjadi latar ketinggian bintang-bintang tersebut harus dibaca, tetap mengusung angka abjad
Arab yang aslinya ditulis oleh Khama'iri. Oleh karena itu, kami hanya dapat menyimpulkannya
saja Arsenius sendiri, pembuat rete dan piring baru, atau penggunanya astrolabe hibrida yang
dihasilkan setidaknya harus mampu membaca sedikit bahasa Arab, dan hal ini menggambarkan
ketertarikan terhadap instrumen ilmiah Islam menjelang akhir abad keenam belas di iklim utara
seperti Belanda. Astrolab hibrida lainnya mungkin masih menunggu di koleksi pribadi untuk
ditemukan. Studi King tentang Instrumen Perhitungan Massa [46] telah banyak contoh pengaruh
seperti itu dan oleh karena itu sangat mungkin terjadi hibrida ada. Desain retes yang sama yang
umumnya dihasilkan oleh anggota keluarga Arsenius (gambar 6.9, kanan) juga dapat
menunjukkan hal lain. hubungan antara astrolab yang dibuat di dunia Islam dan yang dibuat di
Eropa Renaisans dan setelahnya.

Astrolabe hibrida yang pernah disimpan di Time Museum. Materinya dibuat oleh al-Khama'iri
pada tahun 1222, sebagaimana jelas ditandatangani pada gambar di sebelah kanan. Rete, yang
mana mengusung desain standar keluarga Arsenius, dibuat oleh salah satu anggotanya keluarga
itu menjelang akhir abad keenam belas.

Paling-paling publikasi terbaru, yang baru saja dikutip, David King dari Frankfurt
mengemukakan kemungkinan tersebut bahwa desain tersebut mungkin sama sekali tidak
mewakili bunga tulip, seperti biasanya untuk melakukan, melainkan harus dilihat sebagai

222
representasi kerangka dari frasa kaligrafi Arab bismillah al-Rahman al-Rahiim (Dengan nama
Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), yang merupakan kalimat pembuka kebanyakan
surah Al-Qur'an. Seperti terlihat dari gambar 6.9 (kiri), prasasti dari frasa tersebut terjalin
dengan indah di antara penunjuk bintang yang rindang rete.

Desain kaligrafi Arab pada rete khusus ini, di sebelah kiri, muncul dari astrolabe yang agak
belakangan, yang dibuat di Persia oleh Muhammad Zaman pada 1651-52. Dan astrolabe itu
sendiri masih disimpan di Metropolitan Museum of Art, di New York City. Namun meskipun
terlambat astrolabe, desain rete mungkin merupakan turunan dari rete astrolabe sebelumnya
yang menggunakan kaligrafi bayangan cermin yang sama dari frasa tersebut, atau dari simulasi
desain serupa pada benda seni lain yang diproduksi di dunia Islam.

Kanan: Rete standar yang diproduksi oleh anggota keluarga Arsenius. Rete ini adalah dianggap
mewakili bentuk bunga tulip. Kiri: Rete diproduksi oleh Muhammad Zaman Persia tahun
1651-52 yang desainnya sama tapi untuk ayat Alquran bisma allah al-rahman al-rahim.

Itu adanya desain kaligrafi yang digambar dalam bentuk binatang atau lainnya benda-benda
banyak ditemukan di antara khazanah seni Islam dunia dan mungkin telah mempengaruhi
produksi retes tersebut.[48] Klaim yang ingin saya sampaikan di sini adalah adanya kemiripan
antara keduanya desain kaligrafi dari frase Arab dan bentuk tulip mungkin ada memotivasi para
astrolab Arsenius untuk menghasilkan retes serupa, sehingga di pernah memberikan
penghormatan yang sangat cerdas kepada tradisi Islam, yang mereka ketahui cukup baik ketika
mereka memasangkan rete untuk astrolab Arab, dan untuk kegilaan tulip yang melanda
Belanda pada masanya. Kegilaan itu sendiri tampaknya memang terjadi disebabkan oleh impor
tulip dari abad keenam belas Domain Ottoman.[49]

Solusi untuk masalah yang sangat menarik ini masih harus menunggu untuk pekerjaan lebih
lanjut pada karya logam Islam, astrolab, dan desain kaligrafi secara umum, dan pada rute-rute
yang dilalui oleh pekerjaan-pekerjaan tersebut ketika pekerjaan tersebut dilakukan Eropa.
Untuk saat ini, kesamaan mencolok antara kedua rete tersebut tetap menarik karena keduanya
menunjukkan hubungan tertentu antara para astrolabis wilayah Islam dan wilayah Eropa,
meskipun hubungan tersebut mungkin tidak begitu terkonfirmasi seperti hubungan yang sesuai
dengan rete Latin pada astrolabe mater Arab, seperti yang dilakukan oleh salah satu astrolabist
Arsenius. Bagi yang bekerja di bidang Instrumen, masih banyak lagi yang sejenisnya contoh
akan segera terlintas dalam pikiran.

223
Dan saya hampir yakin mereka akan melakukannya setuju dengan saya bahwa contoh-contoh
ini dapat dilipatgandakan. Tapi keduanya contoh-contoh yang kami berikan sejauh ini
seharusnya memberi kita indikasi yang cukup bahwa bidang instrumen yang serumpun juga
harus diselidiki dalam konteks yang sama kontak antara dunia Islam dan Eropa Renaisans.
Lalu lintas dari "Timur" ke "Barat" Sampai pada pembahasan kali ini, saya hanya memberikan
sedikit contoh aktivitas kaum Arabis dan orientalis Eropa dalam menekuni ilmu pengetahuan
mulai dari tanah Islam, dan mencoba mengkaji alasan kepentingan tersebut. saya tidak
dimaksudkan untuk membahas subjek secara menyeluruh, yang layak untuk a seluruh
monografi dengan sendirinya.[50] Saya hanya perlu memberi petunjuk tentang kemungkinan
lokasinya interaksi antara Renaissance Eropa dan dunia Islam. Namun saya memiliki lupa
menyebutkan bahwa kita mempunyai beberapa bukti dari para ilmuwan yang menyeberang dari
negeri-negeri Islam ke berbagai kota di Eropa, dan tentu saja membawa serta ilmu-ilmu yang
mereka ketahui sejak dahulu negara.

Kasus al-Hasan b. Muhammad Ibn al-Wazzan, lebih dikenal sebagai Leo Africanus (w. ca.
1550), langsung terlintas dalam pikiran.[51] Meskipun Leo dating dari bagian barat dunia Islam,
dia tetap melakukan perjalanan tersebar luas di seluruh Afrika Utara dan sebagian wilayah
timur. Apa yang menjadi perhatian kita ini adalah bahwa dia adalah seorang yang sangat cerdas,
dan tampaknya sangat sehat mengenal dunia intelektual Islam pada zamannya. Lebih penting,
Leo sezaman dengan Copernicus, dan seorang yang berpengetahuan luas, yang juga mengajar
bahasa Arab di Bologna[.52] Dia mungkin bertemu orang-orang, atau bahkan mengajar beberapa
orang, yang mengenal Copernicus sendiri.

Pengajarannya bahasa Arab di Bologna juga penting. Bagi Bologna termasuk yang terkenal
koridor dari Venesia ke Florence, di mana banyak aktivitas intelektual Renaisans berlangsung.
Keluaran pribadi Leo sedikit lebih dikenal daripada yang lain karena tulisan geografisnya yang
memuat informasi menarik miliknya akun pribadi. Namun kehidupan intelektualnya dan
pengaruhnya terhadap Renaissance ilmuwan, serta perannya dalam memperkenalkan ide-ide
ilmiah dari bahasa Arab ke dalamnya Latin, masih belum sepenuhnya diteliti dari sudut
pandang Renaisans pengetahuan ilmu Islam Arab. Biografi ilmiah ilmuwan pionir dan ahli
sastra terkemuka ini sudah lama tertunda.

Ada yang lain juga. Misalnya, seseorang dapat dengan mudah menyebutkan nama anggotanya
lingkaran orientalis terkemuka, Jean-Albert Widmanstadt (1506- c.1559), yang juga sezaman
dengan Copernicus, dan mungkin pernah juga memainkan peran yang sangat penting dalam

224
transmisi keilmuan Islam ide ke Eropa; peran yang setidaknya sama pentingnya dengan peran
Guillaume Postel, yang masukannya sudah dicatat sebelumnya.[53] Pencarian cepat untuk
Widmenstadt's peran tersebut mengungkapkan, yang mengejutkan saya, bahwa Widmanstadt
itu sendiri adalah murid Leo Africanus,[54] dan juga mengetahui banyak materi bahasa Arab isi
ilmiah teks astronomi Arab. Dalam konteks kita, perannya harus dilihat sebagai bagian dari
pengaruh Leo Africanus pada Renaisans pemikirannya, namun juga harus dianggap sebagai
bagian dari jaringan orientalis yang sezaman dengan Copernicus dan mungkin sudah
mengetahuinya pencapaian astronomi Islam dan cukup kompeten untuk itu membawanya ke
perhatian Copernicus.

Dapat dipastikan bahwa ada lebih banyak orang yang melakukan kontak dengan Leo Africanus,
dan mungkin telah menerima informasi tentang ide-ide ilmiah langsung darinya atau yang
dibimbingnya kepada orang lain yang bisa menyediakan hal yang sama. Namun hingga bidang
ini benar-benar dieksplorasi dengan mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita
tidak dapat yakin mengenai jenis informasi yang ada ditransmisikan, atau tentang orang-orang
yang berperan sebagai saluran transmisi ini. Satu hal yang dapat kita yakini adalah bahwa
terdapat terlalu banyak kebetulan ide-ide yang muncul pertama kali dalam teks-teks Arab,
biasanya ditulis di antara huruf-huruf tersebut.

Abad kedua belas dan kelima belas, yang muncul kembali, tanpa banyak penjelasan, dalam
sumber sumber Latin abad keenam belas dan ketujuh belas. Di sebagian besar dalam beberapa
kasus, teks asli berbahasa Arab yang berisi gagasan-gagasan ini tidak pernah "diterjemahkan"
ke dalam bahasa Latin dalam arti sebenarnya. Orang lain yang mengikuti rute serupa seperti
Leo Africanus, tapi setidaknya dalam keadaan yang sedikit berbeda-jika bukan atas kemauan
mereka sendiri sejauh yang kami tahu, termasuk orang-orang seperti patriark Jacobite Syria
Ni'matallah, lebih dikenal dengan nama Latinnya Nehemias (w. 1 590).[55]

Ini patriark terlibat dalam serangkaian konflik di kota asalnya, Diyar Bakr, di Turki modern
tenggara, dan di patriarkatnya sendiri di Antiokhia dan Seluruhnya Timur. Pada suatu saat,
hidupnya menjadi begitu terancam sehingga dia merasa telah mengalaminya untuk melarikan
diri ke tahta Kepausan melalui Venesia. Dan untuk mendapatkan Kepausan yang murah hati
penerimaan dia menggunakan alasan bahwa dia akan membantu mengembalikan pengikutnya
ke dalam gereja Roma, dan di bawah bendera Kepausan. Sebuah catatan tertinggal di margin
naskah matematika dasar, masih disimpan di Perpustakaan Laurentiana di Florence,
menjelaskan dalam beberapa istilah nostalgia pribadi kesulitan perjalanannya, sambil

225
mengatakan bahwa ia sedang diombang-ambingkan oleh ombak Laut Adriatik, pada tahun
1888 Yunani (15 77 M), dalam perjalanannya ke Venesia.[56] Sesampainya di Venesia,
rupanya tanpa mengetahui satu kata pun dalam bahasa Latin atau Italia, dia melekat pada
"wisatawan" timur bernama Paolo Orsini. Orsini, yang kemudian bertindak sebagai penerjemah
Ni'matallahh, awalnya adalah seorang tentara Turki yang ditangkap, yang, seperti Leo Afrika
kita sebelum dia, menerima untuk masuk Kristen. Keduanya pergi ke Roma, tentu saja melalui
Florence, seperti kebanyakan orang lainnya cenderung dilakukan pada hari-hari itu. Sepanjang
perjalanan, atau mungkin lebih mungkin di Roma sendiri, dia berkenalan dengan Kardinal
Ferdinand de Medici yang kemudian menjadi Adipati Tuscany. Seperti semua keluarga Medici,
Ferdinand bias dengan cepat mengenali perusahaan komersial ketika dia melihatnya.

Dengan penemuan percetakan berusia hampir 100 tahun, dan bahasa Arab belum ada
dieksploitasi untuk tujuan itu, buku-buku berbahasa Arab yang diangkut oleh Patriark
sepanjang, yang semuanya dalam bentuk manuskrip terlalu menggiurkan bagi Ferdinand. Dia
melihat mereka mempunyai kemungkinan untuk memulai pers Arab dan menggunakannya
buku, sebagai dasar untuk versi cetakY tentu saja, alasan yang digunakan Ferdinand,
setidaknya secara terbuka, adalah bahwa ia akan melakukannya menggunakan mesin cetak
untuk menghasilkan bahan bacaan bagi para misionaris yang dapat berangkat keluar dan
mengubah umat Islam menjadi Kristen. Tapi catatan sebenarnya tentang apa dicetak dan dijual
di Medici Oriental Press menceritakan kisah yang berbeda.[58]

Meskipun mungkin cukup dimengerti untuk menghasilkan 1.500 eksemplar bahasa Arab
Alkitab untuk kegiatan misionaris, akan jauh lebih sulit untuk membenarkan produksi 3.000
eksemplar Elemen Euclid untuk tujuan yang sama. Dan jika satu kita berpikir bahwa
penerbitan Elements bermanfaat bagi Renaisans yang lebih luas Tujuan memulihkan karya
ilmiah zaman klasik, salah satunya adalah kecewa mengetahui bahwa Elemen yang diterbitkan
oleh Medici Oriental Press bukanlah terjemahan bahasa Arab asli dari bahasa Yunani Elemen
(dan dua terjemahan bagus masih ada), namun sedikit versi modifikasi dari Elemen.

Dan apa yang diterbitkan oleh pers Medici Elemen Euclid pada gilirannya merupakan
pengerjaan ulang dari pengerjaan ulang lainnya sudah diproduksi menjelang pertengahan abad
ketiga belas pada saat itu astronom/ahli matematika yang sama Nasr al-Din al-Tusi yang
disebutkan sudah beberapa kali Namun, jumlah salinan yang diproduksi di tidak proporsional
tempat pertama membutuhkan komentar. Apakah pencari Medici Oriental Press mengharapkan
para misionaris untuk menggunakan lebih banyak Elemen daripada yang mereka gunakan

226
Alkitab untuk kegiatan konversi? Dan jika itu tujuannya, maka itu sebenarnya penjualan
tampaknya mendukung anggapan tersebut. Catatan menunjukkan bahwa bahasa Arab Alkitab
terjual 934 eksemplar, sedangkan Elements yang dikerjakan ulang melampaui itu dan terjual
1.033 eksemplar. Berdasarkan angka-angka saja, dapatkah seseorang menarik kesimpulan
ironis bahwa pengerjaan ulang Elemen Euclid memiliki tujuan yang lebih baik dalam
mengubah orang menjadi Kristen dibandingkan dengan Alkitab itu sendiri? Demikian pula,
kita juga harus bertanya-tanya mengapa enam buku berbahasa Arab pertama itu demikian
diterbitkan oleh pers ini akan mencakup empat hal yang ada hubungannya dengan ilmu
linguistik atau demonstratif dan tidak terlalu relevan dengan materi keagamaan. Teks-teks
linguistik dan ilmiah seperti itu banyak tersedia dalam bentuk manuskrip di seluruh wilayah
Islam, seperti halnya survei apa pun yang masih ada kepemilikan perpustakaan dapat
menunjukkan. Jadi keuntungan macam apa yang bisa diharapkan oleh seorang pengusaha
Medici yang baik dengan mengirimkan buku-buku itu ke negerinya Islam?

Ketika kita mempertimbangkan lingkungan Renaisans, yang tampaknya menunjukkan minat


yang besar terhadap teks-teks ilmiah Arab, kita harus menyimpulkan bahwa pasar sebenarnya
bagi Medici Oriental Press sebenarnya adalah pusat-pusat pembelajaran di Eropa yang
menyerukan kembalinya ke bahasa Arab asli. daripada bergantung pada terjemahan. Bukankah
Andreas Alpagus (w. 1 522) menggunakan alasan terjemahan abad pertengahan yang tidak
dapat diandalkan dari bahasa Arab untuk pergi ke Damaskus dan belajar bahasa Arab sehingga
ia dapat menghasilkan terjemahan baru Karya Ibn Sina, suatu prestasi yang benar-benar ia
capai? Dan bukankah Zacharias Rosenbach (c. 1614), ketika pers masih berfungsi,
mengusulkan hal itu pembelajaran bahasa Arab diperkenalkan di Akademi Herborn bagi para
mahasiswa kedokteran sehingga mereka dapat membaca Kanon Ibn Sina dalam bahasa
aslinya?[59]

Semua seruan akan teks berbahasa Arab ini pasti terdengar menarik bagi seorang pebisnis
ulung yang sedang mencari investasi, dan perpustakaan Patriark Ni'matallah menjadi salah satu
pilihannya. berguna karena menyediakan bahan mentah untuk penerbitan yang giat berusaha
keras. Bahwa sebagian besar buku Ni'matallah masih tersimpan di Perpustakaan Laurentiana
berbicara langsung tentang pertunangan antara Medici dan Patriark. Namun ini bukan
satu-satunya kontribusi yang diberikan Patriark terhadap kehidupan intelektual Renaisans.
Eropa abad ke-16 terobsesi dengan masalah reformasi kalender seperti halnya perayaan Paskah
terus tergelincir ke belakang. Dan dewan-dewan sebelumnya, yang bahkan Copernicus

227
mengajukan proposal untuk mereformasi kalender, tidak dapat menyetujui hal tersebut
reformasi.[60] Pekerjaan tersebut akhirnya diserahkan kepada komite yang ditunjuk oleh Paus
Gregorius XIII agar secara khusus dapat melaksanakan tugas ini. Salah satu anggota terkemuka
komite itu adalah Patriark yang sama Ni'matallah. Perannya dalam komite itu seharusnya dapat
dimengerti dialah yang membawa serta buku-buku astronomi itu mengandung nilai-nilai untuk
bulan lunar dan tahun matahari yang banyak lebih halus daripada nilai-nilai yang ditemukan
dalam sumber-sumber Yunani kuno, atau sumber-sumber Eropa abad pertengahan yang
berlaku.[61] Dengan jasanya di komite tersebut, Ni'matallah menjadi partisipan nyata dalam
pembuatan Renaisans Eropa, sama seperti dua pendahulunya Leo Africanus dan Paolo Orsini
melakukannya sebelumnya. Apa pengaruh semua ini terhadap karya-karya Copernicus, dan
masalah transmisi ide-ide ilmiah Islam kepadanya, karena sebagian besar dari karya-karya
tersebut nama dan kegiatan yang disebutkan di sini tanggal baik sampai akhir atau sampai
posting Periode Copernicus? Faktanya, semakin banyak kita dapat mendokumentasikan
ketergantungan tersebut Sumber ilmiah Arab dari periode setelah Copernicus, ketika seluruh
pandangan dunia seharusnya telah diubah olehnya, dan oleh orang lain seperti dia yang
menciptakan apa yang sekarang disebut Revolusi Copernicus, semakin banyak orang yang
bertanya-tanya mengapa ada kebutuhan akan teks Arab di dalamnya bagian akhir abad keenam
belas dan awal abad ketujuh belas?

Dan jika satu dapat mendokumentasikan ketertarikan tersebut, seperti yang terlihat pada
beberapa contoh yang kami berikan di sini lakukan bersama-sama dengan banyak hal lain yang
tidak disebutkan, maka sebaiknya tidak dilakukan kita mengharapkan keinginan yang lebih
besar dari para ilmuwan Renaisans untuk melakukannya belajarlah dari sumber-sumber Arab
pada masa awal revolusi belum terjadi?

Kesimpulan

Dengan semua bukti yang memang dikumpulkan di sini semata-mata untuk tujuan menjelaskan
hubungan spesifik yang tampaknya ada di antara keduanya teks astronomi Copernicus dan
pendahulunya dalam bahasa Arab dari dunia Islam, hal-hal mulai terlihat seperti kita secara
tidak sengaja tersandung pada sebuah Kotak Pandora. Dan dengan sedikit usaha dalam
mendokumentasikan hubungan tersebut hasilnya, seluruh bidang penelitian menjadi kenyataan.
Orang-orang Gereja seperti Postel dan Widmanstadt, yang sepertinya terlibat dalam gereja

228
yang ketat kegiatannya, ternyata adalah orang-orang Arab yang berpengetahuan luas dan para
ilmuwan dalam hak mereka sendiri. Kami bahkan dapat mengatakan bahwa mereka mengikuti
jejak tersebut orang Arab lainnya seperti Ambroseo Taseo (wafat 1539), Andrea Alpagus
(wafat 1522), dan sebelum mereka Hieronimo Ramnusio (w. 1486 di Beirut) yang genap jauh
lebih mulia dari mereka, dan mungkin yang meletakkan fondasinya untuk pertukaran antar
budaya yang impornya baru saja kita mulai hargai.

Namun dengan melihat karya-karya orang-orang ini, baik dalam bentuk terjemahan segar
teks-teks ilmiah dan filosofis berbahasa Arab karya Andreas, atau komentarkomentar Postel
yang masih ada mengenai teks-teks astronomi yang lebih canggih, kita tidak dapat menghindari
tetapi mengambil kesimpulan bahwa keterlibatan Renaisans dengan dunia Islam mempunyai
tatanan yang sangat berbeda dibandingkan keterlibatan yang terjadi pada Abad Pertengahan.
Pada Abad Pertengahan, orang-orang lebih bergantung pada terjemahan, dan menunggu
terjemahan tersebut diproduksi sebelum mereka dapat menggunakannya. Begitulah terjemahan
Latin karya Averroes berdampak pada para pemikir Latin.

Namun pada masa Renaisans, para ilmuwan rupanya sudah menjadi orang Arab dan tidak lagi
membutuhkan terjemahan. Mereka bisa langsung membuka teks Arab dan memanfaatkan
ide-ide yang terkandung di dalamnya. Kalau tidak, bagaimana lagi kita bisa menjelaskan
beberapa kejadian yang kita catat sejauh ini dalam bidang astronomi dan kedokteran serta
dalam ilmu-ilmu lain di mana kita mempunyai ide-ide orisinal yang dikembangkan di dunia
Islam, yang secara tegas menolak dan merumuskan kembali pemikiran klasik Yunani. tradisi
ilmiah, hanya untuk muncul kembali beberapa abad kemudian dalam karya-karya ilmuwan
Renaisans tanpa pernah teks Arab tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Latin? Copernicus
atau kolaborator atau instrukturnya, Michael Servetus dan Realdo Colombo di bidang
kedokteran, semuanya tampaknya mengikuti jalur tersebut.

Bukti ini hanya dapat mengarahkan kita untuk melihat lebih jauh ke dalam karyakarya para
ilmuwan Renaisans ini, tidak hanya untuk mendokumentasikan ide-ide tersebut, namun juga
untuk memahami hakikat sains Renaisans itu sendiri, dan untuk memahami metode dan teknik
yang merupakan bagian integral dari ilmu pengetahuan Renaisans. pembentukan ilmu itu.
Namun yang paling mengejutkan, nampaknya para ilmuwan Renaisans tampaknya lebih
mengandalkan dunia Islam untuk mengetahui aktivitas ilmiah terkini dibandingkan
sumber-sumber klasik Yunani, terutama untuk ilmuilmu yang lebih bersifat empiris seperti
astronomi dan kedokteran. -icine yang perlu terus diperbarui. Faktanya, kita hampir tidak dapat

229
melihat nilai astronomi yang diadopsi oleh seorang ilmuwan Renaisans yang diambil langsung
dari sumber-sumber Yunani kuno. Misalnya, kita tidak lagi menemukan nilai presesi yang
sama buruknya dengan nilai presesi Ptolemy, atau kemiringan ekliptika seperti yang dilaporkan
oleh Ptolemy, atau titik puncak matahari tetap yang sudah terbukti salah di Bagdad abad
kesembilan.

Bahkan jenis penalaran yang diikuti oleh Ptolemeus, ketika membangun model prediktif
matematisnya, juga menjadi usang. Sebaliknya seseorang menemukan hasil terbaru yang
dikembangkan dalam sumber-sumber Arab yang dapat menjawab dengan lebih baik
permasalahan yang sama yang harus dijawab oleh tradisi klasik Yunani. Pada analisa terakhir,
saya rasa kita tidak bisa memahami landasan astronomi Copernicus tanpa memberikan
perhatian khusus pada hasil-hasil yang telah dicapai di dunia Islam.

Bukan hanya karena hasil-hasil tersebut mendahului karya-karya Copernicus dan karenanya
sah untuk menanyakan apakah telah terjadi transmisi gagasan dari timur ke barat, namun
karena dalam tradisi Arab kita memahami dengan lebih baik proses akumulatif produksi ilmiah,
dan dapat menyaksikan langsungnya. lambatnya pertumbuhan ide-ide tersebut selama
berabad-abad, suatu prestasi yang tidak dapat kita ikuti dalam karya-karya Copernicus, dengan
ketelitian yang sama, jika kita berasumsi bahwa semua kesamaan tersebut hanyalah kebetulan
belaka. Dan ketika orang menganggap semangat Renaisans ditandai dengan perubahan
pemikiran ilmiah yang menjauhi otoritas kuno, kini kita dapat menemukan akar pemikiran
tersebut yang telah terdokumentasi dalam karya-karya para astronom dan ilmuwan dari
generasi ke generasi yang bekerja di bidang tersebut. dunia Islam dan menuliskan keberatannya
terhadap pemikiran Yunani. Dan mereka tidak hanya keberatan, kita sekarang tahu bahwa
mereka sedang mengembangkan alternatif nyata terhadap pemikiran tersebut.

Kita bahkan dapat mengatakan bahwa pada saat Eropa Renaisans mulai mengenal sains Islam,
terutama seperti yang didokumentasikan dalam disiplin astronomi, sains tersebut pada saat itu
sudah menjadi sains yang matang, dan yakin akan kemampuannya untuk berinvestasi dalam
bidang ilmu pengetahuan. penciptaan teorema matematika baru untuk memecahkan masalah
astronomi baru, atau bahkan untuk menerapkan matematika dengan cara yang lebih abstrak
untuk melepaskan kebenaran fisik yang pernah diklaimnya dan mengembalikannya ke ranah
bahasa deskriptif yang dapat diterapkan. terhadap fenomena fisik Pada masa Renaisans, dan
jika kata-kata Vesalius bisa menjadi panduan ketika dia mengatakan, “orang-orang Arab yang
sekarang sama akrabnya dengan orang-orang Yunani,”62 kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu

230
pengetahuan Arab pada saat itu merupakan ilmu pengetahuan kompetitif yang setidaknya
berdiri sejajar dengan ilmu pengetahuan Yunani, sejauh yang bisa dilihat Vesalius. Namun
dalam hal sains observasional, sepertinya sains Arab pada saat itu dianggap jauh lebih unggul
dibandingkan sains Yunani setelah semua kesalahan Yunani terungkap.

231
7 Era Kemunduran:
Kesuburan Pemikiran Astronomi

Bab sebelumnya menunjukkan dengan jelas hasil-hasil yang dicapai di dunia Islam dan
dampaknya terhadap Eropa Renaisans. Dalam bab-bab sebelumnya, ketika saya berbicara
tentang perjumpaan dengan warisan ilmiah Yunani dan inovasi-inovasi yang dihasilkan dari
pertemuan tersebut, saya juga mencatat bahwa meskipun kritik terhadap pemikiran Yunani
dimulai sejak awal, semakin matang kritik dan kepercayaan yang dimiliki oleh para ilmuwan
Yunani. Bangunanbangunan tersebut mulai dibongkar dan diganti dengan alternatif yang lebih
konsisten, dan penerapan matematika yang jauh lebih canggih, baru terjadi pada abad-abad
terakhir peradaban Islam, dan sebagian besar terjadi setelah abad ke-13. Oleh karena itu,
berdasarkan apa yang telah kita lihat sejauh ini, ada benarnya jika kita mengatakan bahwa
abad-abad terakhir peradaban Islam tampaknya merupakan abad-abad kreativitas yang besar,
setidaknya dalam kaitannya dengan disiplin ilmu astronomi. Selain itu, dapat juga dikatakan
bahwa kreativitas tampaknya tidak terbatas pada pembenahan seluruh teori astronomi Yunani,
namun tampaknya juga berdampak besar pada ilmu pengetahuan Renaisans. Namun abad-abad
inilah yang digambarkan oleh narasi klasik sebagai representasi dari kematian total ilmu
pengetahuan, belum lagi kematian total rasionalitas dalam Islam, yang lebih sering digunakan
dalam kaitannya dengan periode ini. Tanpa menaruh perhatian pada bukti-bukti yang telah kita
ulas, yang sebagian besar dihasilkan pada abad-abad terakhir peradaban Islam, atau bahkan
menunjukkan bahwa bukti-bukti tersebut ada, narasi klasik merumuskan teori kemundurannya
dengan mendasarkan diri pada dua hal utama. asumsi. Asumsi tersebut dianut oleh dua
kelompok masyarakat yang berbeda. Meskipun masing-masing kelompok mempunyai
analisisnya masing-masing mengenai sejarah intelektual Islam, mereka sepakat, hampir secara

232
independen, dengan mempertimbangkan zaman kemunduran yang dimulai pada abad ketiga
belas.

Bagi mereka yang memandang, sejak awal, peradaban Islam hanya sebagai kelanjutan dari
pemikiran keagamaan saja, dan pada saat yang sama menganut paradigma Eropa tentang
konflik antara agama dan ilmu pengetahuan, maka mereka menghubungkan matinya
rasionalitas dalam peradaban Islam, dan pada periode berikutnya, terjadi kebangkitan
pemikiran keagamaan, yang mereka klaim terjadi dengan mengorbankan pemikiran ilmiah dan
filosofis. Bagi orang-orang tersebut, "kemajuan" didefinisikan oleh kemenangan ilmu
pengetahuan atas gereja, seperti halnya kemajuan di Eropa.

Oleh karena itu, setiap peradaban harus menunjukkan bahwa mereka telah berpartisipasi dalam
perjuangan ini sebelum mereka dapat berpartisipasi dalam pencarian “kemajuan” yang linear
dan terus-menerus secara “universal” ini. Peradaban-peradaban tersebut harus membuat ilmu
pengetahuan mereka mengalahkan gereja mereka, bahkan jika seseorang harus mendefinisikan
ulang “gereja” dalam istilah-istilah khusus dari peradaban tersebut. Dalam kasus peradaban
Islam, perjuangan kaum Mu'tazilah melawan kaum adat (l:zadzth) sebagian besar merupakan
contoh konflik paradigma antara "sains" dan "agama", tanpa pernah bersusah payah
mendefinisikannya. “ilmu” kaum Mu’tazilah, atau “gereja” kaum Dalam hal ini, buku The
Incoherence of the Philosophers (tahafut al-falasifah) karya Ghazali (w. 1111) merupakan
tonggak sejarah yang nyata. Bukan hanya karena kelompok orang ini melihat adanya hubungan
langsung antara filsafat dan ilmu pengetahuan pada masa itu, sehingga serangan terhadap salah
satu pihak berarti serangan terhadap pihak lain, namun karena mereka juga menganggap
Ghazali sebagai penggagas Ortodoksi Islam semacam itu, dan dengan demikian bukunya
melambangkan kemenangan pemikiran keagamaan. Kesimpulan yang biasa diambil dari
keberhasilan pemikiran keagamaan Ghazali adalah bahwa kemenangan tersebut pastilah
menyebabkan matinya mitranya, yaitu pemikiran ilmiah rasional. Dengan demikian, secara
sederhana, Ghazali seorang diri yang bertanggung jawab atas merosotnya pemikiran rasional
dan ilmiah dalam peradaban Islam pada abad-abad.

Dengan demikian, meletakkan penyebab kemunduran ilmu pengetahuan Islam baik pada
paradigma konflik antara agama dan ilmu pengetahuan, sebuah paradigma yang pertama-tama
dan terutama diimpor dari contoh Eropa, atau pada pukulan fatal yang dilakukan seorang diri
oleh Ghazali terhadap para filosof. , telah menyebar luas2 sehingga pendekatan-pendekatan

233
tersebut terus menimbulkan dampak buruk terhadap pembacaan teks-teks ilmiah yang ditulis
sebelum dan sesudah periode Ghazali.

Berfokus pada konflik antara sains dan agama sebelum periode Ghazali mungkin berkontribusi
pada kurangnya kesadaran bahwa ada ilmuwan yang bekerja pada periode tersebut dan yang
perhatian utamanya adalah memerangi tradisi ilmiah Yunani yang diimpor, karena kesalahan
dan cacatnya.

memendamnya, dan bukan karena pemikiran keagamaan pada masanya. Muhammad b. Kritik
Musa terhadap Ptolemaios, atau Kritik Razl terhadap Galen, atau bahkan Keraguan Ibn
al-Haitham terhadap Ptolemaios, di antara banyak kritik lainnya yang dibahas di atas,
baru-baru ini menjadi semakin penting karena teks-teks tersebut memberontak terhadap tradisi
ilmiah Yunani, dan bukannya sebagai teks-teks yang memberontak terhadap agama. otoritas
besar pada masanya.

Tak satu pun dari teks-teks tersebut memberikan dampak signifikan pada kelompok orang yang
melihat sejarah Islam sebagai sebuah pengungkapan pemikiran keagamaan, dan dalam hal ini
teks-teks tersebut kurang dibaca jika dibaca sama sekali. Bukan kebetulan bahwa baik kitab
Razi maupun Ibnu karya al-Haitham diedit pada akhir abad kedua puluh, dan bukan pada abad
kesembilan belas ketika sebagian besar karya keagamaan dan yuridis Islam dipelajari dengan
sangat cermat oleh para orientalis terkenal Eropa Namun para orientalis abad ke-19 dengan
singkat menolak teks-teks ilmiah yang ditulis setelah periode Ghazali.

Dan sampai saat ini belum ada seorang pun yang mau repotrepot menyelidiki jenis ilmu
pengetahuan yang dikandungnya. Dalam hal ini teks-teks tersebut juga sangat buruk dibaca jika
dibaca sama sekali. Sebagai contoh dari kesalahan membaca teks ini, kita telah melihat upaya
dua orientalis terkenal abad kesembilan belas yang mengamati dua karya dari periode
pasca-Ghazali, dan membacanya dengan sangat hati-hati, namun tetap tidak dapat melihat
keasliannya. tertanam di dalamnya, hanya karena para orientalis tersebut tidak mencari
orisinalitas apapun selama periode ini.: Dan ramalan mereka yang terwujud dengan sendirinya
memang terwujud. Kelompok kedua yang melihat sejarah Islam lebih dari segi politik, dan
dengan demikian menggambarkannya sebagai rangkaian dinasti dan peperangan, dengan
sedikit perhatian diberikan pada sejarah intelektual, yaitu kelompok bete noire yang dianggap
bertanggung jawab atas kemunduran ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam.

234
bagaimanapun juga adalah Hulagu Khan. Pukulan dahsyat Hulagu terjadi pada saat dia
benar-benar berhasil menghancurkan kota Bagdad, pada tahun 1258, dalam usahanya ke arah
barat dari Asia Tengah untuk menaklukkan seluruh dunia. Mereka yang menyalahkan Hulagu
atas matinya ilmu pengetahuan Islam memahami secara harafiah anekdot-anekdot yang
tersimpan dalam sumber-sumber sejarah, yang kebetulan sebagian besar ditulis jauh di sebelah
barat, di wilayah Mamluk yang tidak ditaklukkan oleh invasi bangsa Mongol. Sumbersumber
sejarah tersebut menyebutkan bahwa air Sungai Tigris berubah menjadi hitam karena larutnya
tinta naskah-naskah yang dibuang ke sungai oleh penyerbu barbar tersebut. Peristiwa-peristiwa
tersebut menampilkan gambaran kehancuran yang terus melekat dalam ingatan kolektif
sebagian besar orang Arab, dan umat Islam pada umumnya, sebagai bencana terbesar dan
lambang kebiadaban.

Dalam arti tertentu, tanggal wafatnya Ghazali (1111) dan kehancuran Bagdad (1258)
nampaknya memungkinkan adanya konversi dari dua tradisi historiografi yang baru saja
disebutkan, yang salah satunya melihat sejarah intelektual Islam sebagai sebuah pengungkapan
pemikiran keagamaan dan salah satunya melihatnya hanya sebagai rangkaian peristiwa politik.
Maka tidak mengherankan bila kebanyakan orang dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa
kedua abad yang menentukan itu, abad kesebelas dan ketiga belas, memang menyebabkan
kemerosotan peradaban Islam dan bersamaan dengan itu kemerosotannya ilmu pengetahuan
pada umumnya. Kesimpulan ini terutama berlaku bagi orang-orang yang juga mengatakan
bahwa pada abad-abad berikutnya mereka tidak lagi melihat munculnya sekolahsekolah hukum
agama yang serupa dengan empat sekolah yang telah muncul pada abad kedelapan dan
kesembilan, dan juga berlaku bagi orang-orang yang tidak lagi melihat kelangsungan
kekhalifahan Islam setelah jatuhnya Bagdad.

Dalam hal ini, abad ke-13 sebenarnya adalah abad yang menentukan, karena abad ini
menyaksikan lenyapnya sistem kekhalifahan yang sampai saat itu masih berfungsi dengan
cukup baik. Namun sejauh menyangkut sejarah intelektual, sumber-sumber ilmiah yang ada
menunjukkan skenario yang berbeda. Mereka berpendapat bahwa abad ke-13 adalah zaman di
mana pemikiran ilmiah kreatif baru terus berkembang, dan yang lebih penting, mereka bahkan
mendukung klaim bahwa lenyapnya sistem pemerintahan khalifah hampir merupakan sebuah
berkah tersembunyi. Hilangnya sistem tersebut tampaknya tidak mengakhiri aktivitas ilmiah.
Sebaliknya, negara ini tampaknya telah membuka pusat-pusat produksi lain di kota-kota kecil,

235
seperti Diyar Bakr, Isfahan, Damaskus, dan Kairo, dan masih banyak lagi yang terus
menghasilkan karya ilmiah yang unggul.

Ringkasnya, dan seperti telah dinyatakan, tidak satupun dari narasi zaman kemunduran tersebut
yang benar-benar dapat menjelaskan banyaknya sumber yang tampaknya menandakan
peningkatan nyata dalam produksi ilmiah, baik setelah kematian Ghazali maupun setelah
kehancuran bangsa Mongol dari Bagdad. Dan jika kita berfokus pada disiplin ilmu astronomi
pada khususnya, seperti yang telah kita lakukan selama ini, masalah dalam menentukan
penyebab penurunan tersebut menurut salah satu dari dua narasi tersebut menjadi semakin sulit
untuk dipecahkan.

Dalam buku terpisah yang dikhususkan untuk mempelajari salah satu aspek astronomi Arab:
aspek teori planet, saya bahkan menyebut zaman kemunduran tersebut sebagai zaman
keemasan astronomi Islam. Dalam buku itu saya menelusuri perkembangan teori planet Arab
antara abad kesebelas dan kelima belas dan menunjukkan kesuburan disiplin ilmu tersebut.
Buku itu, dan berbagai artikel yang muncul sejak itu, terutama membahas

dengan karya astronom abad keenam belas Shams al-Din al-Khafri, menggambarkan
orisinalitas yang tak tertandingi pada periode itu yang sulit bahkan mustahil untuk diabaikan.
Kritik terhadap Narasi Klasik Jika seseorang menerima salah satu penjelasan mengenai zaman
kemunduran, seperti yang ditawarkan oleh salah satu kelompok pendukung narasi klasik, maka
ia akan dihadapkan pada permasalahan yang tidak akan mudah hilang. Dalam kasus pertama,
dan bagi mereka yang menganggap Al-Ghazali bertanggung jawab atas kemunduran zaman,
mereka harus menjelaskan produksi puluhan ilmuwan, hampir di setiap disiplin ilmu, yang
terus menghasilkan teks-teks ilmiah yang dalam banyak hal lebih unggul daripada teks-teks
tersebut. yang dihasilkan sebelum zaman Ghazali.

Dalam hal astronomi, seseorang bahkan tidak dapat membandingkan kecanggihan teks-teks
pasca-Ghazali dengan teks-teks sebelum Ghazali, karena teks-teks pra-Ghazali sebenarnya jauh
lebih unggul baik dalam kecanggihan teoritis matematika, seperti yang ditunjukkan oleh Khafri,
maupun seperti dalam memadukan astronomi observasional dengan astronomi teoretis, seperti
yang dikemukakan oleh Ibn al-Shatir. Produksi asli serupa dapat dengan mudah
didokumentasikan juga dalam bidang teknik mesin, kedokteran, dan optik, belum lagi seluruh
kelompok astronom yang semuanya bekerja setelah abad ketiga belas, dan yang tujuannya

236
adalah untuk mendorong batas-batas bidang pesawat terbang, teori-teori masuk ke dalam ranah
astronomi alternatif atau “Astronomi Baru” seperti yang dikemukakan oleh Ibnu al-Shatir.

Untuk mengambil sedikit contoh saja, bandingkan karya 'Izz al-Din al-Jazari (c. 1206)/ yang
bekerja hampir 100 tahun setelah kematian Ghazali, bersama dengan orang-orang Bam} Musa
pada abad kesembilan. Sebelumnya pada periode abad kesembilan, Bani Musa berfokus pada
pengembangan perangkat dan teknik baru yang tidak diketahui dari tradisi Yunani. Misalnya,
kami mencatat perkembangan katup berbentuk kerucut dalam karya Banu Musa, yang tidak
didokumentasikan dalam sumber-sumber Yunani sebelumnya. Kami juga mencatat adanya
pergeseran dari tradisi Yunani yang terutama mengandalkan kebencian alam terhadap
kehampaan untuk menghidupkan mesin yang mereka rancang, hingga pendekatan yang lebih
instrumental oleh Banu Musa di mana mereka menggunakan konsep sumber tenaga seperti air
yang mengalir, atau pasir yang mengalir, untuk menghasilkan animasi serupa. Untuk Philo dari
Byzantium atau Pahlawan Alxandria, misalnya, siphon bekerja dengan air menggantikan
kekosongan, sedangkan untuk Banu Musa air mengalir dan disela dengan menyalakan dan
mematikan katup berbentuk kerucut, melalui pelampung dan mekanisme lain yang tidak
berfungsi. bergantung pada konsep kekosongan.

Dalam perkembangan selanjutnya inilah mereka harus menemukan alat seperti katup berbentuk
kerucut dan sejenisnya. Ini tidak berarti bahwa Banu Musa tidak memahami cara kerja
kekosongan di alam dan dalam desain mesin, namun mereka menggunakannya bersama dengan
teknik lain yang mereka kembangkan sendiri.

Melihat karya-karya Banu Musa dibandingkan dengan tradisi Yunani, kita tidak hanya dapat
mendeteksi lompatan maju dalam variasi teknik dalam desain teknik mereka, namun juga dapat
mendeteksi partisipasi mereka dalam suasana budaya umum pada masa awal Islam. kritis
terhadap tradisi ilmiah Yunani. Namun, ketika karya-karya mereka dibandingkan dengan karya
azarl, kita melihat kedewasaan luar biasa dalam karya Azari yang tidak ditemukan dalam
karya-karya Banu Musa. Dengan ]azarl kita mulai memperhatikan diskusi mengenai fungsi
sebenarnya dari perangkat mekanis, dan apresiasi nyata terhadap signifikansinya sebagai alat
yang tidak hanya memenuhi fungsi sehari-hari bagi masyarakat, tetapi juga merupakan alat
yang dapat menunjukkan cara kerjanya. di mana prinsip-prinsip fisik alami bekerja.
Perangkatnya adalah contoh prinsip-prinsip fisik alami dalam tindakan. Dan dalam
pendahuluan bukunya, beliau secara tegas menyatakan bahwa perangkatnya dimaksudkan
untuk mengaktualisasikan (ikhraj min al-quwwa ila al-fi'l).[12] Prinsip-prinsip fisika yang

237
berpotensi ada, menunggu untuk diaktualisasikan. Pemahamannya yang penuh mengenai
pendekatan Aristoteles terhadap peralatan mekanis dan pengaruhnya terhadap alam jauh lebih
unggul dibandingkan pemahaman Banu Musa mengenai prinsip-prinsip tersebut sejauh yang
dapat diketahui dari tulisan-tulisan mereka yang masih ada. Bahkan sumber-sumber sejarah
menyimpan anekdot bagi kita tentang pelindung Banu Musa, khususnya al-Mutawakkil
(memerintah 847-861), dan memberi tahu kita bahwa perangkat Banu Musa memang telah
membuatnya terpesona,[13] dan bahwa para insinyur terampil itu memproduksi untuknya
perangkat-perangkat tersebut. objek hiburan yang tepat untuk memenuhi tujuan tersebut.
Bandingkan dengan pelindung Jazari yang menuntutnya, menurut pengantar karya ]azari
sendiri, agar Jazari mengarang karya tersebut untuk mencatat "model" (ashkiil) yang tiada
taranya, hal-hal yang ia ciptakan . (istanbath), dan “ilustrasi” (mitsalat) yang dibawakannya.
Bagi siapa pun yang membaca pendahuluan tersebut, bahasa tersebut mengungkapkan dengan
jelas pemahaman yang lebih lengkap tentang cara kerja perangkat mekanis dan alasan
pengoperasiannya. Kadangkadang]azar1 bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa ia
bermaksud mengilustrasikan prinsip yang sama dengan banyak perangkat, semuanya untuk
menunjukkan penerapan prinsip-prinsip tersebut secara universal.

Namun karena teks-teks ini belum sepenuhnya dipelajari dari sudut pandang tersebut, kita
harus menunggu terlebih dahulu sebelum memberikan penilaian yang lebih rinci mengenai
teks-teks tersebut. mengenai manfaat relatif mereka. Kesan yang diberikan di sini merupakan
hasil dari pembacaan cepat pertama terhadap sumber-sumbernya, dan saya yakin, pada
akhirnya akan bertahan dalam ujian analisis. Atau ambillah karya Ibnu al-Nafis di bidang
kedokteran. Dalam komentarnya terhadap Kanon Ibn Sina kita menemukan ucapannya yang
luar biasa yang tidak hanya menyimpang dari ajaran Ibn Sina, yang sangat dia kagumi, namun
lebih jauh lagi mengkritik sumber asli Ibn Sina, Galen sendiri. Dengan kritiknya, ia akhirnya
menyangkal doktrin Galen berdasarkan pengamatannya sendiri, dan dengan demikian
meletakkan dasar bagi penemuan sirkulasi paruparu pada darah.[14] Pada periode pasca-Ghazali,
hal-hal seperti itu terjadi. para ilmuwan tampaknya telah mendapatkan kepercayaan diri yang
besar untuk menantang para pendahulu mereka dan melalui mereka menyerang warisan utama
Yunani yang terus menjadi sumber perdebatan, dengan pernyataan seperti "ini adalah pendapat
umum, tetapi menurut kami, itu adalah palsu” (hadha huwa al-ra’y al-mashhiir. wa-huwa
‘indana bathil). Hal ini serupa dengan pendapat Ibnu al-Haitham, 'Urdi, Tusi, dan lain-lain
yang mengatakan, pada satu titik atau lainnya, "Ini adalah pendapat yang diterima, namun
menurut kami pendapat tersebut salah." Dalam hal ini, Ibnu al-Nafis merefleksikan tren yang

238
sama yang berkembang dalam bidang astronomi, dan telah berakar pada karya-karya al-Razi
sekitar empat abad sebelumnya.

Dia juga tampaknya melengkapi karya-karya ilmuwan lain dari disiplin ilmu lain yang
semuanya terlibat dalam kebangkitan budaya dan bukan pada zaman kemunduran. Perhatikan
juga karya Kamal al-Din al-Farisi (w. 1320)[15] dari abad berikutnya, yang sekali lagi
menggambarkan kecenderungan yang sama, namun dari bidang optik. Adalah guru al-Farisi,
astronom besar Qutb al-Dfn al-Shirazi (w. 131 1), yang menyarankan kepada al-Farisi agar ia
mempelajari karya ilmuwan besar Ibn al-Haitham (dc l038) dari masa sebelum Ghazali.
Perhatikan bahwa dia tidak disarankan untuk menelusuri ilmu optik Yunani yang sudah
ketinggalan zaman untuk studinya. Sebaliknya, dia dihadapkan pada tantangan produksi terbaik
dan terkini mengenai subjek tersebut. Baik tradisi Yunani maupun Ibnu al-Haitham tidak
berhasil menjelaskan fenomena pelangi dengan tepat, dan hingga masa al-Farisi, permasalahan
ini masih menjadi arena kompetisi dan spekulasi. Dan al-Farisi-lah yang akhirnya
memikirkannya, dan mengembangkan instrumen untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya
warna pelangi dihasilkan. Dan persis seperti pendahulunya, Ibnu al-Nafis, ia juga mengikuti
gaya yang sama, yaitu ia menghasilkan komentar yang rumit mengenai karya paling maju. dari
seorang ilmuwan pra-Ghazali.

Dan dalam konteks komentarnya tersebut, dia menyangkal ide-ide pendahulunya dan ide-ide
orang Yunani kuno yang sampai batas tertentu menjadi modelnya. Dalam hal ini, harus diingat
bahwa meskipun Ibn al-Haitham dapat dianggap sebagai ilmuwan besar, dia juga tidak
ragu-ragu untuk menolak gagasan Yunani ketika gagasan tersebut tidak memenuhi standar
ilmiahnya. Namun al-Farisi-lah yang mengambil keputusan akhir mengenai pelangi. Dalam arti
tertentu, fenomena ini sangat mirip dengan apa yang terjadi dalam astronomi. Di sini juga kita
menemukan kritik keras terhadap astronomi Ptolemeus, yang dilontarkan oleh Ibn al-Haitham
pada pertengahan abad kesebelas. Kita juga menemukan kritik yang sama dibiarkan begitu saja,
tanpa melakukan tindakan positif apa pun mengenai hal ini hingga abad ketiga belas, ketika
astronom Mu'ayyad al-Din al-'Urdi (w. 1266), yang hidup lebih dari satu abad setelah Ghazali,
mengeluh terhadap Ibnu al-Haitham karena tidak membawa sesuatu yang baru selain kritik.
Adalah 'Urdi yang melakukan pengembangan seluruh astronomi alternatif yang ditakdirkan
untuk menggantikan astronomi Yunani, dan dengan demikian menghasilkan teorema
matematikanya yang terkenal yang berdampak pada hampir semua astronom setelahnya. Di

239
sini sekali lagi tidak ada perbandingan antara kecemerlangan 'Urdi dan kecemerlangan Ibn
al-Haitham, yang menakjubkan dan cemerlang seperti Ibn alHaitham.

Namun, dalam disiplin ilmu astronomi, tren ini berlanjut setelah 'Urdi, masing-masing
astronom akan mengambil karya-karya yang dihasilkan pada periode pra-Ghazali, dan
menyebutnya sebagai astronomi yang umum dikenal (al-mashhur) hanya untuk menyerang
mereka dengan keras, dan menyerang Ptolemy di belakang mereka juga. Setelah melakukan hal
tersebut, mereka kemudian membangun alternatif mereka sendiri terhadap astronomi tersebut
dengan dasar yang benar-benar baru, dan pada tingkat yang jauh lebih canggih daripada tingkat
yang ditemukan pada periode sebelumnya atau sumber-sumber Yunani itu sendiri. Seperti
pekerjaan di bidang optik dan kedokteran, pekerjaan para astronom dituangkan dalam bentuk
komentar terhadap karya masing-masing, atau kadang-kadang pada karya Yunani itu sendiri.
Mereka hanya menggunakan komentar-komentar tersebut sebagai sarana untuk menghasilkan
teori-teori alternatif mereka sendiri dan untuk mencatat keilmuan mereka sendiri wawasannya,
seperti yang dilakukan oleh Jazari, Ibnu al-Nafls, dan al-Farisi.

Bagi orang-orang yang menilai periode ini sebagai periode kemunduran ilmu pengetahuan
Islam, mereka melihat tafsir-tafsir ini sebagai tanda dekadensi, tanpa pernah membaca atau
mengapresiasi ide-ide baru yang terkandung di dalamnya. Bahkan intelektual Arab modern
yang paling terpelajar, yang pernah menjadi presiden Akademi Bahasa Arab di Kairo, Profesor
Ibrahim Madkour, mengatakan hal ini mengenai periode ini, dan komentar-komentar yang
dihasilkannya: “Pemikiran spekulatif hanya terbatas pada wilayah yang semakin sempit,
penyelidikan ilmiah mengalami stagnasi, dan hal-hal yang sebelumnya telah dipelajari dan
dipahami menjadi kabur. Pemikiran kreatif dan semangat penemuan digantikan oleh
pengulangan dan peniruan yang steril, yang diungkapkan dalam komentar dan studi terhadap
teks dan bukannya menekankan pada kata-kata. daripada makna.

Seberapa besar kesalahan yang bisa dilakukan seseorang?

Namun Profesor Madkour tidak sendirian dalam penilaian tersebut. Faktanya, dalam literatur
modern yang luas, banyak orang yang membaca satu demi satu penulis yang mengeluhkan
rendahnya ilmu pengetahuan Islam hanya karena periode ini menyaksikan produksi
komentar-komentar dan bukan karya-karya asli. Sekiranya para penulis ini hanya membaca

240
komentar-komentar tersebut, mereka akan menyadari bahwa komentar-komentar tersebut tidak
jauh dari kebenaran, karena mereka juga akan menemukan satu demi satu komentator
mengatakan: Ptolemeus, atau astronom lain atau ilmuwan Yunani, mengatakan ini atau itu. ,
tapi kataku, lalu masukkan ide-ide baru mereka pada konteks yang tepat.

Masalah dengan penilaian semacam ini adalah bahwa penilaian tersebut dengan jelas
menunjukkan bahwa apresiasi yang sebenarnya terhadap peran komentar-komentar tersebut
belum sepenuhnya berkembang. Dalam publikasi sebelumnya saya telah mengisyaratkan fakta
bahwa ada banyak hal yang dapat ditemukan dalam komentar-komentar tersebut, dan dalam
konteks tersebut hanya memberikan contoh Pasangan Tusi itu sendiri yang telah saya
tunjukkan pertama kali ditemukan pada tahun 1247, namun dalam konteksnya. dari sebuah
komentar atas A/magest karya Ptolemy.[17] Sejak saat itu, dan setelah membaca banyak
komentar astronomi setelah karya Tusi, saya menyadari bahwa komentar-komentar tersebut
bertindak dengan cara yang sangat mirip dengan literatur berkala modern kita.

Karena ketika seorang penulis modern memikirkan sebuah ide baru yang cemerlang, yang
belum pernah terpikirkan sebelumnya, dia akan melanjutkan dan menulis artikel yang akan dia
kirim ke majalah khusus untuk mengumumkan ide barunya. Sejak saat itu, ide baru tersebut
akan masuk ke dalam literatur. Dan ketika ide-ide yang berkaitan dengan subjeksubjek tersebut
sudah terkumpul dalam jumlah yang cukup, ide-ide tersebut kemudian dicerna menjadi sebuah
buku sekunder yang mempopulerkan ide-ide tersebut dan akhirnya memungkinkan ide-ide
tersebut memasuki ranah pengetahuan publik dalam hal mempopulerkan ide-ide baru, penulis
abad pertengahan memiliki keunggulan lebih besar dibandingkan penulis modern, meskipun
keunggulannya belum diapresiasi.

Bagi penulis abad pertengahan, yang tidak memiliki akses terhadap majalah khusus, karena
majalah tersebut belum ada pada masanya, cara paling efisien untuk menyebarkan gagasannya
adalah dengan memperkenalkannya dalam konteks sebuah komentar. Karena dalam
komentar-komentar seperti itu, gagasan baru pada kenyataannya akan dikontekstualisasikan
dengan tepat dan dengan demikian akan memperoleh makna yang jauh lebih besar daripada
sebuah artikel tunggal di sebuah jurnal yang memerlukan banyak informasi tambahan yang
bersifat kontekstual, belum lagi penantian bertahun-tahun yang panjang. sebelum hal itu dapat
diapresiasi sepenuhnya, jika memang ada. Tak perlu dikatakan lagi, berdasarkan hal itu saja,
saya sekarang menganggap media komentar sebagai pertanda yang jauh lebih sehat daripada
penelitian berkala modern kita.

241
Tafsir-tafsir terus ditulis sepanjang periode pasca-Ghazali, dan tentu saja mereka terus
menghasilkan ide-ide baru hingga abad keenam belas, abad terakhir, yang sejauh ini hanya
mendapat kajian sepintas. Ini tidak berarti bahwa mereka berhenti pada saat itu, karena
abad-abad berikutnya bahkan belum diselidiki. Juga tidak berarti bahwa tidak ada komentar-
komentar dangkal yang ditulis pada periode ini, karena jumlahnya sangat banyak, dan banyak
di antaranya memang disusun oleh pikiran-pikiran biasa-biasa saja yang dapat ditemukan di
setiap zaman dan tempat. Namun kita masih dapat mendokumentasikan serangkaian komentar,
yang ditulis oleh masing-masing astronom yang baru saja disebutkan, semuanya didasarkan
pada karya masing-masing, dan semuanya terus-menerus menerima tantangan untuk
menyempurnakan disiplin ilmu astronomi. Pada abad ke-16, dan pada masa Syams al-Din
al-Khafri, komentar-komentarnya mencapai tingkat yang begitu canggih sehingga Khafri
akhirnya bisa menulis dua komentar besar sebelum akhirnya ia menulis sebuah buku
independen, yang ia beri judul ifall ma Ia ya’fal ( Menyelesaikan apa yang tidak dapat
diselesaikan). Dalam teks terakhir yang agak pendek, ia berhasil menghasilkan serangkaian
solusi paling canggih untuk semua permasalahan yang mengganggu astronomi Yunani dan
menjadi sangat sulit dipecahkan sebelum zamannya.[18] Dalam hal ini, sebagian besar gagasan
baru awalnya diungkapkan dalam komentar-komentarnya sebelum akhirnya dikelompokkan
bersama dalam karya orisinal independen terakhirnya, dapat dikatakan bahwa
komentar-komentar itulah yang memunculkan orisinalitas, bukan sebaliknya.

Semua bukti ini menunjukkan satu kesimpulan yang tidak bisa dihindari. Siapa pun yang
meluangkan waktu untuk membaca produksi ilmiah pada periode pasca-Ghazali harus
menganggap periode ini sebagai periode yang paling produktif, dan khususnya dalam bidang
astronomi, yang sama sekali tidak ada bandingannya. Disiplin yang saya miliki yang dikutip di
sini, dan para astronom yang telah saya sebutkan namanya, semuanya berbicara tentang tradisi
yang terus meningkat hingga abad keenam belas, yang merupakan abad terakhir yang diselidiki
meskipun pada tingkat yang sangat sederhana.

Adapun bagi mereka yang masih menyimpan gagasan tentang pertarungan maut antara sains
dan agama, saya hanya perlu menyebutkan bahwa kecuali 'Urdi, yang kredensial
keagamaannya belum ditentukan, semua astronom yang disebutkan, serta Ibnu al-Nafis sendiri,
semuanya adalah orang-orang yang religius. Bukan dalam arti bahwa mereka hanya
mengamalkan agama laki-laki saja, namun mereka juga memegang jabatan resmi keagamaan
seperti hakim, pencatat waktu, dan ahli hukum bebas yang menyampaikan pendapat yuridisnya

242
sendiri. Beberapa dari mereka juga banyak menulis tentang topik-topik keagamaan, dan lebih
terkenal karena tulisan-tulisan keagamaan mereka daripada tulisan-tulisan ilmiah mereka.
Bukti ini membawa saya pada kesimpulan bahwa model konflik antara sains dan agama, yang
entah bagaimana bisa berhasil di Eropa, dan saya tidak yakin hal itu berhasil karena
kedengarannya terlalu sederhana untuk mengandung kebenaran, model ini tampaknya tidak
berlaku setidaknya dalam kaitannya dengan peradaban Islam. Tampaknya hal ini juga tidak
berlaku pada periode pasca-Ghazali, ketika kita menyaksikan lebih banyak ilmuwan yang
menjadi ahli agama. Tampaknya juga tidak berguna secara analitis dalam kaitannya dengan
disiplin ilmu astronomi karena sebagian besar karya astronomi tampaknya dihasilkan oleh
orang-orang yang beragama, dan sebagian besar dari mereka sebenarnya bekerja di
lembaga-lembaga keagamaan. Adapun bagi mereka yang menganggap sejarah hanya sebagai
serangkaian peristiwa politik, dan serangkaian dinasti dan perang, tanpa menaruh banyak
perhatian pada sejarah intelektual, mereka pun tidak akan merasa terhibur dengan terlalu
mengandalkan invasi Mongol untuk mencapai tujuan mereka. membenarkan teori kemunduran
mereka. Sebab meskipun benar bahwa Bagdad memang hancur di tangan Hulagu Khan, namun
kebetulan wazirnya pada saat itu adalah Nasir al-Din al- Tusi, astronom yang ia tangkap dalam
penaklukan Benteng Ismaili Alamaut. Tusi inilah yang mempunyai cukup kebijaksanaan untuk
menyelamatkan sekitar 400.000 naskah sebelum penjarahan Bagdad. Selain itu, dia bahkan
menyelamatkan seorang pemuda bernama Ibn al-FuwatJ, dan membawanya ke tempat yang
kemudian menjadi benteng Ilkhanid di dekat Tabriz. Di sana, di sebuah bukit di tepi kota
terdekat, Maragha, Tusi meyakinkan putra penghancur Bagdad untuk memberinya dukungan
yang cukup guna mendirikan salah satu observatorium paling rumit yang pernah dikenal dunia
Islam.

Tentu saja, hal ini membantu Ilkhanid yang sama segera masuk Islam, dan mengabulkan apa
yang diminta Tusi. Dan di sana, di kota Maragha, Tusi berhasil mengumpulkan kelompok
astronom paling terkemuka yang pernah berkumpul di satu tempat. Sekadar berkumpulnya para
astronom tersebut, di pusat yang aktif, dilengkapi dengan perpustakaan manuskrip baru yang
diselamatkan dari Bagdad dan kota-kota Irak dan Suriah lainnya, bersama dengan Ibn
al-Fuwati sebagai pustakawan, mereka secara kolektif dan individu berhasil menghasilkan teori
astronomi paling canggih pada zaman Islam.

Beberapa dari mereka sudah memberikan kontribusinya sebelum datang ke Maragha. Seperti
yang dilakukan Tusi sendiri ketika ia mengajukan teorema matematika barunya, Pasangan Tusi,

243
ketika ia masih di Alamiit, seperti yang telah kita lihat. Dan seperti yang dilakukan 'Urdi ketika
dia telah menyelesaikan karya astronominya yang paling terkenal, dan lemmanya, ketika dia
masih di Damaskus.

Namun pertemuan mereka di Maragha menghasilkan jenis astronomi yang Shirazi mampu
mempopulerkannya dengan memulai tradisi dialog dengan para astronom sebelumnya, melalui
karya kumulatif komentar, dan ketika dia menulis dua komentarnya yang sangat panjang dalam
waktu dua puluh tahun setelahnya. pembangunan observatorium Maragha.

Yang lebih penting lagi, kita juga harus ingat bahwa pendirian observatorium Maragha dimulai
pada tahun 1259, yaitu tepat satu tahun setelah kehancuran Bagdad. Insinyur yang membuat
instrumen-instrumen tersebut, dan kemungkinan besar juga yang membangun sendiri
struktur-struktur tersebut, karena kebanyakan dari struktur-struktur tersebut merupakan struktur
batu yang berfungsi ganda sebagai instrumen pengamatan astronomi, tidak lain adalah
astronom/insinyur terkenal 'Urdi sendiri.

Kita sangat beruntung mempunyai sebuah risalah yang ditulis oleh insinyur terkemuka ini,
yang di dalamnya ia memerinci seluruh konstruksi yang ia selesaikan di Maragha, sebuah
risalah yang tiada bandingnya dalam kecanggihan dan kegunaannya, dan hal-hal semacam itu
tidak diketahui sejak masa pra-Ghazali. periode. Pentingnya hal ini hanya dapat dipahami
sepenuhnya ketika kita mengetahui bahwa hal ini juga digunakan sebagai panduan untuk
pembangunan observatorium selanjutnya yang dibangun di Samarqand pada masa Ulugh Beg
(c. 1420) dan di ]aypur, India, menjelang masa pemerintahan Ulugh Beg. Akhir abad kedelapan
belas. Sayangnya teks risalah ini masih belum diedit dalam edisi ilmiah modern, dan hanya
diterjemahkan sebagian.

Oleh karena itu, kedua narasi kemunduran yang mengaitkan matinya ilmu pengetahuan dengan
keberhasilan pemikiran keagamaan Ghazali, atau dengan penghancuran Bagdad oleh bangsa
Mongol, tampaknya tidak menjelaskan kecemerlangan ilmu pengetahuan.

Produksi spesifik yang baru saja kami sebutkan. Lebih jauh lagi, berdasarkan apa yang telah
kita ketahui, kedua penyebab ini tampaknya tidak memperlambat produksi ilmu pengetahuan
dan tidak pula menentukan usia kemunduran. Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa periode
berikutnya ditandai dengan peningkatan produksi ilmiah, dan peningkatan kualitas yang luar
biasa, sehingga produksi pada periode pra-Ghazali terlihat jauh lebih sederhana dalam hal

244
produksi. perbandingan. Dan seperti telah saya katakan, dalam bidang astronomi saja, saya
telah berargumen bahwa zaman keemasan ilmu tersebut, setidaknya dalam hal produksi
teori-teori planet, seharusnya terjadi pada masa pasca-Ghazali saya titik.

Namun jika hal tersebut benar terjadi, dan jika zaman kemunduran dapat dengan mudah
direkonstruksi menjadi zaman kesuburan, setidaknya sejauh menyangkut produksi astronomi,
maka kapankah zaman kemunduran ini, dan apa yang dimaksud dengan zaman ini?
Pertahankan istilah penurunan sejak awal? 'Penurunan' adalah istilah relatif yang menyiratkan
perbandingan antara dua tingkat, yang satu dianggap lebih rendah dibandingkan yang lain. Dan
seperti yang baru saja kita lihat, ketika kita membandingkan tulisan-tulisan ilmiah yang
dihasilkan pada periode pasca-Ghazali, dalam beberapa disiplin ilmu, dan menemukan bahwa
tulisan-tulisan tersebut lebih canggih daripada yang ditulis sebelumnya, dan bahkan
kadang-kadang ditulis secara langsung. bertentangan dengan tulisan-tulisan sebelumnya, kami
selalu membandingkan satu produksi ilmiah dengan produksi ilmiah lainnya, dan banyak faktor
yang dipertimbangkan dalam proses ini.

Berdasarkan perbandingan-perbandingan tersebut, orang berani mengatakan bahwa periode


pasca Ghazali mengalami kebangkitan dibandingkan dengan periode sebelum GhazaIi, dan
dengan demikian periode terakhir ini dapat digambarkan sebagai zaman kemunduran.

Beberapa faktor yang menjadi perbandingan berkaitan dengan kuantitas produksi, karena wajar
jika kita berharap bahwa beberapa teks di sana-sini tidak akan menjadi tren, dan dengan
demikian tidak akan menyebabkan perubahan dalam jenis dan kualitas. produksi ilmiah. Oleh
karena itu, perhatian khusus diberikan kepada sejumlah ilmuwan pasca-Ghazali yang
karya-karyanya dipertimbangkan dalam proses perbandingan.

Dan di sini sekali lagi, kasus astronomi tidak hanya membuktikan bahwa terdapat jauh lebih
banyak ilmuwan dari periode selanjutnya yang menghasilkan materi yang lebih kreatif, namun
lebih banyak pula ilmuwan yang menghasilkan materi dibandingkan dengan para astronom
sebelumnya. Kita dapat melihat dengan jelas kecenderungan cara-cara baru dalam melakukan
astronomi, dan dengan demikian kita harus mengakui bahwa periode pasca-Ghazali patut
mendapat pertimbangan khusus.

Maka jumlah ladang yang produksinya dibandingkan harus dipertimbangkan, karena wajar jika
kita tidak memikirkan keunggulan dalam satu bidang. Bidang sebagai tanda suatu tren yang

245
seharusnya menjadi ciri suatu periode sejarah sebagai suatu periode yang kurang lebih maju.
Dan di sana lagi, lingkarannya diperluas hingga mencakup disiplin ilmu seperti kedokteran,
optik, dan teknik mesin. Dalam semua kasus, kita dapat menemukan hasil yang kurang lebih
sesuai dengan apa yang tampaknya terjadi dalam astronomi.

Dan jika kita melihat pada bidang instrumen ilmiah, kita juga dapat mendokumentasikan
aktivitas serupa yang berkembang pesat pada periode selanjutnya, tidak hanya pada sisa-sisa
observatorium skala besar seperti yang dibangun di Maragha dan Samarqand, namun juga juga
mencakup instrumen-instrumen yang dibuat oleh Jai Singh II (1686-1 734) di India sebagai
tiruan dari instrumen-instrumen sebelumnya.[21] Kita juga dapat memperhatikan, dari
banyaknya instrumen ilmiah, yang masih disimpan di Museum- Museum di seluruh dunia, baik
astrolab , kuadran, sekstan, atau apa pun yang Anda miliki, sehingga jumlah instrumen yang
semakin disempurnakan terus meningkat di periode selanjutnya. Sebagai contoh saja,
pengembangan astrolabe universal, yang beberapa sampelnya masih kita miliki, tidak hanya
merupakan sebuah mahakarya dalam pengerjaannya, namun juga secara teori lebih unggul
daripada astrolabe yang dibangun pada periode sebelumnya. Demikian pula halnya dengan
banyak instrumen lainnya.[22] Berkat banyaknya hasil yang kini dicetak, kita dapat dengan
mudah menyatakan bahwa bidang instrumen astronomi juga menyaksikan “zaman keemasan”
pada periode pasca- Ghazali, secara keseluruhan. selaras dengan bidang teori planet, meskipun
kedua bidang tersebut hanyalah sepupu yang buruk.

Saya tahu bahwa jumlah disiplin ilmu yang saya coba sebutkan di sini sama sekali tidak
lengkap, dan di sini saya harus mengakui bahwa kurangnya kompetensi dalam sejarah disiplin
ilmu lain menghalangi saya untuk memberikan penilaian terhadap disiplin ilmu tersebut dengan
cara yang sama.

Namun saya tentunya mempersilakan rekan-rekan yang bekerja di bidang tersebut untuk
mengecek kembali hasil-hasil yang telah dicapai selama ini dan memutuskan sendiri apakah
periode ini masih bisa disebut sebagai periode kemunduran. Kecurigaan saya adalah bahwa
kami telah mensurvei berbagai disiplin ilmu yang representatif. Dan kemungkinan besar hasil
yang telah kita capai, dan penilaian yang kita lakukan sekarang, akan mampu bertahan dalam
ujian tambahan dari disiplin ilmu lain.

Meskipun benar bahwa sebagian besar dari hasil-hasil tersebut menunjukkan peningkatan
volume produksi astronomi yang cemerlang, yang semuanya berasal dari periode

246
pasca-Ghazali, namun tidak satu pun dari hasil-hasil tersebut tampaknya berasal dari periode
yang relatif lebih belakangan, yaitu periode setelahnya. abad keenam belas, Sekali lagi untuk
bidang astronomi, saya berani mengatakan bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya
keahlian saya, karena saya belum menyelidiki secara mendalam karya-karya selanjutnya. Saya
telah fokus selama dua dekade terakhir ini pada karya-karya itu diproduksi antara abad ketiga
belas dan keenam belas, dan kurang memberikan perhatian pada karya-karya yang sebagian
besar tidak dapat diakses pada abad-abad berikutnya.

Disiplin ilmu selain astronomi mungkin juga mengalami kendala serupa, dan dengan demikian
suatu hari mungkin akan menghasilkan materi baru yang masih belum ditemukan. Namun
survei singkat terhadap teks-teks astronomi yang mudah diakses yang dihasilkan setelah abad
keenam belas mengungkapkan sebuah fenomena menarik. Kita tidak hanya mulai melihat
produksi astronomi yang sedikit berbeda, yang lebih berkaitan dengan astronomi religius murni
seperti mlqat, atau teks astronomi yang disederhanakan, namun juga pada awal abad ketujuh
belas kita mulai melihat serbuan ide-ide ilmiah Eropa yang muncul kembali. dunia Islam. Kita
bahkan dapat menemukan bahwa kejadian-kejadian yang terjadi di Eropa pada abad ke-16
mulai diakui di dunia Islam, dan kadang-kadang dimasukkan ke dalamnya. Di sini saya
memikirkan salah satu astronom Siro-Mesir yang belakangan:

Taqi al-Dln ibn Ma'ruf (w. ca. 1 586), yang karyanya termasuk, di tangannya sendiri,
pengakuan atas kenalan langsungnya dengan multi- kamus bahasa Ambrosio Calepino
(1435-15 10).

Karya-karya geografi selanjutnya dari abad ketujuh belas mencerminkan pengetahuan tentang
berbagai sistem astronomi Copernicus dan Tycho Brahe, dan juga menunjukkanbagaimana
karya-karya tersebut mulai menyebutkan penemuan dunia baru. Semua gaung ini muncul
dalam konteks terjemahannya berfungsi sebagai Atlas Maior dan Minor, ke dalam Bahasa
Turki.[24] Singkatnya, saya bersedia menerima kenyataan bahwa penyelidikan menyeluruh pada
periode selanjutnya ini, katakanlah dari abad keenam belas hingga abad kedua puluh, pasti
akan menunjukkan semakin besarnya ketergantungan pada hasil-hasil ilmiah. yang diproduksi
di pusat-pusat pembelajaran Eropa. Produksi yang kemudian kembali masuk ke dunia Islam.
Proses ini tampaknya terus berlanjut tanpa terkendali selama abad-abad berikutnya hingga
dunia Islam akhirnya bergantung sepenuhnya pada ilmu pengetahuan Eropa selama era
kolonial pada abad kesembilan belas dan kedua puluh. Ketergantungan tersebut semakin
meningkat di masa sekarang.

247
Paruh akhir abad kedua puluh menunjukkan ketergantungan penuh ini dengan sangat baik.
Bagaimanapun juga, abad ini adalah saksinya “kemerdekaan” sebagian besar negara-negara
Islam setelah melalui masa penjajahan yang panjang dan “berakhir” pada kurun waktu tersebut.
Dan sekarang, sebagian besar, jika bukan seluruh negara-negara Muslim, bergantung pada
pendidikan ilmiah mereka pada keluaran ilmiah dari negara-negara Eropa, pusat-pusat kolonial
mereka di masa lalu, atau katakanlah negara-negara Barat, untuk memasukkan ilmu-ilmu ke
dalam ilmu pengetahuan.

Amerika Serikat. Hal serupa juga terjadi di hampir seluruh universitas di negara berkembang,
dengan dunia Islam tertanam di tengah-tengahnya. Mereka semua, dalam kurikulum ilmiahnya,
bergantung pada apa yang diproduksi di barat.

Dengan berakhirnya abad kedua puluh kita dapat melihat pendulum bergerak ke arah barat.
Dan jika kita melihat sumber ilmu pengetahuan, kita akan menyaksikan ujung spektrum yang
paling ekstrem. Namun kita juga patut bertanya: Kapan pergeseran ini terjadi? Artinya, kapan
Eropa berhenti tertarik pada produksi ilmiah dunia Islam, dan kapan Eropa mulai mengekspor
produksi ilmiah ke negara tersebut?

Menentukan waktu terjadinya pergeseran itu sendiri mungkin dapat membantu kita
menentukan permulaan zaman kemunduran. Namun izinkan saya menjelaskan konsep
penurunan itu sendiri. Dalam konteks ini, saya ingin mendefinisikan zaman ini sebagai zaman
di mana suatu peradaban mulai menjadi konsumen gagasan-gagasan ilmiah dan bukannya
penghasil gagasan-gagasan ilmiah.

Kembali ke sumber-sumbernya, seperti yang telah kita lakukan selama ini, sumber-sumber
tersebut nampaknya menunjukkan suatu jeda yang terjadi sekitar abad keenam belas, dan abad
tersebut tampaknya mengandung benih-benih kemunduran zaman itu, atau setidaknya
tampaknya merupakan saat di mana penurunan tersebut mungkin telah dimulai. Dan jika
pembacaan saya terhadap sumber-sumber tersebut valid, maka kita harus mencari
peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar abad ini, yaitu abad keenam belas, untuk menentukan,
jika kita dapat menentukan, penyebab kemunduran tersebut.

Untuk mendapatkan diagnosis yang lebih baik mengenai usia kemunduran, kita harus terus-
menerus mengingat sifat relatif dari konsep tersebut, dan harus menghargai fakta bahwa proses
sosial seperti kemunduran budaya atau Renaisans dan sejenisnya jarang terjadi pada dekade

248
atau bahkan dekade tertentu. satu abad. Mereka biasanya tidak dapat dibedakan pada awalnya,
namun seiring berjalannya waktu, tren mulai berkonsolidasi dan perbedaan-perbedaan yang
mencolok mulai terlihat. Seperti yang telah dicatat oleh orang lain seperti Needham, yang akan
dirujuk lagi di bawah, jika kita membandingkan produksi ilmiah di dunia Islam, Cina, dan apa
yang sekarang disebut Eropa, sekitar awal abad keenam belas. Orang akan menyadari bahwa
ketiganya hampir berada pada level yang sama. Dua abad kemudian, katakanlah Pada awal
abad kedelapan belas, perbandingan tersebut mulai memberikan pengaruh yang lebih besar ke
arah Eropa.

200 tahun tersebut, katakanlah kira-kira antara tahun 1500 dan 1700, menjadi saksi terciptanya
revolusi ilmu pengetahuan satu demi satu di Eropa dan menandai lahirnya ilmu pengetahuan
modern. Dan karena alasan yang sama, hal-hal tersebut memunculkan beragam pertanyaan
yang telah diajukan sejak saat itu, semuanya berupaya menjelaskan mengapa ilmu pengetahuan
modern berkembang di Eropa dan bukan di dua budaya kompetitif lainnya pada saat itu.
Banyak yang mencari jawabannya dalam konteks sosial budaya yang bersangkutan, ada pula
yang melihat pada kondisi hukum, agama, dan politik. Bahkan ada yang mengambil kondisi
masyarakat Muslim modern dan memproyeksikannya, dengan istilah yang sangat esensialis
dan non-historis, kembali ke sejarah masyarakat tersebut.[25]

Namun pertanyaan itu sudah lama ada. Dan karena dasar emosional dan ideologisnya, di dunia
yang terus terpolarisasi, jawaban atas pertanyaan ini menjadi semakin sulit. Namun jika kita
fokus pada gambaran besarnya, yaitu gambaran yang diambil selama beberapa abad dimana
trennya menjadi lebih jelas untuk diamati, dan jika kita memperluas cakupannya pada beragam
faktor yang mungkin menyebabkan ketimpangan dalam perekonomian. produksi ilmiah yang
menjadi lebih jelas untuk diamati, maka kita memiliki peluang yang lebih baik untuk
memahami tidak hanya sifat dari kemunduran produksi ilmiah di dunia Islam, namun juga
dapat memperoleh wawasan mengenai konteks sosial ekonomi dari sains itu sendiri.

Dengan menerapkan metodologi yang sama, yang berusaha menjelaskan kebangkitan ilmu
pengetahuan pada masa awal Islam dalam kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi, kali ini
metodologi yang sama mungkin masih dapat membantu kita memahami mengapa dalam kurun
waktu dua abad atau lebih muncul perbedaan yang luar biasa antara keduanya. ilmu-ilmu yang
dihasilkan di Eropa dan ilmu-ilmu yang diproduksi di seluruh dunia, dan terutama di dunia
Islam. Dari sudut pandang itu, tidak menarik lagi apakah Copernicus mengetahui karya-karya
pendahulunya dari dunia Islam atau tidak. Sebaliknya fokusnya akan beralih ke kondisi yang

249
menyebabkan hal tersebut karya-karya Copernicus untuk dimasukkan ke dalam karya-karya
dan sistem pemikiran selanjutnya yang lebih maju yang menyebabkan runtuhnya tatanan dunia
Aristotelian lama. Yang terpenting, perkembangan tersebut memang mengubah sifat produksi
ilmiah itu sendiri. Oleh karena itu, dua abad penting tersebut memberikan banyak pelajaran
kepada kita tentang hakikat ilmu pengetahuan modern, hubungannya dengan siklus investasi
modal, dan hubungannya dengan fluktuasi politik kondisi fisik dan perekonomian. Dalam
kondisi seperti itulah seseorang harus melakukannya mencari makna dari masa kemunduran di
dunia Islam yang telah terjadi sejak abad ke-16 dan seterusnya, tanpa harus mengaitkan
kemunduran tersebut, kalau bisa, karena sebab tertentu, peristiwa tertentu, atau par-alur
pemikiran tertentu, baik itu agama atau lainnya. Lalu apa yang terjadi selama dua abad itu?

Sejarah politik pada periode itu mungkin berguna dalam hal ini, dan sejarah tersebut
mengungkapkan beberapa ciri yang sangat menarik. Pada pertengahan abad keenam belas kita
menyaksikan, untuk pertama kalinya, perpecahan kekuasaan politik dalam skala besar di dunia
Islam. Perpecahan itu menghasilkan tiga kerajaan Islam yang besar. Mereka semua muncul
pada waktu yang hampir bersamaan, kecuali Ottoman, mereka semua meninggal sekitar
pertengahan abad kedelapan belas.

Ketika Ottoman (1453-1920), yang akhirnya menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453,
mereka menyapu Mediterania timur pada tahun 1516, sampai ke Mesir dan sebagian besar
Afrika Utara, untuk mengkonsolidasikan benteng mereka di wilayah tersebut. dunia Islam.
Kaum Safawi (1 502-1 736), lebih jauh ke timur di wilayah yang sekarang disebut Iran, mulai
berkuasa pada awal abad ke-16, dan seiring berjalannya waktu mendirikan kerajaan baru
dengan Syiah sebagai agama resminya, sehingga melanggengkan kekuasaan persaingan dengan
kekaisaran Ottoman Sunni di barat dan hubungan yang lebih bersahabat namun kompetitif
dengan kekaisaran Mughal di tenggara yang berlangsung selama berabad-abad. Bangsa Mughal
(c. 1520- pertengahan abad ke-18) sendiri, awalnya merupakan dinasti Asia Tengah, menyebar
ke selatan untuk mendirikan salah satu kerajaan yang bertahan lama di anak benua India.

Selain dampak yang mengganggu dari persaingan internal dan peperangan, ada pula
faktor-faktor lain yang ikut berperan, namun semuanya mengarah pada melemahnya kohesi
budaya dunia Islam. Daya saing sektarian agama memainkan peranan penting, seperti yang
masih terjadi hingga saat ini. Namun kemudian ada juga peristiwa sangat penting yang terjadi
menjelang akhir abad kelima belas, dan yang mengguncang seluruh tatanan dunia hingga ke
akar-akarnya.

250
Peristiwa yang dimaksud adalah penemuan Dunia Baru, yang tidak hanya mengganggu hampir
seluruh jalur perdagangan Euro-Asia yang telah lama digunakan untuk menyedot kekayaan
komersial ke negeri-negeri Islam selama berabad-abad, namun juga membawa bahan mentah
baru ke Eropa. negara-negara seperti bahan-bahan tersebut hampir habis seluruhnya di
negeri-negeri Islam. Bukan suatu kebetulan bahwa ketiga kerajaan Islam tersebut muncul pada
waktu yang hampir bersamaan waktu, pada awal abad keenam belas, dan menghilang pada
waktu yang hampir bersamaan, akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh,
seperti yang baru saja kami katakan. Untuk memahami fenomena ini dengan lebih baik, kita
harus mengkajinya dalam kaitannya dengan pergeseran global sosio-ekonomi dan politik yang
terjadi pada saat itu.

Pada awal abad keenam belas, apa yang disebut "penemuan" Dunia Baru baru saja dimulai, dan
orientasi eksplorasi, perdagangan, dan akses Eropa terhadap sumber daya alam yang belum
dimanfaatkan serta tenaga kerja budak manusia ke arah barat, baik di dunia maupun di dunia.
Dunia Baru dan (kemudian) di Afrika, menciptakan kebakaran besar di seluruh dunia.

Lalu terjadilah "Zaman Penemuan" pada abad berikutnya, yang menyaksikan pencarian yang
gigih untuk mendapatkan lebih banyak lahan untuk "ditemukan", lebih banyak sumber daya
untuk diperoleh, dan lebih banyak koloni dan tenaga kerja budak untuk dijebak. Semua
peristiwa yang terjadi pada abad ke-16 dan awal abad ke-17 ini mengorientasikan kembali
kekayaan dan perdagangan di seluruh dunia Islam, atau dikatakan menghindari dunia Islam,
dan sebagian besar merugikan dunia tersebut. Dan sementara hampir setiap keluarga kerajaan
Eropa dan wilayah kekuasaannya, dengan satu atau lain cara, mulai menerima berton-ton emas
dan perak, serta tenaga kerja budak gratis dan sumber daya alam lainnya dari koloni-koloni
tersebut, dunia Islam mendapati dirinya kemudian diblok oleh Barat. oleh meningkatnya
kekuasaan keluarga Rumah-rumah kerajaan dan pangeran sekarang kaya dan dilengkapi
dengan Angkatan laut komersial dan maritim.

Perjalanan Portugis mengelilingi Afrika membantu mereka menyebarkan perdagangan mereka


ke arah tenggara pada awalnya, dan akhirnya ke timur di mana koloni Portugis dan kemudian
Belanda mulai tumbuh hingga ke India bagian selatan, ke utara Samudera Hindia hingga tepi
selatan. semenanjung Arab itu sendiri, dan lebih jauh ke timur oleh Belanda hingga ujung timur
dunia yang kita kenal. Pada akhirnya, penjelajahan kolonial yang mencapai Asia Selatan dan
teater Tiongkok di Timur Jauh bahkan mulai mengubah rute perdagangan wilayah timur
tersebut ke sekitar dunia Muslim dan bukan melaluinya .

251
Ya, ada sejumlah rejeki nomplok yang masuk ke dunia Islam sebagai hasil perdagangan
dengan kekayaan baru yang ditemukan di Eropa. Namun secara keseluruhan, negeri-negeri
Islam kehilangan inisiatif komersial yang pernah mereka miliki, dan menjadi semakin
bergantung pada kekayaan apa pun yang bersedia dibagikan oleh para pedagang Eropa saat
berdagang melalui pelabuhan-pelabuhan di dunia Islam. Intinya hubungan tersebut mulai
bergeser dari menghasilkan kekayaan menjadi mengkonsumsi kekayaan sebagai imbalan atas
sumber daya alam apa pun yang masih tersebut.

Dan inilah keseluruhan tanda-tanda zaman kemunduran. Benar, ada pedagang Venesia yang
membawa sejumlah kekayaan ke Damaskus, misalnya, dengan menugaskan produk-produk
rumah tangga dan benda-benda budaya tinggi untuk diproduksi di sana, namun hal itu berarti
bahwa pekerja Damaskus itu pun mulai menjalin hubungan dengan para pedagang.
ketergantungan di mana dia bekerja untuk master asing. Ketergantungan dan konsumerisme
yang mulai menjadi ciri hubungan antara dunia Islam dan Eropa berlanjut hingga saat ini.

Saya tidak tahu ada penelitian bagus yang menguraikan dampak "penemuan" Dunia Baru
terhadap kehidupan intelektual keluarga kerajaan dan pangeran Eropa. Namun tidak sulit untuk
mendeteksi, di beberapa wilayah Eropa, dan menjelang awal abad ketujuh belas, munculnya
institusi-institusi baru yang tidak ada bandingannya dengan abad pertengahan, dan
penciptaannya mungkin ada hubungannya dengan institusi baru ini.

kekayaan yang diperoleh. Selama paruh pertama abad ketujuh belas, Eropa menyaksikan
kebangkitan akademi ilmu pengetahuan dan kerajaan, sebuah fenomena yang belum pernah
terjadi sebelumnya, setidaknya tidak sampai pada titik di mana hampir setiap keluarga kerajaan
atau pangeran memiliki akademi sendiri.

Tujuan dari akademi-akademi tersebut tampaknya ditujukan untuk mengumpulkan


orang-orang paling terpelajar pada masa itu dan untuk membebaskan orang- orang tersebut dari
kekhawatiran finansial dan sejenisnya. Dalam strukturnya, akademi menawarkan lingkungan
persaingan ilmiah dan intelektual kepada para elit intelektual. Dan seperti yang telah kita lihat
sebelumnya, persaingan yang sehatlah yang biasanya kondusif bagi produksi ilmu
pengetahuan.

Namun yang paling penting, seluruh gerakan ini terjadi hampir tanpa biaya bagi keluarga
kerajaan yang menjadi patronnya, karena modal dan tenaga kerja budak yang terkait dengan

252
investasi biasanya datang melalui banyak jalur memutar dari koloni-koloni yang “ditemukan”.
Mengenai lembaga-lembaga ilmiah tersebut, kami hanya mencatat bahwa yang pertama adalah
Academia de Lincei, yang didirikan di Roma pada tahun 1603, kemudian disusul oleh Royal
Society of England pada tahun 1662, dan Academie des sciences Perancis pada tahun 1662.
1666.

Hubungan antara akademi-akademi tersebut dan "penemuan" di Dunia Baru tidak selalu
terlihat jelas. Namun perlu dicatat bahwa yang tertua di antara mereka, Academia de Lincei,
segera menikmati keanggotaan Galileo ca. 1609, yang karyanya untuk angkatan laut komersial
Venesia sangat terkenal.[26] Dan salah satu proyek paling awal dari Academia de Lincei adalah
publikasi ulang survei tanaman obat di koloni baru di Meksiko, yang saat itu disebut Spanyol
Baru. Survei itu adalah diselesaikan beberapa tahun sebelumnya oleh Dr. Francisco Hernandez
(1515-1587), atas permintaan Raja Philip II dari Spanyol (1527-1598). Daripada memverifikasi
yang lebih tua ramuan Dioscorides yang terkenal di "dunia lama" dan jelas Setelah
dieksploitasi sepenuhnya secara komersial pada saat itu, akademi tersebut, dan tentu saja para
pelindung kerajaan sebelumnya, mulai mencari sumber kekayaan baru di Dunia Baru, dan
tanaman obat tampaknya merupakan target yang sangat cocok.

Wajar saja jika lembaga-lembaga seperti akademi, tempat para ilmuwan dibiayai untuk
memajukan penelitian mereka, dan untuk memikirkan ide-ide baru, berada dalam lingkungan
persaingan dengan akademi lain dan keluarga kerajaan, serta persaingan di antara para ilmuwan
itu sendiri. , penemuan ilmiah baru pada akhirnya akan dihasilkan. Situasinya tidak jauh
berbeda dengan kondisi yang kami gambarkan di Bagdad awal abad kesembilan, tanpa institusi
akademi yang dengan cepat menjadi norma di Eropa. Jika satu dari seratus ilmuwan
menghasilkan sesuatu di akademi-akademi yang menghasilkan rejeki nomplok secara
komersial, maka kekayaan yang terkumpul dari ide baru tersebut akan dikembalikan untuk
mendanai ide-ide lain, dan, tentu saja, memungkinkan pelindungnya menyisihkan sebagian dari
keuntungannya.

Dengan cara ini, saya percaya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan utama di Eropa selama
abad keenam belas dan ketujuh belas adalah produk dari siklus kekayaan yang dinamis, yang
sebagian besar dimulai oleh “penemuan” Dunia Baru. Kekayaan mendorong produksi ilmu
pengetahuan lebih lanjut, dan pada gilirannya ilmu pengetahuan memungkinkan diperolehnya
lebih banyak kekayaan, dan seterusnya. Pola ini tampaknya telah ditetapkan pada saat itu. Dan
bagi mereka yang melihat hubungan dekat-hubungan antara perusahaan-perusahaan modern

253
dan produksi ilmu pengetahuan modern, kita dapat dengan mudah melihat ciri-ciri utama dari
siklus dinamis yang sama yang masih berlangsung.

Dengan kecepatan yang meningkat ini, produksi ilmu pengetahuan di wilayah yang sekarang
disebut Eropa mulai tumbuh hampir pada tingkat logaritmik, sehingga negara-negara lain di
dunia harus berjuang dengan sumber daya mereka yang semakin menipis dan cara-cara lama
dalam melakukan ilmu pengetahuan. Dunia Islam, dan juga Tiongkok, hingga saat itu memiliki
status ilmiah yang sama dengan Eropa, seperti yang dicatat oleh Needham lebih dari 50 tahun
yang lalu.[28] Namun dengan dimulainya siklus dinamis baru, kita baru saja disebutkan, yang
mulai bergerak pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, ilmu pengetahuan Eropa mulai
berkembang pesat, dan dunia Tiongkok dan Islam pun tertinggal.

Kembali ke zaman kemunduran peradaban Islam, menurut pendapat saya, zaman kemunduran
ini bukan disebabkan oleh faktor-faktor seperti kitab Ghazali atau invasi bangsa Mongol,
melainkan oleh keadaan dunia luar pada abad ke-16 dan sesudahnya. Dan karena istilah
kemunduran mengandung konteks komparatif, sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka
menurut pendapat saya, apa yang tampaknya terjadi adalah timbulnya perlombaan antara
keluarga kerajaan Eropa dan seluruh dunia, termasuk dunia Islam. Dan dalam perlombaan itu,
dunia Islam kalah. Namun tidak seorang pun boleh lupa bahwa perlombaan sesungguhnya
dimulai pada abad ke-16 sebagai hasil penemuan Dunia Baru, dan bahwa perlombaan ini
merupakan perlombaan antara Eropa, di satu pihak, dan seluruh dunia, di pihak lain.
Perlombaan ini terus meningkat hingga saat ini. Secara relatif, ketika suatu kebudayaan mulai
menghasilkan ilmu pengetahuan yang lebih banyak dan lebih baik, yang pada saat ini mampu
menghasilkan ilmu pengetahuan, maka kebudayaan lain akan terlihat mengalami kemunduran,
apa pun yang terjadi.

Tentu saja, terjemahan dari keunggulan Eropa, dan sekarang juga ditambah Amerika Serikat,
dalam hal komersial, ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi akuisisi lebih lanjut atas sumber
daya dan tenaga kerja dari negara-negara lain, dan penaklukan nyata atas negara-negara lain.
dunia hingga pendudukan militer antara abad kedelapan belas dan kedua puluh, apa yang
disebut sebagai era kolonialisme, yang masih berlangsung di banyak tempat, tidak membantu
menyamakan kedudukan dalam persaingan.

Jadi wajar saja jika dibandingkan dengan semua budaya non-Barat, mereka sepertinya sedang
mengalami zaman kemunduran. Dan kemunduran mereka juga dimulai sekitar tahun 1600,

254
hampir 100 tahun setelah ditemukannya Dunia Baru dan pada masa itu keluarga kerajaan Eropa
belajar bagaimana menerjemahkan manfaat dari penemuan tersebut menjadi kekuatan politik.

Sejauh yang saya tahu, baik sains Islam maupun sains Tiongkok, misalnya, tidak berhasil
memulai siklus yang didorong oleh modal melalui metode produksi mereka. Di dunia Islam,
lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, seperti observatorium, rumah sakit, dan bahkan berbagai
rumah ilmu pengetahuan (yang secara individual disebut daral-'ilm) yang sebagian besar
dilindungi oleh orang-orang kaya, dan kadang-kadang oleh sultan yang berkuasa sendiri,
adalah lembaga-lembaga ilmu pengetahuan. tidak pernah bertujuan untuk memperoleh
kekayaan lebih lanjut, dan tidak pernah mencapai status ekonomi mandiri yang dapat menjamin
kelangsungan hidup dan kelangsungan hidup mereka. Mereka bisa saja menghasilkan
ilmuwan-ilmuwan cemerlang, seperti orang-orang yang karya-karyanya telah kita bahas,
namun mereka tidak bisa menjamin kelangsungan produksi para ilmuwan itu sendiri melalui
keamanan pendapatan dan kedudukan mereka. Akibatnya, produksi ilmiah dunia Islam
terutama didorong oleh individu-individu. jenius tetapi hanya ketika orang-orang jenius itu
secara tidak sengaja bertemu dengan pelindung yang tepat yang akan menawarkan dukungan.

Bagi zaman modern, permasalahan ketertinggalan ilmu pengetahuan barat bukan hanya
permasalahan dunia Islam saja. Sebaliknya, hal ini jelas telah menjadi masalah bagi seluruh
dunia yang disebut dunia kedua dan ketiga.

Dan sekarang mereka semua nampaknya terjebak dalam persaingan yang kompetitif dimana
negara-negara non-Barat tidak memiliki modal, infrastruktur, dan tenaga kerja yang diperlukan
untuk bersaing secara adil. Ditambah lagi dengan pengurasan otak (brain drain) yang
terus-menerus terjadi pada dunia pertama dengan mengorbankan dunia kedua dan ketiga,
sebuah fakta yang membuat perlombaan ini semakin sulit untuk dimenangkan.

255
Catatan dan Rujukan

Bab 1
1. Lihat G. Saliba, “Sains sebelum Islam,” dalam The Different Aspects (Islamic Culture, vol.
4: Sains dan Teknologi dalam Islam, ed. A. al-Hassan, M. Ahmad, dan A. Iskandar, bagian
1 , Ilmu Pengetahuan Alam dan Eksakta (UNESCO, 2001), hal.27-49.
2. Rumusan singkat teori kontak ini, sebagaimana diungkapkan oleh G.E. von Grunebaum,
berbunyi sebagai berikut: “Kecenderungan yang melekat pada asal-usul Islam menjadi
matang di bawah pengaruh kontak-kontak yang tidak disengaja yang tumbuh dari latar
sejarah pada periode tersebut dan, lebih khusus lagi, penaklukan wilayah peradaban tinggi
di Persia, Suriah, dan Mesir oleh umat Islam.” (Islam: Essays in the Nature and Growth of
a Cultural Tradition, Greenwood, 1981, p. 12f., penekanan ditambahkan) Untuk formulasi
lain dari kontak ini, lihat Christopher Toll, "Arabische Wissenschaft und Hellenistisches
Erbe," ed. A. Mercier (Herbert Lang, 1976), hlm.31-57. Bahkan tulisan-tulisan Arab
modern mencerminkan pemahaman ini. Lihat, misalnya, 'Abd al-Ghani, Mustafa Labib,
Dirasat fi tarikh al-ulum 'inda al-'Arab, vol. 1 (Dar al-Thaqafa, 2000), hal. 43.
3. Faktanya, kondisi kebudayaan di Byzantium selama satu setengah abad (641-780) yang
menyertai dan segera setelah kebangkitan Islam pada awal abad ketujuh biasanya
digambarkan oleh kaum Bizantium sendiri dalam ungkapan-ungkapan yang berkisar dari
abad-abad "yang dapat diabaikan". jejak" hingga berabad-abad "Zaman Kegelapan". Lihat,
misalnya, Alexander Jones, "Later Greek and Byzantine Astronomy," dalam Astronomy
before the Telescope," ed. C. Walker (St. Martin's Press, 1996), hal. 104: "Satu setengah
abad antara masa pemerintahan Heraclius dan awal abad kesembilan telah meninggalkan
jejak tulisan astronomi yang dapat diabaikan bagi kita." Lihat juga Warren Treadgold,
"The Struggle for Survival (641-780)," dalam The Oxford History of Byzantium, ed. C.
Mango (Oxford University Press, 2002). Beberapa orang bahkan akan kembali ke satu atau
dua abad ke belakang untuk memasukkan abad keenam dan ketujuh sebagai Abad
Kegelapan, seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh Timothy Gregory dalam A History of
Byzantium (Blackwell, 2005). Kemudian lebih “tercerahkan” abad ke-9 masih menjadi
bahan pokok simposium seperti Byzantium in the Ninth Century: Dead or Alive?ed. L.
Brubaker (Ashgate, 1998). Lihat juga Irfan Shahid, “Islam and Byzantium in the IXth
century: The Bagdad, Dialog Konstantinopel," dalam Kontak Budaya dalam Membangun
Peradaban Universal: Kontribusi Islam, ed. E.Ihsanoglu (Istanbul, 2005) . Mengenai Iran
Sasan, tidak banyak yang diketahui tentang produksi intelektualnya pada periode yang
sama, dan ilmu pengetahuan apa pun yang dikembangkan di sana hanya diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab pada akhir abad kedelapan dan awal abad kesembilan, hanya untuk
segera dibuang dan digantikan dengan bahasa Arab. ilmu-ilmu Yunani klasik yang
menggantikannya. Beberapa buku yang menonjol dari masa pra-Islam, seperti zij-i shah-i,
atau zij-i Shahriyar, yang mana kita hanya mempunyai laporan dari para astronom
kemudian yang bekerja di zaman Islam, dan Kalila wa Dimna yang merupakan yang
diterjemahkan oleh Ibnu al-Muqaffa' pada abad kedelapan memang mirip dengan teks-teks
astronomi dan sastra yang lebih mendasar yang ditemukan pada masa kegelapan

256
Byzantium, atau teks-teks Syria kontemporer, yang sangat terkenal pada saat itu.
4. Tentu saja kita dapat menunjuk pada karya-karya seperti karya Proclus (pertengahan abad
kelima), khususnya Hypotyposis-nya, atau karya Ammonius yang agak belakangan (abad
kelima-pertengahan abad keenam), atau Philoponus (awal abad keenam), atau bahkan
Olympiodorus (pertengahan abad keenam), tapi itu hanyalah karya dasar, atau membahas
tentang astrologi dan bukan astronomi. Bahkan karya Leo sang Matematikawan itu sendiri
ketika dilihat lebih dekat oleh Alexander Jones ("Later Greek and Byzantine Astronomy,"
dalam Astronomy before the Telescope," ed. C. Walker, St. Martin's Press, 1996, p. 104),
dianggap " dipertanyakan (dalam hal) kemampuan Leo untuk menafsirkan karya-karya
yang sangat teknis, karena tulisan-tulisannya yang masih ada sangat sedikit dan tidak
mengesankan."
5. Untuk risalah Hunain yang menceritakan pencariannya terhadap teks Galenik, lihat
Gotthelf Bergstrasser, Hunain b. Ishaq, Uber die Syrischen dan Arabischen
Galenubersetzungen (Leipzig, 1925).
6. Banyak sekali contoh yang menggambarkan teori saku ini. Sumber mana pun yang
menyebutkan kelangsungan hidup Hellinisme di pusat-pusat utama seperti Alexandria,
Antiokhia, Edessa, Harran, Jundishapur, dll. akan menjadi kandidat yang baik untuk tujuan
tersebut. Versi terbaru dari teori tersebut tertanam dalam esai L. E. Goodman "The
Translation of the Greek material into Arab," dalam Cambridge History of Arabian
Literature: Religion Learning and Science in the Abbasid Period (Cambridge University
Press, 1990). tulisan-tulisan Arab modern kantong-kantong tersebut kadang-kadang diberi
arti lebih dengan menyebutnya sebagai sekolah. Lihat, misalnya, Rashid ai-Jumayli,
Harakat al-tarjama fl al-mashriq al-islami fi al-qarnain al-thalith wa-1-rabi' li-1-hijra,
al-kitab (Tripoli, 1982), hal.178f. Meskipun teori ini memiliki kekurangan, namun kita
tetap harus memberikannya lebih banyak penghargaan namun bersikeras untuk
menambahkan peringatan yang memungkinkan adanya pembedaan. antara kelangsungan
hidup aspek-aspek budaya seperti agama, seni, dan musik, aspek-aspek yang mungkin
bertahan di pusat-pusat tersebut, dan aspek-aspek sains dan filsafat yang lebih ketat yang
memerlukan banyak perdebatan dan pemagangan dalam masyarakat terbuka yang akan
mendorong studi-studi semacam itu. kondisi kekaisaran Bizantium, bahkan pada
masa-masanya yang lebih baik (?) pada abad kesembilan, ketika negara tersebut sudah
berhubungan dengan dunia Islam yang lebih maju pada saat itu, diilustrasikan dengan baik
oleh kehidupan Leon sang Filsuf/Matematikawan terkenal yang diceritakan dengan sangat
baik oleh Paul Lemerle dalam Le Premier Humanisme Byzantin (Presses Universitaires de
France, 1971), di mana kita diberitahu (hal. 148f.) bahwa Leon hanya bisa belajar tata
bahasa dan puisi di ibu kota Konstantinopel. Untuk mendapatkan pengajaran yang lebih
mendasar dalam ilmu-ilmu lain, dia harus melakukan perjalanan ke tempat-tempat lain
yang kurang penting di mana dia dapat memperoleh dasar-dasar ilmu-ilmu tersebut dari
satu orang pada satu waktu. Kisah selanjutnya menceritakan upaya besar yang harus
dilakukan Leon untuk mendapatkan pengajaran dalam ilmu-ilmu lain, hanya untuk
diserang habis-habisan oleh muridnya sendiri, Constantine dari Sisilia, yang mengatakan
tentang dia bahwa dia "enseigne toute cette science profan dont les anciens se sont
enorgueillis, et qui a perdu son ame dans cette mer d'impiete" (Lemerle, p. 1 73).
7. Untuk bab brilian tentang "Humanisme Bizantium" pertama, yang menjadi saksi
kebangkitan minat terhadap manuskrip ilmiah Yunani dan perpindahannya ke
tangan-tangan kecil dalam skala besar selama abad kesembilan untuk pasar terjemahan
Bagdad, lihat Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (Routledge, 1998), hlm.1
75-186.
8. Faktanya Alexander Jones (“Later Greek and Byzantine Astronomy,” hal. 105)
mengatakan hal berikut tentang manuskrip-manuskrip tersebut: “Tetapi kurangnya koreksi

257
yang dilakukan oleh juru tulis atau pemiliknya juga menunjukkan bahwa, meskipun
kemegahannya, manuskrip-manuskrip ini lebih ditujukan untuk tulisan-tulisan asli dari
abad ke-9 dan ke-10, baik yang berada di pinggir naskah-naskah kontemporer yang masih
ada maupun salinan-salinan yang ada setelahnya, sangatlah menyedihkan dan langka. Kita
dapat menyimpulkan bahwa pemahaman praktis mengenai astronomi hanya didukung oleh
segelintir orang saja, selain para astrolog, yang salinan karyanya dari teks-teks lama
mungkin lebih mudah rusak daripada harta karun para bibliofil yang sampai kepada kita,
namun keberadaannya terungkap melalui horoskop atau anekdot yang aneh."
9. Lihat "Kosmologi" dalam Oxford Dictionary of Byzantium, Oxford University Press, 1991,
hal. 537, di mana pandangan-pandangan Cosmas ini diklaim sebagai ciri khas
pandangan-pandangan "mazhab" Antiokhia, salah satu dugaan kantong utama transfer
pengetahuan Helenistik ke dalam Islam.
10. Lihat G. Saliba, "Paulus Alexandrinus in Syriac and Arab," Byzantion, 1995, 65: 440-454.
11. Masih tersimpan dalam karya bio-bibliografi abad ketiga belas Ibnu Abi Usaybi’a, 'Uyun
al-Anba' fl Tabaqat al-Atibba', ed. Richard Muller, Konigsberg, 1884, jilid. 2, hal. 134 dst.
12. Max Meyerhof, "Von Alexandrien nach Bagdad: Ein Beitrag zur Geschichte des
Philosophischen und medizinischen Unterrichts den Araben," Sitzungsberichte der
Berliner Akademie der Wissenschaften, Philologisch-historische Klasse, 1930: 389-429.
13. Paul Lemerle, Le Premier Hunanisme Byzantin: Notes et remarques sur enseignement et
culture a Byzance des origins au X' siecle (Presses Universitaires de France, 1971), hal.
25.
14. Lihat entri rinci dalam suplemen Ensiclopedia lranica untuk Paulus orang Persia dan
karya-karyanya, tersedia di http://www.iranica.com. Untuk pembahasan yang lebih luas
dan kutipan literatur yang relevan lihat juga artikel Dimitri Gutas, "Paul the Persia on the
Classifications of the Parts of Aristoteles Philosophy: A Milestone between Alexandria
and Baghdad," Der Islam 60 (1983): 231-267 ,terutama catatan di hal. 239 membahas
identitas Paulus ini, dan keputusan tentang Paulus yang rupanya menulis "pengantar
Logika dalam bahasa Siria". Catatan berikut dalam artikel yang sama, dan catatan 29 di
halaman 244, menyatakan "bahwa Pengantar Logika juga awalnya disusun dalam Pehlevi."
Jika pernyataan terakhir ini benar, maka bahasa Syria dalam hal ini mungkin bertindak
sebagai perantara antara Pehlevl dan Arab, bukan Yunani dan Arab, yang mungkin
memang demikian. Namun hal ini tidak mempengaruhi sifat dasar isi risalah jika
dibandingkan dengan sumber-sumber klasik.
15. Lihat Saliba, "Paulus Alexandrinus."
16. F. Nau, "Le traite de l'astrolabe plan de Severe Sebokt, publie pour la premiere fois d'apres
un Ms. de Berlin," Journal Asiatique, 1 3 (1899), 56-101, 238-303.
17. Untuk karya astronominya yang lebih berkaitan dengan ilmu pengetahuan rakyat Babilonia
kuno daripada ilmu pengetahuan Yunani yang canggih, lihat V. Ryssel, "Die
Astronomischen Briefe Georgs des Araberbischofs," Zeitschrift fur Assyriologie und
verwandte Gebiete 8 (1893): 1-55, dan Otto Neugebauer, A History of Ancient
Mathematical Astronomy [HAMA] Springer-Verlag, 1975, hlm.597, 707, 720.
18. Lihat F. Nau, "La plus ancienne mention orientale des chiffres indiens," Journal Asiatique
16 (1910): 225-227.
19. Di tempat yang sama.
20. Lihat Goodman, "Terjemahan," hal. 478.
21. Lihat catatan Muhammad Diyab al-Itlidl, I’lam al-nas bi-ma waqa'a li-1bariimika ma 'a
bani al-'abbas, Beirut, 1990, hal. 244f.
22. Gutas, Pemikiran Yunani, Kebudayaan Arab, hal.36-41.
23. Lihat al-Nadim, al-Fihrist, hal. 393. Berbagai referensi selanjutnya terhadap karya ini akan
mengacu pada edisi Yusuf 'Ali Tawil, Beirut, 1996, dan akan disebut sebagai Fihrist,

258
kecuali dinyatakan lain.
24. Untuk analisis singkat mengenai zzj ini dan bibliografi penilaian lain mengenai pentingnya
hal ini, lihat ES Kennedy, "A Survey of Islamic Astronomical Tables," Transactions of the
American Philosophical Society, New Series, 46, no. 2 (1956), hal. 129f. Lihat juga D.
Pingree, "The Greek Influence on Early Islamic Mathematical Astronomy," Journal of
American Oriental Society 93 (1973): 32-43.
25. Lihat C. Nallino, 'ilm al-Falk: Tarikhuhu' ind al-'Arab fi al-quriin al-wustla (Roma, 191 1),
hal. 193-196.
26. Sekarang tersedia dalam versi Arab dengan terjemahan bahasa Inggris dan fragmen
Yunani (D. Pingree, Dorotheus Sidonius Carmen Astrologicalum, Teubner, 1976).
27. Kisah ini diuraikan dan didekonstruksi dengan elegan oleh Gutas (Pemikiran Yunani,
Kebudayaan Arab, hal. 75-105, khususnya 97f.). Saya menggunakan cerita versi Arab
yang disimpan dalam Fihrist, hal. 397f.
28. Mengenai kedua istilah ini, Mu'tazila dan mihna mereka, lihat Ensiklopedia Islam, edisi
baru (selanjutnya disebut El), sv "Mu'tazila" dan "mihna."
29. El, jilid. I p. 272f.
30. Sebuah catatan di halaman judul salah satu terjemahan bahasa Arab Almagest, yang
sekarang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden (Or. 680), berbunyi “Buku ini
diterjemahkan atas perintah imam al-Ma'mun 'Abdallah, panglima orang beriman."
31. Lihat, misalnya, Geographic d'Aboulfeda, ed. M. Reinaud, yaitu Abu al-Fida', Taqwim
al-Buldan, Paris, 1840, hal. 14.
32. Untuk status manuskrip di Konstantinopel pada waktu itu, dan tingkat ilmu pengetahuan di
kota itu, lihat Gutas, Greek Thought, hal. 175-186, dan lihat anekdot Leo sang
Matematikawan yang disebutkan sebelumnya.
33. Lihat misalnya laporan tentang asuh ketiga putra Musa pada masa kekhalifahan
al-Mutawakkil sebagaimana dilaporkan oleh Hunain b. Ishaq, penerjemah utama pada
masa itu, dalam risalah yang diedit oleh Bergstrasser, dan upaya mereka dalam menggali
kanal-kanal yang tampaknya mereka sub-kontrakkan kepada anak didik mereka Ibnu
Kathir al-Farghani (meninggal setelah tahun 861). Kisah kegagalan proyek ini dan
penyelamatan Banu Musa oleh matematikawan dan insinyur Sanad Ibn 'Ali (w. 864)
diceritakan dalam Tabaqat al-Atibba' karya Ibn Abi Usybi'a’s, vol. I p. 207f.
34. Lihat, misalnya, karya polimatik abad kesebelas Abu al-Rail;lan alBlri.inl, Chronology of
Ancient Nations, ed. E. Sachau, hal. 263.
35. Tentang peran yang dimainkan oleh para astrolog tersebut dalam mengambil alih
sumber-sumber India di bawah naungan khalifah al-Mansur, lihat Nallino, hal. 141-215.
36. Mengenai fragmen yang masih ada dari karya kedua astronom tersebut, lihat David
Pingree, "The Fragments of the Works of al-Fazari," Journal of Near Eastern Studies 29
(1970), hal. 103-123; Pingree, “Fragmen Karya Ya'qub ibn Tariq,” Jurnal Studi Timur
Dekat 26 (1968): 97-125.
37. Lihat al-Nadim, Fihrist, hal. 437.
38. Fihrist, hal. 400
39. Untuk laporan terjemahan Almagest pada masa Khalid al-Barmaki, lihat Fihrist, hal. 430.
Laporan yang lebih kecil kemungkinannya tentang peran al-Mani.ir dalam transmisi
Almagest terdapat dalam beberapa teks, di antaranya teks al-Mas'udi, Muruj al-Dhahab
(Les Prairies d'Or ), edisi. C. Barbier de Meynard, Paris, 1874, jilid. 8, hal. 291.
40. Lihat edisi dan terjemahan karya Frederic Rosen, The Algebra of Mohammed ben Musa,
London, 1831, reprt. 1986, dan untuk orisinalitas Khawarizmi lihat Roshdi Rashed, "I'Idee
de l'Algebre Selon Al-Khawarizmi," Fundamenta Scientiae 4 (1983): 87-100.
41. Untuk argumen serupa lihat Carl Boyer, A History of Mathematics (New York, 1968),
reprt. 85, hal. 252.

259
42. F. Sezgin, Geschichte des Arabischen Schrifttums, vol. VI (Leiden, 1978), hal. 182.
43. Roshdi Rashed, l'Art de l'Algebre de Diaphonte, teks Arab pertama kali diedit dan
diterbitkan di Cario, 1975, kemudian diedit ulang dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Prancis oleh Rashed juga, dan diterbitkan di Paris 1984. Lihat juga Rashed, "Masalah
Transmisi Pemikiran Ilmiah Yunani ke Bahasa Arab: Contoh dari Matematika dan Optik,"
History of Science 27 (1989), hlm. 199-209, dicetak ulang dalam Roshdi Rashed, Optique
et mathematique (Variorum, 1992), khususnya. P. 203f.
44. Untuk proyeksi khusus Habash ini, lihat E. S Kennedy, P. Kunitzsch, dan R. P Lorch, The
Melon-Shaped Astrolabe in Arabian Astronomy, Stuttgart, 1999. Untuk survei karya
trigonometri dan astronominya dengan referensi bibliografi lebih lanjut, lihat
Marie-Therese Debarnot, "The Zij of Habash al-Hasib: A Survey of Ms Istanbul Yeni
Cami 784/2," dalam From Deferent to Equant: Annals of the New York Academy of
Sciences 500 (1987): 35-69. Untuk perkembangan yang lebih tepat dalam fungsi
trigonometri, lihat Kennedy, Survey of Islamic Astronomical Tables, hal. 151f. Untuk studi
yang lebih panjang mengenai jenis proyeksi yang dihasilkan oleh Habash dan dampaknya
terhadap generasi selanjutnya, lihat David King, World- Peta Mencari Arah dan Jarak ke
Mekkah: Inovasi dan Tradisi dalam Ilmu Pengetahuan Islam, Brill, 1999.
45. A.S. Saidan, Aritmatika l-Uqlidisi, Boston, 1978, hal. 343.
46. Yang patut dipuji adalah posisi serupa yang dipegang oleh Roshdi Rashed dalam bukunya
yang berjudul “Problems of the Transmision,” di mana ia berbicara tentang periode
penerjemahan sebelum masa Abbasiyah, namun dicirikan sebagai “inisiatif individu,” dan
selanjutnya mengklaim bahwa gerakan penerjemahan harus menunggu periode kedua dari
"kepentingan yang tak tertandingi... [ketika] penerjemahan telah menjadi bagian dari
aktivitas yang jauh lebih luas yang mungkin disebut dengan judul yang menggugah
"pelembagaan ilmu pengetahuan", hal. 200. Namun sayangnya, Rashed menjelaskan
gerakan penerjemahan pada masa awal Bani Abbasiyah bergantung pada keinginan para
khalifah dan banyaknya keberadaan ilmuwan tanpa menjelaskan bagaimana keinginan dan
ilmuwan tersebut muncul. A.I. Sabra juga mengajukan penjelasan serupa dalam artikelnya
yang menggugah pikiran, “The Appropriation,” Hal yang patut disyukuri juga adalah
Sabra dalam artikel ini berbicara tentang sebuah proses "apropriasi" dan bukannya
"kontak" atau perjumpaan dengan "kantong-kantong" dan orang dapat membacanya
dengan mengatakan bahwa peradaban Islam mencari teks-teks Yunani klasik kuno dan
tidak memuaskan dirinya sendiri. dengan apa yang tersedia di Byzantium pada saat itu.
47. Ptolemeus, Almagest, I.15. G. Toomer, Almagest Ptolemy, New York, 1984, hal. 72.
48. Lihat Sejarah Singkat Ilmu Pengetahuan di India, ed. D. Bose, S. Sen, dan B.
Subbarayappa, New Delhi, 1971, hal. 107
49. Lihat Kennedy, Survei, hal. 145, untuk nilai 23;33° pada mumtahan zij, dan halaman 151,
153, dan 154, untuk nilai 23;35° pada karya Habash, dan al-Battani dari abad berikutnya.
JADI. Untuk nilai 1/66 tahun atau 1/70 tahun, lihat Kennedy, Survey, hal. 146. Untuk
tabulasi nilai-nilai lain dalam zijes yang sama dan lainnya, lihat ibid., hal. 150f.
50. Untuk kritik teoretis terhadap Muhammad, lihat G. Saliba, "Early Arabia Critique of
Ptolemaic Cosmology: A Ninth-Century Text on the Motion of the Celestial Spheres,"
Journal for the History of Astronomy 25 (1994): 1 15- 141. Untuk kritik terhadap
metodologi pengamatan oleh tiga bersaudara atau seseorang di lingkaran mereka, lihat O.
Neugebauer, Thabit Ben Qurra "On the Solar Year" dan "On the Motion of the Eighth
Sphere," terjemahan dan komentar, Proceedings of the American Philosophical Society
106 (1962): 264-299, dan Regis MoreJon, Thabit Ibn Qurra: Oeuvres d'Astronomie, Paris,
1987, hal. xlvi-lxxv, 26-67, 189-215.
51. Neugebauer, "Thabit"; Morelon, Thabit; Saliba, "Early Arabic."
52. Karya besar Jazari al-Jami’ Bain al-‘ilm wa-l-‘amal al-nafi’ fi sina’at al-hiyal

260
(Menggabungkan Teori dan Praktek Bermanfaat dalam Kerajinan Seni Mekanik) pertama
kali diterjemahkan ke dalam bahasa Bahasa Inggris oleh Donald Hill sebagai The Book of
Knowledge of Ingenious Mechanical Devices, Dordrecht 1974, dan baru kemudian diedit
oleh Ahmad Yousef al-Hassan, dengan judul lengkap dalam bahasa Arab, Aleppo, 1979.
Lihat juga ulasan saya tentang bidang dan pentingnya judul bahasa Arab Jazari dalam G.
Saliba, “The Function of Mechanical Devices in Medieval Islamic Society,” Annals oft he
New York Academy of Sciences 441 (1985 ): 141-151. Selanjutnya lihat Ahmad
al-Hassan dan Donald Hill, Islamic Technology: An Illustrated History, Unesco dan
Cambridge University Press, 1986.
53. El2, I, 98.
54. Untuk karya astronom ini lihat edisi kritis dari karya besarnya dan berbagai referensi
bibliografi untuk karyanya yang lain dalam G. Saliba, The Astronomical Work of
Mu'ayyad al-Din al-Urdi (w. 1266): A Thirteenth Century Reform of Ptolemaic Astronomy,
'Urdi's Kitab a/-Hay'a, Beirut, 1990, 1995, edisi koreksi ketiga tahun 2001. Lihat referensi
lain tentang dia dan juga astronom lain pada periode selanjutnya di G. Saliba, Sebuah
Sejarah Astronomi Arab: Teori Planet Pada Masa Keemasan Islam, New York, 1994.
55. Karya astronomi utama Tusi al-Tadhkira sekarang diedit dengan terjemahan dan komentar
oleh F.J. Ragep, , Nasir al-Din al-Tusi's Memoir on Astronomy, New York, 1993.
56. Produksi produktif astronom ini terlihat jelas, dengan tiga karya astronomi utamanya,
masing-masing melebihi 200 folio dalam berbagai salinan manuskrip yang masih ada.
Produksi ekstensif itu sendiri mungkin membuat edisi kritis karyanya menjadi tugas yang
sulit. Namun cukup banyak ide novelnya yang diekstraksi dan diterbitkan dalam beberapa
publikasi. Lihat, misalnya, E.S Kennedy, "Late Medieval Planetary Theory," Isis 57 (1966):
365-378, esp. hal. 371-377, dan G. Saliba, "Sumber Asli Model Planet Qutb al-Din
al-Shirazi," Jurnal Sejarah Ilmu Pengetahuan Arab 3 (1979): 3-18. Untuk informasi lebih
lanjut tentang astronom ini, lihat Kamus Biografi Ilmiah, vol. 11 , New York, 1975,
hlm.247-253.
57. Meskipun banyak yang diketahui tentang karya astronom ini, karya teoritis utamanya
mengenai astronomi planet, kitab nihayat al-sul fi tashib al-usul (Pencarian Utama dalam
Perbaikan Prinsip-Prinsip [Astronomi]), telah baru saja diedit oleh penulis sekarang dan
masih menunggu publikasi. Apa yang muncul di media cetak adalah deskripsi karya
astronom ini dan telah dikumpulkan oleh E.S Kennedy dan Imad Ghanim dalam The Life
and Work of Ibn al-Shatir, Aleppo, 1976, yang harus ditambahkan G. Saliba, "Theory and
Observasi dalam Astronomi Islam: Karya Ibnu al-Shatir dari Damaskus (1375)," Journal
for the History of A stronomi 18 (1987): 35-43, dan Dictionary of Scientific Biography,
volume 12, 1975, pp. 357-364.
58. Salah satu karya astronomi teoretis utama astronom ini telah diterbitkan oleh penulis saat
ini dalam G. Saliba, "AI-Qushji's Reform of the Ptolemaic Model for Mercury," Ilmu
Pengetahuan dan Filsafat Arab 3 (1993): 161-203.
59. Fekunditas astronom ini mirip dengan Shirazi, dan seperti dia, banyak karyanya yang
belum dipublikasikan. Penulis saat ini telah mencurahkan serangkaian artikel kepadanya
dalam upaya untuk membuat beberapa gagasannya setidaknya diketahui. Artikel yang
paling penting adalah sebagai berikut: G. Saliba, "A Sixteenth-Century Arabia Critique of
Ptolemaic Astronomy: The Work of Shams al-Din al Khafri," Journal for the History of
Astronomi 25 (1994): 1 5- 38; Saliba, "Penempatan Kembali Matematika dalam Kritik
Arab Abad Keenambelas terhadap Astronomi Ptolemeus," dalam Perspectives arabes et
medievales sur Ia tradition scientifique philosophique grecque. Actes du Colloque de Ia
S.I.H.S.P.A.I (Societe internationale d'histoire des sciences et de Ia Philosophie arabe et
Islamique), Paris, 31 mars-3 avri1 1993, ed. A. Hasnawi, A. Elamrani-Jamal, dan M.
Aouad, Peeters, Leuven-Paris, 1997, hlm.105-122; Saliba, "Tantangan Utama bagi

261
Astronomi Yunani: Hall ma Ia Yanhall of Shams al-Din al-Khafri (w. 1550)," dalam Sic
Itur Ad Astra: Studien zur Geschichte der Mathematik und Naturwissenschaften,
Festschrift fiir den Arabisten Paul Kunitzsch zum 70. Geburstag, Harrassowitz Verlag,
2000, hlm.490-505.
60. Kamus Biografi Ilmiah, vo!. 7, 1973, hal.212-219.
61. Lihat al-Jami' li-Mufradat al-Adwiya wa-l-Aghdhiya, Bulaq, 18 7 4.
62. Meskipun karya dokter ini masih relatif kurang dipelajari, kini banyak yang dapat
dikumpulkan dari artikel yang dikhususkan untuknya di Kamus Biografi Ilmiah, vol. 9,
1974, hal.602-606.
63. O. Neugebauer, "Studi dalam Terminologi Astronomi Bizantium," Transactions of the
American Philosophical Society, Seri Baru, SO (1960): 1-45.
64. David Pingree, The Astronomical Works of Gregory Chioniades, Amsterdam, 1985;
Pingree, "Gregory Chioniades dan Paleologan Astronomi," Makalah Dumbarton Oaks 18
(1964): 133-160.
65. A. Tihon, "L'astronomie byzantine (du Ve au XVe siecle)," Byzantion 51 (1981): 603-624,
dan artikelnya yang lain kini dikumpulkan di A. Tihon, Etudes d'astronomie byzantine,
London, 1994 .
66. Maria Mavroudi, Buku Bizantium tentang Interpretasi Mimpi: The Oneirocriticon of
Achmet dan Sumber-Sumber Arabnya, Leiden, 2002.
67. Karena mahalnya biaya penerbitan ilustrasi yang saya perlukan untuk artikel tersebut, saya
memutuskan untuk menerbitkannya di World Wide Web di http://www.columbia.edu, di
mana saya juga menyediakan tautan ke beberapa manuskrip yang diberi keterangan oleh
Postel dan lain-lain.
68. Paris, 1893.
69. Ibid., hal. 338.
70. Ibid
71. Paris, 1899.
72. Ibid., hal. 32 tr, 36 syr.
73. Ibid., hal. 42tr. 47 tuan.
74. Ed. A. Sabra dan N. Shehaby, Kairo, 1971.
75. Lihat Kamus Biografi Ilmiah, s.v Ibnu al-Nafis.
76. Ed. Mehdi Mohaghegh, Teheran, 1993.

Bab 2
1. Lihat Al-Fihrist.
2. Ibid., hal.391-398.
3. Sedikit yang kita ketahui tentang penulis al-Nahmatiin dapat ditemukan di Sezgin,
Geschichte des Arabischen Schrifttums, vo!.VII, hal. 1 14, meskipun di sana bukunya
disebut al-Yahbutan.
4. Al-Fihrist, hal.391-393.
5. Raja mitologis Persia ini tampaknya merupakan asal muasal semua legenda peradaban
Persia, entah bagaimana memainkan peran yang mirip dengan Hermes. Namanya biasanya
dikaitkan dengan jabatan raja pertama, tulisan pertama, bangunan pertama, dll. Nama
ayahnya dieja dalam berbagai cara: Sebelumnya di Fihrist, dan dengan ejaan yang sama, ia
dikaitkan dengan bahasa Persia, Fihrist, p . 23. Tabari, Tarikh al-rusul wa1-muluk, Beirut,
1987, vol. 1, hal. 109, dan Ibn al-Athir, al-Kamil fa al-Tarikh, Beirut, 1995, vol. 1, p. 52,
mengeja namanya sebagai Uyunjihan (wywnjhn). Yaqut, Mu’jam al-buldan, Beirut, 1979 ,
vol.3, hal.1 70, s.v saruq, dieja sebagai Nujihan Semua variasi ini menggarisbawahi sifat
legendaris dari laporan ini seperti yang akan dibahas nanti.
6. Teukreus, Sezgin, Geschichte des Arabischen Schrifttwns, jilid. VII, hal. 71f.

262
7. Fihrist, hal. 393.
8. Saya mengacu, misalnya, pada panjang bulan lunar Babilonia, 29;31,50,8,20 hari, yang
dilaporkan oleh Ptolemeus dalam Almagest IV, 2, sebagai nilai yang telah diadopsi oleh
Hipparchus sebelum dia. Lihat juga Asger Aaboe, "On the Babylonian Origin of Some
Hipparchian Parameters," Centaurus 4 (1955-56): 122-125.
9. Tentang Masya'allah, lihat Pingree dan Kennedy, Astrological History of Mashaallah,
Cambridge, 1971 .
10. Lihat supra, bab. 1 , dan Ibn Abi Usaybi'a, 'Uyun al-Anba' fi Tabaqat al-Atibba', ed.
Richard Muller, Konigsberg, 1884, vol. 2. p. 134ff.
11. Pingree dan Kennedy, Sejarah Astrologi.
12. Fihrist, hal.393-395. Mengenai Abu Ma'shar sendiri, dan tulisan-tulisannya, lihat entri
ekstensifnya dalam Dictionary for Scientific Biography, New York, 1 970-, vol. 1,
hal.32-39.
13. Nishwar al-muhadara wa akhbar al-mudhakara, ed. A. Shalji, Beirut, 1971-1 973, IV, hal.
66, juga dikutip dalam G. Saliba, "The role of the astrologer in Medieval Islamic Society,"
Bulletin d'Etudes Orientales 44 (1992): 45-68, hal. 53 hal. 47, ulangan. dalam Sihir dan
Ramalan di Awal Islam, ed. Emilie Savage-Smith, Ashgate-Variorum, London, 2004,
hlm.341-370.
14. Untuk mengetahui gaung cerita ini, lihat Biruni, Kronologi, hal. 27f.
15. Fihrist, hal. 395.
16. Ibid
17. Kronologi, hal. 169.
18. Untuk pembelaan Abu Ma'shar terhadap astrologi melawan musuh-musuh pada zamannya,
lihat G. Saliba, "Islam Astronomy in Context: Attacks on Astrology and the Rise of the
Hay'a Tradition," Bulletin of the Royal Institute for Inter-faith Studies, 2002, 4: 25-46.
19. Ibnu Khaldun, The Muqaddimah, Princeton, 1958, vol. 3, hal. 263.
20. Untuk gambaran literatur tersebut, lihat Kennedy, Survey, 1956, dan yang terbaru El2, s.v
zidj, vol. XI, hal. 496.
21. Fihrist, hal. 395f.
22.
23. Untuk laporan yang lebih dapat diandalkan mengenai perang ini dan dampaknya, lihat
Peter Sarris, "The Eastern Roman Empire from Constantine to Heraclius (306-641),"
dalam Cyril Mango, ed., The Oxford History of Byzantium, Oxford, 2002, hal.19-59.
24. Fihrist, hal. 396
25. Lihat laporan serupa, dalam karya penulis abad kesepuluh lainnya, ai-Mas'udi (w. 957),
Les Praries d'or, Paris, 1914, vol. II, hal. 320f.
26. “Humanisme pertama” ini harus memiliki nuansa yang sama dengan yang digunakan oleh
murid utamanya, Paul Lemerle, dalam Le premier Humanisme, ketika ia berkata: “Quel
sens peut avoire I’humanisme, quand tout est tendu vers un depassement de l'humain? . . .
Les Grecs de Byzance . . . l isent peu, ils se con ten tent aisement de florileges, de recueils
de itations, de glossaries, de commentaries, de manuels; ils ne cherchent pas I' e sprit, tout
parait se ramener a des procedes.Souvent leur erudition nous surpend: mais, a bien teller,
Ia sastra antik est-elle pour eux autre memilih qu'un broade magasin d'accessoire, au
service d'une "rhetorique" komplimen yang cerdas?" P. 306. Lihat juga pembahasan yang
sangat relevan mengenai kondisi Bizantium pada saat itu dalam Dimitri Gutas, Greek
Thought Arabian Culture, hal. 175-178.
27. Untuk berbagai misi memperoleh buku-buku dari Byzantium dan kondisi penyimpanannya
di sana lihat catatan ai-Nad!m di bawah, dan al-Qifti, Ta'rikh al-hukama', Leipzig, 1903,
hal. 29f; Youssef Eche, Les Bibliotheques Arabes, Damas, 1967, hal. 28f. Tentang misi
Ma'mun kepada raja Siprus untuk memperoleh buku-buku Yunani dan diskusi mengenai

263
pengaruh buku-buku tersebut terhadap umat Kristen dan keinginan untuk mengirimkannya
ke al-Ma'mun dengan harapan dapat merusak umat Islam dengan buku-buku tersebut, dan
diskusi mengenai sifat terjemahannya sendiri, lihat Salah al-Din b. Aybak al-safadi (wafat
1362), Al-Ghayth al-musajjam fi sharh lamiyat al-'ajam, Beirut, 1997, hal. 87f
28. Qiftl, Ta'rikh, hal. 29.
29. Untuk bibliografi rinci tentang penulis Syria ini, lihat Albert Abuna, Adab al-Lugha
al-Aramiya, Beirut, 1970, pp. 231-233.
30. Ibid., hal.363-365.
31. Ibid., hal.375-377.
32. Ed. Mingana, Heffer, Cambridge, 1935.
33. F. Nau, "catatan d'astronomie syrienne," fA, 2e ser. T. xvi, 1910, hal. 225f.
34. Fihrist, hal. 396f.
35. Teks tersebut memiliki zada nfrwkh (Zada Nifrukh?), yang kemungkinan besar adalah
Zadan Farrukh.
36. Teksnya ada sabiy yang harus sababl (link saya = yaitu penyebab penghidupan saya).
37. Fihrist, hal. 397.
38. Dalam hal itulah istilah "apropriasi" Lemerle, yang kemudian digunakan oleh Sabra,
memperoleh arti khusus dalam kemampuannya untuk menjelaskan maksud dari sumber
klasik al-Nadim ini.
39. Lihat uraian singkat mimpi ini pada bab sebelumnya, yang dikutip di sini secara lebih rinci
karena pentingnya mimpi ini bagi pembahasan kita saat ini.
40. Fihrist, hal. 397.
41. Ibid., hal. 397f.
42. Ibid., hal. 398.
43. Seperti yang dikatakan Lemerle: "ils lisent peu, ils se contentent aisement de florileges, de
recueils de itations, de glossaries, de commentaries, de manuels; . . . i ls ne cherchent pas."
Bagi mereka teks-teks klasik ilmu pengetahuan dan filsafat tingkat tinggi telah menjadi
"magasin d'accessoire yang luas", sebagaimana telah dicatat lagi oleh Lemerle.
44. Kebanyakan penulis yang membahas tentang transmisi ilmu pengetahuan Yunani ke Arab
menyebut cerita tentang Khalid sebagai legenda. Lihat misalnya, F. Rosenthal, The
Classical Heritage in Islam, Routledge, London, 1965, hal. 3, di mana dia berkata: "Oleh
karena itu, kita sebaiknya membuang kisah persis aktivitas penerjemahan alkimia Khalid
ke ranah legenda." Lihat juga Manfred Ullman, Die Medizin im Islam, Leiden, Brill, 1970,
di mana ia berkata: "Dass der Umaiyadenprinz Halid b. Yaz!d (gest. 85/704) dafiir gesorgt
habe, dass alchemitische und medizinische Bucher ins Arabische ubersetzt wurden , gehort
wiederum der wissenschaftlichen Legende an," hal. 22.
45. Abu Hilal al-'Askari, Kitab al-awa'il, Beirut, 1997, hal. 185f.
46. Rosenthal, Warisan Klasik, hal. 4f, di mana ia juga mengirimkan pembaca untuk
konfirmasi lebih lanjut atas penafsiran ini pada karya R. Paret, Der Islam und das
griechische Bildungsgut, Tubingen, 1950.
47. ​ ​ Al-Jahshiyari, Beirut, 1988, hal. 29f.
48. Al-Jahshiyari, Kittib a/-Wuzara', hal. 29f.
49. Khawarizmi mengatakan bahwa ia menyusun bukunya tentang Aljabar untuk menjawab
kebutuhan manusia yang "terus-menerus memerlukan dalam hal pewarisan, warisan,
pembagian, tuntutan hukum, dan perdagangan, dan dalam semua urusan mereka satu sama
lain, atau di mana pengukuran tanah, penggalian kanal, perhitungan geometri, dan
objek-objek lain dari berbagai macam dan jenis yang bersangkutan .... "The Algebra of
Muhammad ben Musa, tr. Frederic Rosen, London, 1831, hal. 3.
50. Lihat Rashed, "I'Idee de I' Algebre."
51. Ibnu Qutayba, Adab al-katib, ed. Muhammad al-Dali, Beirut, edisi kedua. 1996, hal. 12f.

264
52. Ibnu Qutayba, Kittib al-anwa', Hyderabad, 1956.
53. Abu al-Wafa' al-Buzjani, Ma yahtaj ilaih al-Sunna'min 'ilm al-handasa, Bagdad, 1979; Abu
al-Wafa' al-Buzjani, Ma yahtaj ilaih al-kuttab wa-1-‘ummal wa-ghairihim min 'ilm al-hisab,
dalam AS Saidan, Abu al-Wafa' al-Buzjanli: 'ilm al-hisab al-'arabi, Amman, 1971.
54. Muhammad b. Ahmad b. Yusuf al-Khawarizmi al-Katib, Mafatih al-'ulum, ed. G.van
Vloten, Leiden, 1895.
55. Ibnu Mamati, Qawanin al-Dawawin, ed. Aziz Atiya, Kairo, 1943.
56. Muhammad b. Muhammad b. al-Ukhuwwa, Maalim. . . , edisi. Reubin Levey, Cambridge,
1938.
57. Jahshiyari, hal. 30.
58. Ibid.
59. Ibid.
60. Ibn Qutayba, ‘Uyum al-akhbar, Beirut, 1997, hal. 48, Ibnu Khaldun, Muqaddima, vol. 2,
hal.102, 352.
61. Dalam kasus Sergius, lihat G. Saliba, "Paulus Alexandrinus in Syriac and Arab,"
Byzantion 65 (1995): 440-454, esp. P. 443 di mana Sergius mengatakan: "Posisi matahari
yang tepat, bagaimanapun, diketahui dari buku kedua Tabel, dan perhitungan Claudius
Ptolemaeus. Tetapi jika seseorang ingin mengetahui, secara sederhana, di mana matahari
berada ditemukan, ia menghitung sebagai berikut: "Adapun Severus Sebokht, dan ketika
berdebat dalam teks yang sekarang disimpan di Bibliotheque Nationale de France (Syr.
346) fol. 59v et seq.) bahwa fenomena gerhana bukan disebabkan oleh suatu makhluk
metafisik yang disebut Atalia, tetapi karena fenomena alam yang dapat dihitung dan
diprediksi, ia berkata sebagai berikut: "Les calculs a l'aide desquels on trouve tepatement
ces noeuds (ascendant and descendant) dengan penyebab-penyebabnya, yang merupakan
hidup yang disebut Regie (canon) des calculs, fait par l'astronome Ptolemee sur Ia course
dan le mouvement de tous les astres. et l'aient suivi, il a brille a lui seul, dans I'a rt de
l'astronmie, plus que taus les anciens et les modernes (ensemble).C'est d'apres sa pensee
que nous venons de placer les cause tepat dan benar tabel gerhana, dan mobil kita avons pu
puiser une petite goutte de Ia grande mer de sublime science qui est dans ses ecrits, pour a
dresser un rappel, c'est-a-dire un stimulant, aux amis du travail ( qnA.oJtovm) pour qu'ils
s'appliquent encore et ne se relachent pas de !'amour de Ia sagesse (<JltA.ocroqna) bien
que les adversaires ouvrent fortement Ia bouche et aiguisent Ia lange (contre eux)."
diterjemahkan oleh F. Nau, dalam Revue de l'Orient Chretien, 3e serie 7, no. xxvii
(1929-30 : 327-338, khususnya hal. 330.
62. G. Saliba, “Kompetisi dan Transmisi Ilmu Pengetahuan Asing: Hunayn di Pengadilan
Abbasiyah,” Bulletin Royal Institute for Inter-Faith Studies 2 (2000): 85-101.
63. Ibnu Abl Usaybi'a, hal. 258.
64. Fihrist, hal. 465.
65. Ibid., hal. 465.
66. Bergstrasser.
67. Bukti terjemahan yang bersifat non-ilmiah, serta komposisi segar berdasarkan hal tersebut,
juga dapat diperoleh dari karya-karya seperti Mario Grignaschi, "Les "Rasa'il 'Aristatalis
'ila:-1-Iskandar" de Salim Abu-1-'Ala' et 1' Activite Culturelle a l'Epoque Omayyade,"
Buletin d'Etudes Orientales 1 9 (1965-66): 7-83.

Bab 3
1. Lihat bab 1 di atas, dan izinkan penggabungan awal materi medis dan farmakologi
Sansekerta dan Persia yang mungkin terjadi sebelum zaman al-Mansur. Pada tingkat teknis
astronomi, sebagian besar materi yang dibahas dalam bab ini telah muncul dalam bentuk
pendahuluan di EHAS, hal. 59-83, dan baru-baru ini di Encyclopedia Italiana, Storia della

265
Scienza, ed. Sandra Petruccioli, Roma, 2001-, v.III, 2002, hlm.198-213.
2. Lihat Gutas, hal. 30, 44 dan passim.
3. Penelitian di masa depan dapat mengubah konsensus ini untuk memungkinkan adanya
bukti terjemahan sebelumnya dari tradisi Helenistik. Lihat, misalnya, Grignaschi, "Les
"Rasa'il" tentang terjemahan Helenistik, dan mungkin juga bacalah ungkapan "terjemahan
lama" (al-naql al-qadim) yang sering digunakan dari beberapa sumber ilmiah dan filosofis
Helenistik, untuk merujuk pada kemungkinan terjemahan yang lebih awal lagi, yang
mungkin terjadi selama 100 tahun sejak masa reformasi 'Abd al-Malik sekitar tahun 705 M
dan awal abad kesembilan. atau bi-naql qadim (dalam terjemahan lama), lihat Fihrist, hal.
412, 431 dan passim.
4. Tahun-tahun terakhir pemerintahan Bani Umayyah menyaksikan peningkatan pergolakan
di provinsi-provinsi timur yang masih diperintah dari perkemahan tentara Irak. Beberapa
dari pergolakan tersebut berbentuk pemberontakan terbuka dalam skala besar. Meskipun
mereka dimahkotai dengan keberhasilan pengambilalihan oleh Bani Abbasiyah, pendahulu
mereka, seperti pemberontakan al-Mukhtar dan Mawall (EF, VI, p. 874£.), tidak boleh
diremehkan. Kesamaan yang mereka miliki adalah bahwa para pemimpin mereka jarang
sekali berasal dari orang-orang non-Arab, namun biasanya adalah kepala suku Arab yang
tidak puas dan berhasil memanfaatkan ketidakpuasan yang meluas dari sebagian besar
tentara Persia dalam mengajukan klaim mereka terhadap Bani Umayyah. Ketidakpuasan
orang-orang non-Arab di provinsi-provinsi timur ini tidak lepas dari tekanan yang mulai
dirasakan oleh mereka yang kemudian menyadari sepenuhnya apa artinya terasing dari
pendapatan diwan, karena pekerjaan diwan terus berpindah ke tangan mereka. dari mereka
yang mengklaim kekuasaan berdasarkan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab yang
terkadang berbentuk sebutan rasial, untuk kemudian menyerah pada gerakan dan sentimen
Sfzu'iilya.
5. Qifti, hal. 35f. Di sini kita juga harus mengingat referensi serupa terhadap "terjemahan
lama" (bi-naql qadim) yang dilaporkan oleh al-Nadim dalam bukunya Fihrist 404-410,
sehubungan dengan korpus Aristotelian, yang mungkin terjadi pada waktu yang hampir
bersamaan. seperti terjemahan Ibn al-Muqaffa jika bukan sebelumnya.
6. Fihrist, hal. 437.
7. Qifti, hal.171-1 77.
8. Bergstrasser, hal. 11 dan pasim.
9. Fihrist, hal.401-409.
10. al-Jahij, 'Amr b. Bahr (869), Kitab al-Bukhala', Beirut, nd, vol. 2, hal. 4f.
11. Bidang yang telah lama terabaikan ini untungnya telah menarik perhatian teman dan
kolega saya, David King, yang telah mencurahkan beberapa penelitian yang pasti akan
berkontribusi pada kebangkitannya, yang terbaru adalah karya monumental: David King,
In Synchrony with the Haven: Studies in Astronomical Timkeeping and Instrumentation in
Medieval Islamic Civlization, vol. 1: The Call of the Muezzin, Leiden 2004; jilid. II,
Instrumen Penghitungan Massa, Leiden, 2005. 'Ilm al-fara'id masih menunggu minat
serupa.
12. Terjemahan Almagest berbahasa Arab Al-Hajjaj masih ada dalam beberapa salinan, di
antaranya adalah fragmen dalam naskah British Library, Add. 7474, fol. 75r (seperti yang
ditandai meskipun folio naskah ini sangat rusak), di mana nilai lunar yang "benar" dikutip.
Parameter ini dibahas lebih lanjut dalam artikel terbaru oleh Bernard Goldstein, "Ancient
and Medieval Values ​ ​ for the Mean Synodic Month," Journal for the History of
Astronomy 34 (2003): 65-7 4.
13. Asger Aaboe, "Tentang Asal Usul Babilonia dari Beberapa Parameter Hipparchian,"
Centaurus 4 (1955-56): 122-125.
14. Gagasan bahwa perjalanan waktu dapat membantu menyempurnakan nilai observasi telah

266
diketahui oleh Ptolemy, Almagest [1,1], Toomer, hal. 37.
15. Lihat Kennedy, Survei, hal. 146 dan pasim.
16. al-Farghani, Ibnu Kathir, Jawami' 'ilm al-nujum, Amsterdam, 1 669, teks Arab, hal. 49-50,
53, 58, 60, 74.
17. Nilai yang banyak digunakan dalam sumber-sumber Islam, seperti yang telah kami
sebutkan di bab 1, serta nilai, 23;30°, dan kadang-kadang 23;35°. Lihat Kennedy, Survei,
hal. 145 dan pasim.
18. Di sini juga, Farghani, Jawami; P. 49, mengadopsi konsep puncak matahari yang bergerak,
sesuai dengan "modern" dan bertentangan dengan Ptolemeus.
19. Zij ini belum dipelajari dengan baik, dan hanya dikutip oleh Kennedy, dalam Survey, hal.
145-147, dan manuskrip yang masih ada melaporkan persamaan maksimum matahari
sebesar 1;59, jelas bertentangan dengan nilai Ptolemeus sebesar 2 ;23, al-Zij al-Ma'muni
alMumtahan, Escorial, Arab Ms., 927, fol. 13r.
20. Qifti, hal.351-354.
21. DSB, jilid. 7 (1973), hal.352-354, sv Khujandl.
22. Debarnot, EHAS, 503-4.
23. Saliba, “Penentuan Eksentrisitas dan Apogee Matahari Menurut Mu’ayyad al-Oin al-’Urdi
(w. 1266 M),” Zeitschrift fiir Geschichte der ArabischIslamischen Wissenscha(ten, 2
(1985): 47-67 , dicetak ulang dalam Saliba, A History, hlm.187-207.
24. Almagest [V, 14] .
25. Tusi, Nasir al-din, Tahrir al-majisti, India Office, Loth, 7 41, fols. 27v-28r.
26. Saliba, Sebuah Sejarah, hal. 233f.
27. Ibnu al-Shatir, Kitab nihayat al-sul fi tashih. Al-usul, Bodleian, Ms. Marsh 139, fol. 3r.
28. Judul-judul karya tersebut masih disimpan dalam Fihrist, hal. 141.
29. al-Sufi, Abd al-Rahman (w. 986), Suwar al-Kawakib, Hyderabad, 1953.
30. Laurel Brown dari Universitas Columbia sedang mempersiapkan gelar Ph.D. disertasi
yang mencakup analisis rinci teks ini dan implikasinya terhadap tradisi kritis Arab yang
mulai terbentuk pada abad kesepuluh.
31. Lihat, misalnya, Sufi, Suwar, hal. 78, 218 dan Passim.
32. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sebagian besar perpustakaan besar di Barat
menyertakan beberapa salinan teks Sufi di antara koleksinya. Lihat misalnya berbagai
salinan di British Library, Or 5323, Or 1407, IOISL 621, IOISL 2389, dan Add 7488,
antara lain.
33. Almagest I,13, dan HAMA, 26 dst.
34. George Saliba, "The Role of the Almagest Commentaries in Medieval Arabia Astronomy:
A Preliminary Survey of Tusi's Redaction of Ptolemy's Almagest," Archives
Intemationales d'Histoire des Sciences 37 (1987): 3-20, dicetak ulang di Saliba, A History ,
hal.143-160.
35. Debarnot, "The Zij," dan Morelon, Regis, "Astronomi Arab Timur antara Abad Kedelapan
dan Kesebelas," EHAS, khususnya. hal.31-34.
36. Kita telah melihat proses serupa yang terjadi di bidang matematika, di mana kita
menemukan penerjemah Qusta b. Luqa sendiri menerapkan terminologi teknis aljabar pada
masanya dalam terjemahan Arithmetica Diophantus yang tidak memiliki ekspresi seperti
itu dalam bahasa Yunani. Lihat Rashed, l'Art de I'Algebre de Diaphont.
37. Saliba, Sebuah Sejarah, hal. 208f.
38. Dalam perkataan Aristoteles dalam On the Heavens I & II, ed. Stuart Leggatt, Aris &
Phillips, Warminster, 1995, II, 3 [286a12-20]: "Kalau begitu, mengapa seluruh benda di
dunia tidak seperti ini? Karena beberapa bagian benda yang bergerak melingkar harus
tetap diamitu bagiannya berada di tengah-tetapi tidak ada bagian dari benda ini yang dapat
tetap diam, baik secara umum maupun di pusatnya. Karena gerak alaminya sebenarnya

267
menuju ke pusat, tetapi secara alamiah ia bergerak dalam lingkaran; geraknya tidak akan
abadi, karena tidak ada sesuatu pun yang berlawanan dengan alam yang kekal. Sekarang,
yang berlawanan dengan alam berada di belakang alam, dan yang berlawanan dengan alam
adalah perpindahan dari alam dalam proses menjadi. Oleh karena itu, pasti ada Bumi,
karena ini terletak di pusatnya. Untuk saat ini, biarlah ini diasumsikan; nanti akan
dibuktikan." Dan pada II, 14, [296b21-24] dia berkata: "Oleh karena itu, jelaslah bahwa
Bumi pasti berada di pusat dan tidak bergerak, baik karena alasan yang diberikan, maupun
karena beban yang dilemparkan lurus ke atas secara paksa akan kembali ke titik semula.
intinya, bahkan jika gaya tersebut menghempaskan mereka pada jarak yang tidak terbatas."
39. Lihat rangkuman terkini dari permasalahan tersebut dalam George Saliba, "Greek
Astronomy and the Medieval Arab Tradition," American Scientist, Juli-Agustus 2002:
360-367.
40. Saliba, "Kritik Arab Awal,"
41. Saliba, Sebuah Sejarah, hal. 20f; Saliba, "Kritik Astronomi Ptolemeus di Spanyol Islam,"
al-Qantara 22 (1999): 3-25.
42. Saliba, Sebuah Sejarah, hal. 85f.
43. Dikutip di ibid., hal. 279.
44. Ibn al-Haitham (w. 1049), al-Shukuk 'ala Batlamyus (Dubitationes in Ptolemaeum), ed. A.
Sabra dan N. Shehaby, Kairo, 1971.
45. Lihat literatur yang diulas di F. ]ami! Ragep, "Duhem, orang Arab, dan sejarah
Kosmologi," Synthese 83 (1990): 210-214, dan Ragep, Nalr, hal. 47 hal. 5 dan 6 dan
pasim.
46. Ibn al-Haitham, Shukiik, hal. 5.
47. Ibid., hal. 5.
48. Ibid., hal. 16.
49. Ibid., hal. 16.
50. Toomer, Almagest karya Ptolemy, hal. 443.
51. Ibn al-Haitham, Shukuk, hal. 26.
52. Lihat Swerdlow, Metode Menarik "Jabir Ibn Aflah’s untuk Menemukan Eksentrisitas dan
Arah Garis Apsidal Planet Unggul," dalam From Deferent to Equant, ed. D. King dan G.
Saliba, Sejarah Akademi Sains New York 500 (1987): 501-5 12.
53. Ibn al-Haitham, Shukuk, hal. 33f.
54. Ibid., hal. 36.
55. Ibid., hal. 38.
56. Di tempat yang sama. Dengan kata-kata serupa, pengakuan ini sebenarnya dibuat oleh
Ptolemeus dalam Almagest, IX,2 (terjemahan Toomer, hal. 422) di mana ia berkata: "kita
mungkin [diizinkan] menyetujui [keterpaksaan ini], karena kita tahu bahwa hal semacam
ini Prosedur yang tidak tepat tidak akan mempengaruhi hasil akhir yang diinginkan,
asalkan tidak menimbulkan kesalahan yang nyata."
57. Ibn al-Haitham, Shukuk, hal. 38f.
58. Ibid., hal. 41f.
59. Ibid., hal. 44. 60. Ibid., hal. 46.
60. Ibid., hal. 47.
61. Ibid., hal. 59.
62. Ibid., hal. 60. 64. Ibid., hal. 57.
63. 'Urdu, Hay'a, hal. 212.
64. Ibn al-Haitham, Shukuk, hal. 54.
65. Ibid., hal. 62.
66. 'Urql, pendahuluan hal. 39, teks, hal. 218.
67. Ibn al-Haitham, Shukuk, hal. 63f.

268
68. Dikutip dalam Saliba, A History, hal. 151.
69. Saliba, Sebuah Sejarah, hal. 151.
70. Almagest, XIII, 2, Toomer, hal. 600.
71. Dikutip dalam Saliba, A History, hal. 153.
72. Al-Akhawayn, fol. 4v-5r.
73. Lihat Saliba, "Reformasi Al-Qushji’s," hal. 161-203.
74. Ditandai dalam Saliba, A History (hal. 283f).
75. Dikutip dalam Saliba, A History (hal. 284f.).
76. Dikutip di ibid. (hal.285).
77. Saliba, Sebuah Sejarah, hal. 285.
78. Ibid., hal. 286.
79. Lihat Saliba, "Kritik Arab Abad Keenambelas"; Saliba, "Penempatan Kembali"; Saliba,
"Tantangan Utama."
80. Dikutip dalam Saliba, A History (hal. 287£.).
81. G. Saliba, "Copernicus Astronomy in the Arab East: Theories of the Earth's Motion in the
Nineteenth Century," dalam Transfer Sains dan Teknologi Modem ke Dunia Muslim, ed.
Ekmeleddin Ihsanoglu, Istanbul, 1992, hlm.145-155.
82. Saliba, Karya Astronomi Mu'ayyad al-Din al-'Urdi.
83. 'Urdi, hal. 249f.
84. Ibid., hal. £250.
85. Lihat teks serupa dalam terjemahan Leggatt yang dikutip sebelumnya dan tambahkan ke
dalamnya, Aristoteles, On the Heavens, Loeb, 1939, repr. 1960, II, xiii, dan seq.
86. Lihat, misalnya, Bernard Goldstein, Al-Bitruji: On the Principles of Astronomy, 2 jilid,
New Haven, 1971.
87. Lihat Saliba, "Penempatan Kembali,"
88. Kisah 'Abd al-Latif al- Baghdadi diambil dari kitabnya al-Ifada wa-I'tibar, ed. Ahmad
Ghassan Sabanu, Dar Ibn Zaydun (Beirut) dan Dar Qutayba (Damaskus), 1984, hal. £103.
89. Dalam kata-katanya sendiri 'Abd al-Latif mengatakannya sebagai berikut: "(Bagaimanapun
juga) pengamatan (al-Hiss yang secara harafiah berarti perasaan) lebih sahih daripada
mendengar (sam; yakni belajar dari buku-buku yang dibacakan). Pengamatan itu genap
lebih sahih daripada Galen, meskipun ia termasuk di antara para ilmuwan dalam
penyelidikan dan ketelitiannya dalam semua perkataan atau praktiknya, observasi masih
lebih benar daripada dia (al-hiss asdaq minh).

Bab 4
1. Lihat Saliba, "Astronomi Islam dalam Konteks."
2. 'Urdi, hal. 214f. dan pasif.
3. Ibn al-Haitham, Shukiik, hal. 33f.
4. Lihat, misalnya, Louis Cheikho, "Risalat al-Khujandi fi mayl wa-'ard al-balad," Mashriq
11 (1908): 60-69; A. Jourdain, Memoire sur l'observatoire de Meragah et sur Quelques
Instruments Karyawan untuk Observer, Paris, 1870; E. Wiedeman dengan
T.Juynbol,"Avicennas Schrift tiber ein von ihm ersonnenes Beobachtunginstrument," Acta
Orientali xi, 5 (1926): 81-167; Aydin Sayili, Surat Ghiyath al-Din al-Kashi’s on Ulugh
Bey dan the Scientific Activity in Samarqand, Ankara, 1985.
5. Untuk pernyataan singkat mengenai permasalahan tersebut, lihat Saliba, "Greek
Astronomy" dan "Arabic Planetary Theories."
6. Abu al-Raihan, Muhammad b. Ahmad al-Biruni (1048), Kitab al-tafhim li-awa'il sina 'at
al-tanjim (Buku Petunjuk Unsur Seni Astrologi), London, 1934. Untuk teks lebih lengkap
dengan terjemahan bahasa Persia, lihat Jalal al-Din Homa'I, al-Tafhim li-awa'il ina' at
al-tanjim, Teheran, 1362 = 1984.

269
7. Abu Ma'shar al-Balkhi (w. 886), al-Madkhal ilii 'ilm al;kiim al-nujum, Jarullah (Carullah)
Ms., 1058, diterbitkan dalam faksimili, Frankfurt, 1985.
8. Faktanya, terdapat banyak bukti bahwa kosmologi Aristoteles tidak begitu aman dalam
ranah Islam, seperti yang dikemukakan oleh F. Jami! Ragep baru-baru ini
mendemonstrasikannya dalam "Tusi dan Copernicus: The Earth's Motion in Context"
(Science in Context 14, 200): 145-163) dan "Membebaskan Astronomi dari Filsafat: An
Aspect of Islamic Influence on Science" (Osiris 16, 2001: 49 -71).
9. Untuk penjelasan lebih rinci mengenai alternatif yang dikembangkan selama masa Islam
abad pertengahan, lihat G. Saliba, “Arabic Planetary Theories after the Eleventh Century,”
dalam EHAS, hal. 58-127, dan yang terbaru dalam G. Saliba, "Alternatif all'astronomia
tolemaica," dalam Storia della Scienza, ed. Sandra Petruccioli, Roma, 10v, 2001-, v.III,
2002, hlm.214-236.
10. Toomer, Almagest karya Ptolemy, hal. 144, catatan 32, dan Neugebauer, HAMA, hal. 149
gram.
11. Jelas diakibatkan oleh pergerakan bola di tempatnya. Penekanan ditambahkan.
12. Toomer, Almagest karya Ptolemy, hal. 140.
13. Ibid., hal. 141.
14. Ibid., hal. 153.
15. Ibid., hal. 145.
16. Lihat keberatan Jabir Ibn Aflah terhadap poin khusus ini dalam model Ptolemeus, dan
usulan solusinya, dalam Swerdlow, "Jabir Ibn Aflah's Interesting Method," supra.
17. Selain keberatan yang diajukan oleh Ibn al-Haitham dan orang lain dalam tradisi astronomi
Arab, perhatikan pernyataan Copernicus berikut dalam karya astronomi paling awal,
Commentariolus, yang berbicara langsung tentang absurditas proposal semacam itu, yang
disebut oleh Copernicus " tidak cukup sesuai dengan alasan": "Meskipun demikian,
teori-teori mengenai hal-hal ini yang telah dikemukakan secara luas oleh Ptolemy dan
sebagian besar lainnya, meskipun secara numerik sesuai dengan gerakan yang tampak],
juga tampak cukup meragukan, karena teori-teori ini tidak cukup sesuai dengan alasan.
tidak memadai kecuali mereka juga membayangkan lingkaran-lingkaran tertentu yang
sama besarnya, sehingga tampak bahwa planet ini tidak pernah bergerak dengan kecepatan
yang seragam baik dalam bidang yang berbeda maupun terhadap pusatnya. Oleh karena itu,
teori semacam ini tampaknya tidak cukup sempurna dan tidak cukup sesuai dengan teori
tersebut. dengan alasan." Noel Swerdlow, "Derivasi dan Draf Pertama Teori Planet
Copernicus: Terjemahan Commentariolus dengan Komentar," Prosiding American
Philosophical Society 1 1 7, no. 6 (1973), hal. 434.
18. Lihat makalah penting Victor Roberts, "The Solar and Lunar Theory of Ibn al-Shatir: A
Pre-Copernican Copernican Model," Isis 48 (1957): 428 - 432, dicetak ulang di ES
Kennedy et al., Studies in the Islamic Exact Sciences, American University of Beirut, 1983,
hlm. S0-54.
19. Kekecewaan yang sama diungkapkan berabad-abad kemudian oleh Copernicus dalam
Commentariolusnya: "Tetapi dari semua benda di langit, yang paling luar biasa adalah
gerak Merkurius yang melewati titik-titik yang hampir tidak dapat dilacak sehingga tidak
dapat diselidiki dengan mudah." Swerdlow, Commentariolus, hal. 499.
20. Dikutip dalam Saliba, A History, hal. 153.
21. Dalam kata-kata Ptolemeus sendiri (Almagest, XIII, 2): "Sekarang janganlah seorang pun,
mengingat sifat rumit dari perangkat kita, menilai hipotesis seperti itu terlalu dijabarkan.
Karena tidak tepat membandingkan [konstruksi] manusia dengan yang ilahi . . . . " Toomer,
Almagest karya Ptolemeus, hal. 600.
22. Averroes, Tafslr mii ba'da al-tabi'a, ed. Maurice Bouyges, Beirut, 1948, hal. 1664. Ini
berasal dari komentar Averroes pada Buku Lambda Metafisika Aristoteles.

270
23. Untuk survei lengkap mengenai upaya menciptakan teori planet baru, lihat Saliba, "Teori
Planet" dan Saliba "Alternatif", yang telah disebutkan di atas.
24. Untuk pernyataan asli lengkap teorema ini lihat G. Saliba, "The Original Source," dicetak
ulang dalam Saliba A History, hal. 119-134. Lihat juga 'Urdi, Kitab al-Hay'a untuk konteks
lengkap karya 'Urdi.
25. Dalam pembahasannya tentang gerak lintang planet-planet, Copernicus membuat
pernyataan berikut. “Kalau memang gerak librasi ini terjadi pada garis lurus, masih ada
kemungkinan gerak tersebut tersusun dari dua bola.” Swerdlow, Commentariolus, hal. 483.
Dalam komentarnya mengenai bagian ini, Swerdlow menyatakan: "Untuk menjelaskan
librasi bidang orbit, Copernicus menggunakan salah satu dari dua perangkat untuk
menghasilkan gerakan bujursangkar dari dua gerakan melingkar yang awalnya digunakan,
dan memang ditemukan. , oleh Nasir ad-Din at-Tusi, dan digunakan secara luas oleh Ibn
ash-Shatir dan astronom Maragha lainnya." Komentariol, hal. 488.
26. Menjelaskan hubungan antara pusat episiklik Merkurius yang berosilasi dan gerak osilasi
bidang lintang planet-planet yang kami jelaskan di atas, Copernicus mengatakan: "Karena
dengan gerak gabungan ini, pusat episiklus yang lebih besar dibawa dalam garis lurus,
seperti yang telah kami jelaskan mengenai garis lintang yang dilibrasikan," Swerdlow,
Commentariolus, hal. 503.
27. Sekarang lihat Robert Morrison untuk edisi terbaru dan terjemahan bab Shirazi yang
membahas tentang uiil, dalam "Qutb al-Din al-Shirazi's Use of Hypotheses,"fournal (or the
History o( Arabian Science 13 (2005): 21- 140.
28. Legenda ini dinyatakan dengan elegan dan dibantah oleh Otto Neugebauer pada tahun
1968 (“On the Planetary Theory of Copernicus,” Vistas in Astronomy 10: 89-103).
29. Lihat G. Saliba, "Theory and Observation in Islamic Astronomy: The work of Ibn al Shatir
of Damascus," Journal (or the History o(A stronomi 18 (1987): 35-43, reprinted in Saliba,
A History, pp .233-241.
30. Saliba, "Penerapan Kembali Matematika."

Bab 5
1. Untuk pembahasan alternatif yang lebih rinci mengenai dimensi filosofis astronomi Islam,
lihat G. Saliba, "Aristotelian Cosmology and Arabian Astronomy," dalam De Zenon d'Elee
a Poincare, ed. Regis Morelon dan Ahmad Hasnawi, Louvain, 2004, hlm.251-268.
2. Salah satu risalah tersebut diterbitkan oleh Anton Heinen, Islamic Cosmology, Beirut,
1982.
3. Bahkan Ptolemeus sendiri yang telah menyatakan dalam pendahuluan Almagest bahwa
"ilmu ini [yang berarti astronomi], satu-satunya ilmu yang melebihi segala sesuatu, dapat
membuat manusia melihat dengan jelas; dari keteguhan, keteraturan, simetri dan
ketenangan yang terkait dengannya. dengan yang ilahi, ia menjadikan para pengikutnya
pecinta keindahan ilahi ini, membiasakan mereka dan mereformasi sifat-sifat mereka,
seolah-olah, ke keadaan spiritual yang serupa." Toomer, Almagest, hal. 37. Sentimen ini
juga digaungkan oleh 'Urdi, sekitar satu milenium kemudian, dalam Kitab al Hay'a, di
mana ia mengatakan tentang astronomi: "Materi pokok bahasannya adalah pencapaian
Tuhan yang paling menakjubkan, ciptaan-ciptaan-Nya yang paling menakjubkan, dan yang
terbaik untuk melaksanakan amal-amal-Nya. Adapun demonstrasi-demonstrasinya,
bersifat geometris dan aritmatika, dan karena itu definitif. Manfaat ilmu ini sangat besar
bagi orang yang merenungkan keajaiban-keajaiban langit dan gerak-gerik langit. Karena
melalui hal itu pikiran mempunyai wilayah yang melimpah dan bukti yang tak
terbantahkan akan keberadaan Tuhan Yang Maha Agung. Bermuara pada teologi dan
menunjukkan keagungan Sang Pencipta, kebijaksanaan Sang Pencipta, dan kebesaran
kekuasaan-Nya. Semoga Tuhan, sebaik-baik pencipta, diberkati." Saliba, 'Urdi, Hay'a, hal.

271
27f.
4. Kisah berikut ini diambil dari Saliba, "Kritik Arab Awal."
5. Lihat Bahasa Arab Ms. 520RH, Perpustakaan Universitas Osmania, Hyderabad.
6. Ibid
7. Averroes, Ta (slr, hal. 1661.
8. Ibid., hal. 1661.
9. Ibid., hal. 1664.
10. Lihat Saliba, "Kosmologi Aristotelian," hal. 260f.
11. 'Urdi, hal. 212.
12. Ibid., hal. 218.
13. Ghars al-Din, Ahmad b. Khalil al-Halabi (w. 1563), Tanblh al-nuqqad 'ala ma fi al-hay'a
al-mashhura min al-fasad (Memperingatkan Para Kritik terhadap Korupsi Astronomi
Terkenal), Istanbul, Yeni jami', Ms.11 81, fol.148r.
14. Al-Ghazall, Inkoherensi Para Filsuf, tr. Michael Marmura, Provo, 1997, hlm. 174 -17 6
dan passim.
15. Lihat Saliba, "Role of the Almagest commentaries," dicetak ulang di Saliba, A History, hal.
1 53.
16. Dampak dari teorema ini dalam kaitannya dengan kategori gerak dibahas secara lebih rinci
dalam Saliba, "Aristotelian Cosmology," hal. 263f.
17. Lihat G. Saliba dan ES Kennedy, "The Spherical Case of the Tlisi Couple," Ilmu
Pengetahuan dan Filsafat Arab 1 (1991): 285-291, dicetak ulang dengan kesalahan kecil
dalam Nasir al-Din al-Tusi: Philosophe et savant du xiii" siecle, ed. N. Pourjavadi dan Z.
Vesel, Institut Franais de Recherche en Iran dan Presses Universitaires d'Iran, Teheran,
2000, hlm. 105-1 11.
18. Qutb al-Din al-Shirazi, al-Tuhfa al-Shahiya, Paris, BN Arabe, 2516, fol. 28r.
19. Abu al-Barakat al-Baghdadi, Kitab al-Mu’tabar, Hyderabad, 1938, volume 1, bab 24, hal.
94-103.
20. Lihat teks Galileo sebagaimana dikutip dalam Edward Grant, ed., A Source Book in
Medieval Science, 1974, hal. 290.
21. Tentang kesinambungan "menggigit" tepi alam semesta Aristotelian dalam tulisan para
astronom dan filsuf Islam, lihat Ragep, "Tusi dan Copernicus" dan "Freeing Astronomy."
22. Untuk penjelasan singkat perkembangan berbagai solusi masalah kiblat, lihat David King,
in El2, sv "Kibla: Sacred Direction," dicetak ulang dalam David King, Astronomy in the
Service of Islam, Aldershot, 1993, section IX .
23. Meninjau perkembangan umum ilmu-ilmu eksakta, ES Kennedy mengatakan hal berikut
mengenai disiplin ilmu trigonometri: “Mata pelajaran ini, yang mempelajari bidang datar
dan segitiga bola, pada hakikatnya merupakan ciptaan ilmuwan-ilmuwan yang menulis
bahasa Arab, dan merupakan satu-satunya cabang matematika yang pernyataan ini dapat
dikatakan." ES Kennedy, "Warisan Arab dalam Ilmu Eksakta," al-Abhath 23 (1970):
327-344.
24. Untuk survei singkat mengenai disiplin ilmu dan penggunaan fungsi trigonometri, lihat D.
King, El2, sv "Miqat: astronomy Timekeeping," dicetak ulang dalam D. King, Astronomy
in Service of Islam dan in King, In Synchrony with surga.
25. Hadits yang sering diulang-ulang dari nabi, sebagaimana dikutip Syafi'l, berbunyi: "al-'ilm
'ilman: 'ilm al-adyan wa-'ilm al-abdan, ya'ni al-fiqh wa-l-tib” (ilmu itu ada dua macam:
ilmu agama, dan ilmu tentang tubuh, artinya fiqih dan ilmu kedokteran). Lihat Salah
al-Din Khalil b. Aybak al-safadi (wafat 1363), Kitiib al-wafi bi-l-wafayat, Wiesbaden,
1981, vol. 2, hal. 1 74.
26. El2, III, 896.
27. Lihat Saliba, A History of Arabic Astronomy, hal. 4Sf. N. 51; G. Saliba, "Ilmuwan Persia

272
di Dunia Islam: Astronomi dari Maragha hingga Samarqand," dalam Kehadiran Persia di
Dunia Islam, ed. R. Hovannisian dan G. Sabagh, Cambridge University Press, 1998,
hlm.126-146.
28. Untuk biografi singkat lihat EJ2, X, hal. 746, sv "al-Tusi."
29. Terjemahan bahasa Inggris: Contemplation and Action: The Spiritual Autobiography of a
Muslim Scholar, London, 1998.
30. al-Tusi, Nasir al-Din, The Rawdatu't-Tasllm : Biasa disebut Tasawwurat, teks Persia, ed.
W.Ivanow, Leiden, 1950.
31. al-Tusi, Nasir al-Din, Awsaf al-ashraf; Beirut, 2001.
32. Tusi, Tajrid al-'i 'tiqad, Kairo, 1996.
33. El2, V, hal. 547
34. Lihat G. Saliba, "Reformasi Astronomi Ptolemeus di Pengadilan Ulugh Beg," Studi dalam
Sejarah Ilmu Eksakta untuk Menghormati David Pingree, eds. Charles Burnett, Jan
Hogendijk, Kim Plofker dan Michio Yano, Boston, 2004, hlm.810-824.
35. Edisi Mesir (1962-1970) berjumlah 30 jilid dalam 10.
36. Lihat David King, Kamus Biografi Ilmiah, sv "Ibn al-Shatir," dan Kennedy dan Ghanim,
Ibnu al-Syitir.
37. Lihat George Saliba, “Reform,” dan Tashkupruzadeh (w. 1561), al-Shaqa'q alnu'maniya fi
'ulama' al-dawla al-'uthmaniya, Istanbul, 1985, p. 107f. For karya-karyanya tentang 'ibadat,
lihat Saliba, A History, hal.47, n.56.
38. Lihat Saliba, "Kritik Abad Keenam belas."
39. Saliba, "Kritik Abad Keenambelas," hal. 16f.
40. Lihat Saliba, "Peran Ahli Peramal."

Bab 6
1. Lihat David Pingree, "Gregory Chioniades" dan The Astronomical Works of Gregory
Chioniades. Lihat juga EA Paschos dan P. Sotiroudis, The Schemata of the Stars:
Byzantine Astronomy from AD 1300, World Scientific, 1998.
2. Lihat O. Neugebauer, "Studi dalam Terminologi Astronomi Bizantium"; G. Saliba,
"Arabic Astronomy in Byzantium," Journal for the History of Astronomy 20 (1990):
211-215.
3. Lihat G. Saliba, Memikirkan Kembali Akar Ilmu Pengetahuan Modern: Arabic
Manuscripts in European Libraries, Washington DC, 1999.
4. Lihat Saliba, " Whose Science ".
5. Victor Roberts, "Teori Matahari dan Bulan Ibn al-Shatir: Model Copernicus
pra-Copernicus," Isis 48 (1957): 428-432.
6. Sekilas tentang status bahasa Arab di beberapa wilayah Eropa, khususnya di kalangan
humanis, dapat diperoleh dari nasehat yang diberikan oleh Hernan Nunez, seorang
profesor di Universitas Salamanca, tempat yang paling bersahabat untuk studi bahasa Arab
kepada rekan sejawat Copernicus, Nicolas. Clenardus dari Louvain (1495-1542), yang
telah melakukan perjalanan, sekitar tahun 1530-1532, dari Louvain ke Salamanca, untuk
mencari seorang profesor Arab, hanya untuk diberitahu oleh Nunez: "Apa kekhawatiran
Anda dengan bahasa barbar ini, Bahasa Arab? Menguasai bahasa Latin dan Yunani saja
sudah cukup. Di masa mudaku, aku sama bodohnya dengan kamu, dan karena tidak puas
menambahkan bahasa Ibrani ke dua bahasa lainnya, aku juga mempelajari bahasa Arab;
tapi aku sudah lama meninggalkan dua bahasa terakhir ini. , dan mengabdikan diri
sepenuhnya pada bahasa Yunani. Izinkan saya menyarankan Anda untuk melakukan hal
yang sama." (dikutip dalam Karl Dannenfeldt, "The Renaissance Humanists and the
Knowledge of Arab," Studies in the Renaissance 2 (1955): 96-1 1 7) Permusuhan terhadap
hal-hal yang bersifat Arab dan Islam ditandai dalam kesimpulan Dannenfeldt pada artikel

273
yang sama di mana dia mengatakan: "Namun, penggunaan bahasa Arab dalam agama
untuk menjelaskan kata-kata Ibrani dalam literatur dan dokumen agama Kristen dan untuk
memfasilitasi perang salib melawan Islam tampaknya mendominasi pandangan sebagian
besar orang yang mempelajari bahasa oriental ini. Dalam bidang terakhir ini , kaum
humanis Renaisans melanjutkan tema abad pertengahan sebelumnya." Ibid. P. 117 Lihat
juga Giovanna Cifoletti, "Penciptaan Sejarah Aljabar di Abad Keenambelas," dalam
Mathematical Europe, ed. Catherine Goldstein dkk., Paris, 1996, hlm.123-142, khususnya.
123.
7. Lihat De Vaux, "Les spheres."
8. Nicolaus Copernicus, De Revolutionibus: Faksimiles des Manuskriptes, Hildesheim, 1974,
hal. 75r.
9. Menanggapi penilaian Ragep dalam Ragep, Nasir, hal. 429, di mana ia mengklaim bahwa
Tusi, tidak menyatakan secara eksplisit bahwa ia menciptakan teorema baru, kita harus
ingat bahwa ketika Tusi pertama kali menyatakan teorema tersebut dalam bentuk yang
belum sempurna, dalam Tahrir, ia mengawalinya dengan keberatannya yang terkenal
terhadap perlakuan Ptolemeus. dari subjek yang dimulai dengan "aqul" (saya katakan),
jelas menyiratkan bahwa seluruh bagian berikutnya, termasuk bentuk dasar teorema
tersebut, hingga dimulainya kembali pembahasannya terhadap teks Ptolemeus, semuanya
merupakan karya Tilsl.
10. Untuk penanganan masalah ini dan rujukan samar Copernicus kepada "beberapa orang"
sebelum dia yang telah menggunakan teorema tersebut, dan kaitannya dengan pernyataan
Proclus, lihat pembahasan Ragep yang lebih panjang, bersama dengan beberapa referensi,
mengenai poin khusus ini. (Memoar Astronomi Nasir al-Din al-Tusi’s, hal. 430-432).
Kesimpulan Ragep semakin diperkuat ketika dibaca bersama dengan “Empat Model
Merkurius Copernicus” karya Swerdlow, dalam Studia Copernicana Xlll, ed. Owen
Gingerich dan Jerzy Dobrzycki, Warsawa, 1975.
11. Willy Hartner, "Copernicus, Manusia, Karya, dan Sejarahnya," Proceeding of American
Philosophical Society 117, no. 6 (1973): 413-422.
12. Lihat G. Saliba, "Re-visiting the Astronomical Contacts between the World of Islam and
Renaissance Europe: The Byzantine Connection" (akan terbit).
13. Lihat Jourdain, Memoire.
14. Tentang motivasi Ilkhanids untuk membangun lembaga semacam itu, lihat G. Saliba,
"Horoscopes and Planetary Theory: Ilkhanid Patronage of Astronomers," ceramah yang
disampaikan pada seminar yang diselenggarakan oleh Los Angeles County Museum, Juni
2003, dan untuk tampil dalam proses kolokium.
15. Saliba, The Astronomical Work.
16. Lihat gambar 4.6 di bab 4.
17. Lihat Anthony Grafton, "Michael Maestlin's Account of Copernican Planetary Theory,"
Proceeding of American Philosophical Society 117, no. 6 (1973): 523-550.
18. Swerdlow, Commentariolus, hal. 500.
19. Ibid., hal. 504.
20. Ibid., hal. 504.
21. Noel Swerdlow, "Astronomy in the Renaissance," dalam Astronomy before the Telescope,
ed. Christopher Walker, St. Martin's Press, 1996, hlm.187-230, khususnya. 202.
22. Noel Swerdlow, dan Otto Neugebauer, Mathematical Astronomy in Copernicus's De
Revolutionibus New York, 1984, hal. 295.
23. Lihat Marie-Therese d'Alverny, Avicenne en Occident, Paris, 1993, khususnya. bagian
XII-XIV.
24. Untuk penggunaan Pasangan Tusi oleh Giovanni Batista Amico pada tahun 1536, lihat
Noel Swerdlow, "Aristotelian Planetary Theory in the Renaissance: Giovanni Batista

274
Amico's Homocentric Spheres," Journal for the History of Astronomy 3 (1972): 36- 48.
25. Lihat petunjuk yang menggiurkan dari Willy Hartner dalam "Nasir al-Din al-Tusi Lunar
Theory," Physis 11 (1969): 289-304, dan yang terbaru, Ragep, Nasir, hal. 432f., dan G.
Saliba, "Aristotelian Cosmology and Arabic Astronomy," dalam De Zenon d'Elee a
Poincare, ed. Regis Morelon dan Ahmad Hasnawi, Peeter, Louvain, 2004.
26. Paschos et al., The Schemata
27. Untuk upaya terbaru dan paling meyakinkan dalam menjelaskan akar heliosentrisme
Copernicus, lihat Bernard Goldstein, "Copernicus and the Origin of His Heliocentric
Universe," Journal for the History of Astronomy 33 (2002): 219-235, dan yang paling
bagian yang relevan dalam Noel Swerdlow, Commentariolus, hal. 474-478, dan untuk
keseriusan masalah yang tersisa, Swerdlow, " Astronomy in the Renaissance," hal.
200-202.
28. Isu “lokalitas” versus “esensi” seperti yang dibahas oleh Abd al-Hamid Sabra, “Situating
Arabia Science: Locality versus Essence,” Isis 87 (1996): 654-679, tampaknya tidak
mendapat manfaat dari isu tersebut. implikasi dari bukti yang dibahas di sini.
29. Swerdlow dan Neugebauer, Mathematical Astronomy, hal. 47.
30. Lihat Giorgio Levi Della Vida, Ricerche sulla formazione del piu antico fonda deu
manoscritti orientali della biblioteca Vaticana, Studi e Testi, Biblioteca Apostolica
Vaticana, Citta del Vaticano, 1939, hal. 307 dan pasim. (Referensi ini menjadi perhatian
saya oleh teman dan kolega saya Giorgio Vercellin dari Venesia. Bantuannya sangat saya
hargai. Tentang Postel sendiri ada beberapa biografi: Georges Weill dan Francois Secret,
Vie et caractere de Guillaume Postel, Milan , 1987, dan Marion Kuntz, Guillaume Postel:
Prophet of the Resittution of All Things, His Life and Thought, Hague, 1981. Banyak juga
yang dapat diperoleh dari prosiding peringatan 400 tahun Postel yang diterbitkan secara
sederhana sebagai: Guillaume Postel 1581 -1981, Paris, 1985.
31. Untuk penjelasan lebih rinci mengenai orang-orang seperti itu, lihat Dannenfeldt, "The
Renaissance Humanists."
32. Lihat halaman judul naskah Kharaqi (Bibliotheque Nationale de France, Arabe 2499).
33. Untuk penjelasan singkat tentang kondisi yang menyebabkan perjanjian itu, dan hak
istimewa yang diberikan kepada Prancis, baik komersial maupun militer, lihat V.H.H
Green, Renaissance and Reformation: A Survey of European History between 1450 and
1660, London 1954, repr. 1975, hal. 363.
34. Lihat misalnya manuskrip Arab lainnya di Perpustakaan Universitas Leiden, Atau 2073,
yang juga ditandatangani oleh Postel karena merupakan salah satu miliknya. Saya berutang
referensi ini kepada teman saya Dr. Maroun Aouad dari CNRS, Paris.
35. Ensiklopedia Brittanica, 2003, Francis I.
36. Yaitu, "Mathematum Professoris Regii" yang dikutip oleh Maroun Aouad, dari Leiden Ms.
Or. 2073, dalam Averroes (Ibn Rusd): Commentaire Moyen a Ia Rhetorique d'Aristote,
Edition critique du texte arabe et traduction franrcaise, 3 vols., Paris, 2002. Lihat juga
Kuntz, Guillaume Postel, hal. 29.
37. Lihat, misalnya, Laurentiana Ms. Or 218, yang berisi terjemahan interlinear dari komentar
mengenai Conics, dan bertanggal 1581, disebutkan dalam G. Saliba, Rethinking the Roots
of Modern Science: Arab Manuscripts in European Libraries, Washington DC, 1999, hal.
21. The Bodleian Ms. Selden A. 11, yang berisi buku karya 'Ali b. Sulaiman al-Hashimi
(abad kesembilan) yang disebut Kitab fl'ilal al-zijat, juga memuat beberapa anotasi Latin
marginal. Lihat E.S Kennedy, Fuad I. Haddad, dan David Pingree, The Book of the Reason
Behind Astronomical Tables, New York, 1981, hlm. 41, 43, 48 dan passim.
38. Lihat, misalnya, terjemahan risalah dasar Ibn al-Haitham "On the Elevation of the Pole",
yang diterjemahkan oleh Jacob Golios pada tahun 1643, masih disimpan di British
Museum Ms. Add. 3034, tertanggal 1646, dan penerbitan risalah Razi tentang Cacar, yang

275
diterbitkan di London pada tahun 1760, dengan bahasa Latin dan Arab di halaman
menghadap, Lihat Rhazes de variolis et morbillis, London, 1 760.
39. Kontak lain sebelumnya yang melibatkan Regiomontanus (14 7 6) untuk sementara
dikemukakan oleh F. Jamil Ragep dalam "'All Qushji and Regiomontanus: Eccentric
Transformations and Copernican Revolutions," Journal for the History of Astronomy 36
(2005): 359- 371. Untuk kontak lain yang sezaman dengan Copernicus, lihat Paul
Kunitzsch, Peter Apian und Azophi: Arabische Sternbilder di Ingolstadt im friihen 16.
Jahrhundert, Bayerische Akademie der Wissenschaften, Philosophisch-Historische Klasse,
Sitzungsberichte, Jahrgang 1986, Heft 3, Verlag der Bayerischen Akademie der
Wissenschaften, Miinchen, 1986.
40. Lihat misalnya kontak serupa dalam bidang matematika seperti yang diilustrasikan oleh
Cifoletti, "Creation of the History of Algebra," dan karya Rashed lainnya mengenai subjek
tersebut.
41. Uffizi, Gabinetto dei Disegni e Stampe, U1454.
42. Saya telah mendedikasikan artikel untuk astrolabe ini. Lihat G. Saliba, "A Sixteenth
Century Drawing of an Astrolabe Made by Khaflf Ghulam 'All b. isa (c. 850 AD),"
Nuncius, Annali di Storia della Scienza 6 (1991): 109-1 19.
43. Hubungan antara kedua ahli astrolab tersebut telah diketahui oleh al-Nadim, Fihrist, hal.
451 .
44. Untuk contoh pengaruh luas astrolab Islam terhadap astrolab Eropa, lihat King, In
Synchrony II, hal. 41 dst.
45. Astrolabe ini pernah disimpan di Time Museum, di Rockford Illinois, dan sejak itu
dipindahkan ke koleksi pribadi. Gambarnya dipublikasikan di katalog Time Museum.
Lihat A.J Turner, Catalogue of the Collection, The Time Museum, vol. I, Time Measuring
Instruments, Part I, Astrolabes Astrolabe Related Instruments, Rockford, 1985, hal. 65.
Lihat juga King, In Synchrony, II, hal. 1010, 6.2.h.
46. ​ ​ David King, In Synchrony with the Heaven, vol. II, Instrumen Perhitungan Ass, Brill,
Leiden, 2005
47. David King, Dalam Sinkronisasi II, hal. 398f.
48. Untuk contoh desain seperti itu lihat Yousif Muhammad Ghulam, The Art of Arabia
Calligraphy, diterbitkan oleh penulis, 1982, hal. 72, 100, 120-121 dan passim.
49. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas informasi tentang kegilaan tulip dan asal-usul
Ottomannya kepada kolega dan teman saya Profesor Jeanne Nuechterlein.
50. Sebenarnya ada monografi yang khusus membahas masalah ini. Khususnya lihat Angelo
de Gubernatis, Materiaux pours ervir a l'histoire des etudes orientales en Italie, Paris,
1876, dan Flick, Johann, Die Arabischen Studien in Europa his in den Anfang des 20.
Jahrhundert, Leipzig, 1955, dan yang terbaru , John Robert Jones, Belajar Bahasa Arab di
Eropa Renaisans (1505-1624), Disertasi Universitas London, No. DX195516, 1988.
Artikel Dannenfeldt "The Renaissance Humanists" juga tetap sangat berguna.
51. Lihat Kamus Biografi Ilmiah., s.v "Leo Africanus," dan El2, sc "Leo Africanus."
52. El2, s.v "Leo Afrika kita."
53. Untuk informasi lebih lanjut mengenai orang yang sangat menarik ini, lihat diskusi singkat
tentang hubungannya dengan astronomi Copernicus di Swerdlow dan Neugebauer,
Mathematical Astronomy, hal. 16f., dan artikel menarik oleh Peter Barker dan Bernard
Goldstein, "Patronage and Production of De Revolutionibus," Journal for the History of
Astronomy 34 (2003), hlm. 345-368, khususnya. 348, dan oleh Bernard Goldstein, "Kepler
dan Tabel Astronomi Ibrani," Jurnal Sejarah Astronomi 32 (2001), 130-136. Lihat juga
catatan biografi yang sangat informatif tentang dia dalam Michaud's Biographie
Universelle, 1847, vol. 44, yang juga menghubungkannya dengan orientalis lain yang
sangat menarik bernama Ambrosio Teseo (1469-1539), orang sezaman dengan Copernicus

276
yang sedikit lebih tua yang juga menguasai bahasa Arab dan sering mengunjungi Italia
utara menjelang pergantian abad keenam belas, dan S. Riezler , "Widmanstetter, Johann
Albrecht," dalam Allgemeine Deutsche Biographie (Leipzig, 1875-1912), vol. xlii,
hal.357-361. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Noel Swerdlow, yang
mengingatkan saya pada artikel-artikel Bernard Goldstein mengenai Widmanstadt dalam
Journal for the History of Astronomy dan kepada Bernard Goldstein yang memberikan
referensi dan kutipan yang tepat serta referensi ke Riezler.
54. Michaud, Louis Gabriel, Biographie Universelle, Paris, 1847, jilid. 44, hal. 56, 570f.
55. Untuk informasi tentang patriark ini, lihat Yuhanna 'Azzo, "Risalat al-batriyark Ighnatyus
Ni'meh," al-Mashriq 31 (1933): 613-623, 730-737, 831-838.
56. Laurentiana, Ms. Atau 177, fol. 79r.
57. Untuk mengetahui eksploitasi patriark ini di Italia, lihat Robert Jones, Learning Arabic in
Renaissance Europe, hal. 41-44.
58. Karya-karya Robert Jones sangat membantu dalam mendokumentasikan rincian pers ini.
Lihat Robert Jones, Belajar Bahasa Arab di Eropa Renaisans dan "The Medici Oriental
Press (Roma 1584-1614) dan Dampak Publikasi Bahasa Arabnya di Eropa Utara," dalam
The 'Arabick' Interest of the Natural Philosophers in SeventeenthCentury England, ed. G.
Russell, Leiden, 1994, hlm.88-108. Untuk informasi lebih lanjut mengenai pers ini dan
peran Ignatius Ni'matallah, lihat GJ Toomer, Eastern Wisdome and Learning, Oxford,
1996.
59. Untuk persyaratan ini, lihat Ursula Weisser, "Avicenna: Influence on Medical Studies in
the West," dalam Encyclopedia Iranica, vol. III, hal.107-1 10, khususnya. 109, kol. 2.
60. Atas saran Copernicus tentang kalender, lihat Swerdlow dan Neugebauer, hal. 31.
61. Mengenai peran luas Patriark dalam komite tersebut, lihat G. Coyne, M. Hoskin, dan 0.
Pedersen, Gregorian Reform of the Calendar: Proceedings of the Vatican Conference to
Commemorate 400th Anniversary 1582-1982, Vatican, 1983 , hal.137, 148, 215, 216, 217,
218, 221, 232, 235.
62. Lihat Andreas Vesalius, On the Fabric oft he Human Body, Buku I, San Francisco, 1998,
hal. xlvii.

Bab 7
1. Lihat Sachau, Kronologi, hal. X
2. Contoh daya tarik paradigma konflik dapat dilihat dalam karya fisikawan terkemuka
Pervez Hoodbhoy, Islam and Science. Mengenai pengaruh buruk Ghazali, pendapat
Sachau masih dikutip di hampir semua sumber yang membahas sejarah intelektual Islam.
3. Lihat De Vaux, "Les bola celestes," dan Nau, Livre de l'ascension de l'esprit,
4. Dari zaman modern kita melihat orang-orang seperti Huff, dan bahkan Sabra dan King,
hampir selalu mengacu pada karya-karya Ibn al-Shatir sebagai klimaks pemikiran
astronomi, tentu saja menyiratkan bahwa karya-karya tersebut merupakan kedipan terakhir
dalam peradaban yang sedang sekarat, dan bahwa periode pasca Ibn al-Shatir mungkin
tidak layak untuk diperhatikan. Lihat Toby Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam,
China and the West, Cambridge University Press, 1995, hal. 47 n.1 dan pasim. Sabra,
Apropriasi, khususnya. hal. 238-242, di mana ia memiliki bagian yang dikhususkan untuk
isu-isu kemunduran, dan di mana ia mengutip David King tentang gagasan serupa.
5. Penilaian terkini dan berimbang mengenai faktor kemunduran ilmu pengetahuan Islam ini,
yang juga dibahas bersama dengan faktor-faktor lain, telah dirangkum secara elegan oleh
Ahlmad Yusuf al-Hassan, “Faktor-Faktor Kemunduran Ilmu Pengetahuan Islam setelahnya
Abad Keenambelas," dalam Islam dan Tantangan Modernitas, ed. Sharifah Shifa al-Attas,
Kuala Lumpur, 1996, hal. 351-389, khususnya. 374-376.
6. Akibatnya nama Hulagu dan kakeknya Gengis Khan biasanya diikuti dengan ungkapan

277
“Semoga Tuhan mengutuknya,” seperti dalam karya Abu al-Fida, al-Mukhtaar fi Akhbar
al-Bashar, Kairo, 1907, vol. 3, hal. 122, jilid. 4, hal. 2. Lihat juga El2 untuk survei yang
bagus mengenai sumber-sumber yang menggambarkan jatuhnya Bagdad dan
kehancurannya.
7. Lihat Hill, Kitab Pengetahuan, dan al-Hassan, al-Jam:
8. Untuk karya Banu Musa, lihat terjemahan bahasa Inggris oleh Donald Hill, The Book of
Ingenious Devices (Kitiib al-hiyal) oleh Banu (putra) Musa bin Shakir, Dordrecht, 1979,
dan edisi the Teks Arab oleh Ahmad Yusuf al-Hassan, Kitab al-hiyal oleh Banu (putra)
Musa ​ ​ bin Shakir, Aleppo, 1981.
9. Lihat Carra de Vaux, "Le Livre des appareils pneumatiques et desmachine hydroliques par
Phil on de Byzance," Notices et Extraits des Manuscrits de Ia bibliotheque Nationale 38
(1903): 27-237.
10. Pahlawan Alexandria, The Pneumatics of Hero of Alexandria,, London, 1971.
11. Lihat Saliba, " "The Function of Mechanical Devices ".
12. Lihat al-Hassan, al-Jami; P. 5.
13. Lihat Ibnu Abi Usaybi'a, 'Uyun, vol. I p. 207, dimana beliau meriwayatkan bahwa
penderitaan al-Kindi di tangan Banu Musa disebabkan oleh ketertarikan al-Mutawakkil
terhadap alat gerak Banu Musa (istihtar al-mutawakkil bi-1-alat al-mutaharrika ).
14. Ibnu al-Nafis, Abu al-hasan 'Ala' al-Din b. Abi al-Hazm al-Qarshi al-Dimashqi (w. 1288),
Kitab Sharh Tashrih al-Qanun, ed. Silman Qattaya, Kairo, 1988, hal. 293-294.
15. Lihat Kamus Biografi Ilmiah, s. v Kamal al-Din al-Farisi.
16. John Hayes, ed., The Genius of Arab Civilization: Source of Renaissance, New York,
1975, hal. 215.
17. Saliba, A History, hal. 144.
18. Saliba, " The Ultimate challenge,"
19. Untuk penjelasan rinci tentang observatorium ini dan cerita seputar pendirian dan
fungsinya, lihat Aydin Sayili, The Observatory in Islam, Ankara, 1960, hal. 189-223, dan
Saliba, "Horoscopes and Planetary Theory"
20. Untuk terjemahan risalah ini, lihat Jourdain, Memoire dan Tekeli, "Al-Urdi'nin."
21. Tentang observatorium Maragha, Samarqand, dan Jai Singh II, lihat Sayili, The
Observatory in Islam, hal. 358-361; GR Kaye, Hindu Astronomy, Kalkuta, 1924, hal. 5;
Kaye, Astronomical Observatories of Jai Singh, Calcutta, 1918. Untuk hutang langsung Jai
Singh kepada observatorium Maragha dan hasil yang diperoleh di observatorium itu, lihat
Bose et al., Concise History, hal. 101f.
22. Untuk bidang instrumen ilmiah secara umum, lihat karya David King, Islamic
Astronomical Instruments, London, 1987, dan khususnya bagian VII dari studi tentang
astrolabe universal. Baru-baru ini lihat studinya yang luar biasa tentang peta dunia yang
berpusat di Mekah, dalam David King, World-Maps for Finding the Direction and
Distance to Mecca: Innovation and Tradition in Islamic Science, Leiden, 1999; King,
Selaras dengan Langit: Studi Ketepatan Waktu dan Instrumentasi Astronomi dalam
Peradaban Islam Abad Pertengahan, Leiden, 2004; Franois Charette, Instrumentasi
Matematika di Mesir dan Suriah Abad Keempat Belas: Risalah Bergambar Najm al-Dln
al-Misri, Leiden, 2003, dan sekarang King's In Synchrony with the Heavens, vol. II, Alat
Penghitungan Massa, Brill, 2005.
23. Untuk referensi kepada ahli kamus Italia ini, lihat salinan Almagest dalam bahasa Arab,
yang sekarang disimpan di Tunis, Bibliotheque Nationale, no. 7116, yang terdapat
pernyataan bertanda tangan di halaman depan, di tangan Ibnu Ma'ruf yang mengutip
Calepino. Gambaran dari catatan itu kini diterbitkan dalam G. Saliba, "The World of Islam
and Renaissance Science and Technology," dalam Catherine Hess, ed. The Arts of Fire:
Islamic Influences on Glass and Ceramics of the Italian Renaissance, Los Angeles, 2004,

278
hlm.55-73, khususnya. 71.
24. Lihat, misalnya, Ms. 2994, disimpan di Perpustakaan Nurosmania, Istanbul.
25. Penerapan terkini dari analisis ini dapat dilihat dalam karya Toby Huff, The Rise of E arly
Modern Science, yang juga mengutip Needham dan Weber tentang gagasan serupa.
26. Saya telah membahas hubungan antara akademi-akademi Eropa dan penemuan atau Dunia
Baru, serta hubungan Galileo dengan semua aktivitas tersebut dalam jurnal yang relatif
tidak jelas dalam konteks perdebatan dengan sejarawan sains modern Toby Huff . Lihat G.
Saliba, " "Flying Goats and Other Obsessions: A Response to Toby Huff's 'Reply,"'
Bulletin of the Royal Institute for Inter-Faith Studies 4, no. 2 (2002): 129-141, khususnya
hal. 135f. Perdebatan ini sekarang tersedia di World Wide Web.
27. Sekarang lihat studi David Freedberg, The Eye oft he Lynx: Galileo, His Friends, and the
Beginnings of Modem Natural History, Chicago, 2002.
28. Untuk pemahaman yang lebih mendalam mengenai fakta ini, dan implikasinya terhadap
kebangkitan ilmu pengetahuan modern, lihat Joseph Needham, Within the Four Seas: The
Dialogue of East and West, Toronto, 1969.

279
BIBLIOGRAFI

Aaboe, Asger. On the Babylonian Origin of Some Hipparchian Parameters. Centaurus 4 (1


955-56): 122-125.
'Abd al-Ghani, Mustafa Labib, Dirasat fi tarikh al-'ulum 'inda al-'Arab, volume 1. Dar
al-Thaqafa, Cairo, 2000.
Abu al-Fida, Isma'il (d. 1331 ). al-Mukhtasar fi Akhbar al-Bashar. Cairo, 1907.
Abu al-Fida'. Geographie d'Aboul (eda, Taqwlm al-Buldan, ed. M. Reinaud. Paris, 1840.)
Abu Ma'shar al-Balkhi (d. 886). al-Madkhal ila 'ilm aizkam al-nujum. ]arullah (Carullah) Ms.
1058, published in facsimile. Frankfurt, 1985.
Abuna, Albert. Adab al-Lughawi al-Aramiya. Beirut, 1970.
Akhawayn, Muhyi al-din Muhammad b. Qasim, al- (fl. c. 1498). al-Ishkalat fi 'ilm al
Hay'a (Problems in Science of Astronomy). Austrian National Library, Vienna, Arabic, 1422.
Almagest. al-hajjaj's Arabic translation. British Library manuscript, Add. 7474.
Almagest. al-hajjaj's Arabic translation. Leiden University, Or. 680.
Almagest. Ishaq-Thabit translation. Bibliotheque Nationale de Tunis, no. 7 1 16.
Anonymous (Andalusian). Kitab al-Hay'a. Osmania University Library, Hyderabad,
Arabic Ms. 520RH.
Aristotle. On the Heavens I & a, ed. S. Leggatt. Aris & Phillips, 1995.
Aristotle. On the Heavens. Loeb, 1939. Reprinted in 1960.
Aouad, M. Averroes (Ibn Rushd): Commentaire Moyen a Ia Retorique d'Aristote, Edition
critique du texte arabe et traduction (rancaise. Paris, 2002)
'Askari, al-hasan b. 'Abdallah, Abu Hilal. Kitab al-awa'il. Beirut, 1997.
Averroes (Ibn Rushd). Tafsir ma ba'd al-tabi'a, ed. M. Bouyges. Beirut, 1948.
Averroes (Ibn Rushd). Commentaire Moyen a Ia Rhetorique d'Aristote, Edition critique du
texte arabe et traduction franraise. Paris, 2002.
'Azz,Yuhanna. Risalat al-batriyark Ighnatylis Ni'meh. al-Mashriq 31 ( 1933): 613- 623,
730-737, 831-838.
Baghdadi, Abu al-Barakat al-Kitab al-Mu'tabar. Hyderabad, 1938.
Baghdadi, Muwaffaq al-Din Abu Muhammad b. Yusuf, 'Abd al-Lathif (1231). al-ifada
wa-1-I'tibar, ed. A. Ghassan Sabanu. Dar Ibn Zaydun (Beirut) and Dar Qutayba
(Damascus), 1984.
Banu Musa. Kitab al-hiyal by the Banu (sons oh Musa bin Shakir, ed. A. Y. al-Hassan. Aleppo,
1981.
Banu Musa. The Book of Ingenious Devices (Kitab al-hiyal) by the Banu (sons oh Musa bin
Shakir. Dordrecht, 1979.

280
Bar Hebraeus. See Nau.
Barker, Peter, and Bernard Goldstein. Patronage and Production of De Revolutionibus.
Journal for the History of Astronomy 34 (2003): 345-368.
Bergstrasser, Gotheil. ljunain b. Ishaq, Ober die Syrischen und Arabischen
Galenabersetzungen. Leipzig, 1 925.
Biruni, Abu al-Raih.an (1048). al-Athar al-Baqiya 'an al-Quran al-Khaliya (Chronology of
Ancient Nations), ed. E. Sachau. London, 1 879.
Biruni, Abu al-Raihan, Muhammad b. Ahmad (1048). Kitab al-tafhim li-awa'il sina'at
al-tanjim (The Book of Instruction in the Elements of the Art of Astrology). London,
1934.
Bose, D. M., S. N. Sen, and B. V. Subbarayappa, eds. A Concise History of Science in India.
New Delhi, 1971.
Boyer, Carl. A History of Mathematics. New York, 1968.
Brubaker, Leslie, ed. Byzantium in the Ninth Century: Dead or Alive? Ashgate, 1998.
Brunschvig, R., and G. E. Grunebaum. Classicisme et Decin Culture dans l'histoire de 'Islam.
Paris, 1957.
Burnett, Charles, Jan Hogendijk, Kim Plofker, and Michio Yano, eds. Studies in the History of
the Exact Sciences in Honor of David Pingree. Boston, 2004.
Buzjani, Abu al-Wafa', al- (997). Mayahtaj ilaih al-sumna' min 'ilm al-handasa. Baghdad,
1979.
Buzjanl, Abu al-Wafa', Ma yahtaj ilaih al-kuttab wa1 immal wa-ghairihim min 'ilm
al-hisab. In A. S. Saidan, Abu al-Wafa' al-Buzjani: 'ilm al-hisab al- 'arabi. Amman, 1971.
Bibliography 291
Cambridge History of Arabic Literature: Religion, Learning and Science in the Abbasid
Period, ed. M. Young et al. Cambridge University Press, 1 990.
Charette, Franyois. Mathematical Instrumentation in Fourteenth-Century Egypt and Syria: The
Illustrated Treatise of Najm al-Din al-Misri. Brill, 2003.
Cheikho, Louis. Risalat al-Khujand fi may wa- 'ara al-balad. Mashriq 11 (1908): 60-69.
Cifoletti, Giovanna. The Creation of the History of Algebra in the Sixteenth Century; In
L'Europe mathematique-Mythes, histoires, identites, ed. C. Goldstein et al. Editions de Ia
Maison des sciences des l'hommes,1 996.
Copernicus, Nicolaus. De Revolutionibus: Faksimiles des Manuskriptes. Hildesheim, 1974.
Coyne, G. V., M. A. Hoskin, and o. Pedersen. Gregorian Reform of the Calendar: Proceedings
of the Vatican Conference to Commemorate its 400th anniversary 1582-1982. Vatican, 1
983.
d' Alverny, Marie-Therese. Avicenne en Occident. Paris, 1993.
Daniel, Norman, Islam and the West: The Making of an Image. Oxford University Press, 1960,
1993.
Dannenfeldt, Karl. The Renaissance Humanists and the Knowledge of Arabic. Studies in the
Renaissance 2 ( 1955): 96-117.

281
Debarnot, Marie-Therese. The Zij of habash al-hasib: A Survey of Ms. Istanbul Yeni Cami
784/2. In King and Saliba, From Deferent to Equant. New York Academy of Sciences,
1987.
Della Vida, Giorgio Levi. Ricerche suila formazione del piu antico fonda deu manoscritti
orientali della biblioteca Vatic ana. Studi e Testi, Biblioteca Apostolica Vaticana, Citta
del Vaticano, 1939.
de Vaux, Baron Carra. Les spheres celestes selon Nasir-Eddin Attusi. In Paul Tannery,
Recherches sur l'histoire de'astronomie ancienne. Gauthier-Villars, 1893.
de Vaux, Baron Carra. Le Livre des appareils pneumatiques et des machines hydroliques par
Philon de Byzance. Notices et Extraits des Manuscrits de Ia bibliotheque Nationale 38
(1903): 27-237.
…, Dictionary of Scientific Biography. New York, 1970-1990.
Dobrzycki, Jerzy, and Richard L. Kremer. Peurback and the Maragha astronomy? The
Ephemerides of Johannes Angelus and Their Implications. Journal for the History of
Astronomy 27 (1996): 187-237.
Dorotheus Sidonius. See Pingree, 1976. 292
Dzielska, Maria. Hypatia of Alexandria. Harvard University Press, 1995.
Eche, Youssef. Les Bibliotheques Arabes. Damas, 1967.
EHAS. See Encyclopedia of the History of Arabic Sciences.
EF. See Encyclopedia of Islam. Encyclopaedia Britannica.
…, Encyclopedia Iranica. http:/ /www.iranica.com/articlenavigation/index.html.
…, Encyclopedia Italiana, Storia della Scienza, volume Ill. Rome, 2002.
…, Encyclopedia of Islam, second edition. Brill, 1986-2004. Cited as EJ2.
…, Encyclopedia of the History of Arabic Sciences, ed. R. Rashed in collaboration with Regis
MoreJon. Routledge, 1996. Cited as EHAS.
Farghanl, Ibn Kathlr, (fl. 861). Jawami' 'ilm al-nujum. Amsterdam, 1669.
Freedberg, David. The Eye of the Lynx: Galileo, His Friends, and the Beginnings of Modem
Natural History. University of Chicago Press, 2002.
Fihrist. See al-Nadlm.
Flick, Johann. Die Arabischen Studien in Europa his in den Anfang des 20. Jahrhundert.
Leipzig, 1955.
Ghars al-Din, Ahmad b. Khalil al-halabl (d. 1 563). Tanbih al-nuqqad 'ala ma fi al-hay'a
al-mashhura min al-fasad (Alerting the Critics to the Corruption of the Well-Known
Astronomy). Istanbul, Yeni ]ami', Ms. 1 181.
Ghazall, Abu hamid (d. 1111 ),. The Incoherence of the Philosophers, ed. M. Marmura. Provo,
1997.
Ghulam, Yousif Muhammad. The Art of Arabic Calligraphy. Published by the author, 1982.
Goldstein, Bernard. Al-Bitraji: On the Principles of Astronomy. Yale University Press, 1971.
Goldstein, Bernard. Copernicus and the Origin of His Heliocentric Universe. Journal for the
History of Astronomy 33 (2002): 219-235.

282
Goldstein, Bernard. Ancient and Medieval Values for the Mean Synodic Month. Journal for the
History of Astronomy 34 (2003): 65-7 4.
Goldstein, C., ]. Gray, and]. Ritter, eds. L'Europe mathematique-Mythes, histoires, identites.
Mathematical Europe-Myth, History, Identity. Editions de Ia Maison des sciences des
l'hommes, 1996. Bibliography 293
Goodman L. E. The Translation of the Greek materials into Arabic. In Cambridge History of
Arabic Literature: Religion Learning and Science in the Abbasid Period. Cambridge
University Press, 1990.
Grafion, Anthony. Michael Maestlin's Account of Copernican Planetary Theory. Proceedings
of the American Philosophical Society 117, no. 6 (1973): 523-550.
Grant, Edward, ed. A Source Book in Medieval Science. Harvard University Press, 1974.
Green, V. H. H. Renaissance and Reformation: A Survey of European History Between 1450
and 1660. London. 1954. Reprinted in 1975.
Gregory, Timothy. A History of Byzantium. Blackwell, 2005.
Grignaschi, Mario. Les ‘Rasa'il Aristatalls ila-1-Iskandar‘ de Salim Abu-1-'Ala' et
l'Activite Culturelle a l'Epoque Omayyade. Bulletin d'Etudes Orientales 19 ( 1965-66): 7-83.
Grunebaum, Gustav Von. Islam: Essays in the Nature and Growth of a Cultural Tradition.
Greenwood, 1981.
Gubernatis, Angelo de. Materiaux pour servir a l'histoire des etudes orientales en Italie. E.
Leroux, 1876.
Gutas, Dimitri. Paul the Persian on the Classifications of the Parts of Aristotle's Phi
losophy: A Milestone between Alexandria and Baghdad. Der Islam 60 (1983): 3 1-267.
Gutas, Dimitri. Greek Thought, Arabic Culture. Routledge, 1998.
Habash al-hasib, Ahmad b. 'Abdallah (c. 850). See Kennedy, Kunitzsch, and Lorch, 1999.
hajjaj b. Matar (c. 830). Almagest (Arabic translation). Leiden University, Ms. Or 680.
HAMA. See Neugebauer, 1975.
Hartner, Willy. Copernicus, the Man, the Work, and Its H istory. Proceedings of the American
Philosophical Society 117, no. 6 (1973): 4 13-422.
Hartner, Willy. Nasir al-din al-Tlisl's Lunar Theory. Physis 11 ( 1969): 289-304.
Hashiml, 'All b. Sulaiman al- (ninth century). Kitab (f 'ilal al-zljat. Bodleian Ms. Selden A. 11.
Haskins, Charles Homer. The Renaissance of the 12th Century. Cambridge, Massachusetts,
1927.
hassan, Ahmad Y., ed. al-Jami 'bain al-'ilm wa-1- 'a mal al-nafi 'fi sina'at al-hiyal (Combining
Theory and Useful Practice in the Crafi of Mechanical Arts). Aleppo, 1979. See also Hill
1974. 294
Hassan, Ahmad Y. al-, and Donald Hill. Islamic Technology: An illustrated History. UNESCO
and Cambridge University Press, 1986.
Hassan, Ahmad Yusuf al-. Factors behind the Decline of Islamic Science afier the Sixteenth
Century. In Islam and the Challenge of Modernity, ed. S. Shifa al-Attas. Kuala Lumpur,
1996.

283
Hayes, John, ed. The Genius of Arab Civilization: Source of Renaissance. New York
University Press, 1975.
Heinen, Anton. Islamic Cosmology. Orient Institute, Beirut, 1982.
Hero of Alexandria. The Pneumatics of Hero of Alexandria. Macdonald, 1971.
Hess, Catherine, ed., with contributions by Linda Komaroff and George Saliba. The Arts of
Fire: Islamic Influences on Glass and Ceramics of the Italian Renaissance. ]. Paul Getty
Museum, 2004.
Hill, Donald. The Book of Ingenious Devices (Kitab al-Ifiyah by banu (sons oh Musa bin
Shakir. Reidel, 1979.
Hill, Donald. The Book of Knowledge of Ingenious Mechanical Devices. Reidel, 1974
(translation of ]azari).
Homa'l, ]alai al-Din. al-Tafhlm li-awa'il sina 'at al-tanjlm. Babak, Teheran.
Hood bhoy, Pervez. Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality.
Zed, 1991.
Hoodbhoy, Pervez. Muslims and Science: Religious Orthodoxy and the struggle for Rationality.
Vanguard, Lahore, 1991.
Huff, Toby. The Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West. Cambridge
University Press, 1995.
Ibn Abl Usaybi'a, Ahmad b. Qasim (1270). Vyzln al-Anba' fi Tabaqat al-Atibba; ed. R. Muller.
Konigsberg, 1884.
Ibn al-Athlr, 'Izz al-Din Abu al-Hasan (d. 1223). al-Kamil fi al-Tarikh. Dar al-Kitab al-'Arabi,
Beirut, 1995.
Ibn al-Baitar. al-fami' li-Mufradat al-Adwiya wa-1-Aghdhiya. Bulaq, 1874.
Ibn al-Haitham, al-Hasan Abu 'All (d. 1049). On the Elevation of the Pole. Leiden 1643,
British Museum Ms. Add. 3034, dated 1646.
Ibn al-Haitham, al-Hasan Abu 'All (d. 1049). al-Shukllk 'ala Batlamyas (Dubitationes in
Ptolemaeum), ed. A. Sabra and N. Shehaby. Dar al-Kutub, Cairo, 1971.
Ibn al-Nafls, Abu al-Hasan 'Ala' al-Din b. Abl al-Hazm al-Qarshl al-Dimashqi (d. 1288).
Kitab Sharah Tashrih al-Qamin, ed. S. Qattaya. Cairo, al-Hay'a al-Masrlya, 1988.
Bibliography 295
Ibn al-Shatir, 'Ala' al-din (1375). Kitab nihayat al-sul fi tashil; al-usu1 (The Ultimate
Quest in the Rectification of [Astronomical] Principles) (Bodleian. Ms. Marsh 139) ed. George
Saliba (forthcoming).
Ibn al-Ukhuwwa, Muhammad b. Muhammad b. (1329). Maillim al-qurbah fl ahkam al-hisba,
ed. R. Levey. Cambridge, 1938.
Ibn Khaldun, 'Abd al-Rahman (1406). The Muqaddimah. Princeton, 1 958.
Ibn Mamatl, As'ad b. Muhadhdhab ( 1209). Qawanin al-Dawawin, ed. A. Atiya. matba'at Misr,
Cairo, 1943.
Ibn Qutayba. Vyun al-akhbar. Dar al-Kitab, Beirut, 1997.
Ibn Qutayba. Kitab al-anwa'. Dar al-ma'arif al-Osmaniya, Hyderabad, 1 956.

284
Itlldl, Muhammad Diyab al- (seventeenth century). I1am al-nas bi-ma waqa 'a /i-1- baramika
rna 'a bani al-'abbas. Beirut, 1990.
Jami, 'Amr b. Bahr, al- (869). Kitab al-Bukhala'. Dar al-Fikr, Beirut, n.d.
Jahshiyarl, Muhammmad b. 'Abdus, al- (d. 942). Kitab al-Wuzara' wa-1-Kuttab. Dar al-Fikr,
Beirut, 1988.
Jazarl, Isma'a Abu al-'Izz, al- (c. 1206). al-fami' bain al-'ilm wa-1-'amal al-nafi'fl sina 'at
al-hiyal (Combining Theory and Useful Practice in the Crafi of Mechanical Arts), ed. A.
Y.
al-hassan. Aleppo, 1979. See also Hill, 1974; al-hassan, 1979.
Job of Edessa (c. 81 7). Book of Treasures, ed. A. Mingana. Heffer, 1 935.
Jones, John Robert. Learning Arabic in Renaissance Europe (1505-1624). Dissertation.
DX195516, London University, 1988.
Jones, John Robert. The Medici Oriental Press (Rome 1584-1614) and the Impact of its Arabic
Publications on Northern Europe. In The 'Arabick' Interest of the Natural Philosophers
in Seventeenth-Century England, ed. G. Russell. Brill, 1 994.
Jones, Alexander. Later Greek and Byzantine Astronomy. In Astronomy before the
Telescope, ed. C. Walker. St. Martin's Press, 1996.
Jourdain, A.Memoire sur l'observatoire de Meragah et sur Quelques Instruments Employes
pour Observer. Paris, 1870.
Jumayll, Rashid al-. lfarakat al-tarjama fl al-mashriq al-islaml fl al-qarnain al-thalith
wa-1-rabi'u1-hijra, al-kitab. Tripoli, 1982.
Kaye, G. R. Hindu Astronomy. Calcutta, 1924.
Kennedy, E. S. A Survey of Islamic Astronomical Tables. Transactions of the American
Philosophical Society, New Series, 46, no. 2 ( 1956): 123-177.
Kennedy, E. S. Late Medieval Planetary Theory. Isis 57 (1966): 365-378. 296
Bibliograph
Kennedy, E. S. The Arabic Heritage in the Exact Sciences. al-Abl;zath 23 (1970): 327- 344.
Reprinted in Studies in the Islamic Exact Sciences by E. S. Kennedy, Colleagues and
Former Students, ed. D. King and M. Kennedy. American University, Beirut, 1983.
Kennedy, E. S., and lmad Ghanim. The Life and Work of Ibn al-Shatir. Aleppo, 1976.
Kennedy, E. S., Fuad I. Haddad, and David Pingree. The Book of the Reasons Behind
Astronomical Tables. Scholars' Facsimile and Reprints, New York, 1981.
Kennedy, E. S. Studies in the Islamic Exact Sciences by E. S. Kennedy, Colleagues and
Former Students, ed. D. King and M. Kennedy. American University, Beirut, 1983.
Kennedy, E. S., P. Kunitzsch, and R. P. Lorch, eds. The Melon-Shaped Astrolabe in Arabic
Astronomy. Steiner, 1999.
Khatri, Shams al-Din (1550). See Saliba, 1994, 1997, 2000.
Kharaql, 'Abd al-jabbar, al- (1139). Muntaha al-idrak fl taqaslm al-aflak. Bibliotheque
Nationale de France, Arabe 2499.
Khwarizml, Muhammad b. Masa, al-. Kitab al-jabr wa-1-muqabala. See Rosen, 1831.

285
Khwarizmi al-Katib, Muhammad b. Ahmad b. Yasuf, al- (997). Mafatih al-'ulum, ed. G. van
Vloten. Leiden, 1895.
King, David. Ibn al-Shatir. In Dictionary of Scientific Biography, 1975.
King, David, and George Saliba. From Deferent to Equant. Annals of the New York Academy
of Sciences 500 ( 1987).
King, David. Islamic Astronomical Instruments. Variorum, 1987.
King, David. Astronomy in the Service of Islam. Aldershot, 1993.
King, David. World-Maps for Finding the Direction and Distance to Mecca: Innovation and
Tradition in Islamic Science. Brill, 1999.
King, David. In Synchrony with the Heavens: Studies in Astronomical Timkeeping and
Instrumentation in Medieval islamic Civlization, volume 1: The Call of the Muezzin.
Leiden, 2004.
King, David. In Synchrony with the Heavens: Studies in Astronomical Timkeeping and
Instrumentation in Medieval islamic Civlization, volume a Instruments of Mass
Calwlations. Brill, 2005.
Kunitzsch, Paul. Peter Apian und Azophi: Arabische Stembilder in lngolstadt im frahen 16.
fahrhundert. Bayerische Akademie der Wissenschafien, Philosophisch-Historische
Klasse, Sitzungsberichte, jahrgang 1986, Hefi 3, Verlag der Bayerischen Akademie der
Wissenschafien, 1986.
Kuntz, Marion. Guillaume Postel: Prophet of the Restitution of All Things, His Life and
Thought. Kluwer, 1981.
…, Legacy on Islam, ed. T. Arnold and A. Guillaume. Oxford University Press, 1931.
Lemerle, Paul. Le Premier Humanisme Byzantin: Notes et remarques sur enseignement et
culture a Byzance des origins au X'· siecle. Presses Universitaires de France, 1971.
Lewis, Bernard, ed. The World of Islam. Thames and Hudson, 1976.
Mango, Cyril, ed. The Oxford History of Byzantium. Oxford University Press, 2002.
Mas'lidl, Abu al-hasan 'All b. husain b, 'All, al- (956). Muruj al-Dhahab (Les Prairies
d'Or), ed. C. Barbier de Meynard. Paris, 1874.
Mavroudi, Maria. A Byzantine Book on Dream Interpretation: The Oneirocriticon of Achmet
and Its Arabic Sources. Brill, 2002.
Mercier, Andre, ed. Islam und Abendland. Herbert Lang, 1976.
Meyerhof, Max. Von Alexandrien nach Bagdad: Ein Beitrag zur Geschichte des philo
sophischen und medizinischen Unterrichts den Araben. Sitzungsberichte der Berliner
Akademie der Wisscnschaten, Philologisch-historische Klasse, 1930: 389-429.
Meyerhoff, Max. Science and Medicine. In the Legacy of Islam, ed. T. Arnold and A.
Guillaume. Oxford University Press, 1931.
Michaud, Louis Gabriel. Biographie Universelle. Paris, 1847-.
Mingana. See Job of Edessa.
Morelon, Regis. Eastern Arabic Astronomy between the Eighth and the Eleventh Centuries. In
EHAS.

286
Moreton, Regis. Thabit Ibn Qurra: Oeuvres d'Astronomie. Belles Lettres, Paris, 1987.
Morrison, Robert. Qutb al-Din al-Shirazl's Use of Hypotheses. Journal for the History of
Arabic Science 13 (2005): 21-140.
Mumtahan, The Verified Astronomical Tables for the Caliph al-Ma'mun, by Yahya b. Abl
Mansur, photographic print of Escorial Ms. Arabe 927, by Fuat Sezgin, Institute for the
History of Arabic-Islamic Science, Frankfurt, 1986.
Nadlm, Abu al-Faraj Muhammad b. Abl Ya'qub Ishaq, al- (987). al-Fihrist, ed. Y. 'All Tawil.
Beirut, 1996.
Nallino, Carlo A. 'ilim al-Falk: Tarikhuhu 'indal-'Arab fi al-quran al-wusta. Rome, 1911.
Nau, F. [Bar Hebraeus] . Livre de 'ascension de 'esprit sur Ia forme du ciel et de Ia terre.
Emile Bouillon, 1899. 298
Nau, F. Le traite de l'astrolabe plan de Severe Sebokt, publie pour Ia premiere fois d'apres un
Ms. de Berlin. Journal Asiatique 13 (1899): 56-101, 238-303.
Nau, F. La plus ancienne mention orientale des chiffres indiens. Journal Asiatique 16 (1910):
225-227.
Nau, F. Notes d'astronomie syrienne. Journal Asiatique, 2e ser. t. xvi (1910): 225-226.
Nau, F. La traite sur les constellations ecrit, en 661, par Severe Sebokht Eveque de Qennesrin.
Revue de /'Orient Chretien, 3e serie, 7, no. xxva ( 1929-30): 327-338.
Needham, Joseph. Within the Four Seas: The Dialogue of East land West. University of
Toronto Press, 1969.
Neugebauer, Otto. Studies in Byzantine Astronomical Terminology. Transactions of the
American Philosophical Society, New Series, SO ( 1960): 1-45
Neugebauer, Otto. Thabit Ben Qurra 'On the Solar Year' and 'On the Motion of the Eighth
Sphere,' translation and commentary. Proceedings of the American Philosophical
Society 106 (1962): 64-299.
Neugebauer, Otto. On the Planetary Theory of Copernicus. Vistas in Astronomy 10 (1968):
89-103.
Neugebauer, Otto. A History of Ancient Mathematical Astronomy. Springer-Verlag, 1975.
Cited as HAMA.
O'Leary, De Lacy. How Greek Science Passed to the Arabs. Routledge, 1949. Reprinted in
1964.
…, Oxford Dictionary of Byzantium. Oxford University Press, 1991.
Paret, R. Der Islam und das griechische Bildungsgut. Mohr, 1950.
Paschos, E. A., and P. Sotiroudis. The Schemata of the Stars: Byzantine Astronomy from AD 1
300. World Scientific, 1998.
Pingree, David. Gregory Chioniades and Paleologan Astronomy. Dumbarton Oaks Papers 18
(1964): 133-160.
Pingree, David. The Fragments of the Works of Ya'qilb ibn Tariq. Journal of Near Eastern
Studies 26 (1968): 97-125.
Pingree, David. The Fragments of the Works of al-Fazari. Journal of Near Eastern Studies 29
(1970): 103-123.

287
Pingree, David, and E. S. Kennedy. Astrological History of Masha'allah. Harvard University
Press, 1971 .
Pingree, David. The Greek Influence on Early Islamic Mathematical Astronomy.Journal of the
American Oriental Society 93 (1973): 32-43.
Pingree, David. Dorotheus Sidonius Carmen Astrologicum. Teubner, 1 976.
Pingree, David. The Astronomical Works of Gregory Chioniades. ]. C. Gieben, 1985.
Postel, Guillaume (158 1-1981). Guillaume Postel (1581-1981). Actes du Colloque
International d'Avranches, 5-9 Septembre, 1981, Paris, 1 985.
Ptolemy, Claudius. The Almagest. See Almagest; Toomer, 1984.
QifiJ, 'Ali b. Yusuf (1248), al-, Ta'rikh al-hukama'. Dietrich'sche Verlagsbuchlandlung,
Leipzig, 1903.
Ragep, F. ] amil. Nasir al-Din al-Tusi Memoir on Astronomy. Springer-Verlag, 1 993.
Ragep, F. ]amil. Tusi and Copernicus: The Earth's Motion in Context. Science in Context 14
(2001): 1 45-163.
Ragep, F. ]amil. Freeing Astronomy from Philosophy: An Aspect of Islamic Influence on
Science. Osiris 16 (2001): 49-7 1.
Ragep, F. jamil. Ali Qushji and Regiomontanus: Eccentric Transformations and Copernican
Revolutions. Journal for the History of Astronomy 36 (2005): 359-371.
Rashed, Roshdi. l'Idee de l'Algebre Selon Al-Khwarizmi, Fundamenta Scientiae 4 (1983)
87-100.
Rashed, Roshdi. I' Art de I 'Algebre de Diaphonte. al-Hay' a al-Misrl ya, Cairo, 1975. French
translation Paris 1984.
Rashed, Roshdi. Problems of the Transmission of Greek Scientific Thought into Arabic:
Examples from Mathematics and Optics. History of Science 27 (1989): 1 99-209.
Reprinted in Rashed, Optique et mathematique. Variorum, 1992.
Rashed, Roshdi. Optique et mathematique. Variorum, 1992.
Rhazes (Razl, Muh.ammad b. Zakarlya, Abu Bakr, al- (925)). De varialis et morbilis. London,
1760.
Razi, Muhammad b. Zakarlya, Abu Bakr, al- (925). al-Shukilk 'ala fall nus (Doubts contra
Galen), ed. M. Mohaghegh. Tehran, 1993.
Ritter, Helmut. l'Orthodoxie a-t-elle une part dans Ia Decadence? In Classicisme et Decin
Culture dans l'histoire de /'Islam, ed R. Brunschvig and G. Grunebaum. Paris, 1957.
Roberts, Victor. The Solar and Lunar Theory of Ibn al-Shatir: A Pre-Copernican Copernican
Model. Isis 48 (1957): 428-432. Reprinted in Studies in the Islamic Exact Sciences, ed. D.
King and M.-H. Kennedy. American University, Beirut, 1983.
Rosen, Frederic. The Algebra of Mohammed ben Musa. London, 1 831. Reprint: Olms, 1986.
Rosenthal, F. The Classical Heritage in Islam. Routledge, 1965.
Russell, Gtil, ed. The 'Arabick' Interest of the Natural Philosophers in Seventeenth-Century
England. Brill, 1994.

288
Ryssel, V. Die Astronomischen Briefe Georgs des Araberbischofs. Zeitschrifi far Assyriologie
und verwandte Gebiete 8 ( 1893): 1-55.
Sabra, A. I. The Scientific Enterprise. In The World of Islam, ed. B. Lewis. Thames and
Hudson, 1976.
Sabra, A. I. The Appropriation and Subsequent Naturalization of Greek Science in Medieval
Islam: A Preliminary Statement. History of Science 25 (198 7): 223-243.
Sabra, A. I. Situating Arabic Science: Locality versus Essence. Isis 87 (1996): 654-679.
Sachau, Edward. Biruni's Chronology of Ancient Nations. William H. Allen, 1879.
Safadl, Salah al-Din Khalil b. Aybak, al- (d. 1362). Al-Ghayth al-musajjam fl sharh lamiyat
al-'ajam. Beirut, 1997.
Safadl, Salah al-Din Khalil b. Aybak, al- (d. 1363). Kitab al-wafl bi-1-wafayat. Wiesbaden,
1981.
Saidan, A. S. Abu al-Wafa 'al-Bzlzjanfi: 'ilm al- hisab al-'arabi. Amman, 19 71.
Saidan, A. S. The Arithmetic of al-Uqudisi. Reidel, 1978.
Saliba, George. The Original Source of Qutb al-Din al-Shirazi's Planetary Model. Journal for
the History of Arabic Science 3 (1979): 3-18.
Saliba, George. The Function of Mechanical Devices in Medieval Islamic Society. Annals of
the New York Academy of Sciences 441 ( 1985): 141-151.
Saliba, George. The Determination of the Solar Eccentricity and Apogee According to
Mu'ayyad al-Din al-'Urdi (d. 1266 A.D.). Zeitschrifi far Geschichte der
ArabischIslamischen Wissenschafien 2 (1985): 47-67. Reprinted in Saliba, A History.
Saliba, George. The Role of the Almagest Commentaries in Medieval Arabic Astron
omy: A Preliminary Survey of Tlisi's Redaction of Ptolemy's Almagest. Archives
Internationales d'Histoire des Sciences 3 7 (1987): 3-20. Reprinted in Saliba, A History.
Saliba, George. Theory and Observation in Islamic Astronomy: The work of Ibn al
Shatir of Damascus. Journal for the History of Astronomy 18 (1987): 35-43. Reprinted in
Saliba, A History.
Saliba, George. Arabic Astronomy in Byzantium. journal for the History of Astronomy 20
(1990): 21 1-215.
Saliba, George. The Astronomical Work ofMu'ayyad al-Din al-'Urdu (d. 1266): A Thirteenth
Century Reform of Ptolemaic Astronomy, 'Urdi's Kitab al-Hay'a. Beirut, 1990, 1995.
Third corrected edition, 2001.
Saliba, George, and E. S. Kennedy. The Spherical Case of the Tusi Couple. Arabic Sciences
and Philosophy 1 (1991): 285-291. Reprinted with minor mistakes in Nasir al-Din
al-'tusi: Philosophe et savant du xai' siecle, ed. N. Pourjavadi and Z. Vesel. Institut
Francais de Recherche en Iran and Presses Universitaires d'Iran, Teheran, 2000.
Saliba, George. A Sixteenth-Century Drawing of an Astrolabe Made by Khafif Ghulam 'All b.
'Isa (c. 850 A. D . ). Nuncius, Annali di Storia della Scienza 6 (1991): 109-119.
Saliba, George. Copernican Astronomy in the Arab East: Theories of the Earth's Motion in the
Nineteenth Century. In Transfer of Modem Science and Technology to the Muslim World,
ed. E. Ihsanoglu. Istanbul, 1992.

289
Saliba, George. The Role of the Astrologer in Medieval Islamic Society. Bulletin
d'Etudes Orientales 44 (1992): 45-68. Reprinted in Magic and Divination in Early Islam, ed. E.
Savage-Smith. Ashgate-Variorum, 2004.
Saliba, George. Al-Qushji's Reform of the Ptolemaic Model for Mercury. Arabic Sciences and
Philosophy 3 ( 1993): 1 61-203.
Saliba, George. A Sixteenth-Century Arabic Critique of Ptolemaic Astronomy: The Work of
Shams al-din al-Khafri. Journal for the History of Astronomy 25 (1994): 1 5-38.
Saliba, George. Early Arabic Critique of Ptolemaic Cosmology: A Ninth-Century Text on the
Motion of the Celestial Spheres. Journal for the History of Astronomy 25 (1994):
115-141.
Saliba, George. A History of Arabic Astronomy: Planetary Theories During the Golden Age of
Islam. New York University Press, 1994.
Saliba, George. Paulus Alexandrinus in Syriac and Arabic. Byzantion 65 (1995): 440-454.
Saliba, George. Arabic Planetary Theories afier the Eleventh Century AD. In Encyclopedia of
the History ofArabic Science. Routledge, 1 996.
Saliba, George. A Redeployment of Mathematics in a Sixteenth-Century Arabic Critique of
Ptolemaic Astronomy. In Perspectives arabes et medievales sur Ia tradition scientifique
philosophique grecque. Actes du Colloque de Ia S. I. H. S. P. A. I. (Societe
internationale d'histoire des sciences et de Ia philosophie arabe et Islamique), ed. A.
Hasnawi, A. Elamrani-Jamal, and M. Aouad. Peeters, 1997.
Saliba, George. Persian Scientists in the Islamic World: Astronomy from Maragha to
Samarqand. In The Persian Presence in the Islamic World, ed. R. Hovannisian and G.
Sabagh. Cambridge University Press, 1998.
Saliba, George. Rethinking the Roots of Modern Science: Arabic Manuscripts in European
Libraries. Occasional Paper, Georgetown Center for Contemporary Arab Studies, 1999.
Saliba, George. Critiques of Ptolemaic Astronomy in Islamic Spain. al-Qantara 22 (1999):
3-25.
Saliba, George. Competition and the Transmission of the Foreign Sciences: hunayn at the
Abbasid Court. Bulletin of the Royal Institute for Inter-Faith Studies 2 (2000): 85-101.
Saliba, George. The Ultimate Challenge to Greek Astronomy: lfall ma ai Yanhwll of Shams
al-Din al-Khafrl (d. 1 550). In Sic Itur Ad Astra: Studien zur Geschichte der Mathematik
und Naturwissenschafie, ed. M. Folkert and R. Lorch. Harrassowitz Verlag, 2000.
Saliba, George. Science before Islam. In The Different Aspects of lslamic Culture, volume 4:
Science and Technology in Islam, ed. A. Y. al-Hassan et al., part 1, The Exact and
Natural Sciences. UNESCO, 2001.
Saliba, George. Islamic Astronomy in Context: Attacks on Astrology and the Rise of the Hay'a
Tradition. Bulletin of the Royal Institute for Inter-Faith Studies 4 (2002): 25-46.
Saliba, George. Greek Astronomy and the Medieval Arabic Tradition. American Scientist,
July-August 2002: 360-367.
Saliba, George. Alternative all'astronomia tolemaica. In Storia della Scienza, volume aI, ed. S.
Petruccioli. Rome, 2002.

290
Saliba, George Flying Goats and Other Obsessions: A Response to Toby Huff's Reply. Bulletin
of the Royal Institute for Inter-Faith Studies 4, no. 2 (2002): 129-141.
Saliba, George. Aristotelian Cosmology and Arabic Astronomy. In De Zenon d'ENe a Poincare,
ed. R. Morelon and A. Hasnawi. Peeter, 2004.
Saliba, George. Reform of Ptolemaic Astronomy at the Court of Ulugh Beg. In Studies in the
History of the Exact Sciences in Honor of David Pingree, ed. C. Burnett et al. Boston,
2004.
Saliba, George. The World of Islam and Renaissance Science and Technology. in
The Arts of Fire: Islamic Influences on Glass and Ceramics of the Italian Renaissance, ed. C.
Hess. Los Angeles, 2004.
Saliba, George. Re-visiting The Astronomical Contacts between the World of Islam and
Renaissance Europe: The Byzantine Connection. Forthcoming.
Saliba, George. Whose Science Was Arabic Science in Renaissance France? http:/ I
www.columbia.edu/ -gas 1/project/visions/ case 1 I sci.1.h tml.
Sarris, Peter. The Eastern Roman Empire from Constantine to Heraclius (306-641). In The
Oxford History of Byzantium, ed. C. Mango. Oxford University Press, 2002.
Sarton, George. Introduction to the History of Science. Williams and Wilkins, 1927.
Savage-Smith, Emilie, ed. Magic and Divination in Early Islam. AshgateVariorum, 2004.
Saylli, Aydin. Ghiyath al-Din al-Kashi's letter on Ulugh Bey and the Scientific Activity in
Samarqand. Ankara, 1 985.
Saylll, Aydin. The Observatory in Islam. Ankara, 1 960.
Sezgin, Fuat. Geschichte des Arabischen Schrifitums. Leiden, 1 967-.
Shahid, Irfan. Islam and Byzantium in the IXth century: The Baghdad, Constantinople
Dialogue. In Cultural Contacts in Building a Universal Civilization: Islamic
Contributions, ed. E. Ihsanoglu. Istanbul, 2005 .
Shaibanl. See Ibn al-Athlr.
Shirazi, Qutb al-din al-. al-Tuhfa al-Shahiya. Paris, BnF Arabe, 2516.
Sufi, Abd al-Rahman, al- (d. 986). Suwar al-Kawakib. Hyderabad, 1953.
Swerdlow, Noel. Aristotelian Planetary Theory in the Renaissance: Giovanni Batista Amico's
Homocentric Spheres. Journal for the History of Astronomy 3 (1972): 36-48.
Swerdlow, Noel. The Derivation and First Drafi of Copernicus's Planetary Theory: A
Translation of the Commentariolus with Commentary. Proceedings of the American
Philosophical Society 117, no. 6 (1973): 423-5 12.
Swerdlow, Noel. Copernicus's Four Models of Mercury. In Studia Copernicana XaI, ed. 0.
Gingerich and ]. Dobrzycki. Warsaw, 1975.
Swerdlow, Noel, and Otto Neugebauer. Mathematical Astronomy in Copernicus's De
Revolutionibus. Springer-Verlag, 1984.
Swerdlow, Noel. Jabir Ibn Aflah' s Interesting Method for Finding the Eccentricities and
Direction of the Apsidal Line of a Superior Planet. In King and Saliba, From Deferent to
Equant. New York Academy of Sciences, 1987.

291
Swerdlow, Noel. Astronomy in the Renaissance. In Astronomy before the Telescope, ed. C.
Walker. St. Martin's Press, 1996.
Tabari, Ibn Jarir (932). Tarfkh al-rusul wa-1-mulk. Beirut, 1 987.
Tannery, Paul. Recherches sur l'histoire de l'astronomie ancienne. Gauthier-Villars, 1893.
Tannukhi, al-Muhassin b. 'All, al-(994). Nishwar al-muhaqara wa akhbar al-mudhakara, ed. A.
Shaljl. Beirut, 1971-1973.
Taski.iprahi-zade (d.1561). al-Shaqa'iq al-nu 'manfya fl ulama' al-dawla al-'uthmanfya.
Istanbul, 1985.
Tawil, Yusuf 'All, ed. Fihrist al-Nadfm. Beirut, 1996.
Tekeli, Sevim. Al-Urdi'nin 'Risalet-i.in Fi Keyfiyet-il-Ersad' Adli makalesi. Arastirma 7 (1970):
5 7-98.
Thabit b. Qurra. See Neugebauer, 1962; MoreJon, 1987.
Tihon, A. L'astronomie byzantine (du ye au XVe siecle). Byzantion 51 (1981): 603-624.
Tihon, A. Etudes d'astronomie byzantine. London, 1994.
Toll, Christopher. Arabische Wissenschafi und Hellenistisches Erbe. In Islam und Abendland,
ed. A. Mercier. Frankfurt, 1976.
Toomer, Gerald. Ptolemy's Almagest. Springer-Verlag, 1984.
Toomer, G. ]. Eastern Wisdome and Learning. Oxford University Press, 1996.
Treadgold, Warren. The Struggle for Survival (641-780). In The Oxford History of Byzantium,
ed. C. Mango. Oxford University Press, 2002.
Turner, A. ]. Catalogue of the Collection, The Time Museum, volume I: Time Measuring
Instruments, Part I, Astrolabes Astrolabe Related Instruments. Rockford, 1985.
Tusi, Nasir al-Din (d. 1274). See de Vaux, 1 893; Ragep, 1993.
Tusi, Nasir al-Din (d. 1274). Tahrir al-majlis{i. Bibliotheque Nationale de France, arabe 2485,
and India Office, Loth, 741.
Tusi, Nasir al-Din, al-. The Rawcjatu't-Taslim: commonly called Tasawwzmit. Persian text, ed.
W. Ivanow. Leiden, 1950.
Tusi, Nasir al-Din, al-. Tajrid al-'i 'tiqad. Cairo, 1996.
Tusi, Nasir al-Din al-. Contemplation and Action: The Spiritual Autobiography of a Muslim
Scholar. I. B. Tauris, 1998.
Tusi, Nasir al-Din, al-. Awsaf al-ashraf Beirut, 2001.
Ullman, Manfred. Die Medizin in Islam. Brill, 1970.
Uqlldisl (c. 952). See Saidan, 1978.
'Un,ll (d. 1266). See Saliba, 1993.
Vesalius, Andreas. On the Fabric of the Human Body, Book I. San Francisco, 1998.
Abu al-Wafa'. See Buzjani.
Al-Wasl bi-1-wafayat. See Safadl.
Walker, Christopher, ed. Astronomy before the Telescope. St. Martin's Press, 1996.

292
Weill, Georges, and Francois S. Fie et caractere de Guillaume Postel. Milan, 1987.
Weisser, Ursula. Avicenna: Influence on Medical Studies in the West. In Encyclopedia Iranica
Ill, pp. 107-110.
Wiedeman, E., with T. W. Juynbol. Avicennas Schrifi a.ber ein von ihm ersonnenes
Beobachtunginstrument. Acta Orientalis xi, no. 5 ( 1926): 81-167.
Yaqut, al-hamwl, Shihab al-din Abu 'Abdallah (1228). MuJam al-buldan. Beirut, 1979.
Ziij al-Ma'mini al-Mumtahan, al-. Escorial. Arabic Ms. 927.

293
Index

Abbasiyah, 2, 4, 5, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 17, 19, 34, 35, 40, 43, 48, 51, 53, 54, 59, 60, 63, 64,
65, 66, 67, 68, 69, 71, 72, 74, 75, 83, 135
Abu Hilal al-'Askari, 52
Abu Sulaiman al-Mantiq, 49
Akademi, Akademis, 5, 53, 227, 240, 252, 253
Alkemi, Alkimia, Alkemis, 13, 39, 45, 51, 52, 53, 54, 59
Alexander Agung, Invasi Alexander, 10, 11, 12, 31, 32, 33, 34
Alfonsine, 208
Aljabar, 17, 18, 56, 69
Al-Kindi, 35
Almagest, 3, 8, 12, 16, 17, 19, 62, 71, 73, 80, 81, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 97,
98, 99, 100, 101, 102, 104, 106, 107, 108, 111, 134, 137, 138, 140, 142, 147, 153, 170,
178, 199
Al-Ma'mun, 11, 48, 49, 53, 84
Almagest, 3, 8, 12, 16, 17, 19, 62, 71, 73, 80, 81, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 96, 97, 98,
99, 100, 101, 102, 104, 106, 107, 108, 111, 134, 137, 138, 139, 140, 142, 147, 153,
170, 178, 199, 216,
Al-Nadim, 28, 29, 44, 47, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 64, 70, 71, 72, 75, 77
Al-Razi, 95
Al-Shatir, 85, 86
Andalus, 96
Antiokia, 5, 6, 7, 41, 225,
Apollonius, Teorema Apollonius, 12, 126, 127, 139, 148, 165, 168, 203, 204, 205
Aristoteles, Aristotelian, kosmologi Aristoteles, Aristoteles tentang Bola Langit, Aristoteles
tentang Dunia Selestial dan sublunar dll., 7, 13, 34, 41, 48, 53, 64, 68, 76, 77, 91, 92, 93,
122, 123, 124, 125, 126, 128, 130, 133, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 143, 145, 147,
150, 151, 153, 154, 158, 171, 172, 175, 176, 177, 179, 180, 181, 182, 184, 185, 188, 187,
188, 189, 193, 195, 209, 210, 212, 214, 2019, 238, 250
Aritmatik, 12, 17, 18, 35, 49, 55, 57, 58
Astrolabe, 8, 19, 220, 221, 222, 223, 246
Astrologi, Astrolog, Teks-teks Astrologi, 5, 11, 12, 33, 34, 35, 37, 38, 39, 40, 47, 51, 54, 63,
69, 79, 80, 91, 97, 125, 131, 135, 137, 138, 144, 170, 176, 177, 178, 189, 191, 194
Astronom, Astronomi, astronomi Yunani, astronomi Islam, 4, 8, 11, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 22,
23, 24, 25, 26, 27, 33, 34, 40, 55, 57, 62, 69, 70, 73, 75, 76, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 86, 87,
88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 101, 102, 104, 105, 106, 110, 112, 113, 114, 115,
116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 130, 131, 133, 134, 135,

294
136, 137, 138, 139, 140, 144, 146, 148, 151, 152, 153, 154, 156, 157, 158, 160, 162, 163,
165, 166, 167, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 180, 181, 182, 183, 184,
186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 198, 199, 200, 202, 204, 205, 206,
217, 219, 220, 221, 225, 226, 228, 229, 230, 232, 236, 237, 239, 240, 241, 242, 243, 244,
245, 246, 247
Bakhtishu', 63
Banu Musa, 49, 97, 237
Bar Hebraeus, 23, 24
Bezantium, 4, 5, 40, 42, 43, 44, 45, 47, 49, 50, 52, 68, 197, 220, 237
Bibliotheque Nationale de France, 12
Biruni, 15, 38, 39, 97, 124
Bitruji, 124
Bulan, 86, 116, 144, 165
Canon of Medicine, 190, 227, 238
Copernicus, 22, 23, 119, 144, 147, 149, 156, 157, 160, 165, 166, 186, 188, 192, 195, 198, 199,
200, 201, 202, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219,
220, 221, 224, 225, 228, 229, 230, 247, 249
Della Vida, 216, 218
Diwan, 45, 46, 48, 52, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 69, 70, 72, 74, 79, 81
Episiklus, 148
Equant, 165, 170, 171
Euclid, 3, 6, 12, 16, 200, 210, 226
Fihrist, 10, 27, 29, 43, 45, 55, 60
Fusul, 83
Galen, 6, 24, 66, 68, 95, 128, 131, 132, 190, 234, 238
Gerhana, 85
Guillaume, 22, 216, 225
Hadits, Sarjana Hadits, Ahli Hadits, 14, 35, 53, 74, 192,
Harun al-Rashid, 17
Hay'a, 18, 95, 116, 117, 120, 121, 131, 158, 189, 191, 199, 202
Hellenistik, 2
Hypatia, 6, 7
Ibn al-Haitham, 24, 25, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 113,
114, 115, 118, 135, 136, 143, 234, 239
Ibn al-Muqaffa, 42
Ibn al-Shatir, 21, 115, 125, 127, 141, 143, 146, 153, 156, 163, 164, 165, 166, 171, 172, 182,
187, 188, 192, 195, 198, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 211, 213, 219, 236

295
Ibn Khaldun, 39
Ibn Sina, 118, 171, 209, 227, 238
Ibn Tariq, 75
India, 2, 3, 4, 9, 11, 18, 19, 30, 32, 33, 36, 37, 44, 74, 75, 95, 153, 180, 190, 244, 246, 250, 251
Instrumen, 19, 220, 222, 224
Iran, 2, 4, 5, 11, 191, 193, 202, 250
Ishkalat, 113
Istidrak, 95
Konstantinopel, 14, 50, 197, 217, 218, 220, 250
Kosmologi, 91
Lunar, 198
Malatiya, 191
Mamluk, 192, 235
Marwan, 45, 52
Matematika, 6, 88, 122, 166, 168, 195, 218
Mesir, 30, 31, 32, 38, 45, 58, 132, 247, 250
Miqat, 131, 190
Mu'awiyah, 45, 46, 52
Mughal, 250
Nawbakht, 10, 15, 29, 30, 51, 63
Neugebauer, 21, 198, 199, 200, 208, 212, 213, 216
Newton, 126, 214
Optik, 97, 98, 110
Peradaban Islam, 51, 70, 133, 197, 202
Persia, 8, 10, 11, 12, 15, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 42, 44, 45, 46, 48, 51, 55, 57, 59, 60,
62, 63, 64, 67, 68, 72, 74, 75, 76, 78, 116, 191, 197, 223
Phaedrus, 32
Philo, 237
Plato, 68
Prosneusis, 117
Ptolemy, 6, 12, 16, 19, 20, 32, 33, 68, 82, 83, 84, 86, 88, 90, 92, 93, 98, 99, 100, 101, 102, 104,
105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 114, 115, 120, 142, 143, 144, 146, 147, 148, 149, 151,
153, 154, 155, 157, 161, 196, 197, 200, 203, 204, 205, 206, 207, 210, 230, 240, 241
Sains Demonstratif, 126
Sains Kuno, Ilmu-ilmu Kuno, 4, 9, 28, 29, 45, 48, 49, 51, 52, 53, 58, 59, 80, 86, 70, 72, 73, 129
Shahriyar, 16, 37, 39

296
Shakir, 20, 49, 66, 93, 95, 135, 178, 179
Shukuk, 94, 95, 97, 113, 114, 131
Shu'ubiya, 130
Sibawaih, 78
Tauhid, 13, 49, 53
Turki Usmani, 197, 217, 220, 223, 250
Tusi Couple, 191, 205
Ulugh Beg, 192, 193, 244
Umar bin Khattab, 55
Umayyah, 9, 10, 16, 46, 48, 51, 58, 59, 70, 74, 75, 163, 192
'Urqi, 108, 120, 121
Zoroaster, 32, 60

297

Anda mungkin juga menyukai