Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENGALAMAN UMAT ISLAM DALAM MENGEMBANGKAN ILMU


PENGETAHUAN

Disusun Oleh :

Untung Wahyudi (2130503039)

Shidra Aura Hidayah (2130503046)

Dosen Pengampu :

Anang Walian, MA. Hum

PROGRAM STUDI JURNALISTIK

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat
dan hidayah-nya, penulis bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Istiqamah dan perilaku yang mencerminkan sifat istiqamah”.

Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Anang Walian,


MA. Hum yang telah memberikan arahan mengenai tugas makalah ini. Tanpa
bimbingan dari beliau, mungkin penulis tidak dapat menyelesaikan sesuai dengan
format tugas yang telah ditentukan.

Penulis menyadari ada kekurangan pada karya ilmiah ini. Oleh sebab itu,
saran dan kritik senantiasa diharapkan demi perbaikan karya penulis. Penulis juga
berharap semoga tugas makalah ini mampu memberikan pengetahuan dan
bermanfaat bagi peneliti dan pembacanya.

Palembang, September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang
diangkat para pemikir Muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap
ilmu pengetahuan modern di dunia Barat. Perdebatan mereka
dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu
pengetahuan, tetapi pada Zaman Baru telah jauh tertinggal oleh dunia
Barat. Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak akhir abad
ke-19 itu memiliki dua aspek penting. Pertama, periode tersebut ditandai
banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam. Penyebab utamanya
adalah kontak yang semakin intensif – pada beberapa kasus bahkan berupa
benturan fisik – antara dunia Islam dan peradaban Barat.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pandangan Instrumentalis tentang Ilmu Pengetahuan?


2. Bagaimana Kajian Akademis atas Sejarah Ilmu Pengetahuan dalam
Islam?
3. Bagaimana Islamisasi Ilmu pengetahuan?

Tujuan

1. Untuk mengetahui Pandangan Instrumentalis tentang Ilmu


Pengetahuan?
2. Untuk mengetahui Kajian Akademis atas Sejarah Ilmu Pengetahuan
dalam Islam?
3. Untuk mengetahui Islamisasi Ilmu pengetahuan?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pandangan Instrumentalis Tentang Ilmu Pengetahuan

Di dunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai menjadi tantangan


nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak Napoleon menduduki Mesir
pada 1798 dan semakin meningkat setelah sebagian besar dunia Islam
menjadi wilayah jajahan atau pengaruh Eropa. Serangkaian peristiwa
kekalahan berjalan hingga mencapai puncaknya dengan jatuhnya Dinasti
Usmani di Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi
militer Barat. Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan
peran penting dalam kampanye militer melawan Perancis.

Ia diangkat oleh penguasa Usmani menjadi “pasya” pada tahun 1805


dan memerintah Mesir sampai dengan tahun 1848. Percetakan yang
pertama didirikan di Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu
alatnya menggunakan kulit babi. Buku-buku ilmu pengetahuan dalam
bahasa Arab diterbitkan. Muhammad Ali mendirikan beberapa sekolah
teknik dengan guru-guru asing. Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke
Eropa untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan
teknologi. di beberapa wilayah Arab lain, seperti Oman dan Aljazair,
upaya pengislaman informasi sosial serupa tampak di Turki Usmani. Di
Turki, Sultan Salim III (1761-1808) mengembangkan teknologi militer
Eropa, menerjemahkan buku-buku Eropa, dan memasukkan pengajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi modern ke dalam kurikulum sekolah
dengan pengajar-pengajarnya orang Eropa. Puncaknya adalah ketika
Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) melakukan revolusi di Turki dengan
gagasan sekularismenya.

Dalam situasi seperti ini, ketika teknologi Muslim jauh tertinggal


dari Eropa dan usaha mengejar ketertinggalan ini dilakukan Muslim

2
memberikan tanggapan dalam dua hal, yaitu merumuskan sikap terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi peradaban Barat modern,
dan terhadap tradisi Islam. Kedua unsur ini sampai kini masih mewarnai
pemikiran Muslim hingga kini.

Jamaluddin al-Afghani dan Para Pembaharu Arab

Salah satu tanggapan terpenting di dunia Islam diberikan oleh


Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Gagasannya mengilhami Muslim di
Turki , Iran , Mesir, dan India ini. Meskipun sangat anti-imperialisme
Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tak
melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun,
gagasannya untuk mendirikan sebuah universitas yang khusus
mengajarkan ilmu pengetahuan modern di Turki menghadapi tentangan
kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari negeri ituBagi Afghani, ilmu
pengetahuan Barat dapat dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu
menjajah Islam karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi itu,
sebab itu kaum Muslim harus juga menguasainya agar dapat melawan
imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat,
sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh agama Islam. Di sini
sudah tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu anggapan bahwa
ilmu pengetahuan hanyalah alat untuk prakiraan dan pengendalian, dan
sama sekali tak berbicara tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini
didukung oleh gagasannya bahwa Islam menganjurkan pengembangan
pemikiran rasional dan mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang
dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi juga
pengembangan filsafat Islam yang telah lama mandek.

B. Kajian Akademis atas Sejarah Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Para pemikir dalam wacana pertama tentang ilmu pengetahuan dan


Islam yang disebut di atas umumnya tak menaruh perhatian serius pada
pengkajian sejarah ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam maupun

3
filsafat ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat sejak akhir abad ke-
19 dan inilah salah satu ciri pembeda dengan para pemikir pada wacana
kedua.

Yang dapat dikecualikan dari pernyataan ini mungkin hanya Iqbal


dan Surush. Keduanya mempelajari filsafat secara langsung di Eropa.
Khusus mengenai sejarah ilmu pengetahuan, di masa Iqbal belum tampak
pengkajian yang serius. Ketika itu kajian tentang al-Biruni, Ibn Sina,
Thusi, Ibn al-Haytham masih amat langka.

Manuskrip yang telah berusia beberapa abad baru mulai digali dari
perpustakaan. Sesungguhnya, dalam salah satu esai pendeknya, “A Plea
for A Deeper Study of Muslim Scientists” (Imbauan bagi Kajian Lebih
Dalam Mengenai Ilmuwan Muslim), Iqbal pernah secara khusus berbicara
tentang hal ini. Ia menyeru kepada Muslim sezamannya untuk secara
serius mempelajari karya-karya ilmuwan Muslim terdahulu. Dalam esai itu
ia memberikan beberapa contoh tentang betapa majunya pikiran para
ilmuwan Muslim di zamannya.

Beberapa di antaranya bahkan telah mengantisipasi temuan-temuan


mutakhir ilmu pengetahuan yang revolusioner. Saat ini, kerja beberapa
dasawarsa penelitian manuskrip-manuskrip kuno itu telah mulai
membuahkan hasilnya. Hasil-hasil pengkajian itu telah membantu banyak
untuk memberi gambaran tentang bagaimana “ilmu pengetahuan” – yang
berdasarkan temuan-temuan itu pendefinisiannya sebagai sesuatu yang
universal terjadi, baik di peradaban Barat maupun Islam, masih dapat
dipertanyakan – berkembang dalam tradisi Islam. Salah satu paparan
modern pertama adalah karya monumental George Sarton, Introduction to
the History of Science (Pengantar Sejarah Ilmu Pengetahuan) terbit tahun
1927. Dalam salah satu jilid karya itu terdapat beberapa bab yang
dikhususkannya untuk membahas ilmuwan Muslim seperti al-Biruni, Ibn
Haytsam, dan sebagainya. Lalu karya Fuat Sezgin yang belum selesai,
Geschichte des Arabischen Schriftums (Sejarah Khazanah Penulisan

4
Arab), yang menyurvei tak kurang dari 1,5 juta manuskrip berbahasa
Arab, telah mampu menampilkan nama-nama ilmuwan Muslim berserta
karyanya serta ruang lingkup pengkajian mereka yang amat luas.

Di samping karya-karya survei seperti itu, dalam beberapa


dasawarsa terakhir ini telah cukup banyak pula karya-karya ilmuwan
Muslim di masa awal peradaban Islam yang diterjemahkan, terutama ke
dalam bahasa Inggris. Ini memungkinkan lebih banyak peneliti sejarah
ilmu pengetahuan Islam yang tak akrab dengan bahasa mereka untuk
memperoleh gambaran yang lebih baik tentang ilmu pengetahuan Islam.

Berkat karya-karya perintis itulah, belakangan ini muncul beberapa


karya cemerlang – sebagian besarnya dalam bentuk artikel di jurnal-jurnal
ilmiah – baik yang ditulis Muslim maupun non-Muslim. Dengan itu kini
telah terbentuk gambaran yang lebih baik tentang dinamika perkembangan
“ilmu pengetahuan” dalam tradisi intelektual Islam; tentang bagaimana
para ilmuwan zaman itu mengasimilasi karya-karya ilmiah Yunani;
bagaimana konflik dengan beberapa pandangan Islam diselesaikan; dan
sebagainya.

Beberapa sarjana terkemuka yang bisa disebut di sini adalah Aydin


Sayili, asal Turki, yang meneliti sejarah astronomi dan astrologi; A.I.
Sabra, profesor bidang sejarah ilmu pengetahuan dari Universitas Harvard,
yang menulis tentang pola-pola perjumpaan ilmu-ilmu yang
dikembangkan oleh Muslim sendiri dengan warisan dari peradaban lain,
khususnya Yunani; Ignaz Goldziher, tentang pertentangan ilmu-ilmu asli
Arab-Islam dengan ilmu-ilmu hasil adopsi dari peradaban-peradaban non-
Islam; Ahmad Hassan dan Donald Hill yang menulis sebuah buku tentang
sejarah teknologi dalam Islam; D.A. King tentang perkembangan
matematika, dan banyak lagi lainnya.

5
C. Islamisasi Ilmu pengetahuan

Setidaknya sejak dasawarsa 1970-an hingga sekitar awal 1990-an,


berkembang sebuah wacana baru tentang Islam dan ilmu pengetahuan,
dengan munculnya gagasan Islamic science (ilmu pengetahuan Islam) atau
Islamization of knowledge (islamisasi ilmu). Terlepas dari siapa yang
pertama menggunakan istilah ini, dalam kenyataannya ada cukup beragam
(kelompok) pemikir Muslim yang memaknai istilah ini dengan berbeda-
beda – dan tak jarang terdapat pertentangan di antara ragam pendapat itu.
Karena yang lebih populer adalah istilah dalam bahasa Inggris itu, ada
beberapa hal penting dan menarik untuk dicatat sehubungan dengan
penggunaan kata “ilmu pengetahuan” atau “sains”, “islamisasi”, dan kata
Islamic dalam Islamic science. Pertama, perkembangan berbagai istilah ini
menunjukkan betapa seriusnya tantangan yang dihadapkan ilmu
pengetahuan modern kepada perkembangan intelektual Islam. Seperti telah
dipaparkan di atas, sebetulnya ini telah mulai sejak akhir abad ke-19.

Namun, tak efektifnya usaha mengejar ketertinggalan Muslim dari


Barat di masa-masa sebelumnya telah mengkristal menjadi “gerakan”
dengan orientasi baru ini. Pada beberapa kelompok, kedua istilah baru ini,
Islamic science dan Islamization of knowledge nyatanya tampak hanya
sekadar menjadi baju baru dari usaha yang telah dilakukan beberapa
pemikir di masa-masa sebelumnya – terkadang dengan lebih efektif.

Istilah “sains” (science) sendiri baru mendapatkan maknanya yang


khas dalam perkembangan kegiatan ilmiah di dunia Barat sejak beberapa
abad. Di sana “sains” dianggap sebagai model cabang ilmu yang paling
unggul, karena perkembangannya yang paling pesat dibandingkan cabang-
cabang ilmu lain. Adalah anggapan tersebut yang melatarbelakangi
kebiasaan bahasa Inggris modern – berbeda dengan kebanyakan bahasa
lain – untuk membedakan science, sebagai istilah yang dipakai untuk ilmu
pengetahuan alam atau “eksakta” (“pasti”), dari berbagai cabang ilmu
pengetahuan lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Itulah

6
sebabnya berkembang istilah seperti Islamic science dan terjemahan
science dan Islamic science oleh sejumlah orang Indonesia dan Malaysia
dengan “sains” dan “sains Islam”. Namun, karena istilah “sains”
merupakan alih istilah dari bahasa Inggris, dan alih peristilahan yang
berdasarkan suatu pembedaan antara cabang ilmu pengetahuan yang
“eksakta” dan yang “kurang eksakta”, yang telah sering dipermasalahkan,
artikel ini lebih menggunakan istilah “ilmu pengetahuan” daripada “sains”.
Perlu ditambahkan bahwa wacana “islamisasi ilmu” dan “ilmu
pengetahuan islam” terpusat pada ilmu pengetahuan alam, walaupun tidak
terbatas padanya.

Perkembangan teknologi sebagai buah dari perkembangan ilmu


pengetahuan ini juga amat memukau banyak orang, tak terkecuali Muslim.
Sebagai akibat, sebagian ilmuwan Muslim hanya berusaha mengejar
ketertinggalan umat Islam dengan mengambil alih secara menyeluruh
teknologi dan ilmu pengetahuan Barat modern. Namun, sebagian lain tidak
puas dengan sikap itu dan menuntut “islamisasi” ilmu pengetahuan atau
pengembangan “ilmu pengetahuan Islam”. Para penggagas ilmu
pengetahuan Islam atau islamisasi memulai argumennya dari premis
bahwa ilmu pengetahuan tak bebas nilai. Karena itulah nilai-nilai sebuah
agama dapat masuk dalam pembicaraan tentang ilmu pengetahuan. Maka
wajar pula jika serangan terhadap gagasan ini biasanya berupa upaya
mempertahankan premis penting itu. Dan ini biasanya datang dari Muslim
praktisi ilmu pengetahuan seperti Abdus Salam. Jelas bahwa “ilmu
pengetahuan Islam” adalah sebuah istilah modern. Kita tak bisa
menemukan padanan istilah ini dalam literatur Islam klasik, termasuk
dalam masa yang disebut “Zaman Keemasan” Islam. Bahkan, bisa jadi
istilah ini digunakan pertama kali oleh kaum orientalis ketika kajian-kajian
orientalisme modern dimulai akhir abad yang lalu. Pada tahun 1920-an,
misalnya, sejarawan ilmu pengetahuan George Sarton dalam karya
monumentalnya menggunakan istilah ini untuk menyebut sebuah periode
dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ketika dengan dukungan

7
penguasa, para ilmuwan Muslim (dan, sebagian kecilnya, non-muslim)
menghasilkan karya-karya besar dalam bidang ilmu pengetahuan.
Orientalis George Anawati bahkan menyebutkan adanya upaya-upaya
“islamisasi” cabang-cabang ilmu yang diperoleh terutama dari tradisi
Yunani itu. Ia juga menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan alam adalah
bidang yang paling sedikit terkena islamisasi dibandingkan dengan,
misalnya, metafisika. Jadi, di sini istilah “Islam(i)” digunakan untuk
menyebut dua hal sekaligus: yang pertama adalah suatu periode sejarah,
sebagaimana istilah “modern”, “abad pertengahan”, “klasik” atau
“Yunani” digunakan; yang kedua, suatu aktivitas yang disusupi nilai-nilai
Islam. Kedua makna ini kerap muncul dalam perbincangan kontemporer
tentang ilmu pengetahuan modern dan Islam. Empat pemikir muslim
kontemporer yang dapat mewakili wacana baru ini adalah Syed Hossein
Nasr, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, dan
Ziauddin Sardar. Bukanlah suatu kebetulan jika keempatnya terdidik di
universitas-universitas Amerika dan Eropa dan terutama menulis dalam
bahasa Inggris. Wacana baru ini memang berkembang terutama di
kalangan komunitas intelektual Islam berbahasa Inggris, yang baru muncul
secara jelas setelah paruh pertama abad ke-20 ini.

Dalam membicarakan sejarah ilmu pengetahuan Islam,


kecenderungan mistis ini juga tampak amat kuat. Nasr memandang bahwa
ada satu semangat yang selalu hadir dalam perkembangan beragam cabang
ilmu pengetahuan dalam Islam, yaitu keyakinan pada tauhid (khususnya
dalam penafsiran mistisnya). Karyanya yang terutama ditujukan untuk
menunjukkan hal ini adalah An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines. Conceptions of Nature and Methods Used for its study by the
Ikhwan al-Safa, al-Biruni, and Ibn Sina. (Pengantar Doktrin-doktrin
Kosmologis Islam. Pandangan Alam dan Metode yang Digunakan untuk
Mengkajinya Ikhwan al-Safa, al-Biruni, dan Ibn Sina, 1964) dan Science
and Civilization in Islam (Ilmu Pengetahuan dan Peradaban dalam Islam,
1968), yang berasal dari disertasi doktornya di Harvard. Karya tersebut

8
sebenarnya termasuk dalam disiplin sejarah ilmu pengetahuan, namun
amat kental diwarnai (atau ditafsirkan dengan menggunakan) gagasan
metafisis-mistis – dan karenanya mendapat kritik tajam dari beberapa
sejarawan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini di
dunia Islam boleh dikatakan mundur dengan ukuran apa pun, tetapi
sebagai gagasan ilmu pengetahuan Islam selalu hidup, dan inilah yang
tampaknya diharapkan kebangkitannya oleh Nasr.

Mesti dicatat, bahwa ketika Nasr menyebut “ilmu pengetahuan


Islam”, itu masih dalam kerangka scientia sacra. Dan dalam kerangka ini,
penafsiran mistis-filosofis tentang alam amat mendominasi. Tak cuma itu,
dalam bidang matematika sekalipun, ia tampaknya memberikan penekanan
yang berlebih pada aspek mistisnya – yang telah ada sejak zaman Yunani.
Karena itu, sering kali memang tak tampak perbedaan yang jelas antara
mistisisme dan ilmu pengetahuan.

Bersama dengan makin menyebarnya filsafat perennial, pandangan


Nasr kini juga dianut banyak pemikir Muslim kontemporer. Ini terutama
tampak menonjol di Malaysia, di mana beberapa pemikir muda yang
pernah belajar di bawah bimbingannya di AS membentuk semacam
kelompok yang menghidupkan diskusi mengenai paham filsafat perennial
ini dalam banyak aspeknya.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Satu hal penting yang dapat disimpulkan dari seluruh perkembangan


ini adalah bahwa kecenderungan wacana tentang Islam dan ilmu
pengetahuan di Indonesia dapat dikatakan merupakan miniatur dari
wacana serupa yang muncul di luar. Ini berkaitan baik dengan tahap-tahap
perkembangan wacana itu, maupun dengan adanya spektrum pandangan-
pandangan yang semuanya mendapatkan wakilnya di sini.

B. Saran

Kita harus mengetahui apa saja pemkembangan ilmu pengetahuan


yang dilakukan oleh ahli-ahli terdahulu,

10
DAFTAR PUSTAKA

Abaza, Mona, Some Reflections on The Question of Islam and Social


Sciences in the Contemporary Muslim World, Social Compass, vol.2, No.40,
1993, hlm. 301-321.

Acikgenc, Alparslan, Islamic Science, Towards A Definition, International


Institute of Islamic Thought and Civilization, Kuala Lumpur , 1996.

Anees, Munawar Ahmad, Islam and the Biological Futures, Ethics, Gender
and Technology, Mansell. London , 1989 (terj. Islam dan Masa Depan Biologis,
Penerbit Mizan, 1991).

Al-Attas, Syed M. Naquib, Prolegomena to the Metaphysics of Islam,


International Institute of Islamic Thought and Civilization, Kuala Lumpur, 1995.
(Bab berjudul "Islam and Philosophy of Science" telah diterjemahkan: Islam dan
Filsafat Sains, Penerbit Mizan, 1995).

Islam, Secularism, and The Philosophy of the Future, Mansell, London ,


1985 (pertama kali terbit pada 1978, terj. Islam dan Sekularisme, Pustaka Salman,
1981).

Baiquni, Ahmad, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Pustaka Salman.

11

Anda mungkin juga menyukai