Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ETIKA AKADEMIK TERHADAP ILMU DALAM ISLAM


DAN ADAB AL-NAFS ETIKA AKADEMIK

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah:


“ETIKA AKADEMIK”

Dosen pengampu: Dr. Zainun, MA

Disusun Oleh:

KELOMPOK 2

Amanda Nurul Balqhis (0102221024)


Friska Amanda (0102221013)
Putri Handayani Rizki (0102221025)
Erfina (0102221032)
Sindy Aprilia (0102220109)
Mai Saroh (0102221023)

JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ilmu yang mempelajari tentang baik buruknya perilaku seseorang dinamakan ilmu
etika. Ilmu etika sangatlah berperan penting dalam pencapaian seseorang menuju
kesuksesannya, karena tanpa etika yang baik kita tidak akan bisa saling berkomunikasi
dengan baik kepada lawan bicara kita pula. Dan tanpa komunikasi yang baik kita tidak
akan mengetahui sumber-sumber dari orang lain. Contohnya Etika di dalam dunia
perkuliahan dimana jika kita ingin berbicara dengan dosen dan mendapatkan respon
yang baik maka kita juga harus menggunakan etika yang baik pula.
Etika dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat untuk membentuk suatu moral dan
memberikan kenyamanan, keindahan, kelarasan, dan rasa senang. Etika di dalam
kampus atau dapat disebut sebagai etika akademik bersifat universal karena etika
bersdasarkan kepada ilmu dan kearifan.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang di maksud dengan etika?
2. Bagaimana kedudukan etika dalam Islam?
3. Apa yang dimaksud dengan al-'ilmunur?
4. Apa niat dari menuntut dan memiliki Ilmu?
5. Apa tujuan dari menuntut Ilmu?
6. Apa yang dimaksud dengan karakter Ulul Albab?
7. Apa yang di maksud dengan adab Al-Nafs?
8. Apa itu arti keikhlasan?
9 .Apa itu arti kejujuran?
10. Apa itu sifat tangguh ?
11. Apa itu sifat rasa ingin tahu?

C. Tujuan penelitian
1.Untuk mengetahui pengertian dari etika
2.Untuk mengetahui bagaimana kedudukan etika dalam Islam
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan al-'ilmunur
4. Untuk mengetahui niat menuntut dan memiliki ilmu
5. Untuk mengetahui tujuan dari menuntut ilmu
6. Untuk mengetahui bagaimana karakter dari Ulul Albab
7. Untuk mengetahui apa itu Adab Al-Nafs
8. Untuk mengetahui apa itu Ikhlas
9. Untuk mengetahui apa itu Jujur
10. Untuk mengetahui apa itu sifat tangguh
11. Untuk mengetahui apa itu rasa ingin tahu
BAB II
PEMBAHASAN

1. ETIKA AKADEMIK TERHADAP ILMU DALAM ISLAM

Apa itu Etika? Etika adalah konsep penilaian sifat kebenaran atau kebaikan dari
tindakan sosial berdasarkan kepada tradisi yang dimiliki oleh individu maupun
kelompok. Pembentukan etika melalui proses filsafat sehingga etika merupakan bagian
dari filsafat. Unsur utama yang membentuk etika adalah moral.

Menurut A.Mustafa, pengertian etika adalah ilmu yang menyelidiki terhadap perilaku
mana yang baik dan yang buruk dan juga dengan memperhatikan perbuatan manusia
sejauh apa yang telah diketahui oleh akal pikiran. (Dr. Weny S.S.,M.S, 2021)
Kedudukan etika dipandang sangat penting dalam Islam, karena etika merupakan
pengalaman dari ilmu, etika juga dipandang sebagai media efektif penerimaan Nur Ilahi
dan sarana mencapai ilmu manfaat. Syekh Al Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’allim
nya menyebutkan bahwa setiap maksiat yang dilakukan menjadi salah satu penyebab
sulitnya ilmu masuk ke dalam hati seseorang dan dari tercapainya ilmu manfaat. Karena
ilmu pada dasarnya adalah Nur yang ditancapkan Allah ke dalam hati, sedang maksiat
justru memadamkan cahaya itu.
Islam menempatkan nilai etika di tempat yang paling tinggi. Pada dasarnya Islam
diturunkan sebagai kode perilaku moral dan etika bagi kehidupan manusia, seperti yang
disebutkan dalam hadist: “aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Terminologi paling dekat dengan pengertian etika dalam islam, etika (akhlak) sebagai
cerminan kepercayaan islam (Iman). Etika islam memberi sanksi internal yang kuat
serta otoritas pelaksana dalam menjalankan standar etika. Konsep etika dalam islam
tidak ultitarian dan relatif, akan tetapi mutlak dan abadi.
Islam, merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia
secara menyeluruh, termasuk dalam manajemen. Al-Qur’an memberi petunjuk agar
dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridho, tidak ada unsur eksploitasi
(Q.S An-Nisa/4:29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan
membuat administrasi dalam transaksi kredit (Q.S Al-Baqarah/2:282). (Dr. Rahmat
Hidayat, MA, Dr. Muhammad Rifa’i, M.Pd, 2018)

A. Al-‘Ilmu Nuurun

Al-‘Ilmu Nurun, Ilmu itu cahaya. Islam merupakan agama yang punya perhatian
besar terhadap ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu hukumnya fardhu bagi setiap muslim
dan muslimah. Islam sangat menekankan umatnya untuk terus menuntut ilmu, agar
dimudahkan jalannya menuju surga nanti.
Seperti firman Allah berikut yang memerintahkan kita untuk membaca dan belajar:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah yang Maha
Mulia. Yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S Al-Alaq: 1-5)
Dengan ilmu, kita akan lebih mengenal Allah SWT dengan tanda-tanda alam yang
terhampar dipermukaan bumi. Selain dengan iman, dengan ilmu kita juga bisa punya
derajat yang tinggi. Pasti akan berbeda antara orang berilmu dengan orang yang tidak
berilmu. Allah SWT membuka rahasia hidup dengan ilmu, hanya orang beilmu yang
dapat mensyukuri nikmat yang diberikan oleh-Nya. Ilmu adalah keutamaan dan
kemuliaan. Orang yang berilmu, adalah yang tunduk kepada-Nya. Ilmu bisa membelah
samudra, membelah jagat raya, membongkar kedalaman bumi, hasilnya juga
menimbulkan ilmu baru yang semakin membuka rahasia alam semesta yang terlihat
menundukkan manusia kepada Tuhannya. (Aini, dkk, 2017)

B. Niat Menuntut dan Memiliki Ilmu

Menunut ilmu adalah bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Di mana menuntut ilmu
ini tidak hanya dilakukan di bangku sekolah saja, tetapi bisa di mana saja dan dengan
siapa saja. sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka menuntut ilmu
haruslah diiringi dengan niat yang lurus guna mencapai ridho Allah SWT semata. Oleh
karena itu, niat dalam mencari ilmu sangatlah diperhatikan. Karena ilmu yang kita
dapatkan tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga mampu memberikan manfaat kepada
orang lain. Dan hal inilah bentuk perbuatan yang disukai oleh Allah SWT.
Menuntut ilmu hendaknya dengan niat yang baik, serta keikhlasan diri. hal tersebut akan
memudahkan kita dalam memahami setiap ilmu baru yang diperoleh dan tentu saja
mendatangkan pahala dari Allah SWT.
kalam Syekh al–Zarnuji dalam Ta’lim Muta’allim. Beliau menjelaskan perihal
bagaimana seharusnya pelajar menata niatnya saat belajar,
“Sebaiknya setiap pelajar mempunyai niat yang sungguh-sungguh dalam mencari
ilmu dan keridaan Allah swt agar mendapat pahala kelak di akhirat, menghilangkan
kebodohan yang ada pada dirinya dan kebodohan orang-orang yang masih bodoh,
serta niat menghidupan dan melestarikan agama Islam. Karena kelestarian agama itu
sendiri dapat terjaga hanya dengan ilmu. Tidak sah bagi orang yang melakukan zuhud
dan takwa tanpa dilandasi ilmu.”

Dan di dalam sebuah riwayat dikatakan, Rasulullah Shallallahu‘alaihi wassallam


bersabda:

‫ج َّن ِْة‬ ْ َ‫َّللا لَهْ بِ ِْه َطرِي ًقا إِل‬


َ ‫ى ال‬ َّ ‫ل‬ َ ‫سلَكَْ َطرِي ًقا يَلتَمِ سْ فِي ِْه عِ ل ًما‬
َْ ‫س َّه‬ َ ْ‫َمن‬

“barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka
Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (HR. Muslim No. 7028)

Dengan menuntut ilmu, kebodohan dan ketidaktahuan pada diri kita akan
menghilang. Agar semua letih dan pengorbanan kita terbayar dengan ridha Allah SWT,
dan semua upaya kita dalam menuntut ilmu bisa sukses, maka perlu di perhatikan
keikhlasan niat kita. Mempelajari ilmu agama adalah ibadah, dan salah satu syarat
diterimanya suatu ibadah adalah niat yang ikhlas karena Allah. Sehingga kita perlu
memperhatikan dan menjaga niat kita dalam belajar hanya karena Allah. Jangan sampai
terselip niat buruk dihati kita, seperti ingin dipuji orang, ingin disebut sebagai orang
berilmu, ingin mendapatkan kedudukan dan kehormatan di tengah-tengah masyarakat,
ataupun ingin mendapat keuntungan duniawi lainnya. Semua hal tersebut akan
membatalkan pahala yang kita dapat. Sungguh, merugi orang-orang yang tidak
mendapat pahala, melainkan neraka. Semoga Allah melindungi kita dari segala perkara-
perkara buruk. (Rahma Ayu,2021)

Berikut adalah tiga perkara dalam menuntut ilmu:

1. Diniatkan Beribadah kepada Allah SWT


Perkara yang pertama adalah dengan meniatkan diri beribadah kepada Allah SWT.
Dalam hal ini, ketika kita hendak menuntut ilmu, maka semata-mata hanya karena Allah
SWT dan untuk mencapai ridho-Nya saja, bukan untuk yang lainnya.
2.Berniat Mengajarkan Orang Lain
Perkara selanjutnya adalah meniatkan diri untuk mengajarkan orang lain. Oleh karena
itulah, para ulama kerap mengatakan agar laki-laki mempelajari dan mengetahui tentang
permasalahan haid. Tujuannya adalah agar nanti ketika menikah bisa mengajarkan hal
tersebut kepada istri, anak, dan maupun saudara perempuannya.
Bahkan Imam Ahmad juga pernah ditanya tentang niat yang benar dalam mempelajari
agama. Lalu, beliau pun menjawab:
“ Niat yang benar dalam belajar adalah apabila belajar tersebut diniatkan untuk
dapat beribadah pada Allah dengan benar dan untuk mengajari yang lainnya.”
3. Istiqomah dalam Menuntut Ilmu
Perkara yang ketiga adalah menerapkan sikap yang istiqomah dalam menuntut ilmu.
Karena menuntut ilmu itu tidaklah bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Tetapi
membutuhkan waktu secara bertahap. Oleh karena itu, kita haruslah sungguh-sungguh
dalam menuntut ilmu.

C. Tujuan Menuntut Ilmu

Menuntut ilmu memiliki arti ikhtiar atau sebuah usaha dalam mempelajari sebuah
ilmu, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat dengan tujuan agar ilmu tersebut dapat
bermanfaat untuk dirinya dan juga untuk orang lain.
Bagi Islam, tujuan seseorang menuntut ilmu tidak lain daripada mewujudkan figur
yang sempurna (insan kamil). Kesempurnaan itu pun tidak menjadi tujuan di dalam
dirinya sendiri, melainkan alat untuk menunaikan kewajiban eksistensial manusia,
yakni khalifah Allah di muka bumi.
Menurut Syekh Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam dan Filsafat Sains, Kezaliman
dalam bentuk apa pun akan merusak harmoni yang Allah telah ciptakan di alam semesta
dan diri manusia sendiri. Karena itu, manusia yang berilmu dituntun untuk
memanfaatkan ilmunya demi maslahat bagi semesta, bukan mengeksploitasi alam demi
tujuan yang zalim. Syekh Naquib melanjutkan, sesungguhnya bagi Islam, ilmu itu
termasuk iman. Di antara tujuan ilmu adalah mengasuh dan memupuk kebaikan dengan
tujuan menjaga keadilan.
Syarat pertama dan terpenting agar sukses menuntut ilmu adalah menjadikan
tujuannya untuk mencari keridhoan allah. sebagaimana syarat ibadah yang lain
tujuannya harus dalam keadaan hati yang dihiasi dengan keutamaan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah dan berada di sisi para kekasih allah. jika tujuan
menuntut ilmu adalah hal tersebut Allah akan menuliskan pahala padanya dalam setiap
langkahmu menurut ilmu. Sabda rasulullah saw:
“barangsiapa berjalan di jalan untuk mencari ilmu, allah akan menunjukkan nya jalan
di antara jalan menuju surga untuk mempelajari ilmu ke dunia itu pun harus ditujukan
untuk mencari keridhoan allah”.
Dalam firman allah “barangsiapa melakukan kebaikan walau sebesar biji zarah
niscaya ia akan melihat balasannya dan barangsiapa melakukan kejahatan walaupun
sebesar biji zarah niscaya dia akan melihat balasannya (QS. Al-zalzalah: 7-8)
Barangsiapa tujuan menuntut ilmu nya bukanlah mencari ridho allah, akibatnya akan
sangat buruk. Mungkin saja tujuannya adalah mencari kekuasaan harta status sosial,
mempermainkan orang-orang yang lebih bodoh, atau menyombongkan diri pada teman-
temannya, dia akan dianggap sebagai orang yang gagal. dan kegagalan apa yang lebih
besar dari orang yang terlarang masuk surga dan menjadi penghuni neraka? rasulullah
saw bersabda “siapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya dicari untuk mendapat
ridho allah tetapi dia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan sesuatu dari dunia,
dia tidak akan mendapatkan aroma surga pada hari kiamat yaitu wangi wangian dari
surga” rasulullah juga bersabda “barangsiapa menuntut ilmu untuk menyejajari orang-
orang berilmu atau untuk mempermainkan orang-orang yang bodoh dan memalingkan
wajah orang kepadanya allah akan memasukkannya ke neraka”. (Adnan Tharsyah,
2006).

D. Karakter Ulul Albab

Kata Ulul albab terdiri dari dua kata, ulu dan albab. kata ulu bermakna memiliki atau
mempunyai sedangkan kata albab terambil dari kata aluf bermakna saripati dari
sesuatu. dari makna ini, Quraisy Shihab menyatakan Ulul albab adalah orang yang
memiliki akal murni yang tidak diselubungi oleh kulit yakni kabut ide yang dapat
melahirkan kerancuan dalam berpikir.
Hamka menyatakan bahwa Ulul albab berarti manusia yang berpikir dan
menggunakan pikirannya untuk membangun kemaslahatan dan peradaban.
Saifuddin mengatakan bahwa Ulul albab adalah intelektual muslim atau pemikir yang
memiliki ketajaman analisis atau fenomena dan proses ilmiah dan menjadikan
kemampuan tersebut untuk membangun dan menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan
manusia ada juga yang memahami kata tersebut berarti cendekiawan atau intelektual.
Ada 7 karakter dasar insan Ulul albab menurut prof Fadhil Lubis yaitu:
1. mengharmonisasikan zikir dan pikir.
2. selektif dan cerdas dalam memilah dan memilih, mampu memilah dan memilih serta
memisahkan yang baik dengan yang buruk adalah sebuah kualitas yang dimiliki orang-
orang terpelajar.
3. bersikap kritis dan terbuka.
4. memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan.
5. mengorientasikan hidupnya hanya kepada Allah SWT, menjadikan Allah sebagai
sandaran kehidupannya, dan senantiasa mengharap rahmat Allah.
6. ketaatan pada Syariah Allah SWT.
7. Ulul Albab adalah mereka yang memiliki hikmah atau wisdom. (Dr. Azhari Akmal
Trgn, M. Ag, Dr. Muhammad Yafiz, M. Ag, 2022)

Sebagai perbandingan menurut Jalaluddin, konsep Ulul albab dapat dimaknakan


sebagai orang yang berakal sehat disertai dengan hati yang bersih selalu dikaitkan
dengan nilai-nilai spiritual yang bersumber dari fitrah ciri-ciri dan karakteristik
Ulul albab menurut Jalaluddin ialah:
1. senantiasa mengerjakan kebaikan sebagai bekal taqwa.
2. memperoleh hikmah dari Allah berupa pengetahuan Amaliah dan amal ilmiah
3. memiliki kedalaman ilmu dan iman
4. mengagungkan kemahakuasaan Allah terhadap penciptaan alam semesta dengan
selalu bertafakur dan dzikir di berbagai kondisi maupun duduk berdiri ataupun
berbaring
5. tidak tergoda oleh keburukan walaupun menarik
6. beriman kepada segala kebenaran penjelasan Alquran
7. mampu menghayati keberkatan Alquran dan rahmat Allah
8. tekun dalam melaksanakan ibadah malam hari karena takut akan azab akhirat sambil
mengharap rahmat Allah
9. mampu membedakan antara orang yang berilmu dan tidak berilmu
10. memiliki kemampuan untuk memahami petunjuk dan peringatan yang terkandung
di dalam kitab suci Alquran dan beriman juga bertakwa kepada Allah
11. selalu memenuhi janji kepada siapa saja
12. menghubungkan hubungan yang diperintahkan Allah seperti silaturahim dan
mensinkronkan antara ucapan dan perbuatan
13. takut kepada Allah dan hari hisab
14. sabar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan
15. melaksanakan salat secara baik dan berkesinambungan
16. menafkahkan sebagian rezeki baik secara sembunyi atau terang-terangan
17. menyingkap dengan baik dampak yang terjadi atau akan terjadi dari suatu
keburukan. (Dr. Azhari Akmal Trgn, M. Ag, Dr. Muhammad Yafiz, M. Ag, 2022)

Dan inilah 5 ciri utama Ulul albab:


1. selalu sadar akan kehadiran Tuhan disertai dengan kemampuan menggunakan potensi
qolbu atau dzikir dan akal sehingga sampai pada keyakinan adanya keagungan Allah
SWT dalam segala ciptaannya
2. tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah SWT dan mampu membedakan
dan memilih antara yang baik dan yang jelek
3. mementingkan kualitas hidup baik dalam keyakinan ucapan maupun perbuatan sabar
dan tahan uji
4. bersungguh-sungguh dan kritis dalam menggali ilmu pengetahuan
5. bersedia menyampaikan ilmunya kepada masyarakat dan terpanggil hatinya untuk
ikut memecahkan problem yang dihadapi masyarakat.

2. ADAB AL-NAFS ETIKA AKADEMIK

secara bahasa, al-nafs (dalam bentuk jamak disebut nufus dan anfus) berarti ruh (roh)
dan ‘ain (diri sendiri). Kemudian dalam kamus al-Munawwir, al-nafsu (anfus dan
nufus) berarti ruh, jiwa, al-jasad (badan, tubuh), al-sahsh (orang), al-dzat atau al-ain
(diri sendiri), al-himmatu wal irodah (semangat, hasrat, kehendak) Pada hakikatnya, al-
nafs berasal dari kata nafasa yang berarti bernafas. Kata nafasa sendiri memiliki banyak
makna diantaranya menghilangkan, melahirkan, bernafas, jiwa, ruh, darah, diri,
manusia, dan hakekat.

Dalam istilah tasawuf, istilah nafs mempunyai dua arti. Pertama, kekuatan hawa nafsu
amarah, syahwat, dan perut yang terdapat dalam jiwa manusia, dan merupakan sumber
bagi timbulnya akhlak. Kedua, jiwa ruhani yang bersifat lathif, ruhani, dan rabbani.
Nafs dalam pengertian kedua inilah yang merupakan hakikat manusia yang
membedakannya dengan hewan dan makhluk lainnya.

Nafs juga dipahami sebagai ruh akhir atau ruh yang diturunkan Allah SWT. atau yang
mendhohir ke dalam jasadiyah manusia dalam rangka menghidupkan jasadiyah itu,
menghidupkan qalbu, akal fikir, inderawi, dan menggerakkan seluruh unsur dan organ
dari jasadiyah tersebut agar dapat berinteraksi dengan lingkungannya di permukaan
bumi dan dunia ini.
Nafs dalam Mu‟jam At-Ta‟biraat Al-Quraniyah dipahami selain ruh, ruh adalah
sesuatu yang menimbulkan napas dan gerak, sedangkan nafs adalah sesuatu yang terdiri
dari aql, pikiran, indera serta kebutuhan yang berhubungan dengan anggota tubuh. Oleh
karenanya, ketika membicarakan tentang nafs dan ruh Al-Quran membedakan dengan
menjelaskan karakteristik masing-masing.

Ibnu Abbas menjelaskan perbedaan antara ruh dan nafs dengan berkata “dalam diri
manusia terdapat nafs dan ruh, keduanya seperti cahaya-cahaya matahari, nafs terdiri
dari akal dan pikiran, sedangkan ruh terdiri dari nafas dan gerak, ketika manusia tidur
Allah mengambil nafs-nya dan tidak mengambil ruhnafs-nya dan ketika manusia mati
Allah mengambil nafs dan ruhnya.

Dalam Tingkatan nafs ditentukan oleh bagaimana nafs itu melakukan hubungan
dengan Tuhannya. Makin dekat nafs itu dengan Allah maka makin tinggilah derajatnya
di sisi Allah, dan makin baiklah perbuatan manusia yang mempunyai nafs itu. Demikian
juga sebaliknya makin jauh dari Allah maka makin rendah dan makin buruklah perilaku
yang manusia yang mempunyai nafs itu. Al-Qur‟an membagi tingkatan nafs itu dalam
tiga bagian, yaitu: Nafs Ammarah, Nafs al-Lawwamah, dan al- Nafs al-Muthmainnah,
dapat dipahami bahwa ada dua kemungkinan yang terjadi pada nafs.

Kemungkinan pertama, bahwa nafs mendorong kepada perbuatan rendah dan


kemungkinan kedua nafs yang mendapat rahmat, Kemungkinan pertama bahwa nafs
mendorong kepada perbuatan rendah ini yang disebut dengan nafsu, dan kedua nafs ada
yang mendapat rahmat ini yang disebut sufi dengan nafsu marhamah.

Nafs ammarah adalah nafsu biologis yang mendorong manusia untuk melakukan
pemuasan biologisnya. Pada aspek ini, manusia sama persis seperti binatang, sehingga
nafs ammarah disebut juga dengan nafs hayawaniyah.

Sedangkan nafs lawwamah adalah nafs yang telah menganjurkan untuk berbuat baik
dan dia akan mencela dirinya apabila melakukan hal-hal yang tercela.
Pada tingkatan kedua ini kualitas insaniyah telah mulai muncul,walaupun belum dapat
berfungsi dalam mengarahkan tingkah laku manusia, karena sifatnya yang masih
rasional netral. Telah bergeser sedikit dari tahap pertama yang hanya dipenuhi oleh
naluri-naluri kebinatangan dan nafsu biologis, sedangkan kualitas insaniyah sama sekali
tidak terlihat. Sebaliknya, dalam nafs lawwamah kualitas insaniyah sudah mulai muncul
seperti rasional, introspeksi diri, mengakui kesalahan, dan cenderung kepada
kebaikan,Walaupun belum dapat berfungsi maksimal.

Tingkatan ketiga adalah nafs muthmainnah adalah nafs yang senantiasa terhindar dari
keraguan dan perbuatan jahat. Jika ditelaah kepada Al-Quran maka kata al-
muthmainnah dijumpai dalam Al-Quran sebanyak 13 kali, dalam berbagai bentuk kata
pecahannya.

M. Dawam Raharjo menjelaskan bahwa ketiga nafsu itu menunjukkan tingkatan


perkembangan jiwa manusia. Pada tahap pertama, manusia berada pada tarap
kebinatangan, ketika manusia cenderung untuk hanyut dalam naluri rendahnya, inilah
nafs ammarah. Pada tahap kedua, manusia sudah mulai menyadari kesalahan dan
dosanya ketika telah berkenalan dengan petunjuk Ilahi, di sini telah terjadi apa yang
disebut kebangkitan rohaniyah dalam diri manusia. Pada waktu itu, manusia telah
memasuki jiwa kemanusiaan, inilah nafs lawwamah. Sedangkan pada tingkat ketiga
adalah ketika jiwa ketuhanan telah merasuk ke dalam pribadi seseorang yang telah
mengalami kematangan jiwa.

A. Ikhlas

Ikhlas merupakan syarat diterimanya suatu amal perbuatan di samping syarat lainnya
yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah SAW. Ibnu Mas'ud pernah berkata:
“perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat
atau ikhlas dan tidaklah akan bermanfaat pula perkataan perbuatan dan niat seorang
hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah atau mengikuti Rasulullah SAW”.
Yang dimaksud dengan ikhlas adalah ketika kita menjadikan niat dalam melakukan
suatu amalan hanyalah karena Allah semata. melakukannya bukan karena selain Allah,
bukan karena Riya, atau ingin dilihat manusia, ataupun ingin didengar manusia. bukan
pula karena ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia,
dan juga bukan karena tidak ingin dicelak oleh manusia. apabila melakukan suatu
amalan hanya karena Allah semata bukan karena semua hal tersebut maka itulah ikhlas.
Sesungguhnya yang diwajibkan dalam amal perbuatan kita bukanlah banyaknya amal,
namun tanpa keikhlasan amal yang dinilai kecil di mata manusia apabila kita
melakukannya ikhlas karena Allah maka Allah akan menerima dan melipat gandakan
pahala dari amal perbuatan tersebut. betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar
karena niat, dan betapa banyak pula amalan yang besar menjadi kecil hanya karena niat
juga. Seseorang yang telah beramal ikhlas karena Allah atau di samping amal tersebut
harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW maka keikhlasan tersebut akan mampu
mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya.
ciri-ciri ikhlas adalah:
1. Hidupnya jarang sekali merasa kecewa
2. Tidak tergantung atau berharap pada makhluk
3. Tidak pernah membedakan antara amal besar dan amal kecil
4. Banyak amal kebaikan yang rahasia
5. Tidak membedakan antara bendera golongan suku atau kroni atau organisasi.

Tidak mudah memang menegakkan amalan ikhlas karena, pada dasarnya manusia
sangat lemah godaan setan yang selalu mengintai setiap saat untuk merusak amal- amal
kebaikan yang dilakukan seorang hamba. seorang ulama terkenal sufyan ats-Tsauri
pernah berkata “sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku
karena begitu seringnya iya berubah-ubah”.
begitu rawan nya hati kita dalam menegakkan amalan ikhlas karena kita perlu
mengolah manajemen hati agar tetap khusnul khotimah hingga maut menjemput. abu
'Uzair boris mengatakan sangat penting bagi kita mengetahui hal-hal yang dapat
membantu agar dapat mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kita kepada allah swt, hal-
hal tersebut antara lain:
1. Banyak berdoa. di antara yang dapat menolong seorang hamba untuk ikhlas adalah
dengan banyak berdoa kepada allah swt.
2. Menyembunyikan amal kebaikan. hal lainnya yang dapat mendorong seseorang agar
lebih ihklas adalah dengan menyembunyikan amal kebaikannya yakni
menyembunyikan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dan lebih utama untuk
disembunyikan, seperti sholat sunnah, puasa sunnah, dan lain-lain. Amal kebaikan yang
dilakukan tanpa diketahui orang lain bisa membawa keikhlasan karena, tidak ada yang
mendorong melakukan itu kecuali karena allah semata.
3. Memandang rendah amal kebaikan. Maksudnya, memandang rendah amal kebaikan
yang kita lakukan akan mendorong amal perbuatan kita lebih ikhlas. Di antara bencana
yang dialami seorang hamba adalah ketika ia merasa ridho dengan amal kebaikan yang
dilakukan, dimana hal tersebut dapat menyerap nya ke dalam perbuatan ujub atau
berbangga diri yang menyebabkan rusaknya keikhlasan.
4. Takut amalnya tidak diterima. dalam hal ini allah berfirman dalam surat al-mu'minun
ayat 60 yang artinya:
“dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang
takut, karena mereka tahu bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada tuhan
mereka”.
Pada ayat tersebut telah menjelaskan bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin
adalah, mereka yang memberikan suatu pemberian namun mereka takut akan tidak
diterimanya amal perbuatan mereka tersebut (tafsir ibnu katsir)
5. Tidak terpengaruh perkataan manusia. Seorang mukmin yang ikhlas adalah seorang
yang tidak terpengaruh oleh pujian, maupun celaaan manusia ketika beramal sholeh.
ketika mengetahui bahwa dirinya dipuji karena beramal sholeh, maka tidaklah pujian
tersebut kecuali hanya akan membuatnya semakin tawadhu' (rendah diri) kepada Allah.
iya pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan ujian baginya sehingga ia berdoa
kepada allah untuk menyelamatkan nya dari ujian tersebut
6. Menyadari bahwa manusia bukanlah pemilik surga dan neraka.
7. Ingin dicintai namun dibenci. sesungguhnya seseorang yang melakukan amalan
karena ingin dipuji oleh manusia, tidak akan mendapatkan pujian tersebut dari mereka
bahkan sebaliknya, manusia akan mencela nya dan mereka akan membencinya. akan
tetapi, apabila seseorang melakukan amalan ikhlas karena allah, maka allah dan para
makhluk nya akan mencintainya. (Lasa Hs, 2009)

B. Jujur

Ash-Shidqu adalah kebalikan dari dusta (shadaqa, yashduqu, shadqan, shidqan,


tasdhiqan). Benar atau jujur termasuk golongan akhlak mahmudah. benar artinya
sesuainya sesuatu dengan kenyataannya yang sesungguhnya. dan ini tidak saja berupa
perkataan tetapi juga perbuatan. dalam bahasa arab, benar atau jujur disebut sidiq (ash-
shidqu) lawan dari kizib (al-kizbu) yaitu bohong atau dusta.
Jujur dapat diartikan sebagai amanah dan dapat dipercaya. orang yang memiliki sifat
ini, biasanya mendapat kepercayaan dari orang lain. karakter jujur merupakan salah satu
rahasia diri seseorang, untuk menarik kepercayaan umum karena orang yang jujur
senantiasa berusaha untuk menjaga amanah. jujur dapat juga diartikan kehati-hatian diri
seseorang dalam memegang amanah yang telah dipercaya oleh orang lain kepada
dirinya. orang yang memiliki kejujuran masuk dalam kategori orang yang pantas diberi
amanah karena orang semacam ini memegang teguh terhadap sesuatu dengan sungguh-
sungguh dan penuh tanggung jawab.
Jujur merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai
orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan baik
terhadap diri sendiri maupun orang lain. melalui penanaman-penanaman perilaku jujur
peserta didik dapat menjadi individu yang dapat dipercaya orang, disenangi keluarga,
mempunyai banyak teman, dan membuat hati senang
Imam Al-Ghazali membagi jujur sebagai berikut:
1. Kejujuran lisan
Maka hendaklah dia tidak berbicara kecuali dengan jujur dan benar. jujur macam
inilah yang paling dikenal manusia dan paling jelas terlihat, maka barangsiapa yang
menjaga lisan nya dari kabar tentang sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya maka
dialah orang yang jujur
2. jujur di dalam niat dan kehendak
3. Jujur di dalam 'azam niat kuat
4. Jujur di dalam menunaikan azam atau niat yang kuat
5. Jujur di dalam amal
6. Jujur dalam menegakkan agama. (Imam Musbikin, 2021).

C. Tangguh

Kata kunci dari tangguh adalah determinasi diri yang berarti ,ada suatu arah yang
dituju di masa depan, dan tidak hanya sekedar kuat dan handal dalam menghadapi
guncangan atau kegagalan. dalam hal ini orang menjadi tangguh karena ia mempunyai
arah yang jelas yang ingin dituju. Orientasi nya bukan bertahan di masa kini saja tetapi
juga bertahan di masa kini untuk meraih tujuan di masa depan yang jelas. ( Neila
Ramdhani, Supra Wimbarti, Yuli Fajar Susetyo,2018).

Untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang sukses, remaja harus belajar menjadi lebih
tangguh dalam menghadapi tantangan. Menjadi tangguh adalah memiliki keuletan
dalam pencapaian tujuan yang diinginkan, meskipun harus menghadapi kemunduran,
kegagalan, atau keterbatasan sumber daya. Banyak tujuan yang penting dalam hidup
membutuhkan kegigihan. Pribadi tangguh adalah pribadi yang tidak mudah menyerah
atau lemah terhadap sesuatu yang terjadi pada diri pribadi remaja tersebut. Penumbuhan
karakter tangguh ini adalah merupakan awal dari sifat optimisme yang terbentuk dari
pola pikir individu tersebut. Untuk menciptakan pribadi yang tangguh, maka orang tua
perlu mengembangkan konsep pengasuhan yang bersifat mindful parenting. Mindful
parenting dapat dimaknai dengan mengasuh berkesadaran. Orangtua diharapkan
melakukan pola asuh yang postitif dalam setiap membimbing anak-anaknya. Orang tua
yang mengembangkan konsep mindful parenting dapat menghindari orang tua menjadi
toxic parents. Dimana toxic parents mempunyai arti adalah orangtua yang tidak
menghormati dan memperlakukan anaknya dengan tidak baik sebagai individu. Orang
tua yang menerapkan mindful parenting ini maka, diharapkan menciptakan hubungan
yang harmonis dengan anak, sehingga ketika anak beranjak remaja ia akan menjadi
pribadi yang tangguh atau kuat dalam menghadapi permasalahan yang terjadi dan tidak
terjebak pada kondisi yang merugikan remaja itu sendiri. (Oktariani, 2022)

D. Rasa Ingin Tahu

Rasa ingin tahu pada setiap orang amatlah penting. sekurang-kurangnya ada 4 alasan
yang menjadi sebab penting mengapa rasa ingin tahu ini perlu dibangun dan
dikembangkan, antara lain:
1. Rasa ingin tahu membuat pikiran seseorang menjadi aktif. tidak ada hal yang lebih
bermanfaat sebagai modal belajar selain pikiran yang aktif.
2. Rasa ingin tahu membuat seseorang menjadi para pengamat yang aktif. salah satu
cara belajar adalah yang terbaik dengan mengamati banyak ilmu pengetahuan yang
berkembang, karena berawal dari sebuah pengawas pengamatan, bahwa penghalang
pengamatan yang sederhana sekalipun rasa ingin tahu membuat peserta didik atau
seseorang lebih peka dalam mengamati berbagai fenomena atau kejadian di sekitarnya.
ini berarti dengan demikian seseorang akan belajar lebih banyak lagi.
3. Rasa ingin tahu, akan membuka dunia-dunia baru yang menantang dan menarik
seseorang untuk mempelajarinya lebih dalam. jika ada banyak yang membuat
munculnya rasa ingin tahu pada diri seseorang maka jendela dunia baru yang mana yang
menantang akan terbuka. bagi mereka, banyak hal menarik untuk dipelajari di dunia ini
tetapi seringkali karena rasa ingin tahu yang rendah membuat seseorang melewatkan
dunia-dunia yang menarik itu dengan entengnya.
4. Rasa ingin tahu membawa kejutan kejutan kepuasan dalam diri seseorang dan
meniadakan rasa bosan untuk belajar. jika seseorang dipenuhi dengan rasa ingin tahu
akan sesuatu, maka mereka akan dengan segala keinginan dan ke sukarelaan untuk
mempelajarinya. setelah memuaskan rasa ingin tahunya mereka akan merasakan betapa
menyenangkan nya hal tersebut.
keinginan mengetahui beberapa hal dapat menjadi model penting bagi seseorang
dalam menjalani masa depannya. semua orang pemikir besar para jenius adalah orang-
orang dengan karakter penuh rasa ingin tahu. (Syamsul Kurniawan, 2017).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Etika adalah konsep penilaian sifat kebenaran atau kebaikan dari tindakan sosial
berdasarkan kepada tradisi yang dimiliki oleh individu maupun kelompok.Kedudukan
etika dipandang sangat penting dalam Islam, karena etika merupakan pengalaman dari
ilmu, etika juga dipandang sebagai media efektif penerimaan Nur Ilahi dan sarana
mencapai ilmu manfaat. Al-‘Ilmu Nurun, Ilmu itu cahaya. Islam merupakan agama yang
punya perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu hukumnya fardhu
bagi setiap muslim dan muslimah. Islam sangat menekankan umatnya untuk terus
menuntut ilmu, agar dimudahkan jalannya menuju surga nanti.Dengan ilmu, kita akan
lebih mengenal Allah SWT dengan tanda-tanda alam yang terhampar dipermukaan
bumi. Selain dengan iman, dengan ilmu kita juga bisa punya derajat yang tinggi. Bagi
Islam, tujuan seseorang menuntut ilmu tidak lain daripada mewujudkan figur yang
sempurna (insan kamil). Kesempurnaan itu pun tidak menjadi tujuan di dalam dirinya
sendiri, melainkan alat untuk menunaikan kewajiban eksistensial manusia, yakni
khalifah Allah di muka bumi.
Dalam istilah tasawuf, istilah nafs mempunyai dua arti. Pertama, kekuatan hawa nafsu
amarah, syahwat, dan perut yang terdapat dalam jiwa manusia, dan merupakan sumber
bagi timbulnya akhlak. Kedua, jiwa ruhani yang bersifat lathif, ruhani, dan rabbani.
Nafs dalam pengertian kedua inilah yang merupakan hakikat manusia yang
membedakannya dengan hewan dan makhluk lainnya.Yang dimaksud dengan ikhlas
adalah ketika kita menjadikan niat dalam melakukan suatu amalan hanyalah karena
Allah semata. melakukannya bukan karena selain Allah,bukan karena Riya, atau ingin
dilihat manusia, ataupun ingin didengar manusia. bukan pula karena ingin mendapatkan
pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia,dan juga bukan karena tidak ingin
dicelak oleh manusia. Jujur dapat diartikan sebagai amanah dan dapat dipercaya. orang
yang memiliki sifat ini, biasanya mendapat kepercayaan dari orang lain. karakter jujur
merupakan salah satu rahasia diri seseorang, untuk menarik kepercayaan umum karena
orang yang jujur senantiasa berusaha untuk menjaga amanah. Tangguh adalah
determinasi diri yang berarti ,ada suatu arah yang dituju di masa depan, dan tidak hanya
sekedar kuat dan handal dalam menghadapi guncangan atau kegagalan. Rasa ingin tahu
pada setiap orang amatlah penting, Rasa ingin tahu membuat pikiran seseorang menjadi
aktif. tidak ada hal yang lebih bermanfaat sebagai modal belajar selain pikiran yang
aktif .
DAFTAR PUSTAKA

Adnan Tharsyah, 2006, 16 jalan kebahagiaan sejati, Bandung: PT Mizan Publika

Aini, 2017, Saleha is Me, Jakarta Selatan: Qultum Media

Azhari Akmal Tarigan, Muhammad Yafiz, 2022, Diskusi Integrasi Ilmu dari
Transdisipliner ke Wahdatul Ulum, medan: FEBI UIN-SU Press

Imam Musbikin, 2021, Pendidikan Karakter Jujur, Nusa Media

Lasa HS, 2009, Surga Ikhlas, Yogyakarta: Great Publisher

Neila Ramdhani, Supra Wimbarti, Yuli Fajar Susetyo, 2018, Psikologi untuk
Indonesia Tangguh dan Bahagia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Rahmat Hidayat, Muhammad Rifa’i, 2018, Etika Manajemen Perspektif Islam,


Medan: Lembaga Peduli Pengembangan Indonesia

Rahma Ayu, 2021, Motivasi ibu rumah tangga dalam menuntut ilmu, Jawa Bar: CV
Jejak

Syamsul Kurniawan, 2017, Pendidikan Karakter di Sekolah, DI Yogyakarta: Penerbit


Samudra Biru

Weny, 2021, Pembelajaran Etika dan Penampilan bagi Millenial pada abad 21,
Guepedia

Anda mungkin juga menyukai