Tingkat kesehatan dalam bidang ilmu gizi disesuaikan dengan tingkat konsumsi yang
menyebabkan tercapainya kesehatan tersebut. Tingkat kesehatan terbaik adalah kesehatan
gizi optimum (eunutritional state). Dalam kondisi ini, tubuh terbebas dari penyakit dan
mempunyai daya kerja dan efisiensi yang sebaik-baiknya. Tubuh juga mempunyai daya
tahan yang setinggi-tingginya. (Apriyanto,2009)
Tingkat kesehatan gizi dengan konsumsi yang berlebih disebut sebagai kesehatan
gizi lebih (overnutritional state). Ternyata kondisi ini mempunyai tingkat kesehatan yang
lebih rendah, meskipun berat badan lebih tinggi dari berat badan ideal. Orang awam
menyebutnya kegemukan; berat badan sampai 10-15% di atas berat badanideal, belum
dikategorikan sebagai penyakit gemuk (obesitas). Bila kelebihan berat badan di atas berat
badan ideal sudah melebihi 20% pada wanita dan di atas 15% pada pria, sudah termasuk
sakit gemuk atau obesitas. (Apriyanto,2009)
Tingkat kesehatan gizi sebagai hasil konsumsi defisien, juga ada di bawah orang
sehat. Terjadi gejala-gejala penyakit defisiensi gizi. Berat badan akan lebih rendah dan berat
badan ideal dan penyediaan zat-zat gizi bagi jaringan tidak mencukupi, sehingga akan
menghambat fungsi jaringan tersebut. Tempat penimbunan zat gizi menjadi kosong. Bila
berat badan lebih rendah dan 85% berat badan ideal, sudah termasuk berat badan yang
kurang. Reaksi-reaksi metabolik menjadi terhambat dan mengalami perubahan abnormal,
sehingga terjadi perubahan pula dalam susunan biokimiawi jaringan. (Apriyanto,2009)
Penyakit gizi salah di Indonesia yang terbanyak termasuk gizi kurang yang
mencakup susunan hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi
keseluruharinya yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Gejala subyektif yang
terutama diderita ialah perasaan lapar, sehingga gizi salah di sini disebut juga
keadaan gizi lapar (undernutrition). (Apriyanto,2009)
Penyakit gizi salah terutama diderita oleh anak-anak yang sedang tumbuh sangat
pesat, ialah yang disebut kelompok anak balita (bawah lima tahun). Yang menonjol
kurang pada kondisi ini ialah kurang kalori dan kurang protein, sehingga disebut
penyakit kurang kalori dan protein (KKP). Nama asingnya ialah Protein Calorie
Malnutrition (PCM) atau akhir-akhir ini disebut Protein Energy Malnutrition (PEM).
(Apriyanto,2009)
Penyakit KKP pada orang dewasa memberikan oedema sebagai gejala yang
menonjol, sehingga penyakitnya disebut Honger Oedema (HO). (Apriyanto,2009)
Penyakit KKP dibagi dalam 3 (tiga) tigkatan yaitu: (Salmah,2018)
a. KKP Ringan, kalau berat badan anak mencapai antara 84-95% dari berat badan
menurut standar Harvard. (Salmah,2018)
b. KKP Sedang, kalau berat badan anak hanyamencapai 44-60% dari berat badan
menurut standar Harvard. (Salmah,2018)
c. KKP Berat, gizi buruk, berat badan anak kurang dari 60%dari berat badan menurut
standar Harvard. (Salmah,2018)
Masalah gizi remaja merupakan kelanjutan dari masalah gizi pada usia anak yaitu
anemia defisiensi besi serta kelebihan dan kekurangan berat badan. Sedikit sekali
yang diketahui tentang asupan pangan pada remaja, meskipun asu-pan kalori dan
protein sudah tercukupi, elemen lain seperti besi, kalsium, dan beberapa vitamin
ternyata masih kurang. Kekrangan besi dapat mengakibatkan anemia dan keletihan.
Remaja membutuhkan lebih banyak besi dan wanita membutuhkan lebih banyak lagi
untuk mengganti besi yang hilang bersamaan dengan darah haid. Anemia pada
remaja putri adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dlam darah kurang dari
normal dimana nilai Hb normal pada remaja putri menurut WHO ada-lah 12 g %.
(Arisman, 2010) Penyakit anaemia terjadi karena konsumsi zat besi(Fe) dalam tubuh
mengalami kekurangan atau tidak seimbang antara kebutuhan tubuh dan
pengeluaran kalori tubuh. Fe merupakan mikro elemen esensial bagi tubuh yang
berfungsi sebagai pembentukan darah (haemoglobi/Hb). (Salmah,2018)
Kurang Vitamin A(KVA) adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel
dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ lain, akan
tetapi gambaran yang karakteristik langsung terlihat pada mata. (Depkes,2003)
Gejala defisiensi Vitamin A yang dapat dilihat adalah
a. Terjadi kekeringan sekitar epithel biji mata dan kornea (Salmah,2018)
b. Selaput bola mata keriput dan kusam saat bola mata bergerak (Salmah,2018)
c. Fungsi mata berkurang menjadi haemeralpia atau nictalpia (buta senja)
(Salmah,2018)
d. Kelainan kulit pada umumnya tampak pada tungkai bawah bagian depan dan
lengan atas bagian belakang, kulit tampak kering dan bersisik seperti sisik ikan.
Kelainan ini selain disebabkan karena KVA dapat juga disebabkan karena
kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau Kurang
Energi Protein (KEP) tingkat berat atau gizi buruk. (Depkes,2003)
e. Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA yang telah
berlangsung lama. Gejala tersebut akan lebih cepat timbul bila anak menderita
penyakit campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya. (Depkes,2003)
Seperti telah disebutkan sebelumnya, KVA tercatat sebagai salah satu masalah gizi
yang pemah berhasil ditanggulangi sehingga tidak lagi menjadi masalah kesehatan
masyarakat pada tahun 1992, dan hal itu ditandai dengan penghargaan Trophy
Helen Keller yang diterimakan kepada pemerintah Indonesia. Sejak krisis tahun
1997, bermunculan lagi kasus-kasus KVA (xerophtalmia) di berbagai wilayah
Indonesia. KVA tingkat berat dapat mengakibatkan keratomalasia, dan kebutaan.
Telah diketahui vitamin A berperan pada integritas sel epitel, imunitas, dan
reproduksi. KVA pada anak Balita dapat mengakibatkan risiko kematian sampai 20-
30%. Mortalitas anak Balita yang mengalami buta karena keratomalasia dapat
mencapai 50-90%.4 Survei nasional Xerophtalmia 1978 menemukan prevalensi X Ib
(Bitot spot) pada anak Balita 1,34%. Sekitar 14 tahun kemudian, yakni pada tahun
1992, prevalensi xerophtalmia dapat diturunkan menjadi 0,35%, Angka ini lebih
rendah dari kriteria yang ditetapkan WHO sebagai masalah kesehatan masyarakat
yakni Xlb > 0,5%. Keberhasilan ini antara lain karena program gizi utamanya
distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI) kepada anak balita setiap bulan
Februari dan Agustus dapat menjangkau sebagian besar atau bahkan hampir
seluruh anak Balita. Komponen program lainya yakni fortifikasi vitamin A ke dalam
makanan dan pendidikan atau penyuluhan gizi belum memberikan kontribusi yang
bermakna. Data survei vitamin A tahun 1978 dan survei tahun 1992, menunjukkan
bahwa diperlukan waktu sekitar 14-20 tahun untuk dapat bebas dari xerophtalmia
sebagai masalah kesehatan masyarakat. (Herman,2007)
Meski angka xerophtalmia sudah berhasil ditekan sampai pada tingkat di bawah
batas ambang masalah kesehatan masyarakat, tetapi masih ditemukan separuh
(50%) anak Balita dengan serum vitamin A < 20 ug/dl berisiko menjadi xerophtalmia
apabila terjadi stres seperti diare, campak, yang menguras cadangan vitamin A
tubuh. Seperti kita ketahui insidens maupun prevalens diare dan campak pada anak
balita di berbagai wilayah di Indonesia masih cukup tinggi. Apalagi tingkat konsumsi
vitamin A pada masyarakat pada umumnya juga masih rendah atau di bawah angka
kecukupan yang dianjurkan (AKG). Artinya keberhasilan penanggulangan KVA
dengan distribusi kapsul vitamin A 200.000 SI masih bersifat sementara. Perlu upaya
lain untuk mendampingi dan menunjangnya, yakni dengan upaya pendidikan gizi dan
fortifikasi vitamin A ke dalam makanan, agar asupan vitamin A tidak semata-mata
tergantung dari kapsul vitamin A. Meski distribusi kapsul vitamin A 200.000 SI
terbukti efektif menurunkan masalah KVA, tetapi kita tidak boleh hanya
menggantungkan pendekatan ini, karena tidak akan lestari dan dapat menimbulkan
ketergantungan masyarakat pada kapsul yang hams dibeli dengan dana dari rakyat.
Di samping itu upaya suplementasi tidak termasuk murah yakni dengan biaya 0,46-
0,68 $USD per unit target. (Herman,2007)
Untuk masa yang akan datang, tantangan yang perlu diatasi adalah advokasi dan
sosialisasi pada pengambil kebijakan berserta seluruh pemangku kepentingan di
Kabupaten/Kota, karena pada era otonomi dan desentralisasi ini merekalah yang
lebih berperan. Pengadaan kapsul vitamin A dapat terhambat karena bagi
pengusaha lokal, keuntungan finansialnya tidak begitu besar. Di samping itu begitu
cepat mutasi yang terjadi di lingkungan pemerintah daerah juga dapat berpengaruh
pada kemapanan program penanggulangan vitamin A. Tantangan berikutnya yaitu
kita tidak dapat selalu mengandalkan pada kapsul vitamin A yang nota bene buatan
pabrik Farmasi PMA, sehingga pengadaannya memerlukan dana yang tidak sedikit.
Menggali potensi sumber daya alam seperti karotenoid dalam minyak sawit menjadi
salah satu opsi, karena kita mempunyai kebun kelapa sawit yang sangat luas dan
pengolahan produknya masih belum optimal. Opsi berikutnya adalah merintis dan
mengembangkan fortifikasi vitamin A ke dalam makanan. Jika pada era Orde Baru
dirintis fortifikasi Vitamin A ke dalam bumbu penyedap atau vetsin (monosodium
glutamat) dan ternyata gagal karena vetsin berubah warna dan tidak diterima
konsumen. Sekarang sedang dirintis fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng,
semoga rintisan ini tidak mengalami nasib seperti fortifikasi vitamin A ke dalam
vetsin. Fortifikasi merupakan salah satu bentuk program yang paling murah dan
memberikan hasil paling tinggi (cost efektif), tetapi harus dirancang dengan matang
untuk mendapatkan makanan pembawa vitamin A tersebut. (Herman,2007)
Tawaran berikut, yang terpenting adalah penyuluhan dan pendidikan gizi agar
masyarakat secara teratur mengonsumsi makanan sumber vitamin A. Meski vitamin
A hanya terdapat pada makanan hewani yang relatif mahal. tetapi kita dapat
memanfaatkan karotenoid yang banyak terdapat dalam sayur dan buah. Kembali
masalahnya perilaku atau kebiasaan mengonsumsi buahjuga belum membudaya,
sementara kebiasan mengonsumsi sayur umumnya sudah membudaya di kalangan
masyarakat kita, tetapi besar porsi serta frekuensi konsumsinya masih perlu
ditingkatkan. Apabila opsi-opsi yang diuraikan di atas dapat diimplementasikan
bukan mustahil kita akan dapat mengatasi masalah KVA. (Herman 2007)
Salah satu faktor penyebab terjadinya kejadian GAKY adalah faktor konsumsi.
Dalam penelitian Luhur dkk meneliti konsumsi bahan makanan sumber protein
dengan kejadian gondok. Hasil penelitian Luhur menjelaskan bahwa manakan tinggi
yodium berpengaruh terhadap kejadian GAKY. Hasil penelitian Widagdo(2009)
menjelaskan penggunaan garam beryodium dan konsumsi makanan yang
mengandung zat gotirogenik berpengaruh terhadap kejadian GAKY. (Kusuma
dkk,2016)