Anda di halaman 1dari 9

PENGANTAR PERJANJIAN BARU

DOSEN PENGAJAR: JIMMI FALS MATOYO, M.TH

Tugas meringkas buku “Pengantar Perjanjian Baru (Pendekatan Kritis terhadap Masalah-
masalahnya)”

Oleh: Willy Marxsen

DISUSUN OLEH : EKA LESTARI

NIM : 202002082

SEMESTER : III (Tiga)

PRODI : Pendidikan Agama Kristen

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI ARASTAMAR MAMASA

TAHUN 2021
1. SURAT KEPADA ORANG IBRANI
a. Bentuk Sastranya
Surat kepada orang Ibrani itu isinya berupa Homili(khotba) yang menekankan akhlak,
penyunting). Dan juga disebut surat karena berisi pesan dan nasehat (Ibrani 13:22-24).
Pertimbangan-pertimbangan muncul agar ini disebut surat :
- Di jelaskan dalam Ibrani 13:22
- Kemungkinan suratnya mirip dengan daerah Timur dekat makanya pembukaannya
dihilangkan (hal.266).
b. Para Pembacanya
Surat kepada orang Ibrani ini penulisnya tidak menjelaskan kepada siapa surat ini ditujukan,
namun penulis telah memberikan gambaran tentang keadaan yang dibayangkan oleh si
pengarang mengenai para pembacanya bahwa mereka berada dalam keadaan yang amat
berbahaya (Ibrani 10:32-34).
c. Tema ‘Kata-kata Anjuran’
Penulis berusaha memberikan pertolongan secara langsung kepada para pembaca dengan
menekankan makna Kristologi sebagai Soterologis. Ia menganjurkan pembaca untuk percaya
kepada Kristus sebagai pusat keselamatan.
d. Kepengarangan, Waktu, dan Tempat Penyusunan
Pengarang surat Ibrani masih belum jelas ada yang menduga surat itu ditulis oleh Paulus dan
ada juga yang menduga surat itu di tulis oleh Barnabas.
Gereja purba di timur menganggapnya sebuah surat Paulus. Clement dari Aleksandria
menganggap bahwa rasul itu menulisnya dalam bahasa Ibrani, dan Lukas kemudian telah
menerjemahkannya ke dalam bahasa Yunani ( Eusebius H.E. VI 14,2). Di barat, Barnabas pertama-
tama diduga sebagai pengarangnya (Tertulianus), dan baru pada abad IV kepengarangan Paulus
pada umumnya diterima-yang merupakan alasan yang penting bagi penerimaan Ibrani ke dalam
kanon. Namun pada periode-periode selanjutnya pandangan itu kembali terpecah.
Ibrani tentunya di tulis sebelum tahun 96 M.,karena surat 1 Clement mengutipnya, kendatipun
tidak secara khusus mengacu kepadanya. Kita tak dapat memastikan tempat penulisan atau
darimana para penerimanya berasal, entah penerima yang dimaksudkan ataupun yang
sesungguhnya.

SURAT-SURAT AM ( GEREJAWI )

Diantara 21 surat dalam Perjanjian Baru ada tujuh yang umumnya disebut sebagai “ surat-surat
Katolik”, surat-surat ini tidak dibuat melalui para penerima yang di alamatkan, melainkan yang
mengemban nama si pengarang, atau orang yang di anggap pengarangnya yaitu Yakobus, 1 Petrus,
Yudas, 2 Petrus, 1,2 dan 3 Yohanes. Kata Katolik disini tidaklah sama dengan “kanonis” melainkan
“umum (am)”, dengan kata lain, dialamatkan kepada semua orang Kristen. Dalam Das Neue Testament
Deutsch surat-surat ini baru-baru ini disebut sebagai Kirchenbriefe ( surat-surat Gereja).

Surat-surat Gereja ini semuanya ditulis lebih kemudian daripada surat-surat lain dalam Perjanjian
Baru, Khususnya dari surat Paulus. Pada daftar permulaan dari kitab-kitab kanonis kebanyakan kita
menemukan urutan berikut : Kitab-kitab Injil, Kisah Para rasul, Surat-surat Katolik ( biasanya Yakobus
ditempatkan pertama), surat-surat Paulus, Wahyu.

1. SURAT YAKOBUS
a. Isi
Bagian terpenting mengenai surat ini adalah nas mengenai iman dan perbuatan (2:14-26).
Masalah apakah iman tanpa perbuatan dapat menyelamatkan (2:14) pada mulanya tanpak aneh
dipandang dari ajaran Paulus tetapi bila kita membaca dalam 2:19 bahwa bahkan setan pun
percaya maka jelaslah bahwa “iman” tidaklah dibayangkan disini dalam segi pribadinya ( iman
kepada Allah ) melainkan lebih pada arti teoritis sebagai keyakinan akan adanya Allah
(monotheisme).
Pasal 3:1-12 mengandung suatu peringatan mengenai dosa oleh lidah; 3:13-18 berbicara
tentang apa yang merupakan kebijaksanaan yang sebenarnya; 4:1-12 peringatan melawan
permusuhan terhadap Allah, 4:13-17 berbicara melawan kebodohan dalam perencanaan yang
terlalu jauh ke depan. Conditio Jacobea (4:15) tidaklah secara khusus bersifat Kristen. Terdapat
pula hal-hal yang sejajar dengan kekafiran dan ia memberikan peringatan yang cukup umum
tentang perencanaan hidup seseorang yang memangdang jauh melampaui masa kini, secara
sembarangan. Setelah beberapa kalimat mengenai bahaya kekayaan (5-:1-6) muncul anjuran
mengenai Parousia (5:7-11), pengucapan sumpah (5:12), penderitaan dan penyakit (5:12-15).
Perintah untuk saling mengakui dosa (5:16), acuan kepada kuasa doa (5:17-18), dan anjuran
untuk menasehati saudara-saudara yang telah tersesat (5:19-20). Surat ini tidak memiliki penutup
yang resmi.
Secara keseluruhan dalam 108 ayat yang dikandungnya terdapat 54 perintah (Julicher-fascher)
dengan kata lain, surat ini terdiri dari serangkaian nas perenetis (nasihat-nasihat).
b. Sifat Sastranya
Selain Kisah Para Rasul, pada kitab inilah satu-satunya contoh pendahuluan yang murni bersifat
Helenis bagi sebuah surat dalam perjanjian baru. Namun selain itu naskah ini tidak memiliki sifat
apapun dari sebuah surat. Nas-nasnya diungkapkan dalam cara yang terlalu umum untuk dapat
muncul dari suatu situasi tertentu. Surat ini merupakan dokumen di daktis dan paranetis yang
terdiri dari serangkaian aphorisme ( perkataan pendek yang menggugat; penyunting) dan risalat-
risalat pendek ( Feine-Behm). Judulnya dapat pula disebut sebagai (didache) Yakobus bagi kedua
belas suku di perantauan. Adapula ucapan-ucapan Yahudi kuno, gema dari Amsal, Bin Sirakh dan
kebijaksanaan Salomo. Digunakan pula tradisi-tradisi paranetis Yunani dan Helenistis, dan
terdapat pula gema dari nas-nas serupa dalam Paulus.
Surat ini membawa dugaan bahwa apa yang mulanya merupan tulisan non-Kristen telah
“dikristenkan” dengan menyisipkan nama Yesus Kristus. Keseluruhan dokumen ini tidak
mengandung gagasan yang khas Kristen.
c. Para “Pembacanya”
Kita mungkin menafsirkan ungkapan “kedua belas suku di perantauan” dalam tiga cara : dapat
mengacuh kepada orang-orang Yahudi yang hisup diluar Palestina (setelah 70 atau 135 M, dan itu
berarti keseluruhan umat Yahudi ), tetapi penjelasan ini digugurkan oleh kenyataan bahwa
Yakobus bukanlah sebuah dokumen pekabaran injil. Kemungkinan lain bahwa ia mengacuh entah
kepada orang-orang Kristen Yahudi yang hidup diperantauan atau kepada semua orang Kristen
yang dibayangkan sebagai “Israel yang Benar”. Atau Ia mungkin telah menafsirkan kedua belas
suku dalam perantauan itu untuk mewakili Gereja yang hidup dalam penyebaran, lebih dalam arti
teologis daripada geografis, alamatnya kepada “Katolik” (AM) yaitu kepada seluruh Gereja.
d. Masalah Kepengarangan
Pengarang surat ini masih belum jelas meskipun ada beberapa kemungkinan yaitu Yakobus
anak Zebedeus dan Yakobus saudara Yesus. Namun Yakobus aank Zebedeus harus disisihkan,
karena Ia mati syahid pada sekitar tahun 44 M. Namun jika kita menyimpulkan Yakobus saudara
Yesus sebagai pengarangnya hal ini juga membangkitkan sejumlah kesenjangan antara apa yang
kita ketahui tentang dia dan isi tentang surat tersebut. Surat itu tidak mengandung masalah
tentang hukum-hukum ritual (padahal sejauh menyangkut Yakobus saudara Tuhan hal ini justru
penting (Galatia 2: 12).
Karena itu mungkin bahwa si pengarang membayangkan seseorang yang bernama Yakobus, dan
tak ada alasan mengapa orang yang ia bayangkan itu bukanlah saudara Tuhan.
2. SURAT PETRUS YANG PERTAMA
a. Isi
Salam san catatan penutup dalam surat ini secara khusus tampak seperti sebuah surat, tetapi
kebanyakan isinya kedengaran lebih sebagai anjuran. Surat itu dimulai dengan suatu ungkapan
pujian kepada Allah. Melalui Dia para pembaca telah dilahirkan kembali dalam suatu harapan
yang hidup dan tak dapat dipadamkan oleh penderitaan, juga dalam pengharapan akan
keselamatan mulia yang di dasarkan pada kebangkitan Yesus Kristus dari kematian. Kelahiran
kembali itu harus diungkapkan dalam hidup kudus(1:13-21), dalam kasih yang tulus dan ikhlsa
kepada saudara-saudara (1:22-25) dan dengan menjauhkan segala kejahatan (2:1-10).
b. Masalah sastra
Surat ini memiliki cirri-ciri yang amat jelas sebagai suatu “sapaan yang berisi anjuran”
khususnya karena caranya menggunakan bahan paranetis yang paling tidak sebagian sudah ada
dalam bentuk lisan atau tertulis.
c. Proses penyuntingan
Pada masa ketika Gereja di dunia (5:9) mengalami penganiayaan, si pengarang mengambil
sebuah sapaan dalam rangka baptisan yang pernah dipakai dan menggunakannya untuk
memberikan penghiburan bagi para pembacanya. Ini berarti bahwa dalam konteks naskah ini,
1:3-4:11 memang benar-benar suatu peringatan akan baptisan, yang dimaksudkan untuk
menguatkan para pembacanya agar bertahan dan bertekun dalam penganiayaan yang kini
sedang terjadi.

3. SURAT YUDAS
a. Isi
Naskah ini berisi suatu polemic yang tajam melawan para penyesat. Ia bermaksud memperkuat
para penerimanya dalam pergumulan mereka melawan para penyesat yang telah menyusup
masuk dan menjalani hidup yang tidak tertib serta menyangkal Tuhan.
Naskah ini ditutup dengan sebuah doxology yang mengingatkan kita akan Roma 16:26
5-27.
b. Masalah Kepengarangan
Surat ini dikatakan ditulis oleh Yudas, hamba Yesus Kristus, dan saudara Yakobus. Saudara
lainnya dari Yudas dan Yakobus yang diacu dalam Perjanjian Baru adalah saudara-saudara Yesus
(Mrk. 6: 3). Namun apakah mereka ini yang dimaksudkan di sini dan Yudas ini dimaksidkan
sebagai saudara Yesus, adalah hal yang masih diperdebatkan.
4. SURAT PETRUS YANG KEDUA
a. Isi
Pembukaannya (1:1-2) menyebutkan Simon Petrus, hamba dan rasul Yesus Kristus. Sebagai
pengarang dan penerimanya adalah “mereka yang bersama-sama dengan kami memperoleh
iman”. Dan menunjukkan bahwa dokumen ini lebih merupakan sebuah manifesto daripada
sebuah surat.
Pasal 1 berkenaan dengan tradisi, yang merupakan jaminan otentisitas ajaran ini. Si pengarang
mengingatkan para pembacanya (1:3-11) tentang harta yang mereka miliki melalui iman yang
telah dianugerakan kepada mereka.
Pasal 2 memuat surat Yudas, hanya dengan perubahan kecil, pengarang hanya membersihkan
surat Yudas dari bahan-bahan yang diambil dari tulisan-tulisan apokrif perjanjian lama
(bandingkan bnd.Yud.6,9,10-11), tetapi juga menciptakan kekaburan-keburan tertentu oleh
perubahan-perubahan yang ia buat (bnd.mis.Yud.12-13 dan 2 Pet 11:17), dengan kata lain si
pengarang telah menggunakan Yudas.
Pasal 1 :21 menyerang para penyesat dengan mengkritrik penafsiran kitab suci mereka, yang
tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang, melainkan hanya dapat dilakukan dengan
pertolongan roh.
b. “Setting in life”
Disini sudah ada sesuatu yang bisa dikatakan sebagai corpus Paulinum dan bahkan juga
terdapat kumpulan kitab suci (3:16) dengan kata lain, sudah ada suatu tradisi yang relatif
panjang.
Namun surat Paulus ini membangkitkan suatu masalah karena banyak hal dalam suratnya yang
sulit dimengerti bukan sekadar masalah tafsiran namun mereka yang tidak memahaminya dan
tidak teguh imannya memanfaatkan keadaan itu untuk memutar balikkan arti surat-surat itu
serta tulisan-tulisan Kitab Suci lainnya. Pengarangnya tak mungkin Petrus atau pengarang yang
sama dengan 1 Petrus. Kita tak mengenal namanya. Surat ini merupakan dokumen paling
kemudian dalam Perjanjian Baru, yang ditulis sekitar 130-140 M.

TULISAN-TULISAN YOHANES

Salah satu cirri ‘sastra Yohanes’ adalah titik tolak eskatologisnya yang khusus yang kita temukan
yang terungkap di dalamnya. Dalam tradisi-tradisi Sinopsis awal dan dalam Paulus kita menemukan
pengharapan yang segera akan parousia. Yohanes memiliki makna istimewa dari gagasannya,
khususnya eskatologinya.

1. INJIL YOHANES
a. Isi
Yohanes menggambarkan perjalanan hidup Yesus dari permulaan sampai penyaliban dan
kebangkitan, seperti yang dilakukan oleh injil-injil sinoptis, tetapi ada perbedaan yang khas.
Menurut Yohanes Yesus pergi ke Yerusalem dalam 4 kesempatan (2:13;5:1;7:10;12:12).

Dalam Yohanis tak terdapat ucapan-ucapan pendek dan tajam dari Yesus yang masih dapat
dikenali dalam ungkapan-ungkapan sinoptis yang panjang (Mrk.13;Mat.5-7,dll).

b. Sumber-sumber dan Titik Tolak


Injil Yohanes jika diamati lebih cermat, kita dapat menemukan di dalamnya berbagai
sumber,yang memberikan bukti dengan adanya tindakan penyuntingan oleh pengarang Yohanes.
Sesungguhnya dari keseluruhannya hanya ada dua bagian yang dapat kita pisahkan secara pasti,
dan masalah-masalah dalam kasus itu berbeda-beda. Perikop mengenai Wanita Yang Berzinah
(7:53-8:11) jelas bersifat sekunder dalam konteks injil ini. Petunjuk pertama bahwa Yohanis 1-20
juga mengandung sumber-sumber yang telah diolah melalui suntingan ditemukan dalam 2:11.
Namun yang tampak mencolok ialah mujizat-mujizat lain yang ditemukan dalam Yohanes, yang
tidak ada dalam sinobtis,muncul sebelum 12:37 : Mujizat terhadap orang lumpu. (5:1 dyb).
Pengarang Yohanes menyajikan Yesus sebagai Dia yang diutus. Bultmann mengusulkan sebuah
sumber ucapan atau wacana – sama sekali tidak begitu pasti dibandingkan dengan penggunaan
sumber tentang tanda-tanda. Sumber-sumber itu mulai dengan pernyataan “Aku adalah”.
Disini kita dapat melihat suatu usaha untuk memperbaiki tradisi dengan mengambil suatu sikap
kritis terhadap hubungan hidup selaku orang Kristen diperhatikan dengan lembaga dan gantinya
dengan menekankan bahwa subsesi (dalam arti institusional) terdapat dalam kemuridan yang
benar.
c. Suntingan Gereja
Gaya dalam pasal 21 kebanyakan sama dengan gaya pasal 1-20. Dengan kata lain, gayanya
bukanlah ciri khas si pengarang, melainkan lebih merupakan gaya sebuah kalangan atau aliran
yang juga kita temukan dalam surat-surat Yohanes. Mungkin dari sini kita dapat menyimpulkan
bahwa pasal 1-20 bukanlah karya 1 orang saja yang mencoba, dalam kerangka yang disusunnya
membahas masalah hangat dari masanya, tetapi bahwa orang ini merupakan bagian dari sebuah
komunitas, atau paling tidak memiliki suatu lingkungan murid.
Banyak dari pertanyaan terinci harus dibiarkan terbuka untuk sementara waktu, misalnya
pertanyaan apakah pengaturan teks yang kita miliki ini memang asli. Di dalam perpisahan (psl 14-
16), kesimpulan 14:31 kedengaran aneh, dan susulannya bukanlah 15:1 melainkan 18:1. Keadaan-
keadaan aneh ini telah memunculkan berbagai teori untuk menjelaskannya, dari anggapan bahwa
lembar-lembarnya telah saling dipertukarkan sampai kepada hipotesis bahwa injil ini 3 kali direfisi
oleh si pengarang ( injil yang asli kemudian ditambahkan ucapan-ucapan, dan akhirnya di
kembangkan menjadi sebuah injil penderitaan) dan lalu diterbitkan oleh murid si penginjil.
Meskipun teori ini banyak mengandung pemahaman berharga tentang cara berkembangnya
bahan-bahan ini ia tak dapat diterima sebagai mana adanya, karena ia tidak cukup
memperhitungkan kesenjangan dalam pernyatan-pernyataan teologis dalam berbagai
tahapannya. Sementara perubahan terakhir terhadap tesnya dilakukan oleh penyunting gereja,
mungkin saja bahwa kekacauan bahan itu muncul pada tahap ini.
Pemahaman terhadap pertumbuhan sastra injil ini amat bermanfaat untuk penafsiran. Ia pada
umumnya dapat berlangsung dalam tiga tahap : kita dapat menguraikan sumber-sumber yang
kita ketahui, setelah dikenai redaksi gereja.
d. Masalah Kepengarangan
Penyunting gereja menyamakannnya sebagai “murid yang dikasihi” (21:24;bng 19:35), tetapi
orang ini tak pernah disebutkan dengan namanya. Maka melalui buklti-bukti internnya injil ini
bersifat anonim.
Tradisi gereja belakangan menyebut Yohanes anak Zebedeus sebagai pengarangnya. Ireneus
dengan gambling menyamakan murid yang dikasihi ini dengan Yohanes dan menyatakan bahwa
Efesus adalah asal mula injil ini (Adv.Haer.III,I,1). Bersamaan dengan tradisi ini kita sering
menemukan pendapat bahwa inijil ini merupakan karya seseorang bernama Yohanes “si
penatua”.
Satu-satunya titik tolak kita ialah kenyataan bahw si pengarang menganggap dirinya sendiri
sebagai seorang murid yang Yesus kasihi dan yang memiliki tempat khusus di dalam karya itu
sendiri. Penyunting gerejalah yang pertama-tama memungkinkan untuk menganggap dia sebagai
figure yang sesungguhnya diantara kalangan para murid. Karya ini mungkin ditulis di Timur
(daerah Siria) menjelang akhir abad pertama.

2. SURAT YOHANES YANG PERTAMA


a. Bentuk Sastranya
Dokumen ini tidak memiliki suatu pembukaan dan penutup suratnya, bentuk sastranya tidak
muda untuk ditentukan. Kita tidak dapat menyebut 1 Yohanes sebagai sebuah surat, karena ia
tidak memiliki semua rincian kongkret yang akan membenarkan penyebutan demikian. Dokumen
ini telah disebut homily, surat peringatan, traktat, atau manifesto tetapi tak satu pun yang benar-
benar merupakan gambaran yang tepat. Ia merupakan suatu dokumen yang bentuknya tidak
mempunyai kesejajaran di tempat lain manapun.
Pengarang berusaha menyapa para pembaca dengan situasi khusus mereka yang dikenalinya.
Ini berarti penulisannya berkali-kali mendekati bentuk sebuah surat, tetapi penulis tidak benar-
benar menulis surat.
b. Keadaan para Pembacanya
Pengarang membayangkan para pembacanya terancam oleh suatu ajaran sesat yang para
pengikutnya bukanlah Yahudi ataupun non Yahudi, melainkan mengaku sebagai orang Kristen.
Dari serangan yang ia lakukan terhadap mereka kita dapat menyimpulkan bahwa mereka adalah
orang-orang gnostik yang menyangkal inkarnasi Yesus Kristus yang sebenarnya (4:2-3;bnd 2:22).
Diantara mereka dan para pembaca telah terjadi perpecahan (2:19), dan tajamnya perpecahan
dalam jemaat ini digaris bawahi oleh pernyataan si pengarang: doa syafaat tak boleh dinaikkan
bagi mereka yang telah melakukan doa yang mendatangkan maut (5:16).
c. Kesatuan Dokumennya
Pernyatan-pernyataan si pengarang tampaknya amat terlepas-lepas, hingga sulit kita membagi-
bagi dokumen ini ke dalam bagian-bagiannya. Namun juga telah diamati bahwa tampaknya
muncul sejumlah kontradiksi pada bahannya (misalnya hubungan antara dosa dan ketidak
berdosaan dilihat dari dialektis dalam 1:5 tyb, tetapi 5:16-17 sebaliknya berbicara tentang dua
jenis doa).
d. Kedudukan Teologi si Pengarang
Baptisan dan perjamuan kudus dibicarakan disini dengan cara yang sama seperti dalam redaksi
gereja dari injil Yohanes (Yoh 6:51b-58;19:34b-35:band.bag.24,3). Maka si pengarang tampaknya
tergabung dalam kelompok yang menggabungkan pandangan Yohanes ke dalam tradisi gereja.
e. Pesan si Pengarang
Dalam konfontasinya dengan suatu Gnostikisme Kristen, maksud si pengarang ialah
mempertahankan gereja dalam pengakuan iman yang benar (2:22).
Di satu pihak pengarang memberikan peringatan keras agar tidak jatuh ke dalam ajaran sesat,
karena hal itu akan berarti musnahnya keselamatan. Pada saat yang sama ia prihatin akan
pentingnya hidup yang secara praktis sesuai dengan perintah-perintah di dalam gereja. Bila para
pembacanya membuktikan dirinya dalam kedua segi di atas sebagai anak-anak Allah, maka kelak
suatu masa depan eskatologis menanti mereka. Dan keberadaan mereka saat ini akan dilampaui
(3:2).
f. Kepengarangan dan Waktu serta Tempat Penyusunanya
Dokumen ini telah diturunkan secara anonim. Kita telah melihat bahwa tidaklah mungkin
menganggap injil Yohanes sebagai karya Yohanes anak Zebedeus (band.bag.24,4). Hal yang sama
pun berlaku dengan 1 Yohanes. Acuannya dengan melihat dalam 1:1-4 tak dapat diambil sebagai
bukti bahwa si pengarang adalah saksi mata seperti juga halnya dengan 3:6 (bnd.juga 3 Yoh.11).
Pengarang meneruskan tradisi-tradisi Yohanes, tetapi Ia pun memberi suatu sentuhan kegerejaan
seperti yang terjadi dengan redaksi gereja dalam Yohanes.
Karya ini kemungkinan berasal dari Timur di sekitar peralihan abad pertama.
g. “comma Johanneum”
Dalam sejumlah nas salinan – terutama naskah-naskah latin purba-kita menemukan sebuah
keterangan yang ditambahkan pada 5:7-8, yang mengandung sebuah penafsiran trinitatis
terhadap nas itu. Apa yang disebut “comma” (bagian) ini jelas tidaklah asli dan tak punya
relevansi untuk tafsiran 1 Yoh, meskipun hal ini amat menarik dari sudut pandang sejarah dogma.

3. SURAT YOHANES YANG KEDUA DAN KETIGA


a. Bentuk Sastra dan Isi
Naskah ini adalah surat dan tak ada alasan untuk menganggapnya sebagai suatu rekaan (fiksi),
seperti yang terkadang telah diusulkan. Dalam pembukaannya, seorang presbuteros (penatua)
disebutkan sebagai pengirimnya, tetapi namanya tak disebutkan. Penutup dari sebuah surat ini
mengandung salam yang di dahului oleh suatu ungkapan yang berbunyi seperti sebuah rumusan
baku.
b. Keadaannya
Kedua surat ini telah memperhadapkan para ahli pada sejumlah pertanyaan yang sulit di jawab
karena acuan-acuan yang amat singkat yang ada pada surat-surat ini tidak cukup untuk
memberikan gambaran yang jelas mengenai situasi-situasi kemunculannya-meskipun sudah tentu
situasi masing-masing dikenal baik oleh para penerimanya.
Keadaannya sama sekali tidaklah jelas. Bila kita bertanya, misalnya mengapa Diotrefes menolak
untuk menerima saudara-saudara itu, kita tak dapat menemukan jawaban – atau paling tidak,
tidak secara langsung. Kasemann berpendapat bahwa hal ini terjadi karena alasan dokriner.
Apa yang dapat kita katakana ialah bahwa tampaknya si penatua dan Diotrefes hidup di
tempat-tempat yang berlainan. Ada kegiatan pemberita injil yang dipusatkan pada tempat tinggal
si penatua, yang jelas menyebar di luar wilayah. Kegiatan ini bersaingan dengan misi kaum
Gnostik, yang peringatannya telah diungkapkan dalam 2 Yohanes.
c. Kepengarangan, Waktu dan Tempat Penyusunan
Penyebutan si pengarang atas dirinya sebagai “penatua” tanpa petunjuk akan namanya adalah
aneh. Bahwa penyebutan ini tidak berarti Rasul Yohanes, sudah jelas bukan saja dari
pengamatan-pengamatan sebelumnya (band. Bag.24,4 dan 25,6).
Kita tidak dapat mengatakan dengan pasti apakah si pengarang adalah orang yang sama
dengan pengarang 1 Yohanes. Kenyataan ialah bahwa dalam hal ini Ia menulis surat-surat yang
sebenarnya, sedangkan dalam 1 Yohanes ia menggunakan bentuk sastra yang berlainan.
Bagaimana pun ia tergolong pada aliran Yohanes, dan menuliskan kedua surat itu di Timur sekitar
peralihan abad pertama.

SASTRA APOKALIPTIS

Karya-karya ini di tulis oleh penulis-penulis apokaliptis, yang penuh dengan misteri-misteri gelap,
sebagai pembentuk sebagian besar dari daya tariknya. Karya-karya ini di terbitkan dengan nama-nama
tokoh-tokoh imam besar dari masa lampau: Henokh, Abraham, Yakub dan anak-anaknya, dll.
Apokaliptis yang ditulis dengan nama Daniel ialah Apokaliptis tertua yang sampai ke tangan kita. Kitab
ini pula satu-satunya yang dimasukkan dalam kanon perjanjian lama.

Gagasan sejarah apokaliptis seluruhnya dua listis. Periode dunia ini diikuti oleh apa yang akan
datang dan apa yang akan terjadi. Peristiwa-peristiwa yang harus terjadi pertama-tama disusun dalam
sejenis jadwal. Maka para pembacanya mengetahui, atau dapat menyusun melalui pengamatan tanda-
tanda zaman, dititik mana dalam perjalanan sejarah ia hidup sekarang.

1. WAHYU KEPADA YOHANES


a. Isi
Pelihat diberi tugas menulis
- Apa yang telah dilihatnya
- Apa yang terjadi
- Apa yang akan terjadi

Laporan tentang penglihatan itu didahului oleh sebuah pendahuluan seperti pendahuluan sebuah
surat (1:-8). Isi utama karya ini ditujukan dengan amat singkat: ‘apa yang harus segera terjadi’ (1:1-
bnd.1:3). Bagian utamanya (4-22) membahas ‘apa yang harus terjadi sesudah ini’, dan dalam
perjalanannya, tekanannya berubah dari waktu kewaktu.

Kita sering menemukan angka 7 (penglihatan tentang tujuh materai: 4:1-8:1; penglihatan tentang
tujuh terompet; 8:7-12; 9:1-21; 11:15-19; penglihatan tentang tujuh cawan: 15:1-16, 21; juga tujuh
gereja: 1:4, bnd. 4:5; 5:6; tujuh guruh: 10:3, dll.). Angka empat (4:6; 7:1; 20:8) dan 12 (12:1; 21:12 dyb.)
juga memiliki arti khusus.

Bagian penutupnya (22:6-21) mengandung peritah lebih lanjut untuk memberitakan apa yang
telah dilihat, tetapi tak ada perintah untuk memateraikannya – seperti yang biasa terjadi dalam
apokalipsis – karena Akhir Zaman sudah dekat (22:10; bnd. 22:20).

b. Titik Tolak si Pengarang

Untuk memahami pesan Wahyu, dua fakta harus kita ingat: pertama, gereja-gereja yang
dialamatkan si pengarang sedang menderita penganiayaan oleh Negara (1:9; 6:8-11; 11:11 dyb.;
13:1 dyb.); dan kedua, akhir dunia diharapakan akan segera terjadi (1:1, 3; 22:6, 10).

Dengan menerima bentuk sastra apokalips, si pengarang menegaskan betapa dekatnya ia


berdiri kepada pandangan apokaliptis, yang tujuannya adalah mengalihkan mata pembacanya dari
malapetaka masa kini kepada masa depan yang gemilang, hingga ia boleh tinggal setia dan
memiliki harapan untuk dilepaskan pada penghakiman dan ikut serta dalam keselamatan.
Maka penglihatan si pengarang terpaku hampir semata-mata kepada masa depan. Jelas ia yakin
bahwa peristiwa-peristiwa akhir itu akan terjadi mirip sekali dengan apa yang telah ia gambarkan.
Dengan mengajak para pembacanya melihat keluar dari kebingungan masa kini kepada akhir
zaman yang agung itu, ia mengilhami mereka dengan harapan (19:9). Di sini kita dapat melihat
kesamaan besar antara titik tolak si pengarang dengan titik tolak Ibrani ( bnd. Bag. 190, dan juga
dengan titik tolak Lukas, meskipun dalam hal ini titik acuannya dibalikkan. Sementara Lukas
mendasarkan harapannya kepada ‘pusat waktu’ yang tergolong pada masa lampau dan yang
digambarkan sebagai pencicipan akan penggenapan akhir (bnd.bag. 14), si pengarang Wahyu
mendasarkan harapan ini kepada masa depan.

c. Kepengarangan, Waktu dan Tempat Penyusunan


Si pengarang memperkenalkan dirinya kepada para pembacanya dengan nama Yohanes (1:1, 4;
22:8) dan melanjutkan dengan menggambarkan dirinya sebagai saudara dan sekutumu dalam
kesusahan, dalam kerajaan dan dalam ketekunan menantikan Yesus (1:9).
Sering diduga bahwa si pengarang adalah Yohanes sang penatua yang sama, yang aktif di Asia
kecil. Tetapi teori ini diragukan, karena sama sekali tidak pasti bahwa orang demikian memang
pernah ada. Si pengarang Wahyu tetap anonim, kendatipun kita mengetahui namanya, agaknya ia
berasal dari bangsa Yahudi. Karena si pengarang menempatkan penglihatannya dan panggilannya
di Patmos, sebuah pulau kecil di lepas pantai Barat Asia kecil (1:9) sepertinya mungkin bahwa ia
juga menuliskan karyanya di sana.
Sulit bagi kita untuk mengusulkan waktu penulisannya, karena dalam karya ini ada sejumlah
petunjuk yang dapat ditafsirkan mengacu kepada beraneka peristiwa historis. Ireneus berpendapat
bahwa Wahyu ditulis menjelang akhir pemerintahan Domitianus.

Anda mungkin juga menyukai