TESIS
Oleh:
MAMAH SITI ROHMAH
08.2.00.1.12.08.0048
PEMBIMBING
PROF. DR. DEDE ROSYADA, MA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
SURAT PERNYATAAN
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
iii
PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI
Dewan Penguji:
iv
ABSTRAK
Penelitian ini membuktikan bahwa model pembelajaran pendidikan
agama Islam untuk siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi adalah model
pembelajaran berbasis kompetensi anak dengan mengembangkan lingkungan
belajar secara terpadu antara prinsip-prinsip umum dan khusus dalam
pembelajarannya.
Ada dua pendapat tentang model pembelajaran untuk anak yang
berkebutuhan khusus yaitu:
Pertama, mempertahankan penyediaan model pendidikan dengan
alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara khusus
dan terpisah dari siswa lain yang normal. Pendapat ini dikemukakan oleh Evelyn
Deno dan Kauffman. Kedua, menyetujui model pembelajaran dengan
penempatan anak berkebutuhan khusus dalam satu tempat bersama-sama anak
normal lainnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Stainback dan Stainback, Staub
dan Peck, Sapon-Shevin, dan Bandi Delphie.
Posisi tesis ini adalah menolak pendapat pertama dan memperkuat
pendapat kedua. Untuk memperkuat posisi tesis ini diajukan argumentasi
berikut: Pertama, pendidikan Inklusi yang mengakomodasi semua peserta didik
tanpa mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik
mereka dan kondisi lainnya, merupakan sarana yang sangat efektif untuk
memberantas diskriminasi, menciptakan masyarakat yang hangat relasinya,
membangun masyarakat inklusif, dan mensukseskan pendidikan untuk semua.
Kedua, penempatan anak berkebutuhan khusus di sekolah regular bersama anak-
anak normal lainnya dapat menumbuhkan rasa percaya diri yang pada akhirnya
akan memudahkan mereka untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Ketiga, pemberian hak pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus akan
lebih optimal terlayani di sekolah inklusi untuk membantu mereka
mengembangkan potensi ruhaniah yang memancar dari dimensi al-ruh dan al-
fitrah yang mereka miliki.
Sumber utama penelitian ini adalah Koordinator Special Educational
Need Unit (SEN Unit), guru-guru SEN Unit, guru-guru pendidikan agama
Islam, dan data-data yang terkait dengan pembelajaran anak berkebutuhan
khusus yang diperoleh melalui observasi, deep interview, maupun studi
dokumentasi di Madania Progressive Indonesian School Parung Bogor yang
menerapkan pendidikan inklusi. Semua data yang diperoleh dikumpulkan lalu
disusun secara sistimatis sesuai dengan alur subyek penelitian. Kemudian data
diklasifikasi dan dianalisis secara komprehenship dengan pendekatan kualitatif
sehingga diperoleh satu kesimpulan sebagai temuan teori dalam penelitian ini.
v
ABSTRACT
This research has found evidences that learning model of Islamic
education for student with special need in the inclusion school is a learning
model using competence-based learning by the support of environmental
development which has been conducted integrally between general and specific
principle in the learning process.
There are two opinions concerning learning model for student with
special need, as follows:
Firstly, maintaining learning model by providing alternative placement
for student with special need in a different place which is separated from normal
students. This opinion is conveyed by Evelyn Deno and Kauffman. Secondly,
accepting learning model by placement student with special need in one place
together with normal students. This opinion is said by Stainback and Stainback,
Staub and Peck, Sapon-Shevin and Bandi Delphie.
The position of this thesis is rejecting the first opinion and
strengthening the second opinion. In order to support this thesis, I argue, firstly,
that inclusive learning which accommodates all students without considering
their physical condition, intellectual, social, emotional, linguistic and other
conditions, is an effective way to eliminate discrimination, creating a warm-
relation society, building inclusive community, and encouriging education for
all. Secondly, placement for student with special need in regular school with
other normal student able to fostering their self-confidence which will enable
them to develop their potency. Thirdly, personal right to acquire religious
education for student with special need will be served more optimally in the
inclusion school to help them in developing their spiritual potency from their
internal nature of spirit.
The main source of this research is Coordinator of Special Educational
Need Unit (SEN Unit), teachers in SEN Unit, teachers of Islamic training and
any relevant data with learning for students with special need that are acquired
by observation, dept-interview, and searching document in Madania Progressive
Indonesian School Parung-Bogor that has already implemented inclusive
learning. All data is collected and managed systematically in accordance with
the flow of research subject. This data, then, is classified and analysed
comprehensively by qualitative approach to get conclusion as teoritical finding
in this research.
vi
ﻣﻠﺨﺺ ﺍﻟﺒﺤﺚ
ﺃﻳﺪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﺃﻥ ﳕﻮﺫﺝ ﺗﺪﺭﻳﺲ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻟﻠﻄﻠﺒﺔ ﺫﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﰲ ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﻰ
) inklusiﻭﻫﻲ ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ ﺍﻟﱵ ﺧﻠﹼﻄﺖ ﺑﲔ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﻏﲑ ﺫﻭﻱ ﺍﻟﻌﺎﻫﺎﺕ ﻭﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﰲ
ﻧﻔﺲ ﺍﻟﻔﺼﻞ( ﻫﻮ ﳕﻮﺫﺝ ﺍﻟﺘﺪﺭﻳﺲ ﺍﳌﺆﺳﺲ ﻋﻠﻰ ﻛﻔﺎﺀﺓ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺍﳌﺆﻳﺪﺓ ﺑﺘﻄﻮﻳﺮ ﺑﻴﺌﺔ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﺍﳌﻮﺣﺪﺓ ﺑﲔ
ﺍﻷﺳﺲ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ﻭﺍﳋﺎﺻﺔ .
ﻫﻨﺎﻙ ﺭﺃﻳﺎﻥ ﰲ ﻛﻴﻔﻴﺔ ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ،ﳘﺎ:
ﺃﻭﻻ :ﺍﻟﺪﻓﺎﻉ ﻋﻦ ﻋﻘﺪ ﳕﻮﺫﺝ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﺬﻱ ﻓﺮﻕ ﺑﲔ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﻏﲑ ﺫﻭﻱ
ﺍﻟﻌﺎﻫﺎﺕ ﰲ ﻓﺼﻞ ﻣﺴﺘﻘﻞ .ﺫﻫﺐ ﺇﱃ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺮﺃﻱ ﻛﻞ ﻣﻦ "ﺇﺑﻠﲔ ﺩﻳﻨﻮ" Evelyn Denoﻭ "ﻛﻮﻓﻤﺎﻥ"
.Kauffmanﺛﺎﻧﻴﺎ :ﺍﻟﺮﺃﻱ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺆﻳﺪ ﺧﻠﻂ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﻏﲑ ﺫﻭﻱ ﺍﻟﻌﺎﻫﺎﺕ ﻭﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ
ﰲ ﻓﺼﻞ ﻭﺍﺣﺪ .ﻗﺪﻡ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺮﺃﻱ ﻛﻞ ﻣﻦ "ﺳﺘﺎﻳﻦ ﺑﺎﻙ" " ،Stainbackﺳﺘﺎﻭﺏ"" ، Staubﻓﻴﻚ" ،Peck
"ﺳﺎﻓﻮﻥ-ﺳﻴﻔﲔ" ،Sapon - Shevinﻭ "ﺑﺎﻧﺪﻱ ﺩﻳﻠﻔﻲ" .Bandi Delphie
ﺭﻓﻀﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺍﳌﺎﺟﺴﺘﺮﻳﺔ ﺍﻟﺮﺃﻱ ﺍﻷﻭﻝ ﻭﺗﺪﺍﻓﻊ ﺍﻟﺮﺃﻱ ﺍﻟﺜﺎﱐ ﺑﻌﺪﺓ ﺍﻷﺩﻟﺔ ﻭﻫﻲ :ﺃﻭﻻ ،ﺃﻥ ﺍﻟﻨﻈﺎﻡ
ﺍﻟﺘﺮﺑﻮﻱ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻌﺎﻣﻞ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺴﻮﺍﺀ ﺑﻐﺾ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻋﻦ ﺣﺎﻟﺘﻬﻢ ﺍﳉﺴﺪﻳﺔ ،ﻭ ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﺔ ،ﻭ ﺍﻹﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ،
ﻭﺍﻹﻧﻔﻌﺎﻟﻴﺔ ،ﻭﺍﻟﻠﻐﻮﻳﺔ ﻫﻮ ﺍﻟﻨﻈﺎﻡ ﺍﻟﻔﻌﺎﻝ ﻟﻠﻘﻀﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻤﻴﻴﺰ ،ﻭﺇﺑﺪﺍﻉ ﺍﺘﻤﻊ ﺍﳌﺄﻟﻮﻑ ﻭ ﺍﳊﻤﻴﻢ ،ﻭﺑﻨﺎﺀ
ﺍﺘﻤﻊ ﺍﳌﻨﻔﺘﺢ ،ﻭﺇﳒﺎﺡ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﻟﻠﺠﻤﻴﻊ .ﺛﺎﻧﻴﺎ ،ﺃﻥ ﺧﻠﻂ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﻣﻊ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﻏﲑ
ﺫﻭﻱ ﺍﻟﻌﺎﻫﺎﺕ ﰲ ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ﻳﺴﺎﻋﺪ ﻧﺸﻮﺀ ﻭﳕﻮ ﺿﺒﻂ ﻧﻔﺲ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﺣﱴ
ﻳﺴﻬﻠﻬﻢ ﰲ ﺗﻄﻮﻳﺮ ﻣﻮﻫﺒﺘﻬﻢ .ﺛﺎﻟﺜﺎ ،ﺃﻧﻪ ﳝﻜﻦ ﺇﻋﻄﺎﺀ ﺣﻖ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﰲ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ
ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﺍﻷﻛﻤﻞ ﰲ ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﻰ inklusiﻟﻴﺴﺎﻋﺪﻫﻢ ﰲ ﺗﻄﻮﻳﺮ ﻗﻮﻢ ﺍﻟﺮﻭﺣﻨﻴﺔ ﺍﳌﻨﺒﺜﻘﺔ ﻣﻦ
ﻧﺎﺣﻴﺘﻬﻢ ﺍﻟﺮﻭﺣﻴﺔ ﻭﺍﻟﻔﻄﺮﻳﺔ.
ﺍﳌﺼﺪﺭ ﺍﻷﺳﺎﺳﻲ ﳍﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﻫﻮ ﺍﳌﻨﺴﻖ ﺍﳌﺘﺨﺼﺺ ﰲ ﻭﺣﺪﺓ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﻟﺬﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ
) ،(Special Need Unitﺍﳌﺪﺭﺳﲔ ﰲ ،Special Need Unitﺍﳌﺪﺭﺳﲔ ﻟﻠﻤﻮﺍﺩ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ،ﺍﳌﻌﻄﻴﺎﺕ
ﺍﻟﱵ ﺗﺘﻌﻠﻖ ﺑﺘﺪﺭﻳﺲ ﺍﻟﻄﻠﺒﺔ ﺫﺍﻭﻱ ﺍﻹﺣﺘﻴﺎﺟﺎﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ ﻭﺍﻟﱵ ﰎ ﲨﻌﻬﺎ ﻋﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻹﻛﺘﺸﺎﻑ ،ﻭﺍﳊﻮﺍﺭ،
ﻭﺍﻟﺪﺭﺍﺳﺔ ﺍﻟﻮﺛﺎﺋﻘﻴﺔ ﰲ ﻣﺪﺭﺳﺔ Madania Progressive Indonesiaﺑﺎﺭﻭﻧﺞ ،ﺑﻮﺟﻮﺭ ﻭﺍﻟﱵ ﻃﺒﻘﺖ ﻧﻈﺎﻡ
ﺗﻌﻠﻴﻢ ﺷﺎﻣﻠﻰ . inklusiﻛﻞ ﺗﻠﻚ ﺍﳌﻌﻄﻴﺎﺕ ﰎ ﲨﻌﻬﺎ ﻭﺭﺗﺒﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﺍﳌﻨﻈﻢ ﻣﺴﺎﻳﺮﺍ ﻣﻊ ﻣﻮﺿﻮﻉ
ﺍﻟﺪﺭﺍﺳﺔ .ﰒ ﺗﺼﻨﻴﻔﻬﺎ ﻭ ﺩﺭﺍﺳﺘﻬﺎ ﺩﺭﺍﺳﺔ ﺷﺎﻣﻠﺔ ﺑﺎﺳﺘﺨﺪﺍﻡ ﺍﳌﻨﻬﺞ ﺍﻟﻨﻮﻋﻲ ) (kualitatifﺣﱴ ﻭﺻﻠﺖ ﺇﱃ
ﺍﻟﻨﺘﻴﺠﺔ ﻛﺎﻹﳚﺎﺩ ﺍﻟﻨﻈﺮﻱ ﰲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memelihara alam dan keteraturan isinya. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah berhasil memberi
suritauladan ideal bagi seluruh umatnya sampai saat ini.
Alhamdulillah penulis patut bersyukur kepada Allah karena akhirnya
penulis dapat menyelesaikan penelitian Tesis yang berjudul “PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSI “. Penulisan tesis
ini diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk
memperoleh gelar Magister Agama. Keberhasilan ini bukan semata-mata karena
hasil dari kemampuan dan kerja keras penulis saja, akan tetapi penulis
menyadari bahwa peran pihak lain pun tidak bisa diabaikan turut mendukung
baik secara moral, materil, maupun pengayaan gagasan. Dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
viii
4. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, yang telah meluangkan waktunya di tengah-
tengah kesibukannya sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta yang
dengan sabar selalu membimbing penulis dalam proses penelitian dan
penulisan tesis.
5. Dewan Penguji: Dr. Udjang Tholib, MA, ketua sidang merangkap penguji;
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, pembimbing merangkap penguji; Prof. Dr.
Abuddin Nata, MA dan Dr. Amelia Fauziah, MA sebagai penguji. Terima
kasih atas telaahannya halaman demi halaman, dan mengujinya secara kritis,
serta masukan ide yang sangat berharga.
6. Kepala Perpustakaan SPs UIN, Perpustakaan Utama UIN, Perpustakaan
Fakultas Tarbiyah UIN, Perpustakaan Fakultas Psikologi UIN, Perpustakaan
Nasional Salemba, Perpustakaan Pusat UNJ, Perpustakaan Kemendiknas,
dan Perpustakaan UI Depok yang telah memberi kesempatan penulis untuk
mengakses sumber-sumber buku yang dibutuhkan dalam penulisan tesis.
7. Pimpinan dan Dewan Guru Madania Progressive Indonesian School,
terutama Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., Bapak Mardaih, S.Pd., Bapak
Abdullah, S.Ag., Ibu Ninik NR, S.Ag., Ibu Sabit Qolbi Khoiriyah, S.Ag.,
yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.
8. Kepala SMPN 1 Gunungsindur Bapak H. Mukmin Yusuf, S. Pd. yang telah
memberi izin penulis untuk melanjutkan studi S2.
9. Orang tua penulis Drs. H. Hafidin Achmad dan Ibu yang selalu terus
memberi dukungan dan doa pada penulis demi keberhasilan studi. Tidak lupa
kepada kakak dan adik penulis : Ceu Wiwi, Teh Yoyoh, Neneng, Yeni,
Encep Doni yang telah memberikan dorongan dan do’a pada penulis.
10. Suami tercinta Dr. H. Mamat Slamet Burhanuddin, MA, yang telah memberi
dukungan penuh dengan kekuatan semangat untuk secepatnya menyelesaikan
studi ini. Khususnya atas hadiah di sela-sela studi berupa “perjalanan suci”
40 hari di Haramain yang telah memberi kekuatan batin tersendiri bagi
penulis. Dua anakku tersayang Keisa Ghautsi Arifa dan Nadwa Meilan Iffa
yang telah terenggut waktunya untuk mendapatkan perhatian dari Bundanya
ix
selama penyelesaian studi. Penulis bangga meski masih anak-anak tetapi
mereka memahami betul akan kesibukan Bundanya.
11. Teman- teman seperjuangan angkatan 2008-2010, khususnya teman-teman
sekelas dalam beberapa matakuliah seperti Anita, Dzatil, Tatkul, Sansan,
Syfa, Suparhun, Fatwa, Habibi, Teguh, Yunan, Fazlur, Fauzani, Asnawi, Evi,
Juni, dan lainnya yang telah membuat suasana belajar menyenangkan
sehingga tidak jenuh selama kuliah.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah penulis panjatkan do’a semoga
segala amal kebajikan semua pihak tersebut di atas diterima oleh Allah SWT, dan
diberi pahala yang sebesar-besarnya.
Namun di balik semua itu penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan wawasan penulis. Untuk itu
penulis sangat mengharapkan masukan kritik dan saran dari berbagai pihak demi
perbaikan tesis ini.
Jakarta, Agustus 2010
Penulis,
x
DAFTAR ISI
xi
BAB IV. MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI
SEKOLAH INKLUSI
A. Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
di Sekolah Inklusi ....................................................................... 116
B. Nilai-nilai Agama sebagai Budaya Sekolah Inklusi…………….. 136
C. Penciptaan Lingkungan Religius Sebagai
Core Pendidikan di Sekolah Inklusi ............................................ 142
D. Pemenuhan Fasilitas ibadah dan Sarana Pembelajaran ................ 147
E. Evaluasi dan Penilaian Pendidikan Agama ................................ 152
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 162
B. Saran-saran................................................................................. 163
xii
Pedoman Transliterasi Arab-Latin dan Singkatan
A. Translitersi
ﺀ = ' ﺯ = z ﻕ = q
ﺏ = b ﺱ = s ﻙ = k
ﺕ = t ﺵ = sh ﻝ = l
ﺙ = th ﺹ = s} ﻡ = m
ﺝ = j ﺽ = d} ﻥ = n
ﺡ = h} ﻁ = t} ﻭ = w
ﺥ = kh ﻅ = z} ﺓﻩ = h
ﺩ = d ﻉ = ‘ ﻱ = y
ﺫ = dh ﻍ = gh
ﺭ = r ﻑ = f
2
ﺇﻱ i panjang = ī
3
ﺍﻭ u panjang = ū
4 diftong ﺃﻭ = au
ﺍﻭ = uw
ﺃ
ﻱ = ai
ﺇﻱ = iy
6. Nama orang, nama-nama dan istilah-istilah yang sudah dikenal di Indonesia tidak masuk
dan tidak terkait dengan pedoman ini, contoh: Fatimah, fitnah, shalat, dan lain-lain.
xiv
B. Singkatan-singkatan:
H. = Hijriah M = Masehi
h. = halaman t.th. = tanpa tahun
Saw. = s}allallāhu ‘alaihi wasallam t.p. = tanpa penerbit
SWT. = Subh}ānahū wa Ta’ālā t.t. = tanpa tempat
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Konvensi PBB tentang Hak Anak
tahun 1989, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jomtien tahun 1990, Peraturan
Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para penyandang cacat tahun 1993, Pernyataan
Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994, Kerangka
Aksi Forum Pendidikan Dunia di Dakar tahun 2000. Lihat Berit H. Johnsen & Miriam D
Skjorten , Education-Special Needs Education (Oslo University: Unifub Forlag, 2001), 4. Lihat
juga Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources (Oslo: The Atlas
Alliance, 2002), 14. dengan tambahan yaitu Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus
pada Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan tahun 2000, serta Flagship PUS tentang
Pendidikan dan Kecacatan tahun 2001.
2
UUD 1945 pasal 31 ayat 1, Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 5, ayat 1 s.d. 4 telah menegaskan bahwa: setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, dan warga negara yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
3
United Nations, Universal Declaration of Human Rights, 1948. http://www.un.org/en
/documents/udhr/ (diakses 25 Januari 2010).
1
mendapat perhatian khusus dalam memperoleh hak asasinya. Instrumen-
instrumen hak asasi manusia PBB berikutnya baru menyebutkan secara spesifik
orang penyandang cacat, dan menekankan bahwa semua penyandang cacat,
tanpa memandang tingkat keparahannya, memiliki hak atas pendidikan.4
Deklarasi ini dalam perkembangannya telah mengilhami dunia
pendidikan untuk menyediakan model pendidikan khusus untuk mereka yang
membutuhkan perhatian khusus. Model pendidikan khusus tersebut sering
disebut dengan model pendidikan segregasi. Dalam dunia pendidikan
penyandang cacat, model pendidikan ini merupakan model pendidikan khusus
tertua yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah
dari teman sebayanya. Mereka memperoleh pendidikan secara khusus dengan
kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru
khusus.
Kemudian konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 lebih jauh
menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya wajib dan bebas biaya bagi
semua. Konvensi PBB tentang hak anak memiliki empat prinsip umum yang
menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal tentang pendidikan yaitu: non
diskriminasi yang menyebutkan secara spesifik tentang anak penyandang cacat,
kepentingan terbaik anak, hak untuk kelangsungan hidup dan perkembangan,
serta menghargai pendapat anak. 5
4
Karakteristik penyandang cacat atau anak berkebutuhan khusus menurut Kauffman &
Hallahan adalah: tunagrahita (mental retardation), kesulitan belajar (learning disabilities),
hyperactive (attention deficit disorder with hyperactive), tunalaras (emotional or behavior
disorder), tunarungu wicara (communication disorder and deafness), tunanetra (partially seing
and legally blind), anak autistik (autistic children), tunadaksa (physical disability), tunaganda
(multiple handicapped), anak berbakat (giftedness and special talents). Lihat J.M. Kauffman &
D.P.Hallahan dalam Exceptional Children: Introduction to Special Education (New Jersey:
Prentice-Hall, Englewood Clipps: 2005), 28-45.
5
Konvensi PBB tentang hak anak, pada pasal 2 dijelaskan bahwa negara harus
menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang
berada di dalam wilayah hukumnya tanpa diskriminasi apapun, tanpa memandang ras anak atau
orang tua atau walinya, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau
pendapat lainnya, suku atau asal muasal sosial, hak milik, kecacatan, kelahiran ataupun status
lainnya. Sedangkan pada pasal 23 dijelaskan bahwa negara mengakui bahwa anak yang
menyandang kecacatan mental ataupun fisik seyogyanya menikmati kehidupan yang layak dan
utuh, dalam kondisi yang menjamin martabat, meningkatkan kemandirian serta memberi
kemudahan kepada anak untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Lihat United Nations,
Convention on the Rights of the Child,1989. http://www.un.org/millennium/law/iv-10.htm
(diakses 26 Januari 2010).
2
Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989 merupakan babak baru dalam
upaya menjamin hak anak dan penyandang cacat sekaligus mengkritisi model
pelayanan pendidikan untuk mereka. Model pendidikan segregasi yang waktu itu
masih diyakini efektif untuk memenuhi hak pendidikan mereka kini mulai
terbuka sisi kelemahannya. Meskipun penyediaan pendidikan di sekolah luar
biasa dengan model segregasi dapat memenuhi hak pendidikan anak penyandang
cacat, tetapi masih melanggar haknya untuk diperlakukan secara non
diskriminatif, dihargai pendapatnya dan hak untuk tetap berada di dalam
lingkungan keluarga dan masyarakatnya.
3
Pada tahun 1993, PBB mengeluarkan Dokumen Peraturan Standar
tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat yang terdiri dari
peraturan-peraturan yang mengatur semua aspek hak penyandang cacat.
Dokumen ini telah melengkapi apa yang harus diberikan pada anak cacat untuk
mendapatkan hak pendidikannya yang layak. Hal ini terlihat dalam beberapa
peraturan yang secara tegas mengatur pelayanan pendidikkan bagi penyandang
cacat. Sebagai contoh yaitu peraturan 6 memfokuskan pada pendidikan bagi para
penyandang cacat harus merupakan bagian integral dari pendidikan umum, dan
bahwa negara seyogyanya bertanggung jawab atas pendidikan bagi penyandang
cacat. Peraturan 6 mempromosikan pendidikan inklusi (disebut pendidikan
integrasi pada masa itu).7
Atas dasar suara-suara keprihatinan dari para profesional pendidikan
sekolah yang selalu berusaha menemukan cara agar semua anak dapat belajar
bersama-sama maka setahun kemudian Konferensi Salamanca lahir. Pernyataan
Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun
1994 hingga saat ini masih merupakan dokumen internasional utama tentang
prinsip-prinsip dan praktek pendidikan yang tidak menimbulkan diskriminasi.
Akhirnya para profesional mengajukan model inklusi8 sebagai pengganti
segregasi yang masih menyisakan diskriminasi.
Dokumen international tersebut mengemukakan beberapa prinsip dasar
inklusi yang fundamental, yang belum dibahas dalam dokumen-dokumen
sebelumnya. Beberapa konsep inti iklusi yaitu bahwa anak-anak memiliki
keberagaman yang luas dalam karakteristik dan kebutuhannya, perbedaan itu
adalah normal, sekolah perlu mengakomodasi semua anak, anak penyandang
cacat seyogyanya bersekolah di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, partisipasi
masyarakat itu sangat penting bagi inklusi, pengajaran yang terpusat pada diri
7
United Nations , Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with
Disability, 1993. http://www.un.org/ecosocdev/geninfo/dpi1647e.htm (diakses 26 Januari 2010).
8
Penggunaan istilah inklusi di Indonesia belum ada pembakuan sebab terkadang
digunakan dua istilah yang bersamaan yakni inklusi dan inklusif. Bandi Delfie dalam semua
bukunya secara konsisten menggunakan istilah inklusi. Untuk konsistensi penggunaan istilah
dalam tesis ini selanjutnya penulis akan menggunakan istilah inklusi.
4
anak merupakan inti dari inklusi, kurikulum yang fleksibel seyogyanya
disesuaikan dengan anak dan bukan kebalikannya, inklusi memerlukan sumber-
sumber dan dukungan yang tepat, inklusi itu penting bagi harga diri manusia dan
pelaksanaan hak asasi manusia secara penuh, sekolah inklusi memberikan
manfaat untuk semua anak karena membantu menciptakan masyarakat yang
inklusif, serta inklusi meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya pendidikan.9
Pasca Konferensi Salamanca, beberapa negara di dunia mulai
mengintegrasikan prinsip-prinsip dari penyataan Salamanca tersebut, baik
seluruhnya ataupun sebagian, ke dalam perundang-undangan atau dokumen
kebijakan. Menurut Mel Ainscow, banyak negara yang sudah merumuskan
strategi-strategi berdasarkan Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang
Pendidikan Kebutuhan Khusus untuk mendukung gerakan menuju pendidikan
inklusi. Dia mencontohkan negara-negara seperti Australia, Ghana, Hongaria,
dan Cina. 10
Selanjutnya, Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal tahun 2000,
diselenggarakan untuk mengevaluasi pelaksanaan dasawarsa pendidikan untuk
semua yang telah diawali di Jomtien. Dalam forum ini muncul kritikan
9
UNESCO, The Salamanca Statement and Frame Work for Action on Special Needs
Education, 1994. http://unesdoc.unesco.org/images/0009/000984/098427Eo.pdf (diakses 28
Januari 2010).
10
Mel Aincsow, “Towards Inclusive Schooling”. British Journal of Special Education,
no 1/1997, 3-6. Lihat juga Kurt Kristensen & Kirsten Kristensen,” School for All: A Challenge
to Special Needs Education in Uganda-A Brief Country Report”. African Journal of Special
Needs Education. No. 1/1997, 25-27. yang menjelaskan contoh lainnya yaitu pemerintah
Uganda yang telah menetapkan Program Pendidikan Dasar Universal (PDU). Salah satu upaya
program ini adalah untuk memberikan prioritas kepada anak-anak yang berkebutuhan khusus di
sekolah reguler. Sebagai hasilnya, antara 200.000 hingga 300.000 anak dengan berbagai
kebutuhan khusus telah terdaftar di sekolah-sekolah reguler sejak dirumuskannya program
tersebut pada tahun 1997. Lihat juga Berit H Johnsen, A Historical Perspective on Ideas about a
School for All (Oslo: Unipub, 1998), 21-22. yang mencontohkan Norwegia yang sejak tahun
1975, anak-siswa berkebutuhan khusus telah dijamin kesamaan haknya dalam pendidikan
dengan perundang-undangan yang sama. Menurut undang-undang, sekolah harus menyediakan
pendidikan yang setara dan diadaptasikan untuk setiap orang dalam sistem pendidikan yang
terkoordinasi berdasarkan kurikulum nasional yang sama. Dan lihat juga Direktorat Pembinaan
Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif (Jakarta: Ditplb, 2006), 2. yang
mencontohkan di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkebutuhan khusus
yang belajar di sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa. Sedangkan di Inggris, pada
tahun 1980-1990-an, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari sembilan juta
menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa, dan ternyata populasi peserta
didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari jumlah anak berkelainan.
5
terhadap implementasi dari butir-butir Deklarasi Jomtien yang saat itu dinilai
belum berhasil mencapai tujuan. Dalam laporan anggota forum disebutkan
bahwa saat itu tercatat lebih dari 117 juta anak penyandang cacat masih belum
bersekolah. Dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok yang termarjinalisasi,
terdapat penekanan yang lebih besar pada penghapusan kesenjangan jender dan
mempromosikan akses anak perempuan ke sekolah. Tetapi sayangnya anak
penyandang cacat tidak secara spesifik disebutkan walaupun istilah inklusi
dipergunakan.11
Tidak disebutkannya secara spesifik tentang anak penyandang cacat itu
menggugah berbagai lembaga yang mempromosikan pendidikan Inklusi untuk
mengadakan pertemuan. Hasil dari beberapa pertemuan berikutnya antara
UNESCO dan Kelompok Kerja Internasional untuk Penyandang Cacat dan
Pembangunan (IWGDD), maka Program Flagship untuk pendidikan penyandang
cacat pun diluncurkan pada akhir tahun 2001. Tujuan flagship tersebut adalah
untuk menempatkan isu kecacatan dengan tepat pada agenda pembangunan dan
memajukan pendidikan inklusi sebagai pendekatan utama untuk mencapai tujuan
pendidikan untuk semua.12
Pendidikan inklusi yang merupakan tujuan flagship tersebut adalah
perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan. Model
pendidikan sebelumnya yang merupakan model pendidikan khusus tertua
adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah
khusus, terpisah dari teman sebayanya. Model inklusi ini dapat dikatakan
sebagai alternatif dari model segregasi yang sebenarnya merugikan bila dilihat
dari sudut pandang peserta didik.
Reynolds dan Birch mengatakan bahwa model segregasi tidak menjamin
kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena
kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Selain itu, secara
filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk
kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan
11
Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources, 20.
12
Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources, 20-21.
6
dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah
bahwa model segregasi relatif mahal.13
Pada awalnya model alternatif dari pendidikan segregasi yang masih
menyisakan diskriminasi ini muncul pada pertengahan abad XX yakni model
mainstreaming.14 Belajar dari berbagai kelemahan model segregasi, model
mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi
anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas
biasa penuh) sampai yang paling terbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh
karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the
least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus
ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan
jenis tingkat kelainannya.
13
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif, 2.
14
Istilah mainstreaming di Amerika Serikat dan Inggris diartikan sebagai penempatan
peserta didik dari sekolah luar biasa ke dalam kelas regular secara penuh, tetapi program
penempatan belajarnya tidak bersatu dengan peserta didik normal tetapi terpisah dalam program
khusus sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Sekolah yang menggunakan model
mainstreaming mempunyai tanggung jawab terhadap siswa berkebutuhan khusus untuk diajar
sesuai dengan keberadaannya dan menekankan pada program khusus yang efektif. Untuk itu
diperlukan guru khusus untuk setiap kelainannya. Lihat S. J. Piji, C. J. W. Meijer, and S.
Hegarty, Inclusive Education (London: Routledge, 1997), 65.
15
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan
Inklusi (Klaten:PT Insan Sejati Klaten, 2009), 16-17.
7
Model pendidikan lainnya sebagai alternatif dari segregasi yang muncul
kemudian adalah model integrasi. Model ini digunakan untuk menunjukkan
penempatan siswa berkebutuhan khusus dalam kelas-kelas tersendiri di sekolah-
sekolah umum tertentu dimana peserta didik dapat berpartisipasi dalam beberapa
kegiatan dengan teman-teman sebayanya, seperti kegiatan seni, musik,
perpustakaan, kepramukaan dan kegiatan di luar sekolah (outbond activity).
Layanan pendidikan khusus seringkali juga dilakukan dalam ruang kelas khusus
(resource room centre) melalui rekomendasi guru kelas. Dalam kondisi
demikian, pembelajaran dalam sistem rangkap dapat menyebabkan mereka
menjadi terpisah dengan teman sebayanya.
Semenjak tahun 1980-an, fakta-fakta menunjukkan bahwa siswa
berkebutuhan khusus selalu mencari dan mengharapkan adanya lingkungan yang
memberikan kesempatan-kesempatan yang sama dengan mereka yang normal.
Kesempatan tersebut harus dijamin keberlangsungannya dari sudut hukum
perundang-undangan negara agar mereka dapat mengakses lebih luas.16
Bertitik tolak dari harapan dan keinginan anak berkebutuhan khusus
tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat
yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusif (inclusive
society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan menjunjung
tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan. Melalui
pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Menurut M.A. Fattah Santoso, ada tiga langkah penting menuju inklusi
yang nyata yaitu : komunitas, persamaan dan partisipasi. 17 Yang dimaksud
16
Undang-undang kenegaraan yang akan mengatur realisasinya telah mulai nampak
bermunculan, misalnya di Australia muncul International Years of Disable Person (IYDP) pada
1981 dan di Indonesia sendiri telah diberlakukannya Hak Anak melalui Keputusan Presiden No.
36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 yang diberlakukan mulai tanggal 5 Oktober 1990.
Pemberlakuan keputusan tersebut menekankan pada hak-hak masyarakat berkelainan untuk
mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup yang sama dengan orang lain, serta memilih pola
hidup, mendapatkan pekerjaan, dan mengatur dirinya sendiri dalam memanpaatkan waktu-waktu
luangnya. Lihat Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, 13.
17
M.A. Fattah Santoso, “Sekolah Syariah dan Pendidikan Inklusi”, Makalah Seminar
Nasional dan Peluncuran Kurikulum Sekolah Syariah dan Panduan Implementasi Pendidikan
Inklusi UNESCO, yang diselenggarakan oleh Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan
8
komunitas adalah bahwa semua staf yang terlibat dalam pendidikan merupakan
suatu komunitas yang memiliki visi dan pemahaman yang sama tentang
pendidikan inklusi, baik konsep dan pentingnya maupun dasar-dasar
filosofisnya. Yang dimaksud persamaan adalah bahwa setiap anggota komunitas
memiliki persamaan (hak yang sama). Dan yang dimaksud dengan partisipasi
adalah bahwa sebagai anggota komunitas harus bersama-sama berpartisipasi
dalam mengembangkan pendidikan inklusi, sejak dari perencanaan, pelaksanaan
sampai evaluasinya. Dalam pendidikan inklusi, sistem sekolah tidak berhak
menentukan tipe peserta didik, namun sebaliknya sistem sekolah yang harus
menyesuaikan untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik.
Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusi menyebabkan
adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun guru pendidikan
kebutuhan khusus. Mereka mempunyai tugas bersama untuk mengadaptasikan
lingkungan belajar dengan kebutuhan dan kemampuan setiap siswa di kelas.
Jadi, kelas reguler akan menjadi tempat bertemunya pendidikan reguler dan
pendidikan kebutuhan khusus.
Dalam menangani siswa berkebutuhan khusus, diperlukan keahlian
tersendiri karena tidak semua aktivitas di sekolah dapat diikuti oleh anak cacat,
misalnya anak cacat netra tak mampu mengikuti pelajaran menggambar atau
olah raga, begitu pula anak tuna rungu sulit mengikuti pelajaran seni suara dan
cacat yang lain perlu penanganan khusus karena keterbatasannya. Maka sangat
diperlukan guru pembimbing khusus yang mampu memahami sekaligus
menangani keberadaan anak cacat termasuk di dalamnya memahami karakter
dari masing-masing jenis kecacatannya. Disamping itu, juga perlu membekali
pengetahuan tentang karakter anak cacat terhadap guru umum, siswa yang
normal maupun masyarakat sekitar dengan harapan anak cacat tersebut dapat
diperlakukan secara wajar.
Indonesia sebagai Negara yang menyelenggarakan pendidikan untuk
siswa berkebutuhan khusus, menyediakan tiga macam lembaga pendidikan, yaitu
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dengan dukungan Braillo, IDP-Norwegia dan
SD Muhammadiyah Program Khusus Surakarta, di UNS, 11 Juni 2005.
9
Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan
Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak
dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu,
SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. SDLB
menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin
terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau
tunaganda. Sedangkan Pendidikan Terpadu menampung anak normal dengan
anak berkelainan dalam satu lembaga pendidikan tapi dengan kelas yang
berbeda. 18
Berdasarkan data Susenas tahun 2003, penyandang cacat di Indonesia
berjumlah 1,48 juta orang (0,7% dari jumlah penduduk Indonesia). Sedangkan
jumlah penyandang cacat usia sekolah (5-18 tahun) berjumlah 21,42% dari
seluruh penyandang cacat. Sejak dikeluarkannya SK Dirjen Dikdasmen no.
380/C.C6/MN/2003, Direktorat Pendidikan Luar Biasa telah mengembangkan
sekolah-sekolah inklusi menjadi 600 sekolah dan mendidik 9.492 peserta didik
berkebutuhan khusus. Pada tahun 2007 tercatat 343 SD dan 19 SMP yang
menjadi sekolah inklusi, sedangkan pada jenjang Sekolah Menengah, menurut
data tahun 2005 berjumlah 40 SMA dan 1 SMK.19
Sedangkan menurut Statistik Sekolah Luar Biasa tahun 2006/2007
jumlah peserta didik penyandang cacat yang telah mengenyam pendidikan baru
mencapai 87.801 anak (27,35%), dimana 72.620 anak mengikuti pendidikan
segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB atau SLB dan 15.181 anak cacat lainnya
mengikuti pendidikan inklusi.20 Jumlah tersebut belum termasuk mereka yang
cacat tingkat ringan yang jumlahnya jauh lebih banyak dari survey tersebut, dan
semuanya belum sepenuhnya mendapat layanan pendidikan yang maksimal
sebagai kebutuhan dasarnya.
18
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif, 1.
19
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Balitbang Diknas, Pengkajian
Pendidikan Inklusif bagi anak Berkebutuhan khusus pada jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah (Jakarta: Ditplb, 2008), 2.
20
Direktorat PSLB, Naskah dan Informasi Pendidikan Khusus (Jakarta: Ditpslb, 2006 /
2007), 3.
10
Proses menuju pendidikan inklusi di Indonesia diawali pada awal tahun
1960-an oleh beberapa orang siswa tunanetra di Bandung dengan dukungan
organisasi para tunanetra sebagai satu kelompok penekan. Pada masa itu SLB
untuk tunanetra hanya memberikan layanan pendidikan hingga ke tingkat SLTP.
Sesudah itu para pemuda tunanetra diberi latihan kejuruan dalam bidang
kerajinan tangan atau pijat. Sejumlah pemuda tunanetra bersikeras untuk
memperoleh tingkat pendidikan lebih tinggi dengan mencoba masuk ke SMA
biasa meskipun ada upaya penolakan dari pihak SMA itu. Lambat-laun terjadi
perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan beberapa sekolah umum
bersedia menerima siswa tunanetra.
21
Didi Tarsidi, Pendidikan Inklusif Sebagai Satu Inovasi Kependidikan Untuk
Mewujudkan Pendidikan untuk Semua. http://d-tarsidi.blogspot.com/2007/07/inovasiinklusi.html
(diakses 9 Februari 2010).
22
Strategi implementasi pendidikan inklusi yang dilakukan pemerintah adalah: Pertama,
diseminasi ideologi pendidikan inklusi melalui berbagai seminar dan lokakarya; Kedua,
11
Berbagai upaya dilakukan pemerintah agar para penyandang cacat
memperoleh segala haknya sebagai warga negara. Pada tahun 2003 pemerintah
Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam undang-undang tersebut di kemukakan
hal-hal yang erat hubungannya dengan pendidikan bagi anak-anak dengan
kebutuhan pendidikan khusus.23 Pendidikan yang diberikan kepada mereka
tidak hanya menghasilkan keterampilan dan pengetahuan yang terikat pada mata
pelajaran saja. Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan individu mandiri
yang aktif dan bertanggung jawab di dalam masyarakat yang baik.
mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber untuk mendukung sekolah inklusi
(dengan alat bantu mengajar, materi ajar, metodologi, dan sebagainya); Ketiga,
penataran/pelatihan bagi guru-guru SLB maupun guru-guru reguler untuk memungkinkan
mereka memberikan layanan yang lebih baik kepada anak berkebutuhan khusus dalam setting
inklusi; Keempat, reorientasi pendidikan guru di LPTK dan keterlibatan universitas dalam
program tersebut; Kelima, desentralisasi pembuatan keputusan untuk memberikan lebih banyak
peran kepada pemerintah daerah dalam implementasi pendidikan inklusi; Keenam, mendorong
dan memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok kerja untuk mempromosikan implementasi
pendidikan inklusi; Ketujuh, keterlibatan LSM dan organisasi internasional dalam program ini;
Kedelapan, menjalin jejaring antar berbagai pihak terkait; Kesembilan, mengembangkan
sekolah inklusi perintis; Kesepuluh, pembukaan program magister dalam bidang inklusi dan
pendidikan kebutuhan khusus. Lihat Didi Tarsidi, Pendidikan Inklusif Sebagai Satu Inovasi
Kependidikan. http://d-tarsidi.blogspot.com.
23
Bab IV pasal 5 ayat 1, 2, 3, 4 berisi penjelasan bahwa setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Demikian juga warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil dan warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus.
24
Selanjutnya dalam Tesis ini penulis akan menggunakan istilah Madania untuk
menyebut lembaga ini. Madania yang terletak di Telaga Kahuripan Parung Bogor, menerapkan
prinsip-prinsip inklusi dalam pendidikannya. Lembaga ini memiliki landasan filosofis
pendidikan yang menjunjung tinggi peradaban yang diikat dengan aturan hukum, disiplin,
mendukung tegaknya prinsip egaliterianisme, demokrasi, dan nilai-nilai luhur yang bersifat
transenden. Landasan filosofi ini mendasari penerapan pendidikan inklusi di sekolah ini sejak
tahun 1998. Sekalipun pendidikan Madania dirancang dan didirikan oleh kelompok orang
muslim yang menaruh minat pada dunia pendidikan, namun wawasan keagamaannya bersifat
terbuka, toleran dan inklusif.
12
menganugerahkan mereka derajat dan hak-hak yang sama, sekalipun dengan
potensi, minat dan pertumbuhan pribadi yang berbeda-beda.
25
Madania Progressive School , Handbook 2009-2011: Educational Support
Department (Parung: Madania, 2009), 7.
26
Berit H. Johnsen, Kurikulum untuk Pluralitas Kebutuhan Belajar Individual.
http://www.idp-europe.org /indonesia/buku-inklusi/pdf/15-Kurikulum.pdf. (diakses 9 Februari
2010).
13
berkebutuhan khusus memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dan untuk membentuk dan
mengarahkan mereka pada moralitas baik atau berperilaku baik diperlukan
kondisi dan situasi yang kondusif, saling tolong menolong, bekerjasama, tenang,
tentram, tanpa perselisihan, tanpa pertentangan, damai satu sama lain, saling
memberi dan menerima.
27
Beberapa kelemahan pembelajaran pendidikan agama, diidentifikasi oleh Thowaf
yaitu: Pertama, pendekatan masih cenderung normatif, menyajikan norma-norma yang seringkali
tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai
agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian. Kedua, kurikulum yang dirancang boleh
dikatakan menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi bagi peserta didik.
Semangat pendidik untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi
terlihat masih kurang. Ketiga, pendidik kurang berupaya menggali berbagai metode yang mugkin
bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pembelajaran cenderung monoton. Keempat,
keterbatasan sarana prasarana sehingga pengelolaan cenderung seadanya. Lihat Siti Malikhah
Towaf, “Pembinaan Kampus sebagai Lembaga Pendidikan Ilmiah Edukatif yang Religius”,
Makalah disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III (Ujung Pandang, 4-7
Maret 1996).
28
Keteladanan dalam pendidikan adalah metode influentif yang paling meyakinkan
keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak di dalam moral, spiritual dan
sosial. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak, yang akan ditirunya
dalam tindak tanduknya, dan tata santunnya, disadari ataupun tidak, bahkan tercetak dalam jiwa
dan perasaan suatu gambaran pendidik tersebut, baik dalam ucapan atau perbuatan, baik material
atau spiritual, diketahui atau tidak diketahui. Lihat ‘Abd Alla>h Na>s}ih} ‘Ulwa>n dalam
14
otomatis akan mempengaruhi pula orang-orang di sekitarnya yaitu teman-
temannya, guru dan orang tua.
15
lingkungan pendidikan serta memperhatikan dampak positifnya terhadap siswa
berkebutuhan khusus dan orang-orang di sekitarnya, maka penelitian tentang
pendidikan agama Islam dalam setting pendidikan inklusi laik bahkan penting
untuk dilakukan. Karena itu penulis akan melakukan penelitian tesis ini berjudul
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SETTING PENDIDIKAN
INKLUSI.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dideskripsikan di atas
maka masalah penelitian ini dapat diidentifikasi, antara lain:
a. Adanya perbedaan karakteristik setiap peserta didik berkebutuhan khusus,
akan memerlukan kemampuan khusus guru. Guru dituntut memiliki
kemampuan untuk menyelaraskan kurikulum dengan keberadaan siswanya,
kemudian diramu menjadi sebuah program pembelajaran individual yang
diarahkan pada hasil akhir berupa kemandirian setiap siswa. Akan tetapi
karena kemampuan pengetahuan guru yang mengajar di sekolah inklusi masih
terbatas, menyebabkan mereka kurang bisa membuat perencanaan pelajaran
yang bagus yang memperhatikan kemampuan dan kelemahan setiap individu
siswa.
b. Kurangnya pedoman pembelajaran bagi guru-guru di sekolah inklusi
menyebabkan guru-guru menggantungkan diri pada guru sekolah luar biasa
(SLB) dan guru-guru tersebut mengajar berdasarkan nalurinya yang
menyebabkan layanan pendidikan khusus di sekolah inklusi tidak optimal.
c. Minimnya pengetahuan guru tentang model pembelajaran agama Islam untuk
siswa berkebutuhan khusus menyebabkan model pembelajaran yang
diterapkan kurang sesuai dengan kebutuhan mereka sehingga sulit untuk bisa
dipahami.
d. Masih belum terciptanya suasana pendidikan yang agamis di sekolah inklusi
dikarenakan kurangnya rumusan konsep tentang pendidikan agama Islam
bagi siswa berkebutuhan khusus baik dari sudut manajemen, proses
pembelajaran, ketenagaan, maupun fasilitas dan sebagainya. Kalaupun ada
16
guru agama, akan tetapi seringkali dia hanya memperhatikan aspek kognitif
saja, padahal siswa membutuhkan pendidikan agama yang tidak hanya
sebatas pengetahuan saja tapi juga penciptaan suasana agamis yang
menenangkan yang membuat siswa berkebutuhan khusus merasa diterima
lingkungannya walaupun memiliki keterbatasan kemampuan.
2. Pembatasan Masalah
Lazimnya pada sebuah penelitian, lingkup masalah dan keluasannya
harus dibatasi sehingga kajian penelitian akan lebih fokus dan terarah. Batasan
masalah juga dapat menjadi acuan pencarian data sehingga terarah dan tepat
sasaran atau dengan kata lain valid dan objektif. Oleh karena itu, penelitian ini
dibatasi pada kajian terhadap konsep model pembelajaran pendidikan agama
Islam yang dipakai di sekolah inklusi dengan alasan bahwa pendidikan agama
merupakan aspek yang paling penting bagi pemenuhan hak peserta didik yang
berkebutuhan khusus sebagai seorang manusia beragama Islam tanpa
diskriminasi. Fokus utama diarahkan pada konsep model pendidikan agama
Islam yang paling tepat bagi siswa berkebutuhan khusus dalam lingkungan
sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi serta pembatasan
masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka pertanyaan pokok yang akan
dicarikan jawabannya pada penelitian ini adalah: Bagaimanakah model
pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus di
sekolah inklusi?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah untuk
menemukan konsep model pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa
berkebutuhan khusus di lembaga pendidikan yang menerapkan pendidikan
inklusi.
Selanjutnya, penelitian ini diharapkan mempunyai nilai manfaat,
setidaknya bagi peneliti sendiri dan umumnya bagi pihak lain. Oleh karena itu,
hasil penelitian ini diharapkan dapat:
17
1. Menambah wawasan mengenai model pembelajaran pendidikan agama Islam
yang sesuai bagi siswa berkebutuhan khusus.
2. Memberikan pemahaman tentang pentingnya memberikan perlakuan yang
sama kepada siswa berkebutuhan khusus dalam mendapatkan pendidikan
agama di lingkungan yang sama dengan siswa yang normal.
3. Memberikan motivasi kepada para pemikir pendidikan untuk mengadakan
pembahasan lebih lanjut tentang pembelajaran pendidikan agama Islam bagi
siswa berkebutuhan khusus untuk kemudian menemukan teori-teori baru yang
bermanfaat khususnya bagi siswa berkebutuhan khusus.
4. Memberikan kesadaran kepada masyarakat khususnya orang tua bahwa
pendidikan agama untuk siswa berkebutuhan khusus adalah penting dan perlu
diupayakan agar mereka bisa menjadi generasi muslim yang mandiri dan
berkualitas.
D. Signifikansi atau Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis penelitian ini diharapkan
memberikan kontribusi terhadap khazanah ilmiah yang menjadi bahan bacaan
yang berguna bagi masyarakat umum dalam pengembangan wacana pendidikan
terutama pendidikan agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus. Sedangkan
secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
1. Guru pada umumnya agar memahami pentingnya upaya meningkatkan
kualitas pembelajaran di sekolah inklusi yang berimplikasi pada
keberhasilan belajar siswa.
2. Memberikan informasi dan masukan bagi pengambil kebijakan, dalam hal
ini kepala sekolah, terhadap pengembangan model pembelajaran pendidikan
agama Islam di sekolah inklusi dan pola pembinaan guru-gurunya dalam
meningkatkan mutu pendidikan.
3. Menjadi bahan pertimbangan bagi instansi terkait, dalam hal ini
Kementrian Pendidikan Nasional dan Kementrian Agama tingkat daerah dan
pusat untuk peningkatan perhatiannya pada pendidikan bagi kelompok
siswa berkebutuhan khusus.
18
4. Memberikan pemahaman ulang kepada masyarakat tentang perlakuan yang
harus diberikan kepada anak berkebutuhan khusus, terutama pemenuhan
hak memperoleh layanan pendidikan bagi mereka sebagai warga masyarakat
yang memiliki hak yang sama dengan orang lain.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian tentang model pembelajaran pendidikan agama Islam bagi
siswa berkebutuhan khusus sejauh penelusuran penulis belum ada yang
melakukannya. Hasil dari pelacakan penulis tercatat ada beberapa penelitian
serupa tetapi tidak spesifik mengkaji aspek pendidikan agama Islam,
diantaranya:
pada dasarnya tidak ada perbedaan antara kebudayaan di Utara, Selatan, Timur
dan Barat. Dalam buku ini dibahas pula pentingnya memberikan layanan
pendidikan yang disesuaikan secara individual. Oleh karena itu, guru perlu
diberi pelatihan tentang metode dan teknik yang diperlukan untuk diterapkan.
Namun kita tidak bisa berharap bahwa guru akan dapat mengatasi semua
pengetahuan berbasis penelitian. Dalam buku ini tidak dibahas sama sekali
Sue Stubs dalam buku Inclusive Education Where There Are Few
Resources,32 menjelaskan tentang berbagai instrumen internasional yang
mendasari pendidikan inklusi. Disamping itu dijelaskan pula tentang isu utama
dalam pendidikan inklusi yaitu bahwa pendidikan inklusi didasarkan pada hak
31
Berit H. Johnsen & Miriam D Skjorten , Education-Special Needs Education (Oslo
University: Unifub Forlag, 2001), 2-4.
32
Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources (Oslo: The Atlas
Alliance, 2002), 1-5.
19
asasi dan model sosial. Dengan demikian maka sistem yang harus disesuaikan
dengan anak, bukan anak yang menyesuaikan diri dengan sistem. Dan untuk
menghadapi tantangan dan mengatasi hambatan, sangat diperlukan adanya
partisipasi yang berkesinambungan dari semua stakeholder utama pendidikan.
Dalam buku ini sama sekali tidak dibahas tentang pendidikan agama untuk
mendukung dalam menyukseskan pendidikan inklusi.
Siti Barokah dalam Moralitas Peserta Didik Pada Pendidikan Inklusif :
Studi Kasus pada Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati Semarang,33 penelitian Tesis
yang dilakukan di Program Magister Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang tahun 2008 ini mengkaji tentang pendidikan moral atau etika bagi
siswa berkebutuhan khusus di sekolah yang menerapkan pendidikan Inklusi.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pendidikan moral dapat dilakukan oleh
institusi sekolah umum terhadap semua siswa tanpa membedakan yang normal
dan tidak normal. Dengan instrumen yang digunakannya, disimpulkan bahwa
pendidikan moral yang diterapkan oleh pihak sekolah dalam penanaman moral
terbukti telah berhasil dengan prosentase yang memuaskan. Akan tetapi
penelitian ini hanya sebatas pendidikan moral yang hanya terbatas pada aspek
lahiriyah semata dan tidak sampai pada penanaman penghayatan dan
pengamalan aspek spiritual agama sesuai dengan agama yang dianutnya.
Selanjutnya sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian
Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (PULITJAKNOV) Badan Penelitian dan
Pengembangan (BALITBANG) Depdiknas tahun 2008 tentang Pengkajian
Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Pada Jenjang Pendidikan
Dasar Dan Menengah,34 mengkaji tentang efektifitas penyelenggaraan
pendidikan inklusi di beberapa tempat yang dijadikan percontohan oleh
pemerintah. Hasil penelitiannya menilai bahwa ada beberapa fasilitas dan faktor
33
Siti Barokah, “Moralitas Peserta Didik Pada Pendidikan Inklusif : Studi Kasus pada
Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati Semarang”, Tesis, Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang, 2008.
34
PUSLITJAKNOV BALITBANG DEPDIKNAS, Pengkajian Pendidikan Inklusif
Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Pada Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah (Jakarta:
Diknas, 2008), 1-5.
20
pendukung yang belum siap dalam penyelenggaraan pendidikan Inklusi. Hal
yang paling dominan dari ketidaksiapan itu adalah faktor penyediaan fasilitas
belajar yang tingkat kesesuaiannya dengan tujuan dan hakikat pendidikan Inklusi
belum terpenuhi. Selain itu, ditemukan juga beberapa kasus yang menunjukkan
adanya ketidaksesuaian antara teori dan kebijakan yang diterapkan di sekolah
inklusi. Dalam penelitian ini tentu saja tidak menyinggung sama sekali tentang
model pembelajaran pendidikan agama yang diterapkan di sekolah-sekolah
inklusi tersebut.
Bandi Delphie dalam Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam
Setting Pendidikan Inklusi, menjelaskan tentang pengenalan jenis kelainan anak
dan sejumlah teknik pembelajaran yang berpusat pada aplikasi gerak. Gerak
manusia dapat dijadikan sebagai basis pembelajaran bagi siswa berkebutuhan
khusus. Buku ini sama sekali tidak menyentuh aspek pendidikan agama bagi
siswa berkebutuhan khusus.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang sering disebut juga
metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang
alamiah (natural setting).35 Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan
secara alamiah, apa adanya dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi
keadaan dan kondisinya.36
35
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta,
2008), 8.
36
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta:
Rineka Cipta, 2006), 12.
21
Pemilihan lokasi ini didasarkan pada alasan bahwa lembaga pendidikan ini telah
menerapkan pendidikan inklusi sejak tahun 1998.
2. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sumber
sekunder. Adapun sumber informasi rujukan primer yang dipakai adalah sumber
informasi yang diperoleh dari komunitas sekolah Madania yang ditetapkan
sebagai representasi penelitian. Untuk menentukan key informan yang akan
menjadi responden dalam penelitian ini maka digunakan teknik purpossive
sampling yang dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. 37 Key informan
dalam hal ini adalah koordinator SEN Unit, guru-guru SEN Unit dan guru-guru
pendidikan agama Islam yang bertanggungjawab dalam penerapan pendidikan
inklusi di Madania.
Adapun sumber sekunder yang akan digunakan adalah tulisan yang
terkait dengan pendidikan inklusi seperti: Sue Stubbs dalam Inclusive Education
Where There Are Few Resources, (Oslo: The Atlas Alliance, 2002). Berit H.
Johnsen, dan Miriam D Skjorten dalam Education-Special Needs Education,,
(Oslo University: Unifub Forlag, 2001. Bandi Delphie dalam Pembelajaran
Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, (Klaten: PT Insan
Sejati Klaten, 2009), serta dokumen buku-buku panduan Direktorat Pembinaan
Sekolah Luar Biasa.
Penelitian ini juga mengacu pada data-data ilmiah yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian. Sumber data tersebut diperoleh dari berbagai referensi
yang telah ditelaah oleh peneliti, sehingga diharapkan dapat memberikan
informasi yang lebih akurat dan valid. Selain itu, peneliti juga menggunakan
internet search terutama terhadap bahan-bahan yang sulit didapatkan.
37
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, 216.
22
secara langsung dari sumber informasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan
yang berhubungan dengan data yang diperlukan dalam penelitian. Pertanyaan
yang digunakan berupa pertanyaan terbuka yang memungkinkan peneliti
menemukan data-data yang tidak terduga.
38
Peter Connely, Aneka Pendekatan Studi Agama ( Yogyakarta: LKiS, 1999), 149-
150.
23
a. Mengumpulkan data-data yang relevan dengan menggunakan teknik analisis
dokumen, wawancara dan observasi.
b. Mengolah data dengan sistem pengolahan metode kualitatif.
c. Melakukan interpretasi terhadap data-data yang sudah terkumpul sesuai
dengan kebutuhan penelitian.
d. Menyusun sistematika penyajian data untuk dideskripsikan sebagai laporan
hasil penelitian.
5. Teknik Penulisan
Adapun dalam teknik penulisan dan transliterasi, penulis mengacu
kepada buku “Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)”
karya Hamid Basuhi et. al., terbitan ceQDA Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta Cetakan II Tahun 2007.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini terdiri atas lima bab (bagian). Bab 1 sebagai
pendahuluan terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah yang akan diteliti, perbandingan dengan karya terdahulu yang relevan,
tujuan penulisan, metode penelitian dan pendekatan yang akan digunakan,
sumber primer dan sekunder serta sistematika penelitian.
Pada bab dua sebagai landasan teoritis akan dibahas seputar pendidikan
inklusi dan pendidikan agama Islam. Hal ini dilakukan untuk mengungkap
maksud dari pendidikan inklusi, mulai dari awal kehadirannya yang merupakan
kelanjutan dari model pendidikan mainstreaming dan integrasi sampai dengan
pembahasan mengenai perdebatan antara inklusi dengan segregasi. Disamping
itu diungkap pula persamaan nilai yang terdapat dalam pendidikan Islam dan
Pendidikan Inklusi.
Pada bab tiga akan dibahas tentang disain pengelolaan, manajemen,
kurikulum, kompetensi pendidik dan fundrising sekolah inklusi. Kepentingan hal
tersebut diulas lebih detil untuk mengetahui elemen-elemen penting yang sangat
menentukan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan
pendidikan inklusi.
24
Selanjutnya pada bab empat akan dibahas mengenai model pembelajaran
pendidikian agama Islam di sekolah inklusi. Model pembelajaran tersebut
meliputi strategi pembelajaran, penerapan nilai-nilai agama sebagai budaya
sekolah, penciptaan lingkungan religius di sekolah yang melibatkan pihak orang
tua dan masyarakat, pemenuhan fasilitas ibadah dan sarana pembelajaran serta
evaluasi dan penilaian pendidikan agama. Hal ini dilakukan demi terciptanya
sebuah lembaga pendidikan inklusi yang dilandasi nilai-nilai agama sehingga
tercipta suasana religius di sekolah inklusi.
Bab lima sebagai penutup berupa kesimpulan dari penelitian yang telah
diuraikan pada bab-bab terdahulu serta implikasi atau saran-saran yang
mengharapkan akan kesinambungan oleh para peneliti, para pemerhati
pendidikan untuk senantiasa mengkaji dan meneliti lebih lanjut pendidikan
inklusi guna memperkaya khazanah intelektual pendidikan Islam Indonesia.
25
BAB II
26
maupun dengan hasil pengalaman pendidikan inklusi dalam berbagai konteks
budaya dan tradisi.
Landasan filosofis pendidikan inklusi didasarkan pada hak semua
individu (normal maupun berkelainan) untuk mendapatkan pendidikan yang
berkualitas dengan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi
mereka dan menghormati martabat kemanusiaan mereka.
Konsep pendidikan inklusi sangat banyak diilhami oleh gerakan
Pendidikan untuk Semua (Education for All) dan peningkatan mutu sekolah
yang lantang disuarakan oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa. 1Gerakan ini berawal dari keprihatinan dunia terhadap minimnya
sebagian kelompok masyarakat yang terpinggirkan untuk memperoleh akses
pendidikan. Semangatnya adalah pemenuhan layanan pendidikan untuk semua
warga dunia tanpa membedakan warna, jenis, sifat dan lainnya dari setiap siswa
karena pendidikan merupakan hak bagi semua tanpa ada diskriminasi.
Pendidikan inklusi dapat diartikan sebagai suatu bentuk penyedia
instruksional dan dukungan yang didesain khusus untuk siswa dengan kebutuhan
khusus dalam konteks tata cara pendidikan umum.2
Menurut Normal Kunc, pendidikan inklusi adalah bagian dari nilai-nilai
kehidupan. Prinsip dasar inklusi adalah menghargai perbedaan dalam
masyarakat manusia. Melalui inklusi kita mencari dan memelihara anugerah
yang ada pada setiap orang. Dengan cara ini bisa diyakini bahwa siswa di
sekolah inklusi akan terbebaskan dari tirani dengan mendapatkan hak mereka.3
1
Gerakan Pendidikan untuk Semua (Education for All) berawal dari sebuah deklarasi
yang bernama Deklarasi Pendidikan untuk Semua (World Declaration on Education for All)
yang dibuat dalam sebuah pertemuan yang membahas masalah pendidikan dunia di kota Jomtien,
Thailand tahun 1990. Pertemuan ini memvisikan sebuah kondisi pembelajaran di mana setiap
orang akan memiliki akses dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dalam berbagai
bentuk, serta memungkinkan terbukanya peran penuh masyarakat dalam pendidikan.
2
C.Moore, Educating Students with Disabilities in General Education Classrooms: a
Summary of Research (Alaska, USA: Department of Education, Teaching and Learning Support,
1998), 25.
3
Normal Kunc, “The Need to Belong: Rediscovering Maslow’s Hierarchy of Needs”,
dalam R. Villa, J. Thousand, W. Stainback, dan S. Stainback, Education: An Administrative
Guide to Creating Heterogeneous School (Baltimore MD: Brooks, 1992), 38-39.
27
J. David Smith mengartikan pendidikan inklusi sebagai penyatuan anak-
anak berkelainan (penyandang hambatan / cacat) ke dalam program-program
4
sekolah. Senada dengan pengertian ini, Departemen Pendidikan Nasional
memahami pendidikan Inklusi dengan mendidik anak berkelainan bersama-
sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya 5.
Martin Omagor-Loican berpendapat bahwa inklusi adalah penyesuaian
dan pengubahan praktis di rumah-rumah, sekolah-sekolah dan masyarakat luas.
Inklusi juga berarti membuat perubahan-perubahan yang diperlukan, memenuhi
kebutuhan-kebutuhan semua anak, tanpa memandang perbedaan mereka dan
memastikan mereka memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dan berkontribusi
6
secara penuh serta setara pada apa yang terjadi dalam komunitas mereka.
Sedangkan definisi yang paling mencakup dan sesuai dengan
perkembangan pelaksanaan pendidikan Inklusi di berbagai negara adalah
sebagaimana dinyatakan dalam satu paragraf dalam Pasal 2 Pernyataan
Salamanca. Pernyataan Salamanca menyebutkan bahwa sekolah reguler dengan
orientasi inklusi merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap
diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu
masyarakat inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua. Selain itu, sekolah
inklusi juga memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan
meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem
pendidikan.7
4
J. David Smith, Inclusion, School for All Student, diterjemahkan Denis & Ny. Enrica
(Bandung: Nuansa, 2006), 45.
5
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif, (Jakarta:
Ditplb, 2006), 1. Lihat juga Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.70
tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan pendidikan inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu
lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Selanjutnya
pada pasal 2 disebutkan bahwa pendidikan inklusi ini salah satu tujuannya adalah untuk
mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak
diskriminatif bagi semua peserta didik.
6
Martin Omagor-Loican, Towards Inclusive Education. www.eenet.org.uk/.../docs
/Towards_ Inclusive_ Education_Uganda.doc (diakses 16 Mei 2010).
7
UNESCO, The Salamanca Statement and Frame Work for Action on Special Needs
Education, 1994. http://unesdoc.unesco.org/images/0009/000984/098427Eo.pdf (diakses 28
Januari 2010).
28
Definisi yang relatif bisa diterima oleh semua pihak adalah definisi yang
dirumuskan dalam Seminar Agra 8 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara
pada tahun 1998. Definisi ini kemudian diadopsi dalam South African White
Paper on Inclusive Education. Adapun pengertian yang relatif diterima oleh
semua peserta seminar bahwa pendidikan inklusi adalah lebih luas dari pada
pendidikan formal. Pendidikan inklusi mencakup pendidikan di rumah,
masyarakat, sistem nonformal dan informal. Pendidikan inklusi juga mengakui
bahwa semua anak dapat belajar, memungkinkan struktur, sistem dan
metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak. Selain itu, mengakui
dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa,
kecacatan, status HIV/AIDS dll. Pendidikan inklusi juga merupakan proses yang
dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya,
juga merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan
masyarakat yang inklusif.9
Dari berbagai definisi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh pendidikan
apabila disederhanakan maka pendidikan inklusi adalah pendidikan tanpa
diskriminasi terhadap anak didik. Oleh karenanya semua anak berhak mendapat
pendidikan di lingkungan yang sama supaya segala potensi yang dimilikinya
bisa berkembang.
Namun dalam implementasinya, jumlah masyarakat yang memerlukan
layanan khusus di bidang pendidikan di setiap negara masih relatif banyak
dibandingkan dengan jumlah layanan pendidikannya. Dari catatan data
diperkirakan bahwa jumlah orang cacat di dunia antara 500 dan 600 juta orang.
Dari jumlah tersebut, 120-150 juta adalah anak-anak , 80-90 persen hidup di
8
Seminar Agra menghimpun lebih dari 40 praktisi pendidikan inklusi yang bekerja di
berbagai negara yang secara ekonomi lebih miskin. Mereka dapat belajar jauh lebih banyak dari
sesama negara Selatan dibanding dari para ahli dan praktisi dari Utara yang memiliki tingkat
ketersediaan yang berbeda dan sistem yang berbeda pula. Dalam banyak hal, pengalaman
mereka tidak hanya relevan dengan sesama negara miskin, tetapi juga dapat memberikan
pelajaran yang berharga bagi perkembangan pendidikan inklusi di Utara. Lihat Jonathan Rix,
Katy Simmons, Melanie Nind, dalam Policy and Power in Inclusive Education : Values into
Practice (London: Routledge, 2005), 2.
9
Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources (Oslo: The Atlas
Alliance, 2002), 38-39.
29
negara-negara berkembang dan 15-20 persen memiliki kebutuhan khusus di
beberapa titik dalam kehidupan mereka. 10
Menurut laporan William Kennedy Smith dari Lembaga Rehabilitasi di
Chicago Amerika Serikat, di seluruh dunia ada sekitar 600 juta penduduk
menderita cacat dan diantaranya sekitar 80 persen ada di Asia. Dengan demikian
di Asia ada sekitar 480 juta penduduknya menderita kecacatan. Di negara-negara
Asia, nasib penyandang cacat kurang beruntung.11 Perhatian masyarakat dan
pemerintah terhadap penyandang cacat sangat rendah. 12
10
Richard Rieser, Implementing Inclusive Education: A Commonwealth Guide to
Implementing (London: Commonwealth Secretariat, 2008), 9.
11
Di India misalnya, sekitar 74 persen penduduk yang menderita cacat tidak bekerja. Di
Filipina, tetangga kita dengan tingkat pendidikan penduduk yang cukup tinggi, sekitar 20 persen
anak-anak cacat tidak pernah bersekolah. Di Kambodia, penduduk dengan kecacatan umumnya
harus hidup sengsara sebagai peminta-minta. Lihat Hayono Suyono, Mewujudkan Masyarakat
Beradab Bersama Aksi Penyandang cacat, 2005. http://www.dradio1034 fm.or.id/detail.
php?id=281 (diakses 16 mei 2010).
12
Perhatian yang rendah itu sangat beralasan. Banyak negara tidak mempunyai data
yang akurat tentang jumlah penduduknya yang cacat. Umumnya negara-negara tersebut, kecuali
Jepang dan RRC, tidak aktif melakukan usaha untuk mengumpulkan data yang akurat. Negara-
negara tersebut bergantung pada angka perkiraan yang dibuat WHO, yaitu dengan jumlah
penyandang cacat sekitar 10 persen dari seluruh penduduk negaranya. Perkiraan itu dianggap
akan bertambah tinggi kalau penduduk negara tersebut dianggap kekurangan gizi, menderita
karena musibah tanah longsor, ada kejadian gunung berapi yang meletus, atau ada kejadian
musibah lainnya. Tanpa data yang akurat sukar sekali diharapkan pemerintah negara yang
bersangkutan bisa merencanakan program untuk menangani masalah kecacatan dan
penderitaannya. Lihat Hayono Suyono, Mewujudkan Masyarakat Beradab Bersama Aksi
Penyandang cacat, 2005. http://www.dradio1034 fm.or.id.
13
Banyak Faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi berkebutuhan khusus,
misalnya saja: Pertama, faktor pranatal (sebelum lahir) berkaitan dengan apa yang dilakukan,
dikonsumsi atau kondisi-kondisi yang terjadi dengan si Ibu ketika mengandung misalnya: gizi
dan makanan yang dikonsumsi ibu hamil, NAZA, rokok, pemakaian alkohol, kokain, amfetamin
dan obat lainnya pada ibu hamil, infeksi karena virus TORCH (toxoplasma, rubella, cytomegalo,
dan herpess), infeksi karena meningitis atau ensefalitis, kelainan kromosom, keracunan
metilmerkuri, keracunan timah hitam. Kedua, faktor natal seperti: trauma kepala karena
penggunaan alat sewaktu kelahiran, perdarahan intrakranial sebelum atau sesudah lahir, cedera
30
Anak berkebutuhan khusus menurut Suran dan Rizo adalah anak yang
secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi
kemanusiaannya. Mereka adalah anak-anak yang secara fisik, psikologis,
kognitif, atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan
dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai
gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, dan gangguan emosional. Selain
itu, termasuk anak berkebutuhan khusus juga yaitu anak-anak yang berbakat
dengan inteligensi yang tinggi, karena mereka memerlukan penanganan yang
terlatih dari tenaga profesional. 14
Hallahan dan Kauffman mendefinisikan siswa berkebutuhan khusus
adalah mereka yang memerlukan pendidikan khusus dan pelayanan terkait, jika
mereka menyadari potensi penuh kemanusiaan mereka. Pendidikan khusus
diperlukan karena mereka mungkin memiliki salah satu atau lebih hal berikut
yaitu: keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar atau gangguan atensi,
gangguan emosi atau perilaku, hambatan fisik, hambatan berkomunikasi,
autisme, traumatic brain injury, hambatan pendengaran, hambatan penglihatan,
atau anak-anak yang berbakat. 15
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa anak yang
tergolong luar biasa atau berkebutuhan khusus adalah anak yang menyimpang
dari rata-rata anak normal dalam hal: ciri-ciri mental, kemampuan-kemampuan
sensorik, fisik dan neuromuskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan
berkomunikasi, maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal di atas; sejauh ia
kepala yang berat, prematuritas. Ketiga, faktor postnatal seperti kecelakaan, gangguan gizi yang
berat dan yang berlangsung lama sebelum umur 4 tahun sangat mempengaruhi perkembangan
otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental, keadaan dapat diperbaiki dengan memperbaiki
gizi sebelum umur enam tahun, sesudah itu biarpun anak itu dibanjiri dengan makanan bergizi,
intelegensi yang rendah itu sudah sukar ditingkatkan, gangguan penyakit seperti kwashiorkor,
marasmus, malnutrisi, gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY). Keempat, faktor
lingkungan seperti kemiskinan, status ekonomi rendah, pengaruh negatif di dalam rumah seperti
pengabaian anak dan kurangnya perangsangan sosial dan bahasa mungkin turut berperan dalam
berkembangnya kasus yang ringan. Lihat Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus (Jakarta: Lembaga Penelitian UI Jakarta, 2009), 4-6.
14
B.G. Suran & J.V. Rizzo, “Special Children: an Integrative Approach”, Journal of
Education 161-162 (Boston University, 1979), 95.
15
D.P. Hallahan & J.M .Kauffman, Exceptional Children: Introduction to Special
Education (New Jersey: Prentice-Hall, Englewood Clipps, 2005), 8.
31
memerlukan modifikasi dari tugas-tugas sekolah, metode belajar atau pelayanan
terkait lainnya, yang ditujukan untuk mengembangkan potensi atau kapasitasnya
secara maksimal.16
Anak dengan kebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Karakteristik anak berkebutuhan khusus
menurut Hallahan dan Kauffman adalah: tunagrahita (mental retardation),
kesulitan belajar (learning disabilities), hyperactive (attention deficit disorder
with hyperactive), tunalaras (emotional or behavior disorder), tunarungu wicara
(communication disorder and deafness), tunanetra (partially seing and legally
blind), anak autistik (autistic children), tunadaksa (physical disability),
tunaganda (multiple handicapped), anak berbakat (giftedness and special
talents).17
16
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (Depok:
LPSP3 UI, 2009), 4.
17
D.P. Hallahan & J.M .Kauffman, Exceptional Children: Introduction to Special
Education, 28-45.
18
UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 1, 2, 3, 4.
32
tunadaksa, anak dengan hendaya perilaku ketidakmampuan menyesuaikan diri
(maladjustment), dan anak berkesulitan belajar khusus.19
19
Anak yang mengalami hambatan penglihatan (tunanetra), khususnya buta total, tidak
dapat menggunakan indra penglihatannya untuk mengikuti segala kegiatan belajar maupun
kehidupan sehari-hari. Kegiatan belajar umumnya dilakukan dengan rabaan atau taktil karena
kemampuan indra raba sangat menonjol untuk menggantikan indra penglihatan.
Anak dengan hendaya mendengar dan berbicara (tunarungu wicara) pada umumnya
mempunyai hambatan pendengaran dan kesulitan melakukan komunikasi secara lisan dengan
orang lain.
Anak dengan hendaya perkembangan kemampuan fungsional (tunagrahita) memiliki
problematik belajar yang disebabkan adanya hambatan perkembangan inteligensi, mental, emosi,
sosial dan fisik. Secara umum, mereka mempunyai tingkat kemampuan intelektual di bawah
rerata, dan secara bersamaan mengalami hambatan terhadap perilaku adaptif selama masa
perkembangan dari 0 tahun hingga 18 tahun.
Anak dengan hendaya kondisi fisik motorik atau tunadaksa ditandai adanya kelainan
pada tulang, persendian, dan saraf pengerak otot-otot tubuhnya sehingga digolongkan sebagai
anak yang membutuhkan layanan khusus pada gerak anggota tubuhnya. Kelainan pada peserta
didik tunadaksa dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu kelainan pada sistem serebral
(cerebral system) dan kelainan pada sistem otot dan rangka (musculoskeletal system).
Anak dengan hendaya perilaku ketidakmampuan menyesuaikan diri (maladjustment)
sering disebut dengan anak tunalaras. Karakteristik yang menonjol, antara lain sering membuat
keonaran secara berlebihan, bertendensi ke arah perilaku kriminal, agresif, sering menghindarkan
diri, perilaku anti sosial, mudah marah, kurang konsentrasi, suka menjawab seenaknya, tidak
mampu mengendalikan diri, banyak berbicara yang tidak perlu, dan mempunyai problematik
belajar.
Anak berkesulitan belajar khusus merupakan anak yang mempunyai kesulitan belajar
dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar secara spesifik meliputi pemahaman atau
penggunaan bahasa secara tulisan atau lisan, kemampuan mendengar, berpikir, berbicara,
membaca, menulis, pengucapan kata, atau penghitungan yang berkaitan dengan matematika.
Lihat Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan
Inklusi (Klaten: PT Insan Sejati Klaten, 2009), 2-3.
33
Faktor-faktor penentu utama keberhasilan dan keberlangsungan
pendidikan inklusi adalah: adanya kerangka yang kuat, implementasi
berdasarkan budaya dan konteks lokal, serta partisipasi yang berkesinambungan
dan refleksi diri yang kritis.20 Sedangkan faktor-faktor yang dapat menjadi
penghambat inklusi adalah terlalu banyak penekanan pada pencapaian akademik
dan ujian dan kurang memberi penekanan pada perkembangan anak secara
menyeluruh. Ini biasanya terjadi di dalam budaya-budaya tertentu dan juga di
kalangan masyarakat kelas menengah di daerah perkotaan. Faktor lainnya yang
menjadi penghambat inklusi adalah sistem pendidikan khusus segregasi yang
telah ada sebelumnya. Hambatan terbesar biasanya muncul dari guru-guru
reguler yang menganggap bahwa mengajar anak-anak berkebutuhan khusus
bukanlah pekerjaan mereka.21
20
Kerangka yang kuat adalah kerangka nilai-nilai, keyakinan, prinsip-prinsip dan
indikator keberhasilan. Pendidikan inklusi tidak akan berhasil apabila pihak-pihak yang terlibat
mempunyai konflik nilai-nilai yang tidak terselesaikan. Dalam mencari solusi atas suatu
permasalahan, maka solusi harus dikembangkan secara lokal dengan memanfaatkan sumber-
sumber daya lokal. Solusi yang diekspor dari suatu budaya/konteks lain tidak akan bertahan
lama. Disamping itu, pendidikan inklusi merupakan proses yang dinamis, oleh karena itu
diperlukan adanya monitoring partisipatori yang berkesinambungan, yang melibatkan semua
stakeholder dalam refleksi diri yang kritis. Lihat Sue Stubbs, Inclusive Education Where There
Are Few Resources, 53.
21
Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources, 62.
22
K.A.Waldron, Introduction to a Special Education: the Inclusive Classroom ( USA:
Delmar Publisher, 1996), 65.
34
positif pada siswa berkebutuhan khusus terjadi dengan adanya bimbingan dan
arahan dari guru-guru yang terlibat dalam kelas ini.
Sebagai wadah yang ideal, pendidikan inklusi memiliki karakteristik
makna yaitu: pendidikan inklusi adalah proses yang berjalan terus dalam
usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak, pendidikan
inklusi berarti memperoleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-hambatan anak
dalam belajar, pendidikan inklusi membawa makna bahwa anak mendapat
kesempatan utuk hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar
yang bermakna dalam hidupnya, dan pendidikan inklusi diperuntukkan bagi
anak-anak yang tergolong marginal, esklusif dan membutuhkan layanan
pendidikan khusus dalam belajar. 23
Karakteristik lainnya menurut Waldron adalah adanya kerjasama antara
sekolah, orang tua dan orang-orang yang terkait dalam menyediakan program
pendidikan yang terbaik bagi tiap-tiap anak, dimana mereka mempunyai
kebutuhan yang berbeda dan unik.24 Disamping itu, karakteristik lainnya adalah
guru dan stafnya perlu mendapat pelatihan, informasi dan simulasi yang
mendetail dalam membantunya melaksanakan program inklusi di kelasnya.
Demikian juga para siswa di kelas inklusi juga perlu mendapatkan informasi
tentang kelebihan dan keterbatasan (strengths and weaknesses) pada manusia.
Tujuan dari pemberian informasi ini perlu sebagai dasar dalam melaksanakan
program pelatihan teman sebaya, memperkenalkan model klub perkawanan,
meningkatkan pengetahuan tentang kecacatan, dan memperbaiki kehidupan bagi
anak yang kurang mendapat kesempatan ikut serta dalam kehidupan sosial di
masyarakat.
Pembahasan tentang pendidikan inklusi dan kebutuhan khusus telah
membuktikan bahwa pendidikan inklusi sebagai sebuah layanan pendidikan
untuk siswa berkebutuhan khusus dapat mengoptimalkan potensi mereka
sehingga tujuan pendidikan untuk menjadikan mereka sebagai individu yang
mandiri bisa tercapai.
23
Departemen Pendidikan Nasional, Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusif
(Jakarta: Diknas, 2007), 4.
24
K.A. Waldron, Introduction to a Special Education: the Inclusive Classroom, 70.
35
B. Dari Segregasi Menuju Inklusi
Sebagaimana penjelasan pada sub bab sebelumnya bahwa pendidikan
inklusi bagi anak berkebutuhan khusus merupakan tawaran alternatif atau
kelanjutan dari sistem pendidikan segregasi. Awalnya layanan pendidikan bagi
mereka dilaksanakan dalam sistem segregasi namun akhir-akhir ini muncul
kecenderungan menggunakan pola pendidikan inklusi bagi siswa berkebutuhan
khusus.
Sistem pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan dimana anak
berkelainan terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Penyelengggaraan
sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari
penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. 25 Pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus dalam setting segregasi dapat memberikan lingkungan
belajar yang aman, nyaman dan memenuhi kebutuhan khusus mereka secara
akademik. Bentuk-bentuk sistem pendidikan segregasi adalah : Pertama, Sekolah
Luar Biasa. Kedua, Sekolah Dasar Luar Biasa. Ketiga, Kelas Jauh/Kelas
Kunjung. Keempat, Sekolah Berasrama. Dan kelima, Hospital School.
Penggunaan sistem segregasi didasari oleh pandangan klasik terhadap
siswa berkelainan fisik. Dalam pandangan klasik, siswa bekelainan khusus
dipersepsikan sebagai manusia penyandang cacat yang memerlukan perhatian
khusus untuk memperoleh hak pendidikannya. Diasumsikan bahwa siswa
berkelainan khusus memiliki kemampuan belajar yang berbeda dengan siswa
yang lain sehingga diperlukan penangan khusus dan tersendiri dalam pelayanan
pendidikannya. Untuk memberikan layanan maksimal bagi mereka maka
dipersiapkan sistem pendidikan terpisah dari siswa normal. Ide-ide dan langkah-
langkah yang spesifik dalam proses pendidikannya dikembangkan dalam tradisi
sekolah khusus seperti ini. Penggunaan bahasa isyarat dan membaca bibir bagi
orang yang tunarungu, dan alfabet ukiran untuk dibaca dengan indera perabaan
oleh orang tunanetra merupakan contoh klasik yang berakar pada hasil
pemikiran dan pandangan masa lampau.
25
Teguh Eko Saputro, Sistem Pendidikan Anak Luar Biasa. http://teguhekosaputro.
Wordpress .com /2007/12/03/9/ (diakses 16 Mei 2010).
36
Dari sudut layanan akses pendidikan bagi masyarakat penyandang cacat,
pendidikan segregasi memang mampu melayani mereka secara maksimal dan
mendapat perhatian khusus, akan tetapi belum mampu menjangkau semua yang
membutuhkan karena jumlah masyarakat penyandang cacat dengan variasinya
tidak sebanding dengan jumlah satuan sekolah penyandang cacat yang
disediakan. Akibatnya mereka banyak yang terlantar, tidak memperoleh
kesempatan belajar, dan bahkan tidak jarang mereka dianggap beban
masyarakat.
Dalam perkembangannya kemudian, banyak kajian dan penelitian yang
mulai meninjau ulang penyelenggaraan sistem pendidikan segregasi ini. Dalam
artikelnya, Lloyd Dunn meminta para pendidik khusus untuk
mempertimbangkan kembali hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
perkembangan akademis anak-anak yang memiliki hambatan yang ditempatkan
di sekolah reguler lebih besar dibandingkan mereka yang ditempatkan di sekolah
khusus. Dunn juga menekankan bahwa memberikan label kepada anak-anak
untuk ditempatkan di kelas khusus membuat suatu stigma yang sangat destruktif
bagi konsep diri mereka. Penempatan mereka di kelas khusus mungkin
memberikan pengaruh yang signifikan pada perasaan rendah diri dan problem
penerimaan diri.26
37
Khusus di Indonesia, selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan
kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan
derajat dan jenis kelainannya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok
eksklusifisme bagi mereka. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak
disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak
berkebutuhan khusus dengan yang lainnya. Akibatnya dalam interaksi sosial di
masyarakat, mereka menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di
masyarakat.
27
Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan
inklusi adalah Convention on the Rights of Persons with Disabilities and Optional Protocol yang
disahkan pada Maret 2007. http://www.un.org/disabilities/default.asp?id=311#list (diakses 16
Mei 2010).
28
Usulan serupa dengan Will tidak hanya muncul di belahan Amerika akan tetapi
muncul di beberapa wilayah lain. Wajar jika sejarah mengatakan bahwa perkembangan
pendidikan inklusi di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara
Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat sendiri pada tahun1960-an,
Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar pendidikan luar biasa ke Scandinavia untuk
mempelajari mainstreaming dan least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk
diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya, Inggris mulai memperkenalkan adanya konsep
pendidikan inklusi dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif. Lihat J. David Smith, Inclusion, School for All
Student, 43-44.
38
Berbagai kontroversi muncul sehubungan dengan usulan Will ini,
terutama dari mereka yang berprofesi di bidang pendidikan khusus. Pada tahun
1987 sekelompok pimpinan di bidang ini bertemu untuk menilai implikasi dari
usulan tersebut. Pada dasarnya mereka memuji restrukturisasi sekretaris Will,
tetapi menurut mereka yang harus diperhatikan adalah bahwa pendidikan khusus
bisa diubah secara mendasar hanya bila institusi sekolah umum diubah.29
Kritikan lain datang dari Kauffman yang mengungkapkan
kekhawatirannya dari sisi layanan, dia mengatakan bahwa layanan-layanan
pengajaran khusus bagi anak berkebutuhan khusus akan berkurang atau hilang
apabila mereka disatukan di kelas reguler, apalagi guru-guru di kelas reguler
pada umumnya tidak mendapatkan pelatihan untuk menangani siswa-siswa yang
masuk di kelas khusus. Menurutnya, berbagai keinginan untuk menyatukan
pendidikan reguler dan pendidikan khusus ternyata terbukti hanyalah
merupakan satu kepentingan dimensional karena ternyata para pendukungnya
hampir dimonopoli oleh para pendidik khusus. 30
Senada dengan pendapat Kauffman, Evelyn Deno mengatakan bahwa
seorang anak yang berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang tidak
terbatas menurut potensi dan jenis kelainannya. Hal ini memungkinkan berbagai
alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. 31
Fuchs dan Fuchs menganalisis bahwa alasan-alasan kurang berminatnya
para pendidik reguler mungkin disebabkan karena mereka memandang
pendidikan khusus sebagai sesuatu yang terpisah. Disamping itu, minat mereka
selama ini lebih dikonsentrasikan pada keunggulan dibanding keadilan. 32
Berbeda dengan pendapat Kauffman dan Deno, Sapon-Shevin
menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang
29
J. David Smith, Inclusion, School for All Student, 43-44.
30
J. M. Kauffman, “The Regular Education Initiative as Reagen – Bush Education
Policy: A Trickle – Down Theory of Education of the Hard – to Teach”. Journal of Special
Education , 23, 1989, 273.
31
Evelyn Deno, Teaching Exceptional Children and Youth in the Regular Classroom
(New York: Syracuse University Press, 1986), 22.
32
Douglas Fuchs & Lynn S. Fuchs. “Inclusive Schools Movement and the
Radicalization of Special Education Reform”, Exceptional Children, 60, 1994, 295.
39
mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah
terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.33
Staub dan Peck mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah
penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di
kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat
belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan
bagaimanapun gradasinya.34
Sedangkan Bandi Delphie menyatakan bahwa konsep inklusi berdasarkan
atas gagasan bahwa sekolah regular harus menyediakan lingkungan belajar bagi
seluruh peserta didik sesuai dengan kebutuhannya, apapun tingkat kemampuan
ataupun kelainannya.35
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusi di dunia semakin nyata
terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989
dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1990 di Bangkok yang
menghasilkan deklarasi Education for All. Implikasi dari statemen ini mengikat
bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak
berkebutuhan khusus) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai.
Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan
konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya
pendidikan inklusi yang selanjutnya dikenal dengan The Salamanca Statement
on Inclusive Education.
Setelah beberapa negara melakukan uji coba maka diasumsikan bahwa
pendidikan inklusi tampaknya dapat mengatasi kekurangan-kekurangan yang
ditimbulkan oleh sistem segregasi. Pendidikan inklusi memberikan kesempatan
yang sama kepada semua anak – termasuk anak berkebutuhan khusus – untuk
belajar bersama-sama dalam lingkungan belajar yang sama, di mana semua anak
33
John O’Neil, “Can Inclusion Work? A Conversation with Jim Kauffman and Mara
Sapon Shevin”, Educational Leadership 52, No.4 (1989), 7-11.
34
Debbie Staub and Charles A. Peck, “What are the Outcomes for Nondisabled
Students?”, Educational Leadership, Volume 52, No.4, Desember-Januari 1994-1995, 36-40.
35
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, 15.
40
memiliki akses yang sama ke sumber-sumber belajar yang tersedia, dan
kebutuhan khusus setiap anak diperhatikan dan dipenuhi.
Terdapat banyak contoh tentang praktek pendidikan inklusi yang baik
dari berbagai budaya dan konteks. Walaupun pendidikan inklusi bukan
merupakan cetak biru yang dapat dialihkan dari satu budaya ke budaya lainnya,
tetapi terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil terutama jika hambatan
yang dihadapi dan sumber-sumber yang tersedia sangat mirip. Sebagai contoh
lebih dari 40 praktisi pendidikan inklusi yang bekerja di berbagai negara Selatan
yang status ekonominya rendah, mereka dapat belajar jauh lebih banyak dari
sesama negara Selatan dibanding dari para ahli dan praktisi dari Utara yang
memiliki tingkat ketersediaan yang berbeda dan sistem yang berbeda pula. 36
36
Jonathan Rix, Katy Simmons, and Melanie Nind, Policy and Power in Inclusive
Education : Values into Practice (London: Routledge, 2005), 2.
37
Sebagai contoh yaitu pemerintah kota meminta pemerintah lokal untuk
mengalokasikan anggaran untuk mengembangkan kebijakan mereka sendiri dalam
meningkatkan kualitas pendidikan anak cacat. Lihat Peng Xianguang & Meng Deng,
“Pendidikan Inklusif di Cina”, EENET ASIA Newsletters, Edisi 3, 2002.
41
kognitif, emosional, atau cacat indera. Dengan demikian pendidikan untuk
mereka tidak terintegrasi dengan sekolah reguler. 38
38
David Mitchell, Contextualizing Inclusive Education (New York: Routledge, 2005), 256.
39
David Mitchell, Contextualizing Inclusive Education, 256.
42
dianggap sebagai layanan pendidikan yang paling sesuai untuk mengembangkan
potensi mereka pada saat ini.
C. Titik Singgung Pendidikan Islam dan Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi sebagai implikasi lebih lanjut dalam gerakan
perhatian dunia terhadap hak asasi manusia merupakan bagian dari kesadaran
global tentang pentingnya pendidikan bagi manusia. Gerakan ini tentu saja
banyak diilhami oleh tatanan nilai masyarakat yang sudah mengakar di
masyarakat dunia sebelumnya yang bersumber dari nilai budaya, agama dan
tradisi. Semua agama yang mengajarkan nilai menempatkan pendidikan sebagai
bagian pokok dalam sendi kehidupan manusia. Islam sebagai bagian dari tatanan
nilai yang hidup di sepertiga warga dunia juga telah mengilhami kesadaran hak
asasi manusia dalam bidang pendidikan ini. Bahkan Islam sejak kelahirannya di
abad 7 M telah mewajibkan pengikutnya untuk menuntut ilmu dari mulai lahir
hingga akhir hayat.
43
penyandang cacat selama dia disebut sebagai manusia. 40 Adapun wacana
tentang bentuk implementasi lebih teknis dalam model pendidikan bagi mereka
masih merupakan barang baru untuk diperbincangkan, baik di kalangan
akademisi pendidikan Islam maupun para praktisinya.
Apabila diperbandingkan antara nilai ajaran Islam tentang pendidikan
dengan semangat implementasi pendidikan inklusi, dapat ditemukan titik temu
yang bisa dijadikan landasan betapa pentingnya pendidikan Islam di kelompok
siswa berkebutuhan khusus. Diantara titik temu tersebut adalah: pendidikan
sebagai kewajiban/hak, prinsip pendidikan untuk semua, prinsip non-segregasi,
perspektif holistik dalam memandang peserta didik dan cara memandang
hambatan yang lebih berorientasi pada faktor eksternal, terutama lingkungan
sekolah.41
Titik singgung pertama adalah pendidikan sebagai kewajiban/hak.
Dalam ajaran Islam, menuntut ilmu atau pendidikan bagi setiap penganut agama
Islam adalah wajib hukumnya. Sumber Islam baik al-Qur’an maupun Hadis
banyak memuat betapa pentingnya menuntut ilmu sehingga harus diwajibkan.
Ayat yang pertama kali turun adalah suruhan untuk membaca yakni surat al-
‘Alaq ayat 1-5. Membaca merupakan bagian penting dalam proses pendidikan.
Islam sejak awal sudah menyadari bahwa membaca merupakan aktifitas
pendidikan yang sangat kompleks yang memiliki arti yang sangat luas baik
secara psikologis maupun sosiologis.42
40
Abd al-Rahma>n al-Nah}la>wi> mengaitkan kewajiban pendidikan dengan amanat
manusia hidup di dunia. Manusia diberi amanat oleh Allah sebagai khalifah di dunia untuk
beribadah dan mengamalkan serta menegakkan syariat Allah. Lihat Abd al-Rahma>n al-
Nah}la>wi>, Us}u>l al-Tarbiyah al-Isla>mi>yah wa-As>ali>biha> fi> al-Bayti wa-al-
Madrasati wa-al-Mujtama’ (Bairut Libanon: Da>ru al- Fikri al-Ma’a>s}ir, 1999), 18.
41
M.A. Fattah Santoso, “Sekolah Syariah dan Pendidikan Inklusi”, Makalah Seminar
Nasional dan Peluncuran Kurikulum Sekolah Syari’ah dan Panduan Implementasi Pendidikan
Inklusi UNESCO, yang diselenggarakan oleh Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dengan dukungan Braillo, IDP-Norwegia dan
SD Muhammadiyah Program Khusus Surakarta, di UNS, 11 Juni 2005.
42
Membaca, secara psikologis mengandung muatan; proses mental yang tinggi, proses
pengenalan (cognition), ingatan(memory), pengamatan (perception), pengucapan (verbalization),
pemikiran (reasoning), daya kreasi (creativity) dan proses psikologi. Sementara secara
sosiologis, membaca mengandung arti: proses yang menghubungkan perasaan, pemikiran dan
tingkah laku seseorang dengan orang lain. Selanjutnya, penggunaan bahasa (yang tertulis dan
44
Dalam perspektif Islam, pendidikan merupakan kewajiban baik untuk
memahami kewajiban Islam maupun untuk membangun kebudayaan/peradaban.
Tuntutan kewajiban yang banyak tertuang dalam sumber Islam baik al-Qur’an
maupun Hadis ini43 tidak dibatasi oleh batasan waktu dan usia. Karena ilmu
merupakan kebutuhan seorang muslim dalam menjalankan peran dan fungsinya
di dunia sebagai makhluk Tuhan, maka umat Islam diwajibkan menuntut ilmu
di sepanjang hayat. 44 Dengan demikian, bagi umat Islam belajar tidak hanya
merupakan bagian dari hak asasinya akan tetapi juga merupakan bagian dari
haknya dalam mengekspresikan pengamalan doktrin ajaran dan keyakinannya.
Manusia diperintahkan belajar secara terus menerus sepanjang hidupnya
untuk membangun peradabannya. Selain itu, manusia telah ditetapkan Tuhan
sebagai khalifah dan pengelola bumi, memanfaatkan semua yang ada untuk
kemajuan dan kesejahteraan hidupnya dalam rangka memenuhi tujuan yang satu,
yaitu mengabdi kepada pencipta-Nya. 45
dibaca) merupakan gudang tempat menyimpan nilai-nilai budaya yang dipindahkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Lihat Mubarok, Pandangan Islam tentang Pendidikan.
http://mubarok-institute.blogspot.com/2009/06/ pandangan – Islam – tentang - pendidikan.html
(diakses tgl 1-6-2010).
43
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Bar menyebutkan bahwa menuntut ilmu
adalah fardhu bagi tiap-tiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Hadis lain yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa barang siapa menginginkan soal-soal
yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya; dan barang siapa yang ingin
(selamat dan berbahagia) di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang
meginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula.
44
Hadis yang masyhur di kalangan umat dalam hal ini adalah ”Tuntutlah ilmu sejak
dalam buaian ibu hingga liang lahat”. Meskipun hadis ini berstatus hadis maudlu atau
disangsikan keasliannya namun hadis ini cukup efektif untuk membangkitkan umat Islam dalam
mencari ilmu.Ulama ahli hadis merekomendasikan penggunaan hadis maudlu atau hadis palsu
untuk mendorong melakukan amal baik.
45
Al-Quran surat al-Dha>riya>t ayat 60 menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan
manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT. Senada dengan ayat tersebut, Ruppert C.
Lodge menyatakan bahwa hidup adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup itu sendiri.
Lihat Mastuhu dalam Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), 30.
46
M. Lukman Hakim, Deklarasi Islam tentang HAM (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), 138.
45
Sementara dalam perspektif inklusi, pendidikan merupakan hak asasi
manusia. Pernyataan pendidikan sebagai hak atau kewajiban bukan sesuatu yang
perlu diperdebatkan . Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia
untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu
negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang
memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel), karena perbedaan hanya
terletak pada sudut pandang terhadap substansi yang sama: pendidikan sebagai
hak lebih antroposentris dan pendidikan sebagai kewajiban lebih teosentris.47
Titik singgung kedua adalah prinsip pendidikan untuk semua. Pendidikan
inklusi merupakan implikasi dari prinsip pendidikan sebagai hak asasi manusia
yang penerjemahannya dalam kebijakan global 1990 menjadi pendidikan untuk
semua, sementara pendidikan Islam secara historis di masa peradaban klasik
telah memfasilitasi lingkungan yang kondusif bagi pendidikan untuk semua
melalui pembentukan tradisi melek huruf.48
Dalam sejarah umat manusia, Islam yang pertama kali menggemakan
bahwa dunia ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah diperuntukkan bagi
semua manusia, yang pada gilirannya nanti menjadi tanggung jawab para
cendekiawan untuk mengarahkan dan membentuk masyarakat berperadaban.49
46
ini merupakan implikasi lain dari pendidikan sebagai kewajiban/hak. Dengan
memandang pendidikan sebagai kewajiban/hak asasi manusia, maka setiap
manusia tidak boleh termarjinalisasikan dan tersisih dalam memperoleh layanan
pendidikan.
Metode spesifik Islam yang sempurna mampu menciptakan sistem
pendidikan Islam yang jauh dari diskriminasi dan fanatisme kebangsaan, bahkan
tidak mengasingkan mereka yang berbeda. Semua itu merupakan manifestasi
dari proses pembentukan ke arah manusia yang paripurna.50 Islam tidak pernah
membedakan manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan karena di hadapan
Allah semua manusia adalah sama. Persamaan (musawah) telah menjadi dasar
atau prinsip Islam dalam sistem hubungan antar individu. Selain itu persamaan
juga menjadi landasan dalam semua segi pergaulan sosial, seperti dalam hak-hak
sosial, pertanggungjawaban dan sanksi, dan hak-hak umum seperti hak
pendidikan, ekonomi dan hukum dan lain-lain. Dalam Islam, kesetaraan dan
keadilan sosial diterapkan untuk menjamin dan mengangkat harkat dan martabat
nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Prinsip-prinsip keadilan sosial yang
diajarkan dalam Islam akan menghindarkan penyelewengan dan kejahatan
sosial. Islam memperlakukan seluruh manusia secara sama. Dalam sejarah Islam
tidak pernah ditemukan bukti pembatasan dalam Islam untuk memperoleh ilmu
pengetahuan.
Titik singgung keempat adalah perspektif holistik dalam memandang
peserta didik. Baik pendidikan Islam maupun pendidikan inklusi berupaya
menumbuh-kembangkan kepribadian manusia dengan mengakui segenap daya
dan potensi yang dimiliki peserta didik.
Karena semua individu berbeda dalam bakat dan kemampuan, maka
tidak dapat diharapkan bahwa dua orang atau lebih bereaksi dengan cara yang
sama terhadap rangsangan lingkungan yang sama. Demikian juga seseorang
tidak dapat mengharapkan hasil yang sama dari orang dengan perkembangan
usia dan intelektual yang sama.
50
M. Lukman Hakim, Deklarasi Islam tentang HAM, 139.
47
Perbedaan bakat, kecenderungan dan kecerdasan individual manusia itu
menegaskan individu sebagai pribadi yang khas dan unik, yang justru diperlukan
bagi individualitas dalam pembentukan kepribadian. Individualitas bukan hanya
membuat orang menyenangkan, tetapi juga memungkinkan masing-masing
mengembangkan diri dan merealisasikan diri ke arah kemajuan sosial, serta
menumbuhkan sikap kompetisi antar individu dalam mencapai prestasi tinggi
atau musabaqah fi> al-khaira>t. Perbedaan tabiat individu ini diisyaratkan
dalam al-Qur’an surat Al-An’a>m ayat 165. Hal ini hendaklah menjadi perhatian
khusus para pendidik, yakni untuk mendidik dan mengasuh setiap individu
sesuai dengan bakat, kemampuan, dan kecerdasan pribadinya.
Salah satu prinsip pendidikan Islam adalah keharusannya untuk
menggunakan metode pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia, meliputi
dimensi jasmani ruhani dan semua aspek kehidupan, baik yang dapat dijangkau
dengan akal maupun yang hanya diimani melalui kalbu, bukan hanya lahiriyah
saja tapi juga batiniahnya.51
Titik singgung kelima adalah cara memandang hambatan yang lebih
berorientasi pada faktor eksternal. Karena segenap daya dan potensi peserta
didik wajib/berhak ditumbuh-kembangkan, maka faktor eksternal (lingkungan
sekolah) harus memainkan peran sentral dalam transformasi hambatan-hambatan
peserta didik. Hambatan belajar tidak lagi terletak pada diri peserta didik. Bila
memfokuskan pada potensinya, bukan pada hambatan belajarnya, guru akan
berusaha untuk melakukan asesmen terhadap anak itu. Dengan kata lain
penilaian memfokuskan pada apa yang dapat dan senang dilakukan oleh anak
sehingga dapat membuka jalan untuk menemukan potensi pendidikan anak serta
kebutuhannya.
Disamping itu lingkungan belajar juga berperan dalam menciptakan
suasana belajar yang menyenangkan sehingga dapat meningkatkan keaktifan
peserta didik dan keefektifan belajar. Dalam lingkungan masyarakat inklusif,
harus siap mengubah dan menyesuaikan sistem, lingkungan dan aktivitas yang
51
Muhammad Qut}b, Sistem Pendidikan Islam, diterjemahkan Salman Harun
(Bandung: Al-Ma’arif, 1984), 27-28.
48
berkaitan dengan semua orang serta mempertimbangkan kebutuhan semua
orang. Bukan lagi anak yang berkebutuhan khusus yang harus menyesuaikan diri
agar cocok dengan setting yang ada. Untuk ini diperlukan fleksibilitas,
kreativitas dan sensitivitas.
Dari lima kesamaan prinsip nilai pendidikan Islam dan pendidikan
inklusi tersebut kita dapat mengambil satu kesimpulan bahwa anak berkebutuhan
khusus memiliki kewajiban sekaligus hak untuk memperoleh pendidikan agama.
Pendidikan agama bagi mereka merupakan kewajiban sebagai seorang muslim
sebagaimana muslim lainnya yang normal. Selama dia tercatat sebagai seorang
muslim dan mukmin maka dia memiliki hak dan tanggungjawab sebagai
makhluk Allah yang hidup di dunia yang kelak akan diperhitungkan di akhirat
tentang amal perbuatannya.
Wacana Ushul Fiqh menyatakan bahwa manusia sebagai subyek hukum
(takli>f shar’i) yang memiliki tanggungjawab terhadap syariat Islam dibagi dua
kategori umum. Pertama, ahliyat al-wuju>b, yakni seorang muslim yang hanya
memiliki hak memperoleh penjelasan tentang syariat Islam dan belum atau tidak
memiliki tanggunggungjawab (takli>f) dalam menjalankannya. Kedua, ahliyat
al-ada>, yakni seorang muslim yang berhak memiliki hak memperoleh
penjelasan tentang syariat Islam dan bertanggungjawab dalam pelaksanaannya
(takli>f).
Kelompok masyarakat yang masuk dalam kategori pertama adalah
kelompok masyarakat yang belum sempurna akalnya seperti anak-anak belum
tamyi>z dan orang tua yang sudah pikun. Mereka termasuk ahliyat al-wuju>b
dan belum ahliyat al- ada>. Sementara yang termasuk kelompok kedua adalah
semua muslim yang normal dan dewasa (‘a>qil ba>ligh) dan mampu
menjalankan semua syariat ajaran Islam, mereka termasuk kelompok ahliyat al-
wuju>b sekaligus juga ahliyat al-ada>. Dari sudut ilmu ushul fiqh tersebut,
anak berkebutuhan khusus dengan sejumlah variasi kecacatannya dapat
dipetakan melalui dua kategori ini. Mereka dapat dimasukkan dalam kategori
49
ahliyat al-wuju>b atau ahliyat al-ada> tergantung dari kemampuan akal dan
kemampuan menjalankannya. 52
Untuk itu, anak berkebutuhan khusus harus mendapatkan pendidikan
agama Islam yang sama dengan anak-anak normal lainnya karena semuanya
termasuk dalam kategori ahliyat al-wuju>b. Perbedaannya hanyalah jika anak-
anak normal memiliki tanggung jawab mengamalkan ajaran Islam setelah ‘a>qil
ba>ligh, sementara anak berkebutuhan khusus tergantung tingkat kemampuan
akal pikirannya. Ajaran Islam menjelaskan bahwa semua anak manusia
diciptakan sejak lahir dalam keadaan fitrah, artinya tidak terkecuali anak
berkebutuhan khusus juga memiliki kecenderungan bawaan kepada ketauhidan
dan kebajikan. Fitrah merupakan kecenderungan bawaan untuk mengimani dan
menyembah Allah. Fitrah bersifat umum dan tidak berubah, dia ada sejak lahir
53
dalam struktur metafisika manusia (QS. al-Ru>m: 30). Pendidikan agama
seharusnya bertujutan memelihara dan mengembangkan kecenderungan ke-
Tauhid-an ini. Karena itu, pendidikan agama bagi anak berkebutuhan khusus
sebenarnya memelihara dan mengembangkan kecenderungan beragama Tauhid
yang sudah ada sejak lahir.
Adapun cara mendidik dan membina siswa berkebutuhan khusus tidak
jauh berbeda dengan siswa normal lainnya. Sebagaimana mendidik siswa
lainnya, siswa berkebutuhan khusus ditempatkan sebagai manusia normal yang
siap menerima semua ajaran Islam. Khusus bagi mereka yang memiliki tingkat
kecacatan mental yang parah, maka diperlukan pola dan metode tersendiri
dalam mendidik dan mengajarkan nilai-nilai agama Islam kepada mereka.
Metode yang diperlukan adalah metode yang lebih dekat dengan kecenderungan
dan minat serta sesuai dengan kemampuan perkembangan kejiwaannya.
Biasanya materi yang diberikan adalah materi yang paling mudah dicerna dalam
bentuk visual. Diantara metode yang lebih dekat dengan mereka adalah metode
yang ditawarkan Muhammad Qut}b dalam karyanya Mana>hij al-Tarbiyah al-
52
Yasen Muhammad, Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam (Bandung:
Mizan,1997), 134.
53
Yasen Muhammad, Insan yang Suci : Konsep Fitrah dalam Islam, 132.
50
Isla>mi>yah. Dia menyebutnya dengan metode pembiasaan (al-Tarbiyah bil-
‘A>dah). Dengan metode ini siswa diperkenalkan ajaran Islam langsung dengan
cara menerapkan dan mempraktekkannya. 54
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, dapat disimpulkan bahwa ternyata
terdapat titik temu antara pendidikan Islam dan pendidikan inklusi. Menurut
kedua perspektif tersebut, manusia harus diperlakukan sama tanpa memandang
kelainan yang dimiliki satu dan yang lainnya, karena Allah telah menciptakan
manusia dengan potensi dan keunikan masing-masing. Potensi yang dimilikinya
apabila dikembangkan maka akan menjadikannya manusia yang mandiri dan
berkualitas.
54
Muhammad Qut}b, Mana>hij al-Tarbiyah al-Isla>mi>yah (Da>r al-Shuru>q, tt),
246-250.
51
BAB III
52
53
dapat menjadi sarana pembumian ide dan wacana pluralisme yang diyakini telah
menjadi suatu keniscayaan dalam kehidupan global. 1
Yayasan Madania didirikan pada tahun 1995. Yayasan Madania
mendirikan sebuah lembaga pendidikan tingkat menengah yang bernama SMU
Madania Boarding School di Parung Bogor pada tahun 1996. Tahun 1998,
yayasan Madania mengembangkan lembaga pendidikan binaannya ke tingkat
TK, SD, dan SMP. Dalam hal management, kedua lembaga ini bersifat
independen (berdiri sendiri) dengan sistem yang diberlakukan juga berbeda.
SMU memakai sistem boarding, sedangkan TK, SD, dan SMP memakai sistem
full day. Pada tahun 2003, atas berbagai pertimbangan, akhirnya kedua lembaga
pendidikan yang memiliki management berbeda ini disatukan ke dalam satu
management yang bernama Sekolah Berwawasan Internasional Madania, 2 yang
pada perkembangan selanjutnya lembaga ini berubah nama menjadi Madania
Progressive Indonesian School.
Wawasan ataupun filsafat pendidikan Madania sebagian sudah
terkandung dalam kata ”madania” itu sendiri. Berasal dari bahasa Arab, kata
”madania” masih seakar dengan kata ”diri” dan ”madinah”, yaitu sebuah ”civil
society” yang menjunjung tinggi peradaban yang diikat dengan aturan hukum,
disiplin, mendukung tegaknya prinsip egaliterianisme, demokrasi, dan nilai-nilai
luhur yang bersifat transenden.3
Di Madania, setiap individu adalah istimewa dan layak memperoleh
pelayanan dan penghargaan yang sama karena Tuhan telah menganugerahkan
kita derajat dan hak-hak yang sama, sekalipun dengan potensi,minat, dan
pertumbuhan pribadi yang berbeda-beda. 4 Pendidikan inklusi sudah diterapkan
di Madania sejak tahun 1998. Oleh karena itu, siswa siswi yang belajar di
1
M. Monib dan Endang H. Rosyidi (ed), Sewindu SMU Madania Boarding School, vii.
2
M. Monib dan Endang H. Rosyidi (ed), Sewindu SMU Madania Boarding School, 137.
3
Komaruddin Hidayat, Selamat Datang ke Dunia Pendidikan Madania. www.madania
.com.
4
Komaruddin Hidayat, Selamat Datang ke Dunia Pendidikan Madania. www.madania
.com.
54
Madania sangat heterogen tidak saja siswa yang normal tapi juga siswa yang
tidak normal. Siswa tidak normal yang diterima di Madania adalah siswa yang
memiliki gangguan perkembangan yaitu: autism, asperger syndrom, Attention
Deficit Disorder (ADD) / Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD),
learning difficulties, dyslexia, Pervasive Developmental Disorder Not
Otherwise Specified ( PDD-NOS) dan speech delay.5 Berdasarkan dokumen
database dari SEN Unit, dari keseluruhan siswa Madania yang berjumlah 780,
jumlah siswa berkebutuhan khusus tingkat SD ada 16 siswa, tingkat SMP ada
16 siswa, dan tingkat SMA ada 16 siswa.
A. Disain Pengelolaan Sekolah Inklusi
Menerapkan pendidikan inklusi dalam satuan pendidikan perlu memiliki
disain pengelolaan yang jelas.6 Landasan teori dan filosofis yang kuat akan
menentukan arah dan tujuan yang konsisten dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusi. Disain pendidikan yang mencerminkan keseriusan dari para pengelola
pendidikan harus dibangun dari landasan filosofis dan teori yang kuat sehingga
akan memperkuat konsistensinya untuk memberikan layanan pendidikan bagi
siswa berkebutuhan khusus dengan baik. Cerminan disain yang jelas akan
nampak terlihat dalam keseluruhan rencana pendidikannya, mulai dari landasan
filosofis, visi, misi, tujuan, perencanaan program dan tenaga pendidik dan
kependidikannnya sampai sistem manajemennya.
Sebagaimana layaknya dalam pengelolaan satuan pendidikan pada
umumnya, penyusunan disain satuan pendidikan inklusi mengikuti standar
7
pengelolaan sekolah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional RI No. 19 tahun 2007 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan
5
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 9-10.
6
Menurut Peraturan Standar Nasional Pendidikan, kewenangan penyusunan disain
pengelolaan sebuah sekolah ada pada pihak sekolah sendiri dimana sekolah harus memiliki
dokumen yang menjelaskan tentang kewenangannya dalam merencanakan, mengorganisasikan,
mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi komponen-komponen
pendidikan sekolah yang bersangkutan. Lihat Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005.
7
Standar adalah kriteria minimum. Standar Pengelolaan Sekolah berarti kriteria minimum
pengelolaan sekolah yang harus dilakukan oleh setiap satuan pendidikan yang mengacu kepada
Permendiknas RI no. 19 tahun 2007.
55
8
Lihat juga Standar Pengelolaan Sekolah berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada pasal 49 dinyatakan bahwa standar
pengelolaan sekolah harus menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan
kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Selain itu pada pasal 52
dinyatakan bahwa setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang
kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus, kalender pendidikan, struktur organisasi,
pembagian tugas diantara pendidik dan tenaga kependidikan, peraturan akademik, tata tertib dan
kode etik hubungan antara sesama warga sekolah.
9
Landasan pendidikan inklusi lainnya adalah landasan yuridis dan landasan empiris,
lihat Dirjen Dikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ( Jakarta: Ditpslb, 2007), 5. Lihat juga Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif (Jakarta: Ditplb, 2006), 3. dengan
tambahan yaitu landasan pedagogis.
10
Dirjen Dikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Pedoman umum
penyelenggaraan pendidikan inklusif, 2.
56
ada manusia yang sempurna di dunia ini, karenanya pada diri individu yang
normal dan berbakat sekalipun pastilah terdapat juga kecacatan dan kelemahan
seperti halnya anak berkebutuhan khusus yang pasti juga memiliki keunggulan-
keunggulan dibalik kekurangannya.
11
Dirjen Dikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Pedoman umum
penyelenggaraan pendidikan inklusif, 2.
12
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif, 3.
13
Dirjen Dikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, 4. Lihat juga Qur’an surat al-H{ujurat>: 13 dan surat al-
Ra’du: 11.
57
14
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Bandung: Nuansa, 2003), 50.
15
Komaruddin Hidayat, Selamat Datang ke Dunia Pendidikan Madania.
www.madania.com (diakses 28-10-2008).
58
16
Komaruddin Hidayat, Selamat Datang ke Dunia Pendidikan Madania.
www.madania .com.
17
Educational Support Department, Handbook 2009-2011 (Bogor: Madania, 2009), 7.
18
K.A. Waldron, Introduction to a Special Education: the Inclusive Classroom ( USA:
Delmar Publisher, 1996), 52.
59
dari berbagai pihak yang ada di sekolah, dari mulai kepala sekolah, guru, staff
tata usaha, pegawai dan khususnya bagian pendidikan khusus yang secara teori
memiliki pengetahuan dan kemampuan yang melebihi guru reguler lainnya
dalam menangani siswa berkebutuhan khusus.
Penanganan siswa berkebutuhan khusus tidak sesederhana menangani
siswa normal lainnya. Dalam hal-hal tertentu, terdapat keunikan-keunikan
tersendiri yang merupakan keunggulannya. Dibalik kelainannya dibanding siswa
normal, terdapat kelebihan yang apabila guru dengan dukungan semua pihak di
sekolah mampu menemukan keunggulan tersebut untuk kemudian
dikembangkan, maka proses pendidikan terhadap siswa berkebutuhan khusus
tersebut akan berhasil. Perhatian terhadap kelebihan siswa akan lebih berarti
untuk kemajuan pengetahuannya daripada berfokus pada kecacatannya.
Dukungan lainnya yang lebih penting lagi bagi guru adalah mendapat
dukungan dalam bentuk bantuan melakukan penjadwalan konsultasi program,
pemecahan masalah dan masukan yang membangun. Apabila penanganan
terhadap siswa berkebutuhan khusus dilakukan secara bersama-sama maka
kemungkinan perkembangan ke arah kemajuan akan lebih cepat terwujud.
19
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 33-36.
60
Selain itu, ada juga buku program kegiatan harian yang juga berfungsi
untuk memantau perkembangan sikap siswa berkebutuhan khusus tertentu.20
Apabila pada saat mengikuti materi pada hari tersebut sikapnya baik, maka
diberi ceklis berwarna hitam, tetapi sebaliknya apabila sikapnya kurang
kooperatif, maka diberi tanda ceklis merah. 21
Semua guru yang terlibat dalam pendidikan ini harus mendukung prinsip
pendidikan inklusi bagi siswa berkebutuhan khusus. Mereka harus mempunyai
semangat dalam melaksanakan program dan mempunyai gaya mengajar yang
fleksibel. Guru perlu berperilaku yang positif dalam melakukan pendidikan
terhadap perilaku (behaviour management) dan keterampilan sosial (social skills
interventions) pada siswa-siswanya.
22
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN
Unit di Madania, 30-4- 2010.
23
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN
Unit di Madania, 30-4- 2010.
24
Aide Teacher sebagai pendamping siswa berkebutuhan khusus bertugas: membimbing
dan mengarahkan mereka agar dapat beradaptasi di sekolah, di bidang akademik dan atau bidang
non akademik; melakukan one to one teaching untuk membantu mereka dalam memahami
materi yang diajarkan, menjembatani komunikasi mereka dengan guru, teman, dan pegawai
sekolah; berkoordinasi dengan orang tua dan sekolah dalam memantau perkembangan mereka;
dan memantau mereka yang menjadi tanggungjawabnya di sekolah. Lihat Educational Support
Department, Handbook 2009-2011, 44-45.
25
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 45.
62
Di Madania, organ ini disebut SEN Unit (Special Educational Need Unit)
sebagai organisasi yang menangani siswa berkebutuhan khusus. Organ ini
dipimpin oleh seorang koordinator SEN Unit yaitu Bapak Abdul Hakim
Anshory, S.P. yang membawahi 14 guru SEN Unit. Keberadaan SEN Unit
adalah untuk men-support guru-guru tentang bagaimana cara menangani siswa
berkebutuhan khusus. 26
Dengan demikian, sumber daya manusia yang menangani SEN Unit
adalah Head of Educational Support, koordinator SEN Unit, dan guru-guru SEN
Unit. SEN Unit berperan memfasilitasi proses adaptasi siswa berkebutuhan
khusus dalam mengikuti kegiatan sekolah agar mereka memiliki perkembangan
potensi individu yang optimal, memiliki perkembangan emosi sesuai dengan
usianya, menjadi individu yang mandiri, serta mampu menyesuaikan diri dalam
lingkungan sosial melalui pendekatan holistik antara sekolah, orangtua, dan tim
professional.27
26
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN
Unit di Madania, 30-4- 2010.
27
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 7-9.
28
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 8.
63
5. Dukungan kelas.
29
Bentuk dukungan mereka diantaranya menjadi pendamping dari teman sebaya yang
membantu proses adaptasi temannya yang berkebutuhan khusus di dalam kelas. Berdasarkan
wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-
4- 2010.
64
30
cara menunjukkan sikap toleransi. Dengan begitu semua siswa dilatih untuk
menyadari dan memahami keragaman dan perbedaan sesama temannya baik
perbedaan suku, agama dan ras bahkan perbedaan fisik dan mentalnya.
Sementara dukungan guru pendamping di dalam kelas adalah membantu
proses belajar mengajar secara individual agar siswa berkebutuhan khusus
mendapatkan kemajuan di bidang akademik dan sosial secara optimal.Tidak
semua siswa berkebutuhan khusus membutuhkan guru pendamping, tergantung
dari karakteristik siswa yang bersangkutan. Siswa berkebutuhan khusus yang
didampingi adalah siswa yang mengalami hambatan dalam komunikasi, bahasa
(reseptif-ekspresif), sosialisasi, perilaku dan akademik.31
6. Individualized Educational Plan (IEP).
Penyelenggaraan pendidikan inklusi yang baik dan terencana
memerlukan penentuan IEP32 yang sesuai dengan kebutuhan siswa. IEP
diperlukan untuk memberikan layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan
khusus secara individual. Setiap individu siswa mendapat perhatian khusus
mulai dari rencana pertahun, progress perkembangan hasil belajar sampai
penentuan bentuk evaluasinya.
Untuk mendapatkan IEP yang tepat sehingga menghasilkan kemajuan
harus didukung data yang akurat dan analisis data yang dilakukan secara teratur.
Dengan IEP seorang guru dapat memonitor keterampilan sosial siswa pada awal,
30
Meningkatkan Persahabatan antara anak dengan dan tanpa kebutuhan khusus dapat
dilakukan dengan cara mengembangkan model pertemanan, memberikan kesempatan kepada
anak-anak untuk mengenal satu sama lain, mengajarkan keterampilan interpersonal untuk
menciptakan dan memelihara persahabatan, menyediakan kondisi yang sesuai untuk mendorong
interaksi sosial yang tepat, mengidentifikasi dan menetapkan peran dalam pengalaman
pembelajaran kooperatif untuk membina persahabatan, membantu anak-anak membuat lingkaran
teman sebelum pindah ke lingkungan pendidikan yang baru, serta menggunakan buku-buku,
video, dan lagu-lagu / tarian yang mendorong persahabatan. Lihat David Auxter, Jean Pyfer,
Carol Huettig, Principles and Methods of Adapted Physical Education and Recreation (New
York: McGraw-Hill , 2005),162.
31
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 8.
32
Format IEP Madania dibuat oleh guru SEN Unit yang pembuatannya disepakati oleh
semua guru yang terlibat, psikolog, dan pihak ahli lain yang ditunjuk oleh orang tua. Aspek yang
dicantumkan adalah aspek akademik dan non akademik yang diharapkan dicapai oleh siswa,
dengan prioritas aspek yang digali sesuai kesepakatan pihak yang terkait. Lihat Educational
Support Department, Handbook 2009-2011, 18-19.
65
tengah dan akhir tahun ajaran. Dengan demikian, pengambilan dan pencatatan
data awal dan akhir (pre and post data) harus terus dilakukan secara teratur
terutama data tentang perilaku dan interaksi sosial siswa.
Pembuatan IEP di Madania biasanya dilakukan untuk satu tahun ajaran.
Pembuatan IEP dilakukan di awal tahun ajaran oleh tim edukasi siswa yang
terdiri atas orang tua, guru, psikolog, dan pendamping siswa. IEP ini akan
dievaluasi setiap akhir semester dan akhir tahun ajaran. 33
IEP dibuat secara individual sesuai dengan kebutuhan siswa dan
menekankan pada potensi yang dimiliki oleh siswa, bukan pada
ketidakmampuannya. Oleh karenanya, program yang tercantum dalam IEP akan
berbeda-beda untuk setiap siswa berkebutuhan khusus. 34
7. Reguler Education Ownership.
Dalam pelaksanaan pendidikan inklusi terutama dalam proses belajar
mengajar, perlu ditanamkan rasa percaya diri pada siswa berkebutuhan khusus
dengan pemahaman bahwa dia merupakan bagian tak terpisahkan dari teman-
teman sekelasnya. Meskipun dalam beberapa materi tertentu dipisahkan dari
teman sekelasnya akan tetapi dia tetap kembali dan masih menjadi bagian dari
kelas tersebut. Dengan kata lain meskipun siswa tersebut tidak mampu
berpartisipasi secara penuh dalam kelas regulernya, namun ia masih mengikuti
pembelajaran bersama siswa-siswa lain setiap harinya. Ini berarti siswa tersebut
tetap bagian dari kelas regulernya dan bukan sekedar siswa pendatang semata.
Untuk mengoptimalkan proses pembelajaran, siswa berkebutuhan khusus
yang diterima di Madania dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan hasil tes
tingkat kemampuan menyerap pelajaran, yaitu reguler, reguler modifikasi dan
individual.35 Untuk kelompok reguler yang tingkat kemampuan daya serap
33
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator
SEN Unit di Madania, 30-4- 2010.
34
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 18.
35
Di sekolah inklusi lain pembagian tingkat kelainan peserta didik berkebutuhan khusus
adalah a): mild disabilities (tingkat kelainan yang ringan dan masih bisa melakukan kegiatan
dengan anak-anak seusianya); b) moderate disabilities (tingkat kelainan sedang, masih bisa
66
pelajarannya lebih bagus, siswa belajar 90-100% di kelas dan belajar individual
0-10% dengan guru SEN Unit. Sementara kelompok reguler modifikasi yang
tingkat kemampuannya lebih rendah , siswa belajar 80-90% di kelas dan belajar
individual 10-20% dengan guru SEN Unit atau guru remedial. Sedangkan untuk
kelompok individual yakni siswa yang tingkat kemampuan daya serapnya
sangat rendah, siswa belajar 70-80% di kelas dan belajar individual 20-30%
dengan guru SEN Unit atau guru remedial. 36
Berdasarkan pengelompokkan tersebut, siswa berkebutuhan khusus di
Madania yang masuk kelompok reguler ada 39,5%, kelompok reguler modifikasi
ada 39,5%, dan kelompol individual ada 21% dari keseluruhan jumlah siswa
berkebutuhan khusus. 37
8. Kolaborasi antara sekolah dan orangtua di rumah.
Kerjasama secara aktif antara sekolah dan orang tua dalam pendidikan
inklusi mutlak diperlukan. Pendidikan inklusi tidak bisa hanya mengandalkan
sekolah saja sementara orang tua menyerahkan 100% kepada sekolah. Orang
tua merupakan bagian penting dalam pendidikan inklusi. Jika orang tua dan para
guru dapat bekerjasama dengan baik, kemajuan yang nyata biasanya akan
tampak. Kolaborasi antara orang tua di rumah dan guru di sekolah dapat
membantu siswa dalam melakukan generalisasi keterampilan yang ia dapatkan,
sekaligus memberi kesempatan untuk orang tua dan guru berbagi ide tentang
strategi pembelajaran yang terbaik untuknya.
melakukan kegiatan dengan bantuan); c) severe atau profound disabilities (tingkat kelainan
beratyang memerlukan pendampingan dan bantuan); d) most-severe disabilities (tingkat kelainan
sangat berat yang memerlukan bantuan dan perawatan terus-menerus). Lihat Pusat Penelitian
Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Balitbang Diknas, Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak
Berkebutuhan Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Diknas, 2008),
7-8.
36
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16.
37
Berdasarkan dokumen database dari SEN Unit, jumlah siswa berkebutuhan khusus
tingkat SD ada 16 siswa dengan jumlah siswa yang masuk kelompok reguler ada 6 siswa, reguler
modifikasi 6 siswa, dan kelompok individual 4 siswa. Untuk tingkat SMP, jumlah siswa
berkebutuhan khusus ada 16 siswa dengan jumlah siswa yang masuk kelompok reguler ada 8
siswa, reguler modifikasi 5 siswa, dan individual 3 siswa. Dan untuk tingkat SMA, jumlah siswa
berkebutuhan khusus ada 16 siswa dengan jumlah siswa yang masuk kelompok reguler ada 5
siswa, reguler modifikasi 8 siswa, dan individual 3 siswa.
67
41
Alan S Canestrari & Bruce A Marlowe, Educational Foundations, 64.
69
42
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung:
Intima, 2007), 228.
43
L.G. Beck & J. Murphy, The Four Imperatives of a Successful School (Thousand
Oaks, California: Corwin, 1996), 53.
70
44
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah (Bandung: Rosda,
2003), 18.
45
L.G.Beck & J.Murphy, The Four Imperatives of a Successful School , 63.
46
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, 22.
47
Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 4.
71
48
H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional (Jakarta: Kompas, 2005), 126-127.
49
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan
Inklusif (Jakarta, Ditplb, 2006), 1-2.
50
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan
Inklusif, 2.
72
pendidikan dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien dengan sumber daya
pendidikan yang ada.
51
Ernest Dale, Management: Theory and Practice (Tokyo: Mc Graw Hill Kogakhusa,
Ltd, 1973), 4.
52
Joseph L. Massie, Essentials of Management (New Delhi: Prentice Hall off India
Private Limited, 1973), 4.
53
Siagian, Filsafat Administrasi (Jakarta: Gunung Agung, 1979), 74-75.
54
Richard A. Johnson, et al, The Theory and Management of Systems (Tokyo: Mc Graw
Hill Kogakhusa Ltd, 1973), 15.
55
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan (Magelang: Indonesiatera, 2003), 270.
73
56
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, 284.
74
57
Madania menerapkan pendidikan inklusi sejak tahun 1998. Berdasarkan wawancara
dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P. di Madania, 30-4-2010.
58
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 9.
59
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN
Unit di Madania, 22-7- 2010.
75
SEN Unit di Madania ini dipimpin oleh seorang koordinator SEN Unit
yang membawahi 14 guru SEN Unit. SEN Unit ini berada di bawah tanggung
jawab Head of Educational Support yang menangani bidang pendukung
pendidikan di lingkungan Madania. Personil yang terlibat dalam menjalankan
fungsi lembaga ini adalah Head of Educational Support, koordinator SEN Unit,
dan guru-guru SEN Unit. Seorang guru SEN Unit bertanggung jawab untuk
menangani antara 3 sampai 5 siswa berkebutuhan khusus. Dalam menjalankan
tugas dan tanggungjawabnya, guru SEN Unit dapat dibantu oleh guru
pendamping yang disediakan oleh orang tua siswa berkebutuhan khusus untuk
mendampingi anaknya selama menjalankan aktivitas sehari-hari di sekolah.61
Siswa berkebutuhan khusus yang ditangani oleh SEN Unit adalah siswa
yang didiagnosa mempunyai gangguan perkembangan. Orang yang berhak
melakukan asesmen psikologi dan memberi diagnosa gangguan perkembangan
tertentu adalah psikolog. Oleh karenanya, untuk menentukan siswa
berkebutuhan khusus yang ditangani SEN Unit, mutlak diperlukan data tertulis
mengenai hasil asesmen psikologi.62
60
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN
Unit di Madania, 30-4- 2010.
61
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 8-9.
62
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 9. Lihat juga pendapat
Wagner yang mengatakan bahwa dalam melakukan pengkajian terhadap anak berkebutuhan
khusus, ia melakukan beberapa langkah yaitu: menentukan kelebihan dan kekurangan siswa
76
(strengths and deficits), mengobservasi kelas reguler yang akan dimasuki anak, mengulas tujuan
IEP, menetapkan target keterampilan sosial, melakukan pengkajian motivasional, mengadakan
pertemuan rutin, dan menarik kesimpulan. K.A.Waldron, Introduction to a Special
Education: the Inclusive Classroom (USA: Delmar Publisher, 1996), 83.
63
Berdasarkan kemampuan intelektualnya, peserta didik berkebutuhan khusus dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu (1) peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan
kemampuan intelektual di bawah rata-rata, (2) peserta didik berkelainan yang memiliki
kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Kelompok yang pertama merupakan peserta didik
yang dapat mengikuti pendidikan inklusi. Hal ini sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri
No.22 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa peserta didik pendidikan inklusi adalah peserta didik
berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata yang berkeinginan
untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Berkelainan dalam hal ini
adalah tunanetra, tunarungu, tunadaksa ringan, dan tunalaras. Lihat Lampiran Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No.22 Tahun 2006.
64
Fasilitas yang ada di Madania belum memungkinkan untuk menerima siswa
berkebutuhan khusus yang mengalami gangguan fisik. Berdasarkan wawancara dengan Bapak
Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010.
65
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 9-10.
77
menetap dalam interaksi sosial serta adanya perkembangan yang terbatas, pola-
pola perilaku, minat dan kegiatan yang berulang.66
Ketiga, Attention Deficit Disorder (ADD) atau gangguan pemusatan
perhatian dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau gangguan
pemusatan perhatian dan hiperaktivitas mempunyai gejala yang sekilas mirip
autisma tetapi memiliki kemampuan komunikasi dan interaksi sosial yang jauh
lebih baik. Keempat, learning difficulties atau kesulitan belajar adalah sebuah
kondisi dimana seseorang mengalami kesulitan belajar yang disebabkan oleh
satu atau beberapa faktor yang tidak diketahui yang berpengaruh terhadap
kemampuan otak menerima dan memproses informasi.67
Kelima, dyslexia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada
seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan
aktivitas membaca dan menulis. Keenam, Pervasive Developmental Disorder
Not Otherwise Specified (PDD-NOS) umumnya digunakan untuk menjelaskan
beberapa karakteristik autisma pada seseorang. PDD-NOS adalah gangguan
perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya
muncul sebelum usia 3 tahun dan bersifat neurologis yang mempengaruhi
kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain, dan kemampuan
berhubungan dengan orang lain. Ketujuh, speech delay atau keterlambatan
bicara merupakan salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling
sering ditemukan pada siswa terutama keterlambatan bicara fungsional. 68
Berdasarkan diagnosa psikolog, siswa berkebutuhan khusus di Madania
ada 48 siswa dengan perincian gangguan perkembangan sebagai berikut: autism
21 siswa, autism & mental retardation 1 siswa, dyslexia 5 siswa, learning
difficulties 7 siswa, learning difficulties dan sensorik 1 siswa, ADD 1 siswa,
speech delay 2 siswa, ADHD 8 siswa, asperger 1 siswa, PDD-NOS 1 siswa. 69
66
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 10.
67
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 10-11.
68
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 11-13.
69
Berdasarkan dokumen database, dilihat dari sudut sebaran jenjang, jumlah tersebut
tersebar di tingkat SD, SMP, dan SMA. Untuk perincian gangguan perkembangan tingkat SD
adalah: autism 5 siswa, dyslexia 2 siswa, learning difficulties 4 siswa, ADD 1 siswa, speech
78
delay 2 siswa, autism & mental retardation 1 siswa, learning difficulties & sensorik 1 siswa.
Untuk perincian gangguan perkembangan tingkat SMP adalah: autism 7 siswa, dyslexia 1
siswa, learning difficulties 3 siswa, ADHD 5 siswa. Dan untuk perincian gangguan
perkembangan tingkat SMA adalah: autism 9 siswa, dyslexia 2 siswa, ADHD 3 siswa,
asperger 1 siswa, PDD NOS 1 siswa.
70
Hersey menyederhanakan fungsi manajemen menjadi 4 saja yaitu: merencanakan,
mengorganisasi, memotivasi, dan mengontrol. Lihat Paul Hersey and Kenneth H. Blanchard,
Manajemen of Organizational Behavior (New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited,
1978), 4.
71
T. Hani Handoko, Manajemen ( Yogyakarta : BPFE, 1995), 93.
79
72
T. Hani Handoko, Manajemen, 93.
73
Walida, Konsep Manajemen Sekolah. http://manajemensekolah.teknodik.net/?p=883
(diakses 21-7-2010).
74
T. Hani Handoko, Manajemen, 94.
75
Walida, Konsep Manajemen Sekolah. http://manajemensekolah.teknodik.net.
80
76
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN
Unit di Madania, 30-4- 2010.
77
George R. Terry, Principles of Management (Madison: R.D. Irwin, 1977), 123.
78
Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas (Jakarta: Haji Masagung,
1989), 74.
81
79
Ernest Dale, Management: Theory and Practice , 54.
80
Untuk rumpun mata pelajaran PAI, rapat dilakukan setiap hari rabu dan jum’at. Rapat
hari rabu sore membicarakan tentang evaluasi pembelajaran minggu sebelumnya dan rencana
pembelajaran untuk minggu berikutnya, sekaligus membuat dan merevisi RPP. Sedangkan rapat
82
hari jum’at adalah rapat koordinasi dan membicarakan hal-hal yang sifatnya global. Berdasarkan
wawancara dengan Bapak Abdullah, koordinator mata pelajaran PAI di Madania, 26-7-2010.
81
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdullah, koordinator mata pelajaran PAI di
Madania, 26-7-2010.
82
George R. Terry, Principles of Management, 145.
83
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pelaksanan ini adalah bahwa
seorang karyawan akan termotivasi untuk mengerjakan sesuatu jika mereka
merasa yakin akan mampu mengerjakan, yakin bahwa pekerjaan tersebut
memberikan manfaat bagi dirinya, mereka juga tidak sedang dibebani oleh
problem pribadi atau tugas lain yang lebih penting, atau mendesak, tugas
tersebut merupakan kepercayaan bagi yang bersangkutan dan hubungan antar
teman dalam organisasi tersebut harmonis.
4. Pengawasan (Controlling)
Pengawasan dimaksudkan untuk menilai proses pendidikan dan hasil
pendidikan. Pengawasan adalah bagian dari tugas pimpinan untuk melakukan
kontrol apakah proses dan hasil pendidikan itu sudah sesuai dengan rencana
semula atau dengan revisinya, secara kualitatif maupun kuantitatif. Kontrol
terhadap proses pendidikan mencakup materi pelajaran yang diberikan, media
83
William J Reddin, Managerial Effectiveness (Tokyo: Mc Graw Hill Kogakhusa, Ltd,
1970), 13.
84
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN
Unit di Madania, 30-4- 2010.
84
yang dipakai, metode belajar dan mengajar, pengendalian kelas, dan cara guru
menilai siswa. Kegiatan ini dilakukan pada akhir semester dan akhir tahun
ajaran/tahun kuliah. Hasil pengawasan dan laporan-laporan diolah oleh
pimpinan sebagai umpan balik untuk memberikan revisi seperlunya kepada
proses pendidikan dan untuk penyusunan aktivitas semester atau tahun
berikutnya.
Pengawasan merupakan fungsi manajemen yang tidak kalah pentingnya
dalam suatu organisasi. Semua fungsi terdahulu, tidak akan efektif tanpa disertai
fungsi pengawasan. Pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik
untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan – tujuan perencanaan,
merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata
dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur
penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang
diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan
dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-
tujuan perusahaan. 85
Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu kegiatan yang berusaha
untuk mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana
dan memastikan apakah tujuan organisasi tercapai. Apabila terjadi
penyimpangan di mana letak penyimpangan itu dan bagaimana pula tindakan
yang diperlukan untuk mengatasinya. Pengawasan terhadap pelaksanaan
pendidikan inklusi juga merupakan bagian penting dalam unsur manajemen
pengelolaan organisasi pendidikan.
Pengawasan dan kontrol dalam pendidikan inklusi diarahkan pada tiga
aspek penting yang juga merupakan indikator keberhasilannya yakni aspek
input, proses dan out put. Kontrol terhadap aspek input diarahkan pada penilaian
terhadap upaya persiapan dalam pengelolaan pendidikan mulai dari konsep
disain pendidikan inklusi, kriteria input siswa berkebutuhan khusus, kriteria
input guru, sampai unit pendukung lainnya. Kontrol terhadap aspek proses
85
T. Hani Handoko, Manajemen, 102.
85
89
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan
Inklusif, 2.
90
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan
Inklusif, 3.
87
91
tertentu adalah psikolog. Manajemen kesiswaan dimaksudkan untuk mengatur
berbagai kegiatan kesiswaan agar kegiatan belajar-mengajar di sekolah dapat
berjalan lancar, tertib, dan teratur.
Komponen kedua adalah manajemen kurikulum. Manajemen program
pengajaran di Madania yaitu dengan melakukan modifikasi kurikulum nasional
sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa berkebutuhan khusus.92
Modifikasi kurikulum dilakukan tehadap program pengajaran untuk siswa
kelompok reguler modifikasi dan kelompok individual. Guru SEN Unit yang
bertugas membuat rancangan program pengajaran individual biasanya akan
menyusun jadwal pelajaran dan pembagian tugas mengajar, mengatur
pelaksanaan penyusunan program pengajaran persemester dan persiapan
pelajaran, mengatur pelaksanaan penyusunan program kurikuler dan
ekstrakurikuler, mengatur pelaksanaan penilaian, membuat laporan kemajuan
belajar siswa, mengatur usaha perbaikan dan pengayaan pengajaran. 93
91
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator
SEN Unit di Madania, 22-7- 2010.
92
Modifikasi dapat dilakukan dengan cara modifikasi alokasi waktu, modifikasi
isi/materi, modifikasi proses belajar-mengajar, modifikasi sarana-prasarana, modifikasi
lingkungan belajar, dan modifikasi pengelolaan kelas. Lihat Direktorat Pembinaan Sekolah Luar
Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan Inklusif, 4-5.
93
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania,
22-7- 2010.
88
94
Dalam pelaksanaannya, manajemen keuangan menganut asas pemisahan tugas antara
fungsi Otorisator, Ordonator dan Bendaharawan. Otorisator adalah pejabat yang diberi
wewenang untuk mengambil tindakan yang mengakibatkan penerimaan dan pengeluaran
anggaran. Ordonator adalah pejabat yang berwenang melakukan pengujian dan memerintahkan
pembayaran atas segala tindakan yang dilakukan berdasarkan otorisasi yang telah ditetapkan.
Bendaharawan adalah pejabat yang berwenang melakukan penerimaan, penyimpanan, dan
pengeluaran uang serta diwajibkan membuat perhitungan dan pertanggungjawaban. Lihat
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan Inklusif, 6.
89
95
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, 99.
96
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis (Jakarta: Kencana, 2007), 26-27.
91
97
J. Drost, Dari KBK sampai MBS (Jakarta: Kompas, 2006), 7.
98
H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, (Jakarta: Kompas, 2005), 117-118.
99
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, 28.
92
100
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, 28-31.
101
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, 31-32.
102
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan
Inklusif, 6.
93
103
Thomas Lickona, Educating for Character How Our School Can Teach Respect
and Responsibility (New York: Bantam Books, 1992), 45.
104
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator
SEN Unit di Madania, 30-4- 2010.
105
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator
SEN Unit di Madania, 30-4- 2010.
94
109
Tingkat konsentrasi siswa berkebutuhan khusus sangat rendah sekali. Ketika proses
belajar mengajar sedang dilaksanakan, mereka akan cepat beralih konsentrasinya apabila
mendengar suara-suara dari luar ruangan belajarnya. Berdasarkan wawancara dengan Bapak
Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4- 2010.
96
Sedangkan pada model kurikulum Individual atau disebut juga IEP, guru
mempersiapkan IEP yang dikembangkan bersama tim pengembang yang
melibatkan guru kelas, guru SEN Unit, guru pendamping, orang tua, psikolog
dan tenaga ahli lain yang terkait. Model ini diperuntukan bagi siswa yang
mempunyai hambatan secara akademik pada 70-90% mata pelajaran dan tidak
memungkinkan untuk mengikuti proses belajar berdasarkan kurikulum reguler.
Siswa berkebutuhan khusus seperti ini dapat dikembangkan potensi belajarnya
dengan menggunakan IEP dalam setting kelas reguler, sehingga mereka bisa
mengikuti proses belajar sesuai fase perkembangan dan kebutuhannya. 113
110
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16.
111
Program Pendidikan Individual (Individualized Education Program) di Indonesia
belum banyak dikenal. Untuk pertama kalinya bentuk pelayanan ini diperkenalkan dalam
lokakarya yang diselenggarakan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
bekerjasama dengan UNESCO pada tanggal 21-30 Oktober 1992 di Jakarta. Lokakarya dihadiri
oleh semua kepala bidang SD dari semua Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dari 27 Provinsi di Indonesia. Lihat Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak
Berkesulitan Belajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 55.
112
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16.
113
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16.
97
114
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan
Inklusi (Klaten:PT Insan Sejati Klaten, 2009), 58-59.
98
115
EA. Polloway & Patton JR., Strategies for Teaching Learners with Special Needs
(New York: Macmillan, 1993), 41-45.
116
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, 59.
117
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan, 139.
118
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan, 139.
99
Kesimpulan dari bukti-bukti yang ditunjukkan pada bab ini yaitu bahwa
kurikulum yang sesuai dengan siswa berkebutuhan khusus adalah kurikulum
yang dapat mengakomodasi kekhususan karakteristik siswa yang berbeda-beda.
Disamping itu, kurikulum juga harus mengacu pada apa yang dapat dilakukan
siswa, dan bukan memandang pada kelainan yang disandangnya.
D. Kompetensi Pendidik yang Dibutuhkan
Kompetensi pendidik merupakan hal penting untuk diperhatikan dalam
pengelolaan pendidikan inklusi. Pendidik merupakan aktor kunci dalam proses
pendidikan inklusi sehingga sangat menentukan tingkat keberhasilannya. Untuk
itu, kompetensi pendidik harus tetap dijamin kesesuaiannya dan terus
ditingkatkan profesionalitas kompetensinya.
Istilah kompetensi mengandung pengertian pemilikan pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan tertentu.119
Kompetensi dimaknai pula sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai
dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir, dan bertindak. Kompetensi
dapat pula dimaksudkan sebagai kemampuan melaksanakan tugas yang
diperoleh melalui pendidikan dan/atau latihan. 120 Dengan demikian, dapat
dinyatakan bahwa kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan dan
keterampilan yang harus dimiliki oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya.
Pengetahuan dan keterampilan tersebut dapat diperoleh dari pendidikan pra-
jabatan dan/atau latihan.121
Dalam bidang keguruan, kompetensi mengajar dapat dikatakan
merupakan kemampuan dasar yang mengimplikasikan apa yang seharusnya
dilaksanakan guru dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi yang dimiliki
oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Seorang
guru, di samping senantiasa dituntut untuk mengembangkan pribadi dan
119
Supriyoko, Mengembangkan Kompetensi Kepribadian Guru Indonesia. http://journal.
amikom.ac.id /index.php/Koma/article/viewArticle/2509 (diakses 23-7-2010).
120
Supriyoko, Mengembangkan Kompetensi Kepribadian Guru Indonesia. http://journal.
amikom.ac.id.
121
Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan
dalam Pendidikan Inklusif ( Jakarta, 2006), 5-6.
100
profesinya secara terus menerus, juga dituntut mampu dan siap berperan secara
professional dalam lingkungan sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, seorang
guru harus mampu mengembangkan tiga aspek kompetensi bagi dirinya, yaitu:
kompetensi pribadi, kompetensi profesi, dan kompetensi kemasyarakatan. 122
Kompetensi pribadi seorang guru ditandai dengan memiliki sikap
kepribadian yang mantap atau matang sehingga mampu berfungsi sebagai tokoh
identitas bagi siswa, serta dapat menjadi panutan bagi siswa dan masyarakatnya.
Ciri kompetensi profesi guru adalah memiliki pengetahuan yang luas dalam
mata pelajaran yang diajarkan, serta menguasai metodologi pengajaran, baik
teoritis maupun praktis. Sedangkan kompetensi kemasyarakatan/sosial guru
ditandai dengan kemampuannya membangun komunikasi yang efektif dengan
lingkungan sekitarnya, termasuk dengan para siswa, teman sejawat, atasan,
dengan pegawai sekolah, dan dengan masyarakat luas.123
Kompetensi profesi guru di Indonesia yang dikenal dengan istilah 10
Kompetensi Guru adalah menguasai bahan, mengelola program belajar
mengajar, mengelola kelas, menggunakan media/sumber, menguasai landasan-
landasan kependidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai prestasi
siswa, mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan,
mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan memahami prinsip-
prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan.124
Standar pendidik dan tenaga kependidikan berdasarkan Standar Nasional
Pendidikan bab VI pasal 28 adalah harus memiliki kualifikasi akademik yaitu
122
Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan
dalam Pendidikan Inklusif, 6.
123
Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan
dalam Pendidikan Inklusif, 6.
124
Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan
dalam Pendidikan Inklusif, 6. Lihat juga Abd al-Rahma>n al-Nah}la>wi, Us}u>l al-Tarbiyah al-
Isla>mi>yah wa-Asa>li>biha> fi> al-Bayti wa-al-Madrasati wa-al-Mujtama’ (Bairut Libanon
: Da>ru al- Fikri al-Ma’a>s}ir, 1999), 171-176. Kitab ini menjelaskan sifat dan syarat seorang
pendidik yang Islami yaitu: pendidik harus memiliki tujuan dan cara berfikir yang Rabbani,
pendidik harus ikhlas, sabar, jujur, selalu menambah wawasannya, kreatif, menguasai jiwa siswa
dan bersikap tegas, memahami psikologi anak, peka terhadap fenomena kehidupan, serta harus
memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya.
101
tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang
dibuktikan dengan ijazah dan atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Apabila ijazah dan atau sertifikat
keahlian tidak ada tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan
dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan.
Disamping Kualifikasi akademik, pendidik juga harus sehat jasmani dan rohani,
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, serta
memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi
sosial.125
Kompetensi Pedagogik adalah kemampuan pengelolaan peserta didik
yang meliputi pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman
terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum/silabus, perancangan
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, evaluasi
hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi Kepribadian adalah kepribadian
guru sebagai pendidik yang memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa,
arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta
didik dan masyarakat, mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri
secara berkelanjutan.126
Kompetensi Profesional adalah memahami tugas-tugas serta hal-hal yang
berkaitan dengan tugas-tugas tersebut secara lebih mendalam. Dan Kompetensi
Sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk
mampu berkomunikasi secara lisan dan tulisan, menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan
peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua atau wali peserta
didik, dan bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.127
125
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
126
Saliman, Standar Kompetensi Guru. http://www.slideshare.net/guestc6f390/standar-
kompetensi-guru (diakses 21-8-2010).
127
Saliman, Standar Kompetensi Guru. http://www.slideshare.net.
102
128
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
129
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator
SEN Unit di Madania, 30-4- 2010.
103
Selain dibantu oleh guru pendamping, guru di Madania juga dibantu oleh
siswa-siswa normal lainnya yang ada di kelas yang berperan sebagai peer
tutoring yaitu siswa sebagai tutor. Mereka dijadikan model dan membagikan
ilmu dan pengalamannya kepada temannya siswa berkebutuhan khusus.133
Dengan cara seperti ini, siswa berkebutuhan khusus merasa dihargai
keberadaannya, sehingga bisa meningkatkan harga dirinya. Sebaliknya bagi
siswa normal lainnya, keadaan temannya yang berkebutuhan khusus diharapkan
dapat dijadikan pelajaran untuk banyak mensyukuri keberadaannya yang normal.
Disamping itu, mereka diharapkan dapat belajar tentang perbedaan individu dan
bagaimana menyikapinya dengan cara menunjukkan sikap toleransi.
130
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 8.
131
Untuk menunjang dan menjaga agar one to one teaching yang dilakukan guru SEN
Unit sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa, maka dilakukan observasi pengajaran
secara terjadwal dan on the spot. Hasil observasi dijadikan dasar penilaian untuk periode
mendatang dan untuk perbaikan dan peningkatan cara pengajaran guru SEN Unit sesuai yang
diharapkan. Lihat Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 9.
132
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 44-45.
133
Mereka biasanya membantu dalam proses sosialisasi siswa berkebutuhan khusus di
kelas. Pada kasus tertentu, karena siswa berkebutuhan khusus biasanya mengalami hambatan
untuk beradaptasi dengan temannya yang baru, maka ketika kenaikan kelas dan pembagian kelas
yang baru, siswa berkebutuhan khusus biasanya ditempatkan kembali dengan beberapa temannya
yang sudah dia kenali, dengan memperhatikan aspek agama dan gender. Berdasarkan
wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, 30-4-
2010.
104
Selain dibantu oleh guru pendamping, guru juga dibantu oleh tenaga ahli
di bidang penanganan siswa berkebutuhan khusus yang bernaung di bawah SEN
Unit. Guru-guru di SEN Unit yang sebagiannya berlatar belakang pendidikan
luar biasa bertugas bekerjasama dengan guru dan atau guru pendamping dalam
menangani siswa berkebutuhan khusus agar mereka dapat lebih beradaptasi di
lingkungan sekolah. Mereka juga membuat rancangan IEP yang merupakan
program siswa berkebutuhan khusus di bidang akademis dan non-akademis, dan
melakukan evaluasi secara berkala. Selain itu, mereka membuat IEP final
dengan cara berkoordinasi dengan guru, guru pendamping, dan pihak-pihak yang
terkait antara lain psikolog, terapis, dan orang tua dalam membuat dan
menjalankan IEP. Tugas lainnya adalah membuat laporan tertulis mengenai
program yang dijalankan serta membuat dan mempresentasikan profil siswa
berkebutuhan khusus mengenai program dan hasil pencapaian mereka selama 1
tahun pelajaran pada pihak yang terkait.134
Untuk mendukung supaya program inklusi bisa sukses yaitu dengan
membuat pelatihan yang dirancang untuk melengkapi gaya mengajar guru.
Pelatihan ditujukan pada pengajaran yang koperatif, kurikulum berbasis
penilaian, teknik-teknik manajemen perilaku, kecerdasan ganda, membangun
kepercayaan dan mencari jalan keluar dari konflik. Kesuksesan program inklusi
juga akan tercapai bila guru melakukan studi banding terhadap satuan
pendidikan lain yang program inklusinya sukses. Kesuksesan program inklusi
juga tercapai apabila didukung oleh sebuah tim professional, dukungan
administratif, organisasi dan aturan yang fleksibel, serta seluruh stakeholder
sekolah konsensus pada nilai-nilai yang mendukung inklusi.135
Perbedaan karakteristik setiap siswa berkebutuhan khusus, memerlukan
kemampuan guru berkaitan dengan cara mengkombinasikan kemampuan dan
bakat setiap siswa dalam kemampuan berpikir, melihat, mendengar, berbicara
dan bersosialisasi yang ditujukan pada tujuan akhir pembelajaran. Kemampuan
134
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 8.
135
David Auxter, Jean Pyfer, Carol Huettig, Principles and Methods of Adapted
Physical Education and Recreation (New York: Mc Graw-Hill, 2005), 164.
105
guru semacam ini mempunyai tujuan pembelajaran yang diarahkan kepada hasil
akhir berupa kemandirian setiap siswa untuk dapat hidup dan menghidupi diri
pribadinya tanpa bantuan khusus dari orang-orang sekitarnya dalam kehidupan
nyata setelah siswa bersangkutan selesai menyelesaikan program-program
pembelajaran di sekolah. Hasil akhir dari program pembelajaran semacam ini
secara konseptual adalah mengarahkan para siswa berkebutuhan khusus untuk
mampu berperilaku sesuai dengan lingkungannya atau berprilaku adaptif.
Perilaku adaptif diartikan sebagai suatu kemampuan peserta didik untuk dapat
mengatasi secara efektif terhadap keadaan-keadaan yang tengah terjadi dalam
masyarakat lingkungannya. Perilaku adaptif secara khusus merupakan
kemampuan berperilaku merespon tuntutan lingkungan.136
Dengan demikian, kemampuan guru dalam memahami karakteristik
siswa berkebutuhan khusus, dan membuat serta melaksanakan program layanan
pendidikan yang disesuaikan dengan kekhususannya, akan sangat menentukan
keberhasilan program pendidikannya. Oleh karena itu, kompetensi pendidik di
sekolah inklusi harus terus ditingkatkan melalui berbagai pendidikan dan
pelatihan untuk menambah wawasannya sehingga dapat memberikan layanan
yang terbaik untuk siswa berkebutuhan khusus.
136
Polloway, EA. & Patton JR., Strategies for Teaching Learners with Special Needs
(New York: Macmillan, 1993), 70-71.
137
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, 286.
106
141
Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, 23-24.
142
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
109
143
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: Rosda,
2003), 3-4.
110
144
Apabila besarnya dana yang dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan itu dihitung
dari Total Government Expenditure (TGE), yang di negara kita disebut Anggaran Pendapatan
dan Belanja negara (APBN), hasilnya sama saja. Dari catatan UNDP dalam Human Development
Report 2004, dana yang dialokasi untuk pembiayaan pendidikan di Indonesia selama periode
1999-2001 hanya 9,8 persen dari TGE. Sebagai perbandingan Malaysia sudah mengalokasi dana
untuk membiayai pendidikan sebesar 20 persen dari TGE. Lihat Tonny D. Widiastono, ed,
Pendidikan Manusia Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), 426.
145
Tonny D. Widiastono, ed, Pendidikan Manusia Indonesia, 433.
111
Dalam teori dan praktik pembiayaan pendidikan, baik pada tataran makro
maupun mikro, dikenal beberapa kategori biaya pendidikan, yaitu: biaya
langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost) , biaya pribadi
(private cost) dan biaya sosial (social cost), biaya dalam bentuk uang (monetary
148
cost) dan bukan uang (non-monetary cost). Biaya langsung adalah segala
pengeluaran yang secara langsung menunjang penyelenggaraan pendidikan.
Biaya tidak langsung adalah pengeluaran yang tidak secara langsung menunjang
proses pendidikan tetapi memungkinkan proses pendidikan tersebut terjadi di
sekolah, misalnya biaya hidup siswa, biaya transportasi ke sekolah, biaya jajan,
biaya kesehatan, dan harga kesempatan (opportunity cost). Biaya pribadi adalah
pengeluaran keluarga untuk pendidikan atau dikenal juga pengeluaran rumah
tangga (household expenditure). Biaya sosial adalah biaya yang dikeluarkan oleh
146
Indonesia termasuk negara berkembang berdasarkan pencapaian Indek Pembangunan
Manusia (Human Development Index) versi UNDP. Dalam konteks ini, negara-negara belum
maju ialah negara-negara yang pencapaian HDI –nya kurang dari 0,500. Negara berkembang
adalah negara-negara yang pencapaian HDI nya antara 0,500 hingga 0,799. Dan negara-negara
maju adalah negara-negara yang pencapaian HDI- nya minimal 0,800. Lihat Tonny D.
Widiastono, ed, Pendidikan Manusia Indonesia, 420.
147
Indonesia tertinggal dari tetangga-tetangganya seperti Australia, Singapura, Brunei
Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina, yang masing-masing sudah berada di urutan 3, 25,
33, 58, 76, dan 83. Tetangga kita yang terdekat seperti Malaysia pada sekitar tahun 1980 an yang
lalu, kinerja pendidikannya lebih buruk dari Indonesia sehingga ia banyak belajar dan berguru ke
Indonesia. Malaysia minta disuplai konsultan pendidikan dari Indonesia, dan banyak
mengirimkan pemuda untuk belajar di Indonesia. Sekarang sudah berbalik, justru kinerja
pendidikan Malaysia lebih baik dari Indonesia, sehingga tidak banyak lagi guru dan konsultan
Indonesia yang dikirim kesana. Lihat Ridjaluddin, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta:
PKI FAI UHAMKA, 2008), 110-111.
148
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, 4. Lihat juga M.I.
Anwar dalam “Biaya Pe ndidikan dan Metode Penetapan Biaya Pendidikan”, Mimbar
Pendidikan, No. 1 tahun X, 1991, 28-33.
112
masyarakat untuk pendidikan, baik melalui sekolah maupun melalui pajak yang
dihimpun oleh pemerintah kemudian digunakan untuk membiayai pendidikan.
Biaya yang dikeluarkan pemerintah pada dasarnya termasuk biaya sosial. 149
Indonesia masih terbatas , hanya siswa yang berasal dari kalangan menengah ke
atas saja yang dapat mengaksesnya. Dalam konteks negara sebagai penanggung
jawab dalam layanan pendidikan untuk semua warga apalagi warga yang tidak
berdaya, maka kondisi ini bertolak belakang dengan maksud diselenggarakannya
pendidikan inklusi yaitu untuk memperluas akses pendidikan bagi siswa
berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu, pendidikan inklusi di Madania selama ini hanya
melayani siswa berkebutuhan khusus dari orang tua yang siap bisa diajak
bekerjasama dalam menutupi seluruh kebutuhan biaya operasional pendidikan.
Di sana biaya operasional pendidikannya masih mengandalkan kontribusi dari
orang tua siswa dan belum bisa mengandalkan bantuan dari pihak luar seperti
pemerintah152 atau dunia usaha lainnya. Khusus untuk kepentingan pembiayaan
program khusus untuk siswa berkebutuhan khusus, Madania melakukan sharing
pembiayaan dengan perbandingan 30% : 70%. Pihak sekolah menyediakan
pembiayaan 30% sementara pihak orang tua menyediakan 70%. Sebagai contoh
dalam penyusunan IEP dan program-progam khusus lainnya untuk siswa
berkebutuhan khusus misalkan 70% dari semua biaya operasionalnya
ditanggung oleh orang tua siswa, termasuk penyediaan tenaga ahli psikolog dan
untuk guru pendamping (aide teacher). Bahkan jika waktu pertemuan dalam
rangka pembuatan IEP melebihi jam kerja sekolah, maka biaya transportasi
guru-guru yang terlibat masuk dalam pembiayaan ini yang disesuaikan dengan
kebutuhan. 153
Berdasarkan bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa pembiayaan
pendidikan inklusi di Indonesia masih harus mendapatkan perhatian lebih serius
dari pemerintah sehingga bisa memberikan kesempatan yang lebih luas pada
semua siswa berkebutuhan khusus untuk mengakses pendidikannya. Sampai saat
152
Sejak dimulainya pendidikan inklusi tahun 1998, Madania baru sekali mendapatkan
dana bantuan Block Grand dari pemerintah pada tahun 2009 lalu. Dana bantuan tersebut
diperuntukkan untuk biaya operasional dan sarana prasarana penyelenggaraan pendidikan
inklusi. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN
Unit di Madania, 22-7- 2010.
153
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 21 dan penjelasan dari
Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, pada 22-7-2010.
115
116
maksudnya adalah sebuah model pembelajaran berbasis kompetensi2 anak
dengan mengembangkan lingkungan belajar terpadu dari peserta didik
bersangkutan dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum dan khusus. Dengan
kata lain dalam proses pembelajaran, teknik, metode, dan strategi guru mengajar
disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa berkebutuhan khusus.
Dengan memperhatikan kemampuan dan potensinya tersebut diharapkan siswa
berkebutuhan khusus memiliki pemahaman yang baik terhadap materi yang
diajarkan guru di dalam kelas.
Model pembelajaran ini dapat diterapkan dengan efektif melalui
perubahan atau penyesuaian antara kemampuan belajar siswa dengan
harapan/target, alokasi waktu, penghargaan/hadiah, tugas-tugas/pekerjaan, dan
bantuan yang diberikan pada anak-anak dari masing-masing kelompok yang
beragam, meskipun mereka belajar dalam satu kelas, dengan tema dan mata
pelajaran yang sama. Misalnya, harapan atau target belajar shalat fardu untuk
anak kelas 7 adalah mampu memahami syarat dan rukun shalat serta
mempraktekkan shalat dengan baik dan benar. Untuk siswa yang membutuhkan
tingkat layanan sedang, target belajar shalat fardhu hanya sampai mampu
mempraktekkan saja. Sedangkan untuk siswa yang membutuhkan tingkat
layanan berat, lebih banyak memfokuskan pada keunggulan visual thinkingnya
(pemahaman konsep melalui pengamatan dengan bantuan gambar, kode, label,
simbol atau film dan sebagainya).
Jadi proses layanan pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus
bukan didasarkan pada bentuk layanan sama rata, sama rasa dan disampaikan
model pembelajaran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu model tradisional yang berpusat
pada guru dan model konstruktivis yang berpusat pada peserta didik. Lihat Richard Arends,
Learning to Teach (New York: McGraw-Hill, 2001), 76.
2
Kompetensi adalah kemampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara konsisten
sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki peserta didik. Lihat
Permen 23 tahun 2005 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Senada dengan definisi tersebut
adalah definisi yang diungkapkan dalam Standar Nasional Kurikulum Pendidikan Keagamaan
yang mendefinisikan kompetensi dengan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang
direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan-kebiasaan itu harus mampu
dilaksanakan secara konsisten dan terus menerus, serta mampu untuk melakukan penyesuaian
dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan, baik profesi, keahlian, maupun
lainnya.. Lihat Mapenda, Standar Nasional Kurikulum Pendidikan Keagamaan (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2003), 7.
117
secara klasikal, tetapi diarahkan pada pembelajaran yang lebih demokratis dan
proporsional sesuai dengan harapan dan target belajar dari masing-masing
kelompok siswa tersebut, dan proses belajar siswa tersebut tidak dipisahkan
berdasarkan kelompok atau dipisahkan dari komunitasnya, melainkan mereka
belajar bersama-sama dengan teman sebayanya di dalam kelas reguler. Apabila
program dan proses belajar siswa disesuaikan dengan keberagaman dari setiap
kelompok tersebut, maka semua siswa dalam kelas yang sama itu dapat
mengikuti proses belajar sesuai dengan porsinya masing-masing.
Pemahaman siswa berkebutuhan khusus juga sangat ditentukan oleh
kondisi lingkungan belajarnya. Lingkungan belajar yang inklusif sebagai ciri
dari sekolah inklusi akan lebih memudahkan mereka untuk bersosialisasi dan
dapat mengembangkan harga dirinya yang membuat mereka bisa lebih terbuka
menerima masukan dari orang lain termasuk pelajaran yang diberikan oleh guru.
3
Pembelajaran merupakan kegiatan yang menggunakan teknik, metode, dan strategi
yang sistematik untuk mengkreasi perpaduan yang ideal antara kurikulum dan peserta didik
secara sistematik. Lihat Depdiknas, Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri
/Sekolah Standar Nasional (Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Dirjen
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2008). 6.
118
keterarahan, hubungan sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi,
menemukan, dan prinsip pemecahan masalah. Sedangkan prinsip-prinsip khusus
disesuaikan dengan karakteristik khusus dari setiap penyandang kelainan. 4
4
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan
Inklusi (Bandung : Refika Aditama, 2006),154. Lihat juga Tim Pengembang Ilmu Pendidikan,
Ilmu & Aplikasi Pendidikan Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis (Bandung: Imperial Bhakti
Utama, 2007), 66. Dan lihat juga Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kegiatan Belajar
Mengajar di Sekolah Inklusif (Jakarta: Ditpslb, 2006), 3-9.
5
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah
Inklusif, 3.
6
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah
Inklusif, 3.
119
setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan
perlakuan yang sesuai. Prinsip menemukan maksudnya guru perlu
mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk
terlihat secara aktif baik fisik, mental, sosial, dan/atau emosional. Sedangkan
prinsip pemecahan masalah maksudnya adalah guru hendaknya sering
mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar, dan
anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan
memecahkannya sesuai dengan kemampuan.7
Adapun yang dimaksud dengan prinsip khusus adalah prinsip
pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik khusus dari setiap
penyandang kelainan. Contohnya untuk anak tunanetra diperlukan prinsip
kekongkritan, prinsip pengalaman yang menyatu, dan prinsip belajar sambil
melakukan. Untuk peserta didik tunarungu diperlukan prinsip keterarahan wajah.
Peserta didik yang tunalaras diperlukan prinsip-prinsip kebutuhan dan keaktifan,
kebebasan yang mengarah, pemanpaatan waktu luang dan kompensasi,
kekeluargaan dan kepatuhan kepada orang tua, setia kawan dan idola serta
perlindungan, minat dan kemampuan, disiplin, serta kasih sayang.8
Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dalam proses belajar mengajar
adalah tujuan pembelajaran berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi yaitu:
Pertama, agar dapat menghasilkan individu yang mampu melakukan kegiatan
sehari-hari tanpa bantuan orang lain melalui kemampuan dirinya dalam
menggunakan persepsi, pendengaran, penglihatan, taktil, kinestetik, fine motor
dan gross motor. Kedua, agar dapat menghasilkan individu yang mempunyai
kematangan sosial. Ketiga, menghasilkan individu yang mampu
bertanggungjawab secara pribadi dan sosial. Keempat, agar dapat menghasilkan
individu yang mempunyai kematangan untuk melakukan penyesuaian diri dan
penyesuaian terhadap lingkungan sosial. 9
7
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah
Inklusif, 3-4.
8
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, Ilmu & Aplikasi Pendidikan, 66.
9
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, 156.
120
Berdasarkan tujuan pembelajaran tersebut, sekalipun siswa berkebutuhan
khusus kondisinya berbeda dengan siswa lain pada umumnya, ternyata
kurikulum berbasis kompetensi mengakomodasi segala potensi positif yang
dimiliki mereka untuk kemudian diarahkan ke arah pencapaian kompetensi
tertentu. Oleh karena itu menjadi tugas pendidiklah di sekolah untuk bisa
membimbingnya menuju penguasaan kompetensi sesuai potensi yang
dimilikinya. Pendidik yang dalam hal ini adalah guru harus mampu menentukan
materi, metode, alat, evaluasi serta strategi pengajaran yang sesuai dengan
kondisi mereka.
Strategi pengajaran yang dimaksud adalah kegiatan yang dipilih oleh
guru dalam proses belajar mengajar, yang dapat memberikan kemudahan atau
fasilitas kepada siswa menuju kepada tercapainya tujuan pembelajaran tertentu
yang telah ditetapkan.10 Menurut Dick dan Corey, strategi pembelajaran terdiri
atas semua komponen materi pengajaran dan prosedur yang akan digunakan
untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu.
Sedangkan menurut Ormrod, strategi pembelajaran meliputi semua aktifitas
yang merupakan aspek-aspek penting dalam pengajaran yang efektif dan
berdampak pada pembelajaran dan prestasi optimal siswa di kelas.11
10
Depdikbud , Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar B, buku III C,
Teknologi Intruksional (Jakarta: Dirjen Dikti, 1983), 7.
11
J.E. Ormrod, Educational Psychology: Developing Learners. Sixth Edition (New
Jersey: Pearson Education, Inc, 2008), 487.
12
J.E. Ormrod, Educational Psychology, 493.
13
G.P. Cartwright-Cartwright, C.A. Cartwright & M.E.Ward. Educating Special
Learners (California: Wads Worth Publishing Company, 1984), 123.
121
Sedangkan prinsip-prinsip dalam pemilihan strategi pengajaran siswa
berkebutuhan khusus harus memperhatikan tipe kecacatan dan tingkat keparahan
anak. Pada umumnya keadaan kecacatan antara anak yang satu dengan anak
yang lain tidak sama. Maka strategi pembelajaran untuk mengajar siswa
berkebutuhan yang satu berbeda dengan yang digunakan untuk mengajar siswa
berkebutuhan khusus yang lain. Contohnya, untuk anak yang cacat fisik, kita
tidak bisa mengharapkan anak tersebut berpartisipasi secara rutin dalam semua
aspek dari program pendidikan olah raga standar.14
Prinsip-prinsip dalam pemilihan strategi pengajaran siswa berkebutuhan
khusus lainnya yaitu harus memperhatikan juga tingkatan usia anak agar strategi
pengajaran benar-benar sesuai dengan kondisi anak. Contohnya, bagi anak-anak
yang tingkatan usianya muda dengan kecacatan yang berbeda-beda, maka
metode ceramah tidaklah tepat, tetapi akan lebih tepat jika digunakan metode
demonstrasi dan pendekatan individual.15
14
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 31-32.
15
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 32.
16
Penyebab semakin meningkatnya jumlah anak berkebutuhan khusus di negara maju
cukup rumit dan berkaitan dengan perubahan-perubahan di bidang ekonomi dan sosial, antara
lain: banyaknya anak dan ibu yang hidup dalam kemiskinan, kekurangan gizi, berada dalam
kondisi lingkungan yang menjurus terjangkit penyakit dan kelainan lain; banyaknya bayi yang
lahir dari ibu yang berusia muda remaja); yang masa pra natalnya kurang perawatan; kelahiran
bayi prematur dengan berat yang kurang; disamping pencemaran lingkungan yang secara sosial
maupun kimiawi semakin meningkat dan anak-anak yang terlantar serta diperlakukan kasar oleh
lingkungan. Lihat Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus,
33.
122
mencapai tujuan pembelajaran. Tidak ada satu strategi pembelajaran umum yang
paling baik untuk mencapai semua kegiatan pembelajaran, karena strategi
pembelajaran yang paling baik dan berhasil digunakan untuk mencapai suatu
tujuan pembelajaran tertentu bagi seseorang atau sekelompok siswa, belum tentu
tepat atau baik digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran pada seseorang
atau sekelompok siswa dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Begitu juga
pada siswa berkebutuhan khusus yang berbeda tingkat dan tipe kecacatannya.
Siswa berkebutuhan khusus biasanya memperoleh pendidikan di berbagai
setting, karena lingkungan pendidikan bagi semua siswa berkebutuhan khusus
lebih bervariasi jika dibandingkan dengan pendidikan pada siswa normal. Tidak
ada satupun setting tunggal yang dapat digunakan untuk semua siswa
berkebutuhan khusus yang sama. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
pemilihan strategi dalam pengajaran harus mempertimbangkan kondisi anak
didik.17
Berdasarkan hasil tes kematangan sekolah, siswa berkebutuhan khusus di
Madania dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: reguler, reguler modifikasi dan
individual. Siswa berkebutuhan khusus yang termasuk dalam kelompok reguler
adalah siswa yang tidak mempunyai hambatan secara akademik 0-50% mata
pelajaran. Siswa kelompok reguler ini dapat mengikuti semua kurikulum reguler
kelas tanpa modifikasi tapi diperkenankan untuk diterjemahkan. Mereka mampu
menerima pelajaran secara klasikal. Tingkat kebutuhan pelayanan kelompok ini
termasuk ringan. Akan tetapi apabila pihak Madania dan atau orang tua melihat
adanya kebutuhan pendampingan, maka siswa dapat didampingi oleh guru
pendamping (aide teacher) pada saat proses belajar mengajar di dalam kelas.
Ketentuan belajar untuk kelompok ini adalah siswa belajar 90-100% di kelas dan
belajar individual 0-10% dengan guru SEN Unit.18
Siswa berkebutuhan khusus yang termasuk dalam kelompok reguler
modifikasi adalah siswa yang mempunyai hambatan secara akademik 50-70%
17
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 31.
18
Educational Support Department, Handbook 2009-2011 ( Bogor: Madania, 2009),
16-17.
123
mata pelajaran. Siswa kelompok reguler modifikasi ini dapat mengikuti semua
kurikulum reguler kelas dan modifikasi kurikulum. Dengan demikian, ada mata
pelajaran tertentu yang dapat diikuti dengan penuh tanpa modifikasi, dan ada
pula mata pelajaran yang dimodifikasi. Mereka mampu menerima 50-70%
pelajaran secara klasikal. Tingkat kebutuhan pelayanan kelompok ini termasuk
sedang. Akan tetapi apabila pihak Madania dan atau orang tua melihat adanya
kebutuhan pendampingan, maka siswa dapat didampingi oleh guru pendamping
(aide teacher) pada saat proses belajar mengajar di dalam kelas. Ketentuan
belajar untuk kelompok ini adalah siswa belajar 80-90% di kelas dan belajar
individual 10-20% dengan guru SEN Unit atau guru remedial. 19
Siswa berkebutuhan khusus yang termasuk dalam kelompok individual
adalah siswa yang mempunyai hambatan secara akademik 70-90% mata
pelajaran. Siswa kelompok individual ini tidak menggunakan kurikulum reguler
maupun reguler modifikasi, tetapi menggunakan kurikulum yang disesuaikan
dengan kemampuannya. Dengan demikian, mereka mengikuti pelajaran dengan
program individual. Tingkat kebutuhan pelayanan kelompok ini termasuk berat,
oleh karenanya mereka memerlukan pendampingan dari guru pendamping (aide
teacher) pada saat proses belajar mengajar di dalam kelas. Ketentuan belajar
untuk kelompok ini adalah siswa belajar 70-80% di kelas dan belajar individual
20-30% dengan guru SEN Unit atau guru remedial.20
Kegiatan belajar mengajar pendidikan agama Islam untuk siswa
berkebutuhan khusus di Madani dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
integrated in the regular classroom, one to one teaching, small group, program
khusus, dan therapy. 21 Kegiatan belajar mengajar yang integrated in the regular
classroom adalah kegiatan belajar mengajar dimana siswa berkebutuhan khusus
belajar bersama siswa-siswa lainnya yang normal dalam satu kelas. Pada saat
belajar, siswa berkebutuhan khusus bisa melakukannya dengan mandiri ataupun
19
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16-17.
20
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16-17.
21
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 22-23.
124
dengan pendampingan (didampingi aide teacher) tergantung tingkat
keparahannya.
Metode pembelajaran yang dipakai oleh guru di kelas inklusi sangat
bervariasi supaya materi pelajaran lebih mudah diterima oleh siswa yang
heterogen. Misalnya untuk materi sejarah, guru memberikan tugas kelompok
untuk mencari materi sejarah Bani Umayah dan Bani Abbasiyah melalui
internet, maka siswa berkebutuhan khusus dilibatkan secara aktif untuk ikut
mencari materi tersebut dengan memanfaatkan media komputer. Sekalipun
mereka punya keterbatasan, ternyata di bawah bimbingan guru mereka mampu
menemukan materi sejarah tersebut. Walaupun untuk menyusun materi tersebut
dalam bentuk makalah mereka kurang mampu melakukannya, tapi ketika
presentasi di depan kelas, siswa berkebutuhan khusus dilibatkan kembali untuk
tampil walaupun hanya sekedar untuk membaca saja. 22
Mengenai penilaian untuk tugas kelompok tersebut, menurut Ibu Sabit,
penilaian terhadap kemajuan hasil belajar siswa merupakan penilaian
kemampuan individu setiap peserta didik meskipun kegiatan belajar-mengajar
dilakukan secara kelompok. Sedangkan penilaian kelompok dilakukan apabila
penilaian tersebut dirancang untuk mengetahui kemampuan dan kemajuan
belajar/ hasil kerja kelompok.23
Kegiatan belajar mengajar yang one to one teaching adalah kegiatan
belajar mengajar dimana siswa berkebutuhan khusus belajar secara individual di
ruang SEN Unit atau ruangan lain. Materi yang diajarkan adalah materi
akademik, materi non akademik ataupun pendalaman materi yang biasanya
disampaikan oleh guru SEN, guru kelas, guru mata pelajaran, ataupun guru
pendamping. Kegiatan belajar secara individual dilakukan sebanyak 10% dari
keseluruhan jumlah pertemuan untuk kelompok reguler, 20% dari keseluruhan
jumlah pertemuan untuk kelompok reguler modifikasi, dan 30% dari
22
Pembelajaran PAI di kelas 8 di bawah bimbingan Ibu Sabit Qolbi Khoiriyah, S.Ag,
guru PAI di Madania pada 26-5-2010.
23
Berdasarkan wawancara dengan Ibu Sabit Qolbi Khoiriyah, S.Ag, guru PAI di
Madania pada 26-5-2010.
125
keseluruhan jumlah pertemuan untuk kelompok individual. Sebagaimana
dicontohkan oleh Bapak Hakim bahwa apabila jumlah jam pelajaran dalam satu
minggu ada 40 jam, maka siswa berkebutuhan khusus kelompok reguler akan
belajar 4 jam dalam seminggu di ruang SEN Unit.24
Kegiatan one to one teaching pada materi akademik biasanya dilakukan
dalam rangka menyederhanakan dan memperkuat pemahaman siswa
berkebutuhan khusus terhadap materi pelajaran yang sudah didapat di dalam
kelas. Misalnya untuk siswa kelas 8 yang masuk kelompok individual,
mengingat kemampuannya yang terbatas maka materi tentang shalat
disederhanakan dalam bentuk gambar. Siswa diberi tugas untuk menuliskan
tentang gerakan apa yang ada di dalam gambar tanpa harus menuliskan bacaan
yang dibaca ketika gerakan tersebut dilakukan. Kegiatan ini harus dilakukan
secara berulang sampai siswa betul-betul menguasai materi tersebut.25
Sedangkan untuk materi yang non akademik, dicontohkan oleh Bapak
Mardaih salah seorang guru SEN Unit, misalnya siswa diberi pelajaran
bagaimana menghadapi perubahan hormonal yang terjadi pada dirinya ketika
pubertas. Pengetahuan ini perlu disampaikan dengan alasan sekalipun secara
fisik dan mental mereka mengalami kelainan, tetapi perkembangan
26
psikologisnya berjalan normal.
Kegiatan belajar mengajar small group adalah kegiatan belajar
mengajar dimana siswa berkebutuhan khusus belajar dalam kelompok kecil pada
saat pendalaman materi oleh guru kelas atau guru mata pelajaran. Pendalaman
materi dilakukan untuk memperkuat pemahaman mereka tentang materi yang
sudah diajarkan guru di kelas.
24
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN
Unit di Madania, 30-4-2010.
25
Pengajaran dilakukan oleh Ibu Ninik NR, S.Ag., salah seorang guru PAI di Madania
terhadap siswa yang autis yaitu Ilen pada 5-5-2010.
26
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania,
5-5-2010.
126
kecil dengan satu guru SEN Unit yang bertanggungjawab. Program khusus ini
meliputi: computer skill, cookery, fine & gross motor, bertamu, Bank saving,
shopping, playing,dan brain gym.27 Misalnya untuk kegiatan bertamu, menurut
Bapak Mardaih, materi tentang adab bertamu diberikan pada siswa sambil
dipraktekkan. Kelompok kecil siswa berkebutuhan khusus diajak untuk
mengunjungi salah satu rumah guru di Madania untuk bersilaturahmi sambil
diperkenalkan etika dan sopan santun ketika berkunjung ke rumah orang lain.
Demikian juga dengan kegiatan Bank saving, beberapa siswa diajak untuk
melakukan kegiatan menabung di Bank sambil diberikan penjelasan tentang tata
tertib ketika memasuki Bank dan cara-cara menabung di Bank. 28
27
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 30.
28
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania,
5-5-2010.
29
Educational Support Department, Handbook 2009-2011 , 24-29.
127
langkah-langkah belajar yang akan dilakukan siswa selama proses belajar
mengajar berlangsung. Urutan kegiatan belajar adalah pembukaan/do’a, belajar,
break, belajar, dan do’a/penutup. Sekalipun mereka punya keterbatasan
kemampuan, keterbatasan tingkat konsentrasi, sering minta istirahat keluar dari
kelas ketika belajar, ternyata mereka mampu mengikuti pelajaran seperti siswa-
siswa normal lainnya di dalam kelas.30
Tindakan preventif guru lainnya yaitu dengan menciptakan suasana
belajar yang menyenangkan sehingga siswa berkebutuhan khusus merasa
nyaman di dalam kelas. Motivasi untuk kemajuan belajar siswa juga penting
diberikan oleh guru di setiap kesempatan mengajar, serta memberikan reward
yang telah disepakati oleh tim IEP untuk setiap kemajuan belajar yang mereka
capai.
Pada kondisi-kondisi tertentu ketika guru mata pelajaran tertentu yang
akan memberikan pelajaran pada hari tersebut tidak bisa hadir, maka guru kelas
atau guru SEN Unit harus memberitahukan kepada siswa tentang ketidakhadiran
guru tersebut sejak awal pelajaran dimulai pada hari tersebut. Pemberitahuan
bisa dituliskan di papan tulis untuk kemudian disampaikan secara berulang
supaya dapat dipahami oleh siswa. Pemberitahuan ini dilakukan untuk
menghindari kondisi khusus yang tidak terduga akibat perubahan jadwal yang
mendadak, karena biasanya siswa hanya mau mengikuti pelajaran sesuai dengan
jadwal yang sudah terprogram sebelumnya.31
Tindakan preventif guru lainnya adalah dengan memberikan penjelasan
tentang langkah-langkah penyelesaian tugas dengan rinci dan jelas agar mudah
dipahami. Misalnya siswa diminta untuk menuliskan surat al-fatihah, surat al-
Asri, dan menuliskan nama gerakan shalat yang dipraktekkan dalam gambar.
Maka guru meminta siswa untuk menuliskan surat al-fatihah sampai selesai,
kemudian baru dilanjutkan dengan menulis surat al-asri sampai selesai. Setelah
30
Contoh metode pembelajaran untuk Ilen, siswa kelompok individual yang belajar di
ruang SEN Unit di bawah bimbingan Ibu Ninik NR, S.Ag., guru PAI di Madania, 5-5-2010.
31
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania,
5-5-2010.
128
diselingi istirahat sebentar, siswa diminta melanjutkan belajarnya dengan
menuliskan nama gerakan shalat yang ada pada gambar. Apabila siswa berhasil
mengerjakannya, guru memberikan reward, misalnya dengan mengacungkan
jempol sambil mengatakan bagus. Pemberian reward tidak boleh berlebihan
karena akan menimbulkan kejadian khusus yang tidak terduga.32
32
Contoh langkah penyelesaian tugas untuk Ilen, siswa kelompok individual yang
belajar di ruang SEN Unit di bawah bimbingan Ibu Ninik NR, S.Ag., guru PAI di Madania, 5-5-
2010.
33
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 24-25.
34
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 24-25.
35
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania,
5-5-2010.
129
Penanganan perilaku siswa berkebutuhan khusus pada kondisi biasa di
Madania juga dilakukan oleh guru SEN Unit dan guru pendamping (aide
teacher). Guru SEN Unit dan guru pendamping (aide teacher) selain berusaha
membuka jalur komunikasi bagi siswa berkebutuhan khusus dengan cara
mensosialisasikan karakter mereka dan cara penanganannya kepada semua
komunitas sekolah, juga menyiapkan keperluan belajar siswa sebelum kegiatan
belajar dimulai dan membimbingnya pada saat proses belajar, sehingga siswa
lebih mudah dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru kelas.
Sedangkan pada saat siswa mengerjakan tugas, tugas guru pendampinglah (aide
teacher) yang membimbingnya.36
Selain strategi pembelajaran yang diterapkan khusus di Madania, ada
juga strategi-strategi pembelajaran lainnya sebagaimana diungkapkan oleh
Frieda Mangunsong yaitu: pendidikan remedial dan pendidikan
tambahan/kompensasi (remedial education & compensatory education),
pengajaran langsung (direct instruction), analisis tugas (task analysis),
pengajaran bertahap (sequencing instruction), latihan persepsi motorik
(perceptual motor-training), dan strategi-strategi lainnya.37
36
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 23-25.
37
Strategi lainnya adalah modelling, pengajaran terprogram, permainan edukatif,
pengajaran dengan bantuan dan pengaturan komputer, program holtikultura, terapi musik, gerak
tari dan seni, terapi menunggang kuda, dsb. Lihat Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan
Anak Berkebutuhan Khusus, 43-46.
130
berhasil, maka sebagai gantinya menggunakan huruf Braille untuk
38
mengkompensasikan ketidakmampuannya.
Pengajaran langsung (direct instruction) adalah pengukuran langsung
performansi siswa atas suatu tugas belajar dan pengetahuan program-program
dan prosedur-prosedur pengajaran setiap siswa. Komponen-komponen dalam
pengajaran langsung adalah asesmen, sistematik, pengajaran dan evaluasi.
Langkah-langkah pengajaran langsung adalah: penilaian penampilan siswa,
penentuan tujuan-tujuan, perencanaan sistematik program-program pengajaran
atau pengelolaan, memilih dan menyiapkan bahan-bahan pengajaran, memerinci
prosedur-prosedur pengajaran, dan evaluasi kemajuan siswa.39
Analisis tugas meliputi memecah-mecah tugas belajar ke dalam bagian-
bagian komponennya sehingga kecakapan-kecakapan yang tercakup dalam tugas
bisa diidentifikasi. Pengajaran bertahap merupakan pengajaran yang diurutkan
dari tingkatan yang termudah menuju ke tingkat kecakapan yang lebih tinggi.
Penentuan apakah peserta sudah siap mempelajari tugas baru atau belum
merupakan aspek penting bagi pengurutan pengajaran. Sedangkan latihan
persepsi motorik diperuntukkan untuk mengajar siswa berkebutuhan khusus
ringan yang dipusatkan pada masalah-masalah perseptual mereka yaitu:
kecakapan-kecakapan motorik halus, persepsi bentuk, pengurutan ingatan,
perbedaan visual dan auditif. Misalnya untuk mengajar membaca, guru mula-
mula harus membetulkan dan menyembuhkan masalah-masalah perseptual yang
menjadi penyebab.40
38
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 39.
39
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 40-41.
40
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, 42- 43.
131
memahami intruksi-intruksi verbal atau sulit mengingat serangkaian instruksi-
instruksi verbal. Modelling juga efektif untuk ranah afektif dan psikomotorik.
Misalnya bagi anak yang sukar mengendalikan emosi kemarahannya, maka
diberi model bagaimana cara mengendalikan emosi supaya tidak merugikan
orang lain dan diri sendiri.41
Dalam pendidikan agama Islam, strategi modelling yang dalam hal ini
sama dengan pendidikan melalui keteladanan merupakan pendidikan yang
paling efektif. Apabila para guru telah menjadi teladan yang baik bagi para
siswanya dalam berpegang pada akidah yang benar, berakhlak Islam dan
menghargai kewajiban menuntut ilmu, maka akan lahir generasi terpelajar yang
mempelajari sekaligus mengamalkan, generasi berakhlak sekaligus
berpengetahuan, serta generasi yang akidahnya berakar, akhlaknya baik, dan
perbuatannya berakhlak sempurna.
Akhlak yang baik dan sempurna tidak akan tumbuh tanpa diajarkan dan
dibiasakan.42 Oleh karena itu, ajaran agama, selain sebagai ilmu, secara bertahap
juga harus diikuti secara terus menerus bentuk pengamalannya, baik di sekolah
maupun di luar sekolah dan di lingkungan rumah. Bahan ajar pendidikan agama
yang berupa dasar-dasar agama Islam seperti: wudhu, shalat, puasa, zakat, dan
haji, diberikan dengan cara mengajak siswa untuk mempraktekkan atau
mengamalkan ajaran agama tersebut secara benar dan dibiasakan terus menerus,
bukan sekedar untuk dihapal. Sebagai contoh, wudhu dan shalat dapat dilakukan
secara role playing bukan diceramahkan, tetapi dipraktekkan secara langsung.
132
baik dalam pembelajarannya. Sikap dan pembiasaan yang baik akan dapat
menumbuhkan sikap saling menghormati, menghargai, bekerjasama, dan empati
satu sama lain. Begitu pentingnya pembentukan sikap dan kebiasaan yang baik
sehingga untuk aspek akhlak, Ibu Sabit salah seorang guru pendidikan agama
Islam di Madania memberikan nilai 50% dari keseluruhan nilai pendidikan
agama. 43
Sikap adalah seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu
44
berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu. Dengan
demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan
sebagai pengaruh bawaan (faktor intern) seseorang, serta tergantung pada obyek
tertentu.
Sedangkan sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam
diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar
ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan merupakan integrasi antara
pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan pada diri
seseorang. Sikap keagamaan pada manusia terbentuk oleh dua faktor, yaitu
faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern berupa potensi beragama yang ada
pada diri manusia, sedangkan faktor ekstern berupa bimbingan dan
pengembangan dari lingkungan yang mengenalkan seseorang akan nilai-nilai
dan norma-norma agama yang harus dipatuhi.
Agama menyangkut kehidupan bathin manusia. Oleh karena itu
kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-
sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan
dunia gaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian
munculnya sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.45
133
Pertama, dengan cara pengulangan. Kedua, dengan disengaja dan direncanakan.
Jika melalui pendidikan keluarga pembentukan jiwa keagamaan dapat dilakukan
dengan cara menggunakan cara yang pertama, maka melalui sekolah cara yang
kedua tampaknya akan lebih efektif. 46
Pendidikan agama di sekolah bagaimanapun akan memberi pengaruh
bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Fungsi sekolah dalam kaitannya
dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara lain sebagai pelanjut
pendidikan agama di lingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan
pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Namun
demikian, besar kecilnya pengaruh dimaksud sangat tergantung berbagai faktor
yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab
pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu
pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana membentuk sikap dan
kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa
jauh pengaruh pendidikan agama melalui sekolah terhadap perkembangan jiwa
keagamaan para anak. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young, walaupun
latar belakang pendidikan agama di lingkungan keluarga lebih dominan dalam
pembentukan jiwa keagamaan pada anak, barangkali pendidikan agama yang
diberikan di sekolah ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan pada
anak. 47
Menurut Mc Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap
menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama
adalah dengan adanya perhatian. Pendidikan agama yang diberikan harus dapat
menarik perhatian peserta didik. Oleh karenanya, guru agama harus mampu
merencanakan materi, metode serta alat-alat bantu yang memungkinkan anak-
anak memberikan perhatiannya. Kedua, adanya pemahaman. Para guru agama
harus mampu memberikan pemahaman kepada siswa tentang materi pendidikan
46
Jalaludin, Psikologi Agama, 206-207.
47
Jalaludin, Psikologi Agama, 206.
134
yang diberikannya. Pemahaman ini akan mudah diserap jika pendidikan agama
yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Dan ketiga adanya
penerimaan. Penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang
diberikan sangat tergantung dari hubungan antara materi dengan kebutuhan dan
nilai bagi kehidupan anak didik.48
Keberhasilan pendidikan agama Islam di sekolah tidak hanya menjadi
tanggungjawab guru agama sebagai motor penggerak pendidikan agama, tetapi
juga menjadi tanggungjawab semua pihak. Oleh karena itu, menjadi tugas semua
pihak untuk meningkatkan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, agar
moral dan akhlak siswa dapat terbentuk dengan baik.
Peran guru bidang studi lain tidak kalah pentingnya dalam mendukung
proses pendidikan agama di sekolah. Mereka juga harus menunjukkan
keteladanan sebagai seorang yang beragama dengan baik, misalnya dengan rajin
melaksanakan ibadah dan berakhlak mulia. Disamping itu, ia dapat juga
memberikan penjelasan tentang makna dari agama dalam berbagai hal yang
berkaitan dengan bidang studinya. Demikian pula dengan kepala sekolah yang
memberikan peran penting keberhasilan pendidikan agama, terutama dalam hal
komitmennya akan pentingnya pendidikan agama serta pemberian keteladanan
sebagai pemeluk agama yang taat dan baik di hadapan anak didik nya.
Keberhasilan pendidikan agama di sekolah juga akan tercapai apabila ada
dukungan dari orang tua di rumah. Orang tua diharapkan menjadi teladan
dalam beribadah dan berakhlak, misalnya dengan mengajak anak sholat
berjamaah di rumah. Demikian juga dengan tokoh masyarakat yang punya peran
dalam pendidikan agama di masyarakat. Aktifitas keagamaan yang menonjol di
masyarakat akan menarik anak untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan tersebut.
48
Djamaludin Ancok, Fuat Nashori, Suroso. Psikologi Islam : Solusi Islam atas
problem-problem Psikologi (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1995), 52.
135
pendidikan agama Islam, guru pendidikan agama Islam bebas menentukan
strategi yang paling cocok disesuaikan dengan kondisi kelas inklusi yang
heterogen.
B. Nilai-nilai Agama sebagai Budaya Sekolah Inklusi
Pendidikan Agama Islam di lingkungan sekolah yang menerapkan
pendidikan inklusi harus didukung oleh suasana budaya sekolah yang dilandasi
nilai-nilai positif agama yang dianutnya. Budaya sekolah dalam arti keseluruhan
pola pikir dan pola sikap serta perilaku para pengelola sekolah yang diwujudkan
dalam semua urusan pendidikan di lingkungan sekolah. Nilai-nilai agama harus
menjadi nilai-nilai yang hidup dan menggerakkan semua aktifitas proses
pendidikan di lingkungan sekolah. Dengan kata lain seluruh aktifitas layanan
pendidikan merupakan cerminan dari nilai-nilai yang secara sadar dan terencana
diterapkan untuk tujuan pendidikan.
Untuk itu nilai–nilai spiritualitas agama Islam harus masuk dalam ranah
budaya sekolah di semua aspek dalam lingkungan pendidikan sekolah. Nilai-
nilai ajaran agama Islam yang diperlukan untuk turut mewujudkan budaya
sekolah seperti ini, perlu terus didiskusikan dan diwacanakan oleh semua pihak.
Nilai agama dimaksud di sini nilai yang mengandung arti suatu keyakinan atau
kepercayaan dan menjadi dasar seseorang atau sekelompok orang untuk memilih
tindakannya, atau menilai suatu yang bermakna atau tidak bermakna bagi
kehidupannya.49
Secara hierarkis, Muhadjir mengelompokkan nilai menjadi nilai-nilai
Ilahiyah dan nilai etika insani. Nilai-nilai Ilahiyah terdiri dari nilai Ubudiyah
dan nilai Muamalah. Nilai etika insani terdiri dari nilai rasional, nilai sosial, nilai
50
individual, nilai biofisik, nilai ekonomik, nilai politik dan nilai aestetik.
Sejalan dengan pendapat Sidi Gazalba bahwa nilai-nilai pada dasarnya
mencakup seluruh nilai Ilahiyah Ubudiyah, Ilahiyah Muamalah, dan nilai etika
49
Madyo Ekosusilo, Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai
(Sukoharjo: Univet Bantara Press, 2003), 8.
50
Muhaimin, etal, Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Prenada, 2005), 52.
136
51
insani. Pengelompokkan nilai-nilai tersebut memberikan gambaran bahwa
nilai Ilahi memiliki kedudukan vertikal lebih tinggi dari pada nilai hidup lainnya.
Oleh karena itu, kewajiban untuk beribadah haruslah lebih tinggi dibandingkan
dengan kewajiban melakukan tugas individual, politik, dan sebagainya.
51
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 152.
52
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 147.
137
perilaku serta kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh warga sekolah secara
konsisten dalam menyelesaikan berbagai masalah.53
Deal dan Peterson mendefinisikan budaya sekolah sebagai sekumpulan
nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol
yang dipraktikan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik
dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan seluruh pengalaman
psikologis para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional maupun
intelektual yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan sekolah.54
Dengan demikian, budaya sekolah terbentuk dari pola perilaku serta kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan oleh seluruh warga sekolah dalam menghadapi dan
menyelesaikan berbagai permasalahan.
Terlebih lagi bagi siswa berkebutuhan khusus yang tidak selamanya
mampu memperoleh pemahaman agama melalui penjelasan verbal, akan tetapi
lebih bisa menangkap penggambaran nilai melalui praktek langsung. Mereka
akan lebih efektif memahami dan menyadari tentang arti hidup dan nilai positif
melalui pengalaman-pengalaman konkrit di lingkungan sekolah dari pada
penjelasan di kelas. Untuk itu dalam upaya internalisasi nilai dalam setiap siswa
diperlukan strategi pembudayaan nilai di lingkungan sekolah. Demikian juga
internalisasi nilai bagi siswa berkebutuhan khusus perlu strategi tersendiri
dengan kolaborasi verbal dan praktek .
Dari sudut teori strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di
sekolah dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya : power strategy,
persuasive strategy dan normative re-educative. Power strategy yaitu strategi
pembudayaan agama di sekolah dengan cara menggunakan kekuasaan, dalam
hal ini kepala sekolah memiliki peranan penting dalam melakukan perubahan.
Strategi ini dikembangkan melalui reward dan punishment. Persuasive strategy
yaitu strategi yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan warga
sekolah. Strategi ini dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan
pendekatan persuasif atau mengajak warga sekolah dengan cara yang halus,
53
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 132.
54
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 132.
138
dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka.
Sedangkan normative re-educative adalah strategi yang dijalankan untuk
menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat sekolah yang lama
dengan yang baru. Strategi ini pun dikembangkan melalui pembiasaan dan
keteladanan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. 55
Strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama Islam di sekolah tidak
bisa dilepaskan dari peran para penggerak kehidupan keagamaan di sekolah.
Menurut teori Philip Kotler, terdapat lima unsur dalam melakukan gerakan
perubahan di masyarakat, termasuk masyarakat sekolah yaitu: causes, change
agency, change target, channel, change strategy.56
Causes adalah sebab-sebab yang bisa menimbulkan perubahan berupa
ideas (gagasan atau cita-cita) dan nilai-nilai yang biasanya dirumuskan dalam
visi, misi, motif atau tujuan yang dipandang mampu memberikan jawaban
terhadap problem yang dihadapi.57 Change agency adalah pelaku perubahan atau
tokoh-tokoh yang berada di balik aksi perubahan. Mereka terdiri dari leaders
58
(para pemimpin atau tokoh) dan supporters yang terdiri dari workers (aktivis
dari sebuah aksi perubahan), donors (para penyumbang untuk aktivitas
pengembangan) dan sympathizers (simpatisan untuk melegitimasi aktivitas
pengembangan). Change target atau sasaran perubahan seperti individu,
kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan.
Channel adalah media untuk menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap
55
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 160.
56
Philip Kotler, “The Elements of Social Action” dalam Gerald Zaltham, Ed., Processes
and Phenomena of Social Change (New York: Robert E. Krieger, 1978), 66.
57
Piotr Sztompka, The Sociology of Social Change (Blackwell, USA: Cambrige, 1994),
43.
58
Menurut Sztompka disebut Great Individuals yaitu tokoh-tokoh besar yang biasa
dijuluki pahlawan. Mereka adalah Director, Advocates, Backers, Administrators, Technicians
atau Consultants. Director adalah orang yang menggerakkan, mempengaruhi, menimbulkan
motivasi masyarakat untuk bergerak, dan yang memimpin gerakan secara langsung. Advocates
adalah orang yang mendukung directors dengan pembicaraan atau tulisan dan konsep-konsep
perubahan. Backers adalah orang-orang yang mem-backing pemimpin dan membantu mereka
dengan sumber daya seperti dana dan fasilitas. Administrators adalah orang yang sehari-hari
mengatur aksi perubahan secara administratif, seperti merekrut tenaga, mengatur keuangan, dsb.
Technicians atau Consultants adalah orang yang selalu dimintai pandangan dan pendapat-
pendapatnya. Lihat Piotr Sztompka, The Sociology of Social Change, 45.
139
pelaku perubahan ke sasaran perubahan. Sedangkan Change strategy adalah
tehnik utama mempengaruhi yang diterapkan oleh pelaku perubahan untuk
menimbulkan dampak pada sasaran-sasaran yang dituju.59
Budaya sekolah mempunyai dampak yang kuat terhadap prestasi kerja.
Budaya sekolah merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses
atau gagalnya sekolah. Jika prestasi kerja yang diakibatkan oleh terciptanya
budaya sekolah yang disemangati oleh nilai-nilai agama Islam, maka hasilnya
akan bernilai ganda, yaitu di satu sisi sekolah itu sendiri akan memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif dengan tetap menjaga nilai-nilai agama
sebagai akar budaya bangsa, di sisi yang lain seluruh warga sekolah dan orang
tua siswa berarti telah mengamalkan nilai-nilai Ilahiyah, Ubudiyah dan
Muamalah sehingga memperoleh pahala yang berlipat ganda dan memiliki efek
terhadap kehidupannya di akhirat kelak.
59
Philip Kotler, “The Elements of Social Action” dalam Gerald Zaltham, Ed., Processes
and Phenomena of Social Change, 67.
60
Komaruddin Hidayat, Selamat Datang ke Dunia Pendidikan Madania.
www.madania. com (diakses 28-10-2008).
140
Pendidikan inklusi sendiri bertujuan untuk menanamkan nilai persamaan
dan persaudaraan antara siswa dengan siswa penyandang kelainan. Mereka
dilatih rasa peduli dan empati kepada sesama teman. Mereka merasa terpanggil
untuk menolong di saat siswa berkebutuhan khusus membutuhkan pertolongan
di kelas misalnya saat tantrum dan sebagainya. Di Madania telah terbentuk satu
pola hubungan yang penuh persaudaraan dan saling empati diantara sesama
siswa. Sikap itu tercermin dari perilaku mereka saat menyikapi kejanggalan
perilaku siswa berkebutuhan khusus yang tidak umum. Mereka menyikapinya
dengan penuh persaudaraan dan tidak melihatnya dengan penilaian atau
pandangan yang negatif atau mentertawakan. 61
Komitmen sekolah untuk menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai
moral kepada siswa didiknya, diikuti oleh seluruh guru dan karyawan dalam
menjalankan tugasnya di Madania. Guru senantiasa menanamkan nilai-nilai
agama dalam berbagai kesempatan, baik saat mengajar maupun di luar jam
pelajaran. Apalagi di Madania yang siswanya haterogen, penanaman nilai-nilai
keadilan, saling menghormati dan menghargai antar sesama warga sekolah
memegang peranan penting demi terciptanya suasana sekolah yang nyaman dan
harmonis.
Strategi yang dijalankan oleh Madania dalam membudayakan nilai
agama lebih banyak menggunakan persuasive strategy yaitu satu strategi
melalui tahapan penyamaan persepsi dan opini terhadap pandangan nilai sekolah
yang harus dipegang teguh oleh semua warga sekolah. Semua orang yang
terlibat dalam proses pendidikan dituntut untuk melakukan pembiasaan,
keteladanan, dan pendekatan persuasif dalam menjalankan tugasnya. Selain itu
semua warga sekolah di Madania dengan cara yang halus memberikan alasan
setiap kali menegur dan memberi nasehat kepada siswa agar lebih bisa diterima
alasannya.
61
Nilai positif yang ditanamkan di Madania ini berbeda dengan cara pandang sebagian
masyarakat di luar yang masih banyak menempatkan perilaku anak berkebutuhan khusus sebagai
perilaku aneh dan bahkan harus dipasung bila perlu lantaran perilakunya mengganggu orang
lain.
141
Untuk siswa berkebutuhan khusus kelompok individual, strategi ini
diterapkan juga dengan mengenalkan nilai positif yang dibantu dengan cara
mengulang-ulang kalimat “ini perbuatan baik” atau” ini perbuatan buruk” sambil
menatap matanya saat melakukan satu perbuatan. Strategi ini dilakukan untuk
memperkuat ingatan tentang perbuatan yang bersangkutan itu baik atau buruk.
Demikian juga pengenalan tentang etika bergaul baik dengan sesama teman,
orang tua, guru dan orang lain. Secara sederhana siswa berkebutuhan khusus
diajak berkenalan langsung dengan etika bergaul dalam berbagai moment. 62
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai positif yang berasal dari nilai agama
mutlak harus dibangun untuk mendukung tercapainya pendidikan agama bagi
siswa berkebutuhan khusus. Nilai-nilai keagamaan menjadi ruh semua aktifitas
proses pendidikan mulai dari urusan administrasi, proses belajar mengajar
sampai pada interaksi antar siswa dan pengelola. Dengan demikian, nilai agama
telah tumbuh menjadi budaya di sekolah. Tanpa disadari, internalisasi nilai
seperti ini sangat efektif untuk diperkenalkan kepada siswa khususnya bagi
siswa berkebutuhan khusus.
C. Penciptaan Lingkungan Religius Sebagai Core Pendidikan di Sekolah
Inklusi
Menciptakan suasana religius63 di lingkungan sekolah yang menerapkan
pendidikan inklusi menjadi penting untuk mendukung tercapainya tujuan
pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus. Seorang siswa mendapat
pendidikan agama tidak hanya di dalam kelas akan tetapi juga mendapat
pembelajaran agama di luar kelas. Di kelas dia mendapat pendidikan agama dari
sisi kognitifnya sementara di lingkungan luar kelas dia memperoleh pendidikan
agama melalui implementasi langsung dan sekaligus turut membentuk sisi
afektif dan psikomotoriknya. Perubahan watak dan pribadi seseorang lebih
62
Di Madania terdapat beberapa kegiatan khusus untuk siswa berkebutuhan khusus.
Sebagai contoh siswa dibawa ke luar lingkungan sekolah untuk berkunjung ke rumah teman
guna mengenal etika bertamu, selain itu siswa diajak mengunjungi Bank, kantor POS, dan
restauran untuk mengenal etika di kantor dan di tempat umum lainnya. Berdasarkan wawancara
dengan dengan Bapak Mardaih, S.Pd., guru SEN Unit di Madania, 22-7-2010.
63
Religius berarti bersifat religi atau keagamaan, atau yang bersangkut paut dengan
religi (keagamaan). Penciptaan suasana religius berarti menciptakan suasana atau iklim
kehidupan keagamaan.
142
banyak dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya. Untuk itu, dalam upaya
membentuk watak religius seseorang harus diciptakan lingkungan religius yang
bisa mempengaruhinya.
Dalam konteks pendidikan di sekolah, penciptaan iklim religius berarti
penciptaan suasana atau iklim kehidupan keagamaan yang dampaknya ialah
berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh
ajaran dan nilai-nilai agama yang diwujudkan dalam sikap hidup serta
keterampilan hidup oleh para warga sekolah dalam kehidupan mereka sehari-
hari. 64
Penciptaan suasana religius ada yang bersifat vertikal dan ada juga yang
bersifat horizontal. Yang bersifat vertikal yaitu hubungan manusia atau warga
sekolah dengan Allah (h}abl min Alla>h) dapat diwujudkan dalam bentuk
kegiatan-kegiatan ritual, seperti shalat berjamaah, puasa senin dan kamis, do’a
bersama, dan menegakkan komitmen dan loyalitas terhadap moral force di
sekolah. Sedangkan yang bersifat horizontal yaitu hubungan antar warga sekolah
(h}abl min an-na>s), dan hubungan mereka dengan lingkungan alam sekitarnya.
Kegiatan ritual yang merupakan manifestasi dari h}abl min Alla>h akan selalu
memiliki konsekwensi horizontal dan sosial (h}abl min an-na>s). Contohnya
ibadah haji yang dimulai dengan kesediaan meninggalkan tanah air untuk
menuju Baitullah, selanjutnya pulang ke kampung halaman untuk memelihara
kemabruran haji dengan cara mewujudkan makna-makna di balik hukum-hukum
dan simbol-simbol haji. Seseorang yang hanya mementingkan hubungan vertikal
dengan Tuhannya tapi mengabaikan hubungan horizontal atau sosial, menurut
Ibnu Qoyyim termasuk ahli ibadah yang hanya memberikan manpaat kepada
dirinya sendiri dan bukan termasuk ahli manpaat yang memberikan manpaat
kepada orang lain.65
Terciptanya suasana religius di Madania tidak terlepas dari peran seluruh
warga sekolah baik pimpinan, pendidik dan tenaga kependidikan, serta
khususnya guru agama yang senantiasa mengajarkan nilai-nilai agama pada anak
64
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 106-107.
65
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam. 107-108.
143
didiknya. Bentuk pengajaran yang disampaikan guru agama tidak terbatas hanya
pada pengetahuan agama saja, melainkan mempraktekkan langsung pengetahuan
tersebut hingga membentuk sikap dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari di
sekolah.
Untuk meningkatkan komitmen siswa sebagai bagian dari umat Islam
yang harus taat beribadah kepada Allah, jumlah jam pelajaran agama di Madania
diperbanyak dengan menambah dua jam pelajaran menjadi empat jam untuk
pelajaran agama Islam. Di tingkat SD dua jam dialokasikan untuk materi
pelajaran agama dan dua jam pelajaran khusus untuk membaca al-Qur’an.
Sementara di tingkat SMP dan SMA dua jam pelajaran unruk pemenuhan
pengajaran materi dan dua jam lainnya untuk tambahan akidah dan akhlak.
Di Madania, selain diberikan pelajaran agama melalui kurikuler,
diberikan juga pelajaran agama melalui ekstra kurikuler, misalnya pembelajaran
intensif metode Iqra bagi siswa yang belum lancar membaca al-Qur’an. Untuk
memperdalam pemahaman materi pelajaran agama yang memerlukan praktek
seperti ibadah haji dan penangan urusan mayat, siswa langsung diajak untuk
mempraktekkannya di luar kelas yang sudah dipersiapkan sarana dan
prasarananya. Demikian juga tentang praktek ibadah lainnya dengan
memanfaatkan moment puasa bulan ramadan. Di bulan ramadan, sekolah
Madania memanfaatkan bulan ini untuk lebih intens mengenalkan pendidikan
agama Islam melalui kegiatan sanlat (pesantren kilat). Moment iedul adha pun
digunakan untuk mengenalkan ibadah qurban kepada para siswanya. 66
Selain pembelajaran agama di dalam kelas, seluruh siswa mulai dari SD,
SMP dan SMA diwajibkan berjamaah salat dzuhur tepat waktu. Sebelum iqamat
salat dikumandangkan, siswa disuruh untuk berdzikir sambil menunggu imam
salat. Demikian juga saat salat jum’at, semua siswa muslim diharuskan
mengikuti salat jum’at berjamaah. Penciptaan suasana religius di Madania
memang tidak banyak menggunakan simbol-simbol lahiriyah akan tetapi lebih
banyak menggunakan pendekatan muatan Islam subtantif yang masuk dalam
66
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdullah, S.Ag. kordinator mata pelajaran
pendidikan agama Islam di Madania, 26-7- 2010.
144
ranah nilai dan tata pergaulan. Pemakaian jilbab sebagai penutup aurat bagi
siswi muslim misalnya, tidak diwajibkan melalui peraturan sekolah akan tetapi
pemakaian jilbab lebih banyak ditanamkan melalui peningkatan kesadaran
penggunaannya. 67
Lingkungan religius yang diciptakan dalam lingkungan sekolah yang
menerapkan pendidikan inklusi sangat efektif untuk siswa berkebutuhan khusus.
Secara tidak sadar mereka digiring untuk mengenal kebiasan keberagamaan
mereka. Menumbuhkan rasa keberagamaan bagi mereka lebih sederhana,
mereka diminta untuk ikut kumpul melaksanakan praktek-praktek ibadah seperti
shalat fardu,shalat jum’at dan sebagainya.
Lingkungan religius di Madania tercipta dari adanya hubungan yang baik
diantara seluruh warga sekolah. Loyalitas para guru dan tenaga kependidikan
lainnya terhadap pimpinan, saling membantu antara sesama guru, rasa hormat
siswa terhadap guru dan pimpinan, kepatuhan seluruh warga sekolah terhadap
setiap kebijakan-kebijakan yang telah menjadi keputusan bersama, serta
menentang setiap bentuk pelanggaran terhadap kebijakan-kebijakan tersebut,
merupakan cerminan pemahamannya yang mendalam akan nilai-nilai agama
yang ada pada dirinya. Pemahaman terhadap nilai-nilai agama juga tercermin
dalam komitmennya dalam menjaga dan memelihara berbagai fasilitas sekolah,
serta menjaga dan memelihara kelestarian, kebersihan dan keindahan lingkungan
hidup di sekolah.
Mendidik karakter dan nilai-nilai baik pada seseorang, menurut Lickona
memerlukan proses pembinaan terpadu secara terus menerus antara tiga dimensi
yaitu: moral knowing, moral feeling dan moral action. Moral knowing meliputi:
pengetahuan tentang moral atau baik dan buruk, pengetahuan tentang nilai-nilai
moral, menggunakan pandangan moral, pertimbangan moral, membuat
keputusan berdasarkan moral, pengetahuan atau pemahaman tentang dirinya.
Moral feeling meliputi kesadaran akan moral atau baik dan buruk, rasa harga
diri, rasa empati, cinta kebaikan, kontrol atau pengendalian diri, dan rendah hati.
67
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdullah, S.Ag. kordinator mata pelajaran
pendidikan agama Islam di Madania, 26-7- 2010.
145
Sedangkan moral action meliputi kompeten dalam menjalankan moral, kemauan
berbuat baik dan menjauhi yang jahat, dan kebiasaan berbuat baik dan menjauhi
perbuatan jelek.68
Madania sebagai miniatur masyarakat merupakan dunia sosio kultural
yang di dalamnya tercipta interaksi antara satu pihak dengan pihak lainnya
dengan membawa berbagai latar belakang sosial, budaya, agama dan tradisi
yang berbeda-beda. Namun demikian, mereka semua diatur dan terikat dengan
peraturan tata tertib Madania yang mereka buat bersama. Karena agama
dijadikan sebagai core pengembangan pendidikan di Madania, maka peraturan
tersebut harus diwarnai oleh nilai-nilai agama. Semua warga Madania yang
terikat dengan peraturan tersebut harus menyesuaikan diri dengan dunia
sosiokultural di Madania yang terwarnai oleh nilai-nilai agama.
Tata nilai religius yang dilembagakan di Madania, diharapkan mampu
membentuk sikap dan perilaku warganya yang religius. Oleh karenanya,
diperlukan rekayasa dan intervensi dari para pimpinan, pendidik dan tenaga
kependidikan untuk penataan situasi dan kondisi lingkungan internal dan
eksternal yang mencerminkan keterpaduannya dalam belajar memiliki,
menginternalisasi, mempribadikan dan mengembangkan tata nilai religius
sebagai dasar perilaku warga Madania.
Pendidikan moral religius yang diajarkan dalam pelajaran pendidikan
agama Islam tidak harus terpisah dengan mata pelajaran-mata pelajaran lain
karena masing-masing mengandung nilai-nilai tertentu yang langsung atau tidak
langsung terkait dengan agama.69 Karena itu, guru harus mengembangkan nilai-
nilai hidup sesuai dengan mata pelajaran yang dibinanya. Dengan demikian,
upaya pembinaan nilai-nilai religius tersebut bukan hanya menjadi tanggung
jawab dari guru pendidikan agama, tetapi para guru dan tenaga kependidikan
68
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 111.
69
Sebagai contoh adalah Ibnu Miskawaih yang menekankan pentingnya menuntut ilmu-
ilmu matematika dengan maksud selain untuk membina kecerdasan , tetapi juga agar terbiasa
dengan kejujuran, mampu menanggung beban pikiran, menyukai kebenaran, menghindari
perbuatan batil, dan membenci kebohongan. Lihat Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam,
104.
146
lainnya juga ikut bertanggungjawab melalui upaya pembinaan nilai-nilai hidup
sesuai dengan bidangnya masing-masing. 70
Dengan demikian, mewujudkan suasana religius di sekolah dapat
dilakukan melalui pendekatan pembiasaan, keteladanan dan pendekatan
persuasif atau mengajak kepada seluruh warganya dengan cara yang halus,
dengan memberikan alasan dan prospek yang baik yang bisa meyakinkan
mereka. Apabila sikap hidup seluruh warga sekolah sudah dijiwai oleh nilai-nilai
agama, maka suasana religius di sekolah akan terwujud.
D. Pemenuhan Fasilitas Ibadah dan Sarana Pembelajaran
Fasilitas ibadah merupakan unsur penting dalam upaya peningkatan
kualitas proses pendidikan agama Islam. Sarana merupakan prasyarat penting
dari upaya menciptakan suasana religius di lingkungan sekolah. Dengan fasilitas
pembelajaran agama yang lengkap, siswa dibuat lebih dekat dengan simbol-
simbol keagamaan agar lebih sensitif rasa keberagamaannya. Keterikatan
agama diantara siswa akan terbangun melalui sarana ibadah yang lebih dekat.
Dari sudut teori, sarana yang dimaksud disini adalah semua peralatan
dan perlengkapan yang langsung digunakan dalam proses pendidikan dan
pembelajaran di sekolah meliputi: alat pelajaran (bahan-bahan perangkat
pembelajaran, kamus-kamus, Kitab Suci Al-Qur’an, alat-alat peraga, alat-alat
praktik, dan alat-alat tulis), dan media pendidikan (media cetak, audio, audio
visual, dan media terpadu atau multimedia)71. Definisi lain menyebutkan bahwa
sarana adalah semua perangkat, baik perangkat keras (hardware) maupun
perangkat lunak (software) yang secara langsung dapat digunakan untuk
memotivasi belajar, memperjelas dan mempermudah konsep abstrak, dan
mempertinggi daya serap dan daya nalar serta retensi belajar peserta didik.
Sedangkan sarana pembelajaran pendidikan agama dapat didefinisikan sebagai
segala hal (hardware dan software) yang secara langsung dapat digunakan untuk
70
Nilai-nilai hidup yang dimaksud adalah hidup sederhana, punya rasa malu, sabar, ulet,
teliti, dermawan, qanaah, optimis, berani, berjiwa besar, tegar, tenang, tabah, menguasai diri,
mementingkan orang lain, berbakti, dan sebagainya.
71
Mudjahid AK, etal, Manajemen Sarana dan Prasarana Madrasah Mandiri (Jakarta:
Puslitbang Penda dan Keagamaan, 2001).
147
memotivasi belajar agama, memperjelas dan mempermudah proses
pembelajaran pendidikan agama serta pengamalan beragama peserta didik sesuai
dengan tujuan pendidikan agama. 72
72
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, 132.
73
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, 132.
74
Yusuf Hadi Miarso, etal, Teknologi Komunikasi Belajar (Jakarta:Rajawali, 1984), 48.
75
Gerlach, Ely, Melnick, Teaching and Media: A Systematic Approach (New Jersey:
Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1980), 89.
148
(media) yang dipergunakan oleh peserta didik untuk mencatat atau menulis apa
yang didemonstrasikan oleh guru atau menuliskan peristiwa yang sedang
dipelajarinya. 76
Verbal representations adalah media tulis atau cetak, contohnya adalah
buku teks. Graphic refresentations adalah alat-alat yang mungkin dipakai dalam
buku teks atau bahan bacaan lainnya berupa chart, diagram, gambar atau
lukisan. Still picture berupa foto, slide, film strip, dan overhead projector
transparancy. Motion picture adalah film, televisi, video tape, dengan atau tanpa
suara yang diambil dari kejadian yang sebenarnya ataupun dibuat dari gambar,
animasi, dll. Audio recording yang meliputi tidak hanya yang berupa rekaman
seperti pita kaset, piringan hitam, dan lain-lain, tetapi juga audio yang life seperti
telepon, radio, dan sebagainya. Programming adalah kumpulan informasi yang
berurutan, yang berbentuk verbal, visual, maupun audio. Sedangkan simulations
adalah suatu permainan yang menirukan kejadian yang sebenarnya, misalnya
dengan menggunakan media komputer, tape recorder dan benda-benda lainnya
yang dapat dipergunakan untuk simulasi. 77
Pengelompokkan media juga dilakukan oleh R. Raharjo yang
mengelompokkan media ke dalam tujuh kelompok yaitu: media audio visual
gerak, media audio visual diam, media audio semi gerak, media visual gerak,
media visual diam, media audio, dan media cetak.78 Sedangkan menurut AECT,
dalam kawasan teknologi pendidikan, media dapat dikelompokkan dalam empat
jenis yaitu: media cetak, media audio, media berbasis komputer dan media
terpadu (multi media). 79
Beberapa pengelompokkan media tersebut, dapat dipahami bahwa hingga
kini belum terdapat kesepakatan tentang taksonomi media yang mencakup
segala aspek dan berlaku umum, khususnya untuk suatu sistem pembelajaran.
76
Gerlach, Ely, Melnick, Teaching and Media: A Systematic Approach, 90.
77
Gerlach, Ely, Melnick, Teaching and Media: A Systematic Approach, 90.
78
Yusuf Hadi Miarso, etal, Teknologi Komunikasi Belajar (Jakarta:Rajawali, 1984), 123.
79
AECT, The Definition of Educational Technology (Washington DC: Association for
Educational Communications and Technology, 1994), 44.
149
Karena itu pengelompokkan yang ada juga dilakukan atas dasar pertimbangan
dan kepentingan yang berbeda.
Pemilihan suatu sarana pembelajaran perlu juga memperhatikan tingkat
efektifitas, efisiensi dan daya tarik metode dan strategi dalam penyediaan
pengalaman belajar siswa. Oleh karenanya, dalam pemilihan suatu media/sarana
pembelajaran pendidikan agama, ada lima cara yang dapat dijadikan dasar
pertimbangan yaitu: tingkat kecermatan refresentasi suatu media, tingkat
interaktif yang mampu ditimbulkan oleh suatu media, tingkat kemampuan
khusus yang dimiliki oleh suatu media, tingkat motivasi yang mampu
ditimbulkannya suatu media terkait dengan karakteristik pebelajar, dan tingkat
biaya yang diperlukan.80
Media atau sarana pendidikan agama berarti sekumpulan alat dalam
bentuk barang atau perangkat lain yang dapat menunjang seluruh aktifitas proses
pendidikan agama sehingga lebih efektif dan tepat sasaran. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa jenis sarana pembelajaran pendidikan agama dapat
berupa hardware dan software yaitu: pertama, alat pembelajaran, berupa
bahan/buku, alat-alat peraga, alat-alat praktik, alat-alat tulis, dan sebagainya.
Kedua, media pembelajaran berupa media cetak, media audio, media audio
visual, dan media terpadu (multi media).81
Karenanya sarana pembelajaran merupakan salah satu komponen sistem
pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, disamping
komponen-komponen lainnya seperti: peserta didik, program atau kurikulum,
ketenagaan, pembiayaan, manajemen, proses belajar mengajar, hasil,
konteks/lingkungan, dan dampak pembelajaran. Oleh karena itu, pengembangan
sarana pembelajaran pendidikan agama Islam memerlukan pertimbangan dari
komponen-komponen lain yang bersifat terpadu untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan.
Pendidikan Islam di Madania memiliki berbagai sarana material yang
diwujudkan dalam bentuk media pendidikan, misalnya: sarana ibadah,
80
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, 135.
81
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, 135-136.
150
perlengkapan belajar mengajar, dan guru-guru yang kompeten dalam bidangnya
masing-masing. Selain itu juga memiliki sarana-sarana penunjang yang lebih
berhubungan dengan metode-metode yang bersifat psikologis, seperti pelajaran
lewat cerita, dialog, argumentasi, ilustrasi, pencontohan atau melalui
pemahaman atas benda-benda konkret.
Berbagai sarana pendidikan agama di Madania sangat menunjang sekali
kelancaran proses belajar mengajar di dalam kelas. Sebagai contoh adalah
komputer-komputer yang bisa dimanpaatkan siswa untuk mencari materi-materi
yang menunjang tema yang sedang dibahas oleh guru agama. Materi-materi
yang sudah didapatkan dari media komputer kemudian dipresentasikan di depan
kelas dengan memanfaatkan fasilitas slide projector yang ada di ruangan kelas di
Madania.
Demikian juga dengan alat-alat peraga yang ada di ruang belajar agama
merupakan sarana pembelajaran yang sangat menunjang keberhasilan
pembelajaran agama, karena biasanya siswa akan lebih dapat memahami
pelajaran apabila ditunjang dengan media yang menarik. Apalagi untuk siswa
berkebutuhan khusus yang kurang bisa memahami apabila diajak berpikir hal-
hal yang sifatnya abstrak, maka penjelasan guru yang disertai dengan gambar-
gambar yang menarik akan membantu mereka untuk bisa memahami materi
yang diajarkan. Selain itu, hasil kreasi siswa yang ditempel di dinding kelas,
juga akan dapat membantu siswa lebih memahami materi disamping dapat
menumbuhkan rasa bangga pada diri siswa.
Demikian juga dengan sarana pendidikan agama Islam seperti mesjid
merupakan salah satu fasilitas ibadah yang sangat penting untuk menanamkan
nilai-nilai agama pada jiwa siswa serta menumbuhkan semangat untuk beribadah
sesuai kewajiban yang diembannya. Menurut Husni Rahim, Mushalla atau
Mesjid merupakan sarana pendidikan agama yang paling utama. Mushalla dan
Mesjid dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan agama terutama dalam aspek
pembiasaan dan pengamalan agama. Sekolah yang baik seharusnya
membiasakan semua anak didiknya untuk shalat dzuhur berjamaah, karena
151
dalam kesempatan berjama’ah banyak hal yang dapat diperoleh oleh anak didik
secara tidak langsung.82
Pemanpaatan sarana ibadah di Madania tidak hanya dipakai untuk
praktek ibadah pelajaran pendidikan agama Islam saja, tetapi secara rutin
dipakai untuk shalat dzuhur berjamaah setiap hari yang merupakan program
wajib bagi siswa muslim di Madania. Jumlah sarana ibadah di Madania tidak
hanya satu, tetapi ada beberapa sarana ibadah lainnya berupa ruang khusus
untuk pembelajaran pendidikan agama yang sudah didesain khusus supaya bisa
dimanpaatkan oleh seluruh siswa baik yang normal maupun yang berkebutuhan
khusus untuk praktek ibadah langsung. 83
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemenuhan fasilitas
ibadah dan sarana pembelajaran merupakan hal penting yang harus dilakukan
dalam rangka meningkatkan kualitas proses pendidikan dan pembelajaran di
sekolah. Fasilitas ibadah dapat dimanpaatkan untuk menanamkan nilai-nilai
agama pada jiwa siswa serta menumbuhkan semangat beribadah, sedangkan
sarana pembelajaran dapat bermanfaat memperlancar proses belajar mengajar di
dalam kelas.
E. Evaluasi dan Penilaian Pendidikan Agama
Unsur penting lainnya dalam proses pendidikan Agama Islam sebagai
bagian dari model pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus adalah evaluasi
dan penilaian. Evaluasi pendidikan yang dimaksud di sini adalah suatu kegiatan
84
untuk menentukan taraf kemajuan suatu aktivitas di dalam pendidikan Islam.
Evaluasi merupakan penilaian tentang suatu aspek yang dihubungkan dengan
situasi aspek lainnya, sehingga diperoleh gambaran menyeluruh yang ditinjau
dari beberapa segi.85
82
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001), 41.
83
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdullah, S.Ag. kordinator mata pelajaran
pendidikan agama Islam di Madania, 26-7- 2010.
84
Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional,
1981), 139.
85
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), 213-214.
152
Program evaluasi dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui kadar
pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan
mengajak peserta didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan,
dan mengetahui tingkat perubahan perilakunya. Tujuan evaluasi lainnya adalah
untuk mengetahui siapa diantara peserta didik yang cerdas dan yang lemah,
sehingga yang lemah diberi perhatian khusus agar ia dapat mengejar
kekurangannya. Disamping itu, evaluasi juga dilakukan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran,
menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengan
materi, metode, fasilitas, dan sebagainya. 86
Dengan demikian, sasaran evaluasi adalah tidak hanya peserta didik saja,
tetapi juga bertujuan mengevaluasi pendidik, yaitu sejauhmana ia bersungguh-
sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
Tujuan pendidikan Islam menurut Muh}ammad ‘At}iyah al-Abra>shi> adalah
pembentukan moral yang tinggi, karena pendidikan moral merupakan jiwa
pendidikan Islam, sekalipun tanpa mengabaikan pendidikan jasmani, akal, dan
ilmu praktis.87
Secara garis besarnya, sasaran-sasaran pendidikan Islam adalah pada
kemampuan peserta didik yang meliputi: sikap dan pengalaman terhadap
hubungan pribadinya dengan Tuhannya, sikap dan pengalaman terhadap arti
86
Muh}ammad ‘At}iyah al-Abra>shi, Ru>h} al-Tarbiyah wa-al-Ta’li>m (al-Su’u>di>
al-‘Arabiyah: Da>r al-Ahya>, tt), 362.
87
Muh}ammad ‘At}iyah al-Abra>shi, Ru>h} al-Tarbiyah wa-al-Ta’li>m (al-Su’u>di>
al-‘Arabiyah: Da>r al-Ahya>, tt), 360. Tujuan pendidikan Islam lainnya menurut Ibn Taymiyah
bertumpu pada empat aspek yaitu: tercapainya pendidikan Tauhid dengan cara mempelajari ayat-
ayat Allah SWT dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik dan psikis; mengetahui ilmu Allah SWT
melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya; mengetahui kekuatan Allah melalui
pemahaman jenis-jenis, kuantitas, dan kreatifitas makhluk-Nya; serta mengetahui apa yang
diperbuat Allah SWT tentang realitas dan jenis-jenis perilakunya. Lihat Ma>jid ‘Irsa>n al-
Kayla>ni>, al-Fikr al-Tarbawi> ‘inda Ibn Taymiyah (al-Madi>nah al-Munawwarah: Maktabah
Da>r al-Tara>th, 1986), 117-118. Sedangkan menurut ‘Abd al-Rashi>d ibn ‘Abd al-‘Azi>z yaitu
adanya kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT melalui pendidikan akhlak, dan menciptakan
individu untuk memiliki pola pikir yang ilmiah dan pribadi yang paripurna, yaitu pribadi yang
dapat mengintegrasikan antara agama dengan ilmu serta amal saleh, guna memperoleh
ketinggian derajat dalam berbagai dimensi kehidupan. Lihat ‘Abd al-Rashi>d ibn ‘Abd al-
‘Azi>z, al-Tarbiyah al-Isla>miyah wa T}uruqu Tadrisiha> (Kuwait: Da>r al-Buh}u>th al-
‘Ilmiyah, 1975), 231-232.
153
hubungan dirinya dengan masyarakat, sikap dan pengalaman terhadap arti
hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya, seta sikap dan pandangannya
terhadap diri sendiri selaku hamba Allah, anggota masyarakat, serta selaku
khalifah-Nya di muka bumi. 88
Adapun fungsi evaluasi Untuk itu evaluasi pendidikan agama diarahkan
untuk membantu peserta didik agar ia dapat mengubah atau mengembangkan
tingkah lakunya secara sadar, serta memberi bantuan padanya cara meraih suatu
kepuasan bila berbuat sebagaimana mestinya. Selain itu, fungsi evaluasi juga
dapat membantu seorang pendidik dalam mempertimbangkan adequate (cukup
memadai) metode pengajaran serta membantu dan mempertimbangkan
administrasinya.89
Dengan mempertimbangkan tujuan pendidikan dan arah evaluasi
pendidikan agama di atas, maka prinsip evaluasi pendidikan Islam itu harus
diarahkan prinsip kesinambungan (kontinuitas), prinsip menyeluruh
(komprehensif), dan prinsip objektivitas.90 Maksud prinsip kesinambungan
(kontinuitas) adalah bahwa evaluasi dilakukan secara terus menerus mulai dari
proses belajar mengajar sambil memerhatikan keadaan peserta didiknya, hingga
peserta didik tersebut tamat dari lembaga sekolah. 91 Prinsip menyeluruh
(komprehensif) adalah prinsip yang melihat semua aspek, meliputi kepribadian,
ketajaman hapalan, pemahaman, ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama,
tanggungjawab, dan sebagainya. Sedangkan prinsip objektivitas bahwa dalam
88
Arifin HM, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis (Jakarta:
Bumi Aksara, 1991), 239-240.
89
Oemar Hamalik, Pengajaran Unit (Bandung: Alumni, 1982), 106.
90
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), 214.
91
Ajaran Islam sangat memperhatikan prinsip kontinuitas, karena dengan berpegang
dengan prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang menjadi valid dan stabil. Lihat Qur’an
surat Fus}s}ilat ayat 30. Lihat juga surat al-Ah}qa>f ayat 13-14 yang menjelaskan bahwa
dengan prinsip ini maka keputusan yang diambil dapat menghasilkan tindakan yang
menguntungkan.
154
mengevaluasi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak boleh dipengaruhi
oleh hal-hal yang bersifat emosional dan irasional.92
Begitu juga dengan cara pelaksanaannya, evaluasi pendidikan Islam
dapat dilakukan dengan cara evaluasi terhadap diri sendiri (self evaluation) dan
terhadap kegiatan orang lain (peserta didik).93 Evaluasi terhadap diri sendiri akan
mampu menggambarkan keadaan yang sesungguhnya baik mengenai kelebihan
yang harus dipertahankan maupun kekurangan dan kelemahan yang perlu
dibenahi. Evaluasi diri ini dapat dilakukan dengan cara muhasabah dengan
menghitung baik buruknya, menulis autobiografi dan inventarisasi diri.94
Evaluasi terhadap orang lain dimaksudkan untuk memperbaiki tindakan orang
lain, bukan untuk mencari aib dan kelemahan seseorang. Evaluasi ini harus
disertai dengan amr ma’ruf dan nah}yu ‘an al-munkar supaya manusia dapat
kembali ke fitrah aslinya yang cenderung baik.
Sedangkan jenis-jenis evaluasi pendidikan Islam terdiri empat macam
yaitu: evaluasi formatif, evaluasi sumatif, evaluasi penempatan, dan evaluasi
diagnosis.95 Evaluasi formatif adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui
hasil belajar yang dicapai peserta didik setelah ia menyelesaikan program dalam
satuan bahan pelajaran pada suatu bidang studi tertentu. Evaluasi sumatif adalah
evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta didik setelah mengikuti
pelajaran dalam satu catur wulan, satu semester, atau akhir tahun untuk
menentukan jenjang berikutnya. Evaluasi penempatan adalah evaluasi yang
dilakukan sebelum anak mengikuti proses belajar mengajar untuk kepentingan
penempatan pada jurusan yang diinginkan. Sedangkan evaluasi diagnosis adalah
92
Surat al-Ma>idah ayat 8 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan agar seseorang
berlaku adil dalam mengevaluasi sesuatu, jangan karena kebencian menjadikan ketidakobjektifan
evaluasi yang dilakukan.
93
Syahminan Zaini dan Muhaimin, Belajar sebagai Sarana Pengembangan Fitrah
Manusia (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), 59-64.
94
Surat al-Baqarah ayat 115 menggambarkan bahwa semua tindakan manusia tidak
terlepas dari evaluasi Allah, karenanya manusia dituntut untuk waspada dalam melakukan suatu
tindakan. Dan surat Qaf ayat 18 menjelaskan tentang adanya dua malaikat sebagai supervisor
manusia yaitu Raqib dan Atid.
95
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), 268-
270.
155
evaluasi terhadap hasil penganalisisan tentang keadaan belajar peserta didik,
baik merupakan kesulitan-kesulitan atau hambatan yang ditemui dalam situasi
belajar mengajar.
Syarat-syarat evaluasi pendidikan Islam adalah validity, reliable, dan
efisiensi.96 Maksud validity adalah bahwa tes harus dilakukan berdasarkan hal-
hal yang seharusnya dievaluasi, yang meliputi seluruh bidang tertentu yang
diinginkan dan diselidiki sehingga tidak hanya mencakup satu bidang saja. Soal-
soal tes harus memberi gambaran keseluruhan (refresentatif) dari kesanggupan
anak mengenai bidang itu. Maksud reliable adalah bahwa tes harus dapat
dipercaya yang memberikan keterangan tentang kesanggupan peserta didik yang
sesungguhnya . Soal yang ditampilkan tidak membawa tafsiran yang macam-
macam. Dan maksud efisiensi adalah tes yang mudah dalam administrasi,
penilaian, dan interpretasinya.
Sifat-sifat evaluasi yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam adalah
kuantitatif, kualitatif dan perbuatan (performance test). Kuantitatif yaitu hasil
evaluasi yang diberikan skor atau nilai dalam bentuk angka, misalnya: 80 atau
90. Kualitatif yaitu hasil evaluasi diberikan dalam bentuk pernyataan verbal,
misalnya: memuaskan, baik, cukup, dan kurang. Sedangkan Perbuatan
(performance test) yaitu tes yang biasa digunakan untuk mengetahui aspek
psikomotorik siswa. 97
Teknik yang dapat digunakan pada evaluasi pendidikan Islam ada dua
macam yaitu teknik tes dan teknik non tes. Teknik tes yaitu teknik yang
digunakan untuk menilai kemampuan peserta didik yang meliputi pengetahuan
dan keterampilan sebagai hasil belajar, serta bakat khusus dan inteligensinya.
Teknik ini terdiri atas uraian, objektif tes, dan bentuk tes lain seperti ikhtisar dan
laporan. Sedangkan teknik non tes yaitu teknik yang digunakan untuk menilai
96
Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar (Bandung: Jemmars, 1982), 167-170.
97
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), 218.
156
karakteristik lainnya seperti minat, sikap dan kepribadian siswa. Teknik ini
meliputi observasi terkontrol, wawancara, dan lain-lain. 98
Sistem evaluasi dan penilaian pendidikan agama bagi siswa
berkebutuhan khusus di Madania disesuaikan dengan kemampuan siswa yang
telah dikelompokkan ke dalam kelompok reguler, reguler modifikasi dan
individual. Yang termasuk kelompok reguler adalah siswa yang tidak
mempunyai hambatan secara akademik 0-50% mata pelajaran , yang termasuk
kelompok reguler modifikasi adalah siswa yang mempunyai hambatan secara
akademik pada 50-70% mata pelajaran, dan yang termasuk kelompok individual
adalah siswa yang mempunyai hambatan secara akademik pada 70-90% mata
pelajaran.99
Secara umum, evaluasi dan penilaian pendidikan agama Islam yang
diikuti siswa berkebutuhan khusus di Madania adalah: tes formatif, UTS, EHB,
UAN/UAS, dan tes praktek. Tes formatif dilakukan sebanyak dua kali dalam 1
semester. UTS atau ulangan tengah semester dilakukan satu kali dalam 1
semester dan dilaksanakan pada pertengahan semester. EHB atau evaluasi hasil
belajar dilakukan sebanyak satu kali dalam 1 semester pada setiap akhir
semester. UAN/UAS atau ujian akhir nasional atau ujian akhir sekolah adalah
ujian yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional melalui
Kementrian Pendidikan Propinsi Daerah. Tes ini merupakan tes kelulusan bagi
siswa kelas 6, 9 dan kelas 12, untuk meneruskan ke jenjang pendidikan
berikutnya. Dan tes praktek adalah tes yang dilakukan untuk menilai suatu
materi berdasarkan praktek yang dilakukan oleh siswa sebagai peserta tes.100
Tes tertulis pelajaran pendidikan agama Islam untuk siswa berkebutuhan
khusus kelompok reguler, disamakan dengan siswa lainnya di kelas, dengan
penambahan waktu 20 menit dari batas waktu yang tertera dalam lembar tes.
Dalam kondisi khusus, siswa diberi soal dengan font hurup soal tes diperbesar
98
Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional,
1981), 158-160.
99
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 16.
100
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 36.
157
dan dilaksanaakan di ruangan tersendiri atau meja tersendiri menghadap dinding
di dalam kelas untuk mengurangi distraksi. Siswa diingatkan untuk tetap tenang,
membaca soal secara berulang dan perlahan-lahan, dan tetap mengerjakan soal
apabila terlihat melamun atau hilang konsentrasi. Untuk mempertahankan
konsentrasi, siswa diperbolehkan untuk memakai alat bantu yang tidak
mengganggu siswa lain dan yang telah direkomendasikan oleh tenaga ahli
(contoh: headphone).101
101
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 36-38 dan berdasarkan
wawancara di Madania dengan koordinator mata pelajaran PAI Bapak Abdullah, S. Ag. pada
30-4-2010.
102
Koordinator mata pelajaran Pendidikan Agama Islam adalah Bapak Abdullah, S.Ag.
yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pembelajaran agama di Madania pada tingkat SD,
SMP dan SMA.
103
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 36-38 dan berdasarkan
wawancara di Madania dengan koordinator mata pelajaran PAI Bapak Abdullah, S. Ag. pada
30-4-2010.
158
bersangkutan, kemudian dikoreksi oleh koordinator SEN Unit dan harus sudah
selesai paling lambat 2 hari sebelum pelaksanaan tes.104
Seluruh tes pelajaran pendidikan agama Islam yang diikuti oleh siswa
berkebutuhan khusus tersebut dikerjakan secara mandiri dan diberikan oleh
guru kelas, guru pendidikan agama Islam, dan guru SEN Unit tanpa memberi
clue, tanda, atau penjelasan yang mengarah pada jawaban, berupa intonasi suara,
peragaan, atau pun tanda yang lain.
Adapun untuk kelulusan siswa berkebutuhan khusus, dibagi juga menjadi
tiga yaitu jalur reguler, jalur reguler modifikasi dan jalur individual. Jalur
reguler adalah siswa yang mengikuti tes sama dengan siswa reguler lainnya.
Soal yang dikerjakan oleh siswa adalah soal standar Diknas atau standar sekolah,
melalui adaptasi cara tanpa adaptasi isi. Jalur reguler modifikasi adalah siswa
yang mengikuti tes sama dengan siswa lainnya, dengan melakukan beberapa
modifikasi terhadap soal yang diberikan. Sedangkan jalur individual adalah
siswa yang mengikuti tes tersendiri dengan program dan materi yang telah ia
pelajari.105
Laporan tertulis tentang hasil evaluasi dan penilaian pendidikan agama
Islam dituangkan pada rapor yang bagi siswa berkebutuhan khusus
dimungkinkan untuk mendapatkan 3 macam rapor yaitu: rapor angka diknas,
rapor narasi, dan rapor IEP.
Rapor Angka Diknas merupakan rapor standar dari Kementrian
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, namun dikeluarkan secara independen
oleh pihak Madania karena sudah berstatus disamakan dengan sekolah
pemerintah. Bagi siswa berkebutuhan khusus dengan program modifikasi dan
individual disertakan keterangan yang dijabarkan pada rapor IEP dan rapor
narasi. Rapor narasi merupakan rapor yang diadakan oleh Madania. Rapor ini
berupa deskripsi untuk menjabarkan angka yang tertulis pada rapor angka
104
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 36-38 dan berdasarkan
wawancara di Madania dengan koordinator mata pelajaran PAI Bapak Abdullah, S. Ag. pada 30-
4-2010.
105
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 39
159
diknas. Rapor narasi siswa berkebutuhan khusus dengan program modifikasi dan
individual diisi oleh guru kelas, guru mata pelajaran dan guru khusus setelah
mendapat masukan dari guru SEN Unit. Sedangkan narasi untuk program
khusus dilakukan oleh guru SEN Unit. Rapor IEP merupakan hasil evaluasi dari
IEP untuk satu semester. Rapor IEP diperuntukkan bagi siswa berkebutuhan
khusus yang ditangani oleh SEN Unit dan mempunyai program IEP. Guru yang
bertanggungjawab mengisi rapor IEP adalah guru SEN Unit.106
106
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 22
107
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 33-34.
108
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 33.
160
Catatan aktivitas siswa adalah ceklis tertulis tentang aktivitas yang
dilakukan siswa secara berkala sesuai IEP yang telah disusun di awal masa
pembelajaran. Catatan ini digunakan sebagai bahan evaluasi program tertentu
yang membutuhkan pembiasaan/internalisasi pada siswa seperti program
bertamu, berbelanja, kemandirian di sekolah, sosialisasi, dll. Daily log adalah
catatan dinamika sesi belajar di SEN Unit yang ditulis oleh guru SEN Unit.
Tujuannya adalah untuk mencatat setiap peristiwa yang terjadi pada siswa
selama di sekolah. Daily log juga berfungsi sebagai buku komunikasi guru SEN
Unit dengan orang tua siswa. Daily log merupakan milik sekolah dan akan
disimpan sekolah sebagai data. Isi dari daily log adalah: hari/tanggal; konsep
yang diajarkan; resources; respon, perilaku, dan pemahaman siswa; target,
metode, dan resources untuk sesi seelanjutnya. 109
Visual recording adalah rekaman gambar/visual berupa foto atau video
tentang dinamika sesi belajar siswa SEN Unit baik di kelas, ruang SEN Unit,
acara tertentu, field trip, dan saat tes/ujian. Tujuannya adalah untuk melengkapi
record tertulis dengan merekam secara visual perilaku siswa dalam situasi dan
kondisi tersebut di atas. Audio Recording adalah rekaman suara dari siswa SEN
Unit baik di kelas, ruang SEN Unit, acara tertentu, field trip. Dapat berupa
kegiatan story telling, singing, conversation, dll. Tujuannya adalah melengkapi
record tertulis, rekam gambar dengan rekaman suara perilaku siswa dalam
situasi dan kondisi tersebut di atas. 110
Evaluasi di Madania, selain dilakukan terhadap siswa, juga dilakukan
terhadap guru dan tenaga kependidikan lainnya. Evaluasi biasanya dilakukan
dalam sebuah pertemuan yang rutin dilaksanakan oleh seluruh guru pendidikan
agama Islam setiap hari rabu dan jum’at, serta pertemuan rutin dengan guru-guru
mata pelajaran lainnya setiap hari senin. Evaluasi dilaksanakan untuk mengukur
tingkat keberhasilan pembelajaran pendidikan agama pada setiap minggu. 111
109
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 33-34.
110
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 34.
111
Berdasarkan wawancara dengan koordinator mata pelajaran PAI Bapak Abdullah, S.
Ag. di Madania pada 26-7-2010.
161
Berdasarkan uraian di atas, evaluasi dan penilaian pendidikan agama
dilakukan untuk mengetahui taraf kemajuan suatu aktifitas di dalam pendidikan
Islam. Dan yang menjadi sasaran evaluasi tidak hanya siswa saja, tapi juga guru
dan tenaga kependidikan lainnya dalam menjalankan tugasnya di sekolah.
162
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini membuktikan bahwa model pembelajaran pendidikan
agama Islam untuk siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi adalah model
pembelajaran berbasis kompetensi anak dengan mengembangkan lingkungan
belajar secara terpadu antara prinsip-prinsip umum dan khusus dalam
pembelajarannya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan fakta bahwa model
pembelajaran pendidikan agama Islam ini akan berhasil diterapkan apabila
didukung oleh lima unsur penting yaitu: strategi pembelajaran yang tepat,
dukungan nilai-nilai agama sebagai basis budaya, lingkungan yang religius,
dukungan fasilitas dan sarana pembelajaran yang memadai dan keakuratan
evaluasinya.
Strategi pembelajaran pendidikan agama Islam untuk siswa berkebutuhan
khusus adalah integrated in the regular classroom, one to one teaching, small
group, dan program khusus. Siswa dikelompokkan ke dalam tiga kelompok
yaitu: reguler, reguler modifikasi, dan individual. Siswa kelompok reguler yang
tidak mempunyai hambatan secara akademik 0-50% mata pelajaran, dapat
mengikuti semua kurikulum reguler kelas tanpa modifikasi, dengan ketentuan
belajar yaitu: 90-100% di kelas dan 0-10% belajar individual. Siswa kelompok
reguler modifikasi yang mempunyai hambatan secara akademik 50-70% mata
pelajaran, dapat mengikuti semua kurikulum reguler kelas dan modifikasi
kurikulum, dengan ketentuan belajar yaitu: 80-90% di kelas dan 10-20% belajar
individual. Sedangkan siswa kelompok individual yang mempunyai hambatan
secara akademik 70-90% mata pelajaran, menggunakan kurikulum yang
disesuaikan dengan kemampuannya, dengan ketentuan belajar yaitu: 70-80% di
kelas dan 20-30% belajar individual.
Penanaman nilai-nilai agama pun harus ditanamkan sesuai dengan
kemampuan kompetensinya. Penanaman nilai harus dibantu dengan budaya
sekolah yang baik yang mencerminkan nilai agama. Lingkungan sekolah yang
163
164
B. Saran-Saran
Dengan model dan strategi pendidikan agama sebagaimana ditemukan
dalam penelitian ini, siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi akan
memperoleh pemenuhan hak dasarnya untuk mendapatkan pendidikan agama
165
yang berkualitas. Implikasinya kemudian adalah perlu ada perhatian khusus dari
semua pihak untuk mendukung upaya pemenuhan hak dasarnya ini sebab
ternyata masih banyak anak berkebutuhan khusus yang masih terabaikan. Untuk
itu ada beberapa implikasi lanjutan dari hasil penelitian yaitu:
a. Diperlukan pengalokasian pendanaan yang lebih banyak agar anggota
masyarakat yang berkebutuhan khusus di seluruh Indonesia dapat terlayani
hak pendidikannya, terutama hak pendidikan agamanya. Oleh karena itu
pemerintah harus lebih memperhatikan penyelenggaraan pendidikan inklusi
ini dengan sosialisasi dan penyediaan sarana yang memadai agar potensi
mereka dalam batas tertentu dapat dikembangkan.
b. Anak berkebutuhan khusus dengan berbagai tingkatan kecacatannya
memiliki hak kebebasan hidup dan hak memperoleh pendidikan termasuk
pendidikan agama. Masyarakat harus memahami dan menyadari bahwa
mereka layak hidup di tengah-tengah masyarakat sebagaimana layaknya
anggota masyarakat lainnya.
c. Pengembangan model pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa
berkebutuhan khusus dalam setting pendidikan inklusi sangat diperlukan
oleh para guru agama. Untuk itu sudah saatnya fakultas Tarbiyah yang
banyak melahirkan guru agama, mengembangkan bidang ini dan sekaligus
membekali mahasiswanya dengan pengetahuan tentang pendidikan inklusi.
d. Pengembangan dan pengkajian serta penelitian tentang model pembelajaran
pendidikan agama Islam yang efektif dan tepat bagi anak berkebutuhan
khusus masih terus harus dikaji oleh para pemerhati dan praktisi pendidikan
inklusi. Penelitian ini masih menyimpan banyak celah untuk dijadikan
sebagai agenda penelitian lanjutan untuk melengkapi upaya penyelesaian
masalah pendidikan inklusi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid & Dian andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi
Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005.
Abdurrahman , Mulyono. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2003.
al-Abra>shi, Muh}ammad ‘At}iyah. Ru>h} al-Tarbiyah wa-al-Ta’li>m. al-
Su’u>di> al-‘Arabiyah: Da>r al-Ahya>, tt.
AECT. The Definition of Educational Technology. Washington DC: Association
for Educational Communications and Technology, 1994.
Agustyawati dan Solicha. Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Jakarta: Lembaga Penelitian UI Jakarta, 2009.
Aincsow , Mel. “Towards Inclusive Schooling”. Article in British Journal of
Special Education, no 1, 1997.
Ancok, Djamaludin, Fuat Nashori, Suroso. Psikologi Islam : Solusi Islam atas
problem-problem Psikologi. Jakarta : Pustaka Pelajar, 1995.
Anwar, M.I. “Biaya Pe ndidikan dan Metode Penetapan Biaya Pendidikan”.
Mimbar Pendidikan. No. 1 tahun X, 1991.
Arends, Richard. Learning to Teach. New York: McGraw-Hill, 2001.
Arifin, HM. Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis.
Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Auxter, David, Jean Pyfer, Carol Huettig. Principles and Methods of Adapted
Physical Education and Recreation. New York: McGraw-Hill ,2005.
165
Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta:
Erlangga, 2005.
Beck , L.G. & J. Murphy, The Four Imperatives of a Successful School. Thousand
Oaks, California: Corwin, 1996.
Canestrari , Alan S & Bruce A Marlowe. Educational Foundations An Anthology
of Critical Readings. California : Sage Publications, 2004.
Cartwright-Cartwright, G.P., Cartwright, C.A. & Ward, .M.E. Educating Special
Learners. California: Wads Worth Publishing Company, 1984.
Connely , Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS, 1999.
Dale, Ernest . Management: Theory and Practice, Tokyo: Mc Graw Hill
Kogakhusa, Ltd, 1973.
Daryanto, Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Delphie, Bandi. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting
Pendidikan Inklusi. Klaten: PT Insan Sejati Klaten, 2009.
--------. Sebab-sebab Keterbelakangan Mental. Bandung: Mitra Grafika, 1996.
--------. Terapi Permainan 1. Bandung: Rizqi Press, 2006.
--------. Terapi Permainan 2. Bandung: Rizqi Press, 2006.
--------. Gerak Irama: Suatu Pengantar Penyusunan Program Pembelajaran
Individual Special Needs Student melalui Pola Gerak dan Irama (Body
Movement). Bandung: Rizqi Press, 2006.
--------. Layanan Perilaku Anak Hiperaktif. Klaten:PT Insan Sejati Klaten, 2009.
--------. Panduan Permainan Terapeutik (Anak Berkebutuhan Khusus Dalam
Setting Pendidikan Inklusi. Klaten:PT Insan Sejati Klaten, 2009.
--------. Bimbingan Perilaku Adaptif (Anak Dengan Hendaya Perkembangan
Fungsional). Klaten: PT Insan Sejati Klaten, 2009.
--------. Hendaya Perkembangan Fungsional (Penyebab dan Karakteristik Anak).
Klaten: PT Insan Sejati Klaten, 2009.
--------. Bimbingan Perilaku Adaptif. Malang: PT Elang Mas, 2005.
--------. Pembelajaran Anak Tunagrahita: Suatu Pengantar dalam Pendidikan
Inklusi. Bandung: PT Refika Aditama, 2006.
166
Deno, Evelyn. Teaching Exceptional Children and Youth in the Regular
Classroom. New York: Syracuse University Press, 1986.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. Mengenal Pendidikan Inklusif.
Jakarta, 2006.
--------. Naskah dan Informasi Pendidikan Khusus, 2006/2007.
--------. Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Inklusif. Jakarta, 2006.
--------. Manajemen Sekolah dalam Pendidikan Inklusif. Jakarta, 2006.
Direktorat Pendidikan Luar Biasa. Pengadaan dan Pembinaan Tenaga
Kependidikan dalam Pendidikan Inklusif. Jakarta, 2006.
Dirjen Dikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. Pedoman umum
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Jakarta, 2007.
Departemen Pendidikan Nasional. Prosedur Operasi Standar Pendidikan
Inklusif. Jakarta: Diknas , 2007.
--------. Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar
Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Mengah Atas. Dirjen
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2008.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Materi Dasar Pendidikan Program
Akta Mengajar B, buku III C, Teknologi Intruksional. Jakarta: Dirjen Dikti,
1983.
Djamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif suatu
Pendekatan Teoretis Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Drost, J. Dari KBK sampai MBS. Jakarta: Kompas, 2006.
Educational Support Department. Handbook 2009-2011. Bogor: Madania, 2009.
Ekosusilo, Madyo. Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai.
Sukoharjo: Univet Bantara Press, 2003.
Emzir. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Fadlulah. Orientasi Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Diadit Media, 2008.
Fattah, Nanang. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004.
Fuchs, D., dan Fuchs, L. “Inclusive Schools Movement and the Radicalization of
Special Education Reform”. Exceptional Children, 1994.
167
Gerlach, Ely, Melnick. Teaching and Media: A Systematic Approach. New
Jersey: Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1980.
Hadeli. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Ciputat Press, 2006.
Hakim, M. Lukman. Deklarasi Islam tentang HAM. Surabaya: Risalah Gusti,
1993.
Hallahan D.P. & Kauffman J.M.. Exceptional Children: Introduction to Special
Education. New Jersey: Prentice-Hall, Englewood Clipps, 2005.
Hamalik, Oemar. Pengajaran Unit. Bandung: Alumni, 1982.
Handoko, T. Hani. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta : BPFE, 1995.
Hersey, Paul and Kenneth H. Blanchard. Manajemen of Organizational Behavior.
New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited, 1978.
Hidayat, Komaruddin. Selamat Datang ke Dunia Pendidikan Madania
www.madania. com (diakses 28-10-2008).
Jalal, F. & D. Supriadi. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah.
Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001.
Jalaludin. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Johnsen , Berit H. A Historical Perspective on Ideas about a school for All. Oslo:
Unipub, 1998.
168
Kauffman, J. M. “The Regular Education Initiative as Reagen – Bush Education
Policy: A Trickle – Down Theory of Education of the Hard – to Teach”.
Journal of Special Education , 23, 1989.
Kotler, Philip. “The Elements of Social Action” dalam Gerald Zaltham, Ed.,
Processes and Phenomena of Social Change. New York: Robert E.
Krieger, 1978.
Kunc, Normal. “The Need to Belong: Rediscovering Maslow’s Hierarchy of
Needs”. dalam R. Villa, J. Thousand, W. Stainback, dan S. Stainback.
Education: An Administrative Guide to Creating Heterogeneous Schools.
Baltimore MD: Brooks, 1992.
Kristensen, Kurt & Kristensen, Kirsten.” School for All: A Challenge to Special
Needs Education in Uganda-A Brief Country Report”. In African Journal of
Special Needs Education. No. 1. 1997.
Kusmana, Eva Nugraha, Eva Fitriati. Paradigma Baru Pendidikan Islam. Jakarta:
IISEP bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Dirjen
Pendis Depag RI, 2008.
Lickona, Thomas. Educating for Character How Our School Can Teach Respect
and Responsibility. New York: Bantam Books, 1992.
Loican, Martin Omagor. Towards Inclusive Education. www.eenet.org.uk/...
/docs/Towards_ Inclusive_ Education_Uganda.doc (diakses 16 Mei 2010).
Madania Progressive School. Handbook 2009-2011: Educational Support
Departmen. Parung, 2009.
Ma>jid ‘Irsa>n al-Kayla>ni>. al-Fikr al-Tarbawi> ‘inda Ibn Taymiyah. al-
Madi>nah al-Munawwarah: Maktabah Da>r al-Tura>th, 1986.
169
Mar’at. Sikap Manusia: Perubahan serta Pengukurannya . Jakarta: Balai Aksara
–Yudhistira dan Saadiyah, 1982.
Massie, Joseph L. Essentials of Management. New Delhi: Prentice Hall off India
Private Limited, 1973.
Mastuhu. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999.
Mendiknas. Menuju penuntasan wajib belajar tahun 2008, Naskah sambutan
Mendiknas pada upacara bendera peringatan HARKITNAS Mei 2008.
http://nurratnajuwita.blog. uns.ac.id/2010/03/15/inclusi-education-for-all/
(diakses 20 april 2010).
Miarso, Yusuf Hadi, etal. Teknologi Komunikasi Belajar. Jakarta:Rajawali, 1984.
170
Moore, C. Educating Students with Disabilities in General Education Clasrooms:
a Summary of Research. Alaska, USA: Department of Education, Teaching
and Learning Support,1998.
Al-Nah}la>wi>, Abd al-Rahma>n. Us}u>l al-Tarbiyah al-Isla>mi>yah wa-
As>ali>biha> fi> al-Bayti wa-al-Madrasati wa-al-Mujtama’. Bairut
Libanon: Da>ru al- Fikri al-Ma’a>s}ir, 1999.
An-Naim, Abdullah Ahmed & M. Arkoun. Dekonstruksi Syari’ah (II) Kritik
Konsep, Penjelajahan Lain. Yogyakarta: LkiS, 1996.
O’Neil, John “Can Inclusion Work? A Conversation with Jim Kauffman and
Mara Sapon Shevin”, Educational Leadership 52, No.4. 1989.
171
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001.
Ramayulis. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1991.
Reddin, William J. Managerial Effectiveness. Tokyo: Mc Graw Hill Kogakhusa,
Ltd, 1970.
Ridjaluddin. Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PKI FAI UHAMKA,
2008.
Rieser, Richard. Implementing Inclusive Education: A Commonwealth Guide to
Implementing. London: Commonwealth Secretariat, 2008.
Rix, Jonathan, Katy Simmons, Melanie Nind. Policy and Power in Inclusive
Education : Values into Practice. London: Routledge, 2005.
Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana, 2007.
Saksono, Ign Gatut. Pendidikan yang Memerdekakan Siswa. Yogyakarta: Diandra
Primamitra Media, 2008.
Saliman, Standar Kompetensi Guru. http://www.slideshare.net/ guestc6f390
/standar-kompetensi-guru (diakses 21-8-2010).
Santoso, M.A. Fattah. “Sekolah Syariah dan Pendidikan Inklusi”, Makalah
Seminar Nasional dan Peluncuran Kurikulum Sekolah Syariah dan
Panduan Implementasi Pendidikan Inklusi UNESCO. diselenggarakan oleh
Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jawa Tengah dengan dukungan Braillo, IDP-Norwegia dan
SD Muhammadiyah Program Khusus Surakarta, di UNS, 11 Juni 2005.
Saputro, Teguh Eko. Sistem Pendidikan Anak Luar Biasa. http://teguhekosaputro.
wordpress.com /2007/12/03/9/ (diakses 16 Mei 2010).
Scheerens, Jaap. Menjadikan Sekolah Efektif. Jakarta: Logos, 2003.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan, 1992.
Siagian. Filsafat Administrasi. Jakarta: Gunung Agung, 1979.
Simmons, Katy & Nind, Melanie. Policy and Power in Inclusive Education :
Values into Practice. London: Routledge, 2005.
172
Sirri, Mun’im A. ed. Fiqh Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis. Jakarta: Paramadina, 2005.
Smith, J. David. Inclusion, School for All Student. Bandung: Nuansa, 2006.
Staub, Debbie and A. Peck, Charles. “What are the Outcomes for Nondisabled
Students?”, Educational Leadership, Volume 52, No.4, Desember-Januari
1994-1995.
Stubbs, Sue. Inclusive Education Where There Are Few Resources. Oslo: The
Atlas Alliance, 2002.
Supriadi, Dedi. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung:
Rosda, 2003.
Supriyoko. Mengembangkan Kompetensi Kepribadian Guru Indonesia.
http://journal. amikom.ac.id /index.php/Koma/article/viewArticle/2509
(diakses 23-7-2010).
Suran ,B.G. & Rizzo, J.V. Special Children: an Integrative Approach, Scott,
Foresman & Company, 1979.
Suryadi Ace & Dasim Budimansyah, Paradigma Pembangunan Pendidikan
Nasional. Bandung: Widya Aksara Press, 2009.
Sutopo, H.B. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya
dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2002.
Suyanto, Bagong dan Sutinah. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana, 2007.
Suyono, Hayono. Mewujudkan Masyarakat Beradab Bersama Aksi Penyandang
Cacat. 2005. http://www. dradio1034fm .or.id/detail.php?id=28115 (diakses
15 April 2010).
Sztompka, Piotr. The Sociology of Social Change. Blackwell, USA: Cambrige,
1994.
173
Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan . Magelang: Indonesiatera, 2003.
UNESCO. “Education for all 1,II, III, Jomtien”. Thailand World Conference on
Education for All, 1990.
--------. The Salamanca Statement and Frame Work for Action on Special Needs
Education. Paris: 1994. http://unesdoc.unesco.org/images /0009/000984/
098427 Eo.pdf (diakses 28 Januari 2010).
174
Walida, Konsep Manajemen Sekolah.
http://manajemensekolah.teknodik.net/?p=883 (diakses 21-7-2010).
Xianguang, Peng & Meng Deng. “Pendidikan Inklusif di Cina”, EENET ASIA
Newsletters. Edisi 3, 2002.
175
DAFTAR RIWAYAT HIDUP