Sukabumi-Pangandaran-Cilacap
Bagian
Setelah Kerangka Acuan Kerja
D
TANGGAPAN & SARAN (KAK) dipahami pada bab
sebelumnya, pada bagian ini akan
dipaparkan tanggapan konsultan
TERHADAP KAK terhadap KAK. Tanggapan ini
diberikan untuk penajaman
substansi kerangka acuan kerja,
sebagai gagasan awal konsultan
dalam memahami subtansi
pekerjaan yang akan
dilaksanakan.
Secara umum Kerangka Acuan
Kerja yang ada telah dapat di
pakai sebagai acuan dasar serta
dapat memberikan gambaran
implementasi pekerjaan kepada
team konsultan. Dari hasil
pemahaman terhadap Kerangka
Acuan Kerja (KAK) dan hasil
penjelasan pekerjaan, maka
secara umum konsultan dapat
memahaminya, dan isi KAK cukup
jelas untuk mencapai sasaran
proyek. Namun demikian masih
ada beberapa hal yang perlu
D.1. TANGGAPAN TERHADAPmendapatkanKAKpenajaman dan
kelengkapan, untuk menunjang
D.1.1. LATAR B ELAKANG
kesempurnaan hasil produk.
1. Dasar Hukum Tugas Fungsi/Kebijakan
a. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
2. Gambaran Umum
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR)
telah menyusun konsep percepatan pengembangan Kawasan Tanjung Lesung-
Sukabumi-Pangandaran-Cilacap.
Dalam rangka percepatan pengembangan kawasan tersebut, perlu disusun
rencana pembangunan (development plan) yang meliputi rencana jalan akses
antarpusat kawasan, penyiapan infrastruktur pendukung kawasan, serta
penyiapan rencana pengembangan pusat¬pusat pertumbuhan.
Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah, Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat telah menyusun konsep percepatan pengembangan
kawasan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, dibutuhkan kegiatan untuk
menindak lanjutinya dengan penyusunan Rencana Pengembangan Kawasan
Tanjung Lesung-Sukabumi-Pangandaran-Cilacap. Kegiatan Rencana
Pengembangan Kawasan Tanjung Lesung-Sukabumi-Pangandaran-Cilacap
tersebut diharapkan dapat memberi arahan pembangunan dan perwujudan
struktur ruang di kawasan tersebut yang sesuai dengan daya dukung dan daya
tampung serta potensi ekonomi kawasan tersebut.
1. Latar Belakang
Penataan ruang merupakan pendekatan keterpaduan pembangunan, telah
memiliki landasan hukum yang memberikan arti cukup besar dalam
pembangunan nasional. Meskipun demikian kegiatan penataan ruang belum
sepenuhnya dapat dilaksanakan sebagaimana yang dikehendaki terutama di
dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Kegiatan penataan ruang dalam
pelaksanaannya seringkali tidak sesuai dengan arahan yang telah ditetapkan di
dalam rencana, sehingga banyak terjadi penyimpangan.
2. Dasar Hukum
Studi/kajian yang telah dilakukan dan terkait dengan Rencana Pengembangan
Kawasan Tanjung Lesung –Sukabumi-Pangandaran-Cilacap yang dapat dijadikan
referensi, adalah Penyusunan Rencana Strategis Satuan Wilayah Pengembangan
kawasan. Referensi hukum dalam pekerjaan Kajian Rencana Pengembangan
Kawasan Tanjung Lesung –Sukabumi-Pangandaran-Cilacap meliputi :
1. Perda No. 22 Tahun 2010 Tentang RTRW Provinsi Jawa Barat 2009 -2029;
2. Perda RTRW Kabupaten Sukabumi;
3. Perda RTRW Kabupaten Pandeglang;
4. Perda RTRW Kabupaten Pangandaran;
5. Perda RTRW Kabupaten Cilacap.
Referensi hukum yang sebaiknya di acu pada kajian ini harus sudah
mencerminkan berbagai kepentingan bagi pengembangan kawasan kajian,
3. Gambaran Umum
Kabupaten Pandeglang (Kawasan Tanjung Lesung)
Wilayah Kabupaten Pandeglang berada pada bagian Barat Daya Propinsi Banten dan
secara Geografis terletak antara 6o 21’ – 7o 10’ Lintang Selatan (LS) dan 104o 8’ –
106o 11’ Bujur Timur (BT), dengan batas administrasinya adalah :
Sebelah Utara : Kabupaten Serang
Sebelah Timur : Kabupaten Lebak
Sebelah Selatan : Samudera Indonesia
Sebelah Barat : Selat Sunda
Luas wilayah Kabupaten Pandeglang adalah 274.689,91 Ha atau 274,69 Km2 dan
secara wilayah kerja administrasi terbagi atas 35 kecamatan, 322 desa dan 13
kelurahan.
Dataran di Kabupaten Pandeglang sebagian besar merupakan dataran rendah yakni
di daerah bagian tengah dan selatan, dengan variasi ketinggian antara 0 – 1.778
meter di atas permukaan laut (dpl) dengan luas sekitar 85,07% dari luas wilayah
Kabupaten. Secara umum perbedaan ketinggian di Kabupaten Pandeglang cukup
tajam, dengan titik tertinggi 1.778 m diatas permukaan laut (dpl) yang terdapat di
Puncak Gunung Karang pada daerah bagian utara dan titik terendah terletak
didaerah pantai dengan ketinggian 0 m dpl.
Daerah pegunungan pada umumnya mempunyai ketinggian ± 400 m dpl, dataran
rendah bukan pantai pada umumnya memiliki ketinggian rata-rata 30 m dpl dan
daerah dataran rendah pantai pada umumnya mempunyai ketinggian rata-rata 3 m
dpl.
Kemiringan tanah di Kabupaten Pandeglang bervariasi antara 0 – 45 %; dengan
alokasi 0- 15 % areal pedataran sekitar Pantai Selatan dan pantai Selat Sunda;
alokasi 15 – 25 % areal berbukit lokasi tersebar; dan alokasi 25 – 45 % areal
bergunung pada bagian Tengah dan Utara.
Persebaran ketinggian di Kabupaten Pandeglang yang paling dominan yaitu pada
ketinggian 0-175 mdpl dengan luasan 91.620,27 Ha (33,35%), dan yang terbesar
terdapat di Kecamatan Cikeusik seluas 16.802,73 Ha. Untuk ketinggian > 700 mdpl
tersebar hanya di beberapa kecamatan, lebih sedikit dibandingkan persebaran
untuk ketinggian 0–700 mdpl. Kecamatan Mandalawangi memiliki luas yang paling
besar untuk ketinggian 700–1040 mdpl.
Kelerengan Kabupaten Pandeglang berada antara datar sampai dengan sangat
curam dan sebagian besar kelerengan lahan di Kabupaten Pandeglang berkisar
antara 0–2 % (datar sampai landai), yaitu seluas 179.777,97 ha (65,45%).
Kabupaten Sukabumi
Kabupaten Sukabumi terdiri atas 47 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 364
desa dan 4 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Palabuhanratu. Dengan luas
wilayah 416.173 km², dengan wilayah pesisir dan laut dengan panjang pantai 117
km dimana sejauh 4 mil dari pantai merupakan kewenangan Kabupaten (RTRW
Kabupaten Sukabumi Tahun 2012-2032). Kabupaten sukabumi memiliki 381 desa
yang tersebar di 47 kecamatan (BPS tahun 2013). Kabupaten Sukabumi merupakan
Kabupaten terluas kedua di Pulau Jawa setelah Kabupaten Banyuwangi. Batas
wilayah Kabupaten Sukabumi 40% berbatasan dengan lautan dan 60% merupakan
daratan. Wilayah Kabupaten Sukabumi memiliki areal yang relatif luas yaitu ±
419.970 ha.
Wilayah Kabupaten Sukabumi secara geografis berada pada 6º 57” - 7º 25’ Lintang
Selatan dan 106º 49” - 107º 00’ Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah secara
administratif adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor
Sebelah Timur dengan Kabupaten Cianjur
Sebelah Selatan dengan Samudera Hindia
Sebelah Barat dengan Kabupaten Lebak dan Samudera Hindia.
Perbukitan merupakan ciri utama pantai selatan dengan pantai terjal dan
perbukitan bergelombang dengan kemiringan mencapai 40% dan disusun oleh
sedimen tua. Sedangkan satuan morfologi daratan berkembangn disekitar muara
sungai dengan susunan terdiri atas pasir dan kerikil yang berasal dari endapan
limpahan banjir. Wilayah pantai mulai atas pasir dan kerikil yang berasal dari
endapan batuan geologinya merupakan endapan permukaan berupa alluvium
seperti lempung, lanau, kerikil, dan kerakal. Khusus disekitar Ujung Genteng
batuannya berupa gamping terumbu koral yang mengandung bongkah andesit dan
kuarsa. Sedangkan sekitar Cimandiri hingga Cisolok berupa endapan sedimen breksi
gunning api.
Kabupaten Sukabumi termasuk salah satu daerah di Jawa Barat yang memiliki
potensi bahan tambang yang cukup beragam, yang meliputi bahan galian mineral
logam, mineral bukan logam, batuan, hingga batubara. Bahan galian logam dengan
potensi yang cukup baik antara lain emas, timbal, pasir besi, bijihbesi, dan mangan.
Sedangkan bahan galian non logam dan batuan yang sangat potensial di antaranya
zeolit, bentonit, pasir kuarsa, felspar, marmer, tras, batugamping, tanah liat, andesit,
pasir sungai dan lain-lain.
Penangkaran penyu ini berdiri pada tahun 1970 dengan sistem lelang selama 10
tahun, pada tahun 80an di kontrak setiap 10 thn sekali, dan masih 1 perusahaan
dengan perbakti. Sipidaya bakti sampai agustus tahun 2008 Populasi penyu
Kabupaten Pangandaran
Kabupaten Pangandaran merupakan Daerah
Otonom Baru di Provinsi Jawa Barat yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2012 tentang Pembentukan
Kabupaten Pangandaran di Provinsi Jawa
Barat, letaknya berada di bagian selatan
Provinsi Jawa Barat, yang jaraknya dari
ibukota Provinsi + 236 km. Secara geografis
Kabupaten Pangandaran mempunyai batas-
batas wilayah sebagai berikut :
1. Cigugur 6. Mangunjaya
2. Cijulang 7. Padaherang
3. Cimerak 8. Pangandaran
4. Kalipucang 9. Parigi
5. Langkaplancar 10. Sidamulih
Ruas jalan di Wilayah Kabupaten Pangandaran terdiri dari jalan provinsi dan jalan
nasional. Jalan Provinsi meliputi jalur jalan Kalipucang hingga Majingklak, sepanjang
6,840 km. Sementara Jalan Nasional di wilayah ini meliputi: 1) Jalan Batas Kota
Banjar – Kalipucang sepanjang 38,433 km; 2) Jalan Kalipucang – Batas Provinsi
Jateng sepanjang 0,291 km; 3) jalan Kalipucang – Pangandaran sepanjang 16,054
km; 4) jalan Pangandaran – Cimerak sepanjang 36,790 km; dan 5) jalan Cimerak –
Kalapagenep: 17.187 km
Kondisi hidrologi Kabupaten Cilacap dibentuk oleh beberapa sistem sungai besar,
yang membentuk 7 (tujuh) Daerah Aliran Sungai (DAS) utama yang mempengaruhi
kondisi fisik dan social budaya di Kabupaten Cilacap, yaitu DAS Cibeureum, Ijo,
Donan, Citanduy, Cimeneng, Tipar, dan Serayu. Salah satu aspek penting dalam
kondisi hidrologi Kabupaten Cilacap adalah keterdapatan Segara Anakan. Segara
Anakan semula merupakan Muara Citanduy di sebelah barat Nusakambangan dan
Kali Donan di bagian utara Nusakambangan. Volume sedimen yang diangkut oleh
kedua sungai ini sangat besar. Citanduy mengangkut sedimen dari Gunungapi
Galunggung, sedangkan Kali Donan mengangkut sedimen yang berasal dari
Perbukitan Serayu Selatan.
Kondisi fisik alami wilayah Kabupaten Cilacap mempunyai dua karakteristik utama,
yaitu dataran dan perbukitan. Dataran meliputi dataran pantai dan dataran aluvial.
Dataran aluvial dan pantai mendominasi di daerah sisi selatan dan membentang
dari barat ke timur, dan meliputi Kecamatan Kedungreja, Gandrungmangu,
Patimuan, Kampung Laut, Bantarsari, Cilacap Selatan, Cilacap Tengah, Cilacap Utara,
Adipala, Maos, Sampang, Kroya, Binangun, dan Nusawungu. Sedangkan daerah
perbukitan di Kabupaten Cilacap mendominasi wilayah sebelah utara, dan meliputi
Kecamatan Dayuhluhur, Wanareja, Majenang, Cimanggu, Karangpucung, Cipari,
Kondisi fisik wilayah Cilacap sangat dipengaruhi oleh genesis dari zona tengah dan
zona selatan Jawa. Genesis zona tengah Jawa dapat dilihat pada wilayah Cilacap
bagian utara, dan genesis zona selatan Jawa dapat dilihat pada wilayah Cilacap
bagian selatan. Pada wilayah Cilacap utara, kondisi fisik terbentuk dari asal proses
morfologi yang dibentuk oleh Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu
Selatan. Antara kedua pegunungan tersebut terdapat Lembah Serayu yang terisi
oleh material Gunungapi Sundoro (+3.155 m), dan Sumbing (+3.375 m).
Pada wilayah Cilacap bagian selatan, kondisi fisik terbentuk dari proses yang terjadi
pada zona selatan Jawa yang merupakan merupakan plato dengan sebagian wilayah
mengalami penenggelaman, mulai dari Parangtritis hingga Cilacap, kecuali
Karangbolong, Srandil dan Selok, serta Nusakambangan. Perbukitan Srandil berada
pada gisik yang banyak mengandung pasir besi. Pada lereng perbukitan tersebut,
masih terdapat bekas abrasi, meskipun letaknya agak jauh dari perairan laut. Hal ini
menandakan bahwa garis pantai masa lampau mencapai kaki perbukitan, walaupun
sekarang antara perbukitan dan perairan laut letaknya ratusan meter.
Secara umum kondisi topografi Kabupaten Cilacap bila dilihat dari arah Barat laut
merupakan kawasan pegunungan dengan ketinggian lebih dari 100 m di atas
permukaan laut dengan puncak tertinggi berada di Gunung Subang (+1.210 m dpl)
yang berada di Kecamatan Dayeuhluhur. Selanjutnya ke arah Tenggara terbagi
menjadi dua kawasan bentang alam, di bagian Utara berupa pegunungan dan bagian
Selatan berupa dataran miring landai ke arah Barat Daya–Selatan, memiliki elevasi
kurang dari 100 m dpl dan berbatasan dengan pantai Segara Anakan. Bagian paling
Timur berupa dataran dan di bagian selatan berbatasan langsung dengan Samudera
Hindia (Samudera Indonesia). Pulau Nusakambangan memanjang dari Barat ke
Timur, membatasi Segara Anakan dan Samudera Hindia, pulau tersebut memiliki
bentang alam pegunungan namun tidak begitu tinggi (kurang dari 100 m dpl).
D.1.3. SASARAN
Teori economic base pertama kali dikembangkan oleh Douglass C. North pada tahun
1955. Menurut North, pertumbuhan wilayah jangka panjang bergantung pada
kegiatan industri ekspornya (Douglass C. North, 1955). Kekuatan utama dalam
pertumbuhan wilayah adalah permintaan eksternal akan barang dan jasa yang
dihasilkan dan diekspor wilayah itu. Permintaan eksternal ini akan mempengaruhi
penggunaan modal, tenaga kerja dan teknologi untuk menghasilkan komoditas
ekspor.
Suatu wilayah memiliki sektor ekspor karena sektor itu menghasilkan keutungan
dalam memproduksi barang dan jasa, mempunyai sumber daya yang unik untuk
memproduksi barang dan jasa, mempunyai lokasi pemasaran yang unik dan
mempunyai beberapa tipe keuntungan transportasi. Dalam perkembangannya,
perekonomian wilayah cenderung membentuk kegiatan pendukung yang dapat
menguatkan posisi yang menguntungkan dalam sektor ekspor wilayah itu.
Penekanan terori ini adalah pentingnya keterbukaan wilayah yang dapat
meningkatkan aliran modal dan teknologi yang dibutuhkan untuk kelanjutan
pembangunan wilayah.
Teori ini muncul sebagai reaksi terhadap konsep kestabilan dan keseimbangan
pertumbuhan dari teori Neoklasik. Tesis utama dari teori ini adalah bahwa kekuatan
pasar sendiri tidak dapat menghilangkan perbedaan-perbedaan antar wilayah
dalam suatu negara; bahkan sebaliknya kekuatan-kekuatan ini cenderung akan
menciptakan dan bahkan memperburuk perbedaan-perbedanaan tersebut.
Dalam kritiknya terhadap teori keseimbangan pertumbuhan, Myrdal berpendapat
bahwa perubahan-perubahan dalam suatu sistem sosial tidak diikuti oleh
penggantian perubahan-perubahan pada arah yang berlawanan. Beranjak dari
pendapat ini, ia mengembangkan teori penyebab kumulatif dan berputarnya prose
antar wilayah. Menurut Myrdal, terdapat dua kekuatan yang bekerja dalam proses
pertumbuhan ekonomi, efek balik negatif (backwash effect) dan efek penyebaran
(spread effect). Kedua kekuatan itu digunakan untuk menunjukan kosekuensi spasial
dari pertumbuhan ekonomi terpusat baik negatif maupun positif.
c. Pembagian Kewenangan
Dalam UU No 26 Tahun 2007, pembagian kewenangan yang lebih jelas antara
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kab/Kota dalam
penyelenggaraan penataan ruang diatur dalam Pasal 7 (Kewenangan Negara),
Pasal 8 dan 9 (Kewenangan Pemerintah), Pasal 10 (Kewenangan Pemerintah
Provinsi), dan Pasal 11 (Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota).
Secara skematis, pembagian kewenangan penyelenggaraan penataan ruang
dapat digambarkan seperti yang terlihat berikut ini.
Gambar D.8 Pembagian Kewenangan Penyelenggaraan Penataan Ruang
g. Penekanan Strategis
Beberapa hal yang dinilai cukup strategis dan ditekankan dalam UUPR yang
baru ini disesuaikan dengan perkembangan lingkungan strategis dan
kecenderungan yang ada. Beberapa point penting tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut:
Menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang harus dipenuhi sebagai
alat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin akses dan mutu
pelayanan dasar kepada masyarakat secara lebih merata (Pasal 8).
Proporsi kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas Daerah Aliran Sungai
(DAS) yang dimaksudkan untuk menjaga kelestarian lingkungan (Pasal 17)
Proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah minimal 30%, dimana
proporsi RTH Publik pada wilayah minimal 20% (Pasal 28-30).
Arahan sanksi adalah arahan untuk memberi sanksi bagi siapa saja yang melakukan
pelanggaran dalam pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
yang berlaku. Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib mentaati rencana tata
ruang yang telah ditetapkan; memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan
ruang dari pejabat yang berwenang; mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan memberikan akses terhadap kawasan
yang peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut di atas akan dikenai sanksi
administratif berupa peringatan tertulis; penghentian sementara kegiatan;
penghentian sementara pelayanan umum; penutupan lokasi; pencabutan
pembatalan izin; pembongkaran bangunan; pemulihan fungsi ruang; dan/atau
denda administratif.
Pemberian sanksi terhadap pelanggaran penataan ruang diberikan berdasarkan
besar atau kecilnya dampak yang ditimbulkan akibat pelanggaran penataan ruang;
nilai manfaat pemberian jenis sanksi yang diberikan untuk pelanggaran penataan
ruang; dan kerugian publik yang ditimbulkan akibat pelanggaran penataan ruang.
Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang terteta
pada yaitu Semangat yang melandasi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah
kesadaran akan kondisi alamiah Indonesia yang khas secara ekosistem yang
merupakan sumber daya yang sangat besar sehingga penyelenggaraan penataan
ruang wilayah nasional harus dilakukan secara komprehensif, holistik,
terkoordinasi, terpadu, efektif dan efisien dengan memperhatikan faktor politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pelaksanaan penataan ruang adalah
upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pemanfaatan
ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai
dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta
pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan
tertib tata ruang. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam
kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Jadi dalam pemanfaatan dan pengendalian koridor wilayah harus sesuai
dengan pengertian yang ada dalam petanaan ruang.
Sinergi dengan visi dan misi Kabupaten Pandeglang, tujuan penataan ruang wilayah
adalah mewujudkan ruang wilayah kabupaten sebagai pusat agroindustri dan
pariwisata di Provinsi Banten yang religius, berkelanjutan, serta berwawasan
lingkungan. Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten
Pandeglang sebagai pusat
Kelengkapan Evaluasi
Untuk dapat mengevaluasi hasil dari pemantauan pemanfaatan ruang
diperlukan adanya kelengkapan berikut:
a) Data dan informasi hasil pemantauan sesuai dengan matriks hasil
pemantauan;
b) Peta rencana tata ruang wilayah yang meliputi peta rencana struktur
wilayah dan peta rencana pola wilayah dengan skala sesuai dengan
ketentuan;
c) Peta hasil pemantauan lapangan;
d) Daftar inventarisasi indikator evaluasi baik tahunan maupun lima tahunan
sesuai dengan lingkup dan kedalaman muatan rencana tata ruang wilayah.
Data-data dan informasi dari kegiatan pemantauan digunakan sebagai data
masukan dalam proses kegiatan evaluasi. Di dalam kegiatan evaluasi, hasil
pemantauan dianalisa dan diolah sehingga menghasilkan informasi bagi
penilaian kesesuaian pemanfaatan ruang terhadap rencana tata ruang wilayah.
1) Kesesuaian pada Indikator-indikator Struktur Ruang
Dalam hal ini hasil dari pemantauan terhadap struktur ruang aktual
diperbandingkan dengan rujukan kualitatif pada RTRW Kabupaten ,
meliputi:
(1) Sistem Pusat Pelayanan Kota;
(2) Sistem Prasarana Utama; dan