Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH KULTUR JARINGAN

FAKTOR PENUNJANG KEBERHASILAN KULTUR JARINGAN

Dosen Pengampu:
Dr. Dasumiati, M.Si
Ardian Khairiah, M.Si.

Disusun oleh:
Muhammad Ikhsan (11190950000009)
Nurul Al Fiani (11190950000028)
Rizki Yanti Azzahra (11190950000023)

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke-hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami
berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Faktor Penunjang Keberhasilan Kultur Jaringan”.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan wawasan mengenai mata kuliah
Kultur Jaringan.
Kami sadar, sebagai mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran. Penulisan makalah
ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengarapkan adanya kritik dan
saran yang bersifat positif, guna penulisan makalah yang lebih baik di masa yang akan datang.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala
usaha kita. Aamiin.

Jakarta, 9 September 2021

Penyusun,

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ……...iii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................................................... 1
I. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
II. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 2
III. Tujuan .......................................................................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 3
I. Alat dan Fasilitas Laboratorium Kultur Jaringan ................................................................... 3
I. I. Alat-Alat yang Diperlukan dalam Metode Kultur Jaringan Tumbuhan ....................... 3
I. II. Fasilitas Laboratorium Kultur Jaringan ......................................................................... 5
II. Media Kultur Jaringan ............................................................................................................... 9
II. I. Komponen Media Kultur Jaringan ............................................................................... 10
II.I.I. Zat Anorganik ....................................................................................................... 10
II.I.II. Sumber Karbon..................................................................................................... 14
II.I.III. Suplemen Organik (Organic Suplements) .......................................................... 15
II.I.IV. Arang Aktif ........................................................................................................... 16
II.I.V. Zat Pengatur Tumbuh ......................................................................................... 16
II.I.VI. Zat Pemadat (Solidfying Agents) ......................................................................... 17
II.I.VII. pH .......................................................................................................................... 18
II. II. Jenis-Jenis Media Kultur Jaringan.............................................................................. 18
III. Metode dan Pelaksanaan Kultur Jaringan ............................................................................. 21
III. I. Metode Kultur Jaringan ............................................................................................... 21
III. II. Pelaksanaan Kultur Jaringan ..................................................................................... 26
IV. Faktor Lingkungan ................................................................................................................... 32
IV. I. Faktor Cahaya................................................................................................................ 33
IV. II. Faktor Suhu ................................................................................................................... 36
IV. III. Faktor pH ...................................................................................................................... 38
IV. IV. Faktor Kelembaban ...................................................................................................... 39
IV. V. Faktor Oksigen (O2) dan Karbondioksida (CO2) ........................................................ 40
IV. VI. Faktor Kontaminasi...................................................................................................... 40
BAB III. KESIMPULAN.......................................................................................................................... 42

iii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ ……..43

iv
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Kultur jaringan tanaman (KJT) adalah suatu teknik untuk menumbuhkan sel, jaringan
ataupun irisan organ tanaman di laboratorium pada suatu media buatan yang mengandung
nutrisi yang aseptik (steril) untuk menjadi tanaman secara utuh. Kondisi steril merupakan
suatu syarat mutlak keberhasilan pelaksanaan kultur jaringan, sehingga kondisi ini harus
tetap dijaga selama proses kultur berlangsung. Walaupun hanya satu spora jamur atau hanya
satu sel bakteri yang masuk ke media kultur, maka pekerjaan kultur akan gagal dan tidak
akan dihasilkan tanaman baru (Dwiyani, 2015).
Menurut Mastuti (2017), terdapat hal penting yang perlu diperhatikan dari definisi kultur
jaringan tersebut yaitu lingkungan dan medium buatan yang sesuai. Dimana temperatur,
cahaya dan kelembaban laboratorium kultur jaringan perlu diatur sesuai dengan kebutuhan
pertumbuhan jaringan. Medium kultur mengandung sumber energi, garam anorganik, dan
zat pengatur tumbuh untuk mendukung kebutuhan pertumbuhan sel dan diletakkan di dalam
wadah/botol kaca (in vitro).
Selain itu, kondisi aseptis (steril) juga turut menjadi hal penting yang perlu diperhatikan
dari definisi kultur jaringan. Kondisi aseptis harus dipenuhi oleh eksplan, beberapa peralatan
dan laboratorium serta tahap pengerjaan kultur sehingga dipastikan tidak mengandung
kontaminan berupa mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme yang umumnya lebih
cepat dibanding jaringan tumbuhan akan menghambat pertumbuhan eksplan (Mastuti, 2017).
Hal-hal penting dalam kultur jaringan tersebut sebenarnya merupakan faktor penunjang
keberhasilan dari kultur jaringan itu sendiri. Yang mana berdasarkan penjelasan di atas,
faktor-faktor penunjang keberhasilan dari kultur jaringan meliputi alat dan fasilitas
laboratorium kultur jaringan, media kultur jaringan, metode dan pelaksanaan kultur jaringan,
serta faktor lingkungan yang mempengaruhi kultur jaringan. Oleh karena itu, pada makalah
ini akan membahas tentang faktor-faktor penunjang keberhasilan dari kultur jaringan
tersebut.

1
II. Rumusan Masalah
1. Apa serta bagaimana alat dan fasilitas laboratorium kultur jaringan?
2. Apa serta bagaimana media kultur jaringan?
3. Bagaimana metode dan pelaksanaan kultur jaringan?
4. Apa serta bagaimana faktor lingkungan yang mempengaruhi kultur jaringan?

III. Tujuan
1. Untuk mengetahui jenis serta penggunaan alat dan fasilitas laboratorium kultur jaringan?
2. Untuk mengetahui jenis serta peruntukkan media kultur jaringan?
3. Untuk mengetahui metode dan pelaksanaan kultur jaringan?
4. Untuk mengetahui faktor lingkungan yang mempengaruhi kultur jaringan?

2
BAB II
PEMBAHASAN
I. Alat dan Fasilitas Laboratorium Kultur Jaringan
I. I. Alat-Alat yang Diperlukan dalam Metode Kultur Jaringan Tumbuhan
Gelas ukur, erlenmeyer, petridish, hotplate, timbangan analitik, botol-botol
gelas, oven, magnetic stirrer, destilator, autoclave, lemari es, laminar airflow,
pinset, scalpel, spatula, rak inkubasi, bunsen, aluminium foil, karet, plastik gulung,
batang pengaduk kaca. Gambar atau foto beberapa alat tersebut dapat dilihat pada
tabel 1.
Tabel 1. Gambar dan fungsi beberapa alat dalam metode kultur jaringan
No Nama alat Gambar/Foto Fungsi

1. A Laminar Kabinet yang digunakan untuk


Air-flow isolasi, inokulasi dan subkultur.
Cabinet Laminar air-flow cabinet ini harus
(LAF) steril dan bebas dari debu yang
dilengkapi dengan UV, lampu neon
dan blower. Kabinet ini dapat diganti
dengan enkas (kotak tertutup yang
terbuat dari kaca atau triplek dengan
permukaan licin putih.
2. Oven Untuk mengeringkan alat-alat setelah
disterilkan.

3. Autoclave Untuk mensterilkan alat-alat seperti


botol kultur, pinset, scalpel, dan
media kultur.

3
4. Destilator Untuk destilasi air sehingga
diperoleh aquadest

5. Hotplate Bersama dengan stirrer berperan


untuk menghomogenkan senyawa-
senyawa dalam media kultur dan
untuk memanaskan media padat
(agar)
6. Lemari es Untuk menyimpan stok-stok media
kultur agar tidak cepat rusak

7. Rak Untuk meletakkan botol-botol kultur


inkubasi setelah proses penanaman yang
dilengkapi dengan lampu neon
sebagai sumber cahaya, diletakkan
pada ruang berAC sehingga suhu
terkontrol, dan harus dijaga
kebersihannya. Rak dapat terbuat
dari kaca atau triplek yang
permukaannya putih.
8. Shaker Alat penggojog botol kultur dan
digunakan untuk mengocok eksplan
yang ditanam pada media kultur cair.

4
9. Botol- Botol-botol tempat media dan untuk
botol menanam eksplan kultur jaringan.
media Ukuran botol bervariasi dan
disesuaikan dengan kebutuhan kultur
jaringan. Pemilihan botol diusahakan
yang mulut botolnya kecil, bening
dan tahan terhadap tekanan dan suhu
tinggi.

I. II. Fasilitas Laboratorium Kultur Jaringan


Laboratorium kultur jaringan tidak harus dibangun ruangan baru. Ruang-ruang
di dalam laboratorium yang sudah ada dapat direnovasi untuk keperluan
kulturjaringan. Walaupun dapat memanfaatkan ruangan laboratorium yang sudah
ada, namun demikian pendirian laboratorium baru merupakan langkah yang terbaik,
karena desainnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Laboratorium kultur jaringan sebaiknya mempunyai pembagian ruangan yang
diatur sedemikian rupa sehingga tiap kegiatan terpisah satu dengan yang lainnya,
tetapi masih dapat saling berhubungan dan mudah dicapai. Dalam bab ini akan
diuraikan skema umum laboratorium kultur jaringan, prinsip dan fungsi ruang serta
peralatan yang ada di dalamnya.
Laboratorium yang baik untuk pekerjaan teknik kultur jaringan harus memenuhi
kriteria aman, bersih, memiliki organisasi dan penataan ruang yang sesuai. Lokasi
dari laboratorium itu sendiri sebaiknya jauh dari lingkungan pabrik atau bengkel
yang sering menimbulkan polusi. Kondisi bagian dalam laboratorium mutlak harus
bersih, mulai dari lantai, dinding, meja, alat-alat yang digunakan, maupun udara
diruangan laboratorium tersebut. Laboratorium diusahakan semaksimal mungkin
bebas dari debu, karena debu adalah sumber kontaminan yang paling potensial.
Untuk meminimalisasi kontaminasi yang disebabkan oleh debu maka laboratoriapat
dirangcang menjadi ruangan tertutup tanpa ada ventilasi. Jendela-jendela dapat
dibuat permanen dari kaca (tidak bisa dibuka), namun masih memungkinkan
ditembus oleh cahaya. Ruangan kultur jaringan sebaiknya dilengkapi dengan

5
pengatur suhu udara (dipasang Air Conditioner/AC) sehingga suhu ruangan dapat
diatur sesuai dengan kebutuhan. Suhu ruangan di dalam laboratorium kultur jaringan
berkisar 25-28°C.
Lantai laboratorium juga harus dibersihkan secara rutin dengan antiseptik, meja
dan dinding juga harus dibersihkan dengan larutan antiseptik umumnya permukaan
meja dan dinding dilapisi dengan porselin supaya kedap air dan mudah dibersihkan.
Ruangan didalam laboratorium harus dijaga tetap bersih dan bebas dari debu, hewan
kecil dan insekta. Setiap orang yang akan masuk laboratorium harus melepas
sepatunya dan menggantinya dengan alas kaki yang ada didalam laboratorium dan
harus mengenakan jas praktikum. Kebersihan laboratorium secara umum sangat
menentukan keberhasilan kerja kultur jaringan. Sarana dasar seperti aliran listrik, air
yang cukup dan gas harus dipunyai.
Pelaksanaan kultur jaringan memiliki beberapa tahapan yaitu persiapan,
penanaman, dan pemeliharaan. Oleh karena itu pembagian ruangan laboratorium
kultur jaringan yang baik meliputi: ruang persiapan, ruang transfer (inokulasi) atau
ruang steril, ruang kultur (inkubator dan ruang plantlet) dan ruang aklimatisasi.
 Ruang persiapan
Ruangan ini dipergunakan sebagai tempat untuk mempersiapkan
eksplan, medium, dan alat-alat. Ruang persiapan biasanya dibagi menjadi
berberapa ruangan kecil yang dipergunakan untuk menyimpan medium dan
alatalat yang sudali steril, untuk menyimpan alat-alat gelas, bahan-bahan
kimia dan pembuatan medium (ruang timbang), dan ruangan untuk mencuci.
Persiapan eksplan yang dilakukan meliputi pencucian,
pemotongan/pembuangan bagian-bagian tanaman yang tidak dipergunakan
serta perlakuan awal untuk mengurangi kontaminan yang ada dipermukaan
tanaman. Persiapan medium meliputi penimbangan bahan kimia medium,
pengenceran medium, penuangan kedalam wadah kultur dan sterilisasi.
Sesuai dengan fungsinya, fasilitas yang dibutuhkan didalam ruangan ini
adalah meja tempat meletakkan alat-alat pemanas, meja untuk alat-alat

6
timbang, meja untuk bekerja dan tempat mencuci, semua meja adalah
kongkrit (statis dari beton) dan beralas porselin.
Peralatan yang diletakkan di dalam ruangan ini terdiri dari: oven,
magnetic stirrer dengan atau tanpa pemanas, alat-alat gelas, lemari alat-alat
gelas; alat-alat untuk mencuci, rak pengering, alat-alat diseksi (spatula,
pisau, scalpel, pinset, glinting, cutter).
 Ruang timbang
Ruangan ini dipergunakan untuk tempat menyimpan bahan-bahan kimia
medium dan mempersiapkan medium kultur. Persiapan medium kultur
meliputi penimbangan bahan kimia medium, pengenceran larutan stok,
membagi-bagi dalam botol kultur dan sterilisasi. Ruang timbang
berhubungan langsung dengan ruang persiapan. Fasilitas yang diperlukan
dalam ruangan ini adalah meja kerja dan meja untuk alat-alat timbang beralas
porselin. Peralatan yang diletakkan diruangan ini terdiri dari: timbangan
analitik, lemari es dan freezer untuk menyimpan larutan stok, hot plate
dengan magnetik stirrer, bunsen dengan kaki tiga, pH meter, lemari bahan
kimia dana alat-alat (aluminum foil, kertas timbang, kertas saring.
 Ruang stok
Ruang stok dipergunakan untuk menyimpan alat-alat steril dan medium
yang sudah jadi (steril). Didalam pelaksanaan teknik kultur jaringan,
sebelum penanaman eksplan maupun subkultur dilakukan, medium kultur
harus sudah disiapkan minimum tiga hari sebelum diperlukan. Medium yang
sudah jadi harus disimpan didalam ruangan yang dingin dan gelap. Fasilitas
yang diperlukan diruangan ini berupa meja kerja beralas porselin. Ruang
stok harus berhubungan langsung 2 arah, satu arah dengan ruang persiapan
(setelah media disterilisasi diruang persiapan, dapat langsung dibawa
keruangan ini) dan arah yang lain dengan ruang transfer atau ruang steril,
ruangan ini meskipun tidak harus steril tetapi kebersihannya harus tetap
terjaga. Alat-alat yang terdapat di ruangan ini meliputi: kereta dorong, rak-

7
rak untuk meletakkan medium steril, oven untuk menyimpan alat-alat steril.
 Ruang steril / transfer
Ruang transfer merupakan ruangan dimana semua kegiatan aseptis
dimulai. Kegiatan yang dilakukan meliputi : sterilisasi, isolasi bagian-bagian
tanaman, dan penanaman eksplan dalam medium. Kegiatan subkultur,
sterilisasi medium dengan ultrafiltrasi juga dilakukan diruangan ini.
Ruangan ini mutlak harus steril, sehingga sedapat mungkin bebas dari debu
dan hewan kecil, dinding ruangan dilapis porselin atau bahan lain yang kedap
air dan mudah dibersihkan. Ruangan ini juga dilengkapidengan tempat cuci
tangan sehingga memudahkan petugas yang akan memulai dengan pekerjaan
aseptis, pengatur suhu (AC), lampu ultra violet dan lampu TL biasa. Ruang
transfer harus terisolir sedemikian rupa tetapi masih dapat berhubungan
dengan ruang stok, ruang inkubasi dan ruang mikroskop. Pintu penghubung
harus selalu dalam keadaan tertutup.
Ruang transfer dilengkapi dengan alat-alat sebagai berikut: laminar air
flow cabinet, peralatan utama untuk melakukan pekerjaan aseptis, dissecting
microscope, alat-alat diseksi (scalpel, pinset, spatula, gunting, jarum), hand
sprayer untuk alcohol, bunsen burner/lampu alkohol/bacticinerator, meja
beralas kaca/formica dengan laci untuk menyimpan alat-alat steril, kapas dan
alcohol.
 Ruang inkubasi/kultur
Ruang kultur merupakan ruang besar dengar kemungkinan perluasan bila
diperlukan. Kebersihannya harus diperhatikan dan sedapat mungkn dihindari
terlalu banyak keluar masuknya orang-orang yang tidak berkepentingan.
Ruangan ini dipergunakan untuk memelihara eksplan yang telah ditanam
pada medium secara aseptis. Kultur yang telah lumbuh dan memperbanyak
diri, secara teratur harus disubkultur. Tergantung dari jenis eksplan dan tipe
kultur, subkultur dilakukan setiap 3-6 minggu sekali, hal ini berarti tiap bulan
ada pelipatan jumlah kultur.

8
Botol-botol kultur diatur dengan menempatkannya pada rak-rak terbuka
yang bertingkat (3-4 tingkat) dengan lampu fluorescent, jarak tiap tingkat
40-50 cm. Jarak antara rak harus diatur sedemikian rupa sehingga
memudahkan lalulintas pemeriksa kultur. Di dalam ruang kultur, lingkungan
fisik diatur sedemikian rupa sehingga mendukung pertumbuhan yang
optimal, untuk itu perlu ada pengaturan terhadap suhu dan cahaya. Unsur-
unsur dan cahaya yang perlu diperhatikan adalah kualitas, lama penyinaran
dan intensitas cahaya.

II. Media Kultur Jaringan


Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.
Keberhasilan perbanyakan dan perkembangbiakan tanaman dengan metode kultur jaringan
secara umum sangat tergantung pada jenis media. Media tumbuh pada kultur jaringan sangat
besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit yang
dihasilkannya. Oleh karena itu, macam-macam media kultur jaringan telah ditemukan
sehingga jumlahnya cukup banyak. Nama-nama media tumbuh untuk eksplan ini biasanya
sesuai dengan nama penemunya.
Media tumbuh untuk eksplan berisi kualitatif komponen bahan kimia yang hampir sama,
hanya agak berbeda dalam besarnya kadar untuk tiap-tiap persenyawaan. Pada umumnya
komposisi utama media tanam kultur jaringan, terdiri dari hormon (zat pengatur tumbuh) dan
sejumlah unsur yang biasanya terdapat di dalam tanah yang dikelompokkan ke dalam unsur
makro, unsur mikro. Hasil yang lebih baik akan dapat kita peroleh bila, kedalam media
tersebut, ditambahkan vitamin, asam amino, dan hormon, bahan pemadat media (agar),
glukosa dalam bentuk gula maupun sukrosa, air destilata (akuades), dan bahan organik
tambahan.

9
II. I. Komponen Media Kultur Jaringan
II.I.I. Zat Anorganik
Penumbuhan tanaman secara In vitro membutuhkan zat-zat yang sama
dengan tumbuhan yang ditanama secara in vivo. Makronutrient merupakan
kelompok zat yang dibutuhkan dalam konsentrasi besar hingga lebih dari 0.5
mM/l. Makronutrien antara lain nitrogen, potassium, phosphorus, calcium,
magnesium and sulphur. Nitrogen yang digunakan biasanya dalam bentuk
ion ammonium (NH4+) and nitrate (NO3-). Dalam media Nitrogen dan
kalium dibutuhkan sekitar 25 mM/l. Makronutrien lainnya dibutuhkan
dengan konsentrasi 1-3 mM/l. Micronutrient merupakan nutrient yang
dibutuhkan dengan konsentrasi kurang dari 0.05 mM/l. Beberapa
diantaranya iron, manganese, zinc, boron, copper and molybdenum. Zat-zat
tambahan atau yang dikenal dengan inorganic elements dibutuhkan dalam
jumlah yang asangat kecilnamun sangat esesnsial dalam pertumbuhan
tanaman.
Unsur makro dibutuhkan dalam jumlah cukup besar, pada umumnya
diberikan dalam bentuk persenyawaan. Beberapa persenyawaan
makronutrien yang umum digunakan pada medium kultur jaringan, antara
lain: KNO3; NH4NO3; Ca(NO3).4H2O; NaNO3; CaCl2.2H2O; MgSO2.7H2O;
KCl; KH2PO4; NH4H2PO4; NaH2PO4.2H2O; Na2SO4; (NH4)2SO4; NH4Cl;
K2SO4.
 Nitrogen
Nitrogen diberikan dalam bentuk persenyawaan yang bermacam-macam,
antara lain: KNO3; NH4NO3; Ca(NO3).4H2O; NaNO3; NH4H2PO4;
(NH4)2SO4; NH4Cl. Kebutuhan N terbesar adalah untuk menyusun asam-
asam nukleat, protein, sebagai koenzym atau persenyawaan lain yang
mengandung N seperti klorofil, alkaloid, derivat purin dan pirimidin dan
beberapa hormon endogen. Sumber nitrogen pada medium kultur adalah ion
ammonium (NH4)+ dan nitrat (NO3)-. Jumlah ion ammonium yang
digunakan berkisar antara 2-8 mM, sedangkan nitrat berkisar antara 25-40
10
mM. Pengambilan unsur nitrat memerlukan pH rendah, sebaliknya
pengambilan ammonium menyebabkan pembebasan H+ sehingga medium
menjadi asam. Medium Murashige dan Skoog (MS) menyediakan nitrogen
dalam bentuk garam NH4NO3, ini merupakan strategi yang baik dan
mempunyai keuntungan ganda, karena selain sumber N nya lengkap juga
dalam bentuk garam effeknya terhadap penurunan pH medium berkurang.
 Fosfor
Fosfor diberikan pada medium kultur jaringan dalam bentuk
persenyawaan KH2PO4 atau K2HPO4; NH4H2PO4; NaH2PO4. Ion
POtotal yang diberikan pada medium bervariasi antara 0,5 - 20 mM/1. Unsur
P didalam sel diubah menjadi persenyawaan RNA dan DNA, zat-zat yang
sangat penting yang bertanggung jawab tas sifat-sifat keturunan. Unsur P
diperlukan sebagai aktifator ensim untuk memacu pertumbuhan pada
jaringan meristematik. Kelebihan unsur P dapat menghambat pertumbuhan
eksplan, karena akan terjadi persaingan penyerapan dengan unsur lain seperti
seng (Zn), besi (Fe) dan tembaga (Cu).
 Kalium
Kalium diberikan pada medium dalam bentuk KNO3; KH2PO4 atau
K2HPO4, KCl; dan K2SO4. Ion K+ total yang diberikan pada medium
bervariasi antara 1,837-25.18 mM/1. Unsur K sangat diperlukan untuk
memacu pembelahan sel, sintesa karbohidrat dan protein, pembuatan klorofil
serta untuk mereduksi nitrat. Kalium berpengaruh pada hidratasi, menambah
atau mengurangi hidratasi pada misel sehingga mempengaruhi keluar
masuknya nutrien ke dalam sel.
 Sulfur
Sulfur atau belerang diberikan pada medium dalam bentuk
MgSO4.7H2O; (NH4)2SO4; K2SO4; FeSO4.7H2O; MnSO4.4H2O;
ZnSO4.7H2O; CuSO4. 5H2O. Pemberian belerang berkisar antara 0,75 - 3
mM/1. Sulfur ada didalam beberapa molekul protein dan koenzym. Memacu

11
perkembangan akar, juga berguna untuk ketahanan atau proteksi tubuh
tumbuhan. Belerang diserap dalam bentuk SO4=, antara lain dijadikan
aneurin, biotin, persenyawaan asam amino yang ada belerangnya misalnya,
cystein, methionin.
 Calcium
Calcium atau kapur diberikan pada medium dalam bentuk
Ca(NO3).4H2O;CaCl2.2H2O; Ca3(PO4)2. Pemberian ion Ca berkisar
antara 1-3 mM/l. Pemakaian Canitrat ada kelemahannya karena sangat
higroskopis, sehingga didalam wadahnya seringkali (dijumpai kristalnya
berair. Sebaiknya Ca-nitrat dibuat larutan stok dan disimpan didalam kulkas.
Ca-fosfat juga ada kelemahannya yaitu tidak mudah larut. Untuk
melarutkannya, sejumlah tertentu Ca-fosfat dimasukan kedalam Erlenmeyer
50 ml, kemudian diberi beberapa tetes HCl 0,1 N campuran ini digojok
sambil dipanasi sampai larut (tampak jemih). Calcium diperlukan untuk
pembentukan dinding primitive, sebagai Capectatyaitu bagian integral dari
dinding sel, penting sebagai kation selular dan kofaktor enzym. Calcium
mempengaruhi hidratasi, permeabilitas dan penyerapan nutrient. Calcium
juga mempengaruhi tingginya pH, menetralisir racun, misalnya pada asam
oksalat. Asam oksalat dengan Ca akan menjadi Ca-oksalat berbentuk kristal
dan diisolasi atau dimumifikasikan ikklam sel tertentu menjadi sel sel Kristal.
 Magnesium
Magnesium terutama diberikan pada medium dalam bentuk
MgSO4.7H2O. Magnesium diperlukan sebagai elemen utama dalam
pembentukan klorofil, berperan penting sebagai aktivator ensim terutama
dalam proses fosforilasi dan sintesis protein dengan cara membentuk
komplek ensim-substrat. Unsur hara mikro adalah unsur yang diperlukan
dalam jumlah sedikit. Fungsinya belum diketahui secara pasti, tetapi tidak
adanya zat-zat ini dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan. Air dan bahan
kimia yang tingkat kemurniannya rendah seringkali terkontaminasi oleh

12
unsur hara mikro. Bentuk persenyawaan hara mikro yang umum digunakan
pada beberapa medium kultur : MnSO4.4H2O; ZnSO4. 7H2O; H3BO3; KI;
CuSO4.5H2O; NaMoO4.2H2O; CoCl2. 6H2O; FeCl3.6H2O; Fe III citrate;
FeSO4.7H2O; NaFeEDTA; Na2EDTA.2H2O;Fe(SO4)3; Fe III tartrate.
 Besi
Besi diperlukan dalam jumlah sedikit lebih banyak daripada unsur mikro
yang lain, diberikan dalam bentuk chelat. Pemberian Fe bersama-sama
dengan NaEDTA dimaksudkan agar besi tetap pada jangkauan pH yang luas
dalam jangka waktu yang lama sehingga dapat diserap oleh jaringan tanaman.
Fe berperan penting dalam sintesis klorofll, konfersi energi pada fotosintesis
dan respirasi dengan melakukan reduksi oksidasi, bagian dari sitokrom. Besi
diberikan pada medium kultur jaringan berupa FeCl3.6H2O; Fe III citrate;
FeSO4.7H2O; NaFeEDTA 2H2O; Fe(SO4)3; Fe III tartrate.
 Boron
Boron diberikan pada medium kultur sebagai asam borak (boric acid,
H3BO3). Berperan dalam translokasi karbohidrat, juga terlibat dalam
difsrensiasi seluler dan perkembangan. Ikatan boron organis memungkinkan
adanya diferensiasi dan penyusunan struktur halus dari dinding sel sehingga
memudahkan transport karbohidrat dan penyerapan ion kedalam sel; sebagai
aktifator dan inaktifator bagi zat pengatur tumbuh. Kalau boron kurang zat
pengatur tumbuh menjadi terlalu banyak sehingga menghambat
pertumbuhan.
 Molybdenum
Molybdenum diberikan pada medium sebagai sodium molybdat
(Na2MoO4- 2H2O) berpartisipasi pada konfersi nitrogen ke ammonia dan
fiksasi nitrogen, ikut dalam metabolisme protein, sintesis asam askorbat,
kofaktor enzim.

13
 Mangan
Manganese merupakan elemen esensial yang terdapat pada membrane
kloroplas, berperan sebagai aktifator ensim dengan bertindak sebagai
perantara pada proses fosforilasi atau sebagai gugus redok Mn2+. Bahan
pembentuk klorofil dan aktip dalam fotosintesa, metabolisme protein dan
pembentukan vitamin C. Pada medium kultur diberikan dalam bentuk
MnSO4.
 Cobalt
Cobalt merupakan elemen dari molekul vitamin B komplek, esensial
untuk fiksasi nitrogen. Pada medium kultur jaringan diberikan dalam bentuk
persenyawaan Cobalt Oiloride (CoCl2).
 Zincum
Zincum berperan sebagai aktifator ensim, penyusun khlorofil, pemacu
pembentukan zat pengatur tumbuh terutama IAA. Pada medium kultur
jaringan diberikan dalam bentuk one sulfate (ZnSO4).
 Cuprum
Cuprum merupakan bagian dari ensim, Cu bereaksi menjadi komponen
phenolase, lactase dan askorbat oksidase. Ikut ambil bagian dalam proses
fotosintesis dan reduksi nitrit. Cuprum diberikan pada medium kultur
jaringan dalam bentuk Cupric sulfate (CuSO4 5H20).
 Chlorine
Chlorine sebagai ion berpengaruh terhadap aktifitas ensim, memacu
proses fotosintesis. Chlorine diberikan pada medium kultur jaringan berupa
calcium chloride (CaCl2).

II.I.II. Sumber Karbon


Gula merupakan sumber enargi utama dalam kultur jarinagn. Secara
alami tumbuhan dapat mengahsilkan gula melalui fotosintesis, namun dalam
kultur in vitro tumbuhan tidak dapat berfotosintesis sehingga gula

14
dibutuhkan sebagai sumber energi untuk dapat pertumbuhan, dan
pembelahan sel. Karbon atau sumber energy yang banyak digunakan adalah
sukrosa dengan konsentrasi 20-60g/l. Ketika media di autolaf sukrosa akan
terhidrolisis menjadi glukosa dan fruksosa. Fructose juka diautoklaf akan
bersifat toksik. Monosakarida lain yang juga dapat digunakan sebagai
sumber gula diantaranya glucose, sorbitol, dan raffinose. Carbohydrates juga
akan meningkatkan tekanan osmotik oleh karena itu pada kultur antera
konsentarasi yang digunakan dalam konsentrasi yang lebih tinggi (6-12%).

II.I.III. Suplemen Organik (Organic Suplements)


Suplemen organik merupakan zat organik yang ditambahlan ke dalam
medium. Suplemen organik meliputi:
 Vitamins
Vitamin merupakan zat organik yang dibutuhkan untuk proses
metabolism yang berfungsi sebagi kofaktor atau enzim. Untuk
menghasilkan pertumbuhan optimum maka dalam medium
ditambahkan berbagai vitamin seperti Thiamine (B1), nicotinic acid
(B3), pyridoxine(B6), pantothenic acid (B5). Konsentrasi vitamin
yang biasa digunakan berkisar 0.1 - 5mg/l)
 Amino acids
Penambahan asam amino pada medium penting untuk
merangsang pertumbuhan sel di dalam kultur protoplasma dan juga
untuk menginduksi dan mempertahankan embriogensesis somatik.
Nitrogen organik yang tereduksi lebih mudah diambil tumbuhan
dibandingkan nitrogen anorganik. Beberapa asam amino yang
digunakan seperti: L-glutamine, L-asparagine, L-cystein, dan L-
glycine.

15
 Organik kompleks
Organik kompleks merupakan kelompok suplemen yang tidak
dapat didefenisikan. Beberapa contok organik kompleks yaitu casein
hydrolysate, coconut milk, yeast extract, orange juice, tomato juice.
Organik komplek ini biasanya ditambahkan ketika pemberian
komponen lain menghasilkan pertumbuhan yang kurang abik. Casein
hydrolysate telah terbukti banyak menghasilkan kultur jaringan yang
baik dan potato extract juga digunakan dalam kultur antera.

II.I.IV. Arang Aktif


Arang aktif berfungsi untuk merangsang atau menghambat pertumbuhan
tergantung jenis tanaman yang dikultur. Arang aktif terbukti merangsang
pertumbuhan dan diffrensiasi Anggek (orchids), wortel dan tomat sebaliknya
menghambat pertumbuhan tembakau dan kedelai. Arang aktif akan
mengapsorbsi pigmen kecoklatan dan senyawa phenolik yang dihasilkan
selama penkullturan dan mereduksi toksisitas. Arang aktif juga dapat
mengabsorpsi senyawa organik seperti zat pengatur tumbuh, vitamin
sehingga dapat menghambat pertumbuhan. Pemberian arang aktif
mengakibatkan media menjadi berwarna gelap sehingga dapat merangsang
pembentukan akar.

II.I.V. Zat Pengatur Tumbuh


Zat pengatur tumbuh berfungsi untuk merangsang pembelahan sel dan
mengatur pertumbuhan dan diffrensiasi akar dan taruk (shoot) pada eksplan.
Zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan dalam kultur jaringan yaitu
auxins, cytokinin, gibberellins dan abscissic acid.
 Auksin
Auksin berfungsi menginduksi pembelahan sel, pemanjangan sel,
apical dominansi, pembentukan akar adventif, dan embriogensis somatis.
Pada saat konsentrasi auksi rendah maka auksin akan menginduksi inisiasi
16
akar dan pada konsentrasi tinggi akan merangsang pembentukan kalus.
 Cytokinins
Citokinin berfungsi merangsang pembelahan sel dan merangsang
inisiasi dan pertumbuhan shoot secara in vitro. Citokinin sintetik yang
banyak digunakan dalam kultur jaringan antara lain: Zeatin, 6-
benzylaminopurine (BAP), dan kinetin, 2-iP. Sitokinin bertindak mengatur
dominansi apikal dengan merangsang pembentukan taruk aksiler. Ketika
digunakan dalam konsentrasi yang tinggi, sitokinin akan menghambat
pembentukan akar dan menginduksi pembentukan taruk. Rasio auksin dan
sitokinin dalam kutur akan menentukan arah morfogenesis. Rasio auksin
dan sitokiknin akan menentukan morfogenesis, jika rasio rendah akan
menginisiasi pembentukan kalus maupun akar dan jika rasionya tinggi
maka akan menginisasi pembentukan shoot.
 Gibbrellins dan abscissic acid
Gibbrellins dan abscissic acid: merupakan kelompok Zat pengatur
tumbuh yang jarang digunakan. Gibbrellic acid (GA3) banyak digunakan
untuk pemanjangan internodus dan pertumbuhan meristem. Abscissic acid
(ABA) digunakan hanya untuk embriogenesis somatis dan kultur spesies
tumbuhan berkayu.

II.I.VI. Zat Pemadat (Solidfying Agents)


Zat pemadat digunakan untuk membuat medium kultur jaringan semi padat
atau medium padat. Medium padat memungkinkan eksplan kontak dengan
zat nutrient yang terdapat pada media (hanya salah satu sisi yang kontak
dengan media) sedangkan permukaan yang lain kontak dengan udara. Agar
merupakan polisakarida yang diperoleh dari rumput laut dan dapat mengikat
air. Pada medium agar ditambahkan dengan konsentrasi 0.5% -1 %( w/v).
Agarose, merupakan ekstrak purifikasi dari agar yang digunakan dalam
kultur protoplast.

17
II.I.VII. pH
PH mempengaruhi absopsi ion-ion dan juga kepadatan medium. pH
optimum untuk kultur sebelum disterilisasi adalah 5,8. Jika pH kurang dari
4.5 atau lebih tinggi dari 7.0 maka akan menghambat pertumbuhan dan
perkembangan kultur in vitro. pH medium biasanya akan turun sekitar 0.3 -
0.5 unit setelah diautoklaf.

II. II. Jenis-Jenis Media Kultur Jaringan


Komposisi zat-zat yang dibutuhkan tumbuhan pada kultur in-vitro mirip dengan
zat nutrien yang dibutuhkan dalam in vivo. Kebutuhan setiap jenis tumbuhan memiliki
kesamaan dan perbedaan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya variasi medium yang
digunakan dalam kultur jaringan. Beberapa jenis media yang dikenal dalam kultur
jaringan antara lain:
 Medium Murashig-Skoog (MS)
Media Murashige-Skoog (Tabel 2) merupakan perbaikan komposisi media
Skoog, terutama kebutuhan garam anorganik yang mendukung pertumbuhan
optimum pada kultur jaringan tembakau. Media MS mengandung 40 mM N dalam
bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4 +. Kandungan N ini, lima kali lebih
tinggi dari N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media
tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari media White. Kalium juga
ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan Phospor 1.25 mM. Unsur makro lainnya
konsentrasinya dinaikkan sedikit. Pertama kali unsur-unsur makro dalam media MS
dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum
digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain. Media MS paling banyak
digunakan untuk berbagai tujuan kultur.
 Media Lin Staba
Media Lin Staba dikembangkan setelah penemuan media MS. Lin & Staba,
menggunakan media dengan setengah dari komposisi unsur makro MS, dan
memodifikasi : 9 mM ammonium nitrat yang seharusnya 10mM, sedangkan KH2
PO4 yang dikurangi menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM. Larutan senyawa makro
18
dari media Lin & Staba, kemudian digunakan oleh Halperin untuk penelitian
embryogenesis kultur jaringan wortel.
 Media Knop
Media Knop dapat juga digunakan untuk menumbuhkan kalus wortel.
Kultur kalus, biasanya ditumbuhkan pada media dengan kosentrasi garam-garam
yang rendah seperti dalam kultur akar dengan penambahan suplemen seperti
glucosa, gelatine, thiamine, cysteine-HCl dan IAA.
 Media White
Media White dikembangkan oleh Hildebrant untuk keperluan kultur
jaringan tumor bunga matahari, ditemukan bahwa unsur makro yang dibutuhkan
kultur tersebut, lebih tinggi dari pada yang dibutuhkan oleh kultur tembakau. Unsur
F, Ca, Hg dan S pada media untuk tumor bunga matahari ini, sama dengan media
untuk jaringan normal yang dikembangkan kemudian. Konsentrasi NO3 - dan K+
yang digunakan Hildebrant ini lebih tinggi dari media white, tetapi masih lebih
rendah dari pada media-media lain yang umum digunakan sekarang.
 Media Knudson
Media Knudson dikembangkan khusus untuk kultur anggrek. Tanaman
yang ditanam di kebun dapat tumbuh dengan baik dengan pemupukan yang hanya
mengandung N dari Nitrat. Knudson pada tahun 1922, menemukan penambahan
7.6 mM NH4+ disamping 8.5 mM NO3-, sangat baik untuk perkencambahan dan
pertumbuhan biji anggrek. Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk
perkembangan protocorm.
 Media Nitsch & Nitsch
Media Nitsch & Nitsch, menggunakan NO3-dan K+ dengan kadar yang
cukup tinggi untuk mengkulturkan jaringan tanaman artichoke Jerussalem.
Penambahan ammonium khlorida sebanyak 0.1 mM, menghasilkan pertumbuhan
jaringan yang menurun. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa NH4+ sangat
menunjang pertumbuhan kalus tembakau.
 Media Gamborg B5

19
Media Gamborg B5 (media B5) pertama kali dikembangkan untuk kultur
kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan
media MS. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan
suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian
tanaman.. Pada masa ini media B5 juga digunakan untuk kultur-kultur lain. Media
ini dikembangkan dari komposisi PRL-4, media ini menggunakan konsentrasi
NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih tinggi dari 2 mM menghambat
pertumbuhan sel kedelai. Fosfat yang diberikan setelah 1 mM, Ca2+ antara 1-4
mM, sedangkan Mg2+ antara 0.5-3 mM.
 Media Schenk & Hildebrant
Media Schenk & Hildebrant (SH) merupakan media yang juga cukup
terkenal, untuk kultur kalus tanaman monokotil dan dikotil. Konsentrasi ion-ion
dalam komposisi media SH sangat mirip dengan komposisi pada media Gamborg
dengan perbedaan kecil yaitu level Ca2+, Mg2+, dan PO4-3 yang lebih tinggi.
Schenk & Hildebrant mempelajari pertumbuhan jaringan dari 37 jenis tanaman
dalam media SH dan mendapatkan bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan,
tumbuh dengan sangat baik, 19% baik, 30% sedang, 14% kurang baik, dan 5%
buruk pertumbuhannya. Tetapi karena zat tumbuh yang diberikan pada tiap jenis
tanaman tersebut berbeda. Media SH ini cukup luas penggunaannya, terutama
untuk tanaman legume.
 Media WPM (Woody Plant Medium)
Media WPM (Woody Plant Medium) yang dikembangkan oleh Lioyd & Mc
Coen pada tahun 1981, merupakan media dengan konsentrasi ion yang lebih rendah
dari media MS. Media diperuntukkan khusus tanaman berkayu, dan dikembangkan
oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media
WPM. Saat ini WPM banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman hias
berperawakan perdu dan pohon-pohon. Pada umumnya media kultur jaringan
dibedakan menjadi media dasar dan media perlakuan. Resep media dasar adalah
resep kombinasi zat yang mengandung hara esensial (makro dan mikro), sumber

20
energi dan vitamin. Dalam teknik kultur jaringan dikenal puluhan macam media
dasar. Penamaan resep media dasar pada umumnya diambil dari nama penemunya
atau peneliti yang menggunakan pertama kali dalam kultur khusus dan memperoleh
suatu hasil yang penting artinya.

III. Metode dan Pelaksanaan Kultur Jaringan


III. I. Metode Kultur Jaringan
A. Embriogenesis somatik
Embriogenesis somatik adalah proses terbentuknya struktur menyerupai
embrio dari sel-sel somatik. Fase yang dilewati dalam embriogenesis somatik
ini serupa dengan fase terbentuknya embrio zigotik hasil fertilisasi.
Embriogenesis somatik terbentuk dari individu sel atau sekelompok sel,
kemudian memasuki globular stage (fase bentuk bundar), heart stage (fase
bentuk hati) dan torpedo stage (fase bentuk menyerupai torpedo) baru kemudian
menjadi embrio. Pada fase torpedo, meristem ujung batang dan meristem ujung
akar sudah dapat terdeteksi. Meristem ujung batang nantinya akan berkembang
menjadi tunas dan meristem ujung akar menjadi akar. Proses terbentuknya
embrio somatik ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung
(melalui kalus). Pada banyak literatur mengenai embriogenesis somatik secara
tidak langsung, contoh yang sering diberikan adalah tanaman wortel (Daucus
carota). Eksplan yang berasal dari jaringan pada umbi wortel (misalnya
empulur) disterilisasi dan ditanam pada media dasar MS padat yang
mengandung 1mg/liter 2,4-D untuk menginduksi kalus. Kalus yang terbentuk
kemudian disubkultur ke media MS cair tanpa hormon untuk menginduksi sel-
sel (massa sel) yang embriogenik (sel-sel yang memiliki potensi membentuk
embrio) yang selanjutnya membentuk embrio somatik. Kultur sel dalam media
cair ini dilakukan dengan shaker (penggoyangan). Selanjutnya embrio somatik
ini disubkultur ke media MS padat yang mengandung 0,025 mg/liter ABA
(absicic acid) untuk pematangan embrio (membentuk mature embryos). Dari
embrio ini selanjutnya terbentuk plantlet.
21
Contoh lain dari embriogenesis somatik secara tidak langsung (melalui
kalus) dikemukakan oleh Naing et al (2011) pada tanaman anggrek Coelogyne
cristata. Kalus diinduksi dari irisan daun (panjang 3-5 mm) yang berasal dari
seedling dalam botol dengan jalan menanam pada media MS (konsentrasi
penuh) yang ditambah hormon 2,4-D dan Benzyladenine (BA). Konsentrasi 2
mgL-1 2,4-D dan 2 mgL-1 BA memberikan hasil optimal untuk pembentukan
kalus. Selanjutnya kalus tersebut disubkultur pada media ½ MS tanpa hormon
dengan penambahan 2gL-1 arang aktif untuk pembentukan embrio somatik.
Selanjutnya terjadi pematangan embrio dan membentuk tanaman secara utuh
(plantlet) setelah 30 hari subkultur.
Embriogenesis secara langsung jarang dilakukan dalam perbanyakan
tanaman melalui kultur jaringan dibandingkan metode secara langsung. Contoh
yang umum diberikan adalah untuk tanaman alfalfa (Medicago falcata). Eksplan
yang berupa daun trifoliate muda disterilisasi dan diiris menjadi potongan-
potongan kecil dan diletakkan pada media dasar B5 cair yang mengandung 2,4-
D (4 mg/liter), kinetin (0,2 mg/liter), adenin (1 mg/liter), glutathione (10
mg/liter) dan dishaker selama 10-15 hari. Selanjutnya eksplan dicuci bersih dan
dipindah ke media B5 cair tanpa hormon yang mengandung maltose dan
polyethylene glycol untuk pembentukan embrio somatik. Pematangan embrio
dilakukan dengan melakukan subkultur ke media dasar B5 padat yang
mengandung ABA. Selanjutnya embrio ini membentuk plantlet.
Jika dilihat dari proses pembentukan embrio somatik, baik secara langsung
maupun tidak langsung, sebenarnya melewati dua fase yang sama. Fase pertama
adalah penggunaan 2,4-D konsentrasi tinggi untuk inisiasi embrio dan fase
kedua adalah tanpa 2,4-D untuk produksi embrio. Jadi disini ditekankan bahwa
untuk terbentuknya embrio somatik, media harus bebas dari 2,4-D karena 2,4-D
menginduksi sel-sel untuk terus menerus berada pada fase tidak terdiferensiasi
(undeterminate state) sehingga embrio tidak terbentuk. Pemindahan ke media
tanpa hormon diperlukan untuk terjadinya diferensiasi sel menjadi embrio.

22
B. Organogenesis
Organogenesis dalam kultur jaringana dalah proses terbentuknya organ
dari jaringan eksplan secara langsung, maupun secara tidak langsung (melalui
fase kalus). Pada dasarnya, regenerasi tanaman melalui organogenesis
dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu:
 Organogenesis secara langsung dari eksplan yang memiliki primordia
tunas
 Organogenesis secara langsung dari eksplan yang tidak memiliki
primordia tunas
 Organogenesis secara tidak langsung melalui fase kalus
Organogenesis secara langsung dari eksplan yang memiliki primordia
tunas dapat terjadi jika jaringan eksplan yang digunakan memiliki bakal tunas
(pre-existing shoots) yang belum muncul ke permukaan. Tunas apikal (apical
buds), tunas lateral (laterally buds), dan irisan buku/ruas pada batang (nodal
segment) dapat dijadikan bahan eksplan untuk pilihan tipe ini. Media kultur
dimodifi kasi dengan menambahkan hormon untuk induksi tunas sehingga bakal
tunas tersebut dapat muncul ke permukaan. Adanya hormon jenis sitokinin dapat
memunculkan tunas-tunas tersebut, tidak hanya satu tunas tapi terjadi proliferasi
sehingga muncul tunas dalam jumlah banyak. Tunas yang muncul dari metode
mikropropagasi dengan cara ini disebut tunas aksilar, sehingga seringkali
metode ini disebut axillary bud formation (abf). Khusus untuk anggrek dari
genus Phalaenopsis, ruas tangkai bunganya berisi bakal tunas sehingga
seringkali digunakan untuk bahan eksplan dalam mikropropagasi dengan
metode abf.
Organogenesis secara langsung dari eksplan yang tidak memiliki bakal
tunas dapat terjadi jika tunas muncul secara langsung misalnya dari irisan daun.
Contohnya, tunas-tunas kecil dapat tumbuh secara langsung dari irisan daun
anggrek Vanda tricolor yang ditanam pada media dasar MS tanpa hormon
(Gambar 16). Selanjutnya tunas-tunas ini disubkultur ke media untuk induksi
23
akar untuk menghasilkan plantlet. Tunas yang muncul dari jaringan tanaman
yang tidak memiliki bakal tunas disebut tunas adventif. Istilah tunas adventif
juga digunakan untuk perbanyakan tanaman secara vegetatif konvensional,
misalnya untuk tunas yang muncul dari stek daun tanaman cocor bebek (Coleus
sp).

Skala= 0.5 cm
Gambar 1. Tunas adventif dari eksplan irisan daun anggrek V. tricolor (a) serta
plantlet yang dihasilkan (b)
(Sumber: Dwiyani, 2015)
Organogenesis secara tidak langsung terjadi jika organ yang terbentuk
(dalam hal ini tunas) terjadi melalui fase kalus. Contohnya adalah pada kultur
umbut kelapa sawit seperti yang dicontohkan sebelumnya pada Gambar 12.
Kalus yang awalnya terbentuk dari eksplan umbut kelapa sawit disubkultur ke
media yang mengandung hormon untuk induksi tunas. Selanjutnya tunas-tunas
ini dipindahkan ke media pengakaran untuk membentuk plantlet secara utuh.
C. Regenerasi Plantlet melalui Pembentukan Protocorm Like Bodies pada
Tanaman Anggrek
Protocorm adalah suatu struktur berbentuk bulat, berwarna kuning, hijau
atau hijau kekuningan yang dihasilkan dari perkecambahan biji-biji anggrek.
Biji-biji anggrek yang jumlahnya jutaan dalam sebuah kapsul (istilah untuk buah
anggrek), jika berkecambah membentuk struktur bulat berwarna putih pada
awalnya. Lama kelamaan struktur putih akan berubah menjadi kuning,

24
kemudian hijau kekuningan dan hijau. Protocorm memiliki bakal akar dan bakal
tunas seperti halnya embrio zigotik karena protocorm berasal dari biji. Pada
anggrek V. tricolor, meristem ujung batang akan terdeteksi 12 minggu setelah
penanaman. Gambar 17 memperlihatkan struktur protocorm anggrek V. tricolor
pada 8 dan 12 minggu setelah semai.
Protocorm like bodies (plb) adalah struktur menyerupai protocorm yang
merupakan hasil morfogenesis dari eksplan yang berasal dari selsel somatik.
Misalnya jika bahan eksplan adalah organ tanaman anggrek, seperti irisan daun
atau irisan akar. Plb juga memiliki bakal akar dan bakal tunas seperti protocorm,
sehingga plb sebenarnya menyerupai embrio somatik. Gambar 18
memperlihatkan plb anggrek Phalaenopsis amabilis 6 minggu setelah tanam dan
plantlet yang dihasilkan.

a= 8 minggu setelah semai; b= 12 minggu setelah semai. Skala = 1 mm


Gambar 17. Protocorm anggrek V. tricolor .

Plb umur 6 MST (kiri) dan plantlet yang dihasilkan setelah 12 MST (kanan)
MST = minggu setelah tanam; Skala = 1 mm.
Gambar 2. Protorm like bodies anggrek P. amabilis dari eksplan irisan
pangkal akar
(Sumber: Dwiyani, 2015)
25
Pada Gambar 18 tersebut, tampak plb umur 6 MST yang sudah
menampakkan bakal tunas. Akar terbentuk dengan sendirinya tanpa melalui
pemindahan ke media pengakaran, mengindikasikan bahwa plb memang
memiliki bakal akar seperti halnya protocorm dari biji. Dengan demikian, plb
yang terbentuk dari sel-sel somatik tersebut lebih menyerupai embrio somatik,
sehingga prosesnya lebih kepada embriogenesis dibandingkan organogenesis.
Jadi plb bersifat bipolar, artinya memiliki bakal tunas dan sekaligus bakal akar.
Sifat bipolar dan monopolar merupakan perbedaan yang paling mendasar
antara organogenesis dan embriogenesis. Organogenesis dicirikan oleh sifat
monopolar, atau pertumbuhan ke satu arah yakni pembentukan dan
pertumbuhan tunas (ke arah atas) atau pembentukan dan pertumbuhan akar (ke
arah bawah), sedangkan pada embriogenesis pertumbuhan terjadi ke dua arah.
Pada organogenesis, pertumbuhan yang terjadi masih memiliki hubungan
dengan jaringan eksplan asalnya, sedangkan pada embriogenesis pertumbuhan
yang terjadi bersifat mandiri dan tidak berhubungan lagi dengan jaringan
eksplan asalnya.

III. II. Pelaksanaan Kultur Jaringan


Tahapan yang dilakukan dalam pelaksanaan kultur jaringan tanaman bervariasi
sesuai dengan tujuan penelitian atau pengerjaan. Secara umum tahapan untuk
pelaksanaan kultur jaringan sebagai berikut:
A. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dilakukan untuk memastikan keseluruhan peralatan dan
bahan yang akan digunakan tersedia. Alat dan bahan yang akan digunakan
terlebih dahulu dibersihkankemudian disterilisasi. Sterilisasi merupakan tahapan
yang sangat kritis dalam pelaksanaan kultur jaringan. Hal ini dilakukan untuk
memastikan seluruh alat dan bahan yang akan digunakan ada dalam keadaan steril
sesuai dengan prinsip kultur jaringan merupakan kultur yang bersifat aseptik.
Sterilisasi meliputi beberapa hal antara lain sterilisasi alat, bahan maupun media.

26
Semua peralatan baik alat pembuatan media (botol kultur) dan alat inokulasi
eksplan (cawan petri, scalpel blade, gunting eksplan, pinset, kertas saring dan
tissue) dilakukan sterilisasi. Sterilisasi dilakukan dengan autoklaf dengan suhu
121oC tekanan 1,5 atm selama 20 menit.

Gambar 3. Tahapan sterilisasi eksplant (biji). A) bij dituang ke dalam cawan


petri; B) Cloroks (antiseptik) ditambah ke cawan petri; C) Seluruh permukaan
petri diisi dengan cloroks; D) dilakukan pengadukan supaya semua permukaan
biji terendam dengan kloroks.
(Sumber: Mineo 1990)

Gambar 4. Tahapan persiapan eksplan.


(Sumber: Mineo 1990)

27
B. Tahap Pembuatan Media
Media yang digunakan dalam kultur jaringan bervariasi sesuai dengan
tujuan penelitian. Media yang umum digunakan antara lain medium Murashige-
Skoog (MS), medium Vacint Went (VW), media Gamborg, medium B5 dan
medium White. Setiap media memiliki komposisi yang berbeda, namun secara
umum mengandung unsur makronutrien, mikronutrien, unsur tambahan yang
dibutuhkan tumbuhan. Medium MS merupakan medium yang paling memiliki
senyawa makro dan mikronutrien yang paling lengkap sehingga paling sering
digunakan untuk mikropropagasi berbagai jenis tumbuhan.
Sediaan medium kultur jaringan saat ini bervariasi ada yang berbentuk
instant (tinggal tuang) namun ada dalam bentuk senyawa tunggal sehingga
penting dibuat larutan stok. Berikut ini merupakan contoh pembuatan medium
MS baik dari medium instant. Medium MS instant untuk satu liter dimasukkan
ke dalam 1000 mL akuades dan diaduk hingga larut sempurna. PH medium diatur
5,8 – 6,0 dengan menambahkan NaOH atau HCl. Bila yang akan dibuat media
padat maka pada medium tersebut ditambahkan agar-agar sebanyak 7-8 gr lalu
dipanaskan hingga mendidih dan agar terlarut sempurna. Media yang telah
terbentuk dimasukkan ke dalam botol kultur sebanyak 15-20 mL perbotol lalu
ditutup dengan alumunium foil. Medium dalam botol kultur disetilkan dengan
menggunakan autoklap autoklav dengan suhu 121oC pada tekanan 15 atm Psi
selama 15 menit.

C. Tahap Inokulasi Eksplan


Eksplan merupakan bagian-bagian tanaman (daun, biji, akar, kotiledon atau
bagian lainnya) yang akan diinokulasikan dalam medium in vitro. Sebelum
eksplan di inokulasikan terlebih dahulu disterilakn. Proses sterilisasi eksplan
berbeda dengan sterilisasi medium maupun alat. Sterilisasi eksplan dilakukan
secara bertahap. Secara umum sterilisasi eksplan diawali dengan pencucian
dengan menggunakan air mengalir kemudian disterilisasi dengan menggunakan

28
zat-zat yang bersifat antiseptik seperti bayclin, alkohol, antibiotik atau zat lain
yang memiliki zat aktif. Berikut ini contoh merupakan sterilisasi eksplan berupa
daun muda tembakau Nicotiana tabacum. Daun tembakau diterilisasi dengan cara
dicelupkan pada etanol 70% selama 25 detik kemudian dicuci dengan aquades
steril, selanjtnya direndam dalam larutan sodium hipoklorit 1% selama 10 menit,
lalu dicuci dengan aquades steril secara bertingkat sebanyak 3 sampai 4 kali.
Selanjutnya dicuci dengan aquades steril. Sodium hipoklorit yang digunakan
adalah Bayclin™ (konsentrasi Natrium hipoklorid 5,25 %). Sterilisasi eksplan
dilakukan di dalam laminar air flow dengan kondisi aseptik. Selanjutnya eksplan
diambil dengan pinset dan ditiriskan pada kertas saring steril.
Setelah diperoleh ekslant yang telah steril maka dilakukan inokulasi eksplan.
Inokulasi merupakan proses penanaman eksplant pada media. Proses inokulasi
dilakukan di laminar air flow dengan kondisi aseptik. Alat-alat inokulasi ditata
didalam laminar air flow. Setiap alat tersebut dicelupkan ke dalam alkohol 95%
dan dilewatkan di atas nyala api bunsen selama 1-2 menit. Daun tembakau yang
telah steril dipotong ±1x1 cm dan diinokulasikan ke dalam botol kultur yang telah
berisi ± 20 ml media MS dengan posisi bagian abaksial menyentuh medium.

29
Gambar 5. Tahapan inokulasi eksplan pada media.
(Sumber: Mineo 1990)
Berikut ini merupakan contoh dari perbanyakan tembakau dengan
menggunakan kultur jaringan. Untuk induksi kalus digunkan medium yang
digunakan merupakan medium MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh
(ZPT) berupa 1,0 ppm 2,4-D (2,4-diclorophenoxi acetat acid). Untuk
menginduksi taruk (shoot) kalus dipihdahkan ke medium yang sama dengan
menambahkan 0,5 ppm BAP (Benzil Amino Purine) pada medium. Untuk
menginduksi akar, shoot yang telah terbentuk dipindahkan ke medium yang
mengandung 2,0 ppm IBA (Indole Butirat Acid) dan 2,0 ppm NAA (Naftalene
Acetat Acid) (Gambar 4).

30
Gambar 6. Kultur jaringan Nicotiana tabacum (a) Kalus (b) Pembentukan taruk
(shoot) (c) Pembentukan akar.
(Sumber: Hussain et al,.2012)
Kultur jaringan juga dapat dilakukan untuk membantu tumbuhan yang sulit
dibiakkan secara alami seperti Anggrek. Anggrek merupakan tanaman hias yang
memiliki nilai ekonomi yang sangat besar. Beberapa spesies tersebut antara lain:
Phalaenopsis, Dendrobium, dan Cattelya. Berikut ini merupakan mikropropagasi
Phalaeonopsi dengan menggunakan kultur jaringan. Regenerasi kalus dibiakkan
dalam medium MS dengan penambahan 3,0% sukrosa, dengan penambahan
berbagai konsentrasi BAP dan 2,4-D. Kalus yang dikultur mengalami poliferasi
setelah 30 hari di kultur. Kalus yang paling baik terbentuk pada penambahan 0,5
ppm BAP. Kalus yang terbentuk berwarna hijau dan kompak. Untuk induksi taruk
kalus dipindahkan pada medium yang mengandung BAP dan GA3 (Giberelin
Acid). Taruk yang paling baik terdapat pada medium dengan penambahan 1,0
ppm GA3. Untuk menginduksi akar, taruk yang telah terbentuk dipindahkan ke
medium yang mengandung 2,0 ppm IBA

31
Gambar 7. Mikropropagasi Anggrek (a) kultur kalus (b) pembentukan
taruk (c) pembentukan akat pada plantlet.
(Sumber: Dwiyani, 2015)

IV. Faktor Lingkungan


Kondisi lingkungan merupakan salah satu faktor terpenting yang dapat menentukan
keberhasilan dalam kultur in vitro, sehingga sangat penting untuk diperhatikan. Lingkungan
ruang inkubasi merupakan hasil interaksi dari bahan tanam, botol kultur, dan lingkungan
ruang eksternal. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan kultur in vitro diantaranya adalah suhu, kelembaban, cahaya, karbondioksida
(CO2), dan oksigen (O2) (Zulkarnain, 2009).
Menurut Yuniardi (2019), faktor cahaya dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan dalam proses pertumbuhan dalam kultur in vitro berdasarkan
kualitas, intensitas, dan lamanya radiasi. Karena cahaya yang mengenai tumbuhan
mempunyai pengaruh yang besar terhadap berbagai proses fisiologi tumbuhan. Selain itu
diantara faktor lain, faktor suhu dan cahaya menjadi yang paling menentukan perkembangan
embrio. Namun, suhu menjadi faktor yang sangat menentukan respon fisiologis kultur dan
kecepatan pertumbuhan (Gunawan, 1992).

32
Menurut Ibrahim (2015), pentingnya memperhatikan lingkungan tumbuh kultur jika
melakukan perbanyakan tanaman melalui embriogenesis somatik pada kultur jaringan.
Adalah karena tahapan utama perkembangan embriogensis somatik adalah induksi kalus
embriogenik, pematangan embrio, perkecambahan, pendewasaan planlet, dan aklimatisasi,
dimana tahap tersebut memerlukan kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Sehingga,
berdasarkan hal-hal tersebut, faktor lingkungan yang mempengaruhi kultur jaringan meliputi
cahaya, suhu, pH, kelembaban, oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2), serta faktor
lingkungan yang terpengaruh oleh organisme kontaminan.

IV. I. Faktor Cahaya


Cahaya dapat mempengaruhi pembentukan klorofil, fotosintesis, fototropisme,
dan fotoperiodisme pada tanaman. Efek cahaya meningkatkan kerja enzim untuk
memproduksi zat metabolik pada pembentukan klorofil. Sedangkan, pada proses
fotosintesis, intensitas cahaya mempengaruhi laju fotosintesis saat berlangsungnya
reaksi terang. Jadi cahaya secara tidak langsung mengendalikan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, karena hasil fotosintesis berupa karbohidrat digunakan
untuk pembentukan organ-organ tumbuhan (Yuniardi, 2019).
Seperti halnya pertumbuhan tanaman dalam kondisi in-vivo, kuantitas dan
kualitas cahaya, yaitu intensitas, lama penyinaran dan panjang gelombang cahaya
juga mempengaruhi pertumbuhan eksplan dalam kultur in-vitro. Pertumbuhan organ
atau jaringan tanaman dalam kultur in-vitro umumnya tidak dihambat oleh cahaya,
namun pertumbuhan kalus yang umumnya dihambat oleh cahaya (Yuniardi, 2019).
Cahaya dalam kultur jaringan sendiri berguna untuk mengatur proses-proses
morfogenik tertentu seperti pembentukan pucuk dan akar, namun tidak untuk
fotosintesis karena sumber energi bagi eksplan telah disediakan oleh sukrosa
(George & Sherrington, 1984).
Menurut Sandra (2018), intensitas cahaya yang optimum untuk tanaman pada
tahap kultur inisiasi adalah 1 - 1.000 lux, kemudian tahap multiplikasi 1.000 - 10.000
lux, tahap pengakaran 10.000 – 30.000 lux dan tahap aklimatisasi sebesar 30.000

33
lux. Dalam proses perbanyakan atau tahap multiplikasi dari kegiatan yang telah
dilaksanakan menunjukan kebutuhan cahaya semakin tinggi karena efek cahaya
dapat meningkatkan kerja enzim untuk memproduksi zat metabolik untuk
pembentukan klorofil. Multiplikasi adalah kegiatan eksplan dalam memperbanyak
jumlah bagian tanaman, untuk kultur in vitro sendiri kegiatan multiplikasi sebagian
besar ditujukan untuk perbanyakan tunas (Yuniardi, 2019).

Gambar 8. Tanaman Aglonema dengan (a) tingkat pencahayaan 20 lux, (b)


tingkat pencahayaan 950 lux.
(Sumber: Yuniardi, 2019)

Ketika kultur menerima intensitas cahaya yang kurang, biasanya kultur akan
menunjukan gejala etiolasi dan vitrifikasi. Etiolasi ditandai dengan ciri panjangnya
ruas tanaman yang terbentuk, sedangkan vitrifikasi ditandai dengan sukulensi,
batang bening, dan lemas, karena banyak mengandung air (Sandra, 2018). Selain itu,
diketahui juga bahwa dengan itensitas cahaya yang kurang diterima oleh tanaman,
akan menyebabkan kerusakan auksin yang berperan dalam kegiatan pemanjangan
tunas dari eksplan tanaman (Yuniardi, 2019).
Dari hasil pengamatan yang dilakukan Yuniardi (2019), menunjukan tanaman
yang kurang mendapatkan cahaya sebagian besar planletnya mengalami kematian.
Dalam kegiatan kultur jaringan sendiri terdapat tahapan-tahapan yang harus
dilakukan sebelum eksplan menjadi tanaman yang siap untuk ditanam di lingkungan
luar.Tahap atau proses kultur jaringan berbeda-beda inilah maka kebutuhan tanaman
terhadap cahaya juga akan berbeda. Walaupun dalam kultur jaringan zat pengatur
tumbuh sangat mempengaruhi pertumbuhan namun dengan diimbangi dengan
34
pencahayaan yang optimum maka proses perbanyakan tanaman (tunas) akan lebih
menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak karena cahaya dapat menghambat
dominasi pertumbuhan apikal (Yuniardi, 2019).
Pada ruang kultur di fasilitas laboratorium kultur jaringan, umumnya lampu
flourescent (TL) menjadi sumber cahaya utama. Penggunaan lampu TL dikarenakan
lampu tersebut menghasilkan cahaya warna putih, dan sinar lampu TL tidak
meningkatkan suhu ruang kultur secara drastis. Intensitas cahaya yang digunakan
pada ruang kultur umumnya jauh lebih rendah (1/10) dari intensitas cahaya yang
dibutuhkan tanaman dalam keadaan normal. Pada embriogenesis somatik,
pencahayaan harus disesuaikan dengan kebutuhan eksplan. Untuk induksi kalus
embriogenik, pematangan embrio dan perkecambahan kondisi ruang kultur yang
gelap sangat dibutuhkan, sementara untuk pendewasaan planlet diperlukan cahaya
dalam ruang kultur dengan intensitas cahaya 1000 – 1500 lux (Ibrahim, 2015).
Selain intensitas cahaya, lama penyinaran atau fotoperiodesasi juga berpengaruh
terhadap pertumbuhan tanaman yang dikulturkan. Lama penyinaran yang diberikan
umumnya diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan tanaman dan kondisi alamiahnya.
Periode lama penyinaran yang diberikan menggunakan periode terang dan gelap,
umumnya lama penyinaran diatur 8 - 16 jam terang dan 16 - 8 jam gelap bergantung
dengan varietas tanaman yang dikulturkan (Basri, 2016).
Dalam teknik kultur jaringan tanaman (in vitro), cahaya dinyatakan dengan
dimensi lama penyinaran, intensitas dan kualitasnya. Prof. Murashige menyarankan
untuk mengasumsikan kebutuhan lama penyinaran dalam kultur jaringan tanaman
merupakan pencerminan dari kebutuhan periodisitas tanaman yang bersangkutan
dilapangan. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan. Energy
radiasi dekat dengan spectrum ultraviolet dan biru merupakan kualitas cahaya yang
paling efektif untuk merangsang pertumbuhan tunas, sedangkan pembentukan akar
dirangsang oleh cahaya merah dan sedikit cahaya biru. Untuk itu tahap inisiasi dan
multiplikasi tunas digunakan pencahayaan dengan lampu fluorescent atau TL
(Yusnita, 2004).

35
IV. II. Faktor Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan kultur in vitro. Menurut Ajijah et al., (2010) suhu
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman baik secara in vitro
maupun in vivo. Namun diantara keduanya, peranan suhu in vitro lebih kritis
dibanding suhu in vivo (Zulkarnain, 2009). Hal ini dikarenakan pada kultur in vitro
memiliki jaringan yang bersifat peka, sehingga suhu memberikan pengaruh
langsung terhadap perkembangan sel, jaringan dan pembentuk organ tanaman
(Zulkarnain, 2009). Faktor suhu sendiri berpengaruh secara langsung terhadap
perkembangan sel dan jaringan, pembentukan organ tanaman dan berkaitan erat
dengan siklus perkembangan tanaman yang berada dibawah pengaruh enzim pada
kultur in vitro.
Suhu mempengaruhi komponen dan metabolisme sel dalam spektrum yang luas.
Besarnya cekaman yang ditimbulkan oleh suhu berbeda-beda tergantung dari laju
perubahan suhu, intensitas dan lamanya periode cekaman (Sung et al., 2003; Wahid
et al., 2007). Suhu yang tinggi mempengaruhi fluiditas membran sel sehingga fungsi
membran dan seluruh aktifitas metabolisme yang tergantung kepada fungsi
membran menjadi terganggu (Maestri et al., 2002). Suhu yang tinggi juga dapat
menyebabkan enzim-enzim terdenaturasi dan kehilangan fungsinya (Taiz & Zeiger,
2002). Hasil penelitian Dekov et al. (2001) menunjukkan pada tanaman bunga
matahari perlakuan suhu tinggi mengakibatkan laju fotosintesis menurun secara
nyata, jumlah grana dan tilakoid berkurang, dan membran kloroplas terganggu.
Beberapa hasil penelitian lain, menunjukkan suhu mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan tanaman baik secara in vitro maupun in vivo. Menurut Kotak et
al. (2007), respon tanaman terhadap cekaman suhu tinggi merupakan fenomena
yang sangat kompleks. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh
suhu lebih dari faktor lingkungan lainnya pada saat air bukan merupakan faktor
pembatas (Thuzar et al., 2010). Hasil penelitian Amutha et al. (2007) menunjukkan
perlakuan cekaman suhu tinggi pada 22 genotipe tanaman bunga matahari
menghasilkan perubahan yang signifikan pada karakter fisiologis tanaman secara in
36
vivo. Sementara hasil penelitian Vaz et al. (2004) menunjukkan cekaman suhu tinggi
(32°C) menekan pertumbuhan bunga matahari secara in vitro. Demikian juga hasil
penelitian Li & Wolyn (1996) menunjukkan suhu inkubasi berpengaruh secara nyata
terhadap embriogenesis somatik tanaman asparagus yaitu terhadap jumlah embrio
somatik yang dihasilkan dan keberhasilan konversi embrio somatik menjadi planlet.
Namun, bagaimana pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan eksplan embrio somatik purwoceng secara in vitro sejauh ini belum
diketahui.

Gambar 9. Pengaruh suhu inkubasi terhadap rata-rata pertumbuhan bobot segar


eksplan embrio somatik Purwoceng setelah periode inkubasi1, 2, dan 3 bulan.
(Sumber: Ajijah et al., 2010)

Menurut Levitt (1980), jika cekaman suhu tinggi dipertahankan dalam waktu
yang cukup lama, penghambatan terhadap pertumbuhan akan digantikan oleh
kerusakan dan kematian sel. Kebocoran ion merupakan ciri pertama terjadinya
kerusakan sel akibat suhu tinggi. Kebocoran ion ini terjadi akibat adanya kerusakan
pada membran sel. Hasil penelitian Ismail & Hall (1999) pada tanaman Vigna
unguiculata menunjukkan persentase kebocoran ion pada daun yang mendapat
perlakuan suhu tinggi semakin meningkat dengan meningkatnya suhu dan
bertambah lamanya periode perlakuan cekaman. Hasil ini sejalan dengan hasil yang
diperoleh Wu et al. (1984) pada kultur sel tanaman pir yang menunjukkan tingkat

37
kerusakan sel akibat suhu tinggi semakin meningkat dengan meningkatnya suhu dan
bertambah lamanya periode cekaman. Alsadon et al. (2006) menggunakan
kebocoran ion sebagai indikator seleksi toleransi beberapa genotipe tomat terhadap
cekaman suhu tinggi secara in vitro. Suhu optimum untuk kultur jaringan tanaman
berbeda-beda untuk setiap spesies. Suhu untuk kultur jaringan spesies tanaman yang
biasa tumbuh di daerah panas berkisar antara 25 - 27ºC, sedangkan untuk spesies
tanaman dari daerah dingin lebih rendah (Chalupa, 1987).
Jika dilihat dari suhu optimum morfogenesis setiap tanaman, suhu optimumnya
berbeda-beda. Hal ini dikarenakan setiap tanaman memiliki karakteristik dan
kesesuaian yang berbeda terhadap lingkungan. Walaupun tidak ada kisaran suhu
optimum yang berlaku secara universal untuk pertumbuhan kultur in vitro pada
sebagian tanaman, Zulkarnain (2009) mengemukakan bahwa rentang suhu 25-28℃
pada ruang kultur in vitro memberikan manfaat bagi pertumbuhan sebagian besar
spesies tanaman. George dan Sherrington (1984) juga mengemukakan bahwa suhu
24-32℃ cocok digunakan untuk pertumbuhan kultur in vitro. Sementara itu
Nugrahani et al., (2011) mengemukakan suhu standar ruang kultur in vitro berkisar
23-27℃ dan Sulistiani &Yani (2012) menyatakan lingkungan fisik pertumbuhan
kultur in vitro diatur sedemikian rupa pada rentang suhu 22-25℃ untuk mendukung
pertumbuhan kultur in vitro yang optimal.

IV. III. Faktor pH


Tingkat kemasaman (pH) pada media kultur perlu diatur supaya tidak
mengganggu fungsi membran sel dan pH sitoplasma (Gunawan, 1987). Pengaturan
pH media selain memperhatikan kepentingan fisiologi sel, juga harus
mempertimbangkan faktor-faktor: 1) Kelarutan dari garam-garam penyusun media,
2) Pengambilan dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam laindan 3) Efisiensi
pembekuan agar (Gunawan, 1987). Meskipun begitu, sampai saat ini belum ada
penelitian mengenai pH optimum spesifik setiap tanaman kultur. Namun, secara
umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan bagian tanaman, tumbuh dengan baik
pada media yang mengandung buffer lemah pada pH antara 5 - 6 (Wetherell, 1982).
38
IV. IV. Faktor Kelembaban
Kelembaban merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan dalam kultur
in vitro. Kelembaban relatif yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman secara kultur
in vitro adalah 33,4% dengan kelembaban wadah kultur 70% dan kelembaban dalam
wadah mendekati 90% (Sandra, 2013). Menurut Zulkarnain (2009), kelembaban
relatif yang dibutuhkan oleh tanaman didalam ruang kultur yaitu sekitar 70%
sedangkan didalam wadah kultur diperlukan kelembaban hingga mendekati 90%.
Apabila kelembaban ruang menyusut menyebabkan terjadinya penguapan air pada
wadah kultur yang semakin tinggi (Febriyanti, 2015).
Padahal kelembaban udara penting untuk mencegah kultur mengalami
kekeringan meskipun perlu tetap diatur dalam rentang yang normal. Sebab, jika
kelembaban ruangan rendah maka penguapan air dari media kultur akan terlalu besar
dan sebaliknya, sedangkan jika kelembaban ruangan tinggi akan menyebabkan
terjadinya pertumbuhan mikroba di luar wadah kultur atau alat-alat sehingga akan
menaikkan derajat kontaminasi. Kelembaban relatif ruang tumbuh kultur dalam
jaringan menurut pendapat lain yaitu kurang lebih 70%, didalam botol telah
menghendaki kelembaban yang lebih tinggi (Wetherell, 1982).
Penguapan sebagai efek dari kelembaban yang menyusut sendiri ditandai dengan
adanya titik-titik uap air didalam dinding wadah botol kultur dan akan terakumulasi
kemudian mulai jatuh ke permukaan media yang dapat menjadi salah satu penyebab
terjadinya kontaminasi. Dimana kondisi ruang dengan kelembaban yang terlalu
rendah dapat menyebabkan pengeringan pada eksplan yang dikulturkan (Jasmine,
2017). Sebaliknya, kelembaban yang terlalu tinggi menyebabkan perkembangan
morfologi dan fisiologi tanaman kultur menjadi tidak sempurna, sehingga planlet
tumbuh abnormal. Salah satu contoh dari keadaan planlet abnormal adalah vitrifikasi,
yaitu suatu kondisi dimana tanaman yang dikulturkan terlihat bening dan tembus
cahaya akibat kelebihan air (Sandra, 2013). Zulkarnain (2009) juga memaparkan
kelembaban yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya vitrifikasi pada daun-daun
yang terbentuk.

39
IV. V. Faktor Oksigen (O2) dan Karbondioksida (CO2)
Pengaruh karbondioksida di dalam kultur jaringan berkaitan erat dengan
kebutuhan bagi proses fotosintesis. Secara umum, diduga bahwa CO2 merupakan
syarat mutlak untuk kultur tanaman tingkat tinggi di bawah kondisi cahaya
(Gammon, 1985). Sejumlah peneliti mengungkapkan bahwa tidak ada atau sedikit
sekali pengaruh CO2 yang tinggi terhadap pertumbuhan eksplan yang kekurangan
klorofil atau terhadap eksplan yang kekurangan klorofil atau terhadap eksplan yang
dikulturkan di dalam kondisi gelap (Fardians, 1993). Hal tersebut juga sejalan
dengan pengaruh oksigen terhadap kultur jaringan. Dimana oksigen merupakan
salah satu faktor pembatas bagi pembelahan dan pertumbuhan sel-sel pada jaringan
yang dikulturkan secara in vitro. Namun, sedikit sekali ditemukan laporan yang
mengungkapkan keterlibatan oksigen didalam sistem kultur in vitro (Hidayat, 2007).

IV. VI. Faktor Kontaminasi


Kontaminasi merupakan hal yang serius dalam kultur in vitro, kontaminasi dapat
berasal dari eksplan tumbuhan, organisme kecil yang masuk ke dalam media, alat
yang tidak steril dan lingkungan kerja yang kotor (Susilowati & Listyawati, 2001).
Kontaminasi sendiri ditandai dengan adanya pertumbuhan mikroorganisme
(kontaminan) yang tumbuh pada permukaan media atau pada eksplan pada masa
inkubasi (Putri, 2009). Sehingga dibutuhkan kecermatan dan keadaan aseptik yang
tepat dan sesuai agar kultur yang ditanam dapat tumbuh optimal. Apabila terjadi
kontaminasi bahan kultur akan menjadi rusak bahkan mati (Oratmangun et al., 2017),
sehingga jumlah kultur akan berkurang dan mengalami kegagalan.

40
Gambar 10. Eksplan kontaminasi pada Pisang Barangan.
(Sumber: Mardiana, 2019)

Karjady & Buchory (2007) menjelaskan bahwa kontaminasi dapat disebabkan


oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal disebabkan oleh
mikroorganisme yang hidup didalam jaringan sedangkan faktor eksternal
disebabkan oleh kondisi media yang tidak steril, lingkungan yang kurang
mendukung dan cara kerja yang tidak tepat (Zulkarnain, 2009). Karjady & Buchory
(2007) juga memaparkan perbedaan kontaminasi internal dan eksternal berdasarkan
waktu muncul atau respon eksplan terhadap kontaminasi, yaitu kontaminasi
eksternal cenderung lebih cepat muncul dari pada kontaminasi internal.
Menurut Gunawan (2007) kisaran waktu munculnya kontaminasi eksternal yaitu
pada kisaran 48 jam (2 hari) sedangkan kontaminasi internal membutuhkan respon
hingga 30 hari (1 bulan). Hal ini juga didukung oleh pernyataan Shofiyani &
Damajanti (2015) bahwa waktu muncul kontaminasi eksternal terjadi 10 hari
pertama setelah inisisiasi dan kontaminasi internal muncul lebih dari 10 hari.
Berdasarkan pemaparan tersebut kontaminasi pada penelitian merupakan
kontaminasi internal. Kontaminasi dapat diminimalisir dengan menyemprotkan
alkohol 70% pada ruang inkubasi atau rak kultur secara intensif sebagai upaya
pencegahan kontaminasi (Santoso & Nursandi, 2003).

41
BAB III
KESIMPULAN
Terdapat beberapa macam faktor penunjang keberhasilan kultur jaringan yang meliputi
alat-alat yang diperlukan pada laboratoium kultur jaringan berupa gelas ukur, labu erlenmeyer,
petridish, hotplate, timbangan analitik, botol-botol gelas, oven, magnetic stirrer, destilator,
autoclave, lemari es, laminar airflow, pinset, scalpel, spatula, rak inkubasi, bunsen, aluminium
foil, karet, plastik gulung, dan batang pengaduk kaca. Fasilitas laboratorium kultur jaringan seperti
kebersihan laboratorium, tersedia aliran listrik, air yang cukup dan gas perlu dimiliki, serta ruang
pelaksanaan kultur jaringan yang memiliki pembagian ruangan yaitu ruang persiapan, ruang
timbang, ruang stok, ruang steril, dan ruang inkubasi.
Media tanam turut serta menjadi faktor penunjang keberhasilan kultur jaringan. Dimana
media sangat penting pada keberhasilan kultur jaringan, karena media tersebut memiliki
komponen media kultur jaringan berupa zat anorganik, sumber karbon, suplemen organik, arang
aktif, zat pengatur tumbuh, zat pemadat, dan pH. Jenis-jenis media kultur jaringan antara lain yaitu
Medium Murashig-Kkoog (MS), Media Lin staba, Nedia Knop, Media White, Media Knudson,
media Nitsch & Nitsch , Media Gamborg B5, Media Schenk & Hildebrant, Media WPM (Woody
Plant Medium).
Dalam pelaksanaannya, metode serta pelaksanaan kultur jaringan turut andil dalam
keberhasilan kultur tersebut. Metode kultur jaringan sendiri meliputi embriogenesis somatik,
organogenesis, dan regenerasi plantlet melalui pemembetukan protocorm like bodies pada
tanaman seperti anggrek. Sedangkan, dalam pelaksanaan kultur jaringan terdiri dari tahap
persiapan, tahapan pembuatan media, dan tahapan inokulasi eksplan. Seluruh faktor-faktor
tersebut juga perlu didukung oleh faktor eksternal berupa faktor lingkungan yang meliputi faktor
cahaya, suhu, pH, kelembaban, oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2), serta faktor kontaminasi.

42
DAFTAR PUSTAKA
Ajijah, N., Darwati, I., Yudiwanti & Roostika. (2010). Pengaruh Suhu Inkubasi terhadap Pertumbuhan
dan Perkembangan Embrio Somatik Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Jurnal Litri,
16(2),56-63.
Alsadon, A. A., Wahballah, M. A., & Khalil, S. O. (2006). In Vitro Evaluation of Heat Stress Tolerance
In Some Tomato Cultivars. J. King Saud Univ. Agric. Sci, 19(1), 13-24.
Amutha, R., Muthulaksmi, S., Baby Rani, W., Indira, K., & Mareeswari, P. (2007). Physiological
Studies On Evaluation Of Sunflower (Helianthus annus L.) Genotypes For High Temperature
Stress. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences, 3(4), 245-251.
Basri, A. H. H. (2016). Kajian Pemanfaatan Kultur Jaringan dalam PerbanyakanTanaman Bebas Virus.
Agrica Ekstensia, 10(1), 64-73.
Chalupa. (1987). Temperature. In Bonga, J.M. and D.J. Durzan (Eds). Cell and Tissue Culture in
Forestry. Volume I, General Principles and Biotechnology. Dordrecht: Martinus Nijhoff Pub.
Dekov, I., Tsonevda, T., & Yordanov, I. (2001). Effects of Water Stress And High-Temperature Stress
On The Structure And Activity of Photosynthetic Apparatus of Zea mays and Helianthus
annuus. Photosynthetica, 38(3), 361-366.
Dwiyani, R. (2015). Kultur Jaringan Tanaman. Denpasar: Repro Press.
Fardians, S. (1993). Analisa mikrobiologi Pangan. Edisi ke-1. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Febriyanti, D. D. (2015). Pengaruh konsentrasi hormon TDZ (thidiazuron) terhadap pembentukan
somatik embriogenesis gaharu (Gyrinops versteegii (Gigl) Domke) melalui teknik in vitro.
(Undergraduate thesis). Universitas Jember.
Gammon, E. (1985). General Chemistry. 6th Eds. New York: Houghton Mifflin Company.
George, E.F. & Sherrington, P. D. (1984). Exegetics Limited. England.
Gunawan, L. N. (1987). Teknik Kultur Jaringan. Bogor: PAN ITB.
Gunawan, L. W. (1992). Tehnik Kultur jaringan Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman.
Bogor: PAU. Bioteknologi Tanaman. Institut Pertanian Bogor.
Hidayat. (2007). Induksi Pertumbuhan Eksplan Endosperm Ulin Dengan IAA dan Kinetin. Jurnal
Agritrop. 26(4), 147-152.
Hussain, A., I.A. Qarshi, H. Nazir and I. Ullah. (2010). Plant Tissue Culture: Current Status and
Opportunities. http://dx.doi.org/10.5772/50568.: 1-28.

43
Ibrahim, M. S. D. (2015). Faktor Penentu Keberhasilan Perbanyakan Kopi (Coffea spp.) Melalui
Embriogenesis Somatik. SIRINOV, 3(3), 127– 136.
Ismail, A. M., & Hall, A. E. (1999). Reproductive Stage Heat Tolerance, Leaf Membrane
Thermostability, And Plant Morphology In Cowpea. Crop Sci, 39(1), 1762-1768.
Jasmine, S. (2017). Pengaruh Berbagai Teknik Sterilisasi dalam Induksi Tunas (Etlingera Elatior
Jack) Asal Sukabumi Dengan Penambahan Sukrosa dan Berbagai Konsentrasi BAP
(Undergraduate thesis). UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Karjadi, A. K., & Buchory, A. (2007). Pengaruh NAA dan BAP terhadap Pertumbuhan Jaringan
Meristem Bawang Putih pada Media B5. J. Hort, 17(3), 217-223.
Kotak, S., Larkindale, J., Lee, U., Von Koskull-Do, P., Vierling, E., & Scharf, K. D. (2007).
Complexity of The Heat Stress Response in Plants. Current Opinion in Plant Biology, 10(1),
310-316.
Levitt, J. (1980). Responses of Plants to Environmental Stress. Volume ke-1, Chilling, Freezing, and
High Temperature Stress. New York: Academic Press.
Li, B. & Wolyn, D. J. (1996). Temperature And Genotype Affect Asparagus Somatic Embryogenesis.
In Vitro Cellular and Developmental Biology – Plant, 32(3), 136-139.
Maestri E., Klueva, N., Perrota, C., Gulli, M., Nguyen, H. T., & Marmiroli, N. (2002). Molecular
Genetics Of Heat Tolerance And Heat Shock Proteins In Cereals. Plant Molec Biol, 48, 667-
681.
Mardiana, D. N. (2019). Pengaruh Media Pupuk Daun Terhadap Multiplikasi Pisang Barangan
(Musa acuminata L.) Secara In Vitro. (Undergraduate thesis). Jurusan Agroteknologi,
Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Mastuti, R. (2017). Dasar-Dasar Kultur Jaringan Tumbuhan. Malang: UB Press
Mineo, L. (1990). Plant tissue culture techniques. Pages 151-174, in Tested studies for laboratory
teaching. Volume 11. (C. A. Goldman, Editor). Proceedings of the Eleventh
Workshop/Conference of the Association for Biology Laboratory Education (ABLE), 195
pages.
Naing AH, Chung JD & Lim KB. (2011). Plant Regeneration through Indirect Somatic Embryogenesis
in Coelogyne cristata Orchid. Am.J. of Plant Sci, 2, 262-267.
Nugrahani, P., Sukendah, & Makziah. (2011). Regenerasi Eksplan Melalui Organogenesis Dan
Embriogenesis Somatik. Jawa Timur: Universitas Pembangunan Nasional.
44
Oratmangun, K. M., Pandiangana, D., & Kandou, F.E. (2017). Deskripsi Jenis-jenis Kontaminan dari
Kultur Kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don. J. MIPA Unsrat Online, 6(1), 47-52.
Putri, A. I. (2009). Kajian Glycocalyx Bakteri Pada Kontaminasi Eusideroxylon zwageri secara In
Vitro. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. 3(1), 33-42.
Sandra, E. (2013). Cara Mudah Memahami dan Menguasai Kultur Jaringan Skala Rumah Tangga.
Bogor: IPB Press.
Sandra, E. (2018). Buku Pelatihan Kultur Jaringan Esha Flora. Bogor: Esha Flora.
Silalah, Marina .(2015). Bahan Ajar Kultur Jaringan. Universitas Kristen Indonesia.
Sulistiani, E., & Yani, S. A. (2012). Produksi Bibit Tanaman dengan Menggunakan Teknik Kultur
Jaringan. Bogor: SEAMEO BIOTROP.
Sung, D.Y., Kaplan, F., Lee, K. J., & Guy, C. L. (2003). Acquired Tolerance to Temperature Extremes.
Trends In Plant Science, 8(4), 179-187.
Susilowati, A. dan Listyawati, S. (2001). Keanekaragaman Jenis Mikroorganisme Sumber
Kontaminasi Kultur In vitro di Sub-Lab. Biologi Laboratoium MIPA Pusat UNS. Jurnal
Biodiversitas, 2(1), 110-114.
Taiz, L & Zeiger, E. (2002). Plant Physiology. Sunderland: Sinauer Associates, Inc.
Thuzar, M., Puteh, A. B., Abdullah, N. A. P., Mohd. Lassim, M. B., & Jusoff, K. (2010). The Effects
of Temperature Stress on The Quality and Yield of Soya Bean (Glycine max L. Merrill).
Journal of Agricultural Science, 2(1), 172-179.
Vaz, A. P. A., Ribeiro, R. C. F., & Kerbauy, G. B. (2004). Photoperiod and Temperature Effects on In
Vitro Growth and Flowering of P. pusilla, an Epiphytic Orchid. Plant Physiology and
Biochemistry, 42(1), 411- 415.
Wahid, A., Gelani, S., Ashraf, M., & Foolad, M. R. (2007). Heat Tolerance In Plants: An Overview.
Environ Exp Bot, 61(2), 199-223.
Wetherell, D. F. (1982). Pengantar Propagasi Tanaman secara In Vitro. Diterjemahkan oleh
Koensoemardiyah. Semarang: IKIP Semarang Press.
Wu, M., Wallner, S. J., & Waddel, J. W. (1984). Heat Stress Responses In Cultured Plant Cell. Plant
Physiol, 74, 944 - 946.
Yuniardi, F. (2019). Aplikasi Dimmer Switch pada Rak Kultur Sebagai Pengatur Kebutuhan Intesitas
Cahaya Optimum Bagi Tanaman In Vitro. Indonesian Journal of Laboratory, 2(1), 8-13.

45
Yusnita. (2004). Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Tangerang:
Agromedia Pustaka.
Zulkarnain. (2009). Kutur Jaringan Tanaman Solusi Perbanyakan Tanaman Budidaya. Jakarta: Bumi
Aksara.

46

Anda mungkin juga menyukai