Dosen Pengampu:
Dr. Dasumiati, M. Si
Ardian Khairiah, M. Si
Disusun oleh:
Kelompok 3
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke-hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya kami berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Eksplan dalam
Kultur Jaringan Tumbuhan”. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
memberikan wawasan mengenai mata kuliah Kultur Jaringan.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.
Penyusun,
Kelompok 3
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3
2.1 Definisi Eksplan.................................................................................................3
2.2 Tipe Kultur.........................................................................................................3
2.2.1 Kultur Daun..............................................................................................4
2.2.2 Kultur meristem (meristem cultures)....................................................... 5
2.2.3 Kultur Biji (Seed Cultures)...................................................................... 7
2.2.4 Kultur anther/mikrospora (Anthere/microspore cultures)........................8
2.3 Kultur embrio (Embrio cultures)....................................................................... 9
2.4 Kalus................................................................................................................ 10
2.5 Preparasi Eksplan.............................................................................................11
2.5.1 Isolasi Bahan Tanaman (Eksplan)..........................................................11
2.5.2 Sterilisasi Eksplan.................................................................................. 12
2.5.3 Penanaman Eksplan............................................................................... 13
2.6 Faktor-Faktor yang Harus Diperhatikan Dalam Pemilihan Eksplan............... 14
BAB III KESIMPULAN........................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini teknik penanaman secara in vitro atau Kultur jaringan menjadi
primadona di berbagai sector pertanian berskala besar hingga sector pertanian
berskala kecil. Secara definisi Kultur jaringan tanaman (KJT) adalah suatu teknik
untuk menumbuhkan sel, jaringan ataupun irisan organ tanaman di laboratorium pada
suatu media buatan yang mengandung nutrisi yang aseptik (steril) untuk menjadi
tanaman secara utuh. Metode tanam menggunakan kultur jaringan memang
memberikan efisiensi tinggi dalam perbanyakan tumbuhan dalam waktu singkat dan
kualitas tanaman yang baik, namun pembuatan dan pengelolaan kultur jaringan perlu
memperhatikan berbagai faktor-faktor pendukung untuk menunjang keberhasilan
kultur jaringan seperti pemilihan jenis eksplan, nutrisi media tanaman, suhu,
lingkungan hingga asupan cahaya yang dibutuhkan tanaman.
1
eksplan tumbuhan dan mengetahui berbagai jenis eksplan serta faktor-faktor apa saja
yang perlu diperhatikan dalam pemilihan eksplan kultur jaringan tanaman.
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dengan melihat bahan tanam yang digunakan, maka istilah ‘kultur in vitro’ lebih
tepat digunakan untuk mikropropagasi dibandingkan ‘kultur jaringan’ karena yang
dikulturkan sangat beragam, bukan hanya jaringan. In vitro berasal dari bahasa Latin
yang berarti ‘di dalam gelas’ (dalam bahasa Inggris ‘in glass’), untuk menggambarkan
suatu proses biologi yang berlangsung di dalam tabung gelas atau botol kultur, di luar
tubuh makhluk hidup.
Eksplan tersebut ditanam pada media tanam steril yang mengandung nutrisi.
Eksplan (berupa sel, jaringan atau irisan organ) yang ditumbuhkan secara in vitro
pada media buatan, juga membutuhkan hara untuk terjadinya morfogenesis dan
pertumbuhan. Adanya senyawa fenol pada jaringan tanaman, seringkali menyebabkan
eksplan berubah warna menjadi coklat dan diakhiri dengan kematian jaringan eksplan.
Warna coklat disebabkan oleh peran enzim polyfenoloksidase yang mengoksidasi
senyawa fenol yang keluar dari irisan eksplan. Senyawa fenol merupakan metabolit
sekunder dan tersimpan dalam vakuola sel tanaman. Ketika eksplan diiris, vakuola
pecah sehingga terjadi eksudasi senyawa fenol dan teroksidasi. Istilah pencoklatan
eksplan ini disebut browning. Efek oksidasi senyawa fenol ini juga bisa menyebabkan
pencoklatan pada media kultur.
Eksplan yang masih hijau pada media yang mengalami browning harus
dipindahkan ke media baru. Pemindahan kultur ke media baru disebut dengan istilah
subkultur. Ada beberapa alasan dilakukannya subkultur selain pencoklatan media,
diantaranya adalah: media kultur mengering; populasi kultur sudah terlalu padat;
dilakukannya pengakaran (rooting) sehingga harus disubkultur ke ‘media induksi akar’
(Dwiyani, 2015).
Ditinjau dari bahan eksplan yang digunakan, terdapat kultur jaringan tanaman
yang dibedakan menjadi
3
2.2.1 Kultur Daun
Saat ini sebagian besar pengkulturan daun telah banyak dilakukan pada tanaman
tingkat rendah, terutama tanaman pakis (Osmunda). Dalam proses kulturnya,
primordia daun pakis (1,2 mm) akan dipotong dari tunas bagian bawah tanah,
kemudian kalus berkembang menjadi daun dengan morfologi normal, kecuali
ukurannya jauh lebih kecil daripada daun in vivo karena jumlah sel yang berkurang
daripada penurunan ukuran sel. Pertumbuhan primordia daun yang dibudidayakan
juga selesai lebih awal dari daun utuh (Kumar, Srinibas. 2018).
Pada pembuatan kultur tanaman pakis, tunas vegetatif atau daun yang sangat
muda (Primordial) dari ujung pucuk dipotong ketika masih pada fase vegetatif
tanaman. Setelah dipotong eksplan dicuci secara menyeluruh dengan air keran yang
mengalir. Kemudian eksplan direndam dalam larutan Teepol 5% selama 10 menit,
lalu kembali dicuci untuk menghilangkan Teepol. Pucuk daun atau daun muda yang
sudah dicuci akan kembali disterilisasi permukaannya dengan perendaman dalam
70% v/v Etanol selama 30 detik. Perlakuan ini diikuti dengan inkubasi selama 10-15
menit dalam larutan natrium hipoklorit dengan klorin tersedia 0,8%. Bilas eksplan 3-4
kali dalam air suling steril. Lalu pisahkan daun primordia dari pucuk daun dengan
bantuan pisau bedah. Daun primordia akan diinokulasikan ke dalam 20 ml media
padat dalam tabung kultur dan diinkubasi pada suhu 25° C selama 16 jam dengan
paparan sinar penuh
4
Dalam kultur daun penggunaan daun primordia atau daun muda yang
digunakan sangat bergantung pada ukuran daun yang digunakan sebagai eksplan. Hal
ini dapat dilihat dari pembuatan kultur daun pada tanaman pakis (Osmunda) dimana
kalus dengan pertumbuhan baik (Normal) berasal dari eksplan yang berukuran lebih
besar dari daun in vivonya. Dari pembuatan kultur tersebut, ditemukan adanya
korelasi antara ukuran primordia daun dan cara perkembangannya dalam kultur. Pada
Osmunda cinnamomea, primordia daun terkecil (panjang 300 mm) menghasilkan
tunas, bukan daun dalam kultur. Namun, dengan bertambahnya ukuran primordia, ada
kecenderungan yang meningkat untuk membentuk daun. Hasil ini menunjukkan
bahwa beberapa zat pembentuk daun yang tidak teridentifikasi secara bertahap
terakumulasi saat primordia berkembang (Kumar, Srinibas. 2018).
(1) Kultur daun primordia yang dipotong berguna untuk mempelajari pengaruh
berbagai unsur hara, faktor pertumbuhan dan perubahan kondisi lingkungan
terhadap perkembangan daun di bawah kondisi yang terpisah dari kompleksitas
tanaman utuh
(2) Pada beberapa tumbuhan berspora seperti tumbuhan paku, biakan primordia daun
digunakan untuk mempelajari pembentukan sporangia dan ukuran primordium
yang akan menjadi daun.
(3) Daun muda dari sebagian besar spesies solanaceous membentuk banyak tunas
tunas alih-alih pembentukan kalus ketika dikultur dalam media MS padat yang
dilengkapi dengan 1-5 m kinetin atau BAP atau 2iPA. Ketika tunas telah tumbuh
hingga ketinggian 3 cm, mereka dapat dipindahkan dan disubkultur ke media MS
tanpa hormon pertumbuhan. Pembentukan akar dirangsang oleh perawatan ini.
Oleh karena itu kultur daun spesies solanaceous dapat digunakan sebagai
perbanyakan mikro klonal (Kumar, Srinibas. 2018).
5
yang posisinya ada pada buku (node) batang yang menyebabkan bertambah
panjangnya ruas (internode) batang. Dalam kultur jaringan, meristem yang umum
digunakan sebagai bahan eksplan adalah meristem ujung tunas (apikal maupun
aksilar). Kultur meristem menggunakan bahan eksplan yang sangat kecil,
berukuran ≤ 1 mm. Eksplan meristem harus diambil menggunakan mikroskop
dalam laminar. Irisan meristem terdiri dari ‘apical dome’ (ujung tunas yang
posisinya paling atas) serta dua primordia daun yang terkecil tanpa menyertakan
jaringan pembuluh.
- Aktifitas metabolit yang sangat tinggi pada sel-sel meristem yang aktif
membelah sehingga tidak memungkinkan virus bereplikasi.
Ukuran eksplan yang semakin besar akan menyebabkan eksplan lebih kuat
dalam proses sterilisasi sehingga memungkinkan persentase eksplan bertahan
hidup paska sterilisasi lebih besar dan diperoleh jumlah plantlet yang lebih banyak.
Namun semakin besar ukuran eksplan menyebabkan keikutsertaan jaringan
pembuluh pada eksplan yang digunakan sehingga kemungkinan adanya virus pada
plantlet yang dihasilkan akan menjadi lebih besar. Jika tujuan dari perbanyakan
melalui kultur jaringan bukan untuk tujuan dihasilkannya tanaman bebas virus,
maka lebih baik digunakan kultur ujung tunas (shoot-tip culture) yang
menggunakan ukuran eksplan lebih besar karena pengerjaannya menjadi lebih
mudah.
6
Ukuran
Jumlah eksplan Jumlah plantlet yang Jumlah tanaman bebas
eksplan
yang digunakan dihasilkan virus yang dihasilkan
(mm)
Kultur biji dilakukan untuk biji tanaman yang tidak dapat dikecambahkan
secara eks vitro ataupun kalau dapat berkecambah secara eks vitro maka
persentase perkecambahannya sangat rendah. Hal ini disebabkan karena biji-biji
tersebut berukuran sangat kecil dan sedikit atau tidak sama sekali memiliki
endosperm (cadangan makanan). Beberapa literatur menyebutkan kultur biji tanpa
cadangan makanan ini juga disebut sebagai kultur embrio. Cadangan makanan
pada biji diperlukan oleh embrio biji untuk proses respirasi sehingga
menghasilkan energi untuk berkecambah. Alasan ini menyebabkan biji-biji
tanaman ini harus dikecambahkan secara in vitro dengan memberikan sumber
karbohidrat eksternal untuk respirasi. Selain itu, pada media juga ditambahkan
nutrisi untuk pertumbuhan lanjutan dari biji yang sudah berkecambah. Salah satu
contoh tipe biji seperti ini adalah biji tanaman anggrek.
Perkecambahan biji anggrek tergantung dari umur buah, kultivar (atau takson
yang lebih rendah, forma), serta jenis dan konsentrasi senyawa ekstrak alami yang
ditambahkan. Dwiyani (2013) mendapatkan bahwa pada media kultur NP (New
Phalaenopsis) yang diperkaya dengan ekstrak tomat, biji-biji anggrek Vanda
7
tricolor dari buah umur 5 bulan (setelah polinasi) memberikan lebih banyak
jumlah protokorm berwarna dibandingkan buah umur 7 bulan. Terkait dengan
perbedaan forma, Dwiyani et al (2012) mendapatkan bahwa perkecambahan serta
pertumbuhan biji V. tricolor var. suavis forma Bali (tumbuh alami di daerah
Bedugul, Bali) lebih responsif terhadap pemberian ekstrak tomat dibandingkan
forma Merapi (tumbuh alami di lereng Merapi). Sementara itu Dwiyani et al.
(2015) menemukan bahwa senyawa organik alami berupa ekstrak tomat
memberikan pertumbuhan yang lebih baik untuk perkecambahan dan
pertumbuhan lanjutan biji anggrek V. tricolor forma Bali dibandingkan dengan air
kelapa, dan konsentrasi 100-200 gram ekstrak tomat per liter media memberikan
hasil optimal untuk pertumbuhan protokorm V. tricolor.
Secara ringkas, cara menanam biji anggrek adalah sebagai berikut. Buah
anggrek dicuci bersih, disikat dengan detergen dan dibilas dengan air kran hingga
bersih. Selanjutnya buah anggrek tersebut dicelup ke dalam spiritus dan diekspose
ke arah api, diulang hingga tiga kali, kemudian dimasukkan ke dalam laminar. Di
dalam laminar, buah tersebut kembali diekspose ke arah api satu kali, kemudian
diletakkan pada cawan petri steril. Buah ini dibelah dengan pisau steril dan bijinya
ditabur pada media steril yang sudah disiapkan. Proses penaburan biji anggrek ini
semua berlangsung dalam laminar. Biji anggrek yang berkecambah akan
membentuk protokorm. Protokorm ini berkembang menjadi plantlet. Prosedur
penanaman biji anggrek ini merupakan prosedur dalam pembuatan bibit anggrek
botol. Plantlet yang sudah memiliki 3 atau 4 daun dan memiliki akar yang kuat
sudah siap diaklimatisasi (dikeluarkan dari botol) untuk ditanam dalam comonity
pot (compot), di mana dalam satu pot ada 10-20 plantlet, tergantung ukuran
potnya. Jika tanaman sudah mencapai kurang lebih tinggi 5 cm, tanaman anggrek
dapat dipindah ke individu pot (1 pot untuk 1 tanaman).
8
Namun kultur mikrospora juga memiliki kekurangan yakni seringkali terjadinya
albinisme pada plantlet yang dihasilkan.
- Isolasi mikrospora
Embrio zigotik dapat digunakan sebagai bahan eksplan namun untuk kondisi
tertentu atau alasan tertentu sebagai berikut:
- Embrio tidak bisa ditumbuhkan dalam kondisi biasa secara eks vitro karena tidak
memiliki cadangan makanan. Misalnya pada tanaman anggrek. Biji-biji anggrek yang
9
berukuran sangat kecil dan berjumlah sangat banyak (mencapai ribuan sampai jutaan)
dari sebuah kapsul tidak memiliki endosperm (cadangan makanan) yang diperlukan
oleh biji untuk perkecambahan. Biji-biji ini harus ditumbuhkan secara in vitro dengan
memberi nutrisi buatan untuk dapat berkecambah dan tumbuh menjadi seedling
(tanaman).
- Embrio hasil fertilisasi tidak berkembang dan mati. Contohnya adalah ‘embryo
rescue’ pada embrio zigotik hasil persilangan buatan yang dilakukan para pemulia
tanaman jeruk keprok. Setelah melakukan persilangan buatan, embrio muda diambil
dari tanaman induk dan ditumbuhkan secara in vitro karena pada tanaman induknya
embrio tersebut tidak berkembang dan mati.
2.4 Kalus
Kalus adalah kumpulan sel yang belum terdiferensiasi. Kalus terbentuk pada
bekas luka atau irisan pada organ tanaman. Secara in vitro kalus akan terbentuk pada
bagian irisan/luka dari organ yang dikulturkan, namun pada beberapa spesies tanaman,
kalus dapat terbentuk pada bagian sebelah dalam (interior).
Secara teori, semua organ/jaringan tanaman yang sel-selnya masih hidup dapat
membentuk kalus secara in vitro. Akan tetapi jaringan tanaman yang masih muda
(belum ada lignifi kansi pada dinding selnya), atau jaringan muda yang bersifat
meristematik akan lebih mudah menghasilkan kalus. Seedling (kecambah) yang
dibuat secara in vitro dari biji (yang sudah disterilkan) sangat baik digunakan sebagai
bahan eksplan untuk pembuatan kalus. Kalus terbentuk apabila eksplan ditanam pada
media yang ditambah dengan zat pengatur tumbuh (ZPT) untuk menginduksi kalus,
misalnya ZPT golongan sitokinin dan auksin dengan konsentrasi yang sama atau ZPT
2,4-Dichloropenoxy acetic acid (2,4-D). Jika auksin dan sitokinin pada konsentrasi
yang sama (rasio 1) maka akan terbentuk kalus (Dwiyani, 2015).
Berdasarkan teksturnya, kalus dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kalus kompak
dan friable atau remah. Hasil analisis anatomi menunjukkan bahwa kalus kompak
tersusun atas sel-sel yang saling berkaitan erat sedangkan kalus friable memiliki
ruang antar sel yang lebih dominan sehingga sel-sel pada kalus friable lebih mudah
dipisahkan satu sama lainnya. Oleh karena itu, kalus friable merupakan sumber
inokulan yang tepat digunakan untuk inisiasi suspensi sel. Warna kalus bervariasi,
contohnya hijau, putih, kuning, merah, dan oranye, tegantung pigmen yang tergantung
di dalamnya (Mastuti, 2017).
Pada kultur suspensi, kalus yang terbentuk akan diambil dan dikulturkan pada
media cair membentuk kultur cair atau kultur suspensi. Kalus yang remah dengan
mudah lepas membentuk kultur sel. Kultur sel dilakukan dengan agitasi atau shaker
10
(penggoyangan) untuk suplai oksigen. Pada perbanyakan tanaman melalui kultur
in-vitro, kultur sel (melalui kalus) digunakan dalam embriogenesis secara tidak
langsung (indirect embryogenesis), tetapi beberapa riset menunjukkan bahwa anakan
yang dihasilkan melalui kultur sel secara genetik bersifat tidak stabil sehingga metode
ini jarang digunakan. Kultur sel umumnya dibuat untuk produksi senyawa kimia
tertentu, untuk riset-riset yang terkait dengan investigasi jalur biosintesis senyawa
tertentu ataupun riset yang terkait dengan fisiologi sel.
Apabila akan mengukur berat kering kalus, maka kals dari botol kultur
dipindahkan ke aluminium foil kemudian beratnya ditimbang. Setelah kalus
dibungkus aluminium foil, kalus dioven pada suhu 80˚C selama ±2 hari. Kalus yang
dikeluarkan dari oven didinginkan terlebih dahulu sebelum ditimbang. Setelah dicapai
berat kalus stabil maka berat tersebut dapat ditetapkan sebagai berat kering kalus
(Mastuti, 2017).
Pada dasarnya pekerjaan kultur jaringan meliputi tiga tahap sampai penanaman
kultur (culture establishment) dan tiga tahap setelah itu sebelum dipindah ke lapang,
yaitu:
Isolasi bahan tanam dimulai dari pemilihan dan pemeliharaan tanaman induk.
Tanaman induk yang dipilih harus sehat, bebas penyakit dan memiliki pertumbuhan
baik. Hal ini diperlukan agar bahan eksplan yang digunakan dalam kultur jaringan
tidak menjadi sumber kontaminan sehingga kondisi aseptik kultur tetap terjaga.
Sebelum eksplan diambil, tanaman induk dapat diberi perlakuan, misalnya
penyemprotan dengan pestisida untuk menjaga kesehatan tanaman serta diberi pupuk
agar pertumbuhan vigor. Penyemprotan ZPT jenis sitokinin dan/atau pemangkasan
tunas apikal dapat dilakukan pada tanaman induk jenis dikotil untuk merangsang
pertumbuhan tunas lateral. Tunas lateral yang baru tumbuh ini baik digunakan sebagai
11
bahan eksplan, karena bahan eksplan dengan sel-sel yang masih aktif membelah
memiliki daya regenerasi yang tinggi.
Bahan tanam yang dipilih diambil dari tanaman induk, kemudian dipotong
menjadi lebih kecil dengan jalan menghilangkan bagian-bagian yang tidak diperlukan.
Selanjutnya dicuci bersih dengan detergen di bawah air kran yang mengalir.
Selanjutnya bahan tanam direndam dengan fungsida (konsentrasi 2 gram/L) selama 10
menit sambil digoyangkan. Setelah itu, bilas dengan air steril tiga kali kemudian
dimasukkan dalam laminar. Dalam laminar, bahan tanam disterilisasi lagi dengan
menggunakan sodium hipoklorida atau clorox. Pemutih pakaian dapat digunakan
sebagai pengganti sodium hipoklorida karena bahan aktif ini terkandung di dalamnya
meskipun ada pencampuran lain (tidak murni). Perendaman dengan clorox dilakukan
dua kali. Pertama, direndam pada clorox dengan konsentrasi 10% selama 5 menit
(sambil digoyangkan), kemudian dibilas air destilasi steril hingga tiga kali. Kedua,
dengan clorox konsentrasi 5% selama 5-7 menit, selanjutnya dibilas lagi dengan air
steril hingga 3-4 kali. Pada beberapa spesies tanaman juga digunakan antibiotik untuk
mengeliminasi bakteri, misalnya penggunaan cefotaxime dengan konsentrasi 300 ppm.
Selanjutnya juga dibilas dengan air steril hingga 3 kali (Dwiyani, 2015).
12
Bahan kimia Konsentrasi Waktu sterilisasi
Kalsium hipoklorat 1-10% 5-30 menit
Natrium hipoklorat 1-2% 7-15 menit
Fungisida 2 g/L 20-30 menit
Antibiotik 50 mg/L 30-60 menit
Alkohol 70% 30-60 menit
Teknik sterilisasi eksplan tanaman berbeda tiap tanaman satu dengan yang
lainnya. Sterilisasi eksplan tergantung pada jenis tanamannya, umur tanaman, kondisi
tanaman (sakit atau sehat pada saat pengambilan), musim saat pengambilan, dan
lingkungan tumbuh eksplan. Eksplan tanaman dari lapangan banyak mengandung
debu dan berbagai kontaminan lainnya seperti kapang, bakteri, dan spora. Apabila
kontaminan tidak dihilangankan, maka dalam media yang banyak mengandung nutrisi
dapat ditumbuhi bakteri maupun kapang (Anitasari et al., 2018). Jika tanaman induk
sumber eksplan merupakan tanaman hasil kultur dan berada dalam botol kultur, maka
prosedur sterilisasi ini tidak diperlukan. Misalnya jika bahan eksplan adalah seedling
(bibit) anggrek dalam botol, maka sterilisasi bahan eksplan tidak diperlukan karena
tanaman induk sumber eksplan sudah steril.
Eksplan yang sudah steril selanjutnya dipotong menjadi bagian yang lebih kecil,
misalnya menjadi pangkal dan ujung daun, selanjutnya ditanam pada media steril
yang sudah disiapkan. Media tanam yang digunakan mengandung ZPT tertentu
tergantung dari tujuan kultur. Jika yang diinginkan adalah pembentukan kalus, maka
bahan eksplan ditanam pada media induksi kalus, misalnya media dengan 2,4-D.
Demikian pula jika tujuannya untuk menginduksi tunas maka ditanam pada media
untuk induksi tunas, misalnya media yang mengandung sitokinin atau mengandung
GA3. Gambar 2 memperlihatkan eksplan daun stroberi yang ditanam pada media
yang mengandung 5 ppm GA3 untuk induksi tunas dan eksplan berupa umbut kelapa
sawit yang ditanam pada media MS dengan 3 ppm 2,4-D untuk induksi kalus.
13
a. eksplan daun stoberi; b. eksplan umbut kelapa sawit
Kondisi aseptik harus tetap dijaga selama proses penanaman, baik ruang tanam,
pekerja dan juga alat-alat yang digunakan untuk menanam. Sukses pekerjaan kultur
jaringan sangat dipengaruhi oleh kemampuan pekerja menjaga kondisi aseptik.
Semakin rendahnya tingkat sterilisasi maka tingkat kontaminasi terhadap eksplan
akan semakin tinggi. Kontaminasi biasanya dapat berupa jamur dan bakteri. Selain itu
terdapat pula browning. Browning ditandai dengan perubahan warna pada eksplan.
Indikasi pertama yaitu timbulnya warna kuning pada eksplan, kemudian coklat dan
selanjutnya menghitam.
a) Usia fisiologis atau ontogenik organ yang akan dijadikan sumber eksplan
Usia eksplan dapat menjadi sangat penting karena secara fisiologis jaringan yang
lebih muda umumnya lebih responsif secara in vitro. Dalam banyak kasus, jaringan
yang lebih tua tidak akan membentuk kalus yang mampu beregenerasi. Selain itu,
jaringan yang lebih muda biasanya yang paling baru terbentuk dan umumnya lebih
mudah untuk didesinfeksi permukaan dan membentuk biakan bersih.
Musim dapat memiliki efek pada kontaminasi dan respon dalam kultur. Misalnya,
kuncup atau pucuk yang diambil pada musim semi, ketika pucuk dalam keadaan
tumbuh rata lebih responsif daripada kuncup yang tidak aktif. Saat musim berlalu dari
musim semi, musim panas, dan musim gugur ke musim dingin, eksplan umumnya
14
tidak merespon dengan baik dalam kultur. Jaringan yang secara fisiologis dorman
umumnya tidak responsif dalam kultur sampai persyaratan dormansi terpenuhi. Selain
itu, tingkat kontaminasi juga meningkat seiring berjalannya musim panas.
Kontaminasi musim gugur dan musim dingin dapat meningkat hingga 100%.
Tran Thah Van (1977) menerbitkan laporan tentang irisan epidermis tipis
jaringan batang tembakau dan potensi morfogenik yang bervariasi tergantung pada
apakah eksplan diambil dari pangkal, tengah, atau atas batang. Tanaman memiliki
keseimbangan hormonal yang berbeda di seluruh tanaman dan tergantung pada lokasi
eksplan. Eksplan dapat memiliki tingkat endogen regulator pertumbuhan tanaman
yang berbeda.
Tergantung pada jenis respon yang diinginkan dari kultur sel, jaringan eksplan
akan bervariasi. Setiap bagian dari jaringan tanaman dapat digunakan sebagai eksplan.
Misalnya, jika tujuan perbanyakan klon, maka eksplan biasanya berupa tunas lateral
atau terminal. Untuk induksi kalus, biasanya digunakan potongan kotiledon, hipokotil,
batang, daun, atau embrio.
Eksplan yang sangat baik untuk induksi kalus adalah jaringan kecambah dari biji
yang berkecambah secara aseptik atau perbungaan yang belum matang. Jaringan daun
dari benih yang digerminasi secara aseptik merupakan sumber jaringan yang baik
untuk isolasi protoplas. Untuk menghasilkan tanaman haploid atau kalus, anther dapat
dikultur.
f) Genotipe tanaman
Di antara setiap genus tanaman, biasanya ada perbedaan besar dalam genotipe,
kultivar, atau spesies dan responnya dalam kultur sel. Beberapa genotipe tidak
responsif dalam kultur, sementara yang lain mudah merespon untuk menghasilkan
kalus atau tunas.
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Anitasari, S. D., Sari, D. N. R., Astarini, I. A., & Defiani, M. R. (2018). Dasar Teknik
Klutur Jaringan Tanaman. Yogyakarta: Deepublish Publisher.
Dwiyani, R. (2015). Kultur Jaringan Tanaman. Bali: Pelawa Sari “Percetakan &
Penerbit”.
Dale, P. J. & Cheyne, V. A. (1993). The Elimination of Clover Diseases by Shoot Tip
Culture. Ann. Appl. Biol. 123: 25-32.
Dwiyani, R., Purwantoro, A., Indrianto, A., & Semiarti, E. (2012). Konservasi
Anggrek Alam Indonesia Vanda tricolor Limdl. var. suavis Melalui Kultur
Embrio. Bumi Lestari, 12 (1) : 93-98.
Ferrie AMR & Caswell KL. (2011). Isolated microspore culture techniques and
recent progress for haploid and doubled haploid plant production. Plant
cell tissue organ culture 104: 301-309.
Kumar, Srinibas. 2018. Leaf Cultere : Meaning, Principle, Protocol and Importance |
Plant Tissue Culture. Biology Discussion. Diakses pada tanggal 21
September 2021.
https://www.biologydiscussion.com/organ-culture/leaf-culture/leaf-culture-
meaning-principle-protocol-and-importance-plant-tissue-culture/14573.
Smith, R. H. (2013). Plant Tissue Culture. 3rd Edition . USA: Academic Press.
Sudhakararao P. (2011). Leaf Discs as a Source Material for Plant Tissue Culture
Studies of Sorghum bicolor (L.) Moench. Andhra University, A.U. College
of Science and Technology, Department of Biotechnology, Visakhapatnam,
530003. Acedemic press. Print ISSN 2067-3205; Electronic 2067-3264
17