Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KULTUR JARINGAN TUMBUHAN

“SUSPENSI SEL”

Dosen Pengampu : Erna Wulandari, M.Sc.

Disusun Oleh :

Lamiasih (21104070054)

Lathifah Khairunnisa (21104070057)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarokatuh

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah melimpahkan Rahmat serta
Hidayah-Nya sehingga sampai hari ini kami maih diberikan kesempatan berupa umur panjang, kesehatan
serta kesempatan menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu. Sholawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda Nabi besar kita yakni Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
nantikan syafa’atnya di akhirat kelak.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Erna Wulandari, M.Sc. selaku dosen mata kuliah Kultur
Jaringan Tumbuhan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
penyusun, sehingga penyusun mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Suspensi Sel” sebagai tugas
kelompok dari mata kuliah Kultur Jaringan Tumbuhan.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat
kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca
untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian makalah ini kami susun, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk masa sekarang maupun
yang akan datang. Sekian yang dapat kami paparkan. Atas perhatiannya ami ucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarokatuh.

Yogyakarta, 24 November 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………...…………………..2

DAFTAR ISI……………………………..………………………………………………………………...3

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………...….4

A. Latar Belakang ………………………………………………………………………………..….4


B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………………….……4
C. Tujuan ……………………………………………………………………………….…………....5

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………………….……5

A. Pengertian Kultur Suspensi Sel …………………….......…………………………………...…..5


B. Metode dan Tahapan Kultur Suspensi Sel……………………………………………………...6
C. Penggunaan Kultur Suspensi Sel…………………………………..…………………………….9
D. Penyimpanan dan Masalah pada Kultur Suspensi Sel…………………………………….….10

BAB III PENUTUP …………………………………………………….………………………………..13

A. Kesimpulan ………………………………………………….…………………………………..13
B. Saran …………………………………………………………………………………………….13

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………14


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti
protoplasma, sel, jaringan, organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-
bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Teknik
kultur jaringan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan bahan tanam yang bebas patogen
karena menghasilkan bibit dalam jumlah yang lebih banyak dalam waktu yang relatif singkat, bebas
penyakit, tidak tergantung pada iklim dan cuaca, menghasilkan tanaman yang sehat,
mempertahankan sifat baik induk, tidak membutuhkan lahan yang luas untuk pembibitan, sedikit
tenaga kerja, dan dapat memperbanyak tanaman tertentu yang sulit jika diperbanyak secara
konvensional. Teknik ini sangat membantu dalam usaha mengeliminasi patogen (penyakit
sistemik). Dengan metode ini dapat dipilih bagian-bagian atau sel-sel yang tidak mengandung
patogen sistemik terutama virus, dan menumbuhkan sel-sel (bagian) tanaman tersebut serta
meregenerasikannya kembali menjadi tanaman sempurna dan sehat.
Dalam teknik kultur jaringan ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaannya. Syarat pokok pelaksanaan adalah laboratorium dan segala fasilitasnya. Kultur
jaringan telah diakui sebagai metode baru dalam perbanyakan tanaman. Namun harus diakui pula
bahwa ada beberapa tanaman yang tidak menguntungkan bila dikembangkan dengan teknik kultur
jaringan. Umumnya tanaman tersebut mempunyai kecepatan multiplikasi rendah, terlalu banyak
langkah untuk mencapai tanaman sempurna atau terlalu tinggi tingkat penyimpangan genetik.
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung pada komposisi
media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur hara makro
dan mikro, tetapi juga sumber karbohidrat yang umumnya berupa sukrose atau gula, untuk
menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfer melalui fotosintesis. Oleh karena itu,
pertumbuhan dan hasil tanaman yang lebih baik akan diperoleh apabila kedalam media tersebut
ditambahkan vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kultur suspensi sel?
2. Bagaimana metode dan tahapan kultur suspensi sel?
3. Bagaimana penggunaan kultur suspensi sel?
4. Bagaimana penyimpanan dan masalah pada kultur suspensi sel?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kultur suspensi sel.
2. Untuk mengetahui metode dan tahapan dalam kultur suspensi sel.
3. Untuk mengetahui penggunaan kultur suspensi sel.
4. Untuk mengetahui penyimpanan dan masalah pada kultur suspensi sel.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kultur Suspensi Sel


Kultur suspensi sel adalah kultur yang menggunakan media cair dengan pengocokan yang
terus menerus menggunakan shaker dan menggunakan sel atau agregat sel sebagai bahan
eksplannya, biasanya eksplan yang digunakan berupa kalus atau jaringan meristem. Kultur suspensi
sel dapat dimanfaatkan untuk memproduksi suatu zat langsung dari sel tanpa membentuk tanaman
lengkap baru. Zat-zat bisa meliputi massa sel atau ekstrak bahan kimia. Kultur seperti ini serupa
dengan kultur mikroorganisme. Sel – sel yang digunakan dapat direkayasa secara genetik untuk
meningkatkan sintesa zat tertentu.
Dalam kultur sel, massa sel yang disebut kalus merupakan materi yang pertama
dibutuhkan. Selanjut-nya kalus disuspensikan dalam media cair yang me-ngandung berbagai
nutrisi dan senyawa-senyawa yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal yang menye-babkan
sel menjadi tidak terdiferensiasi. Suspensi sel tersebut selanjutnya diletakkan di atas shaker
(mesin penggoyang/pemutar) yang menyebabkan agregat sel menjadi kumpulan sel-sel kecil
dan sel tunggal yang tersebar merata dalam media cair. Sel-sel tersebut akan tumbuh terus
sampai salah satu faktor menjadi pembatas menyebabkan pertumbuhan sel lambat. Se-belum
hal tersebut terjadi, sel-sel dapat dipindahkan dalam media yang mengandung hormon yang
dapat mengaktifkan pertumbuhan spesifik.
Misalnya media yang mengandung auksin, dapat mengaktifkan per-tumbuhan akar-
akar adventif, sedangkan media yang mengandung sitokinin dapat memacu proliferasi tunas
aksilar dan tunas adventif dan mengatur diferensiasi. Setelah tanaman berkembang sempurna,
selanjutnya dapat dipindahkan ke tanah untuk tumbuh lebih lanjut. Gaile dan Wagner
(1980 dalam George dan Sherrington 1984) melaporkan bahwa inisiasi kultur suspensi sel
tidak selalu dimulai dari fase kalus tetapi juga potongan daun. Potongan daun Chenopodium
rubrum (tanaman hias asal Amerika Utara) dalam larutan media MS dengan cahaya
memperlihatkan pertumbuhan yang cepat dan pembelahan sel pada mesofil, dan setelah 4
hari diatas penggojok (shaker) terjadi desintegrasi sempurna, yaitu pelepasan sejum-lah besar
sel-sel ke dalam suspensi. Karena dinding-dinding sel tanaman mempunyai sifat
kecenderungan secara alami melekat satu sama lain, maka sulit kemungkinannya untuk
mendapatkan suspensi yang hanya mengandung sel-sel tunggal yang tersebar. Masalah
tersebut dapat diatasi antara lain dengan me-nambahkan enzim pektinase dengan konsentrasi
ren-dah untuk melepaskan sel sehingga terbentuk sel tunggal. Proporsi dan ukuran agregat
sel bervariasi ter-gantung varietas tanaman dan media yang digunakan. Pertumbuhan sel dalam
agregat cenderung lebih cepat dibandingkan dengan sel tunggal sehingga ukuran klaster sel
meningkat selama fase pembelahan.
B. Metode dan Tahapan Dalam Kultur Suspensi Sel
Terdapat beberapa metode kultur suspensi yang telah dikembangkan. George dan
Sherington (1984) dalam Sri Hutami (2009) menetapkan dua tipe utama kultur suspensi, yaitu :
i) Batch cultures, yaitu sel-sel ditumbuhkan dengan pemberian nutrisi dalam medium dengan
volume tertentu sampai tumbuh.
ii) Continuous cultures, yaitu sel ditumbuhkan dan dipelihara di dalam media nutrisi steril yang
selalu diganti-ganti.
Semua teknik kultur suspensi menggunakan beberapa metode penggocokan media kultur untuk
memastikan terjadinya pembelahan sel dan pertukaran gas. Batch cultures dimulai dengan inokulasi
sel ke dalam media nutrisi dengan volume tertentu. Selama pertumbuhan jumlah sel akan
meningkat sampai nutrisi di dalam media habis atau terjadi akumulasi zat penghambat. Volume
yang biasa digunakan berkisar 100 ml dalam Erlenmeyer 1.000 ml. Shaker dioperasikan pada
kecepatan 30-180 rpm dengan orbital motion sekitar 3 cm. Alternatif lain yang dapat dalam kultur
ini, yaitu dengan sistem pemutaran.
Continuous cultures digunakan untuk memperoleh keseimbangan pertumbuhan, karena
dalam Batch cultures sulit untuk mendapatkan tingkat produksi yang stabil dengan sel-sel baru
yang mempunyai ukuran tetap dan komposisi yang seimbang. Untuk itu diperlukan subkultur
secara periodik, terutama pada waktu populasi sel menjadi berlipat ganda. Keseimbangan
pertumbuhan hanya diperoleh dengan menggunakan cara continuous cultures khususnya apabila
sel-sel tanaman digunakan untuk produksi dalam skala besar untuk menghasilkan metabolit primer
maupun sekunder. Continuous cultures pada dasarnya sama dengan pekerjaan bakteriologi.
Menurut Ammirato (1983) dalam Sri Hutami (2009) abscisic acid (ABA) pada konsentrasi yang
tepat efektif untuk menormalkan perkembangan kultur suspensi sel pada semua sistem berdasarkan
wadah/volume suspensinya (tabung reaksi pendek, tabung reaksi panjang, dan tabung erlenmeyer).
Selain itu, ABA juga menghambat proliferasi abnormal yang memacu perkecambahan dan
menormalkan pendewasaan. Apabila embrio gagal berkembang pada media tanpa suplemen,
kombinasi zeatin dan ABA dapat memelihara pertumbuhan dan pendewasaan/pemasakan sel.
Metode Suspensi sel (cell suspension) melalui beberapa tahapan dari Induksi kalus (Callus
Induction), Inisiasi suspensi sel (Initiation of Cell Suspension), Pemeliharaan Suspensi sel
(Maintenance of Cell Suspension) dan Regenerasi Tanaman (Plant Regeneration).
Tahapan dalam Kultur Suspensi Sel diantaranya sebagai berikut :
a) Induksi Kalus (Callus Induction)
Pada tahap ini dilakukan proses induksi kalus untuk mendapat kalus, yang akan digunakan
sebagai material dasar melakukan suspensi sel. Pada proses induksi kalus, eksplan diinduksikan
ke media padat kemudian diinkubasi pada suhu 27°C dalam ruang gelap selama kurang lebih
6 minggu. Kemudian dilakukan penyeleksian terhadap kalus yang terbentuk, diambil kalus
yang bersifat friable (remah atau mudah rontok) dan berwarna putih. Kalus yang bersifat friable
embryiogenic tersebut disebut kalus ideal (Ideal Callus) atau IC. Kalus ideal bersifat friable
dan mudah rontok atau gugur ke dalam media cair.
Tingkat kesuksesan dari proses inisiasi embryogenic cell suspension (ECS) atau suspensi
sel yang baik, bergantung pada kualitas dan volume dari kalus ideal, yang ditentukan dari
keberadaan embrio yang hanya sedikit. Kemampuan pembungaan pada tanaman untuk
menghasilkan embrio tidak terbatas pada perkembangan dari telur yang dibuahi, tetapi embrio
juga dapat digunakan untuk membentuk jaringan tanaman pada kultur jaringan. Hal tersebut
merupakan suatu fenomena pada tanaman tingkat tinggi, dan penelitian somatic embryogenesis
terhadap lebih dari 30 famili tanaman yang telah dilakukan pada bidang kultur jaringan. Pada
umumnya, embryogenesis muncul pada kultur yang bersifat jangka pendek dan kemampuan
tersebut menurun seiring dengan meningkatnya durasi atau waktu kultur. Menurut Kohlenbach
dalam Dwimahyani (2013), embryosomatic dapat ditumbuhkan secara in vitro dari sumber sel-
sel diploid yang dikulturkan, yaitu sel-sel vegetatif dari tanaman dewasa, jaringan reproduksi
lain selain zigot, dan hypocotyl dan kotiledon dari embrio serta planlet muda yang tidak
ditumbuhkan dari kalus.
Media induksi pertama harus mengandung auksin sedangkan media kedua mengandung
campuran sedikit auksin, dengan konsentrasi yang sama, dari jenis auksin yang sama atau
dengan mengurangi konsentrasi dari jenis auksin yang berbeda. Untuk beberapa jenis tanaman
baik inisiasi embrio maupun perkembangan lanjutannya terjadi pada media pertama sedangkan
perkembangan plantlet terjadi pada media kedua. Faktor kimia terpenting pada media induksi
adalah auksin dan pengurangan nitrogen. Oleh karena itu, pengurangan jumlah nitrogen secara
substansial sangat diperlukan pada ke dua tipe media tersebut. Penambahan karbon aktif pada
media juga dapat membantu pembentukan embriogenik pada beberapa jenis kultur, hal ini
dikarenakan karbon aktif dapat menyerap berbagai jenis substansi inhibitor sebaik growth
promoters.
a. Inisiasi Sel suspensi (Initiation of Cell Suspension)
Pada tahap ini IC yang telah terbentuk ditransfer atau diinduksikan ke dalam erlenmeyer
yang berisi media cair. Sebelum diinokulasikan kalus tersebut dipotong-potong dengan
skapel menjadi beberapa bagian, dan sebaiknya digunakan kalus muda yang masih aktif
tumbuh, sebagai inoculum. Erlenmeyer yang telah berisi inokulum kemudian
diinkubasikan pada shaker dengan kecepatan 100 – 120 rpm untuk Erlenmeyer 250 ml pada
ruang gelap dengan suhu 25 – 27 ° C. Masa inkubasi dari inokulum tergantung dari materi
eksplan atau jenis tanaman. Apabila setelah beberapa hari media berubah warna menjadi
putih susu, hal ini merupakan pertanda adanya kontaminasi selama proses inokulasi.
b. Pemeliharaan Cell suspension (Maintenance of Cell Suspension)
Selama masa inkubasi perlu dilakukan subkultur terhadap suspensi sel, hal ini bertujuan
untuk meningkatkan kualitas dari suspensi sehingga dapat dihasilkan ECS yang bersifat
homogeny. Untuk melakukan subkultur dan memelihara kultur sangat penting sebelumnya
untuk menentukan kepadatan sel, karena subkultur harus dilakukan tepat pada saat
kepadatan sel mencapai tahap maksimum. Untuk kebanyakan kultur suspensi sel kepadatan
sel maksimum tercapai kurang lebih pada 18 – 25 hari, walaupun begitu passage time untuk
beberapa kultur yang sangat aktif bisa jauh lebih pendek yaitu sekitar 6 – 9 hari. Menurut
Street, umumnya suspensi sel mengandung 0.5 – 2.5 × 105 sel per ml media, setelah
penambahan dengan media cair. Subkultur selanjutnya dilakukan setiap 7 – 10 hari,
tergantung pada tingkat perkembangan dari ECS, dengan cara mengganti media kultur
dengan media baru atau segar dengan tetap menyisakan media kultur yang lama sebanyak
10 – 20 %.
Kemudiaan memindahkan yellowish meristematic globules, withish embryos pada fase
cotiledonary, jaringan necrotic dan highly vacuolated cell yang terdapat pada media lama
ke media baru. Untuk menentukan pertumbuhan dari sel dapat dilakukan dengan
menggunakan takaran PCV (Packed Cell Volume), yang dilakukan dalam kondisi steril,
pada hari kultur ke 0, 3, 5, 7, 9, 11, 13, dan 15. Adapun metodenya adalah sebagai berikut
: suspensi sel dalam Erlenmeyer dikocok secara halus kemudian 10 ml media kultur
dipipet, kemudian dibagi ke dalam tabung-tabung sentrifus berbentuk kerucut, selanjutnya
diputar pada 200 g selama 5 menit menggunakan swing – out rotor. Perlu diperhatikan juga
bahwa kualitas ECS akan menurun dengan semakin banyaknya subkultur, hal ini
kemungkinan dikarenakan kontaminasi dan penurunan tingkat pertumbuhan serta kapasitas
regenerasi sel, sedangkan ECS yang berkualitas memiliki sifat mudah beregenerasi
menjadi embryosomatic dan tumbuh menjadi tanaman.
c. Regenerasi Tanaman (Plant Regeneration)
Setelah ECS berkembang menjadi embryosomatic, ECS harus dipindahkan untuk
dikecambahkan. Pada Tahap ini ECS yang telah berkembang menjadi embryosomatic
ditransfer ke media padat untuk kemudian dikecambahkan menjadi planlet. Tahapan
pertumbuhannya meliputi perkembangan embrio, kemudian perkecambahan embrio, dan
selanjutnya pertumbuhan planlet.
d. Perkembangan Tanaman (Plant Development)
Pada tahap ini terjadi pertumbuhan planlet menjadi tanaman lengkap, kemudian dilakukan
aklimatisasi terhadap planlet dan selanjutnya planlet akan tumbuh menjadi tanaman
sempurna.
C. Penggunaan Kultur Suspensi Sel
a) Penggunaan Kultur untuk pertumbuhan tanaman.
Kultur suspensi sel tanaman pada umumnya di gunakan untuk penelitian biokimia dari fisiologi
sel, pertumbuhan, metabolisme, fusi protoplas, transformasi dan pada skala besar atau
menengah digunakan untuk produksi metabolit sekunder. Untuk tujuan ter sebut kultur
suspensi ditumbuhkan dalam tabung erlenmeyer yang selalu digogjok dengan mesin shaker
dan disubkultur secara teratur dengan interval yang pendek (antara 1-2 minggu). Pertumbuhan
dalam kultur suspensi sel lebih ce pat daripada kultur kalus dan juga lebih mudah di kontrol
dengan pergantian maupun penambahan me dia. Untuk tujuan mikropropagasi, multiplikasi
akan le bih cepat terjadi dalam kultur suspensi. Ada 2 metode terjadinya multiplikasi dalam
suspensi sel.

1.Pembentukan tanaman melalui embrio somatik di dalam kultur suspensi.

2.Pembentukan tanaman yang berasal dari sel tunggal dan/atau agregat sel dari suspensi yang
selanjut nya diletakkan pada media padat dan tumbuh menjadi koloni kalus dan beregenerasi
menjadi tanaman.
b) Penggunaan Kultur untuk fusi protoplasma
Singh et al. (1997) berhasil meregenerasikan tanaman barley melalui suspensi sel dan kultur
protoplas. Kalus embriogenik diperoleh dari embrio muda yang digunakan untuk membuat
kultur suspensi. Lebih dari 100 tanaman dengan berbagai variasi biji diregenerasikan menjadi
6 kultur suspensi sel embriogenik. Protoplas diisolasi dari 3 kultur suspensi. Ketika proto-kalus
embriogenik dipindahkan ke media regenerasi dihasilkan tunas hijau dan tunas albino.
Selanjutnya tunas hijau ditransfer ke media tanpa zat pengatur tumbuh. Planlet yang sudah
mempunyai sistem perakaran kuat kemudian diaklimatisasi di rumah kaca. Hasil analisis ujung
akar dari tanaman yang diregenerasikan dari kultur sel ternyata mempunyai komposisi 2n = 14
kromosom seperti yang diharapkan. Sebaliknya analisis kromosom akar tanaman yang berasal
dari kultur protoplas menunjukkan hasil yang bervariasi.
c) Penggunaan Kultur Suspensi untuk Transformasi
Kemampuan berbagai jenis tanaman untuk beregenerasi dari kultur jaringan sangat
menentukan keberhasilan penggunaan teknik bioteknologi seperti rekayasa genetik. Shimazu
et al. (1997) mengatakan bahwa kultur suspensi sel memegang peranan penting dalam
makropropagasi dan pemuliaan dengan menggunakan teknik bioteknologi pada Iris. Faktor
kritis yang menentukan suksesnya kultur suspensi embriogenik sel adalah identifikasi awal dan
selective enrichment dari pembentukan struktur embriogenik. Penetapan kultur suspensi
embriogenik sel yang menyebabkan regenerasi tanaman pertama kali dikembangkan pada
Festuca urundinacea (salah satu jenis rumput di Jerman).
d) Penggunaan Kultur Suspensi untuk Produksi Metabolit Sekunder
Beberapa metabolit sekunder seperti aroma rasa, pemanis alami, industri makanan ternak,
pafum dan insektisida komersial tidak berfungsi fisiologis secara vital seperti asam-asam
amino atau asam nukleat, tetapi zat-zat metabolit tersebut diproduksi untuk melawan predator
potensial, menarik serangga penyerbuk atau menyembuhkan infeksi penyakit. Metabolit lain
yang berguna dan diproduksi oleh tanaman adalah shikonin, zat kimia yang digunakan untuk
pewarna dan untuk bidang farmasi. Kultur suspensi sel tanaman sangat berguna untuk
mempelajari biosintesis dari metabolit sekunder. Walaupun ada keterbatasan dalam sistem
kultur sel dalam produksi metabolit sekunder, cara ini lebih disukai daripada perbanyakan
tanaman secara konvensional. Hal tersebut disebabkan karena kemampuannya memproduksi
senyawa yang berguna di bawah kondisi yang terkontrol sehingga teknik ini dapat digunakan
untuk menghasilkan senyawa kimia yang sedang dibutuhkan oleh pasar. Selain itu ada sel-sel
khusus yang dapat diperbanyak untuk menghasilkan senyawa metabolit tertentu yang tidak
dapat diproduksi melalui perbanyakan tanaman secara konvensional.
D. Penyimpanan dan Masalah Pada Kultur Suspensi Sel

Penyimpanan jangka panjang dari kultur suspensi sel biasa dilakukan dalam kriopreservasi
(Withers 1991). Untuk proses penyimpanan, beberapa strategi telah dikembangkan yang semuanya
bertujuan untuk mengurangi biaya tenaga dan pemeliharaan. Meskipun demikian diperlukan alat-
alat mahal khusus yang tidak dapat digunakan untuk pekerjaan rutin (Schumacher et al. 1994).
Teknik kriopreservasi merupakan teknik penyimpanan pada suhu sangat rendah dengan
menggunakan nitrogen. Pembelahan sel dan proses metabolisme di dalam sel, jaringan, atau organ
tanaman dapat dihentikan dalam waktu yang tidak terbatas melalui kriopreservasi.

Kondisi suhu penyimpanan secara kriopreservasi dalam nitrogen sangat rendah, yaitu -160ᵒ
hingga -180ᵒ C pada fase uap, bahkan sampai -196ᵒ C pada fase cair dan di bawah -200ᵒ C pada
fase terpadatkan (solidified). Teknik kriopreservasi sangat potensial dikembangkan untuk
penyimpanan plasma nutfah tanaman dalam jangka panjang hingga puluhan tahun. Secara teknis,
kriopreservasi telah berkembang dari teknik klasik yang didasarkan pada free-induced dehydration
of the cell melalui pembekuan lambat dan teknik baru yang didasarkan pada vitrification melalui
pembekuan cepat. Berbagai macam teknik baru tersebut telah berkembang (Roostika dan Mariska,
2004), antara lain vitrifikasi, enkapsulasi-dehidrasi, enkapsulasi-vitrifikasi, desikasi, pratumbuh-
desikasi, droplet, dan droplet-vitrifikasi. Secara umum, tahapan teknik kriopreservasi meliputi
pratumbuh, prakultur, pemuatan (loading), dehidrasi, pembekuan, pelelehan, penggantian muatan
(deloading atau unloading), pemulihan, dan regenerasi. Teknik kriopreservasi tidak hanya menjadi
bahan yang menarik untuk diteliti, namun telah diterapkan secara rutin di beberapa pusat penelitian
di berbagai negara. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kriopreservasi perlu diterapkan
pada biakan (kalus atau jaringan) embriogenik. Faktor tersebut adalah

1. Pembentukan biakan embriogenik sulit dilakukan, terutama karena tergantung pada genotipe
yang digunakan (genotype dependent)
2. Tingkat kesulitan tersebut semakin tinggi pada tanaman monokotil dan berkayu
3. Biakan embriogenik yang telah diperoleh perlu dipelihara melalui subkultur secara frekuentif,
yang mengindikasikan pemborosan tenaga, waktu, dan biaya serta membuka peluang rusaknya
biakan oleh karena kontaminasi
4. Biakan embriogenik akan mudah mengalami pencoklatan dan kematian.

MASALAH DALAM KULTUR SUSPENSI SEL

Kontaminasi merupakan problem terbesar dalam kultur sel. Dalam kultur suspensi,
mikroorganisme dapat tumbuh lebih cepat dan mengambil semua nutrisi sehingga menghambat
jaringan tanaman untuk tumbuh. Menurut Pighin (2003) ada beberapa cara untuk meminimalkan
kemungkinan kontaminasi, yaitu:
1. Penggunaan otoklap untuk semua media dan alatalat sebelum digunakan dengan suhu 121ᵒ C
selama 15-20 menit dan tekanan 20 psi.
2. Penggunaan laminar air flow dalam proses pembuatan kultur sel.
3. Penyimpanan kultur sel dalam ruang khusus yang jarang digunakan.
4. Penggunaan desinfektan dalam ruangan.
5. Bila masih terkontaminasi, penggunaan antibiotik dapat dilakukan dan senyawa anti-mitotik untuk
melawan jamur.

Selain kontaminasi, sering juga terjadi perbedaan produk akhir antara kultur suspensi sel atau kalus
dengan hasil keseluruhan tanamannya. Hal tersebut disebabkan karena:

1. Kurangnya diferensiasi dan organisasi Diferensiasi morfologi dan selular diperlukan untuk ekspresi
hasil metabolit sekunder beberapa tanaman. Kurangnya diferensiasi morfologi pada sel-sel kalus
menghambat pembentukan hasil metabolit tersebut. Kultur dari sumber aroma rasa, seperti lemon,
pir, alpukat, dan menta tidak dapat memproduksi minyak esensial karena sel-selnya kekurangan
jaringan khusus yang diperlukan untuk mensintesis dan mengakumulasi senyawa tersebut.
Kurangnya diferensiasi dalam sel-sel kalus mengganggu lintasan metabolit secara normal yang
mengakibatkan akumulasi prekursor senyawa yang diinginkan.
2. Kultur sel menyebabkan induksi variasi Induksi variasi karena kultur suspensi sel kemungkinan
juga merupakan salah satu penyebab perbedaan produk akhir (dan tingkat keracunan) yang sering
terlihat di antara kultur suspensi sel yang diinisiasi dari jenis sel yang sama. Variabilitas yang besar
di antara klon-klon dalam sifat-sifat pertumbuhan dan produksi metabolit sekundernya sering
diamati pada kultur suspensi kalus dan sel. Variasi ini kemungkinan berasal dari heterogenitas
bagian tanaman yang dikulturkan, atau proses dalam kultur sel sendiri yang menyebabkan
terjadinya perubahan. Kultur suspensi sel secara normal terdiri atas sel-sel dengan morfologi dan
fase agregasi yang berbeda. Secara individu sel-sel pada fase fisiologis mempunyai respon yang
berbeda terhadap lingkungan. Perbedaan dalam distribusi sel-sel tersebut di antara kelompok sel
(cell clone) seringkali menyebabkan variabilitas dalam produksi metabolit sekunder. Kultur sel
juga dapat menginduksi variasi secara genetik maupun epigenetic. Perubahan dalam jumlah dan
penyusunan kembali kromosom, amplifikasi dan delesi DNA, dan aktivasi transposon telah diamati
dalam kultur suspensi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kultur suspensi sel (suspension culture) adalah kultur yang menggunakan media cair
dengan pengocokan yang terus menerus menggunakan shaker dan menggunakan sel atau agregat
sel sebagai bahan eksplannya, biasanya eksplan yang digunakan berupa kalus atau jaringan
meristem. Tipe utama kultur suspensi yaitu Batch cultures dan Continuous cultures. Metode
Suspensi sel (cell suspension) melalui beberapa tahapan dari Induksi kalus (Callus Induction),
Inisiasi suspensi sel (Initiation of Cell Suspension), Pemeliharaan Suspensi sel (Maintenance of
Cell Suspension) dan Regenerasi Tanaman (Plant Regeneration).

B. Saran
Kultur suspensi sel tanaman pada umumnya di gunakan untuk penelitian biokimia dari
fisiologi sel, pertumbuhan, metabolisme, fusi protoplas, transformasi dan pada skala besar atau
menengah digunakan untuk produksi metabolit sekunder. Penyimpanan jangka panjang dari kultur
suspensi sel biasa dilakukan dalam kriopreservasi. Kontaminasi merupakan problem terbesar dalam
kultur sel. Dalam kultur suspensi, mikroorganisme dapat tumbuh lebih cepat dan mengambil semua
nutrisi sehingga menghambat jaringan tanaman untuk tumbuh. Di dalam makalah ini masih banyak
keterbatasan, maka dari itu diharapkan pembaca dapat menambah informasi atau wawasan dengan
studi literasi.
DAFTAR PUSTAKA

Ziraluo, Y.P.B. (2021). Metode Perbanyakan Tanaman Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas poiret)
Dengan Teknik Kultur Jaringan Atau Stek Planlet. Jurnal Inovasi Penelitian, 2(3), 1037.

Mahadi, I., Wulandari, S., Safii, W., & Sayuti, I. (2021). Kultur Suspensi Sel Tanaman Gajah
Beranak (Goniothalamus tapis Miq) Terhadap Kandungan Zat Goniotalamin. Jurnal Agro, 8(2).

Hutami, S. (2009). Penggunaan Suspensi Sel dalam Kultur In Vitro. Jurnal AgroBiogen, 5(2), 84-
92. https://doi.org/10.21082/jbio.v5n2.2009.p84-92

Schumacher, H.M. and K.A. Malik. 1994. Aconvinient method to maintain plant cell culturesfor
medium terms. Plant Cell, Tissue and Organ Cultures in Liquid Media. p. 143-145.

Shimazu, K., H. Nagaike, T. Yabuya, and T. Adachi. 1997. Plant regeneration from suspension
culture of Iris germanica. Plant Cell, Tiss. Org. Cult. 50:27-31.

Singh, R.R., J.A. Kemp, J.F. Kollmorgen, J.A. Qureshi, and G.B. Fincher. 1997. Fertile plant
regeneration from cell suspension and protoplast culture of barley (Hordeum vulgare cv. Schooner). Plant
Cell, Tiss. Org. Cult. 49:121-127.

Withers, L.A. 1991. Maintenance of plant tissue cultures. In Kirsop, B.E. and A. Doyle (Eds.).
Maintenance of Microorganisms and Cell Cultures. Academic Press. London. p. 243-267

Anda mungkin juga menyukai