Dosen Pengampu:
Etyn Yunita M.Si
Disusun oleh:
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-
Nya kami berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengelolaan sumber daya hutan
dengan sistem agrogorestry ”. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan
dan menambah wawasan mengenai mata kuliah Kultur Jaringan.
Kami sadar sebagai mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran. Penulisan
makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya
kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan makalah yang lebih baik di masa yang
akan datang.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhoi segala usaha kita. Aamiin.
Kelompok 4
DAFTAR ISI
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
Latar Belakang ....................................................................................................................... 4
Rumusan Masalah .................................................................................................................. 2
Tujuan .................................................................................................................................... 2
BAB II ....................................................................................................................................... 6
A. Pengelolaan Satwa Liar ..................................................................................................... 3
B. Dinamika Pengelolaan ....................................................................................................... 5
C. Hal Penting Dalam Pengelolaan Satwa Liar.......................................................................5
D. Perjanjian Internasional....................................................................................................7.
E.Studi Kasus, E.Konservasi Satwa Liar secara Ex-Situ di Taman Satwa Lembah Hijau
Bandar Lampung.................................................................................................................... 8
BAB III .................................................................................................................................... 16
Kesimpulan .......................................................................................................................... 16
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………..17
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi, dan tersebar di
beberapa tipe habitat, Indonesia ditetapkan sebagai negara Megacenter of biodiversity (Astirin,
2000, Baliton et al., 2017),karena negara Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa termasuk
satwa liar dan tumbuhan yang cukup tinggi. Indonesia memiliki 300.000 spesies satwa atau 17%
satwa di dunia (Profauna Indonesia, 2007; Warsito, 2010) atau 350.000 satwa (Astirin, 2000).
Kekayaan jenis satwa yang dimiliki Indonesia antara lain 515 spesies mamalia (Astirin, 2000),
1.539 spesies burung, 45% dari jumlah spesies ikan di dunia ada di Indonesia (Profauna Indonesia,
2007; Warsito, 2010; Mangi, 2013), 16% spesies reptil, 15% spesies serangga yang ada di dunia
juga terdapat di Indonesia (Astirin, 2000, Baliton et al., 2017). Dengan bermacam-macam jenis
satwa liar ini telah menjadi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk banyak kepentingan
manusia yang meliputi berbagai aspek kehidupan baik untuk kepentingan ekologis, ekonomis,
sosial maupun kebudayaan. Meski Wildlife atau sumberdaya alam liar termasuk satwa liar adalah
sumber daya alam yang dapat diperbaharui atau dapat diisi kembali dan tidak akan habis (renewable
resource) sering kali manusia memanfaatkannya dengan berbagai cara yang bahkan menyebabkan
terjadinya penurunan populasi mereka, bahkan hingga menyebabkan beberapa jenis satwaliar
terancam kepunahan. Oleh kerena itu dalam pemanfaatan satwa liar diperlukan adanya pengelolaan
yang menerapkan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan (Wulandari, 2011). Dengan demikian
satwa liar dapat dikelola dan dimanfaatkan secara lestari dalam suatu habitat buatan. Kondisi seperti
ini dapat disebut sebagai konservasi ex-situ. Menurut Ngabekti (2013), konservasi exsitu adalah
proses melindungi spesies tumbuhan dan hewan (langka) dengan mengambilnya dari habitat yang
tidak aman atau terancam dan menempatkannya atau bagiannya di bawah perlindungan manusia.
Fungsi utama dari konservasi ex-situ (Departement Kehutanan, 2007; Suhandi, 2015)
adalah melakukan usaha perawatan dan penangkaran berbagai jenis satwa untuk membentuk dan
mengembangkan habitat baru sebagai sarana perlindungan dan pelestarian alam yang dimanfaatkan
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta untuk sarana rekreasi alam yang sehat.
Lembaga konservasi hewan seperti kebun binatang merupakan wadah interaksi antara pengunjung
dengan hewan yang tidak mungkin kita temui dalam kehidupan sehari-hari; sebuah tempat dimana
manusia dapat merasa berkaitan dengan alam (Patrick, Patricia, and Tunnicliffe, 2010; Anugrah,
2014). Salah satu lembaga non pemerintah yang mengembangkan konservasi ex-situ adalah Taman
Satwa Lembah Hijau, Bandar Lampung (TSLHBL). Kesesuaian upaya konservasi satwa liar secara
ex-situ di taman satwa tersebut masih minim sehingga perlu ada penelitian lebih lanjut agar satwa-
satwa yang ada dikelola secara baik. Diketahui bahwa banyak taman satwa mengelola satwa liar
yang ada baru sesuai dengan ketersediaan sumberdaya manusia dan finansial yang ada di
organisasinya tanpa memperdulikan kebutuhan satwa-satwanya (Putri, 2015).
II. Rumusan Masalah
1. Apa konsep dari pengelolaan Satwa Liar?
2. Apa peran Satwa Liar ?
3. Apa saja strategi menjaga Satwa Liar?
4. Apa saja undang undang yang terdapat pada pengelolaan Satwa Liar?
III. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep pengelolaan Satwa Liar
2. Untuk mengetahui cara dan fungsi pengelolaan Satwa Liar
3. Untuk mengetahui strategi dalam menjaga Satwa Liar
4. Untuk mengetahui apa saja peraturan dan undang-undang perlindungan dan pengelolan
satwa liar
BAB II
PEMBAHASAN
Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara
yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas. Satwa liar mencakup berbagai
vertebrata yang hidup liar, berasosiasi dengan lingkungannya ataupun hidup dalam suatu
ekosistem alam. Sebagai negara dengan tingkat diversity yang tinggi seluruh komponen biotik
yang ada di negara dapat dimanfaatkan demi kepentingan manusia, oleh karena itu diperlukan
teknik dan rancangan pengelolaan satwa yang baik sehingga satwa liar tidak hanya dapat
dimanfaatkan tetapi juga dapat terjaga kelestariaannya. Pengelolaan satwa liar dapat diartikan
sebagai ilmu dan seni dalam mengendalikan (memanipulasi) karakteristik habitat dan populasi
satwa liar serta aktivitas manusia untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Secara umum tujuan
pengelolaan satwa liar adalah:
• Mempertahankan keanekaragaman spesies, misalnya: pengelolaan satwa liar di
kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.
• Memanfaatkan jenis satwa liarterntentu secara berkelanjutan, misalnya:
memproduksi daging rusa melalui penangkaran .Untuk dapat melakukan pengelolaan
satwa liar diperlukan pengetahuan mengenai biologi, ekologi dan perilaku satwa liar.
Pada umumnya pengelolaan satwa liar ditunjukkan pada pengelolaan satwa seperti burung dan
mamalia, pengelolaan satwa lain seperti ikan dilakukan secara terpisah sedangkan pada reptile dan
amphibi pengelolaan baru dilaksanakan jika keadaanya hampir punah. Suatu satwa dapat
dikatakan sebagai satwa liar apabila mereka hidup di lingkungan alam yang tidak dibatasi pagar,
atau di daerah yang luas. Dan sebagaiman lazimnya proses pengelolaan sumberdaya alam yang
dapat diperbaharui, system engelolaan satwa liar juga dilakukan atas dasar prisnsip-prinsip
kelestarian hasil (Sustaineble Yield Principle). Prinsip dasar ini meberikan makna bahwa satwaliar
dapat dipanen secara periodic tanpa mengurangi potensi perkembangbiakan mereka, dan
diharapkan dapat akan diperoleh lebih banyak lagi individu-individu baru yang dapat dipanen
dimasa mendatang.
Untuk memudahkan proses dan manageman pengelolaan satwa liar, diperlukan adanya
pembagian atau pengelompokkan satwa liar untuk mempermudah pengeloaan satwa. Satwa liar
dapat dibagi menjadi beberapa golongan yang didasari pada ukuran, habitat, perilaku dan manfaat
serta kerugiannya bagi manusia. Jika mengikuti pembagian golongan satwa liar seperti yang
tercantum dalam pasal 1 ayat (2) Peraturan Perburuan Jawa dan Madura 1940 (Jachverodening
Java en Madura 1940) diantaranya sebagai berikut :
1. Binatang liar yang elok : banteng (Bos javanicus), kerbau air (Bubalus bubalus), jenis-jenis
rusa (Curvus sp.) Kijang (Muntiacus muntjak), dan burung merak (Pavo miticus).
2. Binatang liar yang kecil : jenis-jenis kancil (Trangulus spp.), kelinci (Lepus nigricollis),
tekukur, pekutut, dederuk, katik, walik, punai, pergam, kendaca, dan sebagainya (Fam.
Colombidae), kebuali burung Junai (Caelonas nicobarica): jenis ayam hutan, puyuh dan
lainnya (family Phasianidae), kecuali burung merak, pelung, blekek kembang, mandar,
tikusan dan lain-lain, belibis, meliwis, bebenjut, dan lain-lain (Farm Antidae).
3. Binatang liar yang berpindah-pindah : burung trulek, trerik, trinil, gajahan, biru laut dan
sebagainnya (Jenis-jenis Glareola, Charadrius, Limosa, Numenius, Tringa dan lain-lain).
(Rostrula capensis) sejenis burung mundar, kareo, burung blekek, (jenis-jenis Gallinago)
ayam-ayaman (Gallicrex cinerea)
4. Binatang liar yang merugikan; Babi hutan (Jenis Sus), harimau, macan (Felis tigris) macan
tutul macam kumbang (Felis pardus) buaya (jenis-jenis Crocodillus).
5. Binatang yang merugikan: kera abu-abu tau monyet (macaca irus) kera hitam, lutung
(Presbitys pyrrus), kalong, bangsa pemakan buah-buahan (jenis Pteropus, dll) Ajag (Cuon
javanicus), Luwak (Paradoxurus hermaphroditus) garangan (Herpetes javanicus) dedes,
rasse (Viverricula malaccensis), anjing laut, sero (jenis-jenis Lutra), tikus (Rattus sp),
tupai, bajing (Scciruidae dll), Landak (Hystric) pecuk, pecuk ular (Palacrocorax spp dan
Anhingga spp.) betet (Psittacula alexandris) dan sebagainya.
Selain dari aspek permasalahan yang muncul pada satwa, tujuan pengelolaan satwa liar
juga ditentukan oleh stasus kawasan apakah kawasan tersebut termasuk lahan miliki
masyarakat atau kawasan hutan. Berdasarkan dari kawasan hutan, habita dari satwa liat
dapat dibedakan menjadi : Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Buru, Taman Wisata,
dan Taman Nasional (darat atau laut), hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi.
B. DINAMIKA PENGELOLAAN
Pengelolaan satwa liar merupakan proses yang dinamik yang berarti dalam
prosesnya selalu fruktuatif (naik turun) tergantung dari kondisi dan berkembang sesuai
dengan perkembanagn lingungan serta tanggapan dari masyarakat serikat. Menurut
Leopold (1933) dan Bailey (1984) mengemukakan sejarah perkembanagan pengelolaan
satwa harus mengikuti beberapa urutan atau tahapan pengelolaan yang harus diikuti
diantaranya :
• Pembatasan pemungutan
• Pengendalian terhadap persaingan antar pemangsa
• Penentuan daerah suaka alam
• Peningkatan stok populasi, penangkaran satwa
• Pengelolaan satwa
• Mengembangkan system informasi dan komunkasi dengan masyarakat luas.
di sekitar batas daya dukung tersebut.
Tidak hanya satwa liar dalam tempat pengelolaan saja, populasi dan jumlah dari
satwa liar di alam liar juga mengalami dinamika yang sama. Populasi satwa liar di alam
dapat naik, turun, atau stabil. Faktor-faktor yang mempengaruhi naik-turunnya populasi
satwa liar tersebut adalah kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas), imigrasi dan
emigrasi . Naik- turunnya populasi satwa liar juga dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologis
di habitatnya, yaitu : ketersediaan pakan dan air, tempat berlindung, perubahan vegetasi,
fluktuasi iklim, pemangsaan, penyakit dan bencana alam. Selain itu, aktivitas manusia
juga berpengaruh nyata terhadap populasi satwa liar, antara lain: perburuan, peruaakan
habitat dan kebakaran (JKSH Fahutan IPB. 1997).
Menurut JKSH Fahutan IPB. (1997) Tahapan dalam pengelolaan satwa liar adalah
mengidentifikasi permasalahan yang ada dengan mempelajari gejala yang dapat dikenali
di alam . Gejala yang dapat diamati umumnya berkaitan dengan kondisi habitat dan
populasi . Untuk menangkap gejala-gejala pengelolaan satwa liar diperlukan data lapang
yang memadai. Dengan demikian, dukungan para petugas lapangan sangat diperlukan
demi tercapainya tujuan pengelolaan satwa liar.
D. PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pengelolaan satwa liar sudah banyak dilakukan dan digerakkan oleh berbagai lembaga
konservasi internasional sehingga dihasilkan berbagai perjanjian-perjanjian internasional
tentang pengelolaan satwa liar. Perjanjian internasional ini tidak hanya sebagai peraturan
tentang pengelolaan satwa namun juga berperan sebagai regulasi dan tahapan pengelolaan
satwa liar yang baik agar segala hak dan kebutuhan satwa liar dapat terpenuhi. Beberapa
perjanjian internasional yang telah dibuat terkait pengelolaan satwa liar diantaranya :
1. CITES, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora.
Tujuan: untuk pengendalian perdagangan hidupan liar yang terancam kepunahan
maupun bagian-bagiannya.
2. CMA, Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals.
Tujuan: Untuk mengembangkan mekanisme kerjasama internasional dalam
rangka konservasi dan pengelolaan spesies-spesies yang memerlukan migrasi,
dan untuk pengelolaan spesies-spesies yang migrasi yang memerlukan perhatian
khusus
3. RAMSAR, Convention on Wetlands of International ImportanceEspecially as
Waterfowl Habitat.
Tujuan: menahan kehilangan daerah rawa-rawa dan melindunginya karena
fungsinya sangat penting bagi proses ekologi disamping kekayaan flora dan
faunanya yang tinggi.
4. . ICRW, International Convention for the Regulation of Whaling
Tujuan: melindungi jenis-jenis ikan paus yang langka dan terancam punah.
Kemitraan dengan Konvensi
Selain lewat perjanjian Internasional, setiap lembaga baik negara maupun swasta yang
ingin melakukan pengolaan SDA termasuk satwa liar perlu melakukan kerja sama dengan
beberapa kemitraan tertentu, tujuannya agar segala SDA dapat digunakan dengan baik dan
status satwa liar tetap terjaga.
CITES, berkolaborasi secara langsung dengan sejumlah konvensi, seperti:
1. Konservasi keanekaragamaan hayati
2. Konservasi Basel
3. Ramsar dan konvensi intersional pada peraturan paus.
4. Konservasi spesies migrasi.
Hasil dari pelestarian satwa di TSLHBL terhadap 26 spesies, hingga saat penelitian baru
menghasilkan satu ekor rusa timor jantan. Sedang jenis satwa yang lain belum dapat
menghasilan keturunan. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan ada beberapa
faktor yang menyebabkan satwa di TSLHBL belum memiliki keturunan yaitu: (a) Satwa
yang belum mencapai fase dewasa, seperti merak hijau, rangkong badak, owa sumatera,
owa jawa, kasuari gelambir ganda, orangutan Kalimantan; dan (b) Tidak memiliki
pasangan untuk menghasilkan keturunan seperti Bangau Tong-tong, Buaya Irian, Jalak
Bali, Cenderawasih Kuning Besar, Beo, Elang Hitam, Elang brontok, Elang bondol,
Binturung, Buaya Muara . (Alfalasifa, N., & Dewi, B. S.2019).
Gambar 1.3. Kandang buaya di Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung.
Terlihat pada salah satu kandang satwa yaitu kandang buaya di Taman Satwa
Lembah Hijau Bandar Lampung. Kondisi kandang satwa di Taman Satwa Lembah Hijau
44% tidak memenuhi standar untuk kesejahteraan satwa, ini dapat dilihat dari fasilitas
yang kurang memadai untuk satwa, dan kondisi kandang satwa yang dapat dijangkau oleh
pengunjung, seperti pada kandang owa jawa, owa sumatera, merak hijau, rusa timor, elang
hitam, elang brontok, elang bondol, beo, bangau tong-tong, dan buaya (buaya muara dan
buaya irian). Satu kandang Binturung dengan atap jerami yang tidak memadai untuk
tempat berteduh satwa.
Selain itu, jadwal pemberian pakan pada beberapa satwa tidak sesuai dengan
procedure dan sifat alaminya, contonya pemberian pakan pada binturung (arctictis
binturong). Dimana jadwal pemberian pakan dilakukan pada waktu pagi atau siang hari,
ini tidak sesuai karena satwa tersebut aktif di malam hari (nokturnal). Melihat beberapa
kriteria kandang satwa yang kurang memadai perlu adanya penyusunan ulang skema dan
regulasi pengelolaan satwa di TSLHBL . (Alfalasifa, N., & Dewi, B. S.2019).
A. Kesimpulan
. Pengelolaan satwa liar adalah ilmu dan seni dalam mengendalika (memanipulasi) karakteristik
habitat dan populasi satwa liar serta aktivitas manusia untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
tujuan untuk meningkatkan ukuran populasi, Terutama bagi jenis-jenis yang kondisi dan
penyebarannya makin tertekan, memanajemen sejumlah individu dari suatu populasi
berdasarkan prinsip kelestarian hasil. Dan untuk mengurangi individu yang jumlahnya
berlebihan. Hal-hal penting yang perlu diperhatika dalam pengelolaan satwa liar diantaranya :
Jenis satwa liar yang dikelola, Komposisi jenis satwa liar, Kondisi Habitat, Kondisi musim,
Kondisi tempat perlindungan terhadap pusat penduduk dan industry, dan Tingkat kesadaran
masyarakat dan aparat pemerintah. Pengelolaan satwa liar telah diatur dalam banyak perjanjian
internasional maupun UU negara salah satunya. Peraturan Kementrial Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI No P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018. Tentang Jenis Tumbuhan dan
Satwa yang Dilindungi terdapat lebih dari 921 spesies tumbuhan dan satwa yang dilindungi.
DAFTAR PUSTAKA
Astirin OP. (2000). Permasalahan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Dalam
Jurnal Biodiversitas. 1(1): 36-40.
Anugrah AP. (2014). Produk Observasi Interaktif untuk Sarana Introduksi Hewan di Kebun
Binatang. Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa Dan Desain, 3(1): 376.
Alfalasifa, N., & Dewi, B. S. (2019). Konservasi Satwa Liar secara Ex-Situ di Taman Satwa
Lembah Hijau Bandar Lampung. Jurnal Sylva Lestari. Vol. 7 (1).
Baliton RS., Wulandari C., Landicho LD., Cabahug RED., Paelmo RF., Comia RA., Roberto G.,
Budiono P., Herwanti S., Rusita and Castillo AKSA. (2017). Ecological Services
of Agroforestry Landscapes in Selected Watershed Area inThe Philippines and
Indonesia. BIOTROPIA. 24(1): 71-84.
Departemen Kehutanan. (2007). Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-
2017. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen
Kehutanan.
JKSFI FAHUTAN IPB (1997). PANDUAN PENGELOLAAN HABITAT BADAK JAWA
(Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG
KULON. Tim Peneliti Badak. Media Konservasi Edisi Khusus.
Kementrial KLHK (2018). Peraturan Kementrial Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No
P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018. Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa
yang Dilindungi.
Ngabekti S. (2013). Konservasi Beruang Madu Di KWPLH Balikpapan. Biosaintifika: Journal of
Biology and Biology Education 5(2): 90 – 96.
Nuryanti RY. (2013). Teknik Penangkaran Buaya Muara (Crocodylus Porosus) Di Penangkaran
Taman Buaya Indonesia Jaya, Serang, Bekasi, Jawa Barat. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Patrick, Patricia G., and Tunnicliffe SD. (2013). Zoo Talk. Springer: New York
Pro Fauna Indonesia. (2007). Fakta tentang Fauna di Indonesia. http//www. Pro Fauna Indonesia.
PP RI (1999). PP RI No 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
Suhandi AP. (2015). Perilaku Harian Orangutan (Pongo pygmaeus Linnaeus) Dalam Konservasi
Ex-situ di Kebun Binatang Kasang Kulim Kecamatan Siak Hulu Kabupaten
Kampar Riau. Jurnal Online Mahasiswa Faperta 2(1): 14.
Wulandari C. (2011). Agroforestry: Kesejahteraan Masyarakat dan Konservasi Sumberdaya Alam.
Buku. Penerbit Universitas Lampung. 78 hlm.
Wulandari C. (2011). Agroforestry: Kesejahteraan Masyarakat dan Konservasi Sumberdaya Alam.
Buku. Penerbit Universitas Lampung. 78 hlm.