Anda di halaman 1dari 10

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK

2021/2022
MATA UJIAN: HUKUM KEWARGANEGARAAN

Nama: Gerry Aldo Christian


NRP: 120119158
KP: D
No Absen: 45

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
OKTOBER 2021
1.a.
i. Pada dasarnya, faktor utama dalam menentukan status kewarganegaraan ialah aspek
yuridis. Namun, selain aspek yuridis terdapat aspek lain yang merupakan perekat kuat dalam
menentukan status kewarganegaraan, yaitu nasionalisme. Nasionalisme merupakan suatu
paham yang menempatkan kesetiaan tertinggi seseorang kepada suatu negara. Konsep ini
merupakan peran seseorang dalam segi kehidupan, baik bersifat publik maupun bersifat
privat. Mereka terikat secara yuridis dan politis pada suatu negara tertentu yang pada
gilirannya membentuk suatu ikatan secara yuridis dan politis yang membentuk ikatan yang
disebut dengan bangsa. Konsep ini berkembang sejak zaman Ibrani Purba dan Yunani Purba

1. Ibrani Purba: konsep nasionalisme yang dikembangkan oleh bangsa Ibrani Purba
bahwa ikatan antara negara dan warga negara didasarkan pada pengalaman atau
kenangan masa lalu dan keinginan/harapan pada masa yang akan datang adalah sama.
2. Yunani Purba: konsep nasionalisme yang dikembangkan oleh Yunani Purba yaitu
ikatan antara negara dengan warga negara didasarkan pada kesetiaan tertinggi pada
suatu ikatan politis. Pada intinya, nasionalisme dalam ibrani purba merupakan ikatan
antara negara dengan rakyat yang didasarkan pada ikatan-ikatan yang berkaitan
dengan pengalaman/kenangan masa lalu, bukan karena figur atau hubungan dengan
rajanya. Sedangkan nasionalisme dalam Yunani purba, keterikatan antara rakyat
dengan warga negara didasarkan pada ikatan politis yang membentuk suatu organisasi
politik.

Aspek nasionalisme ini merupakan syarat/aspek materiil, di mana seseorang yang ingin
memperoleh kewarganegaraan dari suatu negara, ia harus mengetahui bagaimana budaya dan
sifat sosiologis dari masyarakat negara itu. Seseorang yang ingin memperoleh
kewarganegaraan Indonesia harus terlebih dahulu memahami sosial budaya bangsa Indonesia
yang beraneka ragam. Ia juga harus mengerti bahasa, sejarah, budaya, dan perjuangan Bangsa
Indonesia sebagai upaya untuk menanamkan dan memupuk rasa kebangsaan/rasa kecintaan
terhadap negara dalam diri orang tersebut. Dengan adanya nasionalisme dalam diri seseorang,
maka apabila ada negara yang mencemooh kewarganegaraan orang tersebut, maka orang itu
tidak akan tinggal diam dan akan membela negaranya. Selain itu, seseorang yang secara
yuridis telah memenuhi persyaratan untuk memperoleh status kewarganegaraan, belum tentu
orang tersebut memiliki nasionalisme atau rasa cinta terhadap negaranya sendiri. Bisa saja
orang tersebut ingin menjadi kewarganegaraan suatu negara oleh karena ada maksud tertentu
yang negatif atau buruk. Oleh sebab itu, nasionalisme merupakan faktor yang memberikan
perekat kuat dalam menentukan status kewarganegaraan karena nasionalisme merupakan rasa
kebangsaan atau rasa memiliki terhadap bangsa yang tertanam dalam diri setiap orang,
sehingga dengan rasa tersebut seseorang akan membela, mempertahankan dan melindungi
bangsanya dari ancaman ataupun gangguan dari bangsa lain, termasuk juga ancaman dari
dalam bangsa itu sendiri yang berusaha memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

ii. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa nasionalisme merupakan hal yang
sangat penting dan vital untuk dimiliki oleh setiap warga negara sebagai wujud kecintaannya
terhadap negaranya. Adapun hal-hal yang dapat meningkatkan rasa nasionalisme warga
negara yakni sebagai berikut:

1. Peradaban/Budaya
Keterikatan antara warga negara dengan rakyatnya timbul dari budaya atau rasa
kebangsaan. Indonesia memiliki beragam budaya yang tersebar dari Sabang sampai
Merauke seperti bahasa, adat istiadat, kebiasaan, ajaran, jenis tarian, dll yang dapat
diperkenalkan kepada setiap warga negara untuk menghormati warisan budaya dari
nenek moyang Bangsa Indonesia. Di samping itu, peradaban dan budaya Indonesia
yang mengedepankan keramahan, kesopanan, kebersamaan (solidaritas) perlu
ditanamkan dan ditumbuhkan terhadap generasi muda maupun seluruh warga negara
agar mereka tidak terpengaruh oleh masuknya budaya-budaya negatif dari luar yang
dapat mengancam kearifan lokal serta persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Oleh
sebab itu, warga negara perlu untuk mengetahui dan memahami dan budaya yang ada
di Indonesia untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan kecintaan terhadap tanah air.
2. Sejarah Perjuangan
Pahitnya merasakan penjajahan akan menimbulkan keinginan untuk memperjuangkan
kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Setiap warga negara perlu untuk
mengetahui perjuangan yang dilakukan oleh para pahlawan dan pendiri Bangsa
Indonesia dalam membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Dengan
mengetahui sejarah perjuangan Bangsa Indonesia untuk menggapai kemerdekaan,
maka akan tertanam rasa nasionalisme dalam diri setiap warga negara untuk
memperjuangkan masa depan Bangsa Indonesia lebih baik lagi dan mengusahakan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
3. Tanah Air
Dengan adanya wadah dan tempat tinggal (wilayah) yang sama, maka rasa
nasionalisme seseorang akan terbentuk untuk menjaga wilayah Indonesia dari Sabang
sampai Merauke dari ancaman luar maupun dalam. Di samping itu, wilayah tanah air
Indonesia juga dianugerahi berbagai macam kekayaan alam dan sumber daya alam
yang melimpah. Atas dasar itu, akan muncul rasa nasionalisme dalam diri seseorang
untuk mencintai tanah airnya sendiri dengan cara berjuang untuk menjaga dan
memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya tersebut guna kesejahteraan hidup
orang banyak.
4. Memperkuat Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraaan
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan harus ditanamkan sejak dini terhadap
generasi muda. Hal ini diperlukan agar menumbuhkan jiwa nasionalisme terhadap
generasi muda untuk setia dan mengamalkan ideologi Pancasila. Di samping itu,
pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan diperlukan bagi setiap orang sebagai
benteng untuk menghalau aliran atau ideologi yang tidak sesuai dengan Jiwa bangsa
Indonesia.
5. Menggunakan dan mencintai produk dalam negeri
Setiap warga perlu untuk mencintai dan memakai produk dalam negeri guna
menumbuhkan rasa nasionalisme. Setiap warga hendaknya merasa bangga dan selalu
memakai produk dalam negeri, seperti batik. Apabila setiap warga negara terbiasa
memakai dan menggunakan produk dalam negeri, maka jiwa nasionalisme akan
tumbuh dengan sendirinya. Rasa nasionalisme tidak akan tumbuh apabila kita lebih
memilih dan menggunakan produk luar negeri. Dengan tumbuhnya rasa nasionalisme
dalam diri seseorang, maka orang tersebut akan berupaya memperkenalkan produk-
produk dalam negeri ke dunia internasional serta akan berjuang untuk
mempertahankan produk-produk dalam negeri yang diklaim oleh pihak asing.

Semua unsur-unsur di atas merupakan satu kesatuan yang saling bertalian erat guna
menciptakan rasa nasionalisme dalam diri warga negara.

iii. Perlakuan diskriminatif pada dasarnya merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan adanya proses pertumbuhan rasa nasionalisme di Indonesia. Nasionalisme
Indonesia tumbuh dan berkembang guna menghilangkan diskriminasi yang diciptakan oleh
para penjajah. Pada masa penjajahan dahulu, ada perlakuan atau tindakan yang berbeda
antara bangsa yang menjajah dengan bangsa yang dijajah. Dalam hal ini, bangsa yang
menjajah pasti mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada bangsa yang dijajah,
sehingga menciptakan perlakuan yang diskriminatif. Ketika masa penjajahan, Belanda
membuat suatu penggolongan penduduk yang terdiri dari golongan eropa, timur asing, dan
bumiputera (pribumi). Penggolongan penduduk tersebut menimbulkan adanya praktik
diskriminatif, sebab kaum bumiputera dianggap sebagai golongan yang paling rendah,
sedangkan golongan Eropa dan timur asing mendapat perlakuan yang istimewa dan khusus.
Hal ini jelas merupakan perlakuan diskriminatif dan mencederai perasaan Bangsa Indonesia,
sebab penduduk bangsa Indonesia asli justru dianggap sebagai golongan yang paling rendah
di tanah airnya sendiri. Selain itu, diskriminasi terhadap bangsa Indonesia juga terjadi di
bidang pendidikan, di mana hanya masyarakat yang berasal dari keluarga bangsawan saja
yang mendapatkan akses pendidikan, sedangkan masyarakat jelata tidak berhak untuk
mengenyam pendidikan. Hal ini mengakibatkan hanya segelintir rakyat Indonesia saja yang
mempunyai keahlian atau kepintaran, sedangkan yang lainnya terjebak dalam kebodohan dan
kemiskinan. Atas dasar itu, perlakuan diskriminatif yang terjadi pada masa penjajahan
menyebabkan Bangsa Indonesia terjebak dalam kesengsaraan dan penderitaan yang pada
akhirnya memunculkan perasaan senasib dan seperjuangan. Dengan adanya perasaan senasib
dan seperjuangan, maka hal tersebut menumbuhkan proses nasionalisme dalam diri rakyat
Indonesia untuk bertekad dan bersatu melawan penjajahan guna membebaskan dari perlakuan
diskriminatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perlakuan diskriminatif inilah
yang menumbuhkan rasa nasionalisme dalam diri Bangsa Indonesia untuk membawa
Indonesia merdeka dari penjajahan dan menghapuskan diskriminasi yang selama ini terjadi.

1b. Pada hakikatnya, UU No 62 Tahun 1958 merupakan peraturan pelaksanaan dari


Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). Pasca dikeluarkannya Dekrit
Presiden pada 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, hal
ini mengandung konsekuensi bahwa UU No 62 Tahun 1958 seharusnya juga tidak berlaku.
Namun, dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 ditentukan bahwa UU No 62 Tahun
1958 masih berlaku karena belum dilakukan pencabutan. Jika ditelaah secara mendalam,
secara filosofis UU No 62 Tahun 1958 ini bermasalah karena ada beberapa pengaturan dalam
undang-undang ini yang tidak sesuai dengan falsafah Pancasila, bersifat diskriminatif, kurang
menjamin pemenuhan hak asasi manusia dan persamaan antara warga negara serta kurang
memberikan perlindungan hukum terutama perlindungan hukum untuk perempuan dan anak.
Akhirnya, UU No 62 Tahun 1958 ini dalam perjalannya dicabut dan diganti dengan UU No
12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Adapun hal-hal yang diatur
dalam UU No 62 Tahun 1958 yang tidak sesuai dengan filosofi Pancasila beserta
perubahannya yang diatur dalam UU No 12 Tahun 2006 yakni sebagai berikut:

1. Penentuan status kewarganegaraan anak


Dalam Pasal 1 huruf b, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 ditentukan
bahwa: “orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan
dengan ayahnya, seorang warga-negara Republik Indonesia, dengan pengertian
bahwa kewarga-negaraan Republik Indonesia tersebut dimulai sejak adanya
hubungan hukum kekeluargaan termaksud, dan bahwa hubungan hukum
kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur 18 tahun atau sebelum ia
kawin pada usia di bawah 18 tahun”. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa
penentuan status kewarganegaraan anak didasarkan pada kewarganegaraan orang
tuanya (keturunan) asas ius sanguinis. Kemudian, berdasarkan Pasal 1 huruf b
tersebut, yang berwenang menentukan status kewarganegaraan seorang anak yaitu
ayah. Artinya, kewarganegaraan anak akan mengikuti kewarganegaraan ayahnya
sampai dengan batas usia 18 tahun atau sebelum usia 18 tahun ia sudah menikah. Jika
kita cermati, ketika seorang anak mempunyai ayah dan ibu (orang tua) dengan
kewarganegaraan yang sama, maka tidak menimbulkan suatu masalah. Namun, jika
orangtuanya berbeda kewarganegaraan karena adanya perkawinan campuran, maka
hal ini dapat menimbulkan suatu masalah. Jika ayah anak tersebut warga negara
Indonesia dan ibu nya orang asing, maka anak tersebut akan berkewarganegaraan
Indonesia seperti ayahnya. Di sisi lain, apabila ayah dari anak tersebut adalah orang
asing dan ibunya berkewarganegaraan Indonesia, maka anak tersebut akan
berkewarganegaraan asing seperti ayahnya. Hal ini akan menimbulkan suatu masalah
apabila izin tinggal ayah anak tersebut di Indonesia habis, maka ayah dan anak
tersebut yang berstatus orang asing harus kembali ke luar dari Indonesia dan negara
asalnya. Selanjutnya, ibu dari anak tersebut harus menentukan pilihan, apakah ikut
bersama dengan suami beserta anaknya atau memilih tetap tinggal di Indonesia. Bila
ibunya ingin tetap tinggal di Indonesia namun izin tinggal suaminya di Indonesia
sudah habis dan anaknya tetap berada di Indonesia, maka anak itu tetap
berkewarganegaraan WNA dan konsekuensinya yaitu anak tersebut memiliki
kewajiban sebagai WNA yang tinggal di Indonesia.
Dapat dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1 huruf b lebih mengedepankan
ideologi patriakhal (garis bapak), di mana ibu tidak diberikan hak untuk menentukan
status kewarganegaraan anak ketika anak tersebut mempunyai hubungan hukum
dengan ayahnya. Seorang ibu baru bisa menentukan kewarganegaraan anak apabila
anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya (Pasal 1 huruf d). Di
samping itu, anak juga tidak memiliki hak untuk menentukan status
kewarganegaraannya sendiri, padahal ia diposisikan sebagai subjek hukum. Namun,
kenyataannya anak dijadikan objek hukum dengan klaim secara sepihak oleh negara,
bahwa yang menentukan status kewarganegaraan adalah ayahnya. Dalam artian, anak
tidak memiliki hak untuk menentukan status kewarganegaraannya. Sehingga,
ketentuan dalam Pasal 1 huruf b ini bersifat diskriminatif tidak sesuai dengan falsafah
Pancasila karena tidak memperhatikan hak perempuan dan anak. Oleh sebab itu di
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dilakukan perubahan melalui beberapa
pasal, antara lain yaitu:
Pasal 4
c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara
Indonesia dan ibu warga negara asing;
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing
dan ibu Warga Negara Indonesia;
Ketentuan dari Pasal 4 huruf c dan d tersebut merupakan bentuk perubahan dari UU
No 62 Tahun 1958 yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan dan kurang
memperhatikan hak anak. Berbeda dengan UU No 62 Tahun 1958, di dalam UU No
12 Tahun 2006, yang dapat menentukan status kewarganegaraan dari seorang anak
adalah ayah dan ibu. Sehingga, dalam hal ini posisi perempuan (ibu) telah
disejajarkan dengan laki-laki (ayah) karena perempuan dapat menentukan status
kewarganegaraan anaknya. Apabila terjadi perkawinan campuran, maka anak tersebut
akan memperoleh kewarganegaraan dari orang tua nya yang berkewarganegaraan
Indonesia (bisa ayah atau ibunya). Jadi, anak disini tidak kehilangan haknya.
Selanjutnya, dalam Pasal 6 ayat (1) ditentukan bahwa: “Dalam hal status
Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l, dan Pasal 5 berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah
kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya”.
Arti dari ketentuan Pasal 6 ayat (1), yaitu seorang anak wajib menyatakan untuk
memilih salah satu kewarganegaraannya setelah dirinya berusia 18 tahun atau sudah
kawin.
2. Pengangkatan anak
Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa: “Anak asing yang belum berumur 5 tahun
yang diangkat oleh seorang warga-negara Republik Indonesia, memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh
Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat anak itu”.
Selanjutnya, dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa: “Pernyataan sah oleh
Pengadilan Negeri termaksud harus dimintakan oleh orang yang mengangkat anak
tersebut dalam 1 tahun setelah pengangkatan itu atau dalam 1 tahun setelah Undang-
undang ini mulai berlaku”. Ketentuan dalam Pasal 2 tersebut mengandung arti bahwa
seorang anak asing yang belum berusia 5 tahun ketika dia diadopsi oleh warga negara
Indonesia, maka sejak proses adopsi tersebut diterima oleh Pengadilan Negeri, maka
kewarganegaraan anak tersebut mengikuti kewarganegaraan orang tua angkatnya.
Dengan perkataan lain, anak tersebut secara otomatis kehilangan kewarganegaraan
asalnya. Sebaliknya, apabila anak yang berkewarganegaraan Indonesia diadopsi oleh
orang asing, maka sejak disetujuinya adopsi tersebut, kewarganegaraan anak tersebut
mengikuti kewarganegaraan orang tua angkatnya atau dengan perkataan lain anak
tersebut kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Dapat dikatakan bahwa ketentuan
Pasal 2 tersebut telah melanggar hak asasi manusia (HAM), di mana negara tidak
hadir untuk memberikan perlindungan. Negara menghilangkan status
kewarganegaraan seorang anak yang belum mengetahui apa-apa, di mana tindakan ini
merupakan pelanggaran HAM. Dalam praktiknya, banyak orang tua angkat yang
mengadopsi anak tetapi dengan tujuan yang jahat, seperti sengaja ditelantarkan,
dijadikan pekerja seks komersial atau bahkan dijual organ tubuhnya. Terkadang, jika
anak tersebut ingin keluar dari keluarga tersebut, maka ia diwajibkan untuk membayar
uang yang jumlahnya sangat besar karena ia telah dibesarkan bertahun-tahun oleh
orang tua angkatnya. Ketentuan tersebut akhirnya diubah dalam Pasal 5 ayat (2) UU
No 12 Tahun 2006. Dalam Pasal 5 ayat (2) UU No 12 Tahun 2006 ditentukan bahwa:
“Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara
sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap
diakui sebagai Warga Negara Indonesia”. Jadi, dalam hal ini anak yang diadopsi oleh
orang asing tidak serta merta kehilangan kewarganegaraan Indonesianya dan nantinya
akan memiliki kewarganegaraan ganda. Setelah itu, berdasarkan Pasal 6 UU No 12
Tahun 2006, anak tersebut wajib menyatakan untuk memilih salah satu
kewarganegaraannya setelah dirinya berusia 18 tahun atau sudah kawin.

Dengan demkian, pada akhirnya UU No 62 Tahun 1958 ini dicabut dan diganti dengan UU
No 12 Tahun 2006 dengan tujuan untuk menghendaki adanya kesetaraan dan keadilan
gender, menjamin pemenuhan hak asasi manusia dan persamaan antara warga negara serta
memberikan perlindungan hukum terutama perlindungan hukum untuk perempuan dan anak.

1c. Pada hakikatnya, administrasi kependudukan merupakan hal yang bertalian erat
dengan hukum kewarganegaraan, sebab di dalamnya terdapat hubungan timbal balik
(resiprokral) antara negara dengan warga negaranya. Keberadaan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan (UU Administrasi Kependudukan)
merupakan perangkat hukum yang digunakan oleh negara untuk memberikan perlindungan
hukum dan pemenuhan hak bagi warga negaranya. Namun, dalam implementasinya UU
Administrasi Kependudukan ini masih belum berjalan dengan baik sebagaimana mestinya
karena dalam realitanya di lapangan masih ditemukan berbagai masalah. Salah satu masalah
yang sering ditemui dalam pelayanan administrasi kependudukan yaitu adanya pungutan liar
(pungli). Pungutan liar yaitu pengenaan biaya yang dilakukan tanpa adanya alas hukum yang
sah atau tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Di sejumlah wilayah Indonesia, masih banyak ditemukan adanya praktik pungutan liar dalam
pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP). Berdasarkan data dari Kepala Bidang
Data Informasi dan Data Satgas Saber Pungli, telah ditemukan 1200 kasus mengenai
pungutan liar sepanjang bulan Januari hingga akhir Maret 2021. Praktik pungutan liar dalam
pelayanan administrasi kependudukan ini jelas bertentangan dengan Pasal 79A UU
Administrasi Kependudukan yang menegaskan bahwa: “Pengurusan dan penerbitan
Dokumen Kependudukan tidak dipungut biaya”. Dalam hal ini, E-KTP merupakan salah satu
dokumen kependudukan yang keberadaannya sangat vital bagi setiap warga negara, di mana
pembuatan E-KTP tersebut tidak dikenakan biaya. Apabila terdapat aparat atau pegawai
negeri yang mengenakan biaya administrasi dalam pembuatan E-KTP, maka hal tersebut jelas
merupakan pungutan liar yang dilarang dalam undang-undang. Menurut penulis, kasus
pungutan liar dalam pelayanan administrasi kependudukan tersebut menunjukkan bahwa
pelaksanaan UU Administrasi Kependudukan di Indonesia belum sepenuhnya berjalan
dengan baik. Pada dasarnya, pelayanan di bidang administrasi kependudukan yang cepat,
efektif, efisien dan bebas dari pungutan liar itu merupakan hak konstitusional setiap warga
negara Indonesia yang pemenuhannya wajib dijamin dan dijunjung tinggi oleh negara. Oleh
sebab itu, penulis berpendapat bahwa diperlukan adanya reformasi dan perbaikan dalam
sistem pelayanan administrasi kependudukan ke arah yang lebih baik lagi agar dapat
memberikan pelayanan yang terbaik bagi warga negara. Pemerintah harus berupaya keras
untuk memperbaiki sistem pelayanan administrasi kependudukan dengan cara memberantas
oknum-oknum pegawai negeri yang melakukan pungutan liar agar kedepannya pelayanan
administrasi kependudukan akan berjalan dengan baik dan memuaskan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai