Anda di halaman 1dari 5

LALU

“Ia seperti berada pada dua persimpangan yang tidak akan pernah menyatu.”

---
“DRTTT.. DRTT…”

Ponsel Nara kembali berdering. Sudah dua minggu ini ia selalu mendapatkan panggilan dari
satu orang yang sama dengan nomor yang berbeda. Tak tahu maksud tujuan orang itu apa, Nara tidak
memahaminya dan tetap mengacuhkan panggilan tersebut.
Di pagi hari yang cerah, Nara tidak dapat fokus dengan apa yang sedang ia pelajari. Pria paruh
baya di depannya sibuk menjelaskan materi, rasanya Nara tidak dapat menyerap apapun yang
dijelaskannya. Jari-jarinya hanya sibuk memainkan pena di atas lembaran kertas yang kosong. Tak
lama, pria paruh baya itu mendapatkan telepon dan meminta izin kepada mahasiswanya untuk
menerima panggilan dari seberang sana. Selang beberapa menit, ia berpamitan sambil membereskan
barang-barangnya lalu berjalan menuju keluar kelas. Diikuti oleh suara mahasiswa yang kian riuh serta
ikut membereskan barang-barangnya, mahasiswa dikelas berhamburan hanya menyisakan beberapa
orang di dalam kelas.
Nara yang merasa malas keluar kelas memutuskan untuk tetap berada pada posisinya,
bersandar di kursi yang membuatnya nyaman sambil mengeluarkan sebuah novel bersampul hitam dari
dalam tas.

Lembar demi lembar ia buka secara perlahan, aroma buku yang menyeruak melewati hidungnya. Buku
ini sudah dibeli sejak lama, tapi rasanya enggan untuk dibacanya, sebab tema diangkat begitu dalam;
cinta.
Saat asyik membalik lembaran buku tersebut, jari Nara berhenti pada halaman kesekian.
Matanya terlihat fokus membaca, bibirnya bergerak pelan tanpa suara, untuk Nara menyadari kalimat
yang dibacanya.
“Sinonim itu mengajarkan kita bahwa semua yang terlihat sama, tidak pernah benar-benar
memiliki makna yang sama. Jika hilang berarti sudah tidak ada lagi, maka kehilangan berarti kamu
menderita atas sesuatu yang hadirnya sudah tidak dapat kembali.”
Mungkin inilah yang sedang terjadi. Kehilangan.

---
Di siang hari dengan teriknya matahari, gadis itu berjalan menuju tempat yang biasa dikunjungi
bersama sahabatnya dulu. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk mengerjakan tugas sambil
mengobrol sesuatu yang tidak tentu arah. Setelah dua tahun lulus dari bangku SMA, mereka berdua
belum pernah bertemu kembali. Dirinya memang menyebalkan, tetapi kepeduliannya tidak dapat
dinomorduakan.
Jam menunjukkan pukul empat sore, dihadapannya sudah duduk seorang laki-laki yang
dikenalnya. Laki-laki itu membuka obrolan, mulai dari menanyakan kabar, hingga perbincangan masa
sekolah dulu. Sampai pada akhirnya, obrolan tersebut mampu membuat sang gadis itu terdiam.
“Nara, sebenarnya gua kesini nggak sendiri.” Laki-laki itu berkata dengan tatapan yang serius.
Nara masih menunggunya melanjutkan bicara, “Ada Falih disini.”

DEG!!!

Kalimat terakhirnya membuat Nara terkejut, ia segera menegok kesana kemari sembari mencari
sosok yang bernama Falih. Kemudian, sorot matanya berhenti pada sosok laki-laki bertopi yang sedang
menunduk sambil memegangi minumannya. Laki-laki itu duduk seorang diri di kursi paling pojok.
Sahabatnya menyadari bahwa Nara sudah menemukan sosok yang dimaksud. 
“Ardhi, kenapa ada dia disini?”. Matanya melotot ketika mengetahui bahwa benar, Falih ada
ditempat yang sama dengan mereka.
“Ada yang mau dibicarain, katanya.”
“Tentang apa?”
“Mungkin lu bisa dapat jawaban dari orangnya langsung.” Kemudian Ardhi bangkit dari tempat
duduknya dan berjalan menuju Falih. Terlihat mereka berdua sedikit berbincang sebentar, lalu Falih
bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju Nara.
Nara melihat laki-laki itu berjalan ke hadapannya, ia merasakan perasaan yang tidak karuan.
Tangannya sedikit gemetar dan tubuhnya berkeringat. Falih, laki-laki yang hidup pada masa lalunya
kembali hadir dihadapan Nara saat ini. Entah untuk tujuan apa.
“Mau apa kamu kesini?” Nara langsung menembakkan pertanyaan yang terdengar tidak ramah.
“Nara, dengerin sebentar ya.. “ Falih menenangkan Nara dengan suara yang merendah, “Maaf
sampai sejauh ini, tapi aku nggak tau lagi harus gimana. Berkali-kali aku hubungin kamu, berkali-kali juga
kamu selalu menghindar.” Tambahnya. 
“Untuk apa aku terima teleponmu kalau semua di antara kita sudah selesai.” 
“Enggak, Nara bagiku ini belum selesai aku yang punya rencana untuk hubungin Ardhi supaya
bisa ketemu kamu. Sesulit itu, Nar? Sesulit itu hanya untuk sekedar ketemu sama kamu. Jika memang
benar-benar sudah selesai, seharusnya aku enggak sampai cari tahu kamu ke sana ke mari,” jelasnya.
Laki-laki itu memandang Nara dengan tatapan yang sangat dalam, namun Nara enggan melihatnya.
Rasanya saat ini, meja kafe lebih menarik untuk ia lihat, dibandingkan wajahnya yang begitu
menampilkan banyak kenangan menyakitkan bagi Nara.
Nara menaikkan kepalanya. “Kamu yang menghilang lebih dulu, Falih. Kalau kamu memang
benar mencariku, kenapa baru hari ini?” tanyanya dengan mata yang berlinang. “Aku pernah merasa
setakut itu akan kepergianmu, merasa sekurang itu atas segala yang kupunya. Sebab di sampingmu tidak
selalu ada aku. Di sampingmu akan selalu ada orang lain yang lebih dariku. Sekarang, coba kamu lihat.
Apa pernah kamu merasa setakut itu kehilangan aku?”
Falih terdiam. Kemudian ia berkata, “Aku minta maaf Nara, tentang kepergianku dan tentang
perempuan itu.. aku khilaf.”
“Tidak ada khilaf sampai dua kali, Falih.” Falih membuka sedikit bibirnya untuk mengeluarkan
kalimat, ”atau mungkin ada lebih dari itu yang tidak kuketahui,” lanjut Nara.
“Ada banyak malam yang kulewati hanya untuk memikirkan bagaimana perasaanmu
terhadapku. Sudah banyak malam yang kulewati hanya untuk mengkritik habis-habisan diriku sendiri,
menelan banyak ekspektasi yang kubuat berdasarkan hal-hal yang benar terjadi. Banyak kekhawatiran
yang aku takutkan. Tentang perempuan itu, tentang orang tuamu dan perbedaan latar belakang kita
masing-masing.” Nara meneteskan air matanya, mengingat kejadian beberapa tahun lalu yang sempat
membuatnya runtuh. Dari kejauhan, Ardhi memandang mereka berdua dengan pikiran yang tidak
karuan dan perasaan bersalah karena mempertemukan mereka berdua.
“Aku belum cukup dewasa dan tidak berpikir panjang pada waktu itu. Tapi sekarang aku sadar,
yang aku butuh adalah kamu, Nara. Bukan perempuan itu.” Falih berusaha meyakinkan Nara, namun ia
hanya mendengus sebal mendengar kalimat yang keluar dari mulut Falih.
“Kesadaranmu sudah basi,” jawabnya ketus.
“Tolong hargai aku sedikit, Nar.”
“Selama ini kamu pernah enggak menghargai aku?”
“Aku selalu menghargai kamu, Nara. Aku sudah cukup atas apa yang ada di dalam diri kamu. Aku
enggak mau kamu hilang lagi”
“Biarkan aku bertanya.”
“Apa?”
“Apa yang kurang dariku?” 
“Tidak ada.”
“Jadi, kenapa kamu ke perempuan lain?” Lagi-lagi, Falih tidak dapat menjawabnya.
“Falih, jika kamu benar sudah merasa cukup dengan satu perempuan, maka seharusnya
perempuan itu tidak akan pernah ada.” Nara berbicara dengan tatapan mata yang sangat tajam ke arah
Falih. “Kamu tahu apa yang membedakan kita?” Tanyanya lagi. “Kamu pergi tanpa pamit dan selalu
kembali pada waktu yang tidak seharusnya. Sedangkan aku, aku pernah menunggumu kembali, tapi
kemudian aku memutuskan untuk pergi dan tak akan pernah kembali.” Kemudian Nara bangkit dari
tempat duduknya dan berjalan pergi meninggalkan tempat tersebut, meninggalkan Falih yang masih
duduk mematung memandang kepergiannya.

“Falih, asal kamu tahu. Selepas kepergianmu, aku tidak pernah benar-benar merasa kehilangan.
Sebab aku telah menemukan kembali diriku yang pada waktu itu pergi entah ke mana. Kamu mungkin
tidak mengerti apa maksudku, tapi aku yakin kamu mengetahui bahwa yang sebenarnya merasa
kehilangan adalah dirimu sendir,i“ batinnya. Air matanya mengalir dengan deras di kedua pipinya yang
berwarna merah.
---
Kepada seorang laki-laki yang merasa begitu hebat, yang selalu berpikir bahwa dirimu begitu
sempurna, apa yang kau inginkan selalu kau dapat dan yang selalu mampu membuat siapa pun
menyukaimu, kamu perlu mengetahui satu hal; bahwa di dunia ini begitu abu-abu untuk mengetahui
mana yang salah dan benar. Begitu juga dengan pandangan dari setiap orang. Kamu mungkin benar
dalam pandanganmu, tapi kamu juga bisa salah perihal pandanganmu terhadap orang lain. 
Sebab kita hanya benar dalam perspektif kita masing-masing. 
Kamu menikmati hidupmu yang seperti seorang sultan. Apa pun yang kamu inginkan, maka
semuanya harus sesuai dan berjalan seperti itu adanya. Kamu tidak pernah menyukaiku apa adanya,
kamu selalu menuntutku untuk menjadi segalanya yang kamu inginkan. Kamu mengaturku hampir dua
puluh empat jam dan aku yang sudah dibutakan oleh cinta menurutimu tanpa sela. 
Jika sebelumnya aku baik-baik saja tanpamu, maka selepas kepergianmu aku akan tetap baik-
baik saja. Ada dan tidak adanya kamu di hidupku, semesta akan berjalan dengan semestinya. Kamu
hanya bagian kecil dari besarnya dunia dan bagian kecil itu tidak akan pernah mampu untuk
menghancurkan semestaku. Maka, pergilah. Aku sudah melepaskan apa-apa yang berhubungan dengan
dirimu.
Nara menutup buku hariannya. Tangannya bergerak meraih ponsel, membuka salah satu
riwayat panggilan yang beberapa waktu terakhir cukup mengganggu kehidupannya. Tanpa ragu, ia
memblokir nomor tersebut dan meletakkan kembali ponselnya.
Nara merebahkan tubuhnya. Perlahan, matanya mulai terpejam, bulir-bulir air mulai keluar dari
matanya.
“Aku dan kamu sudah tidak menjadi ‘kita’ lagi, Falih.” 

Anda mungkin juga menyukai