Catatan Fisika Matematika II
Catatan Fisika Matematika II
Fisika Matematika II
Muhammad Fauzi Mustamin
𝟐
𝛁
\𝒊𝒏𝒇𝒕𝒚 press
2016
Muhammad Fauzi Mustamin
Berbagai fenomena alam menunjukkan pola keteraturan. Fisika diamanahkan sebagai cabang
pengetahuan untuk menjabarkan keteraturan tersebut. Menggunakan alat matematis, fenomena-
fenomena tersebut diformulasikan sedemikian rupa agar terstruktur untuk dipahami. Hasil kajian
para fisikawan inilah kemudian yang menurun kepada bidang-bidang lain untuk ditelaah lebih
lanjut kajian teknisnya.
Buku ini merupakan kumpulan catatan kuliah saat mengikuti perkuliahan Fisika Matematika II di
program studi Fisika, Universitas Hasanuddin, ditambah dengan hasil telaah otodidak penulis.
Terinspirasi dari hadits Rasulullah, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”, saya memulai sedikit
demi sedikit menuliskan risalah ini. Setelah beberapa bulan, buku ini akhirnya bisa saya
rampungkan meskipun masih jauh dari kata sempurna untuk menjelaskan luasnya samudera Fisika
Matematika.
Kepada dosen-dosen pengajar; Prof. Wira Bahari Nurdin, Bannu, M.Si., dan Dr. Tasrief Surungan,
serta teman-teman sekelas pada mata kuliah Fisika Matematika semester genap 2015, saya
mengucapkan banyak terimakasih atas berbagai inspirasi saat perkuliahan.
Bagi teman-teman, para pembaca sekalian, saran dan feedback selalu dinanti di
muhammadfauzim@gmail.com.
Fungsi gamma merupakan fungsi spesial yang sering muncul dalam pembahasan suatu fenomena
fisis. Fungsi ini muncul disetiap ekspansi Taylor. Pada pelajaran lebih lanjut, fungsi gamma sering
ditemukan dengan argument setengah bilangan bulat dan dibutuhkan untuk nilai non-integral
secara umum dalam banyak ekspansi, seperti fungsi Bessel untuk urutan bukan bilangan bulat.
Fungsi gamma tidak selalu mendeskripsikan sebuah kuantitas fisis, namun muncul sebagai faktor
dalam ekspansi dari kuantitas fisis yang relevan.
Fungsi gamma memiliki beberapa definisi dalam penggunaannya. Definisi pertama muncul setelah
didefinisikan oleh Euler :
1∙2∙3∙∙∙𝑛
Γ(𝑧) ≡ lim 𝑛𝑧 , 𝑧 ≠ 0, −1, −2, … (𝟏. 𝟏)
𝑛→∞ 𝑧(𝑧 + 1)(𝑧 + 2) ∙ ∙ ∙ (𝑧 + 𝑛 )
1∙2∙3∙∙∙𝑛
Γ(1) = lim 𝑛=1
𝑛→∞ 1 ∙ 2 ∙ 3 ∙ ∙ ∙ 𝑛 (𝑛 + 1)
Γ(2 ) = 1
Γ(3) = 2Γ(2) = 2
Γ(4) = 3Γ(3) = 2 ∙ 3
Atau :
Γ(𝑧 ) = 1 ∙ 2 ∙ 3 ∙ ∙ ∙ (𝑧 − 1 ) = (𝑧 − 1 )! (𝟏. 𝟑)
1
∞
Saat fungsi gamma muncul dalam masalah fisis, sering dijumpai dalam beberapa variasi seperti :
∞
2
Γ(𝑧) = 2 ∫ 𝑒 −𝑡 𝑡 2𝑧−1 𝑑𝑡, Re(𝑧) > 0 (𝟏. 𝟓)
0
yang dapat dibuktikan dengan melakukan subtitusi 𝑡 = 𝑡 2 pada persamaan (𝟏. 𝟒).
Persamaan (𝟏. 𝟏) dan (𝟏. 𝟒) dapat dibuktikan dengan memperhatikan fungsi dua variabel :
𝑛
𝑡 𝑛
𝐹 (𝑧, 𝑛) = ∫ (1 − ) 𝑡 𝑧−1 𝑑𝑡, Re(𝑧) > 0 (𝟏. 𝟔)
𝑛
0
Dengan 𝑛 adalah bilangan bulat positif. Fungsi tersebut dipilih karena eksponensialnya memiliki
definisi :
𝑡 𝑛
lim (1 − ) ≡ 𝑒 −𝑡
𝑛→∞ 𝑛
1
𝐹 (𝑧, 𝑛) 𝑛
𝑢𝑧 1 𝑛
= [( 1 − 𝑢 ) ] + ∫(1 − 𝑢)𝑛−1 𝑢 𝑧 𝑑𝑢
𝑛𝑧 𝑧 0 𝑧
0
2
Dengan melakukan sebanyak 𝑛 kali, integral parsialnya diabaikan, kita dapatkan :
1
𝑛(𝑛 − 1) ∙∙∙ 1
𝐹 (𝑧, 𝑛) = 𝑛 𝑧 ∫ 𝑢 𝑧+𝑛−1 𝑑𝑢
𝑧 ( 𝑧 + 1) ⋯ (𝑧 + 𝑛 )
0
1 ∙ 2 ∙3⋯𝑛
𝐹 (𝑧, 𝑛) = 𝑛𝑧
𝑧(𝑧 + 1)(𝑧 + 2) ⋯ (𝑧 + 𝑛)
Salah satu hubungan relasi yang memenuhi persamaan fungsi gamma adalah persamaan pantulan
(reflection formula) :
π
Γ(𝑧 )Γ(1 − z) = (𝟏. 𝟖)
sin 𝑧𝜋
Salah satu cara untuk membuktikannya adalah dengan memulai dengan produk dari integral Euler
:
∞ ∞
Γ(𝑧 + 1)Γ(1 − z) = ∫ 𝑒 −𝑠 𝑠 𝑧 𝑑𝑠 ∫ 𝑒 −𝑡 𝑡 −𝑧 𝑑𝑡
0 0
∞ ∞
𝑣 𝑧 𝑑𝑣
=∫ 2
∫ 𝑢 𝑒 −𝑢 𝑑𝑢
(𝑣 + 1)
0 0
Yang didapat dari subtitusi 𝑢 = 𝑠 + 𝑡 dan 𝑣 = 𝑠/𝑡. Kita juga membutuhkan Jacobian dari
transformasi ini :
1 1 𝑠 + 𝑡 (𝑣 + 1)2
𝐽−1 = − |1 𝑠|= =
− 2 𝑡2 𝑢
𝑡 𝑡
Integrasi terhadap 𝑢 menjadi sama dengan 1! sementara integrasi terhadap 𝑣 didapatkan dengan
metode integrasi-kontur :
3
∞
𝑣 𝑧 𝑑𝑣 𝜋𝑧
∫ =
(𝑣 + 1)2 sin 𝜋𝑧
0
Dengan mengganti Γ(𝑧 + 1) menjadi 𝑧Γ(𝑧) dan didapatkan persamaan (𝟏. 𝟗).
Kasus spesial didapatkan untuk 𝑧 = 1/2, dimana (mengambil akar kuadrat positif)
Haasil dari fungsi gmma dapat diidentifikasi sebagai penjabaran dari integral yang mengandung
unsur fungsi sin dan cos. Integral tersebut dapat lebih lanjut dimanipulasi untuk mengevaluasi
sebuah angka yang besar dari integral. Hal tersebut menjadi dasar pendefinisian fungsi beta.
1
𝐵(𝑚, 𝑛) = ∫ 𝑥 𝑚−1 (1 − 𝑥)𝑛−1 𝑑𝑥 (𝟏. 𝟏𝟏)
0
yang konvergen untuk 𝑚 > 0, 𝑛 > 0, dengan 𝑚 dan 𝑛 adalah bilangan real. Hal yang menarik jika
melakukan subtitusi 𝑥 = 1 − 𝑦. Subtitusi tersebut memberikan sifat simetri antara 𝐵(𝑚, 𝑛) =
𝐵(𝑛, 𝑚).
Hubungan fungsi beta dan fungsi gamma dapat dijabarkan dengan melakukan perkalian dua fungsi
gamma dalam bentuk (𝟏. 𝟓) :
∞ ∞
2 2
Γ(𝑚)Γ(𝑛) = 4 ∫ 𝑒 −𝑠 𝑠 2𝑚−1 𝑑𝑠 ∫ 𝑒 −𝑡 𝑡 2𝑛−1 𝑑𝑡
0 0
∞ ∞
2+𝑡 2 )
= 4 ∫ ∫ 𝑒 −(𝑠 𝑠 2𝑚−1 𝑡 2𝑛−1 𝑑𝑠 𝑑𝑡
0 0
4
𝜋
2
= 2 ∫ sin2𝑚−1 𝜃 cos 2𝑛−1 𝜃 𝑑𝜃 Γ(𝑚 + 𝑛)
0
Untuk bentuk integral cos dan sin, dengan subtitusi 2𝑛 − 1 = 2(𝑛 − 1) + 1 (demikian juga
dengan bagian 𝑚) dapat dijabarkan :
𝜋 𝜋
2 2
2 ∫ sin2(𝑚−1)+1 𝜃 cos 2(𝑛−1)+1 𝜃 𝑑𝜃 = ∫ sin2(𝑚−1) 𝜃 cos 2(𝑛−1) 𝜃 2 cos 𝜃 sin 𝜃 𝑑𝜃
0 0
Γ(𝑚 )Γ(𝑛 )
𝐵(𝑚, 𝑛) = (𝟏. 𝟏𝟐)
Γ(𝑚 + 𝑛)
Sebuah persamaan yang mengandung 𝑛! Ataupun Γ(𝑝) tidak dapat secara sederhana
didiferensialkan. Disini kita menggunakan pendekatan untuk fungsi faktorial atau fungsi Γ yang
disebut persamaan Stirling.
Untuk 𝑧 dengan nilai besar, bentuk logaritma dapat diekspansi menurut deret pangkat :
𝑦 𝑦 𝑦2
ln(𝑧 + 𝑦√𝑧) = ln 𝑧 + ln (1 + ) = ln 𝑧 + − +⋯
√𝑧 √𝑧 2𝑧
5
Sehingga didapatkan :
∞ 𝑦2
𝑧 ln 𝑧+𝑦√𝑧−( )−𝑧−𝑦√𝑧
𝑧! ~ ∫ 𝑒 2 √𝑧𝑑𝑦
−√𝑧
∞ 𝑦2
𝑧 ln 𝑧−𝑧 −( )
= 𝑒 √𝑧 ∫ 𝑒 2 𝑑𝑦
− √𝑧
∞ 𝑦2 − √𝑧 𝑦2
𝑧 −𝑧 −( ) −( )
= 𝑧 𝑒 √𝑧 [∫ 𝑒 2 𝑑𝑦 −∫ 𝑒 2 𝑑𝑦]
−∞ −∞
Untuk integral pertama didapatkan √2𝜋. Untuk integral kedua bernilai nol untuk 𝑝 → ∞, dan kita
dapatkan formula Stirling :
1 1
Γ(𝑧 + 1) = 𝑧! = 𝑧 𝑧 𝑒 −𝑧 √2𝜋𝑧 (1 + + + ⋯) (𝟏. 𝟏𝟓)
12𝑧 288𝑧 2
Bagian pertama yang merupakan formula Stirling merupakan pendekatan yang baik digunakan
untuk 𝑧 bernilai besar dan bagian keduanya dapat digunakan untuk memperkirakan kesalahan
relatif fungsi tersebut.
Bentuk yang sering dijumpai dalam formula Stirling adalah nilai ln 𝑧! dengan nilai 𝑧 besar. Pada
kasus ini, formula Stirling memberikan hubungan :
= 𝑧 ln 𝑧 − 𝑧 + ln √2𝜋𝑧
Karena nilai 𝑧 besar, bagian ln √2𝜋𝑧 dapat diabaikan sehingga didapatkan persamaan umum :
ln 𝑧! = 𝑧 ln 𝑧 − 𝑧 (𝟏. 𝟏𝟔)
6
2. PERSAMAAN DIFERENSIAL LANJUT
Melakukan simplifikasi :
∞
[𝑛(𝑛 + 1) − 𝑙 (𝑙 + 1)]
𝑎𝑛+2 = 𝑎𝑛 (𝟐. 𝟐)
(𝑛 + 1)(𝑛 + 2)
𝑥2 𝑥4
𝑦1 (𝑥 ) = 1 − 𝑙 (𝑙 + 1) + 𝑙(𝑙 + 1)(𝑙 − 2)(𝑙 + 3) − ⋯ (𝟐. 𝟑)
2! 4!
𝑥3 𝑥5
𝑦2 (𝑥 ) = 𝑥 − (𝑙 − 1)(𝑙 + 2) + (𝑙 − 1)(𝑙 + 2)(𝑙 − 3)(𝑙 + 4) − ⋯ (𝟐. 𝟒)
3! 5!
7
Persamaan tersebut konvergen unutuk |𝑥 | < 1 sehingga radius konvergensinya bersatu. Karena
kedua persamaan tersebut bebas secara linear satu sama lain, solusi umum dari persamaan (𝟐. 𝟏)
diperoleh :
𝑦(𝑥 ) = 𝑐1 𝑦1 (𝑥 ) + 𝑐2 𝑦2 (𝑥)
Dalam banyak aplikasi fisis, parameter 𝑙 pada persamaan Legendre adalah bilangan bulat 𝑙 =
0,1,2, …. Berdampak pada hubungan rekursif :
Membuat deretnya terhenti dan didapatkan solusi polynomial dengan orde 𝑙. Secara terpisah, saat
𝑙 genap, 𝑦1 (𝑥) tereduksi menjadi sebuah polynomial sementara saat 𝑙 ganjil, 𝑦2 (𝑥) yang menjadi
polynomial. Solusi ini disebut polynomial Legendre berorde 𝑙. Beberapa polynomial Legendre
awal :
1 1
𝑃0 (𝑥 ) = 1 ; 𝑃1 (𝑥 ) = 𝑥 ; 𝑃2 (𝑥) = (3𝑥 2 − 1) ; 𝑃𝑥 (3) = (5𝑥 3 − 3𝑥)
2 2
Formula Rodrigues merupakan suatu bentuk umum untuk mendefinisikan suatu polynomial.
Untuk polynomial Legendre, formula Rodrigues nya adalah :
8
1 𝑑𝑙
𝑃𝑙 (𝑥 ) = 𝑙 (𝑥 2 − 1) (𝟐. 𝟓)
2 𝑙! 𝑑𝑥 𝑙
Hal ini dapat dibuktikan dengan memisalkan 𝑢 = (𝑥 2 − 1)𝑙 , sehingga 𝑢′ = 2𝑙𝑥(𝑥 2 − 1)𝑙−1 dan
(𝑥 2 − 1)𝑢′ − 2𝑙𝑥𝑢 = 0
Mengganti tanda dari persamaan tersebut, didapatkan bentuk yang identic dengan persamaan
Legendre (𝟐. 𝟏) dengan 𝑢𝑙 sebagai variabel terikat. Agar dapat sesuai dengan formula Rodrigues,
kita dapat mengambil bentuk :
𝑢𝑙 (𝑥 ) = 𝑐𝑙 𝑃𝑙 (𝑥 )
Dimana konstanta 𝑐𝑙 bergatung pada 𝑙. Nilai 𝑙 didapatkan dengan memperhatikan bahwa bagian
dimana turunan ke 𝑙 dari (𝑥 2 − 1)𝑙 tidak memiliki sebuah faktor 𝑥 2 − 1, sehingga tidak hilang
pada 𝑥 = 1, adalah (2𝑥 )𝑙 𝑙! (𝑥 2 − 1)0. Mengambil 𝑥 = 1, 𝑃𝑙 (1) = 1 sehingga 𝑐𝑙 = 2𝑙 𝑙! yang
melengkapi formula Rodrigues.
1 0 ;𝑙 ≠ 𝑘
∫ 𝑃𝑙 (𝑥 )𝑃𝑘 (𝑥 )𝑑𝑥 = { 2 (𝟐. 𝟔)
−1 ; 𝑙=𝑘
2𝑙 + 1
Hal ini dapat dibuktikan dengan menuliskan persamaan diferensial Legendre dengan solusi 𝑃𝑙 (𝑥)
dalam bentuk modifikasi :
9
Kalikan dengan 𝑃𝑘 (𝑥 ) lalu integralkan dari = −1 sampai 𝑥 = 1 :
1 1
∫ 𝑃𝑘 [(1 − 𝑥 2 )𝑃𝑙′ ]′ 𝑑𝑥 + ∫ 𝑃𝑘 𝑙(𝑙 + 1)𝑃𝑙 𝑑𝑥 = 0
−1 −1
1 1
−∫ 𝑃𝑘′ (1 − 𝑥 2 )𝑃𝑙′ 𝑑𝑥 + ∫ 𝑃𝑘 𝑙(𝑙 + 1)𝑃𝑙 𝑑𝑥 = 0
−1 −1
1
[𝑘(𝑘 + 1) − 𝑙 (𝑙 + 1)] ∫ 𝑃𝑘 𝑃𝑙 𝑑𝑥 = 0
−1
Untuk syarat kedua orthogonalitas, dapat dibuktikan dengan menggunakan formula Rodrigues
untuk persamaan Legendre saat = 𝑙 :
1 1
1 𝑑 𝑙 ( 𝑥 2 − 1)𝑙 𝑑 𝑙 (𝑥 2 − 1)𝑙
∫ 𝑃𝑙 (𝑥 )𝑃𝑙 (𝑥 )𝑑𝑥 = ∫ [ ][ ] 𝑑𝑥
−1 22𝑙 (𝑙!)2 −1 𝑑𝑥 𝑙 𝑑𝑥 𝑙
Integrasikan secara parsial dengan smua syarat batas habis mereduksi menjadi persamaan :
1 (−1)𝑙 1
2
𝑑 2𝑙
∫ 𝑃𝑙 (𝑥 )𝑃𝑙 (𝑥 )𝑑𝑥 = 2𝑙 2
(
∫ 𝑥 −1 ) 2𝑙
(𝑥 2 − 1)𝑙 𝑑𝑥
−1 2 𝑙!( ) −1 𝑑𝑥
(2𝑙 )! 1
= ∫ (𝑥 2 − 1)𝑙 𝑑𝑥
22𝑙 (𝑙!)2 −1
1 1
∫ (𝑥 2 − 1)𝑙 𝑑𝑥 = ∫ 2𝑙𝑥 2 (𝑥 2 − 1)𝑙−1 𝑑𝑥
−1 −1
1
= ∫ 2[𝑙 − 𝑙 (1 − 𝑥 2 )](𝑥 2 − 1)𝑙−1 𝑑𝑥
−1
1 1
2 )𝑙−1
= 2𝑙 ∫ (1 − 𝑥 𝑑𝑥 − 2𝑙 ∫ (1 − 𝑥 2 )𝑙 𝑑𝑥
−1 −1
= 2𝑙 𝐾𝑙−1 − 2𝑙 𝐾𝑙
10
1
Dimana 𝐾𝑙 = ∫−1(𝑥 2 − 1)𝑙 𝑑𝑥, sehingga didapat relasi (2𝑙 + 1)𝐾𝑙 = 2𝑙 𝐾𝑙−1 yang menghasilkan
nilai :
22𝑙+1 (𝑙!)2
𝐾𝑙 =
(2𝑙 + 1)!
Sifat lain dari polynomial Legendre adalah fungsi pembangkit. Fungsi pembangkit merupakan alat
yang sangat berguna dalam memanipulasi urutan dari fungsi atau kuantitas dari suatu variabel
bilangan bulat. Kegunaan mendasarnya diimplementasikan pada teori probabilitas.
Secara umum, fungsi pembangkit dari suatu fungsi 𝑓𝑛 (𝑥 ) untuk 𝑛 = 0,1,2, … adalah sebuah fungsi
𝐺(𝑥, ℎ) dimana 𝑥 suatu variabel bebas dengan ℎ variabel dummy sehingga :
∞
𝐺 (𝑥, ℎ) = ∑ 𝑓𝑛 (𝑥 )ℎ𝑛
𝑛=0
ℎ ∑ 𝑃𝑛 ℎ𝑛 = (1 − 2𝑥ℎ + ℎ2 ) ∑ 𝑃𝑛′ ℎ𝑛
11
menyamakan koefisien dari ℎ𝑛+1 , didapatkan hubungan rekursif :
′ ′
𝑃𝑛 = 𝑃𝑛+1 − 2𝑥𝑃𝑛′ + 𝑃𝑛−1 (𝟐. 𝟏𝟎)
′
𝑥𝑃𝑛′ − 𝑃𝑛−1 = 𝑛𝑃𝑛 (𝟐. 𝟏𝟏)
Adapun dengan mengkombinasikan (𝟐. 𝟏𝟏) dengan (𝟐. 𝟏𝟎) lalu mengganti 𝑛 dengan 𝑛 − 1 dan
menambahkan dengan , kita dapatkan hubungan rekursif ketiga :
𝑚2
(1 − 𝑥 2 )𝑦 ′′ − 2𝑥𝑦 ′ + [𝑙(𝑙 + 1) − ]𝑦 = 0 (𝟐. 𝟏𝟑)
1 − 𝑥2
Dengan tiga titik singular pada 𝑥 = −1,1, ∞ dan tereduksi menjadi persamaan Legendre normal
saat 𝑚 = 0. Setiap solusi dari persamaan tersebut dikenal dengan fungsi Legendre asosiasi.
Solusi dari ekspansi deret 𝑦 = ∑ 𝑎𝑛 𝑥 𝑛 , dapat diturunkan sesuai dengan persamaan Legendre
normal. Hasil dari langkah tersebut menghasilkan solusi umum yakni fungsi Legendre Asosiasi :
𝑚
2) 2
𝑑𝑚
𝑦 = (1 − 𝑥 𝑃 (𝑥 ) (𝟐. 𝟏𝟒)
𝑑𝑥 𝑚 𝑙
𝑚 𝑑𝑚
𝑃𝑙𝑚 (𝑥 ) = (1 − 𝑥 2 ) 2 𝑃 (𝑥 ) (𝟐. 𝟏𝟓)
𝑑𝑥 𝑚 𝑙
Sama halnya dengan persamaan Legendre, persamaan Legendre asosiasi juga memiliki sifat
orthogonalitas, bentuknya :
12
1 0 ;𝑙 ≠ 𝑘
∫ 𝑃𝑙𝑚 (𝑥 ) 𝑃𝑘𝑚 (𝑥 )𝑑𝑥 ={ 2 (𝑙 + 𝑚 )! (𝟐. 𝟏𝟔)
−1 ;𝑙 = 𝑘
2𝑙 + 1 (𝑙 − 𝑚)!
Hasil ini didapat dengan menggunakan formula Rodrigues pada persamaan (𝟐. 𝟓) dan persamaan
fungsi Legendre asosiasi (𝟐. 𝟏𝟓).
Sifat lain dari persamaan Legende asosiasi adalah fungsi pembangkit yang memenuhi :
𝑚 ∞
(2𝑚)! (1 − 𝑥 2 ) 2 𝑚
𝐺 (𝑥, ℎ) = 1 = ∑ 𝑃𝑛+𝑚 (𝑥 )ℎ𝑛 (𝟐. 𝟏𝟕)
2𝑚 𝑚! (1 − 2ℎ𝑥 + ℎ2 )𝑚+2 𝑛=0
yang diperoleh dari penurunan sebanyak 𝑚 kali dari dari fungsi pembangkit persamaan polynomial
Legendre (𝟐. 𝟕).
Hal terakhir dari sifat persamaan Legendre asosiasi yang perlu diketahui adalah hubungan rekursif.
Beberapa diantaranya :
2𝑚𝑥
𝑃𝑛𝑚+1 = 𝑚
1 𝑃𝑛 + [𝑚(𝑚 − 1) − 𝑛(𝑛 + 1)]𝑃𝑛𝑚−1 (𝟐. 𝟏𝟖)
(1 − 𝑥 2 )2
𝑚
(2𝑛 + 1)𝑥𝑃𝑛𝑚 = (𝑛 + 𝑚)𝑃𝑛−1 𝑚
+ (𝑛 − 𝑚 + 1)𝑝𝑛+1 (𝟐. 𝟏𝟗)
1
𝑚+1
(2𝑛 + 1)(1 − 𝑥 2 )2 𝑃𝑛𝑚 = 𝑃𝑛+1 𝑚+1
− 𝑃𝑛−1 (𝟐. 𝟐𝟎)
𝑥 2 𝑦 ′′ + 𝑥𝑦 ′ + (𝑥 2 − 𝑣 2 )𝑦 = 0 (𝟐. 𝟐𝟏)
1 𝑣2
𝑦 ′′ + 𝑦 ′ + (1 − 2 ) 𝑦 = 0 (𝟐. 𝟐𝟐)
𝑥 𝑥
13
dengan menggunakan solusi deret 𝑦 = 𝑥 𝜎 ∑∞ 𝑛
𝑛=0 𝑎𝑛 𝑥 yang disubstitusi pada persamaan (𝟐. 𝟐𝟐)
𝑛=0 𝑛=0
yang disederhanakan :
∞ ∞
𝜎2 − 𝑣2 = 0
Sekarang solusi umum dari persamaan Bessel terdapat dua syarat : saat 𝑣 sebuah bilangan bulat
dan saat bukan bilangan bulat.
Saat 𝑣 bukan bilangan bulat, 𝜎1 = 𝑣 dan 𝜎2 = −𝑣 tidak akan berubah oleh sebuah bilangan bulat
sehingga didapatkan dua solusi independen dalam bentuk deret Frobenius. Kondisi khusus saat
𝑣 = 𝑚/2 untutk 𝑚 = 1,3,5, …, dan 𝜎1 − 𝜎2 = 2𝑣 = 𝑚 adalah bilangan bulat ganjil positif.
14
𝑎𝑛−2
𝑎𝑛 = − untuk 𝑛 = 2,4,6, … ,
𝑛(𝑛 ± 2𝑣)
=0 untuk 𝑛 = 1,3,5, …,
𝑥2 𝑥4
𝑦±𝑣 (𝑥 ) = 𝑥 ±𝑣 [1 − + − ⋯]
2(2 ± 2𝑣) 2 × 4(2 ± 𝑣)(4 ± 2𝑣)
1
𝑎0 =
2±𝑣 Γ(1 ± v)
Pemaparan tersebut mengantarkan pada dua solusi persamaan Bessel yang biasa dilambangkan
𝐽𝑣 (𝑥 ) dan 𝐽−𝑣 (𝑥 ) :
1 𝑥 𝑣 1 𝑥 2 1 1 𝑥 4
𝐽𝑣 (𝑥 ) = ( ) [1 − ( ) + ( ) −⋯]
Γ(𝑣 + 1 ) 2 𝑣+1 2 (𝑣 + 1)(𝑣 + 2) 2! 2
atau
∞
(−1)𝑛 𝑥 𝑣+2𝑛
𝐽𝑣 (𝑥 ) = ∑ ( ) (𝟐. 𝟐𝟓)
𝑛! Γ(𝑣 + 𝑛 + 1) 2
𝑛=0
Fungsi 𝐽𝑣 (𝑥 ) dan 𝐽−𝑣 (𝑥) disebut juga solusi fungsi Bessel jenis pertama. Sehingga untuk 𝑣 bukan
bilangan bulat, persamaan diferensial Bessel mempunyai solusi umum :
𝑦(𝑥 ) = 𝑐1 𝐽𝑣 (𝑥 ) + 𝑐2 𝐽−𝑣 (𝑥 )
Saat 𝑣 berupa bilangan bulat, solusi Bessel tipe pertama tidak memenuhi syarat tersebut. Saat
mengganti 𝑣 dengan −𝑣, didapat hubungan :
15
𝐽−𝑣 (𝑥 ) = (−1)𝑣 𝐽𝑣 (𝑥)
Sehingga keduanya bergantung secara linear. Hal ini membuat kedua fungsi 𝐽𝑣 (𝑥 ) dan 𝐽−𝑣 (𝑥)
solusi umum pada jenis pertama tidak sesuai, sehingga didefinisikan fungsi :
𝐽𝑣 (𝑥 ) cos 𝑣𝜋 − 𝐽−𝑣 (𝑥 )
𝑌𝑣 (𝑥 ) = (𝟐. 𝟐𝟕)
sin 𝑣𝜋
yang disebut fungsi Bessel jenis kedua dengan orde 𝑣 atau biasa dikenal dengan fungsi Neumann.
Kombinasi linear dari fungsi Bessel dari jenis pertama dan jenis kedua berkesesuaian dengan :
(1) (2)
𝐻𝑣 (𝑥 ) = 𝐽𝑣 (𝑥 ) + 𝑖𝑌𝑣 (𝑥), 𝐻𝑣 (𝑥 ) = 𝐽𝑣 (𝑥 ) − 𝑖𝑌𝑣 (𝑥 ) (𝟐. 𝟐𝟖)
keduanya disebut sebagai fungsi Hankel tiper pertama dan tipe kedua.
Karena tidak memiliki batas tertentu, fungsi Bessel dapat dimislkan berada pada batas [𝑎, 𝑏] untuk
menyelidiki sifat ortogonalitasnya. Bentuk umum dari sifat ortogonalitas fungsi Bessel :
𝑏 0 ;𝛼 ≠ 𝛽
∫ 𝑥𝐽𝑣 (𝛼𝑥 )𝐽𝑣 (𝛽𝑥)𝑑𝑥 = {1 2
𝑣2 2 𝑏 (𝟐. 𝟐𝟗)
𝑎 [(𝑥 − 2
) 𝐽𝑣 (𝛼𝑥) + 𝑥 2 [𝐽𝑣′ (𝛼𝑥)]2 ] ;𝛼 = 𝛽
2 𝛼 𝑎
Untuk menentukan kondisi batas dari hasil pertama, saat 𝛼 ≠ 𝛽, didefinisikan fungsi 𝑓 (𝑥 ) =
𝐽𝑣 (𝛼𝑥 ) dan 𝑔(𝑥 ) = 𝐽𝑣 (𝛽𝑥 ) yang harus memenuhi kondisi :
𝑥 2 𝑓 ′′ + 𝑥𝑓 ′ + (𝛼 2 𝑥 2 − 𝑣 2 )𝑓 = 0
𝑥 2 𝑔′′ + 𝑥𝑔′ + (𝛽 2 𝑥 2 − 𝑣 2 )𝑔 = 0
𝑑 𝑣
[𝑥 𝐽𝑣 (𝑥)] = 𝑥 𝑣 𝐽𝑣−1 (𝑥 ) (𝟐. 𝟑𝟎)
𝑑𝑥
𝑑 −𝑣
[𝑥 𝐽𝑣 (𝑥 )] = −𝑥 −𝑣 𝐽𝑣+1 (𝑥 ) (𝟐. 𝟑𝟏)
𝑑𝑥
Ekspansi turunan pada ruas kiri persamaan (𝟐. 𝟑𝟎) dan bagi dengan 𝑥 𝑣−1 :
16
Serta dengan ekspansi turunan pada ruas kiri persamaan (𝟐. 𝟑𝟏) dan kalikan dengan 𝑥 𝑣+1 :
2𝑣
𝐽𝑣−1 (𝑥 ) + 𝐽𝑣+1 (𝑥 ) = 𝐽 (𝑥 ) (𝟐. 𝟑𝟓)
𝑥 𝑣
Sifat lain dari funsi Bessel jenis pertama adalah fungsi pembagkit yang memenuhi persamaan :
∞
𝑥 1
𝐺(𝑥, ℎ) = 𝑒 [2(ℎ−ℎ)] = ∑ 𝐽𝑛 (𝑥 )ℎ𝑛 (𝟐. 𝟑𝟔)
𝑛=−∞
Dengan menggunakan fungsi pembangkit tersebut, fungsi Bessel dapat dijabarkan dalam bentuk
integral :
1 𝜋
𝐽𝑛 (𝑥 ) = ∫ cos(𝑛𝜃 − 𝑥 sin 𝜃) 𝑑𝜃 (𝟐. 𝟑𝟕)
𝜋 0
dengan singularitas di titik 𝑥 = ∞. Parameter 𝑣 adalah bilangan real, meski lebih sering berupa
bilangan bulat pada pengaplikasian. Persamaan Hermite muncul dalam mendeskripsikan fungsi
gelombang dari osilasi harmonik. Setiap solusi dari persamaan ini disebut fungsi Hermite.
Karena 𝑥 = 0 adalah titik biasa dari persamaan, kita bias mencari dua solusi independen dalam
bentuk deret pangkat :
∞
𝑦 = ∑ 𝑎𝑚 𝑥 𝑚
𝑚=0
17
dengan melakukan substitusi pada persamaan Hermite, diperoleh bentuk :
∞
2(𝑣 − 𝑚 )
𝑎𝑚+2 = − 𝑎
(𝑚 + 2)(𝑚 + 1) 𝑚
Jika dipilih 𝑣 = 𝑛 dimana 𝑛 adalaha bilanga bulat positif, dapat dilihat 𝑎𝑛+2 = 𝑎𝑛+4 = ⋯ = 0,
sehingga satu solusi dari persamaan Hermite adalah polynomial dengan orde 𝑛. Untuk 𝑛 genap,
𝑛 𝑛−1
1
dipilih 𝑎0 = (−1) 2 𝑛!/ (𝑛/2)!, sementara untuk 𝑛 ganjil digunakan 𝑎1 = (−1) 2 2𝑛!/ [2 (𝑛 −
Atau disederhanakan :
𝑛
2
𝑛!
𝐻𝑛 (𝑥 ) = ∑ (−1)𝑚 (2𝑥 )𝑛−2𝑚 (𝟐. 𝟑𝟗)
𝑚! (𝑛 − 2𝑚)!
𝑚=0
dimana 𝐻𝑛 (𝑥 ) disebut polynomial Hermite dan notasi 𝑛/2 menotasikan bagian bilangan bulat
dari 𝑛/2 . Dapat pula dilihat hubungan 𝐻𝑛 (−𝑥 ) = (−1)𝑛 𝐻𝑛 (𝑥). Beberapa nilai pertama dari
polynomial Hermite :
18
Gambar 2.2 Skema beberapa nilai pertama polynomial Hermite
2 𝑑𝑛 2
𝐻𝑛 (𝑥 ) = (−1)𝑛 𝑒 𝑥 𝑛
(𝑒 −𝑥 ) (𝟐. 𝟒𝟎)
𝑑𝑥
Karena polynomial Hermite 𝐻𝑛 (𝑥) merupakan solusi dari persamaan Hermite dan memiliki
2
interval alami [−∞, ∞], keduanya harus orthogonal berdasarkan pada fungsi pemberat 𝜌 = 𝑒 −𝑥
:
∞
2 0 ;𝑛 ≠ 𝑘
∫ 𝐻𝑛 (𝑥 )𝐻𝑘 (𝑥 )𝑒 −𝑥 𝑑𝑥 = { 𝑛 (𝟐. 𝟒𝟏)
−∞ 2 𝑛! √𝜋 ;𝑛 = 𝑘
Hal lain dari polynomial Hermite yang penting diketahui adalah fungsi pembangkit yang sesuai
dengan persamaan :
∞
2ℎ𝑥−ℎ 2
𝐻𝑛 (𝑥 ) 𝑛
𝐺 (𝑥, ℎ) = 𝑒 =∑ ℎ (𝟐. 𝟒𝟐)
𝑛!
𝑛=0
dimana dapat diturunkan dua hubungan rekursif yang paling sering digunakan :
19
𝐻𝑛+1 (𝑥 ) = 2𝑥𝐻𝑛 (𝑥 ) − 2𝑛𝐻𝑛−1 (𝑥 ) (𝟐. 𝟒𝟑)
𝐻𝑛′ (𝑥 ) = 2𝑛𝐻𝑛−1 (𝑥 ) (𝟐. 𝟒𝟒)
𝑥𝑦 ′′ + (1 − 𝑥 )𝑦 ′ + 𝑣𝑦 = 0 (𝟐. 𝟒𝟓)
yang memiliki sigularitas regular pada 𝑥 = 0 dan titik singularitas esensinya pada 𝑥 = ∞.
Parameter 𝑣 merupakan bilangan real, meski pada penggunaannya dalam aplikasi fisika hampir
selalu menggunakan bilangan genap. Persamaan Laguerre ini muncul dalam mendeskripsikan
fungsi gelombang atom hidrogen. Setiap solusi dari persamaan Laguerre disebut fungsi Laguerre.
Karena 𝑥 = 0 merupakan titik singular regular persamaan tersebut, kita dapat mencari solusi
dalam bentuk deret Frobenius :
∞
𝑦(𝑥) = ∑ 𝑎𝑚 𝑥 𝑚+𝜎
𝑚=0
Substitusi ke persamaan (𝟐. 𝟒𝟓) dan membagi dengan 𝑥 𝜎−1 , kita dapatkan :
∞
𝑚−𝑣
𝑎𝑚+1 = 𝑎
(𝑚 + 1 )2 𝑚
Ingat bahwa 𝑣 merupakan bilangan bulat dalam aplikasi fisis. Sehingga, jika 𝑣 = 𝑛, dimana 𝑛
adalah bilangan bulat positif, didapatkan 𝑎𝑛+1 = 𝑎𝑛+2 = ⋯ = 0, dan solusi dari persamaan
Laguerre adalah sebuah polynomial orde 𝑛. Secara koncensional, dengan memilih 𝑎0 = 1
didapatkan solusi :
20
(−1)𝑛 𝑛 𝑛2 𝑛−1 𝑛2 (𝑛 − 1)2 𝑛−2
𝐿 𝑛 (𝑥 ) = [𝑥 − 𝑥 + 𝑥 − ⋯ + (−1)𝑛 𝑛!] (𝟐. 𝟒𝟔)
𝑛! 1! 2!
𝑛
𝑛!
= ∑ (−1)𝑚 𝑥𝑚 (𝟐. 𝟒𝟕)
(𝑚!)2 (𝑛 − 𝑚 )!
𝑚=0
dimana 𝐿𝑛 (𝑥) disebut juga 𝑛 polynomial Laguerre. Perlu dicatat bahwa 𝐿𝑛 (0) = 1. Beberapa nilai
awal dari polynomial Laguerre adalah :
𝐿0 (𝑥 ) = 1; 𝐿1 (𝑥 ) = −𝑥 + 1; 2! 𝐿2 (𝑥 ) = 𝑥 2 − 4𝑥 + 2; 3! 𝐿3 (𝑥 ) = −𝑥 3 + 9𝑥 2 − 18𝑥 + 6
𝑒 𝑥 𝑑𝑛
𝐿 𝑛 (𝑥 ) = (𝑥 𝑛 𝑒 −𝑥 ) (𝟐. 𝟒𝟕)
𝑛! 𝑑𝑥 𝑛
Sifat selanjutnya adalah ortogonalitas dari polynomial Laguerre. Karena polynomial Laguerre
adalah solusi dari suatu persamaan dengan regular pada titik akhirnya, polynomial tersebut
haruslah ortogonal sepanjang interval tersebut dengan memperhitungkan fungsi pemberat = 𝑒 −𝑥 :
21
∞
0 ,𝑛 ≠ 𝑚
∫ 𝐿𝑛 (𝑥)𝐿𝑚 (𝑥)𝑒 −𝑥 𝑑𝑥 = { (𝟐. 𝟒𝟖)
0
1 ,𝑚 = 𝑚
Hal lain adalah bentuk dari fungsi pembangkit. Untuk polynomial Laguerre, fungsi pembangkitnya
memenuhi persamaan :
∞
𝑒 −𝑥ℎ /(1 − ℎ)
𝐺 (𝑥, ℎ) = = ∑ 𝐿 𝑛 (𝑥 )ℎ 𝑛 (𝟐. 𝟒𝟗)
1−ℎ
𝑛=0
Dari fungsi pembangkit tersebut, dengan menurunkan terhadap 𝑥 dan ℎ, kita dapat memperoleh
hubunganrekursif berkaitan dengan polynomial Laguerre. Bebeapa bentuk rekursif dari
polynomial Laguerre adalah sebagai berikut :
Hubungan pertama dan kedua didapatkan dari fungsi pembangkit sementara hubungan ketiga
merupakan kombinasi dari hubungan pertama dan kedua.
𝑥𝑦 ′′ + (𝑚 + 1 − 𝑥 )𝑦 ′ + 𝑛𝑦 = 0 (𝟐. 𝟓𝟑)
Titik singularitas regulat di 𝑥 = 0 dan titik singularitas esensi 𝑥 = ∞. Nilai 𝑛 dan 𝑚 dalam aplikasi
fisis adalah bilangan bulat positif. Digunakan pada aplikasi mekanika kuantum. Setiap solusi dari
persamaan ini disebut fungsi Laguerre asosiasi.
𝑑𝑚
𝐿𝑚
𝑛 = (−1)
𝑚
𝐿 (𝑥 ) (𝟐. 𝟓𝟒)
𝑑𝑥 𝑚 𝑛+𝑚
Pembuktian ini dapat dilakukan dengan melakukan substitusi 𝐿𝑛 (𝑥 ) pada persamaan Laguerre non
asosiasi :
22
𝑥𝐿′′𝑛+𝑚 + (1 − 𝑥 )𝐿′𝑛+𝑚 + (𝑛 + 𝑚)𝐿𝑛+𝑚 = 0
(𝑚)
Kalikan dengan (−1)𝑚 dan dengan 𝐿𝑚 𝑚
𝑛 = (−1) 𝐿𝑛+𝑚 , didapatkan :
𝑥 (𝐿𝑚 ′′ 𝑚 ′ 𝑚
𝑛 ) + (𝑚 + 1 − 𝑥 )(𝐿𝑛 ) + 𝑛𝐿𝑛 = 0
𝐿𝑚
0 (𝑥 ) = 1
𝐿𝑚
1 (𝑥 ) = −𝑥 + 𝑚 + 1
2! 𝐿𝑚 2
2 (𝑥 ) = 𝑥 − 2(𝑚 + 2)𝑥 + (𝑚 + 1)(𝑚 + 2)
𝑛
(𝑛 + 𝑚 )!
𝐿𝑚
𝑛 (𝑥 ) = ∑ (−1)𝑘 𝑥𝑘 (𝟐. 𝟓𝟓)
𝑘! (𝑛 − 𝑘)! (𝑘 + 𝑚)!
𝑘=0
𝑒 𝑥 𝑥 −𝑚 𝑑 𝑛
𝐿𝑚
𝑛 (𝑥 ) = (𝑥 𝑛+𝑚 𝑒 −𝑥 ) (𝟐. 𝟓𝟔)
𝑛! 𝑑𝑥 𝑛
∞ 0 ,𝑛 ≠ 𝑘
𝑚
∫ 𝐿𝑚 𝑚 −𝑥
𝑛 (𝑥 )𝐿𝑘 (𝑥 )𝑥 𝑒 𝑑𝑥 = { 𝑛 + 𝑚 )!
( (𝟐. 𝟓𝟕)
0 ,𝑛 = 𝑘
𝑛!
23
Adapun fungsi pembangkit dari polynomial Laguerre asosiasi diberikan oleh persamaan :
∞
𝑒 −𝑥ℎ/(1−ℎ)
( )
𝐺 𝑥, ℎ = = ∑ 𝐿𝑚
𝑛 (𝑥 )ℎ
𝑛
(𝟐. 𝟓𝟖)
(1 − ℎ)𝑚+1
𝑛=0
yang didapatkan dengan menurunkan fungsi pembangkit polynomial Laguerre biasa sebanyak 𝑚
kali terhadap 𝑥 dan menggunakan persamaan (𝟐. 𝟓𝟒).
Dari persamaan fungsi pembangkit polynomial Laguerre asosisasi tersebut dapat diturunkan
hubungan rekursif :
(𝑛 + 1)𝐿𝑚 𝑚 𝑚
𝑛+1 (𝑥 ) = (2𝑛 + 𝑚 + 1 − 𝑥 )𝐿𝑛 (𝑥 ) − (𝑛 + 𝑚 )𝐿𝑛−1 (𝑥 ) (𝟐. 𝟓𝟗)
𝑚
𝑥(𝐿𝑚 ′ 𝑚
𝑛 ) (𝑥 ) = 𝑛𝐿𝑛 (𝑥 ) − (𝑛 − 𝑚 )𝐿𝑛−1 (𝑥 ) (𝟐. 𝟔𝟎)
(1 − 𝑥 2 )𝑦 ′′ − 𝑥𝑦 ′ + 𝑣 2 𝑦 = 0 (𝟐. 𝟔𝟏)
dengan titik singularitas di 𝑥 = −1, 1, ∞. Solusi dari persamaan diferensial ini disebut sebagai
fungsi Chebyshev.
𝑑2𝑦
+ 𝑛2𝑦 = 0
𝑑𝜃 2
Membentuk persamaan osilasi harmonik dengan solusi cos 𝑛𝜃 dan sin 𝑛𝜃. Hal ini membuat solusi
linear dari persamaan Chebyshev menjadi :
Dengan 𝑇𝑛 (𝑥) adalah polynomial sementara 𝑈𝑛 (𝑥 ) bukan polynomial. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan mencari bentuk ekspansi dari perpaduan kedua fungsi tersebut.
24
𝑇𝑛 (𝑥) + 𝑖𝑈𝑛 (𝑥 ) = cos 𝑛𝜃 + 𝑖 sin 𝑛𝜃
= (cos 𝜃 + 𝑖 sin 𝜃)𝑛
𝑛
= (𝑥 + 𝑖 √1 − 𝑥 2 )
Dimana |𝑥 | ≤ 1.
𝑛
𝑛
𝑇𝑛 (𝑥) + 𝑖𝑈𝑛 (𝑥) = ∑ ( ) 𝑥 𝑛−𝑚 (1 − 𝑥 2 )𝑚/2
𝑚
𝑚=0
𝑛 𝑛
𝑇𝑛 (𝑥 ) = 𝑥 𝑛 − ( ) 𝑥 𝑛−2 (1 − 𝑥 2 ) + ( ) 𝑥 𝑛−4 (1 − 𝑥 2 )2 − ⋯ (𝟐. 𝟔𝟒)
2 4
𝑛 𝑛 𝑛
𝑈𝑛 (𝑥 ) = √1 − 𝑥 2 [( ) 𝑥 𝑛−1 − ( ) 𝑥 𝑛−3 (1 − 𝑥 2 ) + ( ) 𝑥 𝑛−5 (1 − 𝑥 2 )2 − ⋯ ] (𝟐. 𝟔𝟓)
1 3 5
𝑛 𝑛!
Dimana (𝑚 )= adalah koefisien binomial, 𝑇𝑛 (𝑥) bentuk pertama polynomial Chebyshev,
𝑚!(𝑛−𝑚)!
𝑇0 (𝑥 ) = 1 ; 𝑇1 (𝑥 ) = 𝑥 ; 𝑇2 (𝑥 ) = 2𝑥 2 − 1 ; 𝑇3 = (𝑥)4𝑥 3 − 3𝑥
25
Gambar 2.4 Beberapa nilai awal polynomial Chebyshev bentuk pertama
𝑈0 (𝑥 ) = 1 ; 𝑈1 (𝑥 ) = 2𝑥 ; 𝑈2 (𝑥 ) = 4𝑥 2 − 1 ; 𝑈3 (𝑥 ) = 8𝑥 3 − 4𝑥
Bentuk lain didapatkan saat mensubstitusikan 𝑥 = cos 𝜃, maka 𝑇𝑛 (𝑥 ) = cos 𝑛𝜃. Dari persamaan
euler :
1 1
Sehingga 𝑇𝑛 (𝑥) = 2 (𝑒 𝑖𝑛𝜃 + 𝑒 −𝑖𝑛𝜃 ) = 2 {(cos 𝜃 + 𝑖 sin 𝜃 )𝑛 + (cos 𝜃 − 𝑖 sin 𝜃 )𝑛 }
26
atau
1 𝑛 𝑛
𝑇𝑛 (𝑥 ) = {(𝑥 + 𝑖 √1 − 𝑥 2 ) + (𝑥 − 𝑖 √1 − 𝑥 2 ) }
2
sehingga
𝑛 𝑛
1 𝑟 𝑟
𝑇𝑛 (𝑥 ) = {∑ 𝐶𝑟𝑛 𝑥 𝑛−𝑟 (+𝑖√1 − 𝑥 2 ) + ∑ 𝐶𝑟𝑛 𝑥 𝑛−𝑟 (−𝑖√1 − 𝑥 2 ) }
2
𝑟=0 𝑟=0
𝑛
1
= ∑ 𝐶𝑟𝑛 𝑥 𝑛−𝑟 (𝑖)𝑟 (1 − 𝑥 2 )𝑟/2 {1 + (−1)𝑟 }
2
𝑟=0
Dengan memisalkan 𝑟 = 2𝑠
𝑛/2
𝑛 𝑛−2𝑠
𝑇𝑛 (𝑥 ) = ∑ 𝐶2𝑠 𝑥 (𝑖)2𝑠 (1 − 𝑥 2 )𝑠
𝑠=0
𝑛/2
𝑛 𝑛−2𝑟
𝑇𝑛 (𝑥 ) = ∑ 𝐶2𝑟 𝑥 (−1)𝑟 (1 − 𝑥 2 )𝑟 (𝟐. 𝟔𝟔)
𝑟=0
Dengan melakukan langkah serupa, solusi kedua dalam bentuk polynomial adalah :
(𝑛−1)/2
1
𝑛
𝑈𝑛 (𝑥 ) = ∑ 𝐶2𝑟+1 𝑥 𝑛−2𝑟−1 (−1)𝑟 (1 − 𝑥 2 )𝑟+2 (𝟐. 𝟔𝟕)
𝑟=0
27
2.5.2 Sifat-sifat Polynomial Chebyshev
1
(−1)𝑛 √𝜋(1 − 𝑥 2 )2 𝑑 𝑛 1
2 )𝑛−2
( )
𝑇𝑛 𝑥 = ( 1 − 𝑥 (𝟐. 𝟔𝟖)
1 𝑑𝑥 𝑛
2𝑛 (𝑛 − 2) !
(−1)𝑛 √𝜋(𝑛 + 1) 𝑑𝑛 1
2 )𝑛+2
𝑈𝑛 (𝑥 ) = 1
( 1 − 𝑥 (𝟐. 𝟔𝟗)
1 𝑑𝑥 𝑛
2𝑛 (𝑛 + 2) ! (1 − 𝑥 2 )2
0 ;𝑛 ≠ 𝑚
1
𝜋 ;𝑛 = 𝑚 = 0
∫ 𝑇𝑛 (𝑥)𝑇𝑚 (𝑥 )(1 − 𝑥 2 )−1/2 𝑑𝑥 = {𝜋 (𝟐. 𝟕𝟎)
−1 ; 𝑛=𝑚≠0
2
Hasil ini didapatkan dengan subtitusi 𝑇𝑛 (𝑥 ) = cos 𝑛𝜃 dan 𝑇𝑚 (𝑥 ) = cos 𝑚𝜃 pada persamaan
orthogonalitas. Dengan memisalkan 𝑥 = cos 𝜃, 𝑑𝑥 = − sin 𝜃 𝑑𝜃 kita dapatkan :
𝜋
∫ cos 𝑛𝜃 cos 𝑚𝜃 𝑑𝜃
0
1
cos 𝑛𝜃 cos 𝑚𝜃 = (cos(𝑛 + 𝑚)𝜃 + cos(𝑛 − 𝑚)𝜃)
2
Sehingga
1 𝜋
∫ (cos(𝑛 + 𝑚)𝜃 + cos(𝑛 − 𝑚)𝜃) 𝑑𝜃
2 0
1
2 )−1/2
1 𝜋 1 1 𝜋 𝜋
∫ 𝑇𝑛 (𝑥 )𝑇𝑚 (𝑥)(1 − 𝑥 𝑑𝑥 = ∫ (cos 2𝑛𝜃 + 1) 𝑑𝜃 = ([ sin 2𝑛𝜃] + 𝜋) =
−1 2 0 2 2n 0 2
Dan saat = 𝑚 = 0 :
1 𝜋
∫ 𝑇𝑛 (𝑥)𝑇𝑚 (𝑥)(1 − 𝑥 2 )−1/2 𝑑𝑥 = ∫ 𝑑𝜃 = 𝜋
−1 0
28
Sementara saat ≠ 𝑛 :
1
1 1 𝜋 1 𝜋
∫ 𝑇𝑛 (𝑥)𝑇𝑚 (𝑥 )(1 − 𝑥 2 )−1/2 𝑑𝑥 = ([ sin(𝑛 + 𝑚)𝜃] + [ sin(𝑛 − 𝑚)𝜃] ) = 0
−1 2 𝑛+𝑚 0 𝑛−𝑚 0
Sifat lain yang penting diketahui adalah fungsi pembangkit polynomial Chebyshev. Bentuk
umunya adalah :
∞
1 − 𝑥ℎ
𝐺1 (𝑥, ℎ) = = ∑ 𝑇𝑛 (𝑥 )ℎ𝑛 (𝟐. 𝟕𝟏)
1 − 2𝑥ℎ + ℎ2
𝑛=0
∞
1
𝐺2 (𝑥, ℎ) = = ∑ 𝑈𝑛 (𝑥 )ℎ𝑛 (𝟐. 𝟕𝟐)
1 − 2𝑥ℎ + ℎ2
𝑛=0
𝑛
2
(𝑛 − 𝑚 )!
𝑈𝑛 (𝑥 ) = ∑ (−1)𝑚 (2𝑥 )𝑛−2𝑚 (𝟐. 𝟕𝟒)
𝑚! (𝑛 − 2𝑚)!
𝑚=0
𝑇𝑛 (𝑥 ) = 𝑇𝑛 (cos 𝜃) = cos 𝑛𝜃
sin(𝑛 + 1) 𝜃
𝑈𝑛 (𝑥) = 𝑈𝑛 (cos 𝜃) =
sin 𝜃
29
3. PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL
Persamaan diferensial parsial merupakan persamaan yang menghubungkan fungsi tidak diketahui
(variabel bergantung) dari dua atau lebih variabel terhadap turunan parsial dengan mengacu pada
variabel tersebut. Variabel tidak bergantung yang paling sering dijumpai adalah posisi dan waktu.
Kebanyakan PDP pada gejala fisis merupakan orde kedua dan linear. Untuk mendapat kesan
terhadap bentuk umumnya, berikut diperkenalkan beberapa bentuk PDP dalam sistem fisis.
Persamaan gelombang,
1 𝜕2𝑢
∇2 𝑢 = (𝟑. 𝟏)
𝑐 2 𝜕𝑡 2
Mendeskripsikan fungsi posisi dan waktu perpindahan dari titik kesetimbangan 𝑢(𝐫, 𝑡), dari tali
atau membran bergetar, gas atau cairan. Persamaannya juga muncul pada elektromagnetik, dimana
𝑢 dapat merupaan medan listrik atau medan magnet dalam gelombang elektromagnetik atau arus
maupun tegangan sepanjang garis transmisi. Nilai 𝑐 merupakan kecepatan rambat gelombang.
Persamaan difusi,
𝜕𝑢
𝜅∇2 𝑢 = (𝟑. 𝟐)
𝜕𝑡
Mendeskripsikan temperature 𝑢 pada suatu wilayah tanpa mengandung sumber panas. Persamaan
ini juga berlaku untuk difsui kimia dengan konsentrasi 𝑢(𝐫, 𝑡). Konstanta 𝜅 disebut difusifitas.
Persamaannya jeas terlihat terdiri dari tiga variabel spasial berorde dua dan satu variabel waktu
berorde satu.
Persamaan Laplace,
𝜅∇2 𝑢 = 0 (𝟑. 𝟑)
Didapatkan dengan pada kondisi 𝜕𝑢/𝜕𝑡 = 0 pada persamaan difusi, dan mendeskripsikan,
misalnya, distribusi temperature steady-state pada sebuah padatan dimana tidak ada sumber panas.
Persamaan Laplace juga dapat digunakan dalam mendeskripsikan potensial gravitasi pada wilayah
tidak ada benda atau potensial listrik pada wilayah tidak adanya muatan. Lebih jauh, aplikasinya
dapat diterapkan pada fluida tidak tertekan dengan tidak ada sumber.
Persamaan Poisson,
30
juga mendeskripsikan situasi fisis sama dengan persamaan Laplace, namun pada wilayah
mengandung benda, muatan, atau sumber panas atau cairan. Fungsi 𝜌(𝐫) disebut rapat sumber dan
pada aplikasi fisis biasanya mengandung konstanta fisis. Misalnya, jika 𝑢 adalah potensial listrik
pada suatu daerah dalam ruang, dimana 𝜌 adalah rapat muatan listrik, maka ∇2 𝑢 = −𝜌(𝐫)/𝜖0 ,
dengan 𝜖0 permitivitas ruang hampa.
Persamaan Schrodinger,
ℏ2 2 𝜕𝑢
− ∇ 𝑢 + 𝑉 (𝐫)𝑢 = 𝑖ℏ (𝟑. 𝟓)
2𝑚 𝜕𝑡
Mendeskripsikan fungsi mekanika kuantum 𝑢(𝐫, 𝑡) dari partikel non-relaivistik bermassa 𝑚, ℏ
adalah konstanta Planck dibagi 2𝜋. Seperti persamaan difusi, bentuknya juga berorde dua dalam
tiga variabel spasial dan berorde satu dalam waktu.
Misalkan kita mencari solusi 𝑢(𝑥, 𝑦, 𝑧, 𝑡) untuk persamaan diferensial parsial dalam kordinat
Kartesian. Bentuk awalnya dapat dimisalkan dalam bentuk
Solusi dengan bentuk seperti ini dikatakan terpisah dengan variabel 𝑥, 𝑦, 𝑧 dan 𝑡, dan mencari
solusinya disebot motode separasi variabel.
Untuk persamaan diferensial parsial secara umum, kelihatannya sulit mendapatkan solusi terpisah.
Namun untuk beberapa persamaan umum dan persamaan fisis, memiliki solusi dengan bentuk ini.
Untuk menjabarkan lebih jauh, dapat ditinjau persamaan gelombang dalam tiga dimensi
1 𝜕 2 𝑢 (𝐫)
∇2 𝑢 (𝐫) = (𝟑. 𝟕)
𝑐 2 𝜕𝑡 2
yang dalam kordinat Kartesian
𝜕2𝑢 𝜕2 𝑢 𝜕2 𝑢 1 𝜕2𝑢
+ + = (𝟑. 𝟖)
𝜕𝑥 2 𝜕𝑦 2 𝜕𝑧 2 𝑐 2 𝜕𝑡 2
31
𝑋 ′′ 𝑌 ′′ 𝑍 ′′ 1 𝑇 ′′
+ + = 2 (𝟑. 𝟏𝟏)
𝑋 𝑌 𝑍 𝑐 𝑇
Bentuk ini merupakan dasar dari metoda separasi variabel. Bagian pertama hanya bergantung pada
𝑥, bagian kedua pada 𝑦, bagian ketiga pada 𝑧, serta bagian sisi kanan persamaan hanya bergantung
pada 𝑡. Persamaan (3.7) dapat dipenuhi untuk semua 𝑥, 𝑦, 𝑧 dan 𝑡 jika setiap bagian tidak
bergantung terhadap variabel bebas namun haruslah sebuah konstanta.
Untuk mengilustrasikan pemisalan, dipilih −𝑙 2 , −𝑚2 , −𝑛2 untuk tiga konstanta pertama.
Konstanta yang berhubungan dengan sisi sebelah kanan persamaan haruslah memenuhi −𝜇2 =
−(𝑙 2 + 𝑚2 + 𝑛2 ). Penjabaran ini kemudian membuat persamaan (3.7) dapat dituliskan dalam
empat persamaan diferensial biasa
𝑋 ′′ 𝑌 ′′ 𝑍 ′′ 1 𝑇 ′′
= −𝑙 2 , = −𝑚2 , = −𝑛2 , 2 = −𝜇2 (𝟑. 𝟏𝟐)
𝑋 𝑌 𝑍 𝑐 𝑇
Penyederhanaan ini merupakan alat untuk mengasumsikan sebuah solusi terpisah, PDP memiliki
turunan terhadap empat variabel bebas dalam satu persamaan, telah direduksi menjadi empat PDB
terpisah. Persamaannya dihubungkan dengan empat parameter konstan yang memenuhi ungkapan
aljabar. Konstanta ini disebut juga konstanta separasi.
Solusi umum dari persamaan (3.8) kemudian dapat langsung dideduksi
𝑋 (𝑥 ) = 𝐴𝑒 𝑖𝑙𝑥 + 𝐵𝑒 −𝑖𝑙𝑥
𝑌 (𝑦) = 𝐶𝑒 𝑖𝑚𝑦 + 𝐷𝑒 −𝑖𝑚𝑦 (𝟑. 𝟏𝟑)
𝑍 (𝑧) = 𝐸𝑒 𝑖𝑛𝑧 + 𝐹𝑒 −𝑖𝑛𝑧
𝑇(𝑡) = 𝐺𝑒 𝑖𝑐𝜇𝑡 + 𝐻𝑒 −𝑖𝑐𝜇𝑡
dengan 𝐴, 𝐵, … , 𝐻 adalah konstanta, diperoleh dengan menggunakan syarat batas dari suatu solusi.
Bentuk alternatif solusinya dapat pula dituliskan
32
𝑢(𝑥, 𝑦, 𝑧, 𝑡) = 𝑒 𝑖𝑙𝑥 𝑒 𝑖𝑚𝑦 𝑒 𝑖𝑛𝑦 𝑒 −𝑖𝑐𝜇𝑡
= 𝑒 𝑖(𝑙𝑥+𝑚𝑦+𝑛𝑦−𝑐𝜇𝑡)
Dalam notasi konvensional teori gelombang, 𝑙, 𝑚, 𝑛 adalah komponen dari vektor gelombang 𝐤,
dimana besarnya 𝑘 = 2𝜋/𝜆, dengan 𝜆 panjang gelombang. Adapun 𝑐𝜇 adalah frekuensi sudut 𝜔
dari gelombang. Sehingga, persamaannya dapat dituliskan
Saat persamaan diferesial parsial berbentuk linear (seperti persamaan Laplace, Schrodinger, difusi
dan gelombang), solusi matematis dapat dibentuk dari prinsip superposisi untuk nilai berbeda
setiap konstanta separasi. Mengambil dua variabel misalnya
merupakan solusi PDP dengan memberikan konstanta separasi variabel 𝜆1 , maka hasil superposisi
juga merupakan solusi untuk setiap konstanta 𝑎𝑖 , dengan 𝜆𝑖 adalah nilai yang memenuhi konstanta
separasi 𝜆, diberikan oleh syarat batas. Nilai dari superposisi merupakan hasil dari syarat batas,
katakanlah 𝑢(𝑥, 𝑦) memiliki bentuk tertentu 𝑓(𝑥 ) pada 𝑦 = 0, dapat ditemukan dengan memilih
konstanta 𝑎𝑖 sedemikian rupa
Secara umum, hal ini akan memungkinkan fungsi 𝑋𝜆𝑖 (𝑥 ) membentuk kumpulan fungsi, seperti
halnya fungsi sinusoidal pada deret Fourier.
Untuk menggambarkan penggunaan prinsip superposisi pada penyelesaian PDP, misalkan sebuah
logam segi empat semi-takberhingga berada apada daerah 0 ≤ 𝑥 ≤ ∞ dan 0 ≤ 𝑦 ≤ 𝑏 pada bidang-
𝑥𝑦. Temperatur pada ujung jauh dari logam dan kedua sisi lainnya adalah 0°C.
33
Gambar 3.1 Semi-takberhingga plat logam dengan setiap sisi bertemperatur tetap
Saat temperatur dari logam di 𝑥 = 0 juga tetap dan diberikan oleh 𝑓 (𝑦), distribusi temperatur
keadaan tunak 𝑢(𝑥, 𝑦) dari logam dapat dicari dengan menggunakan persamaan difusi
𝜕2𝑢 𝜕2𝑢 𝜕𝑢
𝜅( 2
+ 2) =
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑡
𝜕2𝑢 𝜕2𝑢
+ =0
𝜕𝑥 2 𝜕𝑦 2
Pada kasus ini, persamaan haruslah memenuhi syarat batas 𝑢(𝑥, 0) = 0 = 𝑢(𝑥, 𝑏) dan terlihat
solusi sinusoidal pada bagian 𝑦 cukup sesuai. Lebih jauh, karena syarat lain 𝑢(∞, 𝑦) = 0 maka
solusi dari bagian 𝑥 dapat dipilih dalam bentuk eksponensial. Solusi terpisah dari kasus ini
kemudian dapat dituliskan
Dengan menyesuaikan dengan syarat batas 𝑢(∞, 𝑦) = 0 mengharuskan 𝐴 = 0 jika diambil 𝜆 > 0.
Selanjutnya, karena 𝑢(𝑥, 0) = 0 mengharuskan 𝐶 = 0. Dengan menyerap konstanta 𝐷 ke 𝐵,
menyisakan
34
𝑢(𝑥, 𝑦) = 𝐵𝑒 −𝜆𝑥 sin 𝜆𝑦
Namun dengan kondisi lain, 𝑢(𝑥, 𝑏) = 0, mengharuskan 𝜆 = 𝑛𝜋/𝑏, dengan 𝑛 bilangan bulat
positif. Hal ini membuat terdapat 𝑛 buah solusi dari persamaan.
Menggunakan prinsip superposisi, solusi umum untuk memenuhi syarat batas dapat dituliskan
∞
𝑛𝜋𝑥 𝑛𝜋𝑦
𝑢(𝑥, 𝑦) = ∑ 𝐵𝑛 𝑒 − 𝑏 sin (𝟑. 𝟏𝟔)
𝑏
𝑛=1
untuk suatu konstanta 𝐵𝑛 . Bilangan bulat 𝑛 negatif tidak disertakan karena akan membuat
solusinya divergen saat 𝑥 → ∞. Syarat batas tersisa adalah 𝑢(0, 𝑦) = 𝑓 (𝑦), dan mengharuskan
konstanta 𝐵𝑛 memenuhi
∞
𝑛𝜋𝑦
𝑓(𝑦) = ∑ 𝐵𝑛 sin
𝑏
𝑛=1
Bentuk ini tidak lain adalah ekspansi deret Fourier untuk bagian sinus, sehingga konstanta 𝐵𝑛 dapat
ditelusuri dengan
2 𝑏 𝑛𝜋𝑦
𝐵𝑛 = ∫ 𝑓(𝑦) sin ( ) 𝑑𝑦
𝑏 0 𝑏
2 𝑏 𝑛𝜋𝑦
𝐵𝑛 = ∫ 𝑢0 sin ( ) 𝑑𝑦
𝑏 0 𝑏
2 𝑏 𝑛𝜋𝑦 𝑏
= [−𝑢0 cos ( )]
𝑏 𝑛𝜋 𝑏 0
2𝑢0
=− [cos 𝑛𝜋 − 1]
𝑛𝜋
4𝑢0
2𝑢0 𝑛 𝑛 ganjil
=− [(−1) − 1] = { 𝑛𝜋
𝑛𝜋 0 𝑛 genap
Dengan substitusi pada (3.12), didapatkan solusi akhirakhir
4𝑢0 −(𝑛𝜋𝑥) 𝑛𝜋𝑦
𝑢(𝑥, 𝑦) = ∑ 𝑒 𝑏 sin ( )
𝑛𝜋 𝑏
𝑛 ganjil
Dalam banyak sistem fisis pada dua dan tiga dimensi secara alami diekspresikan dalam bentuk
koordinat polar, dimana banyak keuntungan dapat diambil dari bentuk simetrinya. Hal tersebut
menjadi alasan untuk menelaah separasi variabel pada koordinat bidang polar, silinder, dan bola.
35
Banyak PDP mengandung operator ∇2 , seperti di persamaan gelombang, persamaan difusi,
persamaan Schrodinger dan persamaan Poisson. Pada pembahasan kalkulus vektor, bentuk
operator ∇2 untuk koordinat bidang polar, silinder dan bola secara berurut diberikan oleh
2
1 𝜕 𝜕 1 𝜕2
∇ = (𝜌 ) + 2 (𝟑. 𝟏𝟕)
𝜌 𝜕𝜌 𝜕𝜌 𝜌 𝜕𝜙 2
1 𝜕 𝜕 1 𝜕2 𝜕2
∇2 = (𝜌 ) + 2 + (𝟑. 𝟏𝟖)
𝜌 𝜕𝜌 𝜕𝜌 𝜌 𝜕𝜙 2 𝜕𝑧 2
1 𝜕 𝜕 1 𝜕 𝜕 1 𝜕2
∇2 = 2 (𝑟 2 ) + 2 (sin 𝜃 ) + 2 2 (𝟑. 𝟏𝟗)
𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝑟 sin 𝜃 𝜕𝜃 𝜕𝜃 𝑟 sin 𝜃 𝜕𝜙 2
∇ 2 𝑢 ( 𝒓) = 0 (𝟑. 𝟐𝟎)
Dari penjabaran persamaan ini dapat diperoleh penjabaran untuk bentuk persamaan lain yang lebih
kompleks.
Misalkan untuk mecari solusi (𝟑. 𝟐𝟎) pada lingakaran 𝜌 = 𝑎. Pencarian solusi akan mengarah
pada variabel 𝜌 dan 𝜙 dengan mengakomodasi syarat batas di 𝜌 = 𝑎.
Φ 𝜕 𝜕𝑃 𝑃 𝜕2Φ
(𝜌 ) + 2 =0
𝜌 𝜕𝜌 𝜕𝜌 𝜌 𝜕𝜙 2
𝜌 𝜕 𝜕𝑃 1 𝜕2Φ
(𝜌 ) + =0
𝑃 𝜕𝜌 𝜕𝜌 Φ 𝜕𝜙 2
𝜌 𝜕 𝜕𝑃
(𝜌 ) = 𝑛2 (𝟑. 𝟐𝟏)
𝑃 𝜕𝜌 𝜕𝜌
1 𝜕2Φ
= −𝑛2 (𝟑. 𝟐𝟐)
Φ 𝜕𝜙 2
dengan 𝑛2 adalah konstanta pemisah. Secara umum nilai 𝑛 ini adalah suatu bilangan (bisa dalam
bentuk kompleks).
36
Pertama, untuk 𝑛 ≠ 0, persamaan (𝟑. 𝟐𝟐) memiliki bentuk umum
𝜌2 𝑃′′ + 𝜌𝑃′ − 𝑛2 𝑃 = 0
yang dapat diselesaikan dengan menggunakan deret pangkat 𝜌, atau dapat juga dengan substitusi
𝜌 = 𝑒 𝑡 untuk mendapatkan
Substitusi ulang (𝟑. 𝟐𝟑) dari persamaan azimuthal (𝟑. 𝟐𝟐), dapat dilihat bahwa jika 𝚽, dan
kemudian 𝑢, memilliki nilai tunggal dan tidaklah berubah ketika 𝜙 meningkat 2𝜋 maka 𝑛 haruslah
bilangan bulat. Secara matematis, nilai lain dari 𝑛 memungkinkan, namun ini tidaklah
mendeskripsikan situasi fisis yang ril. Dari hasil ini, diperoleh solusidari persamaan Laplace dua
dimensi
Φ(𝜙) = 𝐴𝜙 + 𝐵
𝑃(𝜌) = 𝐶 ln 𝜌 + 𝐷
Namun, agar 𝑢 = 𝑃Φ bernilai tunggal, kita perlukan 𝐴 = 0, sehingga solusi untuk 𝑛 = 0 adalah
𝑢(𝜌, 𝜙) = 𝐶 ln 𝜌 + 𝐷 .
Melakukan superposisi terhadap solusi untuk nilai 𝑛 berbeda-beda, solusi umum persamaan
Laplace pada bidang polar adalah
∞
untuk 𝑛 bentuknya bilangan bulat. Nilai 𝑛 negatif telah lingkupi oleh nilai 𝑛 positif. Karena ln 𝜌
singular di 𝜌 = 0, saat menyelesaikan persamaan Laplace pada daerah dengan titik awal, 𝐶0
haruslah nol.
37
3.3.2 Persamaan Laplace pada Silinder
1 𝜕 𝜕𝑢 1 𝜕2𝑢 𝜕2𝑢
(𝜌 ) + 2 + = 0. (𝟑. 𝟐𝟔)
𝜌 𝜕𝜌 𝜕𝜌 𝜌 𝜕𝜙 2 𝜕𝑧 2
𝑢(𝜌, 𝜙, 𝑧) = 𝑃 (𝜌)Φ(𝜙)𝑍(𝑧)
dimana saat disubstitusi ke (𝟑. 𝟐𝟔) dan melakukan pembagian terhadap 𝑢 = 𝑃Φ𝑍 memberikan
1 𝑑 𝑑𝑃 1 𝑑2Φ 1 𝑑2𝑍
(𝜌 ) + + =0.
𝑃𝜌 𝑑𝜌 𝑑𝜌 Φ𝜌2 𝑑𝜙 2 𝑍 𝑑𝑧 2
Bagian terakhir hanya bergantung terhadap 𝑧, sementara bagian pertama dan kedua secara berurut
bergantung pada 𝜌 dan 𝜙. Mengambil konstanta separasi 𝑘 2 , diperoleh
1 𝑑2𝑍
= 𝑘 2,
𝑍 𝑑𝑧 2
1 𝑑 𝑑𝑃 1 𝑑2Φ
(𝜌 ) + + 𝑘2 = 0 .
𝑃𝜌 𝑑𝜌 𝑑𝜌 Φ𝜌2 𝑑𝜙 2
𝑍(𝑧) = 𝐸𝑒 −𝑘𝑧 + 𝐹𝑒 𝑘𝑧 .
𝜌 𝑑 𝑑𝑃 1 𝑑2Φ
(𝜌 ) + + 𝑘 2 𝜌2 = 0,
𝑃 𝑑𝜌 𝑑𝜌 Φ 𝑑𝜙 2
dengan bagian keduanya hanya bergantung pada Φ sementara bagian lain bergantung pada 𝜌.
Mengambil konsanta separasi 𝑚2 , didapatkan
1 𝑑2Φ
= −𝑚2 , (𝟑. 𝟐𝟕)
Φ 𝑑𝜙 2
𝑑 𝑑𝑃
𝜌 (𝜌 ) + (𝑘 2 𝜌2 − 𝑚2 )𝑃 = 0 (𝟑. 𝟐𝟖)
𝑑𝜌 𝑑𝜌
38
Persamaan pada sudut azimuth 𝜙 memiliki solusi yang tidak asing lagi
Φ(𝜙) = 𝐶 cos 𝑚𝜙 + 𝐷 sin 𝑚𝜙
Sama halnya pada dua dimensi, sifat nilai tunggal dari 𝑢 membuat 𝑚 haruslah suatu bilangan bulat.
Namun saat 𝑚 = 0, solusinya memberikan
Φ(𝜙) = 𝐶𝜙 + 𝐷 .
Bentuk ini sesuai untuk sebuah solusi dengan simetri aksial (𝐶 = 0) atau sebuah nilai banyak,
seperti potensial skalar magnet diasosiasikan dengan arus 𝐼.
Terakhir, persamaan dengan 𝜌, (𝟑. 𝟐𝟖), bisa ditransformasikan ke dalam persamaan Bessel
berorde 𝑚 dengan menuliskan 𝜇 = 𝑘𝜌. Hal ini memberikan solusi
𝑃(𝜌) = 𝐴𝐽𝑚 (𝑘𝜌) + 𝐵𝑌𝑚 (𝑘𝜌) .
Dari pembahasan persamaan Bessel, 𝑌𝑚 (𝑘𝜌) singular pada 𝜌 = 0, sehingga saat mencari solusi
persamaan Laplace pada koordinat silinder dalam suatu daerah dengan 𝜌 = 0, nila 𝐵 = 0.
Solusi separasi variabel keseluruhan untuk persamaan Laplace ∇2 𝑢 = 0 pada silinder dapat
dituliskan
𝑢(𝜌, 𝜙, 𝑧) = [𝐴𝐽𝑚 (𝑘𝜌) + 𝐵𝐽𝑚 (𝑘𝜌)][𝐶 cos 𝑚𝜙 + 𝐷 sin 𝑚𝜙][𝐸𝑒 −𝑘𝑧 + 𝐹𝑒 𝑘𝑧 ]. (𝟑. 𝟐𝟗)
Prinsip superposisi dapat diterapkan untuk membangun solusi lebih umum dengan
menambahkannya bersama dengan solusi (𝟑. 𝟐𝟗) untuk nilai memungkinkan dari konstanta
separasi 𝑘 dan 𝑚.
3.3.3 Persamaan Laplace pada Bola
Dalam koordinat bola, persamaan Laplace, ∇2 = 0, memiliki bentuk
1 𝜕 2 𝜕𝑢 1 𝜕 𝜕𝑢 1 𝜕 2𝑢
(𝑟 )+ 2 (sin 𝜃 ) + 2 2 =0 (𝟑. 𝟑𝟎)
𝑟 2 𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝑟 sin 𝜃 𝜕𝜃 𝜕𝜃 𝑟 sin 𝜃 𝜕𝜙 2
yang merupakan persamaan dengan aplikasi luas dalam fisika.
Sulusinya dimisalkan
𝑢(𝑟, 𝜃, 𝜙) = 𝑅 (𝑟)Θ(𝜃)Φ(𝜙) .
Substitusi ke persamaan (𝟑. 𝟑𝟎) dan dibagi dengan 𝑢 = 𝑅ΘΦ, kemudian mengalikannya dengan
𝑟 2 , diperoleh
1 𝑑 2 𝜕𝑅 1 𝜕 𝜕Θ 1 𝜕2Φ
(𝑟 )+ (sin 𝜃 ) + =0. (𝟑. 𝟑𝟏)
𝑅 𝑑𝑟 𝜕𝑟 Θ sin 𝜃 𝜕𝜃 𝜕𝜃 Φ sin2 𝜃 𝜕𝜙 2
Bagian pertama bergantung hanya pada 𝑟, sementara bagian kedua dan ketiga, secara berurutan,
bergantung pada 𝜃 dan 𝜙. Sehingga persamaan (𝟑. 𝟑𝟏) akan ekuivalen dengan dua persamaan
39
1 𝑑 2 𝜕𝑅
(𝑟 )=𝜆, (𝟑. 𝟑𝟐)
𝑅 𝑑𝑟 𝜕𝑟
1 𝜕 𝜕Θ 1 𝜕2Φ
(sin 𝜃 ) + = −𝜆 . (𝟑. 𝟑𝟑)
Θ sin 𝜃 𝜕𝜃 𝜕𝜃 Φ sin2 𝜃 𝜕𝜙 2
Persamaan (𝟑. 𝟑𝟐) merupakan persamaan homogen,
𝑑2𝑅
2
𝑑𝑅
𝑟 + 2𝑟 − 𝜆𝑅 = 0 ,
𝑑𝑟 2 𝑑𝑟
yang dapat direduksi dengan substitusi 𝑟 = 𝑒 𝑡 (menuliskan 𝑅(𝑡) = 𝑆(𝑡)) menghasilkan
𝑑 2 𝑆 𝑑𝑆
+ − 𝜆𝑆 = 0 .
𝑑𝑡 2 𝑑𝑡
Persamaan ini memberikan persamaan
𝑆 (𝑡) = 𝐴𝑒 𝜆1 𝑡 + 𝐵𝑒 𝜆2 𝑡 ,
serta solusi untuk persamaan radial
𝑅(𝑟) = 𝐴𝑟 𝜆1 + 𝐵𝑟 𝜆2 ,
dengan 𝜆1 + 𝜆2 = −1 dan 𝜆1 𝜆2 = −𝜆. Dapat pula diambil 𝜆1 dan 𝜆2 sebagai 𝑙 dan −(𝑙 + 1),
memberikan 𝜆 bentuk 𝑙 (𝑙 + 1).
Sampai disini, telah diperoleh informasi dari solusi faktor pertama dari keseluruhan solusi, dimana
bentuknya
dengan Θ dan Φ harus sesuai dengan (𝟑. 𝟑𝟑) dengan 𝜆 = 𝑙(𝑙 + 1), sehingga
1 𝜕 𝜕Θ 1 𝜕2Φ
(sin 𝜃 ) + = −𝑙 (𝑙 + 1) .
Θ sin 𝜃 𝜕𝜃 𝜕𝜃 Φ sin2 𝜃 𝜕𝜙 2
Kalikan dengan sin2 𝜃 serta melakukan pengurutan ulang diperoleh
sin 𝜃 𝑑 𝜕Θ 1 𝜕2Φ
[ (sin 𝜃 ) + 𝑙 (𝑙 + 1) sin2 𝜃] + =0. (𝟑. 𝟑𝟓)
Θ 𝑑𝜃 𝜕𝜃 Φ 𝜕𝜙 2
Mengambil konstanta pemisah 𝑚2 , persamaan dalam sudut azimut 𝜙 memiliki solusi yang sama
untuk solusi dalam bentuk silinder, yaitu
Φ(𝜙) = 𝐶 cos 𝑚𝜃 + 𝐷 sin 𝑚𝜃 .
Ketunggalan nilai dari 𝑢 membuat nilai 𝑚 haruslah bilangan bulat. Untuk 𝑚 = 0, didapatkan
Φ(𝜙) = 𝐶𝜙 + 𝐷.
Sekarang tersisa persamaan dengan variabel Θ(𝜃), dimana
40
sin 𝜃 𝑑 𝑑Θ
(sin 𝜃 ) + 𝑙 (𝑙 + 1) sin2 𝜃 = 𝑚2 . (𝟑. 𝟑𝟔)
Θ 𝑑𝜃 𝑑𝜃
Perubahan variabel bebas dari 𝜃 menjadi 𝜇 = cos 𝜃, sin 𝜃 = (1 − 𝜇2 )1/2 membuat persamaan ini
tereduksi ke bentuk khusus. Memberikan
𝑑𝜇 𝑑 𝑑
𝜇 = cos 𝜃 , = − sin 𝜃 , = −(1 − 𝜇2 )1/2 ,
𝑑𝜃 𝑑𝜃 𝑑𝜇
persamaan untuk 𝑀(𝜇) ≡ Θ(𝜃) dapat dituliskan
𝑑 𝑑𝑀 𝑚2
[( 1 − 𝜇 2 ) ] + [𝑙(𝑙 + 1) − ]𝑀 = 0 . (𝟑. 𝟑𝟔)
𝑑𝜇 𝑑𝜇 1 − 𝜇2
Persamaan khusus ini disebut persamaan Legendre asosiasi. Saat 𝑚 = 0, persamaan ini tereduksi
menjadi persamaan Legendre dan memiliki solusi
𝑀(𝜇) = 𝐸𝑃𝑙 (𝜇) + 𝐹𝑄𝑙 (𝜇) . (𝟑. 𝟑𝟕)
Solusinya diberikan oleh fungsi Legendre asosiasi 𝑃𝑙𝑚 (𝜇) dan 𝑄𝑙𝑚 (𝜇), dimana
𝑑 |𝑚| 𝑚
𝑃𝑙𝑚 (𝜇) = (1 − 𝜇 2 )|𝑚|/2
𝑃 , (𝟑. 𝟑𝟖)
𝑑𝜇 |𝑚| 𝑙
demikian juga untuk 𝑄𝑙𝑚 . Dari hasil ini kemudian diperoleh
𝑀(𝜇) = 𝐸𝑃𝑙𝑚 + 𝐹𝑄𝑙𝑚 (𝟑. 𝟑𝟗)
dengan 𝑚 haruslah bilangan bulat, 0 ≤ |𝑚| ≤ 𝑙. Perlu dicatat, jika solusi untuk persamaan Laplace
terbatas saat 𝜇 = cos 𝜃 = ±1 (misalnya pada sumbu polar dimana 𝜃 = 0, 𝜋), mengharuskan
konstanta 𝐹 = 0 pada (𝟑. 𝟑𝟕) dan (𝟑. 𝟑𝟗) karena 𝑄𝑙𝑚 divergen pada ±1.
Dari penjabaran tersebut, solusi dari setiap tiga PDB yang terdiri dari 𝑅, Θ dan Φ telah didapatkan.
Solusi total dari persamaan Laplace dengan separasi variabel pada koordinat bola kemudian
memiliki bentuk
𝑢(𝑟, 𝜃, 𝜙) = (𝐴𝑟 𝑙 + 𝐵𝑟 −(𝑙+1) )(𝐶 cos 𝑚𝜙 + 𝐷𝜙)[𝐸𝑃𝑙𝑚 (cos 𝜃) + 𝐹𝑄𝑙𝑚 (cos 𝜃)], (𝟑. 𝟒𝟎)
ketiga faktor di dalam kurung dihubungkan hanya dengan parameter 𝑙 dan 𝑚, 0 ≤ |𝑚| ≤ 𝑙. Sama
seperti sebelumnya, solusi lebih umum dapat dilakukan dengan melakukan superposisi solusi ini
untuk nilai yang memenuhi konstanta separas 𝑙 dan 𝑚.
41
4. FUNGSI KOMPLEKS
ada dan unik. Hal ini berarti nilainya tidak bergantung pada arah di diagram Argand dimana Δ𝑧
menuju nol.
Perhatikan fungsi 𝑓 (𝑧) = 𝑥 2 − 𝑦 2 + 𝑖2𝑥𝑦 = (𝑥 + 𝑖𝑦)2 = 𝑧 2 . Dengan mencoba persamaan (𝟒. 𝟐),
′(
(𝑧 + Δ𝑧)2 − 𝑧 2
𝑓 𝑧) = lim [ ]
Δ𝑧→0 Δ𝑧
Δ𝑧(2𝑧 + Δ𝑧)
= lim [ ]
Δ𝑧→0 Δ𝑧
𝑓 ′ (𝑧) = 2𝑧
terlihat bahwa 𝑓 (𝑧) = 𝑧 2 terdiferensiasi untuk semua 𝑧 berhingga.
Sebuah fungsi dengan nilai tunggal dan dapat didiferensialkan pada semua titik di domain 𝑅
dikatakan analitik di 𝑅. Suatu fungsi juga dapat memiliki satu atau lebih titik yang tidak analitik
meski titik lain pada domain 𝑅 analitik. Titik yang tidak analitik ini disebut juga singularitas dari
𝑓 (𝑧).
terdefinisi dan unik, dapat didiferensialkan, maka setiap dua cara spesifik untuk Δ𝑧 → 0 haruslah
menghasilkan limit yang sama. Secara khusus, bergerak paralel terhadap sumbu ril dan bergerak
paralel terhadap sumbu imajiner haruslah menghasilkan hal tersebut.
42
Saat memisalkan 𝑓 (𝑧) = 𝑢(𝑥, 𝑦) + 𝑖𝑣(𝑥, 𝑦) dan Δ𝑧 = Δ𝑥 + 𝑖Δ𝑦, maka
𝑓 (𝑧 + Δ𝑧) = 𝑢(𝑥 + Δ𝑥, 𝑦 + Δ𝑦) + 𝑖𝑣 (𝑥 + Δ𝑥, 𝑦 + Δ𝑦)
dan dengan menerapkan limit pada persamaan (𝟒. 𝟑),
𝑢(𝑥 + Δ𝑥, 𝑦 + Δ𝑦) + 𝑖𝑣 (𝑥 + Δ𝑥, 𝑦 + Δ𝑦) − 𝑢(𝑥, 𝑦) − 𝑖𝑣(𝑥, 𝑦)
𝐿= lim [ ]
Δ𝑥,Δ𝑦→0 Δ𝑥 + 𝑖Δ𝑦
43
Sebelum lebih jauh, untuk suatu titik dimana 𝑓(𝑧) tidak analitik pada diagram Argand, titik
tersebut disebut sebagai titik singular fungsi kompleks 𝑓 (𝑧). Saat 𝑓(𝑧) analitik disemua rentang
domain namun terdapat titik singular hanya di 𝑧 = 𝑧0 , maka 𝑧0 disebut titik singular terisolasi.
∫ 𝑓 (𝑧) 𝑑𝑧 (𝟒. 𝟕)
𝐶
= ∫ 𝑢 𝑑𝑥 + 𝑖 ∫ 𝑢 𝑑𝑦 + 𝑖 ∫ 𝑣 𝑑𝑥 − ∫ 𝑣 𝑑𝑦
𝐶 𝐶 𝐶 𝐶
𝛽 𝛽 𝛽 𝛽
𝑑𝑥 𝑑𝑦 𝑑𝑦 𝑑𝑥
= ∫ 𝑢 𝑑𝑡 − ∫ 𝑣 𝑑𝑡 + 𝑖 ∫ 𝑢 𝑑𝑡 + 𝑖 ∫ 𝑣 𝑑𝑡 (𝟒. 𝟖)
𝛼 𝑑𝑡 𝛼 𝑑𝑡 𝛼 𝑑𝑡 𝛼 𝑑𝑡
∮ 𝑓(𝑧) 𝑑𝑧 = 0 (𝟒. 𝟗)
𝐶
Hal ini dapat dibuktikan dengan menggunakan teorema Green yang tidak lain adalah bentuk dua
dimensi dari teorema divergen. Teoremanya mengatakan, jika 𝑝 dan 𝑞 adalah dua fungsi dengan
diferensial pertama kontinu dalam suatu kontur tertutup 𝐶 pada bidang-𝑥𝑦, maka
𝜕𝑝 𝜕𝑞
∬( + ) 𝑑𝑥𝑑𝑦 = ∮ (𝑝 𝑑𝑦 − 𝑞 𝑑𝑥 )
𝑅 𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝐶
memberikan
𝜕(−𝑣) 𝜕(−𝑢) 𝜕(𝑢) 𝜕 (−𝑣)
𝐼=∬( + ) 𝑑𝑥𝑑𝑦 + ∬ ( + ) 𝑑𝑥𝑑𝑦
𝑅 𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝑅 𝜕𝑥 𝜕𝑦
45
Karena 𝑓 (𝑧) analitik, maka hubungan Cauchy-Riemann terpenuhi, berlaku persamaan (𝟒. 𝟔)
sehingga 𝐼 = 0. Teorema Cauchy terbukti.
Aplikasi penting teorema Cauchy adalah membuktikan bahwa pada kasus tertentu, kontur tertutup
𝐶 dapat dideformasi menjadi kontur tertutup lain 𝛾 sedemikian rupa, sehingga integral dari fungsi
𝑓 (𝑧) di sekitar setiap kontur memiliki nilai yang sama.
Perhatikan dua kontur tertutup 𝐶 dan 𝛾 pada gambar 3.9 dengan kontur 𝛾 berada seluruhnya pada
kontur 𝐶. Dua garis paralel 𝐶1 dan 𝐶2 menghubungkan 𝛾 dan 𝐶. Terbentuk kontur baru, katakanlah
Γ, terdiri dari 𝐶, 𝐶1 , 𝛾 dan 𝐶2 .
∮ 𝑓 (𝑧) 𝑑𝑧 + ∮ 𝑓(𝑧) 𝑑𝑧 = 0
𝐶 𝛾
Didapatkan esensi integral sekitar 𝛾 berlawanan dengan integral sekitar 𝐶, sehingga dengan
memutar balik arah melingkar 𝛾, diperoleh persamaan (𝟒. 𝟏𝟎).
46
Persamaan (𝟒. 𝟏𝟏) menyatakan bahwa nilai dari fungsi analitik dimanapun di dalam kontur
tertutup secara unik ditentukan oleh nilainya pada kontur dan penyajian spesifik persamaan ini
dapat diberikan untuk titik interior.
Pembuktian persamaan ini dilakukan dengan menggunakan persamaan (𝟒. 𝟏𝟎) dan mengambil 𝛾
sebagai lingkaran dengan titik pusat di 𝑧 = 𝑧0 , dengan jari-jari cukup kecil 𝜌 sehingga semuanya
berada dalam 𝐶. Karena 𝑓 (𝑧) analitik di dalam 𝐶, nilai integrasi 𝑓(𝑧)/(𝑧 − 𝑧0 ) analitik pada ruang
antara 𝐶 dan 𝛾. Maka dari persamaan (𝟒. 𝟏𝟎), integral sekitar 𝛾 memiliki nilai sama dengan
integral sekitar 𝐶.
Kemudian digunakan fakta bahwa titik 𝑧 pada 𝛾 diberikan oleh 𝑧 = 𝑧0 + 𝜌 exp(𝑖𝜃) sementara
𝑑𝑧 = 𝑖𝜌 exp 𝑖𝜃 𝑑𝜃. Maka nilai integral sekitar 𝛾
2𝜋 (
𝑓 (𝑧 ) 𝑓 𝑧0 + 𝜌 exp 𝑖𝜃)
𝐼=∮ 𝑑𝑧 = ∫ 𝑖𝜌 exp 𝑖𝜃 𝑑𝜃
𝛾 𝑧 − 𝑧0 0 𝜌 exp 𝑖𝜃
2𝜋
= 𝑖 ∫ 𝑓(𝑧0 + 𝜌 exp 𝑖𝜃)𝑑𝜃
0
Jika jari-jari dari lingkaran 𝛾 menyusut menuju nol, 𝜌 → 0, maka 𝐼 = 2𝜋𝑖𝑓(𝑧0 ), yang
membuktikan persamaan (𝟒. 𝟏𝟏).
Hal menarik didapatkan ketika menelusuri perolehan 𝑓 ′ (𝑧0 ), dengan menggunakan persamaan
dasar turunan
𝑓 (𝑧0 + ℎ) − 𝑓 (𝑧0 )
𝑓 ′ (𝑧0 ) = lim
ℎ→0 ℎ
1 𝑓 (𝑧 ) 1 1
= lim [ ∮ ( − ) 𝑑𝑧]
ℎ→0 2𝜋𝑖 𝐶 ℎ 𝑧 − 𝑧0 − ℎ 𝑧 − 𝑧0
1 𝑓 (𝑧 )
= lim [ ∮ 𝑑𝑧]
ℎ→0 2𝜋𝑖 𝐶 (𝑧 − 𝑧0 − ℎ )(𝑧 − 𝑧0 )
47
∞
dimana 𝑎𝑛 diberikan oleh 𝑓 𝑛 (𝑧0 )/𝑛!. Ekspansi Taylor berlaku di dalam daerah analitik dan untuk
setiap 𝑧0 memiliki nilai unik.
Pembuktian persamaan tersebut dapat dimulai dengan persamaan Cauchy
1 𝑓 (𝜉 )
𝑓 (𝑧 ) = ∮ 𝑑𝜉
2𝜋𝑖 𝐶 (ξ − z)
dengan 𝜉 berada di 𝐶. Faktor (𝜉 − 𝑧)−1 dapat diekspansi sebagai deret geometri dengan
(𝑧 − 𝑧0 )/(𝜉 − 𝑧0 ),
∞ 𝑛
1 1 𝑧 − 𝑧0
= ∑( )
𝜉 − 𝑧 𝜉 − 𝑧0 𝜉 − 𝑧0
𝑛=0
sehingga
∞ 𝑛
1 𝑓 (𝜉 ) 𝑧 − 𝑧0
𝑓 (𝑧 ) = ∮ ∑( ) 𝑑𝜉
2𝜋𝑖 𝐶 𝜉 − 𝑧0 𝜉 − 𝑧0
𝑛=0
∞
1 𝑓 (𝜉 )
= ∑ (𝑧 − 𝑧0 )𝑛 ∮ 𝑛+1
𝑑𝜉
2𝜋𝑖
𝑛=0 𝐶 (𝜉 − 𝑧0 )
∞
1 2𝜋𝑖 𝑓 𝑛 (𝑧0 )
= ∑ (𝑧 − 𝑧0 )𝑛 (𝟑. 𝟏𝟓)
2𝜋𝑖 𝑛!
𝑛=0
menyederhanakan persamaan dengan menghilangkan faktor 2𝜋𝑖 diperolehlah (𝟑. 𝟏𝟒) dengan
𝑎𝑛 = 𝑓 𝑛 (𝑧0 )/𝑛!.
Jika 𝑓 (𝑧) memiliki singularitas di dalam 𝐶 pada titik 𝑧 = 𝑧0 , maka fungsi tersebut tidak dapat
diekspansi dengaan teorema Taylor. Namun dengan memisalkan 𝑓 (𝑧) memiliki kutub dengan orde
𝑝 pada 𝑧 = 𝑧0 namun analitik di titik lain dan di dalam 𝐶. Maka fungsi 𝑔(𝑧) = (𝑧 − 𝑧0 )𝑝 𝑓(𝑧)
analitik pada 𝑧 = 𝑧0 dan dapat di ekspansi sebagai deret Taylor disekitar 𝑧 = 𝑧0
∞
sehingga untuk semua 𝑧 di dalam 𝐶, 𝑓 (𝑧) akan memiliki deret pangkat dengan bentuk
𝑎−𝑝 𝑎−1
𝑓 (𝑧 ) = 𝑝
+ ⋯+ + 𝑎0 + 𝑎1 (𝑧 − 𝑧0 ) + 𝑎2 (𝑧 − 𝑧0 )2 + ⋯ (𝟑. 𝟏𝟕)
(𝑧 − 𝑧0 ) 𝑧 − 𝑧0
dengan 𝑎−𝑝 ≠ 0. Deret tersebut adalah perluasan dari deret Taylor yang lebih dikenal dengan deret
Laurent. Dengan membandingkan koefisien persamaan (𝟑. 𝟏𝟔) dan (𝟑. 𝟏𝟕), dapat dilihat bahwa
48
𝑎𝑛 = 𝑏𝑛+𝑝 . Koefisien 𝑏𝑛 pada ekspansi Taylor 𝑔(𝑧), dengan memanfaatkan persamaan (𝟑. 𝟏𝟑),
diberikan oleh
𝑔𝑛 (𝑧0 ) 1 𝑔 (𝑧 )
𝑏𝑛 = = ∮ 𝑑𝑧
𝑛! 2𝜋𝑖 (𝑧 − 𝑧0 )𝑛+1
dan koefisien 𝑎𝑛
1 𝑔(𝑧 ) 1 𝑓 (𝑧 )
𝑎𝑛 = ∮ 𝑑𝑧 = ∮ 𝑑𝑧
2𝜋𝑖 (𝑧 − 𝑧0 )𝑛+1+𝑝 2𝜋𝑖 (𝑧 − 𝑧0 )𝑛+1
dimana berlaku baik untuk 𝑛 positif atau negatif.
Bagian pada deret Laurent untuk 𝑛 ≥ 0 disebut bagian analitik, sementara bagian lain, terdiri dari
pangkat invers dari 𝑧 − 𝑧0 , disebut bagian prinsipil. Tergantung sifat alami dari titik 𝑧 = 𝑧0 , bagian
prinsipil dapat mengandung takberhingga bagian, sehingga
+∞
Pada kasus ini, bagian prinsipil konvergen hanya saat |(𝑧 − 𝑧0 )−1 | kurang dari suatu konstan,
misalnya diluar suatu lingkaran dengan pusat 𝑧0 . Namun, bagian analitik akan konvergen di dalam
suatu lingkaran juga berpusat 𝑧0 . Jika lingkaran pada bagian analitik ini jari-jarinya lebih besar
maka deret Laurent akan konvergen di daerah 𝑅 antara dua lingkaran, selain itu deretnya tidak
konvergen.
Jika 𝑓 (𝑧) tidak analitik di 𝑧 = 𝑧0 , maka dua kasus muncul
(i) Dapat dicari bilangan bulat 𝑝 dimana 𝑎−𝑝 ≠ 0 tapi 𝑎−𝑝−𝑘 = 0 untuk semua 𝑘 > 0.
Gambar 4.3 Bagian konvergen 𝑅 untuk deret Laurent dari 𝑓(𝑧) pada sekitar 𝑧 = 𝑧0 dengan 𝑓(𝑧)
memiliki singularitas
49
Pada kasus (i), 𝑓 (𝑧) diperoleh dari (𝟑. 𝟏𝟕) dan medeskripsikan terdapat kutub berderajat 𝑝 pada
𝑧 = 𝑧0 ; nilai 𝑎−1 disebut sebagai residu dari 𝑓(𝑧) pada kutub 𝑧 = 𝑧0 .
Sementara kasus (ii), saat pangkat menurun negatif dari (𝑧 − 𝑧0 ) tidak habis, 𝑓 (𝑧) dikatakan
memiliki singularitas esensial.
Misalnya, mencari deret Laurent pada pada titik singlaritas 𝑧 = 0 dan 𝑧 = 2 pada fungsi berikut
1
𝑓 (𝑧 ) = .
𝑧 (𝑧 − 2)3
Untuk deret Laurent di 𝑧 = 0, faktor dalam kurung pada pembagi diubah kebentuk (1 − 𝛼𝑧),
dengan 𝛼 konstan, sehingga
1
𝑓 (𝑧 ) = −
𝑧 3
8𝑧 (1 − )
2
1 𝑧 𝑧 2 𝑧 3
( ) ( )( ) ( )( )( )
= − [1 + −3 (− ) + −3 −4 (− ) + −3 −4 −5 (− ) … ]
8𝑧 2 2 2
2
1 3 3𝑧 5𝑧
=− − − − −⋯.
8𝑧 16 16 32
Karena pangkat paling kecil dari 𝑧 adalah −1, titik 𝑧 = 0 merupakan kutub dengan orde 1. Residu
dari 𝑓(𝑧) pada 𝑧 = 0 adalah koefisien dari 𝑧 −1 pada ekspansi Laurent di titik tersebut dan memiliki
nilai, seperti dapat dilihat, −1/8.
Untuk 𝑧 = 2, dengan memisalkan 𝑧 = 2 + 𝜉, maka
1 1
𝑓 (𝑧 ) = =
(2 + 𝜉 )𝜉 3 𝜉
2𝜉 3 (1 + 2)
1 𝜉 𝜉 2 𝜉 3
= 3 [1 − ( ) + ( ) − ( ) + ⋯ ]
2𝜉 2 2 2
1 1 1 1
= 3− 2+ − +⋯
2𝜉 4𝜉 8𝜉 16
1 1 1 1
= 3
− 2
+ − +⋯.
2(𝑧 − 2) 4(𝑧 − 2) 8(𝑧 − 2) 16
Terlihat bahwa di titik 𝑧 = 2 kutubnya berorde 3 dan residu dari 𝑓 (𝑧), koefisien dari (𝑧 − 2)−1 ,
adalah 1/8.
Untuk 𝑓(𝑧) dengan kutub berorde 𝑚 pada 𝑧 = 𝑧0 , dengan deret Laurent
𝑎−𝑚 𝑎−1
𝑓 (𝑧 ) = 𝑚
+ ⋯+ + 𝑎0 + 𝑎1 (𝑧 − 𝑧0 ) + 𝑎2 (𝑧 − 𝑧0 ) + ⋯
(𝑧 − 𝑧0 ) (𝑧 − 𝑧0 )
50
Melakukan diferensial 𝑚 − 1 kali,
∞
𝑑 𝑚−1
[(𝑧 − 𝑧0 )𝑚 𝑓(𝑧)] = (𝑚 − 1)! 𝑎−1 + ∑ 𝑏𝑛 (𝑧 − 𝑧0 )𝑛 ,
𝑑𝑧 𝑚−1
𝑛=1
untuk suatu koefisien 𝑏𝑛 . Pada limit 𝑧 → 𝑧0 , bagian dalam sigma akan habis, dan setelah
melakukan beberapa penyusunan ulang didapatkan bentuk
1 𝑑 𝑚−1
𝑅(𝑧0 ) = 𝑎−1 = lim { [(𝑧 − 𝑧0 )𝑚 𝑓(𝑧)] } , (𝟒. 𝟏𝟖)
𝑧→𝑧0 (𝑚 − 1)! 𝑑𝑧 𝑚−1
Jika disamping memiliki kutub sederhana di 𝑧 = 𝑧0 dan 𝑓(𝑧) juga berbentuk 𝑔(𝑧)/ℎ(𝑧) dengan
𝑔(𝑧) analitik dan tidak nol di 𝑧0 dan ℎ(𝑧0 ) = 0, maka (𝟒. 𝟏𝟗) menjadi
(𝑧 − 𝑧0 )𝑔(𝑧) (𝑧 − 𝑧0 )
𝑅(𝑧0 ) = lim = 𝑔(𝑧0 ) lim
𝑧→𝑧0 ℎ (𝑧 ) 𝑧−𝑧0 ℎ (𝑧)
1
= 𝑔(𝑧0 ) lim ′
𝑧→𝑧0 ℎ (𝑧0 )
(
𝑔 𝑧0 )
𝑅(𝑧0 ) = ′ (𝟒. 𝟐𝟎)
ℎ (𝑧0 )
dimana digunakan dalil l’Hopital pada pendekatan limitnya.
Untuk integral 𝐼 dari 𝑓 (𝑧) disekitar kontur tertutup 𝐶 yang mencakup 𝑧 = 𝑧0 , namun tidak titik
singular lain. Menggunakan teorema Cauchy, integral ini memiliki nilai sama untuk integral
disekitar lingkaran 𝛾 dengan radius 𝜌 berpusat di 𝑧 = 𝑧0 , karena 𝑓(𝑧) analitik di daerah antara 𝐶
dan 𝛾. Pada lingkaran diperoleh 𝑧 = 𝑧0 + 𝜌𝑒 𝑖𝜃 , 𝑑𝑧 = 𝑖𝜌𝑒 𝑖𝜃 𝑑𝜃, sehingga
51
𝐼 = ∮ 𝑓(𝑧)𝑑𝑧
𝛾
∞
= ∑ 𝑎𝑛 ∮ (𝑧 − 𝑧0 )𝑚 𝑑𝑧
𝑛=−𝑚
∞ 2𝜋
= ∑ 𝑎𝑛 ∫ 𝑖𝜌𝑛+1 𝑒 [𝑖(𝑛+1)𝜃] 𝑑𝜃 .
𝑛=−𝑚 0
Sehingga dapat dilihat hanya bagian (𝑧 − 𝑧0 )−1 berkontribusi pada nilai integral sekitar 𝛾,
begitupun 𝐶, dan 𝐼 kemudian dapat dituliskan
Dari hasil ini didapatkan bahwa integral disekitar kontur tertutup dengan mengandung satu kutub
berorde 𝑚, singularitas esensial, nilainya adalah 2𝜋𝑖 dikalikan residu dari 𝑓(𝑧) pada 𝑧 = 𝑧0 .
Untuk kasus dimana 𝑓(𝑧) di dalam dan pada sebuah kontur tertutup 𝐶 dan analitik, kecuali untuk
kutub dengan nilai berhingga, di dalam 𝐶, teorema residu memberikan
dengan ∑𝑗 𝑅𝑗 adalah penjumlahan residu dari 𝑓(𝑧) pada masing-masing kutub di dalam 𝐶.
Metode pembuktiannya dapat memperhatikan gambar 4.4. Pada (a) menunjukkan kontur 𝐶 dari
persamaan (𝟒. 𝟐𝟑) dan (b) menunjukkan kontur 𝐶 ′ dengan nilai yang sama untuk integralnya,
karena 𝑓 analitik di 𝐶 dan 𝐶 ′ . Kontribusi dari integral untuk 𝐶 ′ dari segitiga yang menghubungkan
ketiga titik adalah nol, karena 𝑓 juga analitik di dalam 𝐶 ′ . Sehingga nilai keseluruhan integral
diberikan oleh lingkarannya, sesuai (𝟒. 𝟐𝟐), setiap kontribusi ini adalah 2𝜋𝑖 dikalikan dengan
residu pada kutub yang dicakup. Kesemua lingkaran berputar pada arah positif jika 𝐶 berputar dan
teorema residu berlaku. Secara formal, teorema residu Cauchy pada (𝟒. 𝟗) adalah kasus spesial
dari (𝟒. 𝟐𝟑) untuk kontur 𝐶 tidak mengandung kutub.
52
4.8 Integrasi Kontur untuk Integral Tentu
Ada beberapa bentuk fungsi untuk penerapan integrasi kontur. Salah satunya adalah integrasi
fungsi sinusoidal dengan bentuk
2𝜋
∫ 𝐹(cos 𝜃 , sin 𝜃 )𝑑𝜃 .
0
Integral tersebut dapat diubah menjadi integral kontur dengan melakkan substitusi 𝑧 = 𝑒 𝑖𝜃 , dimana
kemudian
1 1
cos 𝜃 = (𝑧 + 𝑧 −1 ), sin 𝜃 = − 𝑖 (𝑧 − 𝑧 −1 ), 𝑑𝜃 = −𝑖𝑧 −1 𝑑𝜃 (𝟒. 𝟐𝟒)
2 2
Sebagi latihan, untuk
2𝜋
𝑑𝜃
𝐼=∫ ,
0 5 + 4 cos 𝜃
dengan substitusi 𝑧𝑒 𝑖𝜃 , 𝜃 akan memiliki batas 0 sampai 2𝜋, membentuk kurva tertutup berbentuk
lingkaran berjari-jari 1. Melakukan substitusi nilai cos 𝜃 dan 𝑑𝜃 dari (𝟒. 𝟐𝟒),
−𝑖𝑧 −1 𝑑𝑧 1 𝑑𝑧 1 𝑑𝑧
𝐼=∮ −1
= ∮ 2
= ∮ .
5 + 2(𝑧 + 𝑧 ) 𝑖 5𝑧 + 2𝑧 + 2 𝑖 (2𝑧 + 1)(𝑧 + 2)
Terlihat fungsinya memiliki kutub di 𝑧 = −1/2 dan 𝑧 = −2. Namun, hanya titik 𝑧 = −1/2 yang
berada pada cakupan kurva tertutup. Residu dari fungsi di 𝑧 = −1/2, dengan menggunakan
persamaan (𝟒. 𝟏𝟗), didapatkan
1
𝑅 (−1/2) = lim1 [(𝑧 + 1/2) ]
𝑧→− (2𝑧 + 1)(𝑧 + 2)
2
(𝑧 + 1/2) 1 1
= lim = = .
𝑧→−1/2 2(𝑧 + 1/2)(𝑧 + 2) 1
2 (− 2 + 2) 3
53
5. KALKULUS VARIASI
Apakah jarak terpendek dari dua titik? Untuk suatu fungsi kalkulus biasa 𝑓(𝑥) misalnya, nilai
minimum dan maksimum dapat dicari dengan 𝑓 ′ (𝑥) = 0. Hal ini dapat memberikan nilai
minimum, maksimum, dan titik belok fungsi tersebut. Titik ini dikenal sebagai titik stasioner
fungsi, mencari nilai minimumnya berperan sebagai dasar pembahasan kalkulus variasi.
Untuk menambah khasanah, misalkan cahaya dari titik 𝐴 = (𝑥1 , 𝑦2 ) menuju titik 𝐵 = (𝑥2 , 𝑦2 )
lewat pemantulan di titik 𝑃. Lintasan 𝐷 yang merupakan lintasan 𝐴𝐵 dapat dituliskan
atau
𝑥 − 𝑥1 𝑥2 − 𝑥
=
√(𝑥 − 𝑥1 )2 + 𝑦12 √(𝑥2 − 𝑥 )2 + 𝑦22
sin 𝜃 = sin 𝜙.
yang menunjukkan bahwa 𝜃 = 𝜙, persamaan dasar dari pantulan pada optik. Awal yang menarik
untuk kalkulus variasi.
54
dengan 𝐹 adalah suatu fungsi dan 𝑦 = 𝑑𝑦/𝑑𝑥. Kurva 𝑦 yang membuat 𝐼 stasioner disebut
ekstermal. Perlu diperhatikan bahwa pada titik 𝑥1 dan 𝑥2 dapat dilalui oleh kurva apa saja dengan
nilai yang kecil, tidak hanya kurva ekstermal. Kurva yang lain ini disebut kurva variasi; terdapat
takhingga banyaknya sedekat mungkin dari ekstermal. Dipilih suatu 𝜂 (𝑥 ) sembarang sebagai
representasi fungsi-𝑥 bernilai nol di 𝑥1 dan 𝑥2 , serta memiliki turunan kedua kontinu pada interval
tersebut. Selanjutnya didefinisikan fungsi 𝑌(𝑥 ) dengan persamaan
𝑌(𝑥 ) = 𝑦(𝑥 ) + 𝜖𝜂 (𝑥), (𝟓. 𝟐)
dengan 𝑦(𝑥 ) adalah kurva ekstermal dan 𝜖 adalah sebuah parameter. Karena 𝜂 (𝑥 ) dapat berupa
apa saja, 𝑌(𝑥 ) merepresentasikan setiap kurva (dengan turunan kedua kontinu) sepanjang (𝑥1 , 𝑦1 ),
dan (𝑥2 , 𝑦2 ).
dan kita menginginkan (𝑑/𝑑𝜖 ) 𝐼(𝜖 ) = 0 saat 𝜖 = 0. Perhatikan bahwa 𝑌 dan 𝑌 ′ merupakan fungsi
dari 𝜖. Melakukan diferensiasi 𝐼 terhadap 𝜖,
𝑥2
𝑑𝐼 𝜕𝐹 𝑑𝑌 𝜕𝐹 𝑑𝑌 ′
=∫ ( + ) 𝑑𝑥.
𝑑𝜖 𝑥1 𝜕𝑌 𝑑𝜖 𝜕𝑌 ′ 𝜕𝜖
55
𝑥2
𝑑𝐼 𝜕𝐹 𝜕𝐹
( ) = ∫ [ 𝜂(𝑥 ) + ′ 𝜂′ (𝑥 )] 𝑑𝑥 = 0. (𝟓. 𝟒)
𝑑𝜖 𝜖=0 𝑥1 𝜕𝑦 𝜕𝑦
Bagian teringtegrasi bernilai nol karena syarat 𝜂(𝑥 ) di 𝑥1 dan 𝑥2 . Hal ini membuat persamaannya
𝑥2
𝑑𝐼 𝜕𝐹 𝑑 𝜕𝐹
( ) =∫ [ − ( )] 𝜂(𝑥 ) = 0,
𝑑𝜖 𝜖=0 𝑥1 𝜕𝑦 𝑑𝑥 𝜕𝑦 ′
56
dan total lintasannya sepanjang kurva, 𝐿, adalah
𝑏
𝐿 = ∫ √1 + 𝑦 ′ 2 𝑑𝑥.
𝑎
Lintasan terdekat dieroleh dengan menggunakan prinsip kalkulus variasi sehingga 𝐿 stasioner.
𝜕𝐹 𝑦′ 𝜕𝐹
= , = 0,
𝜕𝑦 ′ 𝜕𝑦
√1 + 𝑦 ′ 2
sehingga menyisakan
𝑑 𝑦′
= 0,
𝑑𝑥
√1 + 𝑦 ′2
( )
yang membuat
𝑦′
= 𝑘.
√1 + 𝑦 ′2
∫ 𝑟 −2 𝑑𝑠 = ∫ 𝑟 −2 𝑑𝑠 = ∫ 𝑟 −2 √𝑑𝑟 2 + 𝑟 2 𝑑𝜃 2 = ∫ 𝑟 −2 √1 + 𝑟 2 𝜃 ′ 2 𝑑𝑟.
58
Asumsi ini dikenal dengan prinsip Hamilton. Prinsipnya mengakatan bahwa setiap partikel
𝑡
ataukah sistem partikel selalu bergerak sedemikian rupa dengan 𝐼 = ∫𝑡 2 𝐿 𝑑𝑡 stasioner, dimana
1
𝐿 = 𝑇 − 𝑉 disebut sebagai Lagrangian; 𝑇 sebagai energi kinetik, dan 𝑉 adalah energi potensial
dari partikel atau sistem partikel.
Sebagai penerapan, misalkan sebuah partikel bergerak berada pada pengaruh gravitasi bumi
bermassa 𝑚. Menggunakan prsinsip Hamilton, persamaan geraknya dapat diperoleh. Pertama
tentukan energi kinetik 𝑇 dan energi potensial 𝑉 dari partikel
1 1
𝑇 = 𝑚𝑣 2 = 𝑚(𝑥̇ 2 + 𝑦̇ 2 + 𝑧̇ 2 ),
2 2
𝑉 = 𝑚𝑔𝑧,
dan Lagrangiannya
1
𝐿 = 𝑇 − 𝑉 = 𝑚(𝑥̇ 2 + 𝑦̇ 2 + 𝑧̇ 2 ) − 𝑚𝑔𝑧.
2
Perhatikan bahwa 𝑡 sebagai variabel bebas dan 𝑥, 𝑦, dan 𝑧 sebagai variabel bergantung, sementara
𝐿 adalah 𝐹 pada awal pembahasan. Untuk membuat 𝐼 = ∫ 𝐿 𝑑𝑡 stasioner, dituliskan persamaan
Euler untuk setiap variabel bergantung. Pada mekanika, persamaan Euler ini lebih dikenal dengan
persamaan Lagrange.
𝑑 𝜕𝐿 𝜕𝐿 𝑑 𝜕𝐿 𝜕𝐿 𝑑 𝜕𝐿 𝜕𝐿
− = 0, − = 0, − = 0.
𝑑𝑡 𝜕𝑥̇ 𝜕𝑥 𝑑𝑡 𝜕𝑦̇ 𝜕𝑦 𝑑𝑡 𝜕𝑧̇ 𝜕𝑧
Melakukan substitusi 𝐿 pada persamaan ini didapatkan
𝑑 𝑑 𝑑
(𝑚𝑥̇ ) = 0, (𝑚𝑦̇ ) = 0, (𝑚𝑧̇ ) + 𝑚𝑔 = 0,
𝑑𝑡 𝑑𝑡 𝑑𝑡
atau
𝑥̇ = 𝑘𝑜𝑠𝑛𝑡𝑎𝑛, 𝑦̇ = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛, 𝑧̈ = −𝑔.
Hal ini merupakan persamaan yang umum diperoleh pada kaidah Newton. Persamaannya
menyatakan bahwa pada medan gravitasi di dekat permukaan bumi, kecepatan horizontalnya
konstan dan percepatan vertikalnya adalah – 𝑔. Penerapan pada kasus ini mungkin terlihat
sederhana. Namun pada kasus yang lebih kompleks, persamaan ini akan menunjukkan
keunggulannya.
Penerapan lain adalah untuk menjabarkan gerak sebuah partikel pada kodinat polar dengan
variabel 𝑟 sebagai jejari dan 𝜃 sebagai sudut. Elemen dari panjangnya adalah 𝑑𝑠 dimana
𝑑𝑠 2 = 𝑑𝑟 2 + 𝑟 2 𝑑𝜃 2 ,
dan kecepatan partikel bergerak adalah 𝑑𝑠/𝑑𝑡, sehingga
59
𝑑𝑠 2 𝑑𝑟 2 𝑑𝜃 2
𝑣 = ( ) = ( ) + 𝑟 ( ) = 𝑟̇ 2 + 𝑟 2 𝜃̇ 2 .
2 2
𝑑𝑡 𝑑𝑡 𝑑𝑡
1
Energi kinetic kita ketahui adalah 2 𝑚𝑣 2 , maka
1
𝑇 = 𝑚(𝑟̇ 2 + 𝑟 2 𝜃̇ 2 ),
2
1
𝐿 = 𝑇 − 𝑉 = 𝑚(𝑟̇ 2 + 𝑟 2 𝜃̇ 2 ) − 𝑉(𝑟, 𝜃),
2
dengan 𝑉 (𝑟, 𝜃) sebagai energi potensial partikel. Persamaan Lagranga pada 𝑟 dan 𝜃 adalah
𝑑 𝜕𝐿 𝜕𝐿
− = 0,
𝑑𝑡 𝜕𝑟̇ 𝜕𝑟
𝑑 𝜕𝐿 𝜕𝐿
− =0.
𝑑𝑡 𝜕𝜃̇ 𝜕𝜃
Substitusi 𝐿 memberikan
𝑑 𝜕𝑉
(𝑚𝑟̇ ) − 𝑚𝑟𝜃̇ 2 + = 0,
𝑑𝑡 𝜕𝑟
𝑑 𝜕𝑉
(𝑚𝑟 2 𝜃̇ ) − = 0.
𝑑𝑡 𝜕𝜃
Persamaan gerak untuk 𝑟 adalah
𝜕𝑉
𝑚(𝑟̈ − 𝑟𝜃̇ 2 ) = − ,
𝜕𝑟
sementara untuk 𝜃 adalah
𝜕𝑉 1 𝜕𝑉
𝑚(𝑟 2 𝜃̈ + 2𝑟𝑟̇ 𝜃̇) = − → 𝑚(𝑟𝜃̈ + 2𝑟̇ 𝜃̇ ) = − .
𝜕𝜃 𝑟 𝜕𝜃
Kuantitas −𝜕𝑉/𝜕𝑟 dan −(1/𝑟) (𝜕𝑉/𝜕𝜃) adalah komponen dari gaya, 𝐅 = −𝛁𝑉, pada partikel
pada arah 𝑟 dan 𝜃. Persamaan tersebut adalah komponen dari 𝑚𝐚 = 𝐅; komponen percepatannya
adalah
Bagian kedua pada 𝑎𝑟 adalah percepatan sentripetal 𝑣 2 /𝑟 untuk 𝑣 = 𝑟𝜃̇ (tanda negatif
menandakan menuju titik awal). Bagian kedua pada 𝑎𝜃 disebut percepatan Coriolis.
60
𝑑𝐼
𝛿𝐼 = 𝑑𝜖,
𝑑𝜖
𝑑𝐼
dengan dievaluasi pada 𝜖 = 0. Simbol 𝛿 (dibaca “variasi dari”) diperlakukan sama sebagai
𝑑𝜖
operator diferensial untuk 𝐹, 𝑦, dan 𝑦 ′ . Sehingga, mengacu pada pembahasan sebelumnya,
𝑌(𝑥, 𝜖 ) = 𝑦(𝑥 ) = 𝜖𝜂 (𝑥 ),
𝑌 ′ (𝑥, 𝜖 ) = 𝑦 ′ (𝑥 ) + 𝜖𝜂′ (𝑥 ).
Maka makna dari 𝛿𝑦 adalah
𝜕𝑌
𝛿𝑦 = ( ) 𝑑𝜖 = 𝜂(𝑥 )𝑑𝜖 ;
𝜕𝜖 𝜖=0
hal ini mirip untuk diferensial 𝑑𝑌 jika 𝜖 sebagai variabel. Makna dari 𝛿𝑦 ′ adalah
′
𝜕𝑌 ′
𝛿𝑦 = ( ) 𝑑𝜖 = 𝜂′ (𝑥)𝑑𝜖 .
𝜕𝜖 𝜖=0
Hasil ini memberikan indikasi bahwa 𝛿𝐼 = 0, atau dengan kata lain variasi dari 𝐼 adalah nol.
61
DAFTAR PUSTAKA
[1]. K. F. Riley, M. P. Hobson, S.J. Bence, Mathematical Methods for Physics and
Engineering, 3rd Ed., Cambridge University Press, London, (2006)
[2]. Mary L. Boas, Mathematical Methods in The Physical Sciences, 3rd Ed., John Wiley and
Soons, New Jersey, (2006)
[3]. T.Surungan, Fisika Matematika, Vol. 1, Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan
Universitas Hasanuddin, Makassar, (2012)
62