Fajar Tandi (CM) - Dikonversi
Fajar Tandi (CM) - Dikonversi
Disusun Oleh:
PEMBIMBING KLINIK
dr. Seniwaty Ismail, SpKK, FINSDV
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan Refarat ini untuk menguraikan mengenai definisi,
etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang dan
pengobatan terhadap kusta dan reaksi kusta tipe 1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama menyerang saraf tepi dan kulit.4
World Health Organization (WHO) mengkasifikasikan kusta menjadi dua
kelompok yaitu kusta multibasiler (MB) dan kusta pausibasiler (PB). Pada kusta
pausibasiler, respon imun seluler berfungsi dengan baik, sedangkan pada kusta
multibasiler imunitas seluler buruk sehingga gagal untuk melisiskan M. leprae.6
2.2. Epidemiologi
Kusta termasuk dalam salah satu penyakit menular yang angka kejadiannya
masih tinggi, misalnya di India, Brazil, dan Indonesia. Pada tahun 2004-2014
Indonesia menempati peringkat ketiga dalam jumlah kasus kusta di dunia
setelah India dan Brazil. Penyakit kusta merupakan masalah nasional kesehatan
masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia, prevalens rate-nya masih
tinggi. Data dari Pusat Data dan Informasi mengenai Profil Kesehatan Indonesia
menunjukkan prevalensi penyakit kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per
10.000 penduduk. Morbus hansen dapat terjadi pada semua usia, baik laki-laki
maupun perempuan memiliki kemungkinan yang sama besar untuk menderita
penyakit ini.5
2.3. Etiologi
Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yaitu suatu basil tahan asam,
gram positif, obligat intraseluler yang tidak dapat dibiakkan. Bakteri ini dapat
tumbuh pada suhu 30°C, di bawah suhu tubuh manusia. Hal ini yang
menjelaskan lesi kusta lebih banyak di area tubuh yang lebih dingin.4
2.4. Patogenesis
Manifestasi klinis kusta tergantung dari imunitas seluler pejamu. Pada kusta
lepromatosa didapatkan kegagalan imunitas seluler dalam melawan M. leprae,
sehingga terjadi multiplikasi basil, penyebaran infeksi dan akumulasi antigen
pada jaringan yang terinfeksi. Tidak adanya limfosit dan makrofag yang
teraktivasi menyebabkan kerusakan saraf yang timbulnya lambat dan perlahan.
Pada kusta tuberkuloid, terjadi imunitas seluler dominan sehingga infeksi
terbatas pada satu atau beberapa lokasi pada kulit dan saraf tepi. Pasien
tuberkuloid mampu membentuk granuloma yang terdiri dari sel T-helper, di
mana pasien lepromatosa tidak mampu membentuk granuloma serta
didominansi oleh sel T-supresor. Di antara bentuk polar terdapat bentuk
borderline, dimana perluasan penyakit mencerminkan keseimbangan antara
imunitas seluler dan jumlah basil. Penyebaran hematogen dan multiplikasi basil
pada kusta lepromatosa terjadi pada lokasi yang dingin dan superfisial seperti
mata, saluran nafas atas, testis, otot dan tulang kecil pada tangan, kaki dan
wajah maupun saraf tepi dan kulit. Berbeda dengan kusta tuberkuloid,
multiplikasi basil terdapat pada beberapa lokasi dan terkadang basil tidak dapat
ditemukan.4
Gejala Kusta sendiri dibagi menjadi enam jenis berdasarkan tingkat keparahan
gejalanya, yaitu:
• Intermediate leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa lesi yang
tampak datar dan kadang sembuh dengan sendirinya, namun dapat
berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah.
• Tuberculoid leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa lesi yang
tampak datar di antaranya berukuran besar dan mati rasa. Beberapa saraf
dapat terkena. Tuberculoid leprosy dapat sembuh dengan sendirinya,
namun gejala ini bisa berlangsung cukup lama bahkan berkembang
menjadi jenis kusta yang lebih parah.
• Borderline tuberculoid leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa
lesi yang muncul serupa seperti lesi pada tuberculoid leprosy, namun
berukuran lebih kecil dan lebih banyak. Kusta jenis borderline
tuberculoid leprosy dapat bertahan lama bahkan dapat berubah menjadi
jenis tuberculoid dan menjadi jenis kusta yang lebih parah lagi.
Pembesaran saraf yang terjadi pada jenis ini hanya minimal.
• Mid-borderline leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan adanya plak
kemerahan, kadar mati rasa dalam kadar sedang serta terjadi
pembengkakan kelenjar getah bening. Mid-borderline leprosy dapat
sembuh, bertahan atau berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah
(get worse).
• Borderline lepromatous leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan lesi
yang berjumlah banyak (termasuk lesi datar), benjolan, plak, nodul, dan
terkadang mati rasa. Sama seperti mid-borderline leprosy, borderline
lepromatous leprosy dapat sembuh, bertahan, atau berkembang menjadi
jenis kusta yang lebih parah.
• Lepromatous leprosy. Jenis kusta ini paling parah ditandai dengan lesi
yang mengandung bakteri dan berjumlah banyak, rambut rontok,
gangguan saraf, anggota badan melemah serta tubuh yang berubah
bentuk (deformitas). Kerusakan (kecacatan) yang terjadi pada
lepromatous leprosy tidak dapat kembali seperti semula.7
B. Pemeriksaan Fisik
a. Didapatkan tiga tanda kardinal sebagai dasar untuk menegakkan
diagnosis penyakit kusta, berupa ditemukannya lesi kulit yang mati
rasa, penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi saraf, dan hasil
pemeriksaan BTA positif dari kerokan jaringan kulit (slit-skin
smear) pasien.8
b. Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit
Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa
raba. Periksalah dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak
lurus pada kelainan kulit yang dicurigai. Sebaiknya penderita duduk
pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan
bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya dengan kapas, ia
harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya,
menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari tangan
ke atas untuk bagian yang sulit dijangkau. Ini dikerjakan dengan
mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup
matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain/ karton.
Kelainan-kelainan di kulit diperiksa secara bergantian dengan kulit
yang normal disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya anestesi.
Anestesi pada telapak tangan dan kaki kurang tepat diperiksa
dengan kapas, gunakan ballpoint seperti dijelaskan pada bagian
pencegahan cacat.7
c. Pemeriksaan saraf
Raba dengan teliti saraf tepi berikut, saraf aurikularis magnus, saraf
ulnaris, saraf radialis, saraf medianus, saraf peroneus dan saraf
tibialis posterior (petugas harus memperhatikan raut muka penderita
apakah dia kesakitan atau tidak waktu saraf diraba). Kemudian
lakukan pemeriksaan terhadap fungsi-fungsi saraf tersebut. Bila
hasil pemeriksaan memenuhi kriteria penyakit kusta maka catat dan
gambar kelainan-kelainan yang ditemukan pada kartu penderita,
sesuai tanda-tanda yang telah ditentukan jumlahnya, besarnya dan
letaknya.7
Pada saat meraba saraf, perhatikan: (1) Apakah ada
penebalan/pembesaran. (2). Apakah saraf kiri dan kanan sama besar
atau berbeda. (3). Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf.7
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan penyakit
kusta salah satunya adalah pemeriksaan bakterioskopik, yaitu melalui
sediaan slit skin smear atau kerokan jaringan kulit yang kemudian
dilanjutkan dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. Bila diagnosis meragukan,
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi, serta pemeriksaan
serologi PGL-1 (Phenolic Glycolipid-1) atau PCR (Polymerase Chain
Reaction). Gambaran histopatologi dari kusta tipe tuberkuloid adalah
ditemukan granuloma tuberkuloid pada lapisan dermis yang terdapat
kelompok sel epiteloid dengan sel giant dan hanya didapatkan sedikit
gambaran basil. Untuk gambaran tipe lepromatosa didapatkan subepidermal
clear zone, ditemukan adanya gambaran sel busa dan ditemukan banyak
basil.4
Jumlah solid
x 100%
Jumlah solid + nonsolid
2.9. Penatalaksanaan
MDT atau Multidrug Therapy adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta,
yang salah satunya harus terdiri atas Rifampisin sebagai anti kusta yang sifatnya
bakterisid kuat dengan obat anti kusta lain yang bisa bersifat bakteriostatik.
Multy Drug Therapy (MDT) dapat menyembuhkan kusta dalam beberapa bulan.
Jika penderita diobati sedini mungkin segera setelah tanda pertama yang
merupakan gejala kusta muncul, kebanyakan penderita tidak akan mengalami
masalah serius dan dapat menjalani kehidupannya dengan utuh dan normal.
Multi Drug Treatment (MDT) merupakan regimen dari Rifampisin, Dapsone
dan Clofazime untuk MB dan regimen Rifampisin dan Dapsone untuk PB.
Pengobatan dilakukan selama 6-8 bulan untuk PB dan 12-16 bulan untuk MB
dan dapat dikerjakan pada faskes tingkat pertama.6,7
2.11. Komplikasi
Komplikasi utama kusta adalah kerusakan saraf tepi, insufisiensi vena, atau
skar. Sebanyak seperempat hingga sepertiga pasien kusta baru, sudah
mengalami kecacatan akibat kerusakan saraf yang ireversibel, terutama pada
tangan, kaki, dan mata. Adanya keratitis disebabkan karena mata kering,
intensitivitas kornea, dan lagoftamlmus. Insufisiensi vena terjadi akibat
kerusakan pada katup vena dalam sehingga menyebabkan dermatitis stasis dan
ulkus. Kerusakan sendi terjadi akibat hilangnya sensasi nyeri yang sifatnya
protektif. Keterlibatan saraf simpatis menyebabkan menurunnya hidrosis
sehingga menyebabkan keringnya telapak tangan dan kaki. Kombinasi berulang
inilah yang pada akhirnya menimbulkan siklus terjadinya trauma kulit.4
Patogenensis
Reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti
halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Infeksi Mycobacterium leprae (M.
leprae) dapat memicu ekspresi MCH kelas II pada permukaan sel. Hal ini akan
memicu limfosit CD4 membunuh sel terinfeksi dengan mediasi sitokin, seperti
TNF. Pada dasarnya rekasi tipe 1 terjadi akibat perubahan keseimbangan antara
imunitas dan basil; hasilnya dapat terjadi upgrading/reversal ataupun
downgrading. Reaksi tipe 1 ini diartikan reaksi reversal karena paling sering
dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan, sedangkan
downgrading reaction lebih jarang dijumpai karena berjalan lebih lambat dan
umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapatkan pengobatan.3
Gejala Klinis
Gejala berupa perubahan lesi kulit ataupun saraf akibat peradangan karena
antigen M. leprae terdapat pada saraf dan kulit, khususnya sel Schwan dan
makrofag. Manifestasi klinis lesi kulit berupa kemerahan, bengkak, nyeri dan
panas. Pada saraf dapat terjadi neuritis dan gangguan fungsi saraf. Gejala
konstitusi umumnya lebih ringan dibanding reaksi tipe 2.3
Pengobatan
Pasien kusta harus diedukasi mengenai risiko reaksi kusta tipe 1 saat
mendapatkan pengobatan MDT, sehingga dapat mencari pertolongan.
Pengobatan reaksi kusta tipe 1 bertujuan untuk mengatasi inflamasi akut, rasa
nyeri dan kerusakan saraf. Pengobatan MDT seharusnya dimulai atau
dilanjutkan pada pasien dengan reaksi kusta tipe 1 tanpa mengurangi dosis.
Pasien kusta tipe 1 ringan diobati dengan analgetik dan sedative bila perlu,
reaksi kusta tipe 1 berat diobati dengan kortikosteroid oral 30-40 mg setiap hari
selama satu bulan dan diturunkan 5 mg tiap bulan.3
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama menyerang saraf tepi dan kulit.
2. Reaksi kusta adalah episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta,
merupakan reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody
(humoral response) yang merugikan, terutama jika mengenai saraf tepi karena
menyebabkan gangguan fungsi (cacat)
3. Reaksi kusta dibagi menjadi 2, yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II.
4. Reaksi tipe 1 mempunyai ciri khas yaitu timbulnya inflamasi akut dari lesi
kulit atau saraf maupun keduan
5. Pengobatan MDT seharusnya dimulai atau dilanjutkan pada pasien dengan
reaksi kusta tipe 1 tanpa mengurangi dosis.
DAFTAR PUSTAKA