Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

“Beneran nggak pake otak nih yang mungut ini!” Revan tergelak setelah mengatakan

kalimat itu. Dia melempar sebuah tas berisi kotoran kucing yang digunakan untuk menjahili

orang yang lewat ke trotoar dekat sekolah. Aska, teman di sebelahnya, tersenyum puas

sebelum berkata, “Gile, brilian banget ide lo!”

Revan kembali tergelak. Dia dan Aska menutup hidung mereka dengan tangan dan

saling menatap sebelum pecah tawa mereka. Suasana sedang sepi sehingga tak ada yang

melihat aksi mereka. “Moga yang lewat si culun Tommy atau si killer Purnomo!” Revan

berkata di sela-sela tawanya, mengucapkan nama seorang siswa culun di sekolah mereka dan

nama seorang guru fisika killer yang mengajar mereka. Aska terkekeh geli mendengar

perkataan sohib kentalnya itu, “Gile lo, moga kita nggak bakal ke neraka gara-gara ini!”

“Neraka?” Revan nyeletuk sebelum dia dan Aska bertatapan dan berkata, “Emang

berani sama kita?” Kemudian keduanya tergelak.

Lalu, keduanya mendengar langkah kaki dari jauh. Aska dan Revan belingsatan

berlari menuju ke sebuah lorong kecil di belakang gedung sekolah mereka. Mereka

menunggu siapa yang lewat. Seorang gadis berkuncir kuda dengan berbagai macam atribut

lucu menghiasi tas, telinga dan rambutnya lewat dengan langkah ringan. Gadis itu menatap

dengan sorot mata heran ke arah tas yang tergeletak begitu saja di trotoar. Dia menoleh ke

kiri dan ke kanan sebelum mendekati tas itu dan bertanya-tanya siapa yang kehilangan benda

itu. Revan terkesiap sebelum nyeletuk, “Wah, sial tuh cewek. Nggak seru dah, kok bisa dia

yang kena!” Aska hanya diam saja seraya menatap cewek itu dengan berharap cemas semoga

si cewek mengabaikan tas itu. Namun, ternyata harapannya pupus, si cewek perlahan

menggerakkan tangannya menuju tas kecil berwarna oranye itu…


“Sial. Yang bener aja!” tiba-tiba Aska berkata dan setelahnya bergegas untuk memacu

kakinya menuju cewek berkuncir kuda itu. Revan kaget, tak menyangka Aska bakal berani

menggagalkan aksi mereka. Gadis itu menoleh merasakan kedatangan Aska dan seketika

Aska menutup mulutnya dengan tangan dan menyeretnya ke tempat persembunyian cowok

itu tadi. Revan terbelalak dengan tindakan Aska, tetapi Aska berkata, “Woy bantuin gue

megangin tangan cewek ini!” sehingga Revan spontan membantunya tanpa berpikir lagi.

Suara langkah kaki terdengar. Gadis itu masih memberontak karena mulutnya

dibungkam oleh tangan Aska dan kedua tangannya di jegal oleh kedua cowok itu. Seorang

cowok kurus berkacamata tebal melangkah perlahan dan seperti reaksi si cewek sebelumnya,

dia terheran-heran karena ada tas bagus teronggok di trotoar. Aska dan Revan terkikik.

“Beneran si Tommy akhirnya yang kena!” celetuk Aska seraya tertawa tertahan. Mata gadis

itu melebar, dia menoleh ke arah Tommy dan melihat Tommy merogoh tas itu, mungkin

berusaha menemukan barangkali ada data diri pemilik tas itu di dalamnya, tetapi tanpa

disangka cowok kurus itu, malahan dia menyentuh sesuatu yang lembut dan mencurigakan,

dia berteriak tertahan dan nyaris mengumpat saat melihat tangannya berlumuran kotoran

kucing. Aska dan Revan tergelak sampai Tommy menoleh karena mendengarnya. Menyadari

dia dikerjai orang macam kedua cowok itu, dia hanya bisa pasrah. Mana berani dia melawan

kedua cowok yang badannya jauh lebih besar darinya itu. Cewek yang dipojokkan kedua

cowok itu ke tembok menendang kaki Aska dan seketika tawa Aska berhenti diganti dengan

suara mengaduh yang nyaring. Aska tanpa sadar melepas tangannya dari mulut dan tangan

cewek itu begitu juga dengan Revan yang kaget dengan ulah sang cewek.

Plak! Sang cewek menampar pipi Aska sebelum berkata, “Lo berdua itu nggak punya

otak ya? Dasar cowok nggak punya kerjaan! Kerjanya jahilin orang aja!”
Revan tak terima kawannya ditampar menyahut, “Eh, lo tuh cewek yang nggak punya

otak! Kalo temen gue nggak nyeret lo ke sini! Lo yang bakalan kena!”

Gadis itu bungkam dengan sorot mata penuh kemarahan. Dia tak peduli dengan

perkataan Revan. Dia merasa bahwa perbuatan kedua cowok itu tetap salah. Gadis itu

berbalik dengan kesal dan berlari menjauh. Revan mengendus kesal dan berkata, “Bah! Gara-

gara cewek itu! Ngerusak mood aja!”

Sementara Aska hanya terdiam. Keningnya berkerut saat melihat sang gadis berlari

mengejar Tommy. Saat sang gadis berhasil menyamai langkah Tommy, dia mengeluarkan

sapu tangan kuning dari saku roknya dan memberikannya pada Tommy yang diterima cowok

itu dengan senyum kikuk. Aska hanya menatap dari jauh dengan air muka penasaran.

***

“Ayo! Dikit lagi!” seseorang menyeletuk saat seorang cewek mencoba menarik balok

uno stacko keluar dari formasinya. Beberapa remaja yang duduk mengelilingi meja kafe itu

menahan napas menunggu si cewek menarik balok mainan kekinian itu. Cewek itu

menampakkan ekspresi lucu karena gugup jika saja balok-balok plastik yang tersusun tinggi

itu bakal jatuh. Walau cewek itu sudah dengan perlahan menarik balok di tangannya, susunan

balok itu bergoyang diiringi suara-suara para remaja di sana yang berteriak “Aaaa!” dan

akhirnya susunan balok itu runtuh dan suara gelak tawa mengudara disertai ekspresi si cewek

yang cemberut lucu.

Hanya satu cowok yang tampaknya tak memberikan perhatian penuh dengan apa yang

terjadi di sana. Cowok bernama Aska itu seperti sedang memikirkan sesuatu yang lain. Sohib

kentalnya, Revan, segera menyadari hal itu dan menyeletuk, “Hoy Ka!, ngapain lo ngelamun

aja dari tadi?” Para remaja itu mulai terdiam dan menatap Aska. Aska agak gelagapan dilihat
seperti itu, tetapi dia hanya menjawab datar, “Siapa yang ngelamun? Orang gue lapar

nungguin pesanannya nggak dateng-dateng!”

Revan, yang tahu banyak tentang Aska tentu tahu bahwa sohibnya itu sedang

berbohong. Aska dan Revan sudah berteman sejak SMP sehingga tahu kapan Aska sedang

memikirkan sesuatu yang mungkin sedang mengganggu sohibnya itu, “Jangan bilang lo

mikirin cewek kemarin itu?”

Mata Aska melebar, tetapi cepat-cepat dia ubah air mukanya agar tak mengundang

banyak tanya sebelum berkata, “Bego! Cewek yang mana lagi!”

Teman-teman mereka langsung berisik. Mereka ingin tahu cewek mana yang

dimaksud Revan. Revan yang senang menjadi pusat perhatian langsung saja menceritakan

kejadian kemarin saat mereka pulang sekolah dan juga kejahilan mereka sampai ke kejadian

Aska ditampar oleh cewek itu.

“Beneran si hebat Aska ini ditampar?” seorang cowok menyeletuk dan para remaja itu

langsung berkata “Waaa…” Aska yang jelas-jelas merasa dipermalukan jadi ingin membela

diri dan berkata, “Tapi gue nggak mikirin cewek itu! Ngapain juga cewek kasar kayak gitu

dipikirin!” Revan tergelak karena Aska mengatakannya dengan pipi memerah disusul suara

gelak tawa teman-teman mereka yang lain. “Eh, namanya siapa sih? Kenalan nggak?”

seorang cewek berseru. Revan menjawab, “Ye kali. Orang atmosfernya udah nggak enak

kayak gitu. Boro-boro ken—”

Suara Revan terhenti dan dia menatap dengan mata membesar ke arah jalan raya

lewat jendela kafe. Dilihatnya cewek yang ia temui kemarin bersama Aska sedang berjalan di

trotoar dan tampaknya sedang bersama sang adik perempuan. Mulut Revan membulat

membentuk huruf “O” sebelum berucap, “Panjang umur nih cewek, tuh yang mau tahu siapa

cewek yang kumaksud!” Para remaja lain celingak-celinguk menatap telunjuk Revan tertuju,
bahkan satu persatu mulai berlari menuju ke jendela kafe untuk melihat lebih dekat. “Woy

Van, yang pake baju kuning itu?” celetuk seorang cowok diantara mereka. Revan

mengangguk dan berlari menyusul mereka. Aska menoleh dan berjalan pelan menuju jendela

kafe. Dari wajahnya, dia tampak penasaran dengan apa yang terjadi, tetapi dia berusaha tak

terlalu menunjukkannya.

Para remaja lain ribut di balik jendela kafe ketika melihat cewek yang dimaksud

Revan. Seorang cowok diantara mereka berseru, “Cantik Oy! Waa, cewek yang jalan di

sebelahnya imut jugaa!” Salah seorang cewek menyeletuk, “Hoo, Ana ya!” yang mana

seketika para remaja lain menoleh ke cewek tersebut dan menghujani banyak pertanyaan

pada sang cewek. “Eh, lo kenal cewek itu?”, “Gila, temen lo? Cantik Banget!” , “Eh, bisa

kenalin ke gue nggak?” Si cewek yang pembawaannya cuek itu menjawab enteng, “Iya, dia

anak baru di sekolah. Baru aja gabung klub cheerleader. Satu klub kita berdua.”

Di belakang para remaja itu, Aska menaikkan alisnya sebelah. Dia mendengar seluruh

ocehan teman-temannya. Kenyataannya dia cukup tertarik dengan apa yang mereka

perbincangkan. Seorang cowok berseru, “Namanya Ana ya? Cantik kayak orangnya…”

dimana cowok itu langsung disorak “Huu…” sebelum timbul gelak tawa dari para remaja

lainnya. Seorang cowok lain menyeletuk, “Eh, ajakin aja dia nongkrong bareng kita!

Gimana?” kemudian seketika mereka menoleh pada Aska yang langsung memasang tampang

heran, “Apa?” ujarnya kemudian. Teman-temannya langsung geleng-geleng kepala sampai

seseorang berkata, “Lo aja lagi Ka yang ngajakin! Kan lo udah sentuh-sentuhan sama dia!”

Aska langsung menolak, “Kampret lo! Sentuh-sentuhan apa! Orang gue ditampar!”

Revan tersenyum dan perlahan berjalan menuju ke arah Aska sebelum menepuk

pundak sohibnya itu, “Kan cuma ngajakin nongkrong Ka. Nggak ngajakin kawin atau apa!

Ayolah!”
Aska semakin bingung setelah mendengar kata-kata dari Revan apalagi berpasang-

pasang mata menatapnya dengan pandangan berharap dan setengah memaksa. Aska menelan

ludah dan berkata, “Oke, tapi gue nggak janji dia bakalan mau ya!” teman-temannya yang

lain berseru, “Halah, lo kayak menyerah sebelum berperang!” , “Nggak bakalan ditolak!

Percaya deh! Apalagi gara-gara tampang lo itu!” , “Kejar terus Ka!” Aska hanya bisa pasrah

saat didorong-dorong temannya menuju pintu dan dia nyaris terjungkal setelah didorong

keluar walau bisa menyeimbangkan tubuh tingginya itu. Aska menghela napas kesal seraya

menatap Ana dan adiknya yang sedang membeli ice cream di pinggir jalan. Dia menoleh

kepada kawan-kawannya yang berjubel di pintu. Tangannya bergerak menggaruk-garuk

kepalanya yang tak gatal. Kawan-kawannya memberi semangat kepada Aska yang kembali

menoleh ke arah Ana dan adik perempuannya dengan menghela napas kesal. Aska menarik

napas dan menghembuskannya perlahan sebelum berteriak, “Woy, lo cewek pakai baju

kuning! Mau nongkrong nggak sama kita?”

Boro-boro Ana menoleh, yang ada malah adiknya yang menoleh dan menatap heran

seorang cowok tampan sedang berteriak di seberang jalan. Sang adik menatap baju sang

kakak yang berwarna kuning dan berguman, eh, kakak gue kali yang dimaksud ya? tetapi dia

tak segera memberi tahu kakaknya karena dirinya sendiri belum yakin dengan dugaannya.

Aska menghela napas dan menoleh ke arah teman-temannya yang komat-kamit

menyemangatinya. Dia menghentakkan kakinya ke tanah dengan kesal sebelum kembali

berteriak, “Woy, lo budek ha? Gue bilang cewek baju kuning mau nggak nongrong bareng

kita?”

Adik perempuan Ana melebarkan matanya, jelas-jelas mata cowok tampan itu tertuju

pada kakaknya. Sang adik kemudian menyikut Ana seraya berbisik, “Eh, ada cowok keren

neriakin lo Kak!” Ana menoleh ke arah adiknya seraya mengernyitkan keningnya. “Apaan?”
si adik memutar bola matanya dan membisikkan sebuah kalimat ke telinga kakaknya,

“Cowok di seberang neriakin lo dari tadi!”

Ana menoleh perlahan untuk mengetahui siapa cowok yang dimaksud adiknya. Aska

tanpa sadar tersenyum lebar karena usahanya meneriaki si cewek akhirnya membuahkan

hasil, dia melambai ke arah si cewek. Mata Ana melebar. Aska kembali berteriak, “Eh, lo

yang baju kuning! Mau nggak nongkrong sama kita?”

Adik Ana terkekeh geli sebelum menyeletuk, “Gila lo Kak, baru pindah aja, udah

dapat cowok! Keren!” Ana menoleh seraya melotot ke arah adiknya. “Cowok pala lo! Musuh

gue yang ada!” Adik Ana berhenti terkekeh dan bertanya dengan nada heran, “Lha, ngapain

lo diajak nongkrong kalo gitu?”

Ana tidak menggubris perkataan adiknya. Dia membayar ice creamnya cepat-cepat ke

abang tukang ice cream dan berbalik menghadap Aska yang berada di seberang jalan seraya

berteriak, “Mimpi aja lo!”

Tergelaklah teman-teman Aska karena cowok itu ditolak ajakannya oleh Ana. Aska

yang merasa malu tersulut amarahnya dan kembali berteriak, “Terserah lo! Gue cuma disuruh

temen-teman gue!”

Ana membelalak lebar karena kesal. Dia berbalik seraya menarik tangan adiknya yang

diam-diam tersenyum-senyum menatap Aska. Kedua cewek itu pun pergi sementara Aska

yang bersungut-sungut kembali menuju ke arah kafe disambut gelak tawa dan sorakan teman-

temannya.
BAB 2

Aska keluar dari kolam renang. Dia dan teman-temannya baru saja mengikuti ekskul

renang. Aska memang jago renang. Dia merintis bakat renangnya sudah sejak kecil. Teman-

temannya mengakui kehebatan Aska dalam berenang. Kecepatan Aska dalam renang

memang patut diacungi jempol. Berbagai piala kejuaraan renang telah diperolehnya sejak SD.

Namun, Aska hanya menjadikan renang sebagai wadah untuk bersenang-senang. Walau dia

punya bakat yang cukup mumpuni di cabang olahraga tersebut, dia tak memutuskan untuk

menjadikannya sebagai karier.

Cewek-cewek dari pinggir lapangan memandangi Aska yang sibuk mengelap

tubuhnya dengan handuk kecil seraya terkikik mengagumi dada bidang Aska. Aska baru saja

menginjak usia enam belas tahun dan baru kelas satu SMA, tetapi perwakannya sudah tinggi

dan gagah. Didukung oleh kemampuan renangnya dan genetisnya yang bagus Aska termasuk

cowok populer di sekolahnya. Aska melenggang santai hendak menuju ruang ganti saat tiba-

tiba saja tubuhnya terasa lemas. Dia oleng dan hampir saja jatuh kalau saja tak berpegangan

pada tembok. Beberapa kawan yang melihatnya segera berlari ke arahnya seraya berkata,

“As, lo nggak apa-apa?” , “Ka, lo oleng Bro! Yakin lo nggak apa-apa?” dan pertanyaan lain

yang menunjukkan rasa khawatir mereka.

Aska tampak kebingungan. Dia juga tak tahu mengapa tubuhnya tiba-tiba teras lemas.

Namun, cepat-cepat dia ubah ekspresi wajahnya dan tersenyum lebar agar teman-temannya

tak terlalu bertanya-tanya. “Ah, nggak apa-apa! Gue belum makan dari tadi!” Aska

menyeplos sekenanya. Teman-temannya langsung tertawa. Seseorang menyeletuk, “Kirain lo

mabuk kolam renang, Ka!” dimana langsung disambut gelak tawa yang lain. Teman-
temannya menepuk bahu Aska dan melenggang pergi seraya mengingatkannya untuk makan.

Aska hanya mengacungkan jempolnya dan tersenyum lebar. Namun, tanpa sepengatahuan

teman-temannya, saat Aska kembali berjalan menuju ruang ganti, dirasakannya sesuatu yang

aneh di mulutnya. Aska meneruskan langkahnya cepat-cepat, kali ini menuju kamar mandi.

Dia menyadari hidungnya mengeluarkan darah saat berdiri di depan kaca di dekat wastafel

kamar mandi. Aska bergumam, “Apaan sih, gue capek banget apa ya?” sebelum

membersihkan darah yang mengucur dari hidungnya dengan air keran yang mengalir.

Dilihatnya tangannya gemetar dan dirasakan peluh membasahi keningnya. Aska lagi-lagi

bergumam, “Apaan sih? Kayak cewek aja gue. Gampang mimisan.”

Setelah darah dari hidung Aska berhenti. Aska keluar dari kamar mandi untuk ke

kamar ganti dimana ia meninggalkan pakaiannya di sana. Saat di ruang ganti, seseorang

menepuk bahunya, “Ka, lo mau nongkrong dulu nggak sebelum pulang?” Namun, tanpa

diduga sang kawan, Aska hanya diam sambil terus mengancingkan kancing bajunya. Sang

kawan mengernyitkan keningnya dan kembali berkata pada Aska, “Woy, ka? Lo nggak apa-

apa?” Aska tersadar dan menoleh ke arah kawannya, melihat wajah temannya yang heran

Aska memaksakan senyum, “Gue udah ada janji. Gue langsung cabut aja ya!” Sang kawan

menyeringai sebelum selanjutnya berkata, “Woy, lo udah punya pacar? Gila lo! Mau pacaran

dulu ya lo!” Aska hanya tertawa mendengarnya sebelum ekspresi wajahnya berubah

sepeninggalnya kawannya tersebut. Aska merasa dia butuh istirahat karena badannya terasa

hangat dan tubuhnya begitu lelah.

Ketika berjalan di koridor sekolah dengan tas yang dia selempangkan di bahunya,

Aska merasakan kepalanya pening luar biasa tetapi dia berusaha tak menunjukkannya dengan

bertingkah seolah tak terjadi apa-apa saat disapa kawan-kawannya. Saat hampir tiba di

parkiran, matanya tak sengaja bertatapan dengan seorang gadis yang tak lain dan tak bukan

adalah Ana, cewek yang pernah menolak ajakannya nongkrong tempo lalu. Gadis itu
mendengus kesal dan dengan menghentak-hentakkan kakinya dia berjalan mendekati Aska

dan kemarahannya membuncah, “Eh, lo bisa nggak sih ngga ganggu gue? Pake ngajak-ngajak

gue nongkrong lagi kemaren!” Aska hanya diam dan menatap datar cewek itu. Dia menatap

cewek cantik yang cemberut di hadapannya dan merasa tingkah cewek itu memang tak patut

di salahkan. Dia sendiri yang melibatkan cewek itu ke dalam masalahnya semenjak

pertemuan pertama mereka. Namun, bukan Aska namanya yang mau mengakui

kesalahannya, Aska membuka mulutnya dan berkata, “Heh, lo nggak usah kepedean! Gue

gitu bukan karena tertarik sama lo!” Mata cewek itu melebar setengah tak percaya. Berani-

beraninya cowok rese di depannya itu menganggapnya kepedean. Karena kesal, Ana

mendorong keras dada Aska yang mana cowok itu oleng sebelum kemudian dirinya

melenggang pergi dengan bersungut-sungut. “Bruk!!” Ana mendengar bunyi jatuh sesuatu

dari belakang. Dia menoleh dan menatap kaget Aska yang jatuh tak sadarkan diri di lantai.

Walau Ana tak menyukai cowok itu, dia tak bisa membiarkan orang pingsan begitu saja tanpa

memberi pertolongan. Ana berlari dan berjongkok di dekat Aska dan menggoyang-

goyangkan bahu cowok itu dengan panik. Ana berteriak meminta tolong agar siapa pun bisa

membantunya membawa Aska ke UKS. Namun, suasana sekolah sudah sepi. Ana pun

berinisiatif untuk berlari ke parkiran karena barangkali ada murid-murid yang belum pulang.

Untungnya, dia melihat segerombolan remaja yang notabene teman-teman Aska, sedang

berada di parkiran dan hendak pulang. Setelah sambil terengah-engah menjelaskan

kejadiannya, mereka semua berlari menuju tempat Aska. Setengah panik, mereka segera

menggotong Aska ke UKS dimana untungnya dokter UKS belum pulang.

***

Saat Aska terbangun dia melihat berpasang-pasang mata melihatnya dengan heran

sekaligus cemas. Seorang cowok berseru, “Eh, lo yakin nggak apa-apa? Muka lo udah kayak

kapur!” Aska memaksakan diri duduk. Tubuhnya masih terasa begitu lelah, tetapi tak separah
sebelumnya. Aska menyahut, “Nggak apa-apa! Capek aja kali!” Kemudian, seorang cowok

lain menyeletuk, “Untung aja lo dibawa ke sini! Cewek itu berjasa banget!” Aska

mengerutkan keningnya. Kemudian, seorang cewek menjelaskan, “Iya, Ka. Kalo cewek itu

nggak nyari kami ke parkiran, nggak ada yang bawa lo ke sini. Itu lho, Ana!” Aska terdiam.

Teman-temannya heran karena tak bisa menebak isi pikirannya. Kemudian Aska membuka

mulutnya, “Dimana cewek itu?” Seorang cewek menyahut, “Udah keluar sih tadi, katanya

mau pulang.” Tanpa diduga mereka Aska langsung bangkit dari ranjang UKS. Beberapa dari

temannya mencegahnya untuk pergi, salah satu dari mereka berkata, “Woy, Ka. Lo kan baru

sadar! Gue temenin deh di sini dulu!” Aska tak menjawab. Dia mengambil tasnya di pojok

ruangan yang sebelumnya dibawa salah seorang temannya ke UKS dan berkata, “Thanks

guys. Gue cabut dulu!” Kemudian, Aska mengangguk sopan kepada dokter UKS. Dia

mengabaikan teman-temannya yang memanggil namanya dan setengah berlari dia menuju

parkiran. Aska merasakan peluhnya membanjiri tubuhnya, tetapi setidaknya dia masih sadar.

Dengan terengah-engah ia menoleh ke kanan dan ke kiri dan mencari keberadaan Ana, tetapi

cewek itu tak terlihat batang hidungnya. Aska segera menuju ke motornya, memakai helm,

naik dan meninggalkan area parkir. Di tengah jalan dekat sekolah, dia melihat Ana berjalan

pelan setengah melamun di trotoar. Aska segera menepikan motornya dan membuka

helmnya. Cowok itu berkata, “Hoy! Lo kok udah balik aja!”

Ana tersadar dari lamunannya. Dirinya sebenarnya memikirkan keadaan Aska karena

merasa bersalah telah memukul cowok ittu. Dirinya sungguh tak tahu Aska sedang sakit dan

main pukul aja. Ana melihat Aska sudah sadar dan merasa cukup lega. Setidaknya cowok itu

tidak gegar otak atau sebagainya gara-gara jatuh pingsan. Walau dia menganggap Aska

cukup angkuh, dia tak sampai ke taraf ingin mencelakakan cowok itu.

Aska berdehem dan berkata, “Gue…” Cowok itu seperti berat dengan apapun yang

hendak dikatakannya. Ana mengerutkan keningnya heran. Baru pertama kali dia melihat
cowok di hadapannya ini salah tingkah. Ana menyeletuk, “Apaan? Gue mau balik!” Aska

akhirnya berkata dengan sedikit jengah, “Gue mau bilang makasih!”

Ana setengah menganga mendengar ucapan yang keluar dari bibir Aska. Ho… cowok

sombong kayak gini bisa bilang makasih juga ya!, pikir Ana. Ana pun menyahut, “Jangan

salah paham ya! Gue nolong lo bukan berarti tertarik ke lo!” Ana sadar dia sudah membalas

perlakuan Aska. Biar nyadar kalo dia salah!, pikir gadis itu. Saat Ana melenggang pergi,

Aska mengejarnya dengan motor miliknya seraya berteriak, “Oi, oi! Tunggu!” Ana memutar

bola matanya dan berhenti berjalan. “Apa lagi?” Aska berdehem dan berkata, “Gue orangnya

nggak mau terima pertolongan gitu aja. Gue harus balas jasa siapapun yang nolong gue!” Ana

berkacak pinggang dan berkata, “Emang lo mau balas gue sama apa?” Aska mengerutkan

keningnya. Dia juga sebenarnya bingung kenapa dirinya berkata seperti itu. Dia hanya tak

mau Ana pergi begitu saja setelah gadis itu menolongnya. Aska akhirnya berkata, “Gue laper.

Kayaknya gue pingsan gara-gara kelaperan. Lo mau gue traktir nggak?” Ana mengerutkan

keningnya. Ni cowok modus atau apa?, alarm pertahanannya bersuara di otaknya. Ana

menjawab, “Ogah ah. Lo kan bisa makan sendiri.” Aska masih belum bisa melepaskan Ana

pergi begitu saja. Dia merasa berhutang budi pada gadis itu. “Jangan salah paham. Gue begini

ke setiap orang yang pernah bantu gue,” ujar Aska kemudian. Ana menatap wajah pucat Aska

dan tangan cowok itu yang gemeteran. Gimana kalo cowok ini pingsan lagi? Duh, kok malah

gue sih yang repot? Emang gue siapanya dia? Akhirnya Ana memutuskan, “Oke, tapi

dengan syarat. Gue nggak mau naik motor lo. Kita jalan aja. Nyari tempatnya yang deket

aja.” Aska mengangguk dan tersenyum miring. Setidaknya gue impas sama cewek ini,

pikirnya.

Ana mencoba menyamai langkah-langkah lebar Aska yang berjalan sambil menuntun

motornya. Badan Ana yang kecil harus berusaha lebih untuk menyamai langkah cowok tinggi

itu. Aska hanya diam saja dan pandangan matanya seperti kurang fokus. Ni cowok nggak
apa-apa? Pikir Ana. Aska tiba-tiba berhenti dan Ana segera mengerem langkahnya. Ana

menoleh ke arah Aska memandang dan dilihatnya sebuah warung mie ayam. Aska menoleh

ke arah Ana dan cowok itu tersenyum lebar, “Lo suka mie ayam nggak? Kita makan di sini

aja ya!” Ana mengangguk. Keduanya pun memasuki warung itu dan memesan dua mangkok

mie ayam. Saat mie ayam mereka datang, Aska memakannya dengan lahap. Ana berpikir, ni

orang suka banget makan mie ayam. Aska melirik Ana dan berkata, “Gue suka banget mie

ayam. Di sini mie ayamnya paling enak.” Ana mengangguk-angguk saja, Dirinya sebenarnya

tak terlalu lapar, tetapi entah mengapa tak enak membiarkan cowok yang baru pingsan dan

kelaparan begitu saja sehingga dia meng-iya-kan saja ajakan Aska. Kemudian, saat Ana

makan seraya melihat Aska yang makan dengan lahap, ponsel gadis itu berdering. Ana

mengangkat telponnya dan berkata, “Iya, iya, gue balik! Tenang aja! Sempet kok!” Ana

menutup ponselnya dan memakai tasnya. Aska menghentikan kegiatan makannya dan

berkata, “Lo mau balik?” Ana mengangguk. “Iya, gue harus nyiapin ulang tahun bibi gue.

Adik gue udah bawel nyuruh gue pulang.” Aska terdiam, cepet banget, pikirnya. Ana berdiri,

mengucapkan terima kasih pada Aska dan berbalik pergi sementara cowok itu menatap

kepergiannya seraya menghela napas.

***
BAB 3

Anda mungkin juga menyukai

  • PULANG
    PULANG
    Dokumen2 halaman
    PULANG
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Tugas Istri
    Tugas Istri
    Dokumen1 halaman
    Tugas Istri
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Cetak
    Cetak
    Dokumen1 halaman
    Cetak
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Souvenir
    Souvenir
    Dokumen1 halaman
    Souvenir
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Plot Stay With You
    Plot Stay With You
    Dokumen3 halaman
    Plot Stay With You
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Otentik Novel
    Otentik Novel
    Dokumen4 halaman
    Otentik Novel
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • PLOT
    PLOT
    Dokumen1 halaman
    PLOT
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Novel 2
    Novel 2
    Dokumen1 halaman
    Novel 2
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • MARTAPURA
    MARTAPURA
    Dokumen2 halaman
    MARTAPURA
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Novel 3
    Novel 3
    Dokumen10 halaman
    Novel 3
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • CSR
    CSR
    Dokumen3 halaman
    CSR
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Tips Lolos D4
    Tips Lolos D4
    Dokumen2 halaman
    Tips Lolos D4
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Plot Novel Islami
    Plot Novel Islami
    Dokumen1 halaman
    Plot Novel Islami
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Cahaya Matamu Bersinar Di Awal Hari
    Cahaya Matamu Bersinar Di Awal Hari
    Dokumen5 halaman
    Cahaya Matamu Bersinar Di Awal Hari
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Essay
    Essay
    Dokumen5 halaman
    Essay
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Tips Menulis Novel
    Tips Menulis Novel
    Dokumen3 halaman
    Tips Menulis Novel
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Novel Islami
    Novel Islami
    Dokumen1 halaman
    Novel Islami
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Sinopsis - Premis - 3 Bab Pertama - Ephemeral
    Sinopsis - Premis - 3 Bab Pertama - Ephemeral
    Dokumen33 halaman
    Sinopsis - Premis - 3 Bab Pertama - Ephemeral
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • KWC 4
    KWC 4
    Dokumen2 halaman
    KWC 4
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Nadia Amalia - Tragedi Melati
    Nadia Amalia - Tragedi Melati
    Dokumen6 halaman
    Nadia Amalia - Tragedi Melati
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat