Alaska Dan Andromeda
Alaska Dan Andromeda
“Beneran nggak pake otak nih yang mungut ini!” Revan tergelak setelah mengatakan
kalimat itu. Dia melempar sebuah tas berisi kotoran kucing yang digunakan untuk menjahili
orang yang lewat ke trotoar dekat sekolah. Aska, teman di sebelahnya, tersenyum puas
Revan kembali tergelak. Dia dan Aska menutup hidung mereka dengan tangan dan
saling menatap sebelum pecah tawa mereka. Suasana sedang sepi sehingga tak ada yang
melihat aksi mereka. “Moga yang lewat si culun Tommy atau si killer Purnomo!” Revan
berkata di sela-sela tawanya, mengucapkan nama seorang siswa culun di sekolah mereka dan
nama seorang guru fisika killer yang mengajar mereka. Aska terkekeh geli mendengar
perkataan sohib kentalnya itu, “Gile lo, moga kita nggak bakal ke neraka gara-gara ini!”
“Neraka?” Revan nyeletuk sebelum dia dan Aska bertatapan dan berkata, “Emang
Lalu, keduanya mendengar langkah kaki dari jauh. Aska dan Revan belingsatan
berlari menuju ke sebuah lorong kecil di belakang gedung sekolah mereka. Mereka
menunggu siapa yang lewat. Seorang gadis berkuncir kuda dengan berbagai macam atribut
lucu menghiasi tas, telinga dan rambutnya lewat dengan langkah ringan. Gadis itu menatap
dengan sorot mata heran ke arah tas yang tergeletak begitu saja di trotoar. Dia menoleh ke
kiri dan ke kanan sebelum mendekati tas itu dan bertanya-tanya siapa yang kehilangan benda
itu. Revan terkesiap sebelum nyeletuk, “Wah, sial tuh cewek. Nggak seru dah, kok bisa dia
yang kena!” Aska hanya diam saja seraya menatap cewek itu dengan berharap cemas semoga
si cewek mengabaikan tas itu. Namun, ternyata harapannya pupus, si cewek perlahan
kakinya menuju cewek berkuncir kuda itu. Revan kaget, tak menyangka Aska bakal berani
menggagalkan aksi mereka. Gadis itu menoleh merasakan kedatangan Aska dan seketika
Aska menutup mulutnya dengan tangan dan menyeretnya ke tempat persembunyian cowok
itu tadi. Revan terbelalak dengan tindakan Aska, tetapi Aska berkata, “Woy bantuin gue
megangin tangan cewek ini!” sehingga Revan spontan membantunya tanpa berpikir lagi.
Suara langkah kaki terdengar. Gadis itu masih memberontak karena mulutnya
dibungkam oleh tangan Aska dan kedua tangannya di jegal oleh kedua cowok itu. Seorang
cowok kurus berkacamata tebal melangkah perlahan dan seperti reaksi si cewek sebelumnya,
dia terheran-heran karena ada tas bagus teronggok di trotoar. Aska dan Revan terkikik.
“Beneran si Tommy akhirnya yang kena!” celetuk Aska seraya tertawa tertahan. Mata gadis
itu melebar, dia menoleh ke arah Tommy dan melihat Tommy merogoh tas itu, mungkin
berusaha menemukan barangkali ada data diri pemilik tas itu di dalamnya, tetapi tanpa
disangka cowok kurus itu, malahan dia menyentuh sesuatu yang lembut dan mencurigakan,
dia berteriak tertahan dan nyaris mengumpat saat melihat tangannya berlumuran kotoran
kucing. Aska dan Revan tergelak sampai Tommy menoleh karena mendengarnya. Menyadari
dia dikerjai orang macam kedua cowok itu, dia hanya bisa pasrah. Mana berani dia melawan
kedua cowok yang badannya jauh lebih besar darinya itu. Cewek yang dipojokkan kedua
cowok itu ke tembok menendang kaki Aska dan seketika tawa Aska berhenti diganti dengan
suara mengaduh yang nyaring. Aska tanpa sadar melepas tangannya dari mulut dan tangan
cewek itu begitu juga dengan Revan yang kaget dengan ulah sang cewek.
Plak! Sang cewek menampar pipi Aska sebelum berkata, “Lo berdua itu nggak punya
otak ya? Dasar cowok nggak punya kerjaan! Kerjanya jahilin orang aja!”
Revan tak terima kawannya ditampar menyahut, “Eh, lo tuh cewek yang nggak punya
otak! Kalo temen gue nggak nyeret lo ke sini! Lo yang bakalan kena!”
Gadis itu bungkam dengan sorot mata penuh kemarahan. Dia tak peduli dengan
perkataan Revan. Dia merasa bahwa perbuatan kedua cowok itu tetap salah. Gadis itu
berbalik dengan kesal dan berlari menjauh. Revan mengendus kesal dan berkata, “Bah! Gara-
Sementara Aska hanya terdiam. Keningnya berkerut saat melihat sang gadis berlari
mengejar Tommy. Saat sang gadis berhasil menyamai langkah Tommy, dia mengeluarkan
sapu tangan kuning dari saku roknya dan memberikannya pada Tommy yang diterima cowok
itu dengan senyum kikuk. Aska hanya menatap dari jauh dengan air muka penasaran.
***
“Ayo! Dikit lagi!” seseorang menyeletuk saat seorang cewek mencoba menarik balok
uno stacko keluar dari formasinya. Beberapa remaja yang duduk mengelilingi meja kafe itu
menahan napas menunggu si cewek menarik balok mainan kekinian itu. Cewek itu
menampakkan ekspresi lucu karena gugup jika saja balok-balok plastik yang tersusun tinggi
itu bakal jatuh. Walau cewek itu sudah dengan perlahan menarik balok di tangannya, susunan
balok itu bergoyang diiringi suara-suara para remaja di sana yang berteriak “Aaaa!” dan
akhirnya susunan balok itu runtuh dan suara gelak tawa mengudara disertai ekspresi si cewek
Hanya satu cowok yang tampaknya tak memberikan perhatian penuh dengan apa yang
terjadi di sana. Cowok bernama Aska itu seperti sedang memikirkan sesuatu yang lain. Sohib
kentalnya, Revan, segera menyadari hal itu dan menyeletuk, “Hoy Ka!, ngapain lo ngelamun
aja dari tadi?” Para remaja itu mulai terdiam dan menatap Aska. Aska agak gelagapan dilihat
seperti itu, tetapi dia hanya menjawab datar, “Siapa yang ngelamun? Orang gue lapar
Revan, yang tahu banyak tentang Aska tentu tahu bahwa sohibnya itu sedang
berbohong. Aska dan Revan sudah berteman sejak SMP sehingga tahu kapan Aska sedang
memikirkan sesuatu yang mungkin sedang mengganggu sohibnya itu, “Jangan bilang lo
Mata Aska melebar, tetapi cepat-cepat dia ubah air mukanya agar tak mengundang
Teman-teman mereka langsung berisik. Mereka ingin tahu cewek mana yang
dimaksud Revan. Revan yang senang menjadi pusat perhatian langsung saja menceritakan
kejadian kemarin saat mereka pulang sekolah dan juga kejahilan mereka sampai ke kejadian
“Beneran si hebat Aska ini ditampar?” seorang cowok menyeletuk dan para remaja itu
langsung berkata “Waaa…” Aska yang jelas-jelas merasa dipermalukan jadi ingin membela
diri dan berkata, “Tapi gue nggak mikirin cewek itu! Ngapain juga cewek kasar kayak gitu
dipikirin!” Revan tergelak karena Aska mengatakannya dengan pipi memerah disusul suara
gelak tawa teman-teman mereka yang lain. “Eh, namanya siapa sih? Kenalan nggak?”
seorang cewek berseru. Revan menjawab, “Ye kali. Orang atmosfernya udah nggak enak
Suara Revan terhenti dan dia menatap dengan mata membesar ke arah jalan raya
lewat jendela kafe. Dilihatnya cewek yang ia temui kemarin bersama Aska sedang berjalan di
trotoar dan tampaknya sedang bersama sang adik perempuan. Mulut Revan membulat
membentuk huruf “O” sebelum berucap, “Panjang umur nih cewek, tuh yang mau tahu siapa
cewek yang kumaksud!” Para remaja lain celingak-celinguk menatap telunjuk Revan tertuju,
bahkan satu persatu mulai berlari menuju ke jendela kafe untuk melihat lebih dekat. “Woy
Van, yang pake baju kuning itu?” celetuk seorang cowok diantara mereka. Revan
mengangguk dan berlari menyusul mereka. Aska menoleh dan berjalan pelan menuju jendela
kafe. Dari wajahnya, dia tampak penasaran dengan apa yang terjadi, tetapi dia berusaha tak
terlalu menunjukkannya.
Para remaja lain ribut di balik jendela kafe ketika melihat cewek yang dimaksud
Revan. Seorang cowok diantara mereka berseru, “Cantik Oy! Waa, cewek yang jalan di
sebelahnya imut jugaa!” Salah seorang cewek menyeletuk, “Hoo, Ana ya!” yang mana
seketika para remaja lain menoleh ke cewek tersebut dan menghujani banyak pertanyaan
pada sang cewek. “Eh, lo kenal cewek itu?”, “Gila, temen lo? Cantik Banget!” , “Eh, bisa
kenalin ke gue nggak?” Si cewek yang pembawaannya cuek itu menjawab enteng, “Iya, dia
anak baru di sekolah. Baru aja gabung klub cheerleader. Satu klub kita berdua.”
Di belakang para remaja itu, Aska menaikkan alisnya sebelah. Dia mendengar seluruh
ocehan teman-temannya. Kenyataannya dia cukup tertarik dengan apa yang mereka
perbincangkan. Seorang cowok berseru, “Namanya Ana ya? Cantik kayak orangnya…”
dimana cowok itu langsung disorak “Huu…” sebelum timbul gelak tawa dari para remaja
lainnya. Seorang cowok lain menyeletuk, “Eh, ajakin aja dia nongkrong bareng kita!
Gimana?” kemudian seketika mereka menoleh pada Aska yang langsung memasang tampang
seseorang berkata, “Lo aja lagi Ka yang ngajakin! Kan lo udah sentuh-sentuhan sama dia!”
Aska langsung menolak, “Kampret lo! Sentuh-sentuhan apa! Orang gue ditampar!”
Revan tersenyum dan perlahan berjalan menuju ke arah Aska sebelum menepuk
pundak sohibnya itu, “Kan cuma ngajakin nongkrong Ka. Nggak ngajakin kawin atau apa!
Ayolah!”
Aska semakin bingung setelah mendengar kata-kata dari Revan apalagi berpasang-
pasang mata menatapnya dengan pandangan berharap dan setengah memaksa. Aska menelan
ludah dan berkata, “Oke, tapi gue nggak janji dia bakalan mau ya!” teman-temannya yang
lain berseru, “Halah, lo kayak menyerah sebelum berperang!” , “Nggak bakalan ditolak!
Percaya deh! Apalagi gara-gara tampang lo itu!” , “Kejar terus Ka!” Aska hanya bisa pasrah
saat didorong-dorong temannya menuju pintu dan dia nyaris terjungkal setelah didorong
keluar walau bisa menyeimbangkan tubuh tingginya itu. Aska menghela napas kesal seraya
menatap Ana dan adiknya yang sedang membeli ice cream di pinggir jalan. Dia menoleh
kepalanya yang tak gatal. Kawan-kawannya memberi semangat kepada Aska yang kembali
menoleh ke arah Ana dan adik perempuannya dengan menghela napas kesal. Aska menarik
napas dan menghembuskannya perlahan sebelum berteriak, “Woy, lo cewek pakai baju
Boro-boro Ana menoleh, yang ada malah adiknya yang menoleh dan menatap heran
seorang cowok tampan sedang berteriak di seberang jalan. Sang adik menatap baju sang
kakak yang berwarna kuning dan berguman, eh, kakak gue kali yang dimaksud ya? tetapi dia
tak segera memberi tahu kakaknya karena dirinya sendiri belum yakin dengan dugaannya.
berteriak, “Woy, lo budek ha? Gue bilang cewek baju kuning mau nggak nongrong bareng
kita?”
Adik perempuan Ana melebarkan matanya, jelas-jelas mata cowok tampan itu tertuju
pada kakaknya. Sang adik kemudian menyikut Ana seraya berbisik, “Eh, ada cowok keren
neriakin lo Kak!” Ana menoleh ke arah adiknya seraya mengernyitkan keningnya. “Apaan?”
si adik memutar bola matanya dan membisikkan sebuah kalimat ke telinga kakaknya,
Ana menoleh perlahan untuk mengetahui siapa cowok yang dimaksud adiknya. Aska
tanpa sadar tersenyum lebar karena usahanya meneriaki si cewek akhirnya membuahkan
hasil, dia melambai ke arah si cewek. Mata Ana melebar. Aska kembali berteriak, “Eh, lo
Adik Ana terkekeh geli sebelum menyeletuk, “Gila lo Kak, baru pindah aja, udah
dapat cowok! Keren!” Ana menoleh seraya melotot ke arah adiknya. “Cowok pala lo! Musuh
gue yang ada!” Adik Ana berhenti terkekeh dan bertanya dengan nada heran, “Lha, ngapain
Ana tidak menggubris perkataan adiknya. Dia membayar ice creamnya cepat-cepat ke
abang tukang ice cream dan berbalik menghadap Aska yang berada di seberang jalan seraya
Tergelaklah teman-teman Aska karena cowok itu ditolak ajakannya oleh Ana. Aska
yang merasa malu tersulut amarahnya dan kembali berteriak, “Terserah lo! Gue cuma disuruh
temen-teman gue!”
Ana membelalak lebar karena kesal. Dia berbalik seraya menarik tangan adiknya yang
diam-diam tersenyum-senyum menatap Aska. Kedua cewek itu pun pergi sementara Aska
yang bersungut-sungut kembali menuju ke arah kafe disambut gelak tawa dan sorakan teman-
temannya.
BAB 2
Aska keluar dari kolam renang. Dia dan teman-temannya baru saja mengikuti ekskul
renang. Aska memang jago renang. Dia merintis bakat renangnya sudah sejak kecil. Teman-
temannya mengakui kehebatan Aska dalam berenang. Kecepatan Aska dalam renang
memang patut diacungi jempol. Berbagai piala kejuaraan renang telah diperolehnya sejak SD.
Namun, Aska hanya menjadikan renang sebagai wadah untuk bersenang-senang. Walau dia
punya bakat yang cukup mumpuni di cabang olahraga tersebut, dia tak memutuskan untuk
tubuhnya dengan handuk kecil seraya terkikik mengagumi dada bidang Aska. Aska baru saja
menginjak usia enam belas tahun dan baru kelas satu SMA, tetapi perwakannya sudah tinggi
dan gagah. Didukung oleh kemampuan renangnya dan genetisnya yang bagus Aska termasuk
cowok populer di sekolahnya. Aska melenggang santai hendak menuju ruang ganti saat tiba-
tiba saja tubuhnya terasa lemas. Dia oleng dan hampir saja jatuh kalau saja tak berpegangan
pada tembok. Beberapa kawan yang melihatnya segera berlari ke arahnya seraya berkata,
“As, lo nggak apa-apa?” , “Ka, lo oleng Bro! Yakin lo nggak apa-apa?” dan pertanyaan lain
Aska tampak kebingungan. Dia juga tak tahu mengapa tubuhnya tiba-tiba teras lemas.
Namun, cepat-cepat dia ubah ekspresi wajahnya dan tersenyum lebar agar teman-temannya
tak terlalu bertanya-tanya. “Ah, nggak apa-apa! Gue belum makan dari tadi!” Aska
mabuk kolam renang, Ka!” dimana langsung disambut gelak tawa yang lain. Teman-
temannya menepuk bahu Aska dan melenggang pergi seraya mengingatkannya untuk makan.
Aska hanya mengacungkan jempolnya dan tersenyum lebar. Namun, tanpa sepengatahuan
teman-temannya, saat Aska kembali berjalan menuju ruang ganti, dirasakannya sesuatu yang
aneh di mulutnya. Aska meneruskan langkahnya cepat-cepat, kali ini menuju kamar mandi.
Dia menyadari hidungnya mengeluarkan darah saat berdiri di depan kaca di dekat wastafel
kamar mandi. Aska bergumam, “Apaan sih, gue capek banget apa ya?” sebelum
membersihkan darah yang mengucur dari hidungnya dengan air keran yang mengalir.
Dilihatnya tangannya gemetar dan dirasakan peluh membasahi keningnya. Aska lagi-lagi
Setelah darah dari hidung Aska berhenti. Aska keluar dari kamar mandi untuk ke
kamar ganti dimana ia meninggalkan pakaiannya di sana. Saat di ruang ganti, seseorang
menepuk bahunya, “Ka, lo mau nongkrong dulu nggak sebelum pulang?” Namun, tanpa
diduga sang kawan, Aska hanya diam sambil terus mengancingkan kancing bajunya. Sang
kawan mengernyitkan keningnya dan kembali berkata pada Aska, “Woy, ka? Lo nggak apa-
apa?” Aska tersadar dan menoleh ke arah kawannya, melihat wajah temannya yang heran
Aska memaksakan senyum, “Gue udah ada janji. Gue langsung cabut aja ya!” Sang kawan
menyeringai sebelum selanjutnya berkata, “Woy, lo udah punya pacar? Gila lo! Mau pacaran
dulu ya lo!” Aska hanya tertawa mendengarnya sebelum ekspresi wajahnya berubah
sepeninggalnya kawannya tersebut. Aska merasa dia butuh istirahat karena badannya terasa
Ketika berjalan di koridor sekolah dengan tas yang dia selempangkan di bahunya,
Aska merasakan kepalanya pening luar biasa tetapi dia berusaha tak menunjukkannya dengan
bertingkah seolah tak terjadi apa-apa saat disapa kawan-kawannya. Saat hampir tiba di
parkiran, matanya tak sengaja bertatapan dengan seorang gadis yang tak lain dan tak bukan
adalah Ana, cewek yang pernah menolak ajakannya nongkrong tempo lalu. Gadis itu
mendengus kesal dan dengan menghentak-hentakkan kakinya dia berjalan mendekati Aska
dan kemarahannya membuncah, “Eh, lo bisa nggak sih ngga ganggu gue? Pake ngajak-ngajak
gue nongkrong lagi kemaren!” Aska hanya diam dan menatap datar cewek itu. Dia menatap
cewek cantik yang cemberut di hadapannya dan merasa tingkah cewek itu memang tak patut
di salahkan. Dia sendiri yang melibatkan cewek itu ke dalam masalahnya semenjak
pertemuan pertama mereka. Namun, bukan Aska namanya yang mau mengakui
kesalahannya, Aska membuka mulutnya dan berkata, “Heh, lo nggak usah kepedean! Gue
gitu bukan karena tertarik sama lo!” Mata cewek itu melebar setengah tak percaya. Berani-
beraninya cowok rese di depannya itu menganggapnya kepedean. Karena kesal, Ana
mendorong keras dada Aska yang mana cowok itu oleng sebelum kemudian dirinya
melenggang pergi dengan bersungut-sungut. “Bruk!!” Ana mendengar bunyi jatuh sesuatu
dari belakang. Dia menoleh dan menatap kaget Aska yang jatuh tak sadarkan diri di lantai.
Walau Ana tak menyukai cowok itu, dia tak bisa membiarkan orang pingsan begitu saja tanpa
memberi pertolongan. Ana berlari dan berjongkok di dekat Aska dan menggoyang-
goyangkan bahu cowok itu dengan panik. Ana berteriak meminta tolong agar siapa pun bisa
membantunya membawa Aska ke UKS. Namun, suasana sekolah sudah sepi. Ana pun
berinisiatif untuk berlari ke parkiran karena barangkali ada murid-murid yang belum pulang.
Untungnya, dia melihat segerombolan remaja yang notabene teman-teman Aska, sedang
kejadiannya, mereka semua berlari menuju tempat Aska. Setengah panik, mereka segera
***
Saat Aska terbangun dia melihat berpasang-pasang mata melihatnya dengan heran
sekaligus cemas. Seorang cowok berseru, “Eh, lo yakin nggak apa-apa? Muka lo udah kayak
kapur!” Aska memaksakan diri duduk. Tubuhnya masih terasa begitu lelah, tetapi tak separah
sebelumnya. Aska menyahut, “Nggak apa-apa! Capek aja kali!” Kemudian, seorang cowok
lain menyeletuk, “Untung aja lo dibawa ke sini! Cewek itu berjasa banget!” Aska
mengerutkan keningnya. Kemudian, seorang cewek menjelaskan, “Iya, Ka. Kalo cewek itu
nggak nyari kami ke parkiran, nggak ada yang bawa lo ke sini. Itu lho, Ana!” Aska terdiam.
Teman-temannya heran karena tak bisa menebak isi pikirannya. Kemudian Aska membuka
mulutnya, “Dimana cewek itu?” Seorang cewek menyahut, “Udah keluar sih tadi, katanya
mau pulang.” Tanpa diduga mereka Aska langsung bangkit dari ranjang UKS. Beberapa dari
temannya mencegahnya untuk pergi, salah satu dari mereka berkata, “Woy, Ka. Lo kan baru
sadar! Gue temenin deh di sini dulu!” Aska tak menjawab. Dia mengambil tasnya di pojok
ruangan yang sebelumnya dibawa salah seorang temannya ke UKS dan berkata, “Thanks
guys. Gue cabut dulu!” Kemudian, Aska mengangguk sopan kepada dokter UKS. Dia
mengabaikan teman-temannya yang memanggil namanya dan setengah berlari dia menuju
parkiran. Aska merasakan peluhnya membanjiri tubuhnya, tetapi setidaknya dia masih sadar.
Dengan terengah-engah ia menoleh ke kanan dan ke kiri dan mencari keberadaan Ana, tetapi
cewek itu tak terlihat batang hidungnya. Aska segera menuju ke motornya, memakai helm,
naik dan meninggalkan area parkir. Di tengah jalan dekat sekolah, dia melihat Ana berjalan
pelan setengah melamun di trotoar. Aska segera menepikan motornya dan membuka
Ana tersadar dari lamunannya. Dirinya sebenarnya memikirkan keadaan Aska karena
merasa bersalah telah memukul cowok ittu. Dirinya sungguh tak tahu Aska sedang sakit dan
main pukul aja. Ana melihat Aska sudah sadar dan merasa cukup lega. Setidaknya cowok itu
tidak gegar otak atau sebagainya gara-gara jatuh pingsan. Walau dia menganggap Aska
cukup angkuh, dia tak sampai ke taraf ingin mencelakakan cowok itu.
Aska berdehem dan berkata, “Gue…” Cowok itu seperti berat dengan apapun yang
hendak dikatakannya. Ana mengerutkan keningnya heran. Baru pertama kali dia melihat
cowok di hadapannya ini salah tingkah. Ana menyeletuk, “Apaan? Gue mau balik!” Aska
Ana setengah menganga mendengar ucapan yang keluar dari bibir Aska. Ho… cowok
sombong kayak gini bisa bilang makasih juga ya!, pikir Ana. Ana pun menyahut, “Jangan
salah paham ya! Gue nolong lo bukan berarti tertarik ke lo!” Ana sadar dia sudah membalas
perlakuan Aska. Biar nyadar kalo dia salah!, pikir gadis itu. Saat Ana melenggang pergi,
Aska mengejarnya dengan motor miliknya seraya berteriak, “Oi, oi! Tunggu!” Ana memutar
bola matanya dan berhenti berjalan. “Apa lagi?” Aska berdehem dan berkata, “Gue orangnya
nggak mau terima pertolongan gitu aja. Gue harus balas jasa siapapun yang nolong gue!” Ana
berkacak pinggang dan berkata, “Emang lo mau balas gue sama apa?” Aska mengerutkan
keningnya. Dia juga sebenarnya bingung kenapa dirinya berkata seperti itu. Dia hanya tak
mau Ana pergi begitu saja setelah gadis itu menolongnya. Aska akhirnya berkata, “Gue laper.
Kayaknya gue pingsan gara-gara kelaperan. Lo mau gue traktir nggak?” Ana mengerutkan
keningnya. Ni cowok modus atau apa?, alarm pertahanannya bersuara di otaknya. Ana
menjawab, “Ogah ah. Lo kan bisa makan sendiri.” Aska masih belum bisa melepaskan Ana
pergi begitu saja. Dia merasa berhutang budi pada gadis itu. “Jangan salah paham. Gue begini
ke setiap orang yang pernah bantu gue,” ujar Aska kemudian. Ana menatap wajah pucat Aska
dan tangan cowok itu yang gemeteran. Gimana kalo cowok ini pingsan lagi? Duh, kok malah
gue sih yang repot? Emang gue siapanya dia? Akhirnya Ana memutuskan, “Oke, tapi
dengan syarat. Gue nggak mau naik motor lo. Kita jalan aja. Nyari tempatnya yang deket
aja.” Aska mengangguk dan tersenyum miring. Setidaknya gue impas sama cewek ini,
pikirnya.
Ana mencoba menyamai langkah-langkah lebar Aska yang berjalan sambil menuntun
motornya. Badan Ana yang kecil harus berusaha lebih untuk menyamai langkah cowok tinggi
itu. Aska hanya diam saja dan pandangan matanya seperti kurang fokus. Ni cowok nggak
apa-apa? Pikir Ana. Aska tiba-tiba berhenti dan Ana segera mengerem langkahnya. Ana
menoleh ke arah Aska memandang dan dilihatnya sebuah warung mie ayam. Aska menoleh
ke arah Ana dan cowok itu tersenyum lebar, “Lo suka mie ayam nggak? Kita makan di sini
aja ya!” Ana mengangguk. Keduanya pun memasuki warung itu dan memesan dua mangkok
mie ayam. Saat mie ayam mereka datang, Aska memakannya dengan lahap. Ana berpikir, ni
orang suka banget makan mie ayam. Aska melirik Ana dan berkata, “Gue suka banget mie
ayam. Di sini mie ayamnya paling enak.” Ana mengangguk-angguk saja, Dirinya sebenarnya
tak terlalu lapar, tetapi entah mengapa tak enak membiarkan cowok yang baru pingsan dan
kelaparan begitu saja sehingga dia meng-iya-kan saja ajakan Aska. Kemudian, saat Ana
makan seraya melihat Aska yang makan dengan lahap, ponsel gadis itu berdering. Ana
mengangkat telponnya dan berkata, “Iya, iya, gue balik! Tenang aja! Sempet kok!” Ana
menutup ponselnya dan memakai tasnya. Aska menghentikan kegiatan makannya dan
berkata, “Lo mau balik?” Ana mengangguk. “Iya, gue harus nyiapin ulang tahun bibi gue.
Adik gue udah bawel nyuruh gue pulang.” Aska terdiam, cepet banget, pikirnya. Ana berdiri,
mengucapkan terima kasih pada Aska dan berbalik pergi sementara cowok itu menatap
***
BAB 3