Anda di halaman 1dari 85

BAB 1

Jika bumi akan retak, akankah aku menjadi salah satu penghuni terakhir di dunia?
Aku bukannya bersikap pesimis, tetapi ada beberapa hal yang kupikirkan akhir-akhir ini.
Seperti, bagaimana kelinci bisa menggali lubang sebegitu dalam, atau mengapa ayah dan ibu
bercerai? Sebenarnya, pikiran tentang kelinci lebih menyenangkanku.

Ayahku adalah orang yang unik, dia tak mau mendiskusikan segala hal padaku tetapi
selalu ingin aku berbuat sesuatu yang benar. Bagaimana kamu bisa bertindak dengan benar
jika tak pernah mendiskusikannya? Itu masalahku sebenarnya, membedakan antara benar dan
salah. Seperti aku tak bisa membedakan apakah membunuh itu salah, tetapi sepertinya
menyenangkan untuk dilakukan sehingga menjadi benar bukan? Lihat? Aku tak bisa
membedakannya. Itu terlihat absurd dan tak jelas bagiku.

Mungkin alasan ibu pergi karena dia punya anak seaneh aku. Kamu tahu, aku tak bisa
merasakan apapun, bahkan sedikit pun rasa takut. Aneh bukan? Karena berdasarkan apa yang
kubaca dan lihat, beberapa orang merasakannya. Seperti, kamu tak akan pergi ke sekolah jika
kamu merasa tak enak badan dan hanya ingin bergelung di kasur—itulah yang dikatakan
salah satu temanku di kelas—atau jika kucingmu mati, kamu akan menangisinya—yang
mana terjadi pada tetanggaku. Namun, aku tak merasakan apapun, secara fisik dan mental
atau mungkin aku mengabaikannya. Ketika aku tak sengaja mengiris jariku, aku akan melihat
darah menetes ke bawah, menikmatinya sampai kering sendiri. Kamu lihat? Aku tak
merasakan apapun.

` Ketika aku berpikir tentang ibuku—tawanya, senyumnya—aku merasakan sesuatu di


dadaku—sedikit saja. Seperti sesuatu yang telah bertahun-tahun tertidur dalam diriku bangkit
dan aku tak tahu apa itu. Mungkin itu hanya ingatan. Kamu tak bisa menyalahkan ingatan,
bukan?

Bagiku, aku hidup dalam duniaku sendiri, selama bertahun-tahun, seperti dalam
sebuah gelembung. Ayah berusaha memahamiku setidaknya, tetapi dia tak pernah menyentuh
kedalaman diriku. Jika kedalaman diri mempunyai bentuk, apakah bentuk milikku? Mungkin
senjata atau pisau. Kadang aku berpikir tentang hal aneh, seperti orang-orang berjalan dengan
sesuatu yang membedakan mereka—bisa apa saja—dan itulah kedalaman diri.

Aku aneh memang. Aku melihat penderitaan orang lain, melihatnya berulang-ulang,
berusaha untuk dapat merasakannya juga. Biasanya tak berhasil selain hanya menyisakan
mataku yang memerah karena terlalu banyak melihat film atau lingkaran hitam dibawah
mataku karena aku kurang tidur. Mungkin aku hanya seorang pengecut, percaya dengan
melakukan hal itu membuatku merasakan sesuatu, tetapi kenyataannya aku tak pernah
melihatnya secara nyata. Aku tak pernah melihat seseorang terbunuh, atau seseorang
diambang mautnya secara langsung selain dari film atau membacanya lewat buku. Aku
seorang maniac yang berpikir itu semua nyata, tetapi tak pernah benar-benar melihatnya
secara langsung.

“Jordan! Kamu nggak apa-apa?”

Aku mengedip dua kali, merasakan pegangan gelas di tanganku dan menyadari aku
masih di tengah acara pesta ulang tahun. Oh, sialan, aku melakukannya lagi, berpikir ke
mana-mana. Sekarang pasti berpasang-pasang mata menatapku dengan aneh.

“Nggak apa-apa,” aku menjawabnya. Namun, Tio sepertinya berpikir aku sudah gila.

“Kamu tuh berdiri di sini lama banget, kayaknya setengah jam, deh, tanpa berkedip,
atau mungkin cuma sesekali. Kamu pengin pulang? Bosen ya?” Tio memandangku dengan
pandangan seakan aku anak paling aneh di dunia. “Kamu beneran mau pulang?”

Aku berpikir bagaimana rasanya jika aku mencekik leher Tio saat itu juga, tetapi aku
hanya tersenyum dan berkata, “Ya, aku pulang aja, deh.”

Tio mengerutkan keningnya seperti yakin itu bukan yang sebenarnya ingin kukatakan.
Seperti dia merasakan bahwa aku hendak berkata, “Sialan, kamu ganggu aku. Enyah!”

“Oke, hati-hati,” kata Tio pada akhirnya.

Aku meletakkan gelas ke meja dan meninggalkan Tio sementara sayup-sayup


kudengar seseorang berkata “Ngapain sih temenan sama anak aneh kayak gitu?” Aku tahu
aku aneh, aku mendengarnya berkali-kali. Aku tak tahu mengapa Tio masih ingin berteman
denganku. Mungkin dia jauh lebih aneh dibandingkan diriku.

Aku masih berpikir betapa anehnya Tio saat melihat seorang cewek duduk di atas
motorku. “Hei, hei, minggir! Kamu duduk di atas motorku!”

Gadis itu menyeringai dan melipat kedua lengannya. “Kata siapa?”

“Kataku!” aku mendorongnya sebelum menaikki motorku.


“Hei, nggak sopan banget!” dia berkata marah, dia pantas marah, aku mendorongnya
sampai terjatuh ke aspal tempat parkir. Aku tak biasa kasar dengan cewek, tetapi aku hanya
sedang ingin.

“Anter aku pulang sebagai gantinya!” cewek itu berkata sementara aku mencari kunci
motorku.

Yang benar saja, bagaimana mungkin aku mengantarnya. Dia hanya gadis aneh yang
kutemui di parkiran. Bukannya aku homo, aku hanya tak tertarik dengannya, tidak dengan
tubuhnya, tidak dengan kepribadiannya.

“Nyari ini ya?” ujar gadis itu sebelum aku menoleh ke arahnya dan melebarkan
mataku. Kunci motorku tergantung di telunjuknya.

Sialan.

“Kamu ninggalin kuncinya. Kunci ini tergantung di motormu,” cewek itu


menyeringai. “Antarin aku pulang, aku bakal ngasih kuncinya.”

“Nggak bakal,” aku turun dari motor dan mulai berjalan.

Suara langkah kaki terdengar di belakangku. Sialan. Apa cewek itu ingin mengikutiku
semalaman?

“Tinggalin aku!” aku berkata marah.

“Nggak,” ujar gadis itu, mulai berjalan di sampingku. “Aku sempat lihat kamu di
pesta tadi. Kamu aneh banget.”

“Kamu bukan pertama kali yang ngomong gitu,” ujarku seraya tetap berjalan.

“Kita bisa berteman—”

“Nggak!” aku berhenti sebelum berputar menghadap cewek itu. “Tinggalin aku, oke?
Kamu nggak takut sama aku?”

Cewek itu berkedip dua kali sebelum menyeringai, “Nggak…, kalo ngelihat
situasinya—”

“Udah ah!” aku memotong kata-katanya dan melanjutkan langkahku.

Aku terus berjalan sampai tak mendengar suaranya lagi. Bagus. Mudah mengalahkan
cewek aneh karena aku jauh lebih aneh.
Suara derum familiar terdengar oleh telingaku. Kemudian, aku menoleh sebelum
menyadari cewek aneh itu sedang mengendarai motorku.

“Turun!” aku berteriak.

Cewek itu berhenti mendadak di hadapanku. Yang benar saja, dia mencoba
membunuhku?

“Naik!” ujar cewek itu sebelum menyeringai. Oh, aku nggak akan melupakan seringai
jahat seperti itu.

“Aku nggak bakalan mau digonceng cewek!” aku berkata seraya menggertakkan gigi.

“Oke,” cewek itu mematikan mesin motor, mengambil kuncinya dan membuangnya
jauh-jauh. “Sekarang kita impas.”

Aku menahan napasku dalam-dalam sebelum meluapkannya, “Cewek gila!”

“Memang,” dia tersenyum puas dan pergi meninggalkanku.

Aku ingin mengejar cewek itu dan memberinya pelajaran, tetapi apa pentingnya? Aku
harus menemukan kunciku. Jadi, aku berlari menuju tempat di mana cewek itu melempar
kunciku, tetapi menit demi menit berlalu dan aku masih tak dapat menemukan kunci
motorku. Cewek gila itu membuangnya ke kebun di pinggir jalan. Aku pikir kunciku tak akan
kutemukan kembali.

Aku menyerah. Kuhela napas panjang sebelum kembali ke tempat motorku berada.
Untungnya motor itu masih di sana atau aku akan kehilangannya juga.

Jadi, aku berjalan dengan menuntun motorku sampai ke rumah. Aku berjalan selama
dua jam, dengan beban mendorong motorku. Aku bisa membunuh siapa saja.

“Sudah pulang Jordan?”

Aku menutup pintu dengan keras sebelum menoleh untuk melihat ayahku yang
menatapku dengan air muka heran.

“Ada apa?” ujar ayahku mengerutkan keningnya. “Kamu pulang cepat. Ini masih jam
delapan malam.”
Aku benar-benar tak ingin membahasnya sehingga aku naik ke atas menuju kamarku.
Ayah bertanya padaku berkali-kali apa yang salah denganku, tetapi aku hanya berkata,
“Tinggalin aku sendiri, Yah!”

Aku membanting pintu kamar dan merebahkan diriku di kasur sebelum menatap
langit-langit kamar, berpikir akan kuapakan cewek gila tadi. Aku bisa berbuat benar-benar
kejam padanya jika aku mau. Namun, yang kubutuhkan sekarang adalah mengetahui apakah
dia satu sekolah denganku sebelum aku berencana menerornya atau hal lain semacam itu.

Aku tak bisa tidur karena terus memikirkan cewek itu. Bagaimana mungkin dia berani
padaku? Apa dia punya dendam padaku? Apa kami pernah bertemu sebelumnya? Aku yakin
belum pernah bertemu dengannya karena aku selalu mengingat siapa pun yang pernah
kutemui. Mungkin dia seorang maniac yang punya hidup menyedihkan? Mungkin memang
seperti itu.

Aku memutar badanku ke kanan dan ke kiri tapi masih belum bisa melupakan cewek
itu. Aku selalu begitu jika ada sesuatu menggangguku, seperti aku ingin mengenyahkannya
dari pikiranku sehingga aku merasa lega. Namun, cewek ini berbeda, aku merasa ia akan
menghantuiku seumur hidup.

Aku menyerah. Mungkin aku akan begadang semalaman, aku sering melakukannya
jadi apa bedanya? Aku menyibakkan selimutku, berjalan ke arah pintu dan keluar menuju ke
dapur. Aku akan makan sehingga membuatku kekenyangan dan mengantuk—berdasarkan
teoriku. Ketika aku hendak membuka kulkas, aku mendengar sesuatu yang sepertinya datang
dari kamar ayah. Aku tak biasa ikut campur urusan ayahku dan tak peduli sebenarnya, tetapi
mungkin aku bisa mengeceknya. Jadi, aku berjalan ke kamar ayah dan membuka sedikit
pintunya.

Aku melihat ayahku menangis.

Aku bertanya-tanya, apa yang menjadikan ayahku menangis semenjak aku tak terlalu
bisa merasakan apapun. Aku ingin mengetahui alasannya, tetapi masuk dan bertanya? Ide
yang buruk. Jadi, aku menutup kembali pintunya dan pergi seakan tak terjadi sesuatu apapun.

Aku melanjutkan untuk mencari makanan. Aku membuka sebuah kaleng dan
memakan kacang di dalamnya sementara suara tangis ayahku sampai terdengar sampai dapur.
Aku tak melakukan apapun selain melanjutkan kunyahanku.
Ada beberapa hal yang kupikirkan akhir-akhir ini. Tentang kelinci dan perceraian
orangtuaku. Namun, apa gunanya? Aku lebih menikmati kacang yang terasa di mulutku.

***

BAB 2

Aku berjalan di sepanjang koridor kelas, jika aku bisa membawa pisau aku akan
membawanya di tanganku, tetapi pasti itu membuat para murid ketakutan. Aku masih
mengantuk karena hampir tak tidur semalaman. Itu karena cewek yang kutemui kemarin
malam dengan ide briliannya menghilangkan kunci motorku. Aku hampir terlambat dan
hampir naik ke angkutan umum yang salah. Ini semua karena cewek gila itu. Aku harus
bertindak waras, maksudku menjaga kewarasanku karena ada masalah yang perlu
kuselesaikan.

“Hei, yang bener dong kalo jalan!” aku berteriak pada seorang cewek yang
menabrakku, entah sengaja atau tidak hingga buku-buku yang dibawanya berserakan.

“Ma..,maaf, Kak!” aku tak peduli dengan suara memelas yang di keluarkan cewek itu,
aku bisa menendangnya hingga tersungkur jika aku mau. Namun, tak kulakukan karena aku
tak mau membuang waktuku.

“Hei, hei, kamu! Minta maaf dong ke dia!”

Aku tetap berjalan dan mengabaikan suara itu. Siapa aku? Pahlawan kesiangan?
Tidak! Itu salah cewek yang menabrakku dan aku tak mau minta maaf tentang itu.

Sesuatu menghantam kepalaku dan sebenarnya cukup mengagetkanku. Aku menoleh


ke belakang dan melihat cewek gila yang selama ini kucari sedang berdiri dengan sepatu
sebelah.

“Ih, kamu nggak tau diri banget! Dia sampai lecet tahu!” cewek gila itu berteriak
padaku.

Aku menyeringai, calon korbanku muncul tanpa kucari, bagaimana mungkin aku bisa
sangat beruntung hari ini?
Aku berjalan perlahan menujunya dengan berbagai pikiran hinggap di kepalaku. Apa
balas dendam yang cocok untuknya? Ditusuk hingga mati? Ditenggelamkan? Atau dipenggal
mungkin?

“Kamu tuh ya! Dia itu jatuh sampe lecet lututnya! Bantuin kek!” cewek gila itu masih
meracau tanpa mengerti apa yang sedang menunggunya. Haha, meracaulah selagi bisa cewek
gila!

Aku berusaha untuk mencekiknya, tetapi ketika tanganku sudah berada di lehernya,
cewek itu berkata, “Ngapain kamu?”

“Jordan!”

Aku mendorong cewek gila itu hingga tersungkur dan menoleh untuk melihat siapa
yang menggangguku. Sialan, Tio lagi Tio lagi. Bisakah dia meninggalkanku sendiri?

“Ayahmu nungguin kamu di depan gerbang, kayaknya ada hal penting deh!” Tio
berkata seiring dia terengah-engah setelah berlari menuju ke arahku.

“Awas kamu cewek gila!” aku mengancam cewek itu yang menggosok pantatnya dan
tampak kesakitan. Rasakan!

“Hei! Hei!”

Aku tak menggubris teriakan cewek gila itu dan mengikuti Tio yang telah berjalan di
depanku. Jika cewek itu mau berkelahi denganku, itu bisa di simpan untuk nanti.

“Kamu kenal Dian?” ujar Tio seraya berjalan cepat di sampingku.

“Dian siapa?” aku tetap berjalan dan ingin segera menyelesaikan permasalahan
apapun yang dihadapanku ini sampai aku bisa berurusan dengan cewek gila itu lagi.

“Cewek tadi, yang teriak-teriak ke kamu,” jawab Tio tetap berjalan cepat di
sampingku.

Ha! Ternyata namanya Dian. Jika aku bisa memilih nama yang lebih cocok untuk dia,
pastinya itu adalah: cewek gila!

“Itu ayahmu,” Tio menunjuk seorang pria yang telah kukenal sepanjang hidupku.

“Aku tahu ayahku,” ujarku sedikit terganggu.

Tio menghela napas, “Oke, aku tinggal ya!”


Kadang Tio memperlakukanku seperti anak kecil, dia memang cukup populer dan
bisa berbaur dengan siapa saja. Aku rasa dia memperlakukanku seperti binatang peliharaan
atau semacamnya. Walau dia bisa mendapatkan apa saja yang ia mau, dia seharusnya tak
memperlakukanku seperti itu.

“Ada apa, Yah?” aku berkata cepat dengan risih karena merasa beberapa orang
menatapku. Aku selalu punya kekhawatiran berlebihan, entahlah, itu memang sifatku dari
dulu.

“Tantemu meninggal,” jawab ayah dengan suara pelan. Bahunya bergetar entah
mengapa.

Aku baru saja berpikir akan mengatakan “Tante yang mana?” dan kemudian
menyadari aku hanya punya satu tante yang selama ini dekat denganku.

“Maksud Ayah Tante Riana?” aku berkata datar. “Penyebabnya apa, Yah?”

Ayah mengusap matanya, “Dia menyeberang dan tak sengaja tertabrak mobil.”

Yang benar saja! Bagaimana seseorang bisa sungguh teledor?

“Ayah cuma mau ngabarin kamu. Kamu bisa bantu-bantu ayah mempersiapkan
pemakamannya atau tidak. Terserah kamu.”

Ya

“Nggak ah,” aku berkata cepat. Ada semacam perasaan mengganjal di hatiku, tetapi
berusaha kuabaikan. “Aku harus ujian hari ini.”

Ayah memandangku dengan pandangan yang sulit digambarkan seraya tersenyum


miris. “Tante Riana biasa gendong kamu waktu kamu kecil dan ngajak kamu berkebun di
kebunnya. Sayang sekali dia meninggal begitu cepat.”

Aku merasakan sesuatu yang sudah lama tak kurasakan, seperti palu yang
menghantam dadaku. Namun, tetap saja aku mengabaikannya.

“Ayah balik dulu ya,” ujar ayahku meninggalkan aku sendiri berdiri mematung di
gerbang sekolah.

Bagaimana mungkin aku tak menangis? Apa hatiku memang sekeras itu? Atau kabar
ini begitu tiba-tiba hingga membuatku syok? Aku benar-benar tak tahu jawabannya.
Aku berbalik dan berjalan menuju kelas dan berpikir balas dendam dengan Dian, si
cewek gila itu tak penting lagi. Apa hebatnya masalah kunci motor hilang dibanding
kehilangan tantemu selama-lamanya?

Aku berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tidak saat Tio bertanya padaku,
tidak saat Pak Roy, guru matematikaku menyapaku. Aku duduk di kelas dan menutup rapat
mulutku.

“Ada apa? Kamu pucet banget,” Tio duduk di hadapanku dan menelitiku seakan aku
anjing hilang atau semacamnya.

“Tinggalin aku sendiri,” ujarku, menahan kesabaran. Aku merasa akan meledak, entah
mengapa. Aku tak pernah hilang kontrol di depan orang-orang, mungkin boleh dicoba.

“Nggak, kamu kayaknya sakit, deh! Nggak mau ke UKS?” ujar Tio dengan wajah
baiknya yang menjijikkan bagiku. Bagaimana bisa dia tak pernah meninggalkanku sendiri?

“Kamu aneh banget sejak kemarin, ada yang kamu pikirin?” ujar Tio mengerutkan
keningnya. Tidakkah dia mengetahui kalau aku aneh dari dulu?

“Kalau kamu punya masalah, cerita gih. Kita teman, kan?” lanjut Tio.

Aku mulai terganggu dengan sikap Tio. Dia selalu ingin mencampuri urusanku.
Mungkin karena dia tak punya masalah sehingga berusaha menyelesaikan masalah orang
lain? Mungkin memang seperti itu.

“Tanteku meninggal,” aku berkata, tanpa menyadari kata-kata itu keluar dari mulutku.

Mata Tio melebar, dia menunduk sebelum menatapku lagi seraya tersenyum lemah.
“Oh, maaf. Kamu pasti sedih banget.”

Tidak juga sebenarnya, rasanya seperti berbeda. Ya, berbeda, menyadari orang yang
selalu dekat denganmu tiba-tiba tak ada.

“Kamu tahu? Kita tuh butuh hiburan. Ujiannya bikin kita pusing dan kematian
tantemu juga. Ayo main habis pulang sekolah nanti!” ujar Tio seakan segala sesuatunya bisa
diselesaikan dengan main. Dia kira dia tinggal dimana? Wonderland?

“Nggak, aku langsung pulang saja,” aku berkata cepat. Mana mau aku menghabiskan
waktu berlama-lama dengan Tio dan kawan-kawannya. Mereka akan menertawakanku.
“Ayolah, Jordan! Bakalan asyik dah!” ujar Tio, seakan kata “asyik” akan
mempengaruhiku. “Atau kamu pengin berduaan sama cewek tadi ya? Yang neriakin kamu?
Kalian pacaran ya?”

Aku mendorong cewek itu ke lantai koridor kelas, itukah yang namanya pacaran?

“Aku nggak pacaran sama siapa pun,” aku berkata datar.

“Nggak percaya! Kok nggak mau ikut aku?” ujar Tio berusaha menggodaku.

Aku tak biasa menyetujui ajakan seseorang, tetapi mungkin kali ini persetujuanku bisa
membuat Tio bungkam, “Oke, aku ikut.”

Tio tersenyum, berdiri dan menepuk pundakku. “Bakal seru banget pokoknya!”

Coba saja.

Kemudian, aku mengerjakan seluruh ujian hari itu dengan pikiran kosong. Aku tak
tahu mengapa aku merasakannya, seperti pemikiran tentang kematian sedikit menakutiku.
Aku tak pernah mengalaminya, bahkan ketakutan tak kurasakan saat ayah dan ibu bercerai.
Namun, menyadari aku tak akan menjumpai tanteku lagi, membuat bulu kudukku berdiri.

Aku sedikit senang sebenarnya. Selama bertahun-tahun akhirnya aku merasakan


sesuatu. Ini bukan hal yang perlu dirayakan, tetapi tetap saja berupa pencapaian menurutku.
Aku berjalan sepulang sekolah dengan Tio dan tiga temannya dengan senyum di wajah.

“Kamu kok kayak bahagia banget? Ada apa?” Tio bertanya padaku seakan dia tak
pernah memikirkan masalahnya sendiri. Lihat? Dia tak pernah membiarkanku sendiri. Dia
selalu ingin tahu apa yang terjadi padaku dan apa yang kurasakan.

“Nggak apa-apa,” jawabku. Apalagi yang bisa kukatakan? Berkata padanya aku telah
merasakan sesuatu setelah bertahun-tahun lamanya, tak lain dan tak bukan karena
meninggalnya tanteku?

“Kan tantemu baru meninggal,” ujar Tio yang membuat semuanya terdiam. Sialan.
Tio selalu ingin membuatku menjadi pusat perhatian.

“Oh, maaf. Turut berduka cita,” ujar Martin, teman Tio yang badannya seperti
raksasa. Itulah yang terjadi jika kamu terlalu banyak makan atau mungkin sialnya punya ibu
raksasa juga.
“Ah, aku juga. Turut berduka cita ya,” ujar Chika, cewek mungil teman Tio yang
kurasa aku bisa mencekiknya hingga mati dengan sekali gerakan. Dia kecil sekali seperti
kekurangan gizi.

“Oh, maaf juga, kamu pasti kehilangan banget,” ujar Alex, cowok luar biasa tinggi
yang sulit untuk bercakap-cakap sejajar dengannya. Jangan salahkan aku, aku hanya setinggi
dagunya. Mungkin ibunya memberinya terlalu sedikit cahaya, yah… aku berpikir dia
tumbuhan. Siapa peduli? Tumbuhan juga termasuk makhluk hidup, bukan? Hebat, dari mana
tadi aku bisa berbicara sampai ke tumbuhan?

Aku mulai merasa teman-teman Tio tak terlalu buruk. Setidaknya, mereka tak
menertawakanku.

“Hei, gimana kalo kita ke pemakaman tantenya Jordan saja?” ujar Alex sok tahu. “Itu
kalau Jordan mengijinkan.”

“Oke,” aku tak percaya aku mengatakannya.

Jadi, semua orang menyetujuinya dan membatalkan acara main kami. Mungkin tak
buruk juga. Aku bisa melihat orang-orang menangis atau mungkin berteriak, itu bisa jadi
eksplorasi yang berguna.

Kami naik angkutan umum dan tiba di rumah tanteku. Aku tak menelepon ayahku
karena ingin mengejutkannya atau mungkin aku hanya tak peduli.

Aku masuk ke dalam rumah tanteku sementara orang-orang duduk bersiap untuk
sholat jenazah. Aku, Tio dan ketiga teman Tio duduk dan berpura-pura sedih—dalam
kasusku. Aku tak yakin tampangku seperti bagaimana, tetapi mungkin aku bisa mengelabui
orang-orang.

“Jordan! Kamu datang juga, Le!” ayahku datang dan menepuk bahuku. Aku bisa lihat
matanya yang sembab. Tante Riana kakak ayah yang dekat dengan ayahku. Tante Riana
sudah mengurus ayah sejak kakek dan nenek meninggal.

“Ya, lebih baik terlambat dari pada nggak sama sekali,” aku menaikkan alisku dan
menghela napas. Sungguh kerumunan yang sangat ramai, baru kuingat setelahnya Tante
Riana adalah orang yang supel. Pasti banyak yang kehilangan dirinya.

“Yah, ini Tio dan—” kata-kataku terputus saat melihat Dian, cewek gila itu berada di
antara kerumunan orang-orang yang duduk. “Apa-apaan cewek itu di sini?”
“Hah?” ayah menoleh ke arah tatapanku. “Oh, itu Dian, anak teman Tante Riana, dia
baru pindah ke sini dua minggu yang lalu.”

Aku menyeringai, sepertinya pepatah dunia itu sempit betul ya?

“Oh, ayah pergi dulu,” ayahku tersenyum pada Tio dan ketiga temannya sebelum
pergi.

“Jordan!” ditengah-tengah kunyahan kue yang disodorkan di sekitarku, seseorang


memanggilku. Om Bima mendatangiku dan duduk di sebelahku. “Makasih, Le, udah datang.
Kamu bawa temen juga.”

Aku mengangguk dengan mulut penuh. Apa yang bisa kulakukan? Rasa dimulutku
lebih menarik dibanding percakapan kami.

“Tantemu orang yang baik, sungguh baik,” ujar Om Bima seraya menggelengkan
kepalanya dengan mata berkaca-kaca. “Tantemu sabar ngerawat Om saat penyakit Om
kambuh.”

Tunggu, tunggu. Om Bima sakit apa? Apa aku seapatis itu sampai tak
mengetahuinya?

Om Bima melanjutkan, “Om dapat izin dari dokter untuk hadir ke pemakaman
Tantemu, untung saja keadaan Om membaik.”

Aku masih tak tahu Om Bima sakit apa.

Setelah acara demi acara selesai dan aku harus mengiringi keranda tempat tanteku
berbaring ke peristirahatan terakhirnya. Aku masih tak percaya aku tak meneteskan air mata
sedikit pun. Sejak ibuku meninggalkanku dan ayah, Tante Riana yang mengurus kami. Aku
tak percaya aku tak merasakan sedikit kesedihan pun. Bahkan si raksasa Martin, aku
melihatnya gemetar saat tubuh tanteku di turunkan ke liang lahat.

Kemudian, setelah semua tata cara pemakaman dilaksanakan dan aku telah yakin
tanteku benar-benar tak akan bisa kutemui lagi. Aku beranjak pergi cepat-cepat untuk
menyelesaikan masalahku dengan si cewek gila, Dian. Setelah melihatnya lagi di rumah
tanteku, keinginanku untuk memberinya pelajaran kembali menggebu. Aku akan
menghancurkannya sampai jadi debu, aku menyeringai.
Aku bertanya pada Chika apakah dia melihat cewek itu setibanya di rumah tante
Riana. Chika berkata dia bercakap-cakap dengan cewek itu sebelum Dian beranjak pergi.
Sialan, aku kehilangan jejaknya. Aku bertanya pada Om Bima dimana cewek itu tinggal,
tetapi sepertinya ibu cewek itu tak pernah memberitahu tempat tinggalnya pada Om Bima.
Aku mendesah, mungkin aku harus menemuinya di sekolah yang mana lusa karena besok
masih hari minggu.

Malamnya, aku tak bisa tidur lagi. Cewek itu, Dian, semakin misterius bagiku seakan
dia berusaha bermain petak umpet dan itu cukup menyenangkan sebenarnya. Aku
menikmatinya sejauh bagaimana nanti aku memberinya pelajaran. Setidaknya, aku
mendapatkan petunjuknya.

“Jordan!” aku mendengar suara ayah dari balik pintu kamarku. “Kamu masih bangun,
Le?”
Aku menghela napas dan berpikir apalagi yang akan dibicarakan ayah denganku. Aku
sebenarnya sedikit capek bahkan walaupun tetap tak bisa tidur. Aku membuka pintu dan
melihat ayah sedang berdiri dengan pandangan nanar menghadapku. “Om-mu meninggal.”

Aku baru mau berkata “Om yang mana?” tetapi aku sangat tahu Om yang selama ini
dekat denganku. “Om Bima? Kenapa yah?”

Ayah mengusap pangkal hidung di antara ujung matanya, “Kondisinya memburuk


tiba-tiba, dia muntah darah dan meninggal seketika. Pembantunya menelepon Ayah.”

“Oke, Yah. Aku bantu sebisanya malam ini.”

Ayah menghela napas dan pergi.

Aku? Yah, apa yang kuharapkan? Aku bisa bertemu lagi dengan cewek gila itu, benar
bukan? Aku menyeringai.

***
BAB 3

Pemakaman adalah acara yang membosankan, apalagi kalau kamu menghadirinya dua
kali berturut-turut. Beberapa pelayat mengatakan bahwa kematian tante dan om sungguh
romantis, tetapi beberapa mengatakan itu tragedi. Aku tak peduli mana yang lebih tepat, aku
hanya ingin bertemu cewek gila, si Dian itu lagi.

“Apa Ayah lihat cewek gila itu?” aku berkata pada ayah yang sedang repot
menyambut pelayat.

“Hah? Kamu bilang apa, Le?” tanya ayah bingung, tentu dia bingung, aku berkata
“cewek gila” di depan hidungnya.

“Ah, maksudku Dian, Yah,” aku berkata, berharap ayah mengira dirinya salah dengar.

Ayah membuat wajah bingung seakan memang benar-benar salah dengar karena
semua keributan di rumah Om Bima. Kemudian, dia berkata, “Ayah sempet bilang ke ibunya,
mungkin sebentar lagi datang.”

Aku melihat sekeliling rumah sebelum mendatangi jenazah Om-ku. Dia terlihat jauh
lebih tua ketika meninggal. Sayang sekali rumah sebesar ini ditinggal pemiliknya dan tak ada
yang mewarisinya, tidak anak atau kucing peliharaan mungkin. Aku tak peduli dengan tetek
bengek pewarisan harta, mungkin rumah Om Bima akan dijual dan dibagikan kepada hak
warisnya. Aku mulai berpikir, kamu bisa saja kaya tetapi pada akhirnya kamu tinggalkan juga
hartamu.
“Kamu nggak ngundang temen-temenmu yang kemarin, Le?” ayah mendekatiku yang
tengah memandangi wajah Om Bima yang berbalut kain kafan. Tak bisa dipercaya aku baru
saja bercakap-cakap dengan pria ini kemarin dan saat itu dia tengah berbaring tanpa nyawa.

“Hah?”

“Temen-temenmu, yang kemarin datang,” ujar ayah lagi.

Aku ingin mengatakan pada ayah bahwa mereka bukan teman-temanku. Salah
satunya mungkin mengaku sebagai temanku, tetapi tiga lainnya jelas bukan temanku. Namun,
aku tak mengatakannya pada ayah. Aku hanya ingin seperti itu.

“Oh, nggak Yah. Mungkin mereka sibuk. Berita tentang kematian Om Bima bakalan
bikin mereka kaget,” aku mengatakan hal paling masuk akal yang bisa kukatakan saat itu.

“Ya…,” ujar ayah sementara matanya menerawang. “Ayah masih ingat saat Om dan
Tantemu masih muda, mereka kayak burung pecinta. Terbang ke sana ke mari tanpa kenal
takut. Setidaknya mereka akan bersama lagi. Ayah harap.”

Pembicaraan soal cinta ini membuatku sedikit terganggu, seperti selai kacang yang
tersangkut di langit mulut. Aku tak biasa membahas hal yang sentimental karena aku
memang tak pandai soal itu.

“Yah, kayaknya ada yang manggil Ayah,” ujarku sebelum aku meleleh karena
persoalan yang sentimental ini. Itu benar-benar menggangguku, aku tak tahu mengapa.
Mungkin karena aku tak terbiasa. Aku saja jarang merasakan sesuatu, bagaimana mungkin
aku bisa mendiskusikannya?

Ayah beranjak dari tempatnya dan meninggalkanku. Aku tak yakin apakah memang
ada yang memanggil ayah atau tidak, aku hanya tak sanggup bicara lebih lama dengan ayah.
Aku beranjak menuju ke teras depan rumah sebelum melihat si cewek gila, Dian, menatapku
dengan matanya yang melebar penuh.

“Hei, ketemu lagi kita,” aku menyeringai. Dia terlihat berbeda dengan rambutnya
yang dikuncir dan pakaian rapinya. “Aku kira kamu nggak bakalan muncul.”

Cewek itu, Dian, terlihat tak nyaman, tentu saja, dia yang memulai semua ini. Aku
seperti singa jantan yang tak akan berulah jika tak diganggu, tetapi jika ada rusa betina yang
memancing, bagaimana aku bisa menolaknya?
“Apa? Kamu mau ganggu aku?” cewek itu berkata dengan suara sedikit gentar dan
dia mundur beberapa langkah, entah dia sadari atau tidak. Rasakan! Nah, dia mulai takut
padaku. Siapa pula yang berani padaku?

“Kamu ngilangin kunci motorku…, ingat aku, kan?” aku menyeringai. Kurasa
tampangku sudah cukup jahat, hanya perlu ditambah taring dan tanduk serta ekor berwarna
merah. Aku tak yakin bentuk setan seperti apa, tetapi kurasa tampangku sekarang sudah
cukup menakuti cewek itu.

“Ya, aku tahu kok,” ujar cewek itu cukup berani atau mungkin sok berani.

“Ohya?” aku semakin mendekat ke arahnya. “Kamu nggak ngerasa hutang maaf ke
aku?”

“Nggak,” ujar cewek itu, tetapi kulihat tangannya gemetar.

“Oh gitu?” aku tersenyum berbahaya. “Kamu tau nggak kalau aku—”

“Dian!”

Cewek itu mundur beberapa langkah dengan tampang lega atau memang seharusnya
dia merasa lega. Sepertinya sang ibu memanggil cewek itu. Aku mengutuk ibunya. Aku
mengutuk setiap ibu yang memanggil anaknya.

“Aku pergi dulu,” ucap gadis itu dengan senyum aneh. “Ibu manggil aku.”

Kemudian dia berlari sekencang harga dirinya yang hilang.

Sial. Aku kehilangan rusaku.

“Jordan!”

Apa sekarang? Aku menoleh ke sumber suara. Apa seseorang bisa kuajak berkelahi?
Aku akan senang sekali menanggapinya.

“Sholat jenazahnya mau dimulai,” ujar salah satu anak yang kutahu tumbuh
bersamaku dan mengenal Om-ku. Namanya Doni dan dia tinggal dekat rumah Om Bima.

“Oke, Don, aku nyusul,” aku berkata seraya berusaha mencari cewek itu, Dian.
Namun, aku tak menemukannya diantara orang-orang sehingga lebih baik bagiku untuk
menyusul Doni.
Aku banyak merencanakan sesuatu, tetapi ini semua tak berjalan sesuai rencanaku.
Aku banyak melihat film yang mana menayangkan balas dendam yang sempurna, tetapi
dengan cewek ini sungguh sulit, setidaknya aku ingin membuatnya menangis. Namun, aku
mendapat perasaan dia bukan cewek cengeng.

“Mau ngerokok di belakang?” Doni berkata padaku seraya menyodorkan sekotak


rokok dengan sebuah rokok menyembul dari dalamnya setelah kami sholat jenazah.
“Pemakaman lumayan bikin stress nggak sih? Kita longgarkan saraf sejenak.”

Aku tak biasa merokok, tetapi satu dua rokok sepertinya tak apa.

Aku dan Doni pergi ke halaman belakang untuk melihat beberapa pria juga tengah
merokok di sana. Mungkin Doni benar, pria-pria ini cukup stress memikirkan kematian
sehingga butuh melonggarkan saraf mereka yang mana dengan merokok. Kadang aku
berpikir Doni anak yang cukup cerdas, tak seunggul Tio, tetapi lumayan.

“Pertama kali ngerokok ya?” Doni terkekeh melihatku terbatuk. Aku berusaha
mengatur napasku seraya berpikir, bagaimana bisa orang membakar paru-parunya dengan
benda sialan ini?

“Kamu bakalan terbiasa, kok,” ujar Doni tersenyum. “Aku juga gitu waktu pertama
kali.”

Mungkin ini bisa menjadi terakhir kalinya bagiku.

“Kamu kemana aja sih? Kita biasa main waktu kecil,” ujar Doni sebelum meniupkan
asap rokoknya menjadi lingkaran-lingkaran kecil.

“Aku nggak kemana-mana. Membusuk di kota ini,” ujarku sebelum kembali terbatuk-
batuk.

Doni tertawa. Sepertinya dia merasa pernyataanku adalah lelucon padahal aku berkata
serius.

“Kamu lucu Jordan. Sebenarnya kamu lebih lucu sebelum ibumu pergi. Sialan
bukan?” ujar Doni seraya membuang abu rokoknya ke tanah. “Kamu masih sering ketemu
ibumu?”

“Nggak pernah lagi.”


Raut wajah Doni berubah, sepertinya dia menyadari bahwa dia menggiring kami ke
topik sensitif sehingga dia mengubah subjek pembicaraan, “Kamu masih sering main sama
Tio?”

“Kok kamu kenal Tio?” aku bertanya karena aku benar-benar tak tahu. Dari
pengamatanku, anak seperti Doni tak akan kenal dengan Tio.

“Tio nggak bilang ke kamu?” Doni berkata seraya tersenyum, tetapi kulihat sedikit
kilat terluka dalam matanya. “Kami berteman saat SMP.”

Oh, itu menjelaskan sifat Tio yang suka ikut campur, dia sudah terbiasa menangani
anak tengil seperti Doni.

“Kamu pasti penasaran kenapa kami nggak akrab lagi,” lanjut Doni menyeringai.

Sebenarnya aku berpikir bagaimana mengakhiri percakapan tak berguna ini, tetapi
aku paksakan diriku untuk mengangguk.

“Tio punya catatan buruk di SMP,” ujar Doni memandangku sebelum tergelak.
“Dilihat dari ekspresimu sepertinya kamu nggak percaya sama sekali sama kata-kataku ya?”

“Jadi, sebenernya ada apa?” aku sebenarnya tak terlalu tertarik, tetapi jika seseorang
memancingmu bukankah biasanya kita harus bertanya hal selanjutnya?

“Dia suka kelahi. Dia akan berkelahi denganku jika saja aku bukan temannya,” Doni
menyeringai dan matanya menerawang seakan ingat masa lalu. “Dia hampir ngebunuh
malah,”

Tidak, tidak mungkin.

“Kok bisa?” aku berusaha menjaga nada suaraku tetap stabil. Cukup sulit mengetahui
orang yang selama ini kamu kira baik-baik saja ternyata punya masa lalu kelam, bahkan
nyaris menjadi pembunuh.

“Untung anak itu masih hidup,” Doni terkekeh sendiri. “Kalau nggak Tio bakal
dipenjara dan kamu nggak bakal ketemu dia.”

Aku mulai berpikir jika kejadian itu benar-benar terjadi dan berpikir mana yang lebih
baik, Tio dipenjara atau dia mengikutiku kemana pun aku pergi.

“Ya, aku masih sering main dengannya,” ujarku, mengatakan kata “main” dengan
nada sarkastis entah dengan Doni menyadarinya atau tidak.
“Kamu seharusnya nggak main sama dia,” ujar Doni layaknya dia ayahku atau
semacamnya. “Kalian nggak cocok berteman.”

Aku tersadar ada hal yang ingin kutanyakan, seperti ada yang hilang dari percakapan
ini, “Kalau Tio temenmu, kok aku bisa nggak tau? Kamu kan bisa bilang aku.”

“Kamu nggak tau banyak hal tentangku,” ujar Doni menyeringai dan berjalan
menjauh.

“Mau kemana?” aku berteriak seiring menjauhnya Doni.

“Nyari makanan!” dia balik berteriak.

Aku menghela napas. Haruskah aku percaya semua perkataan Doni? Aku tahu ini
semua tak mempengaruhiku, setidaknya tidak mengubah hidupku. Namun, entah mengapa
aku ingin tahu kebenarannya.

Mungkin Doni hanya membual, aku tersenyum hambar menatap rokok di tanganku.
Mungkin jarang mengetahui seseorang yang berbicara tentang percobaan pembunuhan dan
berbohong dalam satu waktu, tetapi mungkin Doni bisa menjadi contoh yang bagus.

“Oh, di sini kamu, Le. Ayah nyari kamu kemana-mana,” entah tiba-tiba saja ayah
muncul di hadapanku dan melihatku memegang sebatang rokok.“Apa? Kamu barusan
ngerokok? Sejak kapan?”

“Ya, sejak sekarang,” aku berkata datar seakan bertemu ayahmu saat dirimu merokok
pertama kali merupakan hal yang biasa.

Ayah memandangku dengan raut wajah seakan ingin membunuhku, tetapi kemudian
teringat bahwa aku anak satu-satunya. Kami saling terdiam dan menatap satu sama lain
seperti idiot.

“Maaf, Yah,” aku berkata pada akhirnya. Seseorang harus memecahkan keheningan
yang konyol ini.

“Oh, tak apa, itu pilihanmu, Le. Ayah juga pernah mencobanya dulu,” ayah mengedip
seakan merasa dia ayah terkeren di dunia. “Sedikit nakal nggak apa-apa, Le.”

Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa.

“Temenmu, Tio ke sini. Dia ke rumah kita dan menyadari kita nggak ada sehingga dia
ngira kita ada di rumah Om-mu. Dia sungguh kaget, kematian Om-mu… Ayah rasa dia
sempat ngobrol sama Om-mu kemarin,” ujar ayah menambahkan informasi tak penting
seperti “Dia sungguh kaget” seperti aku akan peduli saja. Lalu, apa-apaan di Tio mencariku?
Jika dia ingin membahas tentang pelajaran sekolah, aku akan bersiap-siap melemparnya ke
sungai.

“Oke, Yah. Makasih,” aku tersenyum pada ayah sementara ayah melihatku dengan
pandangan yang sulit di jelaskan. “Apa?”

“Tak apa,” ayah menggelengkan kepalanya seraya terkekeh. “Kamu udah dewasa,
ya.”

Merokok tak sama dengan dewasa. Aku bahkan akan berhenti saat itu juga jika aku
mau. Memangnya aku apa? Seorang idiot? Jangan salahkan aku jika kalian merokok karena
itulah rasanya menjadi idiot.

Namun, kuakui rasanya nyaman saat merokok. Seperti jaring-jaring kusut di otakmu
terurai saat merokok. Mungkin aku akan coba sesekali. Menjadi idiot sesekali tak apa asal
jangan benar-benar idiot.

“Ayah tinggal dulu, Le,” ayahku tersenyum dan pergi dari hadapanku.

Aku tahu aku membuang waktuku terlalu banyak. Aku hanya ingin mencari cewek
itu, Dian, dan aku selalu kehilangan jejaknya. Aku baru saja ingin masuk kembali ke dalam
rumah saat seorang cewek yang kutahu betul siapa dia, mendatangiku. Ya, Dian si cewek
gila.

“Maafin aku,” ujar cewek itu, tetapi aku bisa lihat tak ada raut wajah menyesal dalam
air mukanya. “Aku cuma nggak pandai ngobrol. Kadang itu membuatku bertingkah konyol.”

Aku menyeringai, “Jadi kamu ini gimana? Ngelempar dirimu sendiri ke kobaran api?”

“Aku bener-bener minta maaf,” ujar cewek itu, lebih terlihat memaksa daripada minta
maaf. “Kamu cowok yang unik. Aku suka cowok yang unik.”

Jika aku punya alat pendektor kebohongan aku akan memasangnya pada cewek itu.
Aku tahu dia tak sungguh-sungguh , tetapi raut wajahnya mengatakan seakan dia berkata
yang sebenarnya.

“Mungkin kita bisa keluar sama-sama,” cewek itu tersenyum sebelum mengedikkan
bahunya. “Kita berdua mungkin cocok.”
“Jordan!”

Seseorang menghancurkan situasi dimana cewek yang bersalah padaku akhirnya


minta maaf dan menyatakan keinginannya untuk mengenalku lebih jauh. Itu adalah ayahku.

“Apa sih, Yah?” aku berkata bosan.

“Dua temenmu kelahi! Doni sama Tio!” ayahku tak biasa panik tapi kulihat kepanikan
pada dirinya saat itu. “Bantu ayah melerai, mereka nyaris membunuh satu sama lain!”

Aku menghela napas. Coba kutebak, mereka berkelahi karena masalah mereka di
masa lalu belum selesai. Lihat? Aku bilang apa? Pemakaman benar-benar acara yang
membosankan.

***

BAB 4

Aku dan ayah segera melerai Doni serta Tio, tentu saja, sebelum seseorang terbunuh.
Aku tak tahu mana yang lebih baik, pemakaman atau perkelahian, tetapi jika bisa
mengalaminya dalam satu waktu, mengapa tidak?

Aku kesusahan menahan Tio, dia sangat kuat, aku tak pernah tau dia punya kekuatan
seperti itu. Yang kutahu, dia selalu tersenyum dan mengikutiku kemana pun aku pergi, tetapi
sekarang dia dengan bengis menghajar Doni, betapa kontras keadaannya, bukan?

“Pegangi dia, pegangi dia,” ayahku berkata sementara dia berusaha menjauhkan Doni
dari Tio. Tio dan Doni terluka sana-sini seakan baru saja mengalami kecelakaan parah
padahal hanya baru berkelahi. Mungkin mereka menyentuh batas dan lepas kontrol, seperti
tak bisa menahan amarah. Namun, apa-apaan mereka berkelahi di tengah acara pemakaman?
Bahkan anak sosiopat sepertiku tahu bagaimana brutalnya perbuatan mereka. Seseorang
harus mengajari mereka, tentunya bukan aku. Aku akan membuat mereka bertambah parah,
kan?

“Sialan kau! Anak Brengsek!”

Tunggu, tunggu, apa aku tak salah dengar? Tio mengatakan kata-kata seperti itu?
“Mati kau!”

Yah, tak salah lagi. Kata-kata itu benar-benar keluar dari mulut Tio.

Tio memberontak dari peganganku. Sialan, sampai berapa lama anak ini
memberontak? Sampai jenazah Om-ku menjadi tulang? Oke, cukup. Aku tahu bagaimana
mengakhirinya. Aku memegang kedua tangan Tio, memeluntirnya dan suara teriakan
kesakitan membahana. Ya, Tio, kamu akan kesakitan beberapa lama, tetapi aku harus
menghentikan kekonyolanmu.

Aku mendorong Tio ke tanah dan dia tampak merasa kesakitan, yah setidaknya rasa
sakitnya akan hilang dalam tiga hari. Tio berusaha bangkit dan hendak kembali menerjang
Doni, tetapi sebelum itu terjadi, aku menonjok dagunya hingga ia pingsan.

Aku kuat juga ternyata ya?

“Le! Kamu membunuhnya!” ayahku menjatuhkan Doni dan segera berlari ke arah
Tio.

“Nggak lah Yah! Dia cuma pingsan,” aku berkata malas. “Aku bantu ayah gotong dia
ke kamar.”

Aku memegang bahu Tio dan ayah memegang bagian bawah badannya sebelum kami
berjalan menyibak kerumunan di teras itu. Aku berteriak pada orang-orang untuk menolong
Doni karena dia tampak tak sanggup berdiri. Kemudian, setelah tiba di kamar Om Bima, aku
dan ayah meletakkan Tio di atas kasur dimana beberapa darah menempel di bantal, yah…,
bisa dibersihkan nanti.

“Astaga, anak ini cukup berat juga,” ujar ayah menghela napas berat. Tio memang tak
gendut, tetapi dia lumayan berotot.

“Aku ambil apa gitu ya yah, yang bikin dia bangun.”

Aku berbalik menuju pintu kamar sebelum ayah menahanku. Dia menyentuh
pundakku dan berkata, “Nggak usah, Le. Biarin aja dia tidur.”

Tanpa aba-aba, aku dan ayah menoleh ke arah Tio yang memang terlihat telah
tertidur. Dadanya naik turun perlahan dan wajahnya begitu kontras dengan apa yang ia
tunjukkan ketika berkelahi. Beberapa orang mengatakan kamu terlihat lebih muda saat tidur,
aku tak peduli, apa yang kupikirkan adalah tanganku yang memar.
“Kompres tanganmu, Le. Nanti bengkak lho,” ujar ayah tak terlalu membantu, dimana
aku bisa menemukan air es di tengah situasi seperti ini?

“Jangan khawatirin aku, Yah. Aku bakal liat Doni dulu,”

Aku berjalan menuju teras , tetapi aku tak melihat Doni setibanya di sana.

“Nyari aku?”

Aku menoleh dan melihat Doni di belakangku. Dia terluka di dahinya, matanya benjol
dan mulutnya berdarah, dia tampak seperti kentang rusak.

“Ya, aku tahu. Jangan mengejekku,” ujar Doni mengusap pelan luka di ujung bibirnya
dan terlihat sedikit kesakitan.

Aku tak biasa menasihati seseorang, tetapi ini kuakui sudah kelewatan, “Apa-apaan
sih kamu Don? Berkelahi di acara pemakaman Om-ku? Kamu kira ini permainan?”

Doni melengos menatap lantai, dia terlihat sedikit menyesal sehingga aku
memelankan suaraku,“Sakit ha?”

Doni terkekeh sebelum meringis kesakitan. Kemudian dia berkata, “Kayaknya si Tio
selama ini ke gym setelah lama aku nggak ketemu dia.”

Aku tahu Doni tak ingin terlihat lemah, tetapi aku lebih tertarik dengan pemicu
mereka berkelahi. Sesuatu tentang masa lalu mereka mungkin? Tentu bukan tentang masa
depan mereka.

“Kamu mungkin penasaran kenapa kami berkelahi, tapi yang bisa kubilang adalah aku
mengatakan yang sesungguhnya pada Tio,” ujar Doni memperlihatkan senyum anehnya.
“Kamu bakal tahu cepat atau lambat, percaya deh.”

Aku tahu menunggu tak apa, tetapi daripada memastikan apakah kenyataan
sebenarnya akan kuketahui cepat atau lambat, aku lebih memilih untuk menanyakannya saat
itu juga. “Apaan sih sebenernya? Kamu menghina ayahnya? Pengin menghajar adiknya?
Atau apa?”

“Kan udah kubilang, kamu bakalan tahu—”

“Nggak,” aku mendesak Doni. “Katakan sekarang,”

Doni mendesah, “Mungkin kita bisa nyari tempat sepi, di sini terlalu banyak orang—”
“Don,” aku berkata kesal. “Kamu mengulur waktu.”

Doni menatapku dengan mata cokelatnya seakan ingin memuntahkan apapun yang
akan ia katakan, “Aku hampir ngejerumusin dia ke narkoba, oke? Tapi, waktu dia tahu siapa
dalang dari semua ini, dia pengin membunuhnya!”

Aku terdiam. Beberapa orang di teras melihat kami seakan kami baru saja
mengatakan hal yang tak sepatutnya dibahas di keramaian. Oh, ternyata itu masalahnya. Aku
mengharapkan sesuatu yang lebih besar dari itu.

“Jadi kenapa Tio menghajarmu? Kukira masalahnya udah berlalu—”

“Aku mengejeknya, entahlah, mungkin dia sedang dalam kondisi hati buruk atau
semacamnya. Aku mengatakan padanya bahwa dia bakal berakhir seperti kakaknya.”

“Kakak? Kukira dia hanya punya adik.”

Doni terkekeh seakan aku anak paling bodoh di dunia. “Kamu nggak tahu apa pun
tentang Tio ya? Dia punya kakak laki-laki dan kakaknya itu seorang pecandu narkoba. Dia
meninggal karena overdosis. Aku juga baru tahu setelah mengajaknya make.”

Mataku melebar, bagaimana mungkin aku tak tahu? Tiba-tiba sosok Tio terasa asing
bagiku, dia seperti sesuatu yang bisa dilihat, tetapi ternyata jauh sekali.

“Jadi, apa yang terjadi dengan anak itu? Anak yang kamu bilang adalah dalangnya?”

“Dia meninggal,” ujar Doni datar.

“Apa?”

Doni menyeringai, “Yah.., anak seperti dia tak akan hidup lama. Setelah Tio
menghajarnya hingga nyaris mati, dia overdosis.”

Aku mengerutkan kening, perkara kematian ini mulai jelas bagiku. Aku merasakan
bulu kudukku sedikit berdiri. Seperti kenyataan yang selama ini tersembunyi terbuka lebar.

“Kamu masih make?” tanyaku, bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa-apaan aku
peduli seperti ini?

“Nggak,” jawab Doni tegas dan pendek. Seperti dia tak ingin membahasnya lagi.
“Atau aku akan berakhir seperti Revan.”

“Revan? Itukah nama anak itu?”


Doni menyeringai. “Dan dia hanya tinggal nama.”

Setelah itu, kami semua menyelesaikan prosesi pemakaman dan setelah Doni pulang,
aku mendatangi Tio yang masih tertidur di kamar Om-Bima. Aku menatapnya seakan dia
orang asing bagiku. Aku tak mengenal Tio selama ini.

“Hei, bangun juga kamu,” aku berkata pada Tio yang membuka matanya seakan baru
tersengat listrik.

“Duh, andai ini cuma mimpi,” ujar Tio tampak luar biasa menyesal. “Aku jadi tahu
momentum kemarahan, kamu bakal nyesel pada akhirnya.”

Jadi, Tio menyesal telah mengacaukan acara pemakamannya? Bagus, aku tak perlu
berdebat dengannya atau apapun itu.

“Jadi, rasanya kayak gimana?”

“Rasanya kayak ditendang kuda di dagu,” ujar Tio sebelum kami terdiam dan pecah
dalam tawa. Itu pertama kalinya aku tertawa bersama Tio. Aku tak tahu apa yang sedang
terjadi padaku. Mungkin aku dalam kondisi hati baik atau mungkin karena seorang cewek
baru saja menyatakan perasaannya padaku. Ngomong-ngomong soal cewek itu, dimana tadi
aku meninggalkannya? Tentu saja kami berada dalam kondisi yang tak memungkinkan.

“Sialan anak itu, aku bisa saja menghajarnya sampe jadi debu,” ujar Tio menatap
langit-langit kamar dengan kebencian. “Kalau saja dia nggak ngungkit—”

“Kamu tuh cuma inget sama kakakmu,” ujarku sebelum masing-masing dari kami
terdiam karena aku mengatakan hal yang sebenarnya. “Kamu nggak marah sama Doni kamu
marah sama kakakmu atau mungkin kamu marah sama keduanya.”

Tio mengambil napas panjang, menghembuskannya dan menatapku seakan dia anak
paling sedih di dunia, “Kamu mungkin nggak tahu kakakku, tapi dia kakak yang baik
sebelum mengenal narkoba. Siapa yang beri tahu kamu? Anak sialan itu?”

“Ya, Doni yang ngasih tahu,” aku berkata sebelum bertanya mengapa Tio bisa jatuh
tertidur. “Kamu kurang tidur ya? Kamu langsung tertidur tadi kayak anak anjing hilang.”

Tio terkekeh sebelum dia berkata, “Ya, aku nggak bisa tidur malam sebelumnya. Hari
ini tanggal meninggalnya Kak Hendi, aku mau ngunjungin kuburannya hari ini. Kamu mau
ikut?”
Sebenarnya aku ingin menolak. Cukup bagiku pergi ke pemakaman dua kali.

“Kamu nggak perlu ikut juga nggak apa-apa,” ujar Tio merasakan keenggananku.
“Kamu pasti kehilangan banget Om-mu. Aku sempet ngobrol sama Om-mu saat pemakaman
Tantemu. Kita bahas tentang sepak bola. Pria yang baik banget.”

Sepertinya Tio telah menguasai dirinya lagi dan kembali menjadi “Tio yang peduli
pada semua orang” Aku lebih suka versinya yang bergejolak. Lebih nyata.

“Aku beneran minta maaf mengacaukan pemakaman Om-mu,” ujar Tio dengan
pandangan menyesal. “Maafin aku. Apa Om-mu sudah dimakamkan?”

Sebenarnya Om-ku sudah dimakamkan setengah jam lalu sementara kamu tertidur.
Namun, aku hanya mengangguk.

Setelahnya, Tio pamit karena dia ingin mengunjungi kuburan kakaknya. Aku
menjelajahi segala tempat di rumah Om-ku untuk mencari Dian. Aku kira dia telah pergi atau
merasa bahwa aku menolaknya. Cewek malang, dia tak tahu berhadapan dengan siapa.

Aku melihatnya duduk di halaman belakang rumah Om-ku, bermain bersama


beberapa keponakan jauhku. Aku mengusir keponakan-keponakanku dengan galak dan
mereka berlari ketakutan.

“Hei, ngapain sih? Mereka kan cuma mau main sama aku!” Dian berkata seakan dia
kehilangan teman mainnya, bukan karena aku mengusir mereka.

“Kamu kan cuma bosan atau kamu penginnya main sama mereka aja? Nggak mau
ngobrol sama aku?” aku berkata seraya menyeringai. Cewek itu merona pipinya seakan
teringat pernyataan sukanya padaku. Aku mulai suka dekat dengan cewek. Rasanya seperti
punya robot, tetapi robot yang berhati dan berperasaan.

“Lupakan apa yang katakan sebelumnya,” cewek itu berkata dengan nada ketus.
“Kamu cowok moron.”

Cewek itu, Dian, pergi meninggalkanku sehingga aku mengejarnya dan memegang
pergelangan tangannya. Cewek ini perbendaharaan katanya asyik juga, aku tak mau
melepasakannya.

“Hei, apaan sih! Lepasin!” cewek itu menarik tangannya sehingga aku melepaskan
genggamanku.
“Apaan sih, kamu juga yang mulai kan,” aku memprotes, lagipula apa yang kukatakan
ada benarnya juga. “Aku tuh kayak singa yang nemu ru—”

“Kamu sih, tingkahmu aneh banget di pesta ulang tahun kemarin itu. Kan bikin orang
penasaran,” cewek itu berkata sebelum terkikik geli. “Sumpah, aku tuh liat kamu ngelamun
padahal orang-orang lagi seneng-seneng di deketmu.”

Sial. Apakah senyum seorang cewek emang begitu? Membuat dadaku entah mengapa
merasakan sesuatu.

Aku merasa tak nyaman dengan apa yang terjadi padaku. Aku beranjak pergi entah
cewek itu menerimanya atau tidak.

“Hei, mau kemana?” teriak cewek itu. Cukup, aku merubah pikiranku. Aku berbalik
dan memojokkannya sebelum menguncinya di pohon dengan kedua tanganku. Cewek itu—
sedikit gemetar—memejamkan matanya perlahan seakan merasa aku akan mencium bibirnya,
yang mana sebenarnya memang ingin kulakukan. Namun, tiba-tiba suara datang dari
belakang kami yang menghancurkan segalanya.

“Jordan?”

Aku mengalihkan pandanganku ke sumber suara. Tiba-tiba saja jantungku berdetak


keras dan kepalaku berdenyut.

“Jordan, kamu nggak kangen Ibu?”

Tidak, seharusnya tidak begini. Aku seharusnya mencium cewek itu, bukannya
menyadari ibuku muncul di saat aku mulai bisa mengendalikan diriku.

“Jordan. Kamu udah besar sekarang.”

Badanku terasa dingin setelah mendengar perkataan ibu. Jika keberadaan seseorang
yang tak kamu sangka-sangka bisa membunuh, aku mungkin mati sekarang.

“Jordan, ibu kangen kamu, Le.”

Aku membiarkan tangan ramping ibu memelukku. Inikah yang dirasakan Tio pada
kakaknya? Kamu ingin menusuk seseorang dari belakang, tetapi disaat bersamaan kamu juga
ingin memeluknya?
BAB 5

“Jordan, ini ibu,” pelukan oleh kedua lengan itu semakin erat. “Ibu kangen banget
sama kamu.”

Aku merasakan kehampaan. Sebenarnya aku merasa berada di kelilingi es. Seperti
aku berada di tebing es, tetapi tak menyadari aku hendak jatuh dari sana.

“Oh, Jordan… udah berapa lama? Sepuluh tahun? Kamu udah besar banget
sekarang.”

Tidak, ini bukan yang aku inginkan. Aku tak mau ibuku muncul setelah bertahun-
tahun lamanya dia menelantarkanku.

“Siapa gadis cantik ini? Pacarmu? Ibu nggak tahu kamu punya pacar.”

Aku mengedip dua kali, masih merasakan apakah ibu benar-benar muncul di
hadapanku atau hanya seorang wanita yang mirip ibuku. Aku lebih menyukai kemungkinan
kedua sebenarnya karena kenyataan menakutiku.
Ibu melepaskan pelukannya dan aku menatap tubuhnya yang kurus seakan dia orang-
orangan sawah atau semacamnya. Dia terlihat tak nyata, bahkan sampai saat itu aku merasa
dia tak nyata.

“Kamu masih aja memandang ibu seperti itu. Seperti kamu kecil dulu. Ibu nggak akan
membahayakanmu lagi.”

Tak pernah membahayakanku? Atau itu hanya tipuan untuk menyakitiku lebih dalam?

Aku masih ingat malam mengerikan itu, malam yang tak akan kulupakan. Aku
berumur tujuh tahun kala itu dan sedang bermain dengan balok legoku, hanya malam-malam
seperti biasa yang kulewati tanpa ada gejolak apapun. Aku mematikan TV karena ayah
tertidur di sampingku, kurasa dia begitu kelelahan hari itu sehingga aku tak mau
membangunkannya. Kemudian, aku mendengar suara dari dapur, aku rasa itu ibuku, tetapi
apa yang dia lakukan di dapur? Bukannya makan malam sudah selesai? Aku mengecek
dengan berjingkat ke dapur untuk melihat apakah itu benar-benar ibu atau pencuri. Saat aku
tiba di dapur aku melihat sesuatu yang membuatku merinding yang mana aku tak pernah
menduganya akan terjadi.

Ibuku menatapku dengan tatapan kosong, tatapan yang tak berhati. Dia berdiri di
terangi cahaya lampu yang temaram sementara tangannya memegang sebilah pisau.

Aku hendak berlari ke ayah kalau ibu bertingkah aneh lagi. Namun, ketika aku
berbalik dan hendak berlari, sesuatu tampaknya terjatuh dengan nyaring dan ketika aku
menoleh kusadari tangan ibu bergerak untuk mencekik leherku.

Aku berteriak sekuat yang aku bisa sehingga kuharap dapat membangunkan ayah. Ibu
terus menerus berkata dengan nada suara aneh, “Ayo mati bersama, Le. Ayo tinggalin dunia
ini sama ibu.” Ketika ibu telah berhasil mencekik leherku dan napasku mulai hilang, suara
datang dari belakang dan seseorang mendorong ibu menjauhiku. Itu ayahku.

Ketika aku menyadarinya saat itu, mana yang lebih baik? Mati di tangan ibumu
sendiri atau memendam ingatan yang perlahan menghancurkan dirimu?

“Maafin ibu nggak ngerawat kamu dengan baik, nenekmu juga tak merawat ibu
dengan baik,” wanita yang mengaku ibuku atau dia memang dulunya ibuku sampai aku
mengenyahkan perihal tentang dirinya dalam ingatanku, menatapku dengan senyum di bibir.
“Ibu sudah membaik. Lihat?”
Ibu menatapku dengan kedua matanya yang berkantung hitam. Aku melihat beberapa
luka sayatan di balik kain lengan bajunya yang tersingkap. Dia tampak telah melewati hari-
hari yang mengerikan atau mungkin menyedihkan.

“Maafin ibu ninggalin kamu… menceraikan ayahmu…. Tetapi, ini untuk


kepentinganmu Jordan. Untuk menyelamatkanmu,” dia tersenyum aneh. “Kamu udah tumbuh
dengan baik bahkan punya pacar—”

“Dia bukan pacarku,” aku mengepalkan tanganku begitu erat hingga merasa aku
mampu merobek kulit tanganku. “Kenapa ibu di sini?”

Ibu tampak menyadari sesuatu, seakan tersadar akan hal yang membawanya bertemu
denganku. “Oh, ibu kan kangen kamu Jordan. Pengin ketemu kamu—”

“Pergi.”

“Apa?” kedua mata itu menatapku seakan berharap aku mengatakan hal yang lain.

“Kubilang pergi.”

“T…tapi, Jordan…”

Aku tak mendengar kata-kata ibu lagi karena aku setelahnya menyadari telah memacu
kakiku pergi dari hadapan ibu. Aku masuk ke dalam rumah Om Bima dan di koridor ruangan
bertemu dengan ayah yang menatapku iba atau mungkin menyesal.

“Ayah yang ngajak Ibu ke sini?!” aku berkata lantang. Sebenarnya, aku kehilangan
kesabaranku.

Ayah menatapku seakan ingin minta maaf atau mungkin tatapan ketika dirinya
menyadari pertemuanku dan ibu tak berjalan baik. “Ibumu ingin ketemu kamu, Jordan. Kasih
ibumu kesempatan.”

Aku menatap ayah seakan dia orang yang paling tak masuk akal di dunia. “Tapi, ibu
udah gila yah! Apa itu ibu namanya yang berniat membunuh anaknya sendiri?”

Ayah menunduk sebelum kembali menatapku, dia tahu aku mengatakan hal yang
sebenarnya, tetapi dia tak bisa melakukan apa-apa tentang hal itu. “Ibumu butuh waktu
Jordan. Dia punya masa kecil yang traumatis. Ayah yakin dia hanya ingin melindungimu
dalam caranya mungkin yang tak biasa.”
“Dengan mencoba membunuhku? Ibu macam apa itu, Yah?! Dan ayah masih percaya
padanya?”

“Ayah cuma nggak mau memisahkan kalian. Ayah rasa setiap ibu berhak bertemu
dengan anaknya.”

Sesuatu terjatuh dan kulihat Dian sedang berdiri di balik rak buku sementara sebuah
buku terjatuh di dekat kakinya. Dia terlihat merasa bersalah, tentu saja, bagaimana bisa dia
mencuri dengar pembicaraan kami?

“Maaf, aku nggak bermaksud mencuri dengar,” ujar Dian dengan wajah bukan
tampak menyesal, tetapi penasaran. “Ibumu menyuruhku pergi Jordan dan aku ke sini
mendengarkan pembicaraan kalian. Maaf.”

Dian tampak salah tingkah sebelum ayah akhirnya membuka suara untuk
memecahkan keheningan yang tak nyaman, “Di mana dia?”

“Beliau masih di belakang rumah tadi atau mungkin pergi entah kemana,” Dian
menatapku seakan harus mengatakan sesuatu yang dipendamnya. “Ibumu ngomong sesuatu
kayak ‘aku mau ketemu ayah’ sebelum aku beranjak pergi.”

“Sial!” ayah mengumpat seakan dia menyadari sesuatu yang buruk akan terjadi dan
dia menghilang ke belakang rumah.

“Ada apa?” tanya Dian seakan dia merasa dirinya mengatakan hal yang salah. “Ibumu
cuma pengin ketemu kakekmu.”

“Yang salah itu…” aku berkata datar. “Kakekku sudah meninggal.”

Raut wajah Dian berubah, seakan perkataanku telah membuatnya kaget sekaligus
ketakutan. Dia membuka mulutnya kemudian menutupnya kembali, seakan ingin
menenangkan diriku, tetapi mengurungkannya karena tak tahu apa yang harus dikatakan.

“Kamu nggak perlu ngomong apa-apa,” aku mendesah dan tiba-tiba saja sedikit
pusing dengan semua kekacauan ini. “Ayo ngecek keadaan ibuku.”

Aku dan Dian menuju ke belakang rumah dimana saat kami tiba di sana ayah sedang
menuntun ibu untuk kembali masuk ke dalam. Aku sempat berpikir, akankah mereka masih
menyimpan rasa cinta pada masing-masing atau rasa cinta itu memang tak ada dari awal?
Mungkinkah ayah menikahi ibu karena merasa iba padanya dan ibu menerima ayah karena
memang membutuhkannya? Kadang menjadi dewasa lebih rumit dari apapun.

“Ibu nggak apa-apa?” aku bukannya mulai khawatir, tetapi ibu terlihat kacau dengan
tubuh gemetar dan pandangan nanar. Sebenarnya aku cukup merasa bersalah padanya.

Ibuku tersenyum tipis seakan dia menyadari sikapku mulai sedikit berubah padanya.
“Ibu nggak apa-apa, Le. Oh, kamu cantik banget, Nduk. Kalian bener-bener serasi.”

Aku ingin berkata aku tak ada hubungan apa-apa dengan Dian, tetapi apa pentingnya?
Ibu tak akan mendengarnya ngomong-ngomong. Mungkin ibu memang belum dalam kondisi
yang stabil atau dia memang tak peduli jika aku menyangkal bahwa Dian bukan pacarku.
Kedua kemungkinan itu tak berarti bagiku karena ibu tetap menganggap Dian pacarku.

“Ayo makan bareng kita, tapi tunggu ayah beres-beres sama keluarga yang lain,” ujar
ayah seakan idenya itu tak menimbulkan pertentangan dalam hatiku. “Dian, kamu juga ikut
ya. Om bilang ke ibumu nanti.”

“Yah, yang benar saja. Aku nggak ma—”

Ayah mengangkat telapak tangannya seperti dia ingin menghentikan penolakan


apapun yang akan meluncur dari bibirku. “Nggak. Nggak Jordan. Kali ini kamu nurut sama
ayah. Kalian berdua, kamu Jordan… sama Dian, bantu-bantu beberes juga ya.”

“Aku tahu, nggak usah nyuruh-nyuruh aku kayak anak kecil,” ujarku diantara gigi
yang gemeretak mengetahui ide brilian ayah yang menjengkelkan.

“Kamu yang milih restorannya deh, Jordan,” ujar ayah layaknya itu bakal menjadikan
kondisi hatiku menjadi lebih baik atau semacamnya. “Kamu bisa milih restoran seafood.”

“Aku alergi udang.”

Ayah menghela napas menatapku seakan dia tahu aku kesal, tetapi tetap bersikukuh
dengan rencananya. “Pokoknya, pilih restoran yang kamu mau Jordan.”

“Aku mau restoran Cardilac,” aku memilih restoran termahal di kotaku, menjadi kesal
bukan berarti tidak mengambil kesempatan mengosongkan dompet ayahmu.

“Oke, Jordan,” ujar ayah seakan dia telah senang aku setuju dengan rencananya dan
tidak memikirkan semahal apa restoran yang kupilih. “Kita bakal makan enak sore ini.”
Setelahnya, aku membantu ayah membereskan rumah Om Bima, sebenarnya ayah
yang lebih banyak beberes, aku hanya melihatnya atau bergerak jika disuruh. Aku hanya
berpikir tentang ibu. Benarkah dia sudah sembuh? Atau hanya seperti lampu yang bersinar
kuat saat akan padam?

“Kamu mikirin ibumu ya? Dia bakal baik-baik aja. Nggak ngelakuin hal-hal
berbahaya lagi,” ujar ayah seraya menggulung karpet sedang aku hanya duduk menatapnya.
“Kamu bisa mengulangi waktumu yang hilang dengan ibumu, Le.”

Mengulangi waktuku yang hilang dengan ibu? Seperti waktu itu pernah dimulai saja.
Apa ingatanku tentang ibu? Melihatnya berusaha membunuh dirinya sendiri, memukul
ayahku, mencoba membunuhku…

“Ibumu wanita yang kuat Jordan. Ayah mencintainya,” ujar ayahku dengan senyum
aneh seakan terlihat bahwa dia memang tak bisa melakukan apa-apa kecuali bertahan dengan
ibuku sebelum akhirnya bercerai dan bukan karena cinta.

“Jangan bohong, Yah, aku lihat ayah takut sama ibu.”

“Apa?”

“Ya, aku menatap mata ayah setiap kali ibu mencoba bunuh diri, atau memukuli ayah
atau berusaha membunuhku, aku lihat di dalam mata ayah dan itu rasa takut.”

Ayah menatapku seakan aku anak aneh atau mungkin merasa dirinya sendiri aneh.
Kami terdiam cukup lama sebelum seseorang datang sehingga mengembalikan kami ke alam
sadar.

“Udah selesai beres-beresnya nih, Om. Kapan kita pergi?” ujar Dian seakan dia yang
merencanakan acara makan-makannya. Aku lihat cewek itu nggak punya rasa takut atau
mungkin rasa malu.

“Oke, kayaknya kita berangkat aja,” ujar ayahkku dan menatapku dengan pandangan
aneh. “Panggil ibumu Jordan.”

“Ayah aja yang manggil, ibu kan istri ayah. Setidaknya mantan istri.”

“Aku aja yang panggil Om,” ujar Dian dan perselisihan kecilku dengan ayah selesai.

Setelah beberapa saat lamanya, Dian datang bersama ibu. Ibu sebenarnya berpakaian
dengan rapi, tetapi tetap saja terasa tak cocok. Aku baru menyadari, dia bagai remaja belasan
tahun yang memakai baju ibunya yang kebesaran karena tubuhnya yang begitu kurus. Aku
tak tahu apakah aku harus merasa miris atau kasihan. Mungkin keduanya.

“Oke, ayo. Sebelum hujan turun,” ujar ayah kikuk karena pertemuannya dengan Dian
yang orang tuaku pikir adalah pacarku atau mungkin pertemuannya dengan ibu setelah
bertahun-tahun lamanya tak bertemu. Ataukah selama ini ayah masih sering mengunjungi
ibu? Bisa jadi. Hanya tuhan yang tahu.

“Ayah kan bawa mobil,” aku berkata malas. “Kita nggak bakal kehujanan kecuali
mobil ayah model terbuka.”

Ayah berpura-pura tidak mendengarku.

Di mobil keadaan hening tak nyaman sebelum ayah menyetel lagu. Kami semua
mendengarkan dentuman musik sementara mata kami menatap keluar lewat kaca mobil. Itu
adalah menit-menit yang ingin kutukar dengan apapun bahkan menit-menit saat namaku
disebut oleh guru fisikaku karena memperoleh nilai terbaik.

“Yap. Sudah sampai, lepaskan sabuk pengaman,” ujar ayah, bisa dibilang terlalu
bersemangat jika tak mau dibilang gugup.

“Ayah aja dari tadi nggak makai sabuk pengaman,” aku berkata malas.

Ayah lagi-lagi berpura-pura tak mendengarku.

Kami menghabiskan waktu di restoran dengan berbicara dan makan, atau mungkin
lebih tepatnya ayah berbicara dan aku makan. Dian terkadang tergelak mendengar lelucon
ayahku yang mana sungguh payah dan ibu menatap bebek panggang di hadapannya seakan
ingin membunuh hewan malang itu walau sebenarnya hewan itu sudah mati.

“Asyik banget kan Jordan? Kita harus ngadain acara kayak gini lain waktu,” ujar ayah
sementara ada sayur yang menempel di giginya.

Tidak, tak ada lain waktu, tidak besok, tidak selamanya.

“Senyum Jordan! Kita kan lagi senang-senang.” Ayah menatapku seakan aku baru
saja menerima penyiksaan. Kemudian, dia tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya
yang mana tertempel sayur di sana. “Lihat? Kayak ayah gini.”

Ayahku terlihat konyol. Aku bertanya tanya apakah aku benar-benar anaknya.
Mungkin aku diadopsi, kemungkinan itu bisa jadi benar.
Kami naik mobil hendak pulang dan suasananya seperti saat berangkat hanya saja
bedanya perut kami saat itu telah penuh. Aku mendengarkan ayah menceritakan masa kecilku
yang membuatku malu. Dian tertawa ketika menurutnya ceritanya lucu dan tunggu saja
sampai aku membalas perbuatannya, masalah kami belum selesai.

“Nah, sudah sampai,” ayah menghentikan mobil di depan rumah Dian yang aneh
dengan pagar aneh dan penghuninya juga aneh—apa yang bisa kuperbuat? Aku sedang kesal.
Dian mengucapkan terima kasih pada ayah, turun dari mobil dan melambai seiring
berjalannya mobil kami meninggalkannya. Aku melihat dari kaca mobil bagaimana tubuh
Dian semakin kecil seiring menjauhnya mobil kami.

“Kamu bener-bener suka sama dia, ya?” tanya ayah seakan kami benar-benar sedang
mengobrolkan tentang cewek. “Dia cantik Jordan.”

“Dia yang melempar kunci motorku sampai hilang, Yah,”

“Apa?”

Namun, aku sedang tak ingin membicarakan tentang Dian, “Matikan AC-nya aja ya
Yah, aku ingin udara segar. Ibu sepertinya juga.”

Ayah melihat dari kaca jendela mobil bagian atas dimana wajah ibu terlihat sungguh
pucat. Aku tak tahu apa yang dipikirkan ibu, pasti hal-hal yang mengerikan seperti melempar
dirinya keluar dari mobil?

“Ayah udah kunci pintu mobilnya?” aku bertanya, aku hanya tak ingin hal-hal yang
tak diinginkan terjadi.

Ayah sepertinya paham sebelum aku menjelaskannya lebih lanjut. “Ya, sudah kok,
Le.”

Setibanya di rumah, aku langsung melesat keluar dari mobil, masuk ke rumah dan
berlari menuju kamarku. Aku membuka pintu kamar dan membaringkan diriku di atas kasur.
Hari yang cukup melelahkan bagiku, penuh dengan emosi dan aku tak menyukainya.

Aku tak tahu berapa lama aku termenung sampai seseorang mengetuk pintu kamarku.
Aku bangkit dengan malas dan membuka pintu kamar. Ayah berdiri di depan kamarku dan
dia terlihat sedikit bosan, “Mau nonton bareng Ayah?”
Aku menghela napas, aku masih tinggal di rumah ayah sehingga sudah sepatutnya aku
tak menolak. Jadi, aku mengangguk.

Ayah dengan bersemangat menonton tayangan kuis di TV sementara aku merasakan


entah dari mana keheningan yang aneh.

“Dimana Ibu, Yah?” aku bertanya dan entah mengapa ada nada gugup dalam suaraku.

Ayah berhenti menonton sejenak dan menjawabku, “Di kamar, sedang tidur.”

Aku ingin mengecek keadaan ibu, tetapi mengurungkannya. Aku tak mau
mengganggunya.

Aku terbangun tiba-tiba sementara ayah tertidur di sebelahku. Aku melihat jam dan
sudah pukul enam sore. Aku bertanya-tanya apa yang membangunkanku dan keadaan rumah
benar-benar hening kecuali suara dari TV yang masih menyala yang kemudian kumatikan.

Perutku terasa sedikit lapar sehingga kuputuskan untuk menuju dapur. Aku
menghidupkan lampu koridor ruangan karena memang sedikit gelap. Ketika aku tiba di
dapur, keadaan dapur cukup gelap sehingga aku menyalakan lampunya dan aku melihat…

Itu adalah sesuatu yang tak akan kulupakan seumur hidupku.

“Ada apa Jordan? Kamu kayak ketakutan gitu…, Ya Allah!”

Entah berapa lama sampai aku menyadari ayah yang telah terbangun dari tidur
melesat masuk ke dapur dimana dia mendatangi ibuku. Ibuku yang terbujur kaku dengan
pisau menancap di dadanya dan matanya yang terbelalak seakan menatapku.
BAB 6

Aku ingat beberapa kenanganku bersama ibu, tak semuanya baik, tetapi tetap saja
akan tetap bertahan dalam ingatanku, seperti karat di pojok kamar mandi yang tak bisa kamu
hilangkan. Beberapa membuatku dewasa, beberapa menghantuiku. Jika aku bisa memilih
siapa yang menjadi ibuku, akankah sesuatunya akan berbeda? Namun, tetap saja tak bisa
karena ibu lah yang menjadikan apa adanya diriku dan tak ada yang bisa mengubahnya.

Polisi datang ke rumah kami dan mewawancarai ayah dan aku atau lebih tepatnya
ayah yang bicara serta aku hanya menjawab sesekali. Aku masih mengingat raut wajah ibu
saat ditemukan di dapur—dia sudah berjuang, setidaknya menurut ayah, tetapi tetap saja
kalah dalam pertarungan melawan depresinya.

“Ada yang ditinggalkan almarhumah? Pesan kematian mungkin?” ujar polisi yang
mewawancarai kami. Dia bertubuh gemuk, tipe yang akan tersangkut di pintu kecil. Aku
ingin menusuknya, entah karena dia tampak seperti balon atau karena dia mengajukan
pertanyaan begitu banyak hingga menggangguku. Namun, aku sudah banyak melihat
kematian beberapa hari terakhir, jadi aku hanya duduk dan diam.

“Tidak, tidak ada. Mantan istriku memang menderita depresi sejak lama. Tidak, tidak
ada pesan kematian,” ayah menjawabnya dengan lancar walau kulihat berkali-kali dia
menggerak-gerakkan genggaman tangannya dengan resah. Saat pandangan kami bertemu,
ayah segera memalingkan wajah seakan dia tahu aku menyadari perasaan resah yang
dipendamnya.

“Oke, Pak,” ujar polisi itu setelah beberapa pertanyaan yang dilontarkannya tanpa
kudengarkan dengan seksama. “Kami akan memberitahu hasil laporannya kepada Bapak
sesegera mungkin. Indikasi sementara adalah bunuh diri, tetapi kami akan sampaikan
selengkapnya nanti pada Bapak.”

Aku menatap lantai dengan pandangan kosong seakan kenyataan “bunuh diri” bisa
diubah saja. Aku tahu ini prosedur yang harus dijalani, tetapi demi apapun juga, semua orang
di ruangan itu tahu betul ibuku bunuh diri.

Setelahnya polisi itu dan beberapa rekannya pergi dari rumah kami meninggalkan
diriku yang termenung karena masih memproses apakah semua ini benar-benar terjadi. Jika
aku bisa menusuk pisau ke dadaku seperti yang ibu lakukan aku akan melakukannya, tetapi
aku tak punya keberanian untuk melakukannya. Semuanya menjadi kabur bagiku: apakah
sebenarnya aku yang pengecut, atau ibu yang pengecut.

Aku tak bisa tidur malam itu, walau jasad ibu telah dipindahkan aku masih merasa dia
menghantuiku. Apakah aku akan terus menerus mengingatnya? Apakah semua ini akan
kuingat terus sepanjang hidupku? Kurasa itu pertanyaan bodoh karena jawabannya pasti
“Ya.”

Aku bangkit dari kasur dan hendak mencari ponselku ketika sesuatu terjatuh dari
tumpukan benda-benda di mejaku. Aku memungutnya dan berpikir setidaknya ada satu hal
yang membuat perasaanku lebih baik: aku menemukan kunci motor cadanganku.

Motorku telah tak kugunakan beberapa hari semenjak aku kehilangan kuncinya, jadi
aku memutuskan untuk memanaskan mesinnya sejenak. Aku mengambil jaketku karena
berpikir di luar pasti udara cukup dingin. Aku memakai sepatu ketsku dan menuju ke garasi
rumah dimana motorku diparkir.
Biasanya aku tak keluar malam, tetapi jika pikiranku suntuk itu bisa membantu.
Awalnya aku berkendara pelan saja, tetapi lama-lama kencang juga sehingga suara mesin
motorku seakan bisa membangunkan orang-orang. Sebenarnya aku tak tahu tujuanku dan
arah mana yang ingin kulalui. Aku hanya ingin menghirup udara segar dan menenangkan
saraf otakku yang tegang dan aku melakukannya dengan caraku.

Karena umurku masih tujuh belas tahun sehingga aku tak bisa pergi minum-minum di
bar, aku memutuskan untuk pergi ke minimarket untuk mendapatkan rokok. Pegawai
minimarket itu menatapku dengan tatapan aneh sebelum berkata, “Nggak apa-apa, Kak?”

“Apa?”

“Tangan Kakak gemeteran dan wajah Kakak pucet banget,” umur cewek itu mungkin
masih muda dan aku melihat nama “Dewi” di papan namanya.

“Jangan ngurusin hidupku, oke? Pikirin urusanmu sendiri,” aku berkata kasar seakan
aku ingin membuat cewek itu menangis. Namun, dia hanya memberiku struk dan kembalian
serta menutup rapat mulutnya.

Aku mengantongi rokokku dan kembali berkendara di jalanan. Aku ingin berteriak
tetapi aku sedang tak memakai helm—aku lupa memakainya, lagi pula persetan dengan
aturan lalu lintas jika pada malam hari, polisi tak akan menangkapku. Namun, aku tak bisa
menahannya lagi sehingga aku berteriak ke udara malam di atas motorku entah orang-orang
mendengarnya atau tidak.

Kuparkir motorku di depan rumah Tante Riana dan Om Bima serta mulai merokok.
Aku biasa bermain di sini ketika masih kecil, tetapi sekarang rumah ini seperti rumah yang
mati seperti pemiliknya yang telah terbaring di pusara. Aku tak tahu dari mana aku dapat
keinginan pergi ke rumah Tante Riana dan Om Bima—mungkin aku merasa sedikit
kehilangan mereka. Aku mencoba menelusuri sisa-sisa kehidupanku di rumah keduaku ini
sebelum aku benar-benar hilang akal.

Setelah menghabiskan berpuntung-puntung rokok dan aku merasa akan mati karena
bronkitis, aku memutuskan untuk meninggalkan rumah Tante Riana dan Om Bima. Aku tak
tahu harus ke mana lagi sehingga memutuskan untuk pergi ke rumah Dian—mungkin
mengganggu tidurnya atau berpura-pura menjadi hantu di jendelanya. Jauh di dalam lubuk
hatiku aku menyadari bahwa sebenarnya aku hanya ingin mempunyai seseorang untuk
berbagi.
Aku tak melempari jendelanya dengan batu atau apapun itu ketika tiba. Aku hanya
menatap rumahnya dan menatap tempatnya berdiri serta melambai ke mobil ayah sore hari
itu. Aku menyadari betapa cepatnya situasi berubah dari saat kami makan-makan di restoran
dan kemudian ibu meninggal. Jika saja Doni kuberitahu tentang hal ini dia pasti akan tertawa
seperti yang kukira akan dilakukannya atau mungkin Tuhan sendiri lah yang tertawa.

Aku kembali ke rumah tepat pukul sembilan malam setelah berkendara tak tentu arah
—kurasa aku telah mengantuk atau mungkin hanya lelah. Aku pergi menuju dapur—
melupakan bahwa jasad ibu pernah di sana—dan meminum segelas air tepat di titik jasad ibu
ditemukan. Aku tak tahu mengapa aku sanggup melakukannya, mungkin aku sudah tak
peduli lagi atau mungkin aku hanya berusaha menganggap semuanya normal berjalan normal
saja.

Ketika berada di kamar, aku melepas semua bajuku seakan pakaianku mengandung
bakteri berbahaya dan berniat tidur tanpa memakai apapun. Aku menatap langit-langit atap
kamarku dan berpikir: apa-apaan semua ini? Aku kehilangan tiga orang dalam waktu kurang
dari seminggu dan itu bukan cara normal untuk menghabiskan masa remajamu.

Entah karena aku mulai menyentuh hatiku yang terdalam atau kehilangan tiga orang
terlalu berat bagiku, kurasakan mataku mulai memanas. Aku mendengar suara yang
menyayat dan kemudian menyadari itu suara tangisku sendiri. Aku menangis, sendirian dan
merana di kamarku dan menyadari aku hanyalah remaja tujuh belas tahun.

Aku bangun dari tidur pagi harinya, merasakan pusing di kepalaku seakan aku baru
tidur dua jam dibanding delapan jam. Aku tidur cukup, hanya saja tubuhku tak mau bereaksi
seperti seharusnya. Mungkin karena aku menangis terlalu lama malamnya atau aku hanya tak
siap menghadapi hari. Jika aku bisa memutar kembali waktu dan mencegah semua ini terjadi
aku akan melakukannya, tetapi tentu tak ada yang bisa melakukan hal tidak mungkin seperti
itu.

Kuputuskan untuk tak masuk sekolah hari itu. Aku menghabiskan waktu pagi hingga
siang dengan berada di kasur, berpikir jika saja hari ini bisa langsung terlewati. Namun, tetap
saja ketika pukul setengah satu siang, aku harus bersiap-siap ke rumah ibu karena memang
seharusnya seperti itu. Aku dan ayah mengendarai mobil dan hanya saling diam tanpa
membahas kematian ibu entah karena terlalu menyedihkan atau terlalu mengganggu.
Teman-teman sekelasku dan wali kelasku datang melayat, kurasa ayah telah memberi
tahu wali kelasku tentang kematian ibu sehingga mereka datang. Aku berpura-pura tak
mendengar ketika beberapa dari mereka berbisik akan rumor yang menyebar tentang
penyebab kematian ibuku. Aku tahu rumor itu pasti menyebar, layaknya bau busuk pada
borok yang berusaha disembunyikan.

“Turut berduka cita Jordan atas kematian ibumu. Kalau kamu mau ngobrol sewaktu-
waktu dengan Bapak silakan aja,” ujar Pak Gunawan, wali kelasku seraya menepuk
pundakku. Aku menerima banyak sekali bela sungkawa hari itu yang mana mulai
meresahkanku karena aku semakin tak bisa melupakan apa yang telah terjadi.

“Makasih Pak,” aku berkata datar sementara Pak Gunawan menatapku dengan
pandangan iba. Lalu, dia meninggalkanku yang tengah duduk dengan luka makin menganga.

Berapa kali pun kamu datang ke prosesi penguburan, kamu tak akan pernah
bisa mengabaikan perasaan menusuk ulu hati yang kamu rasakan saat itu. Apalagi
jika orang yang kamu kuburkan adalah ibumu sendiri, itu malah semakin buruk. Aku
berusaha untuk tak berteriak, atau memukul seseorang atau apa pun itu saat ibu
dikuburkan, tetapi sulit untuk bertahan dengan akalmu saat dalam situasi seperti ini.

Aku menghabiskan sisa hari itu hanya di tempat tidur. Aku tak melihat Tio pada hari
itu, kudengar dia sedang sakit. Aku tak tahu apakah dia masih memulihkan dirinya dari
perkelahiannya dengan Doni atau memang benar-benar sakit seperti demam atau sebagainya.
Bagaimana mungkin aku memikirkan keadaan temanku jika ibuku sendiri telah meninggal?

Pagi harinya, aku menyadari aku tertidur malamnya dan juga menyadari aku masih
belum siap untuk berangkat ke sekolah. Namun, aku merasa diriku akan gila jika terus-
terusan mengurung diri di kamar dan bergelayut dengan pikiran gelapku sehingga kuputuskan
untuk masuk sekolah.

Aku duduk di kelas setibanya di sekolah dan menghabiskan waktu dengan berpura-
pura mendengarkan penjelasan guru di depan walau sebenarnya pikiranku melalang buana.
Tio tak masuk hari itu, mungkin dia masih sakit. Aku tak tahu apakah aku senang dia tak
menanya-nanyaiku seperti biasanya atau senang dia mulai menunjukkan kelemahannya
karena sedikit menakutkan melihatnya tampak selalu sempurna selama ini—mungkin
keduanya. Aku menyadari orang seperti Tio bisa sakit juga.
“Jordan, kamu kenapa? Kamu nggak memperhatikan penjelasan ibu sepanjang
pelajaran,” Bu Rima datang kepadaku. Guru muda yang cantik yang kuyakin separuh siswa
sedang melihat tubuh moleknya saat itu.

“Entahlah Bu…,” ujarku datar. “Kita semua kan bakal mati juga, ngapain susah-susah
belajar.”

Hampir seluruh murid di kelas tertawa saat Bu Rima memandangku kesal seakan aku
berusaha mempermalukannya di depan siswa-siswi di kelas. Bu Rima melirik kertas di
hadapanku yang berisi coretan-coretan tak jelas yang kuyakin siapa pun tak akan
memahaminya. “Ibu tahu kamu baru mengalami kejadian yang berat. Coba kamu keluar
sejenak sebelum mengikuti lagi pelajaran ibu. Cari udara segar di luar.”

Aku menghela napas panjang, berdiri dari tempat dudukku dan mulai melangkah ke
pintu kelas, setidaknya tak ada yang merindukan keberadaanku di kelas.

Kulangkahkan kakiku ke kantin, mungkin merokok bisa membuatku merasa lebih


baik asal tak ketahuan guru. Aku duduk di kantin dan merasakan udara hari itu begitu panas
seakan telah mendekati akhir dunia. Jika memang dunia benar-benar berakhir, apa bedanya
pula? Aku telah merasakannya, setidaknya memang terasa seperti itu.

Saat aku asyik merokok, tertangkap oleh mataku Dian sedang berjalan masuk ke
kantin. Apa dia mengikutiku? Atau dia entah bagaimana memasang magnet di tubuhku dan
tubuhnya sehingga dia bisa mengikuti kemana pun aku pergi? Dia duduk tak jauh di dekatku
seraya bersungut-sungut, yah… mungkin dia punya hari yang buruk sama sepertiku atau
mungkin malah lebih buruk. Aku menatapnya sampai dia merasa terganggu.

“Tahu nggak sih menatap orang lama-lama itu nggak sopan? Apa ibumu nggak
pernah beritahu ke kamu?” ujar Dian terganggu. Dia pantas merasa terganggu karena aku
memandangnya nyaris dua menit tanpa henti.

“Memang nggak, ibuku menghilang sebelum mengajariku kayak gitu. Dia malah baru
saja meninggal,” ujarku sebelum meniup asap rokok ke udara kantin sebagaimana Dian
menatapku berpikir apakah aku sudah gila atau mungkin berpikir apakah aku berkata
sungguh-sungguh atau hanya bercanda.

Dian menutup rapat mulutnya seakan berusaha tak mempedulikan keberadaanku.


Namun, setelah beberapa saat sepertinya dia tak tahan hanya berdiam lama-lama denganku.
Cewek memang seperti itu, berpura-pura tak peduli padahal sebenarnya penasaran. Aku
sering melihat tingkah cewek-cewek seperti itu terhadapku. Sebagai catatan, aku tak culun
juga. Aku bisa membaca karakter orang, tetapi anehnya aku tak memahami diriku sendiri.

“Jadi, ngapain kamu di sini? Bolos kelas atau gimana?” Dian berusaha terlihat benar-
benar tak tertarik, tetapi dia tak cukup pandai menyembunyikannya. “Aku diusir guru soalnya
hampir aja bakar rambut temanku di lap kimia. Dia nyebelin sih.”

Itu cukup lucu sebenarnya, tetapi entah mengapa tak begitu lucu jika Dian yang
mengatakannya.

“Aku mempermalukan guruku di depan kelas,” jawabku sekenanya.

Hening sejenak di antara kami. Dian meletakkan kepalanya di meja kantin dan
menatap lurus ke depan layaknya jika dia punya kekuatan super, dia akan mengeluarkan api
dari matanya. “Dunia ini sialan banget. Pernah nggak mikir buat melupain semua ini dan
punya waktu sendiri?”

“Pernah sih, tapi hidup terus berjalan, kita nggak bisa serta merta menghentikan
waktu.”

Dian menoleh dan menatapku. Dia mengangkat kepalanya dan menopangnya dengan
sebelah tangan. Air mukanya tak terbaca. “Menurutmu normal nggak perilakuku? Cewek itu
memang nyebelin. Aku pantas membakar seluruh tubuhnya.”

Kurasa ada seseorang yang tak bisa mengontrol amarah selain aku dan orang itu
adalah Dian, cewek di hadapanku. “Nggak tahu, mungkin kamu bisa nyiram dia bensin dulu
daripada membakar rambutnya? Karena bau rambut terbakar kayaknya nggak enak banget.”

Kami saling bertatapan dan entah mengapa kemudian kami tak bisa menyembunyikan
tawa.

“Kamu lucu juga ya. Mending jadi komedian aja, dibayar. Dari pada duduk
menyedihkan di kantin sambil ngerokok kayak gitu,” Dian mengulurkan tangannya sebelum
meminta hal yang tak kubayangkan akan dimintanya. “Kasih aku satu dong!”

“Yakin?”

Dian mengangguk sebelum menampakkan wajah seakan tersinggung. “Kamu


ngeremehin aku ya?”
Jadi, aku memberinya sebuah rokok dan pematik. Lagipula, itu bukan urusanku jika
tiba-tiba cewek ini berubah menjadi perokok berat atau semacamnya. Setiap orang punya
pilihan bukan?

Dian menghisap rokok yang telah dihidupkannya dan mulai terbatuk-batuk sementara
aku menatapnya seraya menyeringai. Apa boleh buat? Wajahnya terlihat lucu saat batuk-
batuk konyol seperti itu.

“Oke. Cukup. Ini bukan buat kamu gadis kecil,” aku mengambil rokok di tangannya
entah dia mengizinkan atau tidak. “Ambil permen loli atau apa gitu kek, yang cocok buat
kamu.”

Dian melirik kesal ke arahku seakan dia ingin mengumpat tetapi akhirnya
beranggapan bahwa sebaiknya dia menghentikan tingkah konyolnya. Aku hanya mengangkat
bahu dan membuang puntung rokok miliknya ke bawah sebelum kupadamkan dengan kakiku.
Setidaknya dia tak tahu aku juga bertingkah konyol saat pertama kali mencoba rokok.

“Berapa lama kamu merokok? Aku tebak baru-baru aja,” ujar Dian seakan dia ingin
mencari celah untuk balas mengejekku.

“Setahun,” aku berbohong, tetapi setidaknya dia takkan tahu.

“Lebih baik siap-siap saja paru-parumu terbakar dengan benda itu,” ujar Dian
menatap bungkus rokok milikku dengan jijik. “Atau ucapin selamat tinggal sama hidupmu
yang panjang.”

“Aku cuma ngerokok sesekali aja, kalau pikiranku sedang kacau.”

“Jadi kamu lagi kacau nih? Mau bunuh diri atau gimana?”

“Mungkin, kalau kamu nggak muncul,” aku menjawab asal.

“Wow, kayaknya bukan aku aja yang punya masalah nih,” ujar Dian seraya
menatapku dengan mata lebarnya dengan penasaran. “Apa sih masalahmu? Paling ditolak
cewek, atau kalah taruhan atau—”

“Aku kan udah bilang, aku nggak perlu menjelaskannya lagi. Setidaknya kalau itu
bisa disebut masalah,” aku berkata datar.

Dian menatapku beberapa detik sebelum mengedip dua kali seakan dia belum benar-
benar memahami maksudku. “Apa? Ibumu meninggal? Kamu cuma bercanda kan? Atau—”
Dian memotong kalimatnya sendiri dan menatapku seperti menunggu penyangkalan
dariku tetapi kemudian dia menyadari aku tak melakukannya.

“Kamu cuma bercanda doang kan? Nggak serius?”

Ada keheningan panjang di antara kami. Dian mengetuk-ngetuk jarinya di meja kantin
karena suasana tiba-tiba tak nyaman yang memang seperti itu adanya. Kemudian aku tahu
setelahnya dia menatapku walau aku tak menatapnya. Aku menunggu kata-kata bela
sungkawa yang mungkin akan diucapkannya.

“Sialan nggak sih? Kematian? Kayak kamu dihidupkan terus tiba-tiba saja
dilenyapkan. Kalau aku punya sesuatu, aku akan menyimpannya erat padaku, bukannya
melenyapkannya,” ujar Dian, terdengar betul dia menyalahkan kehendak Tuhan.

“Kamu udah di luar batas deh. Kamu nggak bisa menyalahkan Yang Kuasa atas
kematian.”

Aku melirik Dian karena dia tak kunjung merespon kalimatku dan kusadari dia
sedang menunduk dan kepalan tangannya di atas meja kantin bergetar. Kemudian cewek itu
mulai membuka mulutnya, “Ayah dan ibuku bercerai, tetapi sejak aku tinggal dengan ibu dan
ayah punya keluarga barunya, aku ngerasa udah nggak punya ayah lagi.”

Aku mulai menyadari Dian mencurahkan sebagian kisah pribadinya kepadaku


sehingga aku diam dan mendengarkan. Lagipula, apa lagi yang bisa kulakukan?

“Ibu menikah lagi dengan pria lain, tetapi pria sialan itu lebih sering memegang
pinggulku dibanding pinggul ibuku. Kamu beruntung ibumu udah nggak ada. Nggak seperti
ibuku yang diam saja dan berpura-pura tak tahu dengan apa yang sedang melandaku.”

Wow, ini serius. Seseorang harus melaporkan tindakan ini pada polisi. Cewek ini
telah mendapatkan indikasi pelecehan seksual.

“Kadang aku pengin kabur. Bener-bener kabur. Kayak kabur dari rumah,” ujar Dian
seakan dia meyakinkan dirinya sendiri dibanding mengatakannya padaku.

“Kabur aja. Kamu kan masih punya kaki,” ujarku seraya berpikir sebenarnya aku juga
ingin kabur, entah mengapa. “Atau mungkin kamu kayaknya harus mikir gimana caranya kita
bisa kabur dari sekolah hari ini.”
“Ayo!” Dian menatapku layaknya aku anak paling cerdas di dunia atau aku
mengatakan sesuatu yang cerdas. “Ambil tasmu dan kita bolos hari ini!”

“Apa?”

Dian menatapku kesal seakan aku benar-benar tak mendengar kata-katanya dengan
jelas padahal aku sungguh tak percaya dengan apa yang dikatakannya. “Ayo bolos sekolah
bareng hari ini! Aku bosen banget nih!”

Bukannya aku ingin mengikuti kemauan cewek ini, tetapi kurasa usulnya tak buruk
juga. “Oke, ayo cepet-cepetan ke parkiran sekolah!”

Dian menyeringai. Kurasa ini pertama kalinya kami punya pemikiran yang sama.

Kami berlari ke kelas masing-masing untuk mengambil tas kami karena kami yakin
tak akan ada yang mau mengantarkan tas kami setelahnya. Aku masuk ke dalam ruangan
setibanya di depan kelas dan membereskan buku serta alat tulisku sebelum menenteng tasku
dan berjalan ke arah pintu. Aku yakin semua siswa-siswi di kelas menatapku dengan tatapan
heran, tetapi aku tak peduli lagi. Tak ada yang menghentikanku selain saat Bu Rima berteriak
padaku yang mana aku yakin bisa mengatasinya.

“Duduk kembali Jordan!” ujar Bu Rima seraya berkacak pinggang. “Kamu mau
kemana?”

“Duh Ibu kok malah nanya,” aku memperlihatkan seringaiku karena kutahu Bu Rima
tak akan senang mendengarkan ucapanku setelahnya. “Kan kayak yang ibu bilang, nyari
udara segar!”

BAB 7

Aku dan Dian pergi dari sekolah layaknya pencuri yang kabur dari toko yang
dijarahnya—Dian mengambil salah satu helm di parkiran tanpa tahu pemiliknya. Aku tak
tahu mengapa aku mau melakukannya dengan Dian, tetapi rasanya sungguh menyenangkan
seperti ketika kamu telah bertarung melawan naga dan menyelamatkan putri yang dikurung di
menara.
Kami tertawa-tawa selanjutnya di atas motor untuk beberapa saat lamanya, tetapi
kemudian baru menyadari kami tak tahu ingin pergi kemana. Kami memutuskan untuk
berhenti sejenak di pinggir jalan raya sebelum kami mencapai perbatasan kota atau mungkin
ujung dunia.

“Kita harus mikir mau ke mana nih, kayaknya emang harusnya seperti itu deh,” ujar
Dian acuh tak acuh. “Jangan ke rumahmu dan tentu jangan ke rumahku.”

“Kamu mau pergi ke bioskop?”

“Dengan seragam sekolah? Nggak lah!” jawab Dian memutar bola matanya seakan
aku anak paling bodoh di dunia.

“Nggak ada yang merhatiin kok.”

“Nggak ah,” ujar Dian seakan dia benar-benar tak tertarik. “Aku rasa film yang
diputar nggak ada yang menarik.”

Kami termenung, kepanasan dan mulai berpikir jika tindakan kabur kami dari sekolah
merupakan ide yang buruk. Namun setelahnya, Dian mengatakan sesuatu yang paling bodoh
yang pernah kudengar, “Gimana kalo kita ke rumah ayahku? Kamu bisa kukenalin sebagai
pacarku.”

“Nggak.”

Dian memandangku seperti dia tak pernah menerima penolakan sebelumnya.


“Kenapa? Kan kita cuma pura-pura atau kamu beneran mikir kalau aku mau jadi pacarmu?”

Aku melihat Dian menatapku seraya menyeringai seakan menggodaku atau berusaha
membuatku kesal.

“Oke. Cuma pura-pura. Ayo,” aku berkata pada akhirnya. Lebih baik menuruti
kemauan Dian dibanding berdiri kepanasan di jalanan.

Sebenarnya ini ide yang cukup gila. Kami harus berkendara sekitar tiga jam keluar
kota, tetapi untungnya aku membawa uang yang kurasa cukup untuk beli bensin hari itu.

“Berhenti sebentar di pom bensin dong, kamu kan bisa isi bensin dan sekalian kita
beli roti sama minum di minimarketnya. Aku belum sarapan tadi,” ujar Dian di atas motor.
Sebenarnya aku cukup lapar dan kehausan juga sehingga kuhentikan motorku di pom bensin
terdekat.
Setelah mengisi bensin motor, aku menunggu Dian di depan minimarket. Lalu, setelah
menunggu beberapa menit, Dian keluar dari minimarket seraya menenteng sebuah plastik.
Kami makan dan minum di bangku depan minimarket yang membuatku berpikir jika aku
punya uang lebih aku bisa membawa Dian ke restoran cepat saji, tetapi saat itu aku tak
membawa uang cukup banyak.

Setelah menghabiskan makan dan minuman serta merasa cukup kenyang, kami
melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, Dian merangkul pinggangku yang membuatku
berpikir cukup lucu bahwa kita sebenarnya tidak pacaran tapi bertingkah seperti orang
pacaran. Bukannya aku memanfaatkan momen ini, tetapi entah mengapa aku cukup
menyukainya.

Aku dan Dian tiba di tempat tujuan kami pada akhirnya. Rumahnya sederhana—
pinggir jalan raya—dan ada toko bangunan di sampingnya. Aku secara tiba-tiba punya
perasaan tak nyaman akan muncul di depan ayah Dian seraya mengajak anaknya yang mana
masing-masing dari kami masih mengenakan seragam sekolah. Hal ini bisa berakhir baik atau
buruk.

Aku merapikan seragamku saat Dian mengetuk pintu rumah ayahnya, entahlah aku
hanya melakukannya begitu saja. Aku dan Dian menunggu sampai seorang lelaki yang
sedang menggendong anak kecil kira-kira usia tiga tahun membukakan pintu untuk kami.

“Ayah?” suara Dian terdengar tercekat seakan pertemuan ini membangkitkan


emosinya.

“Dian?” ayah Dian menatap kami dengan wajah kaget, seperti tak percaya telah
dikunjungi sang anak dengan tiba-tiba.

Dian menatap pria itu dan anak yang digendongnya sebelum menanyakan pertanyaan
lain. “Anak ayah?”

Sebelum pria itu menjawab pertanyaan Dian, mata pria itu melebar seakan menyadari
sesuatu dan berkata, “Dian, kamu bolos sekolah? Dan siapa kamu? Temennya Dian?”

Sebenarnya aku ingin berkata bahwa aku pacarnya Dian seperti rencana awal kami,
tetapi Dian lebih dulu mengatakannya untukku, “Pacarku Yah. Jordan.”

Pria itu menelitiku sebelum menatapku seakan ingin tahu apakah aku pantas menjadi
pacar anaknya atau tidak sementara aku hanya menatapnya dengan raut wajah datar.
“Aku baru tahu kalau ayah punya—" Dian memotong perkataannya seraya menatap
anak kecil yang di gendong ayahnya kemudian dia melanjutkan kata-katanya kembali. “Boleh
kami mampir, Yah?”

Pria itu menatap Dian seraya tersenyum. Ada gurat rindu dan kesedihan yang terlukis
di wajahnya. “Ya nggak apa-apa lah. Kamu kan anak Ayah.”

Setelahnya, kami masuk ke rumah pria itu saat seorang wanita keluar seraya menatap
curiga pada kami: dua anak remaja yang masih memakai seragam sekolah saat belum jam
pulang sekolah.

“Ini istriku, kamu belum pernah ketemu ya, Dian?” ayah Dian berkata pada Dian
untuk menjelaskan. “Dan ini anak kami, Tefan.”

Kami semua menatap anak kecil itu, Tefan, yang mulai tampak mengantuk di
pangkuan ayah Dian sebelum keheningan yang entah mengapa tiba-tiba muncul. Namun,
ayah Dian segera memecahkannya dengan berkata. “Ayah nggak nyangka bakal dikunjungi
kamu dan pacarmu.”

Pertemuan ini sungguh kikuk. Aku melihat ayah Dian terlihat tak nyaman saat
memperkenalkan istrinya pada Dian, aku melihat sang istri senantiasa menatap kami dengan
curiga dan aku melihat Dian berpura-pura berusaha menampilkan wajah baik-baik saja yang
tergambar jelas di air mukanya.

“Ayah nggak pernah ngunjungin aku dan ibu. Bahkan nggak pernah ngirim foto
keluarga Ayah,” ujar Dian dengan suara yang kurasa sedikit bergetar, tetapi terlihat betul dia
berusaha menyembunyikan gejolak hatinya. “Ayah tak pernah mengirimiku ucapan ulang
tahun seperti dulu lagi dan tak pernah menghubu—”

“Eh, aku bawa Tefan ke kamar dulu,” istri ayah Dian memotong kata-kata Dian
seakan dia merasa tak perlu mendengarnya. Wanita itu mengambil Tefan dari pangkuan
suaminya dan bergegas keluar dari ruang tamu.

“Maaf, istriku harus meletakkan Tefan di tempat tidur,” ujar ayah Dian, mengetahui
istrinya menghentikan momen sensitif diantara dirinya dan Dian. Kami semua tahu sikap
istrinya kurang sopan, tetapi kami pura-pura mengabaikannya.

“Maaf Ayah tak pernah menghubungi atau mengunjungimu. Ayah dan ibumu telah
bercerai. Ayah telah bersama keluarga baru ayah. Ibumu telah menikah lagi. Kamu harus
belajar memahaminya, Dian,” ujar ayah Dian seakan hal itu tak menimbulkan perasaan
terluka pada Dian.

Ada keheningan yang kemudian menyusup di antara kami. Tahu kan, ketika setiap
orang sibuk dengan pikirannya masing-masing sehingga tak ada satu pun kata yang keluar.
Pada momen seperti ini, terbersit di pikiranku bahwa keheningan bisa sangat berisik.

“Jadi,” ujar ayah Dian seperti orang yang ingin mengubah suasana menjadi lebih baik.
“Berapa lama kalian pacaran?”

Dian tak mengatakan sepatah kata pun—aku punya perasaan dia sedang menata
hatinya—sehingga aku pun menjawab sekenanya, “Nggak lama Om, mungkin sekitar
beberapa hari.”

Ayah Dian menatapku dengan aneh layaknya menilai apakah aku sedang bercanda
atau memang sikapku yang acuh tak acuh sebelum berkata, “Kukira kalian sudah pacaran
lama sampai bolos sekolah bareng gini.”

“Sebenarnya nggak bener-bener bolos sih Om, kami—”

“Kami mau kembali,”

Aku dan ayah Dian serempak menoleh ke arah Dian setelah ia berkata dengan tegas
dan tajam. Apa Dian bercanda? Kami baru saja sampai di rumah ayahnya! Mungkin pikiran
Dian melalang buana lagi seperti cewek pada umumnya.

“Aku pulang, Yah,” Dian berdiri dan menoleh ke arahku dan meluncurkan kata-kata
yang aku yakin dia tak ingin mendengar penolakan setelahnya. “Ayo, Jordan!”

Dian menenteng tas sekolahnya dan aku—tak tahu harus berbuat apa lagi—
mengambil tas sekolahku sebelum menyusulnya menuju pintu.

“Dian!”

Ayah Dian memanggilnya, tetapi Dian menyuruhku untuk terus berjalan dan
mengabaikan ayahnya.

“Kayaknya kamu harus bicara sama ay—”

“Nggak! Jalan terus!” ujar Dian menghentikan kata-kataku sehingga aku menutup
mulutku. Namun, ayah Dian berlari hingga menyusul Dian dan langsung memeluk sang anak.
“Lepasih aku, Yah!” Dian berteriak seraya berusaha melepaskan diri dari ayahnya.
Jika seseorang lewat dan tak paham situasinya, mereka bisa saja mengira seseorang akan
diculik.

Dian terus menerus meminta sang ayah melepaskan dirinya, tidak sampai sang ayah
tiba-tiba menangis dan berkata, “Maafin Ayah, Dian. Ayah kangen banget sama Dian. Tolong
jangan pergi.”

Gerakan memberontak Dian memelan dan kurasa dia mulai terbawa emosi juga. Dian
balik memeluk sang ayah dan mulai menangis. Aku menatap sepasang sepatuku entah karena
aku tak mau mengganggu momen privat diantara mereka atau karena aku ingin memberikan
mereka ruang privasi. Tidak, mungkin karena urusan perasaan ini tak biasa buatku, si
sosiopat.

“Jordan, mau ke belakang rumah liat ikan Koi Om? Om bakal tunjuin ke kalian,” ujar
ayah Dian kepadaku sebelum akhirnya aku mendongak dan melihat Dian mengusap matanya
serta sang ayah tersenyum padaku. “Kamu nggak bakal berdiri di sana dan ngelihat kami
menangis sepanjang hari, kan?”

Jadi setelahnya aku mengikuti ayah Dian dengan Dian berjalan di sampingnya
menuju ke belakang rumah yang mana terasa sedikit aneh karena sebelumnya aku menjadi
saksi momen privat mereka. Seperti perbedaan suasana yang kontras layaknya saat kamu
minum es setelah makan makanan yang panas.

“Jadi ini ikan-ikan koiku. Cantik semua, bukan?” ujar ayah Dian layaknya
menunjukkan deretan piala kejuaraan atau semacamnya. “Aku sampai nggak tega
memakannya.”

Dian tersenyum seraya duduk di pinggir kolam. Air mata masih menempel di bulu
matanya, tetapi dia terlihat tak buruk juga dengan wajah sembab seperti itu. Apa sih yang
kupikirkan? Apa aku mulai suka sama cewek ini? Lebih baik untuk tak mempercayai dengan
apa yang kurasakan.

“Mungkin aku akan menggorengnya suatu saat nanti,” ujar ayah Dian setelah
keheningan beberapa saat lamanya karena mata kami menatap ikan-ikan koi yang berenang di
kolam itu. “Lebih baik dimakan sendiri dibanding di jual, bukan?”
Ayah Dian terkekeh. Aku mulai memikirkan pria yang ada di hadapanku ini. Apa dia
benar-benar bahagia dengan hidupnya? Mengapa dia tak pernah mengunjungi atau
menghubungi Dian? Tentu seorang ayah tak akan melupakan anaknya. Aku mulai berpikir
masalahnya terletak pada keluarga barunya atau mungkin dirinya sendiri.

“Gimana sekolah, Dian? Baik kan? Kamu nggak membakar rambut temenmu lagi
seperti saat SD dulu?” ujar ayah Dian yang membuatku menyadari masalah pada diri Dian
ada sejak lama.

“Nggak,” Dian menjawab sang ayah seraya mengedikkan bahunya. “Hampir


mungkin.”

“Hah?”

Dian menyeringai setelah sang ayah menuntut penjelasan lebih lanjut. “Dia nyebelin
banget sih, Yah. Untung aku nggak beneran bakar rambutnya.”

“Nggak, Dian,” ayah Dian mulai menunjukkan wajah serius seperti seorang ayah
yang seharusnya. “Kamu sekarang udah besar. Kamu nggak bisa bertindak semaumu
mengikuti emosimu selalu.”

“Dia…” Dian berkata dengan air muka seakan terlihat mengatur kata-kata yang
hendak diucapkannya. “Dia bilang aku cewek emosional yang punya keluarga berantakan.”

Jadi, itu masalahnya. Kurasa aku paham dengan perasaan Dian, mungkin tak ada
buruknya jika dia benar-benar membakar rambut cewek itu.

Ayah Dian terdiam seakan apa yang terjadi adalah salahnya. Mungkin sebagian
memang salah pria itu, tetapi kamu tak bisa menyalahkan apa yang sudah terjadi bukan?

“Aku diusir guru dan bertemu Jordan di kantin. Maaf yah, kami nggak pacaran. Aku
bertemu Jordan saat di pesta ulang tahun teman dan aku membuang kunci motor Jordan
sampai hilang,” ujar Dian berkata sejujurnya. Lebih baik mengatakan hal yang sebenarnya
daripada dipendam, bukan?

Ayah Dian menatap kami bergantian seperti berpikir betapa anehnya hubungan
diantara kami. Dia mengangkat sebelah alisnya dan berkata, “Lalu kalian ini berteman?”

Aku dan Dian saling bertatapan lalu menatap ayah Dian seraya serempak berkata,
“Nggak.”
Ayah Dian menunduk sebelum kembali mendongak seraya tertawa terbahak-bahak.
Kami berdua hanya menatapnya dengan muka datar dan kamu nggak akan bisa
membayangkan betapa anehnya suasana saat itu.

“Aku ingat saat aku muda. Kalian anak muda lucu sekali,” ujar Ayah Dian setelah
selesai dengan tawanya. “Aku jadi nostalgia.”

Aku tak berpikir apa yang barusan kami katakan lucu atau mungkin kami punya
selera humor yang berbeda dengan ayah Dian. Tak ada diantara kami berdua yang tertawa.

“Jordan,” ujar ayah Dian menatapku dengan tampang penasaran. “Kamu ikut Dian
bolos atau kamu diusir juga dari kelas? Kalian ini, aku tak pernah bolos waktu sekolah dulu.”

Aku tak mau membual sehingga aku mengatakan yang sebenarnya, “Aku nggak
memperhatikan pelajaran guruku di depan kelas karena memikirkan ibuku yang meninggal
karena bunuh diri.”

Hening seketika. Dian tampak begitu kaget seolah tak percaya dengan penyebab
kematian ibuku dan ayah Dian menatapku seakan berpikir apakah anak dari ibu yang
meninggal karena bunuh diri sepertiku pantas untuk menjadi teman anaknya atau mungkin
dia hanya sedikit khawatir denganku.

“Turut berduka cita,” ujar ayah Dian menunjukkan rasa simpatinya. “Ayahmu pasti
sedih sekali.”

“Ayahku sudah bercerai dengan ibuku, tapi em.. ayah juga sedih tentu saja.”

Pernyataanku membuat segalanya tampak rumit seperti aku dari keluarga yang
berantakan atau semacamnya.

“Maaf aku nggak percaya pada awalnya,” ujar Dian menunjukkan perasaan
menyesalnya. “Aku nggak tau kalau ibumu—”

“Nggak apa-apa, kok,” aku memotong perkataan Dian sebelum suasana makin suram.
“Kamu kan emang nggak tahu.”

Aku dan Dian menghabiskan waktu seharian di rumah ayah Dian melakukan apapun
yang bisa kami lakukan: menonton film, mengobrol, bermain kartu. Sepertinya ayah Dian
punya keleluasaan di rumah karena Dian berkata padaku ayahnya adalah pemilik toko
bangunan sehingga bisa meluangkan waktu di rumah—sesekali mengecek tokonya. Ayah
Dian cukup keren, tidak seperti superhero atau semacamnya, tetapi dia cukup baik.

Ketika kami di tengah permainan kartu, aku melihat istri ayah Dian muncul di balik
tembok ruang keluarga itu dan melambai cepat seraya komat-kamit kepada ayah Dian yang
menyadari keberadaannya. Aku tahu bagaimana ini akan berakhir, tetapi aku berpura-pura tak
tahu. Yang aku tahu, istri ayah Dian dari awal sudah tidak menunjukkan rasa sukanya pada
kami.

“Aku pergi sebentar, kalian lanjut main saja,” ujar ayah Dian sebelum beranjak
menuju ke tempat istrinya menunggu. Mereka berdua menghilang dari balik tembok entah
menuju kemana.

Aku ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan entah sebagian karena penasaran
atau mungkin aku mulai memunculkan rasa perhatianku pada Dian.

“Aku ke kamar mandi dulu ya,” aku berkata saat Dian sibuk melihat deretan kartu di
tangannya.

“Oke,” Dian mengangguk sebelum aku beranjak dari ruangan itu untuk mencoba
menyelamatkan perasaannya.

Aku berjingkat menuju ke arah ayah Dian dan istrinya pergi dan menemukan mereka
sedang berbincang cukup serius di kamar sehingga aku mengintip dari pintu. Ayah Dian
berkata “Mengapa kamu begitu membencinya?” dan sang istri berkata “Kamu bukan lagi
suami ibunya! Suruh dia pergi!” kemudian aku mendengar ayah Dian berkata “Aku nggak
bisa. Dia masih anakku!” dan sang istri berkata “Aku dan Tefan atau dia? Itu pilihan kamu!”

Aku beranjak dari tempatku untuk kembali menuju tempat Dian menunggu.
Sepertinya kami telah diusir.

“Ada apa? Kamu kok kayak mikirin apa gitu?” ujar Dian yang menatapku kembali
duduk di hadapannya. “Ayah belum balik, nih.”

Aku bimbang apakah aku harus mengatakan pada Dian dengan apa yang telah
kudengar karena ini semata tentu bukan urusanku. Namun, sesuatu dalam diriku mengatakan
mungkin sebaiknya aku memberi Dian persiapan sebelum dia terluka.
“Dian,” aku berkata Dian yang menatapku dengan tampang datar. “Aku yakin
ayahmu peduli padamu, tetapi dia punya keluarga baru yang perlu diurusnya. Tahu kan
maksudku?”

Dian menatapku seakan dia menunggu kata-kataku selanjutnya.

“Maksudku,” aku berkata dan mulai menyesali keputusanku karena aku mulai sulit
menemukan kata-kata yang pas. “Sebaiknya kita pergi sebelum—”

“Dian,” ayah Dian tiba-tiba muncul dengan sang istri berada di sampingnya. “Kami
mau pergi, kurasa kalian sebaiknya pulang.”

Dian menatap ayahnya seakan baru saja menerima penolakan, “Tapi, Yah. Bisa nggak
ayah menundanya? Kita baru saja ketemu.”

Ayah Dian menatap istrinya yang menampakkan wajah tak suka. Pria itu kemudian
berkata, “Nggak bisa. Lagipula, ibumu pasti khawatir Dian kamu nggak kunjung pulang.”

Ada keheningan yang tak nyaman. Aku dan Dian mulai merasa kami memang telah
diusir. Tidak ada yang namanya “pergi dulu” karena pada kenyataannya ayah Dian dan
istrinya tak mau melihat kami lebih lama lagi.

“Oke,” ujar Dian tersenyum, tetapi kulihat air matanya akan jatuh. “Aku ngerti kok,
Yah. Aku nggak bakalan ganggu ayah lagi.”

Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut ayah Dian. Entah mengapa aku ingin
menonjok mukannya saat itu. Dia sudah bersikap sangat tak adil pada anak perempuannya.

Aku dan Dian beranjak menuju pintu keluar saat air mata Dian mulai jatuh dan dia
berusaha mengatur ritme napasnya yang mulai tak teratur. Sesuatu dalam diriku tergerak
seakan aku ingin membuat Dian merasa lebih baik.

“Kamu nggak apa-apa?” aku berkata seiring suara keras dari pintu rumah ayah Dian
yang kurasa ditutup oleh sang istri.

Dian mencoba tertawa, tetapi yang keluar malah tawa pilu seiring air matanya yang
masih mengalir. Dia berkata, “Aku menghabiskan waktu seharian kita dengan sia-sia. Maaf.”

Aku meletakkan tanganku di pundaknya, entah mengapa aku mulai terbawa


suasananya juga. “Nggak apa-apa. Lebih baik mencoba dari pada nggak sama sekali.”
Dian menatapku dan seringai muncul di wajahnya yang masih sembab. “Mungkin
kamu nggak buruk juga, Jordan. Kita bisa jadi temen.”

Entah mengapa aku ingin mencairkan suasana sehingga berkata, “Seharusnya kita
nonton bioskop aja ya dari awal. Aku rasa filmnya nggak akan seburuk ayahmu.”

Aku melihat Dian tertawa dan merasa bahwa itu adalah pemandangan paling
menyenangkan yang kulihat hari itu.
BAB 8

Aku bangun pagi itu dengan suasana hati lebih positif atau mungkin karena aku baru
saja memimpikan Dian. Kuingat kemarin aku menghabiskan waktu seharian bersama Dian—
sejujurnya waktu seharian bersama cewek pertama kalinya. Aku punya dua alasan cukup kuat
hari itu untuk bangun dan berangkat ke sekolah: satu, jauh dari suasana rumah yang
membosankan dan dua, bertemu Dian.

Perasaan ini baru buatku, maksudku, aku telah menghabiskan waktu sekian tahunku
untuk tak tertarik dengan apapun selain kesendirianku. Cewek ini, Dian, bisa menjadi mimpi
baik atau burukku dan aku akan mencari tahu soal itu.

Aku hanya makan sereal pagi itu, tetapi rasanya lain, seperti rasa sebuah harapan.
Kumakan makanan payahku dengan senyum di wajah sampai ayah bertanya, “Kok seneng
banget? Kamu nggak pernah sesenang ini waktu sarapan.”

Aku hanya berhadapan dengan ayah, tetapi aku memandang ayah seakan dia pangeran
inggris atau semacamnya. Aku menghormati ayahku lebih dari apapun pagi itu sehingga aku
menjawab dengan nada yang menyenangkan, “Nggak apa-apa yah. Kondisi hatiku lagi baik.
Ayah juga harus gitu sesekali.”

Ayah memandangku dengan tatapan heran dan sebelum dia bertanya lagi, aku
mengambil tasku serta pamit untuk berangkat sekolah.

Aku menaiki motorku dan mulai berdendang sepanjang jalan, mungkin tak semerdu
pangeran tampan malah cenderung lebih mirip Shrek, tetapi apa pentingnya? Aku sedang
dalam kondisi hati baik dan sedang mendapatkan apa yang perasaanku inginkan.

Saat melewati koridor sekolah, suasananya seperti saat aku melewati taman bunga.
Aku menyapa Pak Roy, guru matematikaku bahkan sebelum dia menyapaku. Mungkin setiap
orang yang kulewati heran dengan perubahan aura pada diriku, tetapi itu bukan masalah.
Menurutku yang terpenting adalah aku tak perlu merasakan kemuraman yang biasa
kurasakan.

“Kamu kok seneng banget kayaknya?” Tio masuk hari itu dan bertanya padaku.
Biasanya aku kesal jika dia bertanya padaku, tetapi sekarang aku malah ingin ditanyai.
“Oh, kamu udah masuk rupanya, kirain masih sakit,” ujarku sementara Tio menatapku
heran. “Aku lagi seneng aja, oke? Emang nggak boleh?”

Tio mendesah seakan perubahan dariku membuatnya cukup senang atau dia mungkin
masih heran dengan perubahanku yang terlalu tiba-tiba.

“Kamu udah baikkan?” tanyaku pada Tio entah ingin mengalihkan percakapan atau
benar-benar ingin mengetahui keadaannya—mungkin keduanya.

“Udah kok, aku nggak bener-bener sakit sebenarnya, cuma lagi kepingin nggak
masuk aja,” ujar Tio sebelum menatapku seakan meminta persetujuan. “Tahu nggak? Kayak
kamu pengin sendiri aja dan nggak mau kemana-mana dulu walau seberapa keras kamu
berusaha untuk ketemu orang, tapi kamu lagi nggak dalam kondisi baik?”

Aku mengangguk mengerti. Seperti yang kurasakan saat ibu meninggal. Bahkan
membayangkannya lagi membuat segala pikiran positifku hilang.

“Turut berduka cita, ya,” ujar Tio padaku. Aku tahu dia menggiring topik ke arah
mana dan aku tahu aku tak menyukainya. “Aku dengar ibumu meninggal. Kamu pasti sedih
banget.”

Aku tak hanya sedih, tetapi sempat berantakan. Namun, tak kutakan pada Tio karena
aku tak ingin terlihat lemah.

“Nggak apa-apa kalo kamu mau ngomong tentang itu denganku,” ujar Tio bersikap
seperti orang bijak yang mana malah menggangguku. “Kamu mau membicarakannya?”

Tentang ibuku? Kenyataan bahwa dia meninggal karena bunuh diri? Tentu saja
tidak!

“Kamu udah terlihat baik-baik aja sekarang, kayaknya kamu udah bisa ngatasin ya.
Aku bangga deh,” ujar Tio tanpa mengetahui bahwa dadaku sedang terbakar saat itu. “Atau
mungkin ini tentang hal lain?”

Aku mulai mempertanyakan diriku. Apakah aku pantas merasa senang karena
memikirkan cewek itu, Dian, sementara ibuku baru saja meninggal? Aku merasa seperti
tersangka. Dalam diriku muncul perasaan seperti saat orang sedang melakukan tindak
kejahatan.
“Bisa nggak kita nggak bahas kematian ibuku?” ujarku, berpikir bahwa itu pilihan
terbaik untuk saat ini. “Aku udah berusaha buat mengatasinya.”

Tio menatapku dengan senyum tipis di wajah seakan dia membuatku merasa bahwa
dia paham situasi yang kuhadapi yang menurutku omong kosong. Dia tak pernah tahu
bagaimana rasanya mengetahui ibu yang meninggal karena bunuh diri dan dia tak akan
pernah mengalaminya.

“Aku tahu perasaanmu, Jordan. Aku juga punya kakak yang udah meninggal,” ujar
Tio seakan berusaha meyakinkanku. “Kamu merasa kalau itu akhir dunia padahal masih ada
kesempatan untuk dirimu terbentang di hadapanmu.”

Bukankah itu jadinya kami yang ditinggalkan menjadi lebih unggul dari pada yang
meninggal? Atau mungkin Tio hanya berusaha membuat perasaanku lebih baik?

“Kamu nggak sendirian, Jordan,” ujar Tio nyengir padaku. “Kamu kan punya teman.”

Aku mulai berpikir. Jika kematian ibuku membuat hubunganku dan Tio semakin erat
karena kami jadi mempunyai pengalaman yang sama akan kehilangan keluarga. Bukankah
jadinya kejadian ini membuat kami tak lagi bersedih seperti awalnya?

Setelahnya aku mengikuti pelajaran di kelas dengan banyak termenung. Aku berpikir
tentang mengapa selama ini aku bersedih padahal aku punya teman seperti Tio. Aku mulai
berpikir apakah sebenarnya aku ini beruntung atau tak merasa cukup beruntung sehingga tak
pernah bersyukur? Atau semua pemikiranku ini adalah efek samping dari hadirnya Dian
dalam hidupku? Keyakinan bahwa sebenarnya hidupku tak buruk-buruk amat? Bahwa
sebenarnya aku masih punya seseorang untuk saling berbagi?

“Kamu ngelamun aja tadi waktu pelajaran,” ujar Tio sementara guru kami keluar
kelas karena pelajaran selanjutnya akan dimulai. “Mungkin kamu bisa keluar sejenak. Buat
cari udara segar.”

Aku menatap Tio seakan berpikir apakah dia lupa bahwa pelajaran bagiku tak penting
atau kenyataan aku selalu mendapat nilai bagus walau tak mendengarkan penjelasan guru.
Namun, aku hanya berkata, “Nggak apa-apa. Aku bisa lihat catatanmu.”

Tio mendesah dan menatapku seperti aku kucing terluka. “Aku tahu perasaanmu. Aku
pernah di posisimu. Namun, waktu menyembuhkan, Jordan.”

“Nggak, sebenarnya aku mulai menerima semua ini. Kamu salah.”


Mata Tio membesar dan mulutnya tersenyum lebar seakan menemukan harta karun di
kedalaman laut. “Ohya? Bagus dong!”

“Ya, jadi diem oke?”

“Oke,” Tio nyengir.

Aku mencoba memperhatikan pelajaran selanjutnya, tetapi pikiranku selalu tertuju


pada Dian sehingga kuputuskan untuk ke kamar mandi untuk cuci muka atau sekedar cari
udara segar. Tio benar, dia seringkali benar dalam beberapa hal. Pernah suatu kali dia berkata
nilaiku bakal terbaik di pelajaran fisika dan dia ternyata benar atau saat Linda, temannya dari
kelas lain bakal mengadakan pesta ulang tahun, dia benar lagi. Mungkin ada baiknya jika aku
cari udara segar seperti yang dikatakannya karena dia selalu benar tentang segala hal.

Jadi, aku pergi ke kamar mandi, mencuci mukaku dan menatap pantulanku di cermin.
Kantung mataku tak lagi begitu tebal karena aku tidur nyenyak malam sebelumnya. Entah ini
karena aku senang memimpikan Dian atau aku mulai bisa mengatasi masalahku sendiri—
mungkin keduanya. Aku keluar dari kamar mandi, berjalan di koridor kelas dan sempat tak
menyangka melihat cewek yang selama ini aku pikirkan tampak di hadapanku.

“Jordan?” Dian mengerutkan keningnya sebelum nyengir perlahan. “Apa kita ini
ditakdirkan bersama? Kita selalu ketemu secara kebetulan.”

“Apa? Kamu pengin kita memang selalu bersama?” aku balas nyengir.

Dian terkekeh geli seraya menggelengkan kepalanya, “Lupain, deh!”

“Mau kemana? Mau bolos sekolah lagi?”

“Nggak, aku mau ke perpus, tadi waktu pelajaran pertama kelasku kan ke perpus,
kotak pensilku ketinggalan.” Dian terenyum miring menatapku. “Mau ikut?”

“Oke,” jawabku. Bukankah untuk terus bersama Dian membuatku berhenti


mengangankan dia saja?

Jadi, kami ke perpustakaan dan di sana begitu sepi. Aku bukan kutu buku, tetapi
suasana sepi ini membuatku cukup nyaman. Dian menemukan kotak pensilnya dan kami
duduk di bangku perpustakaan.

“Kamu masih mikirin tentang kematian ibumu?” ujar Dian seraya memainkan kotak
pensilnya. “Ibumu terlihat baik-baik saja terakhir aku bertemu dengannya.”
“Ibuku,” aku terdiam beberapa saat lamanya, tak kukira sesulit ini membahas
tentangnya. “Dia berpikir secara berlebihan tentang segala hal dan itu mulai meracuni
pikirannya.”

Dian menggenggam tanganku di atas meja sebelum melepaskannya perlahan dengan


kikuk dan tersenyum tipis menatapku. “Kamu kan punya aku. Kita teman sekarang bukan?”
Kata “teman” yang diucapkannya entah mengapa membuatku menginginkan lebih.
Kata itu seperti makanan yang kekurangan garam, tetapi tetap saja aku menjawab. “Oke. Kita
teman sekarang.”

“Kalau kamu?” tanyaku setelah keheningan beberapa lama. “Kamu masih bermasalah
dengan ayah tirimu?”

Dian terdiam, atmosfer sekelilingnya tiba-tiba berubah. “Dia sering menggangguku.


Menyentuh bagian tubuhku yang—”

Dian tak menyelesaikan kalimatnya, tentu saja bagaimana mungkin dia bisa
menyelesaikan kalimatnya itu?

“Kamu harus ngelaporin ayah tirimu ke polisi,” aku berkata pada akhirnya. Ini cukup
serius. “Kamu bisa menuntutnya atas tindakan pelecehan—”

“Mungkin aku bakal melakukannya,” Dian menoleh ke arahku dan mencoba


tersenyum. “Seneng aku bisa bicara lebih banyak tentang masalahku ke kamu, Jordan. Kamu
pendengar yang baik.”

Aku berusaha menahan pipiku agar tak memerah, tetapi sepertinya lumayan gagal.

“Bisa nggak aku dapet nomormu?” Dian bertanya padaku seraya mengeluarkan
ponselnya. “Mungkin kita bisa ngomong lebih banyak nanti.”

Tentu saja! Aku kasih alamat rumahku kalau mau! Namun, aku hanya mengangguk
dan kami pun bertukar nomor ponsel.

“Kita kayaknya harus balik, deh,” ujar Dian sebelum nyengir ke arahku. “Atau kamu
lebih suka di sini sampai pulang sekolah?”

Sial, bagaimana bisa dia bercanda dan terlihat menarik dalam satu waktu?

Aku dan Dian kembali ke kelas tentu saja sebelum kami melanggar peraturan sekolah
lagi. Guru di kelasku sedang tidur saat aku kembali dan murid sekelas sedang mengerjakan
tugas. Aku duduk, merenung dan sesekali mengerjakan tugas yang kuanggap membosankan
itu.

Akhirnya waktu pulang sekolah tiba juga setelah sebelumnya aku merasa tak akan
pernah tiba. Hal pertama yang terbersit di pikiranku adalah Dian yang mana aku tak heran
mengapa sehingga aku mengirim pesan kepadanya.

Mau nonton di bioskop? Kita belum sempet nonton kemarin kan?

“Jordan, mau pulang nggak?” Tio bertanya padaku sementara aku menunggu balasan
dari Dian. “Aku sama Martin dan Alex mau main game bareng, ikut nggak?”

Ponselku bergetar yang sepertinya adalah balasan dari Dian sehingga kucek pesan di
ponselku.

Sorry. Skip dulu ya. Ada tugas kelompok hari ini. Mungkin lain waktu ☹

Bahuku langsung merosot. Mungkin hubunganku dengan Dian akan berlangsung


cukup lambat.

Aku menyetujui ajakan Tio dan kami menuju rumah Alex. Martin telah sampai lebih
dulu dan mereka bertiga bermain secara bergantian sedangkan aku membaca buku komik
milik Alex di pojok ruangan.

“Yakin nggak mau main?” ujar Martin kepadaku sementara aku membaca komik
yang sebenarnya tak benar-benar serius kubaca. Tio dan Martin sedang asyik dengan joystick
mereka.

“Nggak, kalian main aja,” jawabku pendek membuatku berpikir apakah aku ikut
mereka karena tak ingin merasa kesepian atau hanya ingin mengalihkan pikiranku dari Dian.

Sorenya, aku pulang dari rumah Alex dengan pikiran masih tertuju pada Dian. Saat itu
telah pukul enam sore, sehingga kurasa tak ada salahnya kalau aku menghubunginya,
mungkin dia sudah berada di rumah. Aku mengambil ponselku, menelepon Dian sebelum
berbaring di kasur sementara nada dering terdengar.

“Halo, kamu masih ngerjain tugas kelompok?”

Aku mendengar suara berisik sehingga merasa sedikit kecewa karena tampaknya Dian
masih belum pulang. “Belum nih, ntar kutelpon balik ya. Aku sibuk banget nih! Bye!”

Nada putus sambungan terdengar meninggalkan diriku yang termenung sendiri.


Setelahnya aku memutuskan untuk menonton TV dengan tayangan yang payah
dengan cemilan yang payah. Sebenarnya aku bisa memasak—bahkan cukup jago—tetapi aku
sedang tak ingin memasak. Aku menonton seraya berkali-kali mengecek ponselku menanti
telpon dari Dian. Menanti telpon dari cewek menarik seperti Dian memang cukup
menyenangkan, tetapi aku mulai merindukan jati diriku yang lama. Mungkin aku masih
dalam tahap penyesuaian. Aku telah dalam kesendirian yang cukup lama sehingga
keberadaan orang lain yang masuk dalam hidupku cukup memberikan alarm padaku.

Aku terbangun setelah seseorang menyentuh bahuku dan menyadari aku tertidur di
depan TV.

“Tidur di kamar Jordan,” ujar ayahku seraya mematikan TV. “Kamu bukan anak kecil
lagi.”

Jadi, aku bangkit dan berjalan menuju kamarku dimana mungkin aku bisa
melanjutkan kembali mimpiku. Entah hanya perasaanku atau bukan sepertinya aku baru
memimpikan Dian. Aku menghempaskan diriku di kasur tepat ketika ponselku berdering.
Aku menatap layar ponsel dimana senyumku langsung mengembang karena terpampang
nama Dian di sana.

“Halo? kok malem ba—”

“Aku bunuh ayah tiriku.”

“Apa?”

Aku mendengar suara isakan sebelum terdengar lagi suara Dian yang gemetar,
“Jordan, tolong aku! Aku harus gimana?”

Aku baru saja bermimpi indah tentang Dian, tetapi saat itu sepertinya mimpi indah itu
berubah menjadi mimpi buruk.
BAB 9

Aku segera pergi dengan motorku setelah menerima telepon dari Dian. Cewek itu
benar-benar tak bisa diduga, bagaimana mungkin dia menjungkir balikkan perasaanku seperti
ini? Aku benar-benar khawatir dengannya. Bagaimana kamu tak khawatir dengan orang yang
kamu kenal baru saja membunuh?

Sepanjang jalan aku hanya memikirkan keadaan Dian. Apakah dia tidak berpikir
tentang tindakannya? Atau dia tak memikirkan sekalipun konsekuensinya? Yang jelas Dian
telah mengalami masalah yang serius dan aku telah terlibat di dalamnya.

Setibanya di depan rumah Dian aku melihat keadaan rumahnya baik-baik saja,
maksudku tak ada mobil polisi atau sebagainya. Namun hal itu membuatku berpikir lebih
baik Dian memanggil polisi dan menyerahkan dirinya dibanding jika ia memendam
kesalahan seumur hidupnya.

Aku membuka pintu rumah Dian yang tak terkunci dan masuk ke dalamnya. Suasana
begitu sepi sampai aku mengira tak ada siapa-siapa di situ. Dian mengatakan padaku jika dia
membunuh ayahnya di rumah jadi aku bukannya salah rumah atau apapun itu. Keadaan sepi
ini mulai membuat bulu kudukku berdiri sehingga aku memanggil Dian.

“Kamu dimana?” aku berkata dan mulai membayangkan jejak darah di lantai yang
mungkin kutemui.

Aku mendengar suara langkah kaki cepat sedang mendekat dan setelahnya kulihat
Dian berlari sebelum memelukku seraya berkata, “Maaf aku nggak tahu harus hubungin siapa
lagi.”

Dian melepaskan pelukannya seraya terisak dan kusadari ada bercak darah di
tangannya serta pakaiannya berantakan.

Kutelan ludah dengan perlahan. Ini serius. Bau anyir darah tercium olehku. Ini bukan
lelucon yang dibuat Dian atau semacamnya.

“Dimana…” aku berusaha mengatur ritme napasku. “Dimana jasad ayah tirimu?”
Dengan bahu gemetar Dian berkata, “Dia berusaha memperkosaku. Aku nggak tahu
kenapa dia ingin melakukannya… aku cuma mau ngambil air minum di dapur sepulang dari
ngerjain tugas kelompok. Dia… dia memojokkanku dan—”

Aku memeluk Dian untuk menenangkannya. Cewek itu benar-benar gemetaran.

“… aku ngambil pisau yang ada didekatku dan menusuk punggungnya.”

Oh, Sialan. Aku bisa membayangkan kejadiannya walau tak berada di sana. Dian
menangis keras dan aku menepuk punggungnya untuk berusaha menenangkannya.

“Dimana ibumu? Apa dia tahu?” tanyaku pada Dian saat dia mulai reda tangisnya.

Dian melepaskan pelukannya dan berkata, “Ibu keluar. Dia nggak tahu. Kayaknya ibu
bakal pulang sebentar lagi dan aku bakal masuk penjara!”

Dian terlihat hendak menangis lagi, tetapi terlihat betul dia berusaha menahannya.
Aku tahu sikapnya itu. Menangis memang bukan jalan keluarnya.

“Kamu nggak bakal masuk penjara,” aku berusaha meyakinkan Dian. “Aku janji.”

Sebenarnya aku tak yakin dengan perkatanku sendiri. Aku melihat Dian dengan wajah
sembab dan bercak darah di tangannya. Dia baru saja membunuh! Bagaimana cara seseorang
bisa lolos dari itu?

“Kamu kayaknya harus nyuci tanganmu sebelum ibumu datang,” ujarku sementara
berpikir mungkin itu tak ada gunanya, tetapi tetap saja harus dilakukan. “Atau kamu mau
darahnya nempel terus?”

“Oke,” Dian mendesah sebelum berbalik dan berjalan di sepanjang koridor rumahnya.
Aku mengikutinya dari belakang sampai dia tiba di dapur dimana jasad ayah tirinya
tergeletak di lantai. Dian mencuci tangannya di keran cuci piring sementara aku menatap
jasad ayah tirinya yang matanya membelalak seakan menatapku.

“Jasadnya mau diapain?” tanya Dian padaku seraya menatapku aneh. “Kita nggak
bisa biarin aja di jasadnya di dapur kan?”

Aku menghela napas pelan, “Mungkin kamu harus bilang ibumu, nggak ada yang bisa
kita lakukan selain itu.”

Mata Dian membesar seakan aku telah kehilangan akal. “Apa? Sama aja kayak aku
bunuh diri!”
Aku memegang bahu Dian sebelum berkata, “Nggak apa-apa Dian. Ini bukan
salahmu. Kamu kan cuma ingin membela diri. Telpon ibumu. Percaya deh sama aku.”

Dian menggigit bibirnya ragu sebelum mengambil ponsel dari sakunya. Namun,
sebelum dia mencoba menghubungi ibunya, sang ibu muncul di pintu dapur dan teriakan
penuh teror terdengar membahana.

“Ibu…, maafin aku…” Dian berlari ke arah ibunya dan segera memeluk sang ibu
yang terbelalak menatap jasad suaminya. “Dia mencoba memperkosaku, aku… aku… nggak
tahu lagi harus gimana.”

Ibu Dian melemah seakan hendak pingsan sehingga aku berlari untuk menopang
punggungnya. “Dian, kurasa ibumu masih syok. Bantu aku memapahnya.”

Selanjutnya, kami memapah ibu Dian yang setengah sadar menuju ke sofa ruang
keluarga. Pada saat momen seperti ini aku mulai merasa sedikit simpati pada mereka,
kenyataan Dian telah membunuh ayah tirinya dan kenyataan sang ibu yang kehilangan
suaminya. Namun, dilihat dari masalahnya, diam-diam aku juga merasa bersyukur karena
keluarga ini bebas dari lelaki itu.

“Aku ambil minyak kayu putih dan air minum dulu,” Dian berkata padaku dengan
raut wajah seakan hendak menangis lagi. “Astaga, aku harap aku nggak ngelakuinnya.”

Saat Dian pergi, aku menatap wajah ibu Dian yang matanya terpejam dan entah
mengapa pikiranku melayang pada ibuku sendiri. Manakah yang lebih baik? Punya ibu yang
bunuh diri karena menderita depresi atau seorang ibu yang membiarkanmu diperlakukan
semena-mena oleh ayah tirimu? Aku tak yakin jawabannya, tetapi bisa dipastikan bahwa aku
dan Dian menghadapi masalah yang serius karena ibu kami masing-masing dan kami tak bisa
melakukan apapun tentang itu.

Setelah menenangkan ibu Dian, kami memutuskan untuk memanggil polisi dan Dian
berniat menyerahkan dirinya karena tak ada hal lain yang bisa kami lakukan—melarikan diri
sekalipun. Aku berusaha menenangkan Dian saat kami menunggu polisi datang walau tampak
jelas Dian setengah mati ketakutan apakah dia akan dimasukkan ke penjara atau tidak.

“Jordan,” ujar Dian sementara dia menatap nanar ke arahku. “Gimana kalau polisi
nggak percaya kesaksianku? Gimana kalau mereka menganggap aku berbohong?”
“Nggak bakal,” jawabku berusaha meyakinkan Dian. “Karena kamu memang
mengatakan yang sejujurnya.”

Dian tersenyum mendengar kata-kataku, tetapi tetap saja tak kulihat pancaran lega di
matanya.

Polisi akhirnya datang dan memberikan beberapa pertanyaan pada Dian sementara
aku di duduk di sampingnya sebagai saksi. Mereka juga membawa pergi jasad ayah tiri Dian
untuk kepentingan penyelidikan setelah memfotonya. Ada garis polisi yang dipasang di TKP
yang membuatku semakin menyadari bahwa ini kejadian yang benar-benar serius. Polisi tak
terlalu memaksa ibu Dian untuk menjawab pertanyaan karena wanita itu masih begitu syok.
Aku dan Dian berharap-harap cemas saat polisi mengatakan mereka akan membuat laporan
dan Dian akan dipanggil dalam beberapa hari.

Polisi mengizinkanku pulang walau mereka berkata akan memanggilku sewaktu-


waktu agar aku bisa memberikan kesaksian. Ketika aku keluar dari rumah Dian, aku sempat
heran mengapa banyak sekali orang sebelum menyadari kamilah yang menimbulkan semua
ini. Aku menutup rapat mulutku ketika beberapa orang berusaha menanyaiku karena aku tak
mau menambah runyam masalah. Segera kunaikki motorku dan keluar dari keramaian.

Saat di atas motor, aku masih merasa kejadian yang baru saja terjadi tidak nyata. Tahu
kan? Perasaan saat kamu mengalami suatu kejadian tiba-tiba dan nyaris tak ada waktu
sejenak untuk memikirkannya. Aku mulai memikirkan ibuku yang bunuh diri, dan kenyataan
bahwa ayah Dian terbunuh membuatku berpikir kematian hanya merupakan sandiwara. Rasanya
seperti sesuatu yang tak pernah kamu bayangkan bakal terjadi di hidupmu dan tiba-tiba saja kamu
alami.

Aku tiba di rumah ketika ayah telah tidur yang mana cukup melegakan karena dia tak akan
menanyaiku tentang apa yang baru saja terjadi. Aku beranjak ke kamarku, berbaring dan memikirkan
Dian dengan segala tindakannya. Apakah Dian merasakan kengerian ketika menancapkan pisau ke
punggung ayah tirinya? Aku tak menyangka keinginanku untuk merasakan sesuatu—seperti
membunuh—malah dilakukan Dian, sesuatu hal yang tak kusangka akan terjadi. Aku tahu setiap
tindakan memunculkan konsekuensi, tetapi entah mengapa aku tidak mengharapkan ada konsekuensi
atas tindakan yang dilakukan Dian karena memang itu yang seharusnya terjadi.

Aku terbangun pagi harinya dan mengingat kejadian malamnya seakan itu hanya mimpi.
Caraku menenangkan Dian dan caraku memberi kesaksian atas tindakan Dian di depan polisi seperti
potongan mimpi dalam benakku walau itu nyata. Bahkan jika itu benar-benar mimpi maka itu akan
menjadi mimpi yang tak akan bisa kulupakan, tetapi tidak, itu sungguh terjadi. Aku ingat bercak darah
yang menempel di tangan Dian, ibu Dian yang menatap teror ke jasad suaminya… aku ingat seluruh
kejadian itu yang mana muncul kembali dalam benakku layaknya tayangan ulang.

Masuk sekolah menjadi tak penting lagi bagiku, maksudku apa pentingnya? Dian baru saja
membunuh dan aku tak bisa mengenyahkan hal itu dari pikiranku. Kenyataannya, itu bukan
masalahku, tetapi tetap saja aku tak bisa berhenti memikirkannya. Aku memakan serealku pagi itu
yang rasanya tak sefantastis kemarin dan terbelalak saat ayah menyetel TV karena berita yang
ditayangkan.

Berita itu menayangkan pembunuhan yang dilakukan Dian, tetapi untungnya nama Dian
disamarkan. Ayah menyadari ada yang tak beres sebelum dia menoleh ke arahku dengan dahi
berkerut, “Kayaknya ayah ingat rumah itu dan daerahnya di sekitar sini juga.”

“Dian Yah yang melakukannya,” ujarku pelan. Lebih baik bicara terus terang bukan?
Lagipula cepat atau lambat ayah juga bakalan tahu.

Ayah menatapku dengan pandangan tak percaya setengah merasa aku baru saja melontarkan
lelucon dan setengah merasa bahwa aku mengatakan yang sebenarnya, “Astaga, ayah nggak nyangka.
Apa kamu kemarin malam keluar menemuinya?”

“Ya,” aku mengangguk seakan itu peristiwa biasa padahal ada keheningan tak nyaman yang
muncul setelahnya.

“Tapi, kamu nggak dituduh kan? Nggak sampai terlibat jauh?” tanya ayah tiba-tiba terlihat
bodoh. Bukannya aku menghina ayahku, tetapi mungkin panik bisa membuat orang menjadi bodoh.

“Nggak lah Yah, aku cuma memberikan kesaksian yang sebenarnya pada polisi. Aku bisa
pastikan aku aman. Mungkin Dian juga.”

“Dia baru saja bunuh ayahnya—”

“Ayah tirinya. Yang berusaha memperkosanya.”

Mata ayah melebar seperti aku baru saja mengungkapkan kenyataan yang tersembunyi
layaknya potongan puzzle yang hilang dan ditemukan kembali. “Astaga, pasti temenmu itu ketakutan
sekali. Kamu harus membantunya Jordan. Dia bakalan butuh saksi.”

Aku tak tahu mengapa ayah bertindak sungguh baik, mungkin jika Dian benar-benar anak
perempuannya dia akan membela cewek itu habis-habisan. Aku melihat perbedaan kontras antara
ayahku dan ayah kandung Dian. Mungkin hidupku tak terlalu buruk juga. Aku tak berkata hidupku
lebih baik dari Dian dan aku menikmatinya, tetapi itu hanyalah kenyataan yang sebenarnya.
“Mungkin Yah. Aku kayaknya dipanggil ke persidangan Dian sebagai saksi,” aku berkata
seraya sebelum menyendokkan sereal ke mulutku dan berpikir ini bukan lagi tentang Dian dan aku,
tetapi tentang hukum. “Aku sudah ngomong ke polisi kejadian yang sebenarnya. Tapi, kan aku harus
hadir di persidangan.”

Aku melihat ayah menghela napas. Aku melihat air muka ayah yang biasa ditunjukkan orang
tua ketika mendengar berita buruk. “Temenmu itu seharusnya melapor sebelum kejadian ini terjadi.
Pastilah ada tanda-tanda kalau ayah tirinya memang berniat jahat. Seharusnya ini bisa dicegah.”

Aku ingat perkataanku kepada Dian tentang melaporkan sang ayah ke polisi sehari
sebelumnya. Kurasa Dian sudah merasakannya dari awal, tetapi mungkin dia ragu-ragu atau takut.
Lagipula dia masih remaja belasan tahun dan dia serta ibunya bergantung pada ayah tirinya itu.

“Mungkin dia mau ngelaporin ayah tirinya ke polisi, Yah. Tapi, udah terjadi sekarang, nggak
bisa diubah lagi,” ujarku mengetahui bahwa pencegahan bisa sangat berarti apalagi menyangkut hidup
dan mati. Bukannya aku menyalahkan Dian atas tindakannya membunuh sang ayah Tiri—pria itu
yang salah—tetapi kenyataan bahwa mungkin semua kejadian ini bisa berakhir lebih baik.

Aku berangkat ke sekolah dan merasa bersalah akan suatu hal yang tak kulakukan. Kenyataan
bahwa Dian sampai membunuh ayah tirinya padahal aku dan cewek itu telah memutuskan untuk
menjadi teman menjadi beban tersendiri bagiku. Aku tak bisa mencegah hal itu terjadi dan itu
membuatku cukup merasa menyesal. Aku seharusnya berada di sampingnya, tetapi dia ketakutan
sendiri pada malam naas itu. Aku tahu aku lebih baik dari ini. Namun, tak ada yang bisa kulakukan
karena semua ini telah terjadi.

Susah konsentrasi di kelas ketika pikiranmu melayang buana. Rasanya seperti ingin
menangkap bola, tetapi matamu tak bisa melihat. Aku hanya ingin cepat pulang dan mengunjungi
Dian untuk tau perkembangan kasusnya. Aku bertindak seperti kakaknya dibanding temannya atau
lebih mirip seperti pacarnya. Dia cewek yang pertama kali kupikir di pagi hari dan cewek yang
terakhir ku ingat sebelum tidur. Bukankah itu membuatku tampak seperti punya hubungan khusus
dengannya? Bukan sekedar teman?

Aku tak bisa menahannya lagi sehingga sepulang sekolah aku langsung ke rumah Dian. Aku
bisa menahan perasaan kacauku saat orang tuaku bercerai, menahan gejolak hatiku saat Om Bima dan
Tante Riana meninggal, tetapi anehnya aku tak bisa menahannya jika terkait dengan Dian. Apakah
aku mulai menumbuhkan perhatian dan rasa peduliku padanya? Bahwa aku telah keluar dari batas
sikap sosiopatku?

Ketika aku tiba di rumah Dian hal yang pertama yang kuharapkan adalah mengetahui bahwa
Dian tak melakukan hal bodoh seperti melarikan diri atau apapun itu walau aku berpikir Dian bukan
tipe orang yang seperti itu. Dia terlalu berani untuk kabur dari masalah dan aku yakin dia cewek yang
cukup cerdas. Dia takkan melakukan hal seperti menyakiti dirinya sendiri atau menyalahkan dirinya
sendiri. Mungkin dengan mengetahuinya lebih jauh aku takut aku mulai mencintainya. Karena satu-
satunya wanita yang kucintai adalah ibuku—aku tak peduli berapa pun banyaknya aku berusaha
mengakui aku membencinya—tetapi, dia akhirnya meninggalkanku. Akankah Dian pergi seperti
halnya ibuku? Atau malah Dian selama ini merupakan jawaban dari semua yang terjadi dalam
hidupku?

Aku mengetuk pintu rumah Dian sebelum kulihat cewek itu membuka pintu dan menatapku
dengan senyum tipis. Dia terlihat baik-baik saja, bukan sangat baik tentu saja karena dia baru saja
terlibat peristiwa pembunuhan, tetapi dia terlihat tak menderita atau apapun itu. Dia menyuruhku
masuk dan kami duduk di ruang tamunya sementara aku ingin melontarkan begitu banyak pertanyaan
dalam benakku.

“Rasanya nggak enak banget tinggal di sini,” ujar Dian seraya memainkan jemari tangannya.
“Rumah tak terasa sama lagi. Aku tak nyaman tinggal di rumahku sendiri.”

“Mau keluar? Kamu bisa cari udara segar di luar.”

Dian menoleh ke arahku dan tersenyum. Aku mulai menginginkan untuk sering melihat
senyumnya. Cewek itu kemudian mengangguk sebelum berkata, “Ayo, aku nggak bakal ngilangin
kunci motormu lagi.”

Kami saling tersenyum kepada satu sama lain dan itu perasaan ternyaman yang kurasakan
hari itu.

Kemudian, terdengar suara ketukan pintu yang mana membuyarkan suasana menyenangkan
diantara kami. Aku mendesah pelan sementara Dian terkikik melihat kekecewaanku, “Tunggu ya.
Nanti kita lanjutkan lagi.”

Dian beranjak untuk membuka pintu dan sebelum aku sadar dengan apa yang terjadi,
terdengar suara erangan. Lalu, aku menyadari Dian jatuh tersungkur dengan pisau menancap di
perutnya. Jantungku berdetak begitu keras saat aku berlari ke arah Dian dan melihat di balik pintu
berdiri seseorang berhelm yang membuatku berpikir bahwa Dian tak akan pernah berhenti
membuatku khawatir.
BAB 10

Jadi semuanya terjadi—bukan seperti yang kuinginkan—tapi, semua terjadi begitu saja. Aku
menghabiskan menit-menit setelah melihat Dian tergeletak di lantai dengan berlari mengejar sang
pelaku yang sialnya berhasil kabur dengan motor. Butuh beberapa detik sebelum aku tersadar akan
rasa kekagetanku mengetahui Dian sedang sekarat sehingga aku segera memanggil ambulan sebelum
semuanya terlambat.

Tentu karena luka tak wajar yang dialami Dian membuat pihak rumah sakit
menginterogasiku. Aku mengatakan yang sebenarnya pada mereka sehingga tanpa bisa dicegah ada
polisi ikut campur dalam masalah ini. Aku dan ibu Dian kemudian diwawancarai oleh polisi. Aku
mengatakan pada mereka semuanya dengan hati kalut menunggu kabar keadaan Dian. Polisi
kemudian mengatakan mereka akan melakukan pencarian berdasarkan ciri-ciri sang pelaku yang
kusebutkan.

Aku duduk di ruang tunggu, merasa putus asa dan terserang kepanikan yang tiba-tiba.
Menunggu Dian selesai operasi merupakan peristiwa paling menegangkan yang kualami hari itu. Aku
menghubungi ayah jika aku pulang terlambat karena harus menemani ibu Dian yang tampaknya syok
dengan segala rentetan kejadian yang menimpanya. Lagipula, aku ingin segera mengetahui keadaan
Dian—apakah operasinya berhasil atau tidak.

“Maaf Le. Nyusahin kamu terus. Kamu pulang sekarang nggak apa-apa,” ujar ibu Dian
menatapku dengan mata lelah. Wanita itu masih menyisakan kecantikan pada parasnya walau tak lagi
muda. Dia pasti masih syok sekali. Mengetahui putri satu-satunya ditusuk setelah kehilangan suami
yang menopang keluarga adalah kejadian yang cukup membuat orang trauma.

“Nggak apa-apa. Tante,” aku berkata berusaha menenangkan wanita itu. “Yang terpenting
adalah keadaan Dian saat ini.”

Ibu Dian mendesah dan aku mulai berpikir dia hendak melepaskan segala unek-uneknya pada
seseorang yang mana kebetulan ada aku di sampingnya. Dugaanku tak salah karena setelahnya ibu
Dian berkata, “Ini pasti balasan untukku karena membiarkan Dian menerima perlakuan buruk dari
suamiku.”

Kemudian, aku mendengarkan ibu Dian mulai menangis. Masalah seperti ini bukan
keahlianku sehingga aku hanya mampu menepuk punggung ibu Dian untuk menenangkannya. Aku
berpikir mungkin ini saatnya untuk membiarkan ibu Dian sendiri untuk menata hatinya sehingga aku
menawarkan diri untuk membelikannya minuman dan dia hanya mengangguk dengan air mata masih
mengalir.

Kulangkahkan kakiku di koridor rumah sakit dan merasa perutku cukup lapar. Aku masuk ke
minimarket dalam rumah sakit, mengambil makanan apapun yang terlihat—aku sedang tak nafsu
makan walau lapar—dan mengambil dua minuman sebelum keluar dengan menenteng kantung
plastik. Setelahnya, aku berjalan di koridor rumah sakit dan kudatangi kembali ibu Dian yang duduk
lunglai di bangku. Sepertinya operasi Dian belum selesai dan entah mengapa aku mulai ketakutan
membayangkan apa yang terjadi jika operasinya tak berhasil.

Ketika dokter akhirnya keluar dari ruang operasi, aku tak langsung menyadarinya karena
pikiranku kosong. Lalu, saat mengetahui ibu Dian berlari menuju ke arah dokter aku segera tahu jika
operasi Dian telah selesai. Ketika aku menyusul Ibu Dian yang tiba-tiba menangis setelah mendengar
perkataan dari dokter, jantungku berdegup kencang memikirkan kemungkinan terburuk. Namun,
dokter mengatakan padaku bahwa operasi Dian berjalan lancar dan itu adalah salah satu peristiwa
paling melegakan yang pernah kualami.

Dokter berkata bahwa kami belum bisa menjenguk Dian karena dia baru saja operasi besar
sehingga membuatku berpikir untuk menginap saja di rumah sakit hingga pagi harinya. Aku melihat
jam dan ternyata sudah pukul satu malam sehingga tak ada bedanya jika aku menunggu hingga dokter
memperbolehkanku menjenguk Dian, toh terlalu malam untuk pulang ke rumah dan aku begitu lelah.
Ayah pasti khawatir mengapa aku belum pulang, tetapi setidaknya aku telah mengabarinya sehingga
mungkin dia memahami keadaannya.

Esok harinya, dokter mengizinkanku untuk menjenguk Dian setelah aku memutuskan untuk
bolos sekolah—lagipula aku tak membawa segala persiapan untuk sekolah hari itu. Saat itu pukul
sembilan pagi dan aku serta ibu Dian menjenguk Dian yang telah sadar kembali. Dia sepucat kapur
tetapi dia berusaha tersenyum yang membuatku cukup kagum dengan ketangguhannya.

“Tidur nyenyak semalam?” aku berkata setengah bertanya dan setengah bercanda. “Kamu
operasi tadi malam. Ingat?”

Dian berusaha untuk tertawa, tetapi mungkin karena masih merasa kesakitan pasca operasi dia
hanya meringis sebelum berkata, “Kamu nginep di rumah sakit nungguin aku? Ibu juga?”

Ibu Dian tersenyum dan mengangguk serta kulihat matanya mulai berair lagi seperti hendak
menangis. Dia menggenggam tangan Dian yang diberi selang infus seraya berkata, “Kamu udah
baikan? Perlu ibu ambilkan minum atau—”

“Aku nggak apa-apa, Bu. Jangan khawatir.”


Dari keadaannya saat itu, aku mulai mempertanyakan hubungan ibu dan anak ini. Apakah ibu
Dian merasa marah pada sang anak yang telah membunuh suaminya? Mungkin awalnya sang ibu
merasa bersalah karena selalu membiarkan Dian diperlakukan tak menyenangkan oleh suaminya,
tetapi setelah meninggalnya sang suami, bisa jadi hubungan mereka berdua lebih dekat bahkan lebih
baik dari sebelumnya. Aku melihat di setiap peristiwa buruk apapun, pasti terkandung hikmah di
dalamnya. Seperti saat kamu punya kacang tanah. Bukankah kamu harus membuang kulitnya,
berusaha membukanya untuk mendapatkan kacang yang di dalamnya?

“Kamu harus berterima kasih sama Jordan. Dia sudah menyelamatkan nyawamu,” Ibu Dian
dan anak perempuannya menatapku setelah kata-kata itu meluncur dari mulut ibu Dian yang mana
membuatku merasa layaknya pahlawan.

“Makasih Jordan udah nyelamatin aku padahal aku udah nyusahin kamu berkali-kali,” Dian
berkata padaku seraya nyengir, aku tahu dia tak akan mengatakannya jika saja ibunya tak
menyuruhnya. Harga dirinya yang tinggi tak akan mampu membuatnya berterima kasih padaku.
Namun, dia terlihat ingin menyenangkan hati ibunya sehingga dia melakukannya.

“Cepet sembuh biar kita bisa pergi pake motorku lagi,” aku nyengir ke arah Dian melanjutkan
rencana awal kami sebelum semua ini terjadi. “Setidaknya kamu bukan lagi satu-satunya pelaku
penusukan, bukan?”

Aku hanya berniat bercanda, tetapi atmosfernya langsung berubah setelah aku
mengatakannya, mungkin aku masih belum terbiasa dengan kebiasaan baru ini sehingga aku berkata.
“Maaf, bukannya aku—”

“Nggak apa-apa,” ujar Dian dengan tersenyum tipis. “Aku tahu maksudmu, kok.”

Aku melihat ibu Dian yang mana sungguh kelelahan seperti baru saja lomba lari dibanding
menunggu sang anak sehingga aku berkata, “Tante bisa pulang dulu, mungkin membawa pakaian ke
rumah sakit atau mandi. Aku bisa jaga Dian, Tante.”

Ibu Dian menatapku dengan pandangan penuh terima kasih seakan aku malaikat atau
semacamnya sebelum berkata, “Makasih Jordan. Tante beneran pengin ganti baju.”

Setelah ibu Dian pergi, aku dan Dian tinggal berdua sehingga aku merasa lebih leluasa.
Bukannya aku mengusir ibu Dian, tetapi aku mempraktikkan pepatah yang mengatakan sambil
menyelam minum air. Bukankah lebih baik begitu? Aku tak mau hanya duduk mendengarkan
pelajaran bahasa Indonesia tanpa mempratikkannya sama sekali.

“Serius. Kamu udah merasa baikkan, kan?” aku menatap Dian yang terlihat menahan sakit
walau tak mengatakannya.
“Nggak begitu baik. Aku kan baru aja operasi,” Dian berkata seakan itu kenyataan yang perlu
aku ketahui. “Dokter mengatakan aku harus istirahat selama beberapa minggu dan sementara itu aku
perlu naik kursi roda.”

“Tapi kamu nggak lumpuh kan?”

“Nggak lah, aku hanya belum bisa jalan untuk sementara waktu sampai jahitan operasiku
kering.”

Aku terdiam. Sepertinya luka Dian memang serius. Aku bukannya bodoh—aku telah melihat
darah Dian yang mengalir ketika pisau itu tertancap di perutnya—tetapi aku tak mengira akan seserius
ini.

“Menurutmu apa tujan orang itu? Orang yang menusukku,” Dian berkata yang membuat
ingatanku kembali ke kejadian kemarin sore. “Aku nggak bakalan ditusuk kan kalau aku tak berbuat
salah.”

Aku terdiam beberapa saat lamanya, berpikir, tetapi tak kutemukan petunjuk satu pun
sehingga aku berkata, “Mungkin kamu melakukan suatu kesalahan yang nggak kamu sadari?
Mungkin saja.”

“Kamu mikir nggak kalau…” Dian menggigit bibirnya seakan dia berpikir tentang
kemungkinan yang terbersit di benaknya. “Kalau ini semua ada hubungannya dengan pembunuhan
yang kulakukan pada ayah tiriku?”

Mataku melebar, aku tak berpikir sampai sana. Mungkin insting Dian lebih tajam dibanding
diriku. Aku menghela napas dan berkata, “Mungkin saja, sejauh yang kulihat itu kesalahan yang kamu
buat. Itu bukan semata kesalahanmu juga sih… yah, kamu tahu lah maksudku.”

Kami terdiam, lebih kepada hanyut dalam pikiran masing-masing. Mungkin bisa jadi dugaan
Dian benar karena waktunya begitu tepat. Aku teringat orang berhelm yang menusuk Dian dan aku
menduga mungkin dia balas dendam atas perbuatan Dian dengan sebab yang belum kami ketahui.

Aku dan Dian selanjutnya menghabiskan waktu dengan menonton TV karena aku tak mau
membuat Dian kelelahan dengan terus berbicara. Tayangan TV sungguh membosankan, tetapi kami
menghabiskan waktu berdua sehingga tak terlalu buruk juga. Entah karena keberadaan Dian di
dekatku yang tak membuatku bosan atau aku lega tak mengikuti pelajaran yang jauh lebih
membosankan di kelas—mungkin keduanya. Kenyamanan adalah kunci utama dalam suatu
hubungan, baik pertemanan atau yang lain. Ketika di dekat Dian, aku merasakan sesuatu yang jarang
kurasakan sebelumnya, seperti seseorang yang mendapatkan harapan. Dengan Dian aku
mengharapkan hubungan kami mengarah ke sebuah hubungan yang kuinginkan.
Saat siang, ibu Dian kembali ke rumah sakit dan aku berpikir sudah saatnya aku mengabari
ayah keadaanku atau setidaknya aku melakukan hal lain seperti mandi atau ganti baju. Aku bisa
berada di samping Dian dan menatapnya dari samping sepanjang hari, tetapi pasti Dian juga tak
nyaman jika aku kucel dan berantakan. Jadi, aku berkata pada ibu Dian untuk sementara pulang dulu
ke rumah dan berjanji akan kembali lagi ke rumah sakit.

“Nggak perlu repot-repot Jordan, kan ada Tante,” ujar ibu Dian di pintu sebelum aku pergi.
Mungkin dia merasa aku telah dibuat repot olehnya, padahal aku yang tak ingin jauh dari Dian. Entah
tanda apa ini, tetapi aku merasa nyaman saja dekat dengan cewek itu.

“Nggak apa-apa Tante, aku cuma balik bentar aja, kok,”

Ibu Dian tersenyum seraya menatapku seakan aku memang sangat dekat anak perempuannya.
“Dian tak pandai bergaul, Tante senang dia punya teman sebaik kamu.”

Aku tersenyum simpul berpikir bahwa ibu Dian benar-benar tak tahu kalau aku sungguh
tertarik pada anaknya. “Aku bakal balik lagi ya Tante. Ada barang yang mau dibawa lagi mungkin?
Bisa saya ambilkan nanti sekalian, Tante.”

Ibu Dian tampak berpikir sebelum dia tampak menyadari sesuatu dan berkata, “Ada tas Tante
yang ketinggalan. Kalau nggak salah udah tante siapin di kamar, tolong kamu cari ya, Udah tante
packing, kok. Tinggal kamu bawa aja. Tas jinjing warna hitam ukuran sedang.”

“Oke, Tante.”

“Terima kasih, Jordan,” ibu Dian mengulurkan kunci kepadaku. “Ini kunci rumah Tante.
Maaf ya Tante ngerepotin kamu.”

“Nggak apa-apa, Tante,”

Jadi, aku pulang dari rumah sakit setelahnya menyadari aku masih memakai seragam sekolah
yang membuatku merasa tak nyaman. Kusadari diriku memang butuh pulang, mandi dan ganti baju.
Ayah pasti sedikit kesal mengetahui aku bolos sekolah, tetapi kurasa aku bisa beragumentasi tentang
itu. Lagipula, cukup lama sampai ayah pulang kerja sehingga aku punya banyak waktu untuk
menyusun argumentasiku.

Aku sampai di rumah dan menyadari tak ada makanan apapun di dapur—sepertinya ayah tak
sempat masak. Kuambil susu di kulkas dan selembar roti tawar, yah setidaknya aku perlu mengisi
perutku walau sedikit. Setelahnya, aku mandi, pakai baju dan bersiap-siap ke rumah Dian. Saat itu
masih pukul satu siang dan tubuhku merasa sedikit pegal karena tidur kurang nyenyak semalam.

Kemudian, kupacu motorku ke rumah Dian, merasa teringat kejadian mengerikan sebelumnya
yaitu ketika mengetahui Dian membunuh ayah tirinya. Melihat orang mati tak akan pernah
membuatmu terbiasa—setidaknya untukku—sehingga aku sesekali terbayang jasad ayah tiri Dian
yang tergeletak di dapur seperti halnya jasad ibuku. Menyadari apa yang terjadi padaku dan Dian, aku
berpikir kami mempunyai masa remaja yang tak normal. Itulah mengapa aku dan Dian dekat yaitu
karena kami berbagi luka dengan satu sama lain.

Segera kucari tas hitam yang dipesan oleh Ibu Dian setibanya di rumah Dian yang mana
cukup mudah ditemukan karena tas itu teronggok di atas kasur dalam kamar pertama yang kumasukki.
Aku mengambilnya, berjalan menuju pintu sebelum menyadari seorang berhelm yang familiar sedang
berada di atas motor depan rumah Dian. Tak sulit bagiku untuk mengetahui dia adalah orang yang
menusuk Dian dari motornya yang bisa kukenali. Aku tak menyangka dia begitu ingin membunuh
Dian hingga memata-matai rumahnya seperti ini.

Orang itu segera memacu motornya sebelum aku mengejarnya dari belakang. Kami kejar-
kejaran dengan motor di jalanan dan aku yakin sangat mengganggu pengguna jalan yang lain. Ketika
aku merasa hampir menyusulnya, sebuah mobil datang dari sisi kananku dan gelap setelahnya.
BAB 11

Mungkin kamu berpikir ada bintang-bintang yang berputar di sekitar kepalamu setelah kamu
sadar dari pingsan atau apapun itu seperti dalam film, tetapi itu tidak terjadi padaku. Aku terbangun
dengan kepala seakan dihantam palu jadi jelas tak ada bintang sama sekali. Aku pernah
membayangkan skenario terburuk bagaimana aku nanti mati, tetapi kenyataan aku tak mati ternyata
terasa jauh lebih buruk karena aku tak bisa menangkap si pelaku. Aku bertemu dengan si pelaku,
kejar-kejaran dengannya di jalan raya dengan motor dan nyaris mati karena tertabrak mobil—
semuanya terjadi dalam satu hari. Aku tak bisa membayangkan kejadian yang lebih luar biasa dari ini
selain apa yang baru saja kualami.

Orang pertama yang kuharapkan kulihat saat aku sadar adalah Dian, tetapi ternyata hanya
ayah. Ayah berkata padaku aku tertidur karena obat bius yang disuntikkan padaku untuk menjahit
luka-lukaku dan terlihat jelas ayah menungguku bangun dengan cemas. Aku tak mau membuat
siapapun khawatir, tetapi keberadaanku saja sudah cukup mengkhawatirkan. Aku remaja berusia tujuh
belas tahun yang punya trauma masa kecil dan saat itu masih harus mengalami keterlibatan dengan
pelaku penusukan. Kusadari hidupku tak sebegitu membosankan juga.

“Berapa lama aku tertidur. Yah?”

Ayah mendesah pelan, Dia tipe orang yang meskipun telah diberi beban seberat seratus kilo
dipundaknya tetap tak akan menunjukkan rasa lelahnya. Namun, terlihat betul saat itu dia benar-benar
terlihat lelah. Dia menatapku dengan mata lelahnya dan berkata, “Sekitar empat jam. Sekarang sudah
sore.”

“Aku bermaksud ngejar pelaku penusukan Dian,” aku berkata dengan mulut keringku. “Tapi,
aku kehilangan jejaknya.”

“Kamu nggak hanya kehilangan orang itu tapi nyaris kehilangan nyawamu,” ayah menatapku
seakan dia hendak marah dan menangis dalam satu waktu. “Jangan ceroboh seperti itu lagi.”

Aku mengehela napas pelan. Ini mungkin tak adil untuk ayah. Ayah kehilangan ibu semenjak
perceraian mereka bahkan kehilangan ibu untuk selama-lamanya hingga tinggal aku yang masih
disampingnya. Aku bukannya tak mau bersikap tak adil, tetapi jika kejadiannya tanpa bisa kuduga,
bukankah itu namanya di luar kendaliku?
“Berapa lama lagi kamu mau terus-terusan terlibat dengan kasus temenmu itu?” aku
mendengar kata-kata yang keluar dari mulut ayah yang sebagian bernada marah dan sebagian bernada
putus asa seakan tak mau kehilangan diriku. “Kamu satu-satunya anak ayah, tapi kamu malah
melibatkan diri dalam bahaya hanya untuk gadis itu.”

Bagaimana ayahku berubah menjadi seseorang yang tak bisa kupahami? Dian adalah temanku
—walau aku masih mengharapkan cewek itu menginginkan hubungan yang lebih dekat lagi denganku
—dan aku akan melindunginya apapun yang terjadi. Bagaimana mungkin ayah bersikap seolah tak
peduli dengan orang lain dan hanya memikirkan dirinya sendiri?

“Jangan gitu dong, Yah. Aku yang tak sempat membantu Dian disaat dia kesulitan sehingga
dia akhirnya berbuat nekat,” ujarku, berharap rasa simpati ayah masih tersisa. “Aku juga bertanggung
jawab dengan semua ini.”

Ayah menatapku dengan tampang ketidakpersetujuan sebelum berkata, “Tapi kamu juga
harus memikirkan dirimu sendiri. Ini soal percobaan pembunuhan, bukan lagi main perang-perangan
seperti saat kamu kecil dulu.”

Aku tak ingat pernah main perang-perangan saat kecil, mungkin pernah—aku lupa—tetapi,
itu bukan masalahnya. Yang aku ingin tahu adalah mengapa ayah melarangku berbuat sesuatu yang
kuanggap baik.

“Ayah hanya tak ingin ditinggal sendiri jika sesuatu yang buruk terjadi padaku, kan?” aku
mengatakan hal yang seharusnya kukatakan dari tadi. “Ini semua bukan tentang percobaan
pembunuhan atau betapa berbahayanya kasus yang kuhadapi. Ini tentang ayah yang tak bisa berdamai
dengan kenyataan.”

Ayah memandangku persis ketika waktu aku kecil berbuat sesuatu yang tak disukainya
dimana fakta bahwa dia berhadapan dengan darah dagingnya, tetapi tak lagi mengenalinya. Aku tak
bicara mana yang salah dan benar di sini. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang perlu
diungkapkan.

Ayah berdiri dan keluar ruangan—entah karena kecewa dengan perkataanku atau malu
menyadari bahwa apa yang kukatakan benar. Aku tak mau menyakiti hatinya—dia satu-satunya orang
tua yang kupunya—tetapi, aku tak mau dia begitu khawatir hingga memperlakukanku seperti anak
kecil.

Saat kutahu ayah sudah membayar biaya rumah sakitnya ketika kutanya pihak rumah sakit,
tak ada alasan lain bagiku untuk tak mengunjungi Dian. Motorku mungkin di sebuah bengkel, di pos
polisi atau ayah yang tahu keberadaannya sehinggga aku berniat ke tempat Dian dengan jalan kaki—
aku juga tak tahu dimana ponselku jadinya tak bisa pesan ojek online. Kenyataan bahwa ayah telah
menelantarkanku di rumah sakit membuatku berpikir untuk menginap di rumah sakit saja tempat Dian
dirawat. Tas ibu Dian juga tak bisa kutemukan sehingga tak ada salahnya aku menjelaskan pada Dian
dan ibunya kecelakaan yang baru saja menimpaku.

Letak rumah sakit tempat Dian dirawat tak jauh, tetapi jika kamu berjalan dengan jahitan di
beberapa tempat di tubuhmu lama-lama akan terasa melelahkan juga. Aku capai, kehausan dan
apabila aku benar-benar pingsan, hari sialku akan komplit. Ketika rumah sakit telah lenyap dari
pandangan mata—kira-kira aku telah berjalan selama dua puluh menit—aku menyerah dan lebih baik
menumpang truk yang lewat. Aku melihat sebuah truk dengan beberapa anak berseragam SMA
menumpang di bagian belakangnya sehingga kuberi isyarat tangan pada supirnya sampai dia berhenti
dan aku melompat naik.

Aku diturunkan di perempatan dekat rumah sakit tempat Dian di rawat sehingga aku masih
harus jalan kaki—kamu tak akan diturunkan di tempat yang kamu tuju dengan menumpang karena
bukan naik taksi. Pikiranku melalang buana ke kejadian sebelumnya saat aku mengejar si pelaku
sampai tak terasa aku telah sampai di depan rumah sakit tempat Dian dirawat.

Aku berjalan di koridor rumah sakit dengan tubuh lemas dan kepala pening—entah karena
lapar atau cidera otak—sampai tiba di depan kamar inap Dian. Aku mengintip dari pintu yang
setengah terbuka, Dian sedang tertawa dengan seorang cowok tak kukenal—aku mengharapkan Dian
menangis khawatir setelah mendengarkanku berkata bahwa aku baru saja kecelakaan, tetapi
bagaimana aku bisa bercerita jika situasinya begini? Jadi, aku membuka pintu dengan lumayan keras
dan menatap tajam pada cowok itu yang mencuri momenku atau mungkin aku hanya cemburu?

“Jordan! Kemana aja sih kamu? Aku nungguin lho dari tadi!” ujar Dian yang tampak seolah
bukan menungguku, tetapi baru saja bersenang-senang dengan cowok yang entah siapa itu.

Ada keheningan kurang nyaman yang bisa kamu temukan saat dua cowok sedang mencoba
menarik perhatian satu cewek. Aku dan cowok itu saling menatap tajam sampai Dian berkata,
“Jordan, kenalin ini temenku Rey. Kami sudah nggak satu sekolah tapi masih dekat. Rey kenalin ini
Jordan.”

Aku maju dan bersalaman dengan cowok bernama Rey itu yang menggenggam tanganku
dengan kuat seakan jahitan di tanganku akan lepas. Dari kesan pertama yang kudapat, Rey
memberikan sinyal tak bersahabat denganku. Aku tak menduga akan bermusuhan dengan teman Dian
bahkan sebelum hubunganku dengan Dian dimulai.

“Jadi, kenapa kamu ketemu Dian? Apa kamu mulai kehilangan dia?” aku benar-benar tak
tahu apa yang merasukiku. Kata-kata itu keluar dari mulutku begitu saja. “Bukankah itu sama saja
dengan menyia-nyiakan Dian sebelumnya?”
Aku tak tahu apakah karena setelahnya Dian memandang kaget ke arahku atau karena cowok
itu menatapku semakin tajam yang membuatku merasa tak menyesal mengatakannya. Aku tak tahu
denganmu, tetapi perasaan bisa kehilangan seseorang karena keberadaan orang lain membuatku
mempunyai keberanian untuk mengungkapkan.

“Kenapa sih kamu? Terus kenapa kok ada jahitan di tanganmu? Keningmu juga,” Dian
sepertinya mengetahui keadaanku sedang tak bersahabat sehingga berkata dengan pelan, “Maaf aku
nggak tahu kamu habis ngapain, tapi kamu kok kasar banget sih sama temenku?”

Aku tak percaya Dian mengatakannya setelah aku mempertaruhkan nyawaku untuk mengejar
orang yang menusuk cewek itu. Mungkin Rey bukan semata teman Dian, mungkin Dian hanya
menjadikanku sebagai pelarian, siapa yang menduga?

“Apa kamu habis kecelakaan?” Dian berkata, kali ini dengan air muka cukup menampakkan
kekhawatiran.

Aku hanya diam karena perkataanku tak mengubah apapun. Dian rupanya mengerti dengan
sikap diamku yang dianggapnya seperti perkataan ‘ya’ dan dia berkata, “Maaf aku nggak tahu. Kamu
harusnya bilang dong.”

Aku mau ngomong ke kamu tapi cowok itu muncul yang membuyarkan semuanya. Tentu aku
tak mengatakan hal itu pada Dian karena Dian pasti sudah cukup tahu keadaannya. Aku hanya
berpikir apakah aku marah karena segalanya berjalan tidak sesuai yang kuinginkan.

“Dimana ibumu?” aku berkata dingin. Sebenarnya lebih baik bagiku untuk tak lagi terlibat
percakapan dengan Dian—mungkin sampai perasaanku lebih baik. “Karena habis kecelakaan aku
pingsan jadinya aku nggak tahu dimana tas yang dititipin ibumu.”

Aku menatap Dian yang masih terlihat kesal denganku, tetapi berusaha tak menunjukkannya
walau tak berhasil. “Ibu keluar tadi. Beli minum. Kamu ke sini naik apa? Motormu nggak rusak?”

Sungguh aneh melihat Dian yang kesal, tetapi masih menyimpan perhatian padaku. Mungkin
aku sedikit berlebihan menanggapi kedatangan temannya. Kami memang dalam situasi yang salah.
Aku mengangguk dan berkata, “Aku ke sini jalan kaki dan numpang tadi. Aku masih nggak tau nanti
pulang naik apa soalnya—”

“Kamu bisa pulang bareng aku. Aku bawa mobil. Kalau kamu mau,” Rey berkata padaku
entah karena dia ingin mengusirku atau benar-benar ingin menolongku, tetapi dilihat dari situasinya
aku tak punya pilihan lain sehingga aku menyetujuinya.
“Kamu pulang aja dulu Jordan. Istirahat dulu. Ibu habis ini datang, kok,” ujar Dian
mengabaikkan kenyataan bahwa aku merasa diusir oleh mereka. Aku bukannya berspekulasi, tetapi
ini memang bukan saatnya aku bersama Dian, setidaknya ketika Rey ada di sekitar.

Aku dan Rey akhirnya naik mobil menuju rumahku dengan keheningan mengisi kami. Entah
Rey beranggapan bahwa pepatah yang mengatakan ‘biarkan sahabatmu dekat denganmu, tetapi
jadikan musuhmu lebih dekat’ benar atau dia hanya ingin mengetahui dengan siapa Dian
menghabiskan waktunya setelah pindah. Bukannya aku berkata Rey menganggapku sebagai musuh,
tetapi fakta bahwa dia teman Dian yang tampaknya begitu dekat membuatku merasa tidak aman.

Ketika aku hendak mengatakan sesuatu, Rey mendahuluinya, “Aku tak mau bermasalah
denganmu, aku tak tahu Dian menganggapmu siapanya, tetapi yang bisa kukatakan, aku suka Dian,”

Aku tahu bahkan sebelum Rey mengatakannya, aku tahu bagaimana cara cowok itu
menatapku tajam dan sikapnya yang terlihat terintimidasi karena kehadiranku yang menunjukkan
bahwa dia suka Dian dan aku tahu dia memandangku dengan cara yang sama.

“Aku tahu perasaan ini ada bahkan saat aku pacaran sama cewek lain,” ujar Rey seraya
menatap lurus ke depan. “Aku baru putus dengan pacarku karena ingin mengejar Dian.”

“Bukan urusanku, kamu nggak harus ngomong semua itu ke aku.”

“Memang,” ujar Rey menyetujui perkataanku, tetapi tampak menujukkan bahwa bukan itu
yang sebenarnya ingin dia bicarakan. “Tapi, aku tahu dari sikapmu kamu juga suka Dian. Aku hanya
memastikan kita melakukan ini dengan adil sebagai seorang lelaki.”

Aku cukup setuju dengan apa yang diucapkan Rey, setidaknya dia bukan lelaki brengsek atau
apapun itu sehingga aku mengatakan, “Oke.”

Setelahnya aku menunjukkan belokan menuju ke rumahku sampai Rey menurunkanku di


depan rumah. Mengetahui Rey seorang lelaki yang tampaknya cukup serius dengan perkataannya
membuatku kembali merasa tak aman seakan dapat kehilangan Dian kapan saja. Namun, semuanya
tetap kembali pada Dian sehingga tak ada yang perlu disesali karena Dian pasti tahu siapa yang
terbaik untuknya.

Aku masuk ke dalam rumah dan menyadari suasana rumah begitu sepi. Mungkin ayah belum
pulang yang mana cukup menguntungkanku karena aku tak perlu bertemu dengannya—aku masih
merasa kurang nyaman untuk bertemu dengannya. Namun, saat aku hendak menuju ke kamarku, aku
melihat ayahku tergeletak di lantai—tak bergerak sedikit pun.
BAB 12

Anda mungkin juga menyukai

  • PULANG
    PULANG
    Dokumen2 halaman
    PULANG
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Tugas Istri
    Tugas Istri
    Dokumen1 halaman
    Tugas Istri
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Cetak
    Cetak
    Dokumen1 halaman
    Cetak
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Souvenir
    Souvenir
    Dokumen1 halaman
    Souvenir
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Plot Stay With You
    Plot Stay With You
    Dokumen3 halaman
    Plot Stay With You
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Otentik Novel
    Otentik Novel
    Dokumen4 halaman
    Otentik Novel
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • PLOT
    PLOT
    Dokumen1 halaman
    PLOT
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Novel 2
    Novel 2
    Dokumen1 halaman
    Novel 2
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • MARTAPURA
    MARTAPURA
    Dokumen2 halaman
    MARTAPURA
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Novel 3
    Novel 3
    Dokumen10 halaman
    Novel 3
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • CSR
    CSR
    Dokumen3 halaman
    CSR
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Tips Lolos D4
    Tips Lolos D4
    Dokumen2 halaman
    Tips Lolos D4
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Plot Novel Islami
    Plot Novel Islami
    Dokumen1 halaman
    Plot Novel Islami
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Cahaya Matamu Bersinar Di Awal Hari
    Cahaya Matamu Bersinar Di Awal Hari
    Dokumen5 halaman
    Cahaya Matamu Bersinar Di Awal Hari
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Essay
    Essay
    Dokumen5 halaman
    Essay
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Tips Menulis Novel
    Tips Menulis Novel
    Dokumen3 halaman
    Tips Menulis Novel
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Novel Islami
    Novel Islami
    Dokumen1 halaman
    Novel Islami
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Sinopsis - Premis - 3 Bab Pertama - Ephemeral
    Sinopsis - Premis - 3 Bab Pertama - Ephemeral
    Dokumen33 halaman
    Sinopsis - Premis - 3 Bab Pertama - Ephemeral
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • KWC 4
    KWC 4
    Dokumen2 halaman
    KWC 4
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat
  • Nadia Amalia - Tragedi Melati
    Nadia Amalia - Tragedi Melati
    Dokumen6 halaman
    Nadia Amalia - Tragedi Melati
    NadiaAmalia
    Belum ada peringkat