Anda di halaman 1dari 14

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 1

Laporan Pendahuluan

DEKOMPENSASI KORDIS

DISUSUN OLEH

AL KAHPI YUDIARTO (PO7120220057)

Tingkat : 2A

Dosen Pembimbing : Ni Ketut Sujati, M. Kes

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN BATURAJA


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan laporan yang berjudul
“Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Dekompensasi kordis”.

Laporan ini berisikan tentang tinjauan teori tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
Dekompensasi kordis. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita
semua serta sebagai bahan dalam proses pembelajaran terutama dalam lingkup keperawatan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan ma
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................

A. Definisi...........................................................................................................
B. Etiologi...........................................................................................................
C. Manifestasi klinis...........................................................................................
D. Patofisiologi...................................................................................................
E. Patway............................................................................................................
F. Pemeriksaan penunjang..................................................................................
G. Penatalaksanaan.............................................................................................

BAB 2 PENUTUP......................................................................................................

Kesimpulan....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. DEFINISI

Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk mempertahankan


peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh (Dr. Ahmad Ramali, 1994).
Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan
fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung ( Tabrani, 1998;
Price ,1995).
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi jantung
berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peningkatan pengisian ventrikel kiri
(Noer,1996) .
Gagal jantung sering disebut gagal jantung kongestif, adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan
nutrisi (Smeltzer,2001).

B. ETIOLOGI
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan
kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta,
dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis
aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard
atau kardiomyopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa
adalah gangguan pengisisan ventrikel ( stenosis katup atrioventrikuler ), gangguan pada
pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung).
Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap
kondisi tersebut mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer,
atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil ( Price. Sylvia A, 1995).
Penyebab kegagalan jantung dikategori kepada tiga penyebab :
a. Stroke volume isi sekuncup
b. Kontraksi kardiak
c. Preload dan afterload

Meliputi :
a. Kerusakan langsung pada jantung (berkurang kemampuan berkontraksi), infark
myocarditis, myocarial fibrosis, aneurysma ventricular.
b. Ventricular overload terlalu banyak pengisian dari ventricle.
1. Overload tekanan (kebanyakan pengisian akhir : stenosis aorta atau arteri
pulmonal, hipertensi pulmonary.
2. Keterbatasan pengisian sistolik ventricular.
3. Pericarditis konstriktif atau cardomyopati, atau aritmi, kecepatan yang
tinggi,tamponade, mitral stenosis.
4. Ventrucular overload (kebanyakan preload) regurgitasi dari aourta, defek
seftum ventricular.
Menurut Smeltzer, (2001) ,penyebab gagal jantung meliputi :
a. Kelainan otot jantung misalnya : aterosklerosis koroner (keadaan patologis dimana
terjadi penebalan arteri koronoris oleh lemak “streak”).
b. Hipertensi sistemik (peningkatan tekanan darah diatas 140/90 MmHg) atau hipertensi
pulmonal (peningkatan tekanan darah diparu-paru akibat kongesti pulmonal).
c. Peradangan dan penyakit degeneratif, misalnya : miokarditis (peradangan pada otot
jantung), endokarditis (penyakit infeksi pada endokard atau katup jantung) rematik
(setiap kondisi yang disertai nyeri dan kaku pada musculoskeletal)
d. Penyakit jantung lain, misalnya : pada mekanisme gangguan aliran darah melalui
jantung (stenosis atau penyempitan katup semilunar dan katup alveonar), pada
peningkatan afterload mendadak hipertensi maligna (peningkatan tekanan darah berat
disertai kelainan pada retina,ginjal dan kelainan serebal).
e. Faktor siskemik, misal : pada meningkatnya laju metabolisme (demam tiroktosikosis)
meningkatnya kebutuhan oksigen jaringan (hipoksia atau berkurangnya oksigen
dalam darah, anemia atau berkurangnya kadar hemoglobin), asidosis metabolik dan
abnormal elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas otot jantung.
C. MANIFESTASI KLINIS
Adapun tanda dan gejala decompensasi cordis menurut Chung (1995) adalah sebagai
berikut:
a. Kelelahan/ kelemahan.
b. Dispnea.
c. Ortopne.
d. Dispne nokturia paroksimal.
e. Batuk.
f. Nokturia.
g. Anoreksia.
h. Nyeri kuadran kanan atas.
i. Takikardia.
j. Pernapasan cheyne-stokes.
k. Sianosis.
l. Ronkhi basah
m. Peninggian tingkat pulsasi vena jugularis.
n. Hepatosplenomegali.
o. Asites.
p. Edema perifer
Menurut Tambayong (2000), gagal jantung (decompensasi cordis) dimanifestasikan
sesuai klasifikasinya:
a. Gagal jantung kiri, ditandai :
1. Edema Pulmo (penumpukan cairan pada rongga dada)
2. Dispnea (sesak nafas)
3. Wheezing (mengi’jawa)
4. Mudah lelah
5. Ansietas (perasaan cemas)
b. Gagal jantung kanan, ditandai :
1. Oedem depend (penumpukan cairan pada daerah distal dari jantung)
2. Hepatomegali (pembesaran hati)
3. Asites (penumpukan cairan pada rongga peritoneum)
4. Distensi vena jugularis (adanya bendungan pada vena jugularis)
5.
D. PATOFISIOLOGI
Penyebab Decompensasi Cordis menurut Smeltzer (2001), yaitu mekanisme yang
mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, yang
menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal, bila curah jantung
berkurang system saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan
perfusi jaringan yang memadai maka volume sekuncuplah yang harus menyesuaikan diri
untuk mempertahankan curah jantung. Tetapi pada gagal jantung masalah utamanya adalah
kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung dan volume sekuncup itu dipengaruhi tiga
factor yaitu preload, kontraktilitas dan afterload ,jika salah satu dari ketiga factor tersebut
terganggu maka curah jantungnya akan berkurang. Curah jantung yang menurun
menyebabkan kongesti jaringan yang terjadi akibat peningkatan tekanan arteri atau vena
kongesti paru terjadi karena ventrikel kiri gagal memompa darah dari paru. Peningkatan
tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong keparu, manifestasinya meliputi
dispnea, batuk, mudah lelah, takikardi, bunyi jantung S3, kecemasan dan kegelisahan.
Bila ventrikel kanan gagal mengakibatkan kongesti visera dan jaringan perifer,
sebagai akibat sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan darah secara adekuat.
Manifestasinya yaitu Oedema dependen, hepatomegali, pertambahan berat badan, asites,
distensi vena jugularis.
Menurut Nettina (2002), penurunan kontraktilitas miokardium, pada awalnya hal ini
hanya timbul saat aktivitas berat atau olah raga dan tekanan vena juga mulai meningkat dan
terjadilah vasokontiksi luas, hal ini kemudian meningkatkan afterload sehingga curah jantung
semakin turun.
Menurut Hudak (1997), respon terhadap penurunan curah jantung untuk
mempertahankan perfusi normal yaitu peningkatan tonus otot simpatis sehingga
meningkatkan frekuensi jantung, tekanan darah, kekuatan kontraksi dan respon fisiologis
kedua adalah terjadinya retensi air dan natrium, akibat adanya penurunan volume darah
filtrasi.
Patofisiologi decompensasi cordis/ gagal jantung menurut Price (1995) adalah sebagai
berikut:
a. Gagal jantung kiri
Kegagalan dari pemompaan oleh ventrikel kiri mengakibatkan curah jantung
menurun. Akibat ke depan menimbulkan gejala kelemahan atau kelelahan. Sedangkan
akibat ke belakang mengakibatkan toleran dan volume akhir diastole meningkat
sehingga terjadi bendungan vena pulmonalis, kemudian terjadi di paru-paru. Akibat
adanya sisa tekan di ventrikel kiri mengakibatkan rangsang hipertrofi sel yang
menyebabkan kardiomegali. Beban atrium kiri meningkat dan akhirnya terjadi
peningkatan beban vena pulmonalis, kemudian mendesak paru-paru dan akhirnya
terjadi oedema. Hemoptisis dapat terjadi pada dekompensasi kordis karena dinding
kapiler jantung sangat tipis dan rentan sehingga dapat mengakibatkan perdarahan.

b. Gagal jantung kanan


Gangguan pompa ventrikel kanan mengakibatkan aliran darah ke paru-paru menurun
ada akhirnya curah jantung menurun. Tekanan dan volume akhir diastole ventrikel
meningkat sehingga terjadi bendungan di atrium kanan yang mengakibatkan
bendungan vena kava. Akibat bendungan di vena kava maka aliran vena hepatikum,
vena dari lien terbendung akhirnya timbul hepatosplenomegali, asites, edema perifer
terutama kaki.   

E. PATWAY
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san kerusakan pola mungkin
terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau
lebih setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.

Scan jantung (Multigated Alquistion/MUGA), tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan


pergerakan dinding.

Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal
jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri
kororner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi
fraksi/perubahan kontrktilitas (Wilson Lorraine M, 2003).

Rontgen dada : dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi atau
hipertropi bilik, perubahan pembuluh darah mencerminkan peningkatan tekanan pulmonal, bulging
pada perbatasan jantung kiri dapat menunjukkan aneurisma ventrikel.

Enzim hepar : meningkat dalam gagal kongesti hepar.

Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodilusi darah
dari adanya kelebihan retensi air.

Oksimetri nadi : saturasi oksigen mugkin rendah terutama jika gagal jantung kanan akut
memperburuk penyakit paru abstruksi menahun atau gagal jantung kronis.

Blood Urea Nitrogen, Kreatinin : peningkatan blood nitrogen menandakan penurunan fungsi ginjal.
Kenaikan baik blood urea nitrogen dan kreatin merupakan indikasi gagal ginjal.

Albumin : mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein atau penurunan sintesis
protein dalam hepar yang mengalami kongesti.

Hitung sel darah merah : mungkin terjadi anemia, polisitemia atau perubahan kepekatan
menandakan retensi urine. Sel darah putih mungkin meningkat mencerminkan miokard infark akut,
perikarditas atau status infeksi lain.

Pemeriksaan tiroid : peningkatan aktivitas tiroid menunjukkan hiperaktivitas tiroid sebagai pre
pencetus gagal jantung kanan.

Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub
atau are penurunan kontraktilitas ventricular.
Foto thorak dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, edema atau efusi fleura yang
menegaskan diagnisa CHF.

G. PENATALAKSAAN

Penatalaksanaan dari dekompensasi kordis pada dasarnya diberikan hanya untuk


menunggu saat terbaik untuk melakukan tindakan bedah pada penderita yang potentially
curable. Dasar pengobatan dekompensasi kordis dapat dibagi menjadi :
 Non medikamentosa.
Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana
kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar–benar dengan tirah
baring (bed rest) mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat. Sering tampak
gejala–gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet umumnya
berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan.
Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan
diberikan sebanyak 80–100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.
 Medikamentosa
Pengobatan dengan cara medikamentosa masih digunakan diuretik oral maupun
parenteral yang masih merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung. Sampai
edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau Angiotensin
Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis
optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan
ACE-inhibitor tersebut diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT
lainnya) dimana digitalis memiliki mamfaat utama dalam menambah kekuatan dan
kecepatan kontraksi otot. Jika ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang
memuaskan. Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada
pasien dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan
mortalitas dengan pemberian jenis obat ini.
Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain N atriuretic Peptide
(Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac
Resychronization Theraphy (CRT) maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra-
Cardiac Defibrillator) sebagai alat pencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat
iskemia maupun non-iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup,
namun mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard, masih terkendala
dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat ditumbuhkan untuk mengganti
miokard yang rusak dan masih memerlukan penelitian lanjut.
 Operatif
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain :
1. Revaskularisasi (perkutan, bedah).
2. Operasi katup mitral.
3. Aneurismektomi.
4. Kardiomioplasti.
5. External cardiac support.
6. Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular.
7. Implantable cardioverter defibrillators (ICD).
8. Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.
9. Ultrafiltrasi, hemodialisis
BAB II

PENUTUP

KESIMPULAN

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi jantung berakibat
jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau
kemampuannya hanya ada kalau disertai peningkatan pengisian ventrikel kiri
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah keadaan-
keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan kontraktilitas
miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat
septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau
hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau
kardiomyopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah
gangguan pengisisan ventrikel ( stenosis katup atrioventrikuler ), gangguan pada pengisian
dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung).

Penatalaksanaan dari dekompensasi kordis pada dasarnya diberikan hanya untuk menunggu
saat terbaik untuk melakukan tindakan bedah pada penderita yang potentially curable. Dasar
pengobatan dekompensasi kordis dapat dibagi menjadi :
 Non medikamentosa.
Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana
kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar–benar dengan tirah
baring (bed rest) mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat. Sering tampak
gejala–gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet umumnya
berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan.
Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan
diberikan sebanyak 80–100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.
 Medikamentosa
Pengobatan dengan cara medikamentosa masih digunakan diuretik oral maupun
parenteral yang masih merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung. Sampai
edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau Angiotensin
Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis
optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan
ACE-inhibitor tersebut diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT
lainnya) dimana digitalis memiliki mamfaat utama dalam menambah kekuatan dan
kecepatan kontraksi otot. Jika ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang
memuaskan. Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada
pasien dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan
mortalitas dengan pemberian jenis obat ini.
Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain N atriuretic Peptide
(Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac
Resychronization Theraphy (CRT) maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra-
Cardiac Defibrillator) sebagai alat pencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat
iskemia maupun non-iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup,
namun mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard, masih terkendala
dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat ditumbuhkan untuk mengganti
miokard yang rusak dan masih memerlukan penelitian lanjut.
 Operatif
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain :
10. Revaskularisasi (perkutan, bedah).
11. Operasi katup mitral.
12. Aneurismektomi.
13. Kardiomioplasti.
14. External cardiac support.
15. Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular.
16. Implantable cardioverter defibrillators (ICD).
17. Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.
18. Ultrafiltrasi, hemodialisis
DAFTAR PUSTAKA

Inamdar, AA. Inamdar, AC. (2016). Heart Failure: Diagnosis, Management, and Utilization.
Journal of Clinical Medicine, 5(7), pp. 62.
Ziaeian, B. Fonarow, GC. (2016). Epidemiology and Aetiology of Heart Failure. Nature
Reviews Cardiology, 13(6), pp. 368-378.
American Heart Association (2017). Heart Failure.
Cardiosmart (2016). Heart Failure.
NHS Choices UK (2018). Health A-Z. Heart Failure.
US Department of Human and Health Service (2019). Heart Failure Fact Sheet.
University of California San Fracisco (2018). UCSF Health. Heart Failure Treatment.
Mayo Clinic (2017). Diseases and Conditions. Heart Failure.
Moore, K. Roth, E. Healthline (2017). Heart Failure.
Fogoros, RN. Verywell Health (2018). Symptoms and Complications of Heart Failure.

Anda mungkin juga menyukai