Anda di halaman 1dari 146

KARYA ILMIAH AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN POST LAPARATOMI


DENGAN APLIKASI TERAPI CHEWING GUM UNTUK
MENINGKATKAN PERISTALTIK USUS DIRUANGAN
BEDAH PRIA RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ZIKRI MUKHLIS, S.Kep


BP 1841313003

PROGAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2020
KARYA ILMIAH AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN POST LAPARATOMI


DENGAN APLIKASI TERAPI CHEWING GUM UNTUK
MENINGKATKAN PERISTALTIK USUS DI RUANGAN
BEDAH PRIA RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG

Peminatan Keperawatan Medikal Bedah

Untuk Memperoleh Gelar NERS (Ns) Praktek Profesi Keperawatan

Fakultas Keperawatan Universitas Andalas

oleh :

ZIKRI MUKHLIS, S.Kep


BP 1841313003

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan

rahmat-Nya yang selalu tercurah kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya. Salawat

dan salam teruntuk baginda Rasulullah Nabi Muhammad SAW yang telah

membawa umat manusia dari zaman yang kelam hingga zaman yang terang

dengan cahaya iman seperti saat sekarang ini. Alhamdulillahirabbilalamin berkat

izin, hidayah dan inayah-Nya, penulis telah dapat menyelesaikan karya tulis

ilmiah akhir ini dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

POST LAPARATOMI DENGAN APLIKASI TERAPI CHEWING GUM

UNTUK MENINGKATKAN PERISTALTIK USUS DI RUANGAN

BEDAH PRIA RSUP DR. M. DJAMIL PADANG”. Karya ilmiah akhir ini

diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners.

Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Ibu Ns. Leni

Merdawati, M. Kep dan Ibu Esi Afriyanti, S.Kp, M.Kes yang telah membimbing

penulis dengan penuh kesabaran hingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah

akhir ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pembimbing klinik Ibu Ns.

Silvia Handayani, S. Kep yang telah memberikan motivasi dan bimbingan selama

penulis mengikuti praktek profesi peminatan di IRNA Bedah Pria RSUP Dr. M.

Djamil Padang. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Hema Malini, S.Kp., MN., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Andalas Padang.

2. Ibu Ns. Rika Fatmadona, M.Kep, Sp. KMB, selaku Koordinator Program

Studi Profesi Ners Universitas Andalas


3. Direktur RSUP Dr. M. Djamil Padang beserta jajarannya yang telah

memberikan izin untuk melakukan praktek di rumah sakit.

4. Bagian IRNA Bedah Pria RSUP Dr. M. Djamil Padang yang telah

membantu serta membimbing penulis selama melakukan praktek diruangan.

5. Seluruh bapak/ibu dosen yang mengajar dan seluruh civitas akademika di

Fakultas Keperawatan Universitas Andalas Padang.

6. Kepada orang tua saya, Mukhlis (abak), Yenti (ibu), Zira M, Zefi M Zhara

M, dan Zhaki M (saudara-saudari) dan seluruh anggota keluarga yang telah

memberikan segala bentuk dukungan dalam menyelesaikan karya tulis ini

mulai pendidikan S1 sampai dengan Ners saat ini.

7. Kepada Keluarga K19 (Bg Akbar, Indri, Ima, Rini, Fanny, Fauziah, Dian &

Lentina) terima kasih selalu bersama, kompak, saling melengkapi selama 13

bulan ini, akhirnya kita NERS.

8. Kepada teman-teman Profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas

Andalas

9. Kepada Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas

bantuannya dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam karya

ilmiah akhir ini. Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran

dari berbagai pihak demi lebih baiknya karya tulis ilmiah ini. Akhir kata, penulis

berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Padang, 26 April 2020

Penulis
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
KARYA ILMIAH AKHIR
MARET 2020

Nama : Zikri Mukhlis, S.Kep


No. BP : 1841313003

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN POST LAPARATOMI


DENGAN APLIKASI TERAPI CHEWING GUM UNTUK
MENINGKATKAN PERISTALTIK USUS DI RUANGAN
BEDAH PRIA RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

ABSTRAK

Pasca operasi, pasien membutuhkan waktu sekitar 24 - 48 jam sehingga efek obat
anastesi hilang ditandai dengan meningkatnya peristaltik usus. Laparatomi
merupakan pembedahan pada dinding abdomen dengan menggunakan anatesi
umum (seluruh tubuh), sehingga mengakibatkan penurunan peristaltik usus.
Masalah yang sering muncul setelah laparatomi adalah ileus pasca operasi,
distensi, mual, muntah, nyeri, dan penurunan peristaltik usus. Salah satu cara
untuk menghindari masalah-masalah tersebut adalah dengan terapi chewing gum
yang mampu meningkatkan peristaltik usus pasca operasi dan mempercepat
proses pemulihan ileus. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memaparkan
asuhan keperawatan pada pasien post laparatomi dengan aplikasi terapi chewing
gum untuk meningkatkan peristaltik usus pasien di Ruangan Bedah Pria RSUP.
DR. M. Djamil Padang. Masalah keperawatan yang muncul adalah disfungsi
motalitas gastrointestinal, nyeri akut, resiko infeksi dan ansietas. Berdasarkan
Evidence Based Nursing (EBN) terapi chewing gum terbukti efektif dalam
meningkatkan peristaltik usus pasien post operasi. EBN chewing gum dilakukan
setelah pasien sadar dan kooperatif sekitar 4 jam setelah operasi, dikunyah selama
5 menit dan dihentikan setelah pasien flatus pertama kali. Implementasi terapi
chewing gum terhadap masalah fungsi gastrointestinal teratasi dengan hasil
mampu menigkatkan peristaltik usus dari 4 x/menit menjadi 6 x/menit dan
mempercepat waktu flatus pasien. Diharapkan perawat dapat menggunakan terapi
chewing gum sebagai intervensi keperawatan mandiri untuk meningkatkan
peristaltik usus pasien post laparatomi.

Kata kunci : Laparatomi, Peristaltik, Chewing Gum


Referensi : 2002 -2019
NURSING FACULTY
UNIVERSITAS ANDALAS
FINAL SCIENTIFIC REPORT
MARCH 2020

Name : Zikri Mukhlis, S.Kep


Reg Number : 1841313003

NURSING CARE OF PATIENTS POST LAPARATOMIC WITH


APPLICATIONS OF CHEWING GUM THERAPY TO
IMPROVE INTESTINAL PERISTALTIC IN MALE’S
SURGICAL WARD AT RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG

ABSTRACT.

Postoperatively, the patient takes about 24 - 48 hours so that the effects of the
anesthetic drug disappear are characterized by increased intestinal peristalsis.
Laparatomy is surgery on the abdominal wall using general analgesia (whole
body), resulting in a decrease in intestinal peristalsis. Problems that often arise
after laparotomy are postoperative ileus, distension, nausea, vomiting, pain, and
decreased intestinal peristalsis. One way to avoid these problems is with chewing
gum therapy which is able to increase intestinal peristalsis postoperatively and
accelerate the recovery process of ileus. The purpose of this paper is to describe
nursing care in post-laparatomy patients with the application of chewing gum
therapy to improve the intestinal peristalsis of patients in the Male’s Surgical
Ward at RSUP. DR. M. Djamil Padang. Nursing problems that arise are
dysfunction of gastrointestinal motality, acute pain, risk of infection and anxiety.
Based on Evidence Based Nursing (EBN) chewing gum therapy has proven to be
effective in increasing the intestinal peristalsis of postoperative patients. EBN
chewing gum is done after the patient is conscious and cooperative about 4 hours
after surgery, chewed for 5 minutes and stopped after the patient is flatus for the
first time. The implementation of chewing gum therapy for gastrointestinal
function problems is resolved with the result being able to increase intestinal
peristalsis from 4 x / min to 6 x / min and accelerate the patient's flatus time. It is
hoped that nurses can use chewing gum therapy as an independent nursing
intervention to improve the intestinal peristalsis of post-laparatomy patients.

Keywords: Laparatomy, Peristaltic, Chewing Gum


Reference: 2002-2019
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ........................................................... i


HALAMAN PERSYARATAN GELAR ............................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... iii
LEMBAR PENETEPAN PANITIA PENGUJI .................................... iv
UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................... v
ABSTRAK.............................................................................................. vii
ABSTRACT ........................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xii
DAFTAR TABEL .................................................................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian ................................................................... 6
C. Manfaat Penelitian ................................................................. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Ileus Obstruksi ....................................................................... 9
1. Defenisi ........................................................................... 9
2. Etiologi ........................................................................... 9
3. Patofisiologi .................................................................... 11
4. Klasifikasi ....................................................................... 12
5. Gejala Klinis .................................................................... 13
6. Komplikasi ..................................................................... 17
7. Pemeriksaan Fisik ............................................................ 17
8. Pemeriksaan Penunjang ................................................... 17
9. Penatalaksanaan .............................................................. 19
B. Laparatomi ........................................................................... 20
1. Defenisi .......................................................................... 20
2. Jenis Laparatomi .............................................................. 20
3. Indikasi ............................................................................ 21
4. Komplikasi ..................................................................... 23
C. Mengunyah Permen Karet (Chewing Gum) ........................... 24
1. Pengertian ......................................................................... 24
2. Mengunyah Permen Karet Terhadap Peristaltik usus ......... 24
3. Lama Waktu Mengunyah Permen Karet ........................... 25
4. Jenis Permen Karet .......................................................... 26
5. Mekanisme Penurunan Ileus dengan Mengunyah permen
karet......................................................................................... 27
D. Peristaltik Usus ........................................................................ 28
E. Flatus ....................................................................................... 31
F. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan ................................... 35
1. Pengkajian ....................................................................... 35
2. Diagnosa Keperawatan...................................................... 41
3. Rencana Asuhan Keperawatan Teoritis ............................. 41
4. Implementasi ................................................................... 47
5. Evaluasi ............................................................................ 47
G. EVIDENCE BASED NURSING (EBN) ................................. 47
1. Latar Belakang ................................................................. 47
2. Identifikasi Masalah ......................................................... 49
3. Critical Appraisal topic ..................................................... 50
4. Prosedur Pelaksanaan ....................................................... 52

BAB III LAPORAN KASUS


A. Pengkajian .............................................................................. 55
1. Data Klinis ....................................................................... 55
2. Alasan Masuk rumah sakit ................................................ 55
3. Riwayat Kesehatan sekarang ............................................ 56
4. Riwayat Kesehatan Dahulu ............................................... 56
5. Riwayata Kesehatan Keluarga ......................................... 57
6. Pola Fungsional Gordon .................................................... 57
7. Pemerikasaan Fisik............................................................ 62
8. Pemeriksaan Penunjang ..................................................... 63
9. Analisa Data...................................................................... 64
B. Diagnosa Keperawatan .......................................................... 66
C. Intervensi Keperawatan. ........................................................ 66
D. Implementasi dan Evaluasi .................................................... 74
E. Evidence Based Nursing: pemberian terapi Chewing gum
untuk meningkatkan peristaltik pasien post laparatomi ................. 93
F. Evaluasi EBN ......................................................................... 95

BAB IV PEMBAHASAN
A. Manajemen Asuhan Keperawatan .......................................... 98
1. Pengkajian Keperawtan .................................................... 98
2. Diagnosa Keperawatan ...................................................... 102
3. Intervensi Keperawatan ..................................................... 105
4. Implementasi keperawatan ................................................ 106
5. Evaluasi ........................................................................... 116
B. Asuhan Evidence Based Nursing ........................................... 117

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 120
B. Saran ....................................................................................
122

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 123


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 WOC 128

Lampiran 2 Lembar permohonan menjadi responden 129

Lampiran 3 Lembar persetujuan menjadi responden 130

Lampiran 4 Protokol mengunyah permen karet 131

Lampiran 5 SOP 132

Lampiran 6 Lembar observasi pasien 135

Lampiran 7 Dokumentasi 136

Lampiran 8 Curriculum Vitae 137


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Diagnosa (NANDA), Kriteria Hasil (NOC), Rencana 41

intervensi (NIC) teoritis

Tabel 3.1 Pemeriksaan pemeriksaan fisik ........................................................ 62

Tabel 3.2 Analisa Data...................................................................................... 64

Tabel 3.3 Intervensi keperawatan..................................................................... 66

Tabel 3.4 Evaluasi jumlah peristaltik usus pasien kelolaan.............................. 96

Tabel 3.5 Evaluasi jumlah peristaltik usus pasien kontrol................................ 97


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Operasi atau pembedahan adalah suatu penanganan medis secara

invasif yang dilakukan untuk mendiagnosa atau mengobati penyakit, injuri,

atau deformitas tubuh yang akan mencederai jaringan yang dapat menimbulkan

perubahan fisiologis tubuh dan mempengaruhi organ tubuh lainnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO)

jumlah pasien dengan tindakan operasi mencapai angka peningkatan yang

sangat signifikan dari tahun ke tahun. Tercatat di tahun 2011 terdapat 140 juta

pasien, tahun 2012 data mengalami peningkatan sebesar 148 juta jiwa dan

WHO menuturkan bahwa tindakan operasi akan mencapai 234 juta setiap

tahunnya (Sartika,2013). Di Indonesia sendiri pada tahun 2012 mencapai 1,2

juta jiwa(Sartika,2013 dalam Hartoyo 2015). Menurut Departemen Kesehatan

Republik Indonesia (Depkes RI) pada tahun 2009, tindakan pembedahan

menempati urutan yang kesebelas dari 50 penyakit di rumah sakit se-Indonesia

dengan persentase 12,8% yang diperkirakan 32% merupakan bedah laparatomi

(Kusumayanti, 2014)

Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan dengan

melakukan penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk

mendapatkan bagian organ abdomen yang mengalami masalah seperti

perdarahan, perforasi, kanker, dan obstruksi (Puruhito, 2011). Laparatomi

merupakan salah satu operasi pada abdomen yang menyebabkan perubahan

postoperatif dalam sistem saraf otonom, menyebabkan penurunan pergerakan


usus dan menyebabkan masalah gastrointestinal (Mohsenzadeh Ledari, Barat,

Delavar, Banihosini, & Khafri, 2013). Komplikasi lain pada pasien laparatomi

adalah nyeri yang hebat, ileus paralitik, perdarahan, bahkan kematian

(Rustianawati, 2013 dalam Kartawijaya, 2017). Prosedur operasi laparatomi

dan anastesi juga mempengaruhi susunan saraf tepi dan hipotalamus sehingga

akan menurunkan kerja otot polos pada saluran pencernaan, sehingga

peristaltik usus menjadi lambat dan menyebabkan ileus post operasi (Ernawati

et al, 2014).

Meskipun banyak kemajuan dalam teknik bedah dan perawatan post

operasi, ileus pasca operasi masih terus menjadi masalah paling umum dan

masalah yang tidak diharapkan setelah operasi (Senagore, 2007 hal S3). Ileus

post operasi adalah suatu respon stress utama dari operasi abdomen terutama

laparatomi. Adapun gejala klinisnya seperti nyeri abdomen, mual dan muntah

pasca operasi, menurun atau tidak adanya bising usus, distensi abdomen,

tertundanya pembentukan tinja serta ketidakmampuan untuk mendapatkan

minuman dan makanan yang cukup (Schuster et al, 2006, hal 174). Ileus post

operasi sekunder didefenisikan dengan gejala yang sama tetapi ditimbulkan

oleh suatu komplikasi dari proses operasi (misalnya kebocoran anastomotik,

abses, peritonitis, dll). Ileus post operasi dianggap sebagai salah satu respon

stres yang tidak diharapkan dan harus dihindari setelah operasi laparatomi yang

dapat mengakibatkan ketidaknyamanan, morbiditas, memperpanjang masa

rawat inap dan meningkatkan resiko infeksi yang didapat di rumah sakit serta

menambah biaya rawatan di rumah sakit (Kehlet H, 2008).


Pasca operasi laparatomi, anastesi yang diberikan kepada pasien dapat

memperlambat motilitas gastrointestinal dan menyebabkan mual. Normalnya,

selama tahap pemulihan segera setelah operasi, bising usus terdengar lemah

atau hilang di keempat kuadran. Kehilangan peristaltik normal selama 24

sampai 48 jam, tergantung pada jenis dan lamanya pembedahan karena anastesi

memberikan hambatan terhadap rangsangan saraf untuk terjadinya peristaltik

sehingga memberikan beberapa dampak antara lain seperti distensi abdomen

(kembung atau nyeri), bahkan ileus paralitik. Pada pasien yang baru menjalani

laparatomi, distensi bisa juga terjadi jika pasien mengalami perdarahan internal

dan mengalami ileus paralitik akibat operasi pada bagian usus (Potter &Perry

&, 2010). Perasaan kurang nyaman pada perut juga akan menyebabkan

anoreksia (nafsu makan menurun), jika hal ini terjadi maka asupan nutrisi bagi

pasien tidak tercukupi (Potter & Perry, 2010).

Percepatan kembalinya fungsi gastrointestinal seperti peristaltik usus

pada pasien laparatomi akan sangat bermanfaat dalam proses pemulihan pasien,

dimana ileus post operasi dapat dihindari dan intake oral akan menjadi

adekuat, sehingga berespon positif terhadap pemenuhan kebutuhan nutrisi

pasien, mempercepat proses pemulihannya dan menghidari pasien dari

masalah-masalah pasca operasi. Beberapa strategi dan intervensi telah diuji

untuk mencegah ileus post operasi supaya peningkatan peristaltik usus pasien

menjadi lebih baik, mulai dari farmakologis maupun non farmakologis seperti

perubahan teknik bedah, perawatan suportif (Johson, Walsh, 2009, hal 644),

penggunaan obat pencahar, dan penggunaan teknik anastesi regional (Basse et

al., 2001; Basse et al., 2005; Bauer, Boeckxstaens, 2004; Mattei, Rombeau,
2006 dalam Zeleníková, R. et al, 2013).

Penanganan ileus post operasi secara tradisional dilakukan dengan

pemasangan selang NGT, cairan intravena, mobilisasi, dan cairan peroral

(Fitzgerald, Ahmed, 2009, hal. 2558). Namun, permasalahan ileus post operasi

masih sering terjadi dan hal ini menjadi pendorong bagi penelitian baru untuk

mencari solusi terbaik dalam menangani masalah ini. Salah satu perawatan

yang didasarkan pada teori fisiologis adalah " sham feeding/memberi makan

palsu." Mengunyah permen karet telah dipelajari selama satu dekade terakhir

sebagai bentuk pemberian makanan palsu untuk merangsang pemulihan

peristaltik usus setelah operasi (Zeleníková, R. et al, 2013).

Mortimor Lorber (2012) menyatakan bahwa aktifitas mengunyah

(mastikasi) banyak melibatkan organ dan jaringan. Akibatnya, apabila terjadi

proses mastikasi, motilitas gastrointestinal terstimulasi seperti meningkatnya

sekresi gaster dan hormon-hormon gastrointestinal lainnya. Kembalinya fungsi

gastrointestinal, di tandai dengan pergerakan usus, flatus, defekasi, dan

timbulnya rasa lapar. Ketika timbul flatus yang pertama, merupakan tanda

yang menunjukkan kembalinya fungsi sistem pencernaan (Ledari FM, 2013).

Motilitas usus pasca laparatomi dapat dipercepat dengan pemberian

terapi Chewing Gum atau mengunyah permen karet yang berfungsi untuk

menstimulasi peristaltik usus dengan meningkatkan produksi hormon-hormon

gastrointestinal, dan mengunyah permen karet merupakan metode yang

berguna, murah dan ditoleransi dengan baik oleh pasien di bagian bedah

(Ledari et al., 2013). Menurut Wafaa, 2013 mengatakan bahwa terapi Chewing

Gum atau mengunyah permen karet adalah metode fisiologis, aman dan efektif
untuk mengurangi waktu tunngu kembalinya peristaltik usus pasca operasi

laparatomi.

Abd. El Maeboud dalam penelitiannya pada tahun 2013 juga

mengungkapkan bahwa mengunyah permen karet itu aman, dapat ditoleransi

dengan baik, dan berhubungan dengan pengembalian motilitas gastrointestinal,

pengurangan waktu hospitalisasi, dan kemungkinan besar berpengaruh dalam

penurunan biaya pelayanan kesehatan total apabila dilaksanakan secara rutin.

Farideh M Ledari dalam penelitiannya pada tahun 2012 juga menemukan

bahwa rata-rata interval postoperatif dari bunyi bising usus pertama,

munculnya rasa lapar pertama kali, timbulnya flatus pertama, dan defekasi

pertama pada pasien secara signifikan memendek pada kelompok yang

diberikan perlakuan mengunyah permen karet apabila dibandingkan dengan

kelompok kontrol.

Berdasarkan tinjauan yang terbaru tentang evaluasi terapi farmakologis

pilihan untuk pencegahan ileus, dituliskan bahwa terapi Chewing gum dan

Alvimopan efektif dalam pencegahan ileus post operatif. Tetapi karena

kekawatiran akan keamanan dan biaya yang lebih tinggi , terapi Chewing gum

jauh lebih disukai dari pada alvimopan (YC. Yeh dkk dalam Sanjay Marwah

2012).

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil studi awal diruangan Bedah

Pria RSUP. Dr. M. Djamil Padang pada pada tanggal 10 Februari- 7 Maret

2020 tercatat sebanyak 22 kasus bedah abdomen , 18 diantaranya menjalani

operasi laparatomi. Sebanyak 8 dari 18 pasien mengalami peningkatan

peristaltik usus kurang dari 24 jam, 6 pasien lebih dari 24 jam dan 4 pasien
mengalami peningkatan peristaltik usus yang lambat yaitu lebih dari 48 jam.

Dari hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 4 Maret 2020 dengan

beberapa perawat diruangan Bedah Pria RSUP DR. M. Djamil Padang terkait

peningkatan peristaltik usus pasien pasca operasi laparatomi didapatkan bahwa

tidak ada penanganan khusus untuk mempercepat peningkatan peristaltik usus

kecuali dengan meminta pasien untuk mobilisasi dini, tapi 11 dari 18 pasien

enggan untuk bergerak karena nyeri yang dirasakan setelah operasi.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

asuhan keperawatan pada pasien post laparatomi dengan aplikasi terapi

chewing gum untuk meningkatkan peristaltic di Ruang Bedah pria RSUP DR.

M. Djamil Padang.

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien

post laparatomi dengan aplikasi terapi chewing gum untuk meningkatkan

peristaltik pasien di ruang Bedah Pria RSUP DR. M. Djamil Padang

2. Tujuan Khusus

a. Menjelaskan hasil pengkajian pada pasien post laparatomi di ruangan

Bedah Pria RSUP DR. M. Djamil Padang.

b. Menjelaskan diagnosa keperawatan pada pasien post laparatomi di

ruangan Bedah Pria RSUP DR. M. Djamil Padang

c. Menjelaskan perencanaan pengelolaan pada pasien post laparatomi

dengan penerapan aplikasi terapi chewing gum untuk meningkatkan

peristaltik pasien di ruangan Bedah Pria RSUP DR. M. Djamil Padang


d. Menjelaskan implementasi pada pasien post laparatomi dengan

penerapan aplikasi terapi chewing gum untuk meningkatkan

peristaltik pasien di ruangan Bedah Pria RSUP DR. M. Djamil Padang

e. Menjelaskan evaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan

sesuai dengan rencana keperawatan pada pasien post laparatomi

dengan penerapan aplikasi terapi chewing gum untuk meningkatkan

peristaltik pasien di ruangan Bedah Pria RSUP DR. M. Djamil Padang

C. MANFAAT

1. Bagi Profesi Keperawatan

Dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan sebagai bahan

pertimbangan dalam mengambil kebijakan dalam upaya memberikan

asuhan pada pasien post laparatomi dengan penerapan aplikasi terapi

chewing gum untuk meningkatkan peristaltik pasien di ruangan Bedah

Pria RSUP DR. M. Djamil Padang

2. Bagi Institusi Rumah Sakit

Dapat memberikan masukan bagi bidang keperawatan umumnya

dan para tenaga perawat di Bedah Pria RSUP DR. M. Djamil Padang,

khususnya dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien post

laparatomi dengan penerapan aplikasi terapi chewing gum untuk

meningkatkan peristaltik pasien di ruangan Bedah Pria RSUP DR. M.

Djamil Padang

3. Bagi Ilmu Keperawatan

Dapat memberikan referensi dan masukan tentang asuhan

keperawatan
pada pasien post laparatomi dengan penerapan aplikasi terapi chewing

gum untuk meningkatkan peristaltik pasien di ruangan Bedah Pria RSUP

DR. M. Djamil Padang.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ILEUS OBSTRUKSI

1. Definisi

Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya

obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan.

Ileus Obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang

disebabkan oleh sumbatan mekanik sehingga isi lumen saluran cerna tidak

bisa disalurkan ke distal atau anus karena ada sumbatan/hambatan yang

disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang

menekan atau kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang

menyebabkan nekrose segmen usus tersebut (Sjamsuhidajat, 2010).

Berdasarkan proses terjadinya ileus obstruksi dibedakan menjadi ileus

obstruksi mekanik dan non mekanik. Ileus obstruksi mekanik terjadi karena

penyumbatan fisik langsung yang bisa disebabkan karena adanya tumor atau

hernia sedangkan ileus obstruksi non mekanik terjadi karena penghentian

gerakan peristaltic (Manaf , 2010).

2. Etiologi

Obstruksi usus halus dapat disebabkan oleh :

a. Adhesi merupakan penyebab tersering obstruksi intestinal pada

orang dewasa di US. Kebanyakan adhesi merupakan hasil dari

pembedahan abdomen sebelumnya atau proses peradangan,

walaupun adhesi kongenital bisa menjadi penyebab.


b. Hernia inkaserata adalah penyebab kedua paling sering untuk

terjadinya obstruksi intestinal di negara industri. Dan merupakan

penyebab paling sering di seluruh dunia.

c. Intususepsi terjadi ketika salah satu bagian dari usus

(intussusceptum) masuk ke bagian usus lain (intussuscipiens).

Tumor, polip, pembesaran kelenjar getah bening mesenterika, atau

bahkan divertikulum meckel dapat menjadi titik acuan untuk

terjadinya obstruksi usus halus.

d. Volvulus sering disebabkan oleh adhesi atau kelainan bawaan seperti

malrotation usus. Hal ini lebih sering terjadi di usus besar.

e. Iskemia, peradangan (Crohn’s disease), terapi radiasi, atau operasi

sebelumnya dapat menyebabkan striktur yang akan menjadi

obstruksi.

f. Ileus batu empedu terjadi sebagai komplikasi dari kolesistitis.

g. Eksternal kompresi dari tumor, abses, hematoma, atau massa lainnya

dapat yang menyebabkan obstruksi usus halus fungsional.

h. Adanya benda asing biasanya masuk karena ketidak sengajaan.

Adanya benda asing yang menyebabkan obstruksi membutuhkan

tindakan operasi (Mansjoer, 2010).

Kira-kira 15% obstruksi usus terjadi di usus besar. Obstruksi dapat

terjadi di setiap bagian kolon tetapi paling sering di sigmoid. Penyebabnya

adalah :

 Karsinoma.

 Volvulus.
 Kelainan divertikular (Divertikulum Meckel), Penyakit Hirschsprung

 Inflamasi.

 Tumor jinak.

 Impaksi fekal (Mansjoer, 2010).

3. Patofisiologi

Pada obstruksi mekanik, usus bagian proksimal mengalami distensi

akibat adanya gas/udara dan air yang berasal dari lambung, usus halus,

pankreas, dan sekresi biliary. Cairan yang terperangkap di dalam usus halus

ditarik oleh sirkulasi darah dan sebagian ke interstisial, dan banyak yang

dimuntahkan keluar sehingga akan memperburuk keadaan pasien akibat

kehilangan cairan dan kekurangan elektrolit. Jika terjadi hipovolemia

mungkin akan berakibat fatal (J.Corwin, 2009).

Obstruksi yang berlangsung lama mungkin akan mempengaruhi

pembuluh darah vena, dan segmen usus yang terpengaruh akan menjadi

edema, anoksia dan iskemia pada jaringan yang terlokalisir, nekrosis,

perforasi yang akan mengarah ke peritonitis, dan kematian. Septikemia

mungkin dapat terjadi pada pasien sebagai akibat dari perkembangbiakan

kuman anaerob dan aerob di dalam lumen. Usus yang terletak di bawah

obstruksi mungkin akan mengalami kolaps dan kosong (Schrock, 2009).

Gambar . Gangguan pada usus


Secara umum, pada obstruksi tingkat tinggi (obstruksi letak

tinggi/obstruksi usus halus), semakin sedikit distensi dan semakin cepat

munculnya muntah. Dan sebaliknya, pada pasien dengan obstruksi letak

rendah (obstruksi usus besar), distensi setinggi pusat abdomen mungkin

dapat dijumpai, dan muntah pada umumnya muncul terakhir sebab

diperlukan banyak waktu untuk mengisi semua lumen usus. Kolik abdomen

mungkin merupakan tanda khas dari obstruksi distal. Hipotensi dan

takikardi merupakan tanda dari kekurangan cairan. Dan lemah serta

leukositosis merupakan tanda adanya strangulasi. Pada permulaan, bunyi

usus pada umumnya keras, dan frekuensinya meningkat, sebagai usaha

untuk mengalahkan obstruksi yang terjadi. Jika abdomen menjadi diam,

mungkin menandakan suatu perforasi atau peritonitis dan ini merupakan

tanda akhir suatu obstruksi (J.Corwin, 2009)

4. Klasifikasi

Klasifikasi obstruksi usus berdasarkan:

a) Kecepatan timbul (speed of onset)

a. Akut, kronik, kronik dengan serangan akut

b) Letak sumbatan

a. Obstruksi tinggi, bila mengenai usus halus (dari gaster sampai

ileum terminal)

b. Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar (dari ileum terminal

sampai anus)

c) Sifat sumbatan

a. Simple obstruction : sumbatan tanpa disertai gangguan aliran darah


b. Strangulated obstruction : sumbatan disertai gangguan aliran darah

sehingga timbul nekrosis, gangren dan perforasi (Towsend, M. Jr, et

al, 2008)

d) Etiologi

a. Kelainan dalam lumen, di dalam dinding dan di luar dinding usus

(Price, S.A. 2015).

5. Gejala Klinis

Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen,

mual, muntah, perut distensi dan tidak bisa buang air besar (obstipasi). Mual

muntah umumnya terjadi pada obstruksi letak tinggi. Bila lokasi obstruksi di

bagian distal maka gejala yang dominan adalah nyeri abdomen. Distensi

abdomen terjadi bila obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus

menjadi sangat dilatasi (Sjamsuhidajat, 2010).

Obstruksi pada usus halus menimbulkan gejala seperti nyeri perut

sekitar umbilikus atau bagian epigastrium. Pada pasien dengan suatu

obstruksi sederhana yang tidak melibatkan pembuluh darah, sakit cenderung

menjadi kolik yang pada awalnya ringan, tetapi semakin lama semakin

meningkat, baik dalam frekuensi atau derajat kesakitannya. Sakit mungkin

akan berlanjut atau hilang timbul. Pasien sering berposisi knee-chest, atau

berguling-guling. Pasien dengan peritonitis cenderung kesakitan apabila

bergerak (Mansjoer, 2010).

Pasien dengan obstruksi partial bisa mengalami diare. Kadang –

kadang dilatasi dari usus dapat diraba. Obstruksi pada kolon biasanya

mempunyai gejala klinis yang lebih ringan dibanding obstruksi pada usus
halus. Umumnya gejala berupa konstipasi yang berakhir pada obstipasi dan

distensi abdomen. Muntah adalah suatu tanda awal pada obstruksi letak

tinggi atau proksimal. Bagaimanapun, jika obstruksi berada di distal usus

halus, muntah mungkin akan tertunda. Pada awalnya muntah berisi semua

yang berasal dari lambung, yang mana segera diikuti oleh cairan empedu,

dan akhirnya muntah akan berisi semua isi usus halus yang sudah basi.

Pada obstruksi bagian proksimal usus halus biasanya muncul gejala

muntah. Nyeri perut bervariasi dan bersifat intermittent atau kolik dengan

pola naik turun. Jika obstruksi terletak di bagian tengah atau letak tinggi

dari usus halus (jejenum dan ileum bagian proksimal) maka nyeri bersifat

konstan/menetap. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen tampak

distensi, terdapat darm contour (gambaran usus), dan darm steifung

(gambaran gerakan usus), pada auskultasi terdapat hiperperistaltik berlanjut

dengan Borborygmus (bunyi usus mengaum) menjadi bunyi metalik

(klinken) / metallic sound. Pada tahap lanjut dimana obstruksi terus

berlanjut, peristaltik akan melemah dan hilang. Pada palpasi tidak terdapat

nyeri tekan, defans muscular(-) , kecuali jika ada peritonitis (Himawan,

2016).

Pada tahap awal, tanda vital normal. Seiring dengan kehilangan

cairan dan elektrolit, maka akan terjadi dehidrasi dengan manifestasi klinis

takikardi dan hipotensi postural. Suhu tubuh biasanya normal tetapi kadang

– kadang dapat meningkat. Hipovolemia dan kekurangan elektrolit dapat

terjadi dengan cepat kecuali jika pasien mendapat cairan pengganti melalui

pembuluh darah (intravena). Derajat tingkat dan distribusi distensi


abdominal dapat mencerminkan tingkatan obstruksi. Pada obstruksi letak

tinggi, distensi mungkin minimal. Sebaliknya, distensi pusat abdominal

cenderung merupakan tanda untuk obstruksi letak rendah (Sjamsuhidajat,

2010).

Tidak ada tanda pasti yang membedakan suatu obstruksi dengan

strangulasi dari suatu obstruksi sederhana: bagaimanapun, beberapa keadaan

klinis tertentu dan gambaran laboratorium dapat mengarahkan kepada

tanda-tanda strangulasi (Badash, 2005)

a. Obstruksi sederhana

Obstruksi usus halus merupakan obstruksi saluran cerna tinggi,

artinya disertai dengan pengeluaran banyak cairan dan elektrolit baik di

dalam lumen usus bagian oral dari obstruksi, maupun oleh muntah.

Gejala penyumbatan usus meliputi nyeri kram pada perut, disertai

kembung. Pada obstruksi usus halus proksimal akan timbul gejala

muntah yang banyak, yang jarang menjadi muntah fekal walaupun

obstruksi berlangsung lama. Nyeri bisa berat dan menetap. Nyeri

abdomen sering dirasakan sebagai perasaan tidak enak di perut bagian

atas. Semakin distal sumbatan, maka muntah yang dihasilkan semakin

fekulen (Himawan, 2016).

Tanda vital normal pada tahap awal, namun akan berlanjut dengan

dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit. Suhu tubuh bisa

normal sampai demam. Distensi abdomen dapat dapat minimal atau

tidak ada pada obstruksi proksimal dan semakin jelas pada sumbatan di

daerah distal. Bising usus yang meningkat dan “metallic sound” dapat
didengar sesuai dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di daerah distal

(Andari, 2017).

b. Obstruksi disertai proses strangulasi

Gejalanya seperti obstruksi sederhana tetapi lebih nyata dan

disertai dengan nyeri hebat. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya

skar bekas operasi atau hernia. Bila dijumpai tanda-tanda strangulasi

berupa nyeri iskemik dimana nyeri yang sangat hebat, menetap dan

tidak menyurut, maka dilakukan tindakan operasi segera untuk

mencegah terjadinya nekrosis usus (Himawan, 2016).

Obstruksi mekanis di kolon timbul perlahan-lahan dengan nyeri

akibat sumbatan biasanya terasa di epigastrium. Nyeri yang hebat dan

terus menerus menunjukkan adanya iskemia atau peritonitis.

Borborygmus dapat keras dan timbul sesuai dengan nyeri. Konstipasi

atau obstipasi adalah gambaran umum obstruksi komplit. Muntah lebih

sering terjadi pada penyumbatan usus besar. Muntah timbul kemudian

dan tidak terjadi bila katup ileosekal mampu mencegah refluks. Bila

akibat refluks isi kolon terdorong ke dalam usus halus, akan tampak

gangguan pada usus halus. Muntah fekal akan terjadi kemudian. Pada

keadaan valvula Bauchini yang paten, terjadi distensi hebat dan sering

mengakibatkan perforasi sekum karena tekanannya paling tinggi dan

dindingnya yang lebih tipis. Pada pemeriksaan fisis akan menunjukkan

distensi abdomen dan timpani, gerakan usus akan tampak pada pasien

yang kurus, dan akan terdengar metallic sound pada auskultasi. Nyeri
yang terlokasi, dan terabanya massa menunjukkan adanya strangulasi

(Andari, 2017).

6. Komplikasi

Strangulasi menjadi penyebab dari kebanyakan kasus kematian akibat

obstruksi usus. Isi lumen usus merupakan campuran bakteri yang mematikan,

hasil-hasil produksi bakteri, jaringan nekrotik dan darah. Usus yang

mengalami strangulasi mungkin mengalami perforasi dan menggeluarkan

materi tersebut ke dalam rongga peritoneum. Pada obstruksi kolon dapat

terjadi dilatasi progresif pada sekum yang berakhir dengan perforasi sekum

sehingga terjadi pencemaran rongga perut dengan akibat peritonitis umum.

Tetapi meskipun usus tidak mengalami perforasi bakteri dapat melintasi usus

yang permeabel tersebut dan masuk ke dalam sirkulasi tubuh melalui cairan

getah bening dan mengakibatkan shock septic (Badash, 2005).

7. Pemeriksaan Fisik

 Tanda Vital yang abnormal biasanya menandakan adanya hipovolemia

(takikardi dan hipotensi).

 Pemeriksaan abdomen mungkin ditemukan distensi, adanya bekas operasi,

dan hernia. Pada palpasi biasanya ditemukan adanya massa. Pemeriksaan

RT mungkin ditemukan adanya tumor rektal atau feses yang keras.

8. Pemeriksaan Penunjang

a) Laboratorium.

Pada tahap awal dari obstruksi intestinal, nilai laboratorium mungkin

normal. Keadaan obstruksi terus berlangsung, nilai-nilai laboratorium

dapat menunjukkan tanda dehidrasi, paling sering menunjukkan kontraksi


alkalosis dengan hypochloremia dan hipokalemia. Peningkatan jumlah sel

darah putih (WBC) mungkin menunjukkan adanya strangulasi.

b) Evaluasi Radiologi

• Karakteristik small bowel obstruction pada foto abdomen tampak loop

dari usus halus membesar, air-fluids level, dan berkurangnya gas

kolorektal. Temuan ini mungkin tidak ada pada early, proximal, dan atau

closed-loop obstruction. Gas dalam dinding usus (pneumatosis intestinalis)

atau vena portal kemungkinan obstruksi strangulasi. Udara bebas intra-

abdomen menunjukkan perforasi dari viskus berongga. Temuan udara

pada billiary dan batu empedu radiopak di kuadran kanan bawah adalah

pathognomonic ileus batu empedu. ileus paralitik muncul sebagai distensi

gas merata di seluruh perut, usus halus dan kolon.

• Kontras (small-bowel follow-through [SBFT] atau enteroclysis) dapat

melokalisasi lokasi obstruksi dan menentukan etiologi. Barium dapat

digunakan jika lesi mukosa halus yang dicari (yaitu, lead point pada pasien

dengan intussuscepsi berulang), tetapi harus dihindari dalam obstruksi akut

karena risiko impaction barium.

• Computed tomography (CT) merupakan modalitas pencitraan yang

sangat baik untuk mendiagnosis gangguan usus halus. CT scan memiliki

kemampuan untuk melokalisasi dan mengkarakterisasi obstruksi serta

memberikan informasi tentang penyebab obstruksi dan adanya patologi

intra-abdominal lainnya. Bukti menunjukkan bahwa CT scan dapat

meningkatkan diagnosis praoperasi strangulasi dengan nilai prediktif

negatif dan positif di atas 90% (Towsend, M. Jr, et al, 2008)


9. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang

mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya

selalu diperlukan. Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua.

Kadang-kadang suatu penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa

pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan. Penderita

penyumbatan usus harus di rawat di rumah sakit (Schrock, 2014).

Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan

elektrolit dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan

dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan

obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal

(Andari, 2017).

Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda –

tanda vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi

mengalami dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu

diberikan cairan intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat

dilihat dengan memonitor tanda – tanda vital dan jumlah urin yang keluar.

Selain pemberian cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric

tube (NGT). NGT digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah

aspirasi pulmonum bila muntah dan mengurangi distensi abdomen

(Schrock, 2014).

Pemberian obat – obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan

sebagai profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala

mual muntah (Mansjoer, 2010).


Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk

mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian

disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi

selama laparotomi (Mansjoer, 2010).

B. LAPARATOMI

1. Defenisi

Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen.

Bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah

abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan

(Suzanne, 2002). Laparatomi merupakan penyayatan operasi melalui

dinding abdominal midline atau flank untuk melakukan visualisasi organ

didalam abdomen (Boden, 2005). Laparatomi merupakan prosedur

pembedahan yang melibatkan insisi pada dinding abdomen hingga ke

cavitas abdomen (Long, 2000).

2. Jenis

a. Paramedian

Paramedian terbagi atas 2 yaitu, paramedian kanan dan kiri,

dengan indikasi pada jenis operasi lambung, eksplorasi pankreas, organ

pelvis, colon bagian bawah, serta plenoktomi. Paramedian incision

memiliki keuntungan antara lain: merupakan bentuk insisi anatomis dan

fisiologis, tidak memotong ligament dan saraf, dan insisi mudah diperluas

ke arah atas dan bawah


b. Midline incision

Metode insisi merupakan jenis laparatomi yang paling sering

digunakan, karena sedikit perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat

dibuka dan ditutup, serta tidak memotong ligamen dan saraf.Namun

demikian, kerugian jenis insisi ini adalah terjadinya hernia

cikatrialis.Indikasinya pada eksplorasi gaster, pancreas, hepar, dan lien

serta dibawah umbilicus untuk eksplorasi ginekologis, rektosigmoid, dan

organ dalam pelvis.

c. Tranverse upper abdominal incision

Jenis laparatomi ini yaitu insisi di bagian atas, misalnya

pembedahan colesistotomy dan splektomy

d. Tranverse lower abdomen incision

Jenis laparatomi ini yaitu insisi melintang dibagian bawah ± 4 cm

di atas anterior spinal iliaka, misalnya pada operasi appendectomy.

3. Indikasi

a. Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang

terletak diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atu yang

menusuk (Ignativicus & Workman, 2010). Dibedakan atas dua jenis yaitu:

 Trauma tembus (trauma abdomen dengan penetrasi kedalam rongga

peritoneum) yang disebabkan oleh luka tusuk, luka tembak

 Trauma tumpul (trauma abdomen tanpa penetrasi kedalam rongga

peritoneum) yang dapat disebabkan oleh pukulan, benturan, ledakan,

deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman.


b. Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa rongga

abdomen, yang diklasifikasikan atas primer, sekunder, dan tersier.

Peritonitis primer dapat disebabkan oleh spontaneous bacterialperitonitis

(SBP) akibat penyakit hepar kronis. Peritonitis sekunder disebabkan oleh

perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale,

perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid), sementara proses

pembedahan merupakan penyebab peritonitis tersier

c. Obstruksi usus

Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan aliran normal

isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus umumnya mengenai kolon

sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat. Sebagian besar

dari obstruksi justru mengenai small intestine. Obstruksi total small

intestine merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan

tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup.

Penyebabnya dapat berupa perlengketan (lengkung usus menjadi

melekat pada area yang sembuh secara lambat atau pada jaringan parut

setelah pembedahan abdomen), intusepsi (salah satu bagian dari usus

menyusup kedalam bagian lain yang ada dibawahnya akibat penyempitan

lumen usus), volvulus (usus besar yang mempunyai mesocolon dapat

terpuntir sendiri dengan demikian menimbulkan penyumbatan dengan

menutupnya gelungan usus yang terjadi amat distensi), hernia (protrusi

usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen),

dan tumor (tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau

tumor diluar usus menyebabkan tekanan pada dinding usus).


d. Appendisitis, Tumor abdomen, abscesses,pancreatitis, adhesions,

diverticulitis, intestinal perforation, ectopic pregnancy, foreign bodies,

internal bleeding.

4. Komplikasi

a. Syok, digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi seluler yang

disertai dengan ketidakmampuan untuk mengekspresikan produk

metabolisme. Manifestasi klinis: pucat, kulit dingin dan terasa basah,

pernafasan cepat, sianosis, nadi cepat lemah dan bergetar, tekanan

darah rendah, dan urine pekat.

b. Hemoragi

 Hemoragi primer: terjadi pada waktu pembedahan

 Hemoragi intermediary: beberapa jam setelah pembedahan ketika

kenaikan tekanan darah ke tingkat normalnya melepaskan bekuan

yang tersangkut dengan tidak aman dari pembuluh darah yang tidak

terikat

 Hemoragi sekunder: beberapa waktu setelah pembedahan bila

ligatur slip karena pembuluh darah tidak terikat dengan baik atau

menjadi infeksi atau mengalami erosi oleh selang drainase.

Manifestasi klinis hemoragi diantaranya gelisah, terus bergerak,

merasa haus, kulit dingin dan basah, sianosis, nadi meningkat, suhu

turun, pernafasan cepat dan dalam, bibir dan konjungtiva pucat,

dan pasien melemah


C. MENGUNYAH PERMEN KARET (CHEWING GUM)

1. Pengertian mengunyah

Mastikasi menurut kamus Kedokteran Dorland edisi 29 tahun 2002

adalah proses pengunyahan makanan sebagai persiapan untuk menelan dan

mencerna. Mastikasi adalah suatu proses penghancuran makanan yang

melibatkan organ-organ di dalam rongga mulut dan saliva sehingga

mengubah ukuran dan konsistensi makanan. Organ yang membantu proses

mastikasi ini antara lain gigi geligi, otot-otot mastikasi, rahang, dan

pensarafan. Gerakan mastikasi merupakan gerakan penghancuran makanan

sehingga suatu partikel yang lebih kecil untuk membentuk suatu bolus yang

lunak dan mudah ditelan. Proses mastikasi sangat memerlukan suatu

cairan pembantu (saliva), di samping gigi geligi, otot-otot mastikasi (otot

masetter, otot temporalis, otot pterygoideus lateralis, otot pterygoideus

medialis serta otot tambahan) persyarafan, dan rahang (Ladewig, 2014).

2. Mengunyah permen karet terhadap peristaltik usus

Beberapa tahun terakhir, penggunaan mengunyah permen karet telah

dikatakan sebagai sebuah cara baru dan sederhana untuk mengurangi dan

mencegah ileus post operasi. Hal ini beraksi dengan menstimulasi motilitas

intestinal melalui refleks sefalik vagal dan dengan meningkatkan poduksi

hormon-hormon gastrointestinal yang berkaitan dengan motilitas usus (Li et

al., 2013).

Mochtar (2016), menyatakan bahwa aktifitas mengunyah (mastikasi)

tidak hanya melibatkan gigi tetapi juga jaringan periodontal, yang terdiri

dari dua jaringan lunak, gusi dan ligamentum periodontal, dan dua jaringan
kapur, sementum gigi dan tulang alveolar. Pergerakan rahang seperlunya

membutuhkan aktifitas otot-otot mastikasi dan sendi temporomandibular.

Akibatnya, apabila proses mastikasi menstimulasi motilitas usus seperti

meningkatnya sekresi gaster, beberapa bagian dari struktur oral dapat pula

dilibatkan oleh aktifitas motorik.

Mengunyah permen karet menyebabkan seseorang merasakan reaksi

yang disebabkan oleh stimulasi abdomen serta sekresi dari getah lambung

dan usus. Hal ini akan menyebabkan keinginan orang tersebut untuk makan

dan meningkatkan peristaltik dan mempercepat proses pemulihan ileus. Hal

ini telah dipertimbangkan oleh beberapa peneliti sebagai sebuah strategi

dalam menghadapi penurunan fungsi ileus (Ledari et al., 2013)

3. Lama waktu mengunyah permen karet

Berdasarkan data dari beberapa penelitian sebelumnya tentang

mengunyah permen karet yaitu systematic review dari 17 penelitian acak

terkontrol yang dilakukan oleh Shan Li tahun 2013 memperlihatkan bahwa

terdapat enam penelitian yang menggunakan waktu mengunyah selama satu

jam dengan intensitas sebanyak tiga kali sehari, satu penelitian dengan

waktu 45 menit tiga kali sehari, empat penelitian selama 30 menit tiga kali

sehari, satu penelitian selama 15 menit empat kali sehari, satu penelitian

selama lima menit empat kali sehari, satu penelitian selama 15 menit setiap

dua jam, satu penelitian selama lebih dari lima menit tiga kali sehari, sedang

dua penelitian sisanya tidak dilaporkan (Li et al., 2013).

Permen karet dapat menyebabkan stimulus mekanis dan kimiawi

yang dapat merangsang peningkatan sekresi saliva, kecepatan aliran,


menurunkan viskositas, menaikkan pH dan menurunkan jumlah koloni

s.mutans. Pengunyahan permen karet selama 5 menit dengan frekuensi

mengunyah 30-32 kali mampu meningkatkan sekresi saliva secara kuantitas

maupun kuantitas. Meningkatnya sekresi saliva menyebabkan

meningkatkan volume dan mengencerkan saliva yang diperlukan untuk

proses penelanan dan lubrikasi. Peningkatan sekresi saliva juga

meningkatkan jumlah dan susunan saliva, seperti bikarbonat yang dapat

meningkatkan pH (Rodian, Satari, & Rolleta, 2011).

Dari data tersebut, belum ada standarisasi lama waktu yang digunakan

untuk menguyah permen karet untuk mempercepat pemulihan fungsi

gastrointestinal normal post operasi abdomen atau peningkatan peristaltik

usus. Rentang lama waktu mengunyah yang digunakan penelitian–penelitian

sebelumnya yaitu antara lima menit sampai dengan satu jam dengan

intensitas berbeda-beda sesuai dengan pertimbangan dari peneliti tersebut.

4. Jenis permen karet

Beberapa penelitian tentang mengunyah permen karet terhadap durasi

pemulihan sistem pencernaan menggunakan permen karet bebas gula atau

permen karet yang menggunakan gula seperti Xylitol, Manitol, Sorbitol.

Farideh M. Ledari 2013 menggunakan permen karet bebas gula “Orbit”

setelah pasien pulih dari pengaruh anastesi.

Ledari et al.(2013), pada penelitiannya tahun 2013 tentang

mengunyah permen karet bebas gula dapat mengurangi ileus setelah operasi

bedah abomen menyimpulkan bahwa motilitas gastrointestinal setelah

operasi bedah abdomen dapat ditingkatkan dengan mengunyah permen


karet. Juga bahwa mengunyah permen karet ini adalah sebuah metode yang

bermanfaat, murah, dan dapat ditoleransi dengan baik untuk pasien

laparatomi (Ledari et al. 2013),

5. Mekanisme penurunan ileus dengan mengunyah permen karet

Mekanisme inti yang terkait dengan hubungan antara mengunyah

permen karet dengan Ileus post operatif masih belum jelas. Salah satu

penjelasan yang paling mungkin adalah mengunyah berfungsi sebagai Sham

Feeding, stimulasi motilitas usus, duodenum, dan rektum di perut manusia.

Penjelasan yang lainnya adalah dengan mengunyah dapat memicu pelepasan

hormon-hormon gastrointestinal dan meningkatkan sekresi saliva serta

cairan getah pankreas, gastrin, dan neurotensin. Hal ini menunjukkan bahwa

mekanismenya bersifat multimodal (lebih dari satu mekanisme). Meskipun

demikian, untuk sebuah intervensi yang sangat murah, efektif, dan bebas

dari efek samping, hal ini dapat dipakai secara klinis sekalipun mekanisme

dibalik keberhasilannya belum diketahui tetapi hal ini penting untuk

kesehatan serta sangat bermanfaat secara ekonomis (Ledari et al., 2013).

Mengunyah permen karet telah dipelajari selama sepuluh tahun

terakhir ini sebagai suatu bentuk sham feeding untuk menstimulasi proses

pemulihan usus post operasi. Mekanisme aksi yang diperkirakan adalah

vagalcholinergic (parasympatethic) stimulasi dari saluran sistem

pencernaan, yang mirip dengan oral intake tetapi rendah akan resiko

muntah dan aspirasi. Dalam lima penelitian seperti ini terhadap pasien yang

menjalani operasi reseksi kolon, mengunyah permen karet menurunkan

waktu hingga munculnya flatus pertama dan pergerakan usus pertama,


tetapi tidak ada perbedaan signifikan pada lama perawatan (Ledari et al.,

2013).

Jadi dapat disimpulkan bahwa telah banyak penelitian yang

menyarankan penggunaan mengunyah permen karet mampu memberikan

manfaat untuk meningkatkan peristaltik usus dalam ileus serta percepatan

kembalinya fungsi gastrointestinal normal pada pasien operasi abdomen.

D. PERISTALTIK USUS

Anastesi memperlambat motilitas gastrointestinal dan menyebabkan

mual. Normalnya, selama tahap pemulihan segera setelah operasi, bising usus

terdengar lemah atau hilang di keempat kuadran. Inspeksi abdomen

menentukan adanya distensi yang mungkin terjadi akibat akumulasi gas. Pada

klien yang baru menjalani operasi abdomen, distensi terjadi jika klien

mengalami perdarahan internal. Distensi juga terjadi pada klien yang

mengalami ileus paralitik akibat operasi pada bagian usus. Paralisis usus

dengan distensi dan gejala obstruksi akut ini mungkin juga berhubungan

dengan pemberian obat-obatan antikolinergik (Potter & Perry, 2005).

Tenaga medis profesional telah secara tradisional menunda intake oral

post operasi pada pasien post operasi bedah abdomen sampai kembalinya

fungsi sistem gastrointestinal yang digolongkan dengan gejala seperti

peristaltik, munculnya flatus atau tinja, defekasi, dan timbulnya rasa lapar.

Ketika pasase flatus pertama kali muncul yaitu kentut, hal ini telah diketahui

sebagai pertanda akan kembalinya fungsi sistem gastrointestinal (Ledari et al.,

2013).

Bertolak dari hal tersebut diketahui bahwa terdapat beberapa tanda dan
gejala pemulihan fungsi sistem gastrointestinal post operasi yaitu: adanya

peristaltik usus, munculnya flatus pertama, defekasi yang pertama kali, dan

serta timbulnya rasa lapar post operasi.

Gerakan fungsional gastrointestinal meliputi gerakan propulsif dan

gerakan mencampur. Gerakan propulsif (peristaltik) menyebabkan makanan

bergerak maju sepanjang saluran dengan kecepatan yang sesuai untuk

terjadinya pencernaan dan absorpsi. Rangsangan umum untuk peristaltik

adalah peregangan usus saat sejumlah makanan terkumpul pada bagian

manapun di dalam usus yang akan merangsang sistem saraf enterik untuk

menimbulkan kontraksi usus dan menimbulkan gerakan peristaltik. Adapun

gerakan mencampur diperlukan agar isi usus tercampur rata setiap waktu

(Syaifuddin, 2009) .

Refleks lokal dipicu oleh bidang sensoris di dalam dinding esofagus,

perut, dan usus atau oleh kemosensor di epitelium mukosa dan pemicu

kontraksi dan relaksasi dari serabut otot halus daerah sekitarnya. Refleks

peristaltik ada di sepanjang bagian oral (ca. 2 mm) and anal (20 sampai dengan

30 mm). Hal ini di mediasi oleh bagian interneuron dan membantu untuk

mendorong isi dari lumen melewati traktus gastrointestinal (peristalsis)

(Despopoulos & Silbernagl, 2003).

Selama proses menelan atau deglution, lidah mendorong bolus dari

makanan masuk ke dalam tenggorokan. Nasofaring secara refleksif terblok,

pernapasan terhambat, korda fokalis tertutup dan epiglotis menutup trakea

sementara sfingter esofageal atas terbuka. Gelombang peristaltik mendorong

bolus ke kedalam perut. Apabila bolus ini berhenti/ tersangkut, peregangan di


daerah tersebut akan memicu timbulnya gelombang peristaltik yang kedua

(Despopoulos & Silbernagl, 2003).

Perut dapat dibagi menjadi segmen proksimal dan distal. Refleks

vasofagal yang dipicu oleh proses menelan bolus makanan menyebabkan

sfingter esofageal bawah terbuka dan bagian perut proksimal melebar untuk

beberapa saat (receptive relaxation). Hal ini berlanjut ketika makanan telah

memasuki perut (refleks akomodasi vasofagal). Akibatnya, tekanan intestinal

meningkat dengan cepat dikarenakan proses pengisisan yang meningkat.

Kontrasi tonik dari perut proksimal yang terutama menjalankan fungsinya

sebagai reservoir, yang secara perlahan mendorong isi perut menuju perut

bagian distal. Di sekitar batas atas merupakan zona pace maker dimana

kontraksi gelombang peristaltik berasal terutama karena stimulasi lokal dinding

perut (dalam respon terhadap stimulasi refleks dan gastrin). Gelombang

peristaltik paling kuat di bagian antrum dan menjalar ke pilorus.

Kimus dibawa menuju pilorus, kemudian ditekan dan didorong kembali

setelah pilorus menutup. Dengan demikian makananpun diproses

(Despopoulos & Silbernagl, 2003). Motilitas intestinal secara otonom di atur

oleh sistem saraf enterik, tetapi dipengaruhi oleh hormon dan inervasi

eksternal. Gerakan pendural lokal (oleh otot longitudinal) dan segmentasi

(kontraksi atau relaksasi serabut otot sirkular) dari usus halus berfungsi untuk

mencampur isi dari intestinal dan membawanya untuk bersentuhan dengan

mukosa. Hal tersebut di tingkatkan oleh gerakan vili usus (lamina muscularis

mucosae). Refleks gelombang peristaltik (30 sampai dengan 130 cm/ menit)

mendorong isi intestinal ke dalam rektum dengan kecepatan sekitar 1 cm/


menit. Gelombang ini terutama kuat selama fase interdigestif (Despopoulos &

Silbernagl, 2003).

E. Flatus

Gas yang disebut flatus, dapat memasuki traktus gastrointestinal

melalui tiga sumber yang berbeda (Guyton & Hall, 2008) yaitu:

1. Udara yang ditelan

2. Gas yang terbentuk di dalam perut sebagai hasil kerja bakteri

3. Gas yang berdifusi dari darah ke dalam traktus gastrointestinal.

Flatulence atau adanya flatus yang banyak pada intestinal mengarah pada

peregangan dan pemompaan pada intestinal. Kondisi ini disebut juga

timpanities. Jumlah udara yang besar dan gas-gas lainnya juga dapat

berkumpul di perut, dampaknya pada distensi gaster (Siregar, 2004).

Kebanyakan gas dalam lambung adalah campuran nitrogen dan oksigen

yang berasal dari udara yang ditelan. Pada orang secara umum, kebanyakan gas

ini dikeluarkan lewat sendawa. Hanya sejumlah kecil gas yang umumnya

muncul dalam usus halus, dan banyak dari gas ini merupakan udara yang

berjalan dari lambung masuk ke dalam traktus intestinalis (Guyton & Hall,

2008).

Makanan tertentu, diketahui bisa menyebabkan pengeluaran flatus yang

lebih besar melalui anus dibandingkan dengan makanan yang lain. Kacang-

kacangan, kubis, bawang, kembang kol, jagung, dan makanan tertentu yang

mengiritasi seperti cuka, beberapa dari makanan ini bertindak sebagai medium

yang baik untuk bakteri pembentuk gas, terutama tipe karbohidrat tak

terabsorpsi yang dapat mengalami fermentasi (Guyton & Hall, 2008).


Jumlah gas yang masuk atau terbentuk pada usus besar setiap hari rata-

rata tujuh sampai sepuluh liter, sedangkan jumlah rata-rata yang dikeluarkan

melalui anus biasanya hanya sekitar 0,6 liter. Sisanya, normalnya diabsorpsi ke

dalam darah melalui mukosa usus dan dikeluarkan melalui paru (Guyton &

Hall, 2008).

Penyebab umum dari flatulence dan distensi adalah konstipasi. Kodein,

Barbiturat dan obat-obat lain yang dapat menurunkan motilitas intestinal dan

tingkat kecemasan sehubungan dengan besarnya jumlah udara yang tertelan.

Sebagian besar orang mempunyai pengalaman dengan flatulence dan distensi

setelah memakan makanan tertentu yang mengandung gas seperti kacang

buncis, kol (Siregar, 2004).

Distensi setelah operasi abdomen sering secara umum dijumpai di rumah

sakit. Tipe distensi ini secara umum terjadi sekitar 3 hari post operasi dan

disebabkan oleh efek dari anastesi, narkotika, perubahan diet, dan

berkurangnya aktifitas (Siregar, 2004).

Flatus adalah keluarnya gas dari sistem pencernaan keluar dari bagian

belakang. Gas usus terdiri dari: (Nordqvist, 2004).

1. Sumber-sumber eksogen - udara yang berasal dari luar. Ditelan ketika

makan, minum atau menelan ludah. Hal ini dapat terjadi ketika

mengalami mual atau refluks asam dan produksi saliva yang berlebihan.

2. Sumber endogen - itu diproduksi di dalam usus. Gas dapat diproduksi

sebagai produk sisa dari pencernaan makanan tertentu, atau ketika

makanan tidak dicerna sepenuhnya. Apapun yang menyebabkan

makanan tidak dapat dicerna sepenuhnya oleh lambung dan/atau usus


kecil dapat menyebabkan perut kembung saat mencapai usus besar.

Menurut Nordqvist (2004), beberapa makanan yang dapat mempengaruhi

flatus adalah:

1. Kacang-kacangan

Gas menumpuk di dalam usus. Karbohidrat kompleks dalam kacang

sangat sulit bagi manusia untuk dicerna. Mereka dicerna oleh

mikroorganisme dalam usus - flora usus - metana – diproduksi archaea.

Ketika karbohidrat kompleks mencapai usus yang lebih rendah, bakteri

memakannya dan menghasilkan gas.

2. Intoleransi laktosa

Ketika laktosa yang terkandung pada makanan, seperti susu yang

dikonsumsi, bakteri memakan laktosa dan menghasilkan jumlah gas

berlebihan.

3. Penyakit Celiac

Intoleransi terhadap gluten, protein yang ditemukan dalam barley,

gandum dan gandum hitam. Orang dengan kondisi ini yang makan

makanan yang mengandung gluten cenderung memiliki masalah perut

kembung.

4. Pemanis buatan

Sejumlah besar orang mengalami peningkatan baik diare, gas atau

keduanya ketika mereka mengkonsumsi zat ini.

5. Serat suplemen

Penambahan serat yang terlalu banyak pada makanan, terutama yang

mengandung psyllium, dapat menyebabkan perut kembung.


6. Minuman berkarbonasi

Minuman berkarbonasi dan bir dapat menyebabkan penumpukan gas

dalam saluran usus.

7. Beberapa kondisi kesehatan

Terkadang, suatu kondisi kronis yang lebih serius mungkin menjadi

penyebab perut kembung. Contohnya termasuk penyakit Crohn, kolitis

ulseratif, atau divertikulitis.

8. Antibiotik

Jenis obat ini dapat mengganggu flora usus normal (flora bakteri)

dalam usus, yang dapat menyebabkan perut kembung.

9. Sembelit

Kotoran atau feses sendiri membuat lebih sulit untuk mengeluarkan

gas berlebih, sehingga menyebabkan akumulasi lebih lanjut dan

ketidaknyamanan.

10. Gastroenteritis

Infeksi usus/ lambung. Dalam banyak kasus, terjadi peningkatan

gas. Perut kembung itu sendiri tidak memerlukan diagnosis , jika pasien

buang angin yang banyak, maka ia mengalami perut kembung.

F. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Menurut Nursalam (2011), pengkajian merupakan suatu upaya

pengumpulan data secara lengkap dan sistematis mulai dari pengumpulan

data identitas sampai evaluasi status kesehatan.

1) Identitas pasien
Meliputi nama, nomor rekam medik, umur, jenis kelamin, suku, agama,

pendidikan terakhir, alamat, orang yang dapat dihubungi, Diagnosis

medis, tanggal masuk, tanggal pengkajian.

2) Keluhan Utama

Biasanya klien dengan ileus obstruksi masuk dengan keluhan utama

adanya nyeri pada abdomen, perut kembung, tidak ada flatus dan tidak

ada BAB.

3) Riwayat Kesehatan

• Riwayat kesehatan sekarang: Biasanya klien mengeluhkan adanya

nyeri pada luka post operasi, sulit untuk beraktivitas, dan tidak nafsu

makan.

• Riwayat kesehatan dahulu: Kaji adanya pasien pernah mengalami

penyakit yang sama sebelumnya, penyakit menular atau penyakit

keturunan lainnya. Kaji adanya riwayat batu ginjal, kebiasaan

makan tinggi purin, konsumsi minum putih, aktivitas yang sedikit.

Pernah dirawat di rumah sakit, pernah mengalami operasi

• Riwayat dalam keluarga: Biasanya terdapat keluarga yang menderita

penyakit saluran cerna seperti apendiksitis dll

4) Pengkajian 11 Fungsional Gordon

a. Pola Persepsi-Managemen Kesehatan

Biasanya pasien datang setelah merasakan keluhan nyeri abdomen.

Pada pola ini menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan penanganan

kesehatan. Persepsi terhadap arti kesehatan, dan penatalaksanaan


kesehatan, kemampuan menyusun tujuan, pengetahuan tentang praktek

kesehatan.

b. Pola Nutrisi

Pada pola ini menggambarkan masukan Nutrisi, balance cairan

dan elektrolit, nafsu makan, pola makan, diet, fluktuasi BB dalam 6

bulan terakhir, kesulitan menelan, mual/muntah, Kebutuhan jumlah zat

gizi, masalah /penyembuhan kulit, makanan kesukaan. Pada pasien post

operasi akan mengalami nyeri dan biasanya terjadi perubahan nafsu

makan yang menurun.

c. Pola Eliminasi

Pada penderita ileus obstruksi biasanya terjadi perubahan pola

eliminasi klien akan mengalami melena, nyeri saat defekasi, distensi

abdomen dan konstipasi.

d. Pola Latihan-Aktivitas

Pada umumnya pasien mengalami kesulitan saat beraktivitas

karena nyeri yang dirasakan pasien sebelum operasi yang disebabkan

adanya sumbatan pada usus dan setelah operasi yang disebabkan insisi

pada kulit pasien

e. Pola Kognitif Perseptual

Pasien ileus obstruksi biasanya tidak memiliki masalah dalam

penglihatan, pendengaran, dan pembauan. Pasien post laparatomi

biasanya mengeluhkan nyeri pada daerah bekas operasi, nyeri yang

dirasakan biasanya mengganggu aktivitas pasien.


f. Pola Istirahat-Tidur

Pola tidur menggambarkan, istirahat dan persepasi tentang energy.

Jumlah jam tidur pada siang dan malam, masalah selama tidur, insomnia

atau mimpi buruk, penggunaan obat, mengeluh letih. Pasien post operasi

biasanya kesulitan untuk tidur dan beristirahat karena merasakan nyeri.

g. Pola Konsep Diri-persepsi Diri

Pola ini menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi

terhadap kemampuan. Kemampuan konsep diri antara lain gambaran diri,

harga diri, peran, identitas dan ide diri sendiri. Pada umumnya pasien

mengalami gangguan konsep diri, biasanya pasien merasa sudah tidak

bisa melaksanakan perannya sebagaimana mestinya. Pasien merasakan

cemas dan takut kalau ditinggal pasangan. Merasa tidak berdaya dan

berguna lagi.

h. Pola Peran dan Hubungan

Pola ini menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran

pasien terhadap anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal

pasien,ekerjaan, tempat tinggal, tidak punya rumah, tingkah laku yang

passive/agresif teradap orang lain, masalah keuangan dll.

i. Pola Reproduksi/Seksual

Pada pola ini menggambarkan kepuasan atau masalah yang aktual

atau dirasakan dengan seksualitas, dampak sakit terhadap seksualitas,

riwayat haid, pemeriksaan mamae sendiri, riwayat penyakit hub sex,

pemeriksaan genital.
j. Pola Pertahanan Diri (Coping-Toleransi Stres )

Menggambarkan kemampuan untuk menanngani stress dan

penggunaan system pendukung. Penggunaan obat untuk menangani

stress, interaksi dengan orang terdekat, menangis, kontak mata, metode

koping yang biasa digunakan, efek penyakit terhadap tingkat stress.

k. Pola Keyakinan Dan Nilai

Menggambarkan dan menjelaskan pola nilai, keyakinan termasuk

spiritual, menerangkan sikap dan keyakinan pasien dalam melaksanakan

agama yang dipeluk dan konsekuensinya. Agama, kegiatan keagamaan

dan budaya, berbagi dengan orang lain, bukti melaksanakan nilai dan

kepercayaan, mencari bantuan spiritual dan pantangan dalam agama

selama sakit.

5) Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum: Mengukur tingkat kesadaran pasien, nilai GCS dan

keadaan umum pasien.

b. Tanda-tanda vital: Mengukur tekanan darah, nadi, pernafasan, dan

suhu. Pada pasien post operasi akan mengalami nyeri, oleh sebab

itu, selalu perhatikan TTV pasien apakah meningkat atau sebaliknya

c. Pemeriksaan FisikHead to Toe

• Kepala

Inspeksi: kesimetrisan kepala, kebersihan rambut dan kulit kepala,

kekuatan rambut, lesi, dan hematoma

Palpasi: ada edema atau tidak, adanya nyeri tekan atau tidak.
• Mata

Inspeksi: Kesimetrisan mata, pemeriksaan konjungtiva, sklera,

refleks cahaya, ukuran pupil

Palpasi: Pemeriksaan edema di palpebra.

• Hidung

Inspeksi: kesimetrisan, adanya sekret atau tidak, terpasang NGT

atau tidak

Palpasi: pemeriksaan adanya benjolan atau massa di dalam hidung.

• Telinga

Inspeksi: Kesimetrisan, adanya sekret atau tidak, ada atau tidaknya

pengeluaran darah atau cairan dari telinga

Palpasi: Pemeriksaan adanya edema dibagian telinga

• Mulut

Inspeksi: Kesimetrisan, pemeriksaan mukosa bibir, lidah, adanya

gigi berlubang atau tidak, caries atau tidak, pemeriksaan

tonsil, kesulitan menelan atau tidak.

• Leher

Pemeriksaan adanya pembesaran kelenjar getah bening atau kelenjar

thyroid, biasanya ada kaku kuduk

• Paru-paru

Inspeksi: menilai kesimetrisan dinding dada, ada distraksi dinding

dada atau tidak

Palpasi: menilai getaran paru saat mengucapkan “tujuh”

Perkusi: menilai paru-paru dengan cara mengetuk


Auskultasi: mendengarkan suara paru-paru, apakah ada bunyi

tambahan.

• Jantung

Inspeksi: melihat denyut ictus kordis terlihat atau tidak

Palpasi: meraba denyut ictus kordis terlihat atau tidak

Perkusi: menentukan batas jantung.

Auskultasi: mendengarkan suara jantung, apakah ada bunyi

tambahan.

• Abdomen

Inspeksi: melihat keadaan perut, ada distensi atau tidak

Palpasi : meraba hepar dan limfe apakah mengalami pembesaran

atau tidak, apakah ada nyeri tekan atau lepas

Perkusi: mengetuk di seluruh kuadran permukaan abdomen

Auskultasi: mendengarkan bising usus pasien.

• Ekstremitas

Mengobservasi keadaan kedua ekstremitas atas dan bawah.

Menilai kekuatan otot, gangguan pada ekstremitas, adanya lesi

atau luka, dan alat yang terpasang pada ekstremitas

• Kulit

Mengobservasi keadaan kulit seperti turgor, adanya luka, lecet

dan kerusakan yang terjadi pada kulit. Penilaian pengisian kapilar

refil.
• Genitalia

Kaji apakah pasien terpasang kateter atau tidak dan gangguan

lain yang dirasakan pasien.

2. Diagnosa Keperawatan

Kemungkinan diagnosis keperawatan yang muncul pada kasus post

laparatomi adalah nyeri akut, disfungsi motilitas gastrointestinal, resiko

infeksi

3. Rencana Asuhan Keperawatan Teoritis

Tabel 2.1 Daftar Diagnosa (NANDA), Kriteria Hasil (NOC), Rencana

intervensi (NIC)

No NANDA NOC NIC


1 Nyeri akut Definisi : Kontrol nyeri Manajemen nyeri
pengalaman sesnsorik Indikator: • Lakukan penilaian nyeri secara
atau emosional yang • Menilai lamanya Nyeri komprehensif termasuk lokasi
berkaitan dengan • Menilai factor penyebab karakteristik, durasi, frekuensi,
kerusakan jaringan • Gunakan catatan nyeri kualitas, dan factor presipitasi
aktual atau fungsional • Gunakan • Observasi reaksi non verbal dari
ukuran
dengan onset mendadak pencegahan ketidaknyamanan
atau lambat dan • Penggunaan • Tentukan
non dampak nyeri
berintensitas ringan analgesic untukterhadap kehidupan sehari-hari
hingga berat yang mengurangi nyeri (tidur, nafsu makan, aktivitas,
berlangsung kurang dari • Penggunaan analgesickesadaran, mood, hubungan
3 bulan. yang tepat sosial, performance kerja dan
Batasan • Pantau tanda –tanda melakukan tanggung jawab
Karakteristik: Vital sehari-hari)
• Perubahan tekanan • Laporkan tanda / gejala
• Kaji kebiasaan yang
darah nyeri pada tenagamempengaruhi respon nyeri
• Perubahan nafsu kesehatan professional• Pilih dan lakukan penanganan
makan • Menilai gejala dari nyerinyeri
• Perubahan frekuensi • Melaporkan bila nyeri • Ajarkan pasien untuk
jantung terkontrol memonitor nyeri
• Perubahan frekuensi • Kolaborasikan dengan dokter
pernafasan Tingkatan nyeri jika ada keluhan dan tindakan
• Laporan isyarat Indikator: nyeri tidak berhasil
diaforesis • Melaporkan Nyeri • Monitor penerimaan pasien
• Prilaku diatraksi • Panjang episode nyeri tentang manajemen nyeri
(mis; mondar- • Ekspresi nyeri • Tanyakan pada pasien apa saja
mandir, mencari • Ekspresi wajah saat hal yang memberatkan rasanya
orang lain dan atau nyeri nyeri
aktivitas lain, • Kegelisahan • Kontrol faktor lingkungan yang
aktivitas yang • Ketegangan Otot dapat menimbulkan
berulang ) • Perubahan frekuensi ketidaknyamanan pada pasien
• Mengekspresikan pernapasan (suhu ruangan, pencahayaan,
prilaku (mis: • Perubahan frekuensi keributan)
gelisah, merengek, Nadi
menangis, wadata, • PerubahanTekanan darah Pemberian analgesik :
iritabilitas, • Berkeringat • Menentukan lokasi,
mendesah) • Hilangnya Nafsu makan karakteristik, mutu, dan
• Masker wajah Fokus intensitas nyeri sebelum
(mis : mata kurang mengobatipasien
bercahaya, tampak • Periksa order/pesanan medis
kacau, gerakan mata untuk obat, dosis, dan frekuensi
berpencar atau tetap yang ditentukan analgesik
pada satu fokus • Cek riwayat alergi obat
meringis) • Mengevaluasi kemampuan
• Prilaku berjaga jaga, pasien dalam pemilihan obat
Melindungi area penghilang sakit, rute, dan dosis,
nyeri serta melibatkan pasien dalam
• Fokus menyempit pemilihan tersebut
(mis: gangguan • Memberikan perawatan yang
persepsi nyeri, dibutuhkan dan aktifitas lain
hambatan proses yang memberikan efek relaksasi
berfikir, penurunan sebagai respon darianalgesi
interaksi dengan • Mengevaluasi efektivitas
orang yang dan analgesic pada interval tertentu,
lingkungannya) terutama setelah dosis awal,
• Indikasi nyeri yang pengamatan juga diakukan
dapat diamati melihat adanya tanda dan gejala
• Perubahan posisi buruk atau tidak
untuk menghindari menguntungkan (berhubungan
nyeri dengan pernapasan, depresi,
• Sikap melindungi mual muntah, mulut kering dan
tubuh konstipasi)
• Dilaktasi pupil • Dokumentasikan respon pasien
• Melaporkan nyeri tentang analgesik, catat efek
• Fokus pada diri yang merugikan
sendiri • Kolaborasikan dengan dokter
• Gangguan tidur jika terjadi perubahan obat,
Faktor yang dosis, rute pemberian, atau
berhubungan : interval, serta membuat
Agen cedera (biologi, rekomendasi spesifik berdasar
kimia, fisik) pada prinsip equianalgesic
• Mengajari tentang penggunaan
analgesik, strategi menurunkan
efek samping, dan harapan
untuk keterlibatan dalam
membuat keputusan dalam
manajemen nyeri.
Terapi Relaksasi
Aktivitas :
• Jelaskan rasionalitas dari terapi
relaksasi, manfaatnya.
• Kaji apakah intervensi relaksasi
di masa lalu berguna
• Pertimbangkan kesediaan
individu untuk berpartisipasi,
kemampuan partisipan,
preferensi, pengalaman masa
lalu dan kontraindikasi sebelum
memilih terapi relaksasi yang
spesifik.
• Sediakan deskripsi yang jelas
tentang terapi sebelum memilih
jenis terapi relaksasi
• Ciptakan suasana yang tenang
dengan cahaya lampu yang
redup dan suhu yang nyaman
• Bantu individu untuk
menciptakan posisi yang
nyaman dengan mata yang
tertutup
• Kondisikan hal–hal yang
memunculkan prilaku relaksasi
seperti bernafas dalam,
pernafasan perut, menguap, atau
berimajinasi
• Ajak pasien untuk relaks dan
biarkan terjadi sensasi
• Gunakan suara yang rendah,
pelan, dan berintonasi yang
menentramkan
• Gunakan terapi relaksasi sebagai
strategi tambahan dari
pengobatan nyeri.

2 Disfungsi motalitas 1. Fungsi gastrointestinal a. Penahapan diet


gastrointestinal indikator: • Tentukan munculnya suara perut
Defenisi: • toleransi terhadap • Berikan nutrisi per oral, sesuai
Peningkatan, makanan kebutuhan
penurunan, • nafsu makan • Klem selang NGT dan monitor
ketidakefektifan, atau • waktu pengosongan toleransi pasien sesuai
kurang aktifitas lambung kebutuhan
peristaltik didalam • frekwensi BAB • Monitor kesadaran pasien dan
system gastrointestinal. • warna feses adanya reflek menelan, sesuai
• bising usus kebutuhanX
Batasan karakteristik: • warna cairan lambung • Monitor toleransi menelan
• Akselerasi • jumlah residu cairan terhadap kepingan es dan air
pengosongan lambung ketika aspirasi • Tentukan apakah pasien bisa
lambung • pH cairan lambung buang angin
• Diare • serum albumin • Kolaborasi dengan tenaga
• Distensi abdomen • hematokrit kesehatan lain untuk
• Feses kering/ keras • glukosa darah meningkatkan diet secepat
• Kram abdomen • nyeri perut mungkin jika tidak ada
• Nyeri abdomen • distensi perut komplikasi
• Mual • perut melunak • Tingkatkan diet dari cairan
• Muntah • regurgitasi jernih, cair, lembut sampai
• Peningkatan residu • refluks lambung dengan diet regular atau khusus
lambung • peningkatan peristaltic untuk dewasa.
• Perubahan bising • darah pada feses • Tingkatkan diet dari air gula
usus • peningkatan hitung sel atau cairan elektrolit oral,
• Regurgitasi darah putih formula tingkat menengah
• Residu lambung • penurunan hitung sel sampai formula tingkat lanjut
berwarna empedu darah putih • Monitor toleransi peningkatan
• Tidak flatus • diferensiasi hitung sel diet
Faktor yang darah putih • Tawarkan makan 6 kali dengan
berhubungan • dyspepsia porsi kecil dibanding makan 3
• ansietas • mual kali jika diperlukan
• kurang gerak • muntah • Temukan cara untuk bisa
• imobilitas • hematemesis memasukkan makanan kesukaan
• malnutrisi • diare pasien dalam diet yang
• memakan • konstipasi dianjurkan
kontaminan (mis. • penurunan berat badan • Ciptakan lingkungan yang
Radioaktif, • perdarahan memungkinkan makanan
makanan, air) gastrointestinal disajikan sebaik mungkin.
• pemberian makan
enteral 2. Status nutrisi : intake b. Monitor Nutrisi
• penuaan makanan dan cairan • Monitor adanya mual dan
• prematuritas Indikator: muntah
• program pengobatan • Asupan makanan secara • Monitor turgor kulit dan
• pembedahan oral mobilitas
• Asupan makanan secara • Identifikasi perubahan berat
tube feeding badan terakhir
• Asupan cairan secara oral • Monitor adanya pucat,
• Asupan cairan intravena kemerahan dan jaringan
• Asupan nutrisi parenteral konjungtiva yang kering
• Berikan nutrisi enteral sesuai
3. Perawatan diri ostomi kebutuhan
• Menjelaskan fungsi • Pastikan ketersediaan terapi diet
ostomi progresif
• Menjelaskan tujuan • Monitor nilai albumin, total
ostomi protein, hemoglobin, kreatinin
• Terlihat nyaman dengan dan hematokrit.
adanya stoma • Monitor menu makanan dan
• Menjaga perawatan kulit pilihannya
disekitar stoma
• Menggunakan teknik Perawatan Ostomi
irigasi yang benar • Gunakan dengan tepat alat yang
• Mengosongkan kantong diperlukan dalam perawatan
ostomi ostomi
• Menganti kantong ostomi • Monitor luka sayatan /
• Memonitor jumlah dan penyembuhan stoma
konsistensi feses • Monitor komplikasi post operasi
• Menjaga asupan cairan seperti obstruksi usus
yang adekuat • Monitor stoma/penyembuhan
• Mengikuti diet yang jaringan sekitarnya dan adaptasi
dianjurkan terhadap peralatan ostomi
• Memperoleh bantuan dari • Ganti/kosongkan kantong ostomi
professional dengan baik
• Mengungkapkan • Irigasi ostomi dengan tepat
penerimaan terhadap • Bantu pasien dalam perawatan
ostomi diri
• Anjurkan pasien mengenai
bagaimana memonitor
komplikasi (misalnya:
kerusakan mekanis, kerusakan
kimia, ruam, kebocoran,
dehidrasi, infeksi).
• Ajarkan pasien untuk perawatan
ostomi
• Berikan dukungan dan bantuan
pada pasien dalam merawat
stoma/jaringan sekitarnya

3 Risiko infeksi a. Kontrol resiko: proses a. Perawatan daerah insisi


berhubungan dengan infeksi • Jelaskan prosedur pada pasien
prosedur invasif Indikator : • Periksa daerah sayatan terhadap
Definisi : rentan • Mengenali faktor resiko kemerahan, bengkak, atau
mengalami infasi dan individu terkait infeksi tanda-tanda infeksi
multiplikasi organism • Mengetahui perilaku • Catat karakteristik drainase
patogenik yang dapat yang berhubungan • Bersihkan daerah sekitar luka
mengganggu kegiatan. dengan resiko infeksi dan sekitar selang drainase
Batasan Karakteristik • Mengidentifikasi tanda dengan teknik steril
• Prosedure invasif dan gejala infeksi • Jaga posisi selang drainase
• Tidak cukup • Mencuci tangan. • Lepaskan jahitan, slep, drain,
pengetahuan dalam sesuai indikasi.
menghindari paparan b. Penyembuhan luka: • Ajarkan pasien untuk mengatur
lingkungan primer posisi untuk meminimalkan
• Trauma Indikator: tekanan didaerah insisi
• Malnutrisi • Memperkirakan kondisi
• Peningkatan paparan kulit b. Perlindungan infeksi
lingkungan terhadap • Memperkirakan kondisi Aktivitas :
patogen tepi luka • Monitor adanya tanda dan gejala
• Imun yang tidak • Drainase (-) infeksi sistemik dan local
adekuat • Eritema sekitar luka (-) • Monitor hitung granulosis,
• Penyakit kronis • Bau (-) WBC dan hasil diferensial
• Peningkatan suhu kulit(-) • Batasi jumlah pengunjung
Faktor resiko : • Pertahankan teknik asepsis
• Prosedur invasif • Tingkatkan asupan nutrisi yang
• Ketidakcukupan cukup
pengetahuan untuk • Anjurkan asupan cairan
menghindari paparan • Anjurkan istirahat
pathogen • Anjurkan peningkatan
• Tidak adekuat mobilisasi dan latihan
pertahanan sekunder • Anjurkan pasien dan keluarga
(penurunan hb, cara mencegah infeksi (dengan
leukopenia) cuci tangan).
• Tidak adekuat
pertahanan tubuh
primer (trauma
jaringan)
• Penyakit kronis
• malnutrisi

4. Implementasi

Implementasi keperawatan dilaksanakan berdasarkan keadaan dan

kebutuhan paasien yang meliputi tindakan madiri keperawatan dan tindakan

kolaboratif. Semua implementasi yang dilakukan harus didokumentasikan

dalam catatan keperawatan klien.

5. Evaluasi

Evaluasi keperawatan dinilai berdasarkan respon klien yaitu S (data

subjektif) yaitu yang dikatakan oleh pasien, O (data objektif), yaitu data yang

didapatkan perawat berdasarkan observasi, pemeriksaan penunnjang, A

(analisa) kesimpulan pencapaian tujuan berdasrkan krieria hasil yang sudah

ditetapkan sebelumnya dan P (Planning) rencana selanjutnya berdasarkan

hasil evaluasi yang dilakukan.


G. EVIDENCE BASED NURSING (EBN)

1. Latar Belakang

Evidence Based Nursing (EBN) adalah proses yang didirikan dalam

pengumpulan, interpretasi, penilaian dan integrasi penelitian yang valid

secara klinis, signifikan dan dapat diterapkan. Tujuan dari EBN adalah

untuk meningkatkan kesehatan dan keselamatan pasien sambil memberikan

perawatan dengan cara yang hemat biaya untuk meningkatkan hasil bagi

pasien dan sistem pelayanan kesehatan (Melnyk, 2011).

Mastikasi adalah suatu proses penghancuran makanan yang melibatkan

organ-organ di dalam rongga mulut dan saliva sehingga mengubah ukuran

dan konsistensi makanan (Ladewig, 2014). Mochtar (2016), menyatakan

bahwa aktifitas mengunyah (mastikasi) tidak hanya melibatkan gigi tetapi

juga jaringan periodontal, yang terdiri dari dua jaringan lunak, gusi dan

ligamentum periodontal, dan dua jaringan kapur, sementum gigi dan tulang

alveolar. Akibatnya, proses mastikasi menstimulasi motilitas usus seperti

meningkatnya sekresi gaster, beberapa bagian dari struktur oral dapat pula

dilibatkan oleh aktifitas motorik.

Beberapa tahun terakhir, penggunaan mengunyah permen karet

(Chewing Gum) telah dikatakan sebagai sebuah cara baru dan sederhana

untuk mengurangi dan mencegah ileus post operasi. Hal ini beraksi dengan

menstimulasi motilitas intestinal melalui refleks sefalik vagal dan dengan

meningkatkan poduksi hormon-hormon gastrointestinal yang berkaitan

dengan motilitas usus (Li et al., 2013). Mengunyah permen karet / Chewing

Gum menyebabkan seseorang merasakan reaksi yang disebabkan oleh


stimulasi abdomen serta sekresi dari getah lambung dan usus. Hal ini akan

menyebabkan keinginan orang tersebut untuk makan, meningkatkan

peristaltik usus, mempercepat flatus dan BAB serta mempercepat proses

pemulihan ileus.

Farideh M Ledari dalam penelitiannya pada tahun 2012 juga menemukan

bahwa rata-rata interval postoperatif dari bunyi bising usus pertama,

munculnya rasa lapar pertama kali, timbulnya flatus pertama, dan defekasi

pertama pada pasien secara signifikan memendek pada kelompok yang

diberikan perlakuan mengunyah permen karet apabila dibandingkan dengan

kelompok kontrol. Terapi mengunya permen karet atau Chewing gum ini

telah dipertimbangkan oleh beberapa peneliti sebagai sebuah strategi dalam

menghadapi penurunan fungsi ileus dan masalah-masalah yang dihadapi

pasca operasi seperti ileus paralitik (Ledari et al., 2013)

2. Identifikasi masalah

Berdasarkan fenomena yang ada pada pasien dengan ileus obstruksi

pasca laparatomi biasanya akan mengeluhkan belum ada flatus atau belum

BAB pasca operasi, nyeri abdomen pada bekas luka operasi, rasa lapar,

enggan bergerak dan beberapa komplikasi sehingga diperlukan manajemen

untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu terapi yang bisa di gunakan

untuk menghindari masalah pasca operasi laparatomi adalah dengan cara

terapi Chewing Gum atau mengunyah permen karet, maka akan muncul

suatu pertanyaan klinis apakah pemberian terapi Chewing Gum dapat

menigkatkan peristaltik usus pada pasien post laparatomi ileus obstruksi?


Dalam mengidentifikasi masalah suatu evidence based, maka dapat

dilakukan identifikasi masalah melalui analisa PICO. Pico merupakan

singkatan dari Population, Intervention, Comparison, and Outcame.

Keempat komponen tersebut merupakan elemen penting untuk menjawab

pertanyaan dalam evidence based practice (Santos, 2007).

a) P atau Population adalah pasien post laparatomi ileus obstruksi diruang

Bedah Pria RSUP Dr. M.Djamil Padang

b) I atau Intervention adalah pemberian terapi Chewing Gum bebas gula

untuk meningkatkan peritaltik usus pasien post laparatomi

c) C atau Comparative adalah Bagaimana perbandingan peningkatan

peristaltik usus pasien yang diberikan terapi Chewing Gum dengan

yang tidak diberikan terapi Chewing gum?

d) O atau Outcame adalah peristaltik usus meningkat dengan pemberian

terapi Chewing Gum

Setelah perumusan PICO, penulis melanjutkan pencarian artikel

EBN (Evidence Based Nursing) dengan menggunakan kata kunci : gum

chewing, postoperative care, abdominal surgery, paralytic postoperative

ileus, time to first flatus, time to first bowel movement, evidence-based

clinical protocol. Kemudian penulis medapatkan artikel penelitian yang

dilakukan Renáta Zeleníková, et al pada tahun 2013 dengan judul “The Use

Of Gum Chewing In Postoperative Care Of Patients With Abdominal

Surgery: Developing An Evidence-Based Clinical Protocol-Part II”


3. Critical appraisal topic

Critical appraisal topic merupakan suatu proses yang diteliti secara

sistematis untuk mengevaluasi penelitian dan memutuskan tingkat

kepercayaan, nilai serta relevansinya dalam konteks tertentu. Critical

appraisal diartikan sebagai suatu proses evaluasi secara cermat dan

sistematis pada suatu artikel penelitian untuk menentukan realibilitas,

validitas dan kegunaannya dalam praktek klinis (Abdullah 2012 dalam Erda

2017).

Validitasnya penelitian ini memakai beberapa formulir. Alat pertama

adalah Formulir Audit Chart. Formulir ini akan digunakan untuk

mengumpulkan data hasil untuk periode selama masa implementasi serta

untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk kepatuhan penilaian dan

pelaporan kejadian buruk selama implementasi. Formulir ini akan

digunakan oleh anggota tim pengembangan untuk tujuan pengumpulan data

waktu untuk flatus pertama dan waktu untuk buang air besar pertama

kemudian dapat dibandingkan implementasi pra dan pasca implementasi.

Selain pengumpulan data yang menyeluruh, penting untuk menilai kepuasan

perawat dan pasien dengan implementasi ini. Untuk alasan ini, Survei

Kepuasan Perawat serta Survei Kepuasan Pasien akan diberikan

Menurut penulis aplikasi terapi Chewing Gum ini dapat ditambahkan

sebagai aktivitas keperawatan dalam hal mengurangi masalah ileus post

operasi abdomen karena dapat menghindari pasien dari masalah-masalah

tersebut. Terapi ini juga sangat efektif, mudah , murah, aman dan sehat
secara fisiologis untuk digunakan dalam meningkatkan pemulihan fungsi

usus.

Applicability:

 Intervensi terapi chewing gum angat efektif, mudah , murah, aman

dan sehat secara fisiologis untuk digunakan dalam meningkatkan

pemulihan fungsi usus

 Intervensi chewing gum tidak menyita waktu

 Bisa dikerjakan perawat maupun keluarga

 Tidak membahayakan bagi paasien

 Tidak memerlukan biaya yang mahal dan mudah didapatkan

 Meningkatkan kepercayaan pasien kepada perawat

4. Prosedur Pelakasanaan

Prosedur pelaksanaan pemberian terapi chewing gum antara lain:

 Memilih kriteria inklusi untuk dilakukan terapi yaitu pasien usia 18

tahun keatas , telah menjalani operasi bedah abdomen, tidak ada

melakukan operasi lain saat tinggal dirumah sakit ini, gigi lengkap dan

mampu mengunyah permen karet, tidak ada alergi dengan bahan

permen karet, pasien mampu mentoleransi diet yang diberikan, pasien

sadar dan kooperatif, pasien tanpa resiko aspirasi. Kriteria ekslusi yaitu

pasien dengan gangguan pendengaran, tidak mampu mengikuti

petunjuk, kelumpuhan otot, dan riwayat penyakit kejiwaan.

 Memberikan salam teraupetik dan perkenalkaan diri

 Membina hubungan dengan keluarga, menjelaskan maksud dan tujuan

tindakan pada pasien dan keluarga.


 Sebelum intervensi dilakukan terlebih dahulu dijelaskan mengenai

terapi chewing gum dan menanyakan kesediaan pasien untuk dilakukan

terapi tersebut serta menandatangani inform consent.

 Menjelaskan prosedur Terapi Chewing gum dan memberi kesempatan

pasien untuk bertanya.

 Menganjurkan pasien untuk mengambil posisi yang nyaman

 Kaji peristaltik sebelum pemberian implementasi dengan cara

auskultasi bising usus pasien dengan stetoskop, lalu catat frekuensi

bising usus pasien

 Memberikan permen karet pada klien, permen karet bebas gula Lotte

Chewing Gum Sugar Free Xylitol Fresh Mint 1 butir

 Lakukan intervensi mengunyah permen karet selama 5 menit setiap 4

jam sekali terhitung sejak pasien sadar atau sekitar 4 jam pertama post

operasi,

o Mengunyah permen karet yang pertama yaitu 4 jam setelah

operasi, pasien di minta untuk mengunyah permen karet selama 5

menit lalu berhenti

o Mengunyah permen karet yang kedua yaitu 8 jam setelah operasi,

pasien di minta untuk mengunyah permen karet selama 5 menit

lalu berhenti

o Mengunyah permen karet yang ketiga yaitu 12 jam setelah operasi,

pasien di minta untuk mengunyah permen karet selama 5 menit

lalu berhenti
o Mengunyah permen karet yang keempat yaitu 16 jam setelah

operasi, pasien di minta untuk mengunyah permen karet selama 5

menit lalu berhenti

 Kaji ulang bising usus pasien setiap setelah mengunyah permen karet

selama 5 menit dengan cara asukultasi dengan stetoskop, lalu catat

frekuensi bising usus

 Intervensi selesai dilaksanakan setelah pasien flatus pertama kali dan

atau buang air besar untuk pertama kali

 Evaluasi dan validasi perasaan pasien setelah intervensi

 Mengucapkan salam penutup kepada pasien

 Dokumentasikan tindakan kesehatan yang sudah dilakukan


BAB III

LAPORAN KASUS

A. Pengkajian

1. Data KLinis

Nama : Tn. A

Jenis kelamin : Laki-laki

No MR : 0107XXXX

Usia : 57 tahun

Pekerjaan : Swasta

Status perkawinan : Menikah

TB/BB : 168 CM / 68 Kg

Tanggal masuk : 2 Maret 2020

Tanggal pengkajian : 5 Maret 2020

Diagnosa Medis : Post Laparatomi Adhesi a.i Ileus Obstruksi

2. Alasan masuk RS

Pasien masuk melalui igd kiriman dari RS Sentral Medika Muaro Bungo

untuk melakukan pengobatan lanjutan di RSUP DR. M. Djamil Padang pada

tanggal 2 Maret 2020 pukul 20.10 WIB. Pasien mengeluh nyeri abdomen,

perut kembung dan tidak buang air besar sejak 4 hari sebelum masuk RS

Sentral Medika, BAK (+), mual (-), muntah (+), dan tidak nafsu makan.

Pasien sudah 2 hari dirawat di RS Sentral Medika. Setelah dipasang NGT,

kembungnya berkurang dan pasien buang air besar satu hari sebelum dirujuk

ke RSUP. DR. M. DJAMIL Padang untuk perawatan lebih lanjut.


3. Riwayah kesehatan sekarang

Pada saat dilakukan pengkajian tanggal 5 Maret 2020, tampak ada luka

operasi tertutup perban lebih kurang sepanjang 20 cm vertikal bagian tengah

abdomen dan terpasang draine dibagian perut region kiri bawah. Tampak ada

cairan yang keluar dari selang draine pasien berwarna kemerahan dengan

jumlah lebih kurang 50 cc. Vital sign TD: 122/78 mmHg, N: 87x/mnt, P:

19x/mnt. Pasien terpasang NGT dialirkan tapi tidak ada keluaran. Pasien

mengatakan tidak ada rasa panas atau gatal di area operasi. Pasien

mengatakan lapar tapi belum flatus dan buang air besar sejak keluar dari

kamar operasi. Hasil pemeriksaan bising usus yaitu 4x/menit. Pasien

mengeluh nyeri di area bekas operasi, skala nyeri 5, nyeri seperti berdenyut

dan tertusuk-tusuk, dan nyeri dirasakan hilang timbul. Pasien mengatakan

nyeri dirasakan makin hebat saat pasien bergerak dan pasien mengeluh susah

tidur karena nyeri yang dirasakan. Wajah pasien tampak meringis dan tampak

melindungi area nyeri serta berhati-hati dalam bergerak.

4. Riwayat kesehatan dahulu

Pasien memiliki riwayat penyakit batu empedu tahun 2004 dan sudah

dilakukan operasi. Pasien tidak ada memiliki riwayat penyakit diabetes

melitus, hipertensi, dan riwayat penyakit keturunan lainnya. Pasien juga

tidak memiliki alergi terhadap obat-obatan ataupun makanan.

5. Riwayat kesehatan keluarga

Pasien mengatakan tidak ada anggota yang memiliki riwayat kanker,

hipertensi, DM atau penyakit keturunan lainnya.


Genogram:

Keterangan : : Perempuan : Menikah

: Laki-laki : Tinggal dalam 1


rumah
: Meninggal
: Klien
6. Pola Fungsional Gordon

a. Pola persepsi dan penanganan kesehatan

Persepsi terhadap penyakit pasien mengatakan bahwa apa yang

dialami oleh dirinya adalah ujian dari Allah SWT. Pasien dan keluarga

ikhlas menerima cobaan ini. Pasien berharap supaya keadaanya cepat

membaik dan segera pulang dan berkumpul dengan keluarga dirumah.

Pasien dan keluarga belum begitu paham tentang penyakit yang diderita

saat ini. Saat ini pasien berharap bisa cepat sembuh karena nyeri yang

muncul pada perut kadang-kadang tidak tertahankan.


Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat merokok, alkohol, dan

obat-obatan. Pasien mengatakan pernah mengkonsumsi obat warung

seperti bodrek. Pasien mengatakan akan melakukan instruksi dokter untuk

menjalani pengobatan selanjutnya.

b. Pola nutrisi dan metabolisme

Sebelum sakit pasien tidak mengalami penurunan nafsu makan,

frekuensi makan 3 kali sehari, sering minum jamu atau obat herbal

dikampungnya. Pasien mengatakan memiliki kebiasaan mengkonsmsi

makanan bersantan, rendah serat dan tinggi lemak dan kolesterol. Pasien

mengatakan kadang-kadang mengkonsumsi buah dan sayur. Buah yang

dikonsumsi pepaya dan jeruk. Minum dengan jumlah lebih kurang 6-8

gelas air perharinya. Pada saat pengkajian, pasien mengatakan nafsu

makan berkurang setelah sakit, gangguan menelan tidak ada dan gigi

masih lengkap, berat badan menurun dari 72 kg menjadi 68 Kg dengan

tinggi 168 cm. Diet yang diberikan dari rumah sakit adalah makanan cair.

Konsumsi makan dari luar rumah sakit tidak ada. Biasanya pada pagi hari

pasien makan nasi dan lauk, siang nasi lauk dan kadang-kadang tambah

sayur, lalu malam nasi dan lauk lagi, tetapi dirumah sakit pasien hanya

makan makanan dari rumah sakit saja. Pasien mengatakan tidak ada

memiliki alergi.

c. Pola eliminasi

Pasien mengatakan sebelum sakit tidak memiliki masalah dengan

BAB dan BAK nya, BAB 1 kali sehari dengan konsistensi lunak. BAK

sekitar 6 kali dalam sehari. Pasien mengatakan semenjak 4 hari sebelum


masuk rumah sakit BAB pasien tidak mau keluar dan perut menjadi

kembung. Saat dilakukann pengkajian BAB pasien tidak keluar semenjak

sehari sebelum masuk rumah sakit sampai setelah operasi dan BAK pasien

tampak dibantu dengan penggunaan kateter sejak setelah operasi sekitar 8

jam yang lalu dengan keluaran 100 cc berwarna kuning.

d. Pola aktivitas dan olahraga

Pasien mengatakan bahwa sebelum sakit ia mampu melakukan

aktivtas sebagai seorang ayah seperti bekerja mencari nafkah dan mandiri

dalam melakukan aktivitas seperti mandi, berpakaian dan makan. Pada

saat pengkajian pasien rawatan hari ketiga, pasien kadang sesekali

menggerakan tangan dan kaki, tetapi karena nyeri pasien takut untuk

melakukannya dan tidak bisa duduk karena ada luka bekas operasi

dibagian perut. Aktivitas pasien masih di atas tempat tidur dan saat

pengkajian bising usus pasien masih lemah. Pasien mengatakan belum ada

kentut semenjak setelah operasi. Setelah operasi pasien mengatakan

perutnya akan sangat nyeri jika bergerak. Pasien mengatakan aktivitasnya

sangat terbatas karena kondisinya saat ini.

e. Pola istirahat dan tidur

Pasien mengatakan bahwa sebelum ia sakit tidak ada masalah

dengan pola tidurnya, pasien mengatakan tidur dari jam 10 malam sampai

jam 5 pagi dan jarang tidur siang. Setelah sakit, pasien mengatakan sulit

untuk tidur karena nyeri yang dirasakan kadang datang hilang timbul atau

saat bergerak ketika tidur, durasi tidur pasien kurang dari 6 jam, pasien

mengatakan setelah bangun tidur tidak merasa segar.


f. Pola kognitif persepsi

Pasien dalam keadaan sadar dan kooperatif dengan GCS 15. Pasien

bicara normal, menggunakan bahasa sehari-hari yaitu bahasa Indonesia.

Pasien mengatakan bahwa fungsi penglihatan baik, pendengaran baik,

penciuman baik, pengecapan baik, dan perabaan baik. Pasien tampak

cemas dan tegang, berhati- hati dengan pergerakannya, dan melokalisir

area nyeri, pasien mengeluh nyeri pada perut bagian luka operasi, nyeri

seperti berdenyut-denyut dan tertusuk-tusuk, nyeri skala 5 dan nyeri terasa

hilang timbul.

g. Pola persepsi dan konsep diri

Pada saat pengkajian pasien mengatakan sangat takut dan cemas

dengan keadaanya saat ini. Pasien mengatakan nyeri pada luka operasinya

membuatnya takut bergerak dan cemas kalau luka operasinya akan terbuka

kembali jika banyak bergerak. Pasien mengatakan harus sabar dan

berusaha demi kesembuhan.

h. Pola peran dan hubungan

Pasien adalah seorang ayah bagi anaknya dan seorang kakek bagi

cucunya. Pasien bekerja sebagai pegawai swasta disebuah perusahaan.

Pasien mengatakan yang menjadi pendukungnya adalah istri dan anak-

anaknya. Pasien mengatakan bahwa dirumah sakit pasien ditemani istri

dan anaknya. Pasien mengatakan tidak ada masalah yang dirasakan selama

masa hospitalisasi.
i. Pola seksualitas/reroduksi

Pasien saat ini berusia 54 tahun yang merupakan seorang suami

dan ayah yang memiliki 2 orang anak. Pasien mengatakan tidak ada

masalah dengan organ reproduksinya.

j. Pola koping dan toleransi stress

Saat pengkajian pasien mengatakan jika ada masalah pasien suka

bercerita dengan istri dan anaknya. Jika pasien mengalami kesulitan dalam

keuangan biasanya pasien meminta bantuan kepada anaknya. Pasien saat

ini menggunakan BPJS kelas III. Pasien mengatakan cemas dengan

keadaannya saat ini dan bagaimana perawatan dirumah nantinya. Pasien

berharap untuk terus mendapatkan dukungan dari keluarga, termasuk

orang sekitar.

k. Pola keyakinan/Nilai

Pasien mengatakan ia beragama islam, pasien mengatakan tidak

ada pantangan dalam agama terkait penyakitnya. Pasien percaya ia

mendapatkan cobaan karena Allah sayang kepadanya, semua adalah

kehendak dari Allah SWT. Namun semenjak dirawat pasien mengatakan

tidak dapat melaksanakan sholat.

7. Pemeriksaan Fisik (tabel 3.1)

Tanda Vital TD : 128/77 mmHg S : 36,9 0C


N : 78 x/i P : 19 x/i
Mata simetris, Ukuran pupil 2/2 mm, reflek pupil
Mata Inspeksi
+/+, isokor, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Palpasi Tidak ada edema palpebral
Inspeksi Hidung tampak simetris, tampak ada selang NGT
Hidung
terpasang di lobang hidung kanan, tidak ada
peradang pada hidung,
Palpasi Tidak ada pembengkakakn
Mulut tampak bersih, tidak terdapat lesi, jumlah
Mulut Inspeksi
Gigi lengkap, tidak ada carriest, tidak ada
pendarahan, membrane mukosa kering, bibir
tampak pucat
Inspeksi Simetris kiri dan kanan, tidak ada penyumbatan,
Telinga
tidak ada tanda radang pada telinga, terdapat
penumpukan serumen
Palpasi Tidak ada nyeri tekan dan pembengkakan
Inspeksi Leher tampak simetris, tidak ada denyutan
Leher :
abnormal, tidak ada keterbatasan gerak, Tidak ada
tampak pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar
getah bening
Tidak ada deviasi trakea, Tidak teraba pembesaran
Palpasi
kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening

Dada Jantung
Inspeksi Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba 2 jari line midklavicula sinistra
intercosta V
Perkusi Jantung pekak pada batas jantung normal
Auskultasi Murmur (-), Bising (-)
Paru-paru
Inspeksi Gerakan diding dada simetris kiri dan kanan, tidak
ada retraksi dinding dada
Palpasi Tidak ada massa, nyeri tekan, fremitus kiri sama
dengan kanan
Perkusi Sonor kiri dan kanan
Auskultasi Vesikuler kiri dan kanan, ronchi -/-, wheezing -/-
Inspeksi Terdapat luka post laparatomi tertutup perban pada
Abdomen
bagian tengah abdomen sepanjang 20 cm vertical,
dan tampak selang draine di samping kiri perut,
Tampak ada cairan yang keluar dari selang draine
pasien berwarna kemerahan dengan jumlah lebih
kurang 50 cc
Palpasi Perut kanan bawah teraba tegang
Perkusi tidak dilakukan pemeriksaan
Aukultasi Bising usus lemah, frekuensi 4 x/mnt
555 555
Ekstermitas
555 555
CRT < 2 detik, Tidak ada edema
Pasien terpasang kateter ukuran 10 dengan keluaran
Genetalia Inspeksi
50 cc bewarna kuning ,tidak ada pembengkakan
skrotum
8. Pemeriksaan penunjang

2 Maret 2020

Hemoglobin 11,6 g/dl (13,0-16,0) ↓

Leukosit 6490 /mm3 (5000-10000) N

Hematokrit 36% (40-48) ↓

Trombosit 192000/mm3 (150000-400000) N

Kimia klinik

Total protein 5,4 g/dl (6,6-8,7) ↓

Albumin 3,1 g/dl (3,8-5,0) ↓

Globulin 2,3 g/dl (1,3-2,7) N

Ureum 101 mg/dl (10-50) ↑

Kreatinin 1,4 mg/dl (0,8-1,3) ↑

Gula Darah Sewaktu 96 mg/dl <200 N

Elektrolit

Natrium 135 mmol/L (136-145) ↓

Kalium 3,9 mmol/L (3,5-5,1) N

Klorida 111 mmol/L (97-111) N

KESIMPULAN : Total protein dan albumin menurun, ureum dan kreatini

meningkat, natrium menurun.

Terapi yang diberikan:

1. IVFD tutofusin 5. Vit. K 3x1 amp

2. Ceftriaxone 2x1 amp 6. MC 6X25

3. Ranitidin 2x1 amp 7. Metronidazole 3 x 500 mg.

4. Keterolak 2x1 amp


9. Analisa Data (tabel 3.2)

NO DATA ETIOLOGI MASALAH


KEPERAWATN
1 Data subjektif Tindakan Disfungsi motilitas
a. Pasien mengatakan tidak ada pembedahan gastrointestinal
flatus (1)
b. Pasien mengatalan belum BAB
sejak setelah operasi (3)
c. Pasien mengatakan nyeri pada
area perut (3)

Data objektif
a. Tampak ada luka operasi
diarea tengah perut pasien
vertical tertutup perban
sepanjang 20 cm
b. Bising usus 4x / menit (2)
c. Bising usus terdengar lemah
d. Pasien puasa sejak satu hari
sebelum operasi
e. Pasien post laparatomi hari
pertama
2 Data subjektif Agen cidera fisik Nyeri akut
a. Pasien mengatakan nyeri pada
luka post operasi dibagian
perut (3)
b. Pasien mengatakan nyeri
hilang timbul dan berdenyut
(1)
c. Pasien mengatakan nyeri
terasa jika bergerak (3)
d. Pasien mengatakan sulit tidur
karena nyeri yang dirasakan
hilang timbul dan nyeri saat
bergerak ketika tidur (3)
e. Pasien mengatakan nyeri
terasa pada skala 5
Data objektif
a. Pasien tampak meringis (3)
b. Pasien bersikap melindungi
area yang nyeri (3)
c. Pasien berhati- hati dalam
bergerak (2)
d. Skala nyeri 5
e. TD : 128/77 mmHg (4)
S : 36,9 0C (5)
N : 78 x/i (5)
P : 19 x/I (5)
3 Data subjektif Efek prosedur Resiko infeksi
a. Pasien mengatakan tidak tahu invasif
cara merawat lukanya

Data objektif
a. Terlihat luka jahitan operasi di
bagian tengah abdomen
dengan panjang 20 cm tertutup
kassa dengan kassa terlihat
sedikt berdarah (4)
b. Terpasang selang drainage
dengan jumlah keluaran 50 cc
(4)
c. H+ 1 post laparatomi
d. Hb: 11,6 g/dl (rendah) (4)
e. Albumin 3,1 g/dl (rendah)
f. Leukosit : 6490 /mm3
4 Data subjektif Ancaman terhadap Ansietas
a. Pasien mengatakan cemas konsep diri,
dengan kondisinya saat ini (3) perubahan besar;
b. Pasien mengatakan takut status kesehatan
bergerak karena luka
opeasinya dapat terbuka(3)
Data objektif
a. Wajah pasien tampak tegang
(3)
b. Pasien tampak sulit
konsentrasi dan sering
menanyakan tentang
kondisinya (3)
c. TD : 128/77 mmHg (4)
N : 78 x/i (5)
P : 19 x/I (5) S : 36,9 0C (5)

B. Diagnosa Keperawatan

a. Disfungsi motilitas gastrointestinal b.d tindakan pembedahan

b. Nyeri akut b.d agen cidera fisik

c. Resiko infeksi b.d prosedur invasif

d. Ansietas b.d perubahan besar : status kesehatan


C. Intervensi (tabel 3.3)

No Diagnosa Luaran Intervensi

1 Disfungsi Eliminasi usus Manajemen usus


motilitas 1. Pola eliminasi normal 1. Catat kapan BAB
gastrointestinal (5) terakhir
b.d tindakan 2. Kontrol gerakan usus 2. Monitor keluaran,
pembedahan (5) termasuk frekuensi,
3. Warna feses (5) konsistensi, bentuk,
4. Bentuk dan volume, warna, dan
konsistensi (5) tampilan
5. Bising usus (4) 3. Monitor bising usus
6. Flatus (5) 4. Monitor tanda dan
gejala infeksi
5. Instruksikan keluarga
mencatat keluaran,
termasuk frekuensi,
konsistensi, bentuk,
volume, warna, dan
tampilan
Fungsi gastrointestinal Tahapan diet
1. Toleransi terhadap 1. Tentukan munculnya
makanan (5) suara perut
2. Nafsu makan (5) 2. Berikan nutrisi peoral
3. Frekuensi BAB (5) sesuai kebutuhan
4. Warna feses (5) 3. Tentukan apakah
5. Konsistensi feses (5) pasien bisa buang angin
6. Jumlah feses (5) 4. Kolaborasi dengan
7. Flatus (5) tenaga kesehatan lain
8. Bising usus untuk meningkatkan
9. Nilai albumin dalam diet secepat mungkin
batas normal (4) jika tidak ada
10. Hematokrit dalam komplikasi
rentang normal (4) 5. Tingkatkan diet dari
11. Tidak ada nyeri cairan jernih, cair,
abdomen (5) lembut sampai dengan
12. Tidak ada distensi diet regular
abdomen (5) 6. Monitor toleransi
13. Peningkatan peningkatan diet
peristaltik (5)
14. Leukosit dalam Monitor Nutrisi
rentang normal (5) Aktivitas:
15. Tidak ada gangguan 1. Monitor adanya mual dan
Pencernaan (5) muntah
2. Monitor turgor kulit
3. Identifikasi perubahan berat
badan terakhir
4. Monitor adanya pucat,
kemerahan dan jaringan
konjungtiva yang kering
5. Berikan nutrisi enteral
sesuai kebutuhan
6. Pastikan ketersediaan terapi
diet progresif
7. Monitor nilai albumin, total
protein, hemoglobin,
kreatinin dan hematokrit.
8. Monitor menu makanan
dan pilihannya

2 Nyeri Akut Level nyeri Manajemen nyeri:


berhubungan 1. Melaporkan nyeri 1. Lakukan pengkajian
dengan agen berkurang (5) nyeri secara
cidera fisik 2. Lama episode nyeri komprehensif yang
berkurang (5) meliputi lokasi,
3. Mengerang atau karakteristik, onset/
meringis berkurang durasi, frekuensi,
(5) kualitas, intensitas, dan
4. Tidak bisa istirahat(5) faktor pencetusnya.
5. Frekuensi nafas (5) 2. Observasi respon non
6. Denyut nadi (5) verbal pasien
3. Gunakan komunikasi
Kontrol nyeri terapeutik untuk
mengetahui
1. Mengenali kapan
pengalaman nyeri
nyeri terjadi (5)
pasien, dan respon
2. Menggambarkan terhadap nyeri
faktor penyebab (5) 4. Pertimbangkan
pengaruh kebudayaan
3. Menggunakan terhadap nyeri
tindakan pengurangan 5. Kaji faktor yang
nyeri tanpa analgesik memperberat nyeri
(5) 6. Tentukan dampak nyeri
terhadap kualitas hidup
4. Melaporkan (makan, tidur,
perubahan terhadap perasaan, peforma
gejala nyeri pada kerja)
profesional kesehatan 7. Evaluasi bersama
(5) pasien dan tenaga
5. Mengenali apa yang kesehatan lainnya
terkait dengan gejala dalam menilai
nyeri (5) efektifitas pengontrolan
nyeri yang pernah
dilakukan
8. Berikan informasi
mengenai nyeri seperti
penyebab, lama nyeri,
dan antisipasi dari
ketidaknyamanan dari
prosedur
9. Menurunkan faktor
yang dapat
meningkatkan nyeri
(ketakutan )
10. Dukung istirahat &
tidur yang adekuat
untuk membantu
menurunkan nyeri
11. Menyediakan informasi
yang akurat untuk
meningkatkan
pengetahuan keluarga
terhadap respon nyeri.
12. Dukung istirahat/ tidur
yang adekuat untuk
membantu penurunan
nyeri
13. Kendalikan faktor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon
pasien terhadap
ketidaknyamanan
14. Ajarkan penggunaan
teknik non farmakologi

Pemberian Analgesik
1. Mengecek adanya
riwayat alergi
2. Berikan analgesik
sesuai waktu paruhnya,
terutama pada nyeri
yang berat

Monitor Tanda – Tanda Vital


1. Monitor tekanan darah
2. Monitor kualitas nadi
3. Monitor irama dan
frekuensi pernafasan
4. Observasi ulang suhu
sesuai kebutuhan
Mobility Latihan :ambulasi
1. Tampilan posisi tubuh 1. Beri pasien pakaian
(5) yang tidak mengekang
2. Mampu berpindah (5) 2. Sediakan tempat tidur
3. Mampu untuk berketinggian rendah
berjalan(5) yang sesuai
4. Mampu untuk 3. Anjurkan pasien untuk
bergerak dengan mobilisasi dini
mudah (5) 4. Anjurkan pasien untuk
duduk diatas tempat
tidur
5. Anjurkan pasen duduk
disamping tempat tidur
dengan kaki menjuntai
6. Anjurkan pasien untuk
duduk dengan kursi
disamping tempat tidur
7. Ajarkan pasien posisi
untuk berpindah
8. Dampingi pasien untuk
melakukan ambulasi
3 Resiko Infeksi Penyembuhan luka : Perawatan luka
behubungan primer 1. Inspeksi luka post
dengan prosedur 1. Drainase purulen (5) operasi, kemerahan,
invasif 2. Drainase serosa (5) pembekakan, dan
3. Eritema di kulit cairan atau pengeluaran
sekitarnya (5) luka
4. Lebam dikulit 2. Monitor proses
sekitarnya (5) penyembuhan luka
5. Tidak ada edema 3. Bersihkan area sekitar
disekitar luka (5) luka
6. Peningkatan 4. Bersihkan luka dari
temperatur sekitar daerah bersih ke kotor
area luka dalam batas 5. Monitor bekas sayatan
normal (5) dari tanda dan gejala
7. Luka berbau busuk infeksi
(5) 6. Gunakan peralatan
steril
Kontrol faktor resiko 7. Bersihkan area
infeksi: disekitar draine
1. Identifikasi fator 8. Pastikan drain berada
resiko (5) pada posisi yang tepat
2. Aktivitas yang 9. Lakukan redressing
meningkatkan resiko berkala
infeksi (5) 10. Ajarkan pasien dan
3. Faktor resiko infeksi keluarga tentang cara
dilingkungan (5) perawatan luka
4. Kebersihan
lingkungan (5) Kontrol infeksi
5. Strategi yang aseptik 1. Pastikan kebersihan
(5) lingkunga pasien
6. Praktek kontrol 2. Batasi jumlah
infeksi (5) pengunjung
7. Kebersihan tangan 3. Ajarkan cara cuci
(5) tangan yang benar
8. Menggunakan 4. Minta pengunjng
universal precation untuk mencuci tangan
(5) sebelum dan setelah
dari kamar pasien
5. Cuci tangan sebelum
dan setelah kontak
dengan pasien
6. Pastikan aseptik untuk
semua tindakan jalur
IV
7. Pastikan untuk
melakukan perawatan
luka
8. Monitor kateter urin
dari gejala infeksi
9. Pastikan pasien
mendapat nutrsi yang
adekuat
10. Pastikan pasien
mendapat cairan yang
adekuat
11. Minta pasien untuk
istirahat
12. Berikan terapi
antibiotik
13. Minta pasien dan
keluarga untuk
memperhatikan tanda
dan gejala dari infeksi
Manajemen pengobatan
1. Pastikan obat apa
yang dibutuhkan dan
protokol pemberian
obat
2. Monitor keefektivan
pemberian obat
3. Monitor efek
terapeutik pemberian
obat
4. Kaji pengetahuan
pasien tentang oabat
yang didapatkannya
5. Beritahu efek samping
pemberian obat
Status nutrisi Status nutrisi
1. Intake nutrisi 1. Kaji status nutrisi
adekuat (5) pasien dan apa nutrisi
2. Intake makanan yang dibutuhkan
adekuat (5) 2. Identifikasi alergi
3. Intake cairan makanan pasien
adekuat(5) 3. Instuksikan pasien
4. Energi dalam batas makan makan yang
normal(5) sesuai kebutuhannya
5. Berat badan dalam 4. Yakinkan jumlah kalori
rentang normal (5) dan jenis makan yang
dibutuhkan pasien
Intake nutrisi 5. Instruksikan pasien
1. Kalori intake untuk makan sesuai
adekuat (5) dengan status nutrisi
2. Intake protein yang sudah dikaji
adekuat (5) 6. Monitor jumlah kalori
3. Intake lemak yang ada dalam diet
adekuat (5) pasien
4. Intake karbohidrat 7. Monitor penurunan
adekuat (5) berat badan pasien
5. Intake serat adekuat
(5)
6. Intake vitamin
adekuat (5)
7. Intake mineral
adekuat (5)
8. Intake besi adekuat
(5)
9. Intake kalsium
adekuat (5)
4 Ansietas Level agitasi Kecemasan menurun:
1. Tidak ada masalah 1. Gunakan pendekatan
dalam memproses yang menenengkan
informasi (5) 2. Jelaskan semua
2. Istrirahat tidak prosedur yang akan
terggangu(5) dilakukan
3. Tidak ada 3. Pastikan keluarga ada
insomnia(5) di didekat pasien
4. Tidak ada emosi 4. Identifikasi perubahan
yang labil (5) level anxietas
5. Tidak ada kelainan 5. Bantu pasien
gestur (5) mengenali situasi yang
6. Tekanan darah dapat menimbulka
dalam batas normal kecemasan
(5) 6. Ajarkan pasien teknik
7. Nadi dalam batas relakasasi
normal (5) 7. Kaji respon verbal dan
8. Pernafasan dalam nonverbal pasien
batas normal (5)

Kontrol kecemasan Teknik menenangkan


1. Monitor intensitas 1. Berikan pendekatan yang
kecemasan (5) menenangkan
2. Hilangkan penyebab 2. Minimalkan penyebab
kecemasan (5) kecemasan
3. Minimalkan 3. Dampingi pasien
stimulasi yang dapat 4. Berbicara dengan lembut
meningkatakan 5. Fasilitasi pasien untuk
kecemasan (5) mengekspresikan
4. Teknik relakasi perasaan
menurunkan 6. Ajaran pasien teknik
kecemasan (5) relaksasi tarik nafas
5. Tidak ada perubaan dalam
konsentrasi (5)
6. Tidak ada masalah
dengan lingkungan
sekitar (5)
7. Monitor tidur yang
adekuat (5)
8. Monitor tingkat
kecemasan (5)

D. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

Catatan perkembangan Kamis, 5 Maret 2020, Jam 10.00 wib (tabel 3.4)

Diagnosa Implementasi Evaluasi


Keperawatan

Disfungsi motilitas 1. Mengkaji dan mencatat S:


gastrointestinal b.d kapan BAB terakhir
tindakan 2. Memonitor keluaran, 1. Pasien mengatakan belum
pembedahan termasuk frekuensi, flatus (2)
konsistensi, bentuk, volume, 2. Pasien mengatakan belum
warna, dan tampilan ada BAB (2)
3. Memonitor bising usus 3. Pasien mengatakan akan
4. Memonitor tanda dan gejala mematuhi diet yang
infeksi diberikan dari rumah sakit (4)
5. Menginstruksikan keluarga 4. Pasien mengatakan mengerti
mencatat keluaran, termasuk dengan diet yang disaranan
(4)
frekuensi, konsistensi, 5. Pasien dan keluarga
bentuk, volume, warna, dan mengatakan sudah mengerti
kapan flatus terakhir cara melaksakan terapi
6. Memberi edukasi pada pasien Chewing gum
dan keluarga tentang O :
pemberian terapi Chewing
gum untuk meningkatkan 1. Suara peristaltik usus
peristaltik usus pasien, lemah (2)
manfaat dan tujuan 2. Frekuensi bising usus
pemberian terapi. Terapi 6x/menit (2)
Chewing gum (mengunyah 3. Pasien tampak paham
permen karet) diberikan dengan terapi yang di
setiap 4 jam sekali setelah berikan
post operasi dan dikunyah A : Masalah teratasi sebagian
selama 5 menit, lalu catat
P:
kapan waktu flatus pertama
dan BAB pertama 1. Manajemen usus
7. Menganjurkan pasien dilanjutkan
mematuhi diet yang 2. Tahapan Diet dilanjutkan
diberikan oleh rumah sakit 3. Monitor Nutrisi
dilanjutkan
Nyeri akut bd agen 1. Melakukan pengkajian nyeri S:
cidera fisik secara komprehensif yang
meliputi lokasi, karakteristik, 1. Pasien mengatakan nyeri
onset/ durasi, frekuensi, pada luka post operasi di
kualitas, intensitas, dan bagian perut agak
faktor pencetusnya. berkurang (4)
2. Mengobservasi respon non 2. Pasien mengatakan nyeri
verbal pasien terasa jika bergerak (3)
3. Menggunakan komunikasi 3. Pasien mengatakan sulit
terapeutik untuk mengetahui tidur jika nyeri di perut
pengalaman nyeri pasien, dan muncul (3)
respon terhadap nyeri O:
4. Mengkaji faktor yang
1. Pasien tampak bersikap
memperberat nyeri
melindungi area yang nyeri
5. Menentukan dampak nyeri
(3)
terhadap kualitas hidup
2. Wajah pasien tampak
(makan, tidur, perasaan,
meringis (3)
peforma kerja)
3. Pasien berhati- hati dalam
6. Mengajarkan penggunaan
bergerak (3)
teknik nonfarmakologi dalam
4. Pasien tampak baru bisa
mengurangi nyeri (nafas
menggerakan tangan pasien
dalam)
(3)
7. Menciptakan lingkungan
TD : 128/87 mmHg,
yang aman dan nyaman bagi
pasien N : 89x/i
8. Membantu pasien untuk
mendapatkan posisi yang
nyaman P : 19x/i
9. Mengukur vital sign
10. Berkolaborasi untuk S : 36,5 0C
pemberian obat analgetik
A : Masalah teratasi sebagian
dalam mengurangi nyeri
11. Membantu pasien untuk P :
mobilisasi diatas tempat tidur
12. Mengevaluasi dan 1. Intervensi manajemen nyeri
dokumentasikan respon dilanjutkan
pasien 2. Latihan ambulasi dilanjutkan
3. Monitor vital sign
dilanjutkan
Resiko Infeksi 1. Memastikan kebersihan S :
behubungan lingkungan pasien
dengan prosedur 2. Membatasi jumlah 1. Pasien mengatakan tidak ada
invasive pengunjung rasa gatal dan panas disekitar
3. Mengajarkan pasien dan luka operasi (4)
keluarga cara cuci tangan O:
yang benar 1. Tampak ada luka jahitan
4. Memonitor kateter urin dari
operasi di bagian tengah
gejala infeksi abdomen dengan panjang
5. Berkolaborasi dengan tenaga
20 cm tertutup perban
medis lain untuk pemberian 2. Terpasang drainage
injeksi ceftriaxone 2x1 gr dan
keluaran 50 cc
metrodinazole 3. Luka tampak bersih tidak
6. Memberikan IVFD tutofusin
ada pust(4)
7. Mencuci tangan sebelum dan A : masalah teratasi sebagian
sesudah kontak dengaan
pasien P:
1. Kontrol infeksi dilanjutkan
2. Melakukan perawatan luka
3. Manajemen pengobatan
dilanjutkan
Ansietas 1. Menggunakan pendekatan S :
yang menenangkan
2. Mengidentifikas perubahan 1. Pasien mengatakan takut
level anxietas melihat luka operasinya(2)
3. Membantu pasien mengenali 2. Pasien mengatakan takut
situasi yang dapat bergerak karena luka
menimbulkan kecemasan opeasinya dapat terbuka
4. Mengajarkan pasien teknik (2)
relakasasi untuk mengurangi 3. Pasien mengatakan sering
cemas memikirkan kondisinya
5. Mengkaji respon verbal dan saat ini (2)
nonverbal pasien 4. Pasien mengatakan setelah
6. Menganjurkan keluarga diajarkan teknik relaksasi
untuk berada didekat pasien nafas dalam cemas jadi
agak berkurang (2)
7. Menjelaskan prosedur 5. Pasien mengatakan paham
perawatan yang akan dengan penjelasan perawat
dilakukan O:
8. Menciptakan lingkungan
yang nyaman dan aman bagi 1. Setelah dilakukan
pasien intervensi pasien tampak
sudah rileks (3)
2. Pasien tampak paham
dengan penjelasan perawat
(3)
3. Pasien tampak lebih
tenang (4)
A : Masalah teratsi sebagian
P : Kontrol kecemasan dilanjutkan

Catatan Perkembangan Jum’at, 6 Maret 2020 jam 09.00 wib

Diagnosa Implementasi Evaluasi


Keperawatan

Disfungsi motilitas 1. Mencatat kapan BAB terakhir S:


gastrointestinal b.d 2. Memonitor keluaran, termasuk
tindakan frekuensi, konsistensi, bentuk, 1. Pasien mengatakan sudah
pembedahan volume, warna, dan tampilan flatus sekitar jam 4 sore
3. Memonitor bising usus kemarin (3)
4. Memonitor tanda dan gejala 2. Pasien mengatakan sudah ada
infeksi BAB tapi masih sedikit sekitar
5. Menginstruksikan keluarga jam 5 sore (3)
mencatat keluaran, termasuk 3. Pasien mengatakan warna
frekuensi, konsistensi, bentuk, BAB agak kecoklatan dan
volume, warna, dan kapan lunak (3)
flatus terakhir 4. Pasien mengatakan akan
6. Mengevaluasi pasien dan mematuhi diet yang diberikan
keluarga tentang pemberian dari rumah sakit (4)
terapi Chewing gum untuk 5. Pasien mengatakan mengerti
meningkatkan peristaltik usus dengan diet yang disaranan (4)
pasien 6. Pasien mengatakan sudah
7. Menganjurkan pasien mengerti cara melaksakan
mematuhi diet yang diberikan terapi Chewing gum dan sudah
oleh rumah sakit yaitu minum tidak ada melanjutkan terapi
air satu sendok persatu jam lagi
8. Berkolaboraasi dengan tim O:
medis lainnya untuk
1. Suara peristaltik usus masih
mengingkatkan diet sesegera lemah (3)
mungkin
2. Frekuensi bising usus 9x /
menit (3)
3. Pasien tampak paham dengan
terapi yang di berikan
4. Pasien flatus 2 jam setelah
pemberian terapi Chewing
gum kedua
A : Masalah teratasi sebagian

P:
1. Manajemen usus dilanjutkan
2. Tahapan Diet dilanjutkan
3. Monitor nutrisi dilanjutkan

Nyeri akut bd agen 1. Melakukan pengkajian S:


cidera fisik nyeri secara komprehensif
yang meliputi lokasi, 1. Pasien mengatakan nyeri pada
karakteristik, onset/ durasi, luka post operasi di bagian
frekuensi, kualitas, perut agak berkurang (4)
intensitas, dan faktor 2. Pasien mengatakan nyeri
pencetusnya terasa jika bergerak (3)
2. Mengobservasi respon non 3. Pasien mengatakan durasi
verbal pasien waktu nyeri sudah mulai
3. Menggunakan komunikasi berkurang (3)
terapeutik untuk 4. Pasien mengatakan sulit tidur
mengetahui pengalaman jika nyeri di perut muncul (3)
nyeri pasien, dan respon 5. Pasien mengatakan nyeri
terhadap nyeri berkurang setelah
4. Mengkaji faktor yang mendengarkan musik (3)
memperberat nyeri 6. O:
5. Menentukan dampak nyeri 1. Pasien tampak bersikap
terhadap kualitas hidup melindungi area yang nyeri
(makan, tidur, perasaan, (3)
peforma kerja) 2. Wajah pasien tampak
6. Menganjurkan penggunaan meringis (4)
teknik nonfarmakologi 3. Pasien berhati- hati dalam
dalam mengurangi nyeri bergerak (3)
dengan mendengarkan 4. Pasien tampak bisa
musik menggerakan tangan pasien
7. Menciptakan lingkungan dan kaki secara perlahan (3)
yang aman dan nyaman 5. Vital sign dalam rentang
bagi pasien normal (5)
8. Membantu pasien untuk TD : 122/78 mmHg,
mendapatkan posisi yang N : 72x/i
nyaman P : 20x/i
9. Mengukur vital sign S : 36,5 0C
10. Membantu pasien untuk A : Masalah teratasi sebagian
mobilisasi diatas tempat
tidur dengan ROM aktif
11. Menganjurkan pasien P :
mengenakan pakaian yang
longgar 1. Intervensi manajemen nyeri
12. Mengevaluasi dan dilanjutkan
dokumentasikan respon 2. Latihan ambulasi dilanjutkan
pasien 3. Monitor vital sign
dilanjutkan

Resiko Infeksi 1. Mencuci tangan sebelum S:


behubungan dengan dan sesudah kontak
prosedur invasif dengaan pasien Pasien mengatakan tidak ada rasa
2. Melakukan perawatan luka gatal dan panas disekitar luka
3. Mempertahankan tindakan operasi (4)
steril dalam perawatan luka
O:
4. Memonitor luka post
operasi, kemerahan, 1. Tampak ada luka jahitan
pembekakan, dan cairan operasi di bagian tengah
atau pengeluaran luka abdomen dengan panjang
5. Memonitor proses 20 cm tertutup perban
penyembuhan luka 2. Tampak ada sedikit cairan
6. Memastikan kebersihan berwarna kemerahan di
lingkungan pasien perban bekas luka operasi
7. Membatasi jumlah 3. Terpasang drainage
pengunjung keluaran 20 cc
8. Mengajarkan pasien dan 4. Luka tampak bersih(4)
keluarga cara cuci tangan A : masalah teratasi sebagian
yang benar
9. Memonitor kateter urin dari P:
gejala infeksi
10. Memonitor selang drainage 1. Kontrol infeksi dilanjutkan
dari gejala infeksi 2. Melakukan perawatan luka
11. Berkolaborasi dengan 3. Manajemen pengobatan
tenaga medis lainnya dalam dilanjutkan
pemberian injeksi
ceftriaxone 2x1 gr dan
metrodinazole
12. Memberikan IVFD
tutofusin
Ansietas 1. Menggunakan pendekatan S:
yang menenangkan
2. Mengidentifikasi perubahan 1. Pasien mengatakan sudah
level anxietas bisa melihat lukannya (4)
3. Membantu pasien 2. Pasien mengatakan masih
mengenali situasi yang takut bergerak karena luka
dapat menimbulkan opeasinya dapat terbuka (3)
kecemasan 3. Pasien mengatakan sudah
4. Mengajarkan pasien teknik bisa menerima kondisinya(4)
relakasasi untuk 4. Pasien mengatakan setelah
diajarkan teknik relaksasi
mengurangi cemas nafas dalam cemas jadi
5. Mengkaji respon verbal dan berkurang dan lebih rileks (4)
nonverbal pasien 5. Pasien mengatakan paham
6. Menganjurkan keluarga dengan informasi yang
untuk berada didekat pasien diberikan perawat(4)
7. Menjelaskan prosedur
perawatan yang akan
dilakukan O:
8. Menciptakan lingkungan
1. Setelah dilakukan intervensi
yang nyaman dan aman
pasien tampak sudah rileks
bagi pasien
(4)
2. Pasien tampak paham dengan
penjelasan perawat (4)
3. Pasien tampak lebih tenang
(4)
A : Masalah teratsi sebagian
P : Kontrol kecemasan dilanjutkan

Catatan Perkembangan Sabtu, 7 Maret 2020 jam 09.00 wib

Diagnosa Implementasi Evaluasi


Keperawatan

Disfungsi motilitas 1. Mencatat kapan BAB S:


gastrointestinal b.d terakhir
tindakan 2. Memonitor keluaran, 1. Pasien mengatakan sudah
pembedahan termasuk frekuensi, sering flatus dan tidak ada
konsistensi, bentuk, volume, hambatan saat buang angin (5)
warna, dan tampilan 2. Pasien mengatakan sudah ada
3. Memonitor bising usus BAB tadi pagi(4)
4. Memonitor tanda dan gejala 3. Pasien mengatakan warna
infeksi BAB kekuningan dan lunak
5. Menginstruksikan keluarga (4)
mencatat keluaran, termasuk 4. Pasien mengatakan akan
frekuensi, konsistensi, mematuhi diet yang diberikan
bentuk, volume, warna, dan dari rumah sakit (5)
kapan flatus terakhir 5. Pasien mengatakan mengerti
6. Menganjurkan pasien dengan diet yang disaranan (5)
mematuhi diet yang O:
diberikan oleh rumah sakit
1. Suara peristaltik usus
yaitu diet MC 6x25
meningkat (4)
2. Frekuensi bising usus 10x /
menit
3. Pasien tampak paham
dengan terapi yang di
berikan
4. Distensi abdomen tidak ada
(5)
A : Masalah teratasi sebagian
P:
1. Manajemen usus
dilanjutkan
2. Tahapan Diet dilanjutkan
3. Monitor nutrisi dilanjutkan
Nyeri akut bd agen 1. Melakukan pengkajian S:
cidera fisik nyeri secara komprehensif
yang meliputi lokasi, 1. Pasien mengatakan nyeri
karakteristik, onset/ durasi, pada luka post operasi di
frekuensi, kualitas, bagian perut agak
intensitas, dan faktor berkurang (4)
pencetusnya. 2. Pasien mengatakan nyeri
2. Mengobservasi respon non terasa jika bergerak sudah
verbal pasien berkurang (3)
3. Menggunakan komunikasi 3. Pasien tidur sudah mulai
terapeutik untuk nyenyak (4)
mengetahui pengalaman 4. Pasien mengatakan latihan
nyeri pasien, dan respon miring dibantu oleh
terhadap nyeri keluarganya
4. Mengkaji faktor yang 5. Pasien mengatakan nyeri
memperberat nyeri sudah jarang terasa (3)
5. Menentukan dampak nyeri 6. Pasien mengatakan kalau
terhadap kualitas hidup nyeri terasa pasien langsung
(makan, tidur, perasaan, mendengarkan musik atau
peforma kerja) ayat-ayat suci alquran
6. Mengevaluasi penggunaan seperti yang diajarkan
teknik nonfarmakologi kemaren
(nafas dalam dan O:
mendengarkan musik)
1. Pasien tampak bersikap
7. Menciptakan lingkungan
melindungi area yang
yang aman dan nyaman
nyeri sudah berkurang (3)
bagi pasien
2. Wajah pasien sudah tidak
8. Membantu pasien untuk
meringis lagi(4)
mendapatkan posisi yang
3. Pasien berhati- hati dalam
nyaman
bergerak (3)
9. Mengukur vital sign
4. Pasien tampak belajar
10. Membantu pasien untuk
miring kiri kanan dibantu
mobilisasi diatas tempat
oleh keluarga (3)
tidur miring kiri miring
5. Vital sign dalam batas
kanan
normal (5)
11. Menganjurkan pasien TD : 119/83 mmHg,
mengenakan pakaian yang
N : 72x/i
longgar
12. Mengevaluasi dan P : 19x/i
dokumentasikan respon S : 36,7 0C
pasien
A : Masalah teratasi sebagian
P:
1. Intervensi manajemen
nyeri dilanjutkan
2. Latihan ambulasi
dilanjutkan
3. Monitor vital sign
dilanjutkan
Resiko Infeksi 1. Memastikan kebersihan S:
behubungan lingkungan pasien
dengan prosedur 2. Membatasi jumlah Pasien mengatakan tidak ada
invasif pengunjung rasa gatal dan panas
3. Mengajarkan pasien dan disekitar luka operasi (5)
keluaga cara cuci tangan
O:
yang benar
4. Memonitor kateter urin dari 1. Tampak ada luka jahitan
gejala infeksi operasi di bagian tengah
5. Memberikan injeksi abdomen dengan panjang
ceftriaxone 2x1 gr dan 20 cm tertutup perban
metrodinazole 2. Selang draine sudah di aff
6. Memberikan IVFD dengan keluaran 10 cc (5)
tutofusin 3. Luka tampak bersih tidak
7. Mencuci tangan sebelum ada pust (5)
dan sesudah kontak dengan 4. Tidak ada tanda-tanda
pasien infeksi di area luka operasi
8. Melakukan perawatan luka (5)
9. Menggunakan teknik steril 5. Tidak ada tanda-tanda
dalam membersihkan luka infeksi di area pemasagan
10. Memonitor luka post kateter urine (4)
operasi, kemerahan, A : masalah teratasi sebagian
pembekakan, dan cairan
atau pengeluaran luka P:
11. Memonitor proses
penyembuhan luka 1. Kontrol infeksi dilanjutkan
12. Melepaskan selang draine 2. Melakukan perawatan luka
dari pasien 3. Manajemen pengobatan
13. Membuka selang kateter dilanjutkan
pasien
14. Menganjurkaan pasien
untuk intake nutrisi diet
adekuat
Ansietas 1. Menggunakan pendekatan S:
yang menenangkan
2. Mengidentifikas perubahan 1. Pasien mengatakan sudah
level anxietas bisa melihat lukannya (5)
3. Membantu pasien 2. Pasien mengatakan takut
mengenali situasi yang bergerak karena luka
dapat menimbulkan opeasinya dapat terbuka
kecemasan (3)
4. Mengajarkan pasien teknik 3. Pasien mengatakan sudah
relakasasi untuk bisa menerima kondisinya
mengurangi cemas (5)
5. Mengkaji respon verbal dan 4. Pasien mengatakan setelah
nonverbal pasien diajarkan teknik relaksasi
6. Menganjurkan keluarga nafas dalam cemas jadi
untuk berada didekat pasien berkurang dan lebih rileks
7. Menjelaskan prosedur (5)
perawatan yang akan 5. Pasien mengatakan paham
dilakukan dengan informasi yang
8. Menciptakan lingkungan diberikan perawat(5)
yang nyaman dan aman O:
bagi pasien
1. Setelah dilakukan
intervensi pasien tampak
sudah rileks (4)
2. Pasien tampak paham
dengan penjelasan perawat
(4)
3. Pasien tampak lebih
tenang (5)

A : Masalah teratsi sebagian


P : Kontrol kecemasan dilanjutkan

Catatan perkembangan Senin, 9 Maret 2020, jam 09.15 wib

Diagnosa Implementasi Evaluasi


Keperawatan
Disfungsi motilitas 1. Mencatat kapan BAB S:
gastrointestinal b.d terakhir
tindakan 2. Memonitor keluaran, 1. Pasien mengatakan sudah
pembedahan termasuk frekuensi, sering flatus dan tidak ada
konsistensi, bentuk, hambatan saat buang angin
volume, warna, dan (5)
tampilan 2. Pasien mengatakan sudah ada
3. Memonitor bising usus BAB tadi pagi(5)
4. Memonitor tanda dan gejala 3. Pasien mengatakan warna
infeksi BAB kekuningan dan lunak
5. Menginstruksikan keluarga (4)
mencatat keluaran, 4. Pasien mengatakan akan
termasuk frekuensi, mematuhi diet yang diberikan
konsistensi, bentuk, dari rumah sakit (5)
volume, warna, dan kapan 5. Pasien mengatakan mengerti
flatus terakhir dengan diet yang
6. Menganjurkan pasien disaranankan (5)
mematuhi diet yang O:
diberikan oleh rumah sakit
7. Berkolaborasi dengan 1. Suara peristaltic usus
tenaga medis lainnya untuk meningkat (5)
meningkatkan diet pasien 2. Frekuensi bising usus 13x /
menjadi diet ML menit
3. Pasien tampak paham
dengan terapi yang di
berikan dan bisa memakan
diet yang diberikan (5)
4. Distensi abdomen tidak ada
(5)
A : Masalah teratasi sebagian
P:
1. Manajemen usus
dilanjutkan
2. Tahapan Diet dilanjutkan
3. Monitor Nutrisi dilanjutkan
Nyeri akut bd agen 1. Melakukan pengkajian S:
cidera fisik nyeri secara komprehensif
yang meliputi lokasi, 1. Pasien mengatakan nyeri
karakteristik, onset/ durasi, pada luka post operasi di
frekuensi, kualitas, bagian perut agak
intensitas, dan faktor berkurang (4)
pencetusnya. 2. Pasien mengatakan nyeri
2. Mengobservasi respon non terasa jika bergerak sudah
verbal pasien berkurang (3)
3. Menggunakan komunikasi 3. Pasien tidur sudah mulai
terapeutik untuk nyenyak (4)
mengetahui pengalaman 4. Pasien mengatakan miring
nyeri pasien, dan respon kiri kanan sudah bisa
terhadap nyeri dilakukan sendiri (4)
4. Mengkaji faktor yang 5. Pasien mengatakan nyeri
memperberat nyeri sudah jarang terasa (4)
5. Menentukan dampak nyeri O:
terhadap kualitas hidup
1. Pasien tampak bersikap
(makan, tidur, perasaan,
melindungi area yang nyeri
peforma kerja)
sudah berkurang(4)
6. Mengevaluasi penggunaan
2. Wajah pasien sudah tidak
teknik nonfarmakologi
meringis lagi(5)
(nafas dalam dan 3. Pasien sudah mulai leluasa
mendengarkan musik)
bergerak miring kiri
7. Menciptakan lingkungan
yang aman dan nyaman kanan(4)
bagi pasien 4. Pasien tampak sudah bisa
8. Membatasi jumlah duduk tapi sesekali di bantu
pengunjung oleh keluarga (4)
9. Membantu pasien untuk 5. Pasien sudah tidak memakai
mendapatkan posisi yang obat anti nyeri lagi (5)
nyaman 6. Vital sign dalam batas
10. Mengukur vital sign normal (5)
11. Membantu pasien untuk TD : 122/83mmHg,
mobilisasi diatas tempat N : 82x/i
tidur belajar duduk dan kaki P : 19x/i
berjuntai S : 36,6 0C
12. Menganjurkan pasien
mengenakan pakaian yang A : Masalah teratasi sebagian
longgar
13. Menganjurkan istrirahat P :
yang cukup
1. Intervensi manajemen
14. Mengevaluasi dan
nyeri dilanjutkan
dokumentasikan respon
2. Latihan ambulasi
pasien
dilanjutkan
3. Monitor vital sign
dilanjutkan
Resiko Infeksi 1. Memastikan kebersihan S :
behubungan lingkungan pasien
dengan prosedur 2. Membatasi jumlah Pasien mengatakan tidak ada rasa
invasif pengunjung gatal dan panas disekitar luka
3. Mengajarkan pasien dan operasi (5)
keluarga cara cuci tangan
O:
yang benar
4. Memberikan injeksi 1. Tampak ada luka jahitan
ceftriaxone 2x1 gr dan operasi di bagian tengah
metrodinazole abdomen dengan panjang
5. Memberikan IVFD 20 cm tertutup perban
tutofusin 2. Luka tampak bersih tidak
6. Mencuci tangan sebelum ada pust(5)
dan sesudah kontak dengan 3. Tidak ada tanda-tanda
pasien infeksi di area luka operasi
7. Melakukan perawatan luka (5)
8. Menggunakan teknik steril 4. Tidak ada cairan yang
dalam membersihkan luka keluar di bekas pemasangan
9. Memonitor luka post draine (5)
operasi, kemerahan, 5. Pasien tampak
pembekakan, dan cairan menghabiskan diet yang
atau pengeluaran luka diberikan (5)
10. Memonitor proses A : masalah teratasi sebagian
penyembuhan luka P:
11. Menganjurkaan pasien
untuk intake nutrisi diet 1. Kontrol infeksi dilanjutkan
adekuat 2. Melakukan perawatan luka
3. Manajemen pengobatan
dilanjutkan
Ansietas 1. Menggunakan pendekatan S :
yang menenangkan
2. Mengidentifikas perubahan 1. Pasien mengatakan sudah
level anxietas bisa melihat lukannya (5)
3. Membantu pasien 2. Pasien mengatakan sudah
mengenali situasi yang tidak takut lagi bergerak (5)
dapat menimbulkan 3. Pasien mengatakan sudah
kecemasan bisa menerima kondisinya
4. Mengajarkan pasien teknik (5)
relakasasi untuk 4. Pasien mengatakan setelah
mengurangi cemas diajarkan teknik relaksasi
5. Mengkaji respon verbal dan nafas dalam cemas jadi
nonverbal pasien berkurang dan lebih rileks
6. Menganjurkan keluarga (5)
untuk berada didekat pasien 5. Pasien mengatakan paham
7. Menjelaskan prosedur dengan informasi yang
perawatan yang akan diberikan perawat(5)
dilakukan O:
8. Menciptakan lingkungan
1. Setelah dilakukan intervensi
yang nyaman dan aman
pasien tampak sudah rileks
bagi pasien
(5)
2. Pasien tampak paham
dengan penjelasan perawat
(4)
3. Pasien tampak lebih tenang
(5)
A : Masalah teratsi
P : Kontrol kecemasan dihentikan

Catatan perkembangan Selasa, 10 Maret 2020, jam 09.00

Diagnosa Implementasi Evaluasi


Keperawatan

Disfungsi motilitas 1. Mencatat kapan BAB S:


gastrointestinal b.d terakhir
tindakan 2. Memonitor keluaran, 1. Pasien mengatakan sudah
pembedahan termasuk frekuensi, sering flatus dan tidak ada
konsistensi, bentuk, volume, hamabatan saat buang angin
warna, dan tampilan (5)
3. Memonitor bising usus 2. Pasien mengatakan sudah ada
4. Memonitor tanda dan gejala BAB tadi pagi(5)
infeksi 3. Pasien mengatakan warna
5. Menginstruksikan keluarga BAB kuning dan berampas
mencatat keluaran, termasuk (5)
frekuensi, konsistensi, 4. Pasien mengatakan akan
bentuk, volume, warna, dan mematuhi diet yang diberikan
kapan flatus terakhir dari rumah sakit (5)
6. Menganjurkan pasien 5. Pasien mengatakan mengerti
mematuhi diet yang dengan diet yang
diberikan oleh rumah sakit disaranankan (5)
yaitu diet ML 6. Pasien mengatakan nafsu
7. Melakukan kolaborasi makan sudah membaik (4)
dengan tenaga medis lainnya O:
untuk pengecekan darah
pasien 1. Suara peristaltik usus
meningkat (5)
2. Frekuensi bising usus 15x /
menit (5)
3. Pasien tampak paham
dengan terapi yang di
berikan dan bisa memakan
diet yang diberikan (5)
A : Masalah teratasi sebagian
P:
1. Manajemen usus
dilanjutkan
2. Tahapan Diet dilanjutkan
3. Monitor Nutrisi dilanjutkan
Nyeri akut bd agen 1. Mengkaji nyeri secara S:
cidera fisik komprehensif yang meliputi
lokasi, karakteristik, onset/ 1. Pasien mengatakan nyeri
durasi, frekuensi, kualitas, pada luka post operasi di
intensitas, dan faktor bagian perut agak
pencetusnya. berkurang (4)
2. Mengobservasi respon non 2. Pasien mengatakan nyeri
verbal pasien terasa jika bergerak sudah
3. Menggunakan komunikasi berkurang (4)
terapeutik untuk 3. Pasien tidur sudah mulai
mengetahui pengalaman nyenyak (5)
nyeri pasien, dan respon 4. Pasien mengatakan duduk
terhadap nyeri sudah bisa sendiri (4)
4. Mengkaji faktor yang 5. Pasien mengatakan nyeri
memperberat nyeri sudah jarang terasa (4)
5. Menentukan dampak nyeri O:
terhadap kualitas hidup
1. Pasien tampak bersikap
(makan, tidur, perasaan,
melindungi area yang nyeri
peforma kerja)
sudah berkurang(4)
6. Menciptakan lingkungan
2. Wajah pasien sudah tidak
yang aman dan nyaman
bagi pasien meringis lagi(5)
7. Membatasi jumlah 3. Pasien sudah mulai leluasa
pengunjung bergerak (5)
8. Membantu pasien untuk 4. Pasien tampak sudah bisa
mendapatkan posisi yang duduk tapi sesekali di bantu
nyaman oleh keluarga (4)
9. Mengukur vital sign 5. Pasien sudah tidak memakai
10. Menganjurkan pasien untuk obat anti nyeri lagi (5)
mobilisasi belajar berpindah 6. Vital sign dalam batas
dari tempat tidur ke kursi normal (5)
11. Menganjurkan pasien TD : 115/79mmHg,
mengenakan pakaian yang N : 76x/i
longgar P : 19x/i
12. Menganjurkan istrirahat S : 36,6 0C
yang cukup
13. Mengevaluasi dan A : Masalah teratasi sebagian
dokumentasikan respon
P:
pasien
1. Intervensi manajemen
nyeri dilanjutkan
2. Latihan ambulasi
dilanjutkan
3. Monitor vital sign
dilanjutkan
Resiko Infeksi 1. Memastikan kebersihan S :
behubungan lingkungan pasien
dengan prosedur 2. Membatasi jumlah Pasien mengatakan tidak ada rasa
invasif pengunjung gatal dan panas disekitar luka
3. Mengajarkan pasien dan operasi (5)
keluarga cara cuci tangan
O:
yang benar
4. Memberikan injeksi 1. Tampak ada luka jahitan
ceftriaxone 2x1 gr dan operasi di bagian tengah
metrodinazole abdomen dengan panjang
5. Memberikan IVFD 20 cm tertutup perban
tutofusin 2. Luka tampak bersih tidak
6. Mencuci tangan sebelum ada pust(5)
dan sesudah kontak dengan 3. Tidak ada tanda-tanda
pasien infeksi di area luka operasi
7. Melakukan perawatan luka (5)
8. Menggunakan teknik steril 4. Pasien tampak
dalam membersihkan luka menghabiskan diet yang
9. Memonitor luka post diberikan (5)
operasi, kemerahan, A : masalah teratasi sebagian
pembekakan, dan cairan
atau pengeluaran luka P:
10. Memonitor proses
penyembuhan luka 1. Kontrol infeksi dilanjutkan
11. Menganjurkaan pasien 2. Melakukan perawatan luka
untuk intake nutrisi diet 3. Manajemen pengobatan
adekuat dilanjutkan

Catatan perkembangan Rabu, 11 Maret 2020, jam 9.45

Diagnosa Implementasi Evaluasi


Keperawatan

Disfungsi motilitas 1. Mencatat kapan BAB S:


gastrointestinal b.d terakhir
tindakan 2. Memonitor keluaran, 1. Pasien mengatakan sudah
pembedahan termasuk frekuensi, sering flatus dan tidak ada
konsistensi, bentuk, volume, hamabatan saat buang angin
warna, dan tampilan (5)
3. Memonitor bising usus 2. Pasien mengatakan sudah ada
4. Memonitor tanda dan gejala BAB tadi pagi(5)
infeksi 3. Pasien mengatakan warna
5. Menginstruksikan keluarga BAB kuning dan berampas (5)
mencatat keluaran, termasuk 4. Pasien mengatakan akan
frekuensi, konsistensi, mematuhi diet yang diberikan
bentuk, volume, warna, dan dari rumah sakit (5)
kapan flatus terakhir 5. Pasien mengatakan mengerti
6. Menganjurkan pasien dengan diet yang disaranankan
mematuhi diet yang (5)
diberikan oleh rumah sakit 6. Pasien mengatakan nafsu
yaitu diet reguler makan sudah membaik (4)
7. Melakukan kolaborasi O:
dengan tenaga medis lainnya
1. Suara peristaltik usus
untuk pengecekan darah
meningkat (5)
pasien
2. Frekuensi bising usus 17x /
menit (5)
3. Pasien tampak paham dengan
terapi yang di berikan dan
bisa memakan diet yang
diberikan (5)
4. total protein: 6,6 g/dl,
5. hemoglobin: 14,1 g/dl.
6. albumin: 4,4g/dl, (4)
7. Hematokrit dalam rentang
normal= 42% (4)
8. Tidak ada distensi abdomen
(5)
9. Leukosit dalam rentang
normal= 7325/mm3(5)
10. Kreatinin= 0,9 mg/dl
A : Masalah teratasi

P:
1. Intevensi dihentikan karena
pasien boleh pulang dan
kontrol hari senin ke poli
bedah
Nyeri akut bd agen 1. Mengkaji nyeri secara S:
cidera fisik komprehensif yang meliputi
lokasi, karakteristik, onset/ 1. Pasien mengatakan nyeri
durasi, frekuensi, kualitas, pada luka post operasi di
intensitas, dan faktor bagian perut sudah berkurang
pencetusnya. (4)
2. Mengobservasi respon non 2. Pasien mengatakan nyeri
verbal pasien terasa jika bergerak sudah
3. Menggunakan komunikasi berkurang (4)
terapeutik untuk 3. Pasien tidur sudah mulai
mengetahui pengalaman nyenyak (5)
nyeri pasien, dan respon 4. Pasien mengatakan duduk
terhadap nyeri sudah bisa sendiri (4)
4. Mengkaji faktor yang 5. Pasien mengatakan nyeri
memperberat nyeri sudah jarang terasa (4)
5. Menentukan dampak nyeri 6. Pasien mengatakan skala
terhadap kualitas hidup nyeri yang dirasakan yaitu 2
(makan, tidur, perasaan, O:
peforma kerja)
1. Pasien tampak bersikap
6. Menciptakan lingkungan
melindungi area yang nyeri
yang aman dan nyaman
sudah berkurang(4)
bagi pasien
2. Wajah pasien sudah tidak
7. Membatasi jumlah
meringis lagi(5)
pengunjung
3. Pasien sudah mulai leluasa
8. Membantu pasien untuk
bergerak (5)
mendapatkan posisi yang
4. Pasien tampak sudah bisa
nyaman
duduk sendiri dan berjalan
9. Mengukur vital sign
dibantu oleh keluarga (4)
10. Menganjurkan pasien untuk
5. Pasien sudah tidak memakai
mobilisasi belajar berjalan
obat anti nyeri lagi (5)
11. Menganjurkan pasien
6. Vital sign dalam batas
mengenakan pakaian yang
normal (5)
longgar
a. TD :
12. Menganjurkan istrirahat
124/78mmHg,
yang cukup
b. N : 69x/i
13. Mengevaluasi dan
c. P : 19x/i
dokumentasikan respon
d. S : 36,5 0C
pasien
A : Masalah teratasi
P:

1. Intervensi dihentikan
karena pasien boleh pulang
Resiko Infeksi 1. Memastikan kebersihan S :
behubungan lingkungan pasien
dengan prosedur 2. Membatasi jumlah Pasien mengatakan tidak ada rasa
invasif pengunjung gatal dan panas disekitar luka
3. Mengajarkan pasien dan operasi (5)
keluarga cara cuci tangan
O:
yang benar
4. Memberikan injeksi 1. Tampak ada luka jahitan
ceftriaxone 2x1 gr dan operasi di bagian tengah
metrodinazole abdomen dengan panjang 20
5. Memberikan IVFD tutofusin cm tertutup perban
6. Mencuci tangan sebelum dan 2. Luka tampak bersih tidak ada
sesudah kontak dengan pust(5)
pasien 3. Tidak ada tanda-tanda infeksi
7. Melakukan perawatan luka di area luka operasi (5)
8. Menggunakan teknik steril 4. Pasien tampak menghabiskan
dalam membersihkan luka diet yang diberikan (5)
9. Memonitor luka post operasi, A : masalah teratasi sebagian
kemerahan, pembekakan, dan
cairan atau pengeluaran luka P:
10. Memonitor proses
penyembuhan luka 1. Intervensi dihentikan karena
11. Menganjurkaan pasien untuk pasien boleh pulang dan
intake nutrisi diet adekuat kontrol ke poli bedah hari
senin

E. Evidence Based Nursing : Pemberian Terapi Chewing Gum untuk

meningkat Peristaltik Pasien Post laparatomi

Terapi Chewing gum dipilih untuk dijadikan evidence based nursing

dengan tujuan untuk menignkatkan peristaltik usus pasien post laparatomi.

Terapi Chewing gum diberikan pada pasien setelah operasi pada tanggal 5

Maret sampai 11 Maret 2020 di ruang Bedah Pria RSUP. DR.M. Djamil

padang. Terapi ini diberikan selama 5 menit dan diulangi setiap 4 jam.

Prosedur pelaksanaan terapi chewing gum dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

a. Pra interaksi dan orientasi


a) Persiapan petugas

1) Pastikan dan identifikasi kebutuhan pasien yang akan dilakukan

tindakan

2) cuci tangan

b) Persiapan pasien

1) Pasien rileks dan nyaman dengan tanda-tanda vital dalam batas

normal

2) Jaga privasi dan siapkan lingkungan aman serta nyaman

c) Persiapan alat

Permen karet bebas bebas gula Lotte Chewing Gum Sugar

Free Xylitol, alat tulis, lembar persetujuan, bengkok, lembar

balik,dan tisu.

d) Salam terapeutik

1) Memperkenalkan diri dan identifikasi pasien

2) Menjelaskan tujuan tindakan, prosedur tindakan dan kontrak

waktu

3) Mengisi lembar persetujuan

b. Fase Kerja

1. Menganjurkan pasien untuk mengambil posisi yang nyaman

2. Kaji peristaltik sebelum pemberian implementasi dengan cara

auskultasi bising usus pasien dengan stetoskop, lalu catat frekuensi

bising usus pasien

3. Memberikan permen karet pada klien, permen karet bebas gula

Lotte Chewing Gum Sugar Free Xylitol Fresh Mint 1 butir


4. Lakukan intervensi mengunyah permen karet selama 5 menit setiap

4 jam sekali terhitung sejak pasien sadar sekitar 4 jam pertama

post operasi,

 Mengunyah permen karet yang pertama yaitu 4 jam setelah

operasi, pasien di minta untuk mengunyah permen karet

selama 5 menit lalu berhenti

 Mengunyah permen karet yang kedua yaitu 8 jam setelah

operasi, pasien di minta untuk mengunyah permen karet

selama 5 menit lalu berhenti

 Mengunyah permen karet yang ketiga yaitu 12 jam setelah

operasi, pasien di minta untuk mengunyah permen karet

selama 5 menit lalu berhenti

 Mengunyah permen karet yang keempat yaitu 16 jam setelah

operasi, pasien di minta untuk mengunyah permen karet

selama 5 menit lalu berhenti

5. Kaji ulang bising usus pasien setiap setelah mengunyah permen

karet selama 5 menit dengan cara asukultasi dengan stetoskop, lalu

catat frekuensi bising usus

6. Intervensi selesai dilaksanakan setelah pasien flatus pertama kali

dan buang air besar untuk pertama kali

c. Terminasi

a) Menanyakan perasaan pasien setelah dilakukan intervensi

b) Mengucapkan salam

c) Mendokumentasikan tindakan
F. Evaluasi EBN

Setelah dilakukan pemberian terapi Chewing gum terjadi peningkataan

peristaltik usus pasien. Peristaltik usus pasien awalnya dari 4x/menit menjadi

6x/menit dalam satu kali pemberian dan hal-hal yang tidak diinginkan seperti

ileus post operasi dapat dihindari. Peristaltik usus semakin meningkat dari

hari kehari dari 6x/menit pada tanggal 5 Maret 2020 menjadi 17x/menit pada

tanggal 11 Maret 2020. Hasil dari implementasi dapat dilihat pada tabel

dibawah:

1. Evaluasi jumlah peristaltik usus pasien kelolaan (tabel 3.4)

Hari dan tgl Jam setelah Jumlah Intervensi


operasi peristaltik
Kamis, 4 jam - -
5 Maret 2020
8 jam 4 x/mnt Terapi Chewing
gum, mobilisasi
ROM pasif, (belum
flatus)
12 jam 6 x/mnt Terapi Chewing
gum, mobilisasi
ROM pasif, (belum
flatus)
14 jam - Flatus
16 jam - -
20 jam - -
Jum’at, 9 x/mnt Diet air putih 1
6 Maret 2020 sendok makan,
mobilisasi ROM
Aktif
Sabtu, 10 x/mnt Diet MC 6x25,
7 Maret 2020 mobilisasi miring
kiri miring kanan
Senin, 13 x/mnt Diet ML dan
9 Maret 2020 mobilisasi belajar
duduk diatas tempat
tidur dan berjuntai
Selasa, 15 x/mnt Diet ML dan
10 Maret 2020 mobilisasi berpindah
dari tempat tidur ke
kursi
Rabu, 17 x/mnt Diet makanan biasa
11 Maret 2020 dan mobilisasi
berjalan

2. Evaluasi jumlah peristaltik usus pasien kontrol (tabel 3.5)

Pasien kontrol Tn. W umur 34 tahun masuk ke rumah sakit M.

Djamil padang melalui igd tanggal 4 Maret 2020 dengan keluhan perut

terasa nyeri, mual (+), muntah (+) perut kembung, BAB tidak keluar

selama 3 hari. Saat dilakukan pengkajian, tampak ada luka operasi pada

tengah abdomen sepanjang 20 cm vertikal, terpasang drain di sebelah kiri

bawah abdomen. Pasien mengeluhkan perut terasa lapar karena sudah

puasa sejak sehari sebelum operasi, nyeri pada luka post operasi, skala 6,

nyeri sperti diiris dan tertusuk-tusuk, nyeri hilang timbul, nyeri terasa

makin hebat kalau bergerak

Pada pasien kontrol yang tidak diberikan intervensi Chewing gum,

peningkatan peristaltik usus pasien agak lambat yang dievaluasi dengan

lembar obeservasi pasien . Hasil evaluasi dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:

Hari dan tgl Jam setelah Jumlah Intervensi


operasi peristaltik
Jum’at, 4 jam - -
6 Maret 2020
8 jam 3 Mobilisai ROM
Pasif (Belum flatus)
12 jam 4 Mobilisai ROM
Pasif (Belum flatus)
16 jam - Belum flatus
20 jam - Flatus
Sabtu, 6 Diet air putih 1
7 Maret 2020 sendok makan dan
mobilisasi ROM
aktif
Senin, 9 Diet MC 6x25,
9 Maret 2020 mobilisasi duduk
ditempat tidur
Selasa, 10 Diet ML, mobilisasi
10 Maret 2020 duduk ditempat tidur
dan berjuntai
Rabu, 13 Diet ML, mobilisasi
11 Maret 2020 berpindah dari kasur
ke kursi
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Manajemen Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian keperawatan

Seorang pria, Tn.A, (57 Tahun), masuk melalui igd kiriman dari RS

Sentral Medika Muaro Bungo untuk melakukan pengobatan lanjutan ileus

obtruksi di RSUP DR. M. Djamil Padang pada tanggal 2 Maret 2020 pukul

20.10 WIB. Klien didiagnosa dengan ileus obstruksi yang merupakan suatu

keadaan dimana isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau

anus karena adanya sumbatan/hambatan mekanik yang disebabkan kelainan

dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan

vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen

usus tersebut (Guyton & Hall, 2008).

Tn. A (57 tahun) baru diketahui didiagnosa dengan ileus obstruksi,

sebelumnya klien pernah melakukan operasi bedah abdomen yaitu operasi

batu empedu. Obstruksi ileus dapat terjadi pada setiap usia,namun penyakit

ini sering dijumpai pada orang dewasa (Smeltzer, 2010). Penyebab ileus

obstruksi berkaitan pada kelompok usia dan letak obstruksi, 50% terjadi

pada kelompok usia pertengahan dan tua akibat perlekatan oleh

pembedahan sebelumnnya. Adhesi, tumor ganas dan volvulus merupakan

penyebab tersering obstruksi usus besar pada usia pertengahan dan orang

tua (Kasminata,et.al,2013).

Pasien masuk RSUP DR. M. DJAMIL Padang dengan keluhan nyeri

abdomen, perut kembung dan tidak buang air besar sejak 4 hari sebelum
masuk RS Sentral Medika, BAK (+), mual (-), muntah (+), dan tidak nafsu

makan. Pasien sudah 2 hari dirawat di RS Sentral Medika. Setelah dipasang

NGT, kembungnya berkurang dan pasien buang air besar satu hari sebelum

dirujuk ke RSUP. DR. M. DJAMIL Padang untuk perawatan lebih lanjut.

Manifestasi klinis yang dialami pasien tersebut sesuai dengan teori yang

dikemukakan oleh Saputra (2014), dimana tanda dan gejala ileus obstruksi

yang penting untuk diperhatikan adalah seperti, nyeri yang bersifat kram

pada abdomen, nausea, distensi abdomen, muntah empedu dengan

muntahan berwarna hijau, konstipasi, kenaikan suhu, bising usus disebelah

distal tidak terdengar namun bunyi usus bernada tinggi terdengar disebelah

proksimal obstruksi dan penurunan berat badan.

Berdasarkan data yang didapatkan bahwa klien memiliki kebiasaan

mengkonsmsi makanan rendah serat dan tinggi lemak dan kolesterol.

Menurut Mansjor (2012), penyakit ileus obstruksi sering terjadi pada

individu yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan rendah serat,

dari kebiasaan tersebut akan muncul permasalahan pada kurangnya

membentuk feses yang menyambung pada rangsangan peristaltik usus,

kemudian saat kemampuan peristaltik usus menurun maka akan terjadi

konstipasi yang mengarah pada feses yang mengeras dan mampu

menyumbat lumen usus sehingga menyebabkan terjadinya obstruksi.

Penatalaksanaan yang dilakukan pada klien dengan ileus obstruksi

yaitu pengobatan farmakologis, dan tindakan operatif. Klien menjalani

operasi laparatomi pada tanggal 4 Maret 2020. Laparatomi merupakan salah

satu prosedur pembedahan mayor dengan melakukan penyayatan pada


lapisan-lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian organ

abdomen yang mengalami masalah (hemoragia, perforasi, kanker, dan

obstruksi). Laparatomi dilakukan pada kasus-kasus digestif dan

kandungan.(Sjansuhidajat, 2010).

Saat dilakukan pengkajian pada klien tanggal 5 Maret 2020 post operasi

laparatomi atas indikasi ileus obstruksi, diruang Bedah Pria, klien mengeluh

tidak nafsu makan tapi merasa lapar dan belum flatus sejak selesai operasi.

Normalnya, selama tahap pemulihan segera setelah operasi, bising usus

terdengar lemah atau hilang di keempat kuadran. Kehilangan peristaltik

normal selama 24 sampai 48 jam, tergantung pada jenis dan lamanya

pembedahan karena anastesi memberikan hambatan terhadap rangsangan

saraf untuk terjadinya peristaltik sehingga memberikan beberapa dampak

antara lain seperti belum flatus, distensi abdomen (kembung atau nyeri),

bahkan ileus paralitik (Potter &Perry &, 2005). Perasaan kurang nyaman

pada perut juga akan menyebabkan anoreksia (nafsu makan menurun), jika

hal ini terjadi maka asupan nutrisi bagi pasien tidak tercukupi (Potter &

Perry, 2005).

Pasien juga mengeluh merasa nyeri pada perutnya dengan skala 5,

nyeri terasa berdenyut dan tertusuk-tusuk, nyeri terasa hilang timbul, nyeri

yang dirasakan membuat klien susah tidur dan nyeri makin terasa saat

pasien bergerak. Hasil pengkajian ini sesuai dengan teori menurut Potter &

Perry (2005), bahwa seseorang yang mengalami nyeri akan berdampak pada

aktivitas sehari-hari dan istirahat serta tidurnya.


Nyeri post operasi merupakan reaksi kompleks pada jaringan yang

terluka (Syamsuhidajat & Jong, 2010). Menurut Internasional Association

for study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional

sensoris yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual

maupun potensial atau menggambarkan terjadinya kerusakan (Potter &

Perry, 2010). Nyeri juga dapat menimbulkan respon fisik dan psikis. Respon

fisik meliputi keadaan umum, respon wajah dan perubahan tanda-tanda

vital, sedangkan respon psikis akibat nyeri dapat merangsang respon stress

sehingga menggurangi system imun dalam peradangan dan penghambat

penyembuhan (Potter & Perry, 2005)

Menurut Majid, Judha, dan Istianah (2011), salah satu hal penting

yang dilakukan ketika klien sudah mencapai ruang perawatan pasca operasi

adalah memantau keadaan klien, monitor tanda-tanda vital dan keadaan

umum klien, drainanse, tube, dan komplikasi. Pemeriksaan ini merupakan

pemeriksaan pertama yang dilakukan diruangan perawatan pasca bedah.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan, mukosa bibir klien kering, Vital sign

TD: 122/78 mmHg, N: 87x/mnt, P: 19x/mnt. Klien terpasang NGT dialirkan

tapi tidak ada keluaran. Pada abdomen terapat luka insisi post laparatomi

sepanjang 20 cm. Drainase berwarna merah keluaran 50 cc. Klien terpasang

kateter urin berwarna kuning.

Dalam menyelesaikan permasalahan pasien dengan post laparatomi

atas indikasi ileus obtruksi, dilakukan proses keperawatan berdasarkan

setiap tahapannya yaitu pengkajian, penegakan diagnosa keperawatan,

merencanakan asuhan keperawatan yang akan diberikan, melakukan


implementasi dan evaluasi hasil keperawatan. Pada tahap pengkajian telah

dilakukan pengkajian pada pasien dan data yang didapatkan mendukung

untuk menegakkan diagnosa keperawatan.

Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh American Nurse

Association (2000, dalam Luney, 2012). Diagnosa yang diangkat adalah

Disfungsi motilitas gastrointestinal bd tindakan pembedahan, nyeri akut

berhubungan dengan agen cidera fisik, dan resiko infeksi berhubungan

dengan efek prosedur invasive

2. Diagnose keperawatan

a) Disfungsi motilitas gastrointestinal berhubungan dengan

tindakan pembedahan

Keluhan merasa lapar tapi belum ada flatus dan BAB adalah

masalah yang dirasakan oleh pasien post laparotomi serta belum

kembalinya fungsi gastrointestinal merupakan masalah keperawatan

yang muncul akibat insisi bedah abdomen. Disfungsi motilitas

gastrointestinal dalah peningkatan, penurunan, ketidakefektifan atau

kurang aktifitas peristaltik didalam gastrointestinal dengan batasan

karakteristik diataranya: tidak ada kentut, adanya mual, muntah, distensi

abdomen, perut kram dan nyeri (NANDA, 2015). Data yang didapatkan

dari hasil pengkajian yang dilakukan yaitu: pasien belum ada flatus,

belum ada BAB, suara peristaltik usus masih lemah, jenis diet pasien

adalah makanan cair (6 x 25 ), terpasang IVFD Tutofusin 1500 cc/24

jam. Data laboratorium (total protein: 5,4 g/dl, albumin: 3,1 g/dl,

hemoglobin: 11,6 g/dl).


b) Nyeri akut

Nyeri akut merupakan pengalaman sensori dan emosionl yang

tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan actual atau

potensial atau yang digambarkan sebagai kerusakan (NANDA, 2015).

Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan klien mengeluh nyeri pada

abdomen luka post operasi, klien mengekspresikan perilaku seperti

gelisah, waspada, sikap melindungi area nyeri, melaporkan nyeri secara

verbal dan nyeri saat bergerak, klien merasakan nyeri pada perut seperti

berdenyut dan ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul, dan sulit untuk tidur

karnaa nyeri yang dirasakan

Saat dilakukan pengukuran nyeri dengan mengunakan rentang

skala nyeri NRS, klien menunjukkan skala nyeri 5, durasi nyeri terasa

hilang timbul, klien mengeluhkan susah tidur karna nyeri yang dirasakan,

klien tampak meringis menahan nyeri dan wajah klien tampak tegang.

Pengukuran vital sign pasien didapatkan TD: 122/78 mmHg, N: 87x/mnt,

P: 19x/mnt.

Menurut Tamsuri (2012), rasa nyeri muncul akibat respon psikis

dan refleks fisik. Kualitas rasa nyeri fisik dinyatakan sebagai nyeri

tusukan , nyeri terbakar, rasa sakit, denyutan sensasi tajam, rasa mual dan

kram. Rasa nyeri menimbulkan gejala yang dapat dikenali, peningkatan

system saraf simpatis timbul sebagai respon terhadap nyeri dan dapat

mengakibatkan perubahan tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, dan

warna kulit.Serangan mual, muntah, dan keringat berlebihan juga sangat

sering terjadi.
c) Resiko infeksi

Resiko infeksi berhubungan dengan Efek prosedur invasif. Menurut

NANDA, (2015), resiko infeksi adalah meningkatnya resiko terinvasi

oleh organisme pathogen. Adanya prosedur invasive, kurangnya

pengetahuan klien unntuk menghindari paparan phatogen, tidak

adekuatnya pertahanan tubuh primer karena kerusakan integritas kulit,

dan kurangnya asupan makanan yang dibutuhkan dapat menjadi resiko

infeksi pada klien (Moorhead, 2008).

Menurut Smeltzer & Bare (2011), Klien yang mengalami luka

bedah akan beresiko terkena infeksi sebesar 10-15% bila tidak dilakukan

pencegahan terhadap kejadian infeksi secara efektif dan efisien.

Berdasarkan data dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan klien memiliki

luka insisi post operasi laparatomi pada abdomen klien sepanjang 20 cm,

dan terdapat drain pada abdomen sebelah kiri pasien dengan pengeluaran

berwarna sekitar 50 cc, hasil laboratorium leukosit meningkat yaitu:

6490 /mm3

d) Ansietas

Ansietas adalah kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu

terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya

yang memunginkan individu melakukan tindakan untuk menghadapi

ancaman (Nanda 2015). Batasan karakteristiknya pasien merasa bingung,

merasa khawatir akibat dari kondisi yang dihadapi, sulit berkonsentrasi,

tampak gelisah, tegang dan sulit tidur. Data yang didapatkan dari hasil
pengkajian pasien tampak cemas, tegang dan mengatakan enggan untuk

bergerak karena takut lukanya akan terbuka.

3. Intervensi keperawatan

Menurut Smeltzer & Bare (2010), pada saat merumuskan intervensi

keperawatan terdapat beberapa kriteria yang harus diperhatikan oleh perawat

terkait proses perencanaan, yaitu memakai kata kerja yang tepat, dan bersifat

spesifik yaitu didalamnya harus jelas tentang apa yang dilakukan, siapa yang

melakukan, dimana hal tersebut dilakukan, bagaimana cara melakukan dan

seberapa sering hal tersebut dilakukan.

Masalah keperawatan pertama yang diangkat pada klien adalah

disfungsi motilitas gastrointestinal berhubungan dengan tindakan

pembedahan, Tujuan yang ingin dicapai setelah dilakukan intervensi

keperawatan pada klien diantaranya adalah fungsi gastrointestinal, status

nutrisi terkait intake nutrisi dan cairan, (NOC, 2013). Untuk mencapai hasil

intervensi keperawatan yang diharapkan, berdasarkan NIC yang dapat

dilakukan pada klien adalah manajemen usus, penahapan diet, monitoring

nutrisi, pemberian terapi Chewing gum. Intervenisi tersebut dipilih sesuai

dengan kondisi dan kebutuhan pasien.

Masalah keperawatan yang kedua adalah nyeri akut berhubungan

dengan agen cidera fisik (operasi pembedahan). Tujuan yang ingin dicapai

adalah nyeri yang dialami berada pada skala nyeri ringan. Melaporkan nyeri

terkontrol, level nyeri menurun, klien dapat beristirahat dengan nyaman.

Intervensi keperawatan berdasarkan NIC yang dapat dilakukan pada klien


adalah manajemen nyeri, pemberian analgetik, terapi relaksasi

nonfarmakologi, monitor tanda-tanda vital dan latihan mobilisasi.

Masalah keperawatan yang ketiga yaitu resiko infeksi berhubungan

dengan tindakan invasive. Tujuan yang ingin dicapai setelah dilakukan

intervensi keperawatan pada klien diantaranya adalah resiko infeksi dapat

terkendali, pengetahuan: kontrol infeksi meningkat, penyembuhan luka baik

(NOC, 2013). Untuk mencapai hasil intervensi keperawatan yang

diharapkan, berdasarkan NIC yang dapat dilakukan pada klien adalah kontrol

resiko: proses infeksi, perlindungan infeksi, perawatan luka insisi.

Masalah keperawatan keempat yaitu ansietas berhubungan dengan

perubahan status kesehatan.Tujuan yang ingin dicapai setelah dilakukan

intervensi kecemasan yang dialami pasien menurun dan tidak ada masalah

dengan tidur pasien.Untuk mencapai tujuan yang diinginkan berdasarkan

NIC yang dapat dilakukan adalah menurunkan tingkat kecemasan dan

memberikan teknik yang menengkan yang dapat membuat pasien rileks dan

tenang.

4. Implementasi keperawatan

Implementasi keperawatan yang dilakukan mengacu pada intervensi

yang telah dilakukan. Untuk masalah disfungsi motilitas gastrointestinal

berhubungan dengan tindakan pembedahan, implementasi yang dilakukan

adalah melakukan penahapan diet, pemberian nutrisi tergantung dengan

kondisi klien, status nutrisi, serta indikasi pemberian terapi chewing Gum

untuk menigkatkan peristaltik usus pasien, dan memonitor pola eliminasi.


Mengunyah permen karet telah dipelajari selama satu dekade

terakhir sebagai bentuk pemberian makanan palsu untuk merangsang

pemulihan peristaltik usus setelah operasi. Pemberian terapi chewing gum

ini lebih baik di lakukan segera setelah pasien pasien sadar dari operasi agar

tidak terjadi masalah seperti ileus post operasi (Zeleníková, R. et al, 2013).

Terapi chewing gum ini dilakukan setelah pasien sadar setelah

operasi dan pasien kooperatif dalam mengikuti arahan petugas kesehatan

yaitu sekitar 4 jam setelah operasi. Sebelum terapi dilakukan, terlebih

dahulu di kaji bising usus pasien dan dokumentasikan hasil pengkajian.

Terapi Chewing Gum dilakukan setiap 4 jam selama 5 menit dan kaji ulang

bising usus pasien setelah pemberian terapi. Setelah itu minta keluarga

untuk mencatat kapan waktu flatus petama dan waktu BAB pertama

dilembar obesrvasi pasien. Mulanya bising usus pasien sebelum dilakukan

intervensi adalah 4 x/menit, setelah dilakukan intervensi pertama menjadi 6

x/menit dan pasien sudah flatus pada pemberian terapi yang kedua yaitu

dalam waktu 14 jam setelah operasi. Sedangkan pada pasien kontrol yang

tidak dilakukan intervensi, peningkatan peristaltik usus terjadi agak lambat

dan tidak signifikan yaitu pada 8 jam setelah operasi bising usus pasien

adalah 3 x/menit, 12 jam setelah operasi menjadi 4 x/menit dan baru flatus

dalam waktu 20 jam setelah operasi. Hal ini menunjukan kalau pemberian

terapi Chewing Gum lebih efektif untuk meningkatkan peristaltik dari pada

tidak diberikan terapi chewing gum.

Hasil ini sesuai dengan penelitian Andi Herman tahun 2019 bahwa

pasien yang dilakukan intervensi terapi Chewing gum peningkatan


peristaltiknya lebih baik dari pada pasien kontrol dimana peningkatan

peristaltik usus pasien sebesar 5,139 kali dan untuk pasien kontrol sebesar

2,917 kali dan waktu flatus pertama pasien kelolaan lebih capat 3 jam 26

menit dari pada kelompok kontrol. Penelitian ini mendukung penelitian Lee,

Hsieh, Cheng, & Lin (2016), tentang pengaruh chewing gum xylitol

terhadap meningkatkan peristaltik usus yang mengatakan bahwa permen

karet meningkatkan kembalinya aktivitas usus, yang diukur dengan

munculnya suara usus dan flatus. Penelitian ini juga mendukung penelitian

(Jakkaew & Charoenkwan, 2013) yang menyatakan bahwa mengunyah

permen berhubungan dengan pemulihan fungsi usus yang lebih cepat.

Mengunyah permen karet telah dikatakan sebagai sebuah cara baru

dan sederhana untuk mengurangi dan mencegah ileus post operasi. Hal ini

beraksi dengan menstimulasi motilitas intestinal melalui refleks sefalik

vagal dan dengan meningkatkan produksi hormon-hormon gastrointestinal

yang berkaitan dengan motilitas usus (Li et al., 2013)

Aktifitas mengunyah (mastikasi) tidak hanya melibatkan gigi tetapi

juga jaringan periodontal, yang terdiri dari dua jaringan lunak, gusi dan

ligamentum periodontal, dan dua jaringan kapur, sementum gigi dan tulang

alveolar. Pergerakan rahang seperlunya membutuhkan aktifitas otot- otot

mastikasi dan sendi temporomandibular. Akibatnya, apabila proses

mastikasi menstimulasi motilitas usus seperti meningkatnya sekresi gaster,

beberapa bagian dari struktur oral dapat pula dilibatkan oleh aktifitas

motorik (Mochtar, 1998).

Mengunyah permen karet dapat menyebabkan stimulus mekanis dan


kimiawi yang dapat merangsang peningkatan sekresi saliva, kecepatan

aliran, menurunkan viskositas, dan menaikkan pH. Pengunyahan permen

karet selama 5 menit dengan frekuensi mengunyah 30-32 kali mampu

meningkatkan sekresi saliva secara kuantitas maupun kuanlitas.

Meningkatnya sekresi saliva menyebabkan meningkatkan volume dan

mengencerkan saliva yang diperlukan untuk proses penelanan dan lubrikasi.

Penigkatan sekresi saliva juga meningkatkan jumlah dan susunan saliva,

seperti bikarbonat yang dapat meningkatkan pH (Rodian et al., 2011).

Berdasarkan data dari penelitian tentang mengunyah permen karet

yaitu systematic review dari 17 penelitian acak terkontrol yang dilakukan

oleh Shan Li tahun 2013 memperlihatkan bahwa terdapat enam penelitian

yang menggunakan waktu mengunyah selama satu jam dengan intensitas

sebanyak tiga kali sehari, satu penelitian dengan waktu 45 menit tiga kali

sehari, empat penelitian selama 30 menit tiga kali sehari, satu penelitian

selama 15 menit empat kali sehari, satu penelitian selama lima menit empat

kali sehari, satu penelitian selama 15 menit setiap dua jam, satu penelitian

selama lebih dari lima menit tiga kali sehari, sedang dua penelitian sisanya

tidak dilaporkan (Li et al., 2013).

Dari data tersebut, belum ada standarisasi lama waktu yang

digunakan untuk menguyah permen karet dan jumlah mengunyah untuk

mempercepat pemulihan fungsi gastrointestinal normal pasca operasi

abdomen. Rentang lama waktu mengunyah yang digunakan penelitian–

penelitian sebelumnya yaitu antara lima menit sampai dengan satu jam

dengan intensitas berbeda-beda sesuai dengan pertimbangan dari peneliti


sendiri. Dalam penelitian ini, ditenentukan waktu dan frekuensi mengunyah

permen karet dengan membuat jadwal mengunyah permen karet yaitu

mengunyah permen karet setiap empat jam dimulai dari 8 jam post

laparatomi. Hal ini juga membuat penelitian tentang chewing gum memilki

beberapa perbedaan dengan penelitian yang lainnya yaitu mulai dari jumlah

waktu mengunyah, waktu memulai terapi dan juga jumlah responden yang

digunakan dalam menentukan hasil penelitian tentang mengunyah permen

karet .

Mengunyah permen karet pada pasien post laparatomi adalah terapi

non- farmakalogi yang dapat digunakan untuk meningkatkan peristaltik

usus dan ditoleransi dengan baik serta aman pada pasien laparatomi (Abd-

el-maeboud et al., 2009). Hal ini sejalan dengan penelitian (Shang et al.,

2010), mengunyah permen karet adalah metode yang murah, praktis, dan

fisiologis dalam meningkatkan pemulihan fungsi usus dan mudah

ditoleransi tanpa komplikasi. Dalam studi yang dilakukan Hasan Kafali

(2010) dengan 150 responden, Suara usus muncul dalam durasi waktu yang

lebih singkat secara signifikan dalam kelompok studi, mean menjadi 5,9

jam dibandingkan dengan 6,7 jam pada kelompok kontrol. Penelitian juga

serupa yang dilakukan oleh Edna et al. (2016), intervensi Permen karet

yang ditoleransi dengan baik yang dapat meningkatkan pemulihan awal

fungsi usus post operasi laparatomi. (Hochner et al.2015), memperoleh

hasil yang serupa dalam studi meta-analisis yang dilakukan, mengunyah

permen karet post laparatomi merupakan intervensi

noninvasif/nonfarmakologis untuk reaktivasi gerakan usus. Mengunyah


permen karet pada periode pasca operasi segera setelah laparatomi dapat

mengurangi komplikasi gastrointestinal dan dapat mengembalikan fungsi

gastrointestinal lebih cepat.

Dari hasil penelitian ini bahwa peristaltik usus dan waktu flatus

pertama pada kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi

berdasarkan SOP Rumah Sakit (intervensi mobilisasi dini dilakukan 8 jam

pos operasi) hasil rerata peningkatan peristaltik usus lebih rendah dan waktu

flatus pertama terbilang lama hal ini disebabkan karena responden masih

dibawah pengaruh anestesi dan masih mengalami ileus paralitik. Sedangkan

pada responden kelompok intervensi yang diberikan tindakan terapi

chewing gum, hasilnya adalah responden mengalami peningkatan peristaltik

usus lehih tinggi, ini berarti chewing gum dapat menstimulasi motilitas

intestinal melalui refleks sefalik vagal dan meningkatkan produksi hormon-

hormon gastrointestinal yang dapat mempercepat pemulihan peristaltik usus

sehingga pasien bisa lebih cepat pulih dari pengaruh anestesi dan keadaan

ileus paralitik serta waktu flatus lebih cepat. Selain itu intervensi chewing

gum akan sangat bermanfaat dalam proses pemulihan pasien, dimana intake

oral akan menjadi adekuat, sehingga bermanfaat positif terhadap

terpenuhinya kebutuhan nutrisi pasien sekaligus akan membantu

mempercepat proses pemulihannya. Hal ini akan berimplikasi langsung

terhadap penurunan waktu rawat inap serta penurunan biaya Rumah Sakit.

Selain itu, strategi dukungan disfungsi gastrointestinal tergantung

dari masalah yang dihadapi. Implementasi yang dilakukan yaitu memonitor

adanya mual dan muntah, memonitor bising usus, memonitor nilai albumin,
total protein, hemoglobin dan hematokrit, memonitor keluaran feses,

kosistensi, bentuk, volume, frekuensi dan warna dari feses tersebut.

Memonitor menu makanan dan pilihannya, memonitor nutrisi dari klien.

Terapi nutrisi yang didapatkan klien adalah untuk hari pertama post operasi

klien mendapaat diit air putih satu sendok makan perjam. Untuk hari kedua

dan selanjutnya klien mendapat diet makanan cair 6 X 25 kkal. Jika tidak

ada masalah diet akan di tingkatkan ke makanan lunak dan makanan berat.

Implementasi yang dilakukan selanjutnya yaitu berkolaborasi untuk

pengecekan darah diantaranya pengecekan albumin. Albumin adalah

indikator status gizi. Albumin dalam peredaran darah merupakan penentu

utama tekanan onkotik plasma darah. Akibatnya penurunan konsentrasi

albumin dalam sirkulasi menyebabkan pergeseran cairan dari ruang

intravascular keruang ekstravaskuler. Beberapa mekanisme berbeda dapat

menyebabkan penurunan kadar albumin. Yang tersering adalah penurunan

produksi albumin yang disintesis dihati. Agar sel-sel hati normal dapat

membentuk dan mengeluarkan albumin dalam jumlah besar, maka asupan

protein makanan serta zat-zat gizi esensial lainnya harus cukup (Sacher &

McPherson,2004, dalam Herlina, 2014). Kadar albumin pasien berada

dibawah nilai normal yaitu, 3,1 mg/dl. Implementasi yang dilakukan adalah

melakukan pemantauan terkait kadar albumin serum dan total protein,

mengkaji adanya edema perifer yang mengindikasikan terjadinya

hipoalbuminemia.

Implementasi yang dilakukan untuk mengatasi nyeri pasien adalah

melakukan manajemen nyeri dengan mengkaji nyeri pasien secara


komprehensif, monitor tanda-tanda vital, mengobservasi reaksi non verbal

terhadap ketidaknyamanan, menentukan dampak nyeri terhadap kehidupan

sehari-hari, membantu pasien untuk mengurangi nyeri dengan teknik non

famakologi tarik napas dalam dan mendengarkan musik, menganjurkan

pasien untuk istirahat atau tidur yang adekuat dan latihan mobilisasi dini.

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur nyeri adalah skala NRS.

Berkolaborasi dalam pemberian terapi analgesic untuk mengurangi nyeri

yaitu Ketorolac 3 x 30 mg melalui intravena yang di drip dalam Tutofusin

500cc. Pada pasien post operasi intervensi yang digunakan untuk

menghilangkan nyeri adalah menggunakan teknik relaksasi napas dalam dan

terapi musik.

Penatalaksanaan yang tepat dapat menentukan keberhasilan dalam

pemberian manajemen nyeri. Menurut Smeltzer & Bare, (2012) kolaborasi

antara manajemen nyeri secara farmakologi dan nonfarmakologi yang

adekuat diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. Pada pasien post operasi

akan mengeluhkan nyeri dikarena kerusakan dalam kontinuitas jaringan

setelah pembedahan. Sehingga perlu penanganan yang tepat agar tidak

terjadi komplikasi.

Selain teknik relaksasi napas dalam dan mendengarkan musik,

latihan mobilisasi dini juga diberikan kepada pasien dengan menganjurkan

pasien untuk mobilisasi diatas tempat tidur dengan melakukan ROM pasif

pada 8 jam post operasi dan diulangi pada 12 jam setelah operasi. Hari

selanjutnya membantu pasien untuk melakukan ROM aktif, miring kiri dan
miring kanan, duduk di atas tempat tidur, meminta pasien untuk duduk

disamping tempat tidur dan latihan berjalan disekitar tempat tidur pasien.

Untuk masalah ketiga yaitu resiko infeksi berhubungan dengan

tindakan invasive. Implementasi yang dilakukan adalah menjelaskan

prosedur perawatan pada pasien, memeriksa daerah sayatan terhadap

kemerahan, bengkak, atau tanda-tanda infeksi, mencatat karakteristik

drainase, membersihkan daerah sekitar luka dan sekitar slang drainase

dengan teknik steril, menjaga posisi selang drainase, melepaskan jahitan,

slep, drain, sesuai indikasi, mengajarkan pasien untuk mengatur posisi untuk

meminimalkan tekanan didaerah insisi, memonitor adanya tanda dan gejala

infeksi sistemik dan local, membatasi jumlah pengunjung, mempertahankan

teknik asepsis, menganjurkan istirahat, menganjurkan peningkatan

mobilisasi dan latihan, Anjurkan pasien dan keluarga cara mencegah infeksi

(dengan cuci tangan). Untuk terapi farmakologi klien mendapat ceftriaxone

2 x1 gr, Ranitidin 2x1 amp, Vit. K 3x1 amp

Ceftriaxon adalah salah satu antibiotik profilaksis. Antibiotik

profilaksis pasien yang menjalani pembedahan sebelum adanya infeksi,

tujuannya ialah untuk mencegah terjadinya infeksi akibat tindakan

pembedahan yaitu infeksi luka operasi. Pasien yang mengalami luka bedah

akan beresiko terkena infeksi sebesar 10% sampai 15% bila tidak dilakukan

pencegahan terhadap kejadian infeksi secara efektif dan efisien (Smeltzert &

Bare, 2010). Selain itu mekanisme kerja ceftriaxon menghambat

pembentukan dinding sel bakteri (Mediskus, 2017). Metronidazole adalah

antibakteri dan antiprotozoa sintetik derivat nitroimidazoi yang mempunyai


aktifitas bakterisid, amebisid dan trikomonosid.Dalam sel atau

mikroorganisme metronidazole mengalami reduksi menjadi produk polar.

Hasil reduksi ini mempunyai aksi antibakteri dengan jalan menghambat

sintesa asam nukleat dengan menghentikan pertumbuhan bakteri dan

protozoa (Dexamedica, 2017).

Pada kasus ini pasien mendapatkan kombinasi keduanya yaitu

ceftriaxone dan metronidazole. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan

hasil dalam memberikan pertahanan tubuh pada pasien post operasi. Hal

tersebut sejalan menurut penelitian Anand (2011) yang meneliti sejumlah

1.084 rekam medik pasien yang menjalani histerektomi vaginal atau

abdominal,laparoskopi, laparotomi, atau cesarean section elektif/emergensi

dikumpulkan dari bulan Juni 2010 sampai Desember 2010. Dan didapatkan

hasil pemberian cefriaxone dengan metronidazole lebih efektif dibandingkan

ciprofloxacin-metronidazole dalam mengontrol infeksi pada luka operasi

pada pembedahan. Selain itu pendapat serupa juga di sampaikan oleh

Sjamsuhidajat (2010) yang menyatakan bahwa pemberian kombinasi

antibiotik berupa ceftriaxone dan metronidazole dapat memberikan hasil

yang lebih efektif.

Implementasi yang dilakukan untuk mengatasi masalah ansietas

adalah Menggunakan pendekatan yang menenengkan, memeberikan

penjelasan terkait prosedur yang akan dilakukan, mengidentfiasi perubahan

tingkat kecemasan, membantu pasien mengenali situasi yang dapat

menimbukan kecemasan, dan mengajarkan pasien teknik relaksasi tarik

nafas dalam. Selain itu menurunkan skala nyeri pada pasien diharapakan
dapat menurunkan tingkat kecemasan pada pasien. Dengan melakukan

teknik relaksasi napas dalam dan mendengarkan musik sebagai salah satu

manajemen nyeri, diharapankan manajemen ini tidak hanya untuk

menurunkan nyeri tapi juga kecemasan pada pasien. Setelah mendengarkan

musik, pasien mengatakan nyeri dan cemas menjadi berkurang karena

terjadi pengalihan rasa cemas ke mendengarkan music yang membuat pasien

menjadi lebih relaks

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, namun

bukan berarti akhir dari proses karena informasi digunakan untuk memulai

siklus yang baru. Setelah mengimplementasikan asuhan keperawatan,

perawat membandingkan respon pasien terhadap kriteria hasil yang telah

direncanakan dan menggunakan informasi ini untuk melakukan kajian ulang

asuhan keperawatan jika tujuan belum tercapai (Asmadi, 2008).

Diagnosa post operasi yang pertama yaitu disfungsi motilitas

gastrointestinal, masalah dapat teratasi setelah dilakukan pemberian terapi

Chewing gum untuk meningkatkan peristaltik usus pasien. Bising usus

pasien sebelum dilakukan intevensi adalah 4 x/menit dan semakin

meningkat setelah dilakukan intevensi menjadi 17 x/menit pada hari rawatan

terakhir. Masalah-masalah yang harus diwaspada setelah operasipun dapat

dihindari. Masalah teratasi diiringi juga dengan kemampuan pasien untuk

BAB, flatus, dan mampu mengkonsumsi makanan. Waktu flatus pertama

pasien yaitu 2 jam setelah pemeberian terapi Chewing gum yang kedua.

Waktu BAB pertama pasien yaitu 1 jam setelah flatus pertama. Selama
perawatan pasien sudah sering kentut dan BAB biasanya satu kali sehari

dengan kosistensi lunak berampas.

Hasil evaluasi lainnya yaitu nutrisi yang didapatkan oleh pasien

diawal rawatan adalah air putih satu sendok perjam. Hari ketiga rawatan MC

6 x 25 melalui enteral dan diet terus ditingkatkan sampai akhirnya pasien

diperbolehkan memakan makanan lunak biasa. Mual muntah tidak ada,

distensi abdomen tidak ada, NGT klien sudah dibuka, dan tidak ada infeksi

pada luka pasien. Awalnya kadar albumin pasien 3,1 g/dl, dan pada hari ke

tujuh rawatan kadar albumin pasien yaitu 4,4 g/dl dengan demikian, kriteria

hasil pada diagnose ini berarti sudah tercapai yaitu fungsi gastrointestinal

dan eliminasi usus.

Untuk masalah keperawatan yang kedua yaitu: nyeri akut, berdasarkan

hasil implementasi yang telah dilakukan, didapatkan nyeri yang dirasakan

pasien berkurang setelah dilakukan manajemen nyeri dengan teknik

relaksasi napas dalam dan mendengarkan musik. Untuk diagnosa

keperawatan nyeri akut masalah dapat teratasi dibuktikan skala nyeri pasien

pada saat pertama kali pengkajian sebelum dilakukan terapi adalah skala 5,

sedangkan pada evaluasi akhir nyeri pasien berkurang menjadi skala nyeri

ringan yaitu 2.

Diagnose ketiga post operasi yaitu resiko infeksi, masalah dapat

tertasi dengan pemberian beberapa implementasi yang ditandai dengan

kondisi luka yang baik seperti tidak adanya pus, tidak ada kemerahan.

Untuk masalah keperawatan ansietas masalah terasi dengan terjadi

penurunan kecemasan. Selain itu pasien sudah mengerti dengan perawatan


yang dilakukan di rumah sakit dan pasien patuh dengan prosedur

perawatannya.

B. Asuhan Evidence Based Nursing

Asuhan keperawatan yang diterapkan pada kasus ini adalah

menerapkan EBN pemberian Terapi Chewing gum untuk meningkatkan

peristatik usus pada pasien postoperasi laparatomi. Pasca pembedahan pasien

merasakan lapar tapi belum ada flatus dan BAB sejak selesai operasi atau

sekitar 7 jam setelah operasi. Pasien juga terpasang NGT untuk menghindadri

masalah Ileus post operasi abdomen. Salah satu upaya untuk menghindari

masalah ileus post operasi adalah dengan cara pemberian terapi Chewing Gum

atau mengunyah permen karet. Mortimor Lorber (2012) menyatakan bahwa

aktifitas mengunyah (mastikasi) banyak melibatkan organ dan jaringan.

Akibatnya, apabila terjadi proses mastikasi, motilitas gastrointestinal

terstimulasi seperti meningkatnya sekresi gaster dan hormon-hormon

gastrointestinal lainnya. Kembalinya fungsi gastrointestinal, di tandai dengan

pergerakan usus, flatus, defekasi, dan timbulnya rasa lapar. Ketika timbul

flatus yang pertama, merupakan tanda yang menunjukkan kembalinya fungsi

sistem pencernaan (Ledari FM, 2013).

Menurut Wafaa (2013) mengatakan bahwa terapi Chewing Gum atau

mengunyah permen karet adalah metode fisiologis, aman dan efektif untuk

mengurangi waktu tunngu kembalinya peristaltik usus pasca operasi

laparatomi. Abd. El Maeboud dalam penelitiannya pada tahun 2013

mengungkapkan bahwa mengunyah permen karet itu aman, dapat ditoleransi

dengan baik, dan berhubungan dengan pengembalian motilitas gastrointestinal,


pengurangan waktu hospitalisasi, dan kemungkinan besar berpengaruh dalam

penurunan biaya pelayanan kesehatan total apabila dilaksanakan secara rutin.

Farideh M Ledari dalam penelitiannya pada tahun 2012 juga menemukan

bahwa rata-rata interval postoperatif dari bunyi bising usus pertama,

munculnya rasa lapar pertama kali, timbulnya flatus pertama, dan defekasi

pertama pada pasien secara signifikan memendek pada kelompok yang

diberikan perlakuan mengunyah permen karet apabila dibandingkan dengan

kelompok kontrol.

Penerapan evidence based nursing pada pasien pasca operasi didahului

dengan mengkaji pasien sesuai dengan kkriteria inklusi yang telah ditetapkan

lalu mengkaji peristaltik usus pasien setelah operasi, jika memenuhi syarat

untuk dilakukan intervensi, maka implementasi terapi Chewing gum akan

dilaksanakan

Pemberian terapi Chewing gum dilakukan setelah pasien sadar dari

pengaruh anastesi dan mampu mendengarkan petunjuk yaitu sekitar 4 jam

setelah operasi. Kemudian terapi permen karet akan dikunyah setiap 4 jam

sekali dengan durasi waktu 5 menit dan setelah itu kaji ulang peristaaltik usus

pasien. Intervensi dihentikan jika psaien sudah flatus atau BAB pertama kali.

Kemudian peristaltik usus akan di evaluasi apakah meningkat atau tidak.

Terapi Chewing Gum atau mengunyah permen karet terbukti effektif,

tidak mengeluarkan biaya yang mahal serta memiliki resiko yang rendah .

Metode ini juga aman dan sehat secara fisiologi untuk digunakan dalam

pemulihan fungsi usus. Evaluasi dilakukan setelah pemberian terapi Chewing


gum dan didapatkan hasil peristaltik usus meningkat serta waktu flatus yang

cepat.
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Manajemen Asuhan Keperawatan

Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dijelaskan pada bab

sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan:

a. Hasil pengkajian kasus Tn. A dapat didokumentasikan secara

komprehensif dengan pengkajian fisik serta pengkajian 11 pola fungsional

Gordon yang dilakukan secara komprehensif.

b. Berdasarkan kasus Pasien didapatkan 4 diagnosa keperawatan berbasis

Nursing diagnosis (NANDA) yang harus ditangani oleh perawat

berdasarkan data pengkajian. Diagnosis keperawatan tersebut meliputi:

disfungsi motilitas gastrointestinal , nyeri akut, resiko infeksi dan ansietas.

c. Berdasarkan diagnosis yang telah ditentukan beberapa kriteria hasil yang

ingin dicapai perawat meliputi: fungsi gastrointestinal, eleminasi usus,

level nyeri, kontrol nyeri, mobility, penyembuhan luka primer, kontrol

faktor resiko infeksi, status nutrsi, intake nutrisi, level agitasi, kontrol

kecemasan.

d. Beberapa NIC yang telah direncanakan yaitu: manajemen usus, tahapan

diet, manajemen nyeri, pemberian analgesic, monitor vital sign, latihan

ambulasi, perawatan luka, kontrol infeksi, manajemen pengobatan, terapi

nutrisi, kecemasan menurun dan teknik menenangkan.


e. Implementasi keperawatan yang dilakukan dari tanggal 5-11 Maret 2020,

implementasi yang dilakukan sesuai dengan perencanaan dengan hasil

implementasi dan evaluasinya sebagai berikut:

a) Diagnosa risiko disfungsi motilitas gastrointestinal teratasi, terdapat

peningkatan dari fungsi gastrointestinal seperti peningkatan bunyi dan

frekuensi peristaltik usus, mampu BAB, toleransi terhadap makanan,

terjadi peningkatan intake makanan, mual muntah tidak ada pada

pasien dan hasil labor juga tampak normal.

b) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (prosedur operasi):

masalah teratasi dengan adanya penurunan skala nyeri pasien dari

nyeri sedang ke nyeri ringan.

c) Resiko infeksi: masalah teratasi sebagian: luka pasien tampak kering

dan tidak ada tanda-tanda infeksi.

d) ansietas : masalah teratasi dengan pasien tampak lebih relaks dan

paham untuk mengikuti prosedur perawatan. Pasien juga sudah bisa

menerima kondisinya.

2. Evidence Based Nursing (EBN)

Penerapan EBN yang dilakukan dengan pemberian terapi Chewing Gum

dalam meningkatkan peristaltik usus pada pasien post laparatomi atas indikasi

ileus obstruksi selama 1 hari menunjukkan hasil peningkatan peristaltik usus

dari 4x/menit (sebelum intervensi) menjadi 6x/menit (sesudah intervensi)


B. SARAN

1. Bagi Profesi Keperawatan

Laporan ilmiah akhir ini diharapkan bisa menjadi bahan panduan

bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya dalam

menerapkan terapi Chewing Gum sebagai terapi untuk meningkatkan

peristaltik usus pada pasien post laparatomi.

2. Bagi rumah sakit

Laporan ilmiah akhir ini dapat menjadi alternatif dalam pemberian

asuhan keperawatan di RSUP Dr.M.Djamil Padang, dengan melaksanakan

terapi Chewing Gum untuk meningkatkan persitaltik usus pada pasien post

laparatomi.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi

pengembangan keilmuan Keperawatan Medikal Bedah II dalam

memberikan asuhan keperawatan pada pasien post laparatomi ai ileus

obstruksi.
DAFTAR PUSTAKA

Abd-el-maeboud, K. H. I., Ibrahim, M. I., Shalaby, D. A. A., & Fikry, M. F.,


2009. Chewing gum stimulates early return of bowel motility after
caesarean section, 1334–1339. https://doi.org/10.1111/j.1471-
0528.2009.02225.x

Andari, K. 2017. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Lab/UPF Ilmu Bedah. Rumah
Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. Surabaya

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: EGC.

Badash, Michelle. 2005. Paralytic Ileus (Adynamic Ileus, Non-mechanical Bowel


Obstruction). EBSCO Publishing.

Brunicardi, F. Charles, et al. Small Intestine and Colon, Rectum, Anus in


Schwartz’s Manual of Surgery 9 th Edition. Mc Graw Hill: United
State of America. 2010. Page 1907-1909, 1959-1960, 1891-1892,
1894-1896. Desember 2019)
Despopoulos, A., & Silbernagl, S., 2003. Color atlas of physiology. Thieme,.

Doherty Gerard. Small Intestine. In Current Diagnosis & Treatment: Surgery.


United States of America: Mc Graw Hill’s. 2005

Erda, R. (2017). Asuhan Keperawatan pada Ny. Y dengan Carsinoma recti Post
Kolostomi dengan Aplikasi Edukasi Terstruktur serta Discharge
Planning Pasien di Ruangan Bedah Wanita RSUP Dr. M. Djamil
Padang.Sumbar: Universitas Andalas

Ernawati, Suryani, Rahmawati, id.2014. Pengaruh Kembalinya Peristaltik Usus


Pada Pasien Post SC. Jurnal Ilmiah Kebidanan. Vol. 5.No. 1 hlm 111-
118. Akademi Kebidanan Graha Mandiri Cilacap.

FITZGERALD, J. E. F., AHMED, I. Systematic review and meta-analysis of


chewing-gum therapy in the reduction of postoperative paralytic ileus
following gastrointestinal surgery. World Journal of Surgery. 2009,
33(12), 2557-2566.

Guyton, A. C., & Hall, J. E., 2008. Metabolisme Karbohidrat Dan Pembentukan
Adenosin Tripospat dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC.
Hartoyo, Eko Puji (2015). Hubungan antara Karakteristik Demografi dengan
Pengetahuan Mobilisasi Dini pada Pasien Post Operasi Laparatomi di
RS PKU Muhammadiyah Bantul. Repository Universitas
Muhamadiyah Yogyakarta. Jogjakarta: PSIK UMY

Herlina, Santi. 2014. Analisis praktik Residensi keperawatan medical bedah pada
pasien dengan gangguan system perkemihan dengan penerapan teori
model konservasi Levine di RSUP Fatmawati Jakarta. (Karya Ilmiah
Akhir). Depok: Universitas Indonesia.

Himawan S. Gannguan Mekanik Usus (Obstruksi). Dalam: Patologi. Penerbit Staf


Pengajar bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: 2016; 204 – 6.

Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2010).Medical surgical nursing :


Patientcentred collaborative care. (6th ed. Vol 2). St.Louis, Missouri
: Sunders Elsevier

J.Corwin, Elizabeth.,2009. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran


EGC. Jakarta

Jakkaew, B., & Charoenkwan, K., 2013. Effects of chewing gum on recovery of
bowel function following cesarean section: a randomized controlled
trial. Archives of Gynecology and Obstetrics, 288(2), 255–260.

JOHNSON, M. D., WALSH, R. M. Current therapies to shorten postoperative


ileus. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2009, 76(11), 641-648.

Kartawijaya, Y. 2017. Hubungan antara Karakteristik Demografi dengan


Pengetahuan Mobilisasi Dini pada Pasien Post Operasi Laparatomi
di RS PKU Muhammadiyah Bantul.https://anzdoc.com/bab-i-
pendahuluan perubahan-fisiologis-tubuh-dan-mempengaruh.html
(Diakses pada 22 Maret 2020)
Kasminata,L., Dennison., Herman. H., 2013.Gambaran karakteristik penderita
ileus obstruksi rawat inap di RSUD. Raden Mahattaher Jambi. Jambi:
Universitas Jambi.

Kehlet, H., 2008. Postoperative ileus—an update on preventive techniques.


Nature Reviews Gastroenterology and Hepatology, 5(10), 552.

Khan AN., Howat J. Small-Bowel Obstruction. Last Updated: june4, 2012. In:
Http://www.yahoo.com/search/cache?/ileus_obstructif/Article:By:eM
edicine.com

Kusumayanti, Ni Luh Putu Devi (2014). Faktor-Faktor yang Berpengaruh


Terhadap Lamanya Perawatan pada Pasien Pasca Operasi Laparatomi
di Instalasi Rawat Inap BRSU Tabanan. Repository Universitas
Udayana. Denpasar:PSIK-FK Universitas Udayana.

Ladewig, P. W., 2014. Buku Saku Asuhan Ibu dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: EGC.

Ledari, F. M., Barat, S., & Delavar, M. A. (2012). Chewing gums has stimulatory
effects on bowel function in patients undergoing cesarean section: a
randomized controlled trial. Bosnian Journal of asic Medical
Sciences dru en e asi nih Medicinis ih nanosti = Association of
Basic Medical Sciences, 12(4), 265–268. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23198943%5Cnhttp://www.pub
medcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC4362503

Ledari, F. M., Barat, S., Delavar, M. A., Banihosini, S. Z., & Khafri, S., 2013.
Chewing sugar-free gum reduces ileus after cesarean section in
nulliparous women: a randomized clinical trial. Iranian Red Crescent
Medical Journal, 15(4), 330.

Lee, J. T., Hsieh, M., Cheng, P., & Lin, J., 2016. The Role of Xylitol Chewing gum
in Restoring Postoperative Bowel Activity After Cesarean Section,
18(2), 167–172. https://doi.org/10.1177/1099800415592966.

Li, S., Liu, Y., Peng, Q., Xie, L., Wang, J., & Qin, X., 2013. Chewing gum
reduces postoperative ileus following abdominal surgery: A
metaanalysis of 17 randomized controlled trials. Journal of
Gastroenterology and Hepatology, 28(7), 1122–1132.

Long C, Barbara.(2000) Perawatan Medikal Bedah.Volume 2. Bandung: Yayasan


IAPK Pajajaran

Lorber, M. (2012). Results of simulated mastication suggest existence of a


periodontogastric motility reflex. Canadian Journal of Physiology and
Pharmacology, 78(1), 29–35

M. Bulechek, G. (2016). edisi enam Nursing interventions classification (NIC).


Singapore: elsevier Global rights.

Majid, A., Judha, M., & Istianah, U., 2011. Keperawatan perioperatif.
Yogyakarta: Goysen Publishing.

Manaf M, Niko dan Kartadinata, H. Obstruksi Ileus. 1983. Accessed June 2, 2010

Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani WI., Setiowulan W. Ileus Obstruktif. Dalam:


Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2010; 318 – 20.

Marwah, S., Singla, S., & Tinna, P. (2012). Role of gum chewing on the duration
of postoperative ileus following ileostomy closure done for typhoid
ileal perforation: A prospective randomized trial. Saudi Journal of
Gastroenterology, 18(2), 111. https://doi.org/10.4103/1319-
3767.93812

Melnyk, B.M., & Fineout-Overholt, E. 2011. Evidence-based practice in nursing


and healthcare: A guide to best practice. Philadelphia: Lippincott,
Williams & Wilkins.

Mochtar, R., 2016. Sinopsis Obstetri Obstetri Operatif Obstetri Sosial Edisi 2.
Jakarta: EGC.

Moorhead, Sue., Johnson, Marion., Maas, Meridean L., Swanson, Elizabeth.


2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th Indonesian
Edition.Elsevier. Singapore

NANDA international inc. 2015. Nursing diagnosis: Defenitinon and


classification 2015. Oxford: willey black well.

Nursalam. 2011. Manajemen keperawatan aplikasi dalam praktek keperawatan


professional. Edisi 3.Jakarta: Salemba medika

Potter & Perry., 2005. Buku ajar fundamental keperawatan konsep, proses, dan
praktik. jakarta: EGC.

Potter, P. A. & Perry, A. G. (2010).Buku ajar fundamental keperawatan : konsep,


proses dan praktik Edisi 7. Jakarta : EGC

Price, S.A. 2015. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Editor:


Price, S.A., McCarty, L., Wilson. Editor terjemahan: Wijaya,
Caroline. Jakarta: EGC

Rodian, M., Satari, M. H., & Rolleta, E., 2011. Efek Mengunyah Permen Karet
Yang Mengandung Sukrosa, Xylitol, Probiotik Terhadap Volume,
Kecepatan Aliran, Viskositas, pH, Dan Jumlah Koloni Streptococcus
Mutans Saliva. Abstrak.

Rustianawati, Y., Karyati, S., & Himawan, R., 2013. Efektivitas ambulasi dini
terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi
laparatomi di RSUD Kudus. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan
Kebidanan, 4(2).
Saputra,L. 2014. Medikal bedah gastrointestinal.Tangerang: Binarupa Aksara.

Scanlon, Valerie., 2007. Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi Edisi 3. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.

Schrock TR. Obstruksi Usus. Dalam Ilmu Bedah (Handbook of Surgery). Alih
Bahasa: Adji Dharma, dkk. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2014; 239 – 42.

SCHUSTER, R. et al. Gum chewing reduces ileus after elective open sigmoid
colectomy. Archives of Surgery. 2006, 141(2), 174-176.

SENAGORE, A. J. Pathogenesis and clinical and economic consequences of


postoperative ileus. American Journal of Health-System Pharmacy.
2007, 64(20 Suppl. 13), S3-S7.

Siregar, C. T., 2004. Kebutuhan Dasar Manusia: Universitas Sumatera Utara:


Diakses Dari Http://Library. Usu. Ac. Id/Download/Fk/Keperawatan-
Cholina. Pdf.

Sjamsuhidajat, R; De Jong, Wim, 2010. Buku ajar ilmu bedah edisi 2. Jakarta :
EGC

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2010).Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner & Suddarth edisi 8.Jakarta : EGC

Smeltzer, & Bare 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &
Suddarth. Edisi 10.Volume 2. Jakarta, EGC

Suzane C. Smeltzer(2002). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth :


Edisi 8. Alih Bahasa Agung Waluyo. (et al) ; editor edisi bahasa
Indonesia Monica Ester. (et al). Jakarta : EGC

Tamsuri. 2012. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta: EGC.

Towsend, M. Jr, et al. Anatomy of the Colon, Rectum, and Pelvic Floor, Large
Bowel Obstruction and Pseudo-obstructin in Section Abdomen in
Sabiston textbook of Surgery 8 th edition. Elsivier. United State of
America. 2008. Page
Wafaa., 2013. Effect of sugarless chewing gum on intestinal movement after
cesarean section, 10(4), 3257–3261.

ZELENÍKOVÁ, R. et al. The use of gum chewing in postoperative care of


patients with abdominal surgery: developing an evidence-based
clinical protocol - part I. Ošetřovatelství a porodní asistence. 2013,
4(1), 537-545.
Lampiran 1 Web Of Caution (WOC)

WOC

Fungsional
Faktor mekanik

Perlengketan Intususepsi Volvulus Hernia Tumor Gangguan


(adhesi) muscular usus
Tumor dalam
Bagian usus Usus memutar Protrusi
Lengkung usus dinding usus Tidak mampu
menyusup usus
melekat pada ke dalam mendorong usus
area jaringan bagian yang Lumen Gas dan Aliran usus Meluas ke
parut pasca ada di usus cairan tersumbat lumen usus
tersumbat tersumbat Statis isi usus
operasi bawahnya
dalam usus (tetap dalam
Tekanan pada
Penyempita lumen)
yang terjebak dinding usus
Perputaran Penyempita n aliran
lengkung usus n lumen darah
(setelah 3-4 hari Lumen usus Isi lumen
usus Aliran usus Aliran darah ke usus
pasca operasi) tersumbat tersumbat
tersumbat tersumbat sebagian

Ileus obstruksi

Hipomotilitas Hilangnya Gangguan flora Gangguan GI Penatalaksanaa


kemampuan normal dalam n
intestinal dalam usus
Ketidakmampuan Mual, muntah, Konservatif: Operatif:
proses material kembung,
absorpsi air
feses Inflamasi anoreksia Obat-obatan, - Laparatomi
bedrest, diet - Kolostomi /
Air tertampung BAB keras rendah lemak, ileostomi
dalam lumen Peradangan pada Asupan nutrisi dekompresi
usus usus inadekuat usus (melalui
MK: Konstipasi selang), puasa
Intake cairan
menurun Iritasi mukosa MK:
Efek Perlukaa Cairan
MK: Nyeri usus Ketidakseimba
anestesi: n keluar me
ngan nutrisi
ventilasi lalui
MK: Risiko kurang dari MK:
Pengeluaran paru tidak kolostomi/
ketidakseimbangan kebutuhan
mediator kimia adekuat ileostomi
cairan tubuh Nyeri,
risiko
Merangsang Reaksi inflamasi MK: Kegagalan infeksi MK: Risiko
hipotalamus ke jaringan ventilasi ketidaksei
sekitar spontan gangguan mbangan
\
Metabolisme volume
mortalitas
meningkat cairan
usus

Suhu meningkat

Komplikasi: peritonitis Sepsis


MK: Hipertermi
Absorpsi toksin dalam rongga peritoneum

Peradangan pada intra abdomen

Perforasi

Kematian
Lampiran 2. Lembar Permohonan Menjadi Responden

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth Calon Responden Di-


Tempat

Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah mahasiswa Profesi Ners Fakultas
Keperawatan Universutas Andalas:
Nama : Zikri Mukhlis, S.Kep
No Bp: 1841313003
Akan mengadakan peminatan dengan judul “Asuhan keperawatan pada
pasien bedah abdomen post laparatomi dengan aplikasi terapi chewing gum untuk
meningkatkan peristaltik usus diruangan Bedah Pria RSUP. DR. M. Djamil
Padang”

Untuk keperluan tersebut saya memohon kesediaan dari Bapak /


Saudara untuk menjadi responden dalam penelitian ini dan menandatangani
lembar persetujuan menjadi responden. Selanjutnya saya mengharapkan
Bapak/Saudara untuk memberikan tanggapan atau jawaban atas pertanyaan
yang kami berikan dengan kejujuran dan jawaban anda dijamin kerahasiaannya.
Jika Bapak/Saudara tidak bersedia menjadi responden, tidak ada sanksi bagi
Bapak/Saudara.
Apabila Bapak/Saudara menyetujui, maka saya mohon kesediaannya
untuk menandatangani lembar persetujuan dan mengikuti semua rangkaian
proses penelitian ini.
Atas perhatian dan kerja sama saudara kami ucapkan terimakasih.

Peneliti

(Zikri Mukhlis)
Lampiran 3. Lembar Persetujuan Menjadi Responden

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, bersedia untuk berpartisipasi


dalam penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Profesi Ners Fakultas Keperawatan
Universitas Andalas.
Nama : Zikri Mukhlis

NIM : 1841313003
Asuhan keperawatan pada pasien bedah abdomen post
Judul :
laparatomi dengan aplikasi terapi chewing gum untuk
meningkatkan peristaltik usus diruangan Bedah Pria RSUP.
DR. M. Djamil Padang

Saya memahami penelitian ini dimaksudkan untuk kepentingan ilmiah dalam


rangka menyusun karya ilmiah akhir bagi peneliti dan tidak akan mempunyai
dampak negatif serta merugikan bagi saya dan keluarga saya, sehingga jawaban dan
hasil observasi, benar- benar dapat dirahasiakan. Dengan demikian secara sukarela
dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, saya siap berpartisipasi dalam penelitian
ini.

Demikian lembar persetujuan ini saya tandatangan dan kiranya dipergunakan


sebagaimana mestinya

Padang, Maret 2020


Responden

( )
Lampiran 4. Protokol klinis mengunyah permen karet

PROTOKOL MENGUNYAH PERMEN KARET

DATA PASIEN
Pasien ID _________ Tanggal masuk ke rumah sakit __________
Umur __________ Jenis kelamin__________
Kebangsaan _________ Suku __________
Data bedah
Tipe bedah __________ Tanggal / waktu operasi _________
Metode bedah __________ Elektif / Darurat _________
HASIL
Waktu untuk flatus pertama: Waktu untuk buang air besar pertama:
______________ __________
Waktu Perubahan posisi: Tanggal dikeluarkan dari rumah sakit
__________ __________
Apakah pasien mengalami paralytic
postoperative ileus:__________
Penilaian kepatuhan
Tingkat Kepatuhan_________
Komentar kepatuhan:
____________________________________________________________________
____________________________________________________________________

Pelaporan yang merugikan

Apakah ada efek samping yang terjadi? Apakah efek samping terkait dengan protokol
__________ mengunyah permen karet?__________

Tanggal masalah: Apakah efek samping mengancam jiwa?


__________________________ _________

Penjelasan rinci tentang masalah: Resolusi masalah:


Lampiran 5. SOP

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

PEMBERIAN TERAPI CHEWING GUM UNTUK MENINGKATKAN


PERISTALTIK USUS PASIEN POST BEDAH ABDOMEN

PEMBERIAN TERAPI CHEWING GUM UNTUK


MENINGKATKAN PERISTALTIK USUS PASIEN
POST BEDAH ABDOMEN

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS

PROSEDUR TETAP

1. PENGERTIAN Mengunyah permen karet merupakan salah satu dari


intervensi rehabilitative pasca operasi abdomen yang dapat
memberikan efek pemulihan segera terhadap fungsi
gastrointestinal normal yang dapat meningkatkan
peristaltik usus, biasanya mengalami penundaan sebagai
akibat dari efek anastesi
2. TUJUAN 1. Mengurangi resiko ileus paralitik
2. Mempercepat pemulihan peristaltik usus
3. Mempercepat waktu flatus
4. Mempercepat kembalinya fungsi gastrointestinal
5. Agar pasien mengerti dan memahami masalah
kesehatan yang ada.
6. Membantu pasien dalam meningkatkan kemampuan
untuk mencapai kesehatan secara optimal
7. Agar pasien berpartisipasi dalam proses pelayanan yang
diberikan
3. INDIKASI Pasien post operasi bedah abdomen
4. PERSIAPAN PASIEN 1. Kontrak waktu, topik dan tempat
2. Pasien diberi penjelasan tentang prosedur tindakan
yang akan dilakukan
3. Jaga privasi pasien
4. Atur posisi masien sesuai kebutuhan
5. PERSIAPAN ALAT 1. Lembar persetujuan
2. Alat tulis
3. Permen karet bebas gula Lotte Chewing Gum Sugar
Free Xylitol Fresh Mint 1 butir 1,45g
4. Bengkkok / Neerbecken
5. Tisu
6. PROSEDUR 1. Memberikan salam teraupetik, perkenalkaan diri
2. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang rencana
pemberian terapi mengunyah permen karet yang akan
diberikan sesuai dengan hasil assessment atau
pengkajian pada pasien, informasi tersebut meliputi :
materi yang akan diberikan, tujuan diberikan terapi,
alasan pemberian, dan lamannya terapi dilakukan.
3. Minta persetujuan pasien (infomed consent)
4. Menganjurkan pasien untuk mengambil posisi yang
nyaman
5. Kaji peristaltik sebelum pemberian implementasi
dengan cara auskultasi bising usus pasien dengan
stetoskop, lalu catat frekuensi bising usus pasien
6. Memberikan permen karet pada klien, permen
karetbebas gula Lotte Chewing Gum Sugar Free Xylitol
Fresh Mint 1 butir
7. Lakukan intervensi mengunyah permen karet selama 5
menit setiap 4 jam sekali terhitung sejak pasien sadar
sekitar 4 jam pertama post operasi,
 Mengunyah permen karet yang pertama yaitu 4 jam
setelah operasi, pasien di minta untuk mengunyah
permen karet selama 5 menit lalu berhenti
 Mengunyah permen karet yang kedua yaitu 8 jam
setelah operasi, pasien di minta untuk mengunyah
permen karet selama 5 menit lalu berhenti
 Mengunyah permen karet yang ketiga yaitu 12 jam
setelah operasi, pasien di minta untuk mengunyah
permen karet selama 5 menit lalu berhenti
 Mengunyah permen karet yang keempat yaitu 16 jam
setelah operasi, pasien di minta untuk mengunyah
permen karet selama 5 menit lalu berhenti
8. Kaji ulang bising usus pasien setiap setelah mengunyah
permen karet selama 5 menit dengan cara asukultasi
dengan stetoskop, lalu catat frekuensi bising usus
9. Intervensi selesai dilaksanakan setelah pasien flatus
pertama kali dan buang air besar untuk pertama kali
10. Evaluasi dan validasi perasaan pasien setelah intervensi
11. Mengucapkan salam penutup kepada pasien
12. Dokumentasikan tindakan kesehatan yang sudah
dilakukan
Lampiran 6. Lembar Observasi Pasien

LEMBAR OBSERVASI PASIEN

NAMA :

NO MR :

TANGGAL LAHIR :

Hari dan tanggal Jam setelah Intervensi Keterangan


operasi
Jam pertama
2
3
4 Mengunyah permen karet
yang pertama selama 5 menit
5
6
7
8 Mengunyah permen karet
yang kedua selama 5 menit
9
10
11
12 Mengunyah permen karet
yang ketiga selama 5 menit
13
14
15
16 Mengunyah permen karet
yang keempat selama 5 menit
17
18
19
20 Mengunyah permen karet
yang kelima selama 5 menit
21
22
23
24 Mengunyah permen karet
yang keenam selama 5 menit
Catatan: mengunyah permen karet di hentikan setelah pasien mengalami flatus
( buang angin), dan catat waktu buang angin di kolom keterangan
Lampiran 7. Dokumentasi
Lampiran 8. Curiculum Vitae

CURICULUM VITAE

Nama : Zikri Mukhlis, S.Kep

Tempat, tangal lahir : Pariaman, 5 Agustus 1996

Agama : Islam

Pekerjaan : Mahasiswa profesi Ners Fakultas Keperawatan UNAND

Status : Belum Menikah

Nama bapak : Mukhlis

Nama ibu : Yenti

Alamat : Komp. Tri Sandi Indah II, Blok H3, Air Pacah, Padang

Riwayat pendidikan :

1. SD N 09 BALAI BARU : 2002-2005


2. SD N 10 AIR PACAH : 2005-2008
3. SMP N 18 PADANG : 2008-2011
4. SMA N 16 PADANG : 2011-2014
5. Sarjana Keperawatan Universitas Andalas : 2014-2019
6. Program Profesi Ners Universitas Andalas : 2019-sekarang

Anda mungkin juga menyukai