Anda di halaman 1dari 10

Nama : Steffanie Machiwien

Kelas : XII IPS 1


Mapel : Bahasa Indonesia

Bacalah cerita pendek sejarah di bawah ini dengan saksama!

Burusuh
Niduparas Erlang

Ia terus saja menambahkan rating bambu ranting kayu ke dalam perut tungku tanah liat itu.
Bukan lagi tungku tanah liat, sebab saban hari perut tungku itu terus saja dibakar-dihanguskan
ketika ia atau istrinya menjerang air dalam panci penyok, atau menanak nasi dalam seeng1 dan
aseupan2, atau sekadar membakar ikan asin dan delan3 untuk makan siang. Tapi kini tak ada
yang tengah dijerang atau dibakarnya diatas tungku keras-kaku yang sisi kirinya telah retak-
rengkah itu. Ia sekadar membakar perut tungku itu dan membiarkan nyala api merah-oranye-biru
menjilati rongga dan udara kosong di atasnya. Asap putih pekat mengepul-membumbung,
menyesaki para-para tempat segala perabot dapur di letakkan dan sebungkus ikan asin, garam,
dan delan digantungkan. Sementara unggunan bara dari pembakaran kayu rambutan di dasar
tungku itu tampak merah membara setupa rahim neraka. Barangkali serupa hangus duka dalam
dadanya, sepanas kesumatnya pada Dulbari yang telah menjerat-menipunya sedemikian celaka.
Ah, betapa tak celaka, sebab Dulbari—yang kini hidup makmur sentosa itu—adalah biang keladi
segala nestapa yang menderanya. Mengutuk sekujur hidupnya untuk selamanya menjalani ritus
wajib-lapor saban Sabtu, di tanggal muda atawa minggu pertama setiap bulannya.
Dan ini hari Sabtu, ia tak mungkin melupa, meskipun udara pagi ini masih sepucat tugu
di batas kampungnya itu. Sementara, panas api yang terus bergelora telah sedari tadi menjalarkan
hangat yang menyengat pada kaki, tangan, dan wajahnya yang tampak sekusam garam di ceruk
leper4batu. Tapi punggungnya yang mulai melengkung busur itu belum lagi merasai hangat api.
Barangkali punggungnya masih menyimpan dingin yang nyeri, selinu bekas memar luka parut
yang didapatnya dari kantor wajib-lapor pada Sabtu bulan lalu. Maka kini, setelah dirasanya
cukup memasukkan ranting kayu ranting bambu, ia berputar dan memunggungi tungku yang
terus saja menguarkan hawa panas ke segala penjuru kampung itu. Ia ngagarang5 pantatnya yang
bisulan, memanaskan bokongnya yang kasar-korengan dan menghangatkan tulang punggungnya
yang melengkung busur itu. Ngadeang6. Siduru menahan ngilu yang menggantang di tingkat
waktu. Agar hangat segala gerak, agar ringan segala angan, pikirnya, dan tulang-tulang tak kaku,
tak kelu ketika ia mesti ngaluku7atawa ngagaru8 di sawah milik Pak Guru Misnan. Ah, Pak Guru
Misnan yang mungkin lebih menanggung ngilu dengan lara teramat panjang teramat dalam.
Dan sembari merasai hangat menjalari sekujur punggungnya itu, dicoleknya burusuh9
dari ujung salah satu ranting kayu—yang ujung lainnya terus saja dilahap api di dalam tungku.
Busa putih-kusam yang tak lengket tak berbau itu terasa begitu hangat di ujung telunjuknya yang
kasar dan kapalan. Dan sebelum hangatnya menghilang, menguap bersama asap, dioleskannya
lekas-lekas burusuh itu pada bisul yang menyembul di pantatnya sebelah kanan. Ia sedikit
terjengkat, tersentak, ketika burusuh hangat di ujung telunjuknya menyentuh mata-putih-bisul
yang benyek dan nyaris matang sempurna itu. Bisul merah darah yang memerangkap segumpal
nanah yang nyaris pecah, nyaris membuncah.
Dan, ah, benar saja, bisulnya seketika pecah. Tumpah. Darah bercampur nanah meleleh
seperti getah pohon luka. Dan jari-jari tangannya memerah-basah, merasai segumpal darah
kental-beku yang dingin di sela-sela jari, meski embusan udara panas terus menguar dari dalam
tungku itu. Ah, bisul yang pecah, cekah, barangkali serupa lara yang bakal bersudah, serupa bara
yang habis daya.
Tapi ia meringis menahan perih. Air mukanya meriak gerah seperti tengah menyekam
amarah. Entah kepada siapa. Mungkin kepada Dulbari, mungkin pada orang-orang yang saban
bulan menanyainya segala rupa. Maka kini, pada rintihannya yang kedelapan, ditekannya bisul
yang pecah itu sekuat maut, sekuat tenaga yang mampu dikerahkan dua jari telunjuk dan
jempolanya yang kelu, demi memaksa mata-putih-bisul itu meloncat dari dalam kulit pantat yang
telah memerangkapnya sekian lama. Ia terkejat-kejat. Meringis menahan nyeri tak terperi ketika
darah dan nanah dipaksa terus meleleh dari liang luka bisul itu. Dan pada entak tekanan paling
purna, akhirnya, mata-putih –bisul itu melompat tak terduga. Ahg, huuuff, air mukanya
menggenang tenang, ia melega juga, lega lila. Bisulnya cekah dan nyerinya bakal bersudah.
__________
1 6
Dandang. Menghangatkan diri dekat tungku.
2 7
Kukusan. Meluku (membajak sawah)
3 8
Terasi. Menggaru (meratakan sawah yang sudah dibajak)
4 9
Ulekan Busa kayu
5
Memanggang
Ia tersyukur, seolah segala mala, bala, celaka, telah sempurna dilewatinya. Meskipun, ia
tahu belaka, bahwa sebentar lagi ia mesti mengantre untuk memenuhi wajib-lapor di kantor desa.
Ah, dalam kepalanya kembali berkelebat laku-cela Dulbari kepada dirinya dan kepada empat
puluh tiga lelaki di kampungnya. Tapi sembari teringat pada Dulbari, dilapnya jari-jemari tangan
kanannya yang bersimbah darah dengan secarik koin gombal yang biasa digunakan istrinya
untuk menahan laju panas dari kuping panci atawa wajan. Dilapnya juga darah dan nanah yang
meleleh dari bisulnya itu, dengan kain gombal yang sama. Setelah jari-jari tangannya cukup
bersih, ditekannya lagi bekas luka bisul itu sedemikian rupa. Ia kembali terjerengkat. Tapi
tekanan pada sisi-sisi bekas bisul itu, barangkali, memang mesti dilakukannya untuk sekadar
menuntaskan darah dan nanah, agar tak tersisa dan nyangkrung10 begitu rupa di liang luka bekas
bisul yang kini tampak kosong-bolong itu. Sekosong-bolong-melompong pengetahuannya pada
laku dan tipu Dulbari sepuluh tahun lalu, barangkali.

Sore itu, senja yang muram melingkung sekujur kampung. Langit tampak dibalut awan
bergelung-gelung. Tapi di pos ronda, di bawah pohon randu yang tengah memecah buah-
kapuknya itu, orang-orang tampak berkerumun. Ia yang baru naik dari sawah di lembah, baru
rampung sawah di lecah, merasa terpikat dengan keriuhan yang jarang sekali didapati di
kampung itu –kecuali ketika kenduri anak kepala desa beberapa minggu lalu. Maka, tak peduli
pada sekujur tubuh yang masih dilekati lumpur, atau bau apek keringatnya yang masih
mengucur, ia merangsek ke tengah orang-orang yang berkerumun.
Di atas pelupuh di pos ronda yang sudah reot itu, tampak Dulbari berkoar-koar sembari
terus memuji-muji kepala desa yang baru. Dulbari menyampaikan selarik kabar, bahwa dalam
rangka ulang tahun kepala desa yang baru itu, beberapa warga desa dari Kampung Kaso-Coo
akan dipilih dan diajak berpakansi ke Kota Jakarta. Semua orang tampak kegirangan. Sementara,
ia yang masih gamang dan belum mengerti mengenai kabar yang disampaikan Dulbari, menyikut
Mang Kemed yang mematung serupa tunggul di sisinya.
“Teu nyaho. Dengekeun bae heula,”11 dengus Mang Kemed yang masih menggulung-
melepas tampar yang terhubung pada kaluhan12 cocok hidung kerbau yang merumput di sisi
pohon randu itu.
“Dengar, saudara-saudara sekalian. Dengarkan baik-baik. Sekali lagi saya ulangi. Bahwa
beberapa orang dari Kampung Kaso-Coo ini diberi kesempatan kepada Pak Kades kita yang
baru, Pak Kades yang baik hati itu, untuk diajak berkeliling-keliling Kota Jakarta. Melihat-lihat
Monas dan sekitarnya,” Dulbari lantang mengumumkan. Dan segenap hadirin yang saban hari
hanya mengenal sawah, ladang, huma, dan perkakas tani itu tampak terpesona sembari
mengacung-ngacungkan tangan agar terajak-serta berpakansi ke Jakarta.
“Tenang, Saudara-saudara. Tenang! Sabar. Yang mau ikut berpakansi ke Kota Jakarta
silakan mengisi daftar yang telah disiapkan. Tuliskan nama-nama Saudara di kertas ini.”
Dan orang-orang pun berebut, beberapa bahkan sikut-menyikut, untuk mengisi kolom-
kolom kosong pada secarik kertas berkop-surat desa dengan nama-nama mereka. Sementara
Dulbari hanya tersenyum sinis melihat kelakuan orang-orang Kampung Kaso-Coo yang berebut
pulpen itu. Beberapa orang berteriak-teriak menyebut-nyebut namanya sendiri, dan meminta-
minta agar namanya dituliskan sebab tak mampu menulis huruf-huruf dan angka-angka. Dan ia
terkesima, seperti tak mau kehilangan kesempatan, tak mau ketinggalan jalan-jalan, turut juga
membubuhkan namanya pda secarik kertas itu, setelah semua orang mendapat giliran. Maka
namanya tecantum di luar kolom yang disediakan, di bawah nama Mang Wira yang menempati
kolom paling akhir. Tapi tak apa, gumamnya, yang penting nama sudah tertera, dan, toh, bakal
terbaca juga oleh Kepala Desa.
Setelah keriuhan itu mulai memudar, di bawah langit yang mulai gerimis dan kapuk
randu yang terbang melayang-layang, Dulbari kembali berkoar sembari mengancungkan daftar
nama-nama itu: “Saudara-saudara warga Kampung Kaso-Coo yang baik, malam ini saya dan Pak
Kades akan memilih orang-orang yang beruntung itu. Nama-nama yang beruntung besok akan
diumumkan dan daftar namanya akan ditempel di pos ronda ini. Dan lusa, ingat lusa, Saudara-
saudara, nama-nama yang beruntung itu akan diajak berpakansi ke Kota Jakarta. Gratis-tis-tis....”

__________
10
Mengenang
11
Tidak tahu. Dengarkan saja dulu.
12
Tali ijuk yang menyocok hidung kerbau.

Sorak-sorai pun terdengar membahana. Mereka tampak bergembira, bersukacita, seolah


tengah mensyukuri panen raya. Barangkali, dalam tempurung-tempurung kepala mereka yang
saban hari hanya mengenal bau lumpur, berlesatan segala kesenangan tiada tara. Betapa mereka
bakal bisa saring bertukar cerita tentang perjalanan atau tentang kemegahan Kota Jakarta. Dan
sembari bubar-jalan karena gerimis semakin kerap, melangkah bungah menuju rumah, atau ke
sumur untuk membersihkan sekujur tubuh yang masih dilekati lumpur atau mengandangkan
kerbau-kerbau yang mungkin sudah kenyang menggasak rumputan, mereka membayang-
bayangkan bagaimana bentuk-rupa Kota Jakarta. Dan lampu-lampu yang bergeriap-gemerlap
meneranginya. Dan mobil-mobil bagus yang berlesatan di jalan-jalan mulusnya.
Tetapi, ah, celaka sunguh celaka. “Celaka-dua-belas berlipat-lipat,” kata Mang Wira.
Sebab Dulbari, yang entah demi kepentingan apa atau siapa, telah menjerat-mencelakai, dan
memaksa mereka untuk menelan sebongkah rasa sesal sepanjang hidupnya, merasakan nelangsa
yang tiada habisnya. Dulbari menebar luka. Tepat seminggu setelah orang-orang yang terpilih itu
ikut berpakansi ke Kota Jakarta—meski di sana tak pernah melihat Monas sebagaimana yanng
dijanjikan Dulbari itu—mereka semua dicap-ditandai sebagai antek sebuah gerakan. Entah
gerakan apa, ia tidak tahu. Yang ia ketahuinya secara samar-samar hanyalah bahwa ia dan empat
puluh lelaki dari Kampung Kaso-Coo yang terpilih itu, tak terkecuali Mang Wira dan Mang
Kemed, yang nama-namanya masih jelas tertera pada secarik pengumuman di pos ronda itu,
telah disahkan sebagai bagian dari partai merah. Partai yang konon berusaha merusak dan
membahayakan negara. Ah, ia tak tahu. Tak jelas benar apa juntrungannya. Pada pokoknya, ia
dan empat puluh tiga warga Kampung Kaso-Coo, semenjak itu telah dinyatakan bersalah! Titik.
Tapi, adakah sebuah salah sekadar turut berpakansi ke Kota Jakarta secara cuma-cuma? Ia tak
tahu, tunasegala, dan celaka selamanya.

Pintu dapurnya terdengar diketuk seseorang sembari mengucap salam berulang-ulang. Dan ia
yang masih ngagarang punggung dan terus mengolesi bisulnya itu dengan burusuh, tersentak
dari lamunannya. Sembari beranjak lunglai dan menjawab salam dengan suaranya yang parau,
diputarnya tulak dan ditariknya gagang pintu dapur itu. Gagang pintu agak terguncang saat
daunnya yang berkriet linu itu terbuka lebar-lebar. Dan di luar, didapatinya Pak Guru Misnan
tengah menyeringai. Ia gagap dan terkesiap. Sebab tak biasanya lelaki yang telah memercayakan
sejumlah ladang dan sawahnya itu menemuinya ketika ia, bahkan Pak Guru Misnan sendiri,
mesti pergi ke kantor wajib-lapor.

Tapi, dari matanya yang kelabu, mesku dengan bibir yang terus menyeringai itu, ia tahu
bahwa Pak Guru Misnan tengah menanggung jerat-beban yang lebih berat dan sarat. Sebab,
sebagaimana tahun-tahun yang lewat, setiap sebulan sebelum pemilu raya digelar, sampai sang
presiden—yang itu-itu saja—terpilih lagi dan disah-tetapkan lagi, Pak Guru Misnan akan
meringkuk dalam kurungan. Sementara ia, ah, ia sekadar terus mengulang-ulang wajib lapor
saban bulan. Mengulang-ulang pemeriksaan, mengulang-ulang kecurigaan. Tak separah Pak
Guru Misnan, memang, sebab ia hanya akan sekadar diintrogasi—meski dulu, dulu sekali,
pernah pula dihantam popor senapan dan digilas sepatu lars. Tapi belakangan, menurut kabar
burung yang berkesiur begitu saja, kabar burung yang menaburkan bau langu ke dekat hidungnya
dan menggigil-merontokan tulang-tulangnya, konon, ia dan empat puluh tiga lelaki dari
Kampung Kaso-Coo itu, orang-orang terpilih yang celaka itu, bakal digiring ke tambang batu
bara. Konon lagi, mereka akan dipaksa bekerja tanpa mengenal jam, hari, tanggal, dan bulan, tapi
mungkin bakal lebih mengenal bentakan atau hantaman popol senapan. Kerja paksa di tambang
batu bara di entah mana. Ia tak tahu tuju, tak tahu laju.

Dan kini, di antara asap dapur yang mengepul dan udara pagi yang mulai menghangat, ia
dan Pak Guru Misnan hanya mampu berbagi pandang, berbagi senyum lungkah atau seringai
orang-orang kalah, untuk kemudian sekadar saling mengangguk-angguk lemah. Barangkali
laranya dan lara Pak Guru Misnan akan semakin panjang dan kian dalam; sementara nelangsa
yang dirasainya tak bakal pernah bersudah, tak bakal cekah seperti bisul yang barusan pecah.

Serang, 13 [10.21 PM]—14[00.58 AM] November 2015


Nama : Steffanie Machiwien

Kelas : XII IPS 1

Berdasarkan cerpen di atas, lakukan kegiatan pengidentifikasian cerita ke dalam tabel di bawah ini!

Kutipan Struktur Keterangan


14. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia 1. Judul : burusuh Séeng: dandang. Aseupan: kukusan. Délan:
terasi. Lépér: ulekan. Ngagarang: memanggang. Ngadéang: mengh
Sastra Menurut Kamus Besar
nipudaras erlang angatkan diri depan tungku. Ngaluku: meluku (membajak
Bahasa Indonesia : 2008 adalah
“karya tulis yang bila dibandingkan
2. Identifikasi : waktu sawah). Ngagaru: menggaru (meratakan sawah yang sudah
dibajak). Burusuh: busa kayu. Nyangkrung: menggenang. Teu
dengan
keunggulan,
tulisan lain,
seperti
ciri-ciri
keaslian,
= zaman dulu nyaho, déngékeun baé heula: tidak tahu, dengarkan saja
keartistikan, keindahan dalam isi dan
ungkapannya”. Karya sastra berarti dulu. Kaluhan: tali ijuk yang mencocok hidung
karangan yang mengacu pada nilai-
nilai kebaikan yang ditulis dengan latar: perkampungan kerbau. Tulak: sepotong kayu pipih yang tengahnya dipaku pada
bahasa yang indah. Sastra tiang pintu dan berfungsi sebagai kunci. 
memberikan wawasan yang umum kaso coo
tentang masalah manusiawi, sosial, Niduparas Erlang, lahir di Serang, 11 Oktober 1986. Kumpulan
maupun intelektual, dengan caranya
yang khas. Pembaca sastra cerita pendeknya adalah La Rangku (2011) dan Penanggung Tiga
dimungkinkan
menginterpretasikan
untuk
teks sastra
tokoh : pak guru Butir Lada Hitam di Dalam Pusar (2015). 
sesuai dengan wawasannya sendiri.
misnan, mang wira,
mang kemed, kepala
Jenis-Jenis Sastra desa, dulbari.
Berikut ini terdapat beberapa jenis-
jenis sastra, terdiri atas:
Alur : maju mundur

 Sastra Imajinatif Konflik : keriuhan warga


Sastra imajinatif adalah sastra yang
Kampong kaso mendapat
berupaya untuk menerangkan,
menjelaskan, memahami, membuka
Hadiah jalan jalan ke luar kot
pandangan baru, dan memberikan
makna realitas kehidupan agar
manusia lebih mengerti dan bersikap
yang semestinya terhadap realitas
kehidupan. Dengan kata lain, sastra
imajinatif berupaya Klasifikasi : berisikan
menyempurnakan realitas kehidupan
walaupun sebenarnya fakta atau urutan atau
realitas kehidupan sehari-hari tidak
begitu
imajinatif.
penting dalam sastra penggolongan dari
topik yang akan
dibahas.
Jenis-jenis tersebut antara lain puisi,
fiksi atau prosa naratif, dan drama. 3. Deskripsi :
Puisi dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yakni puisi epik, puisi lirik, dan menceritakan
puisi dramatik. Fiksi atau prosa
naratif terbagi atas tiga genre, yakni penduduk zaman dulu
novel atau roman, cerita pendek
(cerpen), dan novelet
“pendek”). Drama adalah karya
(novel ketika bahagia
sastra yang mengungkapkan cerita
melalui dialog-dialog para tokohnya.
mendegar warganya
lolos audisi dan
mendapatkan hadiah
Pada akhirnya, semua pembahasan
mengenai sastra imajinatif ini harus jalan jalan ke luar kota
bermuara pada bagaimana cara
memahami ketiga jenis sastra
imajinatif tersebut secara
komprehensif. Tanpa adanya
pemahaman ini, apa yang dipelajari
dalam hakikat dan jenis sastra
imajinatif ini hanya sekadar hiasan
ilmu yang akan cepat pudar.

 Sastra Non-imajinatif

Sastra non-imajinatif memiliki


beberapa ciri yang mudah
membedakannya dengan sastra
imajinatif. Setidaknya terdapat dua
ciri yang berkenaan dengan sastra
tersebut. Pertama, dalam karya
sastra tersebut unsur faktualnya
lebih menonjol daripada khayalinya.
Kedua, bahasa yang digunakan
cenderung denotatif dan kalaupun
muncul konotatif, kekonotatifan
tersebut amat bergantung pada gaya
penulisan yang dimiliki pengarang.
Persamaannya, baik sastra imajinatif
maupun non-imajinatif, keduanya
sama-sama memenuhi estetika seni
(unity = keutuhan, balance =
keseimbangan, harmony =
keselarasan, dan right emphasis =
pusat penekanan suatu unsur).

Sastra non-imajinatif itu sendiri


merupakan sastra yang lebih
menonjolkan unsur kefaktualan
daripada daya khayalnya dan
ditopang dengan penggunaan
bahasa yang cenderung denotatif.
Dalam prakteknya jenis sastra non-
imajinatif ini terdiri atas karya-karya
yang berbentuk esai, kritik, biografi,
autobiografi, memoar, catatan
harian, dan surat-surat.
Baca Juga Artikel yang Mungkin
Terkait : Pengertian Ekonomi
Kreatif

Struktur Karya Sastra


Berikut ini terdapat beberapa struktur
karya sastra, terdiri atas:

1. Unsur Intrinsik dan


Ekstrinsik Puisi  

Sebuah karya sastra mengandung


unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik.
Keterikatan yang erat antarunsur
tersebut dinamakan struktur
pembangun karya sastra.

Unsur intrinsik ialah unsur yang


secara langsung membangun cerita
dari dalam karya itu sendiri,
sedangkan unsur ekstrinsik ialah
unsur yang turut membangun cerita
dari luar karya sastra.

Unsur intrinsik yang terdapat dalam


puisi, prosa, dan drama memiliki
perbedaan, sesuai dengan ciri dan
hakikat dari ketiga genre tersebut.
Namun unsur ekstrinsik pada semua
jenis karya sastra memiliki
kesamaan.

Unsur intrinsik sebuah puisi terdiri


dari tema, amanat, sikap atau nada,
perasaan, tipografi, enjambemen,
akulirik, rima, citraan, dan gaya
bahasa. Unsur ekstrinsik yang
banyak mempengaruhi puisi antara
lain: unsur biografi, unsur
kesejarahan, serta unsur
kemasyarakatan.

2. Unsur Intrinsik dan


Ekstrinsik Prosa

Unsur intrinsik (struktur dalam) prosa


terdiri dari tema dan amanat, alur,
tokoh, latar, sudut pandang, serta
bahasa pengekspresian. Latar
berkaitan erat dengan tokoh dan
alur. Latar adalah seluruh
keterangan mengenai tempat, waktu,
serta suasana yang ada dalam
cerita.

Latar tempat terdiri dari tempat yang


dikenal, tempat tidak dikenal, serta
tempat yang hanya ada dalam
khayalan. Latar waktu ada yang
menunjukkan waktu dengan jelas,
namun ada pula yang tidak dapat
diketahui secara pasti.

3. Unsur Intrinsik dan


Ekstrinsik Drama

Unsur intrinsik drama terdiri dari:


tema, plot, tokoh, dialog, karakter,
serta latar.

Teori Sastra
Berikut ini terdapat beberapa teori-
teori sastra, terdiri atas:

 Teori
Psikoanalisis
Sastra
Teori sastra psikoanalisis
menganggap bahwa karya sastra
sebagai symptom (gejala) dari
pengarangnya. Dalam pasien histeria
gejalanya muncul dalam bentuk
gangguan-gangguan fisik,
sedangkan dalam diri sastrawan
gejalanya muncul dalam bentuk
karya kreatif.

Oleh karena itu, dengan anggapan


semacam ini, tokoh-tokoh dalam
sebuah novel, misalnya akan
diperlakukan seperti manusia yang
hidup di dalam lamunan si
pengarang. Konflik-konflik kejiwaan
yang dialami tokoh-tokoh itu dapat
dipandang sebagai pencerminan
atau representasi dari konflik
kejiwaan pengarangnya sendiri.

Akan tetapi harus diingat, bahwa


pencerminan ini berlangsung secara
tanpa disadari oleh si pengarang
novel itu sendiri dan sering kali
dalam bentuk yang sudah terdistorsi,
seperti halnya yang terjadi dengan
mimpi. Dengan kata lain,
ketaksadaran pengarang bekerja
melalui aktivitas penciptaan
novelnya. Jadi, karya sastra
sebenarnya merupakan pemenuhan
secara tersembunyi atas hasrat
pengarangnya yang terkekang
(terepresi) dalam ketaksadaran.

 Teori Sastra
Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak
memperlakukan sebuah karya sastra
tertentu sebagai objek kajiannya.
Yang menjadi objek kajiannya adalah
sistem sastra, yaitu seperangkat
konvensi yang abstrak dan umum
yang mengatur hubungan berbagai
unsur dalam teks sastra sehingga
unsur-unsur tersebut berkaitan satu
sama lain dalam keseluruhan yang
utuh.

Meskipun konvensi yang membentuk


sistem sastra itu bersifat sosial dan
ada dalam kesadaran masyarakat
tertentu, namun studi sastra
struktural beranggapan bahwa
konvensi tersebut dapat dilacak dan
dideskripsikan dari analisis struktur
teks sastra itu sendiri secara otonom,
terpisah dari pengarang ataupun
realitas sosial. Analisis yang
seksama dan menyeluruh terhadap
relasi-relasi berbagai unsur yang
membangun teks sastra dianggap
akan menghasilkan suatu
pengetahuan tentang sistem sastra.
Baca Juga Artikel yang Mungkin
Terkait : Pengertian Catatan Kaki
Menurut Ahli Penulis Buku
 Teori Sastra
Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya
sastra sebagai cerminan realitas
sosial patriarki. Oleh karena itu,
tujuan penerapan teori ini adalah
untuk membongkar anggapan
patriarkis yang tersembunyi melalui
gambaran atau citra perempuan
dalam karya sastra.

Dengan demikian, pembaca atau


peneliti akan membaca teks sastra
dengan kesadaran bahwa dirinya
adalah perempuan yang tertindas
oleh sistem sosial patriarki sehingga
dia akan jeli melihat bagaimana teks
sastra yang dibacanya itu
menyembunyikan dan memihak
pandangan patriarkis.

Di samping itu, studi sastra dengan


pendekatan feminis tidak terbatas
hanya pada upaya membongkar
anggapan-anggapan patriarki yang
terkandung dalam cara
penggambaran perempuan melalui
teks sastra, tetapi berkembang untuk
mengkaji sastra perempuan secara
khusus, yakni karya sastra yang
dibuat oleh kaum perempuan, yang
disebut pula dengan istilah ginokritik.

Di sini yang diupayakan adalah


penelitian tentang kekhasan karya
sastra yang dibuat kaum perempuan,
baik gaya, tema, jenis, maupun
struktur karya sastra kaum
perempuan. Para sastrawan
perempuan juga diteliti secara
khusus, misalnya proses kreatifnya,
biografinya, dan perkembangan
profesi sastrawan perempuan.
Penelitian-penelitian semacam ini
kemudian diarahkan untuk
membangun suatu pengetahuan
tentang sejarah sastra dan sistem
sastra kaum perempuan.

 Teori Sastra
Struktural
Teori resepsi pembaca berusaha
mengkaji hubungan karya sastra
dengan resepsi (penerimaan)
pembaca. Dalam pandangan teori
ini, makna sebuah karya sastra tidak
dapat dipahami melalui teks sastra
itu sendiri, melainkan hanya dapat
dipahami dalam konteks pemberian
makna yang dilakukan oleh
pembaca. Dengan kata lain, makna
karya sastra hanya dapat dipahami
dengan melihat dampaknya terhadap
pembaca.

Karya sastra sebagai dampak yang


terjadi pada pembaca inilah yang
terkandung dalam pengertian
konkretisasi, yaitu pemaknaan yang
diberikan oleh pembaca terhadap
teks sastra dengan cara melengkapi
teks itu dengan pikirannya sendiri.

Tentu saja pembaca tidak dapat


melakukan konkretisasi sebebas
yang dia kira karena sebenarnya
konkretisasi yang dia lakukan tetap
berada dalam batas horizon
harapannya, yaitu seperangkat
anggapan bersama tentang sastra
yang dimiliki oleh generasi pembaca
tertentu. Horizon harapan pembaca
itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu

1. kaidah-kaidah yang
terkandung dalam teks-
teks sastra itu sendiri,
2. pengetahuan dan
pengalaman pembaca
dengan berbagai teks
sastra, dan
3. kemampuan pembaca
menghubungkan karya
sastra dengan
kehidupan nyata.

Butir ketiga ini ditentukan pula oleh


sifat indeterminasi teks sastra, yaitu
kesenjangan yang dimiliki teks sastra
terhadap kehidupan real.

Teori resepsi sastra beranggapan


bahwa pemahaman kita tentang
sastra akan lebih kaya jika kita
meletakkan karya itu dalam konteks
keragaman horizon harapan yang
dibentuk dan dibentuk kembali dari
zaman ke zaman oleh berbagai
generasi pembaca. Dengan begitu,
dalam pemahaman kita terhadap
suatu karya sastra terkandung dialog
antara horizon harapan masa kini
dan masa lalu.

Jadi, ketika kita membaca suatu teks


sastra, kita tidak hanya belajar
tentang apa yang dikatakan teks itu,
tetapi yang lebih penting kita juga
belajar tentang apa yang kita pikirkan
tentang diri kita sendiri, harapan-
harapan kita, dan bagaimana pikiran
kita berbeda dengan pikiran generasi
lain sebelum kita. Semua ini
terkandung dalam horizon harapan
kita.

Aliran Sastra
Berikut ini terdapat beberapa aliran
dalam sastra, terdiri atas:

1. Supernaturalisme dan
Naturalisme serta Idealisme dan
Materialisme
Istilah-istilah naturalis,
materialis, dan idealis, adalah
istilah-istilah yang digunakan di
kalangan ilmu filsafat sebagai suatu
paham, pandangan, atau falsafah
hidup yang akhirnya di kalangan ilmu
sastra merupakan aliran yang dianut
seseorang dalam menghasilkan
karyanya. Masalah aliran sebagai
pokok pandangan hidup, berangkat
dari paham yang dikemukakan para
filosof dalam menghadapi kehidupan
alam semesta ini.

Tafsiran yang mula-mula diberikan


oleh manusia terhadap alam ini ada
dua macam, yaitu supernatural dan
natural. Penganut paham-paham
tersebut dinamakan
supernaturalisme dan naturalisme.
Paham supernatural mengemukakan
bahwa di dalam alam ini terdapat
wujud-wujud yang bersifat gaib yang
bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa
daripada alam nyata yang mengatur
kehidupan alam sehingga menjadi
alam yang ditempati sekarang ini.

Kepercayaan animisme dan


dinamisme merupakan kepercayaan
yang paling tua usianya dalam
sejarah perkembangan kebudayaan
manusia yang berpangkal pada
paham supernaturalisme dan masih
dianut oleh beberapa masyarakat di
muka bumi ini.
Baca Juga Artikel yang Mungkin
Terkait : Pengertian Ilmu
Arkeologi Menurut Ahli Sejarah

Sebagai lawan dari paham


supernatural adalah naturalisme
yang menolak paham supernatural.
Paham ini mengemukakan bahwa
gejala-gejala alam yang terlihat ini
terjadi karena kekuatan yang
terdapat di dalam alam itu sendiri
yang dapat dipelajari dan dengan
demikian dapat diketahui. Paham ini
juga mengemukakan bahwa dunia
sama sekali bergantung pada materi,
kebendaan, dan gerak. Kenyataan
pokok dalam kehidupan dan akhir
kehidupan adalah materi, atau
kebendaan.

2. Idealisme dan Aliran Lainnya


dalam Karya Sastra
Dalam aliran idealisme terdapat
aliran romantisme, simbolisme,
ekspresionisme, mistisisme, dan
surealisme.
Aliran idealisme adalah aliran di
dalam filsafat yang mengemukakan
bahwa dunia ide,dunia cita-cita,
dunia harapan adalah dunia utama
yang dituju dalam pemikiran
manusia.

Dalam dunia sastra, idealisme berarti


aliran yang menggambarkan dunia
yang dicita-citakan, dunia yang
diangan-angankan, dan dunia
harapan yang masih abstrak yang
jauh jangka waktu
pencapaiannya. Aliran
romantisme ini menekankan kepada
ungkapan perasaan sebagai dasar
perwujudan pemikiran pengarang
sehingga pembaca tersentuh
emosinya setelah membaca
ungkapan perasaannya.

Simbolisme adalah aliran
kesusastraan yang penyajian tokoh-
tokohnya bukan manusia melainkan
binatang, atau benda-benda lainnya
seperti tumbuh-tumbuhan yang
disimbolkan sebagai perilaku
manusia.
Aliran ekspresionisme adalah aliran
dalam karya seni, yang
mementingkan curahan batin atau
curahan jiwa dan tidak
mementingkan peristiwa-peristiwa
atau kejadian-kejadian yang nyata.

Surealisme adalah aliran di dalam


kesusastraan yang banyak
melukiskan kehidupan dan
pembicaraan alam bawah sadar,
alam mimpi.

3. Realisme dan Aliran Lainnya


dalam Karya Sastra
Realisme adalah aliran dalam karya
sastra yang berusaha melukiskan
suatu objek seperti apa adanya
Pengarang berperan secara
objektif.Impresionisme berarti aliran
dalam bidang seni sastra, seni lukis,
seni musik yang lebih
mengutamakan kesan tentang suatu
objek yang diamati dari pada wujud
objek itu sendiri.

Aliran naturalisme adalah aliran
yang mengemukakan bahwa
fenomena alam yang nyata ini terjadi
karena kekuatan alam itu sendiri
yang berinteraksi sesamanya.
Kebenaran penciptaan alam ini
bersumber pada kekuatan alam
(natura).

Determinisme ialah aliran dalam


kesusastraan yang merupakan
cabang dari naturalisme yang
menekankan kepada takdir sebagai
bagian dari kehidupan manusia yang
ditentukan oleh unsur biologis dan
lingkungan. Takdir yang dialami
manusia bukanlah takdir yang
ditentukan oleh yang Mahakuasa
melainkan takdir yang datang
menimpa nasib seseorang karena
faktor keturunan dan faktor
lingkungan yang mempengaruhinya.

5. Eksistensialisme dalam Karya


Sastra
Eksistensialisme, Aliran ini adalah
aliran di dalam filsafat yang muncul
dari rasa ketidakpuasan terhadap
dikotomi aliran idealisme dan aliran
materialisme dalam memaknai
kehidupan ini. Kata eksistensi
berasal dari kata exist, bahasa Latin
yang diturunkan dari kata ex yang
berarti ke luar dan sistere berarti
berdiri.
Baca Juga Artikel yang Mungkin
Terkait : 15 Pengertian Teater
(Drama) Menurut Para Ahli

Jadi eksistensi berarti berdiri
dengan ke luar dari diri sendiri.
Pikiran seperti ini dalam bahasa
Jerman dikenal dengan dasei.
Dengan ia ke luar dari dirinya,
manusia menyadari keberadaan
dirinya, ia berada sebagai aku atau
sebagai pribadi yang menghadapi
dunia dan mengerti apa yang
dihadapinya dan bagaimana
menghadapinya. Dalam menyadari
keberadaannya, manusia selalu
memperbaiki, atau membangun
dirinya, ia tidak pernah selesai dalam
membangun dirinya.

Demikianlah pembahasan
mengenai Sastra – Pengertian
Menurut Para Ahli, Jenis, Struktur,
Teori dan Aliran semoga dengan
adanya ulasan tersebut dapat
menambah wawasan dan
pengetahuan kalian semua, terima
kasih banyak atas kunjungannya.
🙂🙂🙂

Catatan: Pengerjaan tugas diketik dan disertakan nama juga kelas pada lembar pengerjaan tugas.
Tugas dikirim ke santikadewimayang@gmail.com sebelum Minggu, 20 September
2020.

Anda mungkin juga menyukai