Anda di halaman 1dari 8

CANTING

Arswendo Atmowiloto

Ia sudah lama menikah dengan istrinya, yang masih mempunyai hubungan darah
denagnnya. Setelah sekian tahun kawin dan tidak juga dianugerahi anak, ia memmelihara
seorang keponakan, mereka mupu anak tanpa upacara juga tanpa keterikatan apa-apa.
Anak yang dipupu ini juga tak disebut dengan istilah panutan, yang menurut kepercayaan
magis bisa membuat si pemupu hamil .Wagiman mengambil begitu saja, banyak anak-
anak yang akan senang hati diambil dan di-openi, dipelihara. Setelah juga tidak berhasil
memancing istrinya hamil, Wagiman berikhtiar lain yaitu mencari pisang raja yang dalam
satu sisisr buahnya satu. Begitulah yang diajarkan kedua orangtuanya dulu. Kalaupun
demikian belum hamil juag nasihat Tangsiman lebih berarti.
“Kamu ini sebenarnya malah dikasihi sama Gusti Alloh. Tidak dibuat repot.”
“Ya minta sama Gusti alloh sana.”
“Sudah itu.”
“Jangan meminta anak. Minta momongan asuhan. Karena kita ini hanya
diperbolehkan mengasuh anak.”
Dan bagi Wagiman serta istrinya jelas. Bahwa dengan memohon kepada Tuhan,
segalanya akan terjawab. Selepas pukul dua pulu empat, mereka berdua berdoa di tempat
terbuka. Di tempat di mana mereka bisa melihat langit, tidak ditutupi oleh genting dan
daun-daun. Dengan Bahasa yang diucapkan dalam hati, dengan niatan lembut walau hati
perih.
Tuhan lebih nyata dalam kehidupan Wagiman dan istrinya.dan beberapa saat
kemudian kehamilan itu terjadi. Setelah sekian tahun menunggu, setelah mupu anak,
setelah memakan pisang raja yang hanya satu buahnya, setelah banyak dukun memijat
perutnya tanpa hasil, doa itu memberikan apa yang diharapkan.
Istri Wagiman mulai hamil, tanpa ngidam yang  berlebihan. Ada muntah-muntah
sedikit, tak tahan bau nasi, akan tetapi juga terus bekerja. Wajahnya kelihatan lebih cantik,
Wagiman mempercayai bahwa bayi yang dikandung istrinya kemungkinan besar adalah
perempuan.
Pada saat usia kandungan mencapai tujuh bulan, dan karena ini kandungan anak
pertama, mereka semestinya mitoni, tujuh bulan usia kandungan. Ewagiman
memberanikan diri meminta Bu Bei sepasang kelapa gading. Wagiman bisa mmembeli ke
pasar, akan tetapi sepertinya yang disarankan ia meminta, untuk anaknya seorang
Wagiman memberanikan diri melakukan sesuatu yang tak pernah dilakukan sebelumnya.
Istri Tangsiman pergi ke pasar, membeli sayuran dan mengumpulkan buah
kedondong, bengkoang, jeruk bali, pisang yang masih muda, dan ditanjikan rujak. Hanya
beberapa pincuk, piring yang dibuat dari daun pisang untuk diicicipi. Kalau pedas, mereka
akan menduga bahwa bayinya lelaki. Upacara selanjutnya seperti tingkeban, mandi
dengan air yang diberi bunga mawar, kanthil, kenanga, tak perlu bagi mereka yang jumlah
kainnya tak mencukupi.
Bagi Wagiman semua upacara ditandai dengan main kartu di antara tetangga satu
atap, dengan saudara jauh dekat dan teman sekerja. Main kartu semalam suntuk dan yang
kalah tidak pernah kehilangan tidak lebih dari lima liter beras. Main kartu semalaman tidak
membuat mereka gerah atau esok harinya tidak bisa bekerja dengan baik.
Sampai dengan kelahiran Wagiman hanya menandai dengan main kartu di antara
sahabat, saudara yang dulu juga. Kalua kemudian Gendhuk 35 hari, upacara main kartu
terulang kembali. Juga ketika Gendhuk berusia tujuhlapan, atau tujuh kali selapan atau
245 hari, kartu yang sama dipakai kembali.wagiman tidak memakai upacara tedak siten,
atau upacara menginjak tanah yang pertama kali bagi si bayi.upacara ini sangat penting
karena pada saat itulah si bayi juga diramal apa yang dialami kelak. Jika ia dimasukkan ke
dalam sangkar ayam yang telah diberi beberapa mainan, apa yang dipegang pertama
menunjukkan bahwa kelak kemudian hari pekerjaan dan karirnya dilambangkan dengan
apa yang dipegang. Kalau Gendhuk memegang gelas emas yang disediakan di situ, ada
harapan bisa jadi kaya raya di belakang hari.
Namun kepercayaan semacam itu tak begitu dihiraukan, karena Gendhuk sebelum
tedak siten sudah berada di tanah dan yang dipegang pertama ialah hal-hal yang
berhubungan dengan pembatikan. Berarti juga tak terlalu jatuhnya. Kalau saat itu istri
Wagiman memberi duit receh kepada anak-anak kecil, itu tidak dimaksiudkan sebagai
sawuran duit, uang yang disebarkan seperti dalam upacara bayi pertama berusia delapan
bulan.
Semua berjalan biasa-biasa. 
Gendhuk tumbuh seperti biasa. Sebelum setahun, adiknya menyyusul sudah
berada dalam kandungan. Gendhuk kemudian diasuh tetangga yang masih saudara juga,
ketika adiknya lahir. 
Perubahan yang ada bagi Wagiman, istrinya, Mijin, Jimin, Mbok Kromo, atau yang
lainnya lagi hanya ditandai dengan jumlah anak. Setiap harinya tak jauh berbeda. Bangun
pagi hari sangat pagi. Dan masing-masing kemudian digerakkan oleh pekerjaan masing-
masing. Menjerang air untuk minum, menyapu, mandi beramai-ramai atau pergi ke kakus
yang dibuatkan di tempat yang tak jauh dari rumah kebon.
Lalu mulailah dengan pekerjaan sehari-hari. Memuat pola, dengan pensil
ngengrengi, membatik bagian yang sudah digambari dengan pensil, diwedel, direnda
dalam obat batik untuk diberi warna dasar. Setelah warnanya menjadi biru, kemudian
dikerik dan dicuci sampai bersih, dikeringkan dibironi, menutup garis-garis dan titik-titik
agar nantinya tidak terkena sogan, dicuci bersih dijemur dan diberi kanji, tepung aci,
sambal dijemur dilipat, dipres agar halus lipatannya, diteliti lagi, diberi cap canting,
dimasukkan ke dalam plastik, disusun dipak, dimasukkan ke  dalam karung yang dibuat
dari kain, dibawa ke pasar ditumpuk, dipamerkan, dibuka, dilipat kembali, dipajang dan
selalu terulang setiap kali, kembali lagi proses dari awal di mana kain mori dikemplong,
dipukuli dengan kayu, dijemur dan dicuci, pola dan terus berulang kembali.yang berubah
adalah jika ada anggota baru sesuai dengan janji pekerjanya: Atmo Kemplong, Harjo
Wedel, Man Sago dana tau kemudian Carik Wagiman. Tak ada peristiwa lain. Tak tahu
apa yang terjadi di luar.
Tak seperti Pak Bei yang mendengarkan radio, yang cemas, yang menelepon, yang
Nampak murung, yang menggaruki rambutnya dan kehilangan nafsu berdehem.
Wagiman tak mengenal itu semua.
Tapi sangat terkejut ketika pagi-pagi ia mendengar suara keras setelah teriakan.
Wagiman masih menggendong Gendhuk – yang selalu minta digendong jika makan- dan
masih membawa bubur ke depan.
Apa yang dilihatnya adalah suatu yang tak pernah dilihatnya. Seumur hidupnya.
Di depan regol, pintu depan, Pak Bei berdiri bertolak pinggang. Wajah ningratnya
yang tampan. Mendongak ke atas. Tubuhnya seperti tergetar oleh kemarahan. Di
depannya ada serombongan anak muda yang nampak gagah juga sama murka
mengahadapi Pak Bei.
Wagiman baru kemudian mengerti bahwa Pak Bei tidak mengijinkan dinding
temboknya bagian luar ditempeli plakat-plakat. Saat ini Pak Bei memerintahkan untuk
disobek. 
“Tidak di dinding rumahku, cabut kembali atau saya kencingi.” 
Suara Pak Bei yang tinggi disambut dengan teriakan garang. Lebih dari sepuluh
pemuda siap menyerang Pak Bei.
“Setan kota!”
“Kapitalis!”
“Nekolim!”Pak Bei tak gentar.

Tangannya menuding.
“Kalian anak-anak belum bisa kencing sendiri, tahu apa. Kalian ini kuda kepang!”
Pak Bei maju ke depan. Plakat tulisan yang ada di tembok bagian luar. Yang
sebagian besar dibuat dari kertas merang dan kertas karton, dirobek. Dibuang ke tanah.
Wagiman merasakan sesuatu yang gawat.
Bukan karena ia mendengar rapat-rapat, ada pawai-pawai. Ia tak tahu menahu
tentang itu. Tahu kalau ada kegiatan seperti itu, akan tetapi mau ke mana dana pa
tujuannya. Wagiman merasa ada sesuatu yang gawat, karena salah seorang dari
gerombolan itu maju dan mengayunkan papan kayu ke punggung Pimpinan Bei.
Wagiman berteriak dan maju ke depan.
Gendhuk masih dalam gendongan, bubur masih di tangannya.
“Jangan…”
Wagiman melindungi kepala Gendhuk ketika papan kayu yang lain menghantam.
Gendhuk menangis, menjerit. Pak Bei sendiri sempoyongan dan tak menduga bahwa ia
diserang seperti itu. 
Kegagahan, keningratannya, kepemimpinan yang selama ini ditunjukkan, ternyata
tak mempunyai apa-apa. Pak Bei lari mundur ketika dikeroyok. Masuk ke dalam rumah.
“Ganyang!”
“Bakar!”
“Kapitalis” Antek Nekolim!”
Mereka menyerbu masuk lewat regol. Dengan segala teriakan yang ganas.
Matahari belum cukup hangat. Jalan di rumah masih sepi. Beberapa orang yang lewat
ternyata melihat saja. Kerumunan bertambah akan tetapi tak ada yang berusaha
mencegah.
Terengah-engah Wagiman masuk ke dalam rumah.
Ternyata amukan makin mengganas. Kaca bagian depan jadi sasaran. Dilempari
batu pecah berhancuran. Terdengar jerit dann tangis. Semua keluarga Ngebean berlari
keluar, akan  tetapi masuk kembali. 
Massa yang bergerombolan makin banyak.
Teriakan makin tinggi.
Wagiman menggigil. Tangannya sakit. Kepalanya berdarah tapi kekuatirannya lebih 
besar. 
“Bakar!” 
Wagiman makin cemas, karena Pak Bei ternyata muncul lagi dari dalam tetap
gagah, tetap lebar langkahnya. Kedua tangan Pak Bei menggenggam tombak panjang. Bu
Bei menangis di kaki Pak Bei, berusaha menahan.
Pak Bei tetap maju.
Massa menyongsongnya, menyerbu ke arahnya. Pak Bei kena pukulan, entah di
mana terjatuh. Dan pukulan makin bertubi. Bu Bei menjerit keras. Wagiman berusaha
maju, akan tetapi satu pukulan membuat kepalanya pusing.
Dalam samar-samar ia melihat satu sosok tinggi besar maju. Gebukan ke arah
tubuhnya tak membuatnya mundur. Tak membuatnya mengubah langkah. Tubuh itu
melindungi Pak Bei, dan melawan. Merebut satu kayu dan langsung digebukkan dengan
keras. 
TUGAS PROYEK BAB 4 TEKS NOVEL KELAS XII

PETUNJUK 
1. Cetaklah nukilan teks novel yang diberikan dalam file terlampir dan nantinya disteples
jadi satu dengan hasil jawaban pertanyaan, tidak perlu dijilid.
2. Tugas boleh dikerjakan dengan tulisan tangan atau diketik komputer.
3. Gunakan pulpen hitam/biru dalam menjawab pertanyaan di bawah ini jika ditulis
tangan. Tulisan harus rapi agar mudah dibaca dan bersih.
4. Butir pertanyaan ditulis/diketik kembali.
5. Tulislah nomor absen, nama, kelas, tanggal pengerjaan, sumber dan judul serta nama
pengarang novel pada lembar pertama tugasmu.
6. Lalu fotolah hasil tugasmu dan ubahlah ke dalam bentuk pdf.
7. Masukkan ke kantung tugas TUGAS PROYEK.
8. Batas pengiriman latihan ini sesuai tenggat waktu di GCR masing-masing.

PERTANYAAN
1. Bacalah kutipan novel yang kalian kliping dengan cermat.
2. Analisislah unsur instrinsik dan ekstrinsik kutipan novel tersebut dan tulislah bukti-bukti
kalimatnya.
A. Unsur instrinsik:
1. Tema
2. Alur
3. Tokoh dan penokohan
4. Latar
5. Amanat
6. Sudut pandang
B. Unsur ekstrinsik
1. Latar belakang pengarang
2. Situasi sosial budaya  masyarakat
3. Nilai-nilai yang diangkat
3. Identifikasikanlah penggunaan Bahasa dalam kutipan novel tersebut. Tulislah bukti-
bukti kalimatnya.
1. Ungkapan
2. Majas
3. Peribahasa
Jawaban :

1. Analisislah unsur instrinsik dan ekstrinsik kutipan novel tersebut dan tulislah bukti-
bukti kalimatnya.
A. Unsur instrinsik:
1. Tema
- Pada nukilan teks novel canting tema yang menjadi dasar yakni adalah
persoalan hidup manusia yang memiliki banyak permasalahan di hidupnya
yang kompleks dan juga bagaimana manusia mencari cara atau solusi untuk
memecahkan permasalahan yang ada dengan sikap atau sifat yang berbeda-
beda satu dengan lainnya. Hal ini dibuktikan pada kutipan novel dimana
Wagiman yang belum dikaruniai anak tetapi dirinya berusaha dengan segala
cara untuk mendapatkan buah hati mulai dari pergi ke dukun hingga akhirnya
meminta kepada gusti Allah. Kutipan tersebut dimuat dalam:
 Ia sudah lama menikah dengan istrinya, yang masih mempunyai
hubungan darah denagnnya. Setelah sekian tahun kawin dan tidak
juga dianugerahi anak, ia memelihara seorang keponakan.
 Tuhan lebih nyata dalam kehidupan Wagiman dan istrinya.dan
beberapa saat kemudian kehamilan itu terjadi. Setelah sekian tahun
menunggu, setelah mupu anak, setelah memakan pisang raja yang
hanya satu buahnya, setelah banyak dukun memijat perutnya tanpa
hasil, doa itu memberikan apa yang diharapkan.

Selain itu, permasalahan akan kehidupan juga dialami oleh Pak Bei yang
terlihat emosi dan tidak terima jika para pemuda memasang plakat pada
dinding rumah Pak Bei. Kutipan tersebut dimuat dalam:
 Wagiman baru kemudian mengerti bahwa Pak Bei tidak mengijinkan
dinding temboknya bagian luar ditempeli plakat-plakat. Saat ini Pak
Bei memerintahkan untuk disobek. 
“Tidak di dinding rumahku, cabut kembali atau saya kencingi.” 
Suara Pak Bei yang tinggi disambut dengan teriakan garang. Lebih
dari sepuluh pemuda siap menyerang Pak Bei.

2. Alur
- Alur menurut Tasrif (dalam Nurgiantoro, 2007:149-160) dapat dibedakan
menjadi lima tahanapan, yaitu tahap penyituasian (situasion), tahap
pemunculan konflik (generating circumstante), tahap peningkatan konflik
(rising action), tahap klimaks (climax), dan tahap penyelesaian (denovement).
 Dimana tahap penyituasian ada dalam kutipan dimana Wagiman
belum dikaruniai anak dan berusaha mendapatkan anak serta situasi
dimana Pak Bei marah besar akibat plakat-lakat yang ditempel oleh
para pemuda di dinding.
 Tahap pemunculan konflik dapat dilihat paling jelas adalah saat
Wagiman yang kaget belum pernah melihat Pak Bei semarah ini dan
Pak Bei yang juga tidak terima dengan tempelan plakat-plakat di
dindingnya
 Tahap peningkatan konflik terlihat jelas saat para pemuda menyerang
Pak Bei dan juga memukul Wagiman karena tidak terima dengan
perlakuan Pak Bei dan peningkatan konflik ini dihadirkan dengan Pak
Bei yang merobek plakat-plakat dan menimbulkan amukan dari para
pemuda. Kutipan tersebut dimuat dalam:
 Pak Bei maju ke depan. Plakat tulisan yang ada di tembok
bagian luar. Yang sebagian besar dibuat dari kertas merang
dan kertas karton, dirobek. Dibuang ke tanah.
Wagiman merasakan sesuatu yang gawat.
 Wagiman merasa ada sesuatu yang gawat, karena salah
seorang dari gerombolan itu maju dan mengayunkan papan
kayu ke punggung Pimpinan Bei.
 Wagiman melindungi kepala Gendhuk ketika papan kayu
yang lain menghantam. Gendhuk menangis, menjerit. Pak
Bei sendiri sempoyongan dan tak menduga bahwa ia
diserang seperti itu. 
 Tahap klimaks muncul saat yang Pak Bei balik menantang para
pemuda untuk bertarung dan akhirnya ia dipukuli oleh para
pemuda dan Wagiman yang melindungi Gendhuk dari amarah
para pemuda dan berusaha melindungi Pak Bei. Kutipan
tersebut dimuat dalam:
 Wagiman melindungi kepala Gendhuk ketika papan kayu
yang lain menghantam. Gendhuk menangis, menjerit. Pak
Bei sendiri sempoyongan dan tak menduga bahwa ia
diserang seperti itu. 
 Kegagahan, keningratannya, kepemimpinan yang selama ini
ditunjukkan, ternyata tak mempunyai apa-apa
 Wagiman makin cemas, karena Pak Bei ternyata muncul lagi
dari dalam tetap gagah, tetap lebar langkahnya. Kedua
tangan Pak Bei menggenggam tombak panjang. Bu Bei
menangis di kaki Pak Bei, berusaha menahan.
Pak Bei tetap maju.
 Massa menyongsongnya, menyerbu ke arahnya. Pak Bei
kena pukulan, entah di mana terjatuh. Dan pukulan makin
bertubi. Bu Bei menjerit keras.
 Tahap Penyelesaian terjadi saat Wagiman melihat dengan
samar ada sosok besar yang membanatu Pak Bei. Kutipan
tersebut dimuat dalam :
 Dalam samar-samar ia melihat satu sosok tinggi besar maju.
Gebukan ke arah tubuhnya tak membuatnya mundur. Tak
membuatnya mengubah langkah. Tubuh itu melindungi Pak
Bei, dan melawan. Merebut satu kayu dan langsung
digebukkan dengan keras. 
 Dalam nukilan teks novel Canting tersebut juga memiliki alur
maju dimana setiap ceritanya menunjukan kejadian yang
berrlangsung di waktu-waktu selanjutnya.

3. Tokoh dan penokohan


- Dalam nukilan diatas penokohan Wagiman ditokohkan sebagai sosok yang
tidak mudah menyerah terlihat dari berbagai cara yang ia lakukan demi
mendapatkan seorang anak dan juga peduli terhadap orang lain yang
dibuktikan dalam kutipan bahwa ia berusaha melindungi Gendhuk dan Pak
Bei dari amukan para pemuda. Kutipan tersebut dalam :
 Setelah juga tidak berhasil memnacing istrinya hamil, Wagiman
berikhtiar lain yaitu mencari pisang raja yang dalam satu sisisr
buahnya satu. Begitulah yang diajarkan kedua orangtuanya
dulu
- Penokohan Pak Bei ditokohkan sebagai seorang yang mempunyai sosok
ningrat tampan dan kuat pada dirinya dibuktikan dari Pak Bei yang balik
menantang para pemuda karena ia tidak terima dan pandangan Wagiman
terhadap dirinya. Kutipan tersebut dalam :
 Wagiman makin cemas, karena Pak Bei ternyata muncul lagi
dari dalam tetap gagah, tetap lebar langkahnya. Kedua tangan
Pak Bei menggenggam tombak Panjang.
 Di depan regol, pintu depan, Pak Bei berdiri bertolak pinggang.
Wajah ningratnya yang tampan.

4. Latar
- Latar yang ada pada nukilan teks novel diatas berupa latar waktu dan tempat
dimana latar waktu dan tempat dibuktikan dalam kutipan berikut:
 Selepas pukul dua pulu empat, mereka berdua berdoa di
tempat terbuka. Di tempat di mana mereka bisa melihat langit,
tidak ditutupi oleh genting dan daun-daun.
 Istri Tangsiman pergi ke pasar.
 Pak Bei tidak mengijinkan dinding temboknya bagian luar.
 Terengah-engah Wagiman masuk ke dalam rumah.
 Tapi sangat terkejut ketika pagi-pagi ia mendengar suara keras
setelah teriakan.
5. Amanat
- Dalam nukilan teks novel diatas amanat yang dapat disimpulkan adalah kita
harus dapat bersabar tetapi juga terus berusaha untuk mencapai tujuan kita
seperti yang dilakukan ole Wagiman dan disisi lain kita juga harus pandai
mengatur emosi jangan sampai hal-hal yang tidak diinginkan terjadi akibat
emosi yang kita tidak bisa kendalikan seperti yang menimpa Pak Bei.

6. Sudut pandang
- Pada nukilan teks novel Canting diatas sudut pandang pengarang
adalahsebagai orang ketiga (pengamat) dimana pengarang dalam teks novel
ini sebagai orang ketiga berada di luar cerita bertindak sebagai
pengamat sekaligus sebagai narator yang menjelaskan peristiwa yang
berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran para pelaku cerita.
B. Unsur ekstrinsik
1. Latar belakang pengarang
- Nama asli Arswendo Atmowiloto adalah Sarwendo. Dia mengganti
namanya menjadi Arswend karena menurutnya itu tidak terlalu komersial dan
terkenal. Kemudian, setelah namanya ditambahkan, nama ayahnya,
Atmowiloto, menjadi nama yang dikenal luas hingga saat ini. Ia lahir pada 26
November 1948 di solo Jawa Tengah. Setelah lulus dari Fakultas Pendidikan
Bahasa dan Sastra, ia bekerja di pabrik bihun dan kemudian di produk susu.
Dia juga bekerja sebagai pengendara sepeda dan pemetik bola di lapangan
tenis.
Arswend mulai menulis pada tahun 1971. Cerpen pertamanya,
berjudul "Sleko", diterbitkan di Mingguan Bahari. Selain berkarya sebagai
penulis, ia juga pernah menjadi direktur Bengkel Sastra di Balai Kesenian
Jawa Tengah, Solo (1972). Setelah itu menjadi konsultan penerbitan untuk
Subentra Citra Media (1974-1990), Pemimpin Redaksi Majalah Pemuda Hai,
Pemimpin Redaksi Majalah Monitor (1986), dan Pemimpin Redaksi. Majalah
Bahagia (1998).
Arswendo Atmowiloto adalah seorang penulis serba bisa yang karya
utamanya adalah sebuah novel. Ceritanya lucu, fantastis, spekulatif dan
sensasional. Karyanya telah dimuat di berbagai media massa seperti
Kompas, Cinard Harapan, Actuel dan Cakrawala. Karyanya diterbitkan oleh
Penerbit Gramedia, Perpustakaan Utama Grafiti, Ikapi dan PTTempprint.
Puluhan karyanya telah direkam, beberapa di antaranya cocok untuk layar
televisi dan film.

2. Situasi sosial budaya  masyarakat


- Sosial Budaya yang dilihat dari nukilan teks novel diatas dapat dilihat dari
adanya budaya Jawa yang kental dan dipertahankan oleh Wagiman dalam
menyambut buah hatinya budaya-budaya dalam nukilan novel diatas
termasuk :
 Mitoni : Pada saat usia kandungan mencapai tujuh bulan, dan karena
ini kandungan anak pertama, mereka semestinya mitoni, tujuh bulan
usia kandungan.
 Tingkeban : Istri Tangsiman pergi ke pasar, membeli sayuran dan
mengumpulkan buah kedondong, bengkoang, jeruk bali, pisang yang
masih muda,dan ditanjikan rujak. Hanya beberapa pincuk, piring yang
dibuat dari daun pisang untuk diicicipi. Kalau pedas, mereka akan
menduga bahwa bayinya lelaki. Upacara selanjutnya seperti
tingkeban, mandi dengan air yang diberi bunga mawar, kanthil,
kenanga, tak perlu bagi mereka yang jumlah kainnya tak mencukupi.
 Bermain Kartu : Bagi Wagiman semua upacara ditandai dengan main
kartu di antara tetangga satu atap, dengan saudara jauh dekat dan
teman sekerja

3. Nilai-nilai yang diangkat


- Nilai moral bagaimana ketekunan dan kerja keras serta kesabaran Wagiman
dan istrinya berbuah manis dan melahirkan buah hati.
- Nilai pengendalian emosi dimana diperlihatkan bahwa sebaiknya kita harus
pandai pandai mengendalikan emosi agar hal-hal yang terjadi tidak diluar
dugaan dan merugikan kita.

3. Identifikasikanlah penggunaan Bahasa dalam kutipan novel tersebut. Tulislah bukti-


bukti kalimatnya.
1. Ungkapan
- Setelah sekian tahun kawin dan tidak juga dianugerahi anak, ia memelihara
seorang keponakan
 Yang artinya tokoh "ia" berartikan merawat seorang ponakan
- mereka semestinya mitoni, tujuh bulan usia kandungan.
 Mitoni adalah sebuah doa agar calon ibu dilancarkan selama
mengandung hingga melahirkan janin
- sebelum tedak siten sudah berada di tanah dan yang dipegang
 Tedak siten adalah rangkaian prosesi adat tradisional dari tanah Jawa
yang diselenggarakan pada saat pertama kali seorang anak belajar
menginjakkan kaki ke tanah
- Memuat pola, dengan pensil ngengrengi
 Yang artinya pembatik yang membetik dari permulaan sampai selesai
nerusi
- membatik bagian yang sudah digambari dengan pensil, diwedel, direnda
dalam obat batik untuk diberi warna dasar.
2. Majas
- Repetisi :
 Anak yang dipupu ini juga tak disebut dengan istilah panutan, yang
menurut kepercayaan magis bisa membuat si pemupu hamil
- Hiperbola:
 Apa yang dilihatnya adalah suatu yang tak pernah dilihatnya. Seumur
hidupnya.
 Kegagahan, keningratannya, kepemimpinan yang selama ini ditunjukkan,
ternyata tak mempunyai apa-apa.
 “Kalian anak-anak belum bisa kencing sendiri, tahu apa. Kalian ini kuda
kepang!”
- Metafora:
 Kalau Gendhuk memegang gelas emas yang disediakan di situ, ada
harapan bisa jadi kaya raya di belakang hari
3. Peribahasa
- banyak anak-anak yang akan senang hati diambil dan di-openi, dipelihara.

Anda mungkin juga menyukai