Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

A. IdentitasPasien

Nama : Tn.A
Umur : 68 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : PNS
Jenis Kelamin : Laki-Laki
No.Rm : 39.63.96
Tanggal Periksa : 20 September 2019

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Mata berair

Anamnesis Terpimpin:

Seorang pasien laki-laki usia 68 tahun, datang ke RSAD Ridwan Meuraksa dengan
keluhan mata sering berair yang dirasakan sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan ini
disertai dengan penurunan penglihatan, dengan jarak pandang pasien hanya
mencapai 5 meter. Pasien biasa mengucek matanya dan sering terkena debu
ataupun paparan sinar matahari karena sering mengendarai motor. Pasien baru
mulai mengeluhkan masalah penglihatan sejak muncul buram berwarna putih pada
penglihatannya.

Riwayat penyakit dahulu :

HT (+), DM (+)diketahui pada tahun 2013 dengan nilai GDS 1050, dan menurut
pasien, tidak ada keluhan meskipun kadar gula darahnya tinggi.

1
Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada

Riwayat Pengobatan :
Pasien mengaku sebelumnya pernah menjalani operasi mata di kedua mata, 2x
operasi pada mata kanan dan 1x pada mata kiri.
C. STATUS GENERAL
1. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. BB : 55 kg
4. TB : 157 cm
5. TD :160/100mmhg
6. Nadi : 80x/menit
7. Laju Pernapasan : 18x/menit
8. Suhu : 36,6 C
9. Kepala : Normocephal, tidak terdapat deformitas
10. Telinga : Normotia, Discharge (-)
11. Hidung : Deviasi septum (-), discharge (-), epistaksis (-)
12. Mulut : Karies gigi (-)
13. Leher : Kelenjar getah bening tidak teraba pembesaran
14. Thorax Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
15. Paru : Suara napas dasar vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
16. Abdomen : Cembung, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) N.
17. Ekstremitas : Hangat, udema -/-, deformitas (-)

D. STATUS LOKALISASI OFTALMOLOGIS


Occuli Dekstra Occuli Sinistra
6 / 50 (tidak terkoreksi) Visus 6 / 50 (tidak terkoreksi)

2
Ortoforia Muscle Balance Ortoforia
Pergerakan Bola
Mata

Normal ke segala arah Normal ke segala arah


Hitam,distribusi normal, Cilia Hitam,distribusi normal,
simetris, Trikiasis (-) simetris, Trikiasis (-)
Edema (-), Hematoma (-), Edema (-), Hematoma (-),
Enteropion (-), Ekteropion (-), Palpebra Superior Enteropion (-), Ekteropion (-),
Hiperemis(-) Hiperemis(-)
Edema (-), Hematoma (-), Edema (-), Hematoma (-),
Enteropion (-), Ekteropion (-), Palpebra Inferior Enteropion (-), Ekteropion (-),
Hiperemis(-) Hiperemis(-)
Hiperemis (-), Folikel (-), Konjungtiva Tarsal Hiperemis (-), Folikel (-),
Papil (-) Superior Papil (-)
Hiperemis (-), Folikel (-), Konjungtiva Tarsal Hiperemis (-), Folikel (-),
Papil (-) Inferior Papil (-)
Injeksi silier (-), Injeksi silier (-),
Injeksi Konjungtiva (-), Konjungtiva Bulbi Injeksi Konjungtiva (+),
Subconjungtival Bleeding (-), Subconjungtival Bleeding (-),
Pterigium (+) Pterigium (+)
Jernih, permukaan licin, Kornea Jernih, permukaan licin,
infiltrate (-) infiltrate (-)
Neovaskularisasi (-). Neovaskularisasi (-),
Defek jaringan epitel (-) Defek jaringan epitel (-)
Jernih, Kedalaman COA Jernih, kedalalaman Sedang
Sedang
bulat, isokor, RCL(+), Pupil bulat, isokor, RCL(+), RCTL
RCTL (+) (+)
± 4mm Diameter ± 4mm

3
Warna cokelat, Kripti baik, Iris Warna cokelat, Kripti baik
sinekia (-), Koloboma (-). sinekia (-), Koloboma (-).
Keruh sebagian, Lensa Keruh sebagian,
Shadow test (+) Shadow test (+)
Normal/ palpasi TIO Normal/ palpasi
Normal Sistem Lakrimasi Normal

E. RESUME
Seorang pasien laki-laki usia 68 tahun, datang ke RSAD Ridwan Meuraksa
dengan keluhan mata berair sejak 2 tahun disertai penurunan penglihatan. Pada
pasien didapatkan visus menurun (+). Keluhan ini dialami sejak kurang lebih 1
tahun yang lalu. Riwayat penyakit sistemik (+). Pasien memiliki riwayat operasi
mata.

Pada oftamologi visus ditemukan VOD: 6/50 dan VOS: 6/50. Selain itu pada
OS didapatkan jaringan fibrotik berwarna putih berbentuk segitiga dengan
vaskularisasi yang sudah melewati limbus tapi belum mencapai pupil.

F. DIAGNOSIS KERJA
 Pterigium Grade III OS
 Katarak Imatur ODS

G. DIAGNOSIS BANDING
 Pseudopterigium
 Pinguekula
 Episkleritis nodular

H. TERAPI
Edukasi

4
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, rencana pengobatan, serta
komplikasi yang dapat terjadi.
- Menjelaskan perlunya kontrol.
- Menyarankan menghindari debu, daerah kering dan berangin, dan paparan
sinar matahari
- Menyarankan memakai kacamata hitam atau topi lebar saat beraktivitas di luar
rumah saat siang hari.
Medikamentosa
Catartent 3x1 tetes
Cendolyteer 3x1 tetes
Anjuran untuk eksisi Pterigium

I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad cosmeticam : dubia ad bonam

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

5
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif berbentuk triangular dengan apeks di kornea.
Pterigium biasanya terdapat di daerah nasal. Diduga penyebab pterigium adalah
paparan atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata.
Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu
dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zat alergen, kimia, dan
pengiritasi lainnya. Umumnya angka prevalensi pterigium pada daerah tropis
lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Karena Indonesia beriklim tropis,
penduduknya memiliki risiko tinggi mengalami pterigium. Di daerah tropis
seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko timbulnya
pterigium 44×lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis, dengan prevalensi
untuk orang dewasa > 40 tahun adalah 16,8%, laki-laki 16,1% dan perempuan
17,6%.1,2

Hasil survei di Sulawesi Selatan, pterigium menduduki peringkat kedua


dari sepuluh macam penyakit utama dengan insidens sekitar 8,2%.2 Beberapa
teori yang telah dikemukakan untuk menerangkan patogenesis terjadinya
pterigium, tetapi etiologinya yang pasti dan penyebabnya bersifat multifaktorial.
Selain itu, pterigium menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi
mengganggu penglihatan bahkan berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada
stadium lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium diperlukan agar gangguan
penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan terhadap
komplikasi.3,4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

6
1. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membrane mukosa yang transparan dan tipis yang

membugkus permukaan posterior kelopak mata (kojungtiva palpebra) dan

permukaan anterior sclera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambung

dengan kulit pada tepi palpebra dan dengan epitel kornea di limbus.

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian:

a. Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata

dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni

konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang dari

tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur

dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara

kulit dan konjungtiva lebih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan

banyak mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal

kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah

bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks.

b. Konjungtiva bulbaris. Melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat

pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel

kornea.Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan

kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris

sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.

7
c. Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan

konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat

erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secara longgar

dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior

serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka

konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot

tersebut berkontraksi.

Gambar. Konjungtiva

terdiri dari konjungtiva

bulbaris, konjungtiva

forniks, konjungtiva palpebralis.

2. Histologi

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan

adenoid, dan lapisan fibrosa.

8
1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-

masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva

marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal

memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan

lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris

memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan

tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus.

Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis)

epitel berlapis gepeng.

2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri

dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit.

Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak di

temukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal

kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada

bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.

3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.

Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah

konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini

mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu

dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.

9
Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan

kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar

uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di

konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal).

Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk membasahi

kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar

Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di

atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di

sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus

inferior).

Gambar. Histologi konjungtiva normal

Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna

merah muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas

lateralnya berbentuk cekung. Karunkula adalah massa kecil, oval, merah

muda, terletak di canthus bagian dalam. Pada kenyataannya, massa ini

10
merupakan potongan modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel gepeng

bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut.

PTERIGIUM

A. Definisi

Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium (berasal

dari bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang artinya sayap) adalah poliferasi

jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal

konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya

menutupi permukaan kornea.

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva

yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada

celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke

daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral

atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi,

maka bagian pterygium akan berwarna merah dan dapat mengenai kedua

mata.

B. Epidemiologi

Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian

dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi

11
epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari

yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam garis peri-

khatulistiwa 37o lintang utara dan selatan khatulistiwa. Pada populasi yang

terkena, pertumbuhan pterigium telah terlihat pada remaja muda dan banyak

terjadi di masyarakat di padang pasir. Pterigium terlihat hampir dua kali lebih

sering pada laki-laki daripada wanita.

Secara umum studi lain tentang pterigium, prevalensi pterigium di

Sumatera meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang berbeda dengan

beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.

Keberhasilan penanganan pterigium adalah tantangan untuk dokter

mata karena tingkat kekambuhan yang tinggi (2,1% menjadi 87%). Tingkat

kekambuhan tinggi dan komplikasi penglihatan yang mengancam pada teknik

bedah yang berbeda memprovokasi para spesialis mata untuk mencari

modalitas baru dan pengobatan yang lebih aman.

Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam

fungsi visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi

inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :

1. Jenis Kelamin

Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih

banyak dibandingkan wanita.

12
2. Umur 

Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun.

Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang

tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan

mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi.

C. Etiologi

Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini

lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan

yang paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan

seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan

debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki kemungkinan sebagai

faktor etiologi.

Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal

pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini

mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis

dan proliferasi sel. Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang

paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah

melaporkan bahwa gen p53 dan human papilloma virus dapat juga terlibat

dalam patogenesis pterigium.

D. Patofisiologi

13
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus

menerus terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV

memainkan bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV

memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan

ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks

ekstraselular.

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak

dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan

pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini

biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama

untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran

pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum

lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab

pterigium. Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu

penyebabnya. Sinar UV B Merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi

pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus

kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan

pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan

pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan

angiotenesis, perubahan patologis termaksud juga degenerasi elastoid kolagen

14
dan timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi.

Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya

menunjukkan dysplasia.

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang

lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di

samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra

violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada

bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan

dengan bagian temporal.

Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium

seringkali muncul di daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya

matahari. Cahaya matahari diteruskan ke dalam limbus sklerokorneal setelah

dipantulkan oleh dinding nasal lateral, di mana konjungtiva bulbar di daerah

nasal inilah yang lebih sering terpapar sinar matahari. Mengingat juga, bulu

mata di dekat nasal jauh lebih pendek dibanding bulu mata di daerah

temporal.

Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas,

termasuk laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk

mengganggu regulasi p53. Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek

pada ekspresi beberapa jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor faktor

pertumbuhan. Adanya perubahan ekspresi sel-sel sitokin ini telah dievaluasi

15
oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam teknik pemeriksaan

imunihistokimia dan ELISA. Sinar UV dapat menginduksi sitokin seperti

interleukin-1 (IL-1) bersama dengan tumor necrosis factor (TNF-α)

membantu keratosit korneal beradaptasi memperbaiki fenotip. IL-6 berfungsi

dalam migrasi sel epitel melalui reseptor integrin dan IL-8 melakukan

aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor pertumbuhan yang berperan

dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor (EGF) dan EGF

heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth factor (VEGF),

basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-derived growth factor

(PDGF), transforming growth factor-ß (TGF-ß) and insulin-like growth factor

binding proteins (IGF-BP).

Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi

oleh fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang

dianggap berbahaya bagi mata, termasuk UVR. VEGF telah dideteksi

bertanggung jawab terhadap pertumbuhan terus-menerus epitel pterigium,

dibandingkan dengan konjungtiva normal melalui studi imunohistokimia.

Hasilnya dapat dilihat menggunakan RT-PCR assay.

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik  kolagen

dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium.

Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik

menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini

16
juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan

elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh

elastase.

E. Gambaran Klinis

Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan

di luar rumah. Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini

muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya

di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-

kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut “Stocker’s line”. Pterigium

terdiri dari tiga bagian :

- Caput

- Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea),

- Collum (bagian limbal),

- Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan canthus.

Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan

keluhan mata iritatif, merah, rasa perih, terganjal, sensasi benda asing, silau,

berair dan mungkin menimbulkan astigmat yang akan memberikan keluhan

gangguan penglihatan.

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada

intoleransi kosmetik. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya

17
menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang

terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut

yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara

perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan

mengalami penglihatan ganda atau diplopia.

Gambar. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang

kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman

pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi

kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada

konjunctiva bulbi, area paling ujung

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia

18
20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu
ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa
mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma
yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat
menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang
tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik.
Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.
2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah
fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea
anterior dari kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90% pterigium terletak di
daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus
sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan
penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea
astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap.
Bagian segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus
disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap.
Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir
pterigium.
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat
atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa
kelompok yaitu:

a. Berdasarkan perjalanan penyakit


1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea
di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

19
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.

b. Berdasarkan luas pterigium


1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil
mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4
mm)
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan

Gambar 4.Berdasarkan Derajat

G. Diagnosa Banding

1. Pseudopterigium
Pseudopterigium mirip dengan pterigium, dimana jaringan parut
fibrovaskular timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Dapat terjadi dalam
proses penyembuhan suatu ulkus kornea atau kerusakan permukaan kornea,
konjungtiva menutupi luka kornea tersebut, sehingga terlihat seolah-olah
konjungtiva menjalar ke kornea. Keadaan ini disebut pseudopterigium.

20
Pseudopterigium merupakan kelainan terdapatnya perlengketan konjungtiva
dengan kornea yang cacat. Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah:
 Puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedangkan
pseudopterigium tidak.
 Pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea sedangkan
pterigium tidak.
Selain kedua hal di atas kadang-kadang dapat dibedakan dengan melihat
pembuluh darah konjungtiva yang lebih menonjol pada pterigium dari pada
pseudopterigium.Pada pseudopterigium pembuluh darah konjungtiva sesuai
dengan konjungtiva bulbi normal.Pada pseudopterigium dapat dimasukkan
sonde di bawahnya, sedangkan pada pterigium tidak.Pterigium bersifat progresif
sedangkan pseudopterigium tidak. Pseudopterigium tidak memerlukan
pengobatan, serta pembedahan kecuali sangat menganggun visus, atau alasan
kosmetik.

Gambar. Pseudopterygium

2. Pinguecula
Pinguecula sangat sering pada orang dewasa. Keadaan ini tampak sebagai
nodul kuning pada kedua sisi kornea (lebih banyak di sisi nasal) di apertura
palpebrae. Nodul terdiri atas jaringan hialin dan jaringan elastic kuning, jarang
bertumbuh besar, tetapi sering meradang. Pada umumnya tidak diperlukan

21
terapi, tetapi apada pingueculitis tertentu, dapat diberikan steroid topical
lemah (prednisolon 0,12%) atau obat
anti- inflamasi non steroid
topikal.

Gambar. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus sklerokorneal yang

berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai permukaan kornea.

3. Episkleritis nodular
Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskuar yang
terletak antara konjungtiva dan permukaan skera. Episkleritis adalah
peradangan lokal jaringan ikat vascular penutup sclera yang relatif sering
dijumpai. Kelainan ini cenderung mengenai orang muda, khasnya pada decade
ketiga atau keempat kehidupan; mengenaik wanita tiga kali lebih sering
dibandingkan pria; bersifat unilateral pada duapertiga kasus. Kekambuhan
sering terjadi dan penyebabnya tidak diketahui. Kelainan lokal atau sistemik
terkait, misalnya rosacea ocular, atopi, gout, infeksi atau penyakit kolagen
vascular dijumpai pada sepertiga populasi pasien.
Gejala-gejala episkleritis adalah kemerahan dan iritasi ringan atau rasa
tidak nyaman. Pemeriksaan mata memperlihatkan injeksi episklera, yang bisa
nodular, sektoral atau difus. Tidak tampak peradangan edema pada sklera

22
dibawahnya; keratitis dan uveitis jarang menyertai. Diagnosis konjungtivitis
disingkirkan dengan tidak adanya injeksi konjungtiva palpebralis ataupun
sekret.

Gambar. Episkleritis Nodular


Kelainan ini bersifat jinak dan perjalanan penyakit biasanya sembuh
sendiri dalam 1-2 minggu. Tanpa adanya penyakit sistemik, terapi yang
diberikan berupa air mata buatan penyejuk setiap 4-6 jam hingga kemerahan
mereda. Namun pada kasus-kasus yang didasarai oleh kelainan lokal atau
sistemik dibutuhkan terapi yang lebih spesifik, contohnya doxycycline, 100mg
dua kali sehari untuk rosacea, terapi antimikroba untuktuberkulosis, sifilis
atau infeksi herpesvirus; obat anti-inflamasi nonsteroid lokal atau sistemik
atau kortikosteroid untuk penyakit kolagen vaskular.

H. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian
obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah
dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga
dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan
penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada

23
pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau
suatu tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar
matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda
radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid.
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang
progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan
pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan
normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang
sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan
pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun
memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih
disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di
daerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena
trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering
digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple
surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan
tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft. Dimana pterigium
yang dibuang digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar
UV (misalnya konjungtiva yang secara normal berada di belakang kelopak mata
atas). Konjungtiva normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki
kecenderungan unuk menyebabkan pterigium rekuren.
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva
bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari
konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan
utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara
kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan

24
yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup
berat.

Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal
dan halus dari permukaan kornea.
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89
persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas
sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan
untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal
jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS,
dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi
pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan
teknik ini

25
Transplantasi Membran Amnion

Transplantasi membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah

kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran

amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan

bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat

peradangan dan fibrosis dan epithelialisasi. Sayangnya, tingkat kekambuhan

sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk

pterigium primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia.

Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah

pelestarian konjungtiva bulbar. Membran Amnion biasanya ditempatkan di

atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma

menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan

lem fibrin untuk membantu transplantasi membran amnion menempel

jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam

autograft konjungtiva.

Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke

26
dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi
telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari
terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi
beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua
bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke
sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal
setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan
MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis
dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan


pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian
tappering off sampai 6minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.

27
Gambar 9.Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,(b).Pterygium removed,(c).Leaving
bare area,(d).Graft outlined,(e).Graft sutured into place

I. Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada
rektus medial dapat menyebabkan diplopia.
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:8
 Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage
atau retinal detachment.
 Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting
pada sklera dan kornea.
 Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium
post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-

28
kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau
amnion graft.
 Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel
di atas pterigium.

J. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren
pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft atau
transplantasi membran amnion.

BAB III

PEMBAHASAN

Pasien dapat didiagnosis sebagai Pterigium stadium II dari hasil anamnesis


dan pemeriksaan fisis serta terdapat gejala klinis pada pasien ini yaitu: pasien
datang dengan mata merah dan terasa mengganjal pada matanya, yang dialami
kurang lebih 1 tahun yang lalu.
Pemeriksaan Oftalmologi, ditemukan konjugtiva OS terdapat jaringan
fibrovaskular dari tepi limbus hingga tepi kornea mata kiri, berarti sesuai dengan

29
teori kepustakaan untuk pterigium stadium II yaitu sudah melewati limbus tetapi
tidak melebihi dari 2 mm melewati kornea.

Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik untuk pterigium. Tujuan


pengobatan medikamentosa adalah untuk mengurangi peradangan. Bila terjadi
peradangan dapat diberikan steroid topikal. Tindakan pembedahan  pada pterigium
adalah suatu tindakan definitif untuk mengangkat jaringan  pterigium dengan
berbagai teknik operasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dzunic B, Jovanovic P, Et Al.Analysis Of Pathohistological characteristics Of

Pterigium. Bosnian Journal Of Basic Medical Science. 2010;10 (4) : 308-13.

30
2. Raju Kv, Chandra A, Doctor R. Management Of Pterigium- A Brief Review.

Kerala Journal Of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.

3. Eva, PR dan Whitcher, JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran. EGC. 2009.
4. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of

The Bombay Ophthamologists’ Association. 2008;11(4):129-30.

5. Chui J, Coroneo Tm, Et Al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder With

Premalignant Features. The American Journal Of Pathology. 2011;178(2):817-

27.

6. Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In

Pterigium Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology, Govt. Medical

College, Jammu. 2004;6(3):149-52.

7. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-III. FK UI. 2010;118

8. Aminlari,A dkk. Management Of pterigium. Opthalmic Pearl Cornea.2010

9. Mathias, F. New Treatment Option for pterigium. Expert reviw of

opthalmology. 2017

31

Anda mungkin juga menyukai