A. IdentitasPasien
Nama : Tn.A
Umur : 68 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : PNS
Jenis Kelamin : Laki-Laki
No.Rm : 39.63.96
Tanggal Periksa : 20 September 2019
B. Anamnesis
Keluhan Utama : Mata berair
Anamnesis Terpimpin:
Seorang pasien laki-laki usia 68 tahun, datang ke RSAD Ridwan Meuraksa dengan
keluhan mata sering berair yang dirasakan sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan ini
disertai dengan penurunan penglihatan, dengan jarak pandang pasien hanya
mencapai 5 meter. Pasien biasa mengucek matanya dan sering terkena debu
ataupun paparan sinar matahari karena sering mengendarai motor. Pasien baru
mulai mengeluhkan masalah penglihatan sejak muncul buram berwarna putih pada
penglihatannya.
HT (+), DM (+)diketahui pada tahun 2013 dengan nilai GDS 1050, dan menurut
pasien, tidak ada keluhan meskipun kadar gula darahnya tinggi.
1
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada
Riwayat Pengobatan :
Pasien mengaku sebelumnya pernah menjalani operasi mata di kedua mata, 2x
operasi pada mata kanan dan 1x pada mata kiri.
C. STATUS GENERAL
1. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. BB : 55 kg
4. TB : 157 cm
5. TD :160/100mmhg
6. Nadi : 80x/menit
7. Laju Pernapasan : 18x/menit
8. Suhu : 36,6 C
9. Kepala : Normocephal, tidak terdapat deformitas
10. Telinga : Normotia, Discharge (-)
11. Hidung : Deviasi septum (-), discharge (-), epistaksis (-)
12. Mulut : Karies gigi (-)
13. Leher : Kelenjar getah bening tidak teraba pembesaran
14. Thorax Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
15. Paru : Suara napas dasar vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
16. Abdomen : Cembung, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) N.
17. Ekstremitas : Hangat, udema -/-, deformitas (-)
2
Ortoforia Muscle Balance Ortoforia
Pergerakan Bola
Mata
3
Warna cokelat, Kripti baik, Iris Warna cokelat, Kripti baik
sinekia (-), Koloboma (-). sinekia (-), Koloboma (-).
Keruh sebagian, Lensa Keruh sebagian,
Shadow test (+) Shadow test (+)
Normal/ palpasi TIO Normal/ palpasi
Normal Sistem Lakrimasi Normal
E. RESUME
Seorang pasien laki-laki usia 68 tahun, datang ke RSAD Ridwan Meuraksa
dengan keluhan mata berair sejak 2 tahun disertai penurunan penglihatan. Pada
pasien didapatkan visus menurun (+). Keluhan ini dialami sejak kurang lebih 1
tahun yang lalu. Riwayat penyakit sistemik (+). Pasien memiliki riwayat operasi
mata.
Pada oftamologi visus ditemukan VOD: 6/50 dan VOS: 6/50. Selain itu pada
OS didapatkan jaringan fibrotik berwarna putih berbentuk segitiga dengan
vaskularisasi yang sudah melewati limbus tapi belum mencapai pupil.
F. DIAGNOSIS KERJA
Pterigium Grade III OS
Katarak Imatur ODS
G. DIAGNOSIS BANDING
Pseudopterigium
Pinguekula
Episkleritis nodular
H. TERAPI
Edukasi
4
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, rencana pengobatan, serta
komplikasi yang dapat terjadi.
- Menjelaskan perlunya kontrol.
- Menyarankan menghindari debu, daerah kering dan berangin, dan paparan
sinar matahari
- Menyarankan memakai kacamata hitam atau topi lebar saat beraktivitas di luar
rumah saat siang hari.
Medikamentosa
Catartent 3x1 tetes
Cendolyteer 3x1 tetes
Anjuran untuk eksisi Pterigium
I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad cosmeticam : dubia ad bonam
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
5
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif berbentuk triangular dengan apeks di kornea.
Pterigium biasanya terdapat di daerah nasal. Diduga penyebab pterigium adalah
paparan atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata.
Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu
dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zat alergen, kimia, dan
pengiritasi lainnya. Umumnya angka prevalensi pterigium pada daerah tropis
lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Karena Indonesia beriklim tropis,
penduduknya memiliki risiko tinggi mengalami pterigium. Di daerah tropis
seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko timbulnya
pterigium 44×lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis, dengan prevalensi
untuk orang dewasa > 40 tahun adalah 16,8%, laki-laki 16,1% dan perempuan
17,6%.1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
1. Anatomi Konjungtiva
dengan kulit pada tepi palpebra dan dengan epitel kornea di limbus.
tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur
dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara
kulit dan konjungtiva lebih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan
banyak mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal
kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah
bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks.
b. Konjungtiva bulbaris. Melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat
kornea.Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan
kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris
7
c. Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secara longgar
konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot
tersebut berkontraksi.
Gambar. Konjungtiva
bulbaris, konjungtiva
2. Histologi
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan
8
1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-
memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan
lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris
memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan
tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus.
2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri
dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit.
temukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal
3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.
9
Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan
kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar
atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di
sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus
inferior).
merah muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas
10
merupakan potongan modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel gepeng
bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut.
PTERIGIUM
A. Definisi
dari bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang artinya sayap) adalah poliferasi
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi,
maka bagian pterygium akan berwarna merah dan dapat mengenai kedua
mata.
B. Epidemiologi
11
epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari
khatulistiwa 37o lintang utara dan selatan khatulistiwa. Pada populasi yang
terkena, pertumbuhan pterigium telah terlihat pada remaja muda dan banyak
terjadi di masyarakat di padang pasir. Pterigium terlihat hampir dua kali lebih
mata karena tingkat kekambuhan yang tinggi (2,1% menjadi 87%). Tingkat
fungsi visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih
12
2. Umur
C. Etiologi
lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan
seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan
faktor etiologi.
dan proliferasi sel. Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang
melaporkan bahwa gen p53 dan human papilloma virus dapat juga terlibat
D. Patofisiologi
13
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus
menerus terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV
ekstraselular.
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran
pterigium. Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu
pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus
14
dan timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi.
Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya
menunjukkan dysplasia.
samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra
violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada
nasal inilah yang lebih sering terpapar sinar matahari. Mengingat juga, bulu
mata di dekat nasal jauh lebih pendek dibanding bulu mata di daerah
temporal.
pada ekspresi beberapa jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor faktor
15
oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam teknik pemeriksaan
dalam migrasi sel epitel melalui reseptor integrin dan IL-8 melakukan
dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor (EGF) dan EGF
oleh fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang
menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini
16
juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan
elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh
elastase.
E. Gambaran Klinis
Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan
di luar rumah. Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini
di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-
kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut “Stocker’s line”. Pterigium
- Caput
keluhan mata iritatif, merah, rasa perih, terganjal, sensasi benda asing, silau,
gangguan penglihatan.
17
menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang
Gambar. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang
pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi
kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada
F. Diagnosis
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia
18
20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu
ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa
mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma
yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat
menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang
tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik.
Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.
2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah
fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea
anterior dari kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90% pterigium terletak di
daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus
sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan
penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea
astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap.
Bagian segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus
disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap.
Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir
pterigium.
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat
atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa
kelompok yaitu:
19
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
G. Diagnosa Banding
1. Pseudopterigium
Pseudopterigium mirip dengan pterigium, dimana jaringan parut
fibrovaskular timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Dapat terjadi dalam
proses penyembuhan suatu ulkus kornea atau kerusakan permukaan kornea,
konjungtiva menutupi luka kornea tersebut, sehingga terlihat seolah-olah
konjungtiva menjalar ke kornea. Keadaan ini disebut pseudopterigium.
20
Pseudopterigium merupakan kelainan terdapatnya perlengketan konjungtiva
dengan kornea yang cacat. Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah:
Puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedangkan
pseudopterigium tidak.
Pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea sedangkan
pterigium tidak.
Selain kedua hal di atas kadang-kadang dapat dibedakan dengan melihat
pembuluh darah konjungtiva yang lebih menonjol pada pterigium dari pada
pseudopterigium.Pada pseudopterigium pembuluh darah konjungtiva sesuai
dengan konjungtiva bulbi normal.Pada pseudopterigium dapat dimasukkan
sonde di bawahnya, sedangkan pada pterigium tidak.Pterigium bersifat progresif
sedangkan pseudopterigium tidak. Pseudopterigium tidak memerlukan
pengobatan, serta pembedahan kecuali sangat menganggun visus, atau alasan
kosmetik.
Gambar. Pseudopterygium
2. Pinguecula
Pinguecula sangat sering pada orang dewasa. Keadaan ini tampak sebagai
nodul kuning pada kedua sisi kornea (lebih banyak di sisi nasal) di apertura
palpebrae. Nodul terdiri atas jaringan hialin dan jaringan elastic kuning, jarang
bertumbuh besar, tetapi sering meradang. Pada umumnya tidak diperlukan
21
terapi, tetapi apada pingueculitis tertentu, dapat diberikan steroid topical
lemah (prednisolon 0,12%) atau obat
anti- inflamasi non steroid
topikal.
3. Episkleritis nodular
Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskuar yang
terletak antara konjungtiva dan permukaan skera. Episkleritis adalah
peradangan lokal jaringan ikat vascular penutup sclera yang relatif sering
dijumpai. Kelainan ini cenderung mengenai orang muda, khasnya pada decade
ketiga atau keempat kehidupan; mengenaik wanita tiga kali lebih sering
dibandingkan pria; bersifat unilateral pada duapertiga kasus. Kekambuhan
sering terjadi dan penyebabnya tidak diketahui. Kelainan lokal atau sistemik
terkait, misalnya rosacea ocular, atopi, gout, infeksi atau penyakit kolagen
vascular dijumpai pada sepertiga populasi pasien.
Gejala-gejala episkleritis adalah kemerahan dan iritasi ringan atau rasa
tidak nyaman. Pemeriksaan mata memperlihatkan injeksi episklera, yang bisa
nodular, sektoral atau difus. Tidak tampak peradangan edema pada sklera
22
dibawahnya; keratitis dan uveitis jarang menyertai. Diagnosis konjungtivitis
disingkirkan dengan tidak adanya injeksi konjungtiva palpebralis ataupun
sekret.
H. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian
obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah
dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga
dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan
penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada
23
pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau
suatu tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar
matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda
radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid.
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang
progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan
pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan
normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang
sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan
pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun
memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih
disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di
daerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena
trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering
digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple
surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan
tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft. Dimana pterigium
yang dibuang digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar
UV (misalnya konjungtiva yang secara normal berada di belakang kelopak mata
atas). Konjungtiva normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki
kecenderungan unuk menyebabkan pterigium rekuren.
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva
bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari
konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan
utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara
kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan
24
yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup
berat.
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal
dan halus dari permukaan kornea.
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89
persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas
sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan
untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal
jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS,
dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi
pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan
teknik ini
25
Transplantasi Membran Amnion
bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk
autograft konjungtiva.
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke
26
dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi
telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari
terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi
beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua
bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke
sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal
setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan
MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis
dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
27
Gambar 9.Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,(b).Pterygium removed,(c).Leaving
bare area,(d).Graft outlined,(e).Graft sutured into place
I. Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada
rektus medial dapat menyebabkan diplopia.
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:8
Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage
atau retinal detachment.
Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting
pada sklera dan kornea.
Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium
post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-
28
kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau
amnion graft.
Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel
di atas pterigium.
J. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren
pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft atau
transplantasi membran amnion.
BAB III
PEMBAHASAN
29
teori kepustakaan untuk pterigium stadium II yaitu sudah melewati limbus tetapi
tidak melebihi dari 2 mm melewati kornea.
DAFTAR PUSTAKA
30
2. Raju Kv, Chandra A, Doctor R. Management Of Pterigium- A Brief Review.
3. Eva, PR dan Whitcher, JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran. EGC. 2009.
4. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of
5. Chui J, Coroneo Tm, Et Al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder With
27.
opthalmology. 2017
31