Anda di halaman 1dari 348

dr

.Ag
ungWidiant
o, Sp.
B-KBD
dr
.R.Wahy
uKar t
ikoTomo, Sp.
B
dr
.Ni
sti
maraAnugrahAzdy,Sp.
B
DAFTAR ISI

Preoperative Care…………………..………………………………….. 4

Suturing/Penjahitan……………………………………………………... 11

Bedah Minor…………………………………………………………….. 20

Traumatic Brain Injury…………………………………………………. 29

Labioschisis……………………………………………………………... 40

Corpus Alienum (Wajah)………………………………………………... 45

Struma Nodusa Non-Toksik…………………………………………….. 52

Limfadenitis……………………………………………………………... 60

Pneumothorax & Hemothorax………………………………………….. 69

Efusi Pleura……………………………………………………………... 82

Evaluasi Massa Payudara……………………………………………….. 87

Abdominal Incision……………………………………………………... 98

Appendicitis Akut………………………………………………………. 106

Stump Appendicitis: A Surgeon’s Dilemma……………………………. 117

Crohn’s Disease………………………………………………………… 127

Colorectal Cancer……………………………………………………….. 144

Stapled vs Conventional Surgery for Hemorrhoids……………………… 152

Biloma…………………………………………………………………... 157

Peptic Ulcer Disease……………………………………………………. 165

Perforasi Gastrointestinal……………………………………………….. 179

Peritonitis………………………………………………………………... 188

2
Fistula Enterokutan……………………………………………………... 208

Fistula Perianal…………………………………………………………. 220

Hernia Inguinalis………………………………………………………... 225

Sirkumsisi………………………………………………………………. 236

Undescended Testis……………………………………………………... 257

Systematic Review dan Meta Analysis: Apakah bladder training dengan


penjepitan menggunakan clamp pada pasien rawat inap yang
menggunakan kateter urin diperlukan?...................................................... 266

Tetanus………………………………………………………………….. 273

Luka Bakar……………………………………………………………… 283

Selulitis…………………………………………………………………. 292

Soft Tissue Tumor………………………………………………………. 305

Sarcoma Jaringan Lunak………………………………………………... 315

Paronikia………………………………………………………………... 325

Kista Ganglion………………………………………………………….. 334

Tophus…………………………………………………………………... 343

3
KOMPETENSI
PREOPERATIVE CARE
Kontributor: Arifin S Darmawan
4A
I. Tujuan
a. Mengetahui segala masalah medis pada pasien.
b. Menggali informasi tambahan untuk menentukan status medis pasien.
c. Mengetahui kontraindikasi operasi.
d. Mengetahui toleransi pasien terhadap tindak bedah.
e. Memastikan kelayakan prosedur yang direncanakan.
f. Menetapkan waktu pembedahan.

II. Anamnesis
Anamnesis harus mencakup riwayat kondisi medis pasien yang diketahui dapat
meningkatkan risiko operasi, seperti penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif,
insufisiensi ginjal, penyakit serebrovaskular, dan diabetes mellitus, serta status fungsional
pasien terkait penyakit yang dideritanya. Kebiasaan merokok, minum-minuman keras,
obat-obatan khususnya obat-obatan tradisional (jamu atau obat herbal), kebiasaan pribadi
lainnya yang meningkatkan risiko operasi, riwayat penyakit keluarga pasien, dan riwayat
operasi beserta komplikasinya juga tidak lupa ditanyakan.

III. Pemeriksaan Fisik


Meliputi pemeriksaan tanda vital, status neurologis, kepala dan leher, paru, jantung,
abdomen, dan vaskularisasi perifer.

IV. Pemeriksaan Penunjang


Keputusan melakukan pemeriksaan penunjang ditentukan berdasarkan kasus.
Pemeriksaan penunjang prabedah jarang diperlukan pada tindakan bedah minor serta

TT
B
B
13
4

pada pasien muda dan sehat. Pemeriksaan penunjang rutin prabedah dilampirkan pada
tabel berikut.

Pemeriksaan Indikasi
Darah Lengkap Kemungkinan perdarahan masif
Penderita penyakit kronis atau gejala anemia
Urinalisis Gejala urologi
Prosedur pada saluran kemih
Elektrolit serum, kreatinin, dan Prosedur pemasangan prostesis
nitrogen urea darah Usia >50 tahun
Diare kronik
Penyakit ginjal, hati, diabetes, gagal jantung
kongestif atau penyakit jantung lain, hipertensi,
bedah mayor
Penggunaan diuretik, digoksin, penghambat
ACE
Status koagulasi Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
Riwayat perdarahan abnormal pada pasien
Penggunaan antikoagulan dan antibiotik jangka
panjang
Profil biokimia (termasuk enzim Penyakit hati, malnutrisi
hati) Riwayat penyakit hati atau empedu (albumin
merupakan prediktor kuat morbiditas dan
mortalitas perioperatif sehingga harus
dipertimbangkan pada setiap bedah mayor)
Kehamilan Perempuan usia subur (kecuali pasien pasca
histerektomi
Rontgen dada Gejala jantung atau paru akut
EKG Laki-laki >40 tahun, perempuan >50 tahun
Riwayat penyakit kardiovaskuler atau aritmia,
diabetes, hipertensi
Golongan darah dan uji cross- Jika risiko perdarahan sangat kecil, uji tidak
matching diperlukan
Jika risiko rendah hingga sedang. diperlukan
uji golongan darah
Jika risiko sedang hingga tinggi, diperlukan uji
golongan darah dan uji cross-matching

TT
B
B
14
5

V. Pengelolaan Pasien
a. Evaluasi organ dan system
i. Lambung
Sebelum pembedahan dalam anestesi umum dimulai, lambung harus dalam keadaan
kosong untuk menghindari isi makanan teraspirasi ke dalam paru-paru karena
mudahnya terjadi refluks esofagus, terutama di tahap awal anestesi. Aspirasi isi
lambung merupakan penyulit berbahaya karena menimbulkan pneumonia yang
tidak mudah diatasi. Oleh karena itu pasien dipuasakan enam jam sebelum
pembedahan.
ii. Kulit
Kulit pada daerah lapangan operasi harus bersih. Pasien harus mandi atau
dimandikan dengan sabun atau larutan antiseptik seperti klorheksidin atau larutan
yang mengandung yodium. Kulit harus bebas infeksi sehingga bedah elektif harus
ditunda selama ada infeksi kulit.
iii. Suhu Tubuh
Suhu tubuh sebaiknya dipertahankan normal. Demam meningkatkan metabolisme
tubuh pasien dan menghabiskan lebih banyak oksigen sehingga iritabilitas oksigen
meningkat menyebabkan keadaan syok tidak dapat dikompensasi seperti biasa.
Hipotermia dibawah 34.5° C juga berisiko metabolisme berlangsung terlalu lambat
menyebabkan pembekuan darah juga melambat. Penderita hipotermia harus
dihangatkan dahulu secara perlahan dengan selimut hangat atau dimandikan dengan
air hangat 40° C.
iv. Hemodinamik
Syok harus diatasi sebelum pembedahan. Pada keadaan tertentu, seperti
peradarahan masif, tekanan darah tidak dapat dinaikkan sehingga terpaksa
dilakukan pembedahan darurat dalam keadaan syok untuk menghentikan
perdarahan. Sebaliknya, hipertensi pun harus dikoreksi sebelum pembedahan.
Tekanan diastolik diusahakan di bawah 100 mmHg, jika mungkin, dibawah 90
mmHg.

TT
B
B
15
6

v. Diuresis
Diuresis menjadi petunjuk penting keseimbangan cairan pasien. Jika diuresis
mencapai 30 mL/jam, lidah lembab, mukosa lain tampak basah, dan turgor kulit
baik, status hidrasi pasien dapat dianggap memadai. Bila terjadi hidrasi berlebihan
seperti pada gagal jantung kiri, dilakukan koreksi dengan diuretik.
vi. Dekompresi
Dekompresi harus dilakukan pada obstruksi saluran cerna dengan memasang pipa
lambung. Kadang diperlukan dekompresi kolon dengan sekostomi. Dekompresi
saluran empedu kadang diperlukan untuk menurunkan kadar bilirubin.

b. Keadaan Gizi
Malnutrisi berat mempengaruhi morbiditas paska operasi karena mengganggu
penyembuhan luka dan menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi.
i. Penilaian status gizi
Tanda keadaan gizi yang kurang memuaskan adalah bila berat badan turun lebih
dari 10% dalam waktu singkat, berat badan terakhir kurang dari 80% berat badan
ideal, dan kadar serum albumin kurang dari 3%.
ii. Kebutuhan nutrisi
Untuk menentukan kebutuhan kalori harus diketahui metabolisme basal. Untuk
menentukan basal energy expenditure (BEE) digunakan rumus Harris-Bennedict
berikut:

Perempuan :
65,5 + (9,6 x BB) + (1,7 x Tinggi Badan) - (4,7 x umur)
Laki-laki:
66,0 + (1,7 x BB) + (5,0 x tinggi badan) - (6,8 x umur)

Untuk mengoreksi katabolisme yang tinggi seperti pada pascatrauma, pascabedah,


infeksi atau sepsis, harus ditambahkan 50% atau lebih daru BEE, tetapi jangan
melebihi 150% BEE.

TT
B
B
16
7

• Karbohidrat
Sebagai sumber kalori, karbohidrat diberikan tidak lebih dari 6 g/kbBB/hari
karena bila berlebihan akan terjadi hipermetabolisme.
• Protein
Penderita dengan katabolisme berat, seperti trauma ganda dan luka bakar,
memerlukan nutrisi tinggi protein dan asam amino untuk mengatasi
keseimbangan nitrogen yang negatif. Umumnya diperlukan 1,2 - 1,5g
protein/kgBB/hari.
• Elektrolit
Keseimbangan elektrolit dan asam-basa dibutuhkan untuk metabolisme sel
normal serta proses penggantian sel yang rusak.

VI. Pengobatan Pada Keadaan Tertentu


a. Diabetes Mellitus
Pasien diabetes yang menggunakan obat hipoglikemik harus melanjutkan
pengobatannya semalam sebelum pembedahan terencana. Pasien yang minum obat
kerja-lama seperti klorpropamid atau gliburid harus menghentikan terapinya 2-3 hari
sebelum pembedahan. Pasien yang dalam keadaan normal mendapat insulin tetap
diberi insulin, dan glukosa prabedah untuk mencegah ketosis dan katabolisme. Pasien
yang menjalani operasi mayor harus diberi satu setengah dari dosis insulin pagi
mereka dan dekstrosa 5% intravena dengan dosis 100-125 mL/jam. Selanjutnya
insulin dapat diberikan secara subkutan menurut sliding-scale atau infus insulin yang
berpandu pada pengukuran kadar glukosa darah berkala (setiap 4-6 jam). Pompa
insulin subkutan harus dimatikan pada pagi hari pembedahan. Pengendalian glukosa
darah pada pasien kritis paling baik dikendalikan dengan infus insulin.
b. Gangguan tiroid
Pasien yang secara klinis eutiroid boleh tidak meminum obat pengganti hormon tiroid
mereka pada hari pembedahan. Pascabedah, pasien dapat melanjutkan pengobatannya
setelah memulai diet oral. Penggantian tiroid intravena jarang diperlukan karena
waktu paruh T4 lebih dari 7 hari. Pasien yang secara klinis eutiroid dengan
penatalaksanaan medis menggunakan propiltiourasil (PTU) atau metimazol harus

TT
B
B
17
8

meminum obat pada hari pembedahan, dan terapi harus dilanjutkan secara oral atau
melalui selang lambung dalam 72 jam pascabedah. Penderita yang mendapat beta
bloker juga harus tetap menggunakan obatnya, jika perlu dengan obat intravena kerja-
singkat yang digunakan selama periode perioperatif.
c. Infeksi
Infeksi dapat terjadi pada luka operasi atau dalam sistem organ lain. Keadaan ini
awalnya dapat disebabkan oleh perubahan kondisi fisiologik pernafasan,
genitourinaria, atau sistem kekebalan tubuh yang berhubungan dengan pembedahan.
Faktor risiko komplikasi infeksi pascabedah dapat dikelompokkan menjadi faktor
risiko yang muncul dari pembedahannya sendiri atau faktor risiko khusus-pasien.
Faktor risiko pembedahan meliputi jenis prosedur, derajat kontaminasi luka, lama
pembedahan, dan tingkat kedaruratan. Faktor risiko khusus pada pasien meliputi usia,
riwayat diabetes, obesitas, penggunaan imunosupresan, malnutrisi, infeksi yang telah
ada sebelumnya, dan penyakit kronis. Tabel berikut menjabarkan klasifikasi luka
bedah menurut kontaminasinya.
Kelas luka Definisi Contoh tindak Angka Organisme yang
bedah khusus infeksi biasanya
luka terlibat
Bersih Nontraumatik, bedah elektif Eksisi luas 2% Staphylococcus
dan tidak membuka saluran tumor payudara aureus
cerna,sistem bilier,saluran
nafas, atau sistem
genitourinaria
Bersih Bedah saluran nafas, sistem Gastrektomi- <10% Bergantung pada
terkontaminasi genitourinaria, memasuki histerektomi penyakit yang
sistem gastrointestinal tetapi mendasari
kontaminasi minimal
Terkontaminasi Luka terbuka, baru, Perforasi usus 20% Bergantung pada
traumatik ; spillage buntu, reseksi penyakit yang
(keluarnya materi) tak usus tanpa mendasari
terkendali dari organ persiapan
berongga yang tak
dipersiapkan sebelumnya;
kesalahan minor dari dalam
teknik sterilisasi
Kotor Luka terbuka, traumatik, Reseksi fistula 28-70% Bergantung pada
kotor ; trauma perforasi intestinal penyakit yang
organ berongga,nanah di mendasari
medan operasi

TT
B
B
18
9

Pada umumnya tiap tambahan jam operasi akan mengakibatkan naiknya angka infeksi
menjadi 2 kali lipat. Manfaat antibiotik profilaksis yang bermakna secara statistik
pada operasi yang berlangsung 1 jam jadi hilang jika operasi berlangsung lebih dari 3
jam. Jadi operasi yang berlangsung lebih dari 3 jam harus dianggap sebagai operasi
terkontaminasi. Antibiotik profilaksis berperan menurunkan tingkat infeksi luka
superfisial. Rekomendasi antibiotik profilaksis pada tindak bedah dijabarkan pada
tabel berikut.

VII. Referensi

American Society of Anesthesiologists Committee. Practice guidelines for preoperative


fasting and the use of pharmacologic agents to reduce the risk of pulmonary aspiration:
application to healthy patients undergoing elective procedures: an updated report by the
American Society of Anesthesiologists Committee on Standards and Practice Parameters.
Anesthesiology. 2011 Mar;114(3):495.

Safety WP, World Health Organization. WHO guidelines for safe surgery: 2009: safe
surgery saves lives. Geneva: World Health Organization; 200

TT
B
B
19
10

KOMPETENSI
SUTURING / PENJAHITAN
Kontributor: Feby Ario Anindito
4
I. Definisi
Suturing merupakan penyatuan/pendekatan jaringan dengan bantuan jarum dan benang
bedah sehingga terjadi proses penyembuhan.

II. Tujuan
a. Mendekatkan jaringan untuk memfasilitasi proses penyembuhan
b. Mengembalikan fungsi dan rupa jaringan seperti/mendekati normal
c. Menutup dead space
d. Meminimalkan risiko perdarahan dan infeksi

III. Instrumen
a. Jarum
Jarum merupakan salah satu komponen penting dalam proses penjahitan. Jarum
bedah terdiri dari 3 bagian utama yaitu: mata jarum, badan jarum, dan ujung jarum.

Mata jarum adalah bagian jarum yang menempel dengan benang. Mata jarum dapat
dibagi menjadi 3 jenis: closed eye, French eye, dan swaged (eyeless).

TT
B
B
54
11

Penggunaan jarum tidak bermata (atraumatik) memberikan beberapa keuntungan


seperti waktu preparasi yang lebih singkat dan memberikan trauma minimal pada
jaringan.

Badan jarum adalah bagian jarum yang dipegang oleh needleholder yang memiliki
kurvatura/kelengkungan yang beragam.
1. Jarum Lurus: kebanyakan jarum ini didesain untuk digunakan pada lokasi yang
mudah diakses dimana prosedur menggunakan tangan secara langsung mudah
dilakukan.
2. Jarum Ski (Half-Curved): kebanyakan jarum ini digunakan pada prosedur
laparoskopi karena dimensinya yang relatif ramping sehingga mudah dimasukkan
melalui trocar laparoskopi.
3. Jarum Lengkung (Curved): jenis yang paling banyak digunakan. Bentuk jarum
jenis ini tidak memerlukan banyak ruang untuk bermanuver. Jarum ini dapat
digolongkan lagi berdasarkan kelengkungannya menjadi ¼, ⅜, ½, dan ⅝
lingkaran.
- ¼ lingkaran: paling banyak digunakan pada bedah mata dan bedah mikro.
- ⅜ lingkaran: kelengkungan yang paling banyak digunakan untuk penutupan
kulit. Operator dapat dengan mudah memanipulasi jarum dengan sedikit
gerakan pronasi-supinasi pergelangan tangan.
- ½ lingkaran: didesain untuk digunakan pada ruang terbatas.
- ⅝ lingkaran: digunakan pada jaringan yang terletak pada ruangan dalam seperti
pelvis.

TT
B
B
55
12

Ujung jarum merupakan ujung runcing dari jarum bedah yang digunakan untuk
mempenetrasi jaringan. Terdapat beberapa jenis jarum berdasarkan bentuk ujungnya.
1. Cutting : memiliki ujung dan tepi yang tajam sehingga dapat menembus jaringan
yang keras seperti kulit.

TT
B
B
56
13

2. Reverse Cutting: jarum ini digunakan pada operasi mata atau operasi plastik
dimana trauma minimal, regenerasi jaringan, dan pembentukan jaringan parut
menjadi perhatian utama. Karena tepi tajam terletak pada sisi luar dari kurvatura,
risiko jarum menimbulkan trauma baru dapat diminimalisir.
3. Side Cutting: juga disebut sebagai jarum spatula, memiliki sisi atas dan bawah
yang rata. Digunakan pada operasi mata maupun operasi mikro.
4. Taper: juga disebut sebagai jarum bulat (round), digunakan pada jaringan yang
mudah dipenetrasi seperti peritoneum, viscera abdomen, myocardium, dan lapisan
subkutan.
5. Tapercut: kombinasi antara ujung reverse cutting dan badan taper. Biasa
digunakan untuk jaringan ikat padat/fibrous, terutama pada fasciam periosteum,
dan tendon.

TT
B
B
57
14

b. Benang
1. Monofilamen & multifilamen
- Monofilamen : merupakan benang yang terdiri dari satu serat saja.
• Kelebihan : lebih mudah melewati jaringan (permukaan halus), tidak memiliki
celah untuk bakteri tumbuh
• Kekurangan : lebih rapuh jika dibandingkan dengan multifilament, lebih kaku
sehingga relatif lebih susah untuk diikat
- Multifilamen : merupakan benang yang terdiri dari untaian beberapa serat.
• Kelebihan : lebih kuat, lentur, dan mudah digunakan jika dibandingkan dengan
monofilament
• Kekurangan : terdapat friksi tambahan dari untaian serat sehingga cenderung
tersendat saat melewati jaringan, sifat yang lebih menyerap cairan
dan rongga antar untaian serat dapat menjadi tempat bakteri
tumbuh
2. Absorbable & nonabsorbable
- Absorbable : merupakan benang yang dapat diserap secara alami oleh tubuh.
• Plain catgut : biasa digunakan untuk ligase vasa darah superfisial, jaringan
subukutan, dan perbaikan jaringan yang sembuh dengan cepat karena benang jenis
ini diserap tubuh dalam waktu 1 minggu.
• Chromic catgut : digunakan untuk penutupan subkortikular, ligase pembuluh
darah, dan lapisan dalam anastomosis usus. Lapisan asam kromik menurunkan
kemungkinan reaksi alergi dan infeksi. Diserap tubuh dalam waktu 2-3 minggu.
• Vicryl : digunakan untuk jaringan lunak yang hanya membutuhkan
jahitan jangka pendek (7-10 hari). Kekuatan tarik akan hilang pada hari ke 10-14
dan akan diserap secara utuh pada hari ke 42.

TT
B
B
58
15

• Monocryl : digunakan pada penutupan subkutikuler dan jaringan lunak,


dengan pengecualian aplikasi pada kardiovaskuler, mata, dan syaraf. Kekuatan
tarik akan hilang pada hari ke 21-28 dan diserap sempurna pada hari ke 91-119.
- Nonabsorbable : merupakan benang yang tidak dapat diserap secara alami oleh tubuh.
• Silk : dapat memicu reaksi inflamasi akut. Biasanya digunakan untuk
jahit kulit
• Nilon (Ethilon) : digunakan untuk penutupan jaringan superfisial seperti
epidermal.
• Polypropylene (prolene): digunakan untuk pendekatan jaringan lunak dan ligasi,
termasuk digunakan pada prosedur kardiovaskuler, operasi mata, dan syaraf.
3. Ukuran
- Ukuran benang menunjukkan diameter dari benang tersebut.
- Ukuran standar benang ditetapkan oleh USP (United States Pharmacopeia) dari nomor
terbesar (6) hingga terkecil (11-0)

Ukuran Indikasi
Ukuran USP
Metrik
(mm)

11-0 0.01

10-0 0.02
Ophtalmology, bedah mikro
9-0 0.03

8-0 0.04

7-0 0.05 Grafting / perbaikan vasa kecil,


jahitan halus pada tangan, nailbed,
6-0 0.07 wajah

5-0 0.1
Perbaikan vasa besar, jahit kulit
(ekstremitas, wajah), tendon
4-0 0.15

3-0 0.2
Jahit kulit tebal, fascia, otot, tendon
2-0 0.3

TT
B
B
59
16

0 0.35
Fascia, jahit drain
1 0.4

2 0.5

3 0.6

Tendon besar, fascia tebal, bedah


4 0.6
orthopedi

5 0.7

6 0.8

c. Needleholder
Needleholder digunakan untuk memegang jarum
sehingga jarum dapat melewati jaringan yang akan
dijahit. Bagian rahang needleholder memiliki
berbagai variasi bentuk. Terdapat needleholder
dengan rahang rata yang kurang baik dalam
mencengkram jarum namun lebih tidak merusak
jarum maupun benang karena rahangnya yang rata,
demikian sebaliknya dengan needleholder dengan
rahang yang bergerigi.

d. Pinset
Pinset digunakan untuk menahan atau memegang jaringan selama proses penjahitan. Pinset
terdapat berbagai jenis, antara lain:
1. Pinset anatomis : pinset yang tidak memiliki ujung
bergerigi dan digunakan untuk menjepit/memegang
jaringan yang mudah robek.
2. Pinset chirurgis : pinset dengan ujung bergerigi
digunakan untuk menjepit jaringan seperti subkutis, otot,
tendon, dan fascia.

TT
B
B
60
17

IV. Teknik Jahit


a. Jahitan Terputus Sederhana
1. Jahitan jenis ini dianggap teknik yang aman karena jika terdapat
defek pada salah satu jahitan, maka tidak mempengaruhi
seluruh jahitan
2. Jahitan ini dapat mengakibatkan kulit yang bergelombang
apabila kekuatan ikatan pada tiap jahitan berbeda.

b. Jahitan Matras Horizontal


1. Jahitan ini menghasilkan pola jahitan yang sejajar dengan garis
insisi.
2. Teknik ini efektif digunakan untuk mendekatkan kulit yang
rapuh (kulit pada lansia)

c. Jahitan Matras Vertikal


1. Jahitan ini menghasilkan pola jahitan yang tegak lurus dengan
garis insisi.
2. Jahitan ini digunakan jika eversi tepi luka tidak bias dicapai
hanya dengan menggunakan jahitan terputus sederhana.

d. Jahitan Jelujur Sederhana


1. Teknik ini sama seperti menjelujur baju
2. Lebih praktis dan membutuhkan waktu relatif lebih
singkat
3. Kelemahannya adalah apabila terjadi defek pada jahitan,
maka akan mempengaruhi seluruh jahitan

TT
B
B
61
18

e. Jahitan Subkutikuler
1. Memberikan hasil kosmetik yang paling bagus.
2. Teknik ini menghindari perlunya jahitan kulit luar dan mengurangi kemungkinan
timbulnya bekas jahitan pada kulit

V. Referensi
L. Dunn, David. Wound Closure Manual. Ethicon
WHO. Basic Surgical Skills. www.who.int/surgery/publications/s16383e.pdf

TT
B
B
62
19
KOMPETENSI
BEDAH MINOR
Kontributor: Rona Ali Badjrai 4
I. Pendahuluan
Bedah minor adalah prosedur operatif yang digunakan pada jaringan superfisial yang
menyangkut patologi dermis dan subkutis. Setiap prosedur dilakukan dengan hati-hati
dengan memperhatikan prinsip dan teknik yang baik untuk mengurangi jaringan parut yang
terbentuk serta untuk mengurangi infeksi. pengerjaannya dapat dilakukan di laboratorium
menggunakan teknik aseptik yang sesuai, seperti tempat kerja yang bersih, preparasi dan
disinfeksi lokasi operasi hingga penggunaan masker dan sarung tangan steril pada tenaga
kerja

Anestesi lokal dan infiltratif digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada prosedur bedah
minor. Beberapa alasan dilakukannya bedah minor adalah untuk diagnostik dan terapeutik
pada pasien poliklinik serta emergensi. Komplikasi yang ditimbulkan dari bedah minor
sangat rendah.

II. Instrumen
Alat-alat atau instrumen bedah minor yang paling sering digunakan adalah:
a. Pinset
b. Needle Holder
c. Benang dan Jarum
d. Gunting dan Scalpel
e. Klem

TT
B
B
317
20
Jarum. (1) taper-point (2) cutting-point (3) Pisau Bedah/Scalpel dan Bisturi.
Taper-Cutting

Pinset Anatomis Pinset Chirurgi Needle Holder/ Skin Retractor


Penjepit Benang

Klem arteri mosquito Klem arteri mosquito Gunting bedah


melengkung lurus

TT
B
B
318
21
Forceps bedah Tissue Retractor/Retraktor
jaringan Forceps Jaringan/Allis
bergigi Adson

III. Prosedur Aseptik


Prosedur aseptik adalah teknik yang digunakan untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.
Dengan prosedur tersebut hanya mengurangi resiko kontaminasi dari bakteri tetapi tidak bisa
menghilangkan bakteri secara menyeluruh. Manfaat dari prosedur aseptik adalah untuk
mencegah perpindahan penyakit atau infeksi pada pasien, tenaga kesehatan, serta staf rumah
sakit. Prosedur ini dilakukan dengan mencuci tangan dan menggunakan alat pelindung diri.
Membersihkan kulit penderita yang merupakan sumber infeksi serta mencukur rambut pada
bagian yang berambut juga sebagian dari prosedur aseptik yang dilakukan untuk mengurangi
kontaminasi
a. Scrubbing
1. Lepas semua perhiasan pada tangan dan lengan
2. Gunakan sabun dan sikat dan bersihkan lengan dan tangan hingga kuku dan sela-sela
antara jari
3. Gosok dari bagian telapak tangan hingga siku
4. Setelah menggosok dengan bersih angkat tangan dan biarkan sebentar hingga air yang
berada di lengan dan siku turun
5. Matikan keran air menggunakan siku
6. Keringkan tangan dengan handuk steril

TT
B
B
319
22
b. Cuci tangan dengan 6-Steps

TT
B
B
320
23
c. Preparasi kulit

a. kulit dibersihkan dengan cairan


aseptik secara sirkuler dari tengah
keluar dimulai dari tempat yang
akan diinsisi
b. Area yang dibersihkan cukup luas
sehingga mencakup semua lapang
untuk insisi

d. Draping

a. Digunakan untuk memperkecil


medan area operasi menggunakan
duk steril serta klem duk

IV. Anestesi Lokal dan Infiltratif


Anestesi lokal dan infiltratif dapat diberikan dengan cara menginjeksikan bahan/cairan untuk
menghilangkan rasa sensasi sakit untuk sementara. Anestesi yang paling sering digunakan
adalah Lidocaine 1%. Perbedaan antara anestesi local dan infiltratif adalah, anestesi local
dilakukan dengan cara menginjeksikan secara langsung ke pada saraf yang menginervasi
lokasi yang akan dilakukan pembedahansedangkan anestesi infiltrative dengan menginjeksikan
ke sekitar area operasi sehingga akan memblok saraf-saraf kecil. Mekanisme anestesi adalah
dengan menginhibisi sodium channel pada ujung-ujung saraf beserta axonnya.

TT
B
B
321
24
Field Block/anestesi Infiltratif Nerve block/anestesi lokal

V. Insisi
Insisi adalah potongan surgikal pada jaringan dan kulit. Insisi digunakan untuk membuka atau
meng-ekspos jaringan yang lebih dalam. Insisi yang dilakukan harus sejajar dengan garis pada
tensi minimal atau garis relaksasi (langers line). Semakin kecil insisi, perioperatif
morbitasnya akan semakin berkurang, waktu penyembuhan akan lebih cepat, serta ada
pertimbangan dari sisi kosmetik.

Tipe insisi:
a. Lurus
b. Angled
c. Curved
Untuk menentukan mana tipe yang akan digunakan tergantung dari anatomi daerah operasi
yang akan diinsisi dan tipe dari bedah tersebut.

Faktor yang mempengaruhi dalam memutuskan cara untuk insisi:


a. Asal patologi
b. Ukuran jaringan
c. Mobilitas jaringan

VI. Pemeriksaan Fisik


Sebelum melakukan pembedahan, sebaiknya melakukan pemeriksaan fisik terlebih dahulu
untuk memastikan kembali jaringan yang akan di insisi.

TT
B
B
322
25
Inspeksi:
a. Lokasi
b. Jumlah à single atau multiple
c. Ukuran dan bentuk
d. Permukaan
e. Tepi: tepi bisa tajam, membulat/rounded, regular atau irregular.
f. Warna

Palpasi
a. Temperatur dan Rasa nyeri
b. Konfirmasi lokasi, ukuran, bentuk, permukaan dan tepinya.
c. Konsistensi
d. Fluktuasi à merupakan penanda adanya cairan pada benjolan.
e. Adanya pulsasi
f. Mobilitas dari benjolan

VII. Prosedur
Prosedur yang akan lebih detail adan prosedur untuk lipoma.

Cubit kulit sehingga menampakkan garis Pastikan bentuk, konsistensi dan


langer. Insisi pada garis ini akan sembuh struktur dari lipoma dengan inspeksi
dengan jaringan pasrut yang sedikit. dan palpasi. Bersihkan kulit dengan
povidone iodine dari sentral ke perifer
dan tutup dengan linen berubang steril.

TT
B
B
323
26
Lakukan anestesi infiltratif pada Insisi kulit dan diperdalam hingga
sekitar jaringan yang ingin di teraba lipoma.
eksisi Jepit lipoma dengan kedua jari agar
tidak bergerak

Lakukan eksisi dan pisahkan pita- Setelah pengangkatan lipoma, tutup


pita fibrosa yang menambatkan luka dengan benang absorbable
lipoma terhadap jaringan-jaringan (catgut). Lalu kulit ditutup dengan
yang lebih dalam. kontrol jahitan terputus menggunakan benang
bleeding silk non-absorbable

VIII. Tambahan
Eksisi
a. Eksisi elips: digunakan untuk melepaskan lesi pada kulit dengan margin dari kulit yang
sehat. Panjang dari elips harus 3x dari lebarnya dengan sudut 30 derajat padang
ujungnya
b. Eksisi tangensial: dengan melepas atau menghilangkan dengan scalpel atau gunting pada
lesi yang superfisial. Hanya bagian yang paling superfisial yang di eksisi.

TT
B
B
324
27
Eksisi elips Eksisi tangensial

Ekstirpasi
ekstirasi adalad pengangkatan seluruh massa yang terletak dibawah kulit beserta dengan
kapsulnya. Prosedur ini umum dilakukan pada kista aterom, lipoma, dan fibroma

IX. Referensi
Blanco, J.M.A. and Tejero, M.H., 2012. Skills in Minor Surgical Procedures for General
Practitioners. In Primary Care at a Glance-Hot Topics and New Insights. InTech.
Oram, D.H., 2006. Basic surgical skills. Best Practice & Research Clinical Obstetrics &
Gynaecology, 20(1), pp.61-71.
World Health Organization. 2003. Surgical Care at the District Hospital. Geneva, Switzerland.
UGM. 2010. Buku ajar skillslab bedah minor blok 3.4

TT
B
B
325
28
KOMPETENSI
TRAUMATIC BRAIN INJURY
Kontributor: Gita Yolanda
3B
I. Definisi
Traumatic Brain Injury (cedera kepala) adalah terganggunya atau berubahnya fungsi otak
yang disebabkan oleh pengaruh gaya mekanik eksternal. Gangguan fungsi ini dapat bersifat
transien atau berlangsung lama. Keparahan dari gangguan fungsi otak juga bervariasi. Gaya
mekanik eksternal yang mengenai otak dapat berupa akselerasi, deselerasi, kompresi
langsung, penetrasi objek, atau mekanisme kompleks seperti ledakan.
Cedera Kepala Cedera Kepala Cedera Kepala
Ringan Sedang Berat
GCS 13-15 9-12 3-8
Tidak ada; Pingsan Pingsan 10 menit - 6
Pingsan Pingsan > 6 jam
<10 menit jam
Defisit
Tidak ada Ada Ada
Neurologis
Tidak ditemukan
CT Scan Abnormal Abnormal
abnormalitas

II. Anatomi
Lapisan pada kepala dari luar ke dalam meliputi scalp, kranium, duramater, arachnoid mater,
pia mater, dan parennkim otak. Scalp adalah lapisan-lapisan di luar tulang tengkorak, yaitu
skin, connective tissue, aponeurosis, loose areolar tissue, pericranium (periosteum). Scalp
mendapat vaskularisasi yang cukup banyak, sehingga laserasi pada scalp dapat
mengakibatkan kehilangan darah yang cukup banyak.

Cranium dibagi menjadi os frontal, os temporaal, os parietal, dan os oksipital. Basis cranii
adalah tulang yang iregular, dibagi menjadi fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior.
Lapisan di bawah kranium adalah meninges. Duramater adalah lapisan terluar meninges,
terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan periosteal dan lapisan meningeal. Meninges diperdarahi
oleh A. Meningea yang terletak di bagiian dalam kranium di atas duramater. Jika terjadi
laserasi pada arteri ini akan terbentuk hematoma epidural. Arteri yang sering terkena adalah

TT
B
B
158
29
A. Meningea media. Di bagian tertentu duramater melipat membentuk falx, membentuk
ruangan sinus. Lapisan selanjutnya dari meninges adalah arachnoid mater. Arachnoid mater
merupakan membran tipis dan transparan yang tidak melekat langsung ke duramater,
sehingga laserasi pada bridging vein (vena yang mengalirkan darah dari otak ke sinus
venosus dan melewati dura) akan membentuk hematoma subdural.

Lapisan ketiga adalah pia mater, yang melekat erat ke parenkim otak, mengikuti sulkus dan
girus. Tedapat spasium antara lapisan arachnoid mater dan pia mater yang disebut spasium
subarachnoid. Normalnya, spasium ini terisi cairan serebrospinal yang menjadi bantalan
untuk parenkim otak. Laserasi atau ruptur nya A. Cerebri dapat memasuki spasium
subarachnoid dan mengisi sulkus serebri.

III. Epidemiologi
a. Jumlah pasti tidak diketahui karena biasanya pasien dengan cedera kepala ringan dan
cedera kepala sedang tidak mencari pertolongan tenaga kesehatan, dan sebagian yang
menderita cedera kepala berat tidak bertahan hidup sampai mendapat pertolongan medis.
b. 1,4 juta per tahun menderita cedera kepala (1,1 juta rawat jalan, 240.000 rawat inap,
50.000 meninggal)
c. Distribusi usia yang menderita cedera kepala bersifat bimodal (puncak pertama pada 0-4
tahun, puncak kedua pada 15-19 tahun)
d. Laki-laki:perempuan = 1,5:1

TT
B
B
159
30
e. Penyebab cedera otak tersering adalah jatuh (28%), kecelakaan lalu lintas (20%), pejalan
kaki (19%), kekerasan (11%)

IV. Patofisiologi
Cedera kepala adalah proses yang dinamis, proses dapat terus berlanjut bahkan setelah gaya
eksternal hilang. Cedera kepala primer adalah cedera yang terjadi saat trauma, merupakan
efek dari gaya biomekanik yang mengenai tulang tengkorak dan otak. Efek klinis segera
bermanifestasi dalam waktu milidetik, contohnya adalah cedera keala scalp, fraktur kranium,
cedera pada vaskulatur, dan cedera pada parenkim otak. TBI adalah proses yang dinamis.

Cedera kepala sekunder adalah cedera yang terjadi dalam beberapa waktu setelah cedera
kepa primer, dapat bermanifestasi dalam menit-hari. Cedera ini menggambarkan proses
punyulit dan dapat dicegah.

TT
B
B
160
31
V. Manifestasi Klinis
a. Kontusio Serebri
1. Kontusio serebri adalah cedera yang
terjadi pada substansia grisea pada
parenkim otak.
2. 50 % kontusio => temporal
3. 33 % kontusio => frontal
4. 25 % kontusio => parasagital ‘gliding’
5. Dapat bertambah besar dalam 12 hari
pertama.
6. Coup: jejas pada parenkim otak ipsilateral
dengan gaya yang diterima, disebabkan oleh akselerasi
7. Countercoup : jejas pada parenkim otak kontralateral (berlawanan) dengan arah gaya
yang diterima, disebabkan oleh deselerasi
8. CT scan: lesi hiperdens patchy, dengan background hipodense

b. Intracranial Hemorrhage
1. Efek massa
2. Deteriorasi neurologis
3. Indikasi pembedahan:
- Volume > 50 cm3
- GCS 6-8 terdapat kontusio frontal atau temporal > 20cm3
- Midline shift ≥ 5 mm
- Kompresi cisternal

c. Epidural Hemorrhage
1. Berkumpulnya darah di antara lapisan cranium dan duramater
2. 90% disebabkan oleh ruptur A. Meningea media
3. 10% disebabkaan oleh ruptur vena
4. Manifestasi klinis: pingsan (brief post traumatic LOC) diikuti dengan interval lucid ,
dapat berlanjut menjadi obtundasi, hemiparesis kontralateral, dilatasi pupil

TT
B
B
161
32
5. CT scan: lesi hiperdens bikonveks (84%)

d. Subdural Hemorhhage (SDH)


1. Berkumpulnya darah di antara lapisan dura mater dan arachnoid mater
2. Karena rupturnya bridging vein
3. Dibagi menjadi:
- Hiperakut (< 6 jam)
- Akut (6 jam-3 hari)
- Subakut (3 hari-3 minggu)
- Kronis (>3 minggu)
4. Biasanya disebabnya trauma `terpental` sehingga robeknya vena-vena cortikal yang
menyilang dari daerah subdural dan mengalir ke sinus dural.
5. Holoconvex (terdapat SDH di seluruh bagian konveks hemisfer)
6. CT scan: Bentuk bulan sabit
7. Akut hiperdens (60% homogen), mix density (40% dapat ditemukan ‘swirl sign’ pada
perdarahan aktif.
8. Subakut isodens
9. Kronik hypodens
10. Indikasi pembedahan:
- Lebar > 1cm atau midline shift > 5mm tanpa mengevaluasi GCS
- SDH dengan lebar < 1cm, midline shift < 5mm dan Coma (GCS ≤ 8)
- GCS turun 2 point sejak onset hingga ke RS
- Pupil asimetris
- ICP ≥ 20 mmHg

TT
B
B
162
33
e. Subarachnoid Hemorrhage (SAH)
1. Terkumpulnya darah di antara arachnoid mater dan
piamater
2. Berasal dari vena di daerah subarachnoid
3. 2-41% dari kasus trauma
4. Dapat terjadi sampai dengan 2 hingga 3 hari post
trauma
5. Insiden tertinggi sejak 3-14 hari, paling lama 2-3
minggu setalah trauma.

TT
B
B
163
34
6. Thunderclap headache
7. Meningeal irritation
8. CT scan : Sulcal hyperdensity

f. Concussion
1. Cedera kepala ringan
2. Penurunan kesadaran akibat dari cedera otak non-penetrasi
3. Gejala klasik: sakit kepala, kebingungan, amnesia, terkadang Loss of Consciousness
(LOC)
4. CT scan: normal atau dapat ditemukan edema yang sangat ringan karena hiperemia

VI. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan GCS:

Eye Verbal Motor


6 Menuruti perintah
Kalimat dapat dimengerti,
5 Lokalisasi nyeri
orientasi bagus
Withdraw to pain
Spontan Bicara lancar namun bingung (mengindari stimulus
4
nyeri)
3 Verbal Kata-kata inappropriate Dekortikasi
2 Nyeri Suara (incomprehensible sound) Deserebrasi
1 - - -

Pemeriksaan fisik dibedakan pada pasien yang kooperatif dan pasien yang tidak koopertif;
Pasien tidak kooperatif Pasien kooperatif
Orientasi
Tingkat Kesadaran GCS Komprehensi, verbal
Fluensi dalam berbahasa
Reaktivitas pupil Visus
Funduskopi (papiledema,
Asimetris wajah
Nervus Kranialis detached retina)
Pemeriksaan nervus kranialis
lengkap

TT
B
B
164
35
Gerakan terhadap rangsang Pemerikksaan kekuatan otot di
nyeri semua ekstremitas
Motorik
Tonus M. Spinchter ani
Tonus M.spincher ani volunter
involunter
Pemeriksaan mendetail raba
halus dan tajam pada dermatom
Grimace (seringai)
mayor (C4, C6, C7, C8, T4. T6,
T10, L2, L4, L5, S1)
Sensorik Pemeriksaan propriosepsi pada
Grunt (mengorok)
sendi (fungsi DCML)
Withdrawal terhadap
rangsang nyeri
Deep Tendon Reflex Deep Tendon Reflex
Refleks Patologis Refleks Patologis
Reflek Clonus Clonus
Refleks bulbocavernosus Refleks bulbocavernosus
Anal Wink Anal Wink
VII. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah lengkap
b. Radiologi:
1. Foto polos : C-Spine AP, Lateral 3. MRI
dan odontoid view 4. Angiography
2. CT Scan : indikasi untuk
penilainan post trauma
c. Indikasi CT-Scan
1. GCS ≤14 4. Amnesia post injury
2. Tidak ada respon 5. Penurunan status mental
3. Tanda deviasi 6. Fraktur basis cranii
VIII. Tatalaksana
a. Primary Survey
1. Airway and Breathing
- Lakukan early ET insertion pada pasien koma
- Ventilasi O2 100%
2. Circulation
- Pertahankan euvolemia (cairan isotonik atau transfusi)

TT
B
B
165
36
- Hasil pemerikaan neurologis pada pasien dengan hipotensi tidak reliable
- Pertahankan tekanan darah :
● Usia 50-69 tahun : ≥ 100 mmHg
● Usia 15-49 tahun atau>70 tahun : ≥ 110 mmHg atau lebih tinggi
b. Secondary survey
1. Head to toe
2. AMPLE history (Allergy, Medication, Oast illness, Last meal, Event)
3. Pemeriksaan GCS
4. Pemeriksaan neurologis (perhatikan tanda lateralisasi, refleks pupil)
c. Prosedur Diagnostik
Lakukan CT scan jika hemodinamik pasien sudah stabil.
d. Medical Therapy
1. Tekanan darah dan oksigenasi
- Perburukan pada cedera kepala karena
- Hipoksemia (apnea, sianosis, saturasi O2 < 90%, PaO2 <60 mmHg)
- Hipotensi (sistole < 90 mmHg)
2. ICP (intra cerebral pressure) monitoring : GCS 3-8
- Dewasa dan anak 3-7 mmHg
- Bayi 1,5 – 6 mmHg
- CPP (cerebral perfusion pressure) = MAP – ICP
3. Cairan Intravena
Untuk mempertahankan euvolemia, administrasikan cairan intravena, darah, atau
produk darah yang dibutuhkan. Hipovelemia pada pasien cedera kepala dapat menjadi
bahaya. Hati-hati dalam memilih cairan, cairan hipotonik tidak diberikan pada pasien
cedera kepala. Pemberian cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan
hiperglikemia yang dapat memperburuk cedera kepala. Cairan yang
direkomendasikan untuk resusitasi adalah ringer laktat. Perhatikan kadar natrium
pasien. Hiponatremia dapat menyebabkan atau memperburuk edema otak.
4. Hipertonic saline
Infus continous : 25-50 ml/jam konsentrasi saline 3%-23,4% untuk menurunkan ICP.

TT
B
B
166
37
5. Manitol
- Manitol membuka Blood-Brain-Barrier (BBB)
- Beberapa menit pertama menurunkan hematokrit dan kekentalan darah,
meningkatkan rheologic, meningkatkan CBF dan distribusi O2
- 15-30 menit hinggal 1,5 – 6 jam : karena efek osmotik meningkatkan tonisitas
serum dan menarik cairan yg menyebabkan edema pada parenkim otak.
- Bolus : menurunkan ICP 1-5 menit, puncaknya 20-60menit.
- Pada kasus perburukan status neurologis atau herniasi : dosis 1 g/kg (0,25 - 0,5
g/kg tiap 6 jam)
- Furosemid mungkin dapat dikombinasi dengan manitol untuk menurunkan edema
serebral meskipun dapat meningkatkan tonisitas serum dan menurunkan produksi
CSF`
6. Barbiturat
- Menurunkan metabolic demand untuk O2, menurunkan ICP.
- GCS ≤ 8 penggunanan barbiturat dapat meningkatkan risiko infeksi dan
komplikasi respiratorik sekitar 50%.
- Dapat menyebabkan hipotensi pada 25% pasien.
- Dosis : loading dose 10 mg/kg dalam 30 menit. Selanjutnya 5mg/kg selama 3 jam.
- Maintenance 1 mg/kg.
7. Koreksi antikoagulan
Harus berhati-hati pada pasien cedera kepala yang menerima terapi antikoagulan.
Pengecekan INR diperlukan.
8. Hiperventilasi
Normokarbia lebih direkomendasikan. Hiperventilasi menyaban PaCO2 menurun dan
menyebakan vasokonstriksi serebral. Hiperventilasi yang berkeanjangan dapat
menyebakan iskema serebri dan memperburuk cedera otak. Pertahankan PaCO2
antara 35-45 mmHg. Hiperventilasi profilaktik menurunkan PaCO2 <25mmHg tidak
direkomendasikan
9. Hipotermia
Target 32-33 derajat C, maintenance > 48 jam. Tidak melebihi 1 derajat C/24 jam.

TT
B
B
167
38
10. Steroid
Tidak direkomendasikan, dapat menyebabkan koagulopati, hiperglikemia, dan
meningkatkan infeksi sehingga hasil buruk.
11. Anti kejang
- Fenitoin 1 gram IV kecepatan 50mg/menit, maintenance 100mg/8 jam
- Anti kejang profilaksis dapat meningkatkan risiko PTS = epilepsi pasca trauma
pada pasien.

IX. Referensi
Mattox, Kenneth L et al. 2013. Trauma. 7th edition. McGrawhill Companies.
FK UI. 2017. Buku Ajar Neurologi Buku 2. Penerbit Kedokteran Indonesia.
American college of surgeon. 2018. ATLS Advanced Trauma Life Support Student Course
Manual. 10th edition. McGrawhill Companies.

TT
B
B
168
39
KOMPETENSI
LABIOSCHISIS
Kontributor: Adinda Mulya Pertiwi
2
I. Pendahuluan
Beberapa penyebab dalam terapi bedah plastik di bagian wajah dapat berasal dari kongenital,
trauma, ineksi, neoplasia, dan penyebab lain. Beberapa penyebab kongenital tersering adalah
craniofacial cleft, craniosynostosis, facial dysostosis, dan defek embriologi lainnya.
Craniofacial cleft terdiri dari nonsyndromic cleft lip and palate dan syndromic cleft lip and
palate. Nonsyndromic cleft lip and palate merupakan yang paling sering dijumpai.

II. Craniofacial cleft


Craniofacial cleft merupakan penyakit kongenital terbanyak kedua setelah congenital talipes
equinovraus (CTEV) atau clubfoot. Pada tahun 1969, Tessier mengklasifikasikan 14 macam
sumbing wajah.

0: media nasal
1: lateral nasal -> paling banyak
3: labioa, nasal, dan palpebra.
4: oro-ocular cleft
6,7,8: Treacher Collins syndrome.

TT
B
B
153
40
Cleft lip and palate terjadi akibat dari kegagalan penyatuan prominentia nasalis media dan
prominentia maxillari. Insiden secara keseluruhan terjadi 1:1000 kelahiran, pada ras
kaukasian 1:750, asia 1:500. labiopalatoschisis terjadi lebih sering pada laki-laki daripada
perempuan. sedangkan palatoschisis lebih banyak terjadi pada perempuan > laki-laki. Labia
terbentuk pada minggu 5/6 dan palatum pada minggu ke-10. Kelainan ini dapat terdeteksi
pada USG di minggu ke 20.

Terdapat juga klasifikasi LAHSHAL (Lip,


Alveolar, Hard palate, Soft palate, Hard
palate, Alveolar, Lip)
• LAHS_ _ _ à labiognatopalatoschisis
complete unilateral dextra
• la _ _ al à laiognatoschisis incomplete
bilateral
• _ _ s _ _ à palatoschisis incomplete

Beberapa masalah yang dapat ditimbulkan seperti.


a. Keluarga > psikologis dan finansial
b. Pasien
1. Malnutrisi = akibat gangguan breastfeeding, bayi gagal melakukan sucking karena
tidak terbentuk keadaan vakum di rongga mulut. Normalnya keadaan vakum
didapatkan dengan cara mengangkat palatum mole sehingga menutup hubungan
rongga hidung dan ronggam ulut.
2. Fonasi = artikulasi yang baik membutuhkan langit-langit yang baik.
3. Infeksi telinga tengah = makanan dapat masuk ke rongga hidung, hingga mengiritasi
tuba eustachius
4. Pertumbuhan gigi = celah yang menyebabkan pertumbuhan gigi tidak beraturan
5. Aesthetic = disporposi facial.

III. Management
Manajemen dilakukan secara interdisiplin dan jangka panjang.

TT
B
B
154
41
a. Edukasi keluarga
b. Menyelesaikan masalah nutrisi > posisi semi erect,
dapat menggunakan sendok/special bottle.

c. Menyarankan pemasangan feeding plate / obturator /


Nasoalveolar molding (NAM) pada usia 1-2 minggu
(untuk mencegah celah pada langit-langit).

d. Operasi pertama pada usia 10 minggu = labioplasty. mengikuti hukum rule of ten,
i. 1st ten à usia 10 minggu
ii. 2nd ten à berat badan 10 pound (4,9-5kg)
iii. 3rd ten à Hb >= 10 gr/dL

TT
B
B
155
42
e. Usia 1,5 - 2 tahun =
palatoplasty. Tidak boleh
lebih dari 24 bulan, karena
pada usia 24 bulan sudah
mulai menirukan secara
lengkap artikulasi huruf, jika
terlambat diperbaiki, anak sudah terbiasa mengeluarkan artikulasi yang salah
f. Usia 2-4 tahun = speech therapy
g. Usia 4-6 tahun = velopharyngoplasty. untuk menghilangkan nasal escape dengan cara
memperkecil rongga nasofaring dan orofaring.
h. Usia 6-8 tahun dilakukan terapi orthodontik agar pertumbuhan gigi teratur.
i. Usia 8-9 tahun dilakukan alveolar bone grafting untuk menutup celah gigi dengan
mengambil tulang dari crista iliaca.

j. Usia 9-17 tahun, melanjutkan terapi orthodontic.

TT
B
B
156
43
k. Usia 17/18 tahun dilakukan Le Fort osteotomy untuk memajukan maxilla (reparasi
maloklusi kelas 3)

IV. Referensi
Adam Lowenstein and David H. Song. Essentials for students: Plastic Surgery.
American Society of Plastic Surgeons in conjunction with Plastic Surgery Education
Foundation. 2007. 7th edition
Kuliah dr. Rosadi Seswandhana, Sp.BP. Facial Related Congenitla Anomaly. Aesthetic &
Reconstructive Plastive Surgeon, Department of Surgery, Faculty of Medicine Gadjah
Mada Universitiy. 2015

TT
B
B
157
44
CORPUS ALIENUM (WAJAH)
Kontributor: Rizki Oktasari

I. Definisi
a. Corpus alienum adalah semua benda yang berasal dari luar tubuh (asing).
b. Corpus alienum dibagi menjadi inert atau iritatif. Corpus alienum yang iritatif dapat
menyebabkan inflamasi dan jaringan parut

II. Anatomi
a. Tulang-tulang wajah berfungsi untuk melindungi struktur otak, pengindraan, rangka dari
otot mastikasi, ekspresi wajah, dan berbicara
b. Tulang primer wajah terdiri dari os mandibular, os maxilaris, os frontalis, os nasalis, dan
os zygoma.

c. Otot-otot daerah wajah adalah kumpulan 20 otot skelet datar yang berada di bawah kulit
wajah.

TT
B
B
326
45
III. Epidemiologi
a. Anak-anak secara alamiah tertarik pada benda bersinar seperti koin atau batu baterai dan
memasukkannya ke mulut, telinga, atau hidung.
b. Usia 20-39 adalah kelompok usia paling sering pada kasus trauma wajah.

IV. Etiologi
Benda asing regio sepertiga tengah wajah diklasifikasikan sebagai :
a. Benda asing traumatic: perluru senapan angina, missil, dll
b. Benda asing iatrogenic: gigi, sikat gigi, patahan forceps, instrument root canal.

V. Patofisiolgi
a. Benda asing regio traktus gastrointestinalis :
(a) Beberapa benda asing berukuran kecil, seperti koin kecil, pada umumnya dapat keluar
dengan sendirinya

TT
B
B
327
46
(b) Ingesti batu baterai dapat menghasilkan ion hidroksida pada anoda yang
menimbulkan luka bakar kimiawi dalam 2 jam.
(c) Ingesti beberapa magnet dapat menarik satu sama lain di dalam dinding usus à
kerusakan serius à nekrosis akibat tekanan, perforasi, fistula intestinal, volvulus, dan
obstruksi
b. Benda Asing regio wajah :
(a) Pada case report yang ditulis oleh Mallik, et al., benda asing dapat tertancap pada
wajah akibat penurunan kesadaran lalu terjatuh mengenai benda di sekitarnya.
(b) Pada kasus benda asing daerah maksila akibat peluru yang tertanam dapat ditemukan
gejala hidung tersumbat, rhinorrhea, dan rasa berat pada regio wajah.
(c) Benda asing organik dapat menimbulkan respons jaringan à inflamasi à granulasi
à infeksi sekunder à abses à perforasi , desrupsi tulang
(d) Benda asing yang terlalu lama dibiarkan dapat menyebabkan infeksi sekunder dan
membuat jaringan granulasi di sekitar daerah tersebut.

VI. Manifestasi Klinis


a. Kasus benda asing pada regio THT, seringkali tulang ikan, dilaporkan menyebabkan
abses saluran napas atas.
b. Abses berulang yang tidak responsive terhadap terapi perlu dipertimbangkan
kemungkinan adanya benda asing atau malformasi kongenital seperti branchial cleft
cysts.
c. Gejala hidung tersumbat, rhinorrhea, dan rasa berat pada regio wajah.
d. Kasus benda asing pada traktus gastrointestinalis yang terlambat terdeteksi dapat
bermanifestasi akibat komplikasi yang ditimbulkan sebagai gejala asthma serangan
pertama, hipersalivasi, atau infeksi saluran napas atas berulang.
e. Benda asing di daerah wajah seringkali terjadi pada daerah :

TT
B
B
328
47
VII. Pemeriksaan Fisik
a. Benda asing akibat tusukan atau irisan pada daerah wajah umumnya dapat terlihat port
d’entry benda asing terkait.
b. Apabila terdapat komplikasi akibat respons jaringan, dapat ditemukan kemerahan
(selulitis), massa fluktuatif (abses), nyeri, absorbs tulang
c. Komplikasi lain juga dapat muncul seiring dengan cedera nervus terkait daerah yg
berdekatan dengan benda asing.

VIII. Pemeriksaan Penunjang


a. Penentuan lokasi dan komposisi benda asing sangat penting untuk dilakukan, hal ini
dapat dicapai menggunakan modalitas X-Ray, CT scan, MRI, dan USG.
b. X-ray dapat memvisualisasikan benda asing yang berwarna opaque seperti logam, namun
hampir tidak dapat melihat benda asing lusen seperti bahan organik tanpa adanya
modalitas tambahan.

Proyeksi lateral X-Ray menunjukkan


benda asing radio-opak

c. CT scan dapat menentukan ukuran dan lokasi pasti dari benda asing.

TT
B
B
329
48
CT Scan. Lesi hiperdens pada medial dari arkus zygomatikus sinistra dekat
ramus mandibula

d. USG. Benda asing umumnya tampak hyperechoic. Bahan kayu dan plastik menimbulkan
‘shadowing’. Sedangkan logam menimbulkan ‘comet tail artifact’

Shadowing Comet tail artifact

IX. Kriteria Diagnosis


Anamnesis yang mendetail perlu dilakukan untuk membantu memperkirakan mekanisme
trauma, jenis benda asing, dan pemeriksaan radiologis yang dibutuhkan.

X. Komplikasi
a. Komplikasi akibat pengeluaran benda asing pada struktur yang kritis yaitu perdarahan
yang hebat, infeksi, nyeri, bengkak, dan trismus.
b. Trismus dapat ditemukan pada kasus truma benda asing regio wajah akibat suspect
infeksi Clostridium tetani atau fibrosis otot.

TT
B
B
330
49
XI. Tatalaksana
a. Benda asing yang besar perlu perencanaan yang matang dan melibatkan pendekatan
multidisiplin.
b. Benda asing perlu dikeluarkan sebelum menimbulkan komplikasi dan infeksi, namun
beberapa ada yang tidak dikeluarkan setelah mempertimbangkan risiko dan manfaat.

c. Tatalaksana luka akibat tusukan atau irisan daerah wajah dapat dilakukan dengan
menjahit, mereduksi fraktur, dan pada kasus yang berat dilakukan rekonstruksi wajah.
d. Seperti yang direkomendasikan Shinohara et al, tahapan yang dilakukan adalah: akses,
pengangkatan benda asing, eksplorasi luka, irigasi, jahit luka, beberapa ditambahkan
profilaksis tetanus, dan antibiotik.
e. Benda asing di regio maxilla dan antrum dapat dikeluarkan dengan metode operasi
Caldwell-Luc, operasi endoskopi nasal dan antral.
f. Pada kasus yang dilaporkan Datarkar, et al., benda asing yang berada pada posterior
maksila berukuran sangat besar sehingga perlu dilakukan Lefort I osteotomy.

Lefort I down fracture

access osteotomy

TT
B
B
331
50
Evakuasi pecahan kaca dengan
operasi ostektomi arkus
zygomatikus via akses preaurikularis
dengan ekstensi ke daerah temporal

XII. Referensi
Datarkar, Abhay N.’Dhawad, Madhumati; Desphande, Ajay, 2015. Unusual Foreign Body
in Mid Face, India : Association of Oral and Maxillofacial Surgeons of India.
Mallik, Krushna Chandra; Guru, Ranjan Kumar, 2013. Unusual Foreign Body [Tooth
Brush] in The Masseter Muscle : A Rare Case Report. Odisha : Journal of Evolution of
Medical and Dental Sciences.
Melo, Maysa, et al, 2017, Traumatic Foreign Body into the Face : Case Report and
Literature Review. Brazil : Hindawi.
https://www.acep.org/sonoguide/foreign_bodies.html
https://www.kenhub.com/en/library/anatomy/the-facial-muscles

TT
B
B
332
51
KOMPETENSI
STRUMA NODUSA NON-TOKSIK
Kontributor: William Widitjiarso
3B
I. Definisi
Struma nodusa non-toksik (SNNT) atau biasa disebut nodular non-toxic goiter, adalah
pembesaran kelenjar tiroid, yang bersifat nodular, yang bukan berasal dari proses
inflamasi maupun proses neoplastic, dan tidak berhubungan dengan fungsi tiroid yang
abnormal.

II. Anatomi
a. Merupakan glandula yang terletak di bagian anterior dari leher. Berbentuk seperti
kupu-kupu, memiliki dua lobus sinistra dan dextra, yang dihubungkan oleh isthmus
yang sempit pada bagian tengahnya. Ada juga bagian dari tiroid yang disebut dengan
lobus pyramidalis, yang terletak di superior, di antara isthmus dan lobus dextra.
b. Glandula tiroid terletak di dalam kompartemen pretracheal fascia. Kelenjar tiroid
berada di belakang m. Sternohyoid dan m. Sternotiroid, dan kelenjar tiroid
mengelilingi kartilago krikoideus dan cincin trakea bagian superior. Kelenjar tiroid
terletak di bawah kartilago tiroideus larynx.
c. Vaskularisasi dari tiroid berasal dari a. Tiroid superior (cabang dari a. Carotis
externa) dan a. Tiroid inferior. A. Tiroid superior memvaskularisasi bagian anterior
dan superior dari tiroid sementara a. Tiroid inferior memvaskularisasi bagian
posterior dan inferior dari tiroid. Sementara itu, vena yang keluar dari tiroid adalah
plexus vena yang terbentuk dari v. tiroid superior, media, dan inferior. V. Tiroid
superior dan media bermuara pada v. Jugularis interna sementara v. Tiroid inferior
bermuara di v. brachiocephalica.
d. Innervasi kelenjar tiroid berasal dari trunkus symphaticus. Regulasi sekresi dari
hormone tiroid berasal dari glandula pituitary. Selain itu, pada dekat kelenjar tiroid,
terdapat n. laryngeus recurrens yang berasal dari n. vagus. N. laryngeus recurrens ini

TT
B
B
136
52
berada di bawah thyroid, dan berujung pada larynx. Pada operasi yang melibatkan
glandula tiroid, harus diperhatikan bahwa serabut saraf ini tidak terligasi maupun
rusak.

III. Epidemiologi
a. SNNT lebih sering dijumpai di wanita daripada pada laki-laki, dengan predileksi
lebih banyak 1,2-4,3 kali lebih banyak pada perempuan.
b. Secara umur, sporadic goiter yang disebabkan oleh dyshormonogenesis sering terjadi
pada masa childhood karena peran error genetic yang tidak dapat memproduksi
hormone tiroid. Endemic goiter biasanya terjadi karena kekurangan iodine intake
pada masa anak-anak dan membesar dengan bertambahnya usia.

IV. Etiologi
Secara etiologi dibagi menjadi 2 grup besar, yaitu sporadic dan endemic
a. Endemic : Pembesaran kelenjar tiroid dapat diklasifikasikan sebagai endemic goiter
ketika >10% dari populasi memiliki pembesaran kelenjar tiroid tersebut. Penyebab
utama dari endemic goiter adalah kekurangan intake iodine pada suatu lokasi,
biasanya disebabkan karena status socioekonomik yang rendah.

TT
B
B
137
53
b. Sporadic : Terjadi karena factor-faktor environmental dan genetic, yang biasanya
tidak mempengaruhi populasi secara luas.
V. Patofisiologi

Growth of diffuse
goiter Nodule production Functional autonomy

a. Stadium diffuse goiter: Pada awal mula SNNT, terdapat hyperplasia dari follicular
epithelium yang uniform pada glandula tiroid. Hal ini meningkatkan massa dari
kelenjar tiroid.
b. Nodule production: Lama-kelamaan, perkembangan ini kehilangan sifatnya yang
uniform, beberapa daerah berinvolusi dan terjadi fibrosis, sementara beberapa daerah
lainnya masih mengalami hyperplasia secara focal. Hal ini membuat bentukan
nodule-nodule, dan pada stadium ini dapat disebut sebagai multinodular goiter.
c. Functional autonomy: Daerah yang berbeda-beda ini akan memiliki daya uptake
iodine yang berbeda-beda, yang dapat dilihat dengan nuclear scintigraphy.
d. Pembentukan nodule dan functional autonomy ini biasanya disertai dengan
penurunan kadar TSH. Pada beberapa pasien, dapat juga dijumpai thyrotoxicosis.

VI. Manifestasi Klinis


1. Keluhan utama: Pola pertumbuhan dari kelenjar tiroid ini sendiri biasanya menuju ke
arah luar, sehingga biasanya keluhan pertama pasien adalah benjolan pada daerah
leher. Terkadang, pertumbuhan tiroid ini dapat mengelilingi dan mengkompresi
trakea/esofagus, sehingga keluhan dapat berupa sesak nafas maupun kesusahan
menelan
2. Kompresi trakea biasanya asymptomatic hingga penyempitan sudah tahap lanjut.
3. Pertumbuhan dari kelenjar tiroid juga dapat ke inferior, sehingga menekan
mediastinum. Dalam kasus ini, biasanya sering dijumpai stridor dan dyspnea yang
bersifat nocturnal/positional. Biasanya lebih terasa sesak ketika rongga thorax
dipersempit.

TT
B
B
138
54
4. Kompresi nervus laryngeus recurrens dapat menimbulkan gejala suara serak atau
hoarseness. Karakteristik suara juga dapat berubah pada kasus kompresi n. laryngeus
recurrens.

VII. Anamnesis
a. Diet iodine: Cari tahu tentang riwayat kekurangan iodine, kelebihan iodine, maupun
konsumsi suplemen makanan atau rumput laut
b. Radiasi: Cari tahu tentang riwayat eksposur pasien terhadap radiasi, terutama di
bagian leher, pada masa anak-anak, yang biasanya meningkatkan resiko kejadian
tumor dan malignansi.
c. Riwayat keluarga: Ada kemungkinan bahwa pasien memiliki factor genetik yang
diwariskan dari orang tua, seperti dyshormogenesis, gen-gen mutasi yang diturunkan
untuk papillary thyroid carcinoma, maupun medullary thyroid carcinoma.

VIII. Pemeriksaan Fisik


a. Tanda Vital
Tidak ada perubahan yang signifikan
b. Pemeriksaan leher
1. Inspeksi: Inspeksi dari samping dapat memperlihatkan pembesaran dan outline
dari tiroid. Pasien dapat diminta minum segelas air, pada pemeriksaan ini,
pembesaran yang diinspeksi seharusnya ikut bergerak ketika menelan.
2. Palpasi: Palpasi dilakukan dari belakang, dengan posisi leher pasien relax, tidak
hiperekstensi. Palpasi dapat menyingkirkan pseudogoiter, yang terjadi ketika
kelenjar tiroid terlihat menonjol pada pasien-pasien kurus. Setiap lobus diperiksa
untuk adanya nodule lalu diperiksa ukuran, konsistensi, jumlah nodule, dan
tenderness. Lalu dilakukan palpasi lymph node cervical.
Penyakit Palpasi
Grave’s disease Biasanya ditemukan pembesaran lobus pyramidal
Hashimoto Teraba solid dan konsistensi seperti karet
Multinodular goiter Teraba beberapa nodul.

TT
B
B
139
55
IX. Pemeriksaan Penunjang

a. Uji pertama yang dilakukan:


1. Serum Thyroid Profile (TSH + free T4 dan total T3)
• Hasil: Dapat turun, normal, maupun meningkat
• Dilakukan pemeriksaan TSH dulu, jika naik, maka dicurigai ada hashimoto’s
thyroiditis atau dyshormogenesis jika pasien adalah anak-anak. Jika TSH
turun, coba lacak tentang status free T4 dan total T3 untuk melihat
thyrotoxicosis.

2. Scintigraphy Technetium-99m
• Dapat ditemukan hot dan
cold nodules pada satu
lapang yang sama karena
sifat autonomy dari nodule-
nodule tersebut

TT
B
B
140
56
3. Ultrasonography
• Dapat membantu dalam perkiraan jumlah, ukuran, dan sifat nodule terhadap
sonography. Tidak akurat dalam pengukuran nodule yang berukuran besar.

4. CT Scan dan MRI


• Dapat menilai komplikasi goiter, terutama jika terjadi kompresi trakea dan
extensi ke daerah intratorakal

X. Diagnosis Banding
a. Follicular Thyroid Carcinoma
b. Hashimoto Thyroiditis
c. Medullary Thyroid Carcinoma
d. Papillary Thyroid Carcinoma
e. Riedel Thyroiditis
f. Subacute Thyroiditis
g. Thyroid Lymphoma
h. Thyroid Nodule

XI. Kriteria Diagnosis


Diagnosis dari SNNT dilakukan secara klinis, dengan adanya pembesaran kelenjar tiroid,
riwayat kekurangan intake iodine, riwayat keluarga dengan penyakit serupa, dan juga
dengan ditemukannya fungsi tiroid yang normal.

TT
B
B
141
57
XII. Komplikasi
a. Kompresi struktur leher
b. Thyrotoxicosis

XIII. Tatalaksana

Tatalaksana Operasi: Thyroidectomy

a. Tiroidectomy Total: Pengambilan seluruh


jaringan tiroid
b. Lobectomy with isthmusectomy: Pengambilan
satu lobus atau setengah dari kelenjar tiroid
berserta isthmus tiroid
c. Hemithyroidectomy: Pengambilan satu lobus
atau setengah dari kelenjar tiroid

TT
B
B
142
58
Rec. no. Guideline recommendation Rec. rating

Measure serum TSH in the initial evaluation of a patient with


a thyroid nodule. If the serum TSH is subnormal, a
radionuclide thyroid scan should be performed using either
1 technetium 99mTc pertechnetate or 123I. A

Thyroid sonography should be performed in all patients with


2 known or suspected thyroid nodules. A

FNA is the procedure of choice in the evaluation of thyroid


5a nodules. A

For patients with thyroid cancer larger than 1 cm, the initial
surgical procedure should be a near-total thyroidectomy
unless there are contraindications to this surgery. Thyroid
lobectomy alone may be sufficient treatment for small (<1
cm), low-risk, unifocal, intrathyroidal papillary carcinomas
in the absence of prior head and neck irradiation or
radiologically or clinically involved cervical nodal
26 metastases. A

Serum Tg should be measured every 6–12 months by an


immunometric assay that is calibrated against the CRM-457
standard. Ideally, serum Tg should be assessed in the same
laboratory, using the same assay during follow-up of patients
with DTC who have undergone total or near-total
thyroidectomy with or without thyroid remnant ablation. Tg
antibodies should be quantitatively assessed with every
43 measurement of serum Tg. A

XIV. Referensi

https://www.aace.com/files/thyroid-guidelines.pdf
https://www.thyroid.org/professionals/ata-professional-guidelines/
https://academic.oup.com/jcem/article/96/5/1202/2833198

TT
B
B
143
59
KOMPETENSI
LIMFADENITIS
Kontributor: Francisco Gilbert Timothy
4A
I. Anatomi
Sistem limfatik di dalam tubuh terdiri dari beberapa komponen, yaitu
• Plexus limfatikus:
Jaringan kapiler limfatik yang menerima cairan dari spatium intercellular, yaitu sisa
cairan yang keluar dari arteriola yang tidak masuk ke venula. Terbentuk dari lapisan
endothel dan tidak memiliki membrana basalis sehinga dapat dilewati oleh cairan,
protein plasma, bakteri, debris sel, dan sel
• Vasa limfatikus:
Jaringan vasa yang dilewati oleh cairan limfatik berjalan bersamaan dengan kapiler
darah, kecuali pada gigi, tulang, sumsum tulang dan sistem saraf pusat.
• Cairan limfatik:
Cairan jaringan yang jernih, berwarna sedikit kekuningan dengan komposisi mirip
plasma
• Nodus limfatikus:
Massa jaringan limfatik di sepanjang sistem limfatik tempat filtrasi cairan limfatik
sebelum masuk ke sistem vena
• Limfosit: sel imun yang terdapat pada organ limfatik
• Organ limfoid:
Organ-organ tempat produksi limfosit seperti timus, sumsum merah tulang, lien, dan
tonsil, lokasi agregasi nodus limfatikus pada dinding usus, appendix.

Fungsi sistem limfatik


• Absorpsi cairan dan protein plasma
• Absorpsi dan transportasi lemak
• Membentuk sistem pertahanan tubuh

TT
B
B
293
60
Sistem limfatik regio cervical

I: Submental submandibular
● Ia: submental (batas lateral: m digastricus venter anterior, batas inferior: os hyoid,
batas superior: symphisis os mandibula)
● Ib: submandibular (batas lateral: corpus mandibula, batas medial: m digastricus
venter anterior, batas poterior: m digastricus venter posterior)
II: Jugularis superior
● IIa: jugulodigastricus (terletak profunda dari m SCM, batas posterior: margo posterior
m SCM, batas anterior: posterior m digastricus venter posterior, batas inferior: os
hyoid, batas superior: CN XI)
● IIb: recessus submuscularis (batas inferior: CN XI)
III: Jugularis media (batas superior: os hyoid, batas inferior: cartilago cricoid, terletak
profunda dari m. SCM)
IV: Jugularis inferior (batas superior: cartilago cricoid, batas inferior: clavicula, terletak
profunda dari m SCM)
V: Trigonum posterior (batas medial: posterior m SCM, batas lateral: m trapezius)
● Va: (batas inferior: CN XI)
● Vb: (batas superior: CN XI, batas inferior: os clavicula)
VI: kompartemen anterior (batas superior: os hyoid, batas inferior: incisura suprasternalis)
VII: paratracheal (batas superior: incisura suprasternalis)

TT
B
B
294
61
Arah perjalanan limfatik beberapa organ sekitar cervical adalah sebagai berikut
● Cavitas oris, labium : level I, II, III
● Oropharynx, hypopharynx, larynx : level II, III, IV
● Nasopharynx, thyroid : level II, III, IV, V
● Hypopharynx, esophagus cervicales, thyroid : level VII

Sistem limfatik region axillaris

Nama grup Letak Asal aliran


Level I (lateral/ inferior dari m. pectoralis minor)
Lateral/ humeral/ Medial atau posterior dari vena Ekstremitas atas
axillary vein
Anterior/ pectoral/ Sepanjang margo inferior m Mammae bagian lateral
mammaria externa pectoralis minor
Posterior/ subscapular/ Sepanjang dinding posterior Posterior leher bawah, posterior
scapular axilla pada margo lateralis os trunkus, posterior bahu
scapula
Level II (superficial atau profunda dari m. pectoralis minor)
Central Dalam lapisan lemak axilla, V axillaris, v mammaria externa,
posterior dari m pectoralis grup lnn scapular, langsung dari
minor mammae
Interpectoral/ Rotter’s Di antara m pectoralis major et Langsung dari mammae
lymph node minor
Level III (medial atau superior dari m. pectoralis minor)
Apical/ subclavicularis Posterior dan superior dari Dari semua grup lnn
margo superior m pectoralis

TT
minor

B
B
295
62
Aliran limfatik:

>75% (terutama kuadran Lnn axillarisà lnn


lateral) ke lnn axillaris (via clavicular (infra et
lnn pectoral) atau ke supraclavicular)à
interpectoral, delto- trunkus limfatikus
Trunkus limfatikus
pectoral, supraclavicular, subclavii (beserta
subclavii, broncho-
Nippleà areolaà lnn cervicalis profunda ekstremitas
mediastinal et
lobulus glandula superior)
jugularis bergabung
mammaeà menjadi ductus
plexus limfatikus limfatikus dextra
subareolarà <25% (terutama kuadran Lnn parasternalà dan terminasi di
medial)à lnn parasternal trunkus limfatikus ductus thoracicus.
atau mammae kontra- bronchomediastin
lateral atau ke lnn al (beserta viscera
phrenicus inferior thoracica)
subdiaphragmatica

TT
B
B
296
63
Sistem limfatik inguinal

● Superficial (dibatasi planum transumbilical)


− Superior à lnn axillaris atau lnn parasternal
− Inferior à lnn inguinalis superficialis
● Profunda
− Lnn iliaca externa à lnn iliaca communis à lnn lumbalis dextra et sinistra
(caval et aortica)
● Lnn inguinalis superficialis à lnn iliaca externa (langsung atau via lnn inguinalis
profunda)

II. Definisi
● Limfadenopati: perbesaran limfonodi
● Limfadenitis: infeksi sekunder limfonodi
● Limfangitis: infeksi sekunder vasa limfatik

III. Etiologi
● Infeksi
○ Bartonella henselae, Coccidoides immitis, CMV, karies dentis, EBV, Fracisella
tularensis, Histoplasma capsulatum, Mycobacterium atipikal, Mycobacterium

TT
B
B
297
64
tuberculosis, Parvovirus, Rubella, Salmonella, dermatitis seboroik, Staphylococcus
aureus, GAS, Toxoplasma gondii, pharyngitis viral
● Imunologis: juvenile RA, graft vs host disease
● Penyakit primer limfoid
○ ALL, limfosarcoma, reticulum cell sarcoma, NHL, malignant histocytosis,
nonendemic Burkitt tumor, nasopharyngeal rhabdomyosarcoma, neuroblastoma,
kanker tiroid, histiocytosis X, Kikuchi disease, benign sinus histiocytosis,
angioimmunoblastic or immunoblastic lymphadenopathy, chronic
pseudolymphomatous lymphadenopathy
● Sindrom defisiensi imun dan disfungsi fagositik:
○ Chronic granulomatous of childhood, AIDS, hyperIgE (Job) syndrome
● Metabolik dan storage: Gaucher, Niemann-Pcik, cystinosis
● Hematologis: sickle cell disease, thalassemia, CHA, autoimmune hemolytic anemia
● Lainnya: Kawasaki disease, sarcoidosis

Patofisiologi dapat disebabkan oleh beberapa hal


• Multiplikasi sel di dalam lnn (limfosit, sel plasma, monosit, histiosit)
• Infiltrasi sel extranodal (sel ganas, neutrofil)
• Drainase infeksi ke lnn lokal

IV. Diagnosis
a. Anamnesis
• Riwayat infeksi: URTI, sore throat, earache, coryza, konjungtivitis, impetigo
• Demam, penurunan nafsu makan
• Kontak dengan binatang
• Kesehatan gigi yang buruk
• Medikasi tertentu: hydatoin, mesantoin
• Gejala juga dapat bergantung dari lokasi
o Cervical: kaku leher/ torticollis
o Preauricular: konjungtivitis (unilocular), pharyngeal conjunctival fever,
keratokonjungtivitis

TT
B
B
298
65
o Retropharyngeal: disfagia, dispnea
o Mediastinal: batuk, dispnea, stridor, disfagia, efusi pleura, kongesti vena
o Intraabdominal: nyeri abdomen
o Iliaca: nyeri abdomen

b. Pemeriksaan fisis
● Lokasi
● Jumlah: tunggal, regional, generalisata
● Ukuran dan bentuk: reguler <2 cm, >2-3 cm ireguler
● Konsistensi: lunak, tegas, rubbery, keras, fluktuasi, hangat
● Nyeri tekan

Karakteristik
● Malignansi: firm, hard, fixed, nontender
● Infeksi: lunak, fluktuasi, tender, eritem

Diagnosis
Regional: pengetahuan terkait pola drainase limfatik dan proses patologis
• Cervical:
Berasal dari kepala, leher, cavitas oropharyngeal seperti infeksi pada wajah, abses
dentis, otitis externa, faringitis bacterial, CMV, infeksi adenovirus, rubella,
toxoplasmosis, limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin, SCC struktur nasopharynx
atau larynx
• Axilla:
Berasal dari ekstremitas atas, payudara seperti sporotrichiosis, cat scratch disease,
limfoma, melanoma, kanker payudara
• Epitrochlear:
Berasal dari tangan seperti infeksi kulit atau jaringan lunak, limfoma
• Supraclavicular:
Berasal dari dada, mediastinum seperti infeksi mycobacterium, infeksi fungal,
kanker payudara, keganasan intrathoracal maupun intraabdominal (Virchow node)

TT
B
B
299
66
• Inguinal:
Berasal dari ekstremitas bawah, kulit abdomen inferior, genital, perineum seperti
selulitis, infeksi menular seksual, limfoma, metastasis melanoma atau SCC
• Mediastinal:
Berasal dari struktur lokal seperti tuberkulosis, karsinoma bronkogenik, limfoma
Hodgkin
• Intraabdominal/ retroperitoneal:
Berasal dari struktur lokal seperti tuberkulosis, infeksi Yersinia enterocolica,
abses, limfoma Hodgkin

Generalisata dapat diakibatkan oleh


• Toksisitas obat: hydralazine, allopurinol
• Infeksi: EBV, CMV, toxoplasmosis, HIV, tuberculosis lanjut
• Imunologis: sarcoidosis, RA, SLE
• Keganasan: ALL, CLL, limfoma, Castleman disease

c. Pemeriksaan penunjang
• Laboratorium: pulasan Gram, kultur, serologi (EBV, PPD), darah rutin
(peningkatan angka leukosit), tanda-tanda infeksi (laju endap darah, C-reactive
protein), fungsi hati (jika mengarah ke sistemik atau hepatic)
• Pencitraan
§ USG: mengukur pembesaran limfonodi. Endobronchial USG dapat
membedakan limfadenopati intrathoracal tidak ganas (tuberculosis,
sarcoidosis, reactive lymphadenitis) dengan keganasan
§ X-ray dada: keterlibatan pulmo dan persebaran limfadenopati dada
• Prosedural
o Biopsi (FNAB, biopsi eksisi/ biopsi parsial) dilakukan apabila limfadenopati
ada selama 4-6 minggu, letak supraclavicular, konsistensi firm/ rubbery,
terdapat ulkus, tak respon antibotik, gejala sistemik

TT
B
B
300
67
V. Tatalaksana
● Ekspektan: limfonodi berukuran <3 cm tanpa eritem, tidak nyeri tekan, <2 minggu
● Antibiotik: limfonodi berukuran >2-3 cm, unilateral, ada eritem, nyeri tekan.
Antibiotik pilihan clindamycin, cotrimoxazole
● Insisi dan drainase jika ada abses. Jika limfadenitis non tuberculosis dapat dilakukan
eksisi komplit

VI. The Continental Referensi


Brunicardi, F.C., et al. (2015). Schwartz’s Principles of Surgery 10th Edition. McGraw-
Hill
Moore, K.L., et al. (2014). Moore: Clinically Oriented Anatomy 7th Edition. Wolster
Kluwer
Pasternack M.S., et al (2010). Mandell, Douglas, and Bennet’s Principles and Practice of
Infectious Diseases 7th Edition. Elsevier

TT
B
B
301
68
KOMPETENSI
PNEUMOTHORAX & HEMOTHORAX
Kontributor: Paulin Surya Phillabertha
3B
I. Definisi
Terjadinya hubungan luar antara rongga dada dengan dunia luar sehingga terdapat udara
yang terperangkap dalam kavitas pleura.

II. Anatomi
a. Paru-paru dibagi menjadi 2 zona besar yaitu:
• Conducting zone: sebagai rute untuk menyalurkan udara yang masuk dan keluar
• Respirating zone: untuk pertukaran gas à dari bronkiolus sampai alveolus
b. Paru-paru dextra memiliki 3 lobus, cenderung lebih pendek dan lebar daripada paru-paru
sinistra. Paru-paru sinistra memiliki 2 lobus, menempati rongga thorax lebih sempit
daripada paru-paru dextra. Setiap lobus dipisahkan oleh fisura.
c. Paru-paru dilapisi oleh pleura yang terdiri dari pleura parietal dan visceral. Diantara
pleura visceral dan parietal terdapat cavitas pleura. Fungsi pleura:
• Memproduksi cairan pleura. Cairan tersebut diproduksi oleh sel mesotelial dari kedua
sisi pleura. Cairan pleura bersifat adhesive sehingga membuat paru-paru membesar
ketika toraks ekspansi ventilasi dan udara bisa masuk ke dalam paru-paru
• Membuat cavitas yang memisahkan 2 organ
d. Inervasi:
• Parasimpatis: membuat bronkokonstriksi
• Simpatis: membuat bronkodilatasi
• Nervus sensoris: berasal dari N. Vagus dan dari Ganglia Torakalis 2-5
• Plexus pulmonaris: menginervasi serabut otot, kelenjar, dan pembuluh darah

TT
B
B
92
69
III. Fisiologi: Mekanisme Pernafasan
a. Prinsip utama pertukaran gas dalam proses pernafasan yaitu gas mengalir dari tekanan
tinggi ke tekanan rendah. Pada pernafasan normal, otot yang berperan yaitu M. Interkosta
dan diafragma

b. Mekanisme Inspirasi dan Ekspirasi

• Ketika inspirasi, volume di dalam rongga toraks meningkat à tekanan menurun dan
menjadi lebih rendah daripada tekanan di luar rongga toraks à udara dapat masuk ke
dalam rongga toraks

TT
B
B
93
70
• Ketika ekspirasi, volume di dalam rongga toraks menurun à tekanan meningkat dan
menjadi lebih tinggi daripada tekanan di luar rongga toraks à udara dapat keluar dari
rongga toraks

IV. Klasifikasi

Primer
(paru sehat)
Spontan
((-) trauma)
Sekunder
Pneumothorax (komplikasi
Traumatik penyakit)
((+) trauma)

a. Pneumothorax spontan: pneumothorax yang terjadi tanpa adanya trauma yang


mendahului
b. Pneumothorax traumatic: pneumothorax yang terjadi sebagai akibat dari trauma direk
maupun indirek
c. Pneumothorax spontan primer: pneumothorax yang terjadi pada paru-paru yang sehat dan
disebabkan oleh apical pulmonary blebs.
d. Pneumothorax spontan sekunder: pneumothorax yang terjadi sebagai akibat dari
komplikasi penyakit lain, yang paling sering yaitu sebagai akibat dari PPOK.

1. Tension Pneumothorax
a. Definisi:
Merupakan kegawatdaruratan medis ketika terjadi kebocoran udara “katup satu arah”
(one-way valve) terjadi dari paru-paru atau melalui dinding dada dan udara didorong
ke dalam kavitas thorax

TT
B
B
94
71
c. Patofisiologi

(Sumber Gambar: ATLS ed.10, 2018)

(Sumber Gambar: Netter’s, 2011)


Ketika terjadi kebocoran udara satu katup satu arah, saat inspirasi udara cenderung
masuk melalui katup tersebut à menekan dan menggeser paru-paru à menggeser
mediastinum.
Saat ekspirasi, tekanan intrapleura meningkat à menutup lubang katub satu arah à
tekanan di dalam pleura semakin meningkat à shift trakea dan mediastinum,
diafragma depressed , venous returnnya menurun dan bisa terjadi distorsi vena cava

d. Manifestasi Klinis
• Nyeri dada • Tachypnea
• Air hunger • Distress pernafasan

TT
B
B
95
72
• Hipotensi • Peningkatan hemithorax tanpa
• Deviasi trakea menjauhi lokasi pergerakan respiratoris
injury • Distensi vena pada leher
• Cyanosis (respon lambat)
d. Pemeriksaan Fisik
• Saturasi oksigen: SpO2 menurun
• Inspeksi: deviasi trakea, distensi vena pada leher
• Perkusi: hipersonor
• Auskultasi: suara nafas (-)

e. Pertolongan Pertama
§ Needle Decompression
o Menggunakan needle catheter ukuran 14G
atau 16G dan diinsersikan pada SIC 2 atau
3 linea midclavicularis. Jika tidak terdapat
ukuran tersebut, gunakan ukuran terbesar
dan terpanjang yang tersedia
o Mengubah tension pneumothorax à open
pneumothorax à simple pneumothorax
o Kekurangan: dipengaruhi oleh ketebalan
dinding dada dan kinking of the catheter (kateter mudah bengkok)

§ Finger Thoracostomy
o Alternatif jika needle
decompression tidak berhasil

TT
B
B
96
73
2. Massive Hemothorax
a. Definisi
Akumulasi > 1500 ml atau > 1/3 volume darah tubuh di dalam rongga thorax

b. Etiologi
§ Luka tusuk (paling banyak)
§ Trauma benda tumpul

c. Sumber Perdarahan

(Sumber gambar: Netter’s 2011)

d. Patofisiologi

Ketika terjadi luka tusuk à pembuluh darah hilus/sistemik terganggu à


mengganggu aliran darah balik à hipovolemia à pembuluh vena di leher menjadi

TT
B
B
97
74
flat. Bila terjadi akumulasi darah di dalam rongga thorax secara terus-menerus à
menggeser mediastinum à menyebabkan distensi vena.

e. Pemeriksaan Fisik

(Sumber Tabel: ATLS ed.10, 2018)


Tanda syok: suara nafas (-), perkusi dull pada satu sisi dada

f. Derajat Hemothorax dan Tata Laksana

I. Minimal (≤ 350 ml)


a. Biasanya darah akan terserap secara spontan
b. Thoracostomy terkadang dibutuhkan
II. Moderate (350 – 1500 ml)
Dibutuhkan Thoracocentesis + WSD
III. Massive ( >1500 ml)
a. 2 drainase tubes diinsersikan
b. Early thoracotomy terkadang dibutuhkan

TT
B
B
98
75
g. Tata Laksana Massive Hemothorax
I. Mengembalikan volume darah yang hilang:
a. Infus IV Line: kristaloid
b. Transfusi darah
II. Dekompresi rongga thorax
a. Menggunakan single chest tube : insersi ukuran 28-32 French
b. Lokasi insersi: SIC 5 Line aksilaris anterior
III. Output darah chest tube:
a. 1500 ml
b. >1500 ml
c. <1500 ml disertai perdarahan
Bila terjadi keadaan seperti di atas dapat dilakukan thoracostomy segera

3. Open Pneumothorax
a. Patofisiologi

(Sumber Gambar: ATLS ed.10, 2018)


b. Manifestasi Klinis
• Nyeri dada
• Kesulitan bernafas
• Tachypnea
• Pergerakan udara (noisy movement) melalui luka dinding dada
• Suara nafas menurun pada sisi dada yang terluka

TT
B
B
99
76
c. Tata Laksana
1. Menggunakan dressing sterile & besar
2. Dressing yang digunakan: plastic wrap/petrolum gauze
3. Plester 3 sisi à “flutter-valve effect”
4. Fungsi plester 3 sisi:
5. Mencegah udara masuk ketika inspirasi
6. Udara keluar dari cavitas pleura selama ekspirasi
7. Jika menggunakan plester 4 sisi, akan mengakibatkan semua udaranya
terperangkap di dalam dada à menyebabkan tension pneumothorax

(Sumber Gambar: ATLS ed.10, 2018)


4. Catamenial Pneumothorax (CP)
1. Definisi:
i. Pneumothorax berulang dan spontan yang terjadi pada usia produktif wanita
dan berhubungan dengan siklus menstruasi
ii. Secara umum terjadi pada wanita yang mengalami ovulasi
iii. Berhubungan dengan:
a. Pelvic endometriosis
b. Thoracic endometriosis à paling sering menyebabkan pneumothorax spontan

TT
B
B
100
77
2. Tanda dan Gejala
i. Spontan pneumothorax
ii. Dalam siklus mens
iii. Nyeri
iv. Dyspnoea
v. Batuk
3. Tata Laksana
i. Treatment hormonal untuk endometriosis
ii. Analog GnRH

V. Chest Drainage System


1. Tujuan
i. Untuk mengeluarkan cairan/udara secepat mungkin dari rongga pleura
ii. Mencegah masuknya kembali cairan/udara yang telah dikeluarkan
iii. Mengekspansikan paru-paru kembali dan mengembalikan tekanan negatif intrapleural
2. Komponen

TT
B
B
101
78
i. Chest tube yang diinsersikan ke cavitas pleura
ii. Chest tube dari cavitas pleura ke sistem drain
iii. Drainage system:
a. Collection chamber: untuk mengumpulkan cairan atau udara
b. One-way water seal chamber: berfungsi supaya udara meninggalkan rongga
thorax dan mencegah udara dari luar masuk ke thorax
c. Cuction control chamber: membatasi transmisi tekanan negatif ke paru-paru dan
juga menkadi lebih cepat untuk mengeluarkan udara atau cairan dari dalam paru-
paru akrena disambungkan ke mesin suction
3. Klasifikasi
Jenis Fungsi
Terdapat satu botol yang berfungsi
sekaligus sebagai chamber
collection dan water seal. Udara
yang masuk ke dalam botol
langsung dialirkan ke atmosfer.

Terdapat botol tambahan untuk


mengumpulkan cairan jika jumlah
cairan yang dialirkan dari paru-
paru cukup banyak.
Udara dialirkan dari collection
chamber à menuju water seal à
dikeluarkan ke atmosfer
Seperti pada penggunaan 2 botol,
namun ditambahkan 1 botol yang
dihubungkan melalui selang
suction menuju mesin suction.

TT
B
B
102
79
4. Perawatan Paska Pemasangan WSD
i. Penderita diletakkan pada posisi setengah duduk (+ 30°)
ii. Seluruh sistem drainage : pipa-pipa, botol, harus dalam keadaan rapi, tidak terdapat
kericuhan susunan, dan dapat segera dilihat.
iii. Pipa yang keluar dari rongga thoraks harus difiksasi ke tubuh dengan plester lebar,
Hingga mencegah goyangan.
iv. Dengan memakai pipa yang transparan, maka dapat dilihat keluarnya sekret. Harus
dijaga bahwa sekret keluar lancar. Bila terlihat gumpalan darah atau lainnya, harus
segera diperah hingga lancar kembali.
v. Evaluasi berkala keadaan paru, posisi drain, & kelainan dengan foto toraks AP
vi. Evaluasi jumlah sekrit yang keluar (banyaknya & macam sektrit)
vii. Fisioterapi napas
viii. Koreksi kelainan pada drain
5. Algoritma Management Thoracostomy

Chest tube dicelupkan 2 cm


dibawah air di dalam chamber

Chest tube dicelupkan 2 cm


dibawah air di dalam chamber

VI. Referensi
American College of Surgeon. 2018. Advance Trauma Life Support. Edisi 10
Runge, Marschall S. dan Greganti, M. Andrew. 2011. Netter’s Internal Medicine. Edisi 2.

TT
B
B
103
80
Visouli, Aikaterini N., Konstantinos Zarogoulidis, Ioanna Kougioumtzi, Haidong Huang,
Qiang Li, Georgios Dryllis5, Ioannis Kioumis, Georgia Pitsiou, Nikolaos
Machairiotis, Nikolaos Katsikogiannis, Antonis Papaiwannou, Sofia Lampaki, Bojan
Zaric, Perin Branislav, Konstantinos Porpodis, dan Paul Zarogoulidis. 2014.
Catamenial Pneumothorax. Journal of Thoracic Disease 6(4):448-460.
Carrol, Patricia. 2017. Chest Tube and Drainage Management. www. RN.org
Fakultas Kedokteran USU. Pemasangan Pipa Intratorakal atau Water Seal Drainage (WSD).
Modul TKV.
Martin, Merseides, Cory T Schall, Cheryl Anderson, Nicole Kopari, Alan T Davis, Penny
Stevens, Pam Haan,John P Kepros, dan Benjamin D Mosher. 2013. Results of a
clinical practice algorithm for the management of thoracostomy tubes placed for
traumatic mechanism. Springer Plus. 2:642

TT
B
B
104
81
KOMPETENSI
EFUSI PLEURA
Kontributor: Afdhal Yuli Firlando
3B
I. Pendahuluan
Pleura adalah membrane tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura
parietalis. Kedua lapisan ini bersatu didaerah hilus arteri dan mengadakan penetrasi dengan
cabang bronkus, arteri dan vena bronkialis, serabut saraf dan pembuluh limfe. Secara
histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh darah kapiler
dan pembuluh getah bening. Pleura seringkali mengalami pathogenesis seperti terjadinya
efusi cairan, misalnya hidrothoraks dan pleuritis eksudativa karena infeksi, hemotoraks bila
pleura berisi darah, kilotoraks (cairan limfe), piothoraks atau empyema thoracis bila berisi
nanah, pneumothoraks bila berisi udara.

Efusi pleura adalah kumpulan cairan yang abnormal yang ditemukan di cavum pleura,
biasanya merupakan akibat dari produksi cairan yang berlebihan dan atau akibat penurunan
absobsi sistem limfatik. Penyebabnya beragam mulai dari gangguan kardiopulmoner atau
inflamasi sistemik hingga suatu keganasan. Hampir 1.5 juta kejadian efusi pleura
terdiagnosis di amerika serikat setiap tahunnya.

II. Definisi
Efusi pleura adalah keadaan terkumpulnya sejumlah cairan yang abnormal akibat adanya
ketidak-seimbangan antara produksi (kelebihan) dan absorbsi (penurunan).

III. Epidemiologi
Insidensi kejadian efusi pleura sama berdasarkan jenis kelamin. Dua pertiga kejadian efusi
pleura akibat keganasan terjadi pada wanita, keganasaan berhubungan dengan keganasan
pada mamae dan organ ginekologi. 320 kasus per 100.000 penduduk. USA à 1.5 juta
kasus/tahun. Wanita = Pria, tetapi pada beberapa penyebab ada perbedaan Malignan pleura

TT
B
B
87
82
effusion à Wanita > Pria. Efusi Pleura akibat SLE à Wanita > pria. Malignant
Mesothelioma à Pria > wanita.

IV. Etiologi
Mekanisme yang berperan dalam proses terbentuknya efusi pleura:
a. Permeabilitas yang berubah dari membran pleura (misalnya, peradangan, keganasan,
emboli paru)
b. Pengurangan tekanan onkotik intravaskular (misalnya, hipoalbuminemia karena
sindrom nefrotik atau sirosis)
c. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan vaskular (misalnya, trauma,
keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, hipersensitivitas obat, uremia,
pankreatitis)
d. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan / atau paru (mis.,
Gagal jantung kongestif, sindrom vena cava superior)
e. Pengurangan tekanan di ruang pleura (yaitu, karena ketidakmampuan paru untuk
berkembang penuh selama inspirasi); ini dikenal sebagai "paru-paru yang
terperangkap" (misalnya, atelektasis luas karena bronkus atau kontraksi yang
terhalang dari fibrosis yang menyebabkan fisiologi paru restriktif)
f. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan pembuluh limfatik lengkap, termasuk
obstruksi duktus torasikal atau ruptur (misalnya keganasan, trauma)
g. Peningkatan cairan peritoneum dengan ekstravasasi mikroperfungsi di diafragma
melalui limfatik atau defek diafragma mikrostruktur (misalnya hidrothoraks hepatik,
sirosis, dialisis peritoneal)
h. Gerakan cairan dari edema paru di seluruh pleura visceral
i. Peningkatan terus-menerus tekanan onkotik cairan pleura dari efusi pleura yang ada,
menyebabkan akumulasi cairan lebih lanjut

V. Patofisiologi
Patofiologi dari efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein
didalam pleura. Normalnya, pleura dibentuk akibat filtrasi dari pembuluh kapiler. Filtrasi
terjadi akibat adanya perbedaan osmotic plasma dan jaringan mesotelial, kemudian melalui

TT
B
B
88
83
sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura bisa melalui pembuluh
limfe di sekitar pleura.
Efusi cairan dapat berbentuk transudate, terjadi karena penyakit lain bukan primer paru
seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialysis peritoneum,
hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, pericarditis konstriktiva, keganasan, atelectasis
paru dan pneumothoraks
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler
pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesothelial berubah menjadi bulat atau
kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan kedalam rongga pleura. Penyebab pleuritis
eksudativa yang paling sering adalah Tuberkulosis. Sebab lain seperti parapneumonia,
parasite (amuba, ekinokokus, paragonimosis), jamur, pnemumonia atipik.

VI. Prognosis
Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang mendasari kondisi.
Namun, pasien yang mencari perawatan medis lebih awal dalam perjalanan penyakit mereka
dan mereka yang mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang cepat memiliki tingkat
komplikasi yang jauh lebih rendah daripada pasien yang tidak.

VII. Diagnosis
a. Anamnesis
Pada permulaan tidak bergejala. Namun gejala yangdikeluhkan dapat berupa batuk,
nyeri dada, sulit bernafas, nyeri saat bernafas.
b. Pemeriksaan Fisik
Penemuan klinis pada pemeriksaan fisik efusi pleura sangat bergantung pada jumlah
cairan yang terdapat pada cavum pleura. Umumnya bila dibawah 300 mL maka tidak
ada temuan. Bila diatas 300 mL maka akan ditemukan:
- Perkusi redup pada lapang paru
- Mediastinal shift menjauhi efusi (> 1000mL)
- Suara nafas yang menurun
- Egophony pada superior aspect pleural effusion
- Friction rub

TT
B
B
89
84
c. Pemeriksaan penunjang
1. Rontgen thorax
- Bila terjadi efusi dengan jumlah cairan > 175 ml, maka akan muncul
tampakan menumpulnya angulus costodiafragmatika, dengan posisi PA
- Pada posisi lateral decubitus à cross check, sifat air mengikuti
gravitasi.Mampu mendeteksi cairan dengan jumlah lebih sedikit
- Pada posisi lateral decubitus à cross check, sifat air mengikuti gravitasi.
Mampu mendeteksi cairan dengan jumlah lebih sedikit.
2. Ultrasonography
3. CT-Scan
4. Diagnostic thoracocentesis

VIII. Diagnosis Banding


a. Diagnosis banding efusi pleura transudatif sebagai berikut:
1. Gagal jantung kongestif 5. Hipoproteinemia
(paling umum) 6. Glomerulonephritis
2. Sirosis dengan hidrothoraks 7. Obstruksi vena cava
hepatic superior
3. Sindrom nefrotik 8. Urinothorax
4. Dialysis peritoneum 9. CSF bocor ke thorax

b. Diagnosis banding efusi pleura eksudatif sebagai berikut:


1. Keganasan 9. Sindrom cedera postcardiac
2. Pneumonia 10. Penyakit pericardia
3. Tuberculosis 11. Sindrom meigs
4. Emboli paru 12. Rheumatoid pleuritis
5. Infeksi jamur 13. Lupus eritematous
6. Pseudocyst pancreas 14. Abses efusi pleura
7. Abses intraabdominal 15. Chylothorax
8. Pasca operasi CABG

TT
B
B
90
85
IX. Tatalaksana
a. Teraupetik Thoracocentesis
b. Tube Thoracostomy
c. Pleural Sclerosis

X. Referensi
Diaz-Guzman E, Dweik RA. Diagnosis and management of pleural effusions: a practical
approach. Compr Ther. 2007 Winter. 33(4):237-46. [Medline].
Noppen M. Normal volume and cellular contents of pleural fluid. Curr Opin Pulm Med.
2001 Jul. 7(4):180-2. [Medline].
Sahn SA. The differential diagnosis of pleural effusions. West J Med. 1982 Aug. 137(2):99-
108. [Medline]. [Full Text].
Sahn SA. Pleural effusions of extravascular origin. Clin Chest Med. 2006 Jun. 27(2):285-
308. [Medline].
Light RW. The undiagnosed pleural effusion. Clin Chest Med. 2006 Jun. 27(2):309-
19. [Medline].
Culotta R, Taylor D. Diseases of the pleura. Ali J, Summer WR, Levitzky MG,
eds. Pulmonary Pathophysiology. 2nd ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-
Hill; 2005. 194-212.
Askegard-Giesmann JR, Caniano DA, Kenney BD. Rare but serious complications of
central line insertion. Semin Pediatr Surg. 2009 May. 18(2):73-83. [Medline].
Garcia-Vidal C, Carratalà J. Early and late treatment failure in community-acquired
pneumonia. Semin Respir Crit Care Med. 2009 Apr. 30(2):154-60. [Medline].
Heffner JE. Diagnosis and management of malignant pleural effusions. Respirology. 2008
Jan. 13(1):5-20. [Medline].
Bouros D, Pneumatikos I, Tzouvelekis A. Pleural involvement in systemic autoimmune
disorders. Respiration. 2008. 75(4):361-71. [Medline].

TT
B
B
91
86
KOMPETENSI
EVALUASI MASSA PAYUDARA
Kontributor: Gita Yolanda
4A
I. Anatomi
Payudara (L. Mammae) terdiri dari jaringan
parenkim (glandular/fungsional) dan jaringan
stroma (supporting fibrous tissue). Pria dan
wanita memiliki payudara, namun normalnya
hanya berkembang pada wanita. Payudara
wanita dalam posisi supine secara vertikal
terletak antara SIC (Spasium Inter Costa) 2
sampai SIC 6, sedangkan secara transversal
dari sternum sampai linea midaksilaris. Dari
luar, tampak area hiperpigmentasi berbentuk
lingkaran yang biasa disebut areola, ditengahnya terdapat penonjolan yang disebut papilla
(nipple). Papilla biasanya terletak di SIC 4, namun bervariasi tergantung ukuran payudara.

Glandula mammae terletak superfisial dari M. pectoralis minor et mayor, yang ditutupi oleh
fascia pectoralis. Di antara fascia dan glandula terdapat spasium retromammae (bursa) yang
berisi lemak, yang memungkinkan mobilitas payudara dari dinding dada.

Pada masa pubertas (usia 8-15 tahun) payudara membesar karena perkembangan glandula, tapi
terutama lebih disebabkan oleh bertambahnya deposisi lemak. Payudara akan mengalami
perubahan dengan adanya stimulasi hormonal, pada kehamilan dan laktasi payudara akan
membesar karena meningkatnya volume dan densitas, sedangkan seiring bertambahnya usia
payudara menjadi mendatar, flaksid, dan lebih pendulous serta volumenya menurun.

TT
B
B
105
87
Payudara terdiri dari 15-20 lobus setiap lobus memiliki beberapa lobulus. Tiap lobus memiliki
drainase ke duktus laktiferus. Duktus laktiferus memiliki bagian yang terdilatasi di profunda
dari areola yang disebut sinus laktiferus, dimana biasanya air susu terkumpul.

Payudara di bagian medial mendapat vaskularisasi dari cabang A. Thoracica interna, yang
merupakan cabang dari A. Subclavia. Di bagian lateral mendapat vaskularisasi dari A.
Thoracica lateralis dan A. Thoracoacromialis, keduanya merupakan cabang dari A. Axillaris.

Drainase vena dari payudara sebagian besar menuju ke V.


Axillaris, namun sebagian kecil bermuara ke V. Thoracica
interna. Drainase limfatik payudara penting untuk diketahui
karena perannya dalam metastatsis kanker payudara. Aliran
limfatik dari sebagian besar area payudara (75%) akan
bermuara ke Lnn. Axilaris, terutama di bagian superolateral.
Lnn. Axillaris dibagi menjadi beberapa level :
a. Level I: limfonodi yang terletak di lateral dari M. Pectoralis minor
b. Level II: limfonodi yang terletak profunda dari M. Pectoralis minor
c. Level III: limfonodi yang terletak medial dari M. Pectoralis minor

TT
B
B
106
88
II. Epidemiologi
a. Benjolan di payudara adalah keluhan yang sering ditemukan pada fasilitas kesehatan
pertama
b. 16% dari wanita usia 40-69 tahun akan memeriksakan dirinya karena adanya benjolan
payudara
c. 90% dari benjolan adalah jinak
d. Kanker payudara harus diekslusi, karena 1 dari 10 wanita dengan benjolan payudara
menderita kanker

III. Etiologi

a. Tumor Payudara Benigna


1. Fibroadenoma Mammae 4. Nekrosis Lemak (fat necrosis)
2. Tumor Filoides 5. Papilloma Payudara
3. Tumor Fibrokistik (fibrocystic 6. Abses payudara
breast) 7. Adenoma Payudara

TT
B
B
107
89
b. Tumor Payudara Premaligna
1. Atypical ductal hyperplasia
2. Atypical lobular hyperplasia

c. Tumor Payudara Maligna


1. Invasive ductal carcinoma
2. Invasive lobular carcinoma
3. Ductal carcinoma in situ
4. Tubular carcinoma, mucinous (colloid carcinoma), papillary carcinoma, dan
medullary carcinomaMetastasis kanker ke payudara

TT
B
B
108
90
IV. FaktorRisiko

V. Diagnosis
a. Anamnesis
Riwayat ditanyakan ke pasien untuk mengetahui karakteristik tumor dan faktor risiko
yang dimiliki oleh pasien. Hal-hal yang penting untuk ditanyakan dapat dilihat di tabel
berikut.

Karakteristik tumor penting diketahui untuk membedakan etiologi, terutama untuk


membedakan antara lesi benigna dan maligna. Perubahan ukuran dalam waktu yang
cepat dapat menunjukkan keganasan. Perubahan ukuran sesuai dengan siklus menstruasi
mungkin menunjukkan variasi fisiologis. Perubahan premenstrual berupa benjolan-
benjolan kecil di payudara merupakan proses fisiologis. Benjolan yang terasa nyeri
(mastalgia) jarang menjadi gejala dari keganasan, hanya 7% pasien dengan keganasan
yang mengeluhkan nyeri. Kemerahan pada payudara disertai demam mungkin

TT
menunjukkan adanya tanda inflamasi, bisa disebabkan oleh infeksi.

B
B
109
91
Paparan hormonal mungkin berpengaruh terhadap payudara. Paparan hormon estrogen
dan progesteron dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker. Penting untuk ditanyakan
riwayat terapi pengganti hormon. Usia lebih muda saat menarche dan usia yang lebih tua
saat menopause dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker.

Riwayat keluarga first degree relative (ibu atau saudara kandung) yang menderita
kanker payudara sebelum usia menopause meningkatkan risiko kanker.
Wanita yang pernah menyusui terutama dengan durasi yang lebih lama menurunkan
risiko kanker.

b. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi : lakukan inspeksi 4 hal dalam 4 posisi
4 hal yang perlu dilihat adalah:
- Perubahan kulit : warna, penebalan kulit, pori-pori membesar
- Ukuran dan simetrisitas
- Kontur : massa, skin dimpling, skin flattening
- Nipple-areola complex: ukuran, bentuk, ruam, ulserasi, discharge

TT
B
B
110
92
4

posisi pemeriksaan:
- Tangan di samping
- Tangan di atas kepala
- Tangan menekan pinggul
- Badan condong ke depan (leaning forward)

2. Palpasi
- Palpasi dilakukan dengan posisi pasien supinasi
- Lakukan palpasi menggunakan jari ke 3, 4, 5 phalanx distal dan medial, dengan
posisi sedikit fleksi pada PIP dan DIP
- Palpasi harus dilakukan secara sistematis, pola sirkular dapat digunakan, namun
vertical strip pattern merupakan teknik yang terbaik
- Lakukan palpasi dengan gerakan melingkar, konsentrik di tiap titik pemeriksaan
- Jika bisa, lakukan pemeriksaan dengan tiga tekanan : light, medium and deep
pressure

TT
B
B
111
93
- Hasil yang harus ditemukan dari palpasi :
• Konsistensi jaringan
• Tenderness
• Nodul
Untuk setiap nodul, jelaskan :
• Lokasi: kuadran, arah jarum jam, • Delimitasi: batas tegas/tidak
berapa cm dari nipple • Tenderness: nyeri tekan
• Ukuran: dalam cm • Mobilitas: terhadap kulit dan
• Bentuk: bulat, kistik, sperti dinding dada
diskus, ireguler • Nipple:konsistensi, elastisitas
• Konsistensi: soft, firm, hard • Aksilla

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Imaging
Modalitas imaging yang digunakan tergantung pada usia, karakteristik massa,
ketersediaan dan kemampuan dokter. MRI digunakan jika terdapat kasus dengan
diagnostik yang tetap susah ditentukan setelah pemeriksaan mammografi dan
ultrasound.
• Usia <30 tahun, tidak ada faktor risiko, pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan
massa yang spesifik
∴ Kembali ke dokter pada hari ke 3-10 setelah onset menstruasi untuk
menentukan regresi

TT
B
B
112
94
∴ USG (+/- mammogram) adalah langkah yang tepat untuk menentukan apakah
massa tersebut simple cyst, complex cyst, atau solid tumor. USG merupakan
modalitas yang bagus untuk kelompok usia ini karena tingginya densitas
payudara

• Usia >30 tahun


∴ Mammografi sebagai standard (2 view setiap payudara, dengan compression
view/magnification view pada area abnormal)
∴ Normal mammogram tidak dapat mengeksklusi kanker yang dicurigai secara
klinis, 10-20% kanker dapat missed dari pemeriksaan mammogram
• Jika tidak ada massa yang terpalpasi pada pemeriksaan fisik:
∴ Follow up setelah 2-3 bulan
∴ Mammografi jika usia >40 tahun dan tidak melakukan mamografi dalam
setahun terakhir
∴ Rujuk ke subspesialis untuk evaluasi selanjutnya

TT
B
B
113
95
• Jika pada pemeriksaan fisik didapatkan massa yang persisten namun imaging
normal:
∴ Rujuk untuk biopsi
• Jika pada pemeriksaan fisik teraba massa yang dicurigai kanker;
∴ Mammogram +/- USG berapapun umur pasien
∴ Rujuk untuk biopsy

VI. Tatalaksana
a. Mastitis dan abses diberikan antibiotik. Untuk abses lakukan drainase.
b. Untuk kista lakukan aspirasi.
c. Trapi untuk fibroadeoma dan tumor solid benigna lainnya adalah pembedahan
d. Pasien dengan kecurigaan kanker payudara dirujuk ke dokter bedah onkologi untuk
mendapat tatalaksana definitif. Tindakan bedah hanya dilakukan pada kanker di bawah
stadium III A, untuk stadium di atasnya terapi yang diberikan adalah terapi paliatif
e. Radioterai : sebagai adjuvan
f. Terapi sistemik : terapi hormonal pada sel kanker dengan reseptor ER+ ataru PR+,
kemoterapi, dan targetted therapy
g. Rujuk ke spesialis
Rujuk ke dokter spesialis bedah jika :
1. Hasil yang mencurigakan pada pemeriksaan fisik atau imaging
2. Pemeriksaan fisik teraba massa yang persisten namun pemeriiksaan imaging normal
(butuh dilakukan biopsi)
3. Jika imaging menunjukkan hasil complex cyst atau jika diaspirasi cairan bercampur
darah
4. Hasil biopsi abnormal
5. Kapanpun jika hasil biopsi tidak sesuai dengan pemeriksaan fisik dan radiografi

VII. Referensi
Bower M, Chagpar A. Assessment of breast mass. BMJ Best Practice. Oct 2012.
https://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/1179.html. Last accessed July
18th 2018

TT
B
B
114
96
Brunicardi, F.C., Andersen, D.K., Billiar, T., Dunn, D., G., J., Matthews, J. and E., R.
(2014). Schwartz’s Principles of Surgery, 10th edition. McGraw Hill Professional.
Klein, S. (2005). Breast Masses. [online]. Available from: American Family Physician.
Moore, K.L., Dalley, A.F. and Agur, A.M. (2013). Clinically Oriented Anatomy. Lippincott
Williams & Wilkins.
Saslow, D., Hannan, J. and Osuch, J. (2004). Clinical Breast Examination: Practical
Recommendations for Optimizing Performance and Reporting. [online]. Available from:
CA: A Cancer Journal for Clinicians.

TT
B
B
115
97

ABDOMINAL INCISION
Kontributor: Medina Aulia Rahmi

I. Preoperative Skin Preparation


• Persiapan kulit sebelum pembedahan à mencegah surgical site infection
• Rekomendasi CDC:
a. Area persiapan cukup
b. Penggunaan cairan antiseptik dengan concentric circles
c. Membuang aplikator setiap setelah membersihkan kulit bagian perifer
d. Memberi waktu cairan antiseptik hingga kering, terutama alkohol, karena alkohol
mudah terbakar
• Rekomendasi Association of Operating Room Nurses
a. Aplikator yang digunakan harus steril
b. Cairan antiseptik harus digunakan sambil memberikan tekanan (gaya gesek) saat
membersihkan lokasi insisi dari tengah ke perifer
• Menurut RCT terbaru:
a. Chlorhexidine-alcohol lebih signifikan mengurangi infeksi luka
operasi dibandingkan dengan povidone iodine
b. Penggunaan electric clippers untuk mencukur rambut, jika
dibutuhkan, lebih efektif dibandingkan dengan razor

II. Jenis Insisi Abdominal


a. Insisi Equivocal (Insisi paramediana dextra)
• Indikasi: kasus non trauma dengan acute abdomen yang tak terdeteksi
• Insisi dilakukan pada linea paramediana dextra setinggi 2 inci diatas umbilikus
sampai 2 inci dibawah umbilicus

TT
B
B
63
98

• Linea paramediana dextra dipilih berdasarkan banyaknya kasus sisi kanan


abdomen yang sulit terdeteksi, seperti:
o Liver abscess
o Inflammatory biliary tract disease
o Perforated duodenal ulcer
o Meckel’s diverticulitis
o Ileal typhoid perforation
o Mesenteric lymphadenitis
o Appendicitis.
• Kebanyakan gangguan organ kiri abdomen
sudah dapat terdeteksi sebelumnya à pembedahan dapat lebih terencana

b. Insisi Mediana (Insisi Midline)


• Indikasi:
o Upper midline: eksplorasi gaster,
gallbladder, pancreas, hepar, lien
o Lower midline: eksplorasi ginekologis,
rektosigmoid, organ dalam pelvis
• Keuntungan:
o Sedikit perdarahan
o Tidak memotong saraf dan otot
o Dapat dieksplorasi luas
o Aksesnya mudah
• Kerugian
o Dapat menimbulkan hernia insisional jika penutupan luka tidak baik

TT
B
B
64
99

c. Insisi Inguinal
• Indikasi: Inguinal herniorrhaphy
• Kelebihan:
o Pada obstructed inguinal hernia:
Saat pasien tersedasi à relaksasi otot à
hernia kembali masuk ke rongga abdomen à
irisan dapat dilebarkan
o Sehingga tidak perlu dilakukan insisi baru
untuk memastikan bagian usus tersebut sudah
menjadi gangren atau belum

d. Insisi Chevron (Insisi Rooftop; Insisi Double Kocher)


• Indikasi:
o Total gastrectomy
o Total oesophagectomy
o Hepatic resection
o Bilateral adrenectomy
o Liver transplantation
• Kelebihan:
Penyembuhan baik

e. Insisi Bucket Handle


• Gabungan dari insisi subcostal bilateral sehingga
mencakup akses ke semua area dan mempermudah
prosedur pembedahan
• Indikasi:
Resipien transplantasi ginjal
• Kelebihan:
Penyembuhan sangat baik, meskipun beberapa
pasien mengalami anemia dan uremia

TT
B
B
65
100

f. Insisi Subcosta Sinistra


• Indikasi:
• Splenektomi terutama pada kasus
tropical splenomegaly syndrome
• Hassab’s operation untuk varises
esofagus
• Kelebihan:
• Mempermudah akses ke lambung bagian
atas dan esofagus bagian intraabdomen
• Mempermudah devaskularisasi dari esofagus bagian atas untuk kasus varises
esofagus pada prosedur operasi Hassab’s dan Sugiura

g. Insisi Marwadel
• Kegunaan:
Mempermudah akses ke lobus kiri hepar, gaster,
lien, fleksura hepatis, dan fleksura lienalis, dan
colon transversum
• Kekurangan
Penyembuhan luka lebih lama pada perpotongan T

TT
B
B
66
101

h. Insisi Bevan
• Kegunaan sama seperti insisi Marwadel:
Mempermudah akses ke lobus kiri hepar, gaster,
lien, fleksura hepatis, dan fleksura lienalis, dan
colon transversum
• Kelebihan:
Tidak ada perpotongan T yang dapat mempersulit
proses penyembuhan

i. Insisi Kocher’s (Insisi Subcosta Dextra)


• Indikasi: Operasi traktus bilier terutama untuk
cholecystectomy
• Kekurangan:
Sulit digunakan untuk eksplorasi bilier atau jika
membutuhkan tindakan anastomosis antara bilier
dengan segmen usus

j. Insisi Kehr
• Indikasi:
o Choledocho-duodenostomy
o Choledocho-jejunostomy
o Cholecysto-jejunostomy
• Kelebihan:
o Dapat digunakan untuk tindakan anastomosis bilier

k. Insisi Mayo-Robson (Insisi Hockey Stick)


• Merupakan kebalikan dari Kehr incision
• Kegunaannya dan jangkauannya sama dengan
Kehr:
o Eksplorasi biliary
o Anastomosis biliary

TT
B
B
67
102

l. Insisi Masson
• Kegunaan dan jangkauannya sama dengan insisi
Kehr dan insisi Mayo-Robson
o Eksplorasi biliary
o Anastomosis biliary
• Pada insisi ini musculus rectus abdominal harus di
potong secara diagonal

m. Insisi McBurney (Insisi Grid Iron)


• Merupakan insisi yang paling populer untuk
kasus appendicitis
• Berada di 1/3 lateral dari garis yang
menghubungkan antara umbilicus dan SIAS
• Insisi dibuat secara oblique dimulai dari atas
lateral ke bawah medial

n. Insisi Lanz (Modified McBurner; insisi Langer’s


line)
• Merupakan variasi insisi McBurney’s yang dibuat
dari titik yang sama tapi sesuai garis langer’s
• Kelebihan: bekas luka lebih baik secara kosmetik
karena sesuai garis Langer’s

o. Insisi Davis-Rockey (Insisi Transversal)


• Merupakan insisi pada bidang transversal yang
sering digunakan untuk appendectomy
• Kelebihan:
o Memberikan hasil yang baik secara kosmetik
o Jika diperlukan, insisi dapat diperlebar ke
medial maupun ke lateral

TT
B
B
68
103

p. Insisi Battle Incision (Battle-Jalaquier-Kammerer-


Lennander Incision)
• Insisi linea paramedian pada daerah kanan bawah
namun terletak lebih lateral dari insisi paramedian yang
biasa
• Indikasi:
o Appendicitis akut
o Gangguan organ pada daerah RLQ

q. Insisi Pfannenstiel
• Insisi sedikit melengkung diatas simfisis pubis
• Indikasi:
o Operasi ginekologi untuk caesarian section
o Operasi orthopaedi untuk fraktur pelvis
o Operasi prostat pada pria
• Kelebihan: hasil baik secara kosmetik

r. Insisi Thoraco-abdominal
• Insisi pada daerah abdomen bagian atas dapat
dikombinasikan dengan insisi thoracotomy
• Kegunaan:
o Operasi esofagus bagian bawah
o Reseksi esofagus bagian bawah
o Operasi bagian cardiac lambung

s. Insisi Rutherford-Morrison (dextra, sinistra)


• Memotong musculus obliquus abdominis
• Merupakan ekstensi dari insisi McBurney dari
divisi fossa obliquus

TT
B
B
69
104

• Kegunaan:
• Reseksi colon kanan/kiri
• Appenicectomy
• Caecostomy
• Sigmoid colostomy

t. Insisi Laparoscopy
• Insisi 1 cm untuk laparoscope dekat dengan umbilicus
• Insisi 5-10 mm pada abdomen bawah bagian lain untuk
instrument sebanyak 2-3 tergantung kebutuhan

III. Kesimpulan
Tujuan utama pemilihan insisi untuk operasi adalah untuk memberikan akses yang mudah
dan nyaman ke area operasi meskipun banyak operasi dengan minimal invasive surgery
dan laparoscopic surgery

IV. References
Abdominal incisions in general surgery: a review. (2007). Annals of Ibadan postgraduate
medicine, 5(2), 59–63.

De Jong, W. and Sjamsuhidajat, R. (2017). Buku Ajar Ilmu Bedah. 4th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp.342-343.

Townsend, C., Beauchamp, R., Evers, B. and Mattox, K. (2012). Sabiston textbook of
surgery. 19th ed. Philadelphia: Elsevier Health Sciences, p.232.

TT
B
B
70
105
KOMPETENSI
APPENDICITIS AKUT
Kontributor: Paulin Surya Phillabertha
3B
I. Definisi
Appendicitis akut merupakan Inflamasi akut appendix vermiformis yang kebanyakan
disebabkan oleh obstruksi lumen appendix.

II. Anatomi
a. Merupakan saluran buntu yang berisi jaringan limfoid
b. Memiliki mesenterium kecil berbentuk segitiga yang disebut messoapendix
c. Posisi appendix bermacam-macam, paling sering yaitu retrocecal. Posisi lainnya seperti
paracecal, pelvis minor, post-ilelal, subcecal, pre-ileal, dan lain-lain
d. Pangkal appendix memiliki proyeksi yang disebut titik McBurney. Titik McBurney
terletak pada sepertiga lateral garis Monroe, yaitu garis yang menghubungkan antara
SIAS dextra dan umbilicus

III. Epidemiologi
a. Terjadi >250.000 appendectomy /tahun di USA
b. Insidensi lebih rendah pada populasi diet serat tinggi
c. Risiko:

TT
B
B
178
106
Pria Wanita
Appendicitis akut 8,6% 6,7% Pria > Wanita
Appendectomy 12% 23% Wanita > Pria

IV. Etiologi
a. Penyebab utama disebabkan oleh obstruksi lumen appendix
b. Penyebab utama obstruksi lumen appendix yaitu:
a. Fecalith
b. Normal stool
c. Hiperplasia limfoid
c. Obstruksi fecalith menyebabkan:
d. Appendicitis simpel: 40%
e. Gangrenous nonperforated appendicitis: 65%
f. Perforated appendicitis: 90%

V. Patofisiologi
Proses yang terjadi (bagan terdapat di halaman berikutnya):
a. Distensi appendix memicu terjadinya manifestasi klini seperti reflex anoreksia, mual,
muntah, dan nyeri visceral
b. Peningkatan tekanan intralumen yang melebihin vena memicu terjadinya penjendalan
darah dalam kapiler dan venula. Pada kondisi tersebut arteriol masih tetap terbuka. Kedua
kondisi tersebut memicu appendix terkongesti dan menjadi bengkak
c. Appendix yang terkongesti dan bengkak ini semakin membuat inflamasi menjadi cepat
berkembang. Inflamasi mencapai serosa appendix dan selanjutnya mencapai peritoneum
parietal
d. Lama-kelamaan akan terjadi clotting darah di arteriol. Ketika hal tersebut terjadi, makan
area pada border antimesenterik menjadi iskemi dan infark. Lalu terjadi proses perforasi.
e. Perforasi membuat bakteri keluar dinding appendix dan terjadi supurasi (terbentuk pus).
Biasanya perforasi terjadi pada lokasi obstruksi daripada di ujung appendix.

TT
B
B
179
107
Lumen distal sampai Peningkatan Pertumbuhan
obstruksi terisi Distensi tekanan bakteri
mukukosa (closed- appendiks intraluminal (Bacteroides
loop obstruction) dan intramural fragilis , Escherichia
coli)

• Refleks Tekanan Arteriol


anorexia lumen > tetap
• Mual & muntah vena terbuka
• Nyeri viseral

Clotting darah
dalam kapiler dan
venula

App terkongesti dan bengkak

Inflamasi mencapai serosa Terjadi cloting darah di


appendix arteriol

Mencapai peritoneum parietal Border antimesenterik iskemik &

Nyeri RLQ Terjadi perforasi + supurasi

VI. Manifestasi Klinis


a. Keluhan utama: nyeri abdomen. Nyeri biasanya muncul pada region mid-abdomen dan
dalam 1-12 jam nyeri akan bermigrasi ke RLQ. Nyeri biasanya terjadi konstan, sering
terjadi bersamaan dengan kram abdomen yang terjadi hilang timbul. Nyeri diperparah
dengan pergerakan dan batuk

TT
B
B
180
108
b. Lokasi nyeri bergantung dari posisi appendix:
Posisi Appendix Lokasi Nyeri
Retrocecal Flank / back pain
Nyeri testis karena terjadi iritasi pada A.
Retroileal
Spermatika atau ureter
Pelvis Nyeri suprapubik
Inflamasi pada ujung appendix
Nyeri LLQ
yang berukuran panjang
c. Anoreksia, mual dan muntah
1) Kebanyakan pasien gejala dimulai dengan anoreksia, lalu diikuti dengan nyeri
abdomen dan setelah itu muncul mual dan muntah
2) Ibu hamil dengan appendicitis: mual, muntah, dan peritonitis lokal

VII. Pemeriksaan Fisik


a. Tanda Vital
1) Tidak ada perubahan yang signifikan
2) Suhu: sedikit meningkat, peningkatan suhu 1 ̊C
3) Perforasi appendix: hipotensi, takikardi
b. Pemeriksaan Abdomen
1. Inspeksi: distensi abdomen (-), distensi abdomen terlihat pada pasien dengan
perforasi appendix
2. Auskultasi: Bising usus lebih menurun pada region kanan daripada kiri. Bising usus
bisa negative pada pasien dengan perforasi appendix
3. Perkusi: timpani (+)
4. Palpasi: tanda klasik yaitu McBurney Sign dan Rovsing sign
McBurney Sign (+) Rovsing Sign (+)

TT
B
B
181
109
c. Pemeriksaan fisik lainnya untuk inklusi appendicitis akut:
1) Psoas Sign: (+)

2) Obturator Sign: (+)

VIII. Pemeriksaan Penunjang

a. Uji pertama yang dilakukan:


1) CBC
• Hasil: leukositosis ringan (10.000 -18.000/microliter)
• Peningkatan leukositosis polimorfonuklear
2) CT Scan abdomen dan pelvis (dilakukan di USA)

TT
B
B
182
110
• Sensitivitas 94%, spesifitas 95%
• Hasil: appendix abnormal dengan diameter > 6 mm, teridentifikasi atau
terkalsifikasi dengan appendicolith yang biasanya terjadi pada inflamasi
periappendix.
3) Tes urin kehamilan: negative
b. Uji lainnya
1) USG abdomen
• Sensitivitas 86%, spesifitas 81%
• Hasil: aperistaltik atau struktur non-kompresibel dengan diameter luar > 6 mm
2) Urinalisis
• Negatif: tidak terdapat eritrosit, leukosit, nitrat
3) MRI abdomen dan pelvis pada ibu hamil dengan suspek appendicitis
• Hasil: appendix abnormal dengan diameter > 6 mm, teridentifikasi atau
terkalsifikasi dengan appendicolith yang biasanya terjadi pada inflamasi
periappendix.

IX. Diagnosis Banding


a. Adenitis mesenteric akut h. Cholecystitis
b. Gastroenteritis viral i. Infeksi saluran kencing
c. Diverticulitis meckel j. Peritonitis primer
d. Intususepsi k. Penyakit inflamasi pelvis
e. Crohn disease l. Ruptur folikel graafian
f. Peptic ulcer disease m. Kehamilan ektopik
g. Right-sided ureteric stone n. Torsi ovari

X. Kriteria Diagnosis
a. Faktor diagnostik utama:
1) Nyeri abdomen 3) Nyeri RLQ, dengan tanda klasik
2) Anorexia berupa McBurney Sign
b. Faktor diagnostik lainnya
1) Mual

TT
B
B
183
111
2) Demam (low-grade fever dengan peningkatan suhu 1 ̊C)
3) Bising usus berkurang pada kuadran kanan
4) Takikardia, khususnya pada pasien dengan perforasi appendix
5) Fetor
6) Muntah
7) Rovsing sign
8) Psoas sign
9) Obturator sign
c. Kriteria diagnostik
1) Pasien dewasa

Berdasarkan hasil systematic review (Ohle et al., 2011), aplikasi Alvarado Score pada
pasien dewasa:
- Menggunakan cut-point score sebesar 5 memiliki sensitivitas 99% pada semua
populasi untuk me-rule out appendicitis, dengan rinician sensitivitas sebesar 96%
pada pria, 99% pada wanita, dan 99% pada anak-anak.

TT
B
B
184
112
- Menggunakan cut-point score sebesar 7, rekomendasi untuk dilakukan
appendectomy memiliki spesifitas 81% pada laki-laki, 57% pada wanita, dan 76%
pada anak-anak.
Simpulan: Alvarado score sebagai alat diagnostik dapat digunakan jika memakai cut-
point score sebesar 5 untuk me-rule out appendicitis akut
2) Pasien anak-anak

Keterangan: peningkatan suhu pada Alvarado Score didefinisikan sebagai suhu ≥


37,5 ̊C dan pada PAS Score suhu ≥ 38 ̊C.
Menurut Podany et al. (2017):
- Penggunaan Alvarado Score dengan cut-off score ≥7 pada appendicitis akut
memiliki sensitivitas dan spesifitas sebesar 72-93% dan 79-81%
- Penggunaan PAS memiliki sensitivitas dan spesifitas sebesar 61-100% dan 92-
96%

TT
B
B
185
113
- Penggunaan Ruptured Appendicitis Score untuk preoperative dalam
memprediksi risiko tinggi rupture appendiks memiliki sensitivitas dan spesifitas
sebesar 47% dan 98% dengan menggunakan cut-point score sebesar 9 untuk
rupture appendiks.
-
XI. Komplikasi
a. Perforasi
1) Kondisi klinis: hipotensi, takikardi, distensi abdomen, dan bising usus (-)
b. Abses
1) Bentuk progresif penyakit, biasanya terjadi setelah perforasi
2) Kondisi klinis: masa RLQ tender, demam intermiten, leukositosis
3) Pemeriksaan penunjang: USG atau CT Scan

XII. Tatalaksana

Appendectomy +
suportif
Tanpa Komplikasi

Antibiotik IV

Appendicitis Akut
Peforasi: +
appendectomy
Dengan Perforasi/ Antibiotik IV +
Abses suportif
Abses: + drainase,
+/- appendectomy
interval

a. Apendicitis akut tanpa komplikasi:


1) Terapi utama: appendectomy dan terapi suportif
2) Diagnosis app akut ditegakkan à pasien dipuasakan
3) Pemberian cairan melalui intravena: Ringer Laktat
4) Appendectomy:

TT
B
B
186
114
- Open appendectomy
i. Aman untuk ibu hamil dengan appendicitis
- Laparascopic appendectomy
i. Direkomendasikan untuk appendicitis tanpa komplikasi
ii. Aman pada pasien obesitas
iii. Hasil kosmetik lebih baik
iv. Mengurangi nyeri post-operasi
v. Mengurangi risiko infeksi luka
5) Terapi antibiotik intravena
- Diberikan selama 24 jam
- Opsi utama: Cefoxitin 1-2 gram
Diberikan intra vena, cefoxitin 1-2 gram single dose sebelum oprasi, cefoxitin 1-2
gram setiap 8 jam untuk 2 dosis post-op

b. Appendicitis akut dengan perforasi atau abses


1) Terapi utama: antibiotik intravena dan terapi suportif
2) Pasien dipuasakan
3) Pemberian cairan jalur intravena: Ringer Laktat
• Diberikan sampai kondisi pasien membaik dan diet oral bisa ditoleransi
4) Antibiotik intravena:
- Antibiotik diberikan sampai pasien afebris dan leukositosis terkoreksi
- Pilihan utama: Cefoxitin atau kombinasi piperacilin/tazobactam
a. Cefoxitin 1-2 gram diberikan intravena setiap 8 jam
b. Kombinasi piperacilin/tazobactam 3,375 gram (3 gram piperacilin + 0,375
gram tazobactam) intravena setiap 6 jam
c. Untuk infeksi yang parah: Meropenem 1 gram intravena setiap 8 jam
5) Appendicitis dengan perforasi: terapi utama seperti di atas dan appendectomy
6) Appendicitis akut dengan abses
- Terapi utama seperti di atas + drainase ± appendectomy interval
- Terapi awal:
i. Antibiotik intravena

TT
B
B
187
115
ii. CT-guided atau oprasi untuk drainase abses
iii. Appendectomy interval: dilakukan setelah 6 minggu jika gejala tidak
membaik. Jika klinis membaik dan gejala terselesaikan à tidak memperlukan
appendectomy interval

XIII. Referensi
Lobo, Dileep N. 2017. BMJ Best Practice: Acute Appendicitis. BMJ Publishing Group

Ohle, Robert, Fran O’Reilly, Kirsty K O’Brien, Tom Fahey, dan Borislav D Dimitrov. 2011.
The Alvarado Score for Predicting Acute Appendicitis: A Systematic Review. BMC
Medicine 9:1-13.

Podany, Abigail B., Anthony Y Tsai, dan Peter W Dillon. 2017. Acute Appendicitis in
Pediatric Patients: An Updated Narrative Review. Journal of Clinical Gastroenterology
and Treatment 3(1):1-9

Image.google.com

TT
B
B
188
116
STUMP APPENDICITIS: A SURGEON'S DILEMMA

Kontributor: William Widitjiarso

I. Definisi
Stump appendicitis adalah inflamasi rekuren dari residu appendix setelah appendix telah
diambil, melalui appendectomy, tetapi tidak sepenuhnya. Sebelumnya, telah ada 48 kasus
yang diidentifikasi sebagai stump appendicitis pada literatur.

II. Anatomi
a. Appendix merupakan jaringan usus yang menyerupai tuba yang sempit, yang terletak
pada posteromedial dari caecum. Posisi ekor dari appendix dapat bervariasi dari pasien
ke pasien, namun dibagi menjadi 7 posisi utama.
1. Pre-ileal – Anterior dari terminal ileum
2. Post-ileal – Posterior dari terminal ileum
3. Sub-ileal – Parallel dari terminal ileum
4. Pelvic – Turun mendekati pelvis
5. Sub-caecal – Dibawah caecum
6. Paracaecal – Berjalan di lateral caecum
7. Retrocaecal – Dibelakang caecum

TT
B
B
307
117
b. Secara embriologis, appendix berasal dari midgut, jadi vaskularisasi ke appendix berasal
dari a. messenterica superior à a. ileocolica à a. appendix. Drainase vena appendix
dilakukan melalui v. appendix. Arteri dan vena appendix dibungkus oleh mesoappendix,
bersama dengan drainase limfatik dan serabut-serabut saraf.

c. Innervasi dari appendix berasal dari ramus ileocolica dari plexus mesenterica superior,
yang berjalan bersama a. messenterica.
d. Drainase limfatik dari appendix dilakukan melalui lnn. Ileocolic inferior à lnn. Ileocolic
superior.

TT
B
B
308
118
III. Epidemiologi
a. Appendectomy adalah salah satu prosedur yang paling sering dilakukan di Amerika,
dengan kasus kurang lebih 255.000 per tahunnya. Penyebab utama dari appendicitis
yang dilakukan appendectomy dapat terjadi karena adanya obstruksi oleh fecalith,
lymphoid hyperplasia, maupun neoplasma.
b. Komplikasi yang terjadi karena appendectomy antara lain infeksi luka, perdarahan,
pembentukan abses intraabdomen, small bowel obstruction, maupun stump appendicitis.
c. Hingga tahun 2011, ada 40 kasus stump appendicitis yang terdiagnosis dan
terpublikasikan dalam literature berbahasa Inggris.
d. Dari 40 kasus stump appendicitis, rata-rata umur kejadian tersebut adalah 37 tahun
(range 8-72 tahun), pasien laki-laki mengambil 23/40 bagian dari kasus tersebut (62%),
laparotomy dilakukan pada 27/40 pasien (68%), dan diagnosis stump appendicitis tegak
rata-rata 8 tahun (range 2 bulan-40 tahun) setelah dilakukan appendectomy yang
pertama.
IV. Patofisiologi

Retensi mukus Distensi


Obstruksi di distal appendix Proliferasi bakteri

a. Obstruksi dari lumen appendix dapat disebabkan oleh penumpukan fecalith maupun
massa tumor.
b. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang ada di bagian distal dari appendix tidak
dapat dialirkan keluar.
c. Mucus yang menumpuk pada bagian distal appendix menyebabkan peningkatan tekanan
intraluminal dan intramural dari appendix tersebut, dimana jika tekanan ini melebihi
tekanan vena, maka supply darah dari arteri tidak akan bisa terdrainase ke vena. Hal ini
menyebabkan congesti dan pembengkakan appendix.
d. Terjadi proses inflamasi yang melibatkan bagian lapisan serosa dari appendix dan
melibatkan peritoneum parietal, yang menyebabkan nyeri terlokalisir pada quandrant
kanan bawah.

TT
B
B
309
119
e. Jika tekanan terus meningkat dan melebihi tekanan arteri, daerah tersebut akan menjadi
ischemic, yang berlanjut menjadi infarksi dan resiko perforasi meningkat. Bakteri keluar
dari lumen appendix dan beresiko menyebabkan peritonitis.
f. Stump appendicitis dapat terjadi ketika appendicitis telah dilakukan, namun masih ada
sisa dari appendix yang tidak terpotong, maupun tidak dilakukan inversi dari sisa
potongan appendix.

V. Manifestasi Klinis
Keluhan utama: Nyeri yang dirasakan periumbilical maupun epigastric pada saat pertama.
Nyeri lama-lama terlokalisir di quadrant kanan bawah. Nyeri karaktertik ini memiliki
sensitivitas dan spesifisitas ~80% untuk mendiagnosis appendicitis.

VI. Anamnesis
a. Nyeri pada quandrant kanan bawah, maupun periumbilical yang berpindah ke quandrant
kanan bawah
b. Kejadian mual/muntah
c. Penurunan nafsu makan, terkadang hingga anorexia
d. Diare/konstipasi

VII. Pemeriksaan Fisik Abdomen


a. Inspeksi: Cenderung tidak ada kelainan
b. Auskultasi: Dapat meningkat, menurun, maupun normal tergantung dari keluhan
diare/konstipasi pasien.
c. Perkusi: Timpani
d. Palpasi dan pemeriksaan spesifik pada appendicitis:
1. McBurney Sign – Nyeri quandrant kanan bawah ketika dilakukan palpasi
2. Rovsing Sign – Nyeri quandrant kanan bawah ketika palpasi quandrant kiri bawah
3. Psoas Sign – Nyeri quandrant kanan bawah ketika dilakukan ekstensi hip joint
maupun fleksi hip joint dengan daya perlawanan.
4. Obturator Sign – Nyeri quandrant kanan bawah ketika dilakukan external rotasi dari
hip joint.

TT
B
B
310
120
5. Dunphy sign – Nyeri quandrant kanan bawah ketika batuk
6. Markle Sign – Nyeri pada abdomen ketika pasien jinjit, lalu menjatuhkan tumit ke
tanah secara cepat.
7. Stump appendicitis dapat dicurigai ketika ada tanda-tanda dari appendicitis namun
sudah dilakukan appendectomy sebelumnya pada pasien tersebut.

VIII. Diagnosis
Alvarado score

IX. Pemeriksaan Penunjang


a. CT Scan
Memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terhadap kasus-kasus appendicitis (94-

TT
98% dan 97%).

B
B
311
121
CT findings include:
1. Dilated appendix with distended lumen (>6 mm diameter)
2. Thickened and enhancing wall
3. Thickening of the caecal apex (up to 80%): caecal bar sign, arrowhead sign
4. Peri-appendiceal inflammation, including stranding of the adjacent fat and
thickening of the lateroconal fascia or mesoappendix
5. Extraluminal fluid
6. Inflammatory phlegmon
7. Abscess formation
8. appendicolith may also be identified
9. Periappendiceal reactive nodal prominence/enlargement

b. Ultrasonography
1. Aperistaltic, non-compressible, dilated appendix (>6 mm outer diameter)
2. appendicolith
3. Distinct appendiceal wall layers
4. Echogenic prominent pericaecal and periappendiceal fat
5. Periappendiceal hyperechoic structure: amorphous hyperechoic structure (usually
>10 mm) seen surrounding a non-compressible appendix with a diameter >6 mm
6. Periappendiceal fluid collection
7. Target appearance (axial section)
8. Periappendiceal reactive nodal prominence/enlargement

c. Pemeriksaan darah rutin à Leukocytosis dapat disertai dengan shift to the left dalam
pemeriksaan hitung jenis leukosit.

X. Treatment Appendicitis
a. Appendectomy masih merupakan satu-satunya terapi kuratif dalam kasus appendicitis.
Management dengan menggunakan antibiotik tidak menyembuhkan pasien, namun
ditunjukkan dapat mengurangi jumlah leukosit, pengurangan resiko peritonitis,

TT
B
B
312
122
mengurangi rasa sakit, dapat kembali melakukan aktivitas normal lebih cepat, dan tidak
meningkatkan rate perforasi.
b. 90% dari pasien dengan admisi yang pertama berespon baik terhadap antibiotic, dan
dapat pulang tanpa operasi. 10% pasien dengan admisi yang pertama tidak berespon dan
memerlukan appendectomy
c. 70% dari pasien yang berespon baik terhadap antibiotic dapat bebas dari operasi pada
tahun pertama. 30% sisa pasien yang berespon terhadap antibiotic tetap memerlukan
appendectomy pada tahun pertama, dalam rata-rata jangka waktu 4.2 hingga 7 bulan.

TT
B
B
313
123
XI. Case Report
Author Age Sex Primary Inter- Pain Dx Mode Repeat Stump Perfora
Surgery val Surgery Length ted
Harris 26 M Open 10yr RLQ CT Open NA Y
Devereaux 49 M Lap 2 mo RLQ NA Open 2cm Y
Walsh 72 F Lap 5mo ABD Xray Open 2.5cm Y
Liang 32 F Lap 5 mo RLQ CT Lap 4 cm Y
Rose 23 M Open 1yr NA NA Open 5.1cm NA
40 M Open 2yr NA NA Open 5.1cm NA
Greenberg 31 M Lap 4mo‘ RLQ CT Open 3.5cm N
Milne 25 M Lap 18mo ABD NA Open 3.2cm N
Rao 39 F Open 34yr ABD CT Open NA Y
Aschkenasy 27 M Open 25yr RLQ CT Open NA N
Roche-Nagle 35 M NA NA RLQ CT Open 3-4cm Y
Shin 41 M Lap NA RLQ CT Lap 6.5cm N
Watkins 63 F Lap 9mo RLQ CT Lap 5.5cm Y
Nahon 33 M Open 18yr RLQ Colonoscopy Open NA Y
Mangi 43 F Open 40yr Ni CT Open 0.5cm Y
64 F Open NA Ni BE Open 0.6cm Y
Baldisserotto 13 F Open 2mo RLQ US Lap 2cm N
Gupta 11 M Open 1yr RLQ CT Open 4.5cm Y
Erzurum 11 F Open 8mo RLQ CT Open 3.5cm Y
Thomas 53 F Open 21yr RLQ CT Open NA NA
Wright 35 M Lap 2mo RLQ BE Open 4.5cm NA
48 M Lap 8mo RLQ CT Open 4.0cm NA
Feigin 26 M Open 1yr ABD NA Open NA Y
Greene 27 F Open 12yr RLQ BE Open NA N
42 F Open 16yr ABD NA Open NA Y
53 F Open 20yr RLQ BE Open NA Y
Siegel 51 F Open 23yr RLQ NA Open 1.5cm Y
Baumgardner 55 M Open 3mo RLQ NA Open NA Y
Uludag 47 M Open 20yr RLQ CT Open 2cm Y
De 26 F‘ Open 1yr RLQ NA Open NA NA
Durgun 68 F Open 8mo ABD NA Open 3cm Y
Tang 14 M Open 5yr ABD CT Open 3cm N
11 M Open 2mo NA CT Open NA Y
13 F Open 10mo ABD CT Open 4cm N
33 F Lap 2week RLQ CT NA NA N
Leff s
24 M Lap 7mo ABD CT Lap NA Y
Chikamori 24 M Lap 4days ABD US Lap 7mm Y
Burt 27 M Open NA RLQ CT Open NA Y
Waseem 15 M Lap 2yr ABD CT Open 6mm N
O'Leary 43 M Open 10yr RLQ US Open 2.5cm N

TT
B
B
314
124
XII. Diskusi
Diagnosis dari stump appendectomy sangat terlihat oleh CT scan karena sensitivitas dan
spesifisitasnya yang tinggi, serta posisi dan panjang stump dapat dilihat dari hasil CT scan
tersebut.

Appendectomy dengan menggunakan laparoscopy telah dipelajari lebih lanjut dan tidak
ditemukan perbedaan dari appendectomy laparotomy dalam menimbulkan stump
appendicitis pada kemudian hari. Ada beberapa dokter yang mengatakan bahwa stump
appendicitis lebih banyak ditemukan pada akhir-akhir ini karena meningkatnya pemakaian
laparoscopy dalam prosedur appendectomy. Namun hal ini tidak sejalan dengan hasil
temuan dari studi case report yang dilakukan, dengan 66% dari kasus stump appendicitis
yang ditemukan memakai teknik open ketika melakukan appendectomy pertama kali.
Namun masih ada kemungkinan jumlah sample kasus stump appendicitis dari laparoscopy
masih sedikit karena tekniknya relatif baru. Dalam teknik apapun, disarankan agar stump
yang tertinggal tidak lebih dari 3mm panjangnya.

Terapi definitif dari stump appendicitis sementara ini adalah melakukan appendectomy
untuk menghilangkan stump tersebut. Kebanyakan appendectomy dalam kasus-kasus stump
appendicitis dari case report tersebut menggunakan open appendectomy sebagai teknik
pilihan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa laparoscopy appendectomy dapat
dilakukan untuk menghilangkan stump.

Dalam 18% kasus yang ditemukan pada case report, ileocecectomy juga dilakukan pada
pasien-pasien tersebut. Walaupun begitu, penggunaan ileocecectomy sebaiknya tidak
dilakukan jika tidak ada tanda-tanda inflamasi yang berekstensi ke caecum, dan ketika
stump dapat tervisualisasi jelas.

Perbandingan teknik menggunakan inversi dalam prosedur appendectomy pertama


dibandingkan ligasi biasa masih diperdebatkan dalam kemungkinan membuat stump
appendicitis.

TT
B
B
315
125
XIII. Referensi
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3299622/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3183543/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=22071846
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=22491789
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=25121154
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=26990957
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=27759621
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=26712246
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=28284517
https://radiopaedia.org/articles/appendicitis

TT
B
B
316
126
KOMPETENSI
CROHN’S DISEASE
Kontributor: Bernadetha Astrid Octaviani
1
I. Pendahuluan
Crohn’s disease atau penyakit Crohn adalah penyakit inflamasi idiopatik dengan
keterlibatan pengaruh genetik, imunologis, dan lingkungan. Kasus pertama Crohn’s disease
yang terdokumentasi digambarkan oleh Morgagni pada tahun 1761. Pada tahun 1932, Crohn
dan koleganya menerbitkan publikasi yang mendeskripsikan secara detail penemuan klinis
dan patologis dari penyakit inflamasi intestinal tersebut pada populasi dewasa. Semenjak
saat itu, terminologi Crohn’s disease mulai dikenal dan diterima secara universal.

II. Definisi
Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi transmural traktus gastrointestinal yang
bersifat kronis dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohn’s disease dapat dijumpai pada
seluruh bagian dari traktus gastrointestinal mulai dari cavum oris hingga area perianal,
namun paling sering melibatkan usus halus (ileum terminal) dan colon. Manifestasi klinis
yang umum berupa nyeri perut, diare, dan weight loss. Inflamasi kronis yang terjadi dapat
menimbulkan fibrosis yang menyebabkan obstruksi intestinal. Selain itu, dapat terjadi
perforasi lokal sampai pembentukan fistula karena inflamasi yang mempenetrasi tunica
serosa dan membuat saluran.

III. Anatomi
a. Intestinum Tenue
Intestinum tenue terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Terletak dari pylorus
hingga junction ileocecal.
1. Duodeum
Disebut juga usus dua belas jari, dengan panjang 25 cm, dan merupakan bagian
paling lebar dari intestinum tenue. Berbentuk C-shaped yang melingkari caput
pancreas. Berawal dari pylorus pada bagian kanan hingga flexura duodenojejunale

TT
B
B
205
127
pada bagian kiri setinggi VL2. Duodenum dibagi menjadi 4 bagian, yaitu :
- Pars superior, terletak anterolateral dari VL1.
- Pars descenden, terletak sepanjang sisi kanan setinggi VL1-VL3.
- Pars inferior/ horizontal, menyilangi VL3.
- Pars ascenden, berawal dari bagian kiri VL3 dan naik hingga VL2.
2. Jejunum dan ileum
Bagian kedua dari intestinum tenue
adalah jejunum, berawal dari flexura
duodenojejunalis dan berlanjut menjadi
ileum yang berakhir hingga junction
ileocecal. Keduanya merupakan organ
intraperitoneal yang memiliki panjang 6-
7 meter (jejunum memiliki panjang dua
per lima dan ileum memiliki panjang tiga
per lima). Ileum terminalis terletak pada region pelvis dan berakhir pada aspek
medial caecum. Walau tidak terdapat batas tegas antara jejunum dan ileum, terdapat
beberapa karakteristik yang dapat membedakan keduanya

TT
B
B
206
128
3. Intestinum Crassum
Intestinum crassum terdiri dari cecum; appendix; colon ascenden, transversal,
descenden, dan sigmoid; rectum; dan canalis analis. Dapat dibedakan dengan
intestinum tenue dari beberapa karakteristik berikut yang ada pada intestinum
crassum, yaitu:
- Appendices omentalis yaitu jaringan lemak kecil, yang berbentuk seperti
omentum.
- Taenia coli, berbentuk seperti tali yang memanjang, terdapat tiga jenis yaitu;
taenia mesocolica, omentalis dan libera.
- Haustra coli yang berbentuk katung-kantung (sakulasi) pada dinding colon
antara ketiga taenia.
- Mempunyai diameter yang lebih besar.
Taenia coli merupakan penebalan stratum muskularis longitudinal berawal dari
pangkal appendix, berjalan disepanjang kolon hingga berakhir dan menyatu pada
junction rectosigmoidea yang berlanjut menjadi stratum longitudinal rectum.
Karena taenia tersebut dapat berkontraksi, bagian diantara taenia membentuk
sakulasi (bentukan kantung) yang diebut haustra coli.

TT
B
B
207
129
Cecum dan Appendix

Cecum adalah bagian pertama intestinum crassum, merupakan kantung buntu dengan
panjang dan lebar 7,5 cm. Terletak pada fossa iliaca dextra pada RLQ abdomen, jika
terdistensi oleh feses atau gas, dapat dipalpasi pada dinding anterolateral abdomen.
Cecum dilapisi peritoneum walaupun tidak memiliki mesenterium. Karena cecum relatif
mobile, maka posisinya dapat berubah namun biasanya terikat ke dinding lateral
abdomen oleh plica cecalis.

Appendix merupakan saluran buntu (diverticulum intestinum) panjang 6-10 cm, berisi
jaringan limfoid. Berawal dari aspek posteromedial cecum, memiliki mesenterium kecil
berbentuk segitiga yang disebut mesoappendix yang berasal dari sisi posterior
mesenterium ileum terminalis. Posisi appendix bervariasi seperti retrocecal (paling
sering), retroileal, preileal dan pelvis minor. Proyeksi pangkal appendix disebut titik
McBurney: sepertiga lateral garis Monroe, yaitu garis yang menghubungkan antara
SIAS dextra dan umbilicus.

TT
B
B
208
130
Colon

Colon memiliki empat bagian yaitu colon ascending, transversal, descending dan
sigmoid. Colon ascending berjalan ke arah superior pada sisi kanan kavitas abdomen
mulai dari caecum sampai pada lobus dextra hepar kemudian berbelok ke kiri pada
flexura colica dextra (setinggi costa 9-10). Alur vertical yang disebut paracolic gutter
terletak antara sisi lateral colon ascending dan dinding abdomen disampingnya.

Colon transversum adalah bagian paling panjang dan paling mobile dari intestinum
crasssum. Bermula dari flexura colica dextra hingga sinistra dan membelok ke bawah
sebagai colon descending. Radix mesocolon transversum terletak disepanjang margo
inferior pancreas dan berlanjut sebagai peritoneum parietal di posterior.

Colon descending merupakan organ retroperitoneal sekunder terletak antara flexura


colica sinistra hingga fossa iliaca sinistra dan akan berlanjut sebagai colon sigmoid.

Colon sigmoid memiliki cirri khas S-shaped terletak dari fossa iliaca sinistra hingga
VS3 yang menghubungkan antara colon descenden dan rectum. Ujung dari taenia coli,
sekitar 15 cm dari anus, mengindikasikan junctio rectosigmoidea.

TT
B
B
209
131
Rectum
Rectum terletak pada kavum pelvis, merupakan kelanjutan dari colon sigmoidea dan
berujung pada canalis analis. Rectum pada manusia memiliki beberapa flexura. Posisi
rectum mengikuti lengkung sacrum dan coccyx membentuk flexura sacralis recti.
Rectum berujung pada bagian anteroinferior ujung coccyx tepat sebelum suatu sudut
tajam (flexura anorectal yang disebabkan oleh otot diafragma pelvis). Flexura anorectal
berperan penting dalam fecal continence yang dijaga dengan tonus dari musculus
puborectalis pada resting state.

Dengan adanya flexura sacralis dan anorectal, rectum memiliki bentukan S ketika
dilihat dari lateral. Tiga lengkungan/flexura pada rectum (superior dan inferior pada sisi
kiri, dan intermedia pada sisi kanan) akan nampak ketika rectum dilihat dari anterior.
Pada dinding dalam rectum, ketiga flexura tersebut akan terlihat sebagai plica
transversalis recti, dua pada sisi kiri, dan satu pada sisi kanan. Bagian terminal rectum
yang berdilatasi terletak tepat di atas dan disangga langsung oleh levator ani serta
ligament anococcygeal adalah ampulla recti. Ampulla recti menerima dan menampung
masa feses hingga saatnya defekasi.

Canalis analis
Canalis analis merupakan bagian terminal dari traktus digestivus. Terletak mulai dari
superior diafragma pelvis hingga anus. Canalis analis (2,5-3,5 cm) dikelilingi oleh otot
spinchter ani internal dan external, yang terletak antara ligament anococcygeal dan
corpus perineum.

Spinchter ani internal adalah otot involunter yang mengelilingi dua per tiga superior
canalis analis, merupakan penebalan dari lapisan otot sirkuler. Spinchter ani externa
merupakan otot volunteer yang membentuk pelebaran pada kedua sisi sepertiga inferior
canalis analis.

Pada bagian dalam, setengah superior mukosa canalis analis berciri dengan lipatan
longitudinal disebut columna analis. Junctio anorectal merupakan batas superior

TT
B
B
210
132
columna analis, pada daerah ini ampulla recti menyempit karena melewati diafragma
pelvis. Bagian inferior columna analis bergabung membantuk valvula analis. Superior
dari valvula terdapat ruangan kecil disebut sinus analis.

Bagian inferior valvula analis membentuk garis irregular disebut linea pecinata, yang
merupakan batas antara bagian superior canalis analis (derivate dari hindgut/viscera)
dan bagian bawah (derivate proctodeum/somatic).

IV. Epidemiologi
Crohn’s disease merupakan penyakit bedah primer dari intestinum tenue yang paling
sering terjadi. Insidensi Crohn’s disease di Amerika Serikat diperkirakan 6-7 per
100.000 orang, dan diproyeksikan akan terus meningkat.

Distribusi Crohn’s disease memiliki karakteristik bimodal, dengan puncak pertama pada
kelompok usia 15-40 tahun dan puncak kedua pada kelompok usia 60-80 tahun.
Prevalensi pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan cenderung sama. Beberapa
kelompok etnis tertentu, seperti kaum Yahudi memiliki angka insidensi lebih tinggi.
Faktor resiko yang telah diidentifikasi berupa rokok, dengan kejadian pada perokok
diperkirakan 2x lipat dibandingkan non-perokok. Selain itu, terdapat hubungan familial
yang kuat, dimana terdapat peningkatan resiko terkena Crohn’s disease hingga 30x lipat
pada saudara kandung dan 14-15x lipat pada semua first degree relatives.

V. Etiologi
Etiologi dari Crohn’s disease belum diketahui secara pasti. Namun diyakini ada
kontribusi faktor genetik dan lingkungan (infeksi dan imunologis).
a. Genetik
Faktor genetik memiliki andil penting dalam pathogenesis Crohn’s disease karena
faktor resiko tunggal paling kuat adalah kekerabatan/ first degree relative dengan
penderita Crohn’s disease. Beberapa penelitian genome-wide association (GWA)
telah mengidentifikasi lebih dari 71 lokus gen yang berhubungan, diantaranya
CARD15-NOD2, IL23R, dan IBD5-ATG16L1.

TT
B
B
211
133
b. lnfeksi
Dua agen infeksius yang dihipotesiskan sebagai penyebab potensial Crohn’s
disease adalah Mycobacterium paratuberculosis dan E. Coli enteroadherent.
Beberapa studi dengan teknik polymerase chain reaction (PCR) telah
mengonfirmasi keberadaan mikroorganisme dalam sample intestinum tenue pasien
Crohn’s disease, transplantasi jaringan ke intestinum tenue sehat juga
menyebabkan ileitis. Namun terapi antimikroba yang mentarget organisme tersebut
tidak efektif untuk meredakan proses patologis.
c. Imunologis
Fenomena autoimun berupa reaksi humoral dan selular terhadap sel intestinal telah
dicurigai sebagai faktor etiologi pada pasien dengan Crohn’s disease. Faktor yang
berperan terutama sitokin seperti IL-1, IL-2, IL-8, dan TNF- α.
d. Faktor lingkungan lainnya
Antara lain merokok, pil kontrasepsi oral, diet tinggi gula, defisiensi gizi (terutama
seng), NSAID, gastroenteritis akut.

VI. Patofisiologi

Lesi awal bermula sebagai infiltrat inflamasi di sekitar kripta intestinal yang kemudian
berkembang menjadi ulserasi pada mukosa superfisial. Inflamasi berprogresi melibatkan
lapisan yang lebih profunda dan membentuk granuloma non-caseosa. Granuloma
tersebut melibatkan seluruh lapisan dinding intestinum tenue beserta mesenterium dan
limfonodi regional.

Penemuan endoskopi tahap awal dapat berupa inflamasi mukosa yang edema dan
hiperemis. Tahap lebih lanjut dapat ditemukan ulserasi yang dalam dan diskret, terletak

TT
B
B
212
134
secara transversal dan longitudinal, membentuk gambaran cobblestone appearance.
Lesi-lesi tersebut dipisahkan oleh area sehat yang dikenal dengan skip lesions.

Inflamasi transmural akut dapat menyebabkan obstruksi usus karena edema mukosa
yang berhubungan dengan spasme. Inflamasi transmural kronis menebalkan dinding
usus dan menimbulkan scarring, penyempitan lumen, dan striktura. Konsekuensi lebih
lanjut berupa fistula, pembentukan sinus tract, perforasi, dan pembentukan abses.
Inflamasi yang kronis juga merusak mukosa intestinal sehingga menurunkan
kemampuan absorbsi dan menyebabkan malnutrisi, dehidrasi, defisiensi vitamin dan
nutrient dalam jangka panjang.

Penyerapan asam bilirubin dapat terganggu jika melibatkan ileum terminal sehingga
menyebabkan steatorrrhea, defisiensi vitamin larut lemak, dan pembentukan batu
empedu. Lemak berlebihan pada feses mengikat kalsium, sehingga meningkatkan
absorpsi oksalat dan menjadi faktor predisposisi pembentukan batu ginjal oksalat.
Selain manifestasi pada intestinum tenue, Crohn’s disease juga dapat melibatkan organ-
organ extra-intestinal dan sistemik, termasuk kulit, sendi, mulut, mata, liver, dan ductus
billiaris dengan mekanisme autoimun.

VII. Klasifikasi
Terdapat 2 klasifikasi yang umum digunakan, yaitu klasifikasi Vienna dan Montreal.
Parameter yang diamati antara lain usia, lokasi, dan karakteristik penyakit.

Adapun tujuan utama klasifikasi tersebut adalah untuk kepentingan penelitian.


Klasifikasi Vienna membagi pasien ke dalam 24 subkategori dan digunakan untuk
menentukan staging, prediksi remisi dan relaps, dan panduan dalam manajemen.

TT
B
B
213
135
Sehgal, Rishabh & Koltun, Walter. (2010)

VIII. Diagnosis
Diagnosis dari Crohn’s disease didasarkan pada kombinasi manifestasi klinis, dan
penemuan endoskopi, radiologi, histopatologi yang mendukung. Adapun manifestasi
klinis dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan bergantung pada segmen traktus
gastrointestinal yang terlibat, derajat inflamasi, dan ada tidaknya komplikasi.

a. Anamnesis
Gejala paling umum yang dijumpai pada Crohn’s disease adalah diare kronis, yang
didefinisikan sebagai penurunan konsistensi feses selama > 4 minggu. Gejala lain
berupa nyeri perut (terlokalisir di kuadran kanan bawah abdomen dan diperparah
postprandial, menyerupai appendisitis akut), lemas (dapat disebabkan inflamasi,
anemia, atau defisiensi vitamin/ mineral), penurunan berat badan, demam, dan
keberadaan darah dan/ mucus pada feses. Pada pasien anak dapat ditemukan
kegagalan tumbuh-kembang.

Faktor resiko berupa riwayat inflammatory bowel disease pada keluarga, ras (lebih
sering pada ras kulit putih, terutama Ashkenazi Jews), riwayat merokok, dan usia
(distribusi bimodal dengan puncak pada usia 15-40 tahun dan 60-80 tahun) juga

TT
B
B
214
136
perlu digali. Riwayat bepergian, penggunaan antibiotik, dan kontak lingkungan dapat
ditanyakan untuk mengeksklusi diare dengan penyebab infeksi.

b. Pemeriksaan Fisik
1. Pengukuran BMI à sebagai baseline untuk memonitor perubahan mendatang
pada berat badan
2. Inspeksi umum à melihat adanya ulserasi, fistula, abses, maupun lesi kulit
3. Pemeriksaan abdomen à yang dapat ditemukan berupa nyeri tekan kuadran
kanan bawah dan massa abdomen pada palpasi. Digital rectal examination dapat
dilakukan untuk mengeksklusi adanya massa dan mendeteksi darah
4. Pemeriksaan sistem organ lainnya, dilakukan terutama untuk mendeteksi
manifestasi extra-intestinal dari Crohn’s disease.
- Muskuloskeletal à arthropathy axial dan perifer
- Mata à uveitis, skleritis, episkleritis
- Hepatobilier à primary sclerosing cholangitis, cholelithiasis
- Kulit à erythema nodosum, pyoderma gangrenosum
- Genitourinari à nefrolithiasis

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium darah
Pemeriksaan awal diutamakan untuk mengevaluasi inflamasi, anemia, dehidrasi,
dan malnutrisi. Terdiri dari
§ Hematologi lengkap à dapat ditemukan anemia, leukositosis, trombositosis
§ Status besi à meliputi serum besi, serum ferritin, total iron binding capacity
(TIBC), saturasi transferrin. Parameter tersebut dapat berhubungan dengan
defisiensi besi karena perdarahan gastrointestinal atau malabsorpsi besi
§ Serum vitamin B12 dan asam folat à untuk mendeteksi defisiensi karena
malabsorpsi
§ Comprehensive metabolic panel à dapat ditemukan hipoalbuminemia,
hipokolesterolemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, hipofosfatemia, ataupun
hipoprotrombinemia (defisiensi vitamin K) yang umumnya disebabkan diare

TT
B
B
215
137
kronis
§ Marker untuk inflamasi à reaktan fase akut untuk memonitor inflamasi
seperti C-reactive protein (CRP) dan erythrocyte sedimentation rate (ESR)
2. Pemeriksaan laboratorium feses
§ Mikroskopis dan kultur à mendeteksi telur, kista, dan parasit pathogen pada
feses, terutama toksin Clostridium difficile dan Yersinia enterocolitica
(serologi)
§ Marker inflamasi à bersifat non-invasif dan dapat membedakan
inflammatory bowel disease (IBD) dengan irritable bowel syndrome (IBS).
Berupa fecal calprotectin (protein pengikat kalsium turunan neutrofil) dan
fecal lactoferrin (protein pengikat besi yang terdapat pada granula sekunder
neutrofil).
3. Imaging
§ Foto polos abdomen à dapat menunjukkan gambaran distensi bowel loop,
pneumoperitoneum, kalsifikasi, ataupun abses intraabdomen. Sebaiknya
menjadi bagian dari pemeriksaan penunjang awal.
§ CT-scan à membantu lokalisasi penyakit dan diagnosis fistula, abses, dan
komplikasi extra-mural lainnya. Dapat ditemukan skip lesions, penebalan
dinding usus, inflamasi sekitar, abses, dan fistula.
§ MRI à lebih unggul dari CT-scan dalam visualisasi lesi pada pelvis.
Biasanya digunakan saat terdapat kontraindikasi penggunaan CT-scan dengan
kontras.
4. Endoskopi
- Kolonoskopi dengan intubasi ileum terminal merupakan pemeriksaan
penunjang definitif untuk mendiagnosis Crohn’s disease. Tiga penemuan
endoskopi yang spesifik untuk diagnosis antara lain:
o Ulkus aphthous à pada tahap awal dapat ditemukan ulserasi yang kecil
dan diskret, lalu dapat berlanjut dan melibatkan seluruh dinding usus.
o Cobblestone appearance à jaringan normal di antara ulserasi
o Skip lesions à area inflamasi yang tersebar di antara jaringan usus
normal

TT
B
B
216
138
IX. Diagnosis Banding
a. Ulcerative colitis g. Amebiasis
b. Infectious colitis h. Kanker colorectal
c. Pseudomembranous colitis i. Appendicitis akut
d. Ischemic colitis j. Kehamilan ektopik
e. Radiation colitis k. Irritable bowel syndrome
f. Tuberculosis intestinal

X. Tatalaksana
Pada prinsipnya penanganan Crohn’s disease bersifat kompleks dan personal, bergantung
kepada banyak faktor, diantaranya:
a. Usia pasien
b. Lokasi dan status keaktifan penyakit
c. Karakteristik/ behavior penyakit
d. Toleransi obat dan respon terhadap terapi
e. Riwayat pengobatan relaps
f. Ada tidaknya manifestasi extra-intestinal

TT
B
B
217
139
Pendekatan terapi terkini Crohn’s disease bersifat kontinu dan sekuensial, dengan
tujuan untuk mengobati gejala akut atau menginduksi remisi klinis, lalu menjaga status
remisi dalam jangka panjang. Evaluasi objektif dengan endoskopi atau imaging perlu
dilakukan untuk mendukung perbaikan subjektif gejala. Kriteria untuk mendefinisikan
remisi biasanya menggunakan Crohn’s Disease Activity Index (CDAI) < 150. Pada
umumnya, perbaikan klinis sudah bisa diamati dalam 2-4 minggu dengan perbaikan
maksimal dalam 12-16 minggu.

a. Medikamentosa
Sebelum memulai pengobatan, dilakukan penilaian terhadap keparahan penyakit. Hal
ini diperlukan karena pendekatan pengobatan bervariasi bergantung kepada keparahan
penyakit. Guideline tahun 2010 dari European Crohn’s and Colitis Organisation
(ECCO) memiliki definisi sebagai berikut:
1. Mild disease à Dapat mentoleransi asupan oral, tanpa manifestasi dehidrasi,
toksisitas sistemik, nyeri tekan abdomen, massa nyeri, obstruksi intestinal, atau
penurunan berat badan > 10%. Ekuivalen dengan CDAI antara 150-220. American
College of Gastroenterology (2009) mengkasifikasikannya sebagai mild to
moderate disease.
2. Moderate disease à kegagalan respon terapi terhadap mild disease, atau disertai

TT
B
B
218
140
dengan gejala demam, penurunan berat badan > 10%, nyeri abdomen, mual atau
muntah (tanpa temuan obstruktif), atau anemia signifikan. Ekuivalen dengan
CDAI antara 220-450. American College of Gastroenterology (2009)
mengkasifikasikannya sebagai moderate to severe disease.
3. Severe disease à Gejala persisten meskipun sudah diberikan terapi intensif
(seperti kortikosteroid atau agen biologis), atau adanya bukti obstruksi intestinal
atau pembentukan abses (dengan tanda-tanda peritonitis), atau cachexia (BMI <
18 kg/m2). Ekuivalen dengan CDAI antara > 450. American College of
Gastroenterology (2009) mengkasifikasikannya sebagai severe to fulminant
disease.

Adapun terapi medikamentosa meliputi 5 kategori, yaitu 5-aminosalisilat (5-


ASA), antibiotic, kortikosteroid, imunomodulator, dan agen biologis (agen anti-
TNF seperti infliximab, adalimumab).

b. Pembedahan
Secara umum pembedahan dilakukan untuk menangani komplikasi intestinal, dengan
indikasi spesifiknya antara lain:
1. Lesi neoplastik atau paraneoplastik
2. Stenosis obstruktif
3. Komplikasi supuratif
4. Penyakit dengan fistula
5. Perforasi
6. Penyakit yang tidak merespon terapi medikamentosa

TT
B
B
219
141
TT
B
B
220
142
XI. Referensi
Reese, G., Woodfield, G. 2018. Crohn’s Disease. BMJ Best Practice (42).
Ha, F., Khalil, H. 2015. Crohn’s Disease: A Clinical Update. Therapeutic Advances in
Gastroenterology 8(6): 352-359.
Lichtenstein, GR., et al. 2018. ACG Clinical Guideline: Management of Crohn’s Disease in
Adults. The American Journal of Gastroenterology 113:481-517.
Townsend, C.M., et al. 2017. Sabiston Textbook of Surgery: The Biological Basis of Modern
Surgical Practice. 20th edition. Philadelphia: Elsevier.

TT
B
B
221
143
KOMPETENSI
COLORECTAL CANCER
Kontributor: Rizki Oktasari
2
I. Definisi
Keganasan yang berkembang pada daerah kolon dan/atau rectum

II. Anatomi
a. Kolon adalah struktur yang terdiri dari dua asal embriologi yang berbeda.
b. Sekum, kolon ascendens, dan setengah kolon transversum berasal dari midgut dan
divaskularisasi a. mesenterika superior.
c. Setengah distal kolon transversum, fleksura lienalis, kolon descendens, dan kolon
sigmoid berasal dari hindgut dan divaskularisasi a. mesenterika inferior.
d. Drainase vena pada daerah kolon memiliki nama yang sama dengan arterinya, kecuali
v. mesenteri inferior akan bergabung dengan vena lienalis.
e. Drainase limfatik kolon dimulai dari lapisan muskularis mukosa à sistem
ekstramural pada sekitar arteri
f. Sistem saraf simpatis bekerja dengan menginhibisi peristaltik, sedangkan sistem saraf
parasimpatis bekerja berkebalikannya.

g. Rectum memiliki panjang sekitar 12-15 cm,

TT
B
B
197
144
h. Rectum berada pada daerah sacrum dan memiliki tiga lekukan yang tervisualisasi
sebagai valvula of Houston bila dilihat melalui endoskopi.
i. Vaskularisasi anorektum disuplai oleh a. rectalis superior, inferior, dan media.
Drainase vena daerah ini melalui v. rectalis superior, inferior, dan media.

III. Epidemiologi
a. Insidensi karsinoma kolon dan rectum di Indonesia cukup tinggi, demikian juga
angka kematiannya
b. Insidensi pria dibanding wanita sama di Indonesia, sedangkan di negara Barat 3:1
c. Lebih banyak ditemukan di negara Barat dan populasi perkotaan.
d. Insidensi pada usia tua, dengan puncak insidensi pada dekade ke-7

IV. Etiologi
a. Kanker kolorektal adalah proses penyakit multifaktorial
b. Faktor genetik, paparan lingkungan (termasuk diet), dan kondisi inflamasi
mempengaruhi perkembangan kanker kolorektal
c. Mutasi herediter gen APC yang menyebabkan familial adenomatous polyposis,
hamper 100% berisiko berkembang menjadi keganasan pada usia 40 tahun
d. Diet tinggi konsumsi daging merah, lemah hewani, rendah serat, dan rendahnya
konsumsi buah dan sayur turut berkontribusi.

TT
B
B
198
145
V. Patofisiologi
a. Perkembangan kanker kolorektal adalah proses yang bertahap meliputi perubahan
genetik dan fenotip struktur dan fungsi epitelium normal kolon
b. Hal ini menyebabkan disregulasi pertumbuhan sel, proliferasi, dan perkembangan
tumor.
c. Poin penting tumorgenesis kanker kolorektal meliputi instabilitas genomic, aktivasi
oncogene pathways, mutasi inaktivasi atau silencing tumor-suppressor genes, dan
aktivasi growth factor pathways.

VI. Manifestasi Klinis


a. Manifestasi klinis dari kanker kolorektal dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
onset tiba-tiba dari gejala kronis, obstruksi, dan perforasi dengan peritonitis lokal
atau difus.
b. Perdarahan adalah gejala yang sering timbul. Feces dapat berwarna hitam, merah
gelap, ungu tua, atau merah segar tergantung lokasi dari kanker.

TT
B
B
199
146
c. Perdarahan tersembunyi dapat bermanifestasi sebagai anemia defisiensi besi dan
kelemahan.
d. Perubahan pola defekasi, baik itu diare atau konstipasi. Konstipasi sering terjadi pada
kanker kolon kiri akibat diameter yang lebih kecil dan feces yang telah lebih
terbentuk. Kanker kolon kanan dapat bermanifestasi sebagai diare akibat mucus yang
disekresikan oleh kanker.
e. Kanker rectum memiliki gejala tenesmus. Bila disertai gejala nyeri pelvis, berarti
tumor kemungkinan sudah mengenai nervus ischiadica.
f. Gejala yang lebih jarang ditemukan yaitu penurunan berat badan, malaise, demam,
massa abdomen, gangguan sistem urinaria.

g. Lokasi tersering kanker kolorectal

TT
B
B
200
147
VII. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan fisik seringkali tidak bermakna, karena abdomen dapat terdistensi
sehingga massa primer atau metastasis sulit dinilai
b. Temuan klinis yang mendukung obstruksi usus besar dapat ditemukan seperti:
distensi, bunyi usus menurun atau bahkan menghilang, dan hipertimpani.
c. Pada pemeriksaan colok dubur, mungkin dapat ditemukan lendir darah

VIII. Pemeriksaan Penunjang


a. Fecal Occult Blood Testing (FOBT) adalah pemeriksaan penunjang pertama yang
dilakukan untuk skrining kanker kolorektal. Keuntungannya adalah ketersediaan,
kenyamanan, compliance, dan terjangkau. Kelemahannya adalah sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah.
b. Flexible sigmoidoscopy juga dapat dilakukan sebagai program screening. Prosedur
ini dapat memvisualisasikan kolon descenden bahkan hingga fleksura lienalis. Dapat
diulang tiap 5 tahun sekali
c. Double-contrast barium enema yang dikombinasikan dengan sigmoidoscopy dapat
memvisualisasikan keseluruhan kolon dan rectum.
d. Colonoscopy dilakukan pada pasien dengan neoplasma yang jinak setelah dilihat
dengan flexible sigmoidoscopy.
e. Carcinoembryonic antigen (CEA) adalah marker yang baik digunakan untuk
mendeteksi kekambuhan kanker. Pada pasien dengan riwayat kanker stadium II atau
III, perhitungan CEA dilakukan tiap 2-3 bulan dalam 2 tahun terakhir. Metode ini
mampu mendeteksi 80% kekambuhan

IX. Diagnosis banding


Kolon Kanan Kolon tengah Kolon kiri Rektum
Abses apendiks Tukak peptic Kolesistitis Colitis ulserosa Polip
Massa apendiks Abses hati Kelainan pankreas Polip Proktitis
Enteritis Karsinoma Kelainan saluran Diverticulitis Fisura anus
regionalis lambung empedu hemoroid
Amuboma Karsinoma hati Endometriosis Karsinoma anus

TT
B
B
201
148
X. Kriteria Diagnosis
a. Kanker kolorektal perlu dilakukan staging menurut dukes classification atau TNM
yang nantinya akan mempengaruhi tatalaksana selanjutnya.
b. Staging dapat dilakukan dengan pembedahan ataupun pemeriksaan penunjang

TT
B
B
202
149
XI. Komplikasi
a. Resiko operasi prosedur kolektomi tidak berbeda dari sebagian prosedur operasi
abdomen
b. Komplikasi postoperatif meliputi :
§ Infeksi luka operasi sebanyak § biopsi atau pengangkatan lesi suspect
5-10% kasus metastasis
§ Kebocoran anastomosis § postoperatif ileus
§ membutuhkan kolostomi § striktur anastomosis
§ cedera ureter § abses

XII. Tatalaksana
a. Operasi adalah terapi pilihan utama.
b. Manajemen preopratif meliputi pembersihan kolon dengan laksatif dan pemberian
antibiotik spectrum luas, contohnya generasi kedua cephalosporin.
c. Kanker daerah sekum atau kolon ascendens dilakukan hemikolektomi dekstra, untuk
mereseksi kolon yang divaskularisasi a. ileokolika, a. kolika dekstra, dan cabang
kanan a. kolika media.
d. Kanker daerah fleksura hepatica dilakukan hemikolektomi dekstra diperluas untuk
mereseksi kolon kanan dan proksimal kolon transversum yang divaskularisasi cabang
dari a. kolika media.
e. Kanker daerah kolon transversum tergantung lokasi pastinya, seringkali melibatkan
fleksura lienalis dan fleksura hepatica.
f. Kanker daerah fleksura lienalis dilakukan reseksi setengah distal kolon transversum
dan kolon descendens.
g. Kanker kolon sigmoid dilakukan reseksi kolon sigmoid. Dapat dilakukan perluasan
reseksi hingga pertemuan kolong descendens-sigmoid atau recto-sigmoid junction.
h. Kanker rectum yang berlokasi > 5cm kearah proksimal dari lubang anus dapat
dilakukan pendekatan anterior, meninggalkan anus dan sfingter pada tempatnya.
i. Kanker rectum yang berlokasi ≤ 5 cm dari anus atau kanker yang berukuran > 5 cm
perlu dilakukan reseksi abdominoperineal, karena reseksi pada daerah ini melibatkan
mekanisme sfingter ani.

TT
B
B
203
150
j. Reseksi abdominoperinal adalah menghilangkan seluruh rectum beserta vaskularisasi
dan asupan limfatik. Reseksi dilakukan hingga batas antara kolon desendens dan
kolon sigmoid, lalu dilanjutkan pembuatan kolostomi. Luka irisan di daerah perineum
lalu ditutup atau ditampon.
k. Kanker kolorektal stadium III atau stadium II dengan risiko tinggi memerlukan
kemoterapi adjuvant postoperatif.

XIII. Referensi
Jarrell, Bruce E. 2016. NMS : surgery casebook, 2nd edition. Wolters Kluwer.
Norton, Jeffrey A, et.all. 2003. Essential Practice of Surgery. Springer
https://basicmedicalkey.com/colorectal-cancer-2/
https://emedicine.medscape.com/article/277496-overview

TT
B
B
204
151
KOMPETENSI
STAPLED VS CONVENTIONAL
SURGERY FOR HEMORRHOIDS
Kontributor: Rizki Oktasari
1
I. Latar Belakang
a. Penyakit hemorrhoid adalah salah satu kelainan anorektal tersering.
b. Prevalensi laki-laki:perempuan sama, namun pria lebih cenderung mencari pengobatan.
prevalensi meningkat seiring bertambahnya usia.
c. Hemorrhoid interna terjadi akibat pembengkakan kronis dari plexus venosus submukosa
daerah anal canal dan berasal di atas linea dentata.

d. Klasifikasi hemorrhoid interna:


i. Grade I : tanpa prolaps
ii. Grade II : prolaps saat mengejan namun kembali secara spontan
iii. Grade III : prolaps dan membutuhkan reduksi manual
iv. Grade IV : prolaps dan tidak dapat dikembalikan

TT
B
B
302
152
e. Hemorrhoid eksterna istilah yg digunakan bila terjadi di bawah linea dentata.
f. Hemorrhoidektomi konvensional adalah eksisi bantalan hemorrhoid yang umumnya
dilakukan pada hemorrhoid grade III dan IV.
g. Operasi ini efektif namun insidensi komplikasi seperti retensi urin, perdarahan dan nyeri
hebat tinggi.
h. The Milligan-Morgan open hemorrhoidectomy adalah teknik yang paling sering
dipraktekan, dan dipertimbangkan sebagai “gold standard” manajemen operasi untuk
penyakit hemorrhoid.

i. Circular stapled hemorrhoidopexy pertama kali dikenalkan oleh Longo pada tahun 1998.
j. Teknik ini tidak membuang jaringan hemorrhoid namun membuat anastomosis mukosa-
mukosa dengan mengeksisi jaringan submukosa yang lebih proksimal dari linea dentata.

TT
B
B
303
153
k. Eksisi di atas linea dentate tidak menimbulkan sakit, karena di inervasi sistem saraf
visceralis.

l. Pada penelitian RCT sebelumnya, stapled hemorrhoidopexy lebih tidak nyeri, memiliki
masa pemulihan yang singkat, lebih baik diterima pasien, higher compliance, dan lebih
ekonomis dibanding metode tradisional. Hal ini berdampak pada peningkatan popularitas
yang pesat
m. Namun, penelitian ini masih tergolong singkat dan belum dapat menyimpulkan
superioritasnya terhadap metode konvensional. Dan juga terdapat beberapa laporan
adanya komplikasi serius seperti sepsis berat, obstruksi rectum, perforasi rectum, dan
dehisensi akibat teknik baru ini.
n. Maka dari itu, dibutuhkan penelitian yang lebih besar untuk menunjukkan luaran jangka
panjang antara stapled hemorrhoidopexy dibanding metode konvensional.

II. Tujuan
Mengetahui perbanding luaran metode penggunaan circular stapling devices dan teknik
eksisi konvensional sebagai tatalaksana operasi pada penyakit hemorrhoid simptomatis.

III. Kriteria
a. Studi RCT
b. Mengeksklusi studi yang membandingkan stapled hemorrhoidopexy dengan studi selain
teknik eksisi konvensional.

TT
B
B
304
154
c. Tahun publikasi di atas tahun 1998.
d. Pasien dewasa yang terdiagnosis semua jenis grade penyakit hemorrhoid
e. Primary outcomes: post-operative pain, post-operative recurrence of hemorrhoid
symptoms, need for repeat procedure/operations, long-term recurrence of hemorrhoids
and their symptoms.
f. Secondary outcomes : stricture/stenosis, re-operation, wound problems, return to normal
activities, length of hospital stay, prescence of external hemorrhoidal skin tags,
soiling/incontinence/difficulty with peri-anal hygiene and post-operative and long-term
complications.

IV. Metode
a. Artikel yang didapat kemudian ditelusuri lebih lanjut apakah memenuhi kriteria-kriteria
yang ditentukan oleh penulis yang independen.
b. Analisis statistik menggunakan perangkat lunak RevMan 4.2.7.

V. Hasil
a. Analisis dilakukan terhadap 12 studi yang terinklusi.
b. Follow-up dilakukan dengan berjarak sekitar 6-39 bulan, dengan median 7-14 bulan.
c. Pada pasien dengan riwayat operasi stapled hemorrhoidectomy, didapatkan hasil yang
signifikan mengenai lebih banyaknya keluhan perdarahan hemorrhoid, prolaps, fecal
urgency, skin tags, nyeri, kekambuhan hemorrhoid, dan anal stenosis dibandingkan
teknik eksisi konvensional pada seluruh periode waktu.
d. Sedangkan untuk luaran keluhan pruritus, soiling/incontinence/difficulty with hygiene,
dan dibutuhkannya operasi tambahan didapatkan hasil yang tidak signifikan.

VI. Diskusi
a. Meta analisis ini menunjukkan bahwa, stapled hemorrhoidopexy dikatikan dengan
tingginya kekambuhan hemorrhoid dan peningkatan gejala penyakit hemorrhoid pada
follow-up jangka panjang.

TT
B
B
305
155
b. Meta analisis sebelumnya (Nisar 2004) menunjukkan bahwa pasien memiliki luaran peri-
operatif yang lebih baik khususnya aspek nyeri dan jangka waktu yang dibutuhkan untuk
kembali beraktifitas normal dibandingkan teknik konvensional.
c. Pada review yang membandingkan metode konvensional dengan ruber-band ligation,
didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa metode konvensional dikaitkan dengan
kekambuhan gejala yang lebih rendah, secara signifikan membutuhkan tatalaksana ulang
yang lebih sedikit, dan effikasi metode konvensional yang lebih superior.
d. Kedua jenis teknik pada studi ini aman, hanya sedikit komplikasi yang pernah dilaporkan.
Bahkan, komplikasi serius pada kedua teknik ini sangat jarang ditemukan.

VII. Simpulan
a. Stapled hemorrhoidopexy berkaitan dengan risiko jangka panjang yang tinggi terhadap
kekambuhan penyakit hemorrhoid dan gejala prolaps dibandingkan teknik eksisi
konvensional.
b. Bila hal tersebut dijadikan luaran klinis yang paling penting, maka operasi eksisi
konvensional tetap dijadikan sebagai “gold standart” tatalaksana operasi pada hemorrhoid
interna.
c. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai preferensi pasien terdapat kelebihan dan
kekurangan masing-masing metode, tatalaksana rekurensi pada stapled hemorrhoidopexy,
dan luaran dari segi biaya dan kualitas hidup.

VIII. Referensi
S, Jayaraman; PHD, Colquhoun; RA, Malthaner, 2007. Stapled versus conventional surgery for
hemorrhoids (Review), Cochrane Database of Systematic Reviews.
https://newsnetwork.mayoclinic.org/discussion/home-remedies-relief-from-hemorrhoids/
https://www.semanticscholar.org/paper/Classical-treatment-of-hemorrhoids.-Moult-
Aubert/94e041ac9791759951590e080b85929dc61a708f/figure/0
https://www.indicure.com.ng/laparoscopic_surgery/stapled_hemorrhoidectomy_piles_surgery_in_ind
ia.htm

TT
B
B
306
156
KOMPETENSI
BILOMA
Kontributor: Gita Yolanda
1
I. Definisi
Biloma adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan terkumpulnya cairan empedu
yang diselubungi kapsul di dalam kavum abdomen, biasanya terbentuk sekunder
diakibatkan disrupsi dari traktus bilier. Namun dari sumber lain, biloma didefinisikan
sebagai kumpulan cairan empedu di luar traktus bilier dengan batas yang jelas (well
demarcated), baik dengan kapsul maupun tanpa kapsul.

Kasus pertama biloma dilaporkan oleh Gould dan Patel (1979), mereka melaporkan suatu
kasus dengan kebocoran cairan empedu (bile leakage) ekstrahepatik post trauma abdomen
kuadran kanan atas. Cairan empedu terakumulasi dan terbentuk kapsul.

Awalnya biloma diartikan sebagai koleksi cairan empedu ekstra hepatik, namun sekarang
istilah ini berkembang menjadi koleksi cairan empedu di luar traktus bilier, baik lokasinya
di intrahepatik maupun ekstrahepatik.

II. Anatomi
a. Hepar
1. Pada sisi kanan setinggi costa 7-11
2. Terbentang dari hypochondrium dextra, epigastrium dan hypochondrium sinistra
3. Penggantung hepar:
- Lig. coronarium lamina anterior & posterior – duplicatura peritoneum yang
menempelkan hepar ke diafragma
- Lig. triangularis dextra & sinistra – pertemuan kedua lamina lig. coronarium di
ujung dextra dan sinistra
- Appendix fibrosa hepatis – pemanjangan lig. triangularis sinistra sampai ke
diaphragma

TT
B
B
189
157
- Lig. falciforme – menghubungkan hepar ke dinding abdomen anterior

4. Facies diaphragmatica yang tidak ditutupi peritoneum visceral disebut area nuda.
Di sini terdapat sulcus venacava inferior
5. Facies visceralis yang tidak tertutup
oleh peritoneum visceral:
- Fossa vesica fellea
- Daerah porta hepatis – dilewati trias
porta: a. hepatica propria, v. porta
hepatica & ductus hepaticus
communis
6. Fissura sagitalis dextra dibentuk oleh
fossa vesica fellea & sulcus vena cava
inferior
7. Fissura sagitalis sinistra dibentuk oleh:
Fissura ligament teretis dan fissura
ligament venosi
8. Mempunyai 2 lobus anatomis : lobus
dextra & lobus sinistra
9. Mempunyai 2 lobus accessorius: lobus
caudatus dan lobus quadratus

TT
B
B
190
158
10. Pembagian lobus dexter & sinister:
- Anatomis
§ Anterior – lig. falciforme
§ Posterior – fissura sagitalis sinistra
- Fisiologis – berdasarkan vaskularisasi a. hepatica propria & v. porta hepatis
§ Anterior – Cantlie’s line, garis khayal yang ditarik dari v. cava inferior ke
fundus vesica fellea
§ Posterior – fissura sagitalis dextra

11. Segmen hepar:


- I – segmen posterior (caudatus)
- II – segmen lateral posterior sinistra
- III – segmen lateral anterior sinistra
- IV – segmen medial sinistra
- V – segmen medial anterior dextra
- VI – segmen lateral anterior dextra
- VII – segmen lateral posterior dextra
- VIII – segmen medial posterior dextra
12. Vaskularisasi – v. porta hepatica (75-80% darah) & a. hepatica propria (20-25%
darah)
13. Inervasi – plexus coeliacus (simpatis) & n. vagus (parasimpatis) yang berada di
plexus hepaticus

TT
B
B
191
159
14. Aliran limfatik:
Lnn. hepatici – sepanjang ductus & vasa hepatica pada omentum minus → lnn.
coeliaci → cisterna chyli (pelebaran pada ujung inferior ductus thoracicus setinggi
VL2) o Lnn. phrenici → lnn. mediastinalis posterior

b. Vesica fellea
1. Lokasi – fossa vesica fellea (lobus
quadratus)
2. Panjang – 7-10 cm
3. Fungsi – menyimpan & memekatkan
empedu
4. Bagian-bagian – fundus, corpus, collum
5. Proyeksi fundus di kartilago costa 9
dextra di linea midclavicularis

c. Ductus Biliaris
1. Ductus cysticus – tunica mukosanya
melipat menjadi plica spiralis/valvula
Heister
2. Ductus choledocus
3. M. sphincter Oddi tersusun atas m.
sphincter ductus choledocus, m.
sphincter ductus pancreaticus & m.
sphincter ampulla
4. Trigonum hepatocystica (Callot) dibatasi oleh ductus hepaticus communis, ductus
cysticus & facies visceralis hepar
5. Vaskularisasi – a. cystica (cabang a. hepatica dextra)
6. Inervasi:
- Simpatis – plexus coeliacus
- Parasimpatis – n. vagus yang bergabung di plexus coeliacus → kontraksi
vesica fellea & relaksasi m. sphincter Oddi, distimulasi CCK

TT
B
B
192
160
- Somatic afferent – n. phrenicus dextra
7. Aliran limfe – lnn. hepatici & lnn. cystic → lnn. coeliacus

III. Epidemiologi
a. Insidensi biliary injury setelah open cholecystectomy adalah 0,2-0,3% (Strasberg et al.
and Roslyn et al, 1995)
b. Lebih dari 124.000 laparascopic cholecystectomy yang dilporkan di literatur,
ditemukan 0,5% major bile duct injury (Strasberg et al.,1995)
c. Insidensi bile injury 2 kali lebih besar pada laparoscopic cholecystectomy
dibandingkan open cholecystectomy yang dilakukan atas indikasi kolesistitis akut

IV. Etiologi
a. Iatrogenik (merupakan penyebab tersering, seperti komplikasi operasi hepatobilier)
b. Trauma
c. Komplikasi koledokolitiasis
d. Komplikasi kolangiokarsinoma
e. Komplikasi kolesistitis akut
f. Komplikasi kanker pankreas

V. Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian biloma adalah sebagai berikut:
a. Kolangitis akut
b. Kolesistitis gangrenosa
c. Perforasi vesica felea
d. Sklero-atrofi vesica felea
e. Mirizzi’s syndrome
f. Neoplasma dan infeksi pada hepar
g. Fibrosis di Charcot’s triangle
h. Obesitas
i. Perdarahan lokal
j. Lemak di saluran porta

TT
B
B
193
161
VI. Patofisiologi

Disrupsi traktus bilier dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti sebelumnya telah
dijelaskan pada etiologi. Kebocoran cairan empedu keluar dari traktus bilier akan
menyebabkan inflamasi pada jaringan di kavum abdomen, karena sifat asam empedu
seperti deterjen dan memiliki aksi mengahancurkan jaringan. Tubuh akan berusaha
melokalisasi inflamasi degan cara membentuk kapsul, sehingga terbentuklah cairan
empedu yang terkumpul dengan kapsul tipis.

VII. Manifestasi Klinis


Anamnesis:
a. Benjolan di regio hipokondria
b. Nyeri perut
c. Nausea
d. Anoreksia
e. Jaundice
f. Demam

Pemeriksaan fisik
a. Slera ikterik, kulit jaundice
b. Benjolan di hipokondrium
c. Abdominal tenderness
d. Bile ascites : shifting dullness
e. Peritonitis akibat cairan empedu bebas di cavum peritoneum : muscle guarding, suara
peristaltik menurun atau hilang
f. Dapat muncul tanda-tanda sepsis

TT
B
B
194
162
VIII. Pemeriksaan Penunjang
a. Hematologi : leukositosis
b. Enzim liver : terjadi
peningkatan
c. Bilirubin : meningkat
d. USG : kumpulan cairan
berbatas tegas di fossa
vesica felea atau regio
perihepatik, pada
beberapa kasus dapat ditemukan cairan bebas di kavum peritoneal
e. CT scan : koleksi cairan berbats tegas di fossa vesica felea
f. MRCP (magnetic reonance cholangiopancreatography) à dapat menetukan asal
terjadinya kebocoran jika kebocoran cairan empedu masih aktif
g. Percutaneus aspiration guided by US or CT dengan hasil cairan empeduà
konfirmasi diagnosis
h. Definitive diagnosis: analisis kimiawi cairan à cairan empedu

IX. Komplikasi
a. Peritonitis
b. Kolangitis
c. Pancreatitis
d. Sepsis
e. Fistula ekstrabilier
f. Sirosis bilier sekunder

TT
B
B
195
163
X. Tatalaksana
a. Drainase adalah prinsip terapi dari biloma. Reabsorpsi spontan pada kumpulan cairan
empedu >4cm jarang terjadi.
b. Drainase perkutaneus dengan antibiotik intravena dapat digunakan jika biloma tidak
ada hubungannya dengan traktus bilier dan tidak ada striktur maupun batu di
proksimal traktusbilier
c. Endoscopic drainage, dapat dipertimbangkan jika lokasi ekstrahepatik (intrahepatik
lebih susah) ukuran <5 mm, obstruksi distal yang dapat diperbaiki dengan
spinchterectomy, dan tidak ada peritonnitis yang disebabkan oleh cairan empedu
ataupun abses intarabdominal

XI. Referensi
Stathopoulos, V., Georganas, M., Stratakis, K., Delaporta, E., Karallas, E. and
Koutsopoulos, K. (2014). Hepatic Subcapsular Biloma: A Rare Complication of
Laparoscopic Cholecystectomy. Case Reports in Surgery, 2014, pp.1-3.
Parshad, R., Kannan, U. and Regmi, S. (2009). An usual presentation of biloma five years
following cholecystectomy: a case report. Cases Journal, 2(0).
Walker, A., Shapiro, A., Brooks, D., Braver, J. and Tumeh, S. (1992). Bile duct
disruption and biloma after laparoscopic cholecystectomy: imaging
evaluation. American Journal of Roentgenology, 158(4), pp.785-789.

TT
B
B
196
164
KOMPETENSI
PEPTIC ULCER DISEASE
Kontributor: Bernadeta Fuad Paramita Rahayu
3A
I. Definisi
Ulkus peptikum merupakan defek fokal pada mukosa gaster atau duodenum yang meluas
hingga submokosa atau lebih dalam lagi.

II. Anatomi dan fisiologi gaster


Gaster merupakan bagian traktus gastrointestinal yang melebar di antara esophagus dan
intestinum tenue. Gaster memiliki fungsi untuk mencerna makanan secara enzimatik,
sebagai tempat mencampur dan penampungan makanan.

Besar, bentuk, dan lokasi dari gaster bervariasi. Gaster yang kosong memiliki ukuran
hanya sedikit lebih besar diameternya dibanding intestinum crassum. Namun, gaster ini
bisa membesar hingga mampu menampung 2-3 L makanan. Pada orang kurus sekali,
gaster bisa sampai terletak di pelvis dan lebih vertikal, sedangkan pada orang yang
gemuk, gaster akan relative terletak lebih atas dan lebih transversal. Posisi gaster pada
orang yang sama juga akan berubah seiring pernapasan karena gerakan diafragma. Pada
posisis supine, gaster terletak di regio hipochondrium sinistra, flank sinistra, sepigastrik
dan umbilicus.. Namun bila berdiri, gaster akan turun.

TT
B
B
250
165
Gaster memiliki 4 bagian:

a. Cardia
Merupakan bagian gaster di sekitar tempat pertemuan gaster dengan esophagus. Pada
posisi supine, ostium cardiacum terletak posterior costa 6 sinistra, 2-4 cm dari planum
mediana setinggi VT 11.
b. Fundus
Merupakan bagian superior gaster yang melebar, yang memiliki batas bawah berupa
planum horizontal dari ostium cardiacum. Incisura cardiac adalah suatu takik yang
terbentuk antara esophagus dan fundus gaster. Fundus dapat terdilatasi oleh udara,
cairan, ataupun makanan. Pada posisi supine, fundus biasanya terletak posterior dari
costa 6 di planum MCL.
c. Corpus
Merupakan bagian utama dari gaaster, antara fundus dengan antrum pyloricum.
d. Pylorus
Merupakan regio gaster yang memiliki bentuk “funnel-shaped”. Pylorus memiliki
bagian yang melebar (disebut sebagai antrum pyloricum), kemudian berlanjut sebagai
bagian yang lebih sempit (disebut sebagai canalis pyloricum).
Pada posisi supine, pars pylorus gaster terletak setinggi planum transpyloricum:
tengah-tengah antara incisura jugularis dan crista pubica. Planum ini memotong
cartilage costa 8 dan VL1. Bila berdiri, lokasinya bervariasi dari VL2 hingga VL4.

TT
B
B
251
166
Gaster memiliki 2 curvatura dan 2 omentum:
a. Curvatura minor dan Omentum minus
Membentuk batas kanan gaster yang konkaf. Pada bagian paling bawah curvature
minor terdapat incisura angularis, dimana takik tersebut merupakan batas antara
corpus dan pars pyloricum gaster.
b. Curvatura major dan Omentum majus
Membentuk batas kiri gaster yang konveks.

Vaskularisasi gaster berasal dari cabang trunkus coeliacus. Hampir seluruh vascularisasi
gaster di sekitar curvature minor berasal dari anastomosis a. gastrica dextra sinistra.
Sedangkan di sekitar curvature major, vascularisasinya sebagian besar dari anastomosis a.
gastroepiploica dextra dan sinistra.. Pada fundus dan corpus bagian superior,
vascularisasinya dari a. gastrica posterior dan brevis.

V. gaster berjalan parallel dengan arterinya. Vena gastrica sinistra dan dextra bermuara ke
v. porta hepatica, v. gastrica brevis dan v. gastroepiploica sinistra bermuara ke v. splenica,
yang bergabung dengan v. mesenterica superior untuk membentuk v. porta hepatica. V.
gastroepiploica dextra bermuara pada v. mesenterica superior.
Di bagian pylorus, terlihat jelas v. prepylorica yang biasanya digunakan dokter bedah untuk
identifikasi pylorus.
Drainase limfatik gaster parallel dengan
vaskularisasinya dan bermuara ke 4 zona
limfonodi:
a. Upper lesser curvature à superior
gastric group à left gastric and
paracardial nodes.

TT
B
B
252
167
b. Segmen antral curvature minor à Suprapyloric group of nodes drains the antral
segment à right suprapancreatic nodes.
c. Segmen superior curvature major à pancreaticolienal group of nodes drains lymph
high à left gastroepiploic and splenic nodes.
d. Segmen inferior curvature major à inferior gastric and subpyloric group of nodes

Inervasi gaster:

a. Parasimpatis
Inervasi parasimpatis gaster berasal dari n. Vagus. N. Vagus dextra akan menjadi n.
vagus posterior, sedangkan n. vagus sinistra akan menjadi n. vagus anterior.
N. vagus anterior di sekitar junctio gastro esophageal akan mempercabangkan hepatic
brach yang menuju hepar. Kemudian, n. vagus anterior akan berjalan di sepanjang
curvatura minor sebagai anterior nerve of latarjet, dimana nervus ini
mempercabangkan segmental branches yang menginervasi sel-sel parietal lambung
yang menghasilkan asam lambung. Anterior nerve of latarjet akan berakhir sebagai
crow’s foot di sekitar incisura angularis yang berfungsi untuk memberikan inervasi ke
regio antropyloric.
N. vagus posterior di dekat gastroesophageal juntion akan mempercabangkan celiac
branch yang menuju ganglion coeliacus, dan criminal nerve of Grassi yang menuju
fundus gaster. kemudian n. vagus posterior akan berjalan di sepanjang curvatura
minor bagiaan posterior sebagai posterior nerve of latarjet.

TT
B
B
253
168
b. Simpatis
Inervasi ekstrinsik simpatis berasal dari medula spinalis segmen T5-T10 melalui n.
spanchnicus yang menuju ganglion coeliacus. Di ganglion coeliacus, ia akan berganti
badan sel dan serabut saraf post sinapsnya akan berjalan di sepanjang vasa darah
untuk menginervasi gaster.

Faktor-faktor yang berperan dalam sekresi asam lambung:

Normalnya, sel-sel traktus gastrointestinal terproteksi dari aksi destruktif asam dan
pepsin. Lapisan mukosa dari organ-organ tersebut secara terus-menerus terlubrikasi oleh
sekresi mucus dan cairan alkali untuk mencegah autodigesti. Selain itu, penggantian sel
epitelnya juga cepat (rapid turnover) sehingga meminimalkan erosi. Mekanisme protektif
tersebut sangat penting ketika malam hari, dimana asam lambung tetap disekresikan pada
perut yang kosong. Apapun yang mengganggu faktor protektif dari barrier sel mucosa
berkontribusi pada terbentuknya ulkus.

TT
B
B
254
169
III. Etiologi dan pathogenesis

Pada pasien dengan infeksi H. pylori, terjadi peningkatan level gastrin resting dan meal-
stimulated, penurunan produksi mucus, serta penurunan sekresi bikarbonat mukosa
duodenum. Faktor-faktor tersebut memicu timbulnya ulkus.

TT
B
B
255
170
Konsumsi NSAID menimbulkan efek langsung erosi submukosa. Selain itu, dengan
inhibisi cyclooxygenase, NSAID menghambat pembentukan prostaglandin dan efek
protektif yang dimediasi cyclooxygenase 2 (yakni peningkatan proteksi mukosa gaster
dengan meningkatkan sekresi mucus dan bikarbonat, proliferasi sel epitel, serta
peningkatan aliran darah mukosa).

IV. Manifestasi klinis


Lebih dari 90% pasien dengan peptic ulcer disease datang dengan keluhan nyeri
abdomen. Nyeri yang terjadi biasanya non-radiating, seperti terbakar, dan berlokasi di
epigastrium.

Pada ulkus duodenum, nyeri biasanya membaik dengan makan dan antasida. Kemudian,
akan timbul nyeri kembali sekitar 2-3 jam setelah makan serta nyeri saat malam hari yang
dapat membangunkan pasien dari tidurnya.

Pada ulkus gaster, nyeri biasanya timbul saat makan, jarang menyebabkan pasien bangun
di malam hari karena nyeri. Adanya nyeri ketika makan dapat menyebabkan pasien takut
untuk makan sehingga dapat ditemukan penurunan berat badan.

TT
B
B
256
171
Riwayat menderita ulkus peptikum sebelumnya, penggunaan NSAID, antasida atau obat-
obat antisekretori dapat mengarahkan ke diagnosis.

Tanda dan gejala lain yang dapat ditemukan:


- Mual
- Bloating
- Penurunan berat badan
- Anemia
- Adanya darah samar pada feses

V. Klasifikasi ulkus gaster


Modified Johnson classification
I. Lesser curve, incisura.
II. Body of stomach, incisura + duodenal
ulcer (active or healed).
III. Prepyloric.
IV. High on lesser curve, near
gastroesophageal junction.
V. Medication-induced
(NSAID/acetylsalicylic acid), anywhere
in stomach.

Ulkus tipe II dan III berkaitan dengan hipersekresi asam lambung, sedangkan tipe I dan
IV lebih hiposekresi.

TT
B
B
257
172
VI. Algoritme penanganan peptic ulcer disease

TT
B
B
258
173
VIII. Pilihan terapi pada ulkus pepticum

IX. Komplikasi
a. Perdarahan
Perdarahan banyak menyebabkan kematian dan merupakan indikasi tersering
dilakukan tindakan bedah.
Presentasi klinis: hematemesis, melena, mudah lelah karena anemia, orthostasis,
pingsan
1. Penanganannya bergantung apakah pasien tersebut stabil atau tidak.
- Pasien stabil: hentikan penggunaan obat-obatan ulcerogenik, berikan PPI
intravena, lakukan esophagogastroduodenoscopy (EGD) untuk mendeteksi

TT
B
B
259
174
karakteristik-karakteristik yang menunjukkan tingginya tingkat risiko
perdarahan (ulkus >1cm, vasa darah yang terlihat dan mengalami perdarahan
aktif).
- Pasien tidak stabil: resusitasi dengan cairan (dengan atau tanpa darah),
kemudian lakukan EGD segera dan koagulasi lokasi perdarahan melalui ligase
endoskopi; peletakan hemoclips; injeksi epinephrine, alkohol, aau sclerosant;
atau kombinasi metode-metode diatas.
2. Lakukan pemeriksaan untuk H. pylori dan obati infeksi tersebut bila hasil positif.
3. Bila masih diperlukan penggunaan aspirin atau NSAID, pertimbangkan tambahan
pemberian misoprostol atau PPI.
4. Pasien dengan ulkus gaster yang tidak kunjung sembuh harus dibiopsi untuk
menyingkirkan kanker.
5. Embolisasi angiographic dari bleeding vessel atau tindakan pembedahan
diindikasikan bila tanda vital pasien atau pemeriksaan lab menunjukkan
perdarahan berlanjut atau recurrent.

b. Perforasi
Perforasi biasanya melibatkan dinding anterior duodenum (60%), meskipun juga
dapat terajadi di antral (20%) dan curvature minor (20%)

Perforasi menyebabkan terjadinya peritonitis bacterial dan chemical, yang merupakan


kegawatan bedah. Peritonitis karena perforasi ulkus ini menimbulkan gejala nyeri
abdomen atas yang mendadak, cepat menyebar, intensitas tinggi, dan diperberat
dengan gerakan. Nyeri dapat menyebar ke abdomen bagian bawah dan/atau ke bahu.
Adanya demam, hipotensi, dan oligouria menandakan adanya sepsis dan kegagalan
sirkulasi.

Tenderness abdomen generalisata, rebound tenderness, rigiditas abdomen, dan suara


peristaltik hipoaktif (tanda peritonitis) dapat samar pada elderly, pengguna steroid,
immunosuppressant, atau analgesic narkotik

TT
B
B
260
175
Temuan pemeriksaan imaging pada perforasi ulkus pepticum: X-ray abdomen erect
atau lateral decubitus, atau X-ray dada erect dapat memperlihatkan
pneumoperitoneum. Meski demikian, tidak adanya temuan tersebut tidak
menyingkirkan kemungkinan adanya perforasi. USG, CT, dan gastroduodenography
lebih dapat memastikan adanya perforasi.

Penanganan pasien dengan perforasi ulkus pepticum:


1. Resusitasi awal dengan crystalloid volume tinggi, nasogastric suction, dan
pemberian antibiotic broad-spectrum intravena (untuk bakteri batang gram
negatif, bakteri anaerob, dan flora oral)
2. Laparotomy, penggunaan omental patch (graham patch plication) pada pasien
dengan ulkus duodenum yang mengalami perforasi.
3. Pada pasien sehat dengan riwayat ulkus kronis dan kontaminasi peritoneum
minimal, dapat dipertimbangkan dilakukannya prosedur anti-ulkus definitive
(seperti vagotomi-drainase, high selective vagotomy)
4. Ulkus gaster yang perforasi diterapi dengan omental patch, wedge resection ulkus,
atau gastrectomy parsial dengan reanastomosis.
5. Adanya infeksi H.pulori harus dieradikasi untuk mengurangi rekurensi dan
meminimalkan kebutuhan terapi antisecretory serta intervensi bedah di kemudian
hari.

c. Obstruksi
Pada pasien dengan ulkus duodenum recurrent atau ulkus canalis pyloricum dapat
terjadi stenosis pylorus sebagai akibat dari inflammasi akut, spasme, edema, scarring,
dan fibrosis.

Gejala yang menunjukkan adanya obstruksi meliputi: muntah berkali-kali dengan


muntahan berupa makanan yang belum terdigesti, bloating atau rasa penuh setelah
makan yang persisten, serta mudah kenyang. Adanya penurunan berat badam,
dehidrasi, alkalosis hipokloremik-hipokalemik juga dapat terjadi. Adanya tympanitic

TT
B
B
261
176
epigastric mass merepresentasikan gaster yang terdilatasi dengan peristaltic gaster
yang dapat terlihat.

EGD atau gastroduodenography (dengan diatrizoate meglumine dan diatrizonate


sodium atau barium) direkomendasikan untuk melihat lokasi, penyebab, dan derajat
obstruksi. Kemungkinan adanya keganasan (penyebab lebih umum untuk obstruksi:
50% kasus) harus disingkirkan.

Obstruksi karena inflammasi akut atau edema berespon baik dengan dekompresi
NGT, pemberian H2RA atau PPI, serta eradikasi H. pylori. Pemberian agen-agen
prokinetik harus dihindari.

Endoscopic pyloric balloon dilatation atau tindakan bedah (vagotomy dan


pyloropasty, antrectomy, atau gastroenterostomy) merupakan pilihan untuk
meredakan obstruksi kronis.

X. Pembedahan
Indikasi tindakan bedah:
a. Intoleransi terhadap medikasi
atau tidak patuh terhadap
regimen medikasi
b. Pasien memiliki risiko
komplikasi tinggi (contoh:
resipien transplant, pasien
dengan ketergantungan steroid
atau NSAID, dengan ulkus gaster
atau duodenum yang besar, serta
ulkus yang gagal sembuh dengan
terapi yang adekuat).
c. Pasien relaps saat terapi maintenance
d. Pasien yang telah mendapatkan medikasi multiple

TT
B
B
262
177
XI. Referensi
Brunicardi FC. 2015. Schwartz’s Principles of Surgery 10th Ed. New York: Mc Graw Hill
Education
Moore, Keith L. 2010. Clinically Oriented Anatomy. Baltimore: Williams & Wilkins.
Ramakrishnan K, Salinas RC. Peptic ulcer disease. American family physician. 2007 Oct
1;76(7).

TT
B
B
263
178
KOMPETENSI
PERFORASI GASTROINTESTINAL
Kontributor: Afdhal Yuli Firlando
3B
I. Pendahuluan
Perforasi usus bagian atas dapat digambarkan sebagai perforasi bebas atau terkandung.
Perforasi bebas terjadi ketika isi usus memasuki cavum peritoneum, yang akan
menyebabkan peritonitis difus (misalnya, perforasi duodenum atau lambung). Perforasi
terselubung terjad ketika terbentuk lubang pada dinding organ yang timbul karena adanya
ulserasi namun tumpahan dapat dicegah karna adanya dinding dari organ yang bersebelahan
(seperti yang terjadi, misalnya, ketika ulkus duodenum menembus ke dalam pankreas).
Perforasi usus halus (misalnya, pada pasien dengan diverticulitis akut atau apendisitis akut)
mengakibatkan kontaminasi ke cavum intraperitoneal. Lau dan Leow telah menemukan
perforasi akibat ulkus peptikum pada tahun 1799, tetapi manajemen pembedahan ulkus
lambung yang pertama berhasil adalah oleh Ludwig Heusner di Jerman pada tahun 1892.
Pada tahun 1894, Henry Percy Dean dari London adalah ahli bedah pertama yang
melaporkan operasi perbaikan yang berhasil dari perforasi akibat ulkus duodenum.

II. Definisi
Perforasi gastrointestinal adalah suatu kejadian dimana terjadi kebocoran pada dinding
saluran gastrointestinal. Perforasi bisa terjadi di sepanjang esophagus hingga rectum.

III. Epidemiologi
Pada anak-anak, cedera usus halus akibat trauma tumpul abdomen jarang terjadi, dengan
kejadian 1-7%. Namun bukti menunjukkan bahwa, kejadian cedera ini semakin meningkat.
Pada orang dewasa, perforasi penyakit ulkus peptikum adalah penyebab umum morbiditas
dan mortalitas pada kasus akut abdomen hingga paruh kedua abad ke-20. Angka ini telah
turun secara paralel dengan penurunan umum dalam prevalensi penyakit ulkus peptikum.
Perforasi ulkus duodenum 2-3 kali lebih sering daripada perforasi ulkus lambung. Sekitar

TT
B
B
264
179
sepertiga perforasi lambung merupakan akibat karsinoma lambung. Pada pasien usia lanjut,
apendisitis akut memiliki mortalitas 35% dan morbiditas 50%. Faktor utama yang
berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas pada pasien ini adalah adanya 1 atau lebih
kondisi medis berat yang terjadi bersamaan. Cedera usus terkait endoskopi bukan penyebab
tersering perforasi. Misalnya, perforasi yang berkaitan dengan ERCP terjad hanya sekitar
1% pasien.

IV. Etiologi
Penyebab perforasi gastrointestinal adalah sebagai berikut:
a. Trauma benda tajam pada dada bagian bawah atau perut (misalnya, akibat luka pisau) -
Dalam kasus trauma penetrasi, usus halus adalah organ intra-abdomen yang paling
sering mengalami cidera, karena melilit di perut dan menempati sebagian besar rongga
abdomen; Selain itu, usus halus melekat pada mesenterium dan sangat mobile.
b. Trauma tumpul abdomen - Cedera seperti itu lebih sering terjadi pada anak-anak dari
pada orang dewasa dan termasuk trauma yang berhubungan dengan kecelakaan
kendaraan bermotor, cedera stang sepeda, dan cidera sabuk pengaman.
c. Mengonsumsi aspirin, obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), dan steroid - Perforasi
usus dari penyebab seperti itu terutama terjadi pada pasien usia lanjut; meresepkan
NSAID kepada pasien dengan penyakit divertikular akan meningkatkan risiko perforasi
kolon.
d. Adanya faktor predisposisi - Faktor predisposisi seperti penyakit ulkus peptikum,
apendisitis akut, diverticulitis akut, divertikulum Meckel yang meradang, dan
apendisitis akutmerupakan salah satu penyebab umum perforasi usus pada pasien usia
lanjut dan berhubungan dengan luaran yang relatif buruk
e. Perforasi usus terkait dengan endoskopi - Perforasi dapat terjadi pada saat melakukan
kolangiopankreatografi endoskopik retrograd (ERCP) dan kolonoskopi
f. Stent Endoskopi bilier - Dislokasi dan migrasi stent bilier ke usus dapat menyebabkan
perforasi usus
g. Perforasi usus akibat komplikasi laparoskopi - Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
pasien untuk terjadi komplikasi ini adalah obesitas, kehamilan, peradangan usus akut
dan kronis, dan obstruksi usus.

TT
B
B
265
180
h. Infeksi bakteri - Infeksi bakteri (misalnya, demam tifoid) bisa menyebabkan perforasi
usus pada sekitar 5% pasien; perforasi pada pasien ini dapat terjadi secara tidak terduga
setelah kondisi mereka mulai membaik
i. Inflammatory Bowel Disease - Perforasi usus dapat terjadi pada pasien dengan kolitis
ulseratif akut, dan perforasi terminal ileum dapat terjadi pada pasien dengan penyakit
Crohn (CD); gen SLCO3A1 telah terbukti memediasi proses inflamasi pada sel epitel
usus dan meningkatkan insiden perforasi usus pada pasien CD
j. Perforasi sekunder hingga iskemia usus (misalnya, kolitis iskemik)
k. Perforasi usus akibat keganasan intra-abdomen, limfoma, atau METASTASIS
karsinoma ginjal - Bahkan tumor jinak, seperti tumor desmoid (misalnya, yang berasal
dari jaringan fibrosa mesenterium), dapat menyebabkan perforasi usus.
l. Radioterapi karsinoma serviks dan keganasan intra-abdomen lainnya - Ini berhubungan
dengan komplikasi lanjut, termasuk obstruksi usus dan perforasi usus
m. Necrotizing vasculitis - Granulomatosis Wegener yang mempengaruhi organ viscera,
meskipun jarang, dapat menyebabkan ulserasi usus dan perforasi
n. Transplantasi ginjal - Setelah transplantasi ginjal, perforasi gastrointestinal (GI) dapat
terjadi sebagai komplikasi; dalam kasus ini, perforasi biasanya berhubungan dengan
penggunaan dosis tinggi obat imunosupresif, pengobatan yang digunakan pada periode
awal pasca operasi.
o. Tertelan zat kaustik - Sengaja atau tidak disengaja mengkonsumsi zat kaustik dapat
menyebabkan perforasi usus akut dan peritonitis; perforasi yang tertunda dapat terjadi
hingga 4 hari setelah terpapar asam
p. Benda asing (misalnya tusuk gigi) - Ini dapat menyebabkan perforasi esofagus,
lambung, atau usus kecil, dengan infeksi intra-abdomen, peritonitis, dan sepsis.

V. Patofisiologi
Biasanya gaster relatif lebih bebas dari bakteri dan mikroorganisme lainnya karena
keasaaman intra-luminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma perut
memiliki fungsi lambung yang normal dan tidak berisiko terkontaminasi bakteri pasca
perforasi pada gaster. Namun bagi beberapa orang yang sudah memiliki masalah pada gaster
akan berisiko terkontaminasi di cavum peritoneal akibat perforasi tersebut.

TT
B
B
266
181
Kebocoran sari asam lambung ke dalam rongga peritoneum sering menghasilkan peritonitis
kimia yang mendalam. Jika kebocoran tidak tertutup dan partikel makanan mencapai rongga
peritoneum, peritonitis kimia digantikan oleh perkembangan peritonitis bakteri secara
bertahap. Pasien mungkin bebas dari gejala selama beberapa jam antara peritonitis kimia
awal dan kemudian terjadinya peritonitis bakterial. Mikrobiologi usus halus berubah dari
bagian proksimal ke bagian distalnya. Beberapa bakteri mengisi bagian proksimal dari usus
halus, sedangkan bagian distal dari usus halus (jejunum dan ileum) mengandung organisme
aerobik (misalnya, Escherichia coli) dan persentase yang lebih tinggi yakni dari organisme
anaerob (misalnya, Bacteroides fragilis). Dengan demikian, kemungkinan infeksi intra-
abdomen akan meningkat pada perforasi usus distal.

Kehadiran bakteri di rongga peritoneum merangsang masuknya sel-sel inflamasi akut.


Omentum dan lapisan viscera cenderung melokalisasi tempat peradangan, menghasilkan
phlegmon. (Ini biasanya terjadi pada perforasi usus besar.) Hipoksia yang dihasilkan di
daerah tersebut memfasilitasi pertumbuhan anaerob dan menghasilkan gangguan aktivitas
bakterisida sel granulosit, yang menyebabkan peningkatan aktivitas fagositik granulosit,
degradasi sel, hipertonisitas cairan membentuk abses, pergeseran lebih banyak cairan ke
area abses, dan pembesaran abses. Jika tidak diobati, bakteremia, sepsis, kegagalan
multiorgan, dan syok dapat terjadi.

VI. Prognosis
Luaran sangat dipengaruhi oleh diagnosis dan terapi yang adekuat. Bebrapa faktor yang
berisiko meningkatkan kematian adalah sebagai berikut:
a. Usia lanjut
b. Adanya penyakit lain yang menyertai
c. Malnutrisi
d. Penyebab utama yang mengakibatkan perforasi
e. Adanya komplikasi

VII. Diagnosis
a. Anamnesis

TT
B
B
267
182
1. Riwayat medis yang cermat sering menunjukkan sumber masalah, yang kemudian
dikonfirmasi oleh pemeriksaan klinis dan temuan penelitian radiologis. Etiologi yang
mungkin termasuk yang berikut:
- Trauma benda tajam atau trauma tumpul ke dada bagian bawah atau perut
- Aspirin, obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), atau asupan steroid, terutama
pada pasien usia lanjut
- Pengobatan untuk penyakit ulkus peptikum atau kolitis ulserativa; perforasi
karena kolitis ulseratif akut (biasanya diidentifikasi oleh riwayat penyakit primer
dan hasil dari pemeriksaan sebelumnya)
- Sakit perut
- Muntah – hal ini dapat terjadi, meskipun jarang, pada pasien dengan ulkus
perforasi; dapat ditemukan muntah, namun lebih sering ditemukan pada pasien
dengan kolesistitis akut; pada pasien dengan radang usus buntu, nyeri hampir
selalu mendahului muntah 3-4 jam sebelumnya, sedangkan kebalikannya pada
gastroenteritis.
- Cegukan - Ini adalah gejala umum pada pasien dengan ulkus peptikum perforasi
- Riwayat bepergian ke atau yang berada di daerah tropis, dengan gejala yang
menunjukkan demam tifoid (misalnya demam, sakit perut, distensi abdomen,
konstipasi, muntah)
b. Riwayat prosedur endoskopi, seperti kolonoskopi
c. Riwayat penyakit kronis, seperti kolitis ulserativa
d. Berkenaan dengan sakit perut, penting untuk menanyakan pasien tentang waktu onset
rasa sakit, durasi dan lokasi nyeri, karakteristik nyeri, factor memperingan dan faktor
yang memberatkan, dan gejala lain yang terkait dengan nyeri perut.
e. Nyeri epigastrik onset yang tajam, berat, dan tiba-tiba yang membuat pasien tidak bisa
tidur sering menunjukkan ulkus peptikum berlubang. Bedakan ini dari kondisi seperti
kolesistitis dan pankreatitis. Perforasi tanpa nyeri pada ulkus peptik dapat terjadi akibat
penggunaan steroid. Adanya nyeri bahu menunjukkan keterlibatan peritoneum parietal
dari diafragma.
f. Pada pasien usia lanjut, pertimbangkan kemungkinan perforasi diverticulitis atau
apendisitis akut yang pecah jika nyeri terletak di perut bagian bawah. Sekitar 30-40%

TT
B
B
268
183
pasien usia lanjut dengan apendisitis akut muncul lebih dari 48 jam setelah timbulnya
nyeri perut. (Presentasi tertunda biasanya dikaitkan dengan peningkatan risiko
perforasi.) Pasien lansia mungkin mengalami nyeri yang minimal.
g. Pada dewasa muda dengan nyeri di kuadran perut bagian bawah, pertimbangkan
apendisitis perforasi sebagai diagnosis yang mungkin. Nyeri biasanya terlokalisir di
kuadran kanan bawah perut, kecuali proses penyakit telah berkembang menjadi
peritonitis umum. Pada wanita muda, juga mempertimbangkan rupture kista ovarii dan
rupture abses tubo-ovarium dalam diagnosis banding.
h. Pemeriksaan Fisik
1. Menilai penampilan umum pasien, mengukur tanda-tanda vital, dan menilai
perubahan hemodinamik. (Lakukan pengukuran tekanan nadi dan tekanan darah
dengan pasien berbaring di tempat tidur dan duduk, dan catat setiap perubahan
postural)
2. Periksa perut untuk tanda-tanda cedera eksternal, abrasi, dan / atau ecchymosis.
Amati pola pernafasan pasien dan gerakan perut dengan pernapasan, dan catat
adanya distensi abdomen atau perubahan warna. (Pada penyakit perforasi ulkus
peptikum, pasien berbaring tidak bergerak, kadang-kadang dengan lutut tertekuk,
dan perut digambarkan seperti papan.)
3. Hati-hati keika palpasi seluruh perut, catat jika ada kecurigaan massa atau nyeri
tekan. Takikardia, demam, dan nyeri tekan menyeluruh dapat menunjukkan adanya
peritonitis. Distensi abdomen dapat menunjukkan perdarahan intra-abdomen.
Ketegangan pada perkusi dapat menunjukkan peradangan peritoneum. Bunyi usus
biasanya tidak ada pada peritonitis umum.
i. Pemeriksaan penunjang
1. Hitung darah lengkap (CBC) dapat melihat kecurigaan infeksi (misalnya,
leukositosis), meskipun leukositosis mungkin tidak ada pada pasien usia lanjut.
Peningkatan volume sel darah menunjukkan pergeseran cairan intravaskular. Kultur
darah untuk organisme aerobik dan anaerobik diindikasikan. Temuan dari fungsi hati
dan tes fungsi ginjal mungkin dalam rentang referensi normal jika tidak ada
gangguan hepar yang sudah ada sebelumnya.

TT
B
B
269
184
2. Foto polos abdomen adalah langkah pertama yang paling umum dalam evaluasi
pencitraan diagnostik pasien yang datang dengan riwayat medis dan / atau tanda-
tanda klinis yang menunjukkan perforasi usus. Temuan yang menunjukkan perforasi
meliputi hal-hal berikut:
- Udara bebas yang terjebak di lokasi subdiaphragmatik - Jika kuantitas udara
bebas cukup besar, kehadirannya dapat divisualisasikan pada radiografi,
memungkinkan untu melihat lebih jelas dari permukaan dalam dan luar dinding
usus
- Tampak Ligamentum falciformis - Ligamen mungkin muncul sebagai struktur
oblique yang memanjang dari kuadran kanan atas menuju umbilikus, terutama
ketika sejumlah besar gas hadir di kedua sisi ligamen.
- Air fluid level - Ini ditunjukkan oleh adanya hidropneumoperitoneum atau
pyopneumoperitoneum pada radiografi abdomen
3. USG
- Kumpulan udara yang terkait dengan perforasi usus dapat terdeteksi, terutama
jika dikaitkan dengan kelainan ultrasonografi lainnya (misalnya, loop usus yang
menebal). Tempat perforasi usus dapat dideteksi dengan ultrasonografi
(misalnya perforasi gastric vs duodenal, perforasi usus buntu vs diverticulitis
berlubang). Ultrasonogram perut juga dapat memberikan evaluasi cepat hati,
limpa, pankreas, ginjal, ovarium, adrenal, dan rahim.
4. CT-Scan
- Computed tomography (CT) dari perut dapat menjadi alat investigasi yang
berharga, memberikan informasi morfologi diferensial tidak dapat diperoleh
dengan radiografi polos atau ultrasonografi.
- CT scan dapat memberikan bukti perforasi lokal (misalnya, perforasi ulkus
duodenum) dengan kebocoran di area kandung empedu dan sayap kanan dengan
atau tanpa udara bebas yang tampak. Mereka mungkin menunjukkan perubahan
inflamasi pada jaringan lunak perikolonik dan abses fokal karena diverticulitis
(bisa serupa dengan tampakan perforasi karsinoma kolon). CT scan tidak dapat
memberikan bukti radiografi definitive perforasi diverticulum meckel.

TT
B
B
270
185
VIII. Diagnosis Banding
a. Kolesistitis Akut dan Kolik Biliar i. Inflammatory Bowel Disease
b. Gastritis Akut j. Operasi Divertikulum Meckel
c. Pankreatitis akut k. Torsi Ovarium
d. Radang usus buntu l. Penyakit radang panggul
e. Konstipasi m. Penyakit ulkus peptikum
f. Penyakit Crohn n. Diverticulosis usus halus
g. Endometriosis o. Demam tifoid
h. Gangguan Tuba Fallopian p. Kolitis Ulseratif

IX. Tatalaksana
Tatalaksana awal pada kasus perforasi gastrointestinal adalah operasi. Penanganan gawat
darurat yang harus dilakukan yakni:
a. Pemasangan jalur intravena dan pemberian kristaloid jika ada tanda klinis dehidrasi
atau septicemia
b. Jangan memberikan apapun melalui mulut
c. Mulai pemberian antibiotic IV pada pasien dengan hasil lab darah mengarah infeksi:
antibiotic yang diberikan adalah yang peka terhadap bakteri aerob maupun anaerob:
tujuan pemberian antibiotic untuk meeradikasi infeksi dan mengurangi komplikasi
postoperative

X. Referensi
Lau WY, Leow CK. History of perforated duodenal and gastric ulcers. World J Surg. 1997
Oct. 21(8):890-6.
Sarath Chandra S, Kumar SS. Definitive or conservative surgery for perforated gastric
ulcers?- An unresolved problem. Int J Surg 2009 Apr. 7(2):136-9.
Goh H, Bourne R. Non-steroidal anti-inflammatory drugs and perforated diverticular
disease: a case control study. 2002 Mar 70(8): 593-6
Lee JF, Leow CK, Lau WY. Appendicitis in the eldery. Aust N Z J surg. 2000 Aust N Z J
Surg. 2000 Aug. 70(8): 593-6
Stapfer M, Selby RR, Stain SC, et al. Management of duodenal perforation after endoscopic

TT
B
B
271
186
retrograde aholangiopancreatography and sphinecterotomy. Ann Surg 2002 Aug.
232(2): 191-8.
Anderson ML, Pasha TM, Leighton JA, et al. Surgical management and outcome of
colonoscopic perforations from a single institution. Arc Surg. 2008 Jul. 143(7): 701-6.
Iqbal CW, Cullinane DC, Schiller HJ, et al. Surgical management and outcomes of 165
colonoscopic perforations from a single institution. 2008 Jul. 143(7)

TT
B
B
272
187
KOMPETENSI
PERITONITIS
Kontributor: Bernadeta Fuad Paramita Rahayu
3B
I. Definisi
Peritonitis merupakan inflammasi pada peritoneum, yang tidak selalu disebabkan oleh
infeksi.

II. Anatomi dan fisiologi peritoneum

Peritoneum merupakan membrane serosa yang melapisi cavitas abdominopelvis dan


viscera. Peritoneum terdiri dari 2 lapisan yang berhubungan:
a. Parietal peritoneum: yang melapisi permukaan interna dinding abdominopelvis
Vascularisasi, inervasi, dan aliran limfatiknya mengikuti dinding abdomen yang
dilapisinya. Parietal peritoneum sensitive terhadap tekanan, nyeri, suhu, dan laserasi.
Nyeri dari peritoneum parietal biasanya terlokalisasi dengan baik, kecuali pada
permukaan inferior bagian central diafragma, dimana inervasinya diberikan oleh n.
phrenicus, dan iritasi disana akan dibawa ke dermatom C3-C5 ke bahu.
b. Visceral peritoneum: yang melapisi viscera seperti gaster atau intestinum.

TT
B
B
273
188
Vascularisasi, inervasi, dan aliran limfatiknya sama dengan organ yang dilapisinya.
Visceral peritoneum tidak sensitive terhadap sentuhan, suhu, dan laserasi, namun
peka terhadap regangan dan iritasi kimia. Nyeri dari peritoneum visceral sulit
terlokalisasi, dan akan direfer ke dermatom ganglion spinalis yang memberikan
serabut sensoris, terutama ke bagian tengah dari dermatom tersebut.
Nyeri dari foregut à epigastric
Nyeri dari midgut à umbilical
Nyeri dari hindgut à hypogastric

Baik peritoneum parietal dan visceral terbentuk dari mesothelium yang merupakan
epitelium simple squamosum.

Cavitas peritoneum merupakan ruangan diantara peritoneum visceral dan parietal.


Cavitas peritoneum terisi oleh cairan peritoneum yang terdiri dari air, elektrolit, dan
substansi lain dari cairan interstitial jaringan sekitarnya. Cairan peritoneum melubrikasi
permukaan peritoneum, sehingga memfasilitasi viscera untuk dapat bergerak.

TT
B
B
274
189
Mesenterium merupakan 2 lapis peritoneum yang terbentuk akibat adanya invaginsi
peritoneum oleh organ abdomen. Mesenterium menghubungkan organ intraperitoneal ke
dinding abdomen posterior. Mesenterium dari intestinum tenue disebut “mesenterium” itu
sendiri, namun mesenterium organ lainnya disebut sesuai nama organ tersebut. (misalnya:
mesocolon, mesogastrium, mesoappendix)

Omentum merupkan pelebaran atau lipatan peritoneum yang berjalan dari gaster dan
duodenum proximal ke organ sekitarnya.
a. Omentum majus merupakan 4 lapis
lipatan peritoneum yang
menggantung ke bawah seperti apron
dari curvature major gaster dan
bagian proximal duodenum. Setelah
turun, ia melipat naik dan menempel
pada permukaan anterior colon
transversum.
b. Omentum minus merupakan 2 lapis
lipatan peritoneum yang menghubungkan curvature minor gaster dan bagian proximal
duodenum ke hepar. Ia juga menghubungkan gaster dengan trias porta yang berjalan
diantara duodenum dan hepar pada ujung bebas omentum minus.

TT
B
B
275
190
Peritoneal ligament terdiri dari 2 lapisan peritoneum yang menghubungkan suatu organ
dengan organ lain dalam cavum abdomen.
a. Hepar dihubungkan dengan:
1. Dinding anterior abdomen oleh lig. falciform
2. Gaster oleh lig. hepatogastric, bagian membranosa omentum minus.
3. Duodenum oleh lig. hepatoduodenal, bagian yang menebal pada tepi bebas
omentum minus, yang menjadi tempat berjalannya trias porta: v. porta, a. hepatica
propria, dan ductus choledocus
b. Gaster dihubungkan dengan:
1. Bagian inferior diafragma oleh lig. gastrophrenica.
2. Spleen oleh lig. gastrosplenic,
3. Colon transversum oleh lig. gastrocolic

Meskipun organ intraperitoneal hampir seluruh permukaannya dilapisi dengan


peritoneum visceral, tiap organ tetap memiliki area yang tidak dilapisi peritoneum
tersebut sebagai tempat keluar masuknya struktur neurovascular. Area tersebut disebut
bare areas.

TT
B
B
276
191
Setelah terjadinya rotasi gaster, caivitas peritoneum terbagi menjadi cavitas peritoneum
major dan cavitas peritoneum minor.
a. Cavitas peritoneum major: merupakan bagian utama dari cavitas peritoneum. Incisi
melalui dinding abdomen anterolateral akan masuk ke cavitas peritoneum major.
b. Cavitas peritoneum minor (bursa omentalis): terletak di posterior gaster dan
omentum minus.
Relevansi klinisnya untuk diagnosis peritonitis sekunder: perforasi ke bursa omentalis,
seperti pada ulkus dinding posterior, akan dalam suatu waktu berada di bursa omentalis,
sehingga belum akan muncul tanda/gejala peritonitis.

Mesocolon transversum membagi cavitas abdomen menjadi compartemen supracolica


yang berisi gaster, hepar, lien serta compartemen infracolic yang berisi intestinum tenue,
colon ascendens, colon descendens. Compartemen infracolica terletak posterior dari
omentum majus dan dibagi menjadi spatium infracolica dextra dan sinistra oleh
mesenterium. Compartment supracolic dan infracolic dapat berhubungan melalui
paracolic gutters, yang merupakan alur antara bagian lateral colon ascending atau
descending dan dinding abdomen posterolateral.

Bursa omentalis merupakan cavitas yang terletak di posterior gaster, omentum minus,
dan struktur sekitarnya. Bursa omentalis memiliki:
a. Recessus superior à hingga diafragma dan lapisan posterior lig. coronarium hepar
b. Recessus inferior à antara bagian superior omentum majus.

Bursa omentalis terhubung dengan cavitas peritoneum major melalui foramen


omentalis/epiploica/winslowii. Batas foramen epiploica:
a. Anterior: lig. hepatoduodenal ligament
b. Posterior: v. cava inferior dan muscular band dari crus dextra diafragma
c. Superior: hepar
d. Inferior: pars superior duodenum.

TT
B
B
277
192
Terdapat 9 ruang potensial pada peritoneum:
a. Right subphrenic recess
b. Left subphrenic recess
c. Subhepatic space
d. Supramesenteric space
e. Inframesenteric space
f. Right paracolic gutters,
g. Left paracolic gutters,
h. Pelvis
i. Lesser space

Ligamen peritoneum, mesenterium, dan ruangan pada peritoneum mengarahkan sirkulasi


cairan pada cavitas peritoneum sehingga berguna dalam memprediksi rute penyebaran
penyakit infeksi dan keganasan. Contoh: perforasi duodenum dari ulkus pepticum dapat
menyebabkan perpindahan cairan (dan terbentuknya abses) pada spatium subhepatic,
paracolic gutter, dan pelvis.

TT
B
B
278
193
Peritoneum membentuk barrier semipermeable dimana air dan zat terlarutnya (cairan
peritoneum) dapat berpindah secara pasif. Sirkulasi dari cairan peritoneum didorong oleh
gerakan diafragma. Bakteri dan debris yang lebih besar dibersihkan dari cavitas abdomen
melalui stomata yang merupakan portal limfatik antara sel mesothel. Stomata ini
terkonsentrasi pada permukaan diafragma.

Pembersihan cepat mikroba intra abdomen melalui porta limfatik menyebabkan


kontaminasi dari cavitas abdomen dapat dengan cepat menyebabkan bacteremia dan
sepsis.

III. Klasifikasi Peritonitis

a. Primary peritonitis
Terjadi akibat translokasi bakteri, penyebaran hematogen, atau kontaminasi iatrogenic
tanpa defek makroskopis dari GIT.
b. Secondary peritonitis
Terjadi akibat kontaminasi langsung peritoneum oleh isi dari GIT, urogenital tract,
atau organ lain.

TT
B
B
279
194
c. Tertiary peritonitis
Merupakan peritonitis sekunder yang menetap > 48 jam setelah dilakukan source
control secara bedah.

IV. Etiologi peritonitis sekunder

Appendicitis merupakan sumber yang banyak menyebabkan peritonitis sekunder.


Appendicitis cenderung terjadi pada pasien muda dengan comorbiditas yang rendah, dan
tingkat morbiditas dan mortalitasnya juga kecil.

Lain dengan peritonitis primer yang biasanya melibatkan infeksi bakteri aerobic
monomicrobial, infeksi bakteri pada peritonitis sekunder biasanya polimicrobial. Jenis
bakteri yang terlibat tergantung dari letak perforasi dan faktor host: apakah perforasi
“community acquired” atau terjadi pada pasien post-operative. Bila letak perforasinya di
upper GIT, maka akan ada dominasi dari bakteri gram positif. Namun, pada pasien
dengan penggunaan obat-obat penekan asam lambung jangka lama, akan terdapat
pergeseran ke bakteri gram negatif.

TT
B
B
280
195
Sedangkan pada intestinum tenue distal atau colon akan didominasi oleh bakteri gram
negatif.
Berikut ini adalah rincian dari bakteri yang banyak menyebabkan peritonitis serta terapi
antibiotiknya.

Peritonitis Etiologic Organisms Antibiotic Therapy


(Type) Class Type of Organism (Suggested)

E coli (40%)
K pneumoniae(7%)
Pseudomonasspecies (5%)
Primary Gram-negative Proteus species (5%) Third-generation cephalosporin
Streptococcusspecies (15%)
Staphylococcusspecies (3%)
Anaerobic species (< 5%)
E coli
Enterobacterspecies
Gram-negative
Klebsiellaspecies
Proteus species Second-generation cephalosporin
Third-generation cephalosporin
Streptococcusspecies
Gram-positive Penicillins with anaerobic activity
Secondary Enterococcusspecies
Quinolones with anaerobic activity
Bacteroides fragilis Quinolone and metronidazole
Other Bacteroidesspecies Aminoglycoside and metronidazole
Anaerobic Eubacteriumspecies
Clostridiumspecies
Anaerobic Streptococcusspecies
Enterobacterspecies Second-generation cephalosporin
Gram-negative Pseudomonasspecies Third-generation cephalosporin
Enterococcusspecies Penicillins with anaerobic activity
Quinolones with anaerobic activity
Gram-positive Staphylococcusspecies Quinolone and metronidazole
Tertiary Aminoglycoside and metronidazole
Carbapenems
Triazoles or amphotericin
Fungal Candida species (considered in fungal etiology)
(Alter therapy based on culture
results.)

Chemical (steril) peritonitis dapat disebabkan oleh irritant, seperti empedu, darah,
barium, dan substansi lain, atau oleh inflammasi transmural organ viscera (misalnya pada
chron disease) tanpa adanya inokulasi bakteri dalam cavitas peritoneum. Tanda dan
gejala klinis dari chemical peritonitis sulit dibedakan dari peritonitis sekunder karena
infeksi bakteri. Sehingga, approach untuk diagnosis dan terapi harus sama.

TT
B
B
281
196
V. Patofisiologi
Respon awal dari adanya bakteri yang mengkontaminasi peritoneum:
a. Influx macrophages
b. Produksi sitokin pro-inflammasi: TNF-α, IL-1, and IL-6.
c. Dalam 2-4 jam: neutrophil datang ke peritoneum dan menjadi sel yang mendominasi
peritoneum selama 48 - 72 jam.

Bacteria mengkontaminasi peritoneum dikenali secara langsung oleh reseptor sel sistem
imun innate dan ikenali secara tidak langsung melalui molekul yang dilepaskan oleh sel
mesothel yang rusak.

Destruksi bakteri menyebabkan adanya pelepasan lipopolisakarida dan komponen sel


bakteri lainnya yang menyebabkan stimulasi respons pro-inflammatory lebih lanjut.
Respon inflammasi local yang kuat dibutuhkan untuk mengontrol peritonitis. Namun,
respon inflamasi lokal dapat menyebar ke sirkulasi sistemik dan menyebabkan sepsis
serta meningkatkan mortalitas.

Hypothesis dari Schein et al (1996): “Peritonitis is a combined infectious and


inflammatory process”. Sehingga, meskipun infeksi peritoneum telah dihilangkan dengan
pembedahan dan antibiotic, morbiditas dan mortalitas peritonitis banyak ditetukan oleh
besarnya inflamasi sistemik dan kerusakan organ yang terjadi.

Kemampuan host dalam membatasi sumber kontaminasi menentukan batas respon


inflamasi sistemik dari peritonitis sekunder. Aktivasi cascade koagulasi memicu produksi
fibrin yang akan menutup area kontaminasi dan memfasilitasi pembentukan abses.

Omentum majus memiliki peranan penting dalam membatasi sumber kontaminasi, yaitu:
a. Sebagai rute penyebaran neutrophil yang cepat.
b. Sebagai barrier fisik yang “mengurung” sumber infeksi
Bila sumber kontaminasi dapat dibatasi, maka bakteri dan sitokin inflammasi tidak akan
mencapai aliran darah.

TT
B
B
282
197
VI. Manifestasi klinis
a. Peritonitis parietal
Nyeri abdomen pada peritonitis parietal bersifat tajam, konstan, dan dapat
dilokalisasi. Bila bagian peritoneum yang terkena dekat dengan kelompok otot
superficial maka akan timbul rigiditas abdomen & guarding. Pasien biasanya
terbaring diam karena nyeri akan memberat dengan gerakan.
b. Peritonitis visceral
Pada peritonitis visceral, nyeri bersifat kolik, paroksismal, dan berada pada bagian
tengah abdomen. Pasien biasanya menggeliat karena kesakitan. Inflamasi visceral
dapat menyebabkan gejala peritonitis parietal bila proses visceral terjadi transmural
dan cukup dekat dengan permukaan peritoneum dan menimbulkan inflamasi
sekunder.

VII. Pemeriksaan awal


Evaluasi awal harus cepat dan terfokus pada pasien dengan nyeri abdomen akut.
Tujuan utama dari pemeriksaan awal:
a. Menilai keparahan klinis kondisi pasien
b. Triage secara cepat pasien yang membutuhkan resusitasi dengan pembedahan segera,
atau imaging dengan intervensi minimal, atau konservatif

Tujuan sekunder dari pemeriksaan awal adalah untuk identifikasi pasien yang tidak
memiliki tanda peritonitis yang jelas namun membutuhkan pembedahan segera karena
adanya bowel compromise.
Pemeriksaan awal meliputi:
a. Observasi KU dan VS
b. Identifikasi onset, lokasi, karakteristik nyeri pasien + gejala penyerta
c. Penggalian RPD: apakah pasien pernah memiliki gejala yang sama.
d. Peritonitis generalisata atau lokal?
Generalized: rigiditas, rebound tenderness, atau guarding pada 4 kuadran abdomen.
Localized: tanda peritonitis terbatas pada 1 atau 2 kuadran abdomen.

TT
B
B
283
198
Pada pasien geriatric dan pasien obese, pemeriksaan fisik bisa unreliable. Identifikasi
pasien small bowel obstruction dengan strangulated bowel dan identifikasi pasien dengan
ischemia mesenteric membutuhkan tingkat kecurigaan yang tinggi karena presentasi hasil
pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas rendah.

VIII. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan lab memiliki peran penting dalam diagnosis berbagai patologi abdomen akut
seperti pancreatitis, cholecystitis, dan appendicitis. Namun, peranannya terbatas pada
manajemen awal peritonitis sekunder dan pada identifikasi intestinal compromise yang
berisiko tinggi mengalami perforasi.
a. Hitung jumlah sel darah putih (WBC count)
Peningkatan WBC di darah perifer dengan adanya left shift merupakan tanda umum
infeksi bakteri. Namun, leukocytosis juga merupakan respons nonspesifik stress
fisiologis, dapat terjadi setelah olahraga berat, kondisi stress psikologis, dan
kehamilan sehingga spesifitasnya rendah.
Leukositosis saja tidak memiliki arti dalam diagnosis peritonitis sekunder atau pada
identifikasi pasien yang berisiko mengalami bowel compromise serta tidak dapat
menjadi predictor dibutuhkannya operasi segera

TT
B
B
284
199
b. Laktat
Laktat merupakan produk sampingan dari glycolysis di semua sel tubuh. Pada kondisi
hipoksia, terjadi peningkatan produksi dan pelepasan L-lactate ke vasa darah. Telah
banyak studi mengenai laktat sebagai marker hipoperfusi sistemik, dimana hasilnya
menunjukkan bahwa laktat secara independent berhubungan dengan mortalitas pada
pasien bedah dengan sepsis. Namun, belum banyak yang mengevaluasi lactate
sebagai marker untuk diagnosis peritonitis sekunder maupun untuk identifikasi pasien
yang membutuhkan pembedahan.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa L-lactate merupakan marker non-specific marker
untuk hipoperfusi sistemik dan direkomendasikan untuk menggunakan serum L-
lactate sebagai panduan resusitasi awal dan marker global illness, namun tidak
sebagai marker ischemia intestinal.
c. Base deficit
Adanya asidosis metabolic sering dinyatakan oleh base deficit. Base deficit
merupakan banyaknya basa yang dibutuhkan untuk mengubah pH 1 L whole blood
menjadi pH normal. Base deficit lebih superior dari pH atau bicarbonate untuk
mengukur asidosis metabolic karena tidak dipengaruhi mekanisme kompensasi.
Base deficit merupakan predictor reliable untuk melihat keparahan dan mortalitas
pada kasus trauma dan endpoints pada resusitasi. Namun, kegunaannya untuk
identifikasi pasien dengan peritonitis sekunder atau sebagai pemandu perlu tidaknya
dilakukannya management bedah masih belum jelas.
d. Procalcitonin
Procalcitonin memiliki nilai dalam membedakan infeksi bakteri dari penyebab lain
inflammasi. Namun, belum ada cukup data yang merekomendasikan penggunaan
procalcitonin untuk diagnosis peritonitis atau identifikasi pasien dengan bowel
compromise.
e. C reactive protein (CRP)
CRP bisa memiliki peranan dalam memprediksi perlu tidaknya pembedahan pada
pasien dengan nyeri abdomen, atau identifikasi pasien post-operasi yang timbul
kompliasi septik. Namun, belum ada cukup data yang merekomendasikan
pemeriksaan CRP secara rutin.

TT
B
B
285
200
IX. Imaging
Pemeriksaan imaging harus dipilih secara bijak untuk mencegah tertundanya
management definitive. Pasien dengan peritonitis yang hemodinamiknya tidak stabil
tidak membutuhkan imaging karena tidak akan mengubah butuh/tidaknya laparotomy.
Sedangkan pada pasien peritonitis dengan hemodinamik stabil dan curiga ischemia
mesenteric akut, pre-op CT angiography dapat membantu intervensi vaskuler dengan
cepat, yang perlu disertai laparotomy.
a. Pemeriksaan radiologi untuk konfirmasi contained perforation
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dan localized peritonitis, imaging penting
dilakukan untuk menilai luas kontaminasi awal dan sampai derajat mana kontaminasi
telah tertahan. Perforasi yang tertahan tanpa kontaminasi abdomen yang luas dapat
diterapi dengan antibiotic saja disertai drainase abses percutan (bila abses >3-4 cm
dan dapat dicapai dengan aman).
b. Pemeriksaan radiologi untuk memperjelas diagnosis
Diagnosis klinis dengan atau tanpa foto polos relatif sensitif untuk kondisi urgent
(88%, 95% confidence interval 86% to 91%) namun specificitanya terbatas (41%,
36% - 46%, pemeriksaan klinis saja; 43%, 38% - 48%, pemeriksaan klinis dengan
foto polos).
Ultrasound saja atau CT saja pada semua pasien tidak ada efek pada sensitivitas
namun spesifitas bertambah secara signifikan (77%, 72% - 81%, CT ; 85%, 81% -
88%, US ; 41%, 36% - 46%, pemeriksaan klinis).
Penting untuk berpedoman pada pemeriksaan fisik dan melakukan pemeriksaan
imaging hanya ketika benar-benar dibutuhkan untuk memperjelas diagnosis. Imaging
dapat mempercepat diagnosis kondisi yang serius sehingga menurunkan mortalitas.
c. Pemeriksaan radiologi untuk identifikasi pasien berisiko tinggi mengalami bowel
compromise
Pada ischemia intestinal, hasil pemeriksaan fisik mungkin baik, namun dibutuhkan
pembedahan segera. Penyebab paling sering dari ischemia intestinal adalah bowel
obstruction with strangulation dan mesenteric ischemia.
Pada CT scan, pasien dengan strangulated small bowel lebih mungkin tampak
mengalami ascites, penebalan dinding usus, segmental mesenteric fluid, fat stranding,

TT
B
B
286
201
penurunan enhancement dinding usus (sensitivitas 56% dan spesifitas 94% untuk
bowel strangulation) serta bukti adanya closed loop bowel obstruction.
Adanya temuan bowel wall hypo-enhancement merupakan prediksi adanya
transmural ischemia, bahkan ketika tidak terdapat peritonitis.

Signifikansi klinis pneumoperitoneum


Pneumoperitoneum pada pasien yang tidak memiliki riwayat operasi dalam waktu dekat
mengindikasikan adanya kemungkinan adanya perforasi dan butuh evaluasi.

Namun, pneumoperitoneum yang ditemukan secara incidental dimana pada pasien tidak
ada nyeri, hemodinamik stabil, serta hasil pemeriksaan fisik benign hanya perlu
dimanajemen konservatif. Meski demikian, perlu monitoring pemeriksaan fisik dan
mungkin pemeriksaan penunjang ulang.

Postoperative pneumoperitoneum merupakan temuan biasa pada pasien post laparoscopy


atau laparotomy, dimana volumenya akan turun secara bertahap hingga sekitar 1 bulan
postop. Bila dibandingkan dengan pasien dengan pneumoperitoneum post op yang
normal, pasien dengan anastomotic leaks cenderung memiliki volume pneumoperitoneum
yang lebih besar, yang kemudian akan meningkat seiring waktu.

Signifikansi klinis pneumatosis intestinalis


Pneumatosis intestinalis merupakan adanya udara di dinding usus. Pneumatosis
intestinalis dapat merupakan tanda ischemia dinding usus, namun juga mungkin berkaitan
dengan COPD, asthma, enteritis TB, cystic fibrosis, dan penyakit kolagen vaskuler.
Pathophysiology pneumatosis masih belum banyak dipahami.

Pneumatosis merupakan temuan non-spesifik. Direkomendasikan untuk dilakukan


tindakan bedah pada pasien dengan pneumatosis intestinalis yang menunjukkan gejala
peritonitis dan/atau peningkatan laktat. Pada pasien stabil dengan pneumatosis yang
ditemukan secara incidental dan benign abdominal examination, lakukan observasi saja.

TT
B
B
287
202
Gambar berikut ini menguraikan penggunaan pemeriksaan radiologi pada diagnosis nyeri
abdomen akut.:

X. Management
Prinsip penanganan peritonitis sekunder terdiri dari:
a. Resusitasi cairan
Peritonitis sekunder dapat menyebabkan sekuestrasi cairan signifikan dan
hypovolemia, yang dapat dieksaserbasi oleh adanya muntah dan diare. Pada pasien
dengan shock septik, resusitasi harus dimulai segera. Target resusitasi:
1. Tekanan vena sentral 8-12 mmHg
2. Mean arterial pressure minimal 65 mmHg
3. Urine output minimal 0.5 ml/kg/jam
4. Mixed venous oxygen saturation 65%
5. Serum laktat kembali menuju normal
b. Terapi dengan antibiotic empiris
Pasien dengan peritonitis sekunder perlu diterapi dengan antibiotic empiris broad
spectrum. Pada pasien dengan sepsis, antibiotic perlu diberikan segera (< 1 jam).

TT
B
B
288
203
Ditambahkannya antibiotic untuk melawan bakteri yang resisten obat atau
ditambahkannya antifungal harus berdasar pada faktor risiko individu:
Risiko adanya organisme yang resisten obat meningkat pada:
1. Pasien dengan riwayat transplantasi organ padat
2. Pasien dengan penyakit paru atau liver
3. Sumber peritonitis adalah duodenum
4. Pasien postoperative dengan paparan antibiotic broad spectrum dalam 3 bulan
5. Admisi ke rumah sakit preoperative >5 hari
Penggunaan antifungal untuk peritonitis masih dalam tahap penelitian, namun perlu
dipertimbangkan pada pasien yang sakit kritis dengan operasi abdomen berulang, atau
pada peritonitis karena bocornya anastomosis.

TT
B
B
289
204
TT
B
B
290
205
c. Kontrol fokus septik
Pasien dengan peritonitis general atau lokalisata, dengan instabilitas hemodinamik
membutuhkan tindakan bedah segera.
Terdapat perbedaan pendapat pada berbagai guideline mengenai apakah pasien yang
belum selesai teresusitasi harus segera dioperasi, atau intervensi bedah dilakukan
ketika resusitasi telah berhasil. Rekomendasi dari Ross et al (2018): resusitasi agresif
dengan target stabilitas hemodinamik sebelum intervensi bedah pada pasien dengan
abdominal sepsis.

Algoritma untuk manajemen peritonitis:

TT
B
B
291
206
XI. Referensi
Armstrong, C. Updated Guideline on Diagnosis and Treatment of Intra-abdominal
Infections. American Family Physician. 2010; 82(6): 697-709
Borgonovo G, Amato A, Varaldo E, Mattioli FP. Definition and classification of
peritonitis. Médecine et maladies infectieuses. 1995 Dec 1;25:7-12.
Daley, BJ. Peritonitis and Abdominal Sepsis. 2017. https://emedicine.medscape.com/
article/180234-overview#a5
Gupta A, Stuhlfaut JW, Fleming KW, Lucey BC, Soto JA. Blunt trauma of the pancreas
and biliary tract: a multimodality imaging approach to diagnosis. Radiographics.
2004 Sep;24(5):1381-95.
Mischianu D, Bratu O, Ilie C, Madan V. Notes concerning the peritonitis of urinary
aetiology. J Med Life. 2008;1(1):66-71.
Moore, Keith L. Clinically Oriented Anatomy. Baltimore: Williams & Wilkins, 2010.
Ross JT, Matthay MA, Harris HW. Secondary peritonitis: principles of diagnosis and
intervention. BMJ. 2018 Jun 18;361:k1407.
Shein M, Wittmann DH, Holzheimer R, Condon RE. Hypothesis: compartmentalization
of cytokines in intraabdominal infection. Surgery. 1996 Jun 1;119(6):694-700.

TT
B
B
292
207
KOMPETENSI
FISTULA ENTEROKUTAN
Kontributor: Bernadeta Fuad Paramita Rahayu
2
I. Definisi
Fistula merupakan hubungan abnormal antara 2 organ. Enteric fistula merupakan
hubungan abnormal antara suatu organ GI tract dengan organ abdomen lain, organ pada
thorax, atau kulit.

II. Anatomi dan fisiologi intestinum tenue


Intestinum tenue terbagi menjadi duodenum, jejunum, dan ileum.
a. Duodenum

Duodenum merupakan bagian pertama dan yang terpendek dari intestinum tenue (25
cm). Bagian duodenum dimulai dari akhir pylorus hingga flexura duodenojejunalis.
Hampir seluruh bagian duodenum terfiksasi oleh peritoneum (organ retroperioneal
sekunder).
Duodenum terbagi menjadi 4 bagian:

TT
B
B
222
208
1. Pars superior
- Panjang sekitar 5 cm
- terletak anterolateral dari corpus VL I
- 2 cm pertama memiliki mesenterium, mobile à intraperitoneal
- 3 cm selanjutnya tidak memiliki mesenterium, immobile à retroperitoneal
2. Pars descendens
- Panjang 7-10 cm
- Berjalan turun dari sisi kanan VL 1 – VL 3, melengkung di sekitar caput
pancreas.
- Terdapat muara ampulla vater di papilla duodeni major pada dinding
posteromedial.
- Retroperitoneal
3. Pars transversa
- Panjang 6-8 cm
- Berjalan menyilang v. cava inferior, aorta, dan VL 3
4. Pars ascendens
- Panjang sekitar 5 cm, dimulai dari sisi kiri VL 3 kemudian berjalan ke atas
sejauh batas superior VL 2
- Berakhir di flexura duodenojejunalis, dimana flexura tersebut di-support oleh
ligamentum treitz. Ligamentum treitz terbentuk dari otot-otot dari diafragma
dan otot polos fibromuscular dari duodenum pars 3 dan 4. Kontraksi otot-otot
pada ligamentum treitz memfasilitasi pergerakan isi usus.
Vaskularisasi duodenum berasal dari cabang truncus coeliacus dan a. mesenterica
superior.

TT
B
B
223
209
Cabang dari truncus coeliacus – a. pancreaticoduodenal superior – vasculariasi
duodenum proximal papilla duodeni major (foregut). Sedangkan cabang dari a.
mesenterica superior – a. pancreaticoduodenal inferior – vascularisasi duodenum
distal papilla duodeni major (midgut). Aliran vena dari duodenum mengikuti
arterinya, dan kemudian akan bermuara ke v.porta hepatica, baik langsung maupun
tidak langsung (melalui v. mesenterica superior dan v. splenica).
Aliran limfatik duodenum mengikuti arterinya.

Vasa limfatik anterior bermuara ke lnn. Pancreaticoduodenal (yang terletak sepanjang


a. pancraticoduodeal superior dan inferior) dan ke lnn. Pylorica (yang terletak
sepanjang a. gastroduodenal). Vasa limfatik posterior berjalan di posterior caput
pancreas dan bermuara ke lnn. Mesenterica superior. Vasa limfatika efferent dari lnn.
Duodenal bermuara ke lnn. Coeliacus.

TT
B
B
224
210
b. Jejunum dan Ileum

Jejunum membentang dari flexura duodenojejunalis, ileum berakhir pada junction


ileocaecal. Jejunum dan ileum merupakan organ intraperitoneal. Panjang jejunum dan
ileum 6-7m. Jejunum membentuk 2/5nya, sedagkan ileum 3/5nya.
Sebagian besar jejunum terletak pada kuadran kiri atas kompartemen infracolica,
sedangkan sebagian besar ileum terletak pada kuadran kanan bawah. Ileum terminal
biasanya terletak pada pelvis, dimana kemudian dia akan naik dan berakhir pada
aspek medial caecum.

TT
B
B
225
211
Perbedaan antara jejunum dan ileum:

Vascularisasi jejunum dan ileum berasal dari a. mesenterica superior melalui aa.
jejunalis dan aa. ilealis. Arteri-arteri tersebut akan bersatu membentuk loop atau arcus
yang disebut arcade, dimana kemudian akan membentuk arteri-arteri lurus yang
disebut vasa recta.
Aliran limfatik dari vili intestinalis akan bermuara ke lnn. juxtaintestinalis (terletak
dekat dinding usus) à lnn. Mesenterica (tersebar di mesenterium) à lnn. Centralis
superior (pada bagian proximal a. mesenterica superior)

TT
B
B
226
212
Berikut ini merupakan fungsi absorpsi dari intestinum:

a. Jenis enteric fistula


- Berdasarkan muaranya
1. Internal enteric fistula: bermuara ke organ interna lain.
2. External enteric: bermuara ke kulit.
- Berdasarkan segmen anatomi yang terlibat:
1. Organ yang menjadi asal: gastro-, duodeno-, entero-, jejuno-, ileo-, colo-,
recto-, chole-
2. Organ yang menjadi muara: -cutaneous, -enteric, -colonic, -rectal, -vesical, -
vaginal, -aortic.
- Berdasarkan outputnya:
1. Low-output fistula: drains less than 200 mL/day
2. Moderate-output fistula :drains between 200 and 500 mL/day
3. High-output fistula: drains more than 500 mL/day

TT
B
B
227
213
b. Klasifikasi fistula enterokutan
1. Simpel
satu segmen usus – fistula – kulit.
2. Kompleks
satu segmen usus – sistem abses/fistula – kulit
3. Multipel
melibatkan segmen usus multiple

III. Etiologi
Berikut ini adalah etiologi dari fistula enterokutan beserta frekuensinya

Etiologi post operative:


a. Merupakan hasil dari
1. Cidera usus ketika operasi
2. Bocornya anastomosis usus
3. Missed enterotomy
4. Erosi corpus alienum ke segmen usus di dekatnya
b. Faktor preoperative yang meningkatkan kemungkinan timbulnya fistula: malnutrisi,
immunosuppresi, cidera traumatic, infeksi, prosedur emergensi
Open abdomen merupakan suatu prosedur dimana abdomen ditinggalkan terbuka, dan
digunakan pada pasien yang memiliki risiko untuk terjadi abdominal compartment

TT
B
B
228
214
syndrome pasca trauma atau tindakan bedah emergensi. Pada open abdomen ini dapat
timbul fistula enteroatmospheric.

IV. Manifestasi klinis


Manifestasi klinis dari fistula tergantung dari lokasi dan asal fistulanya.
a. Adanya cairan yang keluar dari luka bekas operasi
b. Diare – misalnya pada fistula antara bagian intestinum proximal dengan bagian
intestinum distal
c. Pneumaturia, fecaluria, ISK berulang – misalnya pada fistula colovesica
d. Perdarahan GI tract – pada fistula aortoenteric
e. Small bowel obstruction – pada gallstone ileus, atau karena massa inflammatorik,
abses, tumor, hernia, atau adhesi.
Pasien dengan fistula enterocutan pasca operasi sering menunjukkan tanda dan gejala
sebagai berikut:
a. Nyeri atau ketidaknyamanan pada abdomen
b. Distensi abdomen, tenderness
c. Demam
d. Tanda sepsis abdomen
e. Biasanya, infeksi luka terlihat 7-10 hari postoperasi. Kemudian ketika dilakukan
incisional drainage, muncul produk berupa isi usus pada luka bekas operasi.

V. Diagnosis
Fistula enterocutan atau enteroatmospheric dapat terlihat jelas pada pasien post operasi
berdasarkan tampakan tempat keluarnya fistula dan karakteristik isi usus yang keluar.
Penegakan diagnosis definitifnya adalah dengan membuktikan adanya hubungan
abnormal antar organ. Hal ini dapat dilakukan menggunakan modalitas:
a. CT scan abdomen, dengan atau tanpa kontras
b. Gastrointestinal contrast study (small bowel follow-through atau contrast enema,
tergantung dari perkiraan level fistulanya)
c. Fistulogram

TT
B
B
229
215
Dapat dilakukan untuk fistula enterocutan yang memiliki lubang luar jelas, tanpa
adanya tanda sepsis
Fistulogram dapat memvisualisasi adanya continuitas intestinal dan obstruksi distal
d. Endoscopy
Differential diagnosis untuk fistula enteric:
a. Infeksi luka operasi
Dapat dibedakan dari fistula enterocutan dengan melihat karakteristik produk yang
keluar, kurangnya persistensi drainase saat luka dibuka.
b. Diare
Pada pasien dengan diare, perlu dipikirkan juga sebab lain dari diare, terutama pasien
tanpa faktor predisposisi untuk timbulnya fistula (pasca operasi, IBD, terapi radiasi,
dll)

VI. Management

a. Manajemen awal
1. Terapi cairan
- Koreksi agresif untuk hypovolemia dan hilangnya elektrolit.
• Abnormalitas elektrolit paling sering: hypokalemia

TT
B
B
230
216
• Hilangnya cairan yang terus menerus dalam jumlah besar dari fistula
upper GI perlu diganti dengan cairan isotonic serta suplementasi kalium.
• Perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit serum serial untuk menentukan
jenis cairan yang diberikan
• Fistula duodenal atau pankreatik mungkin membutuhkan penggantian
bikarbonat karena terjadinya asidosis metabolik
2. Eradikasi infeksi
Eradikasi infeksi dilakukan dengan pemberian antibiotik. Kadang dibutuhkan
tindakan pembedahan untuk mengontrol sumber infeksi. Bila ada abses, lakukan
drainase abses.
3. Support nutrisi
- Pasien dengan fistula enteric tidak diperbolehkan untuk makan (NPO: nil per
os) di tahap awal terapi hingga sumber fistulanya dapat terkontrol
- Support nutrisi harus diinisiasi perlahan setelah dilakukan koreksi cairan,
elektrolit, dan deficit vitamin
- Kebutuhan karbohidrat, lemak, dan protein meningkat pada pasien dengan
peritonitis, luka abdomen besar, dan fistula high output. Kebutuhannya:
• 20-30 kcal/kg/hari untuk karbohidrat dan lemak
• 0.8-2.5 g/kg/hari untuk protein
- Penambahan minyak ikan dan omega 3 dapat meningkatkan fungsi imun.
- Pada fistula dengan output yang sedikit atau sedang, dapat dipertimbangkan
untuk diperbolehkan makan. Makan melalui mulut berguna untuk menjaga
barrier mukosa intestinal dan memiliki efek positif pada fungsi imun dan
hormonal usus.
4. Mengontrol output fistula
- Tujuan utama dalam terapi fistula eksternal adalah untuk mengontrol isi usus
pada sumber fistula sehingga dapat melindungi kulit dari efek korosif dari isi
usus dan untuk memfasilitasi perawatan pasien.
- Kantong drainase
• Prinsipnya mirip dengan yang digunakan pada perawatan untuk colostomy
atau ileostomy.

TT
B
B
231
217
• Untuk fistula enterocutan dan pancreatic, perlu diberikan suatu kantong di
sekitar fistula. Kulit sekitarnya juga harus dijaga, diberi dressing, untuk
mencegah/meminimalkan iritasi.
- Terapi farmakologis
• Anticathartics (misalnya loperamide) dan analog somatostatin (misalnya
octreotide) dapat digunakan untuk mengurangi output fistula
- Negative wound pressure therapy
• Dapat mempercepat penutupan fistula dengan memicu penyembuhan luka

b. Penutupan fistula dengan management konservatif


Kemungkinan fistula dapat menutup spontan bervariasi, dipengaruhi penyebab dan
volume fistula. Sekitar sepertiga fistula enterokutan akan menutup spontan dalam 5-6
minggu dengan pengobatan konservatif. Selama output dari fistula semakin lama
semakin sedikit, serta kulit (atau tract) menunjukkan tanda-tanda penyembuhan,
pembedahan harus ditunda/dipertimbangkan kembali.

c. Pembedahan
1. Indikasi reseksi fistula

TT
B
B
232
218
Pasien dengan fistula enterokutan yang gagal terapi non-operative selama 5-6
minggu
2. Penentuan waktu operasi
Ketika dipastikan fistula kemungkinan tidak akan menutup spontan,
operasi pada umumnya tidak boleh dilakukan pada beberapa bulan kedepan untuk
meminimalkan risiko cidera usus.
Imaging perlu diulang untuk memastikan kumpulan cairan telah
terdrainase serta tidak ada tanda inflammasi. Adanya fistula biasanya berkaitan
dengan respons inflammasi yang berat dimana hal tersebut merupakan
predisposisi terjadinya adhesi yang padat, yang disebut peritonitis obliterative,
dimana dapat membuat early surgery berbahaya.
Bila terdapat barrier untuk menutupnya fistula, maka harus dicari barrier
tersebut dan dilakukan terapi untuk kondisi tersebut sebelum atau bersamaan
dengan operasi pengangkatan fistula.
Perlu dilakukan pemeriksaan radiologi utnuk menyingkirkan
kemungkinana adanya sumber obstruksi distal, serta evaluasi untuk crohn disease,
radiasi, atau karakteristik lain yang meningkatkan kemungkinan rekurensi fistula.
3. Tujuan pembedahan
Pembedahan bertujuan untuk mengeliminasi fistula, yang biasanya membutuhkan
- Reseksi segmen usus yang merupakan asal fistula
- Mengembalikan kontinuitas gastrointestinal (dengan anastomosis)
- Penutupan dinding abdomen
4. Langkah-langkahnya
- Incisi dan adhesiolysis
- Reseksi fistula, kembalikan kontinuitas gastrointestinal
- Penutupan dinding abdomen atau rekonstruksi dinding abdomen

VII. Referensi
Moore, Keith L. Clinically Oriented Anatomy. Baltimore: Williams & Wilkins, 2010.
Stein SL. 2018. Overview of enteric fistulas. www.uptodate.com

TT
B
B
233
219
KOMPETENSI
FISTULA PERIANAL
Kontributor: Ulinuha Aflah Hanif
2
I. Definisi
Saluran abnormal yang menghubungkan antara kanalis analis dengan kulit di daerah perianal
yang dilapisi oleh jaringan granulasi.

II. Anatomi
a. Rectum dan kanalis analis dipisahkan oleh “Anorectal Ring/Bundle”
b. Anorectal Ring dibentuk oleh penyatuan m. puborectalis, m. sphincter ani externa
profunda, m. longitudinal intersphincteric, bagian proximal m. sphincter ani interna
c. Anorectal Ring dapat teraba melalui Rectal Touche → peninggian (thickened ridge)
d. M. sphincter ani interna merupakan otot involunter yang dipersarafi secara otonom oleh
n. splanchnicus pelvicus untuk kontraksi rectal musculature dan relaksasi otot m.
sphincter ani interna, sedangkan m. sphincter ani externa merupakan otot volunteer
yang dipersarafi oleh n. pudendus
e. Vaskularisasi kanalis analis melalui a. et v. rectalis superior, media, inferior
f. Drainase limfatik dari kanalis analis bagian bawah melalui lnn. inguinalis
g. Pada linea dentata, terdapat sekitar 8-10 glandula analis yang tersusun secara melingkar
h. Glandula-glandula analis bermuara pada linea dentata, mempenetrasi m. sphincter ani
interna hingga sampai pada bagian intersphincteric

TT
B
B
234
220
TT
B
B
235
221
III. Etiologi
a. Lesi awal berasal dari abses anorektal/perianal à pecah à sistem drainase kurang baik
à terbentuk saluran
b. Sebanyak 7-40% kasus abses berulang yang muncul setelah drainase spontan ataupun
setelah dilakukan pembedahan dapat berkembang menjadi fistula perianal
c. Beberapa penyebab lain:
1. Trauma karena benda asing 4. Terapi radiasi
2. Crohn disease 5. Tuberkulosis
3. Kanker

IV. Epidemiologi
a. Prevalensi kejadian fistula perianal yaitu 8,6 kasus per 100.000 populasi
b. Rasio kejadian pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan jenis kelamin
perempuan ialah 1,8 : 1
c. Umur rata-rata penderita fistula perianal ialah sekitar 38,3 tahun

V. Manifestasi Klinis
a. Parks’ Classification

No. Tipe Prevalensi (%) Penyebab


1. Intersphincteric Fistula 70 Abses perianal
2. Transsphincteric Fistula 25 Abses fossa ischiorectalis
3. Suprasphincteric Fistula 5 Abses supralevator
4. Extrasphincteric Fistula ~1 Corpus alienum, injury (trauma),
Crohn’s disease, carcinoma,
radioterapi, Pelvic Inflammatory
Disease

TT
B
B
236
222
b. Goodsall’s Rule
a. Bila external opening fistula
terletak di posterior → perjalanan fistula
secara lateral dengan internal opening di
midline canalis analis
b. Bila external opening fistula
terletak di anterior → internal opening
sejajar/ searah letak external opening
c. Kecuali bila external opening
berada 3 cm dari orificium anal → letak
internal opening di posterior midline

VI. Pemeriksaan Penunjang


a. Fistulography c. MRI
b. Endoanal ultrasonography d. CT-Scan

TT
B
B
237
223
VII. Tatalaksana

a. Fistulotomy vs Fistulectomy:
Fistulectomy luka lebih lebar sehingga penyembuhan cenderung lebih lama
b. Seton dapat dilakukan pada:
a. Fistula kompleks atau multipel
b. Fistula rekuren yang pernah dilakukan fistulotomy
c. Fistula anterior pada perempuan
d. Tekanan sphincter preoperatif yang buruk
e. Pasien dengan Crohn’s disease atau pasien yang imunosupresan

VIII. Referensi
Lo, B. (2018). Anal Fistulas and Fissures: Background, Pathophysiology and Etiology,
Epidemiology. [online] Available at: https://emedicine.medscape.com/article/776150-
overview
Vogel, J. (2018). UpToDate. [online] Uptodate.com. Available at:
https://www.uptodate.com/contents/anorectal-fistula-clinical-manifestations-diagnosis-
and-management-principles
Champagne, B. (2018). UpToDate. [online] Uptodate.com. Available at:
https://www.uptodate.com/contents/operative-management-of-anorectal-fistulas

TT
B
B
238
224
KOMPETENSI
HERNIA INGUINALIS
Kontributor: Rona Ali Badjrai
2
I. Pendahuluan
Hernia abdominalis adalah penonjolan isi perut dari rongga normal melalui suatu defek
pada dinding perut. Hernia abdominalis dapat dibagi menjadi beberapa jenis seperti
hernia epigastrik, hernia umbilikalis, hernia inguinalis, hernia femoralis, dll. Mayoritas
pada hernia abdominalis adalah hernia inguinalis dengan persentase 75%. Hernia
inguinalis tidak membedakan antara jenis kelamin, tetapi mayoritas (86%) terjadi pada
laki-laki karena kanalis inguinalis adalah tempat turunnya testis pada korda spermatikus.

Hernia inguinalis adalah penonjolan dari peritoneum parietal dan visera seperti usus halus
melewati rongga normal atau abnormal. Kebanyakan hernia dapat dikembalikan ke
tempat normal mereka ke ruang peritoneal dengan manipulasi yang benar. Pada hernia
inguinalis terdapat dua tipe, yaitu hernia inguinalis lateralis (hernia inguinalis indirek)
dan heria inguinalis medialis (hernia inguinalis direk). Lebih dari 2/3 kasus adalah hernia
inguinalis lateralis.

II. Epidemiologi
a. Diperkirakan terdapat 4,5 juta manusia di US mempunyai hernia inguinalis, dengan
sekitar 500,000 kasus baru setiap tahunnya. Sekitar 750,000 prosedur telah dikerjakan
tahun 2003 di US.
b. Walaupun insidensi dan prevalensi di seluruh dunia tidak diketahui, diperkirakan ada
lebih dari 20 juta procedur untuk hernia inguinalis setiap tahunnya.
c. Hernia Inguinalis dapat terjadi pada kedua jenis kelamin, tetapi mayoritas terjadi pada
laki-laki (male:female = 7-9:1)
d. Kejadian hernia meningkat seiring dengan bertambahnya usia

TT
B
B
239
225
e. 20% pada manusia dengan hernia inguinalis terdapat mempunyai hernia inguinalis
bilateral
f. Riwayat hernia inguinalis pada keluarga berkaitan dengan peningkatan resiko

III. Anatomi
Regio inguinal terletak antara SIAS dan tuberculum pubis dan merupakan area yang
penting secara anatomis dan klinis. Secara anatomis, region inguinal sebagai tempat
masuk dan keluarnya untuk ke cavum abdomen. Secara klinis karena jalur tempat masuk
dan keluar tersebut dapat berpotensi sebagai tempat hernia. Kanalis inguinalis memilikki
panjang 4 cm dan terletak sekitar 2-4 cm disebelah sefal ligamen inguinalis. Kanalis ini
membentang antara cincin inguinalis interna dan eksterna. Kanalis inguinalis berisi korda
spermatikus pada laki-laki dan ligamen rotundum uteri pada wanita. Pada kanalis
inguinalis juga terdapat pembuluh darah dan limfa serta saraf ilio-inguinal.

IV. Etiologi
Hernia inguinalis terjadi karena adanya defek pada struktur pada kanalis inguinalis, bisa
karena kongenital atau acquisita (diperoleh).
a. Kongenital
Kelainan kongenital dapat membentuk hernia inguinalis indirek karena prosesus
vaginalis gagal untuk beregresi.
b. Acquisita
Defek yang diperoleh karena terdapat degenerasi dan kelainan pada ligamentum
inguinalis. Degenerasi pada miopectineal yang berprogresi dapat menyebabkan

TT
B
B
240
226
kelemahan sehingga terjadi dilatasi pada cincin inguinal dan/atau kelemahan dari
dinding posterior pada kanalis inguinalis.
- Tekanan intraabdominal yang meninggi
- Konstitusi tubuh à obesitas
- Distensi dinding perut
- Sikatrik
- Penyakit yang melemahkan otot-otot dinding perut à poliomyelitis anterior

V. Patofisiologi
Hernia inguinalis lateralis biasanya terjadi karena prosesus vaginalis yang menetap dan
gagal menutup, yang meninggalkan kantung peritoneal yang kosong pada kanalis
innguinalis. Hernia menjadi terlihat atau membetuk benjolan ketika usus atau isi dari
perut mengisi dari kantung kosong tersebut. Kantung dari hernia mengikuti korda
spermatikus ke kantung skrotum pada laki-laki dan ligamentum rotundum ke tuberkulum
pubis pada wanita. Hernia inguinalis lateralis bisa karena kongenital atau diperoleh.

Hernia inguinalis medialis selalu diperoleh maka dari itu jarang terjadi pada usia dibawah
25 tahun. Hernia inguinalis direk terjadi karena degenerasi dan perubahan pada lemak di
aponeurosis pada fasia transversalis yang membentuk kanalis inguinalis atau dinding
posterior di area trigonum hesselbach. Trigonum Hesselbach terbentuk dari ligamentum
inguinalis di bagian inferior, arteri dan vena epigastrik inferior di bagian lateral, dan
bagian lateral pada otot rektus abdominis di bagian medial. Kebanyakan dari hernia
inguinalis direk tidak mempunyai lapisan peritoneal sejati dan tidak terisi usus, tetapi
kebanyakan diisi oleh lemak preperitoneal. Tetapi, hernia inguinalis direk yang besar
dapat merambah ke skrotum dan dapat berisi isi perut dan usus.

Strangulasi jarang terjadi pada hernia inguinalis direk karena defek pada hernia tersebut
karena kelemahan yang luas pada lantai inguinal, sehingga tidak membentuk cincin yang
sempit. Strangulasi lebih sering terjadi pada hernia inguinalis indirek, karena terbentuk
leher yang sempit pada cincin internal yang kecil. Ketika ada usus yang jatuh ke cincin
tersebut dapat mengganggu perpindahan cairan dalam isi lumen usus. Awalnya akan

TT
B
B
241
227
terjadi perubahan pada drainase limfa dan vena yang membuat usus membengkak. Lama
kelamaan kelainan ini dapat mengganggu suplai arteri dan terjadi iskemia. Gangren dapat
terjadi dan bila dibiarkan dapat terjadi perforasi dan peritonitis.

VI. Faktor Risiko


Faktor risiko bedasarkan evidence level:
• Keturunan dan jenis kelamin
• Riwayat operasi prostatectomy
Tinggi • Obesitas
• Metabolisme kolagen

• Penggunaan tobacco
Rendah • Konstipasi kronik
• Ras

VII. Karakteristik

VIII. Klasifikasi
Klasifikasi Nyhus
Tipe I Hernia indirek; annulus inguinalis profunda normal; biasanya pada bayi atau
anak-anak.
Tipe II Hernia indirel; perbesaran pada annulus inguinalis profunda tanpa adanya
tubrukan pada ligamentum inguinalis ; tidak menjalar sampai skrotum.

TT
B
B
242
228
Tipe IIIA Hernia direk
Tipe IIIB Hernia indirek yang membesar dan menyebabkan kelemahan pada dinding
posterior
Tipe IIIC Hernia femoralis
Tipe IV Hernia rekuren

IX. Diagnosis Banding


a. Undescended testis: terdapat massa pada lipatan paha, biasanya pada anak kecil.
Tidak terdapat testis pada daerah yang terkena.
b. Limfadenopati: perbesaran nodus limfa yang berasosiasi dengan riwayat trauma,
infeksi, atau keganasan. Biasanya nyeri, isi dari massa tidak dapat dikembalikan ke
perut, nyeri, dan sering seperti hernia femoralis.
c. Hernia femoralis: lebih sering pada wanita, dan lebih beresiko untuk terjadi
strangulasi. Susah dibedakan antara hernia femoralis inkarserata dan limfadenitis.
Hernia femoralis terletak dibawah ligamentum inguinalis, dibagian lateral dan inferior
dari tuberculum pubis. Benjolan hernia inguinalis terletak di garis ligamentum
inguinalis diantara SIAS dan pubis.

X. Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik


a. Anamnesis
- Timbul benjolan/massa yang semakin membesar pada posisi berdiri dan mengecil
pada posisi tidur
- Ketidaknyamanan pada lipatan paha
- Nyeri à dirasakan ketika menonjol saja.
Ketika terjadi obstruksi atau strangulasi hernia, pasien datang dengan nyeri perut
hebat, mual, dan muntah. Biasanya hernia tersebut akan ireponibel atau tidak
dapat dimasukkan kembali dengan manipulasi, bunyi usus yang hilang, dan tidak
dapat dilakukan manipulasi denga batuk.
- Riwayat adanya massa, nyeri, dan pembengkakan
- Mual, muntah, konstipasi à jarang
- Pada anak kecil à sering menangis, mengejan, batuk, dan kencing tidak lancar

TT
B
B
243
229
- Pada usia lanjut à pekerjaan dan aktivitas, penyakit kronis, BPH, multiparitas
- Pertanyaan yang spesifik ditanyakan kepada pasien:
i. Sudah berapa lama sadar akan ketidaknyamanan tersebut? (nyeri, massa,
bengkak)
ii. Apakah saat beraktivitas seperti mengangkat beban besar atau berdiri dapat
menimbulkan rasa nyeri?
iii. Apakah saat batuk atau bersin benjolan makin terasa besar?
iv. Apakah benjolan hilang saat anda tiduran?
v. Dapatkan anda memasukkan kembali atau mendorong massa tersebut detang
jari? Apakah terdapat kesulitan dalam memasukkannya?
vi. Apakah anda mempunyai riwayat hernia atau operasi?

b. Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi:
i. Perhatikan perbedaan saat pasien berdiri dan tiduran, apakah terdapat benjolan
saat berdiri atau tidak.
ii. pasien diminta beridiri dan mengejan atau batuk (manuver valsava) à akan
timbul benjolan pada daerah lipatan paha
- Palpasi:
i. Teraba massa, fluktuasi (+), batas tegas
ii. Menggunakan tangankanan jika lokasi berada disebelah kanan dan
menggunakan tangan kiri jika lokasi yang akan diperiksa berada disebelah kiri
iii. Gunakan jari dan telusuri kanalis inguinalis
o Perkusi: timpani bila berisi usus
o Auskultasi: suara bising usus
o Transiluminasi: melihat ada
tidaknya cairan untuk
membedakan dengan hidrokel

TT
B
B
244
230
XI. Diagnosis
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada hernia sudah dapat mengkonfirmasi untuk
diagnosis hernia.
b. Radiologi dapat dibutuhkan jika terdapat ketidakpastian dalam hasil pemeriksaan
fisik dan diagnosis seperti pembengkakan pada daerah paha atau pasien dengan
morbiditas obesitas.
c. Tampakan klinis yang jelas seperti pembesaran ada daerah paha yang hilang timbul
tidak memerlukan pemeriksaan penunjang
d. USG dapat dilakukan jika masih terdapat ketidakjelasan dalam mendiagnosis sebagai
inisial investigasi menggunakan radiologi.
e. MRI dan CT scan sangat jarang digunakan
Rekomendasi:
a. Pemeriksaan klinis dapat mengkonfirmasi hernia jika tampakannya jelas
b. Pemeriksaan klinis dan USG direkomendasikan pada pasien dengan pembengkakan
pada daerah lipatan paha yang masih tidak jelas serta kemungkinan adanya hernia
yang tersembunyi. MRI dan CT-scan dapat digunakan jika hasil dari USG negatif
atau tidak dapat mendiagnosis

XII. Komplikasi
a. Hernia inkarserata
Hernia inkarserata adalah ketika isi dari hernia tidak dapat di reduksi kembali
kedalam kavitas abdomen. Usus atau omentum yang masuk kedalam hernia yang
sempit dapat terperangkap dan terjadi edema sehingga membengkak dan
terperangkapnya cairan didalam lumen usus. Hernia inkarserata dapat menyebabkan
obstruksi pada usus dan menggaggu pasasenya. Operasi emergensi diperlukan pada
hernia inkarserata yang sangat nyeri.
b. Hernia strangulata
Hernia strangulata adalah ketika terjadi ketidakseimbangan serta berkurangnya suplai
oksigen pada usus. Hernia strangulata harus dilakukan operasi emergensi karena
dapat menyebabkan nekrosis jika dibiarkan. Usus yang masih sehat saat dilakukan
operasi dapat diperbaiki dengan mesh. Jika usus yang sudah terkontaminasi (gangren)

TT
B
B
245
231
atau tidak sehat perlu dilakukan laparotomi dan reseksi usus serta reparasi hernia
dengan non-mesh. Reparasi menggunakan mesh perlu dihindari karena resiko infeksi
dari mesh itu sendiri.

(1). Hernia inkarserata


(2). Hernia strangulata

XIII. Manajemen
Manajemen untuk hernia adalah dengan operasi. Operasi penting untuk mencegah
terjadinya strangulasi dan meredakan gejala hernia seperti nyeri dan susahnya benjolan
tersebut dikembalikan. Operasi yang terbaik mempunyai beberapa atribut, yaitu resiko
yang rendah terhadap komplikasi (rekurensi dan nyeri), relatif dapat dipelajari,
penyembuhan yang cepat, dapat dikerjakan dengan orang banyak, dan efetif terhadap
harga. Penentuan untuk operasi juga mempunyai beberapa faktor seperti karakteristik dari
hernia, tipe anestesi, preferensi dan kompetensi dari dokter bedah, serta logistik.
Observasi pada hernia juga dapat sebagai opsi pada penderita dengan gejala minimal atau
asimptomatik.

a. Observasi/watchful waiting
- Observasi dapat dikatakan strategi yang aman pada pasien dewasa dengan gejala
minimal dan asmptomatik
- Komplikasi hernia akut seperti obstruksi pada usus dan strangulasi/strangulasi
jarang terjadi
- Pasien disarankan untuk mencari dokter segera jika terdapat tanda dan gejala
seperti nyeri perut, mual, muntah, konstipasi
- Pada akhirnya pasien yang awalnya asimptomatik akan berkembang menjadi
simptomatik dan melalui operasi.

TT
B
B
246
232
b. Operasi
Terdapat dua tipe untuk operasi hernia yaitu, dengan mesh atau tanpa mesh. Reparasi
pada hernia dengan non-mesh (Bassini atau teknik ligament Cooper) merupakan
manajemen operasi utama pada hernia inguinalis sampai pada tahun 1990; tetapi
teknik menggunakan mesh (teknik Lichtenstein) saat ini lebih sering dipakai. Teknik
Lichtenstein dengan menempatkan polypropylene mesh prosthesis bebas tensi
(perkiraan ukuran 5 cm x 12 cm) pada dinding posterior dari ligamentum inguinal dan
obliq internal dari pubis ke spina iliaca, melingkari struktur korda. Mati rasa pada
inguinal sebagai efek samping dari prosedur ini akan mereda seiring berjalannya
waktu.

Operasi menggunakan teknik plug-and-patch adalah alternatif dari teknik


menggunakan mesh. Teknik ini dengan memasukkan polypropylene mesh berbentuk
kerucut kedalam bagian yang defek. Teknik jarang digunakan karena tingkat
komplikasi yang tinggi, perpindahan tempat dari plug-nya, serta erosi pada usus atau
vesika urinaria.

Lichenstein procedure
Shouldice Repair

TT
B
B
247
233
Rekomendasi:
- Teknik reparasi pada operasi hernia menggunakan mesh direkomendasikan
- Teknik non-mesh yang direkomendasikan adalah shouldice repair

c. Antibiotik Profilaksis
Rekomendasi:
- Pada mesh repair terbuka, pemberian antibiotik profilaksis pada pasien dengan
resiko sedang berada di lingkungan dengan resiko rendah tidak direkomendasikan
- Rekomendasi untuk pemberian antibiotik pada semua pasien berada di lingkungan
dengan resiko tinggi

d. Manajemen Dan Penceghan Nyeri Post-Operasi


Rekomendasi:
- Penggunaan NSAID dan Selective Cox-2 inhibitor di kombinasikan dengan
parasetamol dapat direkomendasikan untuk operasi herniorepair terbuka
- Pre- dan perioperatif anestesi lokal seperti Field Bock pada nervus inguinalis
dan/atau inflitrasi subkutan direkomendasikan pada semua operasi hernia terbuka

TT
B
B
248
234
XIV. Referensi
Amerson, J.R., 1990. Inguinal canal and hernia examination.
Bates, B., Hoekelman, R.A. and Thompson, J.B., 1991. A guide to physical examination
and history taking (p. 714). Philadelphia, Pa, USA: Lippincott.
Burney, R. 2018. BMJ Best Practice: inguinal hernia in adults. BMJ Publishing Group
International guidelines for groin hernia management. Hernia (2018): 1-165.
Monson, J.R. and Weiser, M.R., 2008. Sabiston Textbook of Surgery, The Biological
Basis of Modern Surgical Practice.
Moore, K.L., Dalley, A.F. and Agur, A.M., 2013. Clinically oriented anatomy. Lippincott
Williams & Wilkins.

TT
B
B
249
235
KOMPETENSI
SIRKUMSISI
Kontributor: Asilia Sukma Yanthi
4A
I. Definisi
• Sirkumsisi è tindakan memotong/menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup
penis (preputium).
• Sirkumsisi diambil dari bahasa Latin:
– Circum = encircle (mengelilingi)
– Caedere = cutting (memotong)
• Manfaat sirkumsisi: mencegah terjadinya kanker penis, ISK, penyakit menular seksual
termasuk infeksi HIV, fimosis, mengurangi resiko balanitis.

II. Embriologi

TT
B
B
Source: Duke Medicine
33
Source: Duke 236
III. Anatomi

TT
B
B
34
237
TT
B
B
35
238
TT
B
B
36
239
TT
B
B
37
240
Kapan Dilakukan Sirkumsisi?
• Dapat dilakukan pada semua usia
• Infant Cirmcumcision è lebih simple karena preputium lebih tipis dan vaskularisasi
minimal, penyembuhan luka lebih cepat (penyembuhan luka superfisial setelah 5-7
hari, penyembuhan komplit dalam 14 hari) dan kejadian komplikasi rendah

WHO, 2010

TT
B
B
38
241

IV. Indikasi
• Kepercayaan Agama
• Indikasi medis:
o Fimosis
o Parafimosis
o Balanitis dan posthitis
o Balanitis xerotica obliterans
o Mencegah kejadian penile cancer, STD, UTI, HIV

V. Kontraindikasi
• Hipospadia
• Penile curvature
• Dorsal hood deformity
• Buried penis
• Webbed penis

VI. Alat Dan Bahan


• Baki instrumen yang terbalut • Linen berlubang
kain steril • Povidone iodine (50 ml dari 10%
• Pinset sirurgis, pinset anatomis solution)
• Klem arteri • 15 ml of 1% lidocaine
• Gunting jaringan • Syringe & injection needles
• Gunting benang • Plaster
• Needle holder • Kassa
• Korentang • Alat jahit
• Scalpel dan blade • gloves, masker, caps dan aprons

TT
B
B
39
242
VII. Prosedur Sirkumsisi
General Preparation:
• Pastikan ketersediaan alat dan bahan
• Berikan informasi kepada orang tua/wali sah
• Informed consent
• Skrining pasien, jangan lupa cuci tangan!
• Posisikan pasien

The maximum safe dose of lidocaine in children is 3 mg/kg of body weight. For a 3-kg
baby, this corresponds to 0.9 ml of 1% solution or 1.8 ml of 0.5% solution (see Table 5.1).
Anaesthetic solutions containing epinephrine (adrenaline) should never be used.

TT
B
B
40
243

A. Dorsal Slit

WHO, 2010

TT
B
B
41
244
B. Forcep Guide Method

WHO, 2010

C. Sleeve Resection Method

1 2

3
4

TT
WHO, 2010

B
B
42
245

D. Mogen Surgical Technique

WHO, 2010

E. Gomco Surgical Technique

WHO, 2010

TT
B
B
43
246
F. Plastibell Surgical Technique

WHO, 2010

The Plastibell will drop off after 5–8 days. Alternatively the infant can be checked after
36–48 hours and the ligature cut.

VIII. Postoperative
Edukasi
a. Kassa harus dilepas 24-28 jam pasca operasi, jika tidak ada pendarahan. Jika ada,
maka kassa diganti, luka ditutupi kembali untuk 24-48 jam.
b. Gunakan celana dalam yang longgar dan harus diganti setiap hari.
c. Setelah kassa dilepas, area genital dapat dibasahi dengan air dan sabun bayi.
d. Segera kembali ke dokter apabila ada pendaraham, nyeri berat pada area genital,
kesulitan BAK atau nyeri BAK, keluar nanah/pus dari luka operasi, bengkak.
e. Hindari hubungan seksual selama 4-6 minggu setelah operasi untuk membantu
proses penyembuhan luka dan gunakan kondom minimal selama 6 bulan apabila
berhubungan seksual.

IX. Komplikasi
Komplikasi saat prosedur:
• Komplikasi paling sering ialah perdarahan (0.1% dan lebih sering pada anak yang
lebih tua)
• Perlekatan berlebihan pada preputium dan glans
• Penile trauma

48 jam pertama setelah prosedur:

TT
• Perdarahan

B
B
44
247
• Hematoma
• Wound disruption

2 Minggu setelah prosedur:


• Infeksi (paling sering setelah 2-3 hari)
• Wound disruption dan terbukanya jahitan
• Infeksi luka yang memburuk dengan gangrene (Fournier’s gangrene)

Late complications:
• Penurunan/peningkatan sensitifitas glans
• Tidak nyaman saat ereksi dikarenakan tertariknya kulit skrotum
• Penile skin complication (kosmetik). Sirkumsisi perbaikan dapat dilakukan
dibawah anestesi total.
• Glanural adhesions (menempelnya bagian dalam preputiom atau garis insisi
sirkumsisi pada glans) dan skin bridges (dapat menyebabkan cordae ataupun torsi
penis)
• Meatal Stenosis

TT
B
B
45
248
X. Reference

Medscape.com

Duke Medicine, Urogenital Develpoment (web.duke.edu/anatomy)

WHO. 2009. Manual for Male Circucision under Local Anaesthesia

WHO. 2010. Manual for Early Infant Male Circumcision Under Local

Anesthesia Campbell – Walsh Urology 11th Ed (2016)

S. Tekgul et al. Guideline of Paediatric Urology (2013)

TT
B
B
46
249
KOMPETENSI
FIMOSIS
Kontributor: Asilia Sukma Yanthi
4A
• Kondisi dimana kulup penis (preputium) tidak dapat ditarik ke belakang melewati glans
penis.
• Normalnya, retraksi preputium ke belakang melewati glans penis pada:
– 50% pada usia 1 tahun
– 89% pada usia 3 tahun
• Fimosis dapat dibagi menjadi:
– Primer (fisiologis) tanpa adanya tanda scar
– Sekunder (patologis) adanya scar seperti balanitis xerotica obliterans
• Diagnosis è anamnesis (edema, eritem, nyeri tekan, discharge), pemeriksaan fisik
(phimosis grading)
• Terapi:
– Tegantung pada pilihan pasien
– Fimosis primer è terapi konservatif (corticoid salep/cream memiliki angka
keberhasilan 90%).
– Pada fimosis sekunder merupakan indikasi absolut untuk sirkumsisi.

I I I I
Source:
Smith General Urology
Guideline Paediatric Urology

TT
B
B
47
250

KOMPETENSI
PARAFIMOSIS
Kontributor: Asilia Sukma Yanthi
4A
• Kondisi dimana kulup penis (preputium) diretraksi melewati glans penis tidak dapat
dikembalikan ke posisi normal.
• Inflamasi kronisè kontraktur pada pembukaan preputium (fimosis) è tight ring of skin
è kongesti vena è edema glans penis è progresi, oklusi arteri dan nekrosis glans penis
dapat terjadi.
• Parafimosis merupakan kondisis darurat dan terapi tidak boleh ditunda. Apabila reposisi
manual gagal maka dapat dilakukan dorsal insisi pada constrictive ring.

Source:
Smith General Urology
Guideline Paediatric Urology

TT
B
B
48
251

BALANITIS DAN POSITIS


Kontributor: Asilia Sukma Yanthi

• Balanitis : inflamasi pada glans penis


• Inflamasi berespon terhadap terapi lokal dan salep antibiotik (oral antibiotik terkadang
dibutuhkan)
• Balanoposthitis : bentuk berat dari balanitis
• Terjadi ketika ikatan fimosis cukup erat untuk menahan sekresi sehingga terbentuk
preputial cavity abscess.

Source : Campbell & Walsh Urology. 2016

TT
B
B
49
252

KOMPETENSI
HIPOSPADIA
Kontributor: Asilia Sukma Yanthi
2
• Kondisi dimana meatus uretra eksterna terletak lebih proksimal dari lokasi normalnya
• Tujuan terapi è Koreksi, untuk sebisa mungkin mengembalikan fungsi normal and
tampakan normal penis. (urethroplasty)

Source : Campbell & Walsh Urology. 2016

TT
B
B
50
253

PENILE CURVATURE
Kontributor: Asilia Sukma Yanthi

• Abnormalitas pada kurvatura penis: vertikal (ventral/dorsal direction) atau horisontal


(lateral direction).
• Kongenital atau acquired akibat tindakan operasi (sirkumsisi, hypospadias repair) atau
trauma
• Kurvatura penis paling sering terjadi adalah ventral direction disebut juga chordee, dan
biasanya berhubungan dengan hipospadia.

TT
Source : Campbell & Walsh Urology. 2016

B
B
51
254

BURRIED PENIS
Kontributor: Asilia Sukma Yanthi

• Hidden atau concealed penis (Cromie et al, 1998).


• Buried penis adalah normal penis yang tersembunyi/tertutupi oleh lemak suprapubik.
• Congenital buried penis è inelastisitas fascia dartos

TT
B
B
52
255

WEBBED PENIS
Kontributor: Asilia Sukma Yanthi

• Dikenal juga sebagai penoscrotal fusion, merupakan kondisi kongenital atau acquired
(didapat) yang disebabkan karena ekstensi kulit skrotum ke ventrum penis.

TT
B
B
53
256
KOMPETENSI
UNDESCENDED TESTIS
Kontributor: Abdur Rahman Faqih Al Jundi 2
I. Definisi
Kriptorkismus berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan orchis yang
dalam bahasa latin disebut testis. Undescended testis (UDT) atau biasa disebut kriptorkismus
adalah suatu keadaan dimana satu atau kedua testis tidak berada di dalam kantung skrotum,
tetapi masih berada di salah satu tempat sepanjang jalur desensus normal. Testis yang
berlokasi di luar jalur desensus yang normal disebut sebagai testis ektopik, sedangkan testis
yang terletak tidak di dalam skrotum tetapi dapat didorong masuk ke dalam skrotum dan
menaik lagi bila dilepaskan dinamakan pseudokriptorkismus atau testis retraktil.

II. Epidemiologi
UDT merupakan kelainan genitalia kongenital tersering pada anak laki-laki. Pada bayi
prematur sekitar 30,3% dan sekitar 3,4% pada bayi cukup bulan. Bayi dengan berat lahir <
900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan dengan berat lahir < 1800 gram sekitar
68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur menjadi 1 tahun, insidennya menurun menjadi 0,8
%, angka ini hampir sama dengan populasi dewasa.

Data prevalensi UDT berdasarkan umur oleh Scorer dan Farrington ( 1971)

TT
B
B
333
257
UDT unilateral 4 kali lebih sering dari UDT bilateral. Dengan bertambahnya usia, testis
mengalami desensus secara spontan sekitar 70-77% biasanya pada usia 3 bulan, sehingga
pada saat usia 1 tahun angka kejadian UDT turun menjadi 1% dibandingkan saat lahir 3,7%.
Setelah usia 1 tahun, testis yang letaknya abnormal jarang dapat mengalami desensus testis
secara spontan.

III. Embriologi dan Proses Penurunan Testis


Pada minggu ke enam umur kehamilan primordial germ cells mengalami migrasi dari yolk
sac ke genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex deter mining region Y), maka akan
berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yang berisi prekursor sel-sel Sertoli
besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig kecil) dengan stimulasi
FSH yang dihasilkan pituitary mulai aktif berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan
mengeluarkan MIF (Müller ian Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi ipsilateral
dari duktus mullerian. MIF juga meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig.
Pada minggu ke-10 dan 11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin yang
dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi testosteron yang
sangat esensial bagi diferensiasi duktus Wolfian menjadi epididimys, vas deferens, dan
vesika seminalis.

Faktor yang mempengaruhi penurunan testis adalah :


1. Anti Mullerian Hormon
2. Tekanan intraabdomen
3. Faktor Hormon Androgen

Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun mekanismenya belum
diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa terdapat beberapa faktor yang
berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik (anatomik), dan neural. Terjadi dalam 2
fase yang dimulai sekitar minggu ke-10 kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual.
Fase transabdominal dan fase inguinoscrotal . Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal
yang berbeda.

TT
B
B
334
258
Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, dimana testis mengalami
penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal initerjadi karena adanya regresi
ligamentum suspensorium cranialis dibawah pengaruh androgen (testosteron), disertai
pemendekan gubernaculums (ligament yang melekatkan bagian inferior testis ke segmen
bawah skrotum) di bawah pengaruh MIF. Dengan perkembangan yang cepat dari region
abdomino pelvic maka testis akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3
kehamilan terbentuk processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke arah skrotum.
Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan.

Skema penurunan testis menurut Hutson

Keterangan gambar: Antara minggu ke- 8±15 gubernaculum (G) berkembang pada laki-laki,
mendekatkan testis (T) ke-inguinal. Ligamentum suspensorium cranialis (CSL) mengalami
regresi. Migrasi gubernaculum ke skrotum terjadi pada minggu ke- 28.

Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai dengan minggu ke-
35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari region inguinal ke dalam skrotum dibawah
pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun diduga
melalui mediasi pengeluaran calcitonin generelated peptide (CGRP). Androgen akan

TT
B
B
335
259
merangsang nervus genitofemoral untuk mengeluarkan CGRP yang menyebabkan kontraksi
ritmis dari gubernaculum. Faktor mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah tekanan
abdominal yang meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di
samping itu tekanan abdomen akan menyebabkan terbentuknya ujung dari processus
vaginalis melalui canalis inguinalis menuju skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa
berlangsung sampai bayi usia 9-12 bulan.

IV. Etiologi
Mekanisme terjadinya UDT berhubungan dengan banyak faktor (multifaktorial) yaitu (1)
Perbedaaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap funikulus spermatikus atau gubernakulum,
(2) peningkatan tekanan abdomen, (3) faktor hormonal: testosteron, MIS, dan extrinsic
estrogen (4) Perkembangan epididimis, (5) Perlekatan gubernakular (6) Genito femoral
nerve/calcitonin gene-related peptide (CGRP), (7) Sekunder pasca-operasi inguinal yang
menyebabkan jaringan ikat.

UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1) gubernakulumtestis, (2) kelainan
intrinsik testis, atau (3) defisiensi hormon gonadotropin yangmemacu proses desensus testis.
Beberapa penelitian telah mengidentifikasi kelompok bayi baru lahir yang beresiko
mengalami UDT untuk mencari riwayat alami dan faktor-faktor yang mempengaruhi
desensus setelah lahir. Penelitian ini menemukan bahwa UDT secara signifikan lebih banyak
ditemukan pada bayi prematur, kecil untuk masa kehamilan, berat bayi baru lahir yang
rendah, dan kembar.

V. Klasifikasi
UDT dikelompokkan menjadi 3 tipe:
1. UDT sesungguhnya (true undescended: testis mengalami penurunan parsial melalui jalur
yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba
(impalpable)
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang normal.

TT
B
B
336
260
3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat refleks
kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis inguinalis, bukan termasuk
UDT yang sebenarnya.

Klasifikasi berdasarkan etio patogenesis :


1. Mekanis / anatomik (perleketan-perleketan, kelainan kanalis inguinalis dll)
2. Endokrin / hormonal ( kelainan axis hipotalamus-hipofisis-testis)
3. Disgenetik (kelainan interseks multiple)
4. Herediter/ genetik

Klasifikasi berdasarkan lokasi :

Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis.

VI. Patogenesis dan Patofisiologi


Suhu di dalam rongga abdomen kurang lebih 1-20C lebih tinggi daripada suhu di dalam
skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih tinggi daripada testis
normal, hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel germinal testis.

Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah mengalami
kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal yang masih normal.
Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya testis menjadi mengecil. Karena sel-
sel Leydig sebagai penghasil hormone androgen tidak ikut rusak, maka potensi seksual tidak

TT
B
B
337
261
mengalami gangguan. Akibat lain yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada
diskrotum adalah mudah terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah
mengalami degenerasi maligna.

VII. Diagnosis
a) Anamnesis
a. Tentukan apakah testis pernah teraba di skrotum
b. Riwayat operasi daerah inguinal
c. Riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu untuk reproduksi, kehamilan kembar,
prematuritas
d. Riwayat keluarga: UDT, hipospadia, infertilitas, intersex, pubertas prekoks

b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat. Pemeriksaan
secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda sindrom
tertentu,dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigu.

Saat pemeriksaan fisik kondisi pasien harus dalam keadaan relaksasi dan posisi seperti
frog-leg atau crosslegged. Pada pasien yang terlalu gemuk, dapat dilakukan dalam posisi
sitting cross-legged atau baseball catchers. Tangan pemeriksa harus dalam keadaan
hangat untuk menghindari tertariknya testis ke atas.

UDT dapat diklasifikasi berdasarkan lokasinya menjadi:


1. Skrotum atas
2. Intrakanalikuler (Inguinal)
3. IntraAbdomen

Untuk kepentingan klinis dan penatalaksanaan terapi, klasifikasi cukup dibedakan


menjadi teraba atau tidak. Pemeriksaan testis kontralateral juga perlu dilakukan.
Pemeriksaan fisik dimulai dari antero-superior iliac spine, meraba daerah inguinal dari
lateral ke medial dengan tangan yang tidak dominan. Jika teraba testis, testis dipegang

TT
B
B
338
262
dengan tangan dominan dan ditarik ke arah skrorum. Pemeriksaan skrotum untuk:
hypoplastic, bifid, rugae, transposition, pigmentation. Pemeriksaan fisik juga untuk
menyingkirkan ektopik testis.

Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti supraskrotal (20%),
dan intraabdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang baik dapat menentukan lokasi
UDT tersebut.

c) Pemeriksaan Penunjang
• USG
USG hanya efektif untuk mendeteksi testis di kanalis inguinalis ke superfisial, dan
tidak dapat mendeteksi testis di intraabdominal.
• CT
CT scan dapat mendeteksi testis intraabdominal. Akurasi CT Scan sama baiknya
dengan USG pada testis letak inguinal. Sedang testis letak intraabdominal CT Scan
lebih unggul (CT Scan 96% vs USG 91%).
• MRI
Dapat mendeteksi degenerasi maligna pada kriptorkidismus. Kelemahannya loop usus
dan limfonodi dapat menyerupai kriptorkidismus
• LABORATORIUM (UDT bilateral)
Pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan disertai hipospadia dan virilisasi,
diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan hormonal LH, FSH, testosterone hCG

VIII. Penatalaksanaan
• Tujuan dari penanganan UDT adalah :
1. Meningkatkan fertilitas
2. Mencegah torsio testis
3. Mengurangi resiko cidera khususnya bila testis terletak di tuberkulum pubik
4. Mengkoreksi kelainan lain yang menyertai, seperti hernia
5. Mencegah / deteksi awal dari keganasan testis
6. Membentuk body image

TT
B
B
339
263
• Medika mentosa
Terapi hormonal menggunakan
1. hCG Human chorionic gonadotropin, 1,5 IU – 3.0 IU selama 14 hari atau 500 IU per
minggu atau 1.50 IU tiga kali seminggu secara IM.
2. Gonadotropin-releasing hormone seperti buserelin dan gonadorelin (nasal spray) 1.2
mg per hari dibagi dalam tiga dosis selama 4 minggu.
3. Kombinasi HCG dan GnRH

• Operasi orchidopexy
1. Indikasi pembedahan
2. Terapi hormonal gagal
3. Terjadi hernia yang potensial menimbulkan komplikasi
4. Dicurigai torsio testis
5. Lokasi intraabdominal atau di atas kanalis inguinalis.
6. Testis ektopik

UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko tumor sel germinal
yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5-7 tahun, akan tetapi perubahan
morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko kerusakan histologi testis juga berhubungan
dengan letak abnormal testis. Pada awal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel
germinalnya pada kasus intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal,
penurunansel geminal mencapai 41% dan 20%.

IX. Daftar Pustaka


Niedzielski JK, Oszukowska E, Słowikowska-Hilczer J. Undescended testis - current trends
and guidelines: a review of the literature. Arch Med Sci. 2016;12(3):667–677.
doi:10.5114/aoms.2016.59940
Schneck FX, Bellinger MF. Abnormalities of the testes and scrotum and their surgical
management. Dalam: Walsh PC. Campbellµs Urology Vol 1. 8thedition. Philadelphia:
WB Saunders Company. 2000.

TT
B
B
340
264
Tanagho EA, Nguyen HT. Embriology of the Genitourinary System. Dalam:Tanagho EA,
McAninch JW.Smith¶s General Urology . Edisi 17. California:The McGraw Hill
companies; 2000. h.23-45.
Docimo, S. G., R. I. Silver, and W.Cromie.The Undescended Testicle:Diagnosis and
Management.American Family Physician,62 (November 1,2000): 2037±2044,
2047±2048.
Batubara JRL.Terapi hormonal pada kriptorkismus.Disampaikan padaSimposium Sehari
Tatalaksana Optimal Kriptorkismus, Jakarta
Sadler. Embriologi Kedokteran LANGMAN. Edisi ke-7. Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran
EGC; 2000. h.280-310
Himawan S. Segi patologik kriptokismus. Disampaikan pada Simposium Sehari Tatalaksana
Optimal Kriptorkismis, Jakarta
Kolon. TF, Patel RP, Huff DS, Cryptorchidism: diagnosis, treatment, and long term
prognosis. Urol Clin North Am 2004; 31:7- 18.
Hutson JM, Hasthorpe S, Heyns CF. Anatomical and functional aspects of testicular descent
and cryptorchidism. Endocrine Reviews 1997, 18(2); 259-80.

TT
B
B
341
265
Apakah bladder training dengan penjepitan
menggunakan clamp pada pasien rawat inap KOMPETENSI
yang menggunakan kateter urin diperlukan?
Systematic Review dan Meta analisis 3B
Kontributor: Afdhal Yuli Firlando

I. Pendahuluan
Pemasangan kateter urin sangat sering digunakan dalam praktek klinis. Setidaknya 15,0%-
25,0% pasien rawat inap menggunakan kateter urin. Kateter urin memberikan beberapa
informasi tentang fungsi fisik, tetapi juga meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi.
Sekitar 40,0% infeksi nosokomial berasal dari saluran kemih dan 80,0% terjadi setelah
pemasangan kateteter urin. Sekitar 20,5%-50,0% pasien yang menggunakan kateter urin
lebih dari 1 minggu ditemukan bakteriuria. Faktor risiko yang paling penting dari
penggunakan kateter urin jangka panjang adalah risiko infeksi saluran kemih (ISK) dan
biaya medis terkait dengan pengobatan akibat infeksi yang timbul dari penggunaan kateter
urin. Centers for Disease Control (CDC) pada tahhun 2015 merekomendasikan bahwa
kateter urin hanya digunakan jika ada indikasi dan harus segera dilepaskan jika dirasa sudah
tidak dibutuhkan.

Kesulitan berkemih setelah pengangkatan kateter urin terjadi pada pasien lansia dengan
kontraksi kandung kemih yang buruk hal ini tentu menjadi perhatian khusus dari tenaga
kesehatan. Menjepit kateter urin (Bladder Training) pertama kali direkomendasikan oleh
Ross pada tahun 1936. Bladder Training diharapkan memperkuat otot detrussor kandung
kemih, memperbaiki tonus otot, menigkatkan sensasi berkemih merangsang pengisian dan
pengosongan kandung kemih. Namun demikian ada beberapa kerugian dilakukan bladder
training yakni distensi berlebihan akibat penjepitan yang terlalu lama dan tingginya angka
infeksi.

TT
B
B
342
266
Tidak ada pedoman yang jelas dari para ahli untuk prosedur penjepitan kateter urin. Setiap
praktisi membuat keputusan sendiri kapan harus dilakukan bladder training kapan tidak
berdasarkan pengalaman dalan praktik klinis. Review Cochrane dan beberapa studi
menunjukkan sedikit sekali data yang menunjukkan efektifitas dilakukannya bladder
training.

Masih butuh pengkajian lanjut terkait hal ini. Apakah penjepitan kateter urin sebelum
dilepas akan meningkatkan fungsi kandung kemih? Tujuan dari studi ini adalah untuk
mengidentifikasi kebutuhan penjepitan kateter urin sebelum dilepaskan pada pasien rawat
inap dengan penggunaan kateter urin.

II. Metode
Pertanyaan penilitian
“Peserta, Intervensi, Perbandingan, dan Hasil” atau prinsip PICO digunakan untuk
merumuskan pertanyaan klinis membantu untuk strategi pencarian, seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 1. Pertanyaan penelitian utama” Apa saja efek dari penjepitan kateter urin pada
pasien rawat inap jangka pendek yang dipasang kateter urin?”

Tabel.1 Pertanyaan penelitian (PICO Framework)

Strategi Pencarian
Pencarian dilakukan pada 8 databese yakni: Medline, EMBASE, CINAHL, PubMed,
PsycINFO, ProQuest, Chinese Electronic Periodical Service and the Cochrane Control

TT
B
B
343
267
Trial Register. Filter pencarian dilakukan termasuk didalamnya menggunakan bahasa
inggris atau mandarin dan subjek penelitian merupakan pasien dewasa. Pencarian juga
terbatas pada makalah yang diterbitkan sebelum Mei 2016.

Kriteria Pemilihan Studi


Studi harus memenuhi syarat seperti berikut:
a. Desain studi merupakan randomized control trial atau studi quasiexperimental
b. Pasien dewasa yang dipasang kateter urin maksimal 14 hari
c. Kateter urin dipasang baik secara transuretra maupun suprapubik
d. Melakukan penjepitan kateter secara intermitten
Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut:
a. Pasien dengan kelaianan kongenital pada saluran kemih
b. Penggunaan kateter urin secara intermitten
c. Menerima obat-obatan seperti antibiotik profilaksis
d. Pasien yang melakukan latihan otot panggul
e. Pasien dengan nefrostomi atau prosedur lain yang relevan

Penilaian kualitas studi


Melakukan evaluasi metodologi dengan Jadad Scoring System. Kisaran skor antara 0-5.
dikatakan memiliki kualitas tinggi apabila skor 3-5.

Sintesis Data Kuantitatif


Data telah disintesis menggunakan Review Manager (RevMan,Versi 5.0). Software ini
digunakan untuk menguji homogenitas data dan menghitung perbedaan intervensi. Uji
homogenitas ini dikatakan diterima jika nilai P >0.05, jik ada data yang homogenitas
digunakan fixed effect model. Untuk data studi yang memiliki data heterogen digunakan
kombinasi efek untuk menggabungkan data pada meta analisis. Data dikotomus di hitung
dengan odds ratio (OR) dan 95% confidence interval (CI), dan data kontinus dihitung
menggunakan rata-rata dan nilai standar deviasi. Suatu nilai p kurang dari 0.05 memiliki
perbedaan yang bermakna.

TT
B
B
344
268
III. Hasil
Sebanyak 2.515 abstrak diperoleh dengan melakukan pencarian melalui database. Setelah
menghapus 96 studi yang diduka melakukan duplikasi, ada 2.395 artrikel berpotensi relevan.
Setelah meninjau judul dan abstrak, 2.289 artikel dikelurakan karena tidak memenuhi
kriteria inklusi. Kemudian teks lengkap dari 106 penelitian diperiksa secara rinci, hanya 10
studi yang memenuhi semua kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini. Sebanyak
sembilan percobaan dan 927 peserta dilibatkan dalam studi ini. Satu studi menggunakan
desain quasieksperimental dan yang lain menggunakan RCT. 4 dari 9 studi dilakukan di
Amerika Serikat, selebihnya dilakukan di Taiwan, Swedia, Inggris, Spanyol, Italia, dan
Cina. Sebagian besar peserta adalah pasien bedah atau sedang menjalani perawatan bedah,
hanya satu percobaan yang melibatkan pasien stroke. Operasi yang dilakukan adalah pada
pasien berikut: 2 studi terkait dengan operasi kanker usus, 1 studi terkait operasi orthopaedi,
5 studi terkait uroginekologi,1 studi tidak menyebutkan jenis operasinya.

Ada sekitar 780 peserta perempuan (84,1%). Rentang usia peserta adalah 23-84 tahun. Ada
beberapa perbedaan dalam intervensi yang dilakukan penjepitan kateter urin. 2 studi
melakukan penjepitan setiap 3 jam, 6 studi melakukan tiap 4 jam, dan sisanya melakukan
penjepitan secara progresif. Interval pelepasan kateter berkisar antara 5 menit hingga 15
menit. Berdasarkan jenis kateter yang digunakan, satu penelitian menggunakan kateter
suprapubik dan sisanya menggunakan kateter transuretra. Waktu dimulainya penjepitan
adalah sebagai berikut: dilakukan pada hari pertama, hari ketiga, dan hari keempat. Studi
lain tidak menyebutkan waktu.

Variabel luaran yang diamati bervariasi dari masing-masing studi. 7 studi melaporkan
penggunaan kateter berulang, 3 studi melihat waktu pertama kali berkemih setelah
pelepasan kateter, 3studi melihat jumlah residu pada saat berkemih pertama kali,4 studi
melihat retensi urin, 6 studi melihat angka terjadinya ISK, hamper semua studi
menggunakan kultur urin untuk mendiagnosis ISK. 5 studi mengamati presepsi subjektif
dari peserta.

TT
B
B
345
269
Evaluasi kualitas studi
Evaluasi kualitas dari studi dilakukan menggunakan system skoring Jadad didapatkan
40,0% memiliki studi dengan kualitas tinggi, 50.0% dari studi memiliki kualitas sedang dan
10,0% dari penelitian memiliki kualitas yang buruk.

Analisis Keluaran yang diamati

Pengguaan kateter berulang setelah kateter urin dilepas


Hasil menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara kelompok yang dilakukan intervensi
dan yang tidak terkait dengan penggunaan kateter berulang (OR=0.77, CI 95%) nilai
p=0.424)

Waktu pertama kali berkemih


Rerata waktu untuk berkemih pertama pada pasien yang dilakukan penjepitan adalah (1,92
jam) dan tidak di lakukan klemp rerata waktu nya adalah (2.72 jam)

ISK
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan kultur urin. Hasilnya adalah tidak ada perbedaan
signifikan antara kelompok yang dilakukan penjepitan dan yang tidak pada kejadian ISK
(OR=0.76, 95% CI, p=0.516)

Persepsi subjektif pasien terkait berkemih


Dua studi menunjukkan persepsi frekwensi dan urgensi berkemih, 1 studi melaporkan
sensasi berkemih yang tidak tuntas, 1 studi menyebutkan sensasi terbakar selama berkemih.
Hasil nya adalah tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada persepsi subjektif terkait
gejala berkemih pada pasien yang dilakukan penjepitan ataupun tidak (OR=0.53, 95%CI,
p=0.56)

Retensi Urin
Hasil dari studi ini menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam kejadian retensi urin
pada 2 kelompok tersebut (OR=1.39, 95%CI, p=0.363)

TT
B
B
346
270
IV. Diskusi
Dalam beberapa kasus, ditemukan pasien yang dilakukan pemasangan kateter urin dan
dilakukan bladder training dapat meningkatkan fungsi berkemih. Dalam praktik klinis,
pemasangan kateter memeiliki beberapa tujuan. Namun dari beberapa sumber masih
sedikit ditemukan efektifitas dari bladder training. Sistematik review ini bertujuan untuk
mencari kepentingan penjepitan kateter pada pasien rawat inap dewasa yang dipasang
kateter. 5 studi diterbitkan sebelum tahun 2000-an, dan yang lainnya diterbitkan, dan yang
lainyya diterbitkan setelah tahun 2000-an. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kelompok yang dilakukan penjepitan dan yang tidak
dilakukan penjepitan yang terkait dengan penggunaan kateter berulang, retensi urin,
keluhan subjektif pasien terkait berkemih, dan angka kejadian ISK. Membandingkan
dengan sistematik review yang dibuat oleh Griffiths dan Fernandez, studi ini menggunakan
927 peserta dan menambahkan 2 kelompok sebagai perbandingan. Hasil yang sama dilihat
setelah dilakukan analisis. Dari beberapa sumber yang terbatas, rekomendasi dari HIPAC
dan JBI, bahwa penjepitan pada pasien yang dipasang kateter tidak diperlukan.
Penggunaan pemasangan kateter sangat sering dilakukan pada praktek klinis. Selama
dipasang kateter, otot dan sfingter kandung kemih dalam posisi istirahat. Beberapa studi
menyebutkan bladder training akan meningkatkan kekuatan otot detrusor, meningkatkan
sensasi berkemih, menstimulasi pengisian dan pengosongan kandung kemih. Namun masih
menjadi dilema terutama bagi penyedia layanan kesehatan.

Studi ini melibatkan pasien operasi dilokasi pelvis dan intestinal. Tempat-tempat bedah ini
sangat rentan terhadap proses berkemih. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa
penjepitan tidak berdampak signifikan pada outcome yang diamati. Temuan serupa telah
dilaporkan bahwa penjepitan kateter urin pada pasien yang menjalani operasi ginekologi,
tidak berpengaruh dalam mencegah retensi urin, infeksi saluran kemih.
Program penjepitan dibagi menjadi dua kelompok: prosedur penjepitan progresif dan
penjepitan dengan interval. Analisis lanjutan kami menemukan bahwa tidak ada perbedaan
antara kedua program penjepitan ini dalam kaitannya dengan kateter berulang. Karna
hanya satu penelitian yang memeriksa penjepitan secara progresif.

TT
B
B
347
271
Studi ini menunjukkan bahwa kelompok yang dilakukan penjepitan memiliki durasi
kateterisasi urin yang lebih lama dari pada kelompok yang tidak dipasang penjepitan.
Penggunaan kateter jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Penggunaan
klem dapat meningkatkan beban kerja perawat dan risiko cidera sistem kandung kemih.

V. Simpulan
Dari studi yang telah dilakukan tidak ada perbedaan yang signifikan yang ditemukan antara
kelompok yang dilakukan penjepitan dan tidak dalam hal rekateterisasi, retensi urin, ISK
dan persepsi subjektif pasien terkait masalah berkemih.

VI. Referensi
M. Nyman, J. Johansson, M.A. Gustafsson. Randomized controlled trial on the effect of
clamping the indwelling urinary catheter in patients with hip fracture. J Clin Nurs, 19
(2010), pp. 405-413, 10.1111/j.1365-2702.2009.03050.x

S. Saint. Clinical and economic consequences of nosocomial catheter-related bacteriuria.


Am J Infect Control, 28 (1) (2000), pp. 68-75, 10.1016/S0196-6553(00)90015-4

D.K. Warren, W.W. Quadir, C.S. Hollenbeak, A.M. Elward, M.J. Cox, V.J. Fraser.
Attributable cost of catheter-associated bloodstream infections among intensive care
patients in a nonteaching hospital. Crit Care Med, 34 (8) (2006), pp. 2084-2089,
10.1097/01.CCM.0000227648.15804.2D

N. Bhatia, M.K. Daga, S. Garg, S.K. Prakash. Urinary catheterization in medical wards.
J Global Infect Dis, 2 (2) (2010), pp. 83-90, 10.4103/0974-777X.62870View Record
in Scopus

P. Tenke, B. Kovacs, T.E. Bjerklund Johansen, T. Matsumoto, P.A. Tambyah, K.G. Naber.
European and Asian guidelines on management and prevention of catheter-associated
urinary tract infections. Int J Antimicrob Agents, 31 (Suppl. 1) (2008), pp. S68-S78,
10.1016/j.ijantimicag.2007.07.033

TT
B
B
348
272

KOMPETENSI
TETANUS
Kontributor: Dita Azka Nadhira 4A
I. Pendahuluan
Tetanus adalah penyakit neurologis yang disebabkan oleh infeksi akut dari Clostridium
tetani, yang ditandai dengan spasme otot skeletal dan gangguan saraf autonom. Manifestasi
klinis dan hubungannya dengan cedera traumatik sudah diketahui dari sejak zaman Yunani
dan Mesir kuno, dan para klinisi sebelum dibuatnya vaksin pada tahun 1940an.

II. Epidemiologi
Diperkirakan bahwa sebagian besar kasus tetanus dunia tidak terlaporkan (hanya ± 2-10%
kasus yang terlaporkan).

Pada negara maju, angka kasus tetanus menurun drastis sejak ditemukannya vaksin tetanus
pada tahun 1940; contohnya di Amerika Serikat, menurut CDC, terdapat 233 kasus tetanus
yang terdokumentasi pada tahun 2001 – 2008. Kebanyakan pasien tetanus tidak mendapat
vasksin lengkap atau tidak mendapat profilaksis yang memadai pasca terkena cedera
traumatik.

Pada negara berkembang, angka kasus tetanus diperkirakan masih tinggi, bahkan endemis
pada beberapa negara. Diperkirakan bahwa masih terdapat ± 1 juta kasus per tahun, dengan
angka kematian 300,000 – 500,000 kematian.

III. Patogen
Tetanus disebabkan oleh C. tetani, suatu bakteri anaerob Gram positif, berbentuk batang,
ramping, dengan spora di ujungnya (drumstick appearance). C. tetani sensitif terhadap panas
dan tidak dapat bertahan hidup pada kondisi aerob, namun spora dari C. tetani dapat
bertahan hidup dalam kondisi ekstrim, seperti pada area yang telah diautoclav dengan suhu

TT
B
B
71
273

121° C selama 10 – 15 menit. C. tetani berasal dari tanah dan usus & feces hewan, seperti
kuda, domba, sapi, anjing, kucing, tikus dan ayam.

Clostridium tetani menghasilkan dua jenis exotoxin, yaitu tetanolysin dan tetanoplasmin.
Fungsi tetanolysin belum diketahui dengan jelas, sedangkan tetanoplasmin telah diketahui
sebagai penyebab utama dari tetanus. Tetanospasmin adalah salah satu toxin paling
mematikan di dunia, dengan dosis letal sebanyak 2,5 ng/kgBW (175 ng untuk manusia
dewasa).

IV. Patogenesis
Pertama-tama, C. tetani masuk melalui luka terbuka yang terkontaminasi oleh tanah atau
feces hewan. Jika tidak ditangani dengan segera (perawatan luka dan pemberian
profilaksis), C. tetani akan germinasi pada area luka yang anaerobic (di dasar luka).
Setelah itu, C. tetani akan memproduksi toksin, dimana toksin tersebut akan diseminasi ke
dalam tubuh melalui aliran darah dan limfe. Toksin akan masuk ke sistem saraf pusat
melalui retrograde axonal transport, lalu akan mengenai interneuron inhibitorik. Disana,
toksin akan blockade neurotransmisi pada sel-sel cornu anterior yang akan menyebabkan
disinhibisi. Mekanisme ini akan meningkatkan tonus otot, spasme yang nyeri dan
instabilitas autonom yang luas.

TT
B
B
72
274

V. Tetanus-Prone Wounds
• Luka yang mengalami kontaminasi (dengan tanah, feces, saliva)
• Luka yang tidak ditangani dalam waktu > 6 – 24 jam
• Luka terinfeksi atau mempunyai resiko infeksi yang tinggi
• Jaringan yang terdenervasi atau iskemik
• Terdapat corpus alienum yang teretensi di dalam luka
• Cedera gastrointestinal yang penetrative
• Cedera luka tusuk
• Jaringan yang terkena cedera yang luas dan terputus suplai nutrisinya (stellate, crush,
explosion, major burn, frostbite)

VI. Manifestasi Klinis


A. Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata adalah jenis tetanus yang paling sering dan yang paling parah.
Simptom terdiri dari:
• Trismus (lockjaw). Refleks spasme pada muskulus masseter dapat muncul pada
pasien dengan tetanus. Hal ini dapat dites dengan tes spatula, dimana dengan
rangsangan pada pharynx posterior, gag reflex akan tersamarkan oleh spasme
masseter.
• Instabilitas autonom dengan gejala-gejala awal seperti iritabilitas, gelisah,
berkeringat dan takikardia, dan gejala-gejala lanjut adalah keringat berlebih, aritmia,
hipertensi/hipotensi tidak stabil dan demam.
• Gejala khas dari tetanus adalah spasme yang disertai nyeri, karena spasme pada
pasien tidak disertai oleh penurunan kesadaran.
• Spasme tonik dan periodik: kaku leher, opisthotonus, risus sardonicus, rigid
abdomen, periods of apnea, dysphagia

A. Tetanus Cephalica
Biasa terjadi pada pasien dengan cedera kepala atau leher (i.e. lesi yang dekat dengan
sistem saraf pusat), dengan penglibatan nervus cranial (paling sering nervus cranialis)

TT
B
B
73
275

terlebih dahulu sebelum berevolusi menjadi generalisata. Dapat terjadi misdiagnosis


stroke karena adanya neuropati kranial yang fokal.

B. Tetanus Neonatorum
Adalah akibat dari kegagalan proses aseptic pada perawatan tali pusar pada anak dari ibu
dengan status imunisasi yang buruk. Biasanya karena faktor kultural, dimana perawatan
tali pusar bayi menggunakan bahan-bahan organik non-steril. Biasanya, onset tetanus
neonatorum sekitar 5 – 7 hari postpartum. Manifestasinya, bayi akan mengalami trismus,
dimana bayi akan menolak untuk makan, lalu tangan bayi akan mengepal, kaki
dorsofleksi dan tonus otot meningkat.

C. Tetanus Localisata
Manifestasinya seperti kejang fokal.

VII. Diagnosis
Diagnosis utama dari tetanus adalah dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dimana
manifestasi klinis tetanus akan jelas.
Diagnosis banding:
Ø Drug-induced dystonia
Ø Strychnine poisoning due to ingestion of rat poison
Ø Malignant neuroleptic syndrome
Ø Stiff-person syndrome

VIII. Manajemen
Tujuan terapi:
- Menghentikan produksi toksin Tetanus
- Neutralisasi toksin bebas (unbound toxin)
- Manajemen jalan nafas
- Kontrol spasme otot
- Manajemen disautonomia
- Manajemen suportif general

TT
B
B
74
276

a. Terapi antimicrobial
- Metronidazole 500 mg/6 – 8 jam per IV, atau Penicillin G 2 – 4 mil IU/4 – 6 jam
selama 7 – 10 hari
- Suspected mixed infection: Cefazolin 1 – 2 g/12 jam atau Cefuroxime 2 g IV/6 jam
atau Ceftriaxone 1 – 2 g IV/24 jam
- Alternatif: Doxycycline 100 mg/12 jam atau
Clindamycin/Vancomycin/Chloramphenicol
b. Neutralisasi toksin bebas
- Tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000 – 6000 U per IM cito (dengan sebagian dosis
diinfiltrasikan ke sekitar area luka)
- Alternatif: Equine antitoxin (tes alergi terlebih dahulu: 0,1 mL dalam dilusi 1:10
intradermal)
c. Manajemen lainnya
- Kendali spasme otot: Benzodiazepines eg. Diazepam 10 – 30 mg IV, diulang setiap 1
– 4 jam (max. daily dose 500 mg) nb: hati-hati metabolic acidosis akibat Propylene
Glycol
- Manajemen disfungsi autonom: Magnesium sulfat 40 mg/kgBB selama 30 menit + 2
g/jam IV kontinyu, beta blocker NOT recommended
- Manajemen jalan nafas: Trakeostomi di awal penanganan lebih baik dari intubasi ET
agar tracheal suctioning dan pulmonary toilet dapat dilakukan dengan baik jika kasus
tidak membaik dalam jangka waktu pendek
- Terapi suportif: Support cairan dan nutrisi yang cukup, dapat ditambah Sucralfat
untuk antisipasi terjadinya stress ulcer

TT
B
B
75
277
IX. Jurnal: “Tetanus Vaccines: Who Position Paper February 2017”

a. Tujuan vaksinasi tetanus


- Mencapai status MNTE, atau maternal and neonates tetanus elimination (<1
neonatal tetanus case per 1000 live births in every district)
- Memastikan proteksi seumur hidup terhadap tetanus dengan vaksinasi 6 dosis (3
utama dan 3 booster)
b. Vaksinasi pada anak
- Dosis utama: dosis pertama pada usia 6 minggu, dengan interval 4 minggu untuk
dosis-dosis berikutnya. Jika ada dosis yang terlewat, administrasi vaksin harus
dilakukan segera, dengan interval 4 minggu
- Dosis booster: pada usia 12- 23 bulan, usia 4 – 7 tahun dan usia 9 – 15 tahun
(interval 4 tahun)
- Di jurnal ini, ditekankan bahwa program imunisasi nasional dan skrining
imunisasi tetanus di sekola-sekolah sangat penting agar status imunisasi negara
baik.

TT
B
B
76
278
c. Contoh-contoh catch-up vaccination
- Bersamaan dengan vaksin HPV pada perempuan usia remaja
- Military enrolments
- Pada program sunat dan pada sesi kontrolnya
- Jika vaksin baru dimulai di usia remaja/dewasa, 5 dosis dengan interval 4 minggu
sudah cukup
d. Vaksinasi wanita hamil
- Imunisasi lengkap pada calon ibu/ibu hamil akan proteksi anak dari birth-
associated tetanus
- Pada negara-negara non-MNT, dapat diberikan 2 dosis vaksin dengan interval 4
minggu (maks. 2 minggu prepartum) ditambah dosis ketiga 6 bulan postpartum
(dengan proteksi 5 tahun)
- Jika ibu hanya pernah vaksinasi 3 dosis, dapat ditambah 2 dosis saat hamil
- Jika ibu hanya pernah 4 dosis, dapat ditambah 1 dosis saat hamil
- Untuk proteksi seumur hidup, dapat menambah dosis keenam setelah 1 tahun
e. Rekomendasi mengenai vaksin kombinasi
- DT atau Diphtheria-Tetanus lebih direkomendasikan dibanding TT atau single-
antigen Tetanus Toxoid karena memiliki proteksi lebih (terhadap dua penyakit)
- Td adalah vaksin yang digunakan untuk imunisasi maternal
- Untuk anak usia <7 tahun dapat diberikan DTwP
- Untuk anak usia >7 tahun, dapat diberikan Td

TT
B
B
77
279
X. Jurnal: “Pearls In Pediatric Wound Management”

i. Wound assessment
Pada anamnesis, dapat ditanyakan mengenai waktu kejadian cedera, mekanisme
cedera (blunt, crush, bite), eksposur, RPD dan status imunisasi. Pada pemeriksaan
fisik, dapat memeriksa jejas pada saraf, vaskuler dan tendon, mencari ada
tidaknyacorpus alienum dan pemeriksaan range-of-movement, setelah itu dapat
dilakukan palpasi. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan
radiografi untuk deteksi corpus (tidak bermanfaat jika corpus radiolusen & <2mm)
dan melihat apakah ada udara pada sendi, dan saline load test (untuk melihat apakah
sendi yang terkena terhubung dengan opening lainnya di area luka. Cedera akibat
pecahan kaca adalah sekitar 13% kasus, dan 4.3% biasanya tertinggal di dalam luka
walaupun sudah eksplorasi luka.
ii. Wound preparation
Irigasi tekanan rendah namun berdurasi lama lebih penting dari kondisi steril.
Disarankan agar tidak menggunakan plabot yang dilubangi atau botol plastic karena

TT
B
B
78
280
kurang efektif. Penggunaaan bahan antiseptic seperti chlorhexidine, iodine, alcohol
kontroversial, karena mereka dapst menjadi toksik pada jaringan sehingga tidak
signifikan secara klinis. Penggunaan bahan-bahan tersebut bukan terapi standar untuk
manajemen luka, tapi bisa berguna untuk luka di area yang luas.

iii. Wound repair

Wound closure

Primary o Wound edges approximated by sutures/staples/adhesive


o For clean, uncontaminated wounds with little tissue loss
o Faster healing and less scar formation

Secondary o Healing by granulation


o For wounds with considerable tissue loss and whole edges
cannot be proximated

Tertiary o Contaminated or infected laceration


(delayed o Wound is cleaned and debrided and then observed for a set
primary) period prior to primary closure

Golden period sangat variatif berdasarkan berbagai macam jurnal, sehingga tidak ada
definisi standar dari golden period. Golden period dari luka tergantung oleh beberapa
faktor, seperti lokasi luka, kontaminasi, resiko infeksi dan tampakan kosmetiknya.
Indikasi tipe-tipe benang sutur:

TT
B
B
79
281
Indikasi teknik sutur:

Pertimbangan khusus luka area-area khusus:

iv. Wound after-care


- Topical antibiotics and non-adherent dressing to ensure epithelialization and
prevent contamination
- Recommendation: keep dry wound for 24 – 48 hours
- Petrolatum-based ointments for wound in sensitive areas
- Topical ointments not recommended with tissue adhesives → dehiscence
- Regular exposure to oxygen

XI. Referensi
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf
https://www.uptodate.com/contents/tetanus
WHO 2010 Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian
emergencies
Navanandan, et al., Pearls in Pediatric Wound Management, 2017

TT
B
B
80
282
KOMPETENSI
LUKA BAKAR
Kontributor: Arifin Santoso Darmawan
4A
I. Definisi
Adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi.
Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang
memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.

II. Epidemiologi
Luka bakar adalah penyebab utama kedua dari cedera kecelakaan dan kematian pada anak
anak dibawah usia 14 tahun. Luka bakar yang disebabkan oleh agen termal adalah luka bakar
yang paling sering terjadi dan umumnya didapur atau kamar mandi. Luka bakar karena listrik
dan bahan kimia biasanya terjadi pada kelompok usia anak toddler. Tiga perempat daru semua
luka bakar diduga dapat dicegah.

III. Etiologi
Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi :
a. Paparan api
Flame : Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api dan menyebabkan cedera
langsung ke jaringan tersebut.
Benda panas: Terjadi karena kontak langsung dengan benda panas seperti rokok, solder
besi, atau peralatan masak. Luka bakar terbatas pada area tubuh yang berkontak dengan
benda.
b. Scalds (Cairan panas)
c. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang
akan ditimbulkan.
d. Uap panas

TT
B
B
144
283
Terutama ditemukan didaerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap panas
menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh
uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera
hingga ke saluran napas distal di paru.
e. Gas Panas
Inhalasi dapat menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan
nafas akibat edema.
f. Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya luka
hingga menembus kulit bagian dalam. Listrik yang memicu percikan api dapat membakan
pakaian dan mencetuskan luka bakar tambahan.
g. Zat Kimia (asam atau basa)
h. Radiasi
i. Sengatan sinar matahari.

IV. Patofisiologi
Secara umum, respon tubuh terhadap cedera termal dapat dibagi menjadi respon lokal dan
sistemik:
a. Respon lokal
Berdasarkan penelitian oleh Jackson pada tahun 1947, terdapat 3 zona pada luka bakar:
i. Zona Koagulasi
Pada zona ini, kerusakan jaringan sudah tidak dapat diperbaiki karena protein
penyusun jaringan sudah mengalami koagulasi. Zona ini melambangkan kerusakan
maksimal akibat cedera termal.
ii. Zona Stasis
Merupakan daerah yang berada disekitar zona koagulasi. Di daerah ini terjadai
kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit sehingga terjadi
gangguan perfusi diikuti perubahan permeabilitas kapiler dan respon inflamasi lokal.
Proses ini berlangsung selama 12-24 jam paska cedera dan berpotensi menjadi
nekrosis jaringan.

TT
B
B
145
284
iii. Zona Hiperemi
Perfusi jaringan ditemukan tertinggi pada zona ini, merupakan zona terluar dalam luka
bakar. Jaringan pada zona ini biasanya akan mengalami perbaikan. Namun, adanya
perburukan kondisi sistemik seperti sepsis atau hipoperfusi jangka panjang dapat
mengganggu proses perbaikan jaringan pada zona hiperemia.

b. Respon sistemik
Respon sistemik muncul dipengaruhi oleh pelepasan sitokin dan mediator inflamasi
terutama setelah area luka bakar mencapai 30% dari total luas permukaan tubuh.
i. Sistem kardiovaskuler
Akan terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Hal ini berakibat pada perpidahan
protein dan cairan intravaskuler ke jaringan interstisial. Sebagai respon peningkatan
permeabilitas, akan terjadi pula vasokonstriksi perifer dan splangnikus, sementara
kontraktilitas miokard menurun dan berakibat hipotensi sistemik.
ii. Sistem respiratori
Perubahan mediator inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi, dan kasus luka bakar
yang berat dapat menyebabkan sindroma gagal nafas (Respiratory Distress).
iii. Perubahan Metabolik
Laju metabolik basal (Basal Metabolic Rate) meningkat hingga tiga kali dari BMR
normal. Hal in terutama dibarengi oleh hipoperfusi splanchnic, mengakibatkan proses
katabolisme yang hebat.

TT
B
B
146
285
iv. Perubahan Imunologi
Terdapat penurunan respon imun yang non-spesifik, baik melalui jalur cell-mediated
maupun humoral

V. Klasifikasi
a. Berdasarkan Kedalaman Luka
i. Derajat I
Hanya terjadi di permukaan kulit (epidermis). Manifestasinya berupa kulit tampak
kemerahan, nyeri, dan mungkin ditemukan bulla. Luka bakar derajat I biasanya sembuh
dalam 3 hingga 6 hari dan tidak menimbulkan jaringan parut saat remodelling.
ii. Derajat II (Partial Thickness)
Melibatkan semua lapisan epidermis dan sebagian dermis. Pada kulit akan ditemukan
bulla, warna kemerahan, sedikit edema dan nyeri berat. Bila ditangani dengan baik, luka
bakar derajat II dapat sembuh dalam 7 hingga 20 hari dan akan menimbulkan jaringan
parut.
iii. Derajat III (Full Thickness)
Melibatkan kerusakan semua lapisan kulit, termasuk tulang, tendon, saraf dan jaringan
otot. Kulit akan tampak kering dan mungkin ditemukan bulla berdinding tipis, dengan
tampilan luka yang beragam dari warna putih, merah terang, sampai tampak seperti
arang. Nyeri yang dirasakan biasanya terbatas akibat hancurnya ujung saraf pada
dermis. Penyembuhan luka yang terjadi sangat lambat dan biasanya membutuhkan
donor kulit.

TT
B
B
147
286
b. Luas Luka Bakar
Untuk menilai luas luka menggunakan metode ‘Rule of Nine’ berdasarkan luas permukaan
tubuh total (Total Body Surface Area). Luas luka bakar digunakan untuk menentukan
kebutuhan cairan, dosis obat, dan prognosis. Persentasae pada orang dewasa dan anak-anak
berbeda. Pada dewasa, kepala memiliki nilai 9% dan untuk ekstremitas atas memiliki nilai
masing-masing 9%. Untuk bagian tubuh anterior dan posterior serta ekstremitas bawah
memiliki nilai masing-masing 18%, termasuk didalamnya adalah toraks, abdomen, dan
punggung, serta alat genital 1%. Sedangkan pada anak-anak persentasenya berbeda pada
kepala memiliki nilai 18% dan ekstremitas bawag 14%.

c. Derajat keparahan
Berat ringannya luka bakar ditentukan
berdasarkan kriteria American Burn Association
yaitu dibagi menjadi luka bakar ringan, sedang,
dan berat. Klasifikasinya berdasarkan tabel
berikut.

TT
B
B
148
287
VI. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
a. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
b. Urinalisis
c. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
d. Analisis gas darah
e. Radiologi jika ada indikasi ARDS
f. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan MODS.

VII. Tatalaksana
1. Penilaian derajat keparahan
Penilaian awal digunakan untuk mengklasifikasikan derajat keparahan dari luka bakar
meliputi luka bakar ringan, sedang, atau berat. Penilaian ini berfungsi untuk pengelolaan
pasien serta prognosis.
2. Survei Primer
Pada fase akut, prinsip penanganan luka bakar adalah life saving. Pada tatalaksana awal
life saving dilakukan survey primer meliputi Airway, Breathing, Circulation, Disability,
serta Exposure.
a. Airway
Prioritas utama adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif
dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien yang
menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di
jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar
atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak. Pada pasien luka bakar,
intubasi orotrakea atau nasotrakea lebih dipilih daripada trakeostomi. Pengontrolan
terhadap trauma servikal juga harus dilakukan.
b. Breathing
Tatalaksana breathing adalah dengan pemberian O2 100% 15L/menit. Pada pasien
dengan luka bakar berat bisa terdapat eskar yang melingkari dada dan dapat
menghambat gerakan dada untuk bernafas, segera lakukan eskarotomi. Periksa juga
apakah ada trauma lain yang dapat menghambat gerakan pernafasan misalnya

TT
B
B
149
288
pneumothoraks, hematotoraks, dan fraktur kosta. Perhatikan tanda keracunan karbon
monoksida, biasanya ditandai dengan tampakan pink pada pasien (cherry red
appearance) dengan bacaan pulse oxymeter yang normal.
c. Circulation
Tiga hal yang harus diperiksa terkait sirkulasi adalah central pressure, tekanan darah,
serta waktu pengisian kapiler. Pengukuran central pressure bisa dilakukan dengan
pemasangan CVC (Central Venous Catheter). Pada luka bakar yang luas dapat terjadi
syok hipovolemik karena kebocoran plasma yang luas. Jika pasien datang dengan
keadaan syok, lakukan pemasangan iv dua jalur. Berikan pertama kali resusitasi
cairan iVFD Ringer Laktat 20ml/kg BB selama 15 - 30 menit. Ambil sampel darah
untuk pengecekan darah rutin serta analisis kimia darah. Resusitasi cairan dapat
menggunakan formula Parkland atau Baxter.

Resusitasi cairan dengan formula baxter menggunakan rumus Luas luka bakar (%) x
BB (kg) x 4ml. Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah
cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

TT
B
B
150
289
3. Monitoring
Setelah penanganan awal yang adekuat, monitoring yang harus dilakukan terhadap pasien
luka bakar meliputi:
i. Tanda vital, meliputi tekanan darah, laju nafas, nadi, serta suhu tubuh.
ii. Urin output, normal urin output pada dewasa berkisar 0.5-1 ml/kg BB/jam,
sedangkan pada anak-anak berkisar 1-2ml/kg BB/jam. Lakukan balance cairan
untuk menilai derajat rehidrasi pada pasien.
iii. Evaluasi resusitasi cairan, jika masih terjadi defisiensi dengan pemberian cairan
yang sudah diberikan, naikkan menjadi 10% lebih tinggi. Jika terjadi overload
cairan, kurangi menjadi 10%.
4. Analgesik
Pasien luka bakar akan mengalami intensitas nyeri yang hebat, gunakan analgesik yang
adekuat untuk mengurangi nyeri. Gunakan Morphine 0.05-0.1 mg/kg BB atau Fenthany 1
µg/kg BB. Lanjutkan dengan dosis maintanance, sebaiknya gunakan syringe pump untuk
mengatur titrasi obat.
5. Perawatan Luka Bakar
Perawatan luka bakar menyesuaikan dengan derajat luka bakar yang dialami. Luka bakar
derajat I tidak membutuhkan perawatan yang spesifik. Dapat digunakan pelembab untuk
mencegah kulit menjadi kering. NSAID dapat digunakan untuk manajemen nyeri. Pada
luka bakar derajat II, lakukan perawatan luka pertama kali dengan mencuci luka dengan
NaCl 500 ml + Savlon 5 ml. Lakukan manajemen eksudat serta debridemen bulla pada 72
jam pertama. Berikan analgesik untuk mengurangi nyeri. Dressing bisa dilakukan dengan
menggunakan bahan semi oklusif dan dapat menjaga kelembaban luka. Dapat
menggunakan film transparan, foam, silver impregnated foam, kalsium alginat, atau
selulosa. Berikan terapi antibiotik topikal. Pemberian silver sulfadiazin (Burnazin) tidak
direkomendasikan pada luka bakar derajat II. Pada luka bakar derajat III, lakukan
perawatan luka pertama kali dengan mencuci luka dengan NaCl 500 mL + Savlon 5 mL.
Lakukan debridemen luka setiap hari untuk mempercepat penyembuhan luka dan
mencegah infeksi. Berikan silver sulfadiazin (Burnazin) setiap hari pada luka. Terapi
bedah dapat dipertimbangkan berupa ‘skin grafting”.

TT
B
B
151
290
VIII. Referensi
Peate WF. Outpatient management of burns. Am Fam Physician 1992;45:1321-1330.
(Review)
Young DM. Burn and Electrical Injury. In Mathes SJ [Ed]: Plastic Surgery. 2nd Edition.
2006. P811-833
Australia and New Zealand Burn Association, Emergency Severe Burn Management: Course
Manual, 17th Edition, Feb 2013
Seswandhana MR, 2011, Pengalaman menghadapi erupsi Gunung Merapi, presentasi ilmiah,
Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli Bedah Indonesia (PABI), Medan, 2011
Hettiaratchy S, Dziewulski P. ABC of burns. BMJ 2004;329:504–6
Singer AJ. Thermal Burns: Rapid Assessment And Treatment. Emerg.Med.Pract. Sep 2000.
Vol 2[9]
Wardhana A. Adjustable volume of fluid resuscitation for burn injury. Plastic Annual
Meeting. 2011
Bessey, PQ.Wound Care.in Herndon DN [ed]: Total Burn Care. 3rd Edition. 2007. Elsevier.
Printed in China
Hirsch T,Ashkar W,Schumacher O,Steinstraesser L,Ingianni G,Ceolidi CC.Moist Expossed
Burn Ointment(MEBO) in partial thickness burns – a randomized,comperative open mono-
center study on the efficacy of dermaheal (MEBO) ointment on thermal 2nd degree burns
compared to conventional therapy .Eur J Med Res .2008 Nov 24;13(11):505-10
Prasetyono TOH, Rendy L. Merujuk Pasien Luka Bakar: Petunjuk Praktis. Maj Kedokt
Indon, Volum: 58, Nomor: 6, Juni 2008; p 216-24
American Burn Association, ABLS at www.ameriburn.org
Wood F, Burn Injury Model of Care, 2009

TT
B
B
152
291
KOMPETENSI
SELULITIS
Kontributor: Bernadetha Astrid Octaviani
3B
I. Pendahuluan
Selulitis adalah radang akut jaringan ikat yang luas disertai pembentukan nanah akibat
infeksi streptokokus atau Staphylococcus aureus. Istilah selulitis berasal dari bahasa latin
”cellula” yang berarti sel kecil dan merujuk pada peradangan jaringan ikat, terutama
subkutan. Kasus selulitis memiliki tingkat morbiditas dan menghabiskan biaya finansial
yang tinggi di seluruh dunia. Oleh karena itu manajemen kasus selulitis memerlukan
koordinasi antar penyedia layanan kesehatan seperti dokter layanan primer, dokter ahli
bedah, dan dokter ahli dermatologi.

II. Definisi
Beberapa istilah/ terminologi yang lazim digunakan untuk mendeskripsikan infeksi kulit
dan jaringan lunak, antara lain:
a. Selulitis à infeksi yang menyebar melibatkan jaringan dermis dan subkutan. Selulitis
purulent didefinisikan sebagai selulitis dengan drainase/ eksudat purulent dalam
kondisi tidak ada abses yang dapat didrainase.
b. Erysipelas à salah satu tipe selulitis yang meliputi struktur kulit yang lebih
superfisial, sehingga memiliki batas yang meninggi dan tegas memisahkan antara
kulit yang terinfeksi dengan yang sehat.
c. Abses à kumpulan pus didalam jarinagn dermis atau subkutan. Pada umumnya
terdapat nodul dengan eritema disekitarnya dan fluktuasi.
d. Necrotizing soft tissue infection à infeksi nekrotik yang melibatkan salah satu atau
lebih lapisan jaringan lunak, termasuk dermis, subkutan, fascia superficial atau
profunda, dan otot.

TT
B
B
20
292

III. Epidemiologi
Insidensi kasus selulitis di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia
telah meningkat drastis dalam sekade terakhir, dengan peningkatan pada kasus
community acquired methicillin resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA). Pada
periode tahun 1998-2006, insidensi kasus selulitis di Amerika Serikat mencakup 10%
dari total kasus terkait infeksi. Jumlah kasus rawat inap karena selulitis atau abses
meningkat sebesar 73%, dari 12 per 10.000 kasus pada tahun 1997 hingga 21 per 10.000
kasus pada tahun 2011 (Raff et al., 2016).

Di Indonesia, penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Rositawati (2016) di Ruang


Kemuning Instalasi Rawat Inap (IRNA) Medik RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun
2012-2014 menunjukkan insidensi pasien baru selulitis sebanyak 29 kasus (67,4%) dan
erisipelas sebanyak 14 kasus (32,6%), dengan distribusi terbanyak pada kelompok usia
45-64 tahun. Penemuan ini sesuai dengan data epidemiologi di Complejo Hospitalario
Universitario de Santiago de Compostela, Spanyol yang menunjukan rata-rata usia pasien
dengan diagnosis selulitis atau erysipelas adalah 58,93 tahun (Concheiro et al., 2009).

IV. Etiologi
Selulitis terjadi ketika mikroorganisme memperoleh jalan masuk ke jaringan kulit dan
subkutan melalui gangguan barrier kulit. Mayoritas kasus selulitis terutama disebabkan
oleh Streptococcus pyogenes (cenderung bersifat difus) atau Staphylococcus aureus
(cenderung bersifat terlokalisir). Sebuah systematic review dari hasil kultur 808 pasien
selulitis anak dan dewasa yang dilakukan needle aspiration atau punch biopsy
menyebutkan bahwa 51% kasus disebabkan oleh Staphylococcus aureus, dan 27%
disebabkan oleh Streptococcus pyogenes (Chira et al., 2010). Berdasarkan guideline
tatalaksana infeksi MRSA yang disusun oleh Infectious Disease Society of America
(IDSA), agen etiologi dibedakan mejadi tipe purulent (Staphylococcus aureus) dan non-
purulent (Streptococcus pyogenes).

Mikroorganisme atipikal lain, seperti Pseudomonas aeruginosa, Cryptococcus


neoformans, dan Pasteurella multocida dapat menyebabkan selulitis, terutama pada

TT
B
B
21
293

pasien dengan gangguan imunitas atau paparan spesifik tertentu.

V. Patofisiologi
Selulitis merupakan infeksi profunda jaringan kulit dan subkutan yang terjadi ketika
pathogen memperoleh jalan masuk menuju dermis melalui rusaknya integritas kulit.
Gangguan barrier kulit dapat disebabkan karena infeksi jamur (tinea pedis,
onychomycosis), ulkus vena, dan ulkus decubitus. Adapun faktor protektif terhadap
kolonisasi pathogen pada permukaan kulit antara lain pH kulit yang rendah, suhu rendah,
dan mikroorganisme komensal.

Invasi
mikroorganisme Pelepasan Produksi sitokin
Gangguan barrier pyrogenic inflamatorik oleh Respon inflamasi
kulit ke jaringan kulit- (+)
exotoxin bakteri keratinocytus
subkutan

Penampakan histologis dari selulitis tidak spesifik dan meliputi edema dermis, dilatasi
pembuluh limfa, infiltrasi neutrofil yang difus di sekitar pembuluh darah. Limfosit dan
histiosit disertai jaringan granulasi juga mungkin terdapat pada fase lanjut.

Pada umumnya kultur yang dilakukan dengan needle aspiration atau biopsy memiliki
hasil negative, atau jika hasil positif, konsentrasi bakteri rendah. Oleh karena itu, terdapat
hipotesis bahwa komponen toksin bakteri dan mediator inflamasi lebih memicu
peningkatan respon inflamasi daripada bacterial load.

VI. Faktor Risiko


Faktor resiko untuk selulitis dapat dibedakan menjadi umum dan lokal.
a. Umum
1. Modifiable: insufisiensi vena, limfedema, penyakit arteri perifer, immunosupresi,

TT
B
B
22
294

diabetes
2. Non modifiable: kehamilan, ras kulit putih
b. Lokal
1. Modifiable: ulkus, eczema, luka bakar, tinea pedis
2. Non modifiable: trauma, tato, gigitan serangga/ binatang

VII. Diagnosis
Pada umumnya, selulitis merupakan kondisi yang dapat diidentifikasi secara klinis
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta tidak membutuhkan pemeriksaan
penunjang lebih lanjut.
a. Anamnesis
Pasien dengan selulitis biasanya mengeluhkan periode nyeri, kemerahan, dan
bengkak yang terjadi secara akut pada bagian kulit, terutama pada ekstremitas bawah.
Gejala konstitusional seperti demam dan malaise dapat terjadi sebelum muncul gejala
yang terlokalisir. Pada tahap lanjut, gejala sistemik sepsis seperti hipotensi dan
takikardia dapat muncul. Beberapa hal yang perlu ditanyakan pada anamnesis berupa:
1. Episode selulitis atau infeksi jaringan lunak sebelumnya
2. Kondisi yang menyebabkan gangguan barrier kulit (port of entry), seperti ulkus,
luka, tinea pedis, dermatosis
3. Resiko infeksi MRSA à kontak terakhir dengan fasilitas kesehatan, pengguna
obat-obatan intravena, LSL, anggota militer
4. Riwayat penyakit dahulu à diabetes mellitus, kondisi immunocompromised
5. Kemungkinan paparan yang tidak biasa à trauma, gigitan binatang kontak
dengan air tawar/ air laut

b. Pemeriksaan FIsik
Tampak gambaran area kemerahan yang muncul secara akut, tersebar, dan berbatas
tidak tegas. Tanda-tanda inflamasi klasik seperti dolor (nyeri), rubor (merah), calor
(panas), dan tumor (bengkak) dapat ditemukan pada kasus selulitis. Tanda klinis
lainnya dapat berupa dilatasi dan edema pembuluh limfe kulit (peau d’orange
appearance), blistering/ bullae, limfangitis, atau limfadenopati regional.

TT
B
B
23
295

Selulitis biasanya terjadi unilateral, dengan predileksi di ekstremitas bawah. Area


yang dapat diidentifikasi menjadi port of entry seperti luka, ulkus, atau tinea pedis.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Hematologi lengkap à peningkatan leukosit dan C-Reactive Protein
2. Kultur, dengan sampel pemeriksaan yang dapat diambil dari:
- Darah à dilakukan pada pasien dengan gejala konstitusional berat dan
kondisi immunocompromised. Kurang bersifat sensitif sehingga tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin.
- Pus à dilakukan jika selulitis berhubungan/ berada dekat dengan fokus
infeksi.
- Area interdigital à dilakukan sebagai konfirmasi diagnosis terutama jika ada
tinea pedis.
- Biopsi/ aspirasi/ swab kulit à dilakukan jika diagnosis sulit ditegakkan dan
untuk identifikasi patogen atipikal pada pasien immunocompromised.
3. Imaging, berguna untuk membedakan selulitis dengan bentuk infeksi lain yang
lebih parah dan mengidentifikasi kumpulan cairan yang dapat didrainase
(misalnya abses). Namun tidak bersifat diagnostik.
- Foto polos à dilakukan terutama pada kasus selulitis yang berhubungan
dengan luka kronis, sebagai alat bantu evaluasi kemungkinan adanya

TT
B
B
24
296

osteomyelitis yang berdekatan.


- Ultrasonography à dilakukan jika terdapat kecurigaan tinggi adanya abses
karena dapat mendeteksi abses tersembunyi, pencegahan prosedur invasif, dan
sebagai pedoman dalam konsultasi atau pemeriksaan imaging lebih lanjut.
- CT-scan à dilakukan untuk membedakan antara selulitis orbitalis dan
preorbitalis.
- MRI à dilakukan jika terdapat kecurigaan adanya necrotizing fasciitis

VIII. Diagnosis Banding


Stasis dermatitis

Pyoderma
gangrenosum

TT
B
B
25
297

Necrotizing fasciitis

Deep vein thrombosis

Fixed drug reaction

TT
B
B
26
298

Arthritis akut (gout,


septic)

IX. Tatalaksana
Tujuan tatalaksana kasus selulitis adalah resolusi tanda dan gejala klinis, serta eradikasi
organisme patogen. Penggunaan terapi antibiotik sistemik menjadi prinsip utama dalam
mencapai tujuan tersebut. Adapun terdapat berbagai pertimbangan dalam menentukan
terapi antibiotik, antara lain keparahan penyakit, komorbiditas, gejala sistemik, dan
toleransi individual terhadap obat-obatan.

Kasus selulitis yang berhubungan dengan drainase purulen paling sering disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, termasuk community-associated methicillin resistant S. aureus
(CA-MRSA). Pemilihan terapi antibiotik empiris harus yang efektif terhadap CA-MRSA,
dan dimodifikasi berdasarkan hasil kultur.

Sementara, pada kasus selulitis yang bersifat non-purulen, pemilihan terapi antibiotik
empiris diarahkan pada Streptococcus beta-hemolyticus dan methicillin-sensitive S.
aureus

TT
B
B
27
299

(Raff et al., 2016)

Kasus selulitis non-purulen tipikal tanpa tanda infeksi sistemik (mild cellulitis) dapat
diterapi dengan agen antimikroba anti-streptococcal, seperti:

a. Cephalexin d. Amoxicillin/ clavulanate


250-500 mg/ 6 jam peroral 875 mg/ 12 jam peroral
b. Dicloxacillin e. Clindamycin (jika alergi terhadap
250-500 mg/ 6 jam peroral penicillin)
c. Penicillin VK 300-450 mg/ 6 jam peroral
250-500 mg/ 6 jam peroral 8-20 mg/kgBB/hari dibagi setiap
25-50 mg/kgBB/hari dibagi 6-8 jam peroral (anak-anak)
setiap 6-8 jam peroral (anak-
anak)

Kasus selulitis non-purulen dengan disertai salah satu kriteria systemic inflammatory
response syndrome (SIRS), yaitu suhu tubuh > 38OC atau < 36OC, laju nadi > 90x /
menit, laju pernapasan > 20x /menit, angka leukosit > 12.000 sel/mm3 atau < 4000

TT
B
B
28
300
sel/mm3, digolongkan ke dalam moderate cellulitis. Jika hanya 1 kriteria yang terpenuhi,
maka pasien dapat diberikan terapi awal sesuai dengan mild cellulitis. Namun, jika 2 atau
lebih kriteria terpenuhi atau terapi oral gagal, maka dapat dipertimbangkan pemberian
terapi antibiotic intravena, seperti:

a. Cefazolin d. Clindamycin (jika alergi terhadap


1-2 g/ 12 jam intravena penicillin)
b. Ceftriaxone 600 mg/ 8 jam intravena
1-2 g/24 jam intravena 20-40 mg/kgBB/hari dibagi
c. Penicillin G setiap 6-8 jam intravena (anak-
2-4 juta unit/4-6 jam intravena anak)
100.000-400.000 unit/kgBB/hari
dibagi dalam 4-6 dosis intravena
(anak-anak)

Kasus selulitis non-purulen dengan >2 kriteria SIRS terpenuhi ditambah hipotensi,
immunocompromised, atau progresi cepat dikategorikan ke dalam severe cellulitis. Terapi
antibiotic awal yang diberikan berspektrum luas, seperti:

Vancomycin à 15-20 mg/kgBB/12 jam intravena


+
Piperacillin/ tazobactam à 3,375 g/ 6 jam intravena
Atau
Imipenem à 500 mg/ 6 jam intravena
Atau
Meropenem à 1 g/ 8 jam intravena

Penilaian pembedahan dapat dipertimbangkan pada kemungkinan kasus necrotizing


cellulitis, disertai kultur dan uji sensitivitas terhadap jaringan yang dieksisi.

TT
B
B
29
301

(Raff et al., 2016)

Pada kasus selulitis purulen, pemeriksaan kultur dan sensitivitas harus diutamakan untuk
memandu pemilihan terapi. Kasus tanpa tanda infeksi sistemik (mild cellulitis) dan tidak
ada kecurigaan infeksi MRSA, terapi antibiotic berikut dapat dipertimbangkan:

a. Cephalexin d. Amoxicillin/ clavulanate


250-500 mg/ 6 jam peroral 875 mg/ 12 jam peroral
b. Dicloxacillin e. Clindamycin (jika alergi terhadap
250-500 mg/ 6 jam peroral penicillin)
c. Penicillin VK 300-450 mg/ 6 jam peroral
250-500 mg/ 6 jam peroral 8-20 mg/kgBB/hari dibagi setiap
25-50mg/kgBB/hari dibagi setiap 6-8 jam peroral (anak-anak)
6-8 jam peroral (anak-anak)

Namun, jika ada kecurigaan atau faktor resiko terhadap infeksi MRSA, dapat digunakan

TT
antibiotik seperti:

B
B
30
302
a. Trimethoprim-sulfamethoxazole d. Jika alergi terhadap penicillin,
160 mg/ 12 jam peroral 1. Clindamycin
b. Doxyxyxline 300-450 mg/ 6 jam peroral
100 mg/ 12 jam peroral 8-20 mg/kgBB/hari dibagi
c. Minocycline setiap 6-8 jam peroral (anak-
100 mg/ 12 jam peroral anak)
2. Linezolid
600 mg/ 12 jam peroral

Kasus selulitis purulen dengan disertai satu kriteria SIRS (moderate cellulitis) dapat
diberikan terapi awal sesuai dengan mild cellulitis.. Jika hanya 1 kriteria yang terpenuhi,
maka pasien dapat diberikan terapi awal sesuai dengan mild cellulitis. Namun, jika 2 atau
lebih kriteria terpenuhi, dapat dipertimbangkan pemberian terapi antibiotic intravena,
seperti:

(Unruk MSSA)
1. Oxacillin à 1-2 g/ 4 jam IV 3. Cefazolin à 1-2 g/ 12 jam IV
2. Nafcillin à 1-2 g/ 4 jam IV

(Untuk MRSA)
1. Vancomycin
15-20 mg/kgBB/12 jam intravena
2. Clindamycin
600 mg/ 8 jam intravena
20-40 mg/kgBB/hari dibagi setiap 6-8 jam intravena (anak-anak)
3. Linezolid
600 mg/ 12 jam intravena

Kasus selulitis purulen dengan >2 kriteria SIRS terpenuhi ditambah hipotensi,
immunocompromised, atau progresi cepat (severe cellulitis) dapat diberikam terapi

TT
B
B
31
303
antibiotik empiris awal yang diberikan berspektrum luas, seperti:

1. Vancomycin 3. Linezolid
15-20 mg/kgBB/12 jam intravena 600 mg/ 12 jam intravena
2. Clindamycin (jika alergi terhadap 4. Daptomycin
penicillin) 4 mg/kgBB/ 24 jam intravena
600 mg/ 8 jam intravena 5. Ceftaroline
20-40 mg/kgBB/hari dibagi 600 mg/ 12 jam intravena
setiap 6-8 jam intravena (anak-
anak)

Jika kultur MSSA positif


1. Oxacillin 3. Cefazolin
1-2 g/ 4 jam intravena 1-2 g/ 12 jam intravena
2. Nafcillin 4. Ceftriaxone
1-2 g/ 4 jam intravena 1-2 g/24 jam intravena

X. Referensi
Concheiro, J., Loureiro, M. & Toribio, J., 2009. Erysipelas and Cellulitis : A
Retrospective Study of 122 Cases. Actas Dermo-Sifiliográficas (English Edition),
100(10), pp.888–894. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/S1578-2190(09)70560-
8.
Gunderson, C.G., 2018. Cellulitis: Definition, Etiology, and Clinical Features. AJM,
124(12), pp.1113–1122. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.amjmed.2011.06.028.
Phoenix, G., Das, S. & Joshi, M., 2012. Diagnosis and Management of Cellulitis, pp.38–
42.
Stevens, D.L. et al., 2018. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of
Skin and Soft Tissue Infections : 2014 Update by the Infectious Diseases Society of
America, 59 (July).
Robinson, MC. 2018. Cellulitis. BMJ Best Practice.
Rositawati, A., 2014. Studi Retrospektif: Profil Pasien Erisipelas dan Selulitis (A
Retrospective Study: Erysipelas and Cellulitis Patients’ Profile).

TT
B
B
32
304
KOMPETENSI
SOFT TISSUE TUMOR
Kontributor: Bernadetha Astrid Octaviani
4A
I. Pendahuluan
Soft tissue atau jaringan lunak dapat didefinisikan sebagai jaringan yang menunjang berbagai
organ, termasuk struktur yang non-epithelial, ekstra-skeletal, selain jaringan
lymphohematopoietic. Jaringan lunak meliputi jaringan ikat fibrosa, jaringan adiposa, otot
skeletal, pembuluh darah/ limfa, dan sistem saraf perifer. Secara embriologis, mayoritas
jaringan lunak berasal dari komponen mesoderm (dengan komponen neuroectodermal pada
saraf perifer). Soft tissue tumors turut menjadi bagian dari klasifikasi neoplasma yang luas
dan heterogen. Adapun, sebagian besar soft tissue tumors bersifat jinak, dengan tingkat
kesembuhan yang tinggi setelah eksisi.

II. Definisi
Beberapa bentuk dan terminologi soft tissue tumors yang kerap kali dijumpai antara lain:

Lipoma Tumor jinak, mesenkimal,


slow-growing yang
membentuk lesi berlobus,
berbatas tegas, dan tersusun
dari jaringan adiposa.
Lipoma merupakan tipe soft
tissue tumors yang paling
sering dijumpai.

TT
B
B
125
305
Theroma Lesi berbentuk kubah,
asimtomatis, slow-growing,
firm to fluctuant yang
muncul dari rupturnya
folikel pilosebasea.
Atheroma juga dapat disebut
dengan istilah kista
epidermoid, kista sebasea,
atau epidermal inclusion
cyst.
Ganglion Massa lunak, smooth, jinak
yang terbentuk dari
penonjolan membrane
synovial atau tendon sheath
dan berisi cairan musin
kental, lengket/ viscous
(serupa dengan komposisi
cairan synovial).
Giant cell tumor Tumor multilobular,
berwarna kuning-
kecoklatan, melekat erat,
rapid-growing, berisi
multinucleated giant cells
yang dapat dijumpai pada
jaringan lunak dan tulang.
Giant cell tumor dapat
disebut juga dengan
pigmented villonodular
synovitis.

TT
B
B
126
306
Dermatofibroma Papul atau nodul berwarna
merah-kecoklatan,
meninggi, kenyal, kadang
memiliki umbilikasi sentral.

Keratoacanthoma Papul berbentuk kubah,


hiperkeratotik, rapid-
growing pada area kulit
yang terpapar sinar matahari

Verucca vulgaris Lesi berupa papul


berkonfluens (warts)
filiformis, hiperkeratotik
pada jari-jari atau nail bed.

Pyogenic Nodul berwarna kuning-


granuloma kemerahan, mudah berdarah,
rapid-growing, biasanya
dikelilingi skuama
berbentuk collarette.

TT
B
B
127
307
Seborrhoeic Papul atau plak berwarna
keratosis kuning-kecoklatan, jinak,
berbatas tegas,
hiperkeratotik, kadang
berskuama.

* Pada topik ini, lipoma dan atheroma yang terletak superfisial lebih diutamakan untuk dibahas.

III. Epidemiologi
Insidensi klinis tahunan (jumlah pasien baru yang berkonsultasi ke dokter) dari tumor
jaringan lunak jinak diperkirakan sampai 3000 per 1 juta populasi, sedangkan insidensi klinis
tahunan tumor jaringan lunak ganas sekitar 30 per 1 juta.

Hampir 50% kasus neoplasma jaringan lunak yang ditemui oleh dokter layanan primer, ahli
bedah, dan ahli patologi berupa lipoma. Diperkirakan sekitar 1% populasi umum mempunyai
lipoma. Mayoritas usia pasien antara 40-60 tahun, namun lipoma dapat terjadi pada semua
kelompok usia.

Insidensi atheroma pada laki-laki diperkirakan 2x lipat dibandingkan perempuan. Hal ini
karena pathogenesis atheroma yang berhubungan dengan trauma minor. Mayoritas pasien
berada pada kelompok usia antara dekade ke 3-4 kehidupan.

IV. Etiologi
Etiologi dari mayoritas kasus lipoma masih idiopatik. Terdapat kecurigaan adanya faktor
genetik/ herediter karena lipoma banyak dijumpai sebagai salah satu manifestasi klinis atau
bagian dari kumpulan gejala (sindrom), seperti pada kasus familial multiple lipomatosis,
Gardner’s syndrome, Madelung’s disease, Dercum’s disease, Bannayan- Riley-Ruvalcaba
syndrome, Proteus syndrome, dan multiple endocrine neoplasia. Beberapa penelitian berhasil
menunjukkan hubungan antara mutasi gen HMG 1-C dan pertumbuhan lipoma. Abnormalitas
gen fusi HMGA2-LPP di kromosom 12 ditemukan pada beberapa kasus lipoma soliter.

TT
B
B
128
308
Hipotesis mengenai trauma sebagai agen pemicu potensial atau faktor kausal belum jelas
sampai saat ini.

V. Patofisiologi
Lipoma merupakan tumor mesenkimal jinak, slow-growing, membentuk lesi berlobulus
berbatas tegas yang tersusun dari sel adipocytus. Lipoma dibatasi dari jaringan adiposa
sekitarnya oleh kapsula fibrosa yang tipis. Lesi lipoma paling sering terdapat di subkutan dan
bersifat superfisial, bulat, mobile, lunak, dan menyerupai lemak subkutan. Meskipun lipoma
mayoritas terjadi di subkutan, namun karena berasal dari jaringan mesenkim, lipoma dapat
tumbuh di organ lain (prevalensi 1%).

Lipoma gastrointestinal terdapat pada lapisan submukosa, paling sering pada esophagus,
lambung, dan usus halus. Gejala yang ditimbulkan bervariasi, mulai dari asimtomatis,
perdarahan, nyeri, jaundice, intususepsi, dan gejala obstruktif lainnya. Lipoma juga dapat
terjadi pada lokasi lain seperti glandula adrenal, glandula parotis, spatium parapharyngeal,
payudara, mediastinum, pleura, jantung, traktus respiratorius, vena cava superior, otak, dan
area intraspinal.

Atheroma terjadi karena proliferasi sel epidermis didalam suatu ruangan pada dermis. Kasus
atheroma biasanya dipicu oleh trauma sehingga sel epidermis yang memproduksi keratin
terimplantasi dan berproliferasi didalam dermis atau subkutan. Penyebab lain berupa defek
perkembangan duktus sebasea. Massa kistik yang dihasilkan mengandung material kental
seperti pasta gigi berisi keratin dan lipid, serta tidak mengandung komponen sebaceous.
Karakteristik massa bergantung pada kadar lemak, infeksi bakteri, atau dekomposisi. Massa
tersebut mengandung keratin yang bersifat kemotaktik bagi sel polimorfonuklear dan dapat
menyebabkan inflamasi spontan sampai ruptur. Obstruksi duktus glandula sebasea pada
folikel rambut menyebabkan adanya pembukaan saluran sempit di permukaan/ komedo
(central umbilication).

Atheroma dapat dijumpai pada kepala, leher, trunkus, dan dapat bersifat stabil atau
bertumbuh seiring waktu. Atheroma yang terinfeksi cenderung bersifat lebih besar, eritem,

TT
B
B
129
309
dan nyeri dibandingkan atheroma steril. Jika terinfeksi maka terapi yang dilakukan adalah
antibiotik, insisi, dan drainase. Eksisi dan penutupan luka dapat ditunda hingga inflamasi
mereda (sekitar 1 minggu).

Kasus kista epidermoid yang abnormal dalam jumlah maupun lokasi sebaiknya dilakukan
pemeriksaan screening kanker colorectal, karena berkaitan dengan sindrom Gardner
(penyakit autosomal dominan dengan kista epidermoid multiple dan polyp colon pre-
malignansi).

VI. KLASIFIKASI
Lipoma dapat diklasifikasikan berdasarkan klinis menjadi:
a. Subkutan superfisial à tumor mesenkimal yang berbatas tegas (dibatasi kapsula fibrosa
tipis), memiliki lobulasi, dan tersusun dari adipocytus.
b. Intramuscular à biasanya merupakan massa yang slow-growing, terletak profunda pada
paha atau trunkus, tidak berbatas tegas, dan infiltratif. Pada umumnya muncul pada usia
paruh-baya.
c. Spindle-cell à terbentuk dari sel spindle yang memproduksi kolagen yang menggantikan
jaringan adipose. Terdapat pada area belakang leher atau bahu. Pada umumnya muncul di
laki-laki usia 45-65 tahun.
d. Angiolipoma à tersusun dari adipocytus diantara kluster kapiler yang mengandung
thrombus fibrin. Manifestasi berupa nodul subkutan, nyeri, dan multiple pada usia
dewasa muda.
e. Lipoblastoma à terdiri dari sel adipocytus imatur dan merupakan jenis lipoma yang
ditemukan pada usia bayi dan kanak-kanak muda.
f. Hibernoma à menyerupai lemak coklat glandular yang terdapat pada binatang hibernasi.
Terdapat pada trunkus, retroperitoneum, atau ekstremitas. Cenderung mudah berdarah
saat dieksisi dan kambuh jika tidak dieksisi secara komplit.

VII. DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis terhadap lipoma terutama bergantung kepada lokasi dan
karakteristiknya. Pada umumnya, lipoma jenis subkutan superfisial dapat didiagnosis hanya

TT
B
B
130
310
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Namun, lipoma jenis lain membutuhkan
pemeriksaan penunjang seperti imaging dan biopsi untuk menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding seperti keganasan.
i. Anamnesis
Hal-hal yang harus digali melalui anamnesis meliputi:
1) Onset munculnya benjolan
2) Gejala yang berkaitan
3) Perubahan pada benjolan semenjak muncul hingga sekarang
4) Riwayat benjolan sebelumnya
5) Riwayat keluarga terkait benjolan (predisposisi genetik)
6) Penurunan berat badan
7) Pengobatan yang telah diterima terkait benjolan

ii. Pemeriksaan Fisik


Pada umumnya terhadap semua lesi dilakukan pemeriksaan fisik meliputi inspeksi,
palpasi (termasuk mobilitas, nyeri, konsistensi), pengukuran, perkusi, auskultasi,
transiluminasi, dan memeriksa kondisi jaringan sekitar.

Lipoma harus dibedakan secara klinis dari jenis tumor lain, baik jinak maupun ganas.
Berikut adalah beberapa karakteristik pembeda antara beberapa diagnosis banding
Presentasi Area predileksi Asal jaringan
Lipoma Inspeksi à nodul bulat, Trunkus, ekstremitas Adiposa
flesh-colored, ukuran < 5 proksimal
cm
Palpasi à lunak seperti
adonan, fluctuant, mobile,
bulat, tidak nyeri, slippage
sign (+)
Atheroma Inspeksi à berbentuk Trunkus, wajah, Implantasi epidermis
kubah, bulat, terdapat leher, belakang yang mengandung
central punctum (sumbatan telinga, perineum keratin

TT
B
B
131
311
keratin/ komedo), ukuran
beberapa millimeter – 5 cm
Palpasi à kenyal, bulat,
tidak nyeri, mobile (kecuali
jika terjadi fibrosis)
Abses Adanya tanda-tanda Tidak ada Jaringan yang
inflamasi à hangat, eritem, terinfeksi
nyeri pada lesi dan area
sekitarnya yang muncul
dalam beberapa hari
Gejala sistemik, seperti
demam dapat muncul.
Pada aspirasi didapatkan
pus (+)
Liposarkoma Membesar secara cepat, Ekstremitas Adiposa
tidak nyeri, terletak lebih proksimal (paha dan
profunda, teraba padat, gluteal)
ukuran > 5 cm, terdapat
perubahan kulit dan
vaskularisasi

Sedangkan, pemeriksaan fisik pada lipoma di area lain/ atipikal sebaiknya dimodifikasi
untuk menilai organ yang mungkin terkena dampak, misalnya abdomen.

iii. Pemeriksaan Penunjang


a. Imaging
Pemeriksaan imaging diperlukan pada kasus lipoma atipikal (selain jenis subkutan
superfisial) atau di area dimana memiliki kecurigaan lain keganasan. Pada umumnya
pertimbangan dilakukannya pemeriksaan imaging antara lain lesi dengan ukuran
diameter > 3 cm, secara klinis terletak lebih profunda dari fascia superficial, bentuk
ireguler, atau mempunyai komponen padat yang lebih kenyal dari lemak subkutan.

TT
B
B
132
312
• Ultrasonography à pada frekuensi tinggi (> 20 MHz) dapat menampilkan
gambaran resolusi tinggi dari tumor subkutan dan struktur di sekitarnya
(sensitivitas 87%, spesifisitas 93%)
• CT-scan à merupakan modalitas pilihan pada kasus lesi di trunkus, termasuk
rongga thorax dan abdomen. Hal ini karena air/ tissue interface dan artefak
gerakan dapat menurunkan kualitas MRI.
• MRI à merupakan modalitas pilihan pada kasus lesi di ekstremitas, kepala, dan
leher. Gold standard dari pemeriksaan imaging untuk mendeteksi dan
menentukan staging dari soft tissue tumors karena kemampuannya membedakan
jaringan tumor dengan jaringan otot dan lemak di sekitarnya, serta menilai
hubungan dengan jaringan neurovaskular.

b. Biopsi
Pada pasien dewasa, tumor jaringan lunak harus dibiopsi setelah pemeriksaan
imaging dilakukan jika menunjukkan salah satu tanda sebagai berikut: simtomatis,
membesar, diameter >3 cm, onset baru dan persisten diatas 4 minggu. Pemeriksaan
histopatologi menjadi dasar diagnosis akurat untuk menentukan derajat dan tipe
histologis, terutama pada kasus keganasan.
§ Eksisional à dianjurkan pada tumor kutan/ subkutan yang memiliki diameter < 3
cm, simtomatis (menyebabkan nyeri atau efek desak massa), atau memiliki
komponen padat yang lebih kenyal dari lemak subkutan.
§ Insisional à dilakukan jika hasil core needle biopsy meragukan. Pengambilan
sample pada ekstremitas menggunakan insisi longitudinal, agar seluruh sumbu
biopsi dapat dieksisi saat dilakukannya reseksi definitif dan ditutup secara primer.
§ Core needle biopsy à metode biopsi pilihan karena memfasilitasi diagnosis dan
penilaian yang akurat akan kemungkinan potensi maligna dan derajatnya ketika
diinterpretasi oleh ahli patologi berpengalaman.

VIII. Tatalaksana
Posisi, ukuran, dan karakteristik tiap lesi jaringan lunak menjadi pertimbangan dalam
menentukan tatalaksana yang tepat dan memungkinkan. Pada dasarnya lipoma subkutan

TT
B
B
133
313
superfisial tidak memiliki potensi maligna, sehingga tidak mengharuskan untuk diterapi/
dihilangkan. Adapun indikasi pengangkatan lipoma antara lain:
a. Alasan kosmetik/ penampilan
b. Terasa nyeri atau mengganggu
c. Ukuran membesar
d. Kecurigaan potensi liposarkoma

3 pilihan cara untuk menghilangkan lipoma:


Eksisi Dilakukan dibawah pengaruh anestesi
local. Insisi dilakukan berdasarkan
Langer lines atau aksis panjang
ekstremitas tempat lokasi lesi.
Spesimen kemudian diperiksa untuk
analisa histologis.
Tingkat rekurensi 1-2%
Liposuction Pilihan terapi jika lipoma lunak dan
memiliki komponen jaringan ikat.
Bekas luka minimal, namun memiliki
tingkat rekurensi lebih tinggi dari
eksisi.
Sebaiknya tidak dilakukan jika ada
kecurigaan liposarkoma

Lipolysis Menggunakan injeksi kortikosteroid


atau phosphatidylcholine untuk
memicu terjadinya lipolysis à atrofi
jaringan adipose.
Biasanya digunakan pada lipoma
yang berukuran < 2,5 cm
Tingkat rekurensi tinggi dan dapat
terjadi fibrosis/ scarring.

TT
B
B
134
314
KOMPETENSI
SARCOMA JARINGAN LUNAK
Kontributor: William Widitjiarso
3A
I. Definisi
Soft tissue sarcoma adalah suatu kelompok kanker yang berasal dari soft tissue, dimana
jaringan yang termasuk dapat meliputi otot, lemak, pembuluh darah, saraf, tendon, dan joint.

II. Epidemiologi
a. Dari sebuah penelitian yang dilakukan di India, distribusi dari soft tissue sarcoma sendiri
lebih cenderung mengenai dewasa muda, dimana sekitar 33% dari kasus ditemukan pada
pasien sekitar umur 16-30. Jumlah ini menurun dengan bertambahnya usia.
Distribusi sarcoma berdasarkan usia
Umur Jumlah Kasus Persentase
16-30 120 33.0
31-45 103 28.3
46-60 84 23.1
61+ 51 14.0
Tidak diketahui 6 1.7

b. Secara anatomis, dari penelitian yang dilakukan di India, soft tissue sarcoma paling sering
dijumpai pada extremitas bawah pasien.

TT
B
B
116
315
c. Secara histologis, dari peneilitian yang dilakukan di India, soft tissue sarcoma yang paling
sering dijumpai adalah leiomyosarcoma, diikuti oleh keganasan nerve sheath (MNST),
lalu diikui oleh rhabdomyosarcoma.

d. Dari secara keseluruhan, jenis soft tissue sarcoma yang paling sering dijumpai pada pasien
dan distribusinya dapat dilihat sebagai berikut:

TT
B
B
117
316
III. Leiomyosarcoma
a. Definisi
Leiomyosarcoma adalah keganasan yang berasal dari otot polos, atau mesenchymal stem
cell yang akan mengarah ke pembentukan otot polos. Karena sifat otot polos yang ada di
berbagai organ pada dalam tubuh manusia, leiomyosarcoma dapat berkembang di banyak
bagian dari tubuh manusia. Tiap-tiap asal mula dari leiomyosarcoma ini sendiri memiliki
response terhadap treatment yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.

b. Epidemiologi
1. Leiomyosarcoma paling sering terjadi pada otot polos yang berasal dari kompartemen
dalam dari ekstremitas (10-15% dari kejadian leiomyosarcoma), retroperitoneum,
pembuluh darah, uterus, dan superficial dermis.
2. Persebaran insidensi menurut usia cenderung merata pada semua usia, namun agak
lebih sering ditemui pada sekitar usia dewasa.

c. Pathogenesis
Masih tidak diketahui, tetapi peran genetic dihipotesiskan sebagai pengambil peran
terbesar dalam pathogenesis leiomyosarcoma.

d. Gejala Klinis
Gejala yang dialami biasanya hanyalah berupa benjolan yang bertambah besar. Tidak ada
gejala spesifik yang bisa mengarahkan karakteristik benjolan tersebut kepada
leiomyosarcoma dibandingkan dengan soft tissue tumor maupun sarcoma yang lain.

e. Pemeriksaan
Biasanya terlihat sebagai benjolan yang dapat muncul di bagian tubuh mana saja, tetapi
paling sering dilihat pada bagian profunda dari ekstremitas. Pola pertumbuhan
leiomyosarcoma bervarias tergantung lokasi dari kejadian myosarcoma. Benjolan
bertambah besar dengan aggressive jika terjadi pada profunda ekstremitas namun lebih
pelan dan lebih terlokalisir jika terjadi pada superficial dermis.

TT
B
B
118
317
Secara keseluruhan, leiomyosarcoma dapat lebih jelas terlihat pada pemeriksaan CT
maupun MRI, dimana ukuran dan ekstensi dari tumor ganas tersebut dapat dilihat dengan
lebih detail. MRI lebih unggul dalam membedakan antara leiomyoma dan
leiomyosarcoma. Pemeriksaan radiologis lain dengan menggunakan ultrasound tidak
terlalu detail dan tidak bisa membedakan antara leiomyosarcoma dan leiomyoma.

Leiomyosarcoma dapat ditegakkan dengan diagnosis dengan PA, dimana gambar yang
ditemukan berupa:
1. Fascicular growth pattern (bundles intersect at right angles)
2. Tumor cells merge with blood vessel walls
3. Palisading of spindle cells with eosinophilic fibrillary cytoplasm, focal granularity
4. Nuclei are cigar-shaped and blunt-ended with variable atypia, often with cytoplasmic
vacuoles at both ends of nuclei (unlike neural lesions)
5. Mitotic figures are common
6. May have hemangiopericytoma-like vasculature, nuclear palisading, myxoid change,
osteoclast-like giant cells, some may show extensive pleomorphism mimicking MFH
7. Often infiltrates into adjacent tissue

f. Treatment dan prognosis


1. Treatment yang disarankan adalah wide surgical excision dengan adjuvant
chemotherapy. Walaupun begitu, tingkat rekurensi local dari leiomyosarcoma cukup
tinggi.
2. Tempat tersering metastasis dari leiomyosarcoma biasanya adalah paru

TT
B
B
119
318
3. Prognosis setiap lokasi dari myosarcoma bervariasi, namun secara umum prognosis
dari pasien buruk ketika:
- Lokasi retroperitoneal (29% 5-year survival rate)
- Lokasi mesenteric atau lokasi lainnya yang dalam
- Ukuran > 5cm
- Umur > 62 tahun
- Tumor high grade
- Jaringan tumor terdisrupsi ketika dilakukan incisional biopsy maupun incomplete
excision

IV. Malignant Peripheral Nerve Sheath Tumor


a. Definisi
Malignant peripheral nerve sheath tumor (MPNST) adalah keganasan yang berasal dari
jaringan ikat yang mengelilingi serabut-serabut saraf, diantara lain Schwann cells,
perineural cells, maupun fibroblast.

b. Epidemiologi
1. Sekitar 50% dari kejadian MPNST dihubungkan dengan neurofibromatosis tipe 1 (NF-
1).
2. Pada negara-negara barat, MNPST merupakan tumor yang lebih jarang ditemui, hanya
terjadi pada 2% dari penderita sarcoma.
3. Secara jenis kelamin, MPNST tidak ada kecondongan ke arah jenis kelamin tertentu
4. Secara usia, kejadian MPNST cenderung lebih awal daripada sarcoma-sarcoma
kompleks lainnya, yang biasanya terjadi pada pasien-pasien berusia >60 tahun. Pada
MPNST, median umur untuk kejadiannya adalah sekitar 30-60 tahun, dan untuk
MPNST yang berhubungan dengan NF-1 adalah pada usia 20-40 tahun.

c. Pathogenesis
MPNST merupakan penyakit yang terjadi karena abnormalitas genetic dan peran genetic
ini sangat kompleks, karena banyak gen yang berperan dalam pembentukan MPNST.

TT
B
B
120
319
Beberapa gen sudah ditemukan berperan penting dalam terjadinya MPNST, contohnya
melalui pathway ras dan MAPK, dan mutasi pada gen TP53.
Walaupun kejadian NF-1 yang sering dikaitkan dengan MPNST, secara genetic jalurnya
masih belum ditemukan, karena hanya 8-13% dari NF-1 berubah menjadi MNPST, dan
MNPST sendiri memiliki banyak jenis mutasi gen yang berperan dalam
pembentukannya.

d. Gejala Klinis
1. Karena setengah dari MPNST dikatikan dengan NF-1, gejala yang sering ditemukan
adalah hiperpigmentasi kulit yang sering disebut dengan café-au-lait spots dan
axillary freckling.

2. Pasien juga sering dating dengan massa yang bertumbuh secara progresif, dapat
menimbulkan nyeri dan sering berhubungan dengan kelemahan atau parastesia.
Nervus yang paling sering terkena adalah n. sciaticus.
3. Ketika ditemukan, massa biasanya sudah melebihi 5cm, dan setengah dari pasien
sudah memiliki metastasis, biasanya ke paru-paru.

e. Pemeriksaan
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah MRI dan PA.
FDG-PET juga dapat dilakukan untuk membedakan neurofibroma dari MPNST pada
pasien-pasien dengan NF-1.
1. MRI dapat melihat karakteristik dari lesi dan extensi anatomis dari MPNST, yang
dapat digunakan untuk rencana pembedahan.

TT
B
B
121
320
2. Pemeriksaan PA tidak spesifik menunjuk ke arah MNPST, namun ada beberapa
karakteristik yang dapat dijumpai. Dibandingkan dengan neurofibroma, MNPST
secara PA menunjukkan tingkat seluleritas, pleomorphism, dan aktivitas mitotic yang
tinggi.

f. Prognosis
Secara umum, prognosis MPNST buruk, dengan 5-year survival rate sekitar 15-50%.
MPNST juga memiliki tingkat metastasis yang tinggi, dengan paru sebagai tujuan
metastasis utamanya.
1. Tumor dengan ukuran >5cm memiliki ditunjukkan sebagai factor prognostic yang
lebih buruk secara konsisten
2. Grading tumor yang lebih lanjut
3. Lokasi di trunkus
4. Differensiasi heterologous rhabdomyoblastic

V. Rhabdomyosarcoma
a. Definisi
Rhabdomyosarcoma adalah tumor ganas yang berasal dari jaringan mesenkimal
primitive, dimana jaringan ini dapat berdiferensiasi menjadi banyak jaringan lain,
terutama otot-otot skeletal.

b. Epidemiologi
Rhabdomyosarcoma adalah tumor yang paling sering pada masa anak-anak, mengambil
sekitar 7% dari semua kanker pada anak-anak, dan angka kejadiannya sekitar 11 per 1
juta penduduk di Amerika. Rhabdomyosarcoma mengambil setengah bagian dari seluruh
soft tissue tumor pada anak-anak.

c. Pathogenesis
Secara umum, pathogenesis yang diketahui untuk sementara ini adalah varian embryonal
dan alveolar, dimana pada keduanya, disebabkan oleh mutasi gen. Pada varian alveolar,
translokasi terjadi pada kromosom 2;13 dan 1;13, yang menghasilkan fusi antara produk-

TT
B
B
122
321
produk yang seharusnya tidak bergabung menjadi satu. Pada embryonal, mutasi terjadi
pada gen 11p15.5. Keduanya ada menunjukkan alterasi pathway p53 dan RB.

d. Gejala Klinis
Gejala utama yang sering dikeluhkan pada pasien dengan rhabdomyosarcoma adalah
pertumbuhan cepat massa yang tidak nyeri. Kebanyakan dari massa ini ditemui pada
pagian leher, system genitourinary, dan retroperitoneum.

e. Pemeriksaan
1. CT Scan
CT scan dapat membantu menentukan staging dari rhabdomyosarcoma tersebut.
2. MRI
MRI tidak dapat menjadi pemeriksaan diagnostic, karena tampilannya pada MRI
yang mirip dengan soft tissue sarcoma lainnya, yaitu hipointense pada T1 dan
hiperintense pada T2. Namun, pengunaan MRI berguna untuk menentukan treatment.
3. Patologi Anatomi
Pemeriksaan patologi anatomi dapat menunjukkan satu dari empat jenis varian dari
rhabdomyosarcoma, yaitu embryonal, alveolar, pleomorphic, atau butyroides.
− Embryonal
• small round blue cell tumor
• skeletal muscle-like cross-striations can occur
• based on the stage of neoplastic cell development
− Alveolar
§ poorly differentiated round cells with multinucleated giant cells
§ cellular aggregates are surrounded by dense fibrous septae
− Pleomorphic
§ multiple cell types present
§ difficult to differentiate from other pleomorphic sarcomas

TT
B
B
123
322
f. Treatment
Pada pasien dengan rhabdomyosarcoma, treatment bisa berupa operative maupun non-
operative. Pada anak-anak, wide surgical excision dengan chemotherapy dapat dipakai,
namun pada pasien dewasa, radiotherapy lebih dipilih daripada chemotherapy sebagai
terapi tambahan dari wide surgical excision.

VI. Referensi
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4204552/#bib5
http://www.jnccn.org/content/14/6/758.full.pdf
http://www.jpma.org.pk/full_article_text.php?article_id=3842
http://www.pathologyoutlines.com/topic/softtissueleiomyosarcoma.html
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2768153/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2674272/
https://emedicine.medscape.com/article/1177266-overview
https://www.orthobullets.com/pathology/8059/rhabdomyosarcoma
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12170781

TT
B
B
124
323
IX. REFERENSI:
Dalal, K.M., DeMartini, S.D. 2017. Lipoma. BMJ Best Practice (981).
Higgins, J.C., et al. 2015. Diagnosing Common Benign Skin Tumors. American Family
Physician 92(7):601-607.
Noebauer-huhmann, I.M, et al. 2015. Soft Tissue Tumors in Adults : ESSR-Approved
Guidelines for Diagnostic Imaging. Seminars in Musculoskeletal Radiology 19(5)475-
482.
Townsend, C.M., et al. 2017. Sabiston Textbook of Surgery: The Biological Basis of Modern
Surgical Practice. 20th edition. Philadelphia: Elsevier.
World Health Organization (WHO). 2014. Soft Tissue Tumours: Epidemiology, Clinical
Features, Histopathological Typing and Grading. WHO Classification of Soft Tissue
Tumours. WHO. Geneva.
Zuber, T.J. 2002. Minimal Excision Technique for Epidermoid (Sebaceous) Cysts. American
Family Physician 65(7):1409-1412.

TT
B
B
135
324
KOMPETENSI
PARONIKIA
Kontributor: Vidya Ananda
4A
I. Definisi
Paronikia berasal dari bahasa yunani. Kata para berarti disamping, onyx berati kuku.
Paronikia dapat diartikan sebagai infeksi jaringan lunak yang berada dibagian atas atau
samping lipatan kuku. Paronikia terbagi menjadi paronikia akut dan kronis.

II. Anatomi
Kuku adalah struktur unik yang bagian komponennya secara kolektif disebut unit kuku.
Unit kuku terdiri dari matriks kuku, dasar kuku, hyponychium dan proksimal dan lipatan
kuku lateral. Struktur anatomi kuku meliputi, dari distal ke proksimal, hyponychium, pita
onychodermal, nail bed (dasar kuku), lempeng kuku (nail plate), lipatan kuku lateral
(lateral nail folds), lunula, kutikula, matriks kuku, dan lipatan kuku proksimal (proximal
nail folds).

Matriks kuku

Matriks kuku adalah jaringan yang melindungi kuku, bagian dari kuku yang terletak di
bawah kuku dan berisi saraf, getah bening dan sebagian pembuluh darah
matriks bertanggung jawab. memproduksi sel-sel yang menjadi lempeng kuku. Matriks
kuku adalah epitel germinativum dari mana lempeng kuku berasal. Matriks bertanggung

TT
B
B
169
325
jawab atas mayoritas zat lempeng kuku. Bagian proksimal dari matriks terletak di bawah
lipatan kuku dan tepi melengkung distal biasanya dapat dilihat melalui lempeng kuku
sebagai lunula putih. Matriks proksimal membentuk bagian dangkal dari lempeng kuku
dan matriks distal membuat permukaan bawah lempeng kuku.

Lapisan dermis nail bed terletak di bawah lempeng kuku dan memperoleh warna merah
jambu dari kekayaannya pasokan vaskular. Nail bed kadang-kadang disebut matriks steril
dan mungkin memasok beberapa sel ke permukaan bawah lempeng kuku, memungkinkan
kuku tumbuh terus menerus sambil menempel pada nail bed.

Punggung dan alur longitudinal dikaitkan dengan kapiler yang berorientasi pada sumbu
memanjang dan membuat struktur nail bed. Ini menjelaskan orientasi perdarahan serpihan
yang merupakan perdarahan mikro yang mengikuti alur nail bed.
Nail bed memanjang dari matriks kuku ke hyponychium. Tidak ada jaringan subkutan pada
nail bed, jadi tepat di bawah nail bed terletak periostium dari phalanx distal.

III. Epidemiologi
Banyak terjadi pada anak-anak dan wanita dibandingkan pria, dengan perbandingan 3:1.
Paronichia paling banyak terjadi pada ibu jari.

TT
B
B
170
326
IV. Etiologi
Paronichiai dapat disebabkan oleh trauma kecil, kuku pecah, menggigit kuku, menghisap
kuku, kukuyang tumbuh ke dalam, akibat manikur, pemakaian kuku palsu atau dapat pula
terjadi tanpa trauma terlebih dahulu.

Bakteri patogen paronikia akut:


a. Streptococcus pyogenes
b. Staphylococcal aureus,
c. Pseudomonas
d. Anaerobes
e. Flora normal mulut

Patogen paronikia kronik:


a. Candida albicans (95 %)
b. atypical mycobacteria,
c. gram-negative rods

V. Patofisiologi
Terjadinya retakan, celah, atau trauma yang menyebabkan kerusakan pelindung antara
kuku dan lipatan kuku. Pada saat itu, organisme masuk melalui celah kuku dan membentuk
kolonisasi bakteri atau jamur (ragi atau kapang) di daerah tersebut. Selulitis saja mungkin
ada (<24 jam) setelah itu dapat berkembang menjadi abses.

TT
B
B
171
327
VI. Manifestasi Klinis
Paronikia akut:
• Bengkak, kemerahan
• Nanah dibawah kulit atau dilipatan samping kuku
• Jika tidak ditangani, infeksi sampai eponychium, disebut eponychia

foto 2. Paronikia akut foto 1. Paronikia kronis

P
Paronikia kronis :
• Bengkak, kemerahan, lipatan kuku yang lembut tanpa fluktuasi
• Plat kuku menebal dan berubah warna, dengan tonjolan melintang yang jelas
• Kutikula dan lipatan kuku dapat terpisah dari lempeng kuku, membentuk ruang
untuk invasi berbagai mikroorganisme

VII. Pemeriksaan fisik


§ Inspeksi : edema, kemerahan, terdapat pus
§ Palpasi : nyeri tekan

VIII. Pemeriksaan Penunjang


§ Pewarnaan gram dan atau kultur
§ Potassium hydroxide (KOH) 5% smear
§ Tzanck smear - Jika herpetic whitlow dicurigai

TT
B
B
172
328
IX. Diagnosis Banding
§ Herpetic whitlow
§ Felon
§ Onychomycosis
§ Psoriasis
§ Glomus tumor
§ Mucous cyst

X. Komplikasi
§ Eponychia: menyebar ke eponikium
§ Infeksi runaround: keterlibatan kedua lipatan kuku lateral
§ Felon: penyebaran infeksi volarward ke ruang pulpa lI & D dari pulpa jari
§ Fleks tenosinovitis: penyebaran volar ke selubung fleksor
§ Abses subungual ("kuku mengambang")

XI. Tata Laksana


1. Jika pembengkakan jaringan lunak hadir tanpa fluktuasi, infeksi dapat sembuh
dengan rendam hangat 3-4 kali sehari
2. antibiotik: Penicillin, ampicillin, clindamycin (Cleocin) dan kombinasi amoxicillin-
clavulanate potassium (Augmentin)
3. Antijamur
4. steroid topikal
5. sayatan dan drainase untuk abses
6. Tindakan bedah
a. No-incision technique

mengangkat lipatan eponikial dari kuku dengan instrumen


tumpul kecil (probe logam/elevator).

TT
B
B
173
329
b. Simple incision technique
• Menggunakan jarum 18 G
• Jarum diposisikan bevel ke atas dan diletakkan secara horizontal pada
permukaan kuku; itu dimasukkan pada lipatan kuku lateral di mana ia
bertemu kuku itu sendiri, pada titik fluktuasi maksimum
• Kulit lipatan kuku terangkat, melepaskan nanah dari rongga paronychia
• Gerakan sisi ke sisi yang lembut kemudian dapat digunakan untuk
meningkatkan ukuran sayatan yang dibuat oleh jarum, meningkatkan
drainase; karena daerah yang diinsisi sebagian besar terdiri dari jaringan
nekrotik, ini sering tidak menimbulkan rasa sakit
• Tekanan lembut dapat ditempatkan pada kulit eksternal untuk
mengekspresikan sisa nanah dari paronychia
• Rongga kemudian dapat diairi dengan saline
• Sepotong kecil 1/4-in kasa atau iodoform tape dapat dimasukkan ke dalam
rongga paronychia untuk drainase lanjutan. Luka kemudian ditutup dengan
perban steril.

c. Single- and double-incision techniques

Luka dibuka dengan sayatan kecil


menggunakan pisau bedah pisau nomor-11.

Luka dapat dieksplorasi dengan probe tumpul,


klem, atau ujung tumpul kapas.

TT
B
B
174
330
Pastikan bahwa semua lokasi rusak dan
sebanyak mungkin nanah dievakuasi.

Sebelum membalut luka, irigasi luka dengan


tekanan normal, menggunakan pelindung
percikan, pelindung mata, atau keduanya.

Luka dapat ditutup dengan salep antibiotik


atau petroleum jelly untuk mencegah adhesi
perban.

d. Roser’s Plasty

Teknik Operasi :
1. Lakukan tindakan asepsis serta antisepsis pada jari yang terkena.
2. Pasang doek berlubang.

TT
B
B
175
331
3. Lakukan tindakan anestesi pada pangkal jari disebelah dorsolateral kiri serta
kanan untuk memblok saraf yang melayani jari itu. Bila perlu lakukan ”ring
block”.
4. Masukan sonde beralur pada 1/3 lateral kuku yang akan dibuang sampai
meraih matriks kuku.
5. Gunting kuku diatas sonde.
6. Masukkan klem, jepit bagian yang akan dibuang, putar kearah sisi jari
hingga kuku terepas dari dasarnya, kuku ditarik hingga terlepas.
7. Kemudian keroklah dasar kuku yang sudah dibuang dengan kuret.
8. Gunting matriks sisa tempat kuku tertanam pada sisi jari
9. Bila memang perlu kulit penutup matriks dijahit.
10. Luka ditutup dengan salep atau betadine, lalu tutup dengan kasa steril. Serta
penderita di beri antibiotik, analgesik dan roboransia.

TT
B
B
176
332
XII. Referensi
Pamela G. Rockwell, D.O., 2001. Acute And Chronic Paronychia. University Of
Michigan Medical School, Ann Arbor,michigan: American Family Physician
Rich, Phoebe. 2003. An Atlas of Diseases Of The Nail. USA:The Parthenon Publishing
Group
Billingsley, Elizabeth. 2018. Paronychia.
https:/emedicine.medscape.com/article/1106062-overview

TT
B
B
177
333
KOMPETENSI
KISTA GANGLION
Kontributor: Arinal Chairul A.
2
I. Definisi
Kista ganglion merupakan penonjolan membrana synovial sendi atau selubung tendon
yang berisi cairan mucinous seperti jeli dengan komposisi serupa cairan sinovial.

II. Anatomi
Tulang-tulang penyusun sendi synovial dihubungkan oleh kapsul sendi yang tersusun atas
membrana fibrosa dan membrana synovial. Membrana fibrosa terletak pada lapisan luar
kapsul sendi dan dibentuk oleh jaringan ikat padat ireguler yang melekat pada periosteum
tulang-tulang penyusun sendi, sedangkan membrana synovial terletak pada lapisan dalam
kapsul sendi dan dibentuk oleh jaringan ikat longgar dengan serabut elastik. Sendi
sinovial memiliki suatu ruang potensial yang disebut sebagai spatium articularis atau
cavitas sinovial. Spatium articularis dikelilingi oleh membrana sinovial, kecuali pada area
kartilago sendi, serta mengandung sedikit pelumas carian sinovial yang disekresikan oleh
membrana sinovial.

TT
B
B
4
334

Sendi sinovial biasanya diperkuat oleh ligamen intrinsik/intraartikuler yang merupakan


penebalan kapsul sendi maupun ligamen ekstrinsik/ekstraartikuler. Beberapa sendi juga
memiliki discus fibrokartilaginosa (meniscus) apabila facies articularis tulang penyusun
sendi tidak kongruen.

Vaskularisasi sendi sinovial berasal dari arteri articularis, cabang dari arteri di sekitar
sendi, yang sering membentuk anastomosis. Drainase darah dari sendi sinovial bermuara
ke vena articularis yang merupakan vena comitantes. Arteri dan vena terletak di dalam
kapsul sendi, terutama di membrana sinovial. Sendi sinovial diinervasi oleh nervus
articularis dengan akhiran serabut saraf sensoris berada di dalam kapsul sendi. Inervasi
tersebut memenuhi kaidah Hilton law yang menyatakan bahwa sendi diinervasi oleh saraf
yang menginervasi otot-otot penggerak sendi. Serabut saraf tersebut berperan dalam
menghantarkan impuls propriosepsi. Membrana sinovial relatif insensitif, sedangkan
membrana fibrosa kapsul sendi dan ligamen accesoria memiliki lebih banyak serabut
nyeri yang dapat menimbulkan rangsang nyeri apabila terjadi cedera.

III. Fisiologi
Cairan sinovial merupakan cairan kental berwarna kuning pucat atau bening yang
disekresikan oleh membrana sinovial. Cairan sinovial mengandung asam hialuronat yang
disekresikan oleh fibroblast-like cell dan cairan interstisial hasil filtrasi dari plasma darah.
Cairan sinovial membentuk lapisan tipis dalam kapsul sendi dan berfungsi mengurangi
gesekan sendi dengan melubrikasi sendi, menyerap renjatan, memasok oksigen dan
nutrien serta membuang karbon dioksida dan sampah metabolik dari kondosit pada
kartilago sendi. Di dalam cairan sinovial terdapat sel-sel fagositik yang berfungsi
mengeliminasi mikroba dan debris akibat penggunaan normal maupun robekan pada
sendi.

IV. Epidemiologi
Kista ganglion merupakan tumor jaringan lunak terbanyak pada area tangan dan
pergelangan tangan dengan presentase 50-70%. Kista ganglion dapat terjadi pada semua

TT
B
B
5
335

umur, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun dengan angka kejadian pada
perempuan sedikit lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Lokasi terjadinya kista ganglion adalah sebagai berikut:


a. 60-70% pada aspek dorsal pergelangan tangan, terletak di antara kompartemen
ekstensor III-IV yang dihubungkan oleh tangkai ke ligamentum scapholunata.
b. 18-20% pada aspek volar pergelangan tangan, berasal dari salah satu persendian Os
scaphoideum.
c. 10-12% pada jari-jari tangan, berasal dari retinaculum volar dan flexor tendon sheath.
d. Aspek dorsal articulatio interphalangea distal (Kista mukosa, berkaitan dengan proses
osteoarthritis, biasanya disertai dengan nodul Heberden).

V. Etiologi
Belum diketahui secara pasti etiologi terjadinya kista ganglion. Namun terdapat beberapa
hal berikut yang berkaitan dengan proses pembentukan kista ganglion:
a. Trauma
b. Degenerasi mukoid
c. Herniasi sinovial

VI. Patofisiologi
Menurut teori Angelide, adanya stress berulang pada sendi, selubung tendon, maupun
ligamen memicu pertambahan jumlah sel penghasil mucin yang selanjutnya
meningkatkan pembentukan mucin di dalam struktur tersebut. Mucin yang terus
bertambah kemudian mendesak ke lapisan superficial dan bergabung membentuk kista
ganglion.

TT
B
B
6
336
VII. Patologi
Dinding kista ganglion terbentuk oleh serabut kolagen disertai adanya sel sinovial tanpa
sel epitel. Kista ganglion berisi cairan kental jernih yang mengandung asam hialuronat,
glucosamine, albumin, dan globulin. Kista ganglion selalu memiliki tangkai yang
menghubungkan kista dengan sendi atau selubung tendon di bawahnya.

VIII. Manifestasi Klinis


a. Asimptomatis
Sebagian besar pasien hanya mengeluhkan adanya benjolan yang mengganggu
kosmetik atau khawatir dengan keganasan.
b. Nyeri ringan
Kista ganglion pada aspek dorsal pergelangan tangan biasanya menimbulkan nyeri
akibat penekanan N. interosseus posterior.
c. Compressive neuropathy
Gejala neuropati muncul apabila kista ganglion menekan Guyon canal (dilewati N.
ulnaris) atau carpal tunnel (dilewati N. medianus).
d. Pemeriksaan fisik
1. Konsistensi keras berbatas tegas
2. Transiluminasi (+)
3. Allen’s test
Uji ini dilakukan untuk menilai kecukupan aliran darah kolateral A. ulnaris dan A.
radialis pada kista ganglion yang berlokasi di aspek volar pergelangan tangan.

TT
B
B
7
337

Gambar Keterangan

Kista mukosa (berkaitan dengan


osteoarthritis DIP) menyebabkan alur
longitudinal pada kuku akibat tekanan
yang ditimbulkan pada matrix germinal

Volar wrist ganglion di area tendon FCR


letaknya sangat berdekatan dengan A.
radialis, sehingga aspirasi kista
dikontraindikasikan

Kista ganglion yang berasal dari tendon


EDC digiti IV yang terletak di proksimal
penanda kulit saat ekstensi jari

TT
B
B
8
338

Perlekatan kista ganglion terhadap


tendon terkonfirmasi dengan bergesernya
kista ganglion 2 cm ke arah distal dari
penanda kulit saat tangan digenggamkan

IX. Diagnosis Banding

TT
B
B
9
339

X. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos
Pemeriksaan foto polos memberikan hasil yang normal pada kista ganglion.
b. USG
Pemeriksaan USG dapat membantu membedakan kista ganglion dengan aneurisme
vaskuler dan membantu lokalisasi kista saat prosedur aspirasi untuk menghindari
cedera vaskuler.
c. MRI
MRI tidak rutin diindikasikan untuk dilakukan. Pencitraan kista ganglion pada MRI
memberikan gambaran massa berbatas tegas dengan intensitas sinyal cairan homogen.
Gambar Keterangan

MRI pergelangan tangan potongan aksial fase T2.


Kista ganglion ditunjukkan oleh anak panah berwarna
merah

d. Biopsi
Biopsi kista ganglion tidak rutin dilakukan. Hasil biopsi menunjukkan suatu kantong
dilapisi sel sinovial yang mengandung mucin.

XI. Manajemen
a. Konservatif
1. Observasi
Observasi merupakan manajemen lini pertama pada pasien dewasa apabila kista
ganglion tidak menimbulkan gejala.
2. Aspirasi
Apabila kista ganglion menimbulkan gejala atau pasien menginginkan untuk
menghilangkan kista ganglion demi tampilan kosmetik, aspirasi kista
menggunakan jarum besar dapat dilakukan. Angka keberhasilan tindakan ini

TT
B
B
10
340

berkisar antara 15-89%. Aspirasi kista dengan injeksi steroid tidak memberikan
manfaat, malah dapat menimbulkan komplikasi atropi lemak subcutan serta
depigmentasi kulit. Aspirasi pada kista ganglion yang terletak di aspek volar
pergelangan tangan sebaiknya dihindari karena risiko mencederai A. radialis
sangat besar. Angka rekurensi setelah dilakukan aspirasi kista sekitar 50%, lebih
tinggi dibandingkan dengan operasi, namun tindakan ini lebih superior dalam hal
perbaikan gejala.
b. Operatif
Manajemen operatif diindikasikan apabila kista ganglion menimbulkan gejala yang
parah akibat penekanan pada struktur di sekitarnya atau tidak dapat ditangani dengan
aspirasi. Prinsip operasi adalah mengidentifikasi asal kista ganglion dan reseksi
pedikel/tangkai kista hingga mencapai pangkalnya. Pada kista ganglion yang terletak
di articulatio interphalangea distal, perlu dilakukan eksisi ganglion beserta osteofit
sendi yang menyertai. Prosedur operasi dapat dilakukan dengan eksisi terbuka
maupun eksisi arthroscopic.

XII. Komplikasi
a. Dengan dilakukannya aspirasi
1. Infeksi
2. Cedera neurovaskuler
b. Dengan dilakukannya eksisi terbuka
1. Infeksi
2. Cedera neurovaskuler
3. Cedera ligamen
4. Stiffness
5. Pembentukan neuroma
6. Scar hipertrofik

XIII. Prognosis
a. Sebanyak 40-58% kista ganglion mampu mengalami resolusi spontan.
b. Angka rekurensi setelah dilakukannya eksisi terbuka 4-40%.

TT
B
B
11
341
c. Rekurensi setelah dilakukannya reseksi pada volar ganglion lebih besar dibandingkan
dorsal ganglion yaitu 15-20%.

XIV. Referensi
Lifchez, S.D. & Kelamis, J.A. 2015. Surgery of the Hand and Wrist. In Brunicardi, F.C.
et al. Schwartz’s Principles of Surgery. 10th ed. New York: Mc-Graw Hill
Education.

Moore, K.L., Dalley, A.F., Agur, A.M.R. 2014. Clinically Oriented Anatomy. 7th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Netscher, D., Murphy, K., Fiore, N.A. 2012. Hand Surgery. In Townsend, C.M.,
Beauchamp, R.D., Evers, B.M., Mattox, K.L. Sabiston Textbook of Surgery: The
Biological Basis of Modern Surgical Practice. 19th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders.

Suen, M., Fung, B., Lung, C. P. 2013. Treatment of ganglion cysts. ISRN Orthop, 2013,
940615
Tortora, G.J. & Derrickson, B. 2012. Principles of Anatomy & Physiology. 13th ed.
United States of America: John Wiley & Sons, Inc.

Day, M. 2016. Ganglion cysts. https://www.orthobullets.com/hand/6086/ganglion-


cysts?expandLeftMenu=true, [diakses tanggal 21 November 2018].

TT
B
B
12
342
TOPHUS
Kontributor: Ulinuha Aflah Hanif

I. Definisi
Tophus adalah terbentuknya kristalisasi asam urat pada persendian atau jaringan lunak
yang dikelilingi oleh inflamasi granulomatosa dan dapat mendestruksi jaringan ikat di
sekitarnya. Tophus merupakan respons jaringan inflamasi kronis dari deposisi kristal
asam urat. Innate immunity dan adaptive immunity berperan penting dalam pembentukan
tophus. Tophus hampir selalu ditemukan di area persendian (articular), sekitar
persendian (periarticular), dan subkutan yang kaya akan kandungan proteoglikan, seperti
di sendi, tulang, kartilago, tendon, dan tulang. Namun, tophus bisa juga ditemukan di
organ-organ parenkim.
Nama lain dari tophus, yaitu:
a. Pirai: gout
b. Harrison Syndrome: gout
c. Podagra: tophus pada jari kaki

TT
B
B
81
343
II. Metabolisme Asam Urat

III. Fase Gout


a. Hyperuricemia asimptomatik
Kadar asam urat dalam darah >7 mg/dL tanpa disertai adanya tanda dan gejala
dari gout
b. Gout akut:
Terdapat nyeri, kemerahan, ROM terbatas dan pembengkakan pada sendi secara
mendadak
c. Gout interkritikal:

TT
Fase asimptomatik yang muncul setelah sembuh dari gout akut

B
B
82
344
d. Chronic tophaceous gout:
Fase yang ditandai dengan munculnya tophus pada persendian dengan kadar asam
urat >9 mg/dL

IV. Epidemiologi
a. 12-35% dari total jumlah pasien yang menderita gout dapat menunjukkan gejala
klinis tophus
b. Usia awitan penyakit muncul pada usia 40.5 tahun atau bahkan lebih muda
c. Tophus dapat muncul dalam jangka waktu yang bervariasi mulai dari 3 tahun
hingga 42 tahun (dengan rata-rata 11.6 tahun), sejak serangan gout pertama

V. Predileksi

TT
B
B
83
345
VI. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
1. Early phase: asymmetric swelling around affected joint
2. Multiple episodes of gouty arthritis in the same joint: cloudy area of increased
opacity
3. Intermediate phase: punched-out lesions; fracture may be present
4. Late phase: numerous interosseous tophi; joint-space narrowing; deformities and
subluxation

b. CT-Scan
Dapat digunakan untuk memvisualisasikan pada lokasi-lokasi yang sulit digambarkan
oleh modalitas radiografi polos
c. Ultrasonografi:
1. Mudah digunakan, namun sangat operator-dependent dan tidak bisa
memvisualisasikan struktur dan sendi yang terletak lebih dalam
2. Tampakan berupa double-contour sign (hyperechoic irregular enhancement over
surface of hyaline cartilage)

VII. Tatalaksana
a. Tujuan umum penatalaksanaan gout, yaitu:
i. Meredakan nyeri akut
ii. Mencegah rekurensi

TT
B
B
84
346
iii. Mencegah atau mengembalikan deposisi urat pada persendian, ginjal, ataupun
organ lainnya
b. Tidak ada indikasi untuk skrining hyperuricemia pada pasien-pasien yang asimptomatik
c. Obat penurun asam urat tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien-pasien
hyperuricemia asimptomatik
d. Penatalaksanaan hyperuricemia diberikan sekaligus bersamaan dengan penatalaksanaan
komorbid-komorbid lain, seperti obesitas, hypercholesterolemia, konsumsi alkohol, dan
hipertensi
e. Penatalaksanaan gout akut yaitu dengan pemberian obat-obatan sebagai berikut:
a) Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS):
a. Indomethacin d. Sulindac
b. Naproxen e. Ketoprofen
c. Ibuprofen
b) Kolkisin
c) Kortikosteroid:
a. Oral : Prednisone
b. Intramuskuler : Triamcinolone acetonide
c. Intraartikuler
d) Analgesik
f. Obat penurun kadar asam urat:
a) Xanthin oxidase inhibitors (XOIs) à menurunkan produksi asam urat, contohnya
seperti: Febuxostat, Allopurinol
b) Uricosurics à membantu ginjal menyaring asam urat pada darah, contohnya
seperti: Lesinurad, Probenecid
g. Bila terdapat tophus, dianjurkan untuk menurunkan kadar asam urat dalam darah
sehingga asam urat bisa mencapai kadar <5 mg/dL dan selalu dipantau kadar asam
uratnya agar tetap rendah
h. Pembedahan
a) Indikasi:
a. Penatalaksanaan sepsis c. Perbaikan fungsi
b. Meredakan nyeri d. Kosmetik

TT
B
B
85
347
b) Teknik:

VIII. Referensi
Becker, M. and Gaffo, A. (2018). UpToDate. [online] Uptodate.com. Available at:
https://www.uptodate.com/contents/clinical-manifestations-and-diagnosis-of-gout
Becker, M. (2018). UpToDate. [online] Uptodate.com. Available at:
https://www.uptodate.com/contents/pathophysiology-of-gout
Becker, M. (2018). UpToDate. [online] Uptodate.com. Available at:
https://www.uptodate.com/contents/pharmacologic-urate-lowering-therapy-and-
treatment-of-tophi-in-patients-with-gout
Rothschild, B. (2018). Gout and Pseudogout: Practice Essentials, Background,
Pathophysiology. [online] Emedicine.medscape.com. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/329958-overview

TT
B
B
86
348

Anda mungkin juga menyukai