Anda di halaman 1dari 4

BATAS TERITORIALITAS PEDAGANG KAKI LIMA PADA PASAR

SANGLAH
Oleh: Kadek Meichiko Suasta Tanjaya1

Abstrak
Arsitektur perilaku merupakan arsitektur yang dapat memahami serta mewadahi perilaku-perilaku manusia
yang ditangkap dari berbagai macam perilaku. Salah satu sub bahan arsitektur perilaku yaitu teritorialitas.
Teritorialitas ini merupakan sub bahan yang memuat tentang bagaimana makhluk hidup menentukan
kepemilikan terhadap teritori (wilayah) yang didalamnya terdapat suatu control oleh individua tau kelompok
untuk mempertahankan dari kemungkinan intervensi atau garansi pihak lain. Teritorialitas ini sering kali
ditemukan pada kawasan-kawasan publik seperti mall, pasar, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya. Salah satu
pasar yang berada di area Denpasar dan cukup dikenal oleh masyarakat yaitu Pasar Sanglah. Pada Pasar
Sanglah terdapat beberapa pembagian teritorialitas berdasarkan tipe user group yang terdiri dari tipe user group
pengunjung, tipe user group pedagang kaki lima, dan tipe user group pemilik toko. Teritorialitas pedagang kaki
lima pada Pasar Sanglah ini ditandai dengan beberapa hal seperti barang dagangan, alas atau sarana untuk
berjualan, dsb. Terdapat pula beberapa pelanggaran teritorialitas pedagang kaki lima pada Pasar Sanglah
utamanya yaitu terjadinya invasi.
Kata kunci: teritorialitas, pedagang kaki lima, pelanggaran.

Pendahuluan
Arsitektur berwawasan perilaku diartikan sebagai arsitektur yang dapat memahami serta
mewadahi perilaku-perilaku manusia yang ditangkap dari berbagai macam perilaku. Kata
“Perilaku” menunjukkan bahwa semua aktivitas manusia secara fisik baik interaksi dengan
sesamanya maupun dengan lingkungan fisiknya memiliki kaitan dalam aksinya. Arsitektur
perilaku penting untuk diketahui dan dipelajari oleh perancang sebagai acuan dalam
mengambil keputusan - keputusan dalam desain. Arsitektur perilaku juga penting dalam
mencari tau dan mempelajari pola pengguna hasil rancangan sehingga perancang dapat
menghasilkan rancangan yang sesuai dengan kebutuhan dan juga pola perilaku sang
pengguna. Tidak hanya berperan dalam proses pra rancangan arsitektur perilaku juga
berperan dalam pasca rancangan. Dalam proses pasca rancangan arsitektur perilaku akan
berguna dalam mempelajari dan mengetahui bagaimana desain kerja dengan aktivitas yang
diwadahinya sehingga dapat menjadi acuan atau presiden bagi desain yang akan dibuat
selanjutnya.
Salah satu sub bahan pada arsitektur perilaku adalah tentang teritorialitas. Teritorialitas
secara umum memuat tentang bagaimana makhluk hidup menentukan kepemilikan terhadap
teritori (wilayah) yang didalamnya terdapat suatu kontrol oleh individu atau kelompok untuk
mempertahankan dari kemungkinan intervensi atau garansi pihak lain. dalam artian lain
territory akan mempelajari bagaimana wilayah dan batas suatu ruang dibentuk untuk
mewadahi aktivitas dalam desain arsitektur. Penerapan teritorialitas dalam kehidupan sehari
hari sangat sering ditemui secara sadar maupun tidak sadar. adanya teritorialitas ini dapat
membentuk zona ruang yang akan berfungsi sesuai dengan aktivitas yang mewadahinya.

1
Prodi Arsitektur, FT - Unud
Email: Meichikost@gmail.com
Kadek Meichiko Suasta Tanjaya

Teritorialitas ini sering kali ditemukan pada kawasan publik seperti mall, pasar, sekolah, dan
sebagainya. Pada setiap tempat terutama kawasan publik terdapat beberapa teritorialitas
yang dapat tercipta. Hal ini juga dipengaruhi oleh user group yang ada. Setiap user group
memiliki teritorialitas tersendiri diluar dari teritorialitas umumnya. Untuk mengetahui
bagaimana penerapan teritorialitas pada arsitektur serta bagaimana teritorialitas
mempengaruhi perilaku masyarakat pada kawasan publik maka dalam makalah ini penulis
mengambil objek studi yaitu pedagang kaki lima pada Pasar Sanglah Denpasar yang akan
dibahas lebih lanjut pada makalah ini.

Kajian Pustaka
Teritorialitas menurut beberapa ahli dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Klasifikasi menurut Altman (1975) dan Hall (1969)
• Teritori primer (primary territory) dimana terdapat rasa kepemilikan individu
atau kelompok yang sangat tinggi, dan sifatnya cenderung permanen.
• Teritori sekunder (secondary territory) dimana suatu individu atau kelompok
tidak memiliki suatu teritori secara utuh, namun area tersebut
sering digunakan dan dapat diakses oleh orang lain.
• Teritori publik (public territory) tidak dimiliki oleh individu ataupun suatu
kelompok. Rasa kepemilikan pada teritori ini tergolong rendah dan sangat
sulit dikontrol.
2. Klasifikasi menurut Brower (1976)
• Teritori personal diketahui dikontrol oleh suatu individu atau kelompok
dimana anggota kelompok di dalamnya memiliki ikatan hubungan yang
sangat dekat seperti hubungan darah dan perkawinan.
• Teritori komunitas dengan pengontrolan oleh suatu kelompok yang
anggotanya dapat berubah, namun setiap anggota tersebut telah melalui
proses penyaringan dan umumnya telah lulus suatu kualifikasi dan mendapat
pelantikan dalam penerimaan anggota tersebut.
• Teritori masyarakat. Teritori ini dikontrol oleh masyarakat umum dan terbuka
untuk umum seperti jalan raya, ruang tunggu, dan ruang pertunjukan.
• Teritori bebas. Teritori ini tidak memiliki penghuni tetap dan keberadaan
subjek tidak di bawah larangan atau kontrol suatu pihak tertentu.

Hasil dan Pembahasan


Jika ditinjau dari teori menurut Altman (1997), secara umum Pasar sanglah sebagai tempat
publik termasuk kedalam klasifikasi teritori publik yang mana pada kawasan Pasar Sanglah
ini merupakan kawasan publik yang mana area ini digunakan oleh banyak orang dan dapat
diakses oleh siapa saja yang ingin berkunjung ke pasar. Kawasan pasar memiliki rasa
kepemilikan yang sangat rendah dan cukup sulit untuk mengontrol area ini. Pada kawasan
pasar hak tiap individu sama.

Secara khusus, pembagian teritori di kawasan Pasar Sanglah berdasarkan teori Altman dapat
terbagi menjadi beberapa bagian. Berikut merupakan pembagian berdasarkan tipe user
group yaitu teritorialitas user group pedagang kaki lima, teritorialitas user group
pengunjung, teritorialitas user group pemilik toko. Yang akan dibahas pada kali ini yaitu
teritorialitas user group pedagang kaki lima. Teritori ini merupakan kontrol yang dibentuk
oleh pedagang kaki lima (PKL) dengan motif dan kebutuhan menjajakan dagangan di tempat
strategis namun dikarenakan satu hal dan lainnya tidak mampu menyewa kios di Pasar

2
Batas Teritorialitas Pedagang Kaki Lima pada Pasar Sanglah

Sanglah. Hal ini mendorong PKL untuk membangun teritori baru pada teritori dengan
kontrol yang lebih lemah pada pasar Sanglah. Teritori yang dimiliki oleh PKL ini dapat
diklasifikasikan sebagai teritori primer dan sekunder. Teritori PKL primer merupakan area
dimana PKL memiliki kontrol kuat yang sifatnya permanen berupa stand. Sementara teritori
PKL sekunder merupakan area dimana PKL dipersonalisasikan dengan batas dan periode
waktu tertentu dengan tingkat kontrol sedang (tidak permanen). Salah satu bentuk dari
teritori PKL sekunder ini adalah lapak yang dibuka oleh pedagang canang, sayur, buah, serta
makanan segar yang umumnya hanya menciptakan teritori ini pada saat pagi hari.

Gambar 1. Pedagan Kaki Lima Pasar Sanglah


Sumber: dokumentasi pribadi

Pedagang Kaki Lima pada Pasar Sanglah Denpasar menjajakan dagangannya pada trotoar di
depan Pasar Sanglah dan juga pada area pinggiran akses jalan di Pasar Sanglah Denpasar.
Banyak sekali Pedagang Kaki Lima yang berjualan di area Pasar Sanglah Denpasar ini dan
setiap Pedagang Kaki Lima rata-rata menjajakan dagangan yang berbeda-beda. Meskipun
begitu, terdapat beberapa Pedagang Kaki Lima yang menjajakan dagangan dengan jenis
dagangan yang sama. Rata-rata penjual yang memiliki barang dagangan yang sama pasti
terletak pada suatu area misalkan penjual buah maka diletakkan pada area Pedagang Kaki
Lima yang sama-sama menjual buah-buahan. Menariknya, meskipun dengan barang
dagangan yang sama, para Pedagang Kaki Lima ini tetap dapat mengetahui batas
dagangannya dan teritorialitas masing-masing pedagang.

Pedagang Kaki Lima pada Pasar Sanglah Denpasar menciptakan teritorialitasnya dengan
adanya batas fisik berupa alas mereka berjualan (terpal) misalnya pedagang A menggunakan
terpal berwarna biru sebagai alas sementara pedagang B yang berada tepat disamping
pedagang A menggunakan terpal berwarna merah sebagai alas. Perbedaan tersebut
merupakan batas fisik yang cukup jelas dan sebagai bentuk teritorialitas masing-masing
pedagang ini. Batas lainnya ditunjukkan dari cara mendisplay produk yang dijajakan serta
sarana yang digunakan untuk menjajakan produk yang dijual oleh para pedagang ini.
Contohnya adalah pedagang buah pada gambar 1. Pedagang buah A menggunakan meja
kayu dengan kaki meja berwarna hitam sementara pedagang buah B menggunakan meja
kayu dengan kaki meja yang juga terbuat dari kayu dan memiliki warna yang senada dengan
bagian atas meja tersebut. Perbedaan warna kaki meja dan model meja yang digunakan
sebagai tempat meletakkan dagangan juga dapat menunjukkan teritorialitas pedagang buah
A dan juga pedagang buah B. Batas lainnya ditunjukkan dari jenis barang dagangan yang
dijajakan, hal ini merupakan salah satu batas yang paling jelas dapat dilihat dan sangat jelas
menunjukkan teritorialitas tiap pedagang utamanya bagi yang menjual barang dagangan
yang berbeda. Pada user group pedagang kaki lima terjadi pelanggaran teritorialitas terutama
berupa invasi yaitu ketika seseorang secara fisik memasuki teritori orang lain, dengan
kehendak mengambil kendali atas teritori tersebut dari pemiliknya. Hal ini dapat dilihat pada
lapak yang dibuka oleh para pedagang kaki lima dengan teritori sekunder, seperti pedagang

3
Kadek Meichiko Suasta Tanjaya

canang, sayur, dan bahkan penjual baju yang menggelar lapaknya di tengah-tengah trotoar
yang notabene merupakan teritori publik yang tidak hanya untuk pengunjung melainkan juga
sebagai fasilitas utama pejalan kaki atau masyarakat umum. Hal ini termasuk mengambil
kendali atas fasilitas publik atau teritori publik menjadi teritori sekunder milik user group
pedagang kaki lima.

Gambar 2. PKL di Trotoar


Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pelanggaran ini juga terjadi pada bagian koridor Pasar Sanglah yang seharusnya merupakan
area teritori publik untuk sirkulasi pengunjung dan bebas dari pedagang. Namun pada
kenyataannya, digunakan sebagai teritori sekunder untuk para pedagang melakukan aktivitas
jual beli. Contoh lain yang serupa yaitu pada area tangga di pasar Sanglah juga diambil alih
oleh para pedagang untuk meletakkan barang dagangannya. Keberadaan barang ini tentu
akan menjadi penghalang bagi para pengunjung untuk bersirkulasi.

Gambar 6. Barang Dagangan Diletakkan Pada Jalur Sirkulasi


Sumber: Dokumentasi Pribadi

Kesimpulan

Para Pedagang Kaki Lima memiliki teritori PKL primer merupakan area dimana PKL
memiliki kontrol kuat yang sifatnya permanen berupa stand. Sementara teritori PKL
sekunder merupakan area dimana PKL dipersonalisasikan dengan batas dan periode waktu
tertentu dengan tingkat kontrol sedang (tidak permanen). Teritorialitas PKL juga dapat
dilihat dari batas fisik berupa jenis barang dagangan, alas yang dipakai untuk berjualan,
sarana yang dipakai untuk berjualan seperti meja jualan, serta cara mendisplay barang. Pada
user group pedagang kaki lima terjadi pelanggaran teritorialitas terutama berupa invasi yaitu
ketika seseorang secara fisik memasuki teritori orang lain, dengan kehendak mengambil
kendali atas teritori tersebut dari pemiliknya.

Referensi
Kurniadi, F., Pramitasari, D., & Wijono, D. (2013). Konsep Perilaku Teritorialitas di
Kawasan Pasar Sudirman Pontianak.

Anda mungkin juga menyukai