Disusun Oleh :
2018610069
UNIVERSITAS TRIBHUWANA
TUNGGADEWI MALANG
2021
1. Pengertian
Trauma dada/ thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga
thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi
dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan
dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thoraks
diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul merupakan luka
atau cedera yang mengenai rongga thorax yang disebabkan oleh benda
tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena gejala-
gejala umum dan rancu (Brunner & Suddarth, 2002).
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh
benturan pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura
paru- paru, diafragma ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun
tumpul yang dapat menyebabkan gangguan system pernafasan.
Kecelakaan tabrakan mobil, terjatuh dari sepeda motor adalah
mekanisme yangpaling umum dari trauma tumpul dada. Mekanisme yang
paling umum untuk trauma tembus dada termasuk luka tembak dan luka
tusuk (Brunnar& Suddart, 2001).
2. ETIOLOGI
Trauma pada dada dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul
dan trauma tajam. Penyebab trauma dada tersering adalah karena kecelakaan
kendaraan bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima
jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang,
berputar dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk
mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola
trauma yang berbeda. Penyebab trauma thorax oleh karena trauma tajam
dibedakan menjadi 3, berdasarkan tingkat energinya yaitu: trauma tusuk
atau tembak dengan energy rendah, berenergi sedang dengan kecepatan
kurang dari 1500 kaki per derti (seperti pistol) dan trauma thorax oleh
karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan kecepatan
melebihi 3000 kaki per detik. Penyebab trauma dada yang lain oleh
karena adanya tekanan yang
berlebihan pada paru-paru bisa menimbulkan pecah atau
pneumothorax (seperti pada scuba).
Mekanisme Trauma
Akselerasi
Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab
trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan
percepatan (akselerasi); sesuai dengan hokum Newton II (Kerusakan
yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima
gaya perusak dari trauma tersebut).
Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak
tembak; penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata
milter high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan
mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas
dibandingkan besar lubang masuk peluru.
Deselerasi
Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan.
Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti
akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma,
organ-organ dalam mobile (seperti bronchus, sebagian aorta, organ
vicera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat
tumbukan pada dinding thorax/ rongga rubuh lain atau oleh karena
tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.
Blast injury
Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya
kontak langsung dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom.
Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran
gelombang energy.
3. MANIFESTASI KLINIS
1) Pneumothoraks :
Nyeri dada mendadak dan sesak napas.
Gagal pernapasan dengan sianosis.
Kolaps sirkulasi.
Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan
suara napas yang terdengar jauh atau tidak terdengar sama
sekali. pada auskultasi terdengar bunyi klik. Jarang terdapat luka
rongga dada, walaupun terdapat luka internal hebat seperti aorta yang
ruptur. Luka tikaman dapat penetrasi melewati diafragma dan
menimbulkan luka intra- abdominal.
Trauma thorax
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Radiologi: X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
b. Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.
c. Torasentesis: menyatakan darah/cairan serosanguinosa.
d. Hemoglobin: mungkin menurun.
e. Pa Co2 kadang-kadang menurun.
f. Pa O2 normal / menurun.
g. Saturasi O2 menurun (biasanya).
h. Toraksentesis: menyatakan darah/cairan.
i. Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300cc) terap
simtomatik, observasi.
j. Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase
cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan
continues suction unit.
k. Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus
dipertimbangkan thorakotomi.
l. Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari
800 cc segera thorakotomi.
6. PENATALAKSANAAN
1) Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti:
a. Diagnostik:
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau
kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau
tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock.
b. Terapi:
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di
rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga
"mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive:
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga
pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.
2) Perawatan WSD dan pedoman latihanya:
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan
pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain
kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh
dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa
sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan:
Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang
yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien,
sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.
Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan
memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan
pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi
tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah
lengan atas yang cedera.
d. Mendorong berkembangnya paru-paru.
Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
Latihan napas dalam.
Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk,
jangan batuk waktu slang diklem.
Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 -
800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus
dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/
berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.
f. Suction harus berjalan efektif:
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam
setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien,
warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai
petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi
pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke
posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari
penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah,
slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh
karena perlekatanan di dinding paru-paru.
g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
o Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur
berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.
o Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan
dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
o Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah
udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan
kocher.
o Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan
sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
o Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja
diri- sendiri, dengan memakai sarung tangan.
o Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam
rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena
kesalahan dll.
h. Dinyatakan berhasil, bila:
o Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik
dan radiologi.
o Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
o Tidak ada pus dari selang WSD.
3) Therapy
Chest tube / drainase udara (pneumothorax).
WSD (hematotoraks).
Pungsi.
Torakotomi.
Pemberian oksigen.
Antibiotika.
Analgetika.
Expectorant.
7. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan
secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien dengan trauma thoraks (. Doenges, 1999) meliputi :
– Aktivitas/ istirahat
Gejala: dipnea dengan aktivitas ataupun
istirahat.
– Sirkulasi
Tanda: Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical
berpindah, tanda Homman ; TD : hipotensi/hipertensi ; DVJ.
– Integritas ego
Tanda: ketakutan atau
gelisah.
– Makanan dan cairan
Tanda: adanya pemasangan IV vena sentral/infuse
tekanan.
– Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala: nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan,
tajam dan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas dalam,
kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen.
Tanda: berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi,
mengkerutkan wajah.
– Pernapasan
Gejala: kesulitan bernapas; batuk; riwayat bedah dada/ trauma,
penyakit paru kronis, inflamasi/ infeksi paru, penyakit interstitial
menyebar, keganasan; pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM.
Tanda: Takipnea; peningkatan kerja napas; bunyi napas turun atau
tak ada; fremitus menurun; perkusi dada hipersonan; gerakkkan dada
tidak sama; kulit pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan;
mental ansietas, bingung, gelisah, pingsan; penggunaan ventilasi
mekanik tekanan positif.
– Keamanan
Gejala: adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk kkeganasan.
– Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala: riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya
bedah intratorakal/biopsy paru.
8. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ekpansi paru yang
tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri
dan keletihan.
9. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Pola napas tidak efektif (D.0005) berhubungan dengan ekspansi paru
yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan
Tujuan: Pola pernapasan efektif .
Kriteria hasil:
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.
Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
Intervensi : Manajemen Jalan Napas
a) Obsservasi
1) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
2) Monitor bunyi napas tambahan ( mis. Gurgling,
mengi, wheezing, ronkhi kering).
b) Terapeutik
1) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan
chin- lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
2) Posisikan semi fowler-fowler
3) Berikan minum hangat
4) Berikan oksigen, jika perlu
c) Edukasi
1) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari , jika tidak kontraindikasi
2) Anjurkan teknik batuk efektif
d) Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
10. Evaluasi
1. Pola Napas Tidak Efektif
DO: pasien terlihat mulai tidak sesak,ada trauma dada, suara gurgling mulai
hilang dan wheazzing mulai tidak muncul.
RR :36x/m.
ND:65x/m.
T D:110/80 mmHg
A: intervensi berhasil
P: Hentikan intervensi
2. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Mowschenson, Peter M. 1990. Segi Praktis Ilmu Bedah untuk Pemula. Edisi 2.
Binarupa Aksara : Jakarta.