M Ikmaluddin Alfi H - Uas Hukum Bisnis C
M Ikmaluddin Alfi H - Uas Hukum Bisnis C
- Studi kasus
- Makalah
Nama : M Ikmaluddin Alfi Hidayat
NIM : 18510056
1. KERANGKA TEORITIS
1.1 Teori Keagenan
Menurut Jensen and Meckling (1976) hubungan keagenan merupakan
sebuah kontrak antara principal dengan agen., dengan melihat pendelegasian
beberapa wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Dalam teori agency
ada dua pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak, yaitu pihak yang
memberikan kewenangan yang disebut principal dan pihak yang menerima
kewenangan yang disebut agen (Halim dan Abdullah, 2006)
Teori keagenan juga bisa diterapkan pada entitas sektor publik antara
pemerintah dengan BUMN. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 menyebutkan bahwa BUMN berperan dalam
agen pembangunan nasional untuk meningkatkan pelayanan publik (Asmara.
4
Yoga Sukmana, (2017), Sri Mulyani Terus Memantau Kondisi Keuangan PLN, diakses 25
Juli 2018.
5
Badan Pemeriksan Keuangan, (2015), Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015, diakses 23 November 2018.
2016). Pemerintah sebagai prinsipal memberikan kewenangan tugas kepada
BUMN untuk menjalankan pembangunan guna mencapai target dan tujuan
pemerintah. Hubungan masalah keagenan antara pemerintah dengan BUMN
akan terjadi jika target yang direncanakan pemerintah tidak tercapai sedangkan
agen juga mempunyai kepentingan untuk mengejar keuntungan.
1.2 Kepemilikan Pemerintah
Pemerintah merupakan salah satu pemangku kepentingan dalam suatu
perusahaan (stakeholder). Kepemilikan pemerintah adalah jumlah kepemilikan
saham oleh pihak pemerintah (government) dari seluruh modal saham yang
dikelola. Dalam struktur kepemilikan perusahaan, pemerintah memiliki
proporsi tersendiri pada suatu perusahaan tertentu, sebagai contoh adalah
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di Indonesia dimana pemerintah
sebagai pemegang saham terbesar BUMN, akan sangat berpengaruh terhadap
keputusan penting keuangan BUMN. Keputusan keuangan tersebut tentunya
akan berdampak pada biaya keagenan. Pada dasarnya BUMN lebih
mementingkan kepentingan politik daripada kepentingan perusahaan untuk
efisiensi ekonominya dan BUMN tidak bisa mengatasi masalah muncul
persaingan dari perusahaan, (Saputro, 2012).
Peilow (2017) menyatakan bahwa pemerintah dapat mengintervensi
kinerja perusahaan hanya demi kepentingan pemerintah semata. Birokrat yang
mengendalikan perusahaan pemerintah lebih memiliki tujuan bukan untuk
menyejahterakan perusahaan dan masyarakat, tetapi untuk tujuan yang
berdasarkan kepentingan politik. Shen dan Lin (2009) dalam Peilow (2017)
menyatakan bahwa perusahaan pemerintah atau birokrat yang mengendalikan
perusahaan kurang memikirkan peningkatan kinerja perusahaan dan lebih
memiliki kepentingan sosial dan politis. Dampak yang ditimbulkan, terjadi
kurang kontrol dan pengawasan manajer. Dengan begitu manajemen dapat
lebih menggunakan hutang apabila kondisi perusahaan kurang baik.
6
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksana APBN, Penyertaan Modal Negara, SETJEN DPR RI,
diakses 25 Juli 2018.
7
Kemenko Perekonomian, (2015). Penyelesaian Proses Penetapan Bantuan Pemerintah Yang
Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS). https://www.ekon.go.id/berita/view/penyelesaian-
prosespenetapan.1212.html, diakses 26 Juli 2018.
perjanjian sewa atau perjanjian yang mengandung sewa yang harus
diperlakukan sesuai dengan PSAK 30.
PSAK 30 mengatur tentang klasifisikasi sewa yaitu sewa pembiayaan
(Finance lease) dan sewa operasi (operating lease). Sewa pembiayaan (Finance
lease) adalah mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang
terkait dengan kepemilikan suatu aset. Hak milik pada akhirnya dapat
dialihkan, dapat juga tidak dialihkan. Sewa operasi (operating lease) adalah
sewa yang tidak mengalihkan secara subtansial seluruh risiko dan manfaat
yang terkait dengan kepemilikan aset.
8
Siaran Pers, (2017), Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) Tahun 2016.
www.pln.co.id/media/siaran-pers/2017/04/laporan-keuangan-pt-plnpersero-tahun-2016,
diakses 25 Juli 2018.
Ruang Lingkup PMN
- Pendirian BUMN atau Perseroan Terbatas
- PMN pada Perseroan Terbatas yang di dalamnya belum terdapat
saham milik negara
- PMN pada BUMN atau Perseroan Terbatas yang di dalamnya telah
terdapat saham milik negara
Bentuk-bentuk PMN diantaranya adalah sebagai berikut:
- Tunai, pemerintah memberikan sejumlah uang kepada BUMN
- Konversi piutang pemerintah. Pemerintah mengonversi utang BUMN
kepada pemerintah menjadi PMN
- Hibah saham/Aset dari pihak lain. Pemerintah mendapat hibah
saham/aset dari pihak lain untuk mendirikan BUMN baru atau
perpindahan kepemilikan perusahaan dari pihak ketiga menjadi milik
pemerintah.
9
Netralnews.com, (2015), Penerapan ISAK 8 Tidak Tepat untuk Perhitungan Laporan
Keuangan PLN, http://www.netralnews.com/news/ekonomi/read/27455/penerapan-isak-8-
tidak-tepat-untuk-penghitungan-laporan-keuangan-pln, diakses 25 Juli 2018.
Berdasarkan surat Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam-LK) yang kemudian bergabung menjadi bagian dari
Otoritas jasa Keuangan (OJK) No. S-2366/BL/2009 tertanggal 30 Maret
2009, penyedia tenaga listrik oleh IPP kepada perusahaan dan entitas anak
termasuk dalam kategori perjanjian pelaksanaan jasa publik ke swasta
dikecualikan dari Penerapan ISAK 8 sampai DSAK IAI menerbitkan ISAK
yang lebih spesifik mengatur tentang transaksi tersebut.
Manajemen kemudian mengevaluasi dampak ISAK 16, “Perjanjian
Konsensi Jasa” (efektif berlaku tanggal 1 Januari 2012) terhadap Perjanjian
Jual Beli Tenaga Listrik Perusahaan dan entitas anak dengan IPP dan
menetapkan bahwa transaksi tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup
interpretasi, yang berisi untuk operator atas perjanjian konsensi jasa publik
ke swasta. Selanjutnya, sesuai dengan surat manajemen tanggal 22
Desember 2011 kepada Ketua Bapepam-LK, manajemen PT. PLN (Persero)
memutuskan untuk menerapkan ketentuan ISAK 8, sesuai dengan PSAK 30
terhadap Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik mulai tanggal 1 Januari 2012.
Lebih lanjut pada kebijakan akuntansi tersebut menjelaskan bahwa
perusahaan dan entitas anak menetapkan bahwa beberapa perjanjian dengan
IPP memenuhi persyaratan sebagai sewa dengan dasar Perusahaan dan
entitas anak dan IPP memiliki perjanjian take or pay, dimana perusahaan
dan entitas anak mengambil hampir seluruh listrik dan energi yang
dihasilkan oleh pembangkit listrik. Jenis perjanjian ini ditetapkan sebagai
sewa pembiayaan dimana porsi signifikan dari risiko dan manfaat atas
sejumlah pembangkit listrik telah dialihkan ke perusahaan dan entitas anak
dengan dasar bahwa masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis
aset dan terdapat opsi beli pada akhir masa sewa. Oleh karena itu dengan
ditetapkan ISAK 8 maka laporan keuangan PT. PLN (Persero) mendapatkan
Opini Wajar Tanpa Pengecualian.
Tabel 1. Kinerja Keuangan PT. PLN (Persero) 2014-2013 Sumber:
Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) 2014
Keterangan 2014 2013 Mutasi
Aset 603.659.191 590.218.986 13.440.205
Liabilitas 438.987.965 439.887.628 (889.663)
Ekuitas 164.671.226 150.331.358 14.339.868
Pendapatan 292.721.191 261.847.042 30.874.149
Laba 11.741.610 (26.235.615) 37.997.225
DER 267% 293% (26%)
Opini Audit Opini Wajar Tanpa Pengecualian, 27 Februari 2015
10
Siaran Pers, (2016), Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) Tahun 2015,
www.pln.co.id/media/siaran-pers/2016/06/laporan-keuangan-pt-plnpersero-tahun-2015,
diakses 25 Juli 2018.
Jumlah Ekuitas 167.671.226 124.736.547 42.934.679
Laba (Rugi) kepada 11.726.406 (26.235.615 37.962.021
Negara )
Opini Audit Wajar Dengan Pengecualian tanggal 25
Mei 2015
E. Daftar Pustaka
1. Alawan Ridha Ramdani, Begini Kondisi BUMN Sakit,
https://bumntrack.com/policy/begini-kondisi-bumn-sakit, diakses 1 Oktober 2018.
2. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksana APBN, Penyertaan Modal Negara, SETJEN DPR RI,
diakses 25 Juli 2018.
3. Candra Muljono, Pengaruh PLN Sebagai BUMN Bagi Perekonomian Indonesia. Diakses 1
Oktober 2018.
4. Dina Amalia, (2017), Jenis dan Ciri-ciri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
https://www.jurnal.id/en/blog/2017/jenis-dan-ciri-ciri-badan-usaha-miliknegara-bumn.
Diakses 1 Oktober 2018.
5. Ersa Tri Wahyuni, (2017). Kaleidoskop SAK 2017 dan Outlook SAK 2018,
http://etwaccountant.com/category/my-reflection/, diakses 24 Juli 2018.
6. Kemenko Perekonomian, (2015). Penyelesaian Proses Penetapan Bantuan Pemerintah
Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS).
https://www.ekon.go.id/berita/view/penyelesaian-prosespenetapan.1212.html, diakses
26 Juli 2018.
7. Kontan.co.id, (2016), Target PLN dan Politisasi ISAK 8,
http://analisis.kontan.co.id/news/target-pln-dan-politisasi-isak-8?page=1, diakses 27 Juli
2018.
8. Michael Agustinus, (2016), Setelah Revaluasi, Aset PLN Menjadi Rp 1.227 triliun,
https://finance.detik.com/energi/d-3245230/setelah-revaluasi-aset-plnmenjadi-rp-1227-
triliun, diakses 23 Juli 2018.
9. Munarsih Sahana, (2015), Presiden Jokowi Luncurkan Program 35 Ribu MW Listrik untuk
Indonesia. diakses 1 Oktober 2018.
10. Netralnews.com, (2015), Penerapan ISAK 8 Tidak Tepat untuk Perhitungan Laporan
Keuangan PLN, http://www.netralnews.com/news/ekonomi/read/27455/penerapan-
isak-8- tidak-tepat-untuk-penghitungan-laporan-keuangan-pln, diakses 25 Juli 2018.
11. Siaran Pers, (2016), Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) Tahun 2015,
www.pln.co.id/media/siaran-pers/2016/06/laporan-keuangan-pt-plnpersero-tahun-
2015, diakses 25 Juli 2018.
12. Siaran Pers, (2017), Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) Tahun 2016.
www.pln.co.id/media/siaran-pers/2017/04/laporan-keuangan-pt-plnpersero-tahun-
2016, diakses 25 Juli 2018.
13. Yekti Sulistyo, (2018), Pengertian Debt to Equity Ratio (DER),
http://www.yektisulistiyo.com/2018/01/pengertian-debt-to-equity-ratio-der.html,
diakses 30 Juli 2018.
14. Yoga Sukmana, (2017), Sri Mulyani Terus Memantau Kondisi Keuangan PLN, diakses 25
Juli 2018.
15. Publikasi Laporan Keuangan
- Badan Pemeriksan Keuangan, (2013), Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2013, diakses 30 Juli 2018.
- Badan Pemeriksan Keuangan, (2014), Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2014, diakses 23 Juli 2018.
- Badan Pemeriksan Keuangan, (2015), Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015, diakses 23 November 2018.
- Badan Pemeriksan Keuangan, (2016), Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2016, diakses 16 Juli 2018.
- PT. PT. PLN (Persero), (2015), Laporan Keuangan Konsolidasi 2014-2013 Audited,
diakses 25 Juli 2018.
- PT. PT. PLN (Persero), (2016), Laporan Keuangan Konsolidasi 2015-2014 Audited,
diakses 25 Juli 2018.
MAKALAH TENTANG KEPEMILIKAN DAN PENGEMBANGAN MODAL:
MELINDUNGI KEHALALAN KORPORASI
Dosen Pengampu
Oleh :
FAKULTAS EKONOMI
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji semoga tetap senantiasa dipanjatkan kepada kehadirat
Allah swt yang membimbing umat manusia dengan petunjuk- petunjuknya yang
terkandung dalam al-Qur’anul karim dan Sunnah Rasulullah, yang senantiasa menjadi
pedoman bagi umat muslim menuju jalan yang lurus dan diridhoi oleh Allah swt.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL....................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1
A. Kesimpulan............................................................................... 23
B. Saran......................................................................................... 23
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hampir setiap kegiatan manusia merupakan bagian dari sistem bisnis. Setiap
kegiatan yang dilakukannya sudah tentu merupakan perwujudan dari aktivitas bisnis.
Seorang petani yang mengolah sawah, menggiling padi, menjual beras, semua itu
merupakan aktivitas bisnis. Pada bidang jasa, dokter melayani pasien, Perusahaan
Listrik Negara (PLN) melayani penerangan masyarakat, Perguruan Tinggi mendidik
mahasiswa, dan perusahaan jaringan tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang
menyalurkan tenaga kerja merupakan perwujudan aktivitas bisnis.
B. Rumusan masalah
Berkaitan dengan ulasan tersebut maka, ada beberapa pokok rumusan masalah
yang berkaitan dengan judul kepemilikan harta yaitu:
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kepemilikan
1. Definisi kepemilikan
Secara etimologis, milik berasal dari kata bahasa Arab al-milk yang berarti
penguasaan terhadap sesuatu. Al-milk juga memiliki arti sesuatu yang dimiliki (harta).
Milik juga berarti hubungan seseorang dengan sesuatu harta benda yang diakui oleh
syara’, yang menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta itu,
sehingga dia berhak atas perlakukan tindakan hukum terhadap harta itu, kecuali
adanya halangan dalam syara’.
Secara terminologis, al-milk memiliki arti pengkhususan seseorang terhadap
suatu benda yang kemungkinan bertindak hukum terhadap benda itu (sesuai dengan
keinginannya), selama tidak ada halangan dalam syara’.
Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri
penggunaannya oleh orang lain.
Harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika
dibutuhkan. Dalam penggunaannya, harta bisa dicampuri oleh orang lain. Jadi
menurut Hanafiyah yang dimaksud harta adalah sesuatu yang berwujud (a’yan).
b. Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia
maupun sebagian manusia.
d. Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga) seperti sebiji
berasa dapat dimiliki oleh manusia, dapat diambil kegunaannya dan dapat
disimpan, tetapi sebiji beras menurut ‘urf tidak bernilai (berharga), maka
sebiji beras tidak termasuk harta.
f. Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan
dapat diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.
Hanafiyah menjelaskan harta dengan sesuatu yang berwujud dan dapat disimpan
sehingga yang tidak berwujud dan tidak dapat disimpan bukanlah harta, seperti hak
dan manfaat.
hidup. Oleh karena itu Allah swt menyuruh manusia untuk berusaha dalam
memperolehnya, memilikinya dan memanfaatkannya bagi kehidupan manusia dan
Allah swt melarang berbuat sesuatu yang akan merusak dan meniadakan harta itu. Ia
dapat berwujud bukan materi seperti hak-hak dan dapat pula berwujud materi. Yang
berwujud materi ini ada yang bergerak dan ada pula yang tidak bergerak.
2. Sebab – sebab Kepemilikan
Harta berdasarkan sifatnya bersedia dan dapat dimiliki oleh manusia,
sehingga manusia dapat memiliki suatu benda. Adapun sebab-sebab kepemilikan
harta antaralain:
a. Ikraj al-mubahat, untuk harta yang mubah (belum dimiliki oleh seseorang)
atau:
“Harta yang tidak termasuk dalam harta yang dihormati (milik yang sah) dan
tidak ada penghalang syara’ untuk yang dimiliki”.
Khalafiyah ada dua macam, yaitu pertama; khalafiyah syakhsy ‘an syakhsy,
yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta yang
ditinggalkan oleh muwaris, harta yang ditinggalkan oleh muwariz disebut
tirkah. Dan kedua; khalafiyah syai’an syai’in, yaitu seseorang merugikan
milik orang lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak di
tangannya atau hilang, maka wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian-
kerugian pemilik harta. Maka khalafiyah syai’an syai’in ini disebut juga
tadlmin atau ta’widl (menjamin kerugian).
c. Tawallud min mamluk, yaitu segala yang terjadi dari benda yang telah
dimiliki, menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut, misalnya bulu
domba menjadi milik pemilik domba.
Sebab pemilikan tawallud min mamluk dibagi kepada dua pandangan
(I’tibar), yang pertama; mengingat adanya ikhtiar terhadap hasil-hasil yang
dimiliki (I’tibar wujud al ikhtiyar wa ‘adamihi fiha) dan kedua; pandangan
terhadap berkasnya (I’tibar atsariha).
Dari segi ikhtiar, sebab malaiyah (memiliki) dibagi dua macam, yaitu
Sebab-sebab jabariyah ada dua macam yaitu iris dan tawallud min al-
mamluk.
Karena penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari
tiga tahun, Umar ra ketika menjabat khalifah ia berkata: “Sebidang tanah akan
menjadi milik seseorang yang memanfaatkannya dari seseorang yang tidak
memanfaatkannya selama tiga tahun”. Hanafiyah berpendapat bahwa
tanah yang belum ada pemiliknya kemudian dimanfaatkan oleh
seseorang, maka orang itu berhak memiliki tanah itu.
a. Bekerja (al-‘Amal)
Pemilikan harta harus didapatkan dengan usaha (amal) atau mata pencaharian
(maisyah) yang halal. Dilarang mencari harta, berusaha dan bekerja yang dapat
melupakan kematian, melupakan dzikrullah, melupakan shalat dan zakat, memusatkan
kekayaanhanya pada kelompok orang kaya saja. Dilarang menempuh usaha yang
haram, seperti kegiatan riba, perjudian, jual beli barang haram, mencuri dan
sejenisnya, curang dalam takaran dan timbangan, dan cara- cara bathil lainnya yang
dapat merugikan.
b. Warisan (al-irts)
c. Harta untuk menyambung hidup
e. Harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan daya dan
upaya apapun.
1) Bekerja (amal/kasab)
3) Warisan
4) Nasionalisasi aset-aset
Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk
dimiliki manusia dalam menunjang kehidupannya secara garis besar ada dua bentuk:
Pertama; Memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh orang
lain. Bentuk yang jelas dari mendapatkan harta baru sebelum menjadi milik orang lain
adalah dengan menghidupkan tanah mati (menggarap) tanah mati yang belum dimiliki atau
yang disebut ihya al-mawat ()الموات احياء.
Ihya al-mawat dalam bentuk asalnya adalah membuka tanah yang belum menjadi
milik siapapun, atau telah pernah dimiliki namun telah ditinggalkan sampai terlantar dan tak
terurus. Siapa yang memperoleh tanah dalam bentuk demikian dia berhak memilikinya. Hal
ini sesuai dengan hadis Nabi saw yang berasal dari Said bin Zuber menurut tiga perawi
hadis yang mengatakan:
Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia berhak memilikinya.
Bila dihubungkan kepada kepemilikan mutlak harta oleh Allah, maka ini berarti
Allah telah memberi kesempatan kepada orang yang menghidupkan tanah mati itu untuk
memilikinya; sedangkan harta yang telah dimiliki kemudian ditinggalkan ia kembali kepada
kepemilikan Allah yang kemudian diserahkan kepada penggarap yang datang di kemudian.
Kedua; Memperoleh harta yang telah dimiliki orang lain melalui suatu transaksi.
Bentuk ini dipisahkan pada dua cara. Pertama peralihan harta berlangsung dengan
sendirinya atau disebut juga ijbari yang siapapun tidak dapat merencanakan atau
menolaknya seperti melalui warisan. Kedua peralihan harta berlangsung dengan sendirinya,
dengan arti atas kehendak dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiyari, baik melalui
kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian; maupun melalui kehendak dan perjanjian
timbal balik antara duaatau beberapa pihak, seperti jual beli.
Kedua cara tersebut dalam memperoleh harta harus dilakukan dengan prinsip halal
dan baik agar pemilikan kekayaan tersebut diridhai oleh Allah swt.37
3. Jenis-jenis Kepemilikan
Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma
membagi kepemilikan menjadi tiga bagian yaitu:
Kepemilikan umum ialah izin syari’at kepada masyaakat secara bersama- sama
memanfaatkan sumber daya alam. Ini berupa barang-barang yang mutlak diperlukan
manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, api (bahan bakar, listrik, gas),
padang rumput, sungai, danau, jalan, lautan, udara, masjid, dan sebagainya; serta
barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti emas, perak,
minyak, dan sebagainya. Syariat melarang sumber daya seperti ini dikuasai oleh
seseorang atau sekelompok kecil orang.
Disebut sebagai milik negara adalah harta yang merupakan hak diseluruh
kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang khalifah. Pengelolaan oleh
khalifah disebabkan adanya kewenangan yang dimiliki khalifah untuk mengelolah
harta milik seperti itu. Yang termasuk milik negara seperti: harta ghanimah (hatta
rampasan perang), fa’i (harta kaum muslimin yang berasal dari kaum kafir yang
disebabkan oleh kepanikan dan ketakutan tanpa mengerahkan pasukan), khumus
(zakar 1/5 bagian yang dikeluarkan dari harta temuan/barang galian) harta yang tidak
memiliki ahli waris, dan hak milik dari negara.
d) Kepemilikan mutlak
Kepemilikan hakiki atas semua kekayaan yang ada di alam semesta ini ialah
Allah swt.
e) Kepemilikan relatif
Walaupun harta itu milik Allah swt akan tetapi kepemilikan manusia diakui
secara de jure karena Allah sendiri yang mengaruniakannya kepada manusia
atas kekayaan itu dan mengakui kepemilikan tersebut.
“Rasulullah saw. bersabda: Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka
tidak peduli lagi dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal
ataukah dengan cara yang haram.” (H.R. Bukhari)
Benar adanya sabda Rasulullah saw. yang beliau katakan beratus tahun yang lalu
tersebut. Modernisasi yang merupakan tanda kemajuan ilmu pengetahuan manusia
seringkali tidak sejalan dengan kondisi iman dan takwa. Tidak sedikit orang yang
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nikmat dunia yang diinginkan oleh hawa
nafsunya. Tindakan korupsi, perampokan, pembegalan, pengedaran narkoba, pencurian,
penipuan merupakan beberapa contoh cara yang tidak halal untuk mendapatkan harta dan
marak sekali diberitakan di media dan seringkali meresahkan dan merugikan masyarakat.
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang
Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya
kepadaNya kamu beribadah.”
Kata “makanlah” di sini tidak saja berarti harfiah yaitu kegiatan makan dan
minum, melainkan termasuk bagaimana cara memperoleh makanan tersebut. Yusuf
Qardhawi (1993) menjelaskan mengenai pokok-pokok ajaran Islam tentang halal dan
haram, dan salah satu pokok ajaran itu ialah “apa saja yang membawa kepada haram
adalah haram”. Sehingga walaupun makanan itu halal, akan tetapi apabila cara
pemerolehannya semisal dengan mencuri, maka ia haram untuk dimakan karena
makanan tersebut merupakan hasil curian.
Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa memperoleh harta dengan cara dosa, lalu
ia menggunakannya untuk menjalin silaturrahmi, bersedekah, atau kepentingan di jalan
Allah, niscaya Dia akan menghimpun semua hartanya itu lalu melemparkannya ke dalam
neraka” (H.R. Abu Dawud) (Ghazali, 2007).
Ali (2016) menjelaskan bahwa kata “halal” dan “haram” merupakan istilah Al
Qur’an dan digunakan dalam berbagai hal, sebagiannya berkaitan dengan makanan dan
minuman. Halal secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan menurut syariat untuk
dilakukan, digunakan, atau diusahakan, dengan disertai perhatian cara memperolehnya,
bukan dari hasil muamalah yang dilarang. Sementara thayyib bisa diartikan sebagai
sesuatu yang layak bagi jasad atau tubuh, baik dari segi gizi dan kesehatan serta tidak
membahayakan badan dan akal.
Kemudian haram, secara terminologi diartikan sebagai sesuatu yang dilarang Allah
dengan larangan yang tegas. Keharaman ada 2 macam yaitu karena disebabkan zatnya
atau karena yang ditampakkannya.
Dari dua hadits yang dikemukakan sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa
halal-haramnya rezeki yang kita peroleh dan kita konsumsi akan mempengaruhi kualitas
hubungan kita dengan Allah swt. Dari sini pula kita bisa melakukan introspeksi. Apakah
permasalahan halal hanya berada pada tataran kewajiban yang harus kita penuhi, atau
kebutuhan yang tanpanya kita tidak bisa meraih hakikat hidup sebagai ibadah dan usaha
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.?
Jika kita pahami lebih lanjut, ada beberapa alasan yang mendasari mengapa gaya
hidup halal merupakan sarana untuk memelihara diri dan jiwa kita, serta untuk
mendekatkan diri kepada pencipta kita, Allah swt. Yang mana jika diuraikan menjadi
sebagai berikut (Sarwat,2014):
Bagi mereka yang memahami ajaran Islam dengan baik, apapun yang masuk ke
dalam perutnya harus seizin sang pencipta, Allah swt.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan kepemilikan harta ialah kekuasaan atas benda dan manfaatnya
secara utuh. Di dalam Islam umat muslim senantiasa dianjurkan untuk mencari rezki yang
baik dan halal حلل و طيبdan sangat dilarang untuk meyembah kekayaan sebagaimana hadis
rasulullah yang artinya “Terkutuk bagi mereka yang menjadi penyembah dinar dan terkutuk
pula bagi mereka yang menjadi penyembah dirham”.
Demikianlah ulasan mengenai halal haram yang bisa penulis sampaikan. Dari sini
kita memahami bahwa halal-haram bukan saja mengenai makanan dan minuman, akan
tetapi menyeluruh ke segala aspek kehidupan. Dan kita juga bisa memahami bahwa
pengaruh kehalalan sangat besar terhadap kualitas hubungan dan kedekatan kita dengan
Allah swt. Kedekatan itu selanjutnya akan berpengaruh terhadap terkabul atau tidaknya doa-
doa yang kita panjatkan sebagai hajat hidup kita di dunia. Selain itu pula, Allah akan
memelihara jiwa mereka yang melaksanakan gaya hidup halal baik di dunia (dengan
kesehatan), maupun di akhirat (dengan terhindarnya tubuh kita dari api neraka).
DAFTAR PUSTAKA
1. Cahyani, Andi Intan. Fiqhi Muamalah. Cet. I; Makassar: Alauddin University Press,
2013.
2. Kementerian Agama Republik Islam. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Sinergi
Pustaka, 2012.
3. Mardani. Hukum Bisnis Syari’ah. Cet. I; Jakarta: Prenadamedia Group, 2014.
4. Misbahuddin. E‐Commerce dan Hukum Islam. Cet. I; Makassar: Alauddin University
Press, 2012.
5. Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Cet. II; Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqhi. Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003.
6. Al Ghazali, Imam. 2007. Rahasia Halal-Haram: Hakikat Batin Perintah dan Larangan
Allah. Terjemahan oleh Iwan Kurniawan. Bandung: Mizania.
7. Ali, Muchtar. 2016. Konsep Makanan Halal dalam Tinjauan Syariah: Tanggung Jawab
Produk Atas Produsen Industri Halal. Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016.
8. Sarwat, Ahmad. 2014. Halal atau Haram?Kejelasan Menuju Keberkahan. Jakarta:
Gramedia.
9. Qardhawi, Yusuf. 1993. Halal dan Haram dalam Islam. Terjemahan oleh Mu’ammal
Hamidy. Surabaya: Bina Ilmu.