Anda di halaman 1dari 37

Urutan:

- Studi kasus
- Makalah
Nama : M Ikmaluddin Alfi Hidayat
NIM : 18510056

Studi Kasus tentang Kepemilikan dan Pengembangan Modal


Melindungi Kehalalan Korporasi
A. Pendahuluan
Perekonomian Indonesia saat ini sangat bergantung pada beberapa sumber yaitu
dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Salah satu penerimaan bukan pajak
adalah bagian laba dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Definisi BUMN Menurut
Undang-Undang No 19 Tahun 2003 adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan yang dipisahkan. BUMN dapat juga bisa berupa perusahaan nirlaba yang
bertujuan untuk menyediakan barang atau jasa bagi masyarakat. Sejak tahun 2001
seluruh BUMN dikoordinasikan pengelolaannya oleh Kementerian BUMN.
BUMN menjadi aset penting bagi negara Indonesia, karena penghasilan dari
bisnis ini akan masuk kedalam kas negara dan digunakan untuk membayar utang
negara, membayar administrasi, dan kelengkapan ketika melakukan ekspor dan impor
atau kerja sama internasional dengan negara lain (Dina, 2017). Peningkatan upaya
tersebut menjadikan beberapa BUMN berhasil operasi usahanya atau laba, namun tidak
sedikit yang merugi dan bahkan tutup karena kondisi keuangan yang tidak sehat.
Sebagai contoh BUMN yang mengalami kerugian dan bertumpuk utang diantaranya
adalah PT. Industri Sandang Nusantara (ISN), PT. Penas, PT KKA, PT Iglas, PT Leces,
dan PT Merpati 1.
PT. PLN (Persero) merupakan salah BUMN yang cukup banyak mendapatkan
tantangan pada pemerintahan sekarang dan menjadi ukuran reputasi nasional PT. PLN
(Persero) berperan penting dalam penyelenggaraan ekonomi nasional untuk mencapai
kesejahteraan rakyat Indonesia melalui penyediaan layanan penerangan listrik2.
Pemerintah telah meluncurkan Program 35.000 Mega Watt (MW) untuk Indonesia pada
bulan mei 2015, menjadikan beberapa perusahaan swasta Nasional dan Internasional
melakukan penandatanganan kontrak dengan PT. PLN (persero) untuk merealisasikan
proyek 35.000 MW 3. Sejak menjadi proyek prioritas nasional, PT. PLN (Persero) harus
1
Alawan Ridha Ramdani, Begini Kondisi BUMN Sakit,
https://bumntrack.com/policy/begini-kondisi-bumn-sakit, diakses 1 Oktober 2018.
2
Candra Muljono, Pengaruh PLN Sebagai BUMN Bagi Perekonomian Indonesia. Diakses 1
Oktober 2018.
3
Munarsih Sahana, (2015), Presiden Jokowi Luncurkan Program 35 Ribu MW Listrik untuk
Indonesia. diakses 1 Oktober 2018.
menyediakan biaya produksi yang sangat besar agar program 35.000 MW terlaksana.
Biaya produksi yang tinggi mengharuskan kesehatan keuangan PT. PLN (Persero) tetap
stabil dan menjadi perhatian Menteri Keuangan 4.
Pemerintah Indonesia sudah melakukan beberapa suntikan Penyertaan Modal
Negara (PMN) agar BUMN yang mengalami kerugian bisa tetap menjalankan
usahanya. Sebagaimana yang tersaji dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
(LKPP) tahun 2015 5, terlihat bahwa Pemerintah Pusat melaporkan PMN per 31
Desember 2015 sebesar Rp.1.800,93 triliun. Dari nilai investasi permanen tersebut
sebesar Rp.848,38 triliun merupakan PMN Kepada PT. PLN (Persero). Hal ini
menunjukkan bahwa PT. PLN (Persero) menyerap PMN sekitar 47% terhadap total
PMN yang diberikan pemerintah.
Sebagai upaya untuk menyukseskan program 35.000 MW PT. PLN (Persero)
terus meningkat kinerja keuangannya agar tidak mengalami kerugian dan mengalami
kesulitan pembayaran utang. Tetapi rasio DER yang tinggi menjadi kendala dalam
pembiayaan eksternal dan pemberian PMN pada tahun 2015. PT. PLN (Persero)
terhambat atas regulasi Intepretasi Standar Akuntansi Keuangan No. 8 (ISAK 8).
Dimana ISAK 8 mengatur tentang penentuan apakah suatu perjanjian mengandung
sewa apa tidak. Atas munculnya ISAK 8 tersebut mengakibatkan diubahnya kebijakan
akuntansi PT. PLN (Persero). Analisis mengenai bagaimana dampak penerapan atau
tidak diterapkannya ISAK 8 terhadap akuntabilitas keuangan negara dan kinerja
keuangan PT. PLN serta bagaimana konflik tersebut jika dihubungkan dengan teori
agensi dan kepemilikan. Permasalahan yang ada diatas akan menjadi fokus dari
pembahasan karya tulis ini.
B. Masalah Keagenan dan kepemilikan pemerintah serta dampak Keuangan
Negara atas Implementasi ISAK 8 (Studi Kasus PT.PLN Persero).

1. KERANGKA TEORITIS
1.1 Teori Keagenan
Menurut Jensen and Meckling (1976) hubungan keagenan merupakan
sebuah kontrak antara principal dengan agen., dengan melihat pendelegasian
beberapa wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Dalam teori agency
ada dua pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak, yaitu pihak yang
memberikan kewenangan yang disebut principal dan pihak yang menerima
kewenangan yang disebut agen (Halim dan Abdullah, 2006)
Teori keagenan juga bisa diterapkan pada entitas sektor publik antara
pemerintah dengan BUMN. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 menyebutkan bahwa BUMN berperan dalam
agen pembangunan nasional untuk meningkatkan pelayanan publik (Asmara.

4
Yoga Sukmana, (2017), Sri Mulyani Terus Memantau Kondisi Keuangan PLN, diakses 25
Juli 2018.
5
Badan Pemeriksan Keuangan, (2015), Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015, diakses 23 November 2018.
2016). Pemerintah sebagai prinsipal memberikan kewenangan tugas kepada
BUMN untuk menjalankan pembangunan guna mencapai target dan tujuan
pemerintah. Hubungan masalah keagenan antara pemerintah dengan BUMN
akan terjadi jika target yang direncanakan pemerintah tidak tercapai sedangkan
agen juga mempunyai kepentingan untuk mengejar keuntungan.
1.2 Kepemilikan Pemerintah
Pemerintah merupakan salah satu pemangku kepentingan dalam suatu
perusahaan (stakeholder). Kepemilikan pemerintah adalah jumlah kepemilikan
saham oleh pihak pemerintah (government) dari seluruh modal saham yang
dikelola. Dalam struktur kepemilikan perusahaan, pemerintah memiliki
proporsi tersendiri pada suatu perusahaan tertentu, sebagai contoh adalah
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di Indonesia dimana pemerintah
sebagai pemegang saham terbesar BUMN, akan sangat berpengaruh terhadap
keputusan penting keuangan BUMN. Keputusan keuangan tersebut tentunya
akan berdampak pada biaya keagenan. Pada dasarnya BUMN lebih
mementingkan kepentingan politik daripada kepentingan perusahaan untuk
efisiensi ekonominya dan BUMN tidak bisa mengatasi masalah muncul
persaingan dari perusahaan, (Saputro, 2012).
Peilow (2017) menyatakan bahwa pemerintah dapat mengintervensi
kinerja perusahaan hanya demi kepentingan pemerintah semata. Birokrat yang
mengendalikan perusahaan pemerintah lebih memiliki tujuan bukan untuk
menyejahterakan perusahaan dan masyarakat, tetapi untuk tujuan yang
berdasarkan kepentingan politik. Shen dan Lin (2009) dalam Peilow (2017)
menyatakan bahwa perusahaan pemerintah atau birokrat yang mengendalikan
perusahaan kurang memikirkan peningkatan kinerja perusahaan dan lebih
memiliki kepentingan sosial dan politis. Dampak yang ditimbulkan, terjadi
kurang kontrol dan pengawasan manajer. Dengan begitu manajemen dapat
lebih menggunakan hutang apabila kondisi perusahaan kurang baik.

1.3 Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)


LKPP merupakan suatu laporan keuangan yang disusun berdasarkan
Standar Akuntansi Pemerintah yang berbasis akrual sesuai dengan Lampiran I
Peraturan Pemerintah (PP) No 71 tahun 2010 tentang Akuntansi
Pemerintahan. Laporan Keuangan ini terdiri dari 7 (tujuh) laporan yaitu
Laporan Realisasi APBN, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Neraca,
Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan Ekuitas dan
Catatan atas Laporan Keuangan. LKPP memiliki peran dan tujuan pada suatu
periode pelaporan keuangan yang digunakan untuk kepentingan:
Akuntabilitas yaitu mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber
daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik.
Transparasi yaitu memberikan informasi keuangan yang keterbukaan
dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat
memiliki hak untuk mengetahui secara terbukan dan menyeluruh atas
pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang
dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-
undangan.6
Untuk mencapai aspek akuntabilitas dan transparasi tersebut LKPP
selama akhir periode anggaran dilakukan Audit LKPP oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Hasil dari akuntabilitas dan transparasi LKPP tercermin
dalam Opini audit. Menurut Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SKPN)
pada Standar Pelaporan Pemeriksaan terdapat 4 jenis Opini audit yaitu
a. Opini wajar tanpa pengecualian,
Menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam
semua hal yang material posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas
entitas tertentu sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia.
b. Opini wajar dengan pengecualian penekanan suatu hal,
Merupakan keadaan tertentu yang mengharuskan auditor menambahkan
suatu paragraf penjelasan atau penekanan suatu hal atas pos tertentu
dalam laporan auditnya.
c. Opini wajar dengan pengecualian,
Menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar dalam
semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas
entitas tertentu sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia,
kecuali dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan.
d. Opini tidak wajar.
Menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar
posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas tertentu sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan di Indonesia.7

1.4 Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan No.8 (ISAK 8)


Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) melalui Dewan Standar Akuntansi
Keuangan (DSAK) menerbitkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No
30 (PSAK 30) tentang akuntansi sewa. ISAK 8 “Penentuan Apakah Suatu
Perjanjian Mengandung Suatu Sewa” memberikan panduan untuk menentukan
apakah suatu perjanjian merupakan sewa atau mengandung sewa sehingga
harus diperlakukan sesuai dengan PSAK 30 (Revisi 2011), “Sewa”.
Diadopsinya International Accounting Standard 17 (IAS 17 ) menjadi
PSAK 30 membuat DSAK memandang perlu untuk mengadopsi juga
International Financial Reporting Interpretation Committee (IFRIC 4)
Determining Whether Arrangement Contains a Leases Menjadi ISAK 8
tentang penentuan apakah suatu perjanjian mengandung sewa . ISAK 8 ini
memberikan panduan untuk menentukan apakah suatu perjanjian merupakan

6
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksana APBN, Penyertaan Modal Negara, SETJEN DPR RI,
diakses 25 Juli 2018.
7
Kemenko Perekonomian, (2015). Penyelesaian Proses Penetapan Bantuan Pemerintah Yang
Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS). https://www.ekon.go.id/berita/view/penyelesaian-
prosespenetapan.1212.html, diakses 26 Juli 2018.
perjanjian sewa atau perjanjian yang mengandung sewa yang harus
diperlakukan sesuai dengan PSAK 30.
PSAK 30 mengatur tentang klasifisikasi sewa yaitu sewa pembiayaan
(Finance lease) dan sewa operasi (operating lease). Sewa pembiayaan (Finance
lease) adalah mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang
terkait dengan kepemilikan suatu aset. Hak milik pada akhirnya dapat
dialihkan, dapat juga tidak dialihkan. Sewa operasi (operating lease) adalah
sewa yang tidak mengalihkan secara subtansial seluruh risiko dan manfaat
yang terkait dengan kepemilikan aset.

1.5 Analisis Debt To Equity Ratio (DER)


Analisis DER adalah suatu rasio keuangan yang menunjukkan proporsi
relatif antara ekuitas dan hutang yang digunakan untuk membiayai aset
perusahaan. Rasio DER juga dikenal dengan Rasio Leverage yaitu rasio yang
digunakan untuk mengukur seberapa baik struktur investasi suatu perusahaan.
Rasio DER ini merupakan rasio penting untuk memeriksa kesehatan keuangan
perusahaan. Jika rasionya meningkat, ini artinya perusahaan dibiayai oleh
kreditor (pemberi utang) dan bukan dari sumber keuangannya sendiri yang
mungkin merupakan trend yang cukup berbahaya. Pemberi pinjaman dan
investor biasanya memilih DER yang rendah karena kepentingan mereka
terlindungi jika terjadi penurunan bisnis pada perusahaan yang bersangkutan.
Dengan demikian perusahaan yang memiliki DER atau rasio hutang terhadap
ekuitas yang tinggi mungkin tidak dapat menarik tambahan modal dengan
pinjaman dari pihak lain.
Secara Teori, DER yang lebih dari 100% termasuk kurang baik.
Semakin besar DER beban perusahaan semakin berat, sehingga dapat
menghambat laju perusahaan, rumus perhitungan untuk menghitung Rasio
DER adalah sebagai berikut:
DER = Total Liabilitas : Total Ekuitas 8

1.6 Penyertaan Modal Negara (PMN)


Penyertaan Modal Negara adalah pemisahan kekayaan negara dari
APBN atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan
sebagai modal BUMN dan atau Perseroan Terbatas lainnya dan dikelola secara
korporasi. Tujuan dari PMN adalah
- Mewujudkan kesejahteraan umum masyarakat
- Menyelamatkan perekonomian nasional
- Memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha
BUMN dan Perseroan terbatas

8
Siaran Pers, (2017), Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) Tahun 2016.
www.pln.co.id/media/siaran-pers/2017/04/laporan-keuangan-pt-plnpersero-tahun-2016,
diakses 25 Juli 2018.
Ruang Lingkup PMN
- Pendirian BUMN atau Perseroan Terbatas
- PMN pada Perseroan Terbatas yang di dalamnya belum terdapat
saham milik negara
- PMN pada BUMN atau Perseroan Terbatas yang di dalamnya telah
terdapat saham milik negara
Bentuk-bentuk PMN diantaranya adalah sebagai berikut:
- Tunai, pemerintah memberikan sejumlah uang kepada BUMN
- Konversi piutang pemerintah. Pemerintah mengonversi utang BUMN
kepada pemerintah menjadi PMN
- Hibah saham/Aset dari pihak lain. Pemerintah mendapat hibah
saham/aset dari pihak lain untuk mendirikan BUMN baru atau
perpindahan kepemilikan perusahaan dari pihak ketiga menjadi milik
pemerintah.

C. Analisis Studi Kasus


Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) didirikan
pada tahun 1961 dalam bentuk jawatan di dalam lingkungan Kementerian Pekerjaan
Umum dan Tenaga. Perusahaan merupakan keberlanjutan usaha beberapa perusahaan
listrik Belanda yang diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia. Sesuai dengan
anggaran dasar perusahaan, maksud dan tujuan Perusahaan adalah untuk
menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum dalam
jumlah dan mutu yang memadai serta memupuk keuntungan dan melaksanakan
penugasan pemerintah di bidang ketenagalistrikan dalam rangka menunjang
pembangunan dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas. Saat ini
kepemilikan saham Pemerintah Indonesia kepada PT. PLN (Persero) adalah 100%
mayoritas atau pengendali penuh. 9
Penyelenggara usaha tenaga listrik di Indonesia dikendalikan oleh Pemerintah
dan dilaksanakan oleh perusahaan sebagai BUMN selaku Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan. Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan setiap pemegang
Izin Usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum harus memastikan ketersediaan
tenaga listrik di setiap wilayah operasinya.

1. Analisis Tahun 2014


Kebijakan akuntansi pada laporan keuangan auditan tahun 2014
menyebutkan bahwa, PT. PLN (Persero) dan entitas anak mengadakan
perjanjian jual beli tenaga listrik/Power Purchase Agreement (PPA) dengan
penyedia dan pengembang tenaga listrik swasta/Independent Power
Producers (IPP). IPP tersebut merupakan pemegang izin usaha
ketenagalistrikan untuk kepentingan umum, yang dapat diserahkan kepada
entitas usaha lain dengan tanggung jawab untuk menghasilkan tenaga listrik
guna kepentingan umum

9
Netralnews.com, (2015), Penerapan ISAK 8 Tidak Tepat untuk Perhitungan Laporan
Keuangan PLN, http://www.netralnews.com/news/ekonomi/read/27455/penerapan-isak-8-
tidak-tepat-untuk-penghitungan-laporan-keuangan-pln, diakses 25 Juli 2018.
Berdasarkan surat Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam-LK) yang kemudian bergabung menjadi bagian dari
Otoritas jasa Keuangan (OJK) No. S-2366/BL/2009 tertanggal 30 Maret
2009, penyedia tenaga listrik oleh IPP kepada perusahaan dan entitas anak
termasuk dalam kategori perjanjian pelaksanaan jasa publik ke swasta
dikecualikan dari Penerapan ISAK 8 sampai DSAK IAI menerbitkan ISAK
yang lebih spesifik mengatur tentang transaksi tersebut.
Manajemen kemudian mengevaluasi dampak ISAK 16, “Perjanjian
Konsensi Jasa” (efektif berlaku tanggal 1 Januari 2012) terhadap Perjanjian
Jual Beli Tenaga Listrik Perusahaan dan entitas anak dengan IPP dan
menetapkan bahwa transaksi tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup
interpretasi, yang berisi untuk operator atas perjanjian konsensi jasa publik
ke swasta. Selanjutnya, sesuai dengan surat manajemen tanggal 22
Desember 2011 kepada Ketua Bapepam-LK, manajemen PT. PLN (Persero)
memutuskan untuk menerapkan ketentuan ISAK 8, sesuai dengan PSAK 30
terhadap Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik mulai tanggal 1 Januari 2012.
Lebih lanjut pada kebijakan akuntansi tersebut menjelaskan bahwa
perusahaan dan entitas anak menetapkan bahwa beberapa perjanjian dengan
IPP memenuhi persyaratan sebagai sewa dengan dasar Perusahaan dan
entitas anak dan IPP memiliki perjanjian take or pay, dimana perusahaan
dan entitas anak mengambil hampir seluruh listrik dan energi yang
dihasilkan oleh pembangkit listrik. Jenis perjanjian ini ditetapkan sebagai
sewa pembiayaan dimana porsi signifikan dari risiko dan manfaat atas
sejumlah pembangkit listrik telah dialihkan ke perusahaan dan entitas anak
dengan dasar bahwa masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis
aset dan terdapat opsi beli pada akhir masa sewa. Oleh karena itu dengan
ditetapkan ISAK 8 maka laporan keuangan PT. PLN (Persero) mendapatkan
Opini Wajar Tanpa Pengecualian.
Tabel 1. Kinerja Keuangan PT. PLN (Persero) 2014-2013 Sumber:
Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) 2014
Keterangan 2014 2013 Mutasi
Aset 603.659.191 590.218.986 13.440.205
Liabilitas 438.987.965 439.887.628 (889.663)
Ekuitas 164.671.226 150.331.358 14.339.868
Pendapatan 292.721.191 261.847.042 30.874.149
Laba 11.741.610 (26.235.615) 37.997.225
DER 267% 293% (26%)
Opini Audit Opini Wajar Tanpa Pengecualian, 27 Februari 2015

Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa sejak diterapkannya ISAK 8,


atas dasar laporan keuangan tahun 2014-2013 PT. PLN (Persero)
menunjukkan kinerja yang cukup baik dari kinerja keuangan. Jumlah aset
mengalami kenaikan dalam jutaan sebesar Rp 13,44 triliun, liabilitas turun
Rp 889 miliar , dan Ekuitas naik Rp 14,33 triliun. Tabel tersebut
menunjukkan bahwa pada saat pemakaian ISAK 8 “Perjanjian Jual Beli
yang mengandung sewa” laporan keuangan belum terkena dampak secara
signifikan. Mutasi kenaikan jumlah aset juga disebabkan oleh adanya
program 35.000 MW yang mulai dijalankan pada tahun 2014 yang
mengharuskan PT. PLN (Persero) membeli sejumlah aset untuk
meningkatkan kinerja operasionalnya. Opini wajar tanpa pengecualian
didapat oleh PT. PLN (Persero) atas kewajaran laporan keuangan yang
disusun sesuai standar. Dari segi rasio keuangan yaitu rasio DER pada tahun
2014 mengalami penurunan dari sebelumnya 267% pada tahun 2013
menjadi 293% atau turun 26%. Hal ini sejalan dengan penurunan utang pada
tahun 2014 sebesar 889.663 juta.
Dampak yang sangat signifikan terlihat pada Rasio DER, meskipun
Angka Rasio DER mengalami penurunan namun rasio ini masih cukup
tinggi yaitu diatas 100% yang artinya bahwa PT. PLN (Persero)
menunjukkan kinerja yang kurang sehat dari segi penda,naan. Dengan angka
DER yang tinggi membuat perusahaan mengalami kesulitan jika harus
mencari pendanaan dari eksternal. Kreditur eksternal cukup beresiko jika
harus memberikan pendanaan dengan angka DER diatas 100% bahkan
diatas 200%. DER yang tinggi disebabkan karena diakuinya hutang sewa
pembiayaan atas perjanjian pembelian listrik dan energi dengan IPP
sebagaimana yang diatur dalam PSAK 30 “Sewa” agar laporan keuangan
PT. PLN (Persero) sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan di
Indonesia.10
Sejalan dengan kebijakan ISAK 8 yang diterapkan PT. PLN (Persero)
tersebut, Opini LKPP tahun 2014 belum mengalami dampak atas pemakaian
ISAK 8 tersebut. Pada pos Penyertaan Modal Negara (PMN)/Investasi
Pemerintah pada sektor BUMN dan Badan Lainnya, Pemerintah
memberikan PMN Mencapai Rp 3.000 Triliun, namun PT. PLN (Persero)
tidak termasuk BUMN yang mendapatkan PMN tersebut. Hal ini cukup
riskan mengingat di tahun tersebut PT. PLN (Persero) sedang membutuhkan
modal dari Pemerintah sebagai akibat nilai Rasio DER yang tinggi.
Berikut ini adalah rekap laporan keungan BUMN PT. PLN (Persero)
berdasarkan data LKPP tahun 2014.
Tabel 3. Kinerja Keuangan PT. PLN (Persero) Berdasarkan LKPP
2014 Sumber: LKPP 2014
Keterangan 2014 2013 Mutasi
PMN ke PLN/tambahan - 1.239.409 (1.239.409)
modal disetor
BPYBDS 49.889.062 40.166.762 9.722.300
Modal Kepemilikan 164.617.085 124.643.372 39.973.713
Negara
Modal Kepemilikan Non 54.141 93.175 (39.034)
Pengendali

10
Siaran Pers, (2016), Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) Tahun 2015,
www.pln.co.id/media/siaran-pers/2016/06/laporan-keuangan-pt-plnpersero-tahun-2015,
diakses 25 Juli 2018.
Jumlah Ekuitas 167.671.226 124.736.547 42.934.679
Laba (Rugi) kepada 11.726.406 (26.235.615 37.962.021
Negara )
Opini Audit Wajar Dengan Pengecualian tanggal 25
Mei 2015

Tabel 2 ringkasan LKPP diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2014


Pemerintah Indonesia tidak memberikan tambahan modal kepada PT. PLN
(Persero) di tahun 2014. Padahal disatu sisi perusahaan harus melakukan
tambahan modal untuk memaksimalkan kinerja program 35.000 MW. Hal
ini berbeda dengan LKPP tahun 2013 dimana Pemerintah Indonesia
memberikan PMN kepada PT. PLN (Persero) sebesar Rp.1,2 triliun
dikarenakan kondisi Perusahaan yang mengalami kerugian sebesar Rp 26, 2
triliun.
Lebih lanjut belum adanya tambahan modal disetor pada perusahaan di
tahun 2014 tersebut dikarenakan ada opsi tambahan modal dari Bantuan
Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS). BPYBDS
Pemerintah Indonesia pada PT. PLN (Persero) cukup besar dibandingkan
BUMN yang lain. Data LKPP 2014 diatas menyebutkan BPYDS PT. PLN
(Persero) mencapai Rp. 49,88 triliun. BPYBDS yang tinggi disebabkan oleh
penggunaan aset ketenagalistrikan yang digunakan untuk melayani
kebutuhan listrik tidak digunakan untuk tugas dan fungsi pada tingkat
Kementerian ESDM. Sedangkan di PT. PLN (Persero) aset tersebut
digunakan untuk kegiatan operasional.11
Angka BPYBDS yang cukup signifikan tersebut menjadi temuan BPK
karena nilai BPYBDS PT. PLN (Persero) tertinggi dibandingkan BUMN
yang lain pada tahun 2014. Hal ini menjadi salah satu faktor terhambatnya
Pemerintah Indonesia dalam memberikan PMN kepada PT. PLN (Persero)
di tahun 2014. Oleh karena itu BPK memberikan catatan untuk
menyelesaikan BYBDS tersebut sebelum memberikan setoran modal kepada
PT. PLN (Persero). Atas temuan BPK tersebut, BPK merekomendasikan
agar pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk menetapkan
status tambahan modal disetor yang berasal dari BPYBDS menjadi modal
saham Pemerintah pada PT. PLN (Persero).
Dampak ISAK 8 yang diterapkan oleh perusahaan pada tahun 2014,
menjadikan perolehan laba Rp 11,74 triliun dan mendistribusikan laba
tersebut kepada Pemerintah Indonesia sebesar Rp 11,72 triliun. Capaian
cukup membantu pemasukan kas negara sektor deviden dari BUMN ditahun
tersebut. Modal kepemilikan negara tahun 2014 mengalami kenaikan
sebesar Rp 39,97 triliun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Sehingga
hasil analisis pada tahun 2014 pemakaian ISAK 8, Laporan Keuangan PT.
PLN (Persero) bisa memberikan nilai laba kepada pemerintah dibandingkan
11
Siaran Pers, (2017), Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) Tahun 2016.
www.pln.co.id/media/siaran-pers/2017/04/laporan-keuangan-pt-plnpersero-tahun-2016,
diakses 25 Juli 2018.
dengan tahun sebelumnya. Namun dampak penerapan ISAK 8 ini tidak
memberikan kinerja yang sehat dari Rasio DER, meskipun mengalami
penurunan sebesar 26% angka Rasio DER masih belum sehat yaitu diatas
100%.

2. Analisis Tahun 2015


Pada hasil audit laporan keuangan PT. PLN (Persero) tahun 2015,
laporan keuangan PT. PLN (Persero) mendapatkan Opini Wajar Dengan
Pengecualian pada tanggal 28 Juni 2016. Aspek pengecualian yang
diberikan oleh Akuntan Publik termuat pada paragraf opini auditor dibawah
ini:
“Seperti yang dijelaskan dalam laporan keuangan konsolidasian,
manajemen PT. PLN (Persero) berpendapat bahwa perjanjian jual beli listrik
bukan merupakan perjanjian yang mengandung sewa berdasarkan ISAK 8
“Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa”. Sehingga
PSAK 30 “Sewa” tidak perlu diterapkan untuk menentukan apakah
perjanjian tersebut termasuk dalam kategori sewa keuangan atau sewa
operasi. Oleh karena itu penyajian kembali dilakukan atas laporan keuangan
konsolidasian pada dan untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2014”.
Opini audit diatas diperkuat oleh Kebijakan Akuntansi Perusahaan
dalam catatan atas laporan keuangan tahun 2015. Intinya adalah manajemen
PT. PLN (Persero) melakukan penelaahan kembali atas penerapan ISAK 8
untuk perjanjian jual beli tenaga listrik dan manajemen berpendapat bahwa
perjanjian jual beli tenaga listrik bukan merupakan perjanjian yang
mengandung sewa sesuai dengan ISAK 8. Manajemen berpendapat bahwa
laporan keuangan konsolidasian Perusahaan dan Entitas Anak yang
menyajikan transaksi pembelian tenaga listrik dari IPP bukan sewa, akan
membuat laporan keuangan konsolidasian lebih informatif, mencerminkan
fakta hukum, mencerminkan kinerja real perusahaan dan lebih bermanfaat
bagi pengguna laporan keuangan.
Pendapat manajemen untuk tidak menerapkan ISAK 8 tersebut
mendapatkan dukungan dari Dewan Komisaris Melalui Surat No. 14/DK-
PLN/2016 tanggal 27 Januari 2016 tentang pengecualian penerapan ISAK 8
dan PSAK 10 Kepada PT. PLN (Persero). Menteri BUMN melalui surat No.
S-206/MBU/03/2016 tanggal 28 maret 2016 perihal dukungan atas
pengecualian ISAK 8 pada laporan keuangan PT. PLN (Persero) dan
Menteri Keuangan melalui surat No S-246/MK/2016 tanggal 5 April 2016
perihal dukungan atas pengecualian penerapan ISAK 8 pada laporan
keuangan PT. PLN (Persero).
Jika perusahaan dan entitas anak menerapkan ISAK 8 untuk perjanjian
jual beli listrik dan kemudian menghasilkan klasifikasi sebagai sewa
keuangan menurut PSAK 30, akan memunculkan dampak terhadap laporan
keuangan khususnya pada rasio DER. Berikut ini adalah perbandingan
singkat laporan keuangan dan kinerja keuangan PT. PLN (Persero) dalam
menerapkan ISAK 8 dan tidak menerapkan ISAK 8 tentang Perjanjian
Sewa.
Keteranga Menerapkan ISAK 8 Mutasi Tidak Menerapkan ISAK 8 Mutasi
n 2015 2014 2015 2014
Aset 1.314.370.88 603.659.191 710.711.690 1.227.355.51 539.521.190 687.834.322
1 2
Liabilitas 509.580.254 438.987.965 70.592.289 352.347.652 352.347.652 26.788.789
Ekuitas 804.790.617 164.671.226 640.119.391 848.219.071 187.173.538 661.045.533
Pendapata 217.346.990 292.721.191 (75.374.201) 217.346.990 193.417.941 23.929.049
n
Laba 6.026.507 11.741.610 5.715.103 15.585.238 14.004.078 1.581.160
DER 63% 267% (203%) 45% 188% (144%)
Opini Opini Wajar Tanpa Pengecualian 14 Maret Opini Wajar Dengan Pengecualian 28 Juni
Audit 2017 2016
Tabel 3. Perbandingan Kinerja PT. PLN (Persero) Dengan Dan Tanpa
Penerapan ISAK 8 Sumber: Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) dan
LKPP

Dari tabel 3 diatas terlihat perbedaan yang cukup signifikan antara


menerapkan ISAK 8 dan tidak menerapkan ISAK 8. Sejak munculnya Opini
Wajar Dengan Pengecualian (WDP) pada tanggal 28 Juni 2016, sesuai hasil
pendapat manajemen memutuskan untuk tidak menerapkan ISAK 8.
Manajemen beralasan bahwa perjanjian jual beli tenaga listrik antara PT.
PLN (Persero) dengan IPP tidak tepat kalau dicatat seperti transaksi sewa
guna usaha. Beberapa alasan lain bahwa penerapan perjanjian jual beli listrik
tidak tepat diperlakukan seperti perjanjian sewa, antara lain (Agustinus,
2016):
- Karena penerapan ISAK 8 tidak menggambarkan kondisi yang
sebenarnya serta mengabaikan subtansi/fakta legal.
- Membuat PT. PLN (Persero) seolah-olah harus mencatat aset dan
hutang IPP di Neraca.
- Tidak mencerminkan realisasi kinerja operasi PT. PLN (Persero)
- Sebagian besar pengguna laporan keuangan PT. PLN (Persero) tidak
menggunakan laporan keuangan dengan ISAK 8 yaitu investor global
bond, perbankan lokal, otoritas perpajakan dan BPK-RI dalam
perhitungan subsidi listrik tahun anggaran 2015.
Selain itu, penerapan ISAK 8 dianggap manajemen telah
meningkatkan beban keuangan Negara yaitu kenaikan subsidi listrik sekitar
Rp 2 triliun per tahun dan penurunan potensi penerimaan negara dari
Deviden. Manajemen berpendapat bahwa penerapan ISAK 8 membuat
kemampuan PT. PLN (Persero) untuk menjalankan proyek 35.000 MW dan
tugas-tugas selanjutnya menjadi semakin terbatas karena harus menjalankan
beban hutang IPP sekitar USD 40 Miliar dalam beberapa tahun kedepan.
Lebih lanjut penulis berpendapat bahwa salah satu faktor tidak
diterapkannya ISAK 8 pada laporan keuangan adalah nilai Rasio DER yang
sudah mengkhawatirkan atau tidak sehat lagi. Pada data tabel 1
menunjukkan rasio DER sudah mencapai angka 267% di tahun 2014 dan
293% di tahun 2013. Jika penerapan ISAK 8 tetap dijalankan maka ada
kekhawatiran dan tekanan kepada Manajemen atas meningkatnya rasio DER
tersebut. Dengan kemungkinan rasio DER yang meningkat setiap tahun
dikarenakan penerapan ISAK 8, maka manajemen berupaya untuk
mengubah kebijakan akuntansinya. Sebab jika ISAK 8 tetap diterapkan
maka PT. PLN (Persero) akan sulit mendapatkan pendanaan dari eksternal.
Seperti yang terlihat pada tabel 3 jika tetap memakai ISAK 8 maka rasio
DER masih berada di angka 200% sedangkan jika menghilangkan
penerapan ISAK 8 maka rasio DER turun di angka 100%.
Selain mencoba mengubah kebijakan akuntansi tidak menerapkan
ISAK 8 dan untuk menekan Rasio DER yang tinggi, manajemen PT. PLN
(Persero) melakukan revaluasi aset. Revaluasi aset merupakan salah satu
cara agar angka rasio DER bisa ditekan pada tahun 2015. Dampak dari
revaluasi aset mengakibatkan total aset PT. PLN (Persero) mengalami
kenaikan sebesar Rp 1.227 triliun pada tahun 2015. Sedangkan hasil dari
revaluasi aset tersebut akan menambah modal PT. PLN (Persero) atau
surplus revaluasi aset sehingga modal menjadi sebesar Rp 848 miliar di
tahun 2015 tanpa ISAK 8. Modal naik Rp 661 triliun dari tahun sebelumnya
sehingga pada tahun 2015. Rasio DER juga mengalami penurunan
signifikan sebesar 45% atau turun 188% dari tahun 2014. Liabilitas dan laba
di tahun 2015 naik sebesar masing-masing Rp 26,7 triliun dan Rp 23,9
triliun tanpa ISAK 8
Hal yang berbeda terlihat pada tabel 3, ISAK 8 diterapkan kembali
oleh PT. PLN (Persero) yang dalam bentuk penyajian kembali laporan
keuangan (restatement) pada tanggal 14 Maret 2017. Total Aset setelah
revaluasi mengalami kenaikan sebesar Rp 1.314 triliun atau naik 710 triliun
dari tahun sebelumnya. Liabilitas naik sebesar Rp 70, 5 triliun, ekuitas dan
laba naik, masing-masing sebesar Rp 640 triliun dan Rp 5,7 triliun. Nilai
DER pada tahun 2015 adalah sebesar 65% atau turun 203% dari tahun
sebelumnya. Atas kondisi tersebut terlihat bahwa jika ditahun 2015
manajemen PT. PLN (Persero) menerapkan ISAK 8 dalam jangka waktu
yang lama maka rasio DER akan masih tetap tinggi berbeda dengan Rasio
DER tanpa penerapan ISAK 8 yang cenderung lebih rendah.
Tidak diterapkannya ISAK 8 pada tahun 2015 menunjukkan bahwa
pada tahun 2015 PT. PLN (Persero) sedang membutuhkan pendanaan dari
eksternal yang cukup banyak untuk menyukseskan program 35.000 MW.
Penerapan ISAK 8 yang akan terus berkelanjutan di tahun 2015 menjadikan
nilai Liabilitas Menjadi naik dan Ekuitas akan turun serta berakibat nilai
rasio DER akan semakin besar. Rasio DER yang besar dengan terus
menerapkan ISAK 8 maka perusahaan akan sulit mendapatkan pinjaman
dari luar akan sulit didapat. Bank atau investor yang membiayai akan
melihat rasio DER sebelum memutuskan untuk memberikan pinjaman
kepada PT. PLN (Persero). Oleh karena itu revaluasi aset dengan atau tanpa
penerapan ISAK 8 telah dilakukan untuk menaikkan total modal sehingga
rasio DER menjadi turun.
Pemerintah Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas telah
memberikan PMN atau tambahan modal disetor yang lebih besar untuk PT.
PLN (Persero) di tahun 2015. Namun Hasil audit LKPP 2015 menunjukkan
hasil Opini Wajar Dengan Pengecualian atas LKPP yang berakhir pada
tahun tersebut. Opini tersebut memberikan dampak pada PMN yang
diberikan kepada perusahaan. Salah satu poin inti pada paragraf
pengecualian dari BPK adalah sebagai berikut:
“Pemerintah mengungkapkan dampak perubahan kebijakan akuntansi
terkait ISAK 8 pada Pelaporan Keuangan PT. PLN (Persero). Selain itu
Pemerintah Pusat telah menyajikan Investasi Permanen PMN per 31
Desember 2015 sebesar Rp 1.800,93 triliun. Dari nilai investasi permanen
tersebut, diantaranya 848,38 triliun merupakan PMN pada PT. PLN
(Persero. dalam laporan keuangan PT. PLN (Persero) tahun 2015 unaudited,
PT. PLN (Persero) mengubah kebijakan akuntansinya dari sebelumnya sejak
2012-2014 menerapkan ISAK 8, menjadi tidak menerapkan ISAK 8, namun
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap mewajibkan PT. PLN (Persero) untuk
menerapkan ISAK 8 sebagai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di
Indonesia dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Dampak
penerapan ISAK 8 dan tanpa penerapan ISAK 8 dapat menimbulkan
perbedaan Nilai PMN pada PT. PLN (Persero) per 31 Desember 2015
unaudited yang disajikan sebesar Rp 43,44 triliun. Sampai dengan tanggal
20 Mei 2016, Manajemen PT. PLN (Persero) belum dapat menyajikan
laporan keuangan per 31 Desember 2015 audited. Sebagai akibatnya, BPK
tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka
tersebut diatas.”
Pada opini audit BPK tersebut terlihat bahwa dengan tidak
diterapkannya ISAK 8 oleh perusahaan mempengaruhi jumlah PMN yang
diberikan Pemerintah Indonesia kepada BUMN. Berikut ini adalah ikhtisar
dari beberapa Pos LKPP kepada PT. PLN (Persero).
Tabel 4. Kinerja Keuangan PT. PLN (Persero) berdasarkan LKPP 2015
Sumber: LKPP 2015
Keterangan 2015 2014 Mutasi
PMN ke PLN/tambahan modal 58.175.654 - 58.175.654
disetor
Modal Kepemilikan Negara 848.387.83 164.617.085 687.770.752
7
Modal Kepemilikan Non 81.234 54.141 27.093
Pengendali
Jumlah Ekuitas 848.387.83 167.671.226 680.716.611
7
Laba (Rugi) kepada Negara 15.569.299 11.726.406 3.482.893
Opini Wajar Dengan Pengecualian tanggal 26 Mei 2016

Tabel 4 diatas menunjukkan tambahan modal disetor yang diberikan


oleh Pemerintah Indonesia kepada PT. PLN (Persero) cukup besar di tahun
2015. PMN yang besar tersebut dimaksudkan untuk menambah pendanaan
perusahaan yang terhambat karena PT. PLN (Persero) memiliki Rasio DER
yang tinggi yaitu sebesar 188% tanpa ISAK 8 dan 267% dengan ISAK 8.
Namun dengan diubahnya kebijakan akuntansi dengan tidak menerapkan
ISAK 8 pada laporan keuangan PT. PLN (Persero), mengakibatkan opini
audit atas LKPP 2015 mengalami pengecualian pada pos PMN pada PT.
PLN (Persero). Nilai PMN mengalami perbedaan sebesar Rp 43,44 triliun.
Hal menjadikan proses pemberian PMN menjadi terhambat kepada PT. PLN
(Persero). Kemudian dari tabel tersebut terlihat dengan pemberian PMN
maka menaikan modal kepemilikan negara sebesar Rp 687 triliun, ekuitas
naik Rp 680 triliun dan laba kepada negara naik Rp 3,4 triliun. Kenaikan
ekuitas terjadi karena adanya revaluasi aset yang dilakukan manajemen
sehingga membantu menekan angka rasio DER. BPYBDS belum
mengalami perubahan signifikan dari tahun sebelumnya artinya belum ada
perubahan
Dari pembahasan tabel 3 diatas terjadi konflik kepentingan penerapan
ISAK 8 yang dilakukan oleh manajemen PT. PLN (Persero) pada posisi
laporan keuangan tahun 2015-2014. Manajemen dihadapkan pada pilihan
yaitu menerapkan atau tidak menerapkan ISAK 8. Pada laporan audit yang
tertanggal 28 Juni 2016 manajemen memutuskan untuk tidak menerapkan
ISAK 8 dengan alasan tidak relevan jika jual beli dengan IPP dimasukkan
sebagai kategori sewa. Laporan keuangan perusahaan mendapatkan Opini
Wajar Dengan Pengecualian atas tidak diterapkannya ISAK 8 tersebut. Hal
ini cukup menguntungkan bagi manajemen dimana rasio DER dapat ditekan
diangka 45% tahun 2015 dan 188% tahun 2014 selain juga diuntungkan
dengan revaluasi aset yang dilakukan manajemen.
Namun dampak tidak diterapkannya ISAK 8 menjadikan LKPP 2015
mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian dari BPK. Dengan salah
satu pokok paragrafnya adalah dampak tidak diterapkannya ISAK 8 pada
PT. PLN (Persero) sehingga pos Investasi Permanen dan PMN di LKPP
tahun 2015 mengalami penyesuaian. BPK selaku pemeriksa keuangan
negara belum bisa menentukan penyesuaian terhadap angka PMN sebesar
Rp.43, 6 triliun seperti yang terlihat dalam tabel 5. Sedangkan OJK tetap
mewajibkan PT. PLN (Persero) menerapkan ISAK 8. Sehingga muncullah
penyajian kembali (restatement) Laporan Keuangan PT. PLN (Persero)
2015-2014 tanggal 14 Maret 2017.
Tabel 5. Selisih Penyajian PMN dan Ekuitas Pada LKPP 2015 Dengan
Neraca PT. PLN (Persero) Sumber: Laporan Keuangan PT. PLN (Persero)
2015 dan LKPP 2015
Keterangan LKPP 2015 Penyajian Selisih
(Tanpa ISAK 8) Kembali ISAK 8
oleh PT. PLN
PMN ke PLN/tambahan modal 59.175.654 59.175.654 -
disetor
Modal Kepemilikan Negara 848.387.837 804.709.383 43.678.454
Modal Kepemilikan Non 81.234 81.234 -
Pengendali
Jumlah Ekuitas 848.387.837 804.790.617 43.597.220
Laba (Rugi) kepada Negara 15.569.299 6.010.568 9.558.731
Restatement laporan keuangan tersebut mengharuskan manajemen
kembali lagi menerapkan ISAK 8 atas laporan keuangan tahun 2015-2014
serta mendapatkan Opini Wajar Tanpa Pengecualian tanggal 14 Maret 2017.
PT. PLN (Persero) sedikit diuntungkan dengan adanya Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan No. 6/POJK.04/2017 tanggal 1 Maret 2017 tentang
Perlakuan Akuntansi atas Transaksi Berdasarkan Perjanjian Jual Beli
Tenaga Listrik, transaksi berdasarkan perjanjian jual beli tenaga listrik
diperlakukan sebagai sebagai transaksi jual beli. Peraturan tersebut bersifat
wajib bagi perusahaan publik dan berlaku secara prospektif untuk laporan
keuangan periode yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2017.
Jadi pada saat restatement laporan keuangan 2015-2014 dengan tanggal 14
Maret 2017 tersebut, PT. PLN (Persero) kembali menyajikan laporan
keuangan yang terkena dampak penerapan ISAK 8.

3. Analisis Tahun 2016


Terbitnya POJK tersebut sedikit membantu perusahaan dalam
mengatasi tekanan penerapan kebijakan akuntansi ISAK 8 bagi PT. PLN
(Persero) pada tahun untuk tahun buku 2016. Hal tersebut tercantum dalam
hasil audit laporan keuangan PT. PLN (Persero) tahun 2016 yang
mendapatkan Opini Wajar Tanpa Pengecualian namun terdapat paragraf
penekanan suatu hal:
“Atas laporan keuangan konsolidasian terlampir yang menjelaskan
bahwa perusahaan mengubah kebijakan akuntansi untuk transaksi
berdasarkan perjanjian jual belu tenaga listrik dengan menerapkan lebih dini
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.6/POJK 04/2017 secara prospektif
untuk periode tahun buku yang dimulai 1 Januari 2016. Dampak perubahan
kebijakan akan diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan”.
Penekanan suatu hal tersebut juga tertuang dalam Kebijakan
Akuntansi perusahaan dalam catatan atas laporan keuangan dengan paragraf
sebagai berikut:
“Pada tanggal 1 Maret 2017, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan
POJK No.6/POJK.4/2017 tentang perlakukan akuntansi atas transaksi
berdasarkan jual beli tenaga listrik (POJK No.6) yang diterapkan secara
prospektif. Penerapan POJK tersebut mengakibatkan seluruh transaksi
berdasarkan Power Purchase Agreement (PPA) dan Energy Sales Contract
(ESC) dengan Independent Power Producers (IPP) diperlakukan sebagai
transaksi jual beli, meskipun dalam transaksi tersebut meskipun
mengandung subtansi selain jual beli, sehingga evaluasi apakah PPA dan
IPP mengandung sewa tidak dilakukan”
Berikut ini adalah ringkasan laporan keuangan PT. PLN (Persero)
tahun 2016- 2015 yang sudah memberlakukan transaksi jual beli IPP bukan
sewa sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh POJK No.6.
Tabel 6. Kinerja Keuangan PT. PLN (Persero) Tahun 2016-2015
Sumber: Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) 2016
Keterangan 2016 2015 Mutasi
Aset 1.272.177.975 1.314.370.881 (42.192.906)
Liabilitas 393.778.518 509.580.254 (115.801.736)
Ekuitas 878.399.457. 804.790.617 73.608.840
Pendapatan 222.821.956 217.346.990 5.474.966
Laba 4.428.117 6.026.507 (1.598.390)
DER 45% 63% (18%)
Opini Audit Opini Wajar Tanpa Pengecualian, 8 Januari 2018

Analisis tabel 6 diatas terlihat bahwa dengan diterbitkannya POJK


No.6 yang menghapus penerapan ISAK 8, menjadikan liabilitas PT. PLN
(Persero) menjadi berkurang cukup signifikan menjadi Rp 393 triliun atau
turun Rp 115 triliun sejak penerapan ISAK 8. Hilangnya ISAK 8, membuat
pengakuan utang sewa pembiayaan kepada IPP tidak diakui lagi dalam
laporan keuangan 2016. Dampak tidak diakuinya utang sewa pembiayaan
tersebut menjadikan nilai Rasio DER ditahun 2016 adalah 45% atau turun
18% dari tahun sebelumnya. Kondisi rasio DER tersebut cukup membantu
manajemen PT. PLN (Persero) mengurangi tekanan hutang. Selain itu
dengan nilai DER yang rendah dan sehat (dibawah 100%) manajemen bisa
mencari sumber pendanaan dari eksternal.
Sementara dampak penerapan ISAK 8 menjadikan opini LKPP untuk
tahun yang berakhir pada tahun 2016 adalah Wajar Tanpa Pengecualian
namun dengan penekanan suatu hal diantaranya adalah Tindak Lanjut atas
Hal-hal yang mempengaruhi opini sebelumnya (tahun 2015) yaitu:
“Dalam Laporan BPK Nomor 56a/LHP/XV/05/206 tanggal 26 Mei
2016, BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas
LKPP tahun 2015 karena: (1) Ketidakpastian Nilai Penyertaan Modal
Negara kepada PT. PLN (Persero) sehubungan dengan tidak diterapkannya
Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) Nomor 8 pada Kebijakan
Akuntansi Laporan Kuangan PT. PLN (Persero) tahun 2015”
“Pemerintah telah menindaklanjuti permasalahan tersebut dengan
melakukan upaya perbaikan yaitu (1) menerbitkan Peraturan Presiden
Nomor 14 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Ketenagalistrikan yang ditindaklanjuti dengan penetapan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) Nomor 6/POJK04/2017 tentang Perlakuan Akuntansi
atas Transaksi Berdasarkan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik”
Atas tindak lanjut temuan BPK tersebut Pemerintah Indonesia bisa
melakukan penyesuaian kembali atas PMN yang terdampak penerapan
ISAK 8 yang tahun sebelumnya menimbulkan perbedaan Nilai PMN pada
PT. PLN (Persero) per 31 Desember 2015 sebesar Rp 43,44 triliun. Berikut
ringkasan laporan keuangan PT. PLN (Persero) berdasarkan LKPP tahun
2016

Tabel 7. Kinerja Keuangan PT. PLN (Persero) berdasarkan LKPP 2016


Sumber : LKPP 2016
Keterangan LKPP 2016 LKPP 2015 Mutasi
Modal ditempatkan disetor Penuh 55.666.007 46.197.380 9.468.627
PMN ke PLN/tambahan modal 75.957.535 59.175.654 16.781.881
disetor
Modal Kepemilikan Negara 878.282.467 848.387.837 29.894.630
Modal Kepemilikan Non 116.990 81.234 35.756
Pengendali
Jumlah Ekuitas 878.399.457 848.387.837 30.011.620
Laba (Rugi) kepada Negara 8.113.656 15.569.299 7.455.643
Opini Wajar Tanpa Pengecualian tanggal 18 Mei 2017

Tabel 7 diatas memperlihatkan bahwa setelah tidak diterapkannya


ISAK 8, pada tahun 2016 perubahan struktur modal pada laporan keuangan
PT. PLN (Persero) di LKPP 2016. Modal ditempatkan dan disetor penuh
menjadi Rp 55,66 triliun atau naik Rp 9,4 triliun sesuai dengan PMN dalam
proses penerbitan pada tahun 2015. Tambahan Modal disetor dan PMN
tahun 2016 sebesar Rp 75,95 triliun atau naik Rp 16,78 triliun dari tahun
sebelumnya. Modal kepemilikan negara sebesar Rp 878 triliun atau naik Rp
29,89 triliun. Tidak adanya lagi penyesuaian PMN terkait dengan tidak
diterapkannya ISAK 8, maka jumlah ekuitas pada LKPP 2016 sama dengan
laporan keuangan 2016 yang disajikan PT. PLN (Persero) yaitu sebesar Rp
878 triliun atau naik Rp.30,01 triliun. Jumlah kenaikan modal yang cukup
signifikan diberikan Pemerintah Indonesia kepada PT. PLN (Persero) bisa
digunakan untuk pendanaan program 35.000 MW. Pendanaan dari pihak
eksternal juga berpeluang didapat oleh PT. PLN (Persero). Sudah tidak
diterapkannya ISAK 8 dan revaluasi aset yang sudah dilakukan oleh
manajemen PT. PLN (Persero) sebelumnya ditahun 2015, membuat nilai
rasio DER menjadi sehat (dibawah 100%). Rasio DER yang sehat
menjadikan pihak eksternal tidak terlalu beresiko dalam membiayai
perusahaan.
Pada tahun buku 2017, hasil audit PT. PLN (Persero) mendapatkan
opini Wajar Tanpa Pengecualian dari auditor eksternal. Namun pada
paragraf opini, auditor masih memberikan penekanan suatu hal atas catatan
Prinsip Akuntansi Berlaku Umum (PABU) pada laporan keuangan
konsolidasian. Penekanannya bahwa perusahaan mengubah kebijakan
akuntansi untuk transaksi berdasarkan perjanjian jual beli tenaga listrik
dengan menerapkan perjanjian jual beli tenaga listrik dengan penerapan
lebih dini Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.6 POJK.04/2017 secara
prospektif untuk periode tahun buku yang dimulai 1 Januari 2016. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam 2 kali penerbitan Laporan Auditor Independen,
menunjukkan bahwa akuntan public masih memperhatikan catatan atas
dirubahnya kebijakan akuntansi PT. PLN (Persero) tersebut.
Sangat wajar jika akuntan publik memberikan penekanan pada suatu
hal untuk laporan auditornya selama 2 tahun atas Prinsip Akuntansi Berlaku
Umum. Dimana dalam catatan tersebut salah satu prinsipnya adalah
Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.6/POJK.04/2017 tentang
Perlakuan Akuntansi atas Transaksi Berdasarkan Perjanjian Jual Beli
Tenaga Listrik (POJK No.6) berdasarkan Perpres No.14. tahun 2017.
Akuntan publik berasumsi bahwa dengan diterbitkannya peraturan regulator
melalui Perpres terkesan melangkahi hierarki Standar Akuntansi yang sudah
ada. Sebab definisi Standar Akuntansi Keuangan adalah Pernyataan dan
Interpretasi yang diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi keuangan
Ikatan Akuntan Indonesia dan Dewan Standar Akuntansi Syariah Ikatan
Akuntan Indonesia serta peraturan regulator pasar modal untuk entitas yang
berada dibawahnya, (Ersa, 2017). Selain itu dalam POJK No. 6 tersebut
dinyatakan bahwa transaksi jual beli akan tetap diakui sebagai transaksi jual
beli meskipun didalamnya mengandung substansi selain jual beli atau
dengan kata lain mengandung sewa. Hal ini menunjukkan pertentangan
antara konsep PSAK yang menerapkan prinsip subtansi mengungguli bentuk
dan regulator yang menggunakan prinsip bentuk mengungguli subtansi.
Subtansi mengungguli bentuk kontrak “jual beli” yang terdapat dalam ISAK
8, memberikan maksud bahwa jika terdapat pengalihan secara substansial
suluruh risiko atau manfaat terkait dengan kepemilikan suatu aset,
perusahaan tersebut harus mengakui sebagai sewa pembiayaan sehingga
memunculkan utang sewa pembiayaan dalam laporan keuangannya. Dari
perspektif akuntansi perlakuan ini mencerminkan substansi ekonomi dari
kondisi keuangan perusahaan yang sesungguhnya sehingga relevan
digunakan dalam pengambilan keputusan.
Kebijakan tidak digunakannya ISAK 8 jika dikaitkan dengan teori
agency menunjukkan kepentingan yang kuat antara agen dalam hal ini
adalah Manajer PT. PLN (Persero) dengan Prinsipal (Pemerintah Indonesia).
Kepentingan PT. PLN (Persero) untuk menghilangkan penerapan ISAK 8
dengan cara upaya lobi terhadap regulator guna menjustifikasi kebijakannya
merupakan salah satu upaya mempengaruhi kebijakan akuntansi perusahaan.
Dengan diubahnya kebijakan akuntansi/standar akuntansi tidak menerapkan
ISAK 8 maka kepentingan pencapaian laba, target pemerintah atas program
35.000 MW, pendanaan dari pihak eksternal dan besaran deviden kepada
pemerintah bisa terlaksana (Yekti, 2018).
Sedangkan dari sisi pemerintah Indonesia, kebijakan tidak
diterapkannya ISAK 8 menunjukkan upaya negara untuk mengintervensi
kebijakan yang dilakukan PT. PLN (Persero). Peilow (2017) menyatakan
bahwa pemerintah dapat mengintervensi kinerja perusahaan hanya demi
kepentingan pemerintah semata. Birokrat yang mengendalikan perusahaan
pemerintah lebih memiliki tujuan bukan untuk menyejahterakan perusahaan
dan masyarakat, tetapi untuk tujuan yang berdasarkan kepentingan politik.
Hal ini menunjukkan bahwa untuk menyukseskan kepentingan pemerintah
melalui program 35.000 MW serta untuk menindaklanjuti opini audit atas
LKPP 2015 yang mendapatkan opini WDP, pemerintah berupaya
melakukan politisasi kebijakan standar akuntansi dengan menerbitkan POJK
No.6. Kepentingan yang sulit tercapai karena terhambat kebijakan maka
akan memunculkan peraturan-peraturan lain yang berbeda dengan PSAK
atau PABU untuk mengintervensi laporan keuangan pada BUMN. Jika itu
tetap dijalankan maka akan menjadikan penerapan SAK/PABU terkesan
tebang pilih atau tidak menyeluruh patuh pada SAK/PABU. Keadaan ini
akan menjadikan turunnya kepercayaan publik atau stakeholder pada
perusahaan tersebut.
D. Kesimpulan
BUMN merupakan salah satu badan usaha yang sebagian modalnya dimiliki
pemerintah dan menjadi penggerak pemasukan kas negara melalui kegiatan usahanya.
Bidang usaha BUMN di Indonesia cukup banyak dan hampir merata di semua sektor
baik itu jasa, produksi dan perdagangan. PT. PLN (Persero) merupakan salah satu
BUMN penyedia listrik ke seluruh pelosok Indonesia. Program 35.000 MW yang
dicanangkan pemerintah menjadikan kinerja keuangan perusahaan cukup terganggu
karena harus menambah biaya operasional yang sangat besar.
Kondisi keuangan PT. PLN (Persero) dengan rasio DER diatas nilai sehat pada
tahun 2014 ke 2015 menjadikan perusahaan sulit untuk mencari pendanaan dari
eksternal. Kebijakan akuntansi ISAK 8 dianggap sebagai penghambat PT. PLN
(Persero) dalam mencapai rasio DER yang sehat. Harus diakuinya utang sewa
pembiayaan membuat utang perusahaan menjadi besar. Tidak diterapkannya ISAK 8
menjadikan opini WDP pada LKPP 2015. Adanya kepentingan antara agen
(manajemen) dan principal (Pemerintah) sesuai dengan teori agency menjadikan
politisasi dalam Kebijakan ISAK 8. Peraturan Regulator mampu menganulir
kebijakan akuntansi yang harusnya dipatuhi di dalam PSAK/PABU yang memiliki
prinsip subtansi mengungguli bentuk.
Perusahaan dengan kepemilikan pemerintah yang dominan menjadikan
pemerintah mampu melakukan intervensi atas kinerja pada perusahaan yang
dimiliknya (BUMN). Manajer BUMN dalam hal ini juga sebagai agen juga memiliki
kepentingan dalam mengatur angka akuntansi demi memenuhi tujuan perusahaan dan
kepentingan principal.

E. Daftar Pustaka
1. Alawan Ridha Ramdani, Begini Kondisi BUMN Sakit,
https://bumntrack.com/policy/begini-kondisi-bumn-sakit, diakses 1 Oktober 2018.
2. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksana APBN, Penyertaan Modal Negara, SETJEN DPR RI,
diakses 25 Juli 2018.
3. Candra Muljono, Pengaruh PLN Sebagai BUMN Bagi Perekonomian Indonesia. Diakses 1
Oktober 2018.
4. Dina Amalia, (2017), Jenis dan Ciri-ciri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
https://www.jurnal.id/en/blog/2017/jenis-dan-ciri-ciri-badan-usaha-miliknegara-bumn.
Diakses 1 Oktober 2018.
5. Ersa Tri Wahyuni, (2017). Kaleidoskop SAK 2017 dan Outlook SAK 2018,
http://etwaccountant.com/category/my-reflection/, diakses 24 Juli 2018.
6. Kemenko Perekonomian, (2015). Penyelesaian Proses Penetapan Bantuan Pemerintah
Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS).
https://www.ekon.go.id/berita/view/penyelesaian-prosespenetapan.1212.html, diakses
26 Juli 2018.
7. Kontan.co.id, (2016), Target PLN dan Politisasi ISAK 8,
http://analisis.kontan.co.id/news/target-pln-dan-politisasi-isak-8?page=1, diakses 27 Juli
2018.
8. Michael Agustinus, (2016), Setelah Revaluasi, Aset PLN Menjadi Rp 1.227 triliun,
https://finance.detik.com/energi/d-3245230/setelah-revaluasi-aset-plnmenjadi-rp-1227-
triliun, diakses 23 Juli 2018.
9. Munarsih Sahana, (2015), Presiden Jokowi Luncurkan Program 35 Ribu MW Listrik untuk
Indonesia. diakses 1 Oktober 2018.
10. Netralnews.com, (2015), Penerapan ISAK 8 Tidak Tepat untuk Perhitungan Laporan
Keuangan PLN, http://www.netralnews.com/news/ekonomi/read/27455/penerapan-
isak-8- tidak-tepat-untuk-penghitungan-laporan-keuangan-pln, diakses 25 Juli 2018.
11. Siaran Pers, (2016), Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) Tahun 2015,
www.pln.co.id/media/siaran-pers/2016/06/laporan-keuangan-pt-plnpersero-tahun-
2015, diakses 25 Juli 2018.
12. Siaran Pers, (2017), Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) Tahun 2016.
www.pln.co.id/media/siaran-pers/2017/04/laporan-keuangan-pt-plnpersero-tahun-
2016, diakses 25 Juli 2018.
13. Yekti Sulistyo, (2018), Pengertian Debt to Equity Ratio (DER),
http://www.yektisulistiyo.com/2018/01/pengertian-debt-to-equity-ratio-der.html,
diakses 30 Juli 2018.
14. Yoga Sukmana, (2017), Sri Mulyani Terus Memantau Kondisi Keuangan PLN, diakses 25
Juli 2018.
15. Publikasi Laporan Keuangan
- Badan Pemeriksan Keuangan, (2013), Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2013, diakses 30 Juli 2018.
- Badan Pemeriksan Keuangan, (2014), Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2014, diakses 23 Juli 2018.
- Badan Pemeriksan Keuangan, (2015), Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015, diakses 23 November 2018.
- Badan Pemeriksan Keuangan, (2016), Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2016, diakses 16 Juli 2018.
- PT. PT. PLN (Persero), (2015), Laporan Keuangan Konsolidasi 2014-2013 Audited,
diakses 25 Juli 2018.
- PT. PT. PLN (Persero), (2016), Laporan Keuangan Konsolidasi 2015-2014 Audited,
diakses 25 Juli 2018.
MAKALAH TENTANG KEPEMILIKAN DAN PENGEMBANGAN MODAL:
MELINDUNGI KEHALALAN KORPORASI

Disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Hukum Bisnis.

Dosen Pengampu

Prof. Dr. H. MUHAMMAD DJAKFAR, SH., M.Ag

Oleh :

M Ikmaluddin Alfi Hidayat (18510056)


JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

TAHUN AJARAN 2020/2021

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum, wr. wb

Segala puja dan puji semoga tetap senantiasa dipanjatkan kepada kehadirat
Allah swt yang membimbing umat manusia dengan petunjuk- petunjuknya yang
terkandung dalam al-Qur’anul karim dan Sunnah Rasulullah, yang senantiasa menjadi
pedoman bagi umat muslim menuju jalan yang lurus dan diridhoi oleh Allah swt.

Shalawat serta salam semoga senantiasa dihaturkan kepada baginda


Rasulullah saw, para sahabat dan keluarga serta para pengikutnya sampai di hari
kiamat, terutama bagi para Mujtahid yang senantiasa menuangkan hasil pemikiran
mereka untuk kemaslahatan umat Islam.

Makalah ini berisi tentang kepemilikan dan Pengembangan Modal


melindungi kehalalan Korporasi maupun hal-hal yang lain yang berkaitan dengan
judul makalah ini. Makalah ini dibuat sebagai syarat dan juga tuntutan akademik dan
diharapkan memberikan pengetahuan baru bagi kita untuk lebih mengetahui
pemikiran hukum Bisnis yang ada di tengah masyarakat. Dan tentunya, dalam
penyusunan makalah ini tidak terlepas dari segala kekurangan, penulis telah
mengusahakan meminimalisir sesuatu yang menjadi kekurangan dalam makalah ini.
Oleh karenanya, para pembaca sangat diharapkan untuk meluangkan waktunya dalam
memberikan kritik maupun saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan khususnya bagi penyusun tulisan
ini.
Mojokerto, 17 Desember
2021 Penyusun,

M Ikmaluddin Alfi Hidayat

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL....................................................................... i

KATA PENGANTAR........................................................................ ii

DAFTAR ISI....................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................... 3

A. Definisi Kepemilikan Harta...................................................... 3

B. Sebab-Sebab Kepemilikan ....................................................... 7

C. Jenis-Jenis Kepemilikan ........................................................... 16

D. Kedudukan dan Fungsi Harta ................................................... 17

BAB III PENUTUP ............................................................................ 23

A. Kesimpulan............................................................................... 23

B. Saran......................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 24


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam konteks historis, Islam sebagai ajaran yang telah menempuh


perjalanan panjang dan tidak terlepas dari sebuah sistem perekonomian, sebagaimana
yang telah dijalankan oleh Rasulullah saw, sejak kecil Rasulullah diasuh pamannya
Abu Thalib. Mereka menjalankan bisnis berdagang di berbagai daerah jazirah Arab,
kemudian rasulullah saw melakukan hubungan kerjasama dengan Sitti Khadijah, baik
sebelum menikahi Sitti Khadijah maupun sesudah menikahinya. Dalam sejarah
rasulullah saw mempunyai modal dasar dalam berdagang yaitu kejujuran (al-shiddiq)
dan kepercayaan (amanah), sehingga rasa simpati timbul dalam diri pribadi konsumen
terhadap Rasulullah saw. Semua itu dapat dilihat dengan keuntungan yang dia capai
dalam rentan waktu yang singkat. Tanpa harus menghindari pesaingnya.

Hampir setiap kegiatan manusia merupakan bagian dari sistem bisnis. Setiap
kegiatan yang dilakukannya sudah tentu merupakan perwujudan dari aktivitas bisnis.
Seorang petani yang mengolah sawah, menggiling padi, menjual beras, semua itu
merupakan aktivitas bisnis. Pada bidang jasa, dokter melayani pasien, Perusahaan
Listrik Negara (PLN) melayani penerangan masyarakat, Perguruan Tinggi mendidik
mahasiswa, dan perusahaan jaringan tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang
menyalurkan tenaga kerja merupakan perwujudan aktivitas bisnis.
B. Rumusan masalah

Berkaitan dengan ulasan tersebut maka, ada beberapa pokok rumusan masalah
yang berkaitan dengan judul kepemilikan harta yaitu:

1. Apa definisi kepemilikan ?

2. Apa itu Pengembangan modal?

3. Bagaimana mewujudkan kehalalan Korporasi?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kepemilikan
1. Definisi kepemilikan

Secara etimologis, milik berasal dari kata bahasa Arab al-milk yang berarti
penguasaan terhadap sesuatu. Al-milk juga memiliki arti sesuatu yang dimiliki (harta).
Milik juga berarti hubungan seseorang dengan sesuatu harta benda yang diakui oleh
syara’, yang menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta itu,
sehingga dia berhak atas perlakukan tindakan hukum terhadap harta itu, kecuali
adanya halangan dalam syara’.
Secara terminologis, al-milk memiliki arti pengkhususan seseorang terhadap
suatu benda yang kemungkinan bertindak hukum terhadap benda itu (sesuai dengan
keinginannya), selama tidak ada halangan dalam syara’.

Menurut Hanafiyah dalam pendefenisian harta yaitu sesuatu yang dapat


disimpan sehingga sesuatu yang tidak dapat disimpan tidak termasuk harta. Menurut
Hanafiyah, manfaat bukanlah harta akan tetapi manfaat termasuk milik, Hanafiyah
mengungkapkan beberapa perbedaan harta dengan milik, yaitu:

Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri
penggunaannya oleh orang lain.
Harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika
dibutuhkan. Dalam penggunaannya, harta bisa dicampuri oleh orang lain. Jadi
menurut Hanafiyah yang dimaksud harta adalah sesuatu yang berwujud (a’yan).

Sedangkan T.M Hasbi Ash-Shiddiqy, mendefenisikan harta dengan:


a. Nama selain manusia yang diciptakan Allah untuk mencukupi kebutuhan
hidup manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat, dan dikelola (tasharruf)
dengan jalan ikhtiar.

b. Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia
maupun sebagian manusia.

c. Sesutu yang sah untuk diperjualbelikan

d. Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga) seperti sebiji
berasa dapat dimiliki oleh manusia, dapat diambil kegunaannya dan dapat
disimpan, tetapi sebiji beras menurut ‘urf tidak bernilai (berharga), maka
sebiji beras tidak termasuk harta.

e. Sesuatu yang berwujud, sesuatu yang tidak berwujud meskipun dapat


diambil manfaatnya tidak termasuk harta, misalnya manfaat, karena manfaat
tidak berwujud sehingga tidak termasuk harta

f. Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan
dapat diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.

Dengan dikemukakannya definisi tersebut kiranya dapat dipahami bahwa para


ulama masih berbeda pendapat dalam menentukan definisi harta sehingga terjadi
perselisihan pendapat para ulama dalam pembagian harta karena berbeda dalam
pendefenisisan harta tersebut. Namun, di sini dapat diperhatikan bahwa penekanan
para ulama dalam mendefenisikan harta itu antara lain sebagai berikut:

Hasbi Ash-Shiddieqy mendefenisikan harta dengan nama bagi selain manusia,


dapat dikelola, dapat dimiliki, dapat diperjualbelikan dan berharga, adapun dampak
yang logis dalam perumusan ini ialah pertama; manusia bukanlah harta sekalipun
berwujud, kedua; babi bukanlah harta karena babi bagi muslimin haram
diperjualbelikan, ketiga; sebiji beras bukanlah harta karena sebiji beras tidak memiliki
nilai (harga) menurut ‘urf.

Hanafiyah menjelaskan harta dengan sesuatu yang berwujud dan dapat disimpan
sehingga yang tidak berwujud dan tidak dapat disimpan bukanlah harta, seperti hak
dan manfaat.

Secara terminologi sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Fairuz Abadi dalam


karyanya al-Mukhith, harta disebut al-mal atau jamaknya al-amwal, harta (al-mal)
adalah malaktahu min kulli syar’i (harta adalah segala sesuatu yang engkau punyai).
Secara terminologis, harta diartikan sebagai sesuatu yang dimanfaatkan dalam perkara
yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam), seperti bisnis, pinjaman, konsumsi,
dan hibah (pemberian). Berdasarkan hal ini, dapat dipahami bahwa segala sesuatu
baik barang atau jasa, yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan dunia
merupakan harta. contohnya uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan
rumah tangga, hasil perkebunan, hasil kelautan, dan pakaian termasuk dalam kategori
al-amwal (harta kekayaan).

Harta secara sederhana mengandung arti sesuatu yang dapat dimiliki. Ia


termasuk salah satu kebutuhan bagi kehidupan manusia di dunia, karena tanpa harta
atau secara khusus adalah makanan, manusia tidak akan dapat bertahan

hidup. Oleh karena itu Allah swt menyuruh manusia untuk berusaha dalam
memperolehnya, memilikinya dan memanfaatkannya bagi kehidupan manusia dan
Allah swt melarang berbuat sesuatu yang akan merusak dan meniadakan harta itu. Ia
dapat berwujud bukan materi seperti hak-hak dan dapat pula berwujud materi. Yang
berwujud materi ini ada yang bergerak dan ada pula yang tidak bergerak.
2. Sebab – sebab Kepemilikan
Harta berdasarkan sifatnya bersedia dan dapat dimiliki oleh manusia,
sehingga manusia dapat memiliki suatu benda. Adapun sebab-sebab kepemilikan
harta antaralain:
a. Ikraj al-mubahat, untuk harta yang mubah (belum dimiliki oleh seseorang)
atau:

“Harta yang tidak termasuk dalam harta yang dihormati (milik yang sah) dan
tidak ada penghalang syara’ untuk yang dimiliki”.

Untuk memiliki benda-benda mubahat diperlukan dua syarat, yaitu yang


pertama; Benda mubahat belum diikhrazkan oleh orang lain. Seseorang
mengumpulkan air dalam satu wadah, kemudian air tersebut dibiarkan, maka
orang lain tidak berhak mengambil air tersebut, sebab telah diikhrazkan oleh
orang lain. Kedua; adanya niat (maksud) memiliki. Maka seseorang
memperoleh harta mubahat tanpa ada niat, tidak termasuk ikhraz,
umpamanya seorang pemburuh meletakkan jaringnya di sawah, kemudian
terjeratlah burung-burung, bila pemburu tersebut sekedar meletakkan jaring
tersebut dan mengeringkannya, maka ia tidak berhak memiliki burung
tersebut.

b. Khalafiyah, yang dimaksud dengan khalafiyah ialah:

“Bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat di tempat yang


lama, yag telah hilang berbagai macam haknya”.

Khalafiyah ada dua macam, yaitu pertama; khalafiyah syakhsy ‘an syakhsy,
yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta yang
ditinggalkan oleh muwaris, harta yang ditinggalkan oleh muwariz disebut
tirkah. Dan kedua; khalafiyah syai’an syai’in, yaitu seseorang merugikan
milik orang lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak di
tangannya atau hilang, maka wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian-
kerugian pemilik harta. Maka khalafiyah syai’an syai’in ini disebut juga
tadlmin atau ta’widl (menjamin kerugian).

c. Tawallud min mamluk, yaitu segala yang terjadi dari benda yang telah
dimiliki, menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut, misalnya bulu
domba menjadi milik pemilik domba.
Sebab pemilikan tawallud min mamluk dibagi kepada dua pandangan
(I’tibar), yang pertama; mengingat adanya ikhtiar terhadap hasil-hasil yang
dimiliki (I’tibar wujud al ikhtiyar wa ‘adamihi fiha) dan kedua; pandangan
terhadap berkasnya (I’tibar atsariha).

Dari segi ikhtiar, sebab malaiyah (memiliki) dibagi dua macam, yaitu

ikhtiyariyah dan jabariyah, sebab ikhtiyariyah adalah:


“Sesuatu yang manusia mempunyai hak ikhtiar dalam mewujudkannya”

Sebab-sebab iktiyariyah ada dua yaitu ikhraj al-mubahat dan ‘uqud.

Sedangkan yang dimaksud dengan jabariyah ialah:


“Sesuatu yang senantiasa tidak mempunyai ikhtiar dalam mewujudkannya”.

Sebab-sebab jabariyah ada dua macam yaitu iris dan tawallud min al-
mamluk.

Karena penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari
tiga tahun, Umar ra ketika menjabat khalifah ia berkata: “Sebidang tanah akan
menjadi milik seseorang yang memanfaatkannya dari seseorang yang tidak
memanfaatkannya selama tiga tahun”. Hanafiyah berpendapat bahwa
tanah yang belum ada pemiliknya kemudian dimanfaatkan oleh
seseorang, maka orang itu berhak memiliki tanah itu.

Ada beberapa sebab kepemilikan dalam Islam yaitu:

a. Bekerja (al-‘Amal)

Pemilikan harta harus didapatkan dengan usaha (amal) atau mata pencaharian
(maisyah) yang halal. Dilarang mencari harta, berusaha dan bekerja yang dapat
melupakan kematian, melupakan dzikrullah, melupakan shalat dan zakat, memusatkan
kekayaanhanya pada kelompok orang kaya saja. Dilarang menempuh usaha yang
haram, seperti kegiatan riba, perjudian, jual beli barang haram, mencuri dan
sejenisnya, curang dalam takaran dan timbangan, dan cara- cara bathil lainnya yang
dapat merugikan.

b. Warisan (al-irts)
c. Harta untuk menyambung hidup

d. Harta pemberian negara (I’tha’u ad-daulah)

e. Harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan daya dan
upaya apapun.

Prof. Dr. Veithzal Rival et al., menerangkan bahwa kepemilikan individu


diperoleh dari bekerja, warisan, hibah, hadiah, wasiat, mahar, barang temuan, dan jual
beli. Islam melarang memperoleh harta melalui cara yang tidak diridhai Allah swt dan
merugikan pihak lain, seperti riba, menipu, jasa pelacuran, perdagangan gelap,
produksi/penjualan alkohol/miras, narkoba, judi, spekulasi valuta asing, spekulasi
pasar modal, money game, korupsi, curang dalam takaran dan timbangan, ihktikar dan
sebagainya.

Prof. Fathurrahman Djamil, menyebutkan beberapa faktor kepemilikan harta


sebagai berikut:

1) Bekerja (amal/kasab)

Yang termasuk bekerja misalnya; menghidupkan tanah mati, menggali


kandungan bumi, berburu, makelar (samsarah).

2) Transaksi (akad), baik transaksi pertukaran (mu’awadhah) maupun


transaksi yang berbentuk pencampuran (mukhtalith)

3) Warisan

4) Nasionalisasi aset-aset

5) Pemberian negara/pemberian sukarela

Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk
dimiliki manusia dalam menunjang kehidupannya secara garis besar ada dua bentuk:
Pertama; Memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh orang
lain. Bentuk yang jelas dari mendapatkan harta baru sebelum menjadi milik orang lain
adalah dengan menghidupkan tanah mati (menggarap) tanah mati yang belum dimiliki atau
yang disebut ihya al-mawat (‫)الموات احياء‬.

Ihya al-mawat dalam bentuk asalnya adalah membuka tanah yang belum menjadi
milik siapapun, atau telah pernah dimiliki namun telah ditinggalkan sampai terlantar dan tak
terurus. Siapa yang memperoleh tanah dalam bentuk demikian dia berhak memilikinya. Hal
ini sesuai dengan hadis Nabi saw yang berasal dari Said bin Zuber menurut tiga perawi
hadis yang mengatakan:
Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia berhak memilikinya.

Bila dihubungkan kepada kepemilikan mutlak harta oleh Allah, maka ini berarti
Allah telah memberi kesempatan kepada orang yang menghidupkan tanah mati itu untuk
memilikinya; sedangkan harta yang telah dimiliki kemudian ditinggalkan ia kembali kepada
kepemilikan Allah yang kemudian diserahkan kepada penggarap yang datang di kemudian.

Menghidupkan tanah mati sebagaimana disebutkan di atas termasuk usaha


memperoleh harta dengan tangan dan tenaga sendiri. Usaha ini termasuk usaha yang paling
baik. Hal ini dinyatakan Nabi saw dalam sebuah riwayat dari Rufa’ah bin Rafi’ menurut
riwayat al-Bazar yang disahkan oleh al-Hakim:
Bahwa Nabi saw telah pernah ditanya tentang usaha apa yang paling baik Nabi
menjawab: ”Setiap usaha seseorang dengan tangan (tenaga)nya dan setiap jual
beli yang baik”.

Kedua; Memperoleh harta yang telah dimiliki orang lain melalui suatu transaksi.
Bentuk ini dipisahkan pada dua cara. Pertama peralihan harta berlangsung dengan
sendirinya atau disebut juga ijbari yang siapapun tidak dapat merencanakan atau
menolaknya seperti melalui warisan. Kedua peralihan harta berlangsung dengan sendirinya,
dengan arti atas kehendak dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiyari, baik melalui
kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian; maupun melalui kehendak dan perjanjian
timbal balik antara duaatau beberapa pihak, seperti jual beli.

Kedua cara tersebut dalam memperoleh harta harus dilakukan dengan prinsip halal
dan baik agar pemilikan kekayaan tersebut diridhai oleh Allah swt.37

3. Jenis-jenis Kepemilikan
Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma
membagi kepemilikan menjadi tiga bagian yaitu:

a) Kepemilikan individu (private proverty/milkiyah fardhiyah)


Kepemilikan individu adalah izin dari syar’i (Allah swt) yang memungkinkan
siapa saja untuk memanfatkan zat maupun kegunaan (unity) suatu barang serta
memperoleh kompensasi, baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain
seperti disewa ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli dari
barang tersebut.

b) Kepemilikan umum (collective property/milkiyah ‘ammah)

Kepemilikan umum ialah izin syari’at kepada masyaakat secara bersama- sama
memanfaatkan sumber daya alam. Ini berupa barang-barang yang mutlak diperlukan
manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, api (bahan bakar, listrik, gas),
padang rumput, sungai, danau, jalan, lautan, udara, masjid, dan sebagainya; serta
barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti emas, perak,
minyak, dan sebagainya. Syariat melarang sumber daya seperti ini dikuasai oleh
seseorang atau sekelompok kecil orang.

c) Kepemilikan negara (state property/milkiyah daulah)

Disebut sebagai milik negara adalah harta yang merupakan hak diseluruh
kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang khalifah. Pengelolaan oleh
khalifah disebabkan adanya kewenangan yang dimiliki khalifah untuk mengelolah
harta milik seperti itu. Yang termasuk milik negara seperti: harta ghanimah (hatta
rampasan perang), fa’i (harta kaum muslimin yang berasal dari kaum kafir yang
disebabkan oleh kepanikan dan ketakutan tanpa mengerahkan pasukan), khumus
(zakar 1/5 bagian yang dikeluarkan dari harta temuan/barang galian) harta yang tidak
memiliki ahli waris, dan hak milik dari negara.

d) Kepemilikan mutlak
Kepemilikan hakiki atas semua kekayaan yang ada di alam semesta ini ialah
Allah swt.

e) Kepemilikan relatif

Walaupun harta itu milik Allah swt akan tetapi kepemilikan manusia diakui
secara de jure karena Allah sendiri yang mengaruniakannya kepada manusia
atas kekayaan itu dan mengakui kepemilikan tersebut.
“Rasulullah saw. bersabda: Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka
tidak peduli lagi dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal
ataukah dengan cara yang haram.” (H.R. Bukhari)

Benar adanya sabda Rasulullah saw. yang beliau katakan beratus tahun yang lalu
tersebut. Modernisasi yang merupakan tanda kemajuan ilmu pengetahuan manusia
seringkali tidak sejalan dengan kondisi iman dan takwa. Tidak sedikit orang yang
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nikmat dunia yang diinginkan oleh hawa
nafsunya. Tindakan korupsi, perampokan, pembegalan, pengedaran narkoba, pencurian,
penipuan merupakan beberapa contoh cara yang tidak halal untuk mendapatkan harta dan
marak sekali diberitakan di media dan seringkali meresahkan dan merugikan masyarakat.

Berbicara mengenai halal-haram, sesungguhnya halal-haram tidak hanya


mencakup makanan dan minuman yang kita konsumsi, akan tetapi lebih dari itu, halal-
haram merupakan persoalan kehidupan manusia secara keseluruhan. Sebagaimana
firman Allah swt. yang tertulis di dalam Q.S. Al Baqarah [2]: 172 yaitu:

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang
Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya
kepadaNya kamu beribadah.”
Kata “makanlah” di sini tidak saja berarti harfiah yaitu kegiatan makan dan
minum, melainkan termasuk bagaimana cara memperoleh makanan tersebut. Yusuf
Qardhawi (1993) menjelaskan mengenai pokok-pokok ajaran Islam tentang halal dan
haram, dan salah satu pokok ajaran itu ialah “apa saja yang membawa kepada haram
adalah haram”. Sehingga walaupun makanan itu halal, akan tetapi apabila cara
pemerolehannya semisal dengan mencuri, maka ia haram untuk dimakan karena
makanan tersebut merupakan hasil curian.
Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa memperoleh harta dengan cara dosa, lalu
ia menggunakannya untuk menjalin silaturrahmi, bersedekah, atau kepentingan di jalan
Allah, niscaya Dia akan menghimpun semua hartanya itu lalu melemparkannya ke dalam
neraka” (H.R. Abu Dawud) (Ghazali, 2007).

Memahami Apa Itu Halal, Haram, dan Thayyib


Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang
haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang masih samar yang
tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari
perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa
yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara
haram.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Ali (2016) menjelaskan bahwa kata “halal” dan “haram” merupakan istilah Al
Qur’an dan digunakan dalam berbagai hal, sebagiannya berkaitan dengan makanan dan
minuman. Halal secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan menurut syariat untuk
dilakukan, digunakan, atau diusahakan, dengan disertai perhatian cara memperolehnya,
bukan dari hasil muamalah yang dilarang. Sementara thayyib bisa diartikan sebagai
sesuatu yang layak bagi jasad atau tubuh, baik dari segi gizi dan kesehatan serta tidak
membahayakan badan dan akal.

Kemudian haram, secara terminologi diartikan sebagai sesuatu yang dilarang Allah
dengan larangan yang tegas. Keharaman ada 2 macam yaitu karena disebabkan zatnya
atau karena yang ditampakkannya.

Mengapa Harus Halal


            Rasulullah saw. bersabda, “Mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban bagi
setiap Muslim.” (H.R. Al-Thabarani dari Ibnu Mas’ud). Kewajiban ini di era sekarang
pada akhirnya telah dicemari oleh beberapa syubhat dan transaksi-transaksi yang tidak
sesuai syariat. Sehingga sebagian dari kita yang tidak mau benar-benar berfikir dan
berusaha selalu beranggapan bahwa mencari sesuatu yang murni halal adalah suatu hal
yang sulit, dan akhirnya mereka menghalalkan segala cara dalam memperoleh keinginan
duniawi.
Padahal jika kita mengetahui, halal-haramnya makanan yang masuk ke tubuh kita
akan berpengaruh terhadap kedekatan kita dengan Allah swt. Kedekatan ini yang
nantinya akan berpengaruh terhadap doa-doa yang kita panjatkan kepadaNya.
Diriwayatkan di dalam hadits Al-Thabarani bahwa salah satu sahabat yang bernama
Sa’ad pernah memohon Rasulullah saw. agar mendoakan dirinya menjadi orang yang
diijabah doanya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Baguskanlah makananmu,
niscaya Allah menerima doamu.” (Ghazali, 2007). Demikianlah kuatnya pengaruh
makanan dan rezeki yang halal terhadap hubungan kita dengan Allah swt.
Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari pun diceritakan bahwa dari
Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah itu suci
dan tidak menerima kecuali yang suci. Dan Allah memerintahkan orang mukmin
sebagaimana memerintahkan kepada para rasul dalam firman,” Wahai para rasul,
makanlah yang baik-baik dan lakukanlah kesalehan.” Dan Allah berfirman, “Wahai
orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang kami berikan yang baik-baik.”
Kemudian Rasulullah saw. menyebut seseorang yang melakukan perjalanan panjang
hingga rambutnya kusut dan berdebu, sambil menadahkan tangannya ke langit menyeru,
“Ya Tuhan. Ya Tuhan.” Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya
haram dan diberi makan dengan yang haram. Bagaimana doanya bisa
dikabulkan?” (Sarwat, 2014).

Dari dua hadits yang dikemukakan sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa
halal-haramnya rezeki yang kita peroleh dan kita konsumsi akan mempengaruhi kualitas
hubungan kita dengan Allah swt. Dari sini pula kita bisa melakukan introspeksi. Apakah
permasalahan halal hanya berada pada tataran kewajiban yang harus kita penuhi, atau
kebutuhan yang tanpanya kita tidak bisa meraih hakikat hidup sebagai ibadah dan usaha
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.?

Jika kita pahami lebih lanjut, ada beberapa alasan yang mendasari mengapa gaya
hidup halal merupakan sarana untuk memelihara diri dan jiwa kita, serta untuk
mendekatkan diri kepada pencipta kita, Allah swt. Yang mana jika diuraikan menjadi
sebagai berikut (Sarwat,2014):

1. Wujud keimanan kepada Allah

Bagi mereka yang memahami ajaran Islam dengan baik, apapun yang masuk ke
dalam  perutnya harus seizin sang pencipta, Allah swt.

2. Agar doa tidak terhalang


Banyak orang pergi haji atau umrah ke tanah suci, dengan mengeluarkan harta
yang tidak sedikit, agar bisa berdoa di tempat yang mustajabah. Akan tetapi, kesucian
tempat berdoa tidak akan berpengaruh banyak jika tidak diiringi dengan kesucian
makanan yang masuk ke dalam perut.

3. Mencegah api neraka


Alasan lain bagi kita untuk menghindari makanan haram adalah untuk menjauhkan
diri kita dari api neraka, karena daging yang tumbuh dari asupan makanan haram akan
menjadi sasaran api neraka di akhirat nanti. Wal ‘iyaadzu billah.
4. Mencegah timbulnya penyakit
Salah satu hikmah dari menghindari makanan yang haram adalah terhindarnya diri
kita dari penyakit. Apalagi jika makanan yang kita makan adalah makanan yang thayyib,
yang jelas nilai gizinya dan sesuai dengan kebutuhan tubuh kita.
5. Tidak mengikuti langkah setan
Pelajaran mengenai halal-haram sebetulnya sudah dikisahkan melalui kisah Adam
as., Hawa, dan larangan memakan buah khuldi. Setan menggoda Adam as. dan Hawa
untuk memakannya sehingga Allah swt. menghukum mereka. Maka demikian pula
akibatnya jika seseorang mengikuti langkah setan dan memakan apa yang dilarang dan
diharamkan Allah.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Sebagai kesimpulan kepemilikan harta ialah kekuasaan atas benda dan manfaatnya
secara utuh. Di dalam Islam umat muslim senantiasa dianjurkan untuk mencari rezki yang
baik dan halal ‫ حلل و طيب‬dan sangat dilarang untuk meyembah kekayaan sebagaimana hadis
rasulullah yang artinya “Terkutuk bagi mereka yang menjadi penyembah dinar dan terkutuk
pula bagi mereka yang menjadi penyembah dirham”.

Demikianlah ulasan mengenai halal haram yang bisa penulis sampaikan. Dari sini
kita memahami bahwa halal-haram bukan saja mengenai makanan dan minuman, akan
tetapi menyeluruh ke segala aspek kehidupan. Dan kita juga bisa memahami bahwa
pengaruh kehalalan sangat besar terhadap kualitas hubungan dan kedekatan kita dengan
Allah swt. Kedekatan itu selanjutnya akan berpengaruh terhadap terkabul atau tidaknya doa-
doa yang kita panjatkan sebagai hajat hidup kita di dunia. Selain itu pula, Allah akan
memelihara jiwa mereka yang melaksanakan gaya hidup halal baik di dunia (dengan
kesehatan), maupun di akhirat (dengan terhindarnya tubuh kita dari api neraka). 

DAFTAR PUSTAKA

1. Cahyani, Andi Intan. Fiqhi Muamalah. Cet. I; Makassar: Alauddin University Press,
2013.
2. Kementerian Agama Republik Islam. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Sinergi
Pustaka, 2012.
3. Mardani. Hukum Bisnis Syari’ah. Cet. I; Jakarta: Prenadamedia Group, 2014.
4. Misbahuddin. E‐Commerce dan Hukum Islam. Cet. I; Makassar: Alauddin University
Press, 2012.
5. Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Cet. II; Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqhi. Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003.
6. Al Ghazali, Imam. 2007. Rahasia Halal-Haram: Hakikat Batin Perintah dan Larangan
Allah. Terjemahan oleh Iwan Kurniawan. Bandung: Mizania.
7. Ali, Muchtar. 2016. Konsep Makanan Halal dalam Tinjauan Syariah: Tanggung Jawab
Produk Atas Produsen Industri Halal. Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016.
8. Sarwat, Ahmad. 2014. Halal atau Haram?Kejelasan Menuju Keberkahan. Jakarta:
Gramedia.
9. Qardhawi, Yusuf. 1993. Halal dan Haram dalam Islam. Terjemahan oleh Mu’ammal
Hamidy. Surabaya: Bina Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai