Anda di halaman 1dari 10

BAB I

LATAR BELAKANG PENELITIAN

1.1. Latar Belakang

Instansi pemerintah, baik instansi pusat maupun daerah merupakan lembaga sektor publik

yang bertugas mengemban amanat rakyat dalam bentuk pemberian pelayanan kepada

masyarakat. Dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pelayanan tersebut, instansi pemerintah

menggunakan dana APBN maupun APBD yang bersumber dari pajak, retribusi serta pungutan

lainnya yang telah dibayar oleh masyarakat. Pemerintah pusat selaku regulator memiliki

instrumen kebijakan multifungsi yang tertuang dalam APBN yang menurut Undang-Undang

nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 3 ayat 4 memiliki fungsi (i) otorisasi, (ii)

perencanaan, (iii) pengawasan, (iv) alokasi, (v) distribusi, dan (vi) stabilisasi.

Pemerintah selaku penyedia barang publik perlu menyadari fungsi sosial (public service)

yang diemban dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kinerja publik yang diselenggarakan pemerintah seringkali dianggap sebagai cerminan kualitas

penyelenggaraan birokrasi secara umum. Pengukuran kinerja instansi publik berguna untuk

menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program dan kegiatan yang dijalankan suatu

instansi pemerintah. Lebih lanjut lagi mengutip Rai, IGA (2008) pengukuran kinerja instansi

publik perlu dilakukan untuk menilai gap/penyimpangan yang terjadi antara kinerja

kenyataannya dengan kinerja yang diharapkan. Perlunya mengetahui adanya gap tersebut untuk

perbaikan kinerja instansi pemerintah. Melalui Peraturan Pemerintah nomor 8 Tahun 2006

Tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, pengukuran terhadap kinerja

instansi pemerintah dilakukan secara terintegrasi dengan sistem perencanaan strategis, sistem

penganggaran, dan sistem akuntansi pemerintah.

1
2

Rai, IGA (2008) juga menambahkan kinerja di sektor publik sulit dilakukan khususnya

terkait dengan penyediaan layanan jasa yang relatif sulit dilakukan kuantifikasi. Contohnya jasa

perbaikan mutu kesehatan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan sebagainya. Kesulitan

pengukuran ini menjadi salah satu kendala dalam pengukuran kinerja sektor publik, selain itu,

menurut Mahsun (2019), terdapat beberapa kendala pengukuran kinerja organisasi sektor publik,

antara lain: (i) tujuan organisasi bukan memaksimalkan laba, (ii) sifat output kualitatif,

intangible dan indirect, (iii) antara input dan output tidak memiliki hubungan langsung, (iv) tidak

beroperasi berdasarkan market force sehingga memerlukan instrumen pengganti pasar, (v)

berhubungan dengan kepuasan masyarakat.

Pengukuran kinerja merupakan salah satu alat bagi manajemen dalam hal ini berarti

Presiden, Menteri/Kepala Lembaga/Badan, dan para manajer menengah pada unit kerja

pemerintah dalam mengambil keputusan/kebijakan publik. Pengukuran kinerja instansi

pemerintah tidak lepas dari proses manajemen pada sektor publik. Rai, IGA (2008:10) mengutip

proses manajemen organisasi sektor publik oleh Jones dan Pendlebury (2000), bahwa kegiatan

sektor publik dimulai dari perencanaan strategis, perencanaan operasional, penganggaran,

pengedalian dan pengukuran, pengendalian dan pengukuran, dan pelaporan, analisis dan umpan

balik. Pada tahapan akhir kinerja organisasi akan dilaporkan dan dianalisis sehingga dapat

diketahui tingkat pencapaian kinerja dan penyebab tercapai atau tidaknya target yang telah

ditetapkan. Proses manajemen organisasi publik di atas terdapat hubungan yang erat antara

pengukuran kinerja dengan sistem penganggaran.

Lebih jauh lagi menurut Rai, IGA (2008: 19-20) menyebutkan aspek pengukuran kinerja

organisasi publik meliputi: (i) Input (masukan), (ii) process, (iii) Output, dan (iv) outcome untuk

menghasilkan barang dan jasa kepada stakeholder/masyarakat. Pada prinsipnya konsep input,

proses, output, dan outcome berkaitan erat dengan aspek kinerja organisasi sektor publik yakni

ekonomis, efisiensi dan efektivitas. Ekonomi merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
3

pengadaan/input, efisien merupakan indikator proses dari input menjadi outpur, dan efektivitas

berkaitan erat dengan manfaat serta dampak output dan outcome.

Dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-

Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara input (procurement) untuk dapat

melakukan proses pada instansi pemerintah pusat dimulai dari belanja barang/jasa yang

dilaksanakan kementerian/lembaga (government spending). Kementerian/lembaga sebagai Chief

Operational Officer/COO menjadi manajer dalam mengelola keuangan negara baik pada unit di

tingkat pusat maupun kewenangan pada tingkat/kantor daerah. Sedangkan Menteri Keuangan

sebagai Chief Financial Officer/CFO merupakan Bendahara Umum Negara (BUN) yang

mengatur penerimaan dan pengeluaran COO dalam APBN. Menteri Keuangan memberikan

kuasa BUN di daerah kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk

melaksanakan tugas perbendaharaan dan bendahara umum negara (BUN) di daerah. Adapun

COO pada pengelolaan APBD diberikan kepada dinas/Satuan Kerja Perangkat Daerah dan CFO

diserahkan kepada Bendahara Umum Daerah. Pengaturan lebih lanjut tata kelola APBD

ditetapkan melalui peraturan/ketentuan yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri

selaku pembina pemerintah daerah.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor

262/PMK.01/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Ditjen Perbendaharaan,

melaksanakan tugas fungsi BUN melalui penyaluran pembiayaan atas beban anggaran, serta

penatausahaan penerimaan dan pengeluaran anggaran melalui dan dari kas negara berdasarkan

peraturan perundang-undangan serta melakukan pembinaan kepada satuan kerja unit vertikal

kementerian/lembaga. Belanja atas beban APBN oleh satuan kerja vertikal kementerian lembaga

ini dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).

Salah satu alat ukur penilaian kinerja belanja atas beban APBN adalah Indikator Kinerja

Pelaksanaan Anggaran (IKPA). Indikator ini telah digunakan dalam pada seluruh satuan kerja
4

pusat dan vertikal Kementerian Lembaga yang dimulai pada tahun 2018. IKPA ditetapkan

melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 195 tahun 2018 tentang Monitoring dan Evaluasi

Pelaksanaan Anggaran Belanja Kementerian Negara/Lembaga. Dalam pasal 1 ayat (10)

Peraturan Menteri Keuangan nomor 195 tahun 2018 IKPA didefinisikan sebagai indikator yang

ditetapkan oleh Kementerian Keuangan yang berperan sebagai Bendahara Umum Negara. Yang

digunakan untuk mengatur kinerja pelaksanaan dari anggaran belanja Kementerian negara

ataupun Lembaga dari sisi kesesuaian terhadap perencanaan, efektivitas pelaksanaan anggaran,

efesiensi pelaksanaan anggaran dan kepatuhan terhadap regulasi. Dari definisi di atas, bahwa

proses penilaian kinerja instansi pemerintah pusat dilakukan terhadap kematangan perencanaan,

efisiensi, efektivitas, dan kepatuhan terhadap regulasi. Adapun komponen IKPA sendiri dibagi

menjadi 3 tahapan:

1. Kesesuaian dengan perencanaan antara lain:

2. Kepatuhan terhadap regulasi yakni:

3. Efektivitas dan Efisiensi pelaksanaan anggaran

Berdasarkan komponen IKPA di atas dapat kita lihat bahwa, kinerja pelaksanaan anggaran

mengandung prinsip ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Ketiga prinsip tersebut menurut Pusat

Informasi Pengawasan BPKP (2013) saling berkaitan dan berhubungan dengan konsep Value

For Money (VFM). Konsep ini menekankan pentingnya organisasi pemerintah untuk memenuhi

prinsip-prinsip di atas secara bersamaan, dengan menggunakan biaya yang lebih rendah dapat

menghasilkan output dan outcome yang berdampak maksimal dalam rangka pencapaian tujuan

bernegara yakni masyarakat adil dan makmur.

Selanjutnya, apabila kita berbicara mengenai organisasi pemerintah, organisasi menurut

Jones (2007) dalam Purwanto, Agus Joko dan Elu, Wilfridus B (2019) adalah alat/instrumen

yang digunakan manusia untuk mengkoordinasikan tindakannya dalam rangka mencapai tujuan

yang diharapkan. Organisasi pemerintah umumnya merupakan organisasi birokrasi, menurut


5

Webber dalam Ngadisah dan Darmanto (2016) bahwa organisasi birokrasi memiliki ciri-ciri: (i)

para staf menjalankan tugas secara impersonal, (ii) hirari jabatan yang jelas, (iii) fungsi-fungsi

jabatan ditentukan secara rinci, (iv) pejabat diangkat berdasarkan kontrak, (v) pejabat dipilih

berdasarkan kualifikasi personal, (vi) penghasilan diberikan atas dasar peraturan yang telah

ditetapkan, (vii) pos jabatannya adalah lapangan kerja pokoknya, (viii) terdapat jenjang karir,

dimana promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian dan menurut senioritas,

(ix) sering terjadi penempatan yang tidak sesuai dengan kompetensinya, dan (x) tunduk pada

disiplin dan kontrol yang seragam. Hampir setiap organisasi pemerintah memiliki karakteristik di

atas, khususnya terkait dengan aturan formal dan regulasi yang harus dipenuhi oleh organisasi

pemerintah dalam kerangka kepatuhan terhadap kebijaka atau peraturan perundang-undangan

yang ada. Namun demikian, pemerintah menyadarai bahwa, perlunya perubahan pada organisasi

pemerintah menjadi organisasi pembelajar dan organisasi modern. Organisasi pembelajar

dipandang sebagai entitas yang memiliki otak, mampu berfikir, dan berkembang, konsep ini

dikenal dengan organisasi pembelajar (learning organization). Organisasi akan terus berproses

dan adaptif terhadap perubahan kondisi lingkungannya dengan menciptakan perubahan dan

inovasi dalam produk barang/jasa yang dihasilkannya.

Menurut Purwanto, Agus Joko dan Elu, Wilfridus B (2019) terdapat 4 (empat) komponen

utama yang berpengaruh terhadap organisasi pembelajar, yakni: (i) teknologi informasi, (ii)

struktur organisasi, (iii) pengembangan sumber daya manusia, (iv) budaya organisasi. Teknologi

sangat berpengaruh terhadap organisasi, penggunaan teknologi informasi saat ini menjadi sangat

dominan dalam penyelesaian pekerjaan saat ini. Perubahan teknologi dapat berdampak pada

perubahan struktur, pengembangan SDM dan budaya organisasi itu sendiri. Berbagai sistem

yang dikembangkan oleh pemerintah saat ini sudah seharusnya memberikan kemudahan bagi

aparatur sipil negara dalam mengelola keuangan negara dan memberikan pelayanan kepada

stakeholder/masyarakat.
6

Peran teknologi dalam pengelolaan keuangan negara saat ini sangatlah dominan di tengah

era globalisasi. Pemerintah menjawab tantangan tersebut dengan membangun sistem terintegrasi

dalam pengelolaan keuangan negara, sehingga sistem tersebut handal, aman, dapat

dipertanggungjawabkan dan handal. Sistem dimaksud merupakan Financial Management

Information Sytem (FMIS) yang dinamakan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara

(SPAN) dan Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (SAKTI) serta aplikasi pendukung

lainnya. Aplikasi-aplikasi merupakan sistem yang dipergunakan oleh satuan kerja

kementerian/lembaga dalam pengelolaan keuangan negara dari hulu sampai dengan hilir guna

meminimalisir kesalahan input manual yang dahulu masih terjadi.

Dengan penggunaan aplikasi yang sedemikian modern, transparan, handal, dapat

dipertanggungjawabkan satuan kerja kementerian/lembaga dituntut untuk mengelola keuangan

negara sesuai dengan prinsip-prinsip dan asas-asas pengelolaan keuangan negara. Namun

demikian, berdasarkan hasil pengamatan penulis, masih banyak ditemukan indikator-indikator

kinerja pelaksanaan anggaran satuan kerja kementerian/lembaga yang rendah dan kurang

menunjukkan ketaatan terhadap aturan. Misalnya keterlambatan penyampaian tagihan, yang

dampaknya memang rendah terhadap kapasitas fiskal di daerah tersebut, namun apabila

dilakukan oleh banyak satuan kerja kementerian/lembaga maka dapat berdampak terhadap

terhambatnya pertumbuhan ekonomi daerah tersebut disebabkan government spending yang

rendah. Selain itu seringkali permasalahan ketidakdisiplinan satuan kerja kementerian/lembaga

berasal dari unit kerja itu sendiri, sebagai contoh permasalahan internal yang kurang harmonis

diantara pejabat perbendaharaan (Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen,

Bendahara Pengeluaran, Pejabat Penandatangan SPM) yang berdampak terhambatnya

penyerapan belanja pada satuan kerja.

Penelitian terdahulu yang menghubungkan kinerja pemerintah dengan dimensi-dimensi

organisasi adalah Pandey (2014) dalam jurnalnya yang berjudul Pengaruh Kualitas Sumber Daya
7

Manusia, Sarana Pendukung Dan komitmen Pimpinan Terhadap Kinerja Satuan Kerja Perangkat

daerah (SKPD) Dalam Penyusunan Laporan Keuangan SKPD Di lingkungan Pemerintah

Provinsi Sulawesi Utara. Pandey (2014). Penelitian menggunakan penelitian kuantitatif dengan

data primer adalah kuesioner yang disebarkan kepada seluruh responden yang terkait dengan

penyusunan laporan dan data yang bersumber dari literatur kepustakaan. Persamaan dengan

penelitian ini adalah beberapa komponen organisasi yang dapat meningkatkan kinerja

pemerintah. Sedangkan perbedaannya adalah, ruang lingkup penilaian kinerja yang diukur dalam

penelitian tersebut adalah kinerja penyusunan laporan keuangan SKPD.

Penelitian yang dilakukan oleh Etta Mamang Sangaji (2009) dengan judul Pengaruh Budaya

Organisasi Dan Komitmen Organisasional Pimpinan Terhadap Kepuasan Kerja Dan Dampaknya

Pada Kinerja. Penelitian menggunakan metode kuantitatif dengan teknik pengumpulan data

utama adalah menggunakan teknik angket. Persamaan dengan penelitian ini adalah dimensi

organisasi dan komitmen organisasional pimpinan dan dampaknya terhadap kinerja.

Selain itu, terdapat juga penelitian terdahulu yang disusun oleh Elsa Ardita (2017) yang

mengangkat tema Pengaruh Transparansi, Akuntabilitas, Dan Pengawasan Terhadap Kinerja

Anggaran Berkonsep Value For Money Pada Instansi Pemerintah Di Kabupaten Ogan Ilir.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif asosiatif kausal dengan sumber data primer

melalui pengisian kuesioner dan wawancara langsung. Persamaannya adalah pada aspek

pengukuran kinerja pemerintah meskipun dimensi yang digunakan adalah berbeda, kinerja

anggaran pada penelitian Elsa Ardita (2017) menitikberatkan hanya pada indikator kinerja Value

For Money (VFM) yakni ekonomi, efisiensi dan efektivitas.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Fiva Fitriana (2020) yang berjudul Optimalisasi

Rencana Penarikan Dana Dan Tingkat Realisasi Anggaran Di Kantor Pelayanan Perbendaharaan

Negara Blitar dilakukan dengan menggunakan deskriptif kualitatif dengan data primer meliputi

wawancara langsung dan data sekunder adalah studi dokumen pada objek penelitian. Persamaan
8

dengan penelitian ini adalah tingkat realisasi anggaran dengan menggunakan rumusan Indikator

Kinerja Pelaksanaan Anggaran. Sedangkan perbedaannya adalah metode penelitian yang

dilakukan pada penelitian tersebut adalah kualitatif, sedangkan rencana penelitian ini

menggunakan penelitian kuantitatif.

Berdasarkan uraian di atas dan penelitian-penelitian terdahulu di atas terdapat permasalahan

atau fenomena yang menurut penulis cukup siginifikan dan dapat berdampak pada pengelolaan

keuangan negara secara umum dan khususnya pada KPPN Sijunjung. Pengelolaan keuangan

negara yang transparan dan akuntabel diyakini dapat mendorong kinerja satuan kerja

kementerian/lembaga dalam memberikan layanan barang/jasa kepada masyarakat semakin

meningkat dan membantu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran

masyarakat. Oleh karena hal tersebut, penulis ingin mengetahui seberapa besar komitmen

pimpinan, budaya organisasi, teknologi informasi, dan kualitas SDM berpengaruh terhadap

kinerja satuan kerja melalui pengamatan langsung pada satuan kerja wilayah bayar KPPN

Sijunjung, dengan judul penelitian yakni “Hubungan antara Komitmen Pimpinan, Teknologi

Informasi, Kualitas SDM, dan Budaya Organisasi terhadap Kualitas Kinerja Pelaksanaan

Anggaran Satuan Kerja (studi empiris pada Satuan Kerja Kementerian/Lembaga Wilayah

Bayar KPPN Sijunjung)”.

I.2. Perumusan Masalah

Penelitian ini berusaha untuk menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah komitmen pimpinan berpengaruh terhadap kualitas kinerja pelaksanaan anggaran

satuan kerja.

2. Apakah teknologi informasi berpengaruh terhadap kualitas kinerja pelaksanaan anggaran

satuan kerja.
9

3. Apakah kualitas sumber daya manusia berpengaruh terhadap kualitas kinerja pelaksanaan

anggaran satuan kerja.

4. Apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap kualitas kinerja pelaksanaan anggaran

satuan kerja.

5. Apakah komitmen pimpinan, teknologi informasi, kualitas SDM, dan budaya organisasi

berpengaruh secara bersama-sama atau sebagian terhadap kualitas kinerja pelaksanaan

anggaran satuan kerja.

1.3 Tujuan Penelitian

Secara rinci, tujuan penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yakni:

1. Mengetahui seberapa besar komitmen pimpinan berpengaruh terhadap kualitas kinerja

pelaksanaan anggaran satuan kerja.

2. Mengetahui seberapa besar teknologi informasi berpengaruh terhadap kualitas kinerja

pelaksanaan anggaran satuan kerja.

3. Mengetahui seberapa besar kualitas sumber daya manusia berpengaruh terhadap kualitas

kinerja pelaksanaan anggaran satuan kerja.

4. Mengetahui seberapa besar budaya organisasi berpengaruh terhadap kualitas kinerja

pelaksanaan anggaran satuan kerja.

5. Mengetahui seberapa besar komitmen pimpinan, teknologi informasi, kualitas sdm, dan

budaya organisasi berpengaruh secara bersama-sama atau sebagian terhadap kualitas kinerja

pelaksanaan anggaran satuan kerja.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya mewujudkan tata

pemerintahan yang baik (good governance) pada instansi pemerintahan khususnya satuan kerja
10

kementerian/lembaga pada wilayah bayar KPPN Sijunjung. Adapun kontribusi yang dapat

diberikan, antara lain:

1. Manfaat Teoritis.

a. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya

guna menguji hipotesis yang lebih baik.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan referensi lebih lanjut pada literatur

administrasi publik, khususnya mengenai evaluasi kinerja pelaksanaan anggaran

organisasi sektor publik.

2. Manfaat praktis.

a. Bagi satuan kerja kementerian/lembaga wilayah bayar KPPN Sijunjung dapat menjadi

motivasi agar meningkatkan kualitas kinerja pelaksanaan anggarannya yang dapat

berdampak terhadap pertumbuhan dan pembangunan di wilayah Kab. Sijunjung, Kab.

Dharmasraya, dan Kota Sawahlunto. Selain itu, diharapkan peningkatan kinerja

pelaksanaan anggaran satuan kerja mampu menciptakan pengelolaan keuangan negara

yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel.

b. Bagi KPPN Sijunjung, hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi

pelaksanaan pembinaan dan bimbingan kepada satuan kerja kementerian/lembaga

wilayah bayar KPPN Sijunjung sehingga sejalan dan terarah kepada upaya penerapan

prinsip-prinsip good governance, serta perbaikan dari sisi kinerja pelayanan dan

penggunaan standar layanan unggulan kepada satuan kerja.

Anda mungkin juga menyukai