Anda di halaman 1dari 23

ANGGARAN BERBASIS KINERJA DAN POLITIK ANGGARAN

SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Dalam proses manajemen organisasi, anggaran mempunyai peran yang penting
karena mengungkapkan apa yang akan akan dilakukan di masa mendatang. Pemikiran
strategis di setiap organisasi merupakan proses di mana manajemen berpikir tentang
pengintegrasian aktivitas ke arah tujuan organisasi. Hal ini juga berlaku bagi sektor
publik di Indonesia, dimana penganggaran merupakan salah satu proses yang penting
untuk menentukan apa yang akan dilaksanakan oleh pemerintah di tahun mendatang dan
menentukan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan untuk menjalankan programprogram yang direncanakan. Sebelum berlakunya sistem Anggaran Berbasis Kinerja
(ABK), metode penganggaran yang digunakan di Indonesia adalah metoda tradisional
atau item line budget. Cara penyusunan anggaran ini tidak didasarkan pada analisa
rangkaian kegiatan yang harus dihubungkan dengan tujuan yang telah ditentukan,
namun lebih dititikberatkan pada kebutuhan untuk belanja/pengeluaran dan sistem
pertanggung jawabannya tidak diperiksa dan diteliti apakah dana tersebut telah
digunakan secara efektif dan efisien atau tidak. Tolok ukur keberhasilan hanya
ditunjukkan dengan adanya keseimbangan anggaran antara pendapatan dan belanja
namun jika anggaran tersebut defisit atau surplus berarti pelaksanaan anggaran tersebut
gagal. Dalam perkembangannya, muncullah sistematika anggaran kinerja yang diartikan
sebagai suatu bentuk anggaran yang sumber-sumbernya dihubungkan dengan hasil dari
pelayanan.
Di dalam penganggaran sektor publik tidak bisa dilepaskan dari kepentingan
politik. Karena penganggaran di sektor publik melibatkan institusi politik. Penganggaran di sektor publik melibatkan peran masyarakat melalui legislatif yang akan
berusaha memperjuangkan keinginan konstituen dan juga keterlibatan eksekutif dalam
proses penganggaran, dimana eksekutif juga akan berusaha memperjuangkan hal-hal
strategis yang menjadi tujuannya. Disinilah terkadang terjadi kompromi yang bisa
berdampak positif maupun negatif bagi pembangunan.

Dari uraian diatas, makalah ini mencoba untuk membahas mengenai


penganggaran terutama mengenai ABK dan penerapannya di Indonesia juga
menjelaskan tentang politik anggaran.
TEORI PENGANGGARAN PUBLIK
Pengertian Anggaran Publik
National committee on Governmental Accounting (NGGA), yang saat ini telah
diubah menjadi Govermental Accounting Standards Board (GASB), mendefinisikan
anggaran sebagai berikut:
.....rencana operasi keuangan, yang mencakup estimasi pengeluaran yang diusulkan,
dan sumber pendapatan yang diharapkan untuk membiayainya dalam periode waktu
tertentu.
Sedangkan pengertian anggaran menurut pendapat beberapa ahli dan UndangUndang (UU) sebagai berikut:
1. Menurut John F. Due
Anggaran dalam pengertian umum adalah perencanaan keuangan untuk periode
tertentu. Oleh karena itu anggaran pemerintah adalah laporan usulan pengeluaran
dan penerimaan untuk periode mendatang, beserta data mengenai data aktual
pengeluaran dan penerimaan untuk periode sekarang dan periode sebelumnya.
2.

Menurut J. Burkhead dan J. Minar


Anggaran adalah rencana penerimaan pemerintah untuk satu tahun mendatang
yang harus dihubungkan dengan rencana proyek-proyek untuk jangka waktu yang
lebih lama.

3.

Menurut M. Soebagio
Anggaran negara adalah suatu rencana yang diperlukan untuk membiayai segala
kegiatannya, begitu pula biaya yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan
disertai taksiran besarnya penerimaan yang didapat dan digunakan
membelanjakan pengeluaran tersebut.

4.

Menurut M. Suparmoko
Anggaran adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang
penerimaan dan pengeluaran negara yang diharapkan dalam jangka waktu satu
tahun.

5.

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003


Anggaran dalam hal ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara selanjutnya
disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dari beberapa definisi di atas dapat diperoleh suatu persamaan bahwa anggaran
pada sektor publik merupakan suatu rencana untuk periode mendatang, dengan periode
umumnya satu tahun, yang berisi tentang pengeluaran yang akan dilakukan dan
penerimaan yang diharapkan untuk membiayai pengeluaran tersebut.
Di dalam penyusunan anggaran publik umumnya menyesuaikan dengan
peraturan yang berlaku. Di Indonesia penyusunan anggaran mengacu kepada empat
paket UU Keuangan yaitu, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Selain itu juga
perlu memperhatikan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Perlunya dibuat anggaran pada sektor publik karena anggaran dapat berfungsi
sebagai: hasil akhir dari proses penyusunan anggaran; cetak biru aktivitas yang akan
dilaksanakan di masa mendatang; alat komunikasi internal yang menghubungkan
berbagai unit kerja dan mekanisme kerja antaratasan serta bawahan; alat pengendalian
unit kerja; alat motivasi dan persuasi tindakan yang efektif serta efisien dalam
pencapaian visi organisasi; instrumen politik; instrumen kebijakan fiskal (Bastian,
2010).
Tujuan Anggaran Sektor Publik
Tujuan utama dari pentingnya anggaran pada sektor publik yaitu sebagai alat
perencanaan, pengendalian dan administrasi, dan fungsi pelaporan dan evaluasi (Granof,
2005).
Perencanaan terdiri dari proses menentukan aktivitas yang akan dilakukan
sumber daya yang diperlukan, dan alokasi atas sumber daya. Anggaran sebagai alat
perencanaan dalam sektor publik harus memperhatikan secara spesifik jenis, kuantitas,
dan kualitas atas pelayanan yang akan diberikan kepada konstituen, memperkirakan
biaya pelayanan, dan menentukan bagaimana membayar biaya atas pelayanan. Selain itu
anggaran bertujuan sebagai alat kontrol dan administrasi karena anggaran membantu

meyakinkan bahwa sumber daya yang diperoleh dan dibebankan sesuai dengan yang
direncanakan. Manajer menggunakan anggaran untuk memonitor aliran sumber daya
dan penyesuaian operasional yang diperlukan, sedangkan legislatif menggunakan
anggaran untuk memaksakan anggaran belanja yang dimiliki eksekutif agar sejalan
dengan yang telah ditentukan. Terakhir, anggaran sebagai dasar laporan akhir periode
dan evaluasi. Perbandingan antara anggaran dan aktual mengungkapkan apakah
penerimaan dan pengeluaran yang dimandatkan dilakukan. Anggaran juga dapat
memfasilitasi penilaian akan efisiensi dan efektivitas (Granof, 2005).
Prinsip-Prinsip Anggaran Publik
Prinsip penganggaran yang sangat terkenal adalah apa yang dikenal dengan
The Three Es yaitu Ekonomis, Efisien, dan Efektif. Ekonomis berkaitan dengan
input, efektivitas hanya berkaitan dengan output, dan efisiensi berkaitan antara input
dan ouput (Jones dan Pendlebury,1988, dalam Bastian, 2010).
Adapula prinsip penganggaran dari konsep good governance yang
menekankan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi (Agree, 2000,
dalam Bastian, 2010). Sedangkan menurut Shafritz dan Russel (1997) dalam Bastian
(2010) prinsip penganggaran sudah mengacu pada perkembangan terakhir dalam
masyarakat, yaitu demokratis, adil, transparan, bermoral tinggi, berhati-hati, dan
akuntabel. Prinsip-prinsip ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.

Demokratis, mengandung makna bahwa anggran, baik yang berkaitan dengan


pendapatan maupun yang berkaitan dengan pengeluaran harus ditetapkan melalui
suatu proses yang mengikutsertakan sebanyak mungkin unsur masyrakat, selain

2.

dibahas dan mendapatkan persetujuan dari legislatif.


Adil, anggaran negara harus diarahkan secara optimal bagi kepentingan orang
banyak dan secara proporsional dialikasikan ke semua kelompok dalam masyarakat

3.

sesuai dengan kebutuhannya.


Transparan, proses perencanaan, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban anggaran
negara yang harus diketahui tidak saja oleh wakil rakyat, tetapi juga masyarakat

4.

umum.
Bermoral tinggi, pengelolaan anggaran negara berpegang pada peraturan
perundangan yang berlaku, serta senantiasa mengacu pada etika dan moral yang
tinggi.

5.

Berhati-hati, pengelolaan anggaran negara juga harus dilakukan secara berhatihati, karena posisi sumber daya jumlahnya terbatas dan mahal harganya. Hal ini

6.

semakin terasa penting jika dikaitkan dengan unsur hutang organisasi.


Akuntabel, pengelolaan keuangan organisasi harus dapat dipertanggungjawabkan
setiap saat secara internal maupun eksternal kepada rakyat.

SISTEM PENGANGGARAN PUBLIK


Penganggaran merupakan suatu mekanisme birokrasi dalam mengalokasikan
sumber daya dalam bentuk barang dan jasa ke masyarakat. Dalam sejarahnya, sistem
penganggaran telah berkembang mengikuti tuntutan masyarakat dalam konteks sosial
dan politik tertentu. Beberapa jenis sistem penganggaran antara lain:
1.

Line Item Budgeting/ Traditional Budgeting, adalah penyusunan anggaran yang


didasarkan pada dan dari mana dana berasal (pos-pos penerimaan) dan untuk apa

2.

dana tersebut digunakan (pos-pos pengeluaran).


Incremental Budgeting, adalah sistem anggaran belanja dan pendapatan yang
memungkinkan revisi selama tahun berjalan, sekaligus sebagai dasar penentuan

3.

usulan anggaran periode tahun yang akan datang.


Planning Programming Budgeting System, adalah proses perencanaan, pembuatan
program, dan penganggaran yang terkait dalam suatu sistem sebagai kesatuan yang
bulat dan tidak terpisah, yang didalamnya terkandung identifikasi tujuan organisasi

4.

serta permasalahan yang mungkin timbul.


Zero Based Budgeting, merupakan sistem anggaran yang didasarkan pada

5.

perkiraan kegiatan, bukan pada apa yang dilakukan di masa lalu.


Performance Budgeting, adalah sistem penganggaran yang berorientasi pada
output organisasi dan berkaitan sangat erat dengan visi, misi, serta rencana strategis

6.

organisasi.
Medium Term Budgeting Framework, adalah kerangka strategi tentang anggaran
belanja unit organisasi. Kerangka ini melimpahkan tanggung jawab yang lebih
besar kepada unit organisasi menyangkut penetapan alokasi dan penggunaan
sumber dana pembangunan.
Dari beberapa jenis sistem penganggaran di atas, makalah ini akan lebih spesifik

membahas mengenai performance budgeting atau Anggaran Berbasis Kinerja (ABK)


yang saat ini telah diterapkan dalam sistem penganggaran di Indonesia.
Anggaran Berbasis Kinerja

Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) diperkenalkan pertama kali di Amerika


Serikat pada tahun 1949, namun dalam prakteknya mengalami kegagalan (SchiavoCampo dan Tommasi, 1999 dalam Bastian 2010). Pada reformasi anggaran yang
dilakukan pada tahun 1990-an, beberapa karakteristik penting dari ABK masih dianggap
bermanfaat, dan kemudian dikembangkan bersama dalam konteks reformasi
administrasi publik.
ABK ini juga merupakan perubahan paradigma dalam manajemen di sektor
publik dari sistem manajemen yang tradisional yang terkesan kaku, birokratis dan
hirarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih
mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan perubahan yang kecil dan sederhana.
Perubahan ini juga mengubah peran pemerintah terkait hubungan pemerintah dengan
masyarakat. Paradigma inilah yang dikenal dengan New Public Management (NPM)
(Mardiasmo, 2010).
ABK berorientasi pada output organisasi dan berkaitan dengan visi, misi, serta
rencana strategis organisasi. ABK mengalokasikan sumber daya ke program, bukan ke
unit organisasi semata dan memakai pengukuran output sebagai indikator kinerja
organisasi. Disa dikatakan, ABK adalah teknik penyusunan anggaran berdasarkan
pertimbangan beban kerja (work load) dan biaya unit (unit cost) dari setiap kegiatan
yang terstruktur. Anggaran dengan penggunaan ABK dianggap sebagai pencerminan
program kerja.
Tujuan dari penetapan pengukuran output (output measurement) yang dikaitkan
dengan biaya adalah mengukur tingkat efisiensi dan efektivitas. Karena itu ABK dapat
menjadi alat untuk menjalankan prinsip akuntabilitas karena yang diterima oleh
masyarakat pada akhirnya adalah output dari suatu proses kegiatan organisasi. Ukuranukuran kinerja pada sistem ABK juga berguna bagi legislatif ketika menjalankan fungsi
pembentukan kebijakan, fungsi penetapan anggaran, dan fungsi pelaksanaan
pengawasan. Bagi eksekutif, manajemen puncak bertugas melakukan pengendalian
manajemen dan pengendalian kualitas yang dapat diterapkan pada sistem insentif
pegawai.
Dari penjelasan tersebut dapat kita lihat bahwa karakteristik utama dari ABK
adalah:

mengandung

tiga

unsur

pokok

yaitu

pengeluaran

organisasi

yang

diklasifikasikan menurut program dan kegiatan, pengukuran kinerja, dan pelaporan

program; lebih fokus pada pengukuran kinerja bukan pada pengawasan; setiap kegiatan
harus dilihat dari sisi efisiensi dan maksimalisasi output; terakhir, bertujuan
menghasilkan informasi biaya dan kinerja yang dapat digunakan untuk penyusunan
target dan evaluasi pelaksanaan kerja.
Agar ABK dapat dioperasionalkan maka ABK memerlukan instrumen sebagai
berikut:
1.
2.

Indikator kinerja, merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur kinerja;


Standar biaya, adalah satuan biaya yang ditetapkan baik berupa standar biaya
masukan maupun standar biaya keluaran sebagai acuan perhitungan kebutuhan

3.

anggaran;
Evaluasi kinerja, merupakan penilaian terhadap capaian sasaran kinerja,
konsistensi perencanaan dan implementasi, serta realisasi penyerapan anggaran.
Keunggulan-keunggulan dari ABK yaitu: memungkinkan pendelegasian

wewenang dalam pengambilan keputusan; merangsang partisipasi dan memotivasi unit


kerja melalui proses pengusulan dan penilaian anggaran yang bersifat faktual;
membantu fungsi perencanaan dan mempertajam pmbuatan keputusan; memungkinkan
alokasi dana secara optimal dengan didasarkan pada efisiensi unit kerja; dan terakhir
menghindarkan pemborosan. Sedangkan kelemahan-kelemahannya yaitu: tidak semua
kegiatan dapat distandardisasikan; tidak semua kinerja diukur secara kuantitatif; dan
tidak semua jelas mengenai siapa pengambil keputusan dan siapa yang menanggung
beban keputusan tersebut.
Karakteristik dari ABK sangat bertolak belakang dengan sistem penganggaran
tradisional yang hanya melakukan pengendalian keuangan sangat berorientasi pada
input organisasi, penetapannya melalui pendekatan inkremental, dan menggunakan
kemampuan menyerap anggaran sebagai salah satu indikator dalam mengukur
keberhasilan organisasi.
Dengan penggunaan ABK maka tidak ada lagi pengkategorian anggaran ke
dalam anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Setiap program dapat dibiayai dari
dua kategori tersebut.
PELAKSANAAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA
Sebelum kita membahas pelaksanaan ABK terlebih dahulu kita harus
mengetahui mengenai siklus anggaran. Siklus anggaran adalah masa atau jangka waktu

mulai saat anggaran disusun sampai dengan saat perhitungan anggaran disahkan dengan
undang-undang. Siklus anggaran berbeda dengan tahun anggaran. Tahun anggaran
adalah masa satu tahun untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan anggaran atau
waktu di mana anggaran tersebut dipertanggungjawabkan. Siklus anggaran bisa
mencakup tahun anggaran atau melebihi tahun anggaran karena pada dasarnya,
berakhirnya suatu siklus anggaran diakhiri dengan perhitungan anggaran yang disahkan
oleh UU. Siklus anggaran terdiri dari beberapa tahap yaitu: tahap penyusunan anggaran;
tahap pengesahan anggaran; tahap pelaksanaan anggaran; tahap pegawasan pelaksanaan
anggaran; tahap pengesahan perhitungan anggaran.
Sebelum menyusun ABK harus didahului dengan menyusun perencanaan
strategik (Renstra). Renstra harus disusun secara obyektif dan melibatkan seluruh
komponen yang ada di dalam pemerintahan dan masyarakat. Untuk meyakini sistem
akan berjalan dengan baik maka harus ditentukan standar harga, tolok ukur kinerja
dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundangundangan. Pengukuran kinerja (tolok ukur) digunakan untuk menilai
keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan sesuai dengan
sasaran dan tugas yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi
pemerintah pusat/daerah. Salah satu aspek yang diukur dalam penilaian kinerja
pemerintah adalah aspek keuangan berupa ABK.
Untuk melakukan suatu pengukuran kinerja perlu ditetapkan indikator-indikator
terlebih dahulu antara lain indikator masukan (input) berupa dana, sumber daya manusia
dan metode kerja. Agar input dapat diinformasikan dengan akurat dalam suatu
anggaran, maka perlu dilakukan penilaian terhadap kewajarannya. Dalam menilai
kewajaran input dengan keluaran (output) yang dihasilkan, peran Analisa Standar Biaya
(ASB) sangat diperlukan. ASB adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya
yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan.
SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan
urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.
Pelayanan dasar yang dimaksud dalam SPM adalah jenis pelayanan publik yang
mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial,
ekonomi dan pemerintahan.

Langkah-langkah yang harus dilakukan suatu organisasi dalam melaksanakan


ABK meliputi:
1.

Menentukan Visi dan misi (yang mencerminkan strategi organisasi), tujuan,


sasaran, dan target.
Penentuan visi, misi, tujuan, sasaran, dan target merupakan tahap pertama yang
harus ditetapkan suatu organisasi dan menjadi tujuan tertinggi yang hendak dicapai
sehingga setiap indikator kinerja harus dikaitkan dengan komponen tersebut. Oleh
karena itu, penentuan komponen-komponen tidak hanya ditentukan oleh
pemerintah tetapi juga mengikutsertakan masyarakat sehingga dapat diperoleh
informasi mengenai kebutuhan publik.

2.

Menentukan Indikator Kinerja.


Indikator Kinerja adalah ukuran kuantitatif yang menggambarkan tingkat
pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu,
indikator kinerja harus merupakan suatu yang akan dihitung dan diukur serta
digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam
tahapan perencanaan, tahap pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan
bermanfaat (berfungsi). Indikator kinerja meliputi: Masukan (Input) adalah
sumber daya yang digunakan dalam suatu proses untuk menghasilkan keluaran
yang telah direncanakan dan ditetapkan sebelumnya. Indikator masukan meliputi
dana, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, data dan informasi lainnya yang
diperlukan; Keluaran (Output) adalah sesuatu yang terjadi akibat proses tertentu
dengan menggunakan masukan yang telah ditetapkan. Indikator keluaran dijadikan
landasan untuk menilai kemajuan suatu aktivitas atau tolok ukur dikaitkan dengan
sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dengan baik dan terukur; Hasil (Outcome)
adalah suatu keluaran yang dapat langsung digunakan atau hasil nyata dari suatu
keluaran. Indikator hasil adalah sasaran program yang telah ditetapkan; Manfaat
(Benefit) adalah nilai tambah dari suatu hasil yang manfaatnya akan nampak
setelah beberapa waktu kemudian. Indikator manfaat menunjukkan hal-hal yang
diharapkan dicapai bila keluaran dapat diselesaikan dan berfungsi secara optimal.
Dampak (Impact) pengaruh atau akibat yang ditimbulkan oleh manfaat dari suatu
kegiatan. Indikator dampak merupakan akumulasi dari beberapa manfaat yang
terjadi, dampaknya baru terlihat setelah beberapa waktu kemudian.

3.

Evaluasi dan pengambilan keputusan terhadap pemilihan dan prioritas


program.
Kegiatan ini meliputi penyusunan peringkat-peringkat alternatif dan selanjutnya
mengambil keputusan atas program/kegiatan yang dianggap menjadi prioritas.
Dilakukannya pemilihan dan prioritas program/kegiatan mengingat sumber daya
yang terbatas.

4.

Analisa Standar Biaya (ASB)


ASB merupakan standar biaya suatu program/kegiatan sehingga alokasi anggaran
menjadi lebih rasional. Dilakukannya ASB dapat meminimalisir kesepakatan antara
eksekutif dan legislatif untuk melonggarkan alokasi anggaran pada tiap-tiap unit
kerja sehingga anggaran tersebut tidak efisien. Dalam menyusun ABK perlu
memperhatikan prinsip-prinsip penganggaran, perolehan data dalam membuat
keputusan anggaran, siklus perencanaan anggaran, struktur APBN/APBD, dan
penggunaan ASB. Dalam menyusun ABK yang perlu mendapat perhatian adalah
memperoleh data kuantitatif dan membuat keputusan penganggarannya.
Perolehan data kuantitatif bertujuan untuk memperoleh informasi dan pemahaman
berbagai program yang menghasilkan output dan outcome yang diharapkan,
menjelaskan

bagaimana

manfaat

setiap program bagi rencana strategis.

Berdasarkan data kuantitatif kemudian dilakukan pemilihan dan prioritas program


yang melibatkan tiap level dari manajemen pemerintahan.
Dalam menetapkan ASB harus wajar bukan markup sehingga anggaran atas
program/kegiatan yang dibuat menjadi berkualitas dan efisien karena adanya
pembandingan (benchmarking) biaya per unit setiap output dan diperoleh praktekpraktek terbaik (best practices) dalam desain aktivitas.
Dalam rangka penyusunan analisis biaya diperlukan prosedur-prosedur yang dapat
menjawab pertanyaan berikut :

Berapa biaya yang harus dibebankan pada suatu pelayanan sehingga dapat
menutupi semua biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan pelayanan
tersebut?

Apakah lebih efektif jika mengontrakkan pelayanan kepada pihak luar daripada

melaksanakannya sendiri?
Jika volume pelayanan ditingkatkan/diturunkan, apakah berpengaruh pada
biaya yang akan dikeluarkan? Biaya apa yang akan berubah dan berapa banyak

5.

perubahannya?
Biaya pelayanan apa saja yang harus dibayar tahun ini bila dibandingkan

dengan tahun selanjutnya?


Formulasi Analisis Standar Belanja
Untuk melakukan perhitungan ASB, unit kerja terkait perlu terlebih dahulu
mengidentifikasi belanja yang terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak
langsung. Total biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan program/ kegiatan
merupakan gabungan dari kedua biaya tersebut.
Karakteristik dari belanja langsung yaitu input (alokasi belanja) yang ditetapkan
dapat diukur dan diperbandingkan dengan output yang dihasilkan. Sedangkan
belanja tidak langsung, pada dasarnya merupakan belanja yang digunakan secara
bersama-sama (common cost) untuk melaksanakan seluruh program atau kegiatan
unit kerja. Oleh karena itu dalam penghitungan ASB, anggaran belanja tidak
langsung dalam satu tahun anggaran harus dialokasikan ke setiap program atau
kegiatan yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Pengalokasian belanja tidak langsung dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
alokasi rata-rata sederhana dan alokasi bobot belanja langsung.
Alokasi rata-rata sederhana yaitu metode alokasi anggaran belanja tidak langsung
ke setiap kegiatan non investasi dengan cara membagi jumlah anggaran yang
dialokasikan dengan jumlah kegiatan non investasi. Sedangkan Alokasi bobot
belanja langsung yaitu metode alokasi anggaran belanja tidak langsung ke setiap
kegiatan non investasi berdasarkan besarnya bobot (nilai relatif) belanja langsung
dari kegiatan non investasi yang bersangkutan.
Program atau kegiatan yang memperoleh alokasi belanja tidak langsung adalah
program atau kegiatan non investasi. Program atau kegiatan investasi yang
menambah aset daerah tidak menerima alokasi anggaran tahunan belanja tidak
langsung, karena output program atau kegiatan investasi adalah berupa aset
pusat/daerah yang dimanfaatkan lebih dari satu tahun anggaran. ASB merupakan

hasil penjumlahan belanja langsung setiap program atau kegiatan dengan belanja
tidak langsung yang dialokasikan pada program atau kegiatan yang bersangkutan.
Perhitungan ASB tidak dapat distandarisasi antara propinsi/kabupaten/kota dengan
propinsi/kabupaten/kota lainnya karena standarisasi harga antara suatu tempat
dengan tempat lainnya dapat berbeda. Misalnya harga obat di Jawa Barat dengan
Papua sangat berbeda. Demikian juga, tarif perjalanan dinas, honor-honor dll dapat
berbeda antara Jawa Barat dan Papua.
POLITIK PENGANGGARAN DI INDONESIA
Pendahuluan
Pernahkah kita berpikir bahwa banyak keputusan yang berpengaruh terhadap kehidupan
kita sehari-hari dibuat melalui proses politik? Semuanya, mulai dari sistem pendidikan
jaringan jalan, hingga harga-harga barang kebutuhan kita ditentukan oleh proses politik.
Politik juga mempunyai kendali terhadap besaran pajak yang harus kita bayar. Politik
juga menentukan siapa yang mendapatkan dukungan dari pemerintah agar bisa mencari
penghasilan sebanyak-banyaknya, atau bisnis yang seperti apa yang menerima bantuan
berupa subsidi dari pemerintah.
Proses politik di sebuah negara didasari oleh perundang-undangan yang disusun oleh
konstitusi negara tersebut. Indonesia sebagai negara demokratis, memberikan hak
kepada masyarakatnya untuk mengusulkan atau memilih Kepala Pemerintahan maupun
wakilnya di lembaga legislatif secara langsung melalui Pemilihan Umum dengan cara
voting. Hasil dari proses tersebut tergantung pada hasil voting serta perilaku para
politisi, para kandidat Pemilihan Umum, kelompok dengan kepentingan tertentu, dan
birokrat. Proses politik lebih dari sekedar penghitungan suara dan memutuskan aturan
untuk mencapai kesepakatan, akan tetapi agenda aksi politik sudah disiapkan oleh partai
politik, yang mana mereka akan memberikan informasi-informasi (janji kampanye) agar
para pemilih memberikan suaranya untuk mereka.
Teori public choice mempelajari bagaimana keputusan untuk mengalokasikan dan
sumber daya dan mendistribusikan pendapatan dilakukan melalui sistem politik suatu
negara. Proses politik, tentu saja, dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain ekonomi,

seperti ideologi. Namun, dari sudut pandang ekonomi, tujuan politik adalah untuk
menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi warga negara. Teori public choice
meneliti bagaimana proses politik digunakan untuk menentukan jumlah barang dan jasa
yang disediakan oleh pemerintah (Hyman, 2010).
Pemilihan umum melibatkan interaksi politik dari banyak orang sesuai dengan aturan
yang telah ditetapkan. Proses pemilihan umum menghasilkan Kepala Pemerintahan
(Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota) dan wakil rakyat di lembaga legislatif (DPR,
DPRD, DPD). Penyediaan barang publik dilakukan oleh institusi politik (anggaran
diusulkan eksekutif dan harus disetujui oleh legislatif) melalui proses penganggaran
yang pada akhirnya menghasilkan dokumen anggaran yang berisi antara lain kuantitas
barang publik yang akan disediakan serta biayanya. Pemerintah menyediakan barang
dan jasa bagi masyarakat sebagian besar dibiayai oleh pajak. Warga negara yang
mendukung pihak yang kalah pada saat pemilihan umum, harus mematuhi hasil pemilu
serta semua konsekuensi yang ditimbulkan dari proses politik tersebut termasuk
kebijakan anggaran.
Penganggaran telah menjadi fokus utama bagi para pengambil kebijakan baik oleh
eksekutif maupun legislatif di tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Pada tingkat
pemerintah daerah, terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
pemerintah daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan pusat dan daerah, membawa perubahan fundamental dalam tata pemerintahan
dan hubungan keuangan, sekaligus membawa perubahan penting dalam pengelolaan
keuangan daerah.
Dengan terbitnya UU tersebut, pemerintah daerah memiliki wewenang antara lain untuk
mengelola keuangan daerah dimana dalam proses pengelolaan tersebut pemerintah
daerah memiliki kesempatan untuk menerapkan proses perencanaan dan penganggaran
partisipatif, penyusunan anggaran berbasis kinerja, dan alokasi anggaran sebagian besar
untuk kepentingan masyarakat. Akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah khususnya
penganggaran merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah. Hal ini
disebabkan karena pengelolaan keuangan daerah melibatkan sumber pendapatan yang
sebagian besar dari rakyat, dan terkait juga dengan pemenuhan kebutuhan rakyat atas
barang publik.

Anggaran merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memahami kebijakan
pengelolaan keuangan daerah. Namun proses penganggaran tidak dapat dilepaskan dari
aspek politik dan konflik kepentingan, sehingga sering kali terlihat bahwa anggaran
pemerintah hanya memihak pada pihak-pihak tertentu saja. Politik anggaran merupakan
bagian yang integral dari upaya untuk menemukan suatu cara yang baik bagi
pengelolaan anggaran agar bermanfaat secara sosial bagi rakyat (Pratiwi).
Proses penyusunan anggaran diterbitkan oleh pemerintah setiap tahun, yang mana di
dalamnya memuat tentang mekanisme atau prosedur-prosedur yang harus dilakukan
pada saat proses penyusunan anggaran. Namun proses tersebut hanya sebagai formalitas
dan jauh dari nilai-nilai keadilan serta good governance (Pratiwi).
Penganggaran pada dasarnya adalah masalah pembuatan berbagai pilihan atau prioritas
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu (Dye, 1972). Penyusunan
anggaran seharusnya mencerminkan pilihan-pilihan yang rasional, ekonomis dan tidak
dipengaruhi oleh politik. Namun kenyataannya tidak demikian, anggaran justru dapat
dikategorikan sebagai aktivitas politik, sehingga proses serta hasil dari penganggaran
merupakan produk dari politik.
Menurut Wildavsky dan Caiden (2004), penganggaran merupakan proses dimana
berbagai kelompok kepentingan mengekspresikan keinginan-keinginan berbeda
sehingga dapat menghasilkan keputusan yang berbeda. Keputusan dari hasil
menyatukan beberapa kepentingan didasari oleh argumen mengenai apa yang mereka
anggap benar dan adil. Di samping itu, pada tingkat pemerintah juga terjadi konflik
terkait pemilihan kebijakan dalam penganggaran. Karena sumber daya yang tersedia
terbatas, maka alokasinya harus proporsional dan dalam proses ini sering terjadi
benturan kepentingan antar kelompok dalam rangka menguasai anggaran tersebut. Jika
ada kelompok kepentingan mencoba untuk mendapatkan lebih banyak program atau
proyek yang disukai, maka strategi mereka jelas yaitu mengatur proses penganggaran.
Hal tersebut berakibat kelompok kepentingan yang satu lebih banyak mendapatkan
sesuatu namun kelompok yang lain tidak. Lebih lanjut Wildavsky dan Caiden (2004)
menyatakan bahwa tujuan penganggaran itu sama beragamnya dengan tujuan orangorang

yang

terlibat

didalam

pembuatannya,

anggaran

bertujuan

untuk

mengoordinasikan berbagai aktivitas yang berbeda, saling melengkapi satu sama lain,

namun anggaran juga bertujuan untuk kesenangan mereka, misalnya anggaran untuk
sarana yang dipergunakan mereka, dengan cara memobilisasi dukungan kelompok
lainnya. Seperti dibuat berbagai keputusan penting siapa yang menang, siapa yang
kalah, siapa yang bakal kecipratan rezeki pembangunan (berapa banyak) dan siapa
tidak dapat, karena proses kebijakan implisit atau eksplisit, sesungguhnya merupakan
political choice.
DPRD harus menyetujui rancangan APBD, pada saat itu proses penyusunan dan
penetapan APBD telah melewati prosedur atau mekanisme yang telah ditetapkan oleh
pemerintah sehingga dapat mencapai titik tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh
Dryzek (1996) sebagai demokrasi yang eksklusif, bukan inklusif artinya mekanisme
proses perumusannya melalui perjalanan panjang hampir-hampir steril dari pengaruh
politik. Namun dalam prosesnya ternyata kepentingan publik menjadi the most
powerless yakni mereka yang secara sosial, ekonomi, politik lemah, seperti orang
lanjut usia, kaum perempuan anak-anak dan orang miskin pada umumnya (Wahab,
2002). Lebih lanjut Johnson(1994) menemukan bahwa birokrasi merespons tekanan
yang diberikan oleh legislatif dalam proses pembuatan kebijakan dan anggaran. Hyde
dan Shafritz (1978) menyatakan bahwa penganggaran adalah sebuah proses legislatif
apapun yang dibuat eksekutif dalam proses anggaran pada akhirnya tergantung legislatif
karena legislatif mempunyai kekuasaan untuk mengesahkan atau menolak usulan
anggaran yang diajukan eksekutif. Dobell dan Ulrich (2002)menyatakan bahwa peran
penting legislatif adalah mewakili kepentingan masyarakat, pemberdayaan pemerintah,
dan mengawasi kinerja pemerintah Ketiga peran ini menempatkan legislator memiliki
kemampuan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan pemerintah.
Sementara menurut Havens (1996) tidak ada keharusan bagi legislatif untuk mempunyai
preferensi yang sama dengan pemerintah atas kebijakan termasuk anggaran. .
Selama ini proses politik penyusunan dan penetapan, hingga disahkannya APBD
melibatkan elit politik (bupati/walikota dan DPRD). Kontrol masyarakat terhadap
proses itu bisa dikatakan tidak ada, tentu hal ini dapat merugikan masyarakat. Kondisi
ini makin diperburuk oleh fakta bahwa struktur politik dan kepedulian terhadap
kesejahteraan publik yang sangat rendah. Lewat pemelintiran politik dan korupsi politik
(Porta, 1996) bisa saja agenda publik yang sudah dengan susah payah digelar rapi sejak
di tingkat desa akan mudah dikebiri dan dikalahkan oleh agenda institusional yang

penuh muatan politik. Agenda institusional tak lain dan tak bukan adalah kristalisasi
kepentingan politik kolektif dari partai politik maupun birokrasi daerah.
Kerangka Teoritis
Dalam konteks modern, menurut Mark Hagopian dalam Amal (1987) demokrasi secara
ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat mewakili kepentingan
tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing serta
menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah dan damai.
Demokrasi sebagai upaya untuk mengontrol mempengaruhi dan membangun tindakan
pemerintah yang peduli terhadap negara dan rakyatnya. Anderson (1975) demokrasi
adalah suatu bagian output yang dihasilkan oleh proses pembuatan keputusan di dalam
sistem politik. Dimensi demokrasi dalam anggaran menjadi penting sebagai agenda
perubahan paradigma maupun proses penyusunan dan perumusan kebijakan anggaran
yang berpihak kepada publik. Menurut Wildavsky dan Caiden (2004):
1.

Anggaran adalah persoalan rumit dan rewel. Untuk memahaminya seseorang harus
memiliki kecakapan dan tingkat pendidikan tertentu, karena anggaran memiliki

2.

struktur, sistem dan mekanisme.


Anggaran hanyalah urusan-urusan proyek pembangunan dan sumber finansial

3.

lainnya.
Anggaran adalah semata-mata urusan yang boleh dimonopoli pemerintah hingga
saat ini pemerintah mendudukkan anggaran sebagai persoalan yang sangat
eksklusif, tanpa ada ruang keterlibatan bagi masyarakat.

Lebih lanjut Irianto (2005) salah satu unsur yang penting dan harus dipenuhi dalam
demokrasi anggaran adalah tersedianya ruang yang luas bagi rakyat atas seluruh
profesional, politik dan ekonomi. Terpenuhinya unsur keterbukaan dalam pengelolaan
anggaran merupakan syarat terpenting bagi terwujudnya demokrasi anggaran.
Penyimpangan yang terjadi akibat dari ekonomi politik anggaran, maka diperlukan cara
baru dalam merumuskan dan mengelola anggaran agar dapat memberikan pelayanan
kepada rakyat, cara sepihak memperjuangkan golongan, institusi sendiri adalah
pengkhianatan terhadap rakyat.
Menurut Wildarsky dan Caiden (2004) lembaga politik yang menjadi anggota legislatif
dapat menggunakan pengaruh politiknya dengan mendistribusikan anggaran secara

lebih mudah, mereka dapat memotong atau menambah suatu rancangan anggaran
kegiatan atau perjuangan politik menjadi lebih baik dan menguntungkan untuk satu
pihak, namun dapat pula merugikan kepada pihak lain, bahkan negosiasi sering
dilakukan oleh aktor-aktor politik dalam meloloskan anggaran tertentu.
Anggaran menampilkan konflik terhadap preferensi siapa yang harus dipenuhi, maka
orang

tidak

dapat

berbicara

tentang

anggaran

dengan

lebih

baik

tanpa

mempertimbangkan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan atau dengan
menunjukkan bahwa tidak ada yang kalah, maka latar belakang yang tersembunyi dalam
kebijakan anggaran, rentang waktu dan metode perhitungan semuanya mempunyai
implikasi politik.
Menurut Bowman C. Kearney (2003) terdapat empat pelaku dalam proses
penganggaran yaitu kelompok kepentingan, agenda dinas, kepala eksekutif dan badan
legislatif. Kelompok kepentingan melaksanakan testimoni atau kesaksian pada budget
hearing dan memberikan tekanan kepada tiga pelaku lainnya untuk mendukung
kebijakan dan program yang diinginkan. Peran dinas atau departemen adalah
mempertahankan base jumlah perkiraan tahun fiskal yang lalu dan menyarankan
program baru atau penyempurnaan program kepala dinas atau departemen adalah para
profesional yang mempercayai nilai organisasi mereka dan program-programnya.
Namun mereka sering kali mendapati diri mereka ternyata bermain untuk mendapatkan
jumlah yang mereka inginkan. Apa yang biasanya dilakukan oleh kepala dinas adalah
mengevaluasi lingkungan fiskal-politik. Mereka mempertimbangkan peristiwa-peristiwa
tahun lalu, komposisi legislatif, iklim ekonomi, pernyataan kebijakan oleh kepala
eksekutif, kekuatan kelompok dan faktor-faktor lainnya.
Mereka cenderung mengajukan suatu angka yang lebih besar daripada yang sebenarnya.
Kepala eksekutif memiliki peran yang sangat berbeda dalam proses penganggaran.
Selain menyesuaikan anggaran dengan prioritas program, dia bertindak sebagai
economizer. Permintaan departemen harus disesuaikan, yang berarti bahwa
permintaan tersebut harus dipangkas, karena jumlah total permintaan biasanya melebihi
pendapatan

yang

diperkirakan.

Tentu

saja,

gubernur/walikota/bupati

yang

berpengalaman akan mengenali permainan yang dimainkan oleh para administrator, dia
mengetahui

bahwa

permintaan

anggaran

akan

cenderung

dilebihkan

untuk

mengantisipasi pemotongan. Pada kenyataannya berbagai studi mengenai penganggaran


negara bagian dan daerah menunjukkan bahwa partisipasi yang paling berpengaruh
adalah eksekutif. Tidak mengejutkan, administrator yang teliti akan mencurahkan waktu
dan sumber lainnya untuk mengolah dukungan kepala eksekutif untuk aktivitas dinas
atau departemen mereka. Peran dari badan legislatif pada tahap awal siklus anggaran
adalah merespons dan memperbaiki usulan anggaran dari gubernur, walikota/bupati
dengan melakukan fungsi reviu terhadap pembelanjaan dinas dan departemen serta
responsnya terhadap keluhan konstituen (Bowman, 2003).
Selanjutnya Wildavsky dan Caiden (2004) menyatakan sebagian besar dari masingmasing anggaran adalah produk dari keputusan tahun sebelumnya, anggaran dapat
dipahami sebagai gunung es terapung, dengan bagian terbesar berada di bawah
permukaan, di luar kontrol siapapun. Banyak item-item anggaran yang standar, sekedar
digunakan kembali setiap tahun kecuali ada alasan khusus untuk menentangnya.
Lembaga politik yang menjadi anggota legislatif dapat menggunakan pengaruh
politiknya dengan mendistribusikan anggaran secara lebih mudah, mereka dapat
memotong atau menambah suatu rancangan anggaran, kegiatan atau perjuangan politik
semacam ini menjadi lebih baik dan menguntungkan untuk satu pihak namun dapat pula
merugikan kepada pihak lain, bahkan negosiasi-negosiasi yang dilakukan oleh aktoraktor politik dalam meloloskan suatu anggaran tertentu. Bahkan menurut Samuels
(2000) ada dua kemungkinan perubahan yang dapat dilakukan legislatif yaitu mengubah
jumlah anggaran dan mengubah distribusi belanja atau pengeluaran dalam anggaran
Bowman dan Kearney (2003) menyatakan bahwa pejabat negara bagian dan daerah
harus mengalokasikan jumlah uang yang besar setiap tahun, dimana memang tujuannya
tidak begitu jelas atau kontroversial dan sering kali saling bertentangan satu dengan
lainnya. Hal yang tidak mungkin untuk memprioritaskan ratusan bahkan ribuan item
dalam agenda publik mengingat terbatasnya sumber daya, waktu dan oleh kemampuan
aktor-aktor yang terlibat dalam menetapkan kebijakan anggaran. Magner dan Johnson
(1995) menyatakan pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran
memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan utilitisnya melalui pengalokasian
sumber daya dalam anggaran yang ditetapkan.

Eksekutif atau badan yang menjadi pengusul anggaran dan juga pelaksana atau
pengguna dari anggaran tersebut berupaya untuk memaksimalkan jumlah anggaran
(Smith dan Bertozzi,1998). Di sini setiap aktor memainkan peranya sendiri, menurut
strategi atau caranya sendiri dalam upaya menentukan hasil akhir kebijakan.
Proses Penyusunan Anggaran Sektor Publik
Freeman & Shoulders (2003) menyatakan bahwa anggaran yang ditetapkan dapat
dipandang sebagai suatu kontrak kinerja antara legislatif dan eksekutif. Menurut Rubin
(1992) penganggaran publik adalah pencerminan dari kekuatan relatif dari berbagai
budget actors yang memiliki kepentingan atau preferensi berbeda terhadap outcomes
anggaran. Adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah menjadi alasan
mengapa penganggaran menjadi mekanisme terpenting untuk pengalokasian sumber
daya. Bagi Hagen et.al (1996) penganggaran di sektor publik merupakan bargaining
process antara eksekutif dan legislatif.
Menurut Samuels (2000) penganggaran setidaknya mempunyai 3 tahapan, yakni (1)
perumusan

proposal

anggaran,

(2)

pengesahan

proposal

anggaran,

(3)

pengimplementasi-an anggaran yang telah ditetapkan sebagai produk hukum.


Sedangkan menurut Von Hagen (2002) penganggaran terbagi ke dalam empat tahapan
yaitu executive planning, legislative approval, executive implementation dan ex-post
accountability.
Konsep Agen dalam Anggaran Sektor Publik dalam Penganggaran Sektor Publik
Moe (1984) dan Strom (2000) menyatakan bahwa hubungan keagenan dalam
penganggaran publik adalah antara (1) pemilih dan legislator, (2) legislator dan
pemerintah, (3) menteri keuangan dan pengguna anggaran, (4) Birokrat dan (5) pejabat
pemberi pelayanan.
Menurut Zimmerman (1977) dalam Moore (2000), terdapat sejumlah problem dalam
hubungan

principal-agent.

Pertama

adanya

perbedaan

kepentingan,

prinsipal

mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai dan agen juga memiliki keinginan sendiri
yang berbeda dengan tujuan prinsipal. Problem ini akan menimbulkan konflik. Dalam
upaya menjaga supaya agen berperilaku sesuai dengan keinginan prinsipalnya
diciptakan sejumlah mekanisme kontrol ini menimbulkan biaya yang disebut sebagai
agency cost. Problem selanjutnya muncul jika mekanisme pengendalian dalam

pemantauan agen tidak dilakukan maka agen akan berperilaku disfungsional. Mereka
akan menggunakan sumber dari kantornya untuk kepentingan pribadi.
Sedangkan Garamfalvi (1997) dalam Pratiwi menyatakan politisi menggunakan
pengaruh dan kekuasaan untuk menentukan alokasi sumber daya yang kemudian akan
memberikan keuntungan kepada mereka secara pribadi atau secara kelompok. Lebih
lanjut politisi dalam hal ini adalah para anggota dewan dapat memanfaatkan posisinya
untuk memperoleh keuntungan khususnya keuntungan ekonomi, melakukan manipulasi
politik atas kebijakan publik menyebabkan pengalokasian sumber daya dalam anggaran
tidak efektif dan efisien.
Camarer (1997) dalam Pratiwi menyatakan bahwa representasi politik yang tidak layak
dan institusi yang lemah mengakibatkan banyak peluang untuk melakukan political
corruption, karena beberapa faktor: (1) adanya discretionary system dalam pembuatan
keputusan dan kurangnya mekanisme perencanaan partisipasi, (2) ketidaklengkapan
dalam formulasi anggaran, (3) ketiadaan regulasi mengenai rent seeking.
Kecenderungan misalokasi dalam pengeluaran pemerintah merupakan bagian dari
pertarungan politik di antara politisi yang tidak pernah menguntungkan kaum miskin.
Preferensi legislatif adalah pada proyek infrastruktur karena lebih mudah digunakan
sebagai bentuk pemenuhan atas janji kepada pendukung-nya (Keefer dan Khemani,
2003).
Perubahan posisi legislatif menyebabkan legislatif memiliki kekuasaan untuk mengubah
usulan anggaran yang diajukan eksekutif. Ini penyalahgunaan discretionary power
dengan melanggar kesepakatan (agreement) yang telah dibuat. Colombatto (2001)
adanya discretionary power akan menimbulkan pelanggaran atas kontrak keagenan dan
karenanya dapat diprediksi bahwa semakin besar discretionary power yang dimiliki
legislatif semakin besar pula kecenderungan mereka mengutamakan kepentingan
pribadi.
Teknis Penyusunan APBD 2015
Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2014 (Permendagri 37/2014)tentang
Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2015. Dalam

peraturan Dalam menyusun APBD Tahun Anggaran 2015, pemerintah daerah dan
DPRD harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Penetapan APBD harus tepat waktu, yaitu paling lambat tanggal 31 Desember 2014
sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
13 Tahun 2006, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah
daerah harus memenuhi jadwal proses penyusunan APBD, mulai dari penyusunan dan
penyampaian rancangan KUA dan rancangan PPAS kepada DPRD untuk dibahas dan
disepakati bersama paling lambat akhir bulan Juli 2014. Selanjutnya KUA dan PPAS
yang telah disepakati bersama akan menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk
menyusun, menyampaikan dan membahas rancangan APBD Tahun Anggaran 2015
antara pemerintah daerah dengan DPRD sampai dengan tercapainya persetujuan
bersama antara kepala daerah dengan DPRD terhadap rancangan Peraturan Daerah
tentang APBD, paling lambat tanggal 30 November 2014, sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 105 ayat (3c) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006,
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 21 Tahun 2011, dengan tahapan penyusunan dan jadwal sebagai berikut:
No.
1
2
3
4
5
6

7
8

Uraian
Penyusunan RKPD
Penyampaian Rancangan KUA dan Rancangan
PPAS oleh Ketua TAPD kepada kepala daerah
Penyampaian Rancangan KUA dan Rancangan
PPAS oleh kepala daerah kepada DPRD
Kesepakatan antara kepala daerah dan DPRD atas
Rancangan KUA dan Rancangan PPAS
Penerbitan Surat Edaran kepala daerah perihal
Pedoman penyusunan RKASKPD dan RKAPPKD
Penyusunan dan pembahasan RKA-SKPD dan
RKA-PPKD serta penyusunan Rancangan Perda
tentang APBD

Waktu
Akhir bulan Mei
Minggu 1 bulan Juni

Penyampaian Rancangan Perda tentang APBD


kepada DPRD
Pengambilan persetujuan bersama DPRD dan
kepala daerah

Minggu 1 bulan
Oktober
Paling lambat 1 (satu)
bulan sebelum tahun
anggaran yang
bersangkutan

Menyampaikan Rancangan Perda tentang APBD


dan Rancangan Perkada tentang Penjabaran
APBD kepada MDN/Gub untuk dievaluasi

3 hari setelah
persetujuan bersama

Pertengahan bulan Juni

Lama
1 minggu
6 minggu

Akhir bulan Juli


Awal bulan Agustus

8 minggu

Awal bulan Agustus


sampai dengan akhir
bulan September
2 bulan

No.
10

Uraian
Hasil evaluasi Rancangan Perda tentang APBD
dan Rancangan Perkada tentang Penjabaran
APBD

Waktu
Paling lama 15 hari
kerja setelah Rancangan
Perda tentang APBD
dan Rancangan Perkada
tentang Penjabaran
APBD diterima oleh
MDN/Gub.

11

Penyempurnaan Rancangan Perda tentang APBD


sesuai hasil evaluasi yang ditetapkan dengan
keputusan pimpinan DPRD tentang DPRD tentang
penyempurnaan Rancangan Perda tentang APBD

Paling lambat 7 hari


kerja (sejak diterima
keputusan hasil
evaluasi)

12

Penyampaian keputusan DPRD tentang


penyempurnaan Rancangan Perda tentang APBD
kepada MDN/Gub

3 hari kerja setelah


keputusan pimpinan
DPRD ditetapkan

13

Penetapan Perda tentang APBD dan Perkada


tentang Penjabaran APBD sesuai dengan hasil
evaluasi

Paling lambat akhir


Desember (31
Desember)

14

Penyampaian Perda tentang APBD dan Perkada


tentang Penjabaran APBD kepada MDN/Gub

Paling lambat 7 hari


kerja setelah Perda dan
Perkada ditetapkan

Lama

Daftar Pustaka
Abdul Wahab, Solichin, 2008. Analisis Kebijakan Publik, Teori dan Aplikasinya. PT.
Danar Wijaya, Brawijaya Universitas Press.
Abdul Wahab, Solichin, 1999. Ekonomi Politik Pembangunan, Bisnis Indonesia Era
Orde Baru di tengah Krisis Moneter. Brawijaya, University Press, Malang.
A. Caporasso, James dan David P. Levine, 1992. Teori Ekonomi Politik, Cambridge
University Press.

Anggaran, K. K. (2009). Dipetik Maret 21, 2015, dari Dirjen Anggaran:


www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=628
Bastian, I. (2010). Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Erlangga.
Caiden Gerald, 1982. Public administration 2nd ed. California: Palisaces Publisher.
Granof, M. H. (2005). Government and Not-For-Profit Accounting: Concept and
Practices. Texas: John Wiley & Sons.
Indonesia, P. R. (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Jakarta.
Indonesia, R. (2003). Undang-Undang No. 17 tentang Keuangan Negara. Indonesia.
Kamaroesid, H. (2013). Sistem Administrasi Anggaran Negara: Sistem Administrasi
APBN mulai T.A. 2013. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media.
Mardiasmo. (2010). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Porta, Della, Donatella, 1998. Actors in Corruption: Business Politicians in Itali:
Unesco.
Pratiwi, Ratih Nur. Politisasi Anggaran Sektor Publik
R. Dye, Thomas 1060, Understanding Public Policy. Third Edition Prentice Hall Inc.
Englewood Cliffs N.J. 0732.
Wildavsky. Aarone Naomi Caider, 2004. The New Politic of The Budgetary Process
Fifth Edition Published by Pearson Education Inc.

Anda mungkin juga menyukai