Anda di halaman 1dari 5

“ Sejarah Tugu di Indonesia “

Nama : Auliya Mursyida /06


Ismia Nur R. /16

A. Bandung Lautan Api


Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di
kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh
jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung{1} membakar rumah mereka, meninggalkan kota
menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah
tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung
sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12
Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang.
Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan
polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp
tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan.
Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam
tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan
terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan
Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald
menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan
oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.

Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI
pada saat itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "
BUMIHANGUS ". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung
dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan
Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3)
di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret
1946[2]. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan
hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung. [rujukan?] Hari itu
juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung
dan malam itu pembakaran kota berlangsung.

Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar
Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-
mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara
Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling
besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang
amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan
Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk
menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang
tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi
tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal
di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut
dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul
24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung
membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.

Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat


dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak
sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah
peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari
luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya
masih menjadi bahan perdebatan.

Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis,
menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami
saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.

Istilah Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa
pembumihangusan tersebut. Jenderal A.H Nasution adalah Jenderal TRI yang dalam
pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari
pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, memutuskan strategi yang akan dilakukan
terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris tersebut.

"Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam
pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu
timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat,
“Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi
sebenarnya lautan air." - A.H Nasution, 1 Mei 1997

Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret
1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan
pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari
puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan
Cimindi.

Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis


berita dan memberi judul "Bandoeng Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang
untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api"

B. Monumen Nasional
Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas
adalah monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang
perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari
pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pembangunan monumen ini dimulai pada tanggal 17
Agustus 1961 di bawah perintah presiden Sukarno, dan dibuka untuk umum pada tanggal 12
Juli 1975. Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas yang melambangkan
semangat perjuangan yang menyala-nyala. Monumen Nasional terletak tepat di tengah
Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. Monumen dan museum ini dibuka setiap hari
mulai pukul 08.00 - 15.00 WIB. Pada hari Senin pekan terakhir setiap bulannya ditutup untuk
umum.

Sejarah :

Setelah pusat pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Jakarta setelah


sebelumnya berkedudukan di Yogyakarta pada tahun 1950 menyusul pengakuan
kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1949, Presiden
Sukarno mulai memikirkan pembangunan sebuah monumen nasional yang setara
dengan Menara Eiffel di lapangan tepat di depan Istana Merdeka. Pembangunan
tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia
pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terus membangkitkan inspirasi dan
semangat patriotisme generasi saat ini dan mendatang.
Pada tanggal 17 Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan
sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Terdapat 51
karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat oleh Frederich Silaban
yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite, antara lain menggambarkan
karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama berabad-abad. Sayembara
kedua digelar pada tahun 1960 tapi sekali lagi tak satupun dari 136 peserta yang
memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta Silaban untuk menunjukkan
rancangannya kepada Sukarno. Akan tetapi Sukarno kurang menyukai rancangan itu
dan ia menginginkan monumen itu berbentuk lingga dan yoni. Silaban kemudian
diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang
diajukan Silaban terlalu luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu
ditanggung oleh anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk.
Silaban menolak merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan
pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik. Sukarno kemudian
meminta arsitek R.M. Soedarsono untuk melanjutkan rancangan itu. Soedarsono
memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945 memulai
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen itu. Tugu
Peringatan Nasional ini kemudian dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini
diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan R. M. Soedarsono, mulai dibangun 17 Agustus
1961.

Pembangunan :

Pembangunan terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama, kurun 1961/1962 -


1964/1965 dimulai dengan dimulainya secara resmi pembangunan pada tanggal 17
Agustus 1961 dengan Sukarno secara seremonial menancapkan pasak beton
pertama. Total 284 pasak beton digunakan sebagai fondasi bangunan. Sebanyak 360
pasak bumi ditanamkan untuk fondasi museum sejarah nasional. Keseluruhan
pemancangan fondasi rampung pada bulan Maret 1962. Dinding museum di dasar
bangunan selesai pada bulan Oktober. Pembangunan obelisk kemudian dimulai dan
akhirnya rampung pada bulan Agustus 1963. Pembangunan tahap kedua
berlangsung pada kurun 1966 hingga 1968 akibat terjadinya Gerakan 30 September
1965 (G-30-S/PKI) dan upaya kudeta, tahap ini sempat tertunda. Tahap akhir
berlangsung pada tahun 1969-1976 dengan menambahkan diorama pada museum
sejarah. Meskipun pembangunan telah rampung, masalah masih saja terjadi, antara
lain kebocoran air yang menggenangi museum. Monumen secara resmi dibuka untuk
umum dan diresmikan pada tanggal 12 Juli 1975 oleh Presiden Republik Indonesia
Soeharto.[4][5] Lokasi pembangunan monumen ini dikenal dengan nama Medan
Merdeka. Lapangan Monas mengalami lima kali penggantian nama yaitu Lapangan
Gambir, Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan Taman Monas.
Di sekeliling tugu terdapat taman, dua buah kolam dan beberapa lapangan terbuka
tempat berolahraga. Pada hari-hari libur Medan Merdeka dipenuhi pengunjung yang
berekreasi menikmati pemandangan Tugu Monas dan melakukan berbagai aktivitas
dalam taman.

Anda mungkin juga menyukai