Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

Krisis Hipertensi

Bimo Husodo 2118012044


Agustinus Evrianto 2118012023

Preceptor

dr. Hotmen Sijabat, Sp.PD. FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS LAMPUNG
PERIODE OKTOBER 2021-JANUARI 2022 RUMAH SAKIT UMUM ABDUL MOELOEK
LAMPUNG
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi berasal dari dua kata, hiper = tinggi dan tensi = tekanan darah. Menurut

American Society of Hipertension ( ASH ), hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala

kardiovasculer yang progresif, sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling

berhubungan. The Eight Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,

Evaluation and Treatment of High Blood Preasure (JNC8) dari Amerika serikat dan badan dunia

WHO dengan International Society of Hipertension membuat definisi hipertensi yaitu apabila

tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90

mmHg.

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg atau

lebih untuk usia 13-50 tahun dan tekanan darah mencapai 160/95 mmHg untuk usia di atas 50

tahun. Dan harus dilakukan pengukuran tekanan darah minimal sebanyak dua kali untuk lebih

memastikan keadaan tersebut.

Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat

tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Hipertensi

biasanya merupakan peningkatan kronis dari tekanan darah yang lebih dari 140/90 mmHg,

etiologinya 90  –  95 % tidak diketahui (Hipertensi essensial) .Walaupun Hipertensi merupakan

penyakit yang lazim, gawat darurat pada hipertensi jarang terjadi, ini akibat dari perbaikan dalam

terapi obat yang telah dipertahankan dalam tekanan tertentu (maintenance drug therapy).

Pengobatan gawat darurat menjadi penting bila tekanan arterial sistemik yang menetap tinggi

merusak target organ (end organ), misalnya encefalopati, beban jantung berlebihan (cardiac

overload ) atau memperburuk masalah yang mendasarinya. Faktor resiko kardiovaskular antara

lain, merokok, obesitas (BMI > 30), inaktivitas fisik, dislipidemia, diabetes mellitus,

mikroalbuminuria, usia (laki >55 tahun, perempuan > 65 tahun), riwayat keluarga dengan

penyakit kardiovaskular.
Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita hipertensi ringan, 20% hipertensi

sedang dan 10% hipertensi berat. Pada setiap jenis hipertensi ini dapat timbul krisis hipertensi

dimana tekanan darah (TD) diastolik sangat meningkat sampai 120  –  130 mmHg yang merupakan

suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan

jiwa penderita. Angka kejadian krisis hipertensi menurut laporan dari hasil penelitian dekade

lalu di negara maju berkisar 2  –  7% dari populasi hipertensi, terutama pada usia 40 – 60 tahun

dengan pengobatan yang tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi

dalam 10 tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan hipertensi, seperti di Amerika

hanya lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada

laporan tentang angka kejadian ini.


BAB II 

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Krisis Hipertensi secara umum adalah terjadinya peningkatan tekanan darah

diastolik (TDD) >120 mmHg. Istilah “krisis” seolah-olah menggambarkan diperlukannya suatu

tindakan yang segera harus dilakukan, menurunkan tekanan darah (TD) dengan cepat merupakan

kontra indikasi, sehingga ada yang mengusulkan agar terminology krisis tersebut ditinjau kembali.

Kelainan yang terjadi pada hipertensi emergensi secara keseluruhan berhubungan dengan

tekanan darah diastole >120 mmHg, walaupun demikian tidak semua pasien yang dating dengan

hipertensi berat merupakan hipertensi emergensi. Penting bagi seorang dokter untuk dapat

mengenal perbedaan antara hipertensi emergensi dan hipertensi berat sehingga penurunan tekanan

darah yang terlalu cepat bahkan sampai mencapai TD normal terutama bila tidak disertai kerusakan

organ target (KOT) yang akut malahan akan berakibat fatal. Perlu dipahami pula pada pasien yang

menderita hipertensi kronis tidak terkontrol dalam jangka lama akan juga menderita KOT yang

kronis. Pasien hipertensi yang sebelumnya tidak pernah diobati atau pengelolaannya tidak baik

cenderung untuk mengalami kenaikan TD yang mendadak menjadi tinggi. Pasien- pasien dengan

hipertensi sekunder juga merupakan pasien-pasien yang memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadi

peningkatan TD yang mendadak apabila dibandingkan dengan pasien-pasien hipertensi esensial.

Hipertensi emergensi adalah terjadinya hipertensi dengan TDD >120 mmHg yang disertai

KOT yang akut (system saraf pusat, jantung atau ginjal). Pada keadaan ini diperlukan penurunan

TD dalam hitungan menit sampai jam menggunakan obat-obat parenteral dan memerlukan

 pemgelolaan di ICU.

Hipertensi urgensi adalah terjadinya hipertensi dengan TDD >120mmHg tapa disertai KOT

akut. Ciri khas hipertensi urgensi adalah adanya hipertensi yang berat dapat disertai atau tanpa

disertai keluhan-keluhan sakit kepala hebat, rasa cemas atau sesak nafas. Pada pemeriksaan fisik
tidak menggambarkan adanya ancaman KOT. Pada keadaan ini diperlukan penurunan TD dalam

waktu 24-48 jam menggunakan obat oral dan tidak memerlukan perawatan intensif. Definisi ini

masih menjadi masalah oleh karena pada keadaan ini tidak terjadi KOT yang akut dan masih

dipertanyakan apakah penurunan tekanan darah memang harus dilakukan dalam 24-48 jam. Kata

urgensi sebenarnya hanya pemikiran dokter semata untuk menurunkan TD segera dan bukan

merupakan keluhan yang sebenarnya terjadi pada pasien.

Hipertensi berat didefinisikan sebagai TD sistolik >180mmHg dan TDD >110mmHg.

Seperti pada hipertensi urgensi kuncinya adalah tidak terdapat KOT yang akut dan

memerlukan penurunan TD secara bertahap menggunakan terapi kombinasi obat anti hipertensi

oral dalamjangka waktu tertentu. Pasien-pasien dalam kategori ini harus dievaluasi dengan baik

terhadap kemungkinan adanya kelainan jantung, ginjal atau penyebab hipertensi lainnya.

Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg,

walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan

pasien.

Hipertensi akselerasi adalah keadaan yang menghubungkan kenaikan TD dengan

retinopati Keit-Wagener-Barker stadium III (perdarahan retina, eksudasi retina dan papiledema).

Klasifikasi retinopati Keith-Wagener-Barker tidak menggambarkan secara akurat dari beratnya

kenaikan TD sehingga terminologi tersebut sudah jarang dipergunakan lagi.

Hipertensi maligna adalah terminologi yang tua dan tidak dipergunakan lagi. Keadaan ini

menghubungkan kenaikan TD dengan retinopati Keith-Wagener-Barker stadium IV (papiledema,

perdarahan retina dan eksudasi retina). Istilah diatas biasa dipergunakan untuk menggambarkan

hipertensi emergensi dengan kelainan sistem saraf pusat.


Etiologi

Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular, berupa disfungsi endotel,

remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi

urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat

disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan

menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular,

deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.

Klasifikasi

Krisis hipertensi meliputi 2 kelompok:

a.  Hipertensi darurat ( emergency hipertensi) Dimana selain tekanan darah yang sangat tinggi

terdapat kelainan/ kerusakan target organ yang progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan

dengan segera (dalam menit sampai jam) agar dapat mencegah/ membatasi kerusakan target organ

yang terjadi.

 b.  Hipertensi mendesak( urgency hipertensi)

Dimana terdapat tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak disertai kelainan/kerusakan organ

target yang progresif, sehingga pe nurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat (dalam

hitungan jam sampai hari).

Tabel I : Hipertensi Emergensi ( darurat )


TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut

   Perdarahan intra cranial, atau Perdarahan subarakhnoid.


 Hipertensi encefalopati
 Diseksi aorta akut
   Oedema paru akut
   Eklampsia
  
Feokhromositoma Funduskopi KW III atau IV Insufisiensi ginjal akut
  
Infark miokard akut dan angina unstabel
  
Cedera kepala hebat
  
  
 

Tabel II : hipertensi urgensi ( mendadak )

Hipertensi berat dengan tekanan diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal atau tanpa
kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel
   KW I atau II pada funduskopi
   hipertensi post operasi
  
hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif hipertensi
  
maligna
  
tromboemboli serebri
  
rebound hypertension setelah pengobatan dengan anti hipertensi
  
 penderita pasca transplantasi ginjal luka bakar yang luas.
  

Patofisiologi

Patofisiologi krisis hipertensi hingga saat ini masih belum diketahui dengan jelas.

Diperkirakan, krisis hipertensi diakibatkan kegagalan fungsi autoregulasi dan peningkatan

resistensi vaskuler sistemik yang mendadak dan cepat. Peningkatan tekanan darah menyebabkan

stress mekanik dan jejas endotel sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat. Hal

tersebut

 juga memicu kaskade koagulasi dan deposisi fibrin. Hal tersebut menyebabkan iskemia serta
hipoperfusi yang menyebabkan gangguan fungsi. Siklus tersebut berlangsung dalam sebuah

lingkaran yang berkelanjutan sehingga disfungsi organ target bersifat progresif.

Mekanisme autoregulasi

Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan

pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan

berbagai tingkatan perubahan kontraksi/ dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka

akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu

normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70

mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen

lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini

gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan

dan sinkop. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas ambang

autoregulasi ini akan berubah sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah

yang lebih tinggi.

Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada penderita hipertensi dengan

yang normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara

grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol

cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal. Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang

yang normotensi maupun hipertensi, diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak

adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi

krisis,

 penurunan MAP sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau jam,tergantung dari apakah

emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun

edema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat
lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan

tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut ataupun perdarahan

intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus dijaga agar

tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg.

Peran mediator endokrin dan parakrin

Peranan Mediator Endokrin dan Parakrin Sistem renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA)

memegang peran penting dalam patofisiologi terjadinya krisis hipertensi. Peningkatan renin

dalam darah akan meningkatkan vasokonstriktor kuat angiotensin II, dan akan pula

meningkatkan hormon aldosteron yang berperan dalam meretensi air dan garam sehingga

volume intravaskuler akan meningkat pula. Keadaan tersebut diatas bersamaan pula

denganterjadinya peningkatan resistensi perifer pembuluh darah yang akan meningkatkan TD.

Apabila TD meningkat terus maka akan terjadi natriuresis sehingga seolah-olah terjadi

hipovolemia dan akan merangsang renin kembali untuk membentuk vasokonstriktor angiotensin

II sehingga terjadi iskemia pembuluh darah dan menimbulkan hipertensi berat atau krisis

hipertensi. 

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target yang

ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan

hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan

tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis.

Pada hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal.

Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola,

perdarahan dan eksudasi maupun papiledema.


Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih

dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa

pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi.
 

Faktor predisposisi

Krisis hipertensi dapat terjadi pada hipertensi primer atau hipertensi sekunder. Faktor

 predisposisi terjadinya krisis hipertensi yaitu:

1.   Hipertensi yang tidak terkontrol

2.   Hipetensi yang tidak terobati. Penderita hipertensi yang minum obat: MAO inhibitor,

dekongestan, kokain.

3.   Kenaikan TD tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis esensial

(tersering) 4.  Hipertensi renovaskular


5.  Glomerulonefritis

akut. 6.  Eklampsia

7.   Feokromositoma

8.   Sindroma putus obat

antihipertensi 9.  Trauma kepala

berat

9.Tumor yang mengeksresikan urine

Pendekatan diagnosis

Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat dilakukan

dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitaspasien.

Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin

diminum, kepatuhan minum obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine.

Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi.

Tanda-tanda defisit neurologik harus diperiksa seperti sakit kepala,penurunan kesadaran,

hemiparesis dan kejang. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan seperti hitung

jenis, elektrolit, kreatinin dan urinalisa. Foto thorax, EKG dan CT- scan kepala sangat penting

diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesak nafas, nyeri dada atau perubahan status

neurologis. Pada keadaan gagal jantung kiri dan hipertrofi ventrikel kiri pemeriksaan

ekokardiografi perlu dilakukan. Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien

hipertensi:
 

Diagnosis, Prinsip-prinsip penegakan diagnosis Hipertensi emergency dan Hipertensi


Urgency tidak berbeda dengan penyakit lainnya ;7
1.   Amamnesis :
Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat, tekanan darah rata-rata, riwayat
pemakaian obat-obat simpatomimetik dan steroid, kelainan hormonal, riwayat
 penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral, jantung dan gangguan penglihatan.

2. Pemeriksaan fisik:
a. Pengukuran tekanan darah pada kedua lengan, perabaan denyut nadi
o’ ; per ifer (rab a nadi radi al is kedua len gan dan kemun gkinan adanya selisih
dengannadi femoral, radial femoral pulse leg
 b . Mat a : Li h at ad anya p api l ed em a , pen dar ah an d an ek su da t ,
 p enye mp i t an yang hebat arteriol.
c.Jantung: Palpasi adanya pergeseran apeks, dengarkan adanya bunyi jantungS3 dan S4
serta adanya murmur.
d.Paru: perhatikan adanya ronki basah yang mengindikasikan CHF.
e. Status neurologic: pendekatan pada status mental dan perhatikan adanya
defisit neurologik fokal. Periksa tingkat kesadarannya dan refleks fisiologisdan patologis.

3. Pemeriksaan Penunjang : Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan penyakit


dasarnya, penyakit penyerta, dan kerusakan target organ. Yang sering dilakukan antara
lain ; pemeriksaan elektrolit, BUN, glukosa darah, kreatinin, urinalisis., hitung
 jeniskomponen darah dan SADT. Pemeriksaan lainnya antara lain foto rontgen toraks, EKG
dan CT Scan.

Penatalaksanaan

1.Hipertensi Urgensi8 

A. Penatalaksanaan Umum

Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi
manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure
(MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan
tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. Penggunaan obat-obatan anti-
hipertensi parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah.
Pemberian loading dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan
pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan
kombinasi obat oral merupakan
 pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.

B.Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi Captopril adalah golongan angiotensin-


converting enzyme (ACE) inhibitor dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat
diberikan 25 mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-
120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia,
angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis pada arteri renal
bilateral). Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada
pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan
hipertensi urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo.
Nicardipine memiliki
efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22% (p=0,002).
Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai
tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi,
 berkeringat dan sakit kepala.

Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan memiliki waktu kerja
mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang sangat lebar
sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien,
setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg secara
oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik secara signifikan.
Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat
diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit
kepala.

Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergicreceptor


agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis
awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai
tercapainya tekanan darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek samping
yang sering terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik. Nifedipine adalah
golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja antara 10-20 menit.

 Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi
karena dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan

sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.

2.Hipertensi Emergensi

A. Penatalaksanaan Umum8 

Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan
organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat
dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa
dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih

 belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15%
 pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan
mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.

B.Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi8,9

 Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi


emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intrakranial dan stroke iskemik
akut. American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105
mmHg
 pada hipertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus dipertahankan di bawah 130
mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus dipantau secara hati-hati 1-2
jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-
menerus MAP dipertahankan > 130 mmHg.

Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut
 pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang
melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi
yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri
koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β-blocker (labetalol dan
esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-
obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan darah
sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik > 120mmHg) dalam waktu 20 menit.

Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi
dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria
dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah
digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau
tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan sianida
akibat dari pemberian nitroprusside dalam terapi gagal ginjal.

Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat-


obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan
kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat
menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya
hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal.
Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat
dikontrol dengan pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV
(ganglion- blocking agent). Golongan β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai
tekanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang
terbaik adalah dengan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial dan dengan
 penambahan obat-obatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas.

Prognosis

Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan gagal jantun
(13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera. 9

Kesimpulan

Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan di bidang neuro-cardiovaskular yang


sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis terdiri dari hipertensi emergensi dan
hipertensi urgensi. Keduanya harus ditangani dengan tepat dan segera sehingga prognosisnya
terhadap organ target (otak, ginjal dan jantung) dan sistemik dapat ditanggulangi.
Daftar pustaka

1.   Bisognano JD. Malignant Hypertension. 2013.h. 43-


50. 2.  Devicaesaria A. Krisis hipertensi. 2014.h. 3-9.
3.   Alatas Husein, Taralan Tambunan, dkk.2010. Buku Ajar Nefrologi Anak. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI. 
4.   Sudoyo, Aru W, Bambang Setiyohadi, dkk. 2010.  Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jakarta: Interna Publishing.


5.   Thomas L. Managing Hypertensive Emergency in the ED. Can FamPhysician.

2011.57:1137-41.
6.   Hopkins C. Hypertensive Emergencies in Emergency Medicine.

2011. 7.  Bisognano JD. Malignant Hypertension. 2013. pp. 43-50.


8.   Madhur MS. Hypertension. Medscape Article. 2012. Vol.3, No.4 :163-8.

9.   Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al.Harrison's Principles

ofInternal Medicine. Seventeenth Edition. 2008.


10.  Soto-Ruiz K, Peacock W, Varon J. Perioperative hypertension: Diagnosis and treatment.

Netherlands Journal of Critical Care. 2011;15(3):6. 

Anda mungkin juga menyukai