1288-Article Text-3051-1-10-20210609
1288-Article Text-3051-1-10-20210609
1 Juni 2021
Susilawati, N., Indriani, Riana, V. and Abyan, D. (2021) “Tingkat Literasi Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Determinannya ISSN: 1410-3737(p) 2621-069X(e)
(Studi Di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Dan Bekasi)”, Sebatik, 25(1). Open access article licensed under CC-BY
Submitted: 2021/04/14 Accepted: 2021/05/02 Published: 2021/06/01 DOI:10.46984/sebatik.v25i1.1288
ABSTRAK
Literasi pajak merupakan faktor krusial yang memengaruhi tingkat kepatuhan pajak dalam sistem pemungutan yang
menerapkan self-assessment. Masih rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) di Indonesia salah
satunya diduga karena rendahnya literasi Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP). Tujuan penelitian ini adalah
mengukur tingkat literasi PPh OP di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta
mengidentifikasi faktor determinannya. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan teknik pengumpulan data
survei dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat literasi PPh OP di Jabodetabek adalah
sedang. Tingkat literasi sedang ini adalah karena kurangnya ketertarikan WP OP untuk mencari informasi tentang pajak
dan kurang efektifnya sosialisasi pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak. Peneliti merekomendasikan optimalisasi
penggunaan sosial media sebagai sarana edukasi pajak untuk masyarakat yang efisien dan efektif. Paradigma bahwa pajak
bersifat tidak kontra prestasi perlu diubah. Pemerintah perlu inovasi agar masyarakat memiliki ketertarikan lebih tinggi dan
merasa bangga apabila berpartisipasi aktif dalam pembangunan melalui pajaknya. Penelitian yang mendalami tentang
taxpayer behavior merupakan penelitian yang menarik bagi penelitian lain agar persoalan klasik kepatuhan WP OP ini
perlahan dapat terpecahkan.
Kata Kunci: literasi pajak, pajak penghasilan, orang pribadi, kepatuhan pajak, taxpayer behavior, kesadaran pajak
286
Sebatik Vol. 25 No. 1 Juni 2021
ISSN: 1410-3737(p) 2621-069X(e)
Open access article licensed under CC-BY
jurnal.wicida.ac.id/index.php/sebatik
3. BAHAN DAN METODE informasi terkait perpajakan dan melakukan hal tersebut
Pengertian literasi tidak hanya berkaitan dengan secara tepat (Wilson and Abraham, 2014).
kegiatan membaca, menulis, dan memahami, namun
berhubungan juga dengan keterampilan dan pengetahuan 3.2 Contextual Knowledge
individu dalam melaksanakan suatu kegiatan (Wilson Pengetahuan perpajakan merupakan unsur penting
dan Abraham, 2014). Literasi menjadi kemampuan untuk dalam sistem perpajakan, khususnya dalam
mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, meningkatkan literasi bagi WP (Kasipillai dalam
menghitung dan mengomunikasikannya dalam bentuk Bornman dan Ramutumbu, 2019). Pengetahuan pajak
media cetak tertulis terkait berbagai pembahasan (Cvrlje, dapat mendorong WP untuk mampu menentukan secara
2015). Manurung dalam Wasiaturrahma dkk. (2019) mandiri jenis penghitungan, pembayaran, dan pelaporan
menyebutkan salah satu jenis literasi adalah literasi perpajakannya (Damajanti and Karim, 2017). Untuk itu,
keuangan yang menjadi pengetahuan serta keterampilan WP perlu memiliki contextual knowledge yang terdiri
seseorang dalam mengambil keputusan untuk dari legal knowledge dan procedural knowledge untuk
pengelolaan keuangannya. Berdasarkan hasil focus group mengetahui proses perpajakan dan tanggung jawabnya
menunjukkan bahwa pengetahuan menghitung total untuk mematuhi hukum perpajakan di negara tempat WP
pajak terutang serta pemahaman adanya dan/atau tidak dikenakan pajak (Bornman dan Wassermann, 2019).
adanya deductible menjadi salah satu aspek untuk 1. Legal Knowledge
mengukur literasi keuangan (Chardon, Freudenberg dan Konsep legal knowledge berkaitan dengan
Brimble, 2016). Dengan demikian, dapat dikatakan salah pemahaman bagaimana WP dikenakan pajak (Tallaha,
satu cabang dari literasi keuangan adalah literasi Shukor and Hassan, 2014). Pengetahuan pajak seseorang
perpajakan (Moučková dan Vítek, 2018). berhubungan dengan kemampuan untuk memahami dan
Literasi pajak didefinisikan sebagai kemampuan mengerti peraturan perpajakan, serta kemampuan untuk
individu, yakni Wajib Pajak (WP), untuk memahami, mematuhi peraturan tersebut (Singh dalam Bhushan dan
mengakses, serta menggunakan suatu informasi Medury, 2013). Selain itu juga, Pemahaman ataupun
perpajakan yang pada akhirnya dapat mencerminkan pengetahuan WP terhadap peraturan pajak memiliki
kesadaran WP dalam melaksanakan kewajiban korelasi positif terhadap kepatuhan WP dalam
perpajakannya (Ibda, 2019). Sejalan dengan hal tersebut, melaksanakan kewajiban perpajakannya (Syamsurizal,
literasi pajak didefinisikan sebagai proses dinamis dari 2017). Legal knowledge dibutuhkan WP untuk
pengembangan kemampuan pajak dengan mengikuti memahami Undang-Undang Perpajakan secara teknik al
perkembangan zaman dan mendapatkan kepercayaan diri yang digunakan untuk memahami pengenaan pajaknya,
untuk lebih mengetahui dan memahami berbagai faktor sedangkan secara konseptual digunakan untuk
yang berdampak terhadap keputusan pajak dan memahami terminologi yang ada di dalam Undang-
konsekuensinya serta mengetahui tempat untuk Undang Perpajakan. (Bornman dan Ramutumbu, 2019).
mendapatkan bantuan terkait masalah perpajakan dan Zalilawati, Amran dan Choong menyebutkan bahwa
menggunakan pengetahuan tersebut sebagai dasar dalam legal knowledge memiliki dua indikator, yaitu knowing
membuat suatu keputusan terkait (Bornman dan that something is taxable dan knowing how (Bornman
Wassermann, 2019). dan Wassermann, 2019).
Literasi pajak itu sendiri dapat diukur melalui tiga Knowing that something is taxable merupakan
dimensi, yakni tax awareness, contextual knowledge, dan pemahaman WP tentang ketentuan hukum dan Undang-
meaning making atau informed decision making Undang Perpajakan dan mengetahui bahwa ada sesuatu
(Bornman dan Wassermann, 2019). yang dikenakan pajak (Bornman and Wassermann,
2019). Dengan memahami dan mengetahui cara
3.1 Tax Awareness menerapkan ketentuan hukum perpajakan yang berlaku
Kesadaran pajak dapat didefinisikan sebagai unsur (Bornman dan Wassermann, 2019) akan terdapat
yang mengacu pada pemahaman individu terkait kecenderungan bagi WP untuk memeriksa kembali
perannya dalam fiscal exchange atau kontrak sosial penghitungan pajak terutangnya sehingga semakin tinggi
dengan pemerintah yang dijadikan sebagai dasar untuk tingkat literasinya. Dengan demikian, Ericksen, Fallan
mewujudkan literasi pajak (Bornman dan Wassermann, dan Palil menyimpulkan bahwa semakin tinggi
2019). Ningrum dalam Setyonugroho dan Sardjono juga pengetahuan pajak maka semakin tinggi kepatuhan
memaknai kesadaran pajak sebagai kesediaan WP untuk pajaknya (Tallaha, Shukor and Hassan, 2014).
membayar pajak untuk menentukan tingkat kepatuhan Sementara knowing how berkaitan dengan
Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pengetahuan dan kemampuan WP untuk menerapkan
Perpajakan (Setyonugroho dan Sardjono, 2013). cara penghitungan pajak (Bornman and Wassermann,
Pengukuran kesadaran pajak dapat dilihat melalui 2019), termasuk memahami hak dan kewajibannya
kemampuan mengenai kesadaran keuangan sebagai sebagai WP. Menurut Damajanti dan Karim (2017)
kemampuan untuk memahami serta menganalisis terdapat 3 (tiga) unsur pengetahuan pajak yang harus
dimiliki WP untuk melaksanakan kewajiban
287
© 2021, The Author(s). This is an open access article, free of all copyright, that anyone can freely read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full
texts or use them for any other lawful purpose. This article is made available under a Creative Commons Attribution 4.0 International License, which permits
unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. SEBATIK is a journal of the STMIK Widya Cipta
Dharma
perpajakannya agar sesuai dengan hukum pajak yang dari meaning making diperlukan keaktifan dalam
berlaku, yaitu pengetahuan menghitung, membayar, dan penggunaan keterampilan pribadi terhadap literasi,
melaporkan pajak. termasuk kemampuan membaca, menulis, berbicara,
2. Procedural Knowledge berkomunikasi, dan menginterpretasikan makna serta
Konsep procedural knowledge berkaitan dengan mengombinasi penyediaan sumber daya untuk
pertimbangan pengetahuan, keterampilan, dan sumber mendapatkan makna yang dapat dipahami lebih
daya yang diperlukan untuk berinteraksi dengan otoritas mendalam (Wilson dan Abraham, 2014). Selain itu,
pajak dalam rangka pelaksanaan kewajiban perpajakan meaning making dipengaruhi oleh faktor sosial yang
(Tallaha, Shukor and Hassan, 2014). Procedural mencakup norma sosial, moralitas perpajakan, dan
Knowledge merupakan kondisi di mana WP mampu perilaku individu (Bornman dan Wassermann, 2019).
menggunakan pengetahuan, keterampilan dan sumber Berdasarkan hasil tinjauan pustaka terkait literasi
daya yang ada untuk menunjang kewajiban pajak, peneliti memilih teori Bornman dan Wassermann
perpajakannya dalam berinteraksi dengan otoritas pajak yang terdiri dari tiga dimensi yaitu tax awareness,
yang kemudian menyimpan catatan tersebut guna contextual knowledge, dan meaning making. Alasan
keperluan perpajakan di masa mendatang (Bornman dan peneliti memilih teori tersebut karena tiap dimensi
Wassermann, 2019). Atas pengertian tersebut, Bornman memiliki perbedaan yang jelas dalam artian tidak
dan Wassermann (2019) mengelompokkan procedural tumpang tindih antara masing-masing dimensi sehingga
knowledge menjadi 2 (dua) indikator, yakni tax pengukuran literasi dapat dilakukan dengan tepat.
administration dan digital record keeping. Penelitian menentukan kategori tingkat literasi pajak
Tax Administration sendiri membahas mengenai sebagai berikut:
kemampuan WP untuk mengaplikasikan administrasi 1. Rendah
perpajakan yang didasari pada pengetahuan pajaknya Individu tidak memiliki kemampuan untuk membaca,
sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku menulis, serta memahami masalah perpajakan sehingga
(Bornman & Wassermann, 2019). Modernisasi sistem individu tersebut tidak dapat mengikuti prosedur yang
perpajakan memberikan kemudahan akses dan media sesuai dalam menghitung pajak terutang dan mengisi
yang menarik bagi pembayar pajak untuk digunakan formulir pajak secara independen atau mandiri.
(Bornman and Wassermann, 2019). Pemberian 2. Sedang
kemudahan bagi WP untuk melaporkan dan membayar Individu masih memerlukan bantuan pihak lain dalam
kewajiban pajaknya melalui sistem informasi perpajakan melaksanakan kewajiban perpajakannya, namun
memiliki korelasi positif terhadap peningkatan kepatuhan memiliki kemampuan dan pengetahuan minimum untuk
WP (Pambudi, 2016). Oleh karena itu, dengan adanya membaca, menulis, serta memahami masalah perpajakan.
modernisasi sistem perpajakan akan menimbulkan 3. Tinggi
keefektivitasan dalam meningkatkan kualitas layanan Individu memiliki kemampuan untuk membaca,
perpajakan sehingga penerimaan pajak semakin menulis, dan memahami masalah perpajakan diikuti
meningkat (Nurhayati and Hidayat, 2019). dengan pengetahuan dan kesadaran yang mendalam
Berkaitan dengan tax administration, indikator digital terkait perpajakan sehingga individu mampu untuk
record keeping dilakukan oleh WP untuk menyimpan menghitung pajak terutang dan mengisi formulir pajak
catatan transaksi secara digital yang digunakan saat secara independen.
pelaporan perpajakannya dengan tujuan keperluan
perpajakan di masa mendatang dalam kurun waktu 3.4 Rancangan Penelitian
tertentu (Bornman dan Wassermann, 2019). World Bank Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
juga menjelaskan untuk menghindari risiko hilangnya karena secara aksiologi tujuan peneliti adalah untuk
data WP perlu mengidentifikasi beberapa tahapan area mengukur tingkat literasi PPh OP di wilayah
kompetensi dalam pencatatan digital yang dimulai dari Jabodetabek. Dalam upaya mengukur literasi pajak,
mengidentifikasi informasi digital, mengaplikasikan dan peneliti menggunakan teori literasi pajak Bornman dan
mengedit sesuai dengan data terbaru, dan melakukan Wassermann yang memiliki tiga dimensi (tax awareness,
pemecahan masalah (Bornman dan Wassermann, 2019). contextual knowledge, dan meaning making or informed
decision making) secara deduktif. Penelitian deskriptif
3.3 Meaning Making or Informed Decision Making ini dilakukan secara cross-sectional dari Februari hingga
Meaning making merupakan elemen yang Desember 2020, dan tidak dilakukan penelitian lain
berhubungan dengan dampak atas hasil dari individu sebagai pembanding.
yang memiliki kesadaran pajak dan diikuti penerapan
pengetahuan pajak sesuai ketentuan yang berlaku 3.5 Populasi dan Sampel
sehingga WP dapat mengambil suatu keputusan Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat
perpajakan serta diaplikasikan sesuai dengan teori berdomisili di DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
kepatuhan pajak secara benar (Bornman dan dan Bekasi dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
Wassermann, 2019). Untuk menciptakan optimalisasi (NPWP). Penelitian ini menggunakan teknik penarikan
288
Sebatik Vol. 25 No. 1 Juni 2021
ISSN: 1410-3737(p) 2621-069X(e)
Open access article licensed under CC-BY
jurnal.wicida.ac.id/index.php/sebatik
sampel non-probabilitas, yaitu quota sampling, di mana terlaksananya kewajiban PPh OP, dan WP mengenali
dalam pengambilan kuota dari masing-masing lapisan, sistem pemungutan PPh OP. Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan teknik accidental. Dalam berdasarkan hasil pengumpulan survei, tingkat tax
penelitian ini diambil beberapa sampel yang memiliki awareness ditunjukkan pada Gambar 1.
keterwakilan dari setiap wilayah secara proporsional,
yang meliputi masyarakat DKI Jakarta, Bogor, Depok, 200
Tangerang, dan Bekasi yang mempunyai NPWP dan
146
jumlah tersebut harus terpenuhi. Jumlah sampel yang 138
didapatkan pada penelitian ini sebanyak 318 sampel 150
dengan sebaran masyarakat domisili DKI Jakarta
sebanyak 69 sampel, Bogor sebanyak 60 sampel, Depok 100
sebanyak 66 sampel, Tangerang sebanyak 62 sampel,
dan Bekasi sebanyak 61 sampel.
50 34
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan 0
survei. Penyebaran kuesioner dilakukan secara online Rendah Sedang Tinggi
dengan media survey monkey, whats app, zoom meeting,
dan google meet. Sebagian responden mengisi kuesioner Gambar 1. Analisis Dimensi Tax Awareness (n=318)
secara mandiri (self-administered) dan sebagian lainnya
tatap muka secara daring (face-to-face interview). Untuk Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada
melengkapi data kuantitatif, peneliti juga melakukan Gambar 1 mengenai dimensi tax awareness, dapat
teknik pengumpulan data kualitatif dengan wawancara terlihat bahwa sebanyak 34 responden dikategorikan
mendalam kepada beberapa narasumber yaitu (1) rendah, 138 responden dikategorikan sedang, dan 146
perwakilan WP, (2) Kepala Sub Bidang Penyuluhan, responden dikategorikan tinggi. Tingginya tingkat
Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP di dimensi tax awareness pada dasarnya didukung oleh
Jabodetabek, (3) account representative (AR) Kantor beberapa faktor, salah satunya karakteristik wilayah.
Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di Jabodetabek, dan (4) Wilayah Jabodetabek merupakan kawasan metropolitan
akademisi dari Departemen Administrasi Fiskal Fakultas yang mana perkembangan kota lebih pesat dibandingkan
Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Vokasi dengan kota-kota lainnya, sehingga hal ini berdampak
Universitas Indonesia, dan STIAMI. Peneliti juga kepada tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai.
menggunakan data sekunder untuk menunjang studi Fasilitas pendidikan yang memadai tentunya menunjang
literatur meliputi data Badan Pusat Statistik, DJP, proses pendidikan kepada masyarakat, terlebih
Kementerian Dalam Negeri, buku dan jurnal terkait. pendidikan merupakan bentuk dari kontra prestasi yang
Peneliti menggunakan teknik analisis data univariat. Data dirasakan masyarakat atas keberadaan pajak sehingga hal
primer diolah dengan mesin pengolah data SPSS. ini mendukung adanya kesadaran pajak di Jabodetabek.
Pada saat ini, tren kesadaran pajak juga cukup
4. PEMBAHASAN berkembang di Indonesia. Terlebih masyarakat yang
Literasi pajak dapat diukur melalui tiga dimensi, penghasilannya sudah dipotong oleh pemberi kerja
yakni tax awareness, contextual knowledge, dan meaning (employment income). Hal ini juga didukung dengan
making atau informed decision making. Oleh karena itu mayoritas responden yang bekerja sebagai karyawan,
pembahasan dalam artikel ini disusun berdasarkan tiga yaitu sebanyak 62,3% berprofesi sebagai pegawai
dimensi tersebut. swasta, 13,5% sebagai PNS, dan 9% sebagai pegawai
BUMN. WP karyawan sudah memiliki kesadaran yang
4.1 Analisis Dimensi Tax Awareness tinggi atas kewajiban perpajakannya yang ditunjukkan
iKesadaran pajak didefinisikan oleh Bornman dan dengan tren pelaporan SPT PPh OP yang semakin
Wassermann (2019) sebagai unsur yang mengacu pada meningkat dari tahun ke tahun. WP Karyawan dinilai
pemahaman individu terkait peran masyarakat dalam lebih sadar dengan kewajiban perpajakannya karena
fiscal exchange atau kontrak sosial dengan pemerintah diurus dan dibantu langsung oleh pemberi kerja tanpa
yang dijadikan sebagai dasar untuk mewujudkan literasi dilihat dari aspek kemandirian.
pajak. Dimensi tax awareness terdiri dari tujuh indikator,
yaitu WP menyadari pentingnya menghitung PPh OP 4.2. Analisis Dimensi Contextual Knowledge
terutang, WP menyadari pentingnya menyetorkan PPh iDimensi contextual knowledge terdiri atas dua
OP terutang, WP menyadari pentingnya melapor PPh OP subdimensi, yaitu legal knowledge dan procedural
terutang, WP mengenali manfaat terkait perolehan knowledge (Bornman dan Wassermann, 2019). Konsep
informasi PPh OP, WP mengenali manfaat dari legal knowledge mengarah pada pemahaman WP terkait
penerimaan PPh OP, WP mengenali risiko dari tidak pengenaan pajak termasuk pemahaman atas undang-
289
© 2021, The Author(s). This is an open access article, free of all copyright, that anyone can freely read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full
texts or use them for any other lawful purpose. This article is made available under a Creative Commons Attribution 4.0 International License, which permits
unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. SEBATIK is a journal of the STMIK Widya Cipta
Dharma
undang serta peraturan perpajakan baik secara Selaras dengan hasil wawancara mendalam kepada
konseptual maupun teknikal (Bornman dan Ramutumbu, WP, bahwa terkait pelaksanaan kewajiban perpajakan
2019). Salah satu tolok ukur tingkat literasi dilihat dari yang dilakukannya, sebagian besar tidak dijalankan
kemampuan seseorang dalam membaca sekaligus sendiri, melainkan oleh kantor mengingat jenis pekerjaan
menafsirkan bacaannya, sedangkan konsep procedural yang digelutinya sebagai pegawai. Hal ini kemudian
knowledge mengarah pada pertimbangan pengetahuan, menjadikannya kurang memahami prosedur perpajakan
keterampilan, dan sumber daya untuk berinteraksi yang berlaku. Selain itu, faktor profesi ini juga
dengan otoritas pajak dalam melakukan kewajiban serta menjadikan responden kurang menggali kemampuannya
menyimpan dokumen perpajakan (Bornman dan dalam perolehan informasi pajak sebagaimana yang
Wassermann, 2019). Konsep ini juga sejalan dengan dikatakan responden ketika disinggung mengenai
teori literasi menurut Cvrlje (2015) yang menyebutkan intensitas dalam mengakses informasi pajak.
bahwa literasi merupakan kemampuan seseorang, yang Selain profesi, faktor yang turut menyebabkan
salah satunya dalam hal mengomunikasikan sesuatu. rendahnya tingkat contextual knowledge adalah
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada informasi yang sulit dipahami. Berdasarkan hasil
masing-masing indikator dari setiap sub dimensi pada wawancara mendalam, informasi yang diberikan DJP
dimensi contextual knowledge ini, maka didapatkan hasil terkait PPh OP masih belum sepenuhnya mudah
sebagaimana tertera pada Gambar 2. dipahami oleh seluruh kalangan melainkan baru sebatas
mudah bagi mereka yang berpendidikan. Tingkat
200 192 pengetahuan tersebut juga dapat dipengaruhi oleh
lingkungan sekitar WPOP, seperti lingkungan kerja
ataupun lingkungan pendidikan yang baik akan
150 menggambarkan semakin baiknya pengetahuan
104
perpajakan sehingga akan memicu peningkatan pada
100 kepatuhan secara sukarela (Pambudi, 2016)
Sedangkan terkait dengan pengenaan sanksi pajak
sendiri terdapat beberapa pendapat yang berbeda dari
50
22 responden, sebagian responden menyatakan bahwa
pengenaan sanksi pajak saat ini sudah cukup efektif
0 dalam memberikan efek jera, sedangkan beberapa
Rendah Sedang Tinggi responden lainnya menjawab dengan pendapat yang
kontra. Selain itu, nominal sanksi denda yang dikenakan
Gambar 2. Analisis Dimensi Contextual Knowledge juga dapat dikatakan cukup rendah jika dibandingkan
(n= 318) dengan sanksi yang dikenakan terhadap WP Badan,
sehingga belum mampu membuat WP patuh dalam
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada menjalankan kewajibannya sesuai prosedur, tetapi justru
masing-masing indikator dari setiap sub dimensi pada cenderung menyepelekan sanksi yang ada.
dimensi contextual knowledge Gambar 2 menunjukkan Faktor lainnya, yaitu usia responden dianggap
bahwa sebanyak 192 responden memiliki tingkat menjadi salah satu penyebab rendahnya contextual
contextual knowledge yang rendah, 104 responden knowledge. WP berusia lanjut biasanya akan lebih sulit
memiliki tingkat contextual knowledge yang sedang, dan dalam menjalankan kewajiban perpajakannya termasuk
hanya 22 responden yang memiliki tingkat contextual mengetahui informasi pajak terbaru jika dibandingkan
knowledge yang tinggi. Oleh karenanya dapat dengan WP yang lebih muda, meskipun pada dasarnya
disimpulkan bahwa tingkat dimensi contextual hal ini kembali lagi kepada kemauan dari individu yang
knowledge secara menyeluruh masih rendah. Kondisi ini bersangkutan.
dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Terakhir, miskonsepsi PPh OP dirasa masih ada di
Jika dilihat berdasarkan sub dimensi legal knowledge, beberapa WP, yaitu menyamakan konteks SPT PPh OP
faktor-faktor utama yang mempengaruhi di antaranya Tahunan dengan PPh 21 yang dibayarkan perusahaan.
seperti jenis pekerjaan responden, informasi pajak yang Adanya anggapan bahwa kewajiban perpajakan berakhir
sulit dipahami, dan sanksi pajak yang belum sepenuhnya ketika pajak sudah dipotong dan dipungut oleh
efektif dalam memberikan efek jera. Sedangkan pada sub perusahaan ini mendukung rendahnya contextual
dimensi procedural knowledge, faktor-faktor utama yang knowledge. Hal ini selaras dengan konfirmasi AR Jakarta
mempengaruhi adalah profesi responden, usia, dalam wawancara mendalam ketika ditanyakan terkait
digitalisasi sistem, dan miskonsepsi terkait teori PPh OP. pemahaman WP yang masih minim terkait konsep PPh
Secara keseluruhan, rendahnya tingkat contextual OP dan pemotongan PPh 21 yang dilakukan oleh
knowledge dipengaruhi oleh profesi responden, informasi perusahaan tempat WP bekerja, di mana banyak dari WP
dan sanksi yang belum optimal, usia, digitalisasi sistem, tidak menyadari kewajibannya untuk melaporkan SPT
dan miskonsepsi terkait teori PPh OP. PPh OP di samping kewajiban yang dimilikinya atas PPh
21. Selain itu juga, diperlukan inisiatif yang tinggi dari
290
Sebatik Vol. 25 No. 1 Juni 2021
ISSN: 1410-3737(p) 2621-069X(e)
Open access article licensed under CC-BY
jurnal.wicida.ac.id/index.php/sebatik
WPOP itu sendiri didukung dengan koordinasi yang baik 4.4. Tingkat Literasi Pajak Penghasilan Orang -
kepada otoritas pajak sehingga mencegah terjadinya IPribadi di Wilayah Jabodetabek
miskonsepsi akibat tidak adanya komunikasi dan iLiterasi pajak didefinisikan sebagai suatu proses
sosialisasi yang baik (Kususmaswara dan Budi, 2011). dinamis dari pengembangan kemampuan dan
Rendahnya tingkat contextual knowledge ini mendapatkan kepercayaan diri untuk lebih mengetahui
disebabkan oleh rendahnya procedural knowledge dan dan memahami berbagai faktor yang berdampak
legal knowledge yang dimiliki WP. Oleh karena itu, terhadap keputusan pajak dan konsekuensinya serta
pemerintah harus tetap mengupayakan peningkatannya mengetahui tempat untuk mendapatkan bantuan terkait
untuk menciptakan masyarakat yang patuh dan taat masalah perpajakan dan menggunakan pengetahuan
pajak. Dalam hal ini, pemerintah dapat menjadikan tersebut sebagai dasar dalam membuat suatu pilihan dan
negara lain sebagai referensi implementasi kebijakan, keputusan terkait (Bornman and Wassermann, 2019).
misalnya dengan upaya peningkatan kepatuhan pajak Hasil penelitian untuk mengukur tingkat literasi PPh OP
dengan meningkatkan social welfare atau kesejahteraan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dapat
sosial sebagaimana diterapkan pada beberapa negara dilihat dalam grafik di gambar 3.
lainnya. Dengan begitu, akan tercipta kepercayaan dari
masyarakat kepada pemerintah karena telah merasakan 200
jaminan dari pemerintah, sehingga akan timbul voluntary 176
compliance atau kepatuhan sukarela dari WP.
150 142
4.3. Analisis Dimensi Meaning Making
Menurut Bornman dan Wassermann (2019), meaning
making adalah penerapan prosedur perpajakan secara
100
benar sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam dimensi
meaning making, diukur dampak atas hasil dari individu
yang memiliki kesadaran pajak dan diikuti penerapan
50
pengetahuan pajak, sehingga individu dapat mengambil
suatu keputusan perpajakan serta mengaplikasikannya
sesuai dengan teori kepatuhan pajak secara benar.
0
Dimensi meaning making terdiri dari lima indikator,
Sedang Tinggi
yaitu WP menghitung PPh OP terutang secara benar, WP
menyetorkan PPh OP secara tepat waktu, WP Gambar 3. Tingkat Literasi PPh OP di Jabodetabek
melaporkan PPh OP secara tepat waktu, WP tidak pernah (n = 318)
memperoleh sanksi perpajakan, dan WP tidak pernah
menunggak pembayaran PPh OP. Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan
Dari hasil survei yang dilakukan untuk mengukur kepada WPOP di wilayah Jabodetabek dengan jumlah
tingkat meaning making pada WP Jakarta, Bogor, 318 responden, diperoleh hasil seperti Gambar 4 di atas
Depok, Tangerang, dan Bekasi mengenai dimensi yang telah diolah menggunakan SPSS. Dari hasil data
meaning making, dihasilkan tingkat dimensi meaning olahan tersebut dapat diinterpretasi bahwa tingkat literasi
making adalah 100% rendah. Pada konsepnya, dalam PPh OP masyarakat Jabodetabek dinyatakan memiliki
teori Bornman dan Wassermann (2019), pembentukan kategori sedang dengan selisih kecil antara sedang dan
dimensi meaning making dipengaruhi oleh lima rendah, yaitu hanya sebesar 34 responden. Tingkat
indikator, yaitu WP menghitung PPh OP terutang secara literasi PPh OP yang menunjukkan angka frekuensi
benar, WP menyetorkan PPh OP secara tepat waktu, WP dengan kategori sedang mencapai 176 responden dari
melaporkan PPh OP secara tepat waktu, WP tidak pernah total jumlah responden sebanyak 318. Kategori sedang
memperoleh sanksi perpajakan, dan WP tidak pernah yang dimaksud dalam penelitian ini berarti WP telah
menunggak pembayaran PPh OP. Dari kelima indikator memiliki kemampuan untuk membaca, menulis, serta
tersebut, rendahnya tingkat meaning making secara memahami masalah perpajakan secara minimum, namun
keseluruhan disebabkan oleh ketidakmampuan masih memerlukan bantuan pihak lain dalam
responden dalam menghitung PPh OP terutang secara menjalankan kewajiban perpajakannya.
mandiri dan benar. Hal tersebut dikarenakan mayoritas Literasi pajak dapat diartikan sebagai kemampuan
responden adalah pegawai, sehingga PPh OP terutang individu untuk memahami, mengakses, serta
responden sudah dipotong oleh pihak ketiga/perusahaan. menggunakan suatu informasi terkait dengan pajak yang
Selain itu, banyaknya responden yang menjawab tidak dapat mencerminkan kesadaran WP untuk menjalankan
tahu, tidak menjawab, tidak relevan, mengenai paling kewajibannya (Ibda, 2019). Berkaitan dengan hal
lambat harus dilakukan penyetoran PPh OP dan PPh tersebut, informasi-informasi yang berkaitan dengan
Pasal 25 juga mempengaruhi rendahnya tingkat meaning pelaksanaan kewajiban perpajakan sebenarnya sudah
making. disediakan oleh pihak yang berwenang, yaitu DJP.
291
© 2021, The Author(s). This is an open access article, free of all copyright, that anyone can freely read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full
texts or use them for any other lawful purpose. This article is made available under a Creative Commons Attribution 4.0 International License, which permits
unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. SEBATIK is a journal of the STMIK Widya Cipta
Dharma
Fasilitas-fasilitas layanan offline yang telah negara dan kesadaran atas pentingnya menyetor,
disediakan oleh otoritas pajak, seperti layanan konsultasi membayar, dan melapor PPh terutang.
front office di KPP, Business Development Service, Salah satu alasan yang juga melatarbelakangi cukup
pelatihan dalam pekan inklusi perpajakan dan bertemu tingginya tax awareness adalah karena jenis pekerjaan
secara langsung dengan WPOP terkait. Selain itu, dan bentuk sosialisasi yang diterima responden. Pada
pemberian fasilitas layanan secara online yang penelitian ini, mayoritas responden bekerja karyawan
dinamakan 3C (Click, Call, dan Counter), seperti melalui sebesar 82,9% sehingga wajar jika memiliki kesadaran
e-mail, Whatsapp Center, pemberian linktree di yang lebih baik karena dipengaruhi oleh frekuensi
Instagram untuk mengontak AR masing-masing, sosialisasi yang dilakukan. Terlebih lagi, kewajiban
tutorial-tutorial di channel Youtube kantor pusat, perpajakan sudah dilakukan oleh pemberi kerja sehingga
pemberian sosialisasi melalui podcast dan kelas pajak kesadaran terhadap pajak sudah pasti ada, meskipun
online. Pemberian layanan secara online akan tidak semua WP karyawan melaporkannya. Di sisi lain,
membentuk persepsi positif bagi WPOP karena WP berstatus nonkaryawan masih sulit untuk dijangkau
pemenuhan kewajiban perpajakan akan dilaksanakan PPh OP-nya karena frekuensi sosialisasi berbeda dengan
lebih baik (Kussuari and Boenjamin, 2019). Dengan WP karyawan.
demikian, penyediaan-penyediaan fasilitas layanan WP non karyawan menjadi sektor hard to tax yang
tersebut sudah dapat digunakan WPOP sebagai media memiliki potensi penerimaan pajak yang besar, seperti
untuk mendapatkan bantuan dari pihak lain yang dalam pada sektor UMKM baik secara langsung maupun daring
hal ini adalah otoritas pajak. Penyediaan layanan fasilitas yang berdagang melalui marketplace serta pekerja bebas
perpajakan yang baik secara tidak langsung akan atau freelance, seperti penulis, seniman, artis, dan
mendorong WPOP untuk melaksanakan kewajiban lainnya. Salah satu pekerjaan yang sedang meningkat
perpajakan secara tepat waktu sehingga menggambarkan jumlahnya adalah freelancer dan UMKM. Masih relatif
kepatuhan WP (Syamsurizal, 2017). Dalam hal ini, rendahnya tingkat tax awareness di masyarakat,
dibutuhkan sinergi antara inisiatif dan peningkatan khususnya pada kedua sektor tersebut, menjadi tantangan
literasi pajak dari WPOP itu sendiri dengan pemberian tersendiri bagi otoritas pajak untuk melakukan upaya-
pelayanan yang baik untuk mengoptimalkan kepatuhan upaya untuk meningkatkan tax awareness, seperti
dari WP. melakukan penyuluhan atau sosialisasi pajak, edukasi
Pengukuran tingkat literasi pajak PPh OP yang pajak, dan lain sebagainya. PPh OP memiliki cakupan
digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori dari yang luas sehingga masih terdapat banyak sektor-sektor
Bornman & Wassermann, di mana pengukuran dapat yang belum digali potensi penerimaan PPh OP. Hal ini
dilakukan dengan mengukur dari tiga dimensi menjadi tantangan bagi DJP untuk memberikan
pembentuk literasi pajak, yaitu tax awareness, contextual sosialisasi PPh OP yang kemudian menjadi salah satu
knowledge yang terdiri dari legal knowledge dan faktor timbulnya gap pada tingkat tax awareness.
procedural knowledge, dan meaning making (Bornman Ditinjau dari dimensi contextual knowledge pada
and Wassermann, 2019). Tabel 1 berikut ini responden yang sama, data yang dihasilkan menunjukkan
menunjukkan hasil keseluruhan persentase dari setiap bahwa WPOP memiliki tingkat pengetahuan yang rendah
dimensi penunjang literasi pajak menurut Bornman & mengenai proses pemenuhan kewajiban perpajakan. Dari
Wassermann. besarnya jumlah WPOP yang terdaftar di Indonesia,
belum 100% WPOP melakukan kewajiban
Tabel 1. Data dari Tiga Dimensi pada Tingkat perpajakannya dengan baik. Proporsi WPOP yang
Literasi Pajak (n = 318) memiliki NPWP di setiap daerah Jabodetabek sangatlah
besar. Selain itu, dari jumlah WPOP terdaftar didominasi
Tingkat Tax Contextual Meaning
Variabel Awareness Knowledge Making oleh WPOP karyawan yang sebenarnya telah memiliki
kewajiban perpajakan, tetapi dalam pekerjaan tersebut
Rendah 10.7% 60.4% 100% kewajiban untuk menyetor dan menghitung sudah
dilakukan oleh pemberi kerja. Dalam hal ini, WPOP
Sedang 43.4% 32.7% - yang memiliki NPWP belum memiliki contextual
knowledge yang memadai, sehingga kepemilikan NPWP
Tinggi 45.9% 6.9% - hanya menjadi syarat formal untuk mendapatkan
pekerjaan.
Tingkat tax awareness mayoritas responden sudah Adanya transisi fasilitas pelayanan ke daring, seperti
tinggi. WPOP di wilayah Jabodetabek telah memiliki NPWP online yang memiliki fitur NPWP non efektif
pemahaman mengenai kontrak sosial atau fiscal untuk WP agar tidak perlu menjalani kewajibannya,
exchange dengan pemerintah yang dijadikan dasar untuk menjadi salah satu faktor penyebab masih rendahnya
mewujudkan literasi pajak yang tinggi. Tingginya contextual knowledge. Selain itu, adanya kecenderungan
kesadaran pajak ini didominasi dari tingginya WP OP untuk membuat NPWP bukan karena sudah
pengetahuan terkait manfaat penerimaan PPh OP bagi memenuhi kewajiban tatbestand pajak, tetapi karena
keperluan lain seperti membuka buku tabungan, syarat
292
Sebatik Vol. 25 No. 1 Juni 2021
ISSN: 1410-3737(p) 2621-069X(e)
Open access article licensed under CC-BY
jurnal.wicida.ac.id/index.php/sebatik
melakukan pinjaman ke bank, dan lainnya. Atas NPWP dengan hipotesis peneliti yang menyatakan bahwa
non efektif ini menyebabkan WPOP merasa tidak perlu tingkat literasi WPOP di wilayah Jabodetabek masuk ke
menjalankan kewajiban perpajakannya karena keperluan- dalam kategori rendah.
keperluan tersebut sudah terpenuhi. Hal tersebut Tingkat literasi PPh OP dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa pada level implementasi masih merupakan hasil gabungan pengolahan data dari 318
banyak WPOP yang belum melaksanakan kewajiban responden dari tiga dimensi, yaitu dimensi tax
perpajakan dengan baik akibat masih rendahnya awareness, contextual knowledge, dan meaning making.
pengetahuan contextual knowledge. Hasil temuan Hasil penelitian menunjukkan tingkat literasi berada di
tersebut sejalan dengan penelitian Kususmaswara dan kategori sedang yang masih didukung oleh nilai dimensi
Budi (2011) yang menunjukkan bahwa masih tingginya tax awareness yang cukup tinggi. Relatif tingginya tax
jumlah WPOP yang tidak mengerti mengenai penerapan awareness pada hasil penelitian ini sangat didukung
dari self-assessment system ini akan menggambarkan dengan faktor tempat bekerja responden yang mayoritas
tingkat kepatuhan WPOP yang masih rendah. Dengan adalah pegawai atau karyawan. Hal ini menyebabkan
demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa WPOP WPOP hanya perlu melaporkan pajak yang sudah
di daerah Jabodetabek belum memiliki pengetahuan yang dipotong oleh tempat kerja saja, tetapi belum memahami
cukup memadai terkait PPh OP, baik mengenai cara menghitung dan tata cara penyetoran dan pelaporan
bagaimana WP dikenakan pajak, pemahaman mengenai dengan baik. Dikarenakan mayoritas responden adalah
prosedur dalam perpajakan, serta pentingnya menyimpan karyawan, untuk itu penelitian terkait tingkat literasi
atau mengarsipkan dokumen-dokumen terkait PPh OP. pajak PPh OP bagi WP non karyawan perlu dilakukan
Berdasarkan hasil dimensi contextual knowledge agar memperluas perspektif dari penelitian ini. Oleh
yang terdiri dari legal dan procedural knowledge karena itu, dapat dinyatakan bahwa WP di daerah
menunjukkan hasil yang didominasi oleh tingkat rendah, Jabodetabek yang merupakan pusat kegiatan ekonomi di
sementara pada dimensi meaning making dihasilkan Indonesia tidak menjamin tingkat literasi PPh OP akan
persentase data berupa nilai valid & cumulative percent tinggi.
yang menunjukkan total angka sebesar 100%. Meaning
making sendiri merupakan elemen yang berhubungan 4.5. Faktor Determinan Literasi Pajak Penghasilan --
dengan dampak atas hasil dari individu yang memiliki iOrang Pribadi
kesadaran pajak dan diikuti penerapan pengetahuan Selain mengukur tingkat literasi PPh OP di
pajak, sehingga individu dapat mengambil suatu Jabodetabek, peneliti juga menggunakan kombinasi
keputusan perpajakan serta diaplikasikan sesuai dengan teknik pengumpulan data kuantitatif kepada 318
teori kepatuhan pajak secara benar (Bornman dan responden dan teknik pengumpulan data kualitatif
Wassermann, 2019). Hal tersebut wajar terjadi karena kepada beberapa informan untuk mengidentifikasi faktor
untuk mencapai tingkat meaning making harus diiringi determinan tingkat literasi yang dijabarkan sebagai
dengan kesadaran dan pengetahuan pajak yang memadai. berikut:
Namun, berdasarkan hasilnya, seluruh responden belum 1. Kesadaran pajak (tax awareness) berkaitan dengan
atau tidak mampu menerapkan prosedur perpajakan pemahaman WPOP terhadap tujuan dari
secara benar sesuai dengan aturan yang berlaku. melaksanakan kewajiban perpajakan serta inisiatif
Dari ketiga dimensi dalam pengukuran tingkat literasi dari WPOP untuk mencari informasi sebagai bentuk
pajak menghasilkan kategori sedang yang didukung dari self-assessment system.
dengan data tax awareness yang menunjukkan bahwa 2. Tingkat Kepercayaan terhadap pemerintah yang
kesadaran masyarakat terkait pentingnya melaksanakan berkaitan dengan pandangan negatif dari WPOP
kewajiban perpajakan tinggi, namun berbanding terbalik adanya potensi penyalahgunaan uang pajak untuk
dengan kenyataan pada contextual knowledge dan kepentingan lainnya dan bukan untuk
meaning making yang ditunjukkan dengan tingkat meningkatkan kesejahteraan sosial sebagai bentuk
rendah. Rendahnya persentase dimensi contextual kontra prestasi tidak langsung.
knowledge disebabkan karena pengetahuan perpajakan 3. Tingkat pendidikan WPOP yang berkaitan dengan
sangat memengaruhi kemampuan responden dalam kesadaran untuk mempelajari wawasan
menerapkan prosedur administrasi perpajakannya. pengetahuan perpajakan. WP dengan pendidikan
Rendahnya nilai persentase dimensi meaning making lebih tinggi cenderung lebih mudah memahami
PPh OP tersebut dipengaruhi oleh minimnya nilai pengetahuan perpajakan daripada WP dengan
persentase dimensi contextual knowledge yang tingkat pendidikan lebih rendah
menyebabkan pengaplikasian knowledge itu sendiri tidak 4. Sosialisasi Pajak berkaitan dengan frekuensi,
berjalan secara optimal. Dapat diartikan untuk metode penyampaian, dan konten informasi yang
mewujudkan tingkat literasi PPh OP yang tinggi, mudah dipahami serta pemberian reward terhadap
diperlukan adanya keseimbangan WPOP dalam ketiga WPOP dalam mendukung atensi dari WPOP untuk
dimensi yang ada. Namun, hasil penelitian membuktikan menghadiri sosialisasi dan kemauan untuk
bahwa tingkat literasi WP OP di wilayah Jabodetabek memahami kewajiban perpajakannya.
termasuk kategori sedang, sehingga hal ini tidak sejalan
293
© 2021, The Author(s). This is an open access article, free of all copyright, that anyone can freely read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full
texts or use them for any other lawful purpose. This article is made available under a Creative Commons Attribution 4.0 International License, which permits
unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. SEBATIK is a journal of the STMIK Widya Cipta
Dharma
294
Sebatik Vol. 25 No. 1 Juni 2021
ISSN: 1410-3737(p) 2621-069X(e)
Open access article licensed under CC-BY
jurnal.wicida.ac.id/index.php/sebatik
295