OLEH:
2. Epidemiologi
Dispepsia adalah keluhan klinis yang sering dapat dijumpai dalam praktik
klinis sehari-hari (Abdullah & Gunawan, 2012). Secara global, terdapat berkisar i15-
40% penderita sindrom dispepsia. Setiap tahun sindrom ini mengenai 25% populasi
di dunia. Sekitar 25% populasi tersebut memiliki gejala dispepsia enam kali setiap
tahunnya. Prevalensi dispepsia di Asia sekitar 8-30% (Purnamasari, 2017).
Prevalensi pasien dispepsia Indonesia di pelayanan kesehatan mencakup 30%
dari pelayanan dokter umum dan 50% dari ipelayanan dokter spesialis
gastroenterologi (Marcellus et al, 2014). Prevalensi iyang cukup tinggi ditemui di
Makasar tahun 2011 (55%), Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan
Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi terendah di Jakarta (8%) (Parewangi,
2011).
3. Etiologi
Menurut Fithriyana (2018) Dispepsia disebabkan karena makan yang tidak
teratur sehingga memicu timbulnya masalah lambung dan pencernaannya menjadi
terganggu. Ketidakteraturan ini berhubungan dengan waktu makan, seperti berada
dalam kondisi terlalu lapar namun kadang-kadang terlalu kenyang. Selain itu kondisi
faktor lainnya yang memicu produksi asam lambung berlebihan, diantaranya
beberapa zat kimia, seperti alcohol, umumnya obat penahan nyeri, asam cuka,
makanan dan minuman yang bersifat asam, makanan yang pedas serta bumbu yang
merangsang. Selain itu penyebab lainnya dari dyspepsia bisa disebabkan oleh
kelainan motilitas usus, dimana pada sindrom dispepsia, terutama dispepsia
fungsional, terjadi pengosongan lambung yang lebih lama dan berkorelasi dengan
adanya keluhan mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati sedangkan ditemukan
gangguan akomodasi lambung waktu makan yang berhubungan dengan rasa cepat
kenyang dan penurunan berat badan (Djojoningrat, 2014).
Penyebab yang lainnya yaitu infeksi Helicobactery Pylori dimana peran
Helicobacter pylori pada patogenesis sindrom dispepsia masih terus dipelajari. H.
pylori diduga menyebabkan inflamasi dan dismotilitas, menginisiasi hipersensitivitas
viseral dan meningkatkan sekresi asam. Pada kejadian sindrom dispepsia yang
disebabkan oleh kelainan organik, seperti tukak peptikum, infeksi Helicobacter
pylori memiliki peranan yang penting (Brun & Kuo, 2010). Reaksi imun yang timbul
terhadap Helicobacter pylori justru menyebabkan kerusakan sel-sel epitel
gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil mengeliminasi bakteri dan
menjadi infeksi kronik. Selain itu, Helicobacter pylori yang terkonsentrasi di antrum
juga dapat menyebabkan kerusakan sel-sel D setempat yang fungsinya untuk
menghasilkan somatostatin. Penurunan isomatostatin yang terjadi menyebabkan
gastrin (asam lambung) tidak dapat ditekan sehingga asam lambung berlebihan dan
dapat berlanjut ke duodenum menyebakan tukak dudodenum (Djojoningrat, 2014).
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,
membagi dispepsia menjadi tiga tipe sebagai berikut: (Djojoningrat, 2014).
1) Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkus, dengan gejala :
a. Nyeri epigastrum terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antacid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodic
2) Dyspepsia dengan gejala seperti dismotilitas, dengan gejala seperti :
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal boating
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3) Dyspepsia non-spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe diatas)
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut
atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik
berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai
dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa
penderita, makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan
bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun,
mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung).
Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau
gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.
5. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus
peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini
menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang
heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang
dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme patofisiologi
dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori, ketidaknormalan motilitas,
gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan perubahan-perubahan fisiologi
tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf otonom vegetatif, sistem
neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan Patofisiologi ulkus peptikum
diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara tekanan agresif (HCL dan pepsin)
yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif yang melindungi lambung ( barier
mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi HCO3) (Yehuda, 2010).
Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori
dibawah ini (Yehuda, 2010) :
1) Helicobacter pylori (Hp)
Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai saat ini
masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli
Gastrohepatologi. Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan
insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli
berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan
kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan
penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot
sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin
cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan membuat lambung kosong lebih
lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin menginfeksi lambung tersebut,
dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.
2) Ketidaknormalan Motilitas usus
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia
fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung.
Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum
postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang
“kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal
seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila
terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus lambung
menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada
beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik
sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa
sebagai predictor ulkus peptikum.
3) Sekresi asam lambung
Peningkatan sesnsitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang
tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk
beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini berlangsung
dalam waktu yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat
mengiritasi dinding mukosa pada lambung.
Pathway Dispepsia
Keterlambatan
Nyeri Epigastrik Nyeri Abdomen
pengosongan
Rangsangan dimedula
oblongata
Mual, Muntah
7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Djojoningrat (2014) pemeriksaan untuk penanganan dispepsia
terbagi beberapa bagian, yaitu:
a. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap
dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Dari hasil pemeriksaan darah bila
ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja,
jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan
menderita malabsorpsi.Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak,
sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu
diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolonperlu diperiksa CEA,
dugaan karsioma pankreas perlu diperiksa CAA 19-9.
b. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung, atau usus halus dapat
dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah,
penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila
penderita makan
c. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus
kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung.
Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui
apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan
pemeriksaan baku emas (gold standard), selain sebagai diagnostik sekaligus
terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:
- CLO (rapid urea test)
- Patologi anatomi (PA)
- Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
- PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian pemeriksaan
penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan kontras ganda,
serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test.
Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya
dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di
esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum
yang meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk
ke intestinum (Hadi, 2002). Tukak baik dilambung maupun diduodenum akan terlihat
gambaran yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media.
Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar
licin. Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak massa yang irreguler tidak
terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akuta
perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus
besar ( colon cut off Sign ), atau tampak dilatasi dari intestinum terutamadi jejunum
yang disebut sentinal loops. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran
kontraksi kerongkongan atau respon kerongkongan terhadapa asam.
8. Penatalaksanaan
Pengobatan dispepsia umumnya dapat dimulai dengan pengobatan
simptomatis. Pengobatan kausal dapat segera dimulai bila diagnosis akhir telah
ditetapkan. Jadi perlu dipastikan diagnosisnya terlebih dahulu, dan dimulai dengan
pengobatan yang bersifat kausal, terutama untuk pasien dispepsia organik (Tarigan,
2006).
Pada pasien dewasa muda dan tanpa gejala ke arah penyakit organik berat,
maka dapat dilakukan pengobatan empirik percobaan selama 4-8 minggu, tanpa
dilakukan pemeriksaankhusus terlebih dahulu. Bila dalam jangka waktu tersebut
tidak ada perbaikan, perlu dirujuk untuk mendapatkan kepastian diagnosanya
(Guyton dan Hall, 2008).
1) Modifikasi pola hidup
Pasien perlu diberi penjelasan untuk dapat mengenal dan menghindari keadaan
yang potensial mencetuskan serangan dispepsia. Belum ada kesepakatan tentang
bagaimana pola diet yang diberikan pada kasus dispepsia fungsional. Penekanan
justru lebih ditujukan untuk menghindari jenis makanan yang dirasakan sebagai
faktor pencetus. Pola diet porsi kecil namun sering, makanan rendah lemak,
mengurangi/menghindari makanan yang spesifik (kopi, alcohol, pedas, dll akan
banyak mengurangi gejala terutama setelah makan.
2) Medikamentosa
Dalam pengobatan sindrom Dispepsia, kita mengenal beberapa golongan obat
yang dapat dipakai, yaitu :
a. Antasid, yaitu obat yang berfungsi untuk menetralisir asam lambung.
Golongan obat ini banyak sekali jenisnya dan mudah didapat. Pemakaian obat
ini jangan terus-menerus dan harus diperhatikan efek samping serta penyakit
lain yang diderita oleh pasien. Pemakaian obat ini lebih cenderung kearah
simptomatik.
b. Antagonis reseptor H2, menekan sekresi asam lambung. Golongan obat ini
antara lain simetidin, ranitidine, famotidin, raksatidin, nizatidin, dan lain-lain.
Pemakaiannya lebih banyak kearah kausal di samping juga simptomatik.
Banyak peneliti yang melaporkan bahwa jenis obat ini dapat dipakai pada
sindrom dispepsia organik seperti ulkus atau pada dyspepsia essensial.
Sebaiknya diberikan pada dispepsia organic tipe refluks dan ulkus.
c. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
- Esomeprazol 20-40 mg 1 x /hr
- Lanzoprazol 30 mg 1 x/hr
- Omeprazol 20 mg 1 x/hr
- Pantoprazol 40 mg 1 x/hr
- Rabeprazol 20 mg 1 x/hr.
d. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh
selparietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen,
yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus
dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan
protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi
mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA). Misoprostol (analog metilester PG
E1 yang menghambat sekresi HCl dan sitoprotektif ) Dosis : 200 mg 4 x/hr
atau 400 mg 2 x/hr. Sukralfat (Senyawa alumunium sukrosa sulfat bentuk
polimer dalam suasana asam dan terikat pada jaringan nekrotik tukak secara
selektif. Tidak diabsorbsi sistemik) dosis 1 g 4 x/hr 4.
e. Psikoterapi
Terapi jenis ini khususnya pada pasien dengan sindrom dispepsia non
organik, memberikan hasil yang cukup memuaskan terutama untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala dan keluhan. Penelitian yang
dilakukan oleh Muhjadid dan Manan mendapatkan bahwa 40% kasus
Dyspepsia disertai dengan gangguan kejiwaan dalam bentuk ansietas, depresi,
maupun kombinasi keduanya. Pada kasus ini, terapi dengan anti-
ansietas/depresi dapat membantu mengurangi gejala klinis, dan pada beberapa
kasus, pemakaian obat-obat konvensional untuk dyspepsia tidak mutlak
diperlukan. Bentuk terapi ini dapat dengan wawancara atau psikofarmaka.
9. Komplikasi
Komplikasi dari dispepsia yaitu luka pada lambung yang dalam atau melebar
tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung dan dapat
mengakibatkan kanker pada lambung (Djojoningrat, 2014).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Teoritis
I. Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan
dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien (Budiono, 2016).
Pengkajian pada klien Dyspepsia Syndrome, antara lain sebagai berikut:
1) Identitas Pasien
Dalam identitas pasien ini perlu ditanyakan antara lain adalah nama, umur,
jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, suku bangsa, status, alamat,
tanggal masuk RS, tanggal pengkajian, nomor rekam medik, diagnosa
medis. Selain identitas pasien juga mencakup identitas penanggung jawab
dalam hal ini : nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan
serta hubungan dengan pasien seperti : suami, orang tua atau hubungan
keluarga lainnya.
2) Keluhan Utama
Merupakan keluhan pada saat dikaji dan bersifat subjektif. Pada pasien
dyspepsia sindrom biasanya mengeluh nyeri/pedih pada epigastrium
disamping atas dan bagian samping dada depan epigastrium, mual, muntah
dan tidak nafsu makan, kembung, rasa kenyang
3) Riwayat Kesehatan
a. Riwayat penyakit masa lalu
Sering nyeri pada daerah epigastrium, adanya stress psikologis, riwayat
minum-minuman beralkohol
b. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah anggota keluarga yang lain juga pernah menderita penyakit
saluran pencernaan.
4) Data Biologis
a. Pola Nutrisi
Pola makan yaitu kebiasaan makan yang tidak teratur, makan-
makanan yang merangsang selaput mukosa lambung, berat badan
sebelum dan sesudah sakit.
b. Aspek Psikososial
Keadaan emosional, hubungan dengan keluarga, teman, adanya masalah
interpersonal yang bisa menyebabkan stress
5) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dipergunakan untuk memperoleh data objektif dari
riwayat perawatan klien. Adapun tujuan dari pemeriksaan fisik dalam
keperawatan adalah untuk menentukan status kesehatan klien,
mengidentifikasi kesehatan dan mengambil data dasar untuk menentukan
rencana perawatan.
a. Kulit
Kulit tampak simetris, kebersihan kulit baik, kulit teraba agak lembab,
tidak terdapat lesi atau luka pada kulit, turor kulit kembali ± 2 detik, kulit
teraba hagat dengan suhu 38°C, warna kulit kuning langasat.
b. Kepala dan Leher
Tekstur kepala dan leher tampak simetris, kebersihan kulit kepala baik
tidak terapat ketombe, persebaran rambut merata, warna rambut hitam,
tidak ada benjolan pada kepala, pada leher tidak ada pembeasran kelenjar
tiroid dan kelenjar limfe, leher dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri.
c. Penglihatan dan Mata
Struktur mata tampak simetris, kebersiahn mata baik (tidak ada secret
yang menempel paa mata), konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
tidak ada kelainan pada mata seperti strabismus (juling), mata dapat
digerakan kesegala arah, tidak ada kelainan dalam penglihatan, kilen
tidak menggunakan alat bantu penglihatan seperti kacamata
d. Penciuman dan Hidung
Struktur hidung tampak simetris, kebersiahn hidnubg baik, tidak ada
secret didalam hidung, tidak ada peradangan, perdarahan, dan nyeri,
fungsi penciuman baik (dapat membedakan bau minyk kayu putih denga
alkohol)
e. Pendengaran dan Telinga
Struktur telinga simetris kiri dan kanan, kebersihan telinga baik, tidak
ada serumyang keluar, tidak ada peradangan, perdarahan, dan nyeri, klien
mengtakan telinganya tidak berdengun, fungsi pendengaran baik(kilen
dapat menjawab pertanyaan dengan bai tanpa harus mengulang
pertanyaan), klien tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
f. Mulut dan Gigi
Struktur mulut dan gigi tampak simetris, mukosa bibir tampak kering,
kebersihan mulut dan gigi cukup baik, tidak terapat peradangan dan
perdarahan pada gusi, lidah tapak bersih dan klien tidak meggunakan gigi
palsu.
g. Dada, Pernafasan dan Sirkulasi
Bentuk dada simetris, frekuensi nafas 20x/menit, tidak ada nyeri tekan
pada dada, klien bernafas melalui hidung, tidak ada terdengar bunyi nafas
tambahan seperti wheezing atau ronchi, CRT kembali ± 3 detik.
h. Abdomen
Struktur abdomen simetris, abdomen tampak datar(tidak ada benjolan),
saat diperkusi terdenagr bunyi hipertimpani.Klien mengatakan perutnya
terasa kembung, saat dipalpasi terdapat nyeri tekan, klien mengatakan
nyeri didaerah abdomen pada bagin atas. Klien mengatakn skala nyerinya
3 dan seperi disuk-tusuk, serta nyerinya bisa berjam-jam.
6) Analisa Data
Analisa data adalah pengelompokan data-data klien atau keadaan tertentu
dimana klien mengalami permasalahan kesehatan atau keperawatan
berdasarkan kriteria permasalahannya.
Budiono. (2016). Konsep Dasar Keperawatan, Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan
(Pusdik SDM). Jakarta.
Djojoningrat, Dharmika. (2014). Dispepsia Fungsional dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Guyton dan Hall. (2008). Fisiologi Gastrointestinal Dalam Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi II. 1050-2. Jakarta: EGC
Parewangi AML. (2011). Jumlah Data Helicobacter Pylori Positif Di Makassar : RSUP
dr. Wahidin Sudirohusodho.
Putri, dkk. (2016). Gambaran Klinis dan Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas Pasien
Dispepsia di Bagian RSUP Dr. M Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas,
No 5 (2).
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Definisi
dan Indikator Diagnostik). Jakarta Selatan: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Definisi
dan Tindakan Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI.