Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DYSPEPSIA SYNDROME

OLEH:

LUH PUTU NIA BUDI MARTSIANI


219012679
KELOMPOK 21

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2021
LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN DYSPEPSIA SYNDROME

A. Konsep Dasar Teori


1. Definisi
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau
kumpulan gejala/keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati,
kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah (Putri
dkk, 2016).
Dispepsia merupakan istilah yang digambarkan sebagai suatu kumpulan
gejala atau sindrom yang meliputi nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung,
mual, muntah, sendawa, terasa cepat kenyang, perut terasa penuh atau begah. Hal ini
akan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan proses metabolisme yang
mengacu pada semua reaksi biokimia tubuh termasuk kebutuhan akan nutrisi
(Ristianingsih, 2017).
Kata ‘dispepsia’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘dys’ (poor) dan ‘pepse’
(digestion) yang berarti gangguan percernaan. Awalnya gangguan ini dianggap
sebagai bagian dari gangguan cemas, hipokondria, dan histeria (Purnamasari, 2017).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa dyspepsia
merupakan suatu sindrom atau gelaja pada gangguan pencernaan yang meliputi nyeri
atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, terasa cepat
kenyang, perut terasa penuh atau begah.

2. Epidemiologi
Dispepsia adalah keluhan klinis yang sering dapat dijumpai dalam praktik
klinis sehari-hari (Abdullah & Gunawan, 2012). Secara global, terdapat berkisar i15-
40% penderita sindrom dispepsia. Setiap tahun sindrom ini mengenai 25% populasi
di dunia. Sekitar 25% populasi tersebut memiliki gejala dispepsia enam kali setiap
tahunnya. Prevalensi dispepsia di Asia sekitar 8-30% (Purnamasari, 2017).
Prevalensi pasien dispepsia Indonesia di pelayanan kesehatan mencakup 30%
dari pelayanan dokter umum dan 50% dari ipelayanan dokter spesialis
gastroenterologi (Marcellus et al, 2014). Prevalensi iyang cukup tinggi ditemui di
Makasar tahun 2011 (55%), Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan
Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi terendah di Jakarta (8%) (Parewangi,
2011).
3. Etiologi
Menurut Fithriyana (2018) Dispepsia disebabkan karena makan yang tidak
teratur sehingga memicu timbulnya masalah lambung dan pencernaannya menjadi
terganggu. Ketidakteraturan ini berhubungan dengan waktu makan, seperti berada
dalam kondisi terlalu lapar namun kadang-kadang terlalu kenyang. Selain itu kondisi
faktor lainnya yang memicu produksi asam lambung berlebihan, diantaranya
beberapa zat kimia, seperti alcohol, umumnya obat penahan nyeri, asam cuka,
makanan dan minuman yang bersifat asam, makanan yang pedas serta bumbu yang
merangsang. Selain itu penyebab lainnya dari dyspepsia bisa disebabkan oleh
kelainan motilitas usus, dimana pada sindrom dispepsia, terutama dispepsia
fungsional, terjadi pengosongan lambung yang lebih lama dan berkorelasi dengan
adanya keluhan mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati sedangkan ditemukan
gangguan akomodasi lambung waktu makan yang berhubungan dengan rasa cepat
kenyang dan penurunan berat badan (Djojoningrat, 2014).
Penyebab yang lainnya yaitu infeksi Helicobactery Pylori dimana peran
Helicobacter pylori pada patogenesis sindrom dispepsia masih terus dipelajari. H.
pylori diduga menyebabkan inflamasi dan dismotilitas, menginisiasi hipersensitivitas
viseral dan meningkatkan sekresi asam. Pada kejadian sindrom dispepsia yang
disebabkan oleh kelainan organik, seperti tukak peptikum, infeksi Helicobacter
pylori memiliki peranan yang penting (Brun & Kuo, 2010). Reaksi imun yang timbul
terhadap Helicobacter pylori justru menyebabkan kerusakan sel-sel epitel
gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil mengeliminasi bakteri dan
menjadi infeksi kronik. Selain itu, Helicobacter pylori yang terkonsentrasi di antrum
juga dapat menyebabkan kerusakan sel-sel D setempat yang fungsinya untuk
menghasilkan somatostatin. Penurunan isomatostatin yang terjadi menyebabkan
gastrin (asam lambung) tidak dapat ditekan sehingga asam lambung berlebihan dan
dapat berlanjut ke duodenum menyebakan tukak dudodenum (Djojoningrat, 2014).

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,
membagi dispepsia menjadi tiga tipe sebagai berikut: (Djojoningrat, 2014).
1) Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkus, dengan gejala :
a. Nyeri epigastrum terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antacid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodic
2) Dyspepsia dengan gejala seperti dismotilitas, dengan gejala seperti :
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal boating
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3) Dyspepsia non-spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe diatas)
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut
atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik
berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai
dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa
penderita, makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan
bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun,
mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung).
Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau
gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.

5. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus
peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini
menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang
heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang
dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme patofisiologi
dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori, ketidaknormalan motilitas,
gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan perubahan-perubahan fisiologi
tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf otonom vegetatif, sistem
neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan Patofisiologi ulkus peptikum
diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara tekanan agresif (HCL dan pepsin)
yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif yang melindungi lambung ( barier
mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi HCO3) (Yehuda, 2010).
Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori
dibawah ini (Yehuda, 2010) :
1) Helicobacter pylori (Hp)
Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai saat ini
masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli
Gastrohepatologi. Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan
insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli
berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan
kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan
penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot
sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin
cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan membuat lambung kosong lebih
lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin menginfeksi lambung tersebut,
dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.
2) Ketidaknormalan Motilitas usus
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia
fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung.
Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum
postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang
“kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal
seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila
terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus lambung
menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada
beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik
sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa
sebagai predictor ulkus peptikum.
3) Sekresi asam lambung
Peningkatan sesnsitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang
tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk
beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini berlangsung
dalam waktu yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat
mengiritasi dinding mukosa pada lambung.
Pathway Dispepsia

Kelainan Motilitas usus Penyakit asam Infeksi Helicobacter


lambung pylori

Penurunan reflek fundus Pajanan keasaman


Iritasi/peradangan
esofagus

Keterlambatan
Nyeri Epigastrik Nyeri Abdomen
pengosongan

Dispepsia Klien cemas dengan


keadaannya
Anoreksia
MK: Ansietas
Intake makanan
kurang
MK: Defisit Nutrisi
Lambung kosong

Erosi pada lambung.


Gesekan diding
lambung
MK: Nyeri Akut
Peningkatan produksi
HCL

Rangsangan dimedula
oblongata

Mual, Muntah

MK: Hipovolemia MK: Nausea


6. Klasifikasi
Pengelompokan mayor dispepsia terbagi atas dua yaitu:
1) Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis, stomach
cancer, Gastro-Esophageal reflux disease, hiperacidity.
2) Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non
ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa
disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan
klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran
pencernaan) (Mansjoer, 2000)
Jenis-jenis dispepsia organik yaitu
a. Tukak Pada Saluran Cerna Atas
Tukak dapat ditemukan pada saluran cerna bagian atas yaitu pada
mukosa, submukosa dan lapisan muskularis, pada distal esophagus,
lambung dan duodenum. Keluhan yang sering terjadi adalah nyeri
epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri tajam dan menyayat atau
tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang lapar. Nyeri epigastrum
terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri
dapat berkurang atau hilang sementara sesudah makan atau setelah
minum antasida. Gejala lain seperti mual, muntah, kembung,
bersendawa dan kurang nafsu makan.
b. Gastritis G
astritis adalah peradangan/inflamasi pada lapisan mukosa dan
submukosa lambung. Penyebabnya oleh makanan atau obat-obatan
yang mengiritasi mukosa lambung dan adanya pengeluaran asam
lambung yang berlebihan. Gejala yang timbul seperti mual, muntah,
nyeri epigastrum, nafsu makan menurun dan kadang terjadi perdarahan.
c. Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD)
Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD) adalah kelainan yang
menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir balik) ke
kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa rasa panas terbakar
di dada (hearthburn), kadang disertai rasa nyeri serta gejala lain seperti
rasa panas dan pahit di lidah, serta kesulitan menelan. Belum ada tes
standar untuk mendiagnosa GERD, kejadiannya diperkirakan dari
gejala-gejala penyakit lain atau dari ditemukannya radang pada
esofagus seperti esofagitis.
d. Karsinoma
Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas,
kolon) sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri
di perut, bertambah dengan nafsu makan turun, timbul anoreksia yang
menyebabkan berat badan turun.
e. Pankreatitis
Gambaran yang khas dari pankreatitis akut ialah rasa nyeri hebat di
epigastrum. Nyeri timbul mendadak dan terus menerus, seperti
ditusuktusuk dan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum
kemudian menjalar ke punggung. Perasaan nyeri menjalar ke seluruh
perut dan terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut yang tegang
menyebabkan mual dan kadang-kadang muntah. Rasa nyeri di perut
bagian atas juga terjadi pada penderita pankreatitis kronik. Nyeri yang
timbul seperti ditusuk-tusuk, menjalar ke punggung, mual dan muntah
hilang dan timbul. Pada pankreatitis kronik tidak ada keluhan rasa
pedih, melainkan disertai tanda-tanda diabetes melitus atau keluhan
steatorrrhoe.
f. Dispepsia pada Sindrom Malabsorbs
Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses
absorbsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi.
Penderita ini mengalami keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia,
sering flatus, kembung dan timbulnya diare berlendir.
g. Gangguan Metabolisme
Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat
sehingga muncul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang,
mual dan muntah. Definisi gastroparesis yaitu ketidakmampuan
lambung untuk mengosongkan ruangan. Ini terjadi bila makanan
berbentuk padat tertahan di lambung. Gangguan metabolik lain seperti
hipertiroid yang menimbulkan nyeri perut dan vomitus.
h. Dispepsia akibat Infeksi bakteri Helicobacter pylori
Penemuan bakteri ini dilakukan oleh dua dokter peraih Nobel dari
Australia, Barry Marshall dan Robin Warre yang menemukan adanya
bakteri yang bisa hidup dalam lambung manusia. Penemuan ini
mengubah cara pandang ahli dalam mengobati penyakit lambung.
Penemuan ini membuktikan bahwa infeksi yang disebabkan oleh
Helicobacter pylori pada lambung dapat menyebabkan peradangan
mukosa lambung yang disebut gastritis. Proses ini berlanjut sampai
terjadi ulkus atau tukak bahkan dapat menjadi kanker.
Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang terjadi pada kondisi perut
bagian atas seperti rasa tidak nyaman, mual, muntah, rasa penuh setelah
makan yang menunjukkan perubahan sensitivitas syaraf di sekeliling
abdomen dan kontraksi otot yang tidak terkoordinasi di dalam perut.
Penyebab ini secara umum tidak sama walaupun beberapa kasus
berhubungan dengan stress, kecemasan, infeksi, obat-obatan dan ada
beberapa berhubungan dengan IBS (irritable bowel syndrome).
Kriteria Rome III menetapkan dispepsia fungsional dibagi menjadi 2
kelompok yaitu
1) Postprandial distress syndrom
Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan
dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.
b. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu
menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali
seminggu.
Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah adanya rasa
kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau
bersendawa yang berlebihan dan dapat timbul bersamaan dengan
sindrom nyeri epigastrum.
2) Epigastric pain syndrome
Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu
a. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrum
dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi
sekali dalam seminggu.
b. Nyeri timbul berulang.
c. Tidak menjalar atau terlokalisai di daerah perut atau dada selain
daerah perut bagian atas/epigastrum.
d. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin.
e. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan
kandung empedu dan sfinger oddi.
Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah
a. Nyeri epigastrum dapat berupa rasa terbakar, tetapi tanpa menjalar
ke daerah retrosternal.
b. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, tetapi
mungkin timbul saat puasa.
c. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distress setelah makan.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Djojoningrat (2014) pemeriksaan untuk penanganan dispepsia
terbagi beberapa bagian, yaitu:
a. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap
dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Dari hasil pemeriksaan darah bila
ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja,
jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan
menderita malabsorpsi.Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak,
sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu
diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolonperlu diperiksa CEA,
dugaan karsioma pankreas perlu diperiksa CAA 19-9.
b. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung, atau usus halus dapat
dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah,
penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila
penderita makan
c. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus
kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung.
Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui
apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan
pemeriksaan baku emas (gold standard), selain sebagai diagnostik sekaligus
terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:
- CLO (rapid urea test)
- Patologi anatomi (PA)
- Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
- PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian pemeriksaan
penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan kontras ganda,
serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test.
Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya
dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di
esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum
yang meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk
ke intestinum (Hadi, 2002). Tukak baik dilambung maupun diduodenum akan terlihat
gambaran yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media.
Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar
licin. Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak massa yang irreguler tidak
terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akuta
perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus
besar ( colon cut off Sign ), atau tampak dilatasi dari intestinum terutamadi jejunum
yang disebut sentinal loops. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran
kontraksi kerongkongan atau respon kerongkongan terhadapa asam.

8. Penatalaksanaan
Pengobatan dispepsia umumnya dapat dimulai dengan pengobatan
simptomatis. Pengobatan kausal dapat segera dimulai bila diagnosis akhir telah
ditetapkan. Jadi perlu dipastikan diagnosisnya terlebih dahulu, dan dimulai dengan
pengobatan yang bersifat kausal, terutama untuk pasien dispepsia organik (Tarigan,
2006).
Pada pasien dewasa muda dan tanpa gejala ke arah penyakit organik berat,
maka dapat dilakukan pengobatan empirik percobaan selama 4-8 minggu, tanpa
dilakukan pemeriksaankhusus terlebih dahulu. Bila dalam jangka waktu tersebut
tidak ada perbaikan, perlu dirujuk untuk mendapatkan kepastian diagnosanya
(Guyton dan Hall, 2008).
1) Modifikasi pola hidup
Pasien perlu diberi penjelasan untuk dapat mengenal dan menghindari keadaan
yang potensial mencetuskan serangan dispepsia. Belum ada kesepakatan tentang
bagaimana pola diet yang diberikan pada kasus dispepsia fungsional. Penekanan
justru lebih ditujukan untuk menghindari jenis makanan yang dirasakan sebagai
faktor pencetus. Pola diet porsi kecil namun sering, makanan rendah lemak,
mengurangi/menghindari makanan yang spesifik (kopi, alcohol, pedas, dll akan
banyak mengurangi gejala terutama setelah makan.
2) Medikamentosa
Dalam pengobatan sindrom Dispepsia, kita mengenal beberapa golongan obat
yang dapat dipakai, yaitu :
a. Antasid, yaitu obat yang berfungsi untuk menetralisir asam lambung.
Golongan obat ini banyak sekali jenisnya dan mudah didapat. Pemakaian obat
ini jangan terus-menerus dan harus diperhatikan efek samping serta penyakit
lain yang diderita oleh pasien. Pemakaian obat ini lebih cenderung kearah
simptomatik.
b. Antagonis reseptor H2, menekan sekresi asam lambung. Golongan obat ini
antara lain simetidin, ranitidine, famotidin, raksatidin, nizatidin, dan lain-lain.
Pemakaiannya lebih banyak kearah kausal di samping juga simptomatik.
Banyak peneliti yang melaporkan bahwa jenis obat ini dapat dipakai pada
sindrom dispepsia organik seperti ulkus atau pada dyspepsia essensial.
Sebaiknya diberikan pada dispepsia organic tipe refluks dan ulkus.
c. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
- Esomeprazol 20-40 mg 1 x /hr
- Lanzoprazol 30 mg 1 x/hr
- Omeprazol 20 mg 1 x/hr
- Pantoprazol 40 mg 1 x/hr
- Rabeprazol 20 mg 1 x/hr.
d. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh
selparietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen,
yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus
dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan
protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi
mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA). Misoprostol (analog metilester PG
E1 yang menghambat sekresi HCl dan sitoprotektif ) Dosis : 200 mg 4 x/hr
atau 400 mg 2 x/hr. Sukralfat (Senyawa alumunium sukrosa sulfat bentuk
polimer dalam suasana asam dan terikat pada jaringan nekrotik tukak secara
selektif. Tidak diabsorbsi sistemik) dosis 1 g 4 x/hr 4.
e. Psikoterapi
Terapi jenis ini khususnya pada pasien dengan sindrom dispepsia non
organik, memberikan hasil yang cukup memuaskan terutama untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala dan keluhan. Penelitian yang
dilakukan oleh Muhjadid dan Manan mendapatkan bahwa 40% kasus
Dyspepsia disertai dengan gangguan kejiwaan dalam bentuk ansietas, depresi,
maupun kombinasi keduanya. Pada kasus ini, terapi dengan anti-
ansietas/depresi dapat membantu mengurangi gejala klinis, dan pada beberapa
kasus, pemakaian obat-obat konvensional untuk dyspepsia tidak mutlak
diperlukan. Bentuk terapi ini dapat dengan wawancara atau psikofarmaka.

9. Komplikasi
Komplikasi dari dispepsia yaitu luka pada lambung yang dalam atau melebar
tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung dan dapat
mengakibatkan kanker pada lambung (Djojoningrat, 2014).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Teoritis
I. Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan
dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien (Budiono, 2016).
Pengkajian pada klien Dyspepsia Syndrome, antara lain sebagai berikut:
1) Identitas Pasien
Dalam identitas pasien ini perlu ditanyakan antara lain adalah nama, umur,
jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, suku bangsa, status, alamat,
tanggal masuk RS, tanggal pengkajian, nomor rekam medik, diagnosa
medis. Selain identitas pasien juga mencakup identitas penanggung jawab
dalam hal ini : nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan
serta hubungan dengan pasien seperti : suami, orang tua atau hubungan
keluarga lainnya.
2) Keluhan Utama
Merupakan keluhan pada saat dikaji dan bersifat subjektif. Pada pasien
dyspepsia sindrom biasanya mengeluh nyeri/pedih pada epigastrium
disamping atas dan bagian samping dada depan epigastrium, mual, muntah
dan tidak nafsu makan, kembung, rasa kenyang
3) Riwayat Kesehatan
a. Riwayat penyakit masa lalu
Sering nyeri pada daerah epigastrium, adanya stress psikologis, riwayat
minum-minuman beralkohol
b. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah anggota keluarga yang lain juga pernah menderita penyakit
saluran pencernaan.
4) Data Biologis
a. Pola Nutrisi
Pola makan yaitu kebiasaan makan yang tidak teratur, makan-
makanan yang merangsang selaput mukosa lambung, berat badan
sebelum dan sesudah sakit.
b. Aspek Psikososial
Keadaan emosional, hubungan dengan keluarga, teman, adanya masalah
interpersonal yang bisa menyebabkan stress
5) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dipergunakan untuk memperoleh data objektif dari
riwayat perawatan klien. Adapun tujuan dari pemeriksaan fisik dalam
keperawatan adalah untuk menentukan status kesehatan klien,
mengidentifikasi kesehatan dan mengambil data dasar untuk menentukan
rencana perawatan.
a. Kulit
Kulit tampak simetris, kebersihan kulit baik, kulit teraba agak lembab,
tidak terdapat lesi atau luka pada kulit, turor kulit kembali ± 2 detik, kulit
teraba hagat dengan suhu 38°C, warna kulit kuning langasat.
b. Kepala dan Leher
Tekstur kepala dan leher tampak simetris, kebersihan kulit kepala baik
tidak terapat ketombe, persebaran rambut merata, warna rambut hitam,
tidak ada benjolan pada kepala, pada leher tidak ada pembeasran kelenjar
tiroid dan kelenjar limfe, leher dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri.
c. Penglihatan dan Mata
Struktur mata tampak simetris, kebersiahn mata baik (tidak ada secret
yang menempel paa mata), konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
tidak ada kelainan pada mata seperti strabismus (juling), mata dapat
digerakan kesegala arah, tidak ada kelainan dalam penglihatan, kilen
tidak menggunakan alat bantu penglihatan seperti kacamata
d. Penciuman dan Hidung
Struktur hidung tampak simetris, kebersiahn hidnubg baik, tidak ada
secret didalam hidung, tidak ada peradangan, perdarahan, dan nyeri,
fungsi penciuman baik (dapat membedakan bau minyk kayu putih denga
alkohol)
e. Pendengaran dan Telinga
Struktur telinga simetris kiri dan kanan, kebersihan telinga baik, tidak
ada serumyang keluar, tidak ada peradangan, perdarahan, dan nyeri, klien
mengtakan telinganya tidak berdengun, fungsi pendengaran baik(kilen
dapat menjawab pertanyaan dengan bai tanpa harus mengulang
pertanyaan), klien tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
f. Mulut dan Gigi
Struktur mulut dan gigi tampak simetris, mukosa bibir tampak kering,
kebersihan mulut dan gigi cukup baik, tidak terapat peradangan dan
perdarahan pada gusi, lidah tapak bersih dan klien tidak meggunakan gigi
palsu.
g. Dada, Pernafasan dan Sirkulasi
Bentuk dada simetris, frekuensi nafas 20x/menit, tidak ada nyeri tekan
pada dada, klien bernafas melalui hidung, tidak ada terdengar bunyi nafas
tambahan seperti wheezing atau ronchi, CRT kembali ± 3 detik.
h. Abdomen
Struktur abdomen simetris, abdomen tampak datar(tidak ada benjolan),
saat diperkusi terdenagr bunyi hipertimpani.Klien mengatakan perutnya
terasa kembung, saat dipalpasi terdapat nyeri tekan, klien mengatakan
nyeri didaerah abdomen pada bagin atas. Klien mengatakn skala nyerinya
3 dan seperi disuk-tusuk, serta nyerinya bisa berjam-jam.
6) Analisa Data
Analisa data adalah pengelompokan data-data klien atau keadaan tertentu
dimana klien mengalami permasalahan kesehatan atau keperawatan
berdasarkan kriteria permasalahannya.

II. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan merupakan tahap kedua dalam proses
keperawatan setelah anda melakukan pengkajian keperawatan dan
pengumpulan data hasil pengkajian. Diagnosa keperawatan merupakan
penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan actual ataupun potensial sebagai
dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil tempat perawat
bertanggung jawab. Tujuan diagnosis keperawatan adalah memungkinkan
anda sebagai perawat untuk menganalisis dan mensintesis data yang telah
dikelompokkan, selain itu diagnosis keperawatan digunakan untuk
mengidentifikasi masalah, factor penyebab masalah, dan kemampuan klien
untuk dapat mencegah atau memecahkan masalah (Budiono, 2016).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien Dispepsia
Syndrom, antara lain:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi,
iskemia, neoplasma) yang ditandai dengan mengeluh nyeri, tampak
meringis, frekuensi nadi meningkat, bersikap protektif (waspada posisi
menghindari nyeri), gelisah, sulit .tidur
2. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif ditandai dengan
frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun,
tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membrane mukosa kering.
3. Deficit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan
ditandai dengan berat badan menurun minimal dibawah rentang ideal,
nafsu makan menurun, membrane mukosa kering, bising usus hiperaktif.
4. Nausea berhubungan dengan iritasi lambung ditandai dengan mengeluh
mual, merasa ingin muntah, tidak berminat makan, saliva meningkat,
pucat.
5. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional ditandai dengan merasa
bingung, khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, tampak
gelisah, tampak tegang dan sulit tidur.
III. Intervensi Keperawatan
No Daignosa Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan

1 SDKI : Nyeri Setelah diberikan asuhan SIKI: Manajemen Nyeri 1. Mengindikasikan


Akut (D.0077) keperawatan selama ...x (I.08238) kebutuhan untuk
24 jam diharapkan tingkat 1. Identifikasi lokasi, intervensi dan juga
nyeri menurun dengan karakteristik, durasi, tanda-tanda
kriteria hasil: frekuensi, kualitas, perkembangan/ resolusi
intensitas nyeri komplikasi
SLKI: Tingkat Nyeri
(L.08066) 2. Identifikasi skala nyeri 2. Membantu dalam
1. Keluhan nyeri 3. Identifikasi respon nyeri mengidentifikasi
menurun non verbal derajad nyeri untuk
2. Ekspresi meringis 4. Identifikasi faktor yang kebutuhan pemberian
menurun memperberat dan analgesic yang tepat
3. Gelisah menurun memperingan nyeri 3. Respon non verbal
4. Kesulitan tidur 5. Berikan teknik non membantu
menurun farmakologi untuk mengevaluasi derajad
5. Frekuensi nadi normal mengurangi nyeri nyeri dan perubahannya
(60-100x/menit) 6. Kontrol lingkungan yang 4. Untuk menghindari
(TIM Pokja SLKI DPP memperberat rasa nyeri faktor memperberat
PPNI, 2019) (misal suhu ruangan, nyeri
pencahayaan, kebisingan) 5. Membantu pasien
7. Jelaskan strategi meredakan istirahat lebih efektif
nyeri dan mampu
8. Anjurkan menggunakan mengalihkan nyeri yang
analgetik secara tepat dirasakan pasien
9. Kolaborasi pemberian 6. Lingkungan bisa
analgetik, jika perlu menjadi pemicu
(TIM Pokja SIKI DPP PPNI, meningkatnya derajad
2018) nyeri
7. Untuk mengatasi nyeri
ketika nyeri muncul
8. Penggunaan analgetik
yang tepat dapat
mengurangi nyeri
9. Untuk membantu
mengurangi nyeri
sehingga meningkatkan
kenyamanan
2 SDKI : Setelah dilakukan tindakan SIKI: Manajemen 1. Obeservasi tanda dan
Hipovolemia asuhan keperawatan …x24 Hipovolemia (I.03116) gejala hipovolemia
(D.0023) jam diharapkan 1. Periksa tanda dan gejala 2. Mencegah terjadinya
hipovolemia dapat teratasi hipovolemia (nadi teraba dehidrasi dan syok
dengan kriteria hasil : lemah, turgor kulit hipovolemik
SLKI: Status Cairan menurun, membran mukosa 3. Jumlah cairan
kering, konsentrasi urine 4. Cairan terpenuhi
1. Kekuatan dan frekuensi
menurun) 5. Pasien nyaman
nadi sedang (frekuensi
2. Monitor intake dan output 6. Mencegah terjadinya
nadi 60-100 x/menit)
cairan dehidrasi dan menjaga
2. Perasaan lemah
3. Hitung kebutuhan cairan balance cairan pada
menurun
4. Berikan asupan cairan oral tubuh
3. Membran mukosa
5. Posisikan tredelenburg 7. Memenuhi cairan
sedang
6. Anjurkan memperbanyak dalam tubuh pasien
cairan oral
7. Kolaborasi pemberian
cairan IV isotonis
3 SDKI :Defisit Setelah diberikan tindakan SIKI :Manajemen Nutrisi 1. Monitor nutrisi
Nutrisi (D.0019) asuhan keperawatan (I.03119) 2. Observasi asupan
selama …x24 jam 1. Identifikasi status nutrisi makan
diharapkan diharapkan 2. Monitor asupan makanan 3. Observasi berat badan
status nutrisi membaik 3. Monitor berat badan 4. Membersihkan mulut
dengan kriteria hasil : 4. Sajikan makanan secara 5. Menambah nafsu
SLKI: Status Nutrisi menarik dan suhu yang makan
(L.03030) sesuai 6. Membuat pasien
1. Nafsu makan 5. Berikan makanan tinggi nyaman
membaik kalori, dan tinggi protein. 7. Diet TKTP,
2. Membran mukosa 6. Anjurkan posisi duduk, jika mengontrol diet
membaik mampu 8. Kolaborasi tentang
3. Berat badan cukup 7. Ajarkan diet yang nutrisi pasien
membaik diprogramkan
4. Frekuensi makan 8. Kolaborasi dengan ahli gizi
membaik untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan, jika perlu
4 SDKI: Nausea Setelah diberikan tindakan SIKI: Manajemen Mual 1. Mengetahui penyebab
(D.0076) asuhan keperawatan (I.03117) mual pada pasien agar
selama …x24 jam 1. Identifikasi faktor penyebab dapat mengurangi
diharapkan nausea pasien mual (pengobatan/prosedur) mual masien
menurun dengan kriteria 2. Monitor mual (frekuensi, 2. Mengetahui mual
hasil: durasi, tingkat keparahan) pasien, apakah ringan,
SLKI: Tingkat Nausea 3. Kendalikan faktor sedang atau berat
(L.08065) lingkungan penyebab mual 3. Membantu dalam
1. Keluhan mual pasien (bau tak sedap, suara, mengurangi/
berkurang rangsangan visual yang menghilangkan mual
2. Perasaan ingin tidak menyenangkan) 4. Membantu dalam
muntah berkurang 4. Kurangi atau hilangkan mengurangi/
3. Pasien tampak tidak penyebab mual menghilangkan mual
pucat 5. Berikan makanan dalam 5. Mebantu menambah
4. Frekuensi nadi dan jumlah kecil dan menarik keinginan untuk
tekanan darah normal 6. Anjurkan istirahat dan tidur makan dan
(60-100x/mnt, 120/80 yang cukup mengurangi mual
mmHg) 7. Ajarkan penggunaan teknik 6. Membantu
nonfarmakologis untuk mengurangi mual
mengatasi mual 7. Membantu
(biofeedback, hypnosis, meringankan/
relaksasi, terapi music, menghilangkan mual
akupresur) 8. Mebantu dalam
8. Kolaborasi pemberian meringankan/
antiemetic, jika perlu menghilangkan mual
pada pasien
5 SDKI: Ansietas Setelah diberikan asuhan SIKI: Terapi Relaksasi 1. Mengetahui status
(D.0080) keperawatan selama …x (I.09326) kelelahan pasien dan
24 jam diharapkan tingkat tingkat kecemasan
1. Identifikasi penurunan
ansietas menurun dengan pasien
tingkat energi,
kriteria hasil: 2. Membantu dalam
ketidakmampuan
pemberian terapi atau
SLKI: Tingkat Ansietas berkonsentrasi yang
teknik relaksasi
(L.09093) mngganggu kemampuan
3. Lingkungan yang
kognitif
1. Verbalisasi tenang akan
2. Identifikasi teknik relaksasi
kebingungan menurun menurunkan stimulus
yang pernah efektif
2. Verbalisasi khawatir dan mampu
digunakan
akibat kondisi yang memberikan perasaan
3. Ciptakan lingkungan tenang
dihadapi menurun yang nyaman
4. Anjurkan mengambil posisi
3. Perilaku gelisah 4. Posisi yang nyaman
yang nyaman
menurun akan membuat pasien
5. Anjurkan sering mengulangi
4. Perilaku tegang lebih rileks
atau melatih teknik yang
menurun 5. Agar dapat mengatasi
dipilih
5. Konsentrasi membaik kecemasan secara
6. Demonstrasikan dan latih
6. Pola tidur membaik mandiri dengan latihan
teknik relaksasi (misal napas
(TIM Pokja SLKI DPP yang sudah dipilih
dalam, peregangan atau
PPNI, 2019) 6. Dengan
imajinasi terbimbing)
mendemonstrasikan
(TIM Pokja SIKI DPP PPNI,
pasien akan merasa
2018)
diperhatikan sehingga
pasien mampu
mengendalikan rasa
cemasnya dengan
latihan eknik relaksasi

IV. Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan merupakan bagian dari proses keperawatan dimana
perawat memberikan perawatan kepada pasien. Perawat memulai dan menyelesaikan
tindakan atau intervensi yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diharapkan dari asuhan keperawatan.
V. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien
secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan yang dilakukan dengan
format SOAP.
a. S (Subjektif) : informasi berupa ungkapan yang didapat dari pasien setelah
tindakan diberikan.
b. O (Objektif) : informasi yang didapat berupa hasil pengamatan penilaian,
pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan.
c. A (Analisi) : membandingkan antara informasi subjektuf dan objektif dengan
tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan bahwa masalah teratasi,
teratasi Sebagian, atau tidak.
d. P (Planning) : rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan
hasil analisa.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah M, Gunawan J. (2012). Dispepsia divisi Gastroenterologi , bagian ilmu


penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Indonesia
CDK-197, vol 39 (9):647-51

Budiono. (2016). Konsep Dasar Keperawatan, Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan
(Pusdik SDM). Jakarta.

Djojoningrat, Dharmika. (2014). Dispepsia Fungsional dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Guyton dan Hall. (2008). Fisiologi Gastrointestinal Dalam Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi II. 1050-2. Jakarta: EGC

Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran jilid I. Jakarta: Media Aesculapius.

Parewangi AML. (2011). Jumlah Data Helicobacter Pylori Positif Di Makassar : RSUP
dr. Wahidin Sudirohusodho.

Purnamasari L. (2017). Faktor-faktor, Klasifikasi, dan Terapi Sindrom Dispepsia.


Counting Medikal Education, 44(12):870-3

Putri, dkk. (2016). Gambaran Klinis dan Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas Pasien
Dispepsia di Bagian RSUP Dr. M Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas,
No 5 (2).

Tarigan, P. (2006). Tukak Gaster. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. S. K., & S.


Setiati (Eds.), Ilmu Penyakit Dalam Jilid I (IV, 338–341). Jakarta: FKUI.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Definisi
dan Indikator Diagnostik). Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Definisi
dan Tindakan Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai