Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Promosi Kesehatan pada prinsipnya merupakan upaya pemberdayaan
masyarakat untuk tahu, mau dan mampu berperilaku hidup bersih dan sehat.
Banyak permasalahan kesehatan di Indonesia dapat dicegah melalui kegiatan
promosi kesehatan. Namun, proses perubahan perilaku di masyarakat tidaklah
mudah, maka perlu dikembangkan strategi komunikasi serta langkah-langkah
yang dapat mendukung upaya pemberdayaan masyarakat agar mampu
berperilaku hidup bersih dan sehat.
Penyakit AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu
singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak
negara. Kasus-kasus mengenai berbagai penyakit masih banyak terjadi di
daerah Indonesia. Dikatakan pula bahwa epidemi yang terjadi tidak saja
mengenai penyakit (AIDS), virus (HIV) tetapi juga reaksi atau dampak negatif
berbagai bidang seperti kesehatan, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan
demografi. Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi baik oleh negara
maju maupun negara berkembang.
Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu
memecahkan masalah penanggulangan HIV/ AIDS belum ditemukan. Salah
satu alternatif dalam upaya menanggulangi problematik jumlah penderita yang
terus meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan semua pihak yang
mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang
memungkinkan dapat terserang HIV.
Saat ini AIDS menjadi hal yang mengerikan bagi semua negara di dunia,
baik negara maju maupun negara berkembang. HIV/ AIDS tidak hanya
menjangkiti orang tua, dewasa atau remaja, seorang anak kecil bahkan balita
sekalipun dapat terinfeksi virus ini. Di Indonesia kasus AIDS pertama kali
ditemukan di Bali pada tahun 1987. Akan tetapi pada tahun 2007 hampir
semua provinsi di Indonesia ditemukan kasus HIV/ AIDS.

1
Kesehatan reproduksi merupakan satu benang merah dimana pada
akhirnya resiko terinfeksi HIV/ AIDS akan lebih mudah terjadi terutama pada
usia remaja yang belum mengerti dan sadar akan kesehatan reproduksinya
sendiri, informasi mengenai pencegahan, kesehatan reproduksi remaja dan
pengobatan infeksi adalah hal yang mendesak agar penularan laju epidemi
dapat ditangani.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana promosi kesehatan ?
2. Apa saja imunisasi terhadap HIV/AIDS ?
3. Bagaimana healthcare follow up terhadap HIV/AIDS ?
4. Apakah antiretroviral therapy ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui promosi kesehatan
2. Untuk mengetahui imunisasai terhadap HIV/AIDS
3. Untuk mengetahui healthcare follow up terhadap HIV/AIDS
4. Untuk mengetahui antiretroviral therapy
1.4 Manfaat
1. Agar kita mengetahui promosi kesehatan
2. Agar kita mengetahui imunisasi terhadap HIV/AIDS
3. Agar kita mengetahui healthcare follow up terhadap HIV/AIDS
4. Agar kita mengetahui antiretroviral therapy

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Promosi Kesehatan

Promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar


dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan
stigma serta diskriminasi. Promosi kesehatan diberikan dalam bentuk
advokasi, bina suasana, pemberdayaan, kemitraan dan peran serta masyarakat
sesuai dengan kondisi sosial budaya serta didukung kebijakan publik dan
dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan terlatih. Sasaran
promosi kesehatan meliputi pembuat kebijakan, sektor swasta, organisasi
kemasyarakatan dan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud  diutamakan
pada populasi sasaran (populasi yang menjadi sasaran program) dan populasi
kunci (pengguna napza suntik; Wanita Pekerja Seks (WPS) langsung maupun
tidak langsung; pelanggan/pasangan seks WPS; gay, waria, dan Laki
pelanggan/pasangan Seks dengan sesama Laki (LSL); dan warga binaan
lapas/rutan).

1) Advokasi

Dilakukan sebagai bentuk penguatan kebijakan terhadap


promosi kesehatan HIV dan AIDS. Advokasi merupakan upaya
atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan
komitmen dan dukungan dari para pengambil keputusan dan pihak-
pihak yang terkait (stakeholders) dalam pengendalian HIV dan
AIDS. Strategi advokasi bisa dilakukan dengan melakukan
sosialisasi kebijakan yang terkait dengan penanggulangan
HIV/AIDS, dan penguatan kebijakan di pemerintahan. Advokasi
memungkinkan untuk memasukkan kebijakan penanggulangan
HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan daerah dan RPJMD agar
tercapainya promosi kesehatan penanggulangan HIV dan AIDS

3
dalam lingkup pemerintah daerah yang melibatkan antar Satuan
Organisasi Perangkat Daerah (SOPD) yang terkait.

2) Bina Suasana

Strategi bina suasana sebagai upaya menciptakan opini dan


atau mengkondisikan lingkungan sosial, baik fisik maupun non
fisik agar mampu mendorong individu, keluarga dan kelompok
untuk mau melakukan perilaku pencegahan dan berperan serta
dalam pengendalian HIV dan AIDS. Kegiatan Bina suasana antara
lain melalui :

a. Kampanye Media Massa, strategi ini dengan menggunakan


media massa sebagai penyampaian pesan KIE HIV dan
AIDS. Media yang bisa digunakan adalah media yang
diterbitkan secara luas (TV, Koran, majalah, Radio) dan
ditargetkan untuk populasi kunci seperti penduduk
kelompok umur 15 – 24 tahun.
b. Kampanye Media yang terfokus, strategi ini digunakan
untuk populasi tertentu yang berada di wilayah tertentu
dengan jenis media tertentu/terfokus. Media yang bisa
digunakan adalah website informasi kesehatan dan media
jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, SMS, WhatsApp,
Hotline, Gateway.
c. Pengembangan Kapasitas, ditujukan ditujukan bagi staf
pelaksana program HIV dan AIDS serta pelaksana promosi
kesehatan  di tingkat kabupaten/kota sampai tingkat
lapangan sebagai ujung tombak pelaksanaan program.
Pelaksanaan strategi ini akan menggunakan cara: orientasi,
pelatihan, magang, diskusi, seminar, lokakarya, dll.
Mengintegrasikan sumber daya manusia untuk
penanggulangan HIV dan AIDS perlu sekali mengingat
sumber daya manusia ini memiliki peran yang sangat

4
strategis untuk memastikan pelayanan kesehatan bisa
diakses dan dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan.

3) Pemberdayaan

Unsur pemberdayaan masyarakat dilakukan dalam promosi


kesehatan penanggulangan HIV dan AIDS sebagai upaya
menumbuhkan kesadaran, kemauan, kemampuan masyarakat
dalam upaya pengendalian HIV dan AIDS. Pemberdayaan
masyarakat dilakukan melalui :

a) Intervensi berbasis sekolah,  merupakan strategi utama dan


langsung kepada penduduk usia 15-24 tahun yang masih di
bersekolah atau kuliah. Intervensi jenis ini akan dilakukan
oleh lembaga pelaksana mitra yang profesional dengan cara
tatap muka, baik secara individual maupun kelompok kecil
dan besar. Lembaga ini akan bekerja menggunakan dan
memanfaatkan infrastruktur yang telah ada. Pelaksanaan
strategi dalam intervensi ini dilakukan langsung di
lingkungan sekolah memanfaatkan kegiatan intra dan
ekstrakurikuler. Contoh : kegiatan UKS, Saka Bakti
Husada, Kemah Bakti Mahasiswa. Kegiatan ini diharapkan
akan menjadikan sekolah atau kampus perguruan tinggi
menjadi Sekolah/Kampus Promosi Kesehatan.
b) Intervensi berbasis luar sekolah, strategi ini dilakukan bagi
penduduk usia 15-24 tahun yang tidak bersekolah atau
mereka yang bersekolah tetapi lebih strategis disasar di luar
sekolah. Penduduk kategori ini termasuk: mereka yang ada
di tempat kerja, mal, warnet, kafe, bioskop, tempat-tempat
ibadah, jalanan, dll. Strategi ini akan dijalankan oleh
lembaga pelaksana mitra yang profesional yang bertugas
melakukan kegiatan sehari-hari dengan cara kontak
langsung kepada sasaran secara individual maupun

5
kelompok kecil dan besar. Contoh Lembaga yang bisa
melakukan kegiatan ini adalah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Pemerintah Daerah/Komisi
Penanggulanangan AIDS Daerah (KPAD), dan atau
Kelompok masyarakat yang terlatih dengan Media KIE
HIV/AIDS.

4) Kemitraan

Strategi kemitraan dilakukan untuk mendukung upaya


advokasi, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat. Kemitraan
yang dibangun terutama kemitraan di tingkat lapangan dengan
organisasi kemasyarakatan/lembaga swadaya masyarakat yang
bergerak di bidang pengendalian HIV dan AIDS, kelompok
profesi, media massa dan swasta/dunia usaha. Strategi promosi
kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang terdiri dari
unsur advokasi, bina suasana, pemberdayaan masyarakat dan
kemitraan merupakan satu kesatuan yang akan mendukung
program promosi kesehatan satu sama lain.

2.2 Imunisasi terhadap HIV/AIDS

Imunisasi adalah proses menginduksi imunitas secara buatan baik dengan


vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibody (imunisasi
pasif). Pada penyakit HIV/AIDS tidak semua imunisasi boleh diberikan
kepada orang yang hidup dengan HIV. Hal ini berkaitan dengan jenis
imunisasi dan metode penghasil kekebalan yang muncul oleh imunisasi
tersebut. Respon imunisasi pada orang dengan HIV positif bisa berbeda dari
orang sehat, mulai dari tidak merespon hingga respon tidak optimal. Orang
HIV positif yang mengonsumsi ARV (pengobatan untuk HIV) dapat memberi
respon imunisasi yang lebih baik.

Berikut beberapa imunisasi yang penting diberikan bagi semua orang dengan
HIV/AIDS adalah :

6
1. Hepatitis B
Imunisasi ini penting untuk diberikan kecuali bila sedang
ada infeksi hepatitis aktif atau bukti bahwa klien telah memiliki
kekebalan terhadap hepatitis B (riwayat imunisasi). Dosis yang
diperlukan untuk imunisasi hepatitis B sama dengan orang normal
yakni 3 suntikan dalam waktu 6 bulan. Setelahnya perlu dilakukan
tes darah untuk mengetahui kadar antibodi, bila ternyata jumlahnya
masih rendah maka diperlukan suntikan tambahan.
2. Influenza
Orang dengan HIV perlu mendapat imunisasi flu sekali
setiap tahun, dan hanya diberikan dalam bentuk suntikan.
Imunisasi dengan cara semprotan hidung (nasal spray) tidak boleh
digunakan pada orang ini, karena mengandung virus hidup.
3. Pneumokokal Polisakarida
Setelah terdiagnosa memiliki HIV, maka orang tersebut
perlu mendapat imunisasi pneumokokal. Kecuali bila orang
tersebut telah diimunisasi dalam 5 tahun sebelum diagnosis
ditegakkan. Penting juga untuk memperhatikan kadar CD4 klien,
karena bila <200 sel/mm3, imunisasi pneumokokal perlu diulang.
Imunisasi pneumokokal diberikan satu kali setiap 5 tahun.
4. Tetanus dan Difteri Toksoid
Pemberiannya diulang setiap 10 tahun, sama seperti
rekomendasi pada orang normal. Bagi wanita imunisasi ini sangat
penting apalagi terkait kehamilan dan proses persalinan. Para
pengguna narkotika suntik juga sangat dianjurkan mendapat
imunisasi ini untuk mencegah infeksi tetanus.
5. Tetanus, Difteri, dan Pertussis
Orang dengan HIV yang telah berusia 64 tahun atau yang
lebih muda disarankan untuk mendapat imunisasi ini sebagai
booster imunisasi tetanus dan difteri. Imunisasi dapat diberikan
setidaknya 2 tahun setelah mendapatkan imunisasi tetanus dan

7
difteri yang pertama, terutama bagi mereka yang kontak dengan
bayi di bawah usia 12 bulan dan para petugas kesehatan.

Setelah mendapatkan imunisasi, hendaknya tidak dilakukan pengukuran


viral load (CD4) terlebih dulu hingga 4 minggu setelahnya.

Salah satu pertimbangan dalam memberikan imunisasi adalah kadar CD4


dalam darah. Bila kadarnya terlalu rendah (<200 sel/mm3) dikhawatirkan
respon tubuh terhadap imunisasi tidak muncul. Untuk itu diperlukan konsumsi
ARV agar daya tahan tubuh meningkat dan mampu merespon imunisasi.
Beberapa imunisasi di bawah hanya disarankan untuk kelompok tertentu
orang dengan HIV positif :

1) Hepatitis A
Yang disarankan untuk mendapat imunisasi ini adalah para
petugas kesehatan, lelaki yang melakukan hubungan seks dengan
lelaki lain, pengguna narkotika suntik, orang dengan penyakit liver
kronis (termasuk hepatitis kronis B atau C), orang dengan
hemofilia, serta orang yang bepergian ke daerah endemis.
2) Kombinasi Hepatitis A dan B
Diberikan melalui 3 suntikan dalam waktu 1 tahun. Boleh
diberikan ke orang yang membutuhkan imunisasi baik hepatitis A
dan B.
3) Hemofilus Influenza tipe B
Hemofilus influenza tipe B dapat menyebabkan meningitis.
Perlu didiskusikan terlebih dulu antara orang dengan HIV positif
bersama petugas kesehatan, sebelum memberi imunisasi.
4) Human Papillomavirus
Imunisasi ini diberikan sebanyak 3 kali dalam 6 bulan.
Sangat disarankan bagi perempuan berusia 9-26 tahun, tapi tidak
bagi mereka yang sedang hamil.
5) MMR (Measles, Mumps, Rubella)
Orang dengan HIV positif yang kadar CD4-nya <200
sel/mm3, memiliki riwayat penyakit yang mengarah ke AIDS, atau

8
menunjukkan gejala klinis HIV, tidak boleh mendapatkan
imunisasi ini. Bila diperlukan, imunisasi bisa diberikan terpisah
untuk mencapai kadar antibodi yang mencukupi. Pemberian sangat
tergantung dengan kondisi pasien sehingga perlu konsultasi dengan
tenaga medis yang merawatnya.
6) Meningitis ( Meningococcal meningitis)
Orang dengan imunitas yang rendah mudah terinfeksi
meningitis bila terpapar.

Selain imunisasi yang perlu dipertimbangkan pemberiannya, ada beberapa


imunisasi yang sama sekali tidak boleh diberikan untuk orang dengan HIV
positif. Sediaan imunisasi yang berasal dari virus hidup tidak disarankan
pemberiannya bagi orang HIV positif. Hal ini karena respon yang dihasilkan
tidak akan seperti respon pada orang sehat. Malah berisiko membuat orang
dengan HIV positif menderita penyakit akibat imunisasi yang diberikan.
Kontak dengan orang yang baru menerima imunisasi dari virus hidup juga
perlu dihindari selama paling tidak 2-3minggu setelah iminusasi. Contoh
imunisasi yang tidak disarankan pada orang HIV positif adalah:

- Anthrax
- Smallpox (cacar)
- Zoster

2.3 Healthcare Follow Up terhadap HIV/AIDS

A. Strategi Pemerintah terkait dengan Program Pengendalian HIV-AIDS


dan IMS
1. Meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini
a. Daerah dengan epidemi meluas seperti Papua dan Papua Barat,
penawaran tes HIV perlu dilakukan kepada semua pasien yang
datang ke layanan kesehatan baik rawat jalan atau rawat inap
serta semua populasi kunci setiap 6 bulan sekali.
b. Daerah dengan epidemi terkonsentrasi maka penawaran tes
HIV rutin dilakukan pada ibu hamil, pasien TB, pasien
hepatitis, warga binaan pemasyarakatan (WBP), pasien IMS,

9
pasangan tetap ataupun tidak tetap ODHA dan populasi kunci
seperti WPS, waria, LSL dan penasun. .
c. Kabupaten/kota dapat menetapkan situasi epidemi di
daerahnya dan melakukan intervensi sesuai penetapan tersebut,
melakukan monitoring & evaluasi serta surveilans berkala.
d. Memperluas akses layanan KTHIV dengan cara menjadikan tes
HIV sebagai standar pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan
(FASKES) pemerintah sesuai status epidemi dari tiap
kabupaten/kota
e. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium
yang terlatih, maka bidan atau perawat terlatih dapat
melakukan tes HIV
f. Memperluas dan melakukan layanan KTHIV sampai ke tingkat
puskemas
g. Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas dan
masyarakat umum untuk meningkatkan kegiatan penjangkauan
dan memberikan edukasi tentang manfaat tes HIV dan terapi
ARV.
h. Bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan upaya
pencegahan melalui layanan IMS dan PTRM
2. Meningkatkan cakupan pemberian dan retensi terapi ARV, serta
perawatan kronis
a. Menggunakan rejimen pengobatan ARV kombinasi dosis
tetap (KDT-Fixed Dose Combination-FDC), di dalam satu
tablet mengandung tiga obat. Satu tablet setiap hari pada jam
yang sama, hal ini mempermudah pasien supaya patuh dan
tidak lupa menelan obat.
b. Inisiasi ARV pada fasyankes seperti puskesmas
c. Memulai pengobatan ARV sesegera mungkin berapapun
jumlah CD4 dan apapun stadium klinisnya pada:

10
 kelompok populasi kunci, yaitu: pekerja seks, lelaki seks
lelaki, pengguna napza suntik, dan waria, dengan atau tanpa
IMS lain
 populasi khusus, seperti: wanita hamil dengan HIV, pasien
ko-infeksi TBHIV, pasien ko-infeksi Hepatitis-HIV
(Hepatitis B dan C), ODHA yang pasangannya HIV
negatif (pasangan sero-diskordan), bayi/anak dengan HIV
(usia<5tahun).
 semua orang yang terinfeksi HIV di daerah dengan epidemi
meluas
d. Mempertahankan kepatuhan pengobatan ARV dan pemakaian
kondom konsisten melalui kondom sebagai bagian dari paket
pengobatan.
e. Memberikan konseling kepatuhan minum obat ARV
3. Memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral load (VL) termasuk
early infant diagnosis (EID), hingga ke layanan sekunder terdekat
untuk meningkatkan jumlah ODHA yang masuk dan tetap dalam
perawatan dan pengobatan ARV sesegera mungkin, melalui sistem
rujukan pasien ataupun rujukan spesimen pemeriksaan.
4. Peningkatan kualitas layanan fasyankes dengan melakukan
mentoring klinis yang dilakukan oleh rumah sakit atau FKTP.
5. Mengadvokasi pemerintah lokal untuk mengurangi beban biaya
terkait layanan tes dan pengobatan HIV-AIDS.
B. Tindak Lanjut Rumah Sakit
1. Pemulangan dari rumah sakit
Anak dengan infeksi HIV mungkin memberi respons lambat atau
tidak lengkap terhadap pengobatan yang biasa. Anak mungkin
menderita demam yang persisten, diare persisten atau batuk kronik.
Apabila keadaan umumnya baik, anak ini tidak perlu tetap tinggal
di rumah sakit, tetapi dapat dapat diperiksa secara teratur sebagai
pasien rawat jalan.
2. Rujukan

11
Jika rumah sakit tidak mempunyai fasilitas, pertimbangkan untuk
merujuk anak dengan tersangka infeksi HIV:
 Untuk tes HIV dengan konseling pra- maupun pasca-tes
 Ke rumah sakit lain untuk pemeriksaan lebih lanjut atau
pengobatan lini kedua, jika respons terhadap pengobatan
sangat minimal atau tidak ada
 Ke konselor terlatih untuk HIV dan konseling pemberian
makan bayi, jika petugas kesehatan lokal tidak dapat
melakukan hal ini
 Ke program pelayanan komunitas/keluarga atau ke pusat
konseling dan tes sukarela yang berbasis
masyarakat/institusi, atau program dukungan sosial berbasis
masyarakat untuk konseling lebih lanjut atau melanjutkan
dukungan psikososial.
Harus dilakukan upaya khusus untuk merujuk anak yatim/piatu
ke tempat pelayanan esensial termasuk pendidikan perawatan
kesehatan dan pembuatan surat kelahiran.
3. Tindak lanjut klinis
Anak yang diketahui atau tersangka infeksi HIV yang tidak sakit,
harus mengunjungi klinik bayi sehat seperti anak lain. Sebagai
tambahan, mereka juga membutuhkan tindak lanjut klinis secara
teratur di fasilitas kesehatan tingkat pertama minimal 2 kali
setahun untuk memantau:
 Kondisi klinis
 Pertumbuhan
 Asupan Gizi
 Status imunisasi
 Dukungan psikososial (jika mungkin, hal ini harus
diberikan melalui program berbasis masyarakat).

12
2.4 Antiretroviral Therapy

Obat antiretroviral adalah pengobatan untuk perawatan infeksi


oleh retrovirus, terutama HIV. Kelas obat antiretroviral yang berbeda
berjaman pada stadium lingkaran kehidupan HIV yang berbeda. Kombinasi
beberapa obat antiretroviral diketahui sebagai terapi antiretroviral yang sangat
aktif (HAART).

Terapi ARV
a) Tujuan pemberian ARV
ARV diberikan pada pasien HIV-AIDS dengan tujuan:
1. Menghentikan replikasi HIV
2. Memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi
oportunistik.
3. Memperbaiki kualitas hidup
4. Menurunkan morbiditas dan mortalitas karena infeksi HIV
b) Cara Kerja ARV
Mekanisme Kerja ARV melalui 3 tahap yaitu:
1. Penghambat masuknya ke dalam sel
Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung
glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat.
Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid.
2. Penghambat reverse transcriptase enzyme
a. Analog nekleosidan (NRTI)
NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan
3 gugus fosfat) dan selanjutnya berkompetisi dengan
natural nukleotida menghambat RT sehingga perubahan
RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga
menghentikan pemanjangan DNA.
b. Analog nukleotida (NtRTI)
Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV
sama dengan NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan
proses fosforilasi.
c. Protease inhibitor

13
Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler
tetapi berikatan langsung dengan reseptor pada RT dan
tidak berkompetisi dengan nukleotida natural. Aktivitas
antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.
3. Protease inhibitor
Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim
protease yang mengkatalisa pembentukan protein yang
dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus. Akibatnya
virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu
menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang potensial.
c) Jenis obat-obatan ARV
Berdasarkan cara kerjanya ARV dibedakan dalam beberapa
golongan yaitu golongan NRTI, NNRTI, dan PI yang termasuk dalam
golongan NRTI adalah: Abacavir, Didanosin, Lamivudin, Stavudin,
Tenolovir, Zalcibatin, Zidotudin sementara yang termasuk golongan
NNRTI adalah: Efavirenz, Neviparin dan yang termasuk golongan PI
adalah: Loponavir, Ritonavir, Nelfinavir, Saquinavir.

Terapi ARV bagi ODHA

1. Pre-Exposure Prophylaxis

Pre-exposure prophylaxis (PrEP), merupakan pemberian terapi ARV


untuk pasangan ODHA yang negatif HIV / pasangan serodiskordan
agar tidak terinfeksi HIV, PrEP direkomendasikan WHO sebagai
pilihan pencegahan bagi orang yang berisiko terinfeksi HIV, sebagai
bagian dari kombinasi pendekatan upaya pencegahan.

2. Post-exposure Prophylaxis

Post-exposure prophylaxis (PEP), merupakan penggunaan ARV yang


dimulai dalam jangka waktu 72 jam terpapar HIV atau perilaku
berisiko, sebagai upaya pencegahan infeksi. Layanan PEP umumnya
termasuk konseling, penanganan awal, pemeriksaan HIV, dan

14
pemberian terapi ARV selama 28 hari dengan perawatan berkala.
WHO merekomendasikan pemberian PEP baik untuk kasus paparan
okupasional maupun nonokupasional dan untuk orang dewasa maupun
anak-anak.[4,10,11

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

16
DAFTAR PUSTAKA

Hasdiana, Dewi Prima. 2014. Virologi Mengenal Virus, Penyakit dan


Pencegahannya. Yogyakarta: Nuha Medika

Mandal, dkk. 2008. Penyakit Infeksi Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga

Anindyajati Gina. 2016. Imunisasi dan HIV. Diakses dari


http://blog.angsamerah.com/imunisasi-dan-hiv/ (24 September 2018).

Freedberg KA,  Losina E, Weinstein MC, Paltiel D, Cohen CJ, Seage GR, Craven
DE, Zhang H, Kimmel AD,  Goldie SJ. 2001. The cost effectiveness of
combination antiretroviral therapy for HIV disease. N Engl J Med, Vol. 344, No.
11.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Infodatin: Situasi dan analisis HIV-AIDS.


Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai