PENDAHULUAN
1
Kesehatan reproduksi merupakan satu benang merah dimana pada
akhirnya resiko terinfeksi HIV/ AIDS akan lebih mudah terjadi terutama pada
usia remaja yang belum mengerti dan sadar akan kesehatan reproduksinya
sendiri, informasi mengenai pencegahan, kesehatan reproduksi remaja dan
pengobatan infeksi adalah hal yang mendesak agar penularan laju epidemi
dapat ditangani.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana promosi kesehatan ?
2. Apa saja imunisasi terhadap HIV/AIDS ?
3. Bagaimana healthcare follow up terhadap HIV/AIDS ?
4. Apakah antiretroviral therapy ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui promosi kesehatan
2. Untuk mengetahui imunisasai terhadap HIV/AIDS
3. Untuk mengetahui healthcare follow up terhadap HIV/AIDS
4. Untuk mengetahui antiretroviral therapy
1.4 Manfaat
1. Agar kita mengetahui promosi kesehatan
2. Agar kita mengetahui imunisasi terhadap HIV/AIDS
3. Agar kita mengetahui healthcare follow up terhadap HIV/AIDS
4. Agar kita mengetahui antiretroviral therapy
2
BAB II
PEMBAHASAN
1) Advokasi
3
dalam lingkup pemerintah daerah yang melibatkan antar Satuan
Organisasi Perangkat Daerah (SOPD) yang terkait.
2) Bina Suasana
4
strategis untuk memastikan pelayanan kesehatan bisa
diakses dan dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan.
3) Pemberdayaan
5
kelompok kecil dan besar. Contoh Lembaga yang bisa
melakukan kegiatan ini adalah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Pemerintah Daerah/Komisi
Penanggulanangan AIDS Daerah (KPAD), dan atau
Kelompok masyarakat yang terlatih dengan Media KIE
HIV/AIDS.
4) Kemitraan
Berikut beberapa imunisasi yang penting diberikan bagi semua orang dengan
HIV/AIDS adalah :
6
1. Hepatitis B
Imunisasi ini penting untuk diberikan kecuali bila sedang
ada infeksi hepatitis aktif atau bukti bahwa klien telah memiliki
kekebalan terhadap hepatitis B (riwayat imunisasi). Dosis yang
diperlukan untuk imunisasi hepatitis B sama dengan orang normal
yakni 3 suntikan dalam waktu 6 bulan. Setelahnya perlu dilakukan
tes darah untuk mengetahui kadar antibodi, bila ternyata jumlahnya
masih rendah maka diperlukan suntikan tambahan.
2. Influenza
Orang dengan HIV perlu mendapat imunisasi flu sekali
setiap tahun, dan hanya diberikan dalam bentuk suntikan.
Imunisasi dengan cara semprotan hidung (nasal spray) tidak boleh
digunakan pada orang ini, karena mengandung virus hidup.
3. Pneumokokal Polisakarida
Setelah terdiagnosa memiliki HIV, maka orang tersebut
perlu mendapat imunisasi pneumokokal. Kecuali bila orang
tersebut telah diimunisasi dalam 5 tahun sebelum diagnosis
ditegakkan. Penting juga untuk memperhatikan kadar CD4 klien,
karena bila <200 sel/mm3, imunisasi pneumokokal perlu diulang.
Imunisasi pneumokokal diberikan satu kali setiap 5 tahun.
4. Tetanus dan Difteri Toksoid
Pemberiannya diulang setiap 10 tahun, sama seperti
rekomendasi pada orang normal. Bagi wanita imunisasi ini sangat
penting apalagi terkait kehamilan dan proses persalinan. Para
pengguna narkotika suntik juga sangat dianjurkan mendapat
imunisasi ini untuk mencegah infeksi tetanus.
5. Tetanus, Difteri, dan Pertussis
Orang dengan HIV yang telah berusia 64 tahun atau yang
lebih muda disarankan untuk mendapat imunisasi ini sebagai
booster imunisasi tetanus dan difteri. Imunisasi dapat diberikan
setidaknya 2 tahun setelah mendapatkan imunisasi tetanus dan
7
difteri yang pertama, terutama bagi mereka yang kontak dengan
bayi di bawah usia 12 bulan dan para petugas kesehatan.
1) Hepatitis A
Yang disarankan untuk mendapat imunisasi ini adalah para
petugas kesehatan, lelaki yang melakukan hubungan seks dengan
lelaki lain, pengguna narkotika suntik, orang dengan penyakit liver
kronis (termasuk hepatitis kronis B atau C), orang dengan
hemofilia, serta orang yang bepergian ke daerah endemis.
2) Kombinasi Hepatitis A dan B
Diberikan melalui 3 suntikan dalam waktu 1 tahun. Boleh
diberikan ke orang yang membutuhkan imunisasi baik hepatitis A
dan B.
3) Hemofilus Influenza tipe B
Hemofilus influenza tipe B dapat menyebabkan meningitis.
Perlu didiskusikan terlebih dulu antara orang dengan HIV positif
bersama petugas kesehatan, sebelum memberi imunisasi.
4) Human Papillomavirus
Imunisasi ini diberikan sebanyak 3 kali dalam 6 bulan.
Sangat disarankan bagi perempuan berusia 9-26 tahun, tapi tidak
bagi mereka yang sedang hamil.
5) MMR (Measles, Mumps, Rubella)
Orang dengan HIV positif yang kadar CD4-nya <200
sel/mm3, memiliki riwayat penyakit yang mengarah ke AIDS, atau
8
menunjukkan gejala klinis HIV, tidak boleh mendapatkan
imunisasi ini. Bila diperlukan, imunisasi bisa diberikan terpisah
untuk mencapai kadar antibodi yang mencukupi. Pemberian sangat
tergantung dengan kondisi pasien sehingga perlu konsultasi dengan
tenaga medis yang merawatnya.
6) Meningitis ( Meningococcal meningitis)
Orang dengan imunitas yang rendah mudah terinfeksi
meningitis bila terpapar.
- Anthrax
- Smallpox (cacar)
- Zoster
9
pasangan tetap ataupun tidak tetap ODHA dan populasi kunci
seperti WPS, waria, LSL dan penasun. .
c. Kabupaten/kota dapat menetapkan situasi epidemi di
daerahnya dan melakukan intervensi sesuai penetapan tersebut,
melakukan monitoring & evaluasi serta surveilans berkala.
d. Memperluas akses layanan KTHIV dengan cara menjadikan tes
HIV sebagai standar pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan
(FASKES) pemerintah sesuai status epidemi dari tiap
kabupaten/kota
e. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium
yang terlatih, maka bidan atau perawat terlatih dapat
melakukan tes HIV
f. Memperluas dan melakukan layanan KTHIV sampai ke tingkat
puskemas
g. Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas dan
masyarakat umum untuk meningkatkan kegiatan penjangkauan
dan memberikan edukasi tentang manfaat tes HIV dan terapi
ARV.
h. Bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan upaya
pencegahan melalui layanan IMS dan PTRM
2. Meningkatkan cakupan pemberian dan retensi terapi ARV, serta
perawatan kronis
a. Menggunakan rejimen pengobatan ARV kombinasi dosis
tetap (KDT-Fixed Dose Combination-FDC), di dalam satu
tablet mengandung tiga obat. Satu tablet setiap hari pada jam
yang sama, hal ini mempermudah pasien supaya patuh dan
tidak lupa menelan obat.
b. Inisiasi ARV pada fasyankes seperti puskesmas
c. Memulai pengobatan ARV sesegera mungkin berapapun
jumlah CD4 dan apapun stadium klinisnya pada:
10
kelompok populasi kunci, yaitu: pekerja seks, lelaki seks
lelaki, pengguna napza suntik, dan waria, dengan atau tanpa
IMS lain
populasi khusus, seperti: wanita hamil dengan HIV, pasien
ko-infeksi TBHIV, pasien ko-infeksi Hepatitis-HIV
(Hepatitis B dan C), ODHA yang pasangannya HIV
negatif (pasangan sero-diskordan), bayi/anak dengan HIV
(usia<5tahun).
semua orang yang terinfeksi HIV di daerah dengan epidemi
meluas
d. Mempertahankan kepatuhan pengobatan ARV dan pemakaian
kondom konsisten melalui kondom sebagai bagian dari paket
pengobatan.
e. Memberikan konseling kepatuhan minum obat ARV
3. Memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral load (VL) termasuk
early infant diagnosis (EID), hingga ke layanan sekunder terdekat
untuk meningkatkan jumlah ODHA yang masuk dan tetap dalam
perawatan dan pengobatan ARV sesegera mungkin, melalui sistem
rujukan pasien ataupun rujukan spesimen pemeriksaan.
4. Peningkatan kualitas layanan fasyankes dengan melakukan
mentoring klinis yang dilakukan oleh rumah sakit atau FKTP.
5. Mengadvokasi pemerintah lokal untuk mengurangi beban biaya
terkait layanan tes dan pengobatan HIV-AIDS.
B. Tindak Lanjut Rumah Sakit
1. Pemulangan dari rumah sakit
Anak dengan infeksi HIV mungkin memberi respons lambat atau
tidak lengkap terhadap pengobatan yang biasa. Anak mungkin
menderita demam yang persisten, diare persisten atau batuk kronik.
Apabila keadaan umumnya baik, anak ini tidak perlu tetap tinggal
di rumah sakit, tetapi dapat dapat diperiksa secara teratur sebagai
pasien rawat jalan.
2. Rujukan
11
Jika rumah sakit tidak mempunyai fasilitas, pertimbangkan untuk
merujuk anak dengan tersangka infeksi HIV:
Untuk tes HIV dengan konseling pra- maupun pasca-tes
Ke rumah sakit lain untuk pemeriksaan lebih lanjut atau
pengobatan lini kedua, jika respons terhadap pengobatan
sangat minimal atau tidak ada
Ke konselor terlatih untuk HIV dan konseling pemberian
makan bayi, jika petugas kesehatan lokal tidak dapat
melakukan hal ini
Ke program pelayanan komunitas/keluarga atau ke pusat
konseling dan tes sukarela yang berbasis
masyarakat/institusi, atau program dukungan sosial berbasis
masyarakat untuk konseling lebih lanjut atau melanjutkan
dukungan psikososial.
Harus dilakukan upaya khusus untuk merujuk anak yatim/piatu
ke tempat pelayanan esensial termasuk pendidikan perawatan
kesehatan dan pembuatan surat kelahiran.
3. Tindak lanjut klinis
Anak yang diketahui atau tersangka infeksi HIV yang tidak sakit,
harus mengunjungi klinik bayi sehat seperti anak lain. Sebagai
tambahan, mereka juga membutuhkan tindak lanjut klinis secara
teratur di fasilitas kesehatan tingkat pertama minimal 2 kali
setahun untuk memantau:
Kondisi klinis
Pertumbuhan
Asupan Gizi
Status imunisasi
Dukungan psikososial (jika mungkin, hal ini harus
diberikan melalui program berbasis masyarakat).
12
2.4 Antiretroviral Therapy
Terapi ARV
a) Tujuan pemberian ARV
ARV diberikan pada pasien HIV-AIDS dengan tujuan:
1. Menghentikan replikasi HIV
2. Memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi
oportunistik.
3. Memperbaiki kualitas hidup
4. Menurunkan morbiditas dan mortalitas karena infeksi HIV
b) Cara Kerja ARV
Mekanisme Kerja ARV melalui 3 tahap yaitu:
1. Penghambat masuknya ke dalam sel
Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung
glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat.
Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid.
2. Penghambat reverse transcriptase enzyme
a. Analog nekleosidan (NRTI)
NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan
3 gugus fosfat) dan selanjutnya berkompetisi dengan
natural nukleotida menghambat RT sehingga perubahan
RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga
menghentikan pemanjangan DNA.
b. Analog nukleotida (NtRTI)
Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV
sama dengan NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan
proses fosforilasi.
c. Protease inhibitor
13
Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler
tetapi berikatan langsung dengan reseptor pada RT dan
tidak berkompetisi dengan nukleotida natural. Aktivitas
antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.
3. Protease inhibitor
Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim
protease yang mengkatalisa pembentukan protein yang
dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus. Akibatnya
virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu
menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang potensial.
c) Jenis obat-obatan ARV
Berdasarkan cara kerjanya ARV dibedakan dalam beberapa
golongan yaitu golongan NRTI, NNRTI, dan PI yang termasuk dalam
golongan NRTI adalah: Abacavir, Didanosin, Lamivudin, Stavudin,
Tenolovir, Zalcibatin, Zidotudin sementara yang termasuk golongan
NNRTI adalah: Efavirenz, Neviparin dan yang termasuk golongan PI
adalah: Loponavir, Ritonavir, Nelfinavir, Saquinavir.
1. Pre-Exposure Prophylaxis
2. Post-exposure Prophylaxis
14
pemberian terapi ARV selama 28 hari dengan perawatan berkala.
WHO merekomendasikan pemberian PEP baik untuk kasus paparan
okupasional maupun nonokupasional dan untuk orang dewasa maupun
anak-anak.[4,10,11
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Freedberg KA, Losina E, Weinstein MC, Paltiel D, Cohen CJ, Seage GR, Craven
DE, Zhang H, Kimmel AD, Goldie SJ. 2001. The cost effectiveness of
combination antiretroviral therapy for HIV disease. N Engl J Med, Vol. 344, No.
11.
17