Anda di halaman 1dari 3

Layaknya pengantin lain,aku bergetar ketika janji itu dilafalkan didepan orangtuaku dan

disaksikan banyak orang. Getaran kencang nan menyakitkan hati, getaran yang tak biasa,
berbeda dengan pengantin lain yang bersanding dengan lelaki impiannya. Aku tertunduk
menikmati tangisku didepan kaca rias yang seakan memberitahuku bahwa aku telah usia berrias
kala aku memandangnya. Menit serasa menjadi detik menunggu liqa, terdengar suara kaki
menuju kamarku benar saja seseorang mengetuk pintu disebalik kamarku.

“Assalamualaikum, ning Syifa”

“Enggeh, Waalaikumsalam”

Nampak jelas suara Intan, salah santri abdi ndalem buyaku.

“Masuk mbak Intan, ndak dikunci” (sambungku sembari mengusap isakku dan menoleh ke pintu
kamar)

“Ning, sudah di waktunya liqa’, njenengan diatur turun kebawa”

Aku melihat ulang ke kaca, memastikan tak ada lagi air mata dipipiku. Berat sekali kurasa, harus
menutupi tangisku didepan para undangan, kerabat dan teman sejawat Umi dan Buyaku.

“Syifa, sampun nak?”

Suara Umi menjemputku, mengisyaratkan aku harus turun menemui suami pilihan orangtuaku.

“Sampun Umi… .”

“Ayo nak, suamimu sudah menunggu”

Tangisku menitik lagi, mendengar ucapan umiku. Umi yang menyadarinya seketika
mengusapnya.

“Percayalah, apapun yang kau jalani dengan Ikhlas akan berbuah bahagia nak”

Aku hanya bisa terdiam, tanpa bisa kujawab apapun. Aku masih tak menyangka mengapa
pernikahanku secepat ini tanpa ada yang memberitahukan kepadaku. Ini sangat menyayat hatiku,
bagaimana tidak? aku memiliki lelaki yang ku idami dan telah menjalin hubungan dekat dalam 2
tahun terakhir ini, benar memang salahku mengapa memulai rasa ini dengannya, rasa yang tak
segera dibalut dengan akad, jadinya didahului yang lain, lelaki yang dijodohkan denganku,
pilihan buya dan umiku.

Bukan buya dan umi tak tau perihal ini, aku telah menjelaskannya sebelum hari ini aku menjadi
istri dari lelaki pilihannya. Namun, penjelasanku itu membuat buyaku sakit parah akibat kaget
dengan pernyataanku, 1 minggu masuk ISU, aku yang tak tega melihatnya terpaksa harus
menerima perjodohan ini dengan lelaki sahabat masa kecilku yang 21 tahun lalu buyaku dan
abahnya telah menyepakati perjodohan ini, tanpa sepengetahuan kita berdua. Ahhh sudahlah,
Anggap saja ini sekedar Birrul wa li dainku pada buya dan umi, aku bergumam menguatkan hati
yang rapuh.

Ku beranjak dari kamarku menuju tenda megah nan mewah namun bagai tempat paling berhantu
dimataku itu. Tangan umi menuntunku menuruni anak-anak tangga, diiringi lantunan sholawat
ratusan undangan yang hadir saat itu, mengantarkanku menemui lelaki yang kini telah menjadi
suamiku.

Pertemuan ini memang layaknya pertemuan pernikahan lainnya, semua orang haru melihat aku
mencium tangannya dan disambung dia mencium keningku yang didahuluinya doa liqa’, doa
menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Namun, hanya dia dan aku yang bisa
merasakan, tidak ada cinta dihati kita.

Ia menatapku dan akupun menatapnya, matanya yang berkaca melihat mataku yang tangisnya
telah pecah, dia pun mengusapnya membersihkan air mata dipipiku seolah menunjukkan
keromantisan dihadapan para undangan. Mereka yang melihatpun semakin haru melihat kita,
beranggap keromantisan dan kehanggatan di antara kita, padahal yang mereka lihat adalah rasa
saling menguatkan diantara kita, sedikitpun tak ada rasa cinta yang bersemayam di hati.

Suamiku pun tahu perihal ceritaku dengan ustadz Fauzan kekasihku di Al munawarah, pesantren
tempatku mengali ilmu, dia faham bagaimana perasaaanku saat ini, karena aku telah
menceritakan semua kepadanya dan dia juga menceritakan hubungannya dengan ning sofa teman
masa kecil kita sebelum hari sakral nan menyakitkan ini. Kita tak pernah tahu bagaimana bisa
pernikahan tanpa cinta ini terjadi secepat dan sesakral ini.

Namun, walau bagaimanapun juga inilah pernikahan kita, yang mengikat kita menjadi suami
istri.

Ketika ustadz Fauzan datang

Sendu di hari kemarin belumlah usai, aku dan suamiku harus melalui hari yang suram yang
dinikmati banyak orang dan dihujani banyak hidangan lezat, tiga hari berturut-turut terhitung
sejak hari akad kemarin masih berlanjut hari ini dan esok. Suasana memaksa kita tersenyum
didekor pelaminan menyambut para tamu.

Entahlah begitu banyak sekali orang yang datang memberikan doa dan selamat kepada kita
berdua. Pun tak sedikit dari kalangan teman sejawat buya, para kyai dan habaib yang datang dan
mendoakan kita bahkan para wali santri dan jamaah pengajian rutinan buya juga berbondong-
bondong datang.
Pun ning sofa teman masa kecilku sekaligus kekasih suamiku juga hadir dalam resepsi kita, Aku
bisa merasakan bagaimana perasaan suamiku ketika ning Sofa gadis anggun yang dicintainya itu
tiba hadir sebagai tamu bukan pasangan hidupnya.

Sampai ketika ning sofa naik kepelaminan hendak mengucapkan selamat pada kita, suamiku
berbisik padanya. Aku tak menghiraukannya, aku memahami perasaan mereka juga tersayat
dengan pernikahan ini begitu halnya dengan aku.

“Ning Syifa, selamat yaa, semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah, dunia akhirat, selamat
menempuh hidup baru” Ucapnya sembari bercepika cepiki denganku.

“Terima kasih, Ning. Semoga cepat dipertemukan dengan jodohnya sampean yaa” Sambungku

Aku menangkap mimik kesedihan dibalik ketegarannya. Ia datang memberikan selamat bahkan
mengajak kita bersua foto.

Mata ku tertuju pada pintu masuk para tamu, ku dapati kyai Anwar pengasuh Al munawarah
datang bersama rombongan keluarga dan para ustadz, ustadzah.

Aku memegang erat tangan suamiku dan berbisik.

“Mas, itu rombongan keluarga dan ustadz-ustadzah al munawarah, aku takut tak bisa
membendung tangisku didepan banyak orang ketika aku bertemu dengan ustadz fauzan”

Ia memandangku dan berkata

“Tenanglah, syifa semua akan baik-baik saja” sambungnya meyakinkanku.

Ia mengandengku menuju tempat duduk para rombongan al Munawarah. Mataku mencari


dimana ustadz fauzan

Anda mungkin juga menyukai