Anda di halaman 1dari 10

Konferensi Nasional Teknik Sipil (KoNTekS) - 13

“Inovasi Sains dan Teknologi dalam Penerapan Infrastruktur Berbasis Mitigasi Bencana dan
Berwawasan Lingkungan”

Tantangan Pembangunan Infrastruktur Pasca Pemutakhiran Peta Sumber


dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017

Faiz Sulthan, Maya Angraini, Maressi Arasti Meuna

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Indonesia


Email: faiz.sulthan@pu.go.id, angrainimaya@pu.go.id, maressimeuna@pu.go.id

ABSTRAK

Isu besar dalam tantangan pembangunan infrastruktur di Indonesia antara lain adalah isu geografis.
Indonesia menempati zona tektonik yang sangat aktif dan dikelilingi empat lempeng utama, yaitu
Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng laut Filipina, dan Lempeng Pasifik. Hal ini
menyebabkan Indonesia berpotensi mengalami banyak kejadian gempa dan berdampak pada
gangguan kehidupan serta kerusakan infrastruktur. Untuk memetakan sumber dan bahaya gempa
tersebut sebagai langkah preventif maka disusunlah Peta Sumber dan Bahaya Gempa. Dalam
perkembangannya telah dilakukan pemuktahiran peta gempa dari tahun 2002, 2010, dan yang
terbaru saat ini adalah peta sumber dan bahaya gempa tahun 2017. Pada makalah ini dibahas
tantangan dalam pembangunan infrastruktur secara umum pasca pemutakhiran peta sumber dan
bahaya gempa tahun 2017 menggunakan analisis deskriptif. Berdasarkan hasil analisis pemuktahiran
peta sumber dan bahaya gempa Indonesia dengan penambahan sumber gempa hingga total menjadi
295 sesar aktif, berpeluang menyebabkan terjadinya peningkatan parameter percepatan respon
spektra. Hal ini dapat berdampak pada perencanaan struktur yang menjadi semakin ketat agar dapat
mengakomodasi kebutuhan kinerja struktur yang meningkat akibat gempa desain yang semakin
besar.

Kata kunci: Pembangunan infrastruktur, peta sumber dan bahaya gempa.

1. PENDAHULUAN
Berdasarkan PERPRES No. 2 Tahun 2015 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019, untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara kawasan barat
dan kawasan timur Indonesia perlu dilakukan percepatan dan pemerataan pembangunan wilayah
dengan menekankan keunggulan kompetitif perekonomian daerah berbasis sumber daya alam,
sumber daya manusia, penyediaan infrastruktur, dan pengembangan teknologi. Isu besar dalam
tantangan pembangunan infrastruktur di Indonesia antara lain adalah isu geografis, sumber daya
alam, ekonomi, sosial dan lingkungan. Isu geografis menjadi perhatian sendiri mengingat kondisi
Indonesia yang menempati zona tektonik yang sangat aktif karena terletak pada pertemuan tiga
lempeng besar dan beberapa lempeng kecil (Bird, 2003). Hal ini menyebabkan Indonesia berpotensi
mengalami banyak kejadian gempa. Indonesia dikelilingi oleh empat lempeng utama, yaitu
Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng laut Filipina, dan Lempeng Pasifik.
Sebagai langkah preventif untuk menanggulangi bencana gempa, maka disusunlah Peta Sumber dan
Bahaya Gempa. Pembangunan infrastruktur yang didasarkan pada tata ruang dan guna lahan yang
mengacu pada peta sumber dan bahaya gempa dapat mengurangi risiko kerusakan dan kerugian
ketika gempa terjadi karena sebaran pembangunan infrastruktur vital, prasarana umum, komplek
bangunan tinggi, dan permukiman padat penduduk dapat menghindari kawasan-kawasan yang
berisiko gempa tinggi.
Perkembangan Peta Sumber dan Bahaya Gempa di Indonesia yang telah digunakan secara nasional
untuk perencanaan dalam pembangunan infrastruktur telah dikembangkan sejak 1983. Dalam
perkembangannya telah dilakukan pemutakhiran peta gempa dari tahun 2002, 2010, dan yang

PROSIDING KoNTekS-13 (Volume II) 468


Konferensi Nasional Teknik Sipil (KoNTekS) - 13
“Inovasi Sains dan Teknologi dalam Penerapan Infrastruktur Berbasis Mitigasi Bencana dan
Berwawasan Lingkungan”

terbaru saat ini adalah peta sumber dan bahaya gempa tahun 2017. Pemutakhiran yang berkelanjutan
terhadap peta gempa Indonesia merupakan kebutuhan penting yang harus dilakukan. Peta gempa
memberikan informasi penting untuk kesiapsiagaan, penanggulangan kedaruratan, perencanaan
pembangunan, pengambilan keputusan pemerintah, perencanaan investasi bisnis, serta peningkatan
awareness masyarakat. Berdasarkan latar belakang diatas, pada makalah ini dibahas tantangan
dalam pembangunan infrastruktur secara umum pasca pemutakhiran peta sumber dan bahaya gempa
tahun 2017.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi tektonik indonesia
Wilayah Indonesia dibagi menjadi tujuh wilayah besar berdasarkan fitur tektoniknya seperti pada
Gambar 1, yaitu Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Laut Banda, Papua, Laut Maluku, dan Sulawesi.
Serangkaian peristiwa gempa besar tercatat dalam dua dekade terakhir, diantaranya:

Tabel 1. Gempa besar di Indonesia dua dekade terakhir


Kejadian Gempa Tahun Mw
Gempa Aceh 2004 9,2
Gempa Nias 2005 8,7
Gempa Yogyakarta 2006 6,3
Gempa Padang 2009 7,6
Gempa Mentawai 2010 7,8
Gempa Lombok 2018 7,0
Gempa Donggala 2018 7,4

Kegempaan di Sumatera menunjukkan distribusi seismisitas yang unik di bagian utara Sumatera
yaitu distribusi yang tinggi di sekitar Pulau Simeulue dan Nias. Hasil penelitian menunjukkan
adanya beberapa gempa di sekitar struktur Mentawai backtrust yang menerus hingga kedalaman 20-
30 km. Dalam waktu dua dekade terakhir, di Jawa terjadi empat gempa yang menimbulkan
kerusakan signnifikan yaitu gempa tsunami tahun 1994, gempa tahun 2006 dan gempa tahun 2009.
Beberapa event gempa telah terjadi pada sesar Cimandiri, sesar Lembang, sesar Baribis, sesar
madiun, dan kemungkinan pada sesar Garut. Seismisitas di Sulawesi berkaitan dengan subduksi di
utara Sulawesi, sesar Palu Koro, sesar Matano, dan subduksi lempeng laut Maluku di timur. Terdapat
seismisitas yang tinggi di sekitar sesar Palu Koro dan Matano dengan kedalaman 3-28 km.

Gambar 1. Peta tektonik wilayah Indonesia tahun 2017 (PusGeN, 2017)

PROSIDING KoNTekS-13 (Volume II) 469


Konferensi Nasional Teknik Sipil (KoNTekS) - 13
“Inovasi Sains dan Teknologi dalam Penerapan Infrastruktur Berbasis Mitigasi Bencana dan
Berwawasan Lingkungan”

Gambar 2. Gempa di Indonesia hasil relokasi hingga 2016 (PuSGen, 2017)


Gempa-gempa di Papua terjadi pada subduksi sepanjang New Guinea trench dan sesar-sesar geser
seperti sesar Sorong dan Yapen. Interpretasi gempa di Papua berada pada kisaran 9-26 km.
Kegempaan di Bali, Nusa Tenggara dan Laut Banda salah satunya disebabkan karena tingkat
seismisitas yang tinggi di selatan Pulau Sumba. Seismisitas di Laut Banda sebagian besar terjadi
pada slab bagian selatan dari Timor trough hingga Tanibar trough, dan mekanisme gempa di wilayah
ini dengan Mw ≥ 6 berada pada kedalaman hingga 170 km. Gempa tersebut telah menyebabkan
ribuan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur serta triliunan rupiah untuk rehabilitasi dan
rekonstruksi. Gempa tersebut sebagian besar memiliki kedalaman < 100 km. Terakhir, Pulau
Kalimantan merupakan area di Indonesia yang memiliki seismisitas paling rendah. Seismisitas di
Kalimantan lebih didominasi oleh aktivitas sesar dengan kedalaman gempa < 30 km. (PusGeN,
2017)
Peta Sumber dan Bahaya Gempa
Pemetaan kemungkinan bahaya goncangan atau vibrasi akibat gempa yang didasarkan pada hasil
riset dan penelitian sains kebumian serta rekayasa bangunan merupakan alat yang sangat efektif
digunakan sebagai upaya mitigasi gempa. Potensi goncangan gempa salah satunya dapat diketahui
distribusinya dengan metode Probabilistic Seismic Hazard Map (PSHA Map). Metode ini cukup
efektif dan dapat menjadi dasar yang reliable untuk memperkirakan risiko pada suatu daerah hunian
atau infrastruktur yang ada (Algermissen and Perkins 1982; Frankel dkk.1995, 2002; Petersen dkk.
2008).
Hingga saat ini Indonesia memiliki tiga peta hazard gempa yang telah digunakan secara nasional
untuk perencanaan pembangunan infrastruktur tahan gempa sejak 1983. Pada tahun 2002 empat
kelompok peneliti menghasilkan peta percepatan puncak di batuan dasar Indonesia dengan periode
ulang 500 tahun yang diambil nilai rata-ratanya dan menjadi peta gempa dalam SNI 03-1726-2002.
Kemudian, pada tahun 2010 berdasarkan studi bahaya gempa untuk Pulau Sumatera secara
terintegrasi melalui dukungan penelitian Riset Unggulan Terpadu-KMNRT 6, dan kompilasi studi
beberapa peneliti dihasilkan Peta Gempa Nasional 2010 yang dapat dilihat pada Gambar 3.
Menindaklanjuti penugasan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tentang perlunya
pemutakhiran Peta Bahaya Gempa 2010 yang digunakan sebagai standar perencanaan gedung dan
infrastruktur tahan gempa Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan
Permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat menyusun Peta Sumber dan Bahaya Gempa tahun 2017.

PROSIDING KoNTekS-13 (Volume II) 470


Konferensi Nasional Teknik Sipil (KoNTekS) - 13
“Inovasi Sains dan Teknologi dalam Penerapan Infrastruktur Berbasis Mitigasi Bencana dan
Berwawasan Lingkungan”

Gambar 3. Peta percepatan puncak di batuan dasar Indonesia tahun 2010 (Tim Revisi Peta
Gempa Indonesia, 2010)

Gambar 4. Peta percepatan puncak di batuan dasar Indonesia tahun 2017 (PuSGen, 2017)

3. METODOLOGI
Metodologi yang digunakan dalam makalah ini adalah menggunakan analisis deskriptif. Analisis
data dalam pendekatan kualitatif dan kuantitatif terdiri dari tiga kegiatan, yaitu reduksi data,
tampilan data, dan penulisan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan membaca tinjauan pustaka
berbagai sumber yang akan dianalisis kemudian dibuat catatan, ringkasan data (summary), dan
sajian/tampilan data dengan bentuk teks naratif dan gambar. Hasil dari analisis ini berupa teks naratif
tentang tantangan pembangunan infrastruktur Indonesia pasca pemutakhiran peta dan sumber
bahaya gempa Indonesia tahun 2017.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh Pemutakhiran Peta Sumber dan Bahaya Gempa terhadap Perencanaan
Infrastruktur
Pemuktahiran peta sumber dan bahaya gempa Indonesia dengan penambahan sumber gempa hingga
total menjadi 295 sesar aktif, berpeluang menyebabkan terjadinya peningkatan parameter percepatan

PROSIDING KoNTekS-13 (Volume II) 471


Konferensi Nasional Teknik Sipil (KoNTekS) - 13
“Inovasi Sains dan Teknologi dalam Penerapan Infrastruktur Berbasis Mitigasi Bencana dan
Berwawasan Lingkungan”

respon spektra. Hal ini dapat berdampak pada perencanaan struktur yang menjadi semakin ketat agar
dapat mengakomodasi kebutuhan kinerja struktur yang meningkat akibat gempa desain yang
semakin besar. Perbandingan respon spektra periode ulang gempa 2500 tahun dengan asumsi
kondisi tanah sedang (SB) pada periode getar pendek 0.2 detik (Ss) dan periode getar 1 detik (S1)
berdasarkan peta bahaya gempa 2010 dan peta sumber dan bahaya gempa 2017 di 10 kota besar di
Indonesia menunjukkan adanya peningkatan nilai percepatan respon di beberapa kota. Peningkatan
tersebut berarti bahwa gempa desain dalam perencanaan struktur bangunan gedung semakin besar.

Tabel 2. Perubahan nilai percepatan Gempa besar di Indonesia

Peta gempa Peta gempa


Kota 2010 2017

Ss S1 Ss S1
Banda Aceh 1,35 0,64 1,75 0,65
Medan 0,53 0,33 0,55 0,30
Padang 1,40 0,60 1,35 0,55
Jakarta 0,69 0,30 0,75 0,35
Bandung 1,45 0,49 1,35 0,45
Surabaya 0,66 0,25 0,75 0,28
Denpasar 0,98 0,36 0,85 0,35
Palu 1,88 0,71 2,75 0,95
Manokwari 1,45 0,56 1,75 0,45
Jayapura 1,50 0,60 2,75 1,50

Tabel 3. Perubahan nilai kriteria desain seismik (KDS) di beberapa kota di Indonesia (SNI
1726:2012)
Kriteria desain seismik (KDS)

Kota Peta Gempa


Peta Gempa 2010
2017

Banda Aceh D D
Medan D D
Padang D D
Jakarta D D
Bandung D D
Surabaya C D
Denpasar D D
Palu D D
Manokwari D D
Jayapura D D

Kriteria perencanaan gempa berbeda-beda sesuai dengan jenis peruntukan infrastruktur seperti pada
Tabel 4. Peta sumber dan bahaya gempa 2017 memuat gempa dengan periode ulang beragam untuk
mengakomodasi persyaratan kriteria perencanaan infrastruktur sehingga menghasilkan desain
dengan akurasi tingkat keamanan yang lebih baik. Peta sumber dan bahaya gempa 2017 juga
memuat gempa periode ulang 1000 tahun dengan kemungkinan terlampaui 7% dalam 75 tahun untuk
percepatan puncak batuan dasar, spektra periode pendek 0.2 detik, dan spektra periode 1 detik. Peta
tersebut untuk mengakomodasi perencanaan ketahanan gempa untuk struktur jembatan yang semula
menggunakan gempa dengan perioda ulang 500 tahun dengan kemungkinan terlampaui 10% dalam
50 tahun. Untuk perencanaan bendungan dan terowongan, gempa periode ulang 10000 tahun dengan

PROSIDING KoNTekS-13 (Volume II) 472


Konferensi Nasional Teknik Sipil (KoNTekS) - 13
“Inovasi Sains dan Teknologi dalam Penerapan Infrastruktur Berbasis Mitigasi Bencana dan
Berwawasan Lingkungan”

kemungkinan terlampaui 1% dalam 100 tahun dan periode ulang 5000 tahun dengan kemungkinan
terlampaui 2% dalam 100 tahun baru tersedia peta percepatan puncak batuan dasar.

Tabel 4. Kriteria perencanaan gempa berdasarkan peruntukan infrastruktur (SNI 8460-2017)


Umur Probabilitas
Periode ulang
Peruntukan rencana terlampaui Kriteria Keamanan Referensi
(tahun)
(tahun) (%)
Bangunan
gedung SNI
50 2 2.500 -
dan non- 1726:2012
gedung
SNI
Jembatan 2833:201x
75 7 1.000 -
konvensional AASHTO
(2012)
FK>1,5 (terhadap geser saat
Dinding mengalami beban statik) WSDOT,
penahan FK>2 (terhadap guling saat FHWA-
75 7 1.000
abutmen mengalami beban statik) NJ-2005-
jembatan FK>1,1 (terhadap beban 002
pseudostatik)
Timbunan
FK>1,1
oprit
10.000, Safety • Tidak terjadi aliran air yang tidak ICOLD
Bendungan 100 1 Evaluation terkendali No 148,
Earthquake (SEE) • Deformasi tidak melebihi 0,5 dari 2016,
tinggi jagaan
• Deformasi pada filter tidak boleh
145 Operating melebihi 0,5 tebal filter
100 50 Basis Earthquake • Spillway tetap berfungsi setelah
(OBE) terjadi gempa rencana
Kerusakan minor setelah terjadi gempa
rencana
Bangunan
Pelengkap 50 2 2.500 -
bendungan
Terowongan 100 10 1.000

Strategi Mitigasi Terkait Perencanaan Infrastruktur


Gempa merupakan fenomena alam yang tidak dapat dicegah; belum dapat diperkirakan secara akurat
terkait waktu, lokasi dan magnitudonya; serta berpotensi mengakibatkan kerugian bila tidak
diantisipasi dengan tepat. Gempa tidak secara langsung membahayakan manusia, tetapi kerusakan
infrastruktur akibat gempa yang dapat menyebabkan timbulnya korban jiwa. Penyusunan dan
pemutakhiran peta sumber dan bahaya gempa menyediakan informasi daerah rawan gempa
sekaligus jenis sumber gempa. Informasi ini dapat digunakan dalam strategi terkait pembangunan
infrastruktur di daerah tersebut seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Strategi mitigasi efek gempa (FEMA 451 B, 2007)


Efek gempa Strategi
Fault rupture Hindari
Tsunami Hindari
Tanah longsor Hindari
Likuefaksi Hindari/Tanggulangi
Goyangan tanah dasar Tanggulangi

PROSIDING KoNTekS-13 (Volume II) 473


Konferensi Nasional Teknik Sipil (KoNTekS) - 13
“Inovasi Sains dan Teknologi dalam Penerapan Infrastruktur Berbasis Mitigasi Bencana dan
Berwawasan Lingkungan”

Pada perencanaan infrastruktur, mekanisme studi kelayakan (feasibility study) harus dilakukan
dengan mengacu pada peta sumber dan bahaya gempa. Daerah lokasi rencana harus dapat
diklasifikasikan kriteria kebencanaannya berdasarkan parameter percepatan gempa yang ada.
Penyelidikan tanah lebih lanjut yang dihubungkan dengan parameter gempa dapat menghasilkan
klasifikasi efek gempa seperti pada Tabel 5. Dengan diketahuinya efek gempa pada lokasi tersebut,
maka dapat disusun strategi perencanaan yang terdiri dari strategi penanggulangan, dan
menghindari.
Strategi penanggulangan yang dapat dilakukan adalah berupa perencanaan infrastruktur yang tahan
gempa. Infrastruktur dapat direncanakan mengalami kerusakan dan gangguan terhadap
pelayanannya, tetapi harus memiliki kemungkinan kecil untuk runtuh. Untuk mencapai target
kinerja tersebut, perencanaan ketahanan gempa pada struktur harus memadai, yaitu kapasitas
struktur sama atau lebih besar dari kebutuhan akibat pembebanan gempa yang bekerja. Oleh karena
itu, perencanaan dan detailing struktur tahan gempa pada infrastruktur harus tepat dan memenuhi
persyaratan dalam acuan dan standar ketahanan gempa yang berlaku agar kapasitas struktur dan
terget kinerja dapat tercapai. Mengingat adanya peningkatan gempa desain berdasarkan peta sumber
dan bahaya gempa 2017, perlu dilakukan penyesuaian pada acuan dan standar tersebut agar kapasitas
struktur dihasilkan dapat memadai dalam mengakomodasi peningkatan gempa desain. Konsep
sistem struktur juga perlu penyesuaian agar mencapai target kinerja yang optimal, antara lain
menghindari berat struktur yang berlebihan misalnya dengan penggunaan teknologi sistem struktur
yang lebih langsing atau penggunaan material yang lebih ringan.
Pembangunan infrastruktur besar seperti konstruksi bendungan, jembatan, komplek bangunan
tinggi, fasilitas vital minyak dan gas harus memperhatikan keberadaan lokasi jalur-jalur sesar aktif
terkait adanya bahaya fault rupture, tsunami, tanah longsor, dan likuefaksi. Kejadian gempa di Pidie
Jaya tahun 2016 dan gempa di Yogyakarta tahun 2006 merupakan salah satu bukti nyata bahwa
walaupun gempa dengan Magnitude 6,3 namun dapat menimbulkan kerusakan besar karena sumber
berasal dari jalur sesar aktif yang sangat dekat dengan lokasi kerusakan. Kejadian ini juga
memberikan pelajaran bahwa jalur-jalur sesar minor, apabila dekat dengan wilayah padat populasi
harus juga diperhitungkan untuk dihindari dibangun infrastruktur pada wilayah tersebut.

Kebutuhan Inovasi Konstruksi Tahan Becana Efek Gempa


Peningkatan nilai percepatan respon gempa di beberapa kota berdasarkan pemutakhiran peta sumber
dan bahaya gempa 2017 membuat kebutuhan akan konstruksi infrastruktur tahan bencana sangat
dibutuhkan. Saat terjadi gempa bumi, bukan hanya terjadi goyangan tanah dasar, namun juga
menyebabkan bencana lain seperti likuefaksi, tanah longsor, tsunami, dan fault rupture.
Penanggulangan likuefaksi dan tanah longsor akibat gempa sangat berkaitan dengan konstruksi
perkuatan tanah. Perlu dilakukan penyelidikan tanah secara mendetail pada lokasi pembangunan
infrastruktur, yang kemudian dianalisis apakah kondisi pembangunan aman terhadap likuefaksi dan
tanah longsor serta layak dibangun untuk infrastruktur contohnya seperti penyelidikan geologi
teknik potensi likuefaksi daerah Palu, Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012 yang dilakukan oleh
Kementerian ESDM. Hasil dari penyelidikan di lapangan, menunjukkan bahwa dari peta muka air
tanah, daerah penyelidikan yang mempunyai muka air tanah dangkal (< 12 m) dan berpotensi tinggi
terhadap terjadinya likuefaksi berada pada wilayah Ujuna, Besusu, Palupi, Sunju, Binangga, Sibeli,
Langaleso, Kalukubula, Petobo dan Jonpoye. Sedangkan untuk daerah dengan potensi sangat tinggi
terjadinya likuefaksi adalah Kalukubula, Birobuli, Tatura, Sunju, Tatura, Lolu, Kawatuna, Lere,
Birobuli Selatan (Widyaningrum, 2012). Pada bencana gempa Donggala yang terjadi 28 September
2018, meskipun hampir 80% Kota Palu tergolong sangat tinggi berpotensi terhadap likuefaksi,
ternyata hanya 5% dari lokasi yang terdampak likuefaksi. Pada daerah Balaroa dan Jono Oge yang
tidak masuk kedalam lokasi penelitiaan Kementerian ESDM terdampak likuefaksi yang parah, hal
ini dikarenakan kemiringan lereng pada kedua tempat tersebut tergolong rawan longsor disamping
daya dukung tanahnya yang rendah. Penelitian demikian sebaiknya dilaluka sebelum pembangunan
infrastruktur sehingga dapat dilakukan strategi penangangan untuk ditanggulangi atau dihindari
pembangunan di lokasi tersebut. Cara penanganan likuefaksi dapat dilakukan dengan cara
memperbaiki kondisi tanah dengan mengurangi pencairan tanah sehingga kekuatan dan kualitas

PROSIDING KoNTekS-13 (Volume II) 474


Konferensi Nasional Teknik Sipil (KoNTekS) - 13
“Inovasi Sains dan Teknologi dalam Penerapan Infrastruktur Berbasis Mitigasi Bencana dan
Berwawasan Lingkungan”

tanah meningkatkan. Sementara untuk penangangan lokasi rawan longsor banyak jenis konstruksi
yang dapat diterapkan seperti penggunaan angkur tanah, dan geosintetik.
Untuk kasus goyangan tanah dasar dapat ditanggulangi dengan konstruksi yang kuat menahan
gempa, konstruksi tahan gempa untuk rumah tinggal yang saat ini sudah diakui diantaranya adalah
teknologi Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA). RISHA sebagai bentuk rekayasa teknologi
knock down yang digunakan pada bangunan rumah tinggal sederhana sehat, telah sesuai dengan
Kepmen Kimpraswil No. 403/KPTS/M/2003 tentang Pedoman Teknis Rumah Sederhana Sehat.
Teknologi RISHA yang menggunakan bahan beton bertulang dan tidak banyak mengkonsumsi
material dari alam, sangat layak dikembangkan karena ramah lingkungan dan memenuhi standar.
Berdasarkan hasil pengujian (uji tekan, uji geser, uji lentur, dan uji bangunan penuh pada bangunan
RISHA) yang telah dilakukan di laboratorium dan lapangan, menunjukkan bahwa bangunan RISHA
memiliki keandalan terhadap beban gempa sampai dengan daerah KDS D (yaitu daerah beresiko
gempa tinggi di Indonesia). RISHA telah dipakai di beberapa daerah seperti di Nanggroe Aceh
Darusalam (NAD), Nias, Jawa Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung,
Bangka Belitung, Jambi, dan rekonstruksi rumah tinggal serta sarana prasarana umum dan sosial di
Nusa Tenggara Barat pasca gempa Lombok tahun 2018.

Gambar 5. Pembangunan fasilitas pendidikan dengan konstruksi RISHA di Nusa Tenggara Barat

Gambar 6. Pembangunan fasilitas rumah ibadah dengan konstruksi RISHA di Nusa Tenggara
Barat
Sebuah gagasan untuk menanggulangi tsunami salah satunya dengan menerapkan artificial offshore
breakwater. Artificial offshore breakwater ini dibuat dengan membangun pulau buatan untuk
memecah gelombang tsunami yang masuk. Pada tsunami Samudra Hindia tahun 2004, ratusan ribu
orang tewas di berbagai wilayah, namun secara mengejutkan di Kanyakumari, India Selatan, hanya
beberapa orang saja yang tewas. Setelah diidentifikasi, di Kanyakumari ternyata terdapat beberapa
pulau dan terumbu karang, termasuk Selat Ramasetu yang telah membelokkan dan memecah
gelombang tsunami yang datang. China menyatakan, membangun pulau buatan tidaklah sulit
asalkan memiliki sumber daya yang memadai. Bentuk garis pantai yang berbeda-beda di tiap
wilayah memerlukan eksperimen laboratorium dan simulasi komputer untuk menentukan

PROSIDING KoNTekS-13 (Volume II) 475


Konferensi Nasional Teknik Sipil (KoNTekS) - 13
“Inovasi Sains dan Teknologi dalam Penerapan Infrastruktur Berbasis Mitigasi Bencana dan
Berwawasan Lingkungan”

penempatan pulau yang tepat. Gagasan ini belum pernah dipraktekkan namun secara teori gagasan
ini kemungkinan bisa berhasil jika diterapkan. Dr. Tad Murty, seorang Adjunct Professor di
Universitas Ottawa mengatakan, pulau-pulau anti-tsunami ini dapat dibuat dari sampah-sampah
plastik di lautan.
Natural breakwater juga dapat dijadikan sebagai anti tsunami. JICA (1999) memberikan contoh
mengenai breakwater ini berupa jalur hijau yang dibuat di sepanjang pantai. Lebar jalur hijau ini
dibuat berdasarkan kondisi ombak. Di Suaka Alam Matang, Malaysia, lebar jalur hijau di sepanjang
pantai Selat Malaka adalah 200 m, karena kondisi ombak tergolong kuat. Bila gelombang tsunami
yang mencapai tinggi gelombang lebih dari 10 m, sesuai dengan tujuan dan fungsi lindung, maka
bagian terdepan yang berbatasan langsung dengan laut sebaiknya ditanami dengan jenis-jenis
Avicennia sp dan Sonneratia sp. Bagi kepentingan perlindungan, sebaiknya mangrove ditanam
rapat, dengan jarak tanam 1 x 1 m. Mengenai lebar mangrove yang efektif untuk mengurangi
tsunami, belum ada referensi pasti yang menetapkan mengenai ini. Harada and Imamura (2002) dari
Universitas Tohoku, yang meneliti efektivitas hutan pantai untuk meredam tsunami menyatakan
bahwa hutan pantai dengan tebal 200 meter, kerapatan 30 pohon per 100 m2, dan diameter pohon
15 cm, dapat meredam 50% energi gelombang tsunami dengan ketinggian 3 m.

Gambar 7. Pola zonasi hutan mangrove dari tepi laut menuju ke arah daratan (Bengen, 2004)

5. KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Pemutakhiran yang berkelanjutan terhadap peta gempa Indonesia merupakan kebutuhan
penting yang harus dilakukan. Peta gempa memberikan informasi penting untuk
kesiapsiagaan, penanggulangan kedaruratan, perencanaan pembangunan, pengambilan
keputusan pemerintah, perencanaan investasi bisnis, serta peningkatan awareness
masyarakat.
2. Pemuktahiran peta sumber dan bahaya gempa Indonesia dengan penambahan sumber gempa
hingga total menjadi 295 sesar aktif, berpeluang menyebabkan terjadinya peningkatan
parameter percepatan respon spektra. Hal ini dapat berdampak pada perencanaan struktur
yang menjadi semakin ketat agar dapat mengakomodasi kebutuhan kinerja struktur yang
meningkat akibat gempa desain yang semakin besar.
3. Studi kelayakan (feasibility study) pada pembangunan infrastruktur harus dilakukan dengan
mengacu pada peta sumber dan bahaya gempa. Daerah lokasi rencana harus dapat
diklasifikasikan kriteria kebencanaannya berdasarkan parameter percepatan gempa yang ada.
4. Perlu dilakukan penyelidikan tanah secara mendetail pada lokasi pembangunan infrastruktur,
yang kemudian dianalisis apakah kondisi pembangunan aman terhadap efek gempa serta
layak dibangun untuk infrastruktur.

PROSIDING KoNTekS-13 (Volume II) 476


Konferensi Nasional Teknik Sipil (KoNTekS) - 13
“Inovasi Sains dan Teknologi dalam Penerapan Infrastruktur Berbasis Mitigasi Bencana dan
Berwawasan Lingkungan”

DAFTAR PUSTAKA
Algermissen, S.T., Perkins, D.M., Thenhaus, P.C., Hanson, S.L., & Bender, B.L. (1982).
Probabilistic estimates of maximum acceleration and velocity in rock in the contiguous
United States. US Geological Survey Open-File Report, 82(1033), 99
Badan Standarisasi Nasional., (2012). “Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur
Bangunan Gedung dan Non Gedung. SNI 1726-2012”. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional., (2017). “Persyaratan perancangan Geoteknik. SNI 8460-2017”.
Jakarta.
Bengen, D.G. (2004). Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL), Institut Pertanian Bogor.
Bird, P. 2003. An updated digital model of plate boundaries. Geochemistry, Geophysics,
Geosystems, 4(3).
FEMA-451B. (2007). Recommended Provisions for New Buildings and Other Structures: Training
and Instructional Materials, Federal Emergency Management Agency, FEMA, Washington,
USA.
Frankel, T.J. (1995). Mapping Seismic Hazard in The Central and Eastern United States.
Seismological Research Letters,66(4),8-12.
Harada, K. and F. Imamura. (2002). Experimental Study of the Effect in Reducing Tsunami by The
Coastal Permeable Structures. Proceedings of The Twelfh International Offshore and Polar
Engineering Conference.
JICA. (1999). Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Jakarta: Japan International Cooperation
Agancy (JICA) dan Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Petersen, M.D., Mueller, C.S., Frankel, A.D., & Zeng, Y. (2008). Spatial Seismicity Rates and
Maximum Magnitudos for Background Earthquakes, USGS Open-File Report.
Pusat Studi Gempa Nasional. (2017). Peta sumber gempa dan bahaya gempa Indonesia tahun 2017.
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman.
Puslitbang Perumahan dan Permukiman. (2014). RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat),
http://puskim.pu.go.id/risha-rumah-instan-sederhana-sehat/
Widyaningrum, Risna. (2012). Penyelidikan Geologi Teknik Potensi Liquifaksi Daerah Palu,
Provinsi Sulawesi Tengah. Badan Geologi; Program Penelitian, Mitigasi dan Pelayanan
Geologi. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral No: 297 / LAP-BGE.P2K.

PROSIDING KoNTekS-13 (Volume II) 477

Anda mungkin juga menyukai