Anda di halaman 1dari 7

TUGAS RIVIEW VIDEO

PERATURAN PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG


TAHAN GEMPA
(SNI 1726:2019)

Oleh :

Nama : NI SILUH PUTU SYNTIA DEWI

NIM : 1905511035

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara rawan gempa di dunia, hal ini
disebabkan posisi Indonesia yang berada pada pertemuan 3 lempeng tektonik
besar di dunia, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng
Pasifik (Herningtyas, 2014).
Dalam 7 tahun terakhir ini, beberapa wilayah di Indonesia mengalami gempa
bumi yang cukup besar, di antaranya yaitu 11 April 2012 di Aceh (8,5 SR) yang
juga menyebabkan tsunami kecil dengan ketinggian 1 m di wilayah Nias dan 80
cm di Meulaboh, 7 Desember 2016 di Pidie Jaya (6,5 SR) sebagai salah satu
gempa yang melahirkan sesar baru, 29 Juli dan 5 Agustus 2018 berturut-turut di
Lombok (6,4 SR dan 7,0 SR), dan 28 September 2018. di Dongala dan Palu (7,4
SR) gempa yang juga menyebabkan terjadinya tsunami serta peristiwa likuefaksi.
Gempa-gempa tersebut telah menyebabkan ribuan korban jiwa, keruntuhan dan
kerusakan ribuan infrastruktur dan bangunan, serta dana trilyunan rupiah untuk
rehabilitasi dan rekonstruksi.
Hal ini disebabkan karena banyak gedung yang tidak dapat mempertahankan
strukturnya ketika gempa terjadi. Menyikapi hal di atas, pada tanggal 17
Desember 2019 pemerintah lewat Badan Standardisasi Nasional menerbitkan
peraturan gempa Indonesia yang baru SNI 1726:2019 (Badan Standardisasi
Nasional, 2019) dengan tujuan untuk memperbarui peraturan gempa Indonesia
sebelumnya, SNI 1726:2012 (Badan Standardisasi Nasional, 2012) yang dianggap
sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang, sehingga gedung yang akan
dibangun nantinya dapat mempertahankan strukturnya dengan lebih baik ketika
gempa terjadi. SNI 1726:2019 didasarkan pada studi yang dilakukan oleh Irsyam
et al. (2017) dan telah mengacu pada standar dan peraturan terkini di negara maju,
khususnya Amerika Serikat (AS), yaitu ASCE/SEI 7-16 (American Society of
Civil Engineers, 2017) dan FEMA 1050 (Building Seismic Safety Council, 2015).
Akibat diterapkannya SNI 1726:2019, banyak daerah mengalami perubahan
spektra desain, apakah kenaikan maupun penurunan seperti hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Sutjipto and Sumeru (2019) terhadap 17 kota terpilih. Pada
penelitian tersebut juga diketahui adanya fenomena anomali yang terjadi pada
besaran spektra desain berdasarkan urutan klasifikasi situs tanah. Berangkat dari
latar belakang tersebut, melalui penelitian ini dilakukan pengembangan sampai
pada studi komparasi untuk melihat perubahan besarnya gaya gempa dan level
kinerja dari suatu sampel struktur bangunan gedung yang ditempatkan pada salah
satu daerah yang mengalami kenaikan nilai spektra desain.
Untuk mengatasi terjadinya gempa agar tidak menimbulkan dampak yang
besar. Pertama, pendekatan structural yakni desain mengikuti kaidah-kaidah
konstruksi yang benar dan memasukkan parameter dalam mendirikan bangunan
sesuai dengan standar yang ada (Budiono, 2016). Kedua, intensif melakukan
sosialisasi kepada masyarakat mengenai pemahaman dan pelatihan penyelamatan
dampak gempa.
Perencanaan struktur pada sebuah struktur gedung harus memenuhi beberapa
aspek agar penggunaan struktur ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Semua
komponen haruslah memenuhi kaidah yang berlaku yang berasal dari sains, hasil
penelitian, maupun standar yang berlaku untuk memenuhi nilai kekuatan,
keamanan, dan kenyamanan bagi penggunanya.
Saat ini telah diterbitkan tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk
struktur bangunan gedung dan non gedung atau SNI 1726:2019 (selanjutnya
disebut dengan SNI Gempa 2019) sebagai pengganti tata cara perencanaan
ketahanan gempa untuk bangunan gedung atau SNI 1726:2012. SNI Gempa 2012
mengacu pada perkembangan peraturan gempa modern (terutama peraturan di
Amerika Serikat) seperti FEMA P-750 (Building Seismic Safety Council, 2009)
dan ASCE/SEI 7-10 (2010). Sedangkan SNI Gempa 2019 (Badan Standardisasi
Nasional, 2019) mengacu pada ASCE 7-16 merupakan revisi dari peraturan ASCE
7-10 (Yoyong, Iman 2013).

1. Latar Belakang
Video : Sosialisasi dan Workshop Nasional Penerapan SNI 1726:2019
“Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung
dan Non-Gedung”
Durasi : 00:24:40 – 01:48:10
Riviewer : Ni Siluh Putu Syntia Dewi
Sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah cincin api (ring of
fire) dan juga negara seismik aktif, Indonesia secara konstan menghadapi
risiko bencana gempa bumi dan vulkanik gunung api. Dengan kondisi
tersebut, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)
mendorong pemahaman dan peningkatan kemampuan kompetensi para ahli
teknik sipil terkait dengan SNI 1726:2019 untuk menjawab tantangan
pengurangan risiko kerusakan infrastruktur akibat bencana gempa.
Upaya penyebarluasan/alih informasi tentang pemahaman dan
peningkatan kemampuan kompetensi terkait SNI 1726:2019 dilakukan oleh
Kementerian PUPR dengan menggelar Sosialisasi dan Workshop Nasional
Penerapan SNI 1726:2019 dengan tema Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non-Gedung. Kegiatan ini
diinisiasi oleh Direktorat Bina Teknik Permukiman dan Perumahan, Ditjen
Cipta Karya, Kementerian PUPR melalui Pusat Studi Gempa Nasional
(PuSGeN) secara daring selama 3 hari mulai Selasa – Kamis, 7-9 September
2021.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menyampaikan penerapan
infrastruktur tahan gempa harus dilakukan secara terintegrasi, terkoordinasi,
dan berkelanjutan yang mengacu pada penyiapan, penyusunan, dan
pemutakhiran SNI bidang struktur serta konstruksi pada semua lini
pembangunan di kawasan wilayah rawan bencana. Selain itu juga tidak kalah
penting sosialisasi, edukasi serta literasi kepada masyarakat dan pelaku
konstruksi. Menteri Basuki juga dalam sambutannya yang dibacakan oleh
Direktur Jenderal Cipta Karya Diana Kusumastuti mengatakan bahwa perlu
adanya perubahan paradigma menjadi ‘membangun yang lebih baik dan
aman’, lebih baik mengetahui risiko kegagalan bangunan
sebelum bencana terjadi daripada mengalami risiko setelah bencana.
Dalam mendukung kinerja pemerintah untuk mewujudkan bangsa
yang tangguh dan budaya aman bencana, Kementerian PUPR telah
melakukan langkah-langkah penting, di antaranya penguatan peraturan
Perundang-undangan penanggulangan bencana, peningkatan kapasitas dan
kapabilitas penanganan kedaruratan bencana, dan percepatan pemulihan
pasca bencana dengan prinsip build back better. Menteri Basuki juga
menambahkan bahwa dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan
terkait kegempaan dan rekayasa kegempaan, pada tahun 2016 Kementerian
PUPR mendirikan Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGen), sebuah knowledge
hub di mana para ahli gempa bumi dapat berkarya dan bertugas.
Direktur Bina Teknik Permukiman dan Perumahan, Ditjen Cipta
Karya Dian Irawati mengatakan dari serangkaian
pengalaman bencana gempa yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa
dampak bencana gempa didominasi oleh gagalnya bangunan saat menahan
beban akibat goncangan gempa yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa
kerusakan yang terjadi bukan diakibatkan oleh gempa, tapi oleh bangunan
yang tidak tahan gempa. Ibu Dian Irawati juga menerangkan bahwa kegiatan
sosialisasi dan workshop ini diharapkan juga tercipta teknik perancangan
bangunan tahan gempa yang semakin efektif dan efisien serta ditunjang juga
oleh peran dari para perancang yang memiliki kemampuan dalam
menghasilkan bangunan infrastrukur yang tangguh terhadap bencana gempa.
Selain itu, turut juga hadir dalam acara ini yaitu Direktur Jenderal
Bina Marga Kementerian PUPR Hedy Rahadian, Dirjen Perumahan Khalawi
Abdul Hamid, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(BPSDM) Sugiyartanto, dan juga Asisten Pembangunan dan Lingkungan
Hidup Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta Afan Adriansyah Idris, Ketua
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof. Dr. Ir. Satryo Sumantri
Brojonegoro, Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Reini
Wirahadikusumah, Ph.D. , seluruh tim penyusun SNI 1726:2019, dan juga
peserta seminar dari seluruh Indonesia yang mengikuti nya melalui siaran
youtobe secara online.

2. Kelebihan
a) Dapat langsung berinteraksi dengan para professor, pejabat, dan orang-
orang hebat lainnya dengan sangat dekat meskipun hanya via online,
tetapi sangat responsif.
b) Materi yang diberikan sangat lengkap dan diringkas sehingga point-point
pada SNI 1726:2019 dapat tersampaikan dengan jelas meskipun dengan
waktu yang cukup terbatas.
c) Diharapkan dapat menciptakan teknik perancangan bangunan tahan
gempa yang semakin efektif dan efisien.
d) Dapat menunjang para perancang bangunan agar memiliki kemampuan
dalam menghasilkan bangunan infrastruktur yang tangguh terhadap
bencana gempa.
e) Dapat dilakukan penguatan peraturan perundang-undangan
penanggulangan bencana, peningkatan kapasitas dan kapabilitas
penanganan kedaruratan bendana, dan percepatan pemulihan pasca
bendana dengan prinsip build back better.

3. Kekurangan
Topik pemaparan materi yang disampaikan dalam satu hari nya terlalu
banyak mengingat waktu yang diberikan hanya 50 menit bagi setiap pemateri,
hal ini membuat penyampaian materinya terlalu di buru-buru dan ada
beberapa pemateri yang kekurangan waktu membuat materi yang akan
disampaikan belum tersampaikan dengan tuntas, sehingga dirasa kurang
maksimal.

4. Kesimpulan
a) Secara tidak langsung risk (risiko) sudah diperhitungkan saat kita
memilih percepatan di peta respon spektra. Jadi, peta respon spectra di
SNI 1726: 2019 ini sudah dirancang dengan memperhitungkan risk
kegagalan struktur, bukan hanya hazard gempa saja.
b) Hal menarik lainnya, adalah jika dikaitkan dengan estimasi biaya
kegagalan struktur atau cost estimation-nya, kami kira ini bisa saling
terkait, dan menjadi valid bahwa sudah banyak riset yang mencoba
melakukan estimasi biaya kerusakan Gedung akibat gempa. (Ex: Paper
dari Prof. Tony Yang UBC Canada, “Seismic Loss Estimation of Non-
Ductile Reinforced Concrete Buildings”).
c) Bahwa SNI 8899:2020 dirancang untuk menentukan ground
motion, yang mana salah satunya dipakai untuk analisis time
history. Karena di SNI 1726: 2019 belum dijelaskan dengan detail
bagaimana cara menentukan ground motion.
d) Selanjutnya, analisa dinamik, yang membahas Performance based
design yang sudah dibahas dalam SNI 1726: 2019. Jadi, desain gedung
berdasarkan kinerja yang diinginkan (IO (Immediate Occupancy), LS
(Life Safety), CP (Collapse Prevention)). Berbeda dengan desain umum
yang mana hanya mengecek gaya dalam < kapasitas saja, kali ini kita
dapat mengetahui kinerjanya bangunan saat terjadi gempa. Simple-
nya, kita menjadi tahu sejauh apa respon dan kinerja bangunan saat
terjadi gempa.
e) Terakhir, knowledge updgrade ini menjadi menarik kembali karena juga
terkait dengan efisiensi desain. Desain yang baik tentunya dapat menjadi
optimal bukan? Dan Performance based design dapat dipakai untuk
efisiensi desain, sehingga dapat diketahui elemen mana yang overdesain.
Analisanya pun lebih akurat dibanding analisa linear. Desain analysis
nambah, cost analysis juga otomatis ikut nambah, tapi dapat berpengaruh
pada cost of material yang menjadi berkurang.

https://drive.google.com/drive/folders/1y-
Km1GUt1gC31qfQxv5At0Bl0VdmFMwy

Anda mungkin juga menyukai