Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TANTANGAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PASCA


PEMUTAKHIRAN PETA SUMBER DAN BAHAYA GEMPA INDONESIA
TAHUN 2017

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Rekayasa Gempa

Dosen Pengampu : Athiah Safari, S.T.

Disusun Oleh :

NUR AINUL YAQIN

NIM : 142220121018

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH SORONG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Swt. Yang telah memberikan
banyak nikmatnya kepada kami. Sehingga kami mampu menyelesaikan Makalah Rekaasa
Gempa ini sesuai dengan waktu yang kami rencanakan. Makalah ini kami buat dalam rangka
memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah Rekayasa Gempa. Yang meliputi nilai
tugas, nilai individu, dan nilai keaktifan.

Pembuatan makalah ini menggunakan metode study pustaka, yaitu mengumpulkan dan
mengkaji materi Rekayasa Gempa dari berbagai referensi. Kami gunakan metode pengumpulan
data ini, agar makalah yang kami susun dapat memberikan informasi yang akurat dan bisa
dibuktikan.

Kami sebagai penyusun pastinya tidak pernah lepas dari kesalahan. Begitu pula
dalam penyusunan makalah ini, yang mempunyai banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
mohon maaf atas segala kekurangannya. Serta kami meminta kepada para pembaca untuk
memberikan masukan bermanfaat yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini
agar dapat diperbaiki bentuk maupun isi makalah sehingga kedepannya dapat menjadi lebih baik.

Sorong, 09 April 2023

Nur Ainul Yaqin


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Tujuan Penulisan...................................................................................................................2
C. Ruang Lingkup......................................................................................................................2
D. Metode Penulisan..................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................3
A. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................................3
B. METODOLOGI....................................................................................................................7
C. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................................7
BAB III PENUTUP......................................................................................................................14
A. Simpulan.............................................................................................................................14
B. Saran....................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan PERPRES No. 2 Tahun 2015 mengenai Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019, untuk mengurangi kesenjangan ekonomi
antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia perlu dilakukan percepatan dan
pemerataan pembangunan wilayah dengan menekankan keunggulan kompetitif
perekonomian daerah berbasis sumber daya alam, sumber daya manusia, penyediaan
infrastruktur, dan pengembangan teknologi. Isu besar dalam tantangan pembangunan
infrastruktur di Indonesia antara lain adalah isu geografis, sumber daya alam, ekonomi, sosial
dan lingkungan. Isu geografis menjadi perhatian sendiri mengingat kondisi Indonesia yang
menempati zona tektonik yang sangat aktif karena terletak pada pertemuan tiga lempeng
besar dan beberapa lempeng kecil (Bird, 2003). Hal ini menyebabkan Indonesia berpotensi
mengalami banyak kejadian gempa. Indonesia dikelilingi oleh empat lempeng utama, yaitu
Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng laut Filipina, dan Lempeng Pasifik.

Sebagai langkah preventif untuk menanggulangi bencana gempa, maka disusunlah


Peta Sumber dan Bahaya Gempa. Pembangunan infrastruktur yang didasarkan pada tata
ruang dan guna lahan yang mengacu pada peta sumber dan bahaya gempa dapat mengurangi
risiko kerusakan dan kerugian ketika gempa terjadi karena sebaran pembangunan
infrastruktur vital, prasarana umum, komplek bangunan tinggi, dan permukiman padat
penduduk dapat menghindari kawasan-kawasan yang berisiko gempa tinggi.

Perkembangan Peta Sumber dan Bahaya Gempa di Indonesia yang telah digunakan
secara nasional untuk perencanaan dalam pembangunan infrastruktur telah dikembangkan
sejak 1983. Dalam perkembangannya telah dilakukan pemutakhiran peta gempa dari tahun
2002, 2010, dan yang terbaru saat ini adalah peta sumber dan bahaya gempa tahun 2017.
Pemutakhiran yang berkelanjutan terhadap peta gempa Indonesia merupakan kebutuhan
penting yang harus dilakukan. Peta gempa memberikan informasi penting untuk
kesiapsiagaan, penanggulangan kedaruratan, perencanaan pembangunan, pengambilan
keputusan pemerintah, perencanaan investasi bisnis, serta peningkatan awareness
masyarakat. Berdasarkan latar belakang diatas, pada makalah ini dibahas tantangan dalam
pembangunan infrastruktur secara umum pasca pemutakhiran peta sumber dan bahaya gempa
tahun 2017
B. Tujuan Penulisan
1. Dapat memberikan pemahaman tentang apa itu gempa

2. Dapat memberikan pemahaman tentang kondisi tektonik indonesia dan Peta sumber
dan bahaya gempa indonesia tahun 2017

3. Dapat memberikan contoh perencanaan infrastruktur dan Kebutuhan Inovasi


Konstruksi Tahan Becana Efek Gempa

C. Ruang Lingkup
Ruang Lingkup Dari Penulisan Makalah Ini Adalah Mencakup Tentang Inovasi Sains
Dan Teknologi Dalam Penerapan Infrastruktur Berbasis Mitigasi Bencana Dan
Berwawasan Lingkungan khususnya efek kerusakan yg ditimbulkan akibat gempa
terhadap infrastruktur.

D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan
menggunakan metode pustaka yaitu berupa mencari dan mengumpulkan beberapa
sumber dari internet maupun buku yang mengenai informasi seputar efek kerusakan yg
ditimbulkan akibat gempa terhadap infrastruktur.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Tektonik Indonesia
Wilayah Indonesia dibagi menjadi tujuh wilayah besar berdasarkan fitur tektoniknya
seperti pada Gambar 1, yaitu Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Laut Banda, Papua,
Laut Maluku, dan Sulawesi. Serangkaian peristiwa gempa besar tercatat dalam dua
dekade terakhir, diantaranya:

Kegempaan di Sumatera menunjukkan distribusi seismisitas yang unik di bagian utara


Sumatera yaitu distribusi yang tinggi di sekitar Pulau Simeulue dan Nias. Hasil
penelitian menunjukkan adanya beberapa gempa di sekitar struktur Mentawai
backtrust yang menerus hingga kedalaman 20- 30 km. Dalam waktu dua dekade
terakhir, di Jawa terjadi empat gempa yang menimbulkan kerusakan signnifikan yaitu
gempa tsunami tahun 1994, gempa tahun 2006 dan gempa tahun 2009. Beberapa
event gempa telah terjadi pada sesar Cimandiri, sesar Lembang, sesar Baribis, sesar
madiun, dan kemungkinan pada sesar Garut. Seismisitas di Sulawesi berkaitan
dengan subduksi di utara Sulawesi, sesar Palu Koro, sesar Matano, dan subduksi
lempeng laut Maluku di timur. Terdapat seismisitas yang tinggi di sekitar sesar Palu
Koro dan Matano dengan kedalaman 3-28 km.

3
4
Gempa-gempa di Papua terjadi pada subduksi sepanjang New Guinea trench dan
sesar-sesar geser seperti sesar Sorong dan Yapen. Interpretasi gempa di Papua berada
pada kisaran 9-26 km. Kegempaan di Bali, Nusa Tenggara dan Laut Banda salah
satunya disebabkan karena tingkat seismisitas yang tinggi di selatan Pulau Sumba.
Seismisitas di Laut Banda sebagian besar terjadi pada slab bagian selatan dari Timor
trough hingga Tanibar trough, dan mekanisme gempa di wilayah ini dengan Mw ≥ 6
berada pada kedalaman hingga 170 km. Gempa tersebut telah menyebabkan ribuan
korban jiwa dan kerusakan infrastruktur serta triliunan rupiah untuk rehabilitasi dan
rekonstruksi. Gempa tersebut sebagian besar memiliki kedalaman < 100 km.
Terakhir, Pulau Kalimantan merupakan area di Indonesia yang memiliki seismisitas
paling rendah. Seismisitas di Kalimantan lebih didominasi oleh aktivitas sesar dengan
kedalaman gempa < 30 km. (PusGeN, 2017).

2.2. Peta Sumber dan Bahaya Gempa


Pemetaan kemungkinan bahaya goncangan atau vibrasi akibat gempa yang
didasarkan pada hasil riset dan penelitian sains kebumian serta rekayasa bangunan
merupakan alat yang sangat efektif digunakan sebagai upaya mitigasi gempa. Potensi
goncangan gempa salah satunya dapat diketahui distribusinya dengan metode
Probabilistic Seismic Hazard Map (PSHA Map). Metode ini cukup efektif dan dapat
menjadi dasar yang reliable untuk memperkirakan risiko pada suatu daerah hunian
atau infrastruktur yang ada (Algermissen and Perkins 1982; Frankel dkk.1995, 2002;
Petersen dkk. 2008).

Hingga saat ini Indonesia memiliki tiga peta hazard gempa yang telah digunakan
secara nasional untuk perencanaan pembangunan infrastruktur tahan gempa sejak
1983. Pada tahun 2002 empat kelompok peneliti menghasilkan peta percepatan
puncak di batuan dasar Indonesia dengan periode ulang 500 tahun yang diambil nilai
rata-ratanya dan menjadi peta gempa dalam SNI 03-1726-2002. Kemudian, pada
tahun 2010 berdasarkan studi bahaya gempa untuk Pulau Sumatera secara terintegrasi
melalui dukungan penelitian Riset Unggulan Terpadu-KMNRT 6, dan kompilasi studi
beberapa peneliti dihasilkan Peta Gempa Nasional 2010 yang dapat dilihat pada
Gambar 3. Menindaklanjuti penugasan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat tentang perlunya pemutakhiran Peta Bahaya Gempa 2010 yang digunakan
sebagai standar perencanaan gedung dan infrastruktur tahan gempa Indonesia, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman, Badan Penelitian dan
Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyusun
Peta Sumber dan Bahaya Gempa tahun 2017.

5
B. METODOLOGI
Metodologi yang digunakan dalam makalah ini adalah menggunakan analisis deskriptif.
Analisis data dalam pendekatan kualitatif dan kuantitatif terdiri dari tiga kegiatan, yaitu
reduksi data, tampilan data, dan penulisan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan
membaca tinjauan pustaka berbagai sumber yang akan dianalisis kemudian dibuat
catatan, ringkasan data (summary), dan sajian/tampilan data dengan bentuk teks naratif
dan gambar. Hasil dari analisis ini berupa teks naratif tentang tantangan pembangunan

6
infrastruktur Indonesia pasca pemutakhiran peta dan sumber bahaya gempa Indonesia
tahun 2017.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pemutakhiran Peta Sumber dan Bahaya Gempa terhadap Perencanaan


Infrastruktur
Pemuktahiran peta sumber dan bahaya gempa Indonesia dengan penambahan sumber
gempa hingga total menjadi 295 sesar aktif, berpeluang menyebabkan terjadinya
peningkatan parameter percepatan respon spektra. Hal ini dapat berdampak pada
perencanaan struktur yang menjadi semakin ketat agar dapat mengakomodasi kebutuhan
kinerja struktur yang meningkat akibat gempa desain yang semakin besar. Perbandingan
respon spektra periode ulang gempa 2500 tahun dengan asumsi kondisi tanah sedang
(SB) pada periode getar pendek 0.2 detik (Ss) dan periode getar 1 detik (S1) berdasarkan
peta bahaya gempa 2010 dan peta sumber dan bahaya gempa 2017 di 10 kota besar di
Indonesia menunjukkan adanya peningkatan nilai percepatan respon di beberapa kota.
Peningkatan tersebut berarti bahwa gempa desain dalam perencanaan struktur bangunan
gedung semakin besar.

7
Kriteria perencanaan gempa berbeda-beda sesuai dengan jenis peruntukan infrastruktur
seperti pada Tabel 4. Peta sumber dan bahaya gempa 2017 memuat gempa dengan
periode ulang beragam untuk mengakomodasi persyaratan kriteria perencanaan
infrastruktur sehingga menghasilkan desain dengan akurasi tingkat keamanan yang lebih
baik. Peta sumber dan bahaya gempa 2017 juga memuat gempa periode ulang 1000 tahun
dengan kemungkinan terlampaui 7% dalam 75 tahun untuk percepatan puncak batuan
dasar, spektra periode pendek 0.2 detik, dan spektra periode 1 detik. Peta tersebut untuk
mengakomodasi perencanaan ketahanan gempa untuk struktur jembatan yang semula
menggunakan gempa dengan perioda ulang 500 tahun dengan kemungkinan terlampaui
10% dalam 50 tahun. Untuk perencanaan bendungan dan terowongan, gempa periode
ulang 10000 tahun dengan kemungkinan terlampaui 1% dalam 100 tahun dan periode
ulang 5000 tahun dengan kemungkinan terlampaui 2% dalam 100 tahun baru tersedia
peta percepatan puncak batuan dasar.

8
Strategi Mitigasi Terkait Perencanaan Infrastruktur

Gempa merupakan fenomena alam yang tidak dapat dicegah; belum dapat diperkirakan
secara akurat terkait waktu, lokasi dan magnitudonya; serta berpotensi mengakibatkan
kerugian bila tidak diantisipasi dengan tepat. Gempa tidak secara langsung
membahayakan manusia, tetapi kerusakan infrastruktur akibat gempa yang dapat
menyebabkan timbulnya korban jiwa. Penyusunan dan pemutakhiran peta sumber dan
bahaya gempa menyediakan informasi daerah rawan gempa sekaligus jenis sumber
gempa. Informasi ini dapat digunakan dalam strategi terkait pembangunan infrastruktur
di daerah tersebut seperti pada Tabel 5.

9
Pada perencanaan infrastruktur, mekanisme studi kelayakan (feasibility study) harus
dilakukan dengan mengacu pada peta sumber dan bahaya gempa. Daerah lokasi rencana
harus dapat diklasifikasikan kriteria kebencanaannya berdasarkan parameter percepatan
gempa yang ada. Penyelidikan tanah lebih lanjut yang dihubungkan dengan parameter
gempa dapat menghasilkan klasifikasi efek gempa seperti pada Tabel 5. Dengan
diketahuinya efek gempa pada lokasi tersebut, maka dapat disusun strategi perencanaan
yang terdiri dari strategi penanggulangan, dan menghindari.

Strategi penanggulangan yang dapat dilakukan adalah berupa perencanaan infrastruktur


yang tahan gempa. Infrastruktur dapat direncanakan mengalami kerusakan dan gangguan
terhadap pelayanannya, tetapi harus memiliki kemungkinan kecil untuk runtuh. Untuk
mencapai target kinerja tersebut, perencanaan ketahanan gempa pada struktur harus
memadai, yaitu kapasitas struktur sama atau lebih besar dari kebutuhan akibat
pembebanan gempa yang bekerja. Oleh karena itu, perencanaan dan detailing struktur
tahan gempa pada infrastruktur harus tepat dan memenuhi persyaratan dalam acuan dan
standar ketahanan gempa yang berlaku agar kapasitas struktur dan terget kinerja dapat
tercapai. Mengingat adanya peningkatan gempa desain berdasarkan peta sumber dan
bahaya gempa 2017, perlu dilakukan penyesuaian pada acuan dan standar tersebut agar
kapasitas struktur dihasilkan dapat memadai dalam mengakomodasi peningkatan gempa
desain. Konsep sistem struktur juga perlu penyesuaian agar mencapai target kinerja yang
optimal, antara lain menghindari berat struktur yang berlebihan misalnya dengan
penggunaan teknologi sistem struktur yang lebih langsing atau penggunaan material yang
lebih ringan.

Pembangunan infrastruktur besar seperti konstruksi bendungan, jembatan, komplek


bangunan tinggi, fasilitas vital minyak dan gas harus memperhatikan keberadaan lokasi
jalur-jalur sesar aktif terkait adanya bahaya fault rupture, tsunami, tanah longsor, dan
likuefaksi. Kejadian gempa di Pidie Jaya tahun 2016 dan gempa di Yogyakarta tahun
2006 merupakan salah satu bukti nyata bahwa walaupun gempa dengan Magnitude 6,3
namun dapat menimbulkan kerusakan besar karena sumber berasal dari jalur sesar aktif
yang sangat dekat dengan lokasi kerusakan. Kejadian ini juga memberikan pelajaran
bahwa jalur-jalur sesar minor, apabila dekat dengan wilayah padat populasi harus juga
diperhitungkan untuk dihindari dibangun infrastruktur pada wilayah tersebut.

Kebutuhan Inovasi Konstruksi Tahan Becana Efek Gempa

10
Peningkatan nilai percepatan respon gempa di beberapa kota berdasarkan pemutakhiran
peta sumber dan bahaya gempa 2017 membuat kebutuhan akan konstruksi infrastruktur
tahan bencana sangat dibutuhkan. Saat terjadi gempa bumi, bukan hanya terjadi
goyangan tanah dasar, namun juga menyebabkan bencana lain seperti likuefaksi, tanah
longsor, tsunami, dan fault rupture.

Penanggulangan likuefaksi dan tanah longsor akibat gempa sangat berkaitan dengan
konstruksi perkuatan tanah. Perlu dilakukan penyelidikan tanah secara mendetail pada
lokasi pembangunan infrastruktur, yang kemudian dianalisis apakah kondisi
pembangunan aman terhadap likuefaksi dan tanah longsor serta layak dibangun untuk
infrastruktur contohnya seperti penyelidikan geologi teknik potensi likuefaksi daerah
Palu, Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012 yang dilakukan oleh Kementerian ESDM.
Hasil dari penyelidikan di lapangan, menunjukkan bahwa dari peta muka air tanah,
daerah penyelidikan yang mempunyai muka air tanah dangkal (< 12 m) dan berpotensi
tinggi terhadap terjadinya likuefaksi berada pada wilayah Ujuna, Besusu, Palupi, Sunju,
Binangga, Sibeli, Langaleso, Kalukubula, Petobo dan Jonpoye. Sedangkan untuk daerah
dengan potensi sangat tinggi terjadinya likuefaksi adalah Kalukubula, Birobuli, Tatura,
Sunju, Tatura, Lolu, Kawatuna, Lere, Birobuli Selatan (Widyaningrum, 2012). Pada
bencana gempa Donggala yang terjadi 28 September 2018, meskipun hampir 80% Kota
Palu tergolong sangat tinggi berpotensi terhadap likuefaksi, ternyata hanya 5% dari lokasi
yang terdampak likuefaksi. Pada daerah Balaroa dan Jono Oge yang tidak masuk
kedalam lokasi penelitiaan Kementerian ESDM terdampak likuefaksi yang parah, hal ini
dikarenakan kemiringan lereng pada kedua tempat tersebut tergolong rawan longsor
disamping daya dukung tanahnya yang rendah. Penelitian demikian sebaiknya dilaluka
sebelum pembangunan infrastruktur sehingga dapat dilakukan strategi penangangan
untuk ditanggulangi atau dihindari pembangunan di lokasi tersebut. Cara penanganan
likuefaksi dapat dilakukan dengan cara memperbaiki kondisi tanah dengan mengurangi
pencairan tanah sehingga kekuatan dan kualitas tanah meningkatkan. Sementara untuk
penangangan lokasi rawan longsor banyak jenis konstruksi yang dapat diterapkan seperti
penggunaan angkur tanah, dan geosintetik.

Untuk kasus goyangan tanah dasar dapat ditanggulangi dengan konstruksi yang kuat
menahan gempa, konstruksi tahan gempa untuk rumah tinggal yang saat ini sudah diakui
diantaranya adalah teknologi Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA). RISHA sebagai
bentuk rekayasa teknologi knock down yang digunakan pada bangunan rumah tinggal
sederhana sehat, telah sesuai dengan Kepmen Kimpraswil No. 403/KPTS/M/2003
tentang Pedoman Teknis Rumah Sederhana Sehat. Teknologi RISHA yang menggunakan
bahan beton bertulang dan tidak banyak mengkonsumsi material dari alam, sangat layak
dikembangkan karena ramah lingkungan dan memenuhi standar. Berdasarkan hasil
pengujian (uji tekan, uji geser, uji lentur, dan uji bangunan penuh pada bangunan RISHA)
yang telah dilakukan di laboratorium dan lapangan, menunjukkan bahwa bangunan
RISHA memiliki keandalan terhadap beban gempa sampai dengan daerah KDS D (yaitu
daerah beresiko gempa tinggi di Indonesia). RISHA telah dipakai di beberapa daerah
seperti di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD), Nias, Jawa Barat, Kepulauan Riau,
Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Jambi, dan rekonstruksi rumah
tinggal serta sarana prasarana umum dan sosial di Nusa Tenggara Barat pasca gempa
Lombok tahun 2018.

11
Sebuah gagasan untuk menanggulangi tsunami salah satunya dengan menerapkan
artificial offshore breakwater. Artificial offshore breakwater ini dibuat dengan
membangun pulau buatan untuk memecah gelombang tsunami yang masuk. Pada tsunami
Samudra Hindia tahun 2004, ratusan ribu orang tewas di berbagai wilayah, namun secara
mengejutkan di Kanyakumari, India Selatan, hanya beberapa orang saja yang tewas.
Setelah diidentifikasi, di Kanyakumari ternyata terdapat beberapa pulau dan terumbu
karang, termasuk Selat Ramasetu yang telah membelokkan dan memecah gelombang
tsunami yang datang. China menyatakan, membangun pulau buatan tidaklah sulit asalkan
memiliki sumber daya yang memadai. Bentuk garis pantai yang berbeda-beda di tiap
wilayah memerlukan eksperimen laboratorium dan simulasi komputer untuk menentukan
penempatan pulau yang tepat. Gagasan ini belum pernah dipraktekkan namun secara teori
gagasan ini kemungkinan bisa berhasil jika diterapkan. Dr. Tad Murty, seorang Adjunct
Professor di Universitas Ottawa mengatakan, pulau-pulau anti-tsunami ini dapat dibuat
dari sampah-sampah plastik di lautan.

Natural breakwater juga dapat dijadikan sebagai anti tsunami. JICA (1999) memberikan
contoh mengenai breakwater ini berupa jalur hijau yang dibuat di sepanjang pantai. Lebar
jalur hijau ini dibuat berdasarkan kondisi ombak. Di Suaka Alam Matang, Malaysia,
lebar jalur hijau di sepanjang pantai Selat Malaka adalah 200 m, karena kondisi ombak
tergolong kuat. Bila gelombang tsunami yang mencapai tinggi gelombang lebih dari 10
m, sesuai dengan tujuan dan fungsi lindung, maka bagian terdepan yang berbatasan

12
langsung dengan laut sebaiknya ditanami dengan jenis-jenis Avicennia sp dan Sonneratia
sp. Bagi kepentingan perlindungan, sebaiknya mangrove ditanam rapat, dengan jarak
tanam 1 x 1 m. Mengenai lebar mangrove yang efektif untuk mengurangi tsunami, belum
ada referensi pasti yang menetapkan mengenai ini. Harada and Imamura (2002) dari
Universitas Tohoku, yang meneliti efektivitas hutan pantai untuk meredam tsunami
menyatakan bahwa hutan pantai dengan tebal 200 meter, kerapatan 30 pohon per 100 m2,
dan diameter pohon 15 cm, dapat meredam 50% energi gelombang tsunami dengan
ketinggian 3 m.

13
BAB III

PENUTUP

A.Simpulan
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Pemutakhiran yang berkelanjutan terhadap peta gempa Indonesia merupakan kebutuhan
penting yang harus dilakukan. Peta gempa memberikan informasi penting untuk
kesiapsiagaan, penanggulangan kedaruratan, perencanaan pembangunan, pengambilan
keputusan pemerintah, perencanaan investasi bisnis, serta peningkatan awareness
masyarakat.
2. Pemuktahiran peta sumber dan bahaya gempa Indonesia dengan penambahan sumber
gempa hingga total menjadi 295 sesar aktif, berpeluang menyebabkan terjadinya
peningkatan parameter percepatan respon spektra. Hal ini dapat berdampak pada
perencanaan struktur yang menjadi semakin ketat agar dapat mengakomodasi kebutuhan
kinerja struktur yang meningkat akibat gempa desain yang semakin besar.
3. Studi kelayakan (feasibility study) pada pembangunan infrastruktur harus dilakukan
dengan mengacu pada peta sumber dan bahaya gempa. Daerah lokasi rencana harus dapat
diklasifikasikan kriteria kebencanaannya berdasarkan parameter percepatan gempa yang
ada.
4. Perlu dilakukan penyelidikan tanah secara mendetail pada lokasi pembangunan
infrastruktur, yang kemudian dianalisis apakah kondisi pembangunan aman terhadap efek
gempa serta layak dibangun untuk infrastruktur.

B.Saran
Untuk kedepannya diharapkan agar dapat dilakukan praktikum untuk lebih menunjang
proses pemebelajaran juga dapat menjadikan mata kuliah ini lebih terarah dan mahasiswa dapat
mengerti dan menambah wawasan terkait dengan mata kuliah Rekayasa Gempa ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional., (2012). “Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur
Bangunan Gedung dan Non Gedung. SNI 1726-2012”. Jakarta.

Pusat Studi Gempa Nasional. (2017). Peta sumber gempa dan bahaya gempa Indonesia tahun
2017. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman

https://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi, diakses pada 09 april 2023.

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5669463/kondisi-geologis-indonesia-pengertian-
penjelasan-dan-dampaknya-lengkap diakses pada 09 april 2023.

15

Anda mungkin juga menyukai