Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

EVALUASI KURIKULUM

TUGAS MATA KULIAH

PENGEMBANGAN KURIKULUM

Oleh:

Rudi Pranata 21147013/2021

JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam pengembangan kurikulum, evaluasi merupakan salah satu
komponen penting dan tahap yang harus ditempuh oleh guru untuk
mengetahui keefektifan kurikulum. Evaluasi menjadi bagian integral dari
kurikulum. Evaluasi menjadi bagian dari sistem manajemen, yaitu
perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Kurikulum
juga dirancang dari tahap perencanaan, organisasi kemudian pelaksanaan dan
akhirnya monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka kita tidak akan
bisa mengetahui bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam
rancangan, pelaksanaan serta hasilnya. Tapi, dengan adanya evaluasi,
kita dapat menjadikan hasil yang diperoleh sebagai balikan (feed-back)
dalam memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum. Hasil-hasil
kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijaksanaan pendidikan
dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan
kebijaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan
model kurikulum yang digunakan.
Selama ini model kurikulum yang berlaku adalah model kurikulum
yang bersifat akademik. Kurikulum yang demikian kurang mampu
meningkatkan kemampuan peserta didik secara optimal. Hal ini terbukti
dari rendahnya kualitas pendidikan kita dibandingkan dengan negara lain.
Selain itu, implementasi kurikulum akademik tidak mampu memberikan
nilai etika, moral, dan nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan. Maka
dengan adanya evaluasi diharapkan dapat memperbaiki aspek-aspek tersebut
sehingga model kurikulum yang diterapkan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka kami
akan mengkaji mengenai pengertian evaluasi kurikulum, peranan evaluasi
kurikulum dan model-model evaluasi kurikulum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan evaluasi dan kurikulum?
2. Bagaimana implementasi dan evaluasi kurikulum?
3. Apa peranan evaluasi kurikulum?
4. Apa yang dimaksud ujian sebagai evaluasi sosial?
5. Bagaimana perbandingan model-model evaluasi kurikulum?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian evaluasi dan kurikulum
2. Untuk mengetahui implementasi dan evaluasi kurikulum
3. Untuk mengetahui peranan evaluasi kurikulum
4. Untuk mengetahui maksud ujian sebagai evaluasi social
5. Untuk mengetahui perbandingan model-model evaluasi kurikulum
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Evaluasi dan Kurikulum


Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan
kebijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan
keputusan dalam kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, evaluasi
merupakan salah satu komponen penting dan tahap yang harus ditempuh oleh
guru untuk mengetahui keefektifan kurikulum. Hasil yang diperoleh dapat
dijadikan balikan (feed-back) bagi guru dalam memperbaiki dan
menyempurnakan kurikulum.
Adapun pemahaman tentang evaluasi kurikulum dapat berbeda-
beda sesuai dengan pengertian kurikulum yang beragam menurut para
pakar kurikulum.
Hamid Hasan (2009:41) mengartikan evaluasi sebagai usaha sistematis
mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan
sebagai pertimbangan mengenai nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu
konteks tertentu. Menurut Tyler (dalam Muhammad Zaini, 2009: 143)
menyatakan bahwa evaluasi adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan
pendidikan sudah tercapai atau terealisasikan.
Sedangkan pengertian evaluasi menurut Rutman and Mowbray (1983)
ialah penggunaan metode ilmiah untuk menilai implementasi dan outcomes
suatu program yang berguna untuk proses membuat keputusan. Chelimsky
(1989) mendefinisikan evaluasi adalah suatu metode penelitian yang
sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan efektivitas suatu
program. Menurut Sukmadinata (2009:173), “Evaluasi merupakan kegiatan
yang luas, kompleks dan terus menerus untuk mengetahui proses dan hasil
pelaksanaan sistem pendidikan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Evaluasi juga meliputi rentangan yang cukup luas, mulai dari yang bersifat
sangat informal sampai dengan yang sangat formal.”
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
evaluasi adalah penerapan prosedur ilmiah yang sistematis untuk menilai
rancangan, implementasi dan efektivitas suatu program. Evaluasi adalah suatu
tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Evaluasi
dalam pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses dalam usaha
untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk membuat keputusan akan perlu tidaknya
memperbaiki sistem pembelajaran sesuai dengan tujuan yang ditetapkan
(Muhammad Zaini, 2009:142).
Sedangkan pengertian kurikulum adalah sebagai berikut:
a. Kurikulum sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (19) UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
b. Menurut Grayson (1978), kurikulum adalah suatu perencanaan untuk
mendapatkan keluaran (outcomes) yang diharapkan dari suatu
pembelajaran.
c. Menurut Hilda Taba (dalam Muhammad Zaini, 2009: 6), kurikulum adalah
rencana pembelajaran yang berkaitan dengan proses dan pengembangan
individu anak didik. Kurikulum merupakan seperangkat rencana yang
menjadi pedoman dan pegangan dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, pengertian evaluasi kurikulum adalah penerapan
prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel
untuk membuat keputusan tentang kurikulum yang sedang berjalan
atau telah dijalankan. Atau, evaluasi kurikulum adalah suatu tindakan
pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu kurikulum, berdasarkan
pertimbangan dan kriteria tertentu, sebagai bentuk akuntabilitas pengembang
kurikulum dalam rangka menentukan keefektifan kurikulum.
Pada dasarnya, evaluasi dan kurikulum merupakan dua disiplin yang
memiliki hubungan sebab akibat. Hubungan antara evaluasi dan kurikulum
bersifat organis, dan prosesnya secara evalusioner. Menurut Tyler (dalam
Muhammad Zaini, 2009:144) berpendapat bahwa evaluasi kurikulum pada
dasarnya adalah suatu proses untuk mengecek keberlakuan kurikulum
yang harus diterapkan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah
evaluasi terhadap tujuan pembelajaran, tahap kedua adalah evaluasi
terhadap pelaksanaan kurikulum atau proses pembelajaran yang meliputi
metode, media, dan evaluasi pembelajaran, tahap ketiga adalah evaluasi
terhadap efektivitas baik efektivitas terhadap waktu, tenaga, dan biaya,
serta tahap keempat adalah evaluasi terhadap hasil yang telah dicapai.

B. Implementasi dan Evaluasi Kurikulum


Dalam kurikulum, terdapat perbedaan penekanan. Perbedaan penekanan
dalam kurikulum tersebut mengakibatkan perbedaan dalam pola
rancangan dan dalam pengembangannya.
1. Konsep kurikulum yang menekankan isi memberikan perhatian
besar pada analisis pengetahuan baru yang ada, sangat
mengutamakan peranan desiminasi, meskipun seandainya kurikulum
itu kurang baik, mereka dapat memaksanya melalui jalur birokrasi.
2. Konsep situasi menuntut penilaian secara rinci tentang lingkungan
belajar, sangat mementingkan penyiapan unsur-unsur yang terkait.
3. Konsep organisasi memberi perhatian besar pada struktur belajar.
Perbedaan-perbedaan dalam rancangan tersebut mempengaruhi
langkah-langkah implementasi selanjutnya, strategi penyebarannya
sangat mengutamakan latihan guru.
Pengembangan kurikulum yang menekankan isi, membutuhkan
waktu mempersiapkan situasi belajar dan menyatukannya dengan
tujuan pembelajaran yang cukup lama. Kurikulum yang menekankan
situasi, waktu untuk mempersiapkannya hampir sama dengan kurikulum yang
menekankan isi.
Perbedaan konsep dan strategi pengembangan dan penyebaran
kurikulum, juga menimbulkan perbedaan dalam rancangan evaluasi.
1. Model evaluasi yang bersifat komparatif menekankan pada tujuan
atau obyektif yang sangat sesuai bagi kurikulum yang bersifat
rasional dan menekankan isi atau materi (content based curriculum).
2. Pendekatan yang bersifat bebas atau lepas dari tujuan (goal free) lebih
memungkinkan untuk mengevaluasi kurikulum yang menekankan
pada situasi (situation based curriculum).
3. Pendekatan yang bersifat eklektif lebih cocok jika diterapkan dalam
kurikulum yang menekankan organisasi (Muhammad Zaini, 2009:
147-148).

C. Peranan Evaluasi Kurikulum


Dilihat dari berbagai konsep kurikulum, evaluasi memiliki
kedudukan yang sangat penting dan strategis. Jika seseorang ingin
memahami dan mengembangkan kurikulum, maka ia wajib mempelajari
tentang evaluasi karena evaluasi merupakan konsep yang melekat pada
kurikulum.
Kurikulum penting untuk dievaluasi dan dikembangkan secara
baik dan berkelanjutan yang memacu para pelaksana kurikulum di
sekolah yang siap pakai, aktif, dan kreatif serta mampu menyesuaikan
diri dengan situasi dan kondisi lembaga pendidikan yang ada di
dalamnya. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan suatu sistem kurikulum
yang efektif dan efisien pada setiap program kegiatan pendidikan.
Peranan evaluasi kurikulum khususnya dalam penentuan
kebijaksanaan pendidikan itu berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
1. Evaluasi sebagai moral judgment (penilaian)
Konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai. Hasil dari suatu
evaluasi berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan
berikutnya.
2. Evaluasi dan penentuan keputusan
Pengambil keputusan dalam pelaksanaan pendidikan atau kurikulum
itu sangatlah banyak, misalnya: guru, siswa, orang tua, kepala sekolah,
para pengembang kurikulum dan sebagainya. Pada prinsipnya tiap
individu di atas membuat keputusan sesuai posisinya. Besar kecilnya
peranan keputusan yang diambil itu sesuai dengan lingkup
tanggungjawabnya, serta lingkup masalah yang dihadapinya.
Misalnya siswa mengambil keputusan sesuai dengan kepentingannya,
apabila seorang siswa mendapat nilai kurang baik, maka keputusan
yang diambil adalah meningkatkan kualitas belajarnya. Beberapa hasil
evaluasi akan menjadi pertimbangan bagi pengambil keputusan (dalam
Muhammad Zaini, 2009: 146).
3. Evaluasi dan konsensus nilai
Dalam berbagai situasi pendidikan serta kegiatan pelaksanaan evaluasi
kurikulum, sejumlah nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang yang ikut
terlibat dalam kegiatan penilaian atau evaluasi. Para partisipan dalam
evaluasi pendidikan dapat terdiri dari: orang tua, siswa, guru, pengembang
kurikulum, administrator, dan sebagainya. Sehingga kesatuan penilaian
diantara mereka (partisipan dalam evaluasi pendidikan) hanya dapat
dicapai melalui suatu konsensus. Secara historis konsensus nilai dalam
evaluasi kurikulum berasal dari tradisi tes mental serta eksperimen.
Konsensus tersebut berupa kerangka kerja penelitian yang
dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi belajar
yang bersifat behavioral, analisis statistik dari prestasi test dan post
tes. Ada dua kriteria dalam penilaian kurikulum. Pertama, kriteria
berdasarkan tujuan yang telah tentukan atau sering disebut kriteria
patokan. Kedua, kriteria berdasarkan norma-norma atau standar yang
dicapai sebagai mana adanya (dalam Muhammad Zaini, 2009: 146).

D. Ujian Sebagai Evaluasi Sosial


Ujian memberikan dasar evaluasi dan penilaian terhadap
perkembangan belajar. Dengan evaluasi dapat diperoleh informasi yang
akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar
siswa. Berdasarkan informasi itu, sehingga dapat dibuat keputusan
tentang kurikulum itu sendiri, pembelajaran, kesulitan dan upaya
bimbingan yang perlu dilakukan.
Sejak diperkenalkannya sistem ujian atau tes untuk umum di Amerika
Serikat dan negara-negara lain, pengukuran yang berbentuk umum (publik)
tersebut merupakan salah satu model evaluasi dalam pendidikan. Menguji
adalah mengevaluasi kemampuan individu. Dengan adanya ujian-ujian
tersebut, maka jenis-jenis kemampuan tertentu dipandang menunjukkan
status lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan skolastik ( bakat
dan minat) umpamanya sering dipandang memiliki status lebih tinggi
daripada penguasaan kemampuan yang lainnya.
Keberhasilan dalam ujian pengetahuan dan kemampuan skolastik
selama bertahun-tahun ditentukan oleh kemampuan yang mengingat fakta-
fakta. Kecenderungan ini bukan saja didasari oleh teori psikologi lama, yang
memandang bahwa otak yang lebih baik mampu menguasai fakta lebih
banyak, tetapi juga oleh keadaan masyarakat dimana buku-buku sumber
(teks) pengetahuan secara relative tidak berubah selama dua abad. Westmister
shoter catechism umpamanya digunakan sebagai buku teks disekolah-sekolah
di Scotlandia abad 17 sampai 19. Karena adanya berbagai kemajuan dalam
masyarakat, maka dalam perkembnagan selanjutnya jenis kemampuan
mempunyai nilai yang lebih tinggi.
Ujian bukan saja menunjukkan nilai pengetahuan atau
kemampuan secara sosial, tetapi juga telah merupakan peraturan dari
sekolah. Dalam dua dekade pertama dari abad 20 sejumlah ahli psikologi
dikumpulkan dalam satu komisi untuk menyusun tes kecerdasan. Hasilnya
digunakan untuk menyeleksi setiap anak-anak yang akan masuk sekolah
menengah yang tidak mampu membayar uang sekolah. Kemudian tes
tersebut juga digunakan sebagai alat bagi penentuan kenaikan kelas serta
sebagai saringan masuk. Pelaksanaan ujian-ujian tersebut sejalan dengan
anggapan masyarakat pada waktu itu, bahwa hanya sebagian dari penduduk
yang mempunyai kemampuan untuk menguasai pengetahuan pada suatu jenis
sekolah atau pada jenjang sekolah tertentu. Sistem ujian yang mempunyai
nilai historis ini digunakan untuk mengontrol efisiensi dan efektifitas
pelaksanaan sekolah. Apakah sistem ini dipandang baik atau jelek bergantung
pada pandangan yang menggunakannya.
Sistem ujian yang dilaksanakan di atas, lebih banyak digunkakan untuk
mengukur atau menguji kemampuan individu (siswa). Untuk menilai
gambaran sekolah secara keseluruhan, yaitu menilai tentang keadaan murid,
guru, kurikulum, pembiayaan sekolah, fasilitas sekolah, keseragaman
sekolah, penyusunan rancangan dan pemeliharaan sekolah diperlukan sistem
pengumpulan data serta penilaian yang lain. Kalau untuk mengukur
kemampuan siswa digunakan siswa digunakan istilah examination atau
assessment maka untuk penilaian keseluruhan situasi sekolah atau kurikulum
lebih tepat digunakan istilah evaluation.
Pelaksanaan penilaian kurikulum dapat dilihat juga pada konteks mikro
yaitu tingkat pembelajaran, di mana seorang guru akan menilai kurikulum
pada aspek tujuan yang aktual, organisasi materi dan cara penyampaian
materi, metode yang dikembangkan serta media yang dipakai dalam
membantu kelancaran belajar siswa, sistem penilaian pembelajaran itu
sendiri. Maka pada konteks ini betul-betul bahwa evaluasi kurikulum
memang harus dilaksanakan. Di mana ujung akhir dapat dijadikan bahan atau
masukan dalam menentukan kenaikan kelas pada siswa.
Pada dasarnya evaluasi kurikulum dapat dipandang dari konteks mikro
dan makro serta fungsinya. Dari sudut pandang makro berarti evaluasi
kurikulum ditujukan pada program kurikulum secara keseluruhan dalam
suatu institusi atau kelembagaan. Di mana prosesnya akan terukur dari setiap
penyuelenggaraaan program kurikulum untuk setiap mata pelajaran yang
dikembangkan dalam pembelajaran. Sedangkan dalam konteks mikro berarti
evaluasi kurikulum ditujukan pada upaya perbaikan pembelajaran pada
tingkat kelas, di mana hasilnya dapat berupa kualitas pembelajaran dan
kualitas output atau keluaran hasil pembelajaran berupa keterampilan dan
kecapakan siswa.
E. Model-Model Evaluasi Kurikulum
Menurut Zainal Arifin (2009), terdapat sepuluh model evalusi
kurikulum :
1. Model Tyler (Tyler Model)
Model ini dibangun atas dua dasar pemikiran :
Pertama, evaluasi ditujukan pada tingkah laku peserta didik. Kedua,
evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik
sebelum melaksanakan kurikulum dan sesudah melaksanakan
kurikum (hasil). Dasar pemikiran ini menunjukkan bahwa seorang
evaluator kurikulum harus dapat menentukan perubahan tingkah laku apa
yang terjadi setelah peserta didik mengikuti pengalaman belajar tertentu,
dan menegaskan bahwa perubahan yang terjadi merupakan perubahan
yang disebabkan oleh kegiatan kurikulum.
Penggunaan model Tyler memerlukan informasi perubahan tingkah
laku terutama pada saat sebelum dan sesudah terjadinya pelaksanaan
kurikulum atau istilah lain tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test),
karena hal itu model ini juga disebut model black box.
Ada tiga langkah pokok yang harus dilakukan oleh
pengembang kurikulum :
a. Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi
b. Menentukan situasi dimana peserta didik memperoleh
kesempatan untuk menunjukkan tingkah laku yang berhubungan
dengan tujuan
c. Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk mengukur
tingkah laku peserta didik.
2. Model yang Berorientasi pada Tujuan (Goal Oriented Evaluation
Model)
Model evaluasi ini menggunakan tujuan – tujuan tersebut
sebagai kriteria menentukan keberhasilan. Model ini dianggap lebih
praktis untuk mendesain dan mengembangkan suatu kurikulum karena
menentukan hasil yang diinginkan dengan rumusan yang dapat diukur.
Kelebihan model ini terletak pada hubungan antara tujuan, kegiatan dan
menekankan pada peserta didik sebagai aspek penting dalam kurikulum.
Kekurangannya adalah memungkinkan terjadinya proses evaluasi
melebihi konsekuensi yang tidak diharapkan.
3. Model Pengukuran (R.Thorndike dan R.L.Ebel)
Model ini sangat menitikberatkan pada kegiatan pengukuran.
Dalam pengembangan kurikulum, model ini telah diterapkan untuk
mengungkap perbedaan – perbedaan individual maupun kelompok
dalam hal kemampuan, minat dan sikap. Objek evaluasi dalam model
ini adaaah tingkah laku peserta didik, yang mencakup hasil belajar
(kognitif), pembawaan, sikap, minat, bakat dan juga aspek – aspek
kepribadian peserta didik. Instrument yang digunakan pada umumnya
adalah tes tertulis (paper and pencil test) dalam bentuk tes objektif, yang
cenderung dibakukan. Model ini sangat memperhatikan difficulty index
dan index of discrimination serta penggunaan pendekatan penilaian acuan
norma.
4. Model Kesesuaian (Ralph W.Tyler, John B.Carrol, Lee J.Cronbach)
Model ini memandang evaluasi sebagai suatu kegiatan untuk
melihat kesesuaian antar tujuan dengan hasil belajar yang telah
dicapai. Objek evaluasi adalah tingkah laku peserta didik, yaitu
perubahan tingkah laku yang diinginkan pada akhir kegiatan pendidikan.
Teknik evaluasinya meliputi tes dan non-tes. Model ini memerlukan
informasi perubahan tingkah laku sebelum dan setelah pembelajaran
sehingga dengan model ini guru perlu melakukan pre and post-tes.
Langkah – langkah yang harus ditempuh yaitu :
a. Merumuskan tujuan tingkah laku
b. Menentukan situasi dimana peserta didik dapat memperlihatkan
tingkah laku yang akan dievaluasi
c. Menyusun alat evaluasi
d. Menggunakan hasil evaluasi.
5. Model Evaluasi Sitem Pendidikan (Educational System Evaluation
Model)
Model ini menekankan sistem sabagai suatu keseluruhan dan
merupakan penggabungan dari beberapa model, seperti model
countenance dari Stake; model CIPP (Context, Input, Process, Product)
dan CDPP yaitu (context, design, process, product) dari Stufflebeam;
model Scriven yang meliputi instrumental evaluation and consequential
evaluation; model Provus yang meliputi design, operation program,
interim products, dan terminal products; model EPIC (Evaluation
innovative curriculum); model CEMREL (central Midwestern regional
educational laboratory) dari Howard Rusell dan Louis Smith; dan model
Atkinson.
Model stake menitikberatkan evaluasi pada dua hal pokok, yaitu
description yang terdiri dari dua aspek yaitu intens (goals) dan
observation (effect) dan judgement yang terdiri dari standart dan
judgement, dimana setiap hal tersebut terdiri atas tiga dimensi yaitu
antecedent (context), transaction (process), dan outcomes (output).
Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan. Tujuannya adalah
untuk membantu pengembang kurikulum dalam membuat keputusan.
Terdapat 4 jenis evalusi menurut model ini yaitu :
a. Context evaluation to serve planning decision, yaitu konteks evaluasi
untuk membantu administrator merencanakan keputusan, menentukan
kebutuhan, dan merumuskan tujuan program.
b. Input evaluation, structuring decision. Kegiatan evaluasi bertujuan
untuk membantu mengatur keputusan, mennetukan sumber–sumber,
alternative apa yang akan diambil, apa rencana dan strategi untuk
mencapai kebutuhan, dan bagaimana prosedur kerja untuk
mencapainya.
c. Proses evaluation, to serve implementing decision. Kegiatan evaluasi
ini bertujuan untuk membantu melaksanakan keputusan.
d. Product evaluation, to serve recycling decision. Kegiatan evaluasi ini
bertujuan untuk membantu keputusan selanjutnya.

Model ini menuntut agar hasil evaluasi digunakan sebagai


masukan untuk membuat keputusan dalam rangka penyempurnaan
sistem kurikulum secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan
adalah penilaian acuan norma (PAN) dan penilaian acuan patokan (PAP).

6. Model Alkin (Marvin Alkin, 1969)


Menurut Alkin, evaluasi adalah suatu proses untuk meyakinkan
keputusan, mengumpulkan informasi, memilih informasi yang tepat,
dan menganalisis informasi sehingga dapat disusun laporan bagi
pembuat keputusan dalam memilih beberapa alternatif.
Menurut Alkin, terdapat lima jenis evaluasi :
a. Sistem assessment, yaitu untuk memberikan informasi tentang
keadaan atau posisi dari suatu sistem.
b. Program planning, yaitu untuk membantu pemilihan program
tertentu yang mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhan program.
c. Program implementation, yaitu untuk menyiapkan informasi apakah
suatu program sudah diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang
tepat sebagaimana yang direncanakan.
d. Program improvement, yaitu memberikan informasi tentang
bagaimana suatu program dapat berfungsi, bekerja atau berjalan.
e. Program certification, yaitu memberikan informasi tentang nilai atau
manfaat suatu program.
7. Model Brinkerhoff
Robert O. Brinkerhoff (1987) mengemukakan ada tiga jenis
evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen – elemen
yang sama, yaitu :
a. Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi fixed (tetap) harus direncanakan dan disusun
secara sistematik-terstruktur sebelum program dilaksanakan.
Meskipun demikian, desain fixed dapat juga disesuaikan dengan
kebutuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Desain evaluasi ini
dikembangkan berdssarkan tujuan program, kemudian disusun
pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang
diperoleh dari sumber-sumber tertentu.
Kegiatan-kegiatan evaluasi yang dilakukan dalam desain tetap
ini, anatara lain menyusun pertanyaan-pertanyaan, menyusun dan
menyiapkan instrument, menganalisis hasil evaluasi, dan melaporkan
hasil evaluasi secara formal kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Teknik pengumpulan data antara lain tes, observasi, wawancara,
kuesioner, dan skala penilaian. Data yang dikumpulkan biasanya
bersifat kuantitaif.
Dalam desain evaluasi emergent, tujuan evaluasi adalah untuk
beradaptasi dengan situasi yang sedang berlangsung dan berkembang,
seperti menampung pendapat audiensi, masalah-masalah dan kegiatan
program. Teknik pengumpulan data dapat menggunakan observasi,
studi kasus, dan laporan tim pendukung. Seorang evaluator dapat
mengabaikan penggunaan teknik pengukuran karena informasi yang
dibutuhkan lebih bersifat kualitatif-naturalistik.
b. Formative vs Summative Evluation (Michael Scriven, 1967)
Untuk dapat memahami kedua jenis evaluasi ini dapat dilihat
dari fungsinya. Evaluasi formatif berfungsi untuk memperbaiki
kurikulum, sedangkan evaluasi sumatif berfungsi untuk melihat
kemanfaatan kurikulum secara menyeluruh.
c. Desain eksperimental dan desain quasi eksperimental vs natural
inquiri
Desain eksperimental banyak menggunakan pendekatan
kuantitatif, random sampling, memberikan perlakuan, dan mengukur
dampak. Tujuannya adalah untuk menilai manfaat hasil percobaan
dari suatu kurikulum. Dalam praktiknya, desain evaluasi ini agak sulit
dilakukan karena pada umumnya proses kurikulum sudah atau sedang
terjadi.
Dalam desain evaluasi natural-inquiri, evaluator banyak
menghabiskan waktu untuk melakukan pengamatan dana
wawancara dengan orang-orang yang terlibat.
8. Model Illuminatif (Malcom Parlett dan Hamilton)
Model ini lebih menekankan pada evaluasi kualitatif-terbuka
(open-ended). Kegiatan evaluasi dihubungkan dengan learning milieu,
yaitu lingkungan sekolah sebagai lingkungan material dan psiko-sosial,
di mana guru dan peserta didik dapat berinteraksi. Tujuan evaluasi ini
untuk menganalisis pelaksanaan sistem, faktor-faktor yang
memengaruhinya, kelebihan dan kekurangan sistem, dan pengaruh
sistem terhadap pengalaman belajar peserta didik. Objek evaluasi
model ini mencakup latar belakang dan perkembangan sistem, proses
pelaksanaan sistem, hasil belajar peserta didik, kesukaran-kesukaran
yang dialami dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, termasuk
efek samping dari sistem itu sendiri. Berdasarkan tujuan dan pendekatan
evaluasi dalam model ini, maka ada tiga fase yang harus ditempuh, yaiti
observe, inquiry further dan seek to explain.
9. Model Responsif (Responsive Model)
Model ini menekankan pada pendekatan kualitatif-naturalistik.
Langkah-langkah kegiatan evaluasi meliputi observasi, merekam hasil
wawancara, mengumpulkan data, mengecek pengetahuan awal peserta
didik dan mengembangkan desain atu model.
Kelebihan model ini adalah peka terhadap berbagai pandangan dan
kemampuannya mengakomodasi pendapat yang ambisius serta tidak
fokus, sedangkan kekurangannya yaitu pembuat keputusan sulit
menentukan prioritas atau penyederhanaan informasi, tidak mungkin
menampung semua sudut pandangan dari berbagai kelompok,
membutuhkan waktu dan tenaga.
10. Model Studi Kasus
Karakteristik model ini yaitu :
a. Terfokus pada kegiatan kurikulum disekolah, dikelas, atau
bahkan hanya kepada seorang kepala sekolah atau guru
b. Tidak mempersoalkan pemilihan sampel
c. Hasil evaluasi hanya berlaku pada tempat evaluasi itu dilakukan
d. Tidak ada generalisasi hasil evaluasi
e. Data yang dikumpulkan terutama data kualitatif
f. Adanya realitas yang tidak sepihak.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam pengembangan kurikulum, evaluasi merupakan salah satu
komponen penting dan tahap yang harus ditempuh oleh guru untuk
mengetahui keefektifan kurikulum. Evaluasi kurikulum adalah suatu tindakan
pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu kurikulum, berdasarkan
pertimbangan dan kriteria tertentu, sebagai bentuk akuntabilitas pengembang
kurikulum dalam rangka menentukan keefektifan kurikulum.
Adanya perbedaan penekanan dalam kurikulum mengakibatkan
perbedaan dalam pola rancangan dan dalam pengembangannya. Perbedaan-
perbedaan dalam rancangan tersebut mempengaruhi langkah-langkah
implementasi selanjutnya.
Adapun peranan evaluasi kurikulum khususnya dalam penentuan
kebijaksanaan pendidikan itu berkenaan dengan tiga hal, yaitu: evaluasi
sebagai moral judgment, evaluasi dan penentuan keputusan, serta evaluasi
dan konpansus nilai.
Ujian memberikan dasar evaluasi dan penilaian terhadap perkembangan
belajar. Dengan evaluasi dapat diperoleh informasi yang akurat tentang
penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar siswa.
Menurut Zainal Arifin, terdapat sepuluh model evaluasi kurikulum,
yaitu: model Tyler, model yang berorientasi pada tujuan, model pengukuran
(R.Thorndike dan R.L.Ebel), model Kesesuaian (Ralph W.Tyler, John
B.Carrol, Lee J.Cronbach), model Evaluasi Sitem Pendidikan (Educational
System Evaluation Model), Model Alkin, model Brinkerhoff, model
Illuminatif, Model Responsif, dan model Studi Kasus.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. 2011. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung:


PT. Remaja Rosdakarya.
Zaini, Muhammad. 2009. Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: TERAS.
http://www.slideshare.net/AhmadWahyudinRocknRoll/evaluasi-kurikulum-
9593798, diakses pada 11 November 2014 pukul 02.00

http://arahpembelajaranbiologi.blogspot.com/2010/09/peranan-evaluasi-
kurikulum-dalam-ujian.html, diakses pada 11 November 2014 pukul 02.00

Anda mungkin juga menyukai