PEMBAHASAN
3
Sedangkan pengertian kurikulum adalah sebagai berikut:
a. Kurikulum sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (19) UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
b. Menurut Grayson (1978), kurikulum adalah suatu perencanaan untuk
mendapatkan keluaran (outcomes) yang diharapkan dari suatu
pembelajaran.
Dengan demikian, pengertian evaluasi kurikulum adalah penerapan
prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk
membuat keputusan tentang kurikulum yang sedang berjalan atau telah
dijalankan. Atau, evaluasi kurikulum adalah suatu tindakan pengendalian,
penjaminan dan penetapan mutu kurikulum, berdasarkan pertimbangan dan
kriteria tertentu, sebagai bentuk akuntabilitas pengembang kurikulum dalam
rangka menentukan keefektifan kurikulum.
Pada dasarnya, evaluasi dan kurikulum merupakan dua disiplin yang
memiliki hubungan sebab akibat. Hubungan antara evaluasi dan kurikulum
bersifat organis, dan prosesnya secara evalusioner. Menurut Tyler (dalam
Muhammad Zaini, 2009:144) berpendapat bahwa evaluasi kurikulum pada
dasarnya adalah suatu proses untuk mengecek keberlakuan kurikulum yang
harus diterapkan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah evaluasi terhadap
tujuan pembelajaran, tahap kedua adalah evaluasi terhadap pelaksanaan
kurikulum atau proses pembelajaran yang meliputi metode, media, dan
evaluasi pembelajaran, tahap ketiga adalah evaluasi terhadap efektivitas baik
efektivitas terhadap waktu, tenaga, dan biaya, serta tahap keempat adalah
evaluasi terhadap hasil yang telah dicapai.
4
B. Implementasi dan Evaluasi Kurikulum
Dalam kurikulum, terdapat perbedaan penekanan. Perbedaan penekanan
dalam kurikulum tersebut mengakibatkan perbedaan dalam pola rancangan
dan dalam pengembangannya.
1. Konsep kurikulum yang menekankan isi memberikan perhatian besar
pada analisis pengetahuan baru yang ada, sangat mengutamakan peranan
desiminasi, meskipun seandainya kurikulum itu kurang baik, mereka
dapat memaksanya melalui jalur birokrasi.
2. Konsep situasi menuntut penilaian secara rinci tentang lingkungan
belajar, sangat mementingkan penyiapan unsur-unsur yang terkait.
3. Konsep organisasi memberi perhatian besar pada struktur belajar.
Perbedaan-perbedaan dalam rancangan tersebut mempengaruhi langkah-
langkah implementasi selanjutnya, strategi penyebarannya sangat
mengutamakan latihan guru.
Pengembangan kurikulum yang menekankan isi, membutuhkan waktu
mempersiapkan situasi belajar dan menyatukannya dengan tujuan
pembelajaran yang cukup lama. Kurikulum yang menekankan situasi, waktu
untuk mempersiapkannya hampir sama dengan kurikulum yang menekankan
isi.
Perbedaan konsep dan strategi pengembangan dan penyebaran
kurikulum, juga menimbulkan perbedaan dalam rancangan evaluasi.
1. Model evaluasi yang bersifat komparatif menekankan pada tujuan atau
obyektif yang sangat sesuai bagi kurikulum yang bersifat rasional dan
menekankan isi atau materi (content based curriculum).
2. Pendekatan yang bersifat bebas atau lepas dari tujuan (goal free) lebih
memungkinkan untuk mengevaluasi kurikulum yang menekankan pada
situasi (situation based curriculum).
3. Pendekatan yang bersifat eklektif lebih cocok jika diterapkan dalam
kurikulum yang menekankan organisasi (Muhammad Zaini, 2009: 147-
148).
5
C. Ujian Sebagai Evaluasi Sosial
Ujian memberikan dasar evaluasi dan penilaian terhadap perkembangan
belajar. Dengan evaluasi dapat diperoleh informasi yang akurat tentang
penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar siswa. Berdasarkan
informasi itu, sehingga dapat dibuat keputusan tentang kurikulum itu sendiri,
pembelajaran, kesulitan dan upaya bimbingan yang perlu dilakukan.
Sejak diperkenalkannya sistem ujian atau tes untuk umum di Amerika
Serikat dan negara-negara lain, pengukuran yang berbentuk umum (publik)
tersebut merupakan salah satu model evaluasi dalam pendidikan. Menguji
adalah mengevaluasi kemampuan individu. Dengan adanya ujian-ujian
tersebut, maka jenis-jenis kemampuan tertentu dipandang menunjukkan
status lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan skolastik ( bakat dan
minat) umpamanya sering dipandang memiliki status lebih tinggi daripada
penguasaan kemampuan yang lainnya.
Keberhasilan dalam ujian pengetahuan dan kemampuan skolastik
selama bertahun-tahun ditentukan oleh kemampuan yang mengingat fakta-
fakta. Kecenderungan ini bukan saja didasari oleh teori psikologi lama, yang
memandang bahwa otak yang lebih baik mampu menguasai fakta lebih
banyak, tetapi juga oleh keadaan masyarakat dimana buku-buku sumber
(teks) pengetahuan secara relative tidak berubah selama dua abad. Westmister
shoter catechism umpamanya digunakan sebagai buku teks disekolah-sekolah
di Scotlandia abad 17 sampai 19. Karena adanya berbagai kemajuan dalam
masyarakat, maka dalam perkembnagan selanjutnya jenis kemampuan
mempunyai nilai yang lebih tinggi.
Ujian bukan saja menunjukkan nilai pengetahuan atau kemampuan
secara sosial, tetapi juga telah merupakan peraturan dari sekolah. Dalam dua
dekade pertama dari abad 20 sejumlah ahli psikologi dikumpulkan dalam satu
komisi untuk menyusun tes kecerdasan. Hasilnya digunakan untuk
menyeleksi setiap anak-anak yang akan masuk sekolah menengah yang tidak
mampu membayar uang sekolah. Kemudian tes tersebut juga digunakan
sebagai alat bagi penentuan kenaikan kelas serta sebagai saringan masuk.
6
Sistem ujian yang dilaksanakan di atas, lebih banyak digunkakan untuk
mengukur atau menguji kemampuan individu (siswa). Untuk menilai
gambaran sekolah secara keseluruhan, yaitu menilai tentang keadaan murid,
guru, kurikulum, pembiayaan sekolah, fasilitas sekolah, keseragaman
sekolah, penyusunan rancangan dan pemeliharaan sekolah diperlukan sistem
pengumpulan data serta penilaian yang lain. Kalau untuk mengukur
kemampuan siswa digunakan siswa digunakan istilah examination atau
assessment maka untuk penilaian keseluruhan situasi sekolah atau kurikulum
lebih tepat digunakan istilah evaluation.
Pada dasarnya evaluasi kurikulum dapat dipandang dari konteks mikro
dan makro serta fungsinya. Dari sudut pandang makro berarti evaluasi
kurikulum ditujukan pada program kurikulum secara keseluruhan dalam
suatu institusi atau kelembagaan. Di mana prosesnya akan terukur dari setiap
penyelenggaraaan program kurikulum untuk setiap mata pelajaran yang
dikembangkan dalam pembelajaran. Sedangkan dalam konteks mikro berarti
evaluasi kurikulum ditujukan pada upaya perbaikan pembelajaran pada
tingkat kelas, di mana hasilnya dapat berupa kualitas pembelajaran dan
kualitas output atau keluaran hasil pembelajaran berupa keterampilan dan
kecapakan siswa.
7
peserta didik mengikuti pengalaman belajar tertentu, dan menegaskan
bahwa perubahan yang terjadi merupakan perubahan yang disebabkan
oleh kegiatan kurikulum.
Penggunaan model Tyler memerlukan informasi perubahan tingkah
laku terutama pada saat sebelum dan sesudah terjadinya pelaksanaan
kurikulum atau istilah lain tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test),
karena hal itu model ini juga disebut model black box.
Ada tiga langkah pokok yang harus dilakukan oleh pengembang
kurikulum :
a. Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi
b. Menentukan situasi dimana peserta didik memperoleh kesempatan
untuk menunjukkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan
c. Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk mengukur
tingkah laku peserta didik.
2. Model yang Berorientasi pada Tujuan (Goal Oriented Evaluation
Model)
Model evaluasi ini menggunakan tujuan – tujuan tersebut sebagai
kriteria menentukan keberhasilan. Model ini dianggap lebih praktis untuk
mendesain dan mengembangkan suatu kurikulum karena menentukan
hasil yang diinginkan dengan rumusan yang dapat diukur. Kelebihan
model ini terletak pada hubungan antara tujuan, kegiatan dan
menekankan pada peserta didik sebagai aspek penting dalam kurikulum.
Kekurangannya adalah memungkinkan terjadinya proses evaluasi
melebihi konsekuensi yang tidak diharapkan.
3. Model Pengukuran (R.Thorndike dan R.L.Ebel)
Model ini sangat menitikberatkan pada kegiatan pengukuran.
Dalam pengembangan kurikulum, model ini telah diterapkan untuk
mengungkap perbedaan – perbedaan individual maupun kelompok dalam
hal kemampuan, minat dan sikap. Objek evaluasi dalam model ini adaaah
tingkah laku peserta didik, yang mencakup hasil belajar (kognitif),
pembawaan, sikap, minat, bakat dan juga aspek – aspek kepribadian
8
peserta didik. Instrument yang digunakan pada umumnya adalah tes
tertulis (paper and pencil test) dalam bentuk tes objektif, yang cenderung
dibakukan. Model ini sangat memperhatikan difficulty index dan index of
discrimination serta penggunaan pendekatan penilaian acuan norma.
4. Model Kesesuaian (Ralph W.Tyler, John B.Carrol, Lee J.Cronbach)
Model ini memandang evaluasi sebagai suatu kegiatan untuk
melihat kesesuaian antar tujuan dengan hasil belajar yang telah dicapai.
Objek evaluasi adalah tingkah laku peserta didik, yaitu perubahan
tingkah laku yang diinginkan pada akhir kegiatan pendidikan. Teknik
evaluasinya meliputi tes dan non-tes. Model ini memerlukan informasi
perubahan tingkah laku sebelum dan setelah pembelajaran sehingga
dengan model ini guru perlu melakukan pre and post-tes.
Langkah – langkah yang harus ditempuh yaitu :
a. Merumuskan tujuan tingkah laku
b. Menentukan situasi dimana peserta didik dapat memperlihatkan
tingkah laku yang akan dievaluasi
c. Menyusun alat evaluasi
d. Menggunakan hasil evaluasi.
5. Model Evaluasi Sitem Pendidikan (Educational System Evaluation
Model)
Model ini menekankan sistem sabagai suatu keseluruhan dan
merupakan penggabungan dari beberapa model, seperti model
countenance dari Stake; model CIPP (Context, Input, Process, Product)
dan CDPP yaitu (context, design, process, product) dari Stufflebeam;
model Scriven yang meliputi instrumental evaluation and consequential
evaluation; model Provus yang meliputi design, operation program,
interim products, dan terminal products; model EPIC (Evaluation
innovative curriculum); model CEMREL (central Midwestern regional
educational laboratory) dari Howard Rusell dan Louis Smith; dan model
Atkinson.
9
Model stake menitikberatkan evaluasi pada dua hal pokok, yaitu
description yang terdiri dari dua aspek yaitu intens (goals) dan
observation (effect) dan judgement yang terdiri dari standart dan
judgement, dimana setiap hal tersebut terdiri atas tiga dimensi yaitu
antecedent (context), transaction (process), dan outcomes (output).
Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan. Tujuannya adalah
untuk membantu pengembang kurikulum dalam membuat keputusan.
Terdapat 4 jenis evalusi menurut model ini yaitu :
a. Context evaluation to serve planning decision, yaitu konteks evaluasi
untuk membantu administrator merencanakan keputusan, menentukan
kebutuhan, dan merumuskan tujuan program.
b. Input evaluation, structuring decision. Kegiatan evaluasi bertujuan
untuk membantu mengatur keputusan, mennetukan sumber–sumber,
alternative apa yang akan diambil, apa rencana dan strategi untuk
mencapai kebutuhan, dan bagaimana prosedur kerja untuk
mencapainya.
c. Process evaluation, to serve implementing decision. Kegiatan evaluasi
ini bertujuan untuk membantu melaksanakan keputusan.
d. Product evaluation, to serve recycling decision. Kegiatan evaluasi ini
bertujuan untuk membantu keputusan selanjutnya.
10
a. Sistem assessment, yaitu untuk memberikan informasi tentang
keadaan atau posisi dari suatu sistem.
b. Program planning, yaitu untuk membantu pemilihan program
tertentu yang mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhan program.
c. Program implementation, yaitu untuk menyiapkan informasi apakah
suatu program sudah diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang
tepat sebagaimana yang direncanakan.
d. Program improvement, yaitu memberikan informasi tentang
bagaimana suatu program dapat berfungsi, bekerja atau berjalan.
e. Program certification, yaitu memberikan informasi tentang nilai atau
manfaat suatu program.
7. Model Brinkerhoff
Robert O. Brinkerhoff (1987) mengemukakan ada tiga jenis
evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen – elemen yang
sama, yaitu :
a. Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi fixed (tetap) harus direncanakan dan disusun
secara sistematik-terstruktur sebelum program dilaksanakan.
Meskipun demikian, desain fixed dapat juga disesuaikan dengan
kebutuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Desain evaluasi ini
dikembangkan berdssarkan tujuan program, kemudian disusun
pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang
diperoleh dari sumber-sumber tertentu.
Kegiatan-kegiatan evaluasi yang dilakukan dalam desain tetap
ini, anatara lain menyusun pertanyaan-pertanyaan, menyusun dan
menyiapkan instrument, menganalisis hasil evaluasi, dan melaporkan
hasil evaluasi secara formal kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Teknik pengumpulan data antara lain tes, observasi, wawancara,
kuesioner, dan skala penilaian. Data yang dikumpulkan biasanya
bersifat kuantitaif.
11
Dalam desain evaluasi emergent, tujuan evaluasi adalah untuk
beradaptasi dengan situasi yang sedang berlangsung dan berkembang,
seperti menampung pendapat audiensi, masalah-masalah dan kegiatan
program. Teknik pengumpulan data dapat menggunakan observasi,
studi kasus, dan laporan tim pendukung. Seorang evaluator dapat
mengabaikan penggunaan teknik pengukuran karena informasi yang
dibutuhkan lebih bersifat kualitatif-naturalistik.
b. Formative vs Summative Evluation (Michael Scriven, 1967)
Untuk dapat memahami kedua jenis evaluasi ini dapat dilihat
dari fungsinya. Evaluasi formatif berfungsi untuk memperbaiki
kurikulum, sedangkan evaluasi sumatif berfungsi untuk melihat
kemanfaatan kurikulum secara menyeluruh.
c. Desain eksperimental dan desain quasi eksperimental vs natural
inquiri
Desain eksperimental banyak menggunakan pendekatan
kuantitatif, random sampling, memberikan perlakuan, dan mengukur
dampak. Tujuannya adalah untuk menilai manfaat hasil percobaan
dari suatu kurikulum. Dalam praktiknya, desain evaluasi ini agak sulit
dilakukan karena pada umumnya proses kurikulum sudah atau sedang
terjadi.
Dalam desain evaluasi natural-inquiri, evaluator banyak
menghabiskan waktu untuk melakukan pengamatan dana wawancara
dengan orang-orang yang terlibat.
8. Model Illuminatif (Malcom Parlett dan Hamilton)
Model ini lebih menekankan pada evaluasi kualitatif-terbuka
(open-ended). Kegiatan evaluasi dihubungkan dengan learning milieu,
yaitu lingkungan sekolah sebagai lingkungan material dan psiko-sosial,
di mana guru dan peserta didik dapat berinteraksi. Tujuan evaluasi ini
untuk menganalisis pelaksanaan sistem, faktor-faktor yang
memengaruhinya, kelebihan dan kekurangan sistem, dan pengaruh sistem
terhadap pengalaman belajar peserta didik. Objek evaluasi model ini
12
mencakup latar belakang dan perkembangan sistem, proses pelaksanaan
sistem, hasil belajar peserta didik, kesukaran-kesukaran yang dialami dari
perencanaan sampai dengan pelaksanaan, termasuk efek samping dari
sistem itu sendiri. Berdasarkan tujuan dan pendekatan evaluasi dalam
model ini, maka ada tiga fase yang harus ditempuh, yaiti observe, inquiry
further dan seek to explain.
9. Model Responsif (Responsive Model)
Model ini menekankan pada pendekatan kualitatif-naturalistik.
Langkah-langkah kegiatan evaluasi meliputi observasi, merekam hasil
wawancara, mengumpulkan data, mengecek pengetahuan awal peserta
didik dan mengembangkan desain atu model.
Kelebihan model ini adalah peka terhadap berbagai pandangan dan
kemampuannya mengakomodasi pendapat yang ambisius serta tidak
fokus, sedangkan kekurangannya yaitu pembuat keputusan sulit
menentukan prioritas atau penyederhanaan informasi, tidak mungkin
menampung semua sudut pandangan dari berbagai kelompok,
membutuhkan waktu dan tenaga.
10. Model Studi Kasus
Karakteristik model ini yaitu :
a. Terfokus pada kegiatan kurikulum disekolah, dikelas, atau bahkan
hanya kepada seorang kepala sekolah atau guru
b. Tidak mempersoalkan pemilihan sampel
c. Hasil evaluasi hanya berlaku pada tempat evaluasi itu dilakukan
d. Tidak ada generalisasi hasil evaluasi
e. Data yang dikumpulkan terutama data kualitatif
f. Adanya realitas yang tidak sepihak.
13
E. Penyelenggaraan Penilaian Kurikulum di Indonesia
3) Tentu saja, pola penilaian seperti ini tidak diantikan dalam proses
pembelajaran, karena memang lazim digunakan dan memperoleh
legitimasi secara akademik.
Penilaian autentik dapat dibuat oleh guru sendiri, guru secara tim, atau guru
bekerja sama dengan peserta didik.Dalam penilaian autentik, seringkali
pelibatan siswa sangat penting. Asumsinya, peserta didik dapat melakukan
aktivitas belajar lebih baik ketika mereka tahu bagaimana akan dinilai.
14
Karena penilaian itu merupakan bagian dari proses pembelajaran, guru dan
peserta didik berbagi pemahaman tentang kriteria kinerja. Dalam beberapa
kasus, peserta didik bahkan berkontribusi untuk mendefinisikan harapan atas
tugas-tugas yang harus mereka lakukan. Penilaian autentik sering
digambarkan sebagai penilaian atas perkembangan peserta didik, karena
berfokus pada kemampuan mereka berkembang untuk belajar bagaimana
belajar tentang subjek.Penilaian autentik harus mampu menggambarkan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan apa yang sudah atau belum dimiliki oleh
peserta didik, bagaimana mereka menerapkan pengetahuannya, dalam hal apa
mereka sudah atau belum mampu menerapkan perolehan belajar, dan
sebagainya. Atas dasar itu, guru dapat mengidentifikasi materi apa yang sudah
layak dilanjutkan dan untuk materi apa pula kegiatan remedial harus
dilakukan.
a) Penilaian Kelas
15
kemajuan dan hasil belajar peserta didik, mendiagnosa kesulitan belajar,
memberikan umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran, dan
penentuan kenaikan kelas.
d) Benchmarking
e) Penilaian Program
16