Anda di halaman 1dari 4

A.

Landasan Evaluasi Kurikulum

Perkembangan evaluasi kurikulum tidak dapat dilepaskan dari keinginan untuk mengetahui seberapa
jauh biaya yang telah dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan. Pengerahan dana yang dilakukan
Amerika Serikat dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan karena kalah bersaing dengan Uni
Soviet. Untuk memperbaiki mutu pendidikan, terutama sains yang kemudian diikuti oleh bidang lain,
para ahli pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan dimintakan melakukan berbagai inovasi
(Hasan, 1977). Kebijakan pengerahan dana untuk pendidikan dalam jumlah besar terjadi diawali oleh
Presiden Kennedy yang dilanjutkan oleh Presiden Johnson dan terakhir oleh Presidn Bush dengan
kebijakannya yang dinamakan No Child Left Behind (NCLB).

Pada tahun 1970, Presiden Nixon menekankan pentingnya pertanggungjawaban dengan


mengeluarkan kebijakan mengenai akuntabilitas. Berdasarkan pendapat Rossi dan Freeman (1985),
Scriven ( 1991), dan McDavid dan Hawthorn (2006) mengemukakan akuntabilitas berikut ini :

1. Akuntabilitas Legal
Akuntabilitas legal berkaitan dengan kegiatan pengembangan kurikulum yang secara hokum
dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, kegiatan pengembangan kurikulum tersebut harus
merupakan kegiatan yang secara hokum sah baik ketika proses konstruksi kurikulum,
implementasi kurikulum, dan evaluasi kurikulum.
Dalam konteks masa kini, system pemerintahan desentralisasi di Indonesia memberikan
wewenang untuk pengembangan kurikulum di unit pendidikan (UU nomor 20 tahun 2003).
2. Akuntabilitas Akademik
Akuntabilitas akademik berkaitan dengan filosofi, teori, prinsip dan prosedur yang digunakan
dalam pengembangan kurikulum. Artinya, apakah filosofi yang digunakan adalah filosofi
yang dikenal oleh dunia akademik. Jika dikenal maka tentu saja substantif dari filosofi
tersebut dapat dikaji dan mungkin saja dibahas dalam banyak buku. Jika filosofi itu baru,
maka akuntabilitas akademik adalah akuntabilitas yang tidak saja terkait dengan
kepentingan public tetapi juga dengan kelompok komunitas pengembang kurikulum.
3. Akuntabilitas Finansial
Akuntabilitas finansial adalah akuntabilitas yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya
konsep akuntabilitas. Secara dasar akuntabilitas finansial berkenaan dengan
pertanggungjawaban keuangan yang diperoleh untuk pengembangan suatu kurikulum.
4. Akuntabilitas Pemberian Jasa
Akuntabilitas pelayanan meliputi pemberian jasa pendidikan kepada kelompok masyarakat
yang seharusnya mendapatkan pelayanan tersebut. Konsep seperti angka partisipasi adalah
salah satu bentuk akuntabilitas pemberian jasa.
Fungsi pelayanan pendidikan pemerintah dan masyarakat terhadap generasi muda adalah
suatu kewajiban moral dan konstitusional . dilihat dari kewajiban moral maka pemerintah
dan masyarakat secara moral bertanggungjawab dalam mempersiapkan generasi muda
untuk mengembangkan kehidupan pribadinya dan mengemban tugas sebagai anggota
masyarakat.
5. Akuntabilitas Dampak
Dampak adalah focus yang dapat dianggap baru dalam dunia evaluasi kurikulum. Sekarang,
dampak merupakan seuatu yang mendapat perhatian evaluasi kurikulum karena kurikulum
tidak saja berkenaan dengan hasil belajar yang dimiliki peserta didik. Kurikulum harus pula
memperlihatkan hasilnya dalam bentuk dampak pada masyarakat dan pada kualitas lulusan
setelah beberapa waktu mereka berada di masyarakat. Hal ini mengandung arti bahwa hasil
belajar yang diperoleh peserta didik dari suatu kurikulum harus dapat diterapkan ke dalam
kehidupan sehar-hari. Evaluasi terhadap dampak akan memberikan pengaruh yang positif
terhadap pengembanagn kurikulum.

B. Kriteria Evaluasi Kurikulum


1. Pendekatan Kriteria Pre-Ordinate
Pendekatan pre-ordinate riteria ditetapkan pada waktu kegiatan evaluasi kurikulum
belum dilaksanakan yang dalam mengembangkan kriteria evaluasi kurikulum memiliki
dua karakteristik. Pertama, kmasih dalam bentuk rancangan. Karakteristik kedua ialah
kriteria pre-ordinate tidak dikembangkan dari karakteristik kurikulum yang dievaluasi.
Kriteria dikembangkan dari sesuatu yang dianggap sudah baku (standar).
Pada umumnya kriteria pre-ordinate merupakan kriteria yang sudah dikembangkan
dalam bentuk instrument evaluasi. Kebanyakan instrument evaluasi tersebut
berhubungan dengan dimensi kurikulum sebagai hasil belajar . karenanya tidaklah
mengherankan apabila kebanyakan studi evaluasi yang menggunakan pengembangan
kriteria pre-ordinate ini memusatkan perhatiannya kepada pencapaian hasil belajar.
2. Pendekatan Kriteria Fidelity
Pendekatan pengembangan kriteria fidelity juga menggunakan kriteria yang
dikembangkan sebelum evaluator turun ke lapangan untuk mengumpulkan data. Dilihat
dari segi adanya alat evaluasi yang sudah siap sebelum ke lapangan, pendekatan fidelity
sama dengan pendekatan pre-ordinate. Chen (1990) mengatakan bahwa kriteria fidelity
diperlukan untuk determine whether unsuccessfull outcomes reflect a failure to
implement the model as intended. Hal yang sama dikemukakan Hall (2002), yang
mengemukakan bahwa kriteria fidelity diperlukan untuk mengetahui berapa besar
komponen kurikulum telah terlaksana. Dengan mengetahui proporsi kurikulum yang
telah terlaksana seorang evaluatr dapat memberikan judgment apakah hasil belajar yang
diperoleh peserta didik adalah hasil belajar dari kurikulum yang sedang dilaksanakan
atau bukan.
3. Pendekatan Kriteria Mutually Adaptive
Evaluasi yang menggunakan pendekatan ini dalam pengembangan kriterianya memakai
sumber gabungan. Menggunakan kriteria baik yang dikembangkan dari karakteristik
kurikulum yang dijadikan evaluan maupun dari luar. Kriteria dari luar kurikulum dapat
berasal dari suatu pandangan teoritis tertentu seperti pada pengembangan kriteria
berdasarkan pendekatan pre-ordinate.
Dalam studi mengenai implementasi kurikulum, pendekatan gabungan ini (mutually
adaptive) dikembangkan oleh para peneliti dari Rand –McNally Corporation. Seperti
dilaporkan Bermandan McLaughlin (1976:350) berdasarkan pendekatan ini, keberhasilan
suatu implementasi kurikulum diukur menurut kondisi-kondisi berikut:
1. Keberhasilan yang dihayati mereka yang terlibat dalam pengembangan kurikulum
(perceived success)
2. Perubahan perilaku baik dalam jenis maupun dalam besarnya yang terjadi pada para
guru dan pelaksana administrative sebagaimana dinyatakan oleh para pengembang
kurikulum.
3. Fidelity implementasi yang menyatakan seberapa jauh kurikulum sebagai rencana
telah dilaksanakan dalam bentuk kurikulum sebagai kegiatan.
Menurut Leinhardt (1977:227) karakteristik kurikulum tersebut ialah:
1. Menyediakan lingkungan yang adaptif bagi kebutuhan pendidikan siswa
2. Kurikulum tersebut diorganisasikan dan dikemukakan sedemikian rupa unruk
mengajarkan dan memperkuat (reinforce) keterampilan dasar kognitif
3. Siswa melakukan control dan pengaturan sendiri untuk apa yang dipelajarinya
asalkan masih dalam konteks kurikulum.
4. Kriteria dari Lapangan (Proses)
Sama halnya dengan pendekatan gabungan, pendekatan proses dalam evaluasi
kurikulum dapat dikatakan masih baru jika dibandingkan dengan dua pendekatan
lainnya (pre-ordinate dan fidelity). Pendekatan proses tumbuh dan berkembang menjadi
suatu pendekatan penting dalam evaluasi kurikulum dan merupakan konsekuensi dari
pandangan baru terhadap evaluasi dan penggunaan metode yang dikembangkan dari
“naturalistic inquiry” atau kualitatif dari aliran filsafat fenomenologi.
Salah satu karakteristik pendekatan proses yang paling menonjol ialah kriteria yang
digunakan untuk evaluasi tidak dikembangkan sebelum evaluator berada di lapangan.
Kriteria yang akan digunakan justru dikembangkan selama evaluator berada di lapangan.
Dengan demikian kriteria tersebut sangat berhubungan dengan kenyataan lapangan
yang ada. Karakteristik lain dari pengembangan kriteria berdasarkan pendekatan proses
ini ialah evaluator sangat peduli (concern) dengan masalah yang dihadapi oleh para
pelaksana kurikulum di lapangan (Stake, 1976b; MacDonald, 1974). Karakteristik ini
sebenarnyaadalah konsekuensi dari karakteristik yang pertama.

C. Ruang Lingkup Evaluasi Pembelajaran


Ruang lingkup evaluasi kurikulum berkaitan dengan proses pengembangan kurikulum
(curriculum development). Proses pengembangan kurikulum dimulai dari analisis terhadap
masalah yang berkembang dan akan berkembang di masyarakatdikaji dengan kualitas
masyarakat dan individu anggota masyarakat yang diperlukan suatu komunitas, masyarakat,
bangsa dan ummat manusia.
1. Evaluasi Pengembangan Kurikulum
Kurikulum harus selalu berorientasi ke masa depan berdasarkan keadaan yang ada pada
masa sekarang. Kurikulum juga harus mampu menggunakan pengalaman masa lampau
untuk menjawab tantangan yang dihadapinya. Secara konkrit tantangan tersebut adalah
hasil analisis terhadap masalah yang muncul di masyarakat dibandingkan dengan kondisi
ideal yang diharapkan agar masayarakat berkembang kea rah yang positif , produktif,
kreatif, aman, makmur dan hidup bahagia. Artinya, tantangan tersebut adlah hasil
“judgment” antara kenyataan yag ada di masyarakat dengan kondisi ideal yang
diharapkan.
2. Ruang Lingkup Evaluasi Kurikulum Pada Tingkat Nasional
Peraturan Menteri Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi menetapkan Standar Isi
dan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Dalam Standai Isi tercakup
- Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum
- Beban Belajar
- Kalender Pendidikan

Ketiga ketetapan yang terkait dengan Standar Isi ini merupakan dasar kurikulum yang
berlaku secara nasional. Artinya, setiap satuan pendidikan yang mengembangkan
kurikulum untuk satuan pendidikan tersebut harus memperhatikan ketetapan mengenai
Standar Isi. Kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan tidak boleh
mengurangi apa yang ada pada Standar Isi tetapi boleh menambahnya.

3. Evaluasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Proses pengembangan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan merupakan suatu


fenomena baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dengan perubahan system
pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi yang kemudian diakomodasi dalam UU
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Guru, kepala sekolah, komite
sekolah berkewajiban mengembangkan kurikulum di bawah pengawasan dinas
pendidikan (Pasal 38 ayat (2)). Ketentuan Undang-Undang Nomor20 tahun 2003
tersebut diperkuat oleh PP Nomor 19 tahun 2005 pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) yang
menyatakan:

Ayat (1)

Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB,SMA/MA/SMALB,


SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, social budaya masyarakat setempat,
dan peserta didik.

Ayat (2)

Sekolah dan komite sekolah , madrasah dan komite madrasah mengembangkan


kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar
kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervise dinas kabupaten/kota
yang bertanggungjawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, dan
departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs,
MA, dan MAK.

Anda mungkin juga menyukai