Anda di halaman 1dari 36

EVALUASI KUKRIKULUM PEMBELAJARAN PAI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan

Kurikulum dan Materi PAI

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Tasman, M.A.

Disusun oleh:

Ilfikrotut Tamiya (22204011069)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2023
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk membahas terkait evaluasi kurikulum mulai dari definisi
evaluasi kurikulum, model-model evaluasi kurikulum, prinsip-prinsip evaluasi kurikulum
dan manfaat dilakukannya evaluasi kurikulum. Pembahasan pada artikel ini lebih banyak
dipengaruhi oleh ahli bidang evaluasi kurikulum, sehingga pendapat atau hasil pemikiran
tokoh menjadi rujukan penting dalam mengkaji pembahasan. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan library
research (penelitian pustaka). Objek kajian dalam makalah ini adalah literatur-literatur
seperti buku ataupun artikel yang mana masih terdapat korelasi dengan bahasan dalam
makalah ini yaitu evaluasi kurikulum dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Pada
kesimpulan pembahasan ini, penulis mendapatkan hasil bahwasannya Evaluasi kurikulum
PAI adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk menentukan taraf kemajuan suatu
pekerjaan di dalam pendidikan Islam yang dimaksudkan untuk memperoleh informasi
tentang pencapaian dan kemajuan siswa. Adapun model – model evaluasi kuriulum yaitu
measurement, congruence, illumination, dan educational system evaluation. Sedangkan
prinsip-prinsip evaluasi krikulum adalah tujuan tertentu, bersifat objektif, bersifat
komprehensif, kooperatif dan tanggungjawab dalam perencanaan efisien, dan
berkesinambungan. Dan manfaat dari evaluasi kurikulum adalah untuk memperbaiki
substansi/ isi kurikulum;, memperbaiki implementasi kurikulum, dan memperbaiki
pengaruh kurikulum.
Kata kunci: Evaluasi, Kurikulum, PAI
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai suatu pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran, kurikulum


harus benar-benar siap untuk digunakan. Sering dijumpai dokumen
kurikulum yang dianggap siap ternyata dalam pengimplementasiannya
mengalami kesulitan bahkan dikatakan gagal. Yang menjadi pertanyaan
adalah apakah dokumen kurikulum tersebut sebelumnya telah mengalami
evaluasi formatif atau belum? Ini menjadi pertanyaan penting karena
kurikulum merupakan inti dari pembelajaran, jika kurikulumnya saja masih
belum siap maka tidak dapat berharap terlalu banyak pada
pengimplementasiannya nanti. Ini dapat terjadi karena kekurangpahaman dari
para pengembang kurikulum mengenai pentingnya evaluasi kurikulum.
Untuk itu, dalam Artikel ini akan dibahas mengenai pentingnya evaluasi
kurikulum dilihat dari manfaat yang diberikannya dan fungsi dari evaluasi
kurikulum itu senidiri.1
Untuk membatasi sebuah pembahasan, penulis susun sebuah
kerangka rumusan masalah yang terdiri dari definisi evaluasi kurikulum,
model evaluasi kurikulum, prinsip-prinsip evaluasi kurikulum, fungsi
evaluasi kurikulum. Dari kerangka tersebut nantinya dibahas secara rinci
untuk mendapatkan hasil penelitian yang dapat digunakan dalam evaluasi
kurikulum.
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Evaluasi Kurikulum PAI ?

2. Bagaimana Model-model Evaluasi Kurikulum PAI ?

3. Apa Saja Prinsip-prinsip Evaluasi Kurikulum PAI ?

4. Apa Manfaat Evaluasi Kurikulum PAI ?

5. Apa Tujuan Evaluasi Kurikulum PAI ?

1
Eli Fitrotul Arofah, “Evaluasi Kurikulum Pendidikan,” Tawadhu 5, no. 2 (2021): 218.
6. Apa Kriteria evaluasi kurikulum PAI; ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui Pengertian Evaluasi Kurikulum PAI

2. Mengetahui Model-model Evaluasi Kurikulum PAI

3. Mengetahui Prinsip-prinsip Evaluasi Kurikulum PAI

4. Mengetahui Manfaat Dilakukan Evaluasi Kurikulum PAI

5. Mengetahui Tujuam Dilakukan Evaluasi Kurikulum PAI

6. Mengetahui Kriteria Dilakukan Evaluasi Kurikulum PAI

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif


dengan menggunakan pendekatan library research (penelitian pustaka).
Objek kajian dalam makalah ini adalah literatur-literatur seperti buku
ataupun artikel yang mana masih terdapat korelasi dengan bahasan dalam
makalah ini yaitu evaluasi kurikulum dalam pembelajaran Pendidikan
Agama Islam.
Teknik analisis data menggunakan teknik reduksi data yaitu teknik
yang dilakukan dengan cara memilih tema dan merangkum sehingga
memiliki makna yang mampu dijelaskan.2 yang mana, peneliti memilih hal-
hal yang penting yang berkaitan dengan evaluasi kurikulum dalam
pembelajaran Pendidikan Agama Islam.

2
Helaluddin and Hengki Wijaya, Analisis Data Kualitatif (Makassar: Sekolah Tinggi
theologia Jaffray, 2019).
PEMBAHASAN

A. Pengertian Evaluasi Kurikulum PAI

Menurut Oemar Hamalik evaluasi adalah sebuah sistem yang terdiri dari
komponen-komponen masukan, proses, dan produk. Dimana komponen
masukan terdiri dari beberapa aspek yaitu siswa yang dinilai, perlengkapan
instrumen yang digunakan dalam penilaian, biaya yang disediakan dan
informasi tentang mahasiswa. Sedang komponen proses meliputi program
penilaian, prosedur dan teknik penilaian, teknik penganalisaan data, dan
kriteria penentuan kelulusan. Dan komponen produk merupakan hasil-hasil
penilaian yang berguna untuk pembuatan keputusan dan sebagai bahan
balikan. 3
Menurut Grayson (1978), kurikulum adalah suatu perencanaan untuk
mendapatkan keluaran (out-comes) yang diharapkan dari suatu pembelajaran.
Perencanaan tersebut disusun secara terstruktur untuk suatu bidang studi,
sehingga memberikan pedoman dan instruksi untuk mengembangkan
strategipembelajaran (Materi di dalam kurikulum harus diorganisasikan
dengan baik agar sasaran (goals) dan tujuan(objectives) pendidikan yang
telah ditetapkan dapat tercapai.4
Sedangkan Kurikulum adalah seperangkat atau suatu sistem rencana dan
pengaturan mengenai bahan pembelajaran yang dapat di pedomani dalam
aktivitas belajar mengajar. intinya krikulum adalah rencana pembelajaran.
oleh karena itu,; semua pihak yang terlibat dan berkaitan langsung dengan
fungsi kurikulum ini wajib memahaminya.
Maka evaluasi kurikulum adalah usaha sistematis yang di lakukan untuk
memperbaiki kurikulum yang masih dalam tahap pengembangan maupun
kurikulum yang telah dilaksanakan agar menjadi lebih siap di masa yang

3
Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006).
4
S. Nasution Asas-Asas Kurikulum (Bandung : Citra Aditya Bakti 1993 hal.9
akan datang.
Evaluasi dan kurikulum merupakan dua disiplin yang memiliki hubungan
sebab akibat. Hubungan antara evaluasi dan kurikulum bersifat organis, dan
prosesnya secara evolusioner.5 Evaluasi merupakan kegiatan yang luas,
kompleks dan terus menerus, untuk mengetahui proses dan hasil pelaksanaan
sistem pendidikan dalam mencapai tujuan yang ditentukan.
Evaluasi kurikulum sebagai usaha sistematis mengumpulkan informasi
mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai
nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks tertentu. Evaluasi
kurikulum dapat mencakup keseluruhan kurikulum atau masing-masing
komponen kurikulum seperti tujuan, isi, atau metode pembelajaran yang ada
dalam kurikulum tersebut.
Evaluasi kurikulum memegang peran penting baik dalam penentuan
kebijakansanaan pendidikan pada umumnya, maupun dalam pengambilan
keputusan dalam kurikulum. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan
oleh para pemegang kebijaksanaan pendidikan dan para pengembang
kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem
pendidikan dan pegembangan model kurikulum yang digunakan. Hasil-hasil
evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan
para pelaksana pendidikan lainnya, dalam memahami dan membantu
perkembangan siswa, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat
bantu pelajaran, cara penilaian, serta fasilitas pendidikan lainnya.6
Dengan demikian maka dapat disimpulkan sistem penilaian atau evaluasi
merupakan komponen atau bagian terpenting dari sistem pembelajaran. Oleh
karena itu pengadaan evaluasi merupakan keharusan untuk dilaksanakan. Hal
ini berfungsi sebagai pusat informasi tentang proses pembelajaran maupun
keberhasilan studi para mahasiswa. Sedang tujuan dari diadakannya evaluasi
adalah sebagai pengidentifiaksian apakah mahasiswa sudah mampu dalam
pengetahuan, pemahaman dan penguasaan bahan yang disajikan dalam mata
kuliah.

5
Suharsimi Arikunto dan Cepe Safrudin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan
6
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah,(Bandung: Sinar
Baru Algesindo, 1996), hal. 172
B. Model-model Evaluasi Kurikulum PAI
Secara garis besar, berbagai konsep atau model evaluasi kurikulum yang
telah dikembangkan selama ini dapat digolongkan ke dalam empat rumpun
model yaitu measurement, congruence, illumination, dan educational system
evaluation.
1. Measurement
Model ini menitik beratkan kegiatan pengukuran perilaku
siswa untuk mengungkapkan perbedaan individual atau kelompok.
Hasil evaluasi digunakan terutama untuk keperluan seleksi siswa,
bimbingan pendidikan dan perbandingan efektivtas antara satu atau
dua program atau metode pendidikan. Obyek evaluasi dititik beratkan
pada hasil belajar, terutama dalam aspek kognitif dan yang dapat
diukur dengan alat evaluasi yang objektif dan dapat dibakukan.

Jenis data yang dikumpulkan dalam evaluasi adalah data


obyektif khususnya skor hasil tes. Dalam kegiatan evaluasi, cenderung
ditempuh pendekatan berikut:

a) Menempatkan kedudukan setiap siswa dalam kelompoknya


melalui pengembangan norma kelompok dalam evaluasi hasil
belajar.
b) Membandingkan hasil belajar antara dua atau lebih kelompok
yang menggunakan program/metode pengajaran yang berbeda-
beda, melalui analisis secara kuantitatif.
c) Teknik evaluasi yang digunakan terutama tes yang disusun
dalam bentuk obyektif, yang terus dikembangkan untuk
menghasilkan alat evaluasi yang reliabel dan valid.
2. Congruence
Model ini menekankan pada pemeriksaan kesesuaian tujuan
dan hasil belajar, untuk melihat sejauh mana perubahan hasil
pendidikan yang terjadi. Fungsinya untuk penyempurnaan
bimbingan siswa. Obyeknya hasil belajar siswa kognitif,
psikomotor dan afektif.

Dalam kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan


berikut:

a) Menggunakan pre dan post assisment dengan menempuh


langkah-langkah pokok sebagai berikut: penegasan tujuan,
pengembangan alat evaluasi, dan penggunaan hasil evaluasi.
b) Analisis hasil evaluasi dengan bagian demi bagian.
c) Teknik evaluasi mencakup tes dan teknik-teknik evaluasi
lainnya yang cocok untuk menilai berbagai jenis perilaku yang
terkandung dalam tujuan.
d) Kurang menyetujui diadakannya evaluasi perbandingan antara
dua atau lebih program
3. Illumination
Model iluminatif merupakan studi pelaksanaan program ,
pengaruh lingkungan, pengaruh program terhadap hasil belajar,
fungsinya untuk penyempurnaan program. Obyeknya adalah latar
belakang program, proses pelaksanaan, hasil belajar, kesulitan
yang dialami.

Jenis data yang dikumpulkan pada umumnya data subyektif


(judgment data). Kegiatan evaluasi cenderung ditempuh
pendekatan berikut:

a) Menggunakan prosedur yang disebut progressife focussing


dengan langkah pokok: orientasi, pengamatan yang lebih
terarah, analsisi sebab-akibat.
b) Bersifat kualitatif terbuka, dan fleksibel efektif.
c) Teknik evaluasi mencakup observasi, wawancara, angket,
analisis dokumen dan bila perlu mencakup pula tes.
4. Educational Eystem evaluation.
Model ini untuk membandingkan antara performance dan
kriteria untuk setiap komponen program. Fungsinya untuk
penyempurnaan program. Obyek evaluasi mencakup input (bahan,
rencana, peralatan) proses dan hasil yang dicapai dalam arti yang
lebih luas. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data obyektif
maupun data subjektif.

Model-Model Evaluasi Kurikulum juga terbagi sebagai berikut :

1. Model Evaluasi Kuantitatif

Ada beberapa model evaluasi yang tersedia untuk dipilih para


evaluator sesuai pertimbangan pekerjaan yang dilakukan. Pemilihan
ini perlu karena setiap model memiliki sisi unggul dan sisi lemah,
sehingga dua sisi itulah yang harus dipahami oleh para evaluator.
Sekalipun demikian bukan berarti tidak ada kemungkinan bagi
evaluator untuk mengembangkan modelnya sendiri, karena model-
model yang akan dibahas disini merupakan model yang banyak
digunakan bukan model yang satu- satunya ada.

Adapun ciri yang menonjol dari evaluasi kuantitatif adalah


penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai
konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme. Sehingga
model-model evaluasi kuantitatif yang ada menekankan peran penting
metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya dari
modelmodel kuantitatif adalah tidak digunakannya pendekatan proses
dalam mengembangkan kriteria evaluasi. 7

Berikutnya model-model kuantitatif ini sama-sama memiliki


fokus evaluasi yaitu pada dimensi kurikulum sebagai hasil belajar.
Dimensi ini (hasil belajar) adalah merupakan kriteria pokok bagi
modelmodel kuantitatif. Adapun diantaramodel-model evaluasi
7
Mulyono, Yatin. 2017. Sardimi, Ayatusa’adah, dan Nanik Lestariningsih, Implementasi
Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Biologi Terintegrasi Keislaman Di Madrasah Aliyah (MA):
Model Evaluasi CIPPO, Jurnal Transformatif, vol. 1, no. 2 Oktober.
kurikulum yang terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah
sebagai berikut:

a) Model Black Box Tyler Model Tyler dinamakan Black Box


karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh
pengembangnya yaitu Tyler. Walaupun model ini tergolong tua
tapi masih banyak digunakan dalam proses evaluasi kurikulum,
sehingga masih dianggap aktual. Model ini dibangun atas dua
dasar, yaitu evaluasi yang ditunjukkan pada peserta didik dan
bahan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peserta
didik dan saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum itu
sendiri.8 Fokus evaluasi ini sebenarnya hanya berhubungan pada
dimensi belajar.9

Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler


adalah sebagai berikut:

1) Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi.


Tujuan kurikulum yang dimaksud disini adalah model
tujuan behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah
dikembangkan sejak kurikulum 1975. Adapun untuk
kurikulum KTSP saat ini maka harus mengembangkan
tujuan behavioral ini jika berkenaan dengan model
kurikulum berbasis kompetensi.10

2) Menentukan situasi dimana peserta didik mendapatkan


kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang
berhubungan dengan tujuan. Dari langkah ini diharapkan
evaluator memberikan perhatian dengan seksama supaya

8
Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung, PT. Rosda Karya,
2014), hlm 281.
9
Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2009), hlm. 188.
10
Ibd., hlm. 190-191
proses pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil
belajar yang dirancang kurikulum.11

3) Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk


megukur tingkah laku peserta didik. Alat evaluasi ini dapat
berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara dan
sebagainya. Adapun instrument evaluasi ini harus teruji
validitas dan reliabilitasnya.12

Inilah tiga prosedur dalam evaluasi model Tyler.


Adapun kelemahan dari model Tyler ini adalah tidak
sejalan dengan pendidikan karena fokus pada hasil belajar
dan mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar
adalah produk dari proses belajar. Sehingga evaluasi yang
mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen
penting dari kurikulum.

Adapun kelebihan dari model Tyler ini adalah


kesederhanaanya. Evaluator dapat memfokuskan kajian
evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu
dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses
tidak menjadi fokus evaluasi.7

b. Model Teoritik Taylor dan Maguire

Model evaluasi kurikulum Taylor dan Maguire ini lebih


menitik beratkan pada pertimbangan teoritik suatu model
evaluasi kurikulum.13 Dengan pertimbangan teoritik, Taylor dan
Maguire ingin menerapkan apa yang seharusnya terjadi pada
proses pelaksanaan kurikulum. Dalam melaksanakan evaluasi
kurikulum sesuai model teoritik Taylor dan Maguire meliputi
dua hal, yaitu: pertama, mengumpulkan data objektif yang
11
Ibid.
12
Ibid., 190-193.
13
Ibid., hlm. 194
dihasilkan dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan,
lingkungan, personalia, metode, konten, hasil belajar langsung
maupun hasil belajar dalam jangka panjang. Dikatakan data
objektif karena mereka berasal dari luar pertimbangan evaluator.
Kedua, pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan
individual terutama mengenai kualitas tujuan, masukan dan hasil
belajar.14 Adapun cara kerja model evaluasi Taylor dan
Maquaire ini adalah sebagai berikut:15

1) Dimulai dari adanya tekanan/keinginan masyarakat


terhadap pendidikan. Tekanan dan tuntutan masyarakat ini
dikembangkan menjadi tujuan. Kemudian tujuan dari
masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan yang ingin
dicapai kurikulum. Adapun dalam pengembangan KTSP
maka tekanan dari masyarakat ini dikembangkan pada
tingkat Nasional dalam bentuk Standar Isi dan Standar
Kompetensi Kelulusan. Dari dua standar ini maka satuan
pendidikan mengembangkan visi dan tujuan yang hendak
dicapai satuan pendidikan. Kemudian tujuan satuan
pendidikan tersebut menjadi tujuan kurikulum dan tujuan
mata pelajaran.

2) Evaluator mencari data mengenai keserasian antara


tujuan umum dengan tujuan behavioral. Maka tugas
evaluator disini mencari relevansi antara tujuan satuan
pendidikan, kurikulum dan mata pelajaran yang berbeda
dalam tingkattingkat abstraksinya. Dalam tahap ini
evaluator harus menentukan apakah pengembagan tujuan
behavioral tersebut membawa gains atau losses
dibandingkan dengan tujuan umum ditahap pertama.

14
Ibid., hlm. 194-195.
15
Ibid., hlm. 195-199.
3) Penafsiran tujuan kurikulum. Pada tahap ini tugas
evaluator adalah memberikan pertimbangan mengenai
nilai tujuan umum pada tahap pertama. Adapun dua
criteria yang dikemukan oleh Taylor dan Maguaire dalam
memberi pertimbangan adalah: Pertama, kesesuaian
dengan tugas utama sekolah. Kedua, tingkat pentingnya
tujuan kurikulum untuk dijadikan program sekolah.
adapun hasil dari kegiatan ini adalah sejumlah tujuan
behavioral yang sudah tersaring dan akan dijadikan tujuan
yang akan dicapai oleh mata pelajaran yang bersangkutan.
4) Mengevaluasi pengembangan tujuan menjadi
pengalaman belajar. Tugas evaluator disini adalah
menentukan hasil dari suatu kegiatan belajar. Menelaah
apakah hasil belajar yang telah diperoleh dapat digunakan
dalam kehidupan dimasyarakat. Karena kurikulum yang
baik adalah kurikulum yang menjadikan hasil belajar yang
diperoleh peserta didik dapat digunakan dalam
kehidupannya di masyarakat.

5) Mengevaluasi keterhubungan antara strategi yang


dikembangkan dalam dokumen dengan strategi yang
dikembangkan dalam realita interaksi. Artinya evaluator
harus mencari data strategi yang mampu memajukan gerak
pencapaian tujuan sebagai bentuk bukti nyata bahwa
strategi tersebut layak digunakan. Kelebihan dari model
ini adalah memberikan kesempatan pada evaluator untuk
menerapkan kajian secara komprenhensip. Baik nilai
maupun arti kurikulum dapat dikaji dengan menggunakan
model ini.

Adapun masalahnya bila diterapkan di Indonesia


bahwa model ini hanya diterapkan di tingkat satuan
pendidikan. Sehingga keseluruhan proses pengembangan
kurikulum tingkat nasional tidak dapat dievaluasi dengan
model ini.

c. Model Pendekatan Sistem Alkin Model evaluasi yang


dikembangkan Alkin termasuk model yang unik dimana ia
selalu memasukkan unsur pendekatan ekonomi mikro dalam
pengerjaan evaluasinya. Alkin memasukkan variabel
perhitungan ekonomi. Adapun dua hal yang harus diperhatikan
oleh evaluator dalam model ini adalah pengukuran dan control
variable. Sistem Alkin tetap memakai tiga komponen pembagian
(masukan, perantara, dan keluaran) seperti dalam pendekatan
sistem pada umumnya.16

Alkin juga mengenal sistem internal dalam yang


merupakan interaksi antar komponenyang berhubungan
langsung dengan pendidikan, juga sistem eksternal3luar yang
memiliki pengaruh atau dipengaruhi oleh pendidikan. Model
Alkin dikembangkan berdasarkan empat asumsi. Apabila
keempat asumsi ini sudah dipenuhi maka model Alkin dapat
digunakan. Adapun keempat asumsi itu yaitu:17

a) Variable perantara adalah satu-satunya variable yang


dapat dimanipulasi.

b) Sistem luar tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran


sistem (persekolahan)

c) Para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki kontrol


mengenai pengaruh yang diberikan sistem luar terhadap
sekolah.

d) Faktor masukan mempengaruhi aktivitas faktor perantara


dan pada gilirannya faktor perantara berpegaruh terhadap
faktor keluaran.

16
Ibid., hlm. 200.
17
Ibid., hlm. 202.
Alkin juga mengemukakan bahwa ada lima jenis evaluasi,
yaitu: sistem assessment, memberikan informasi tentang
keadaan atau posisi dari suatu sistem. program planning.
membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan
berhasil memenuhi kebutuhan program. program
implementation, menyiapkan informasi apakah suatu program
sudah diperkenalkan kepada kelompok terntentu yang tepat
sebagaimana yang direncanakan. program improvment,
memberikan informasi bagaimana sebuah sistem bekerja
sekaligus berfungsi. program certification, memberikan
informasi tentang nilai atau manfaat suatu program.18

Adapun kelebihan dari model ini adalah keterikatannya


dengan system. Dengan model pendekatan system ini kegiatan
sekolah dapat diikuti dengan seksama mulai dari variable-
variable yang ada dalam komponen masukan, proses dan
keluaran. Komponen masukan yang dimaksudkan adalah semua
informasi yang berhubungan dengan karakteristik peserta didik,
kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya, kepribadian,
kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan
dan sebagainya.19

Yang dimaksud dengan proses disini meliputi factor


perantara yang merupakan kelompok variable yang secara
langsung memperngaruhi keluaran. Adapun yang masuk dalam
variable perantara ini diantaranya adalah rasio jumlah guru
dengan peserta didik, jumlah peserta didik dalam kelas,
pengaturan administrasi, penyediaan buku bacaan, prosedur
pengajaran dan sebagainya. Adapun keluaran peserta didik
adalah setiap perubahan yang terjadi pada diri peserta didik
sebagai akibat dari pengalaman belajar yang diperolehnya.

18
Zainal Arifin, hlm. 286.
19
Hamid Hasan, hlm. 205.
Perubahan ini harus diikuti sejak peserta didik masuk
sistem hingga keluar system. Perubahan harus diukur meliputi
setiap aspek perubahan yang mungkin terjadi termasuk
didalamnya kemampuan peserta didik dalam melanjutkan
pelajaran ditingkat pendidikan yang lebih tinggi, pada waktu
memasuki lapangan kerja, dalam melakukan pekerjaan bahkan
termasuk aktifitas dalam kehidupna di masyarakat. Dari uraian
diatas kita temukan kelemahan dari model Alkin adalah
keterbatasannya dalam fokus kajian yaitu yang hanya fokus
pada kegiatan persekolahan. Sehingga model ini hanya dapat
digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap
dilaksanakan disekolah.20

d. Model Countenance Stake Model countenance adalah model


pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan oleh Stake.
Stake mendasarkan modelnya ini pada evaluasi formal. Evaluasi
formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang
tidak terlibat dengan evaluan. Model countenance Stake terdiri
atas dua matriks. Matrik pertama dinamakan matriks Deskripsi
dan yang kedua dinamakan matriks Pertimbangan.21
Penjelasannya sebagai berikut:22

1) Matrik Deskripsi Kategori pertama dari matrik deskripsi


adalah sesuatu yang direncanakan (intent) pengembang
kurikulum dan program. Dalam konteks KTSP maka
kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan
oleh satuan pendidikan. Sedangkan program adalah silabus
dan RPP yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah
observasi, yang berhubungan dengan apa yang
sesungguhnya sebagai implementasi dari apa yang
diinginkan pada kategori pertama. Pada kategori ini evaluan
20
Ibid., hlm. 206.
21
Ibid
22
Ibid., hlm. 208-210.
harus melakukan observasi mengenai antecendent, transaksi
dan hasil yang ada di satu satuan pendidikan atau unit
kajian yang terdiri atas beberapa satuan pendidikan.

2) Matrik Pertimbangan Dalam matrik ini terdapat kategori


standar, pertimbangan dan fokus antecendent, transaksi,
autocamo (hasil yang diperoleh). Standar adalah criteria
yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program
yang dijadikan evaluan. Berikutnya adalah evaluator
hendaknya melakukan pertimbangan dari apa yang telah
dilakukan dari kategori pertama dan matrik deskriptif.
Adapun dua hal lain yang harus diperhatikan dalam
menggunakan model countenance adalah contingency dan
congruence. Kedua konsep ini adalah konsep yang
memperlihatkan keterkaitan dan keterhubungan 12 kotak
tersebut.

Contingency terdiri atas contigency logis dan


contingency empiric. Contingency logis adalah hasil
pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan logis antara
kotak antecedence dengan traksaksi dan hasil. Kemudian
evaluator juga harus memberikan pertimbanganempiris
berdasarkan data lapangan.23

Evaluator juga harus memberikan pertimbangan


congruence atau perbedaan yang terjadi antara yang
direncanakan dengan yang terjadi dilapangan. Adapun
kelebihan dari model ini adalah adanya analisis yang rinci.
Setiap aspek dicoba dikaji kesesuainnya. Misalkan, analisis
apakah persyaratan awal yang direncanakan dengan yang
terjadi sesuai atau tidak? Hasil belajar peserta didik sesuai
tidak dengan harapan.

23
Ibid., hlm. 212.
e. Model CIPP Model ini dikembangkan oleh sebuah tim
yang diketuai oleh Stufflebeam. Sehingga sesuai dengan
namanya, model CIPP ini memiliki 4 jenis evaluasi yaitu:
evaluasi context (konteks), input (masukan), process
(proses), dan product (hasil).24 Adapun tugas evaluator dari
keempat jenis evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:25

1) Evaluasi Context Tujuan utama dari evaluasi context


adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan
evaluan. Evaluator mengidentifikasi berbagai factor
guru, peserta didik, manajemen, fasilitas kerja, suasana
kerja, peraturan, peran komite sekolah, masyarakat dan
factor lain yang mungkin berpengaruh terhadap kurikulum.
2) Evaluasi Input Evaluasi ini penting karena untuk
pemberian pertimbangan terhadap keberhasilan
pelaksnaan kurikulum. Evaluator menentukan tingkat
kemanfaatan berbagai factor yang dikaji dalam konteks
pelaksanaan kurikulum. Pertimbangan mengenai ini
menjadi dasar bagi evaluator untuk menentukan apakah
perlu ada revisi atau pergantian kurikulum.

3) Process Evaluasi proses adalah evaluasi mengenai


pelaksanaan dari suatu inovasi kurikulum. Evaluator
mengumpulkan berbagai informasi mengenai
keterlaksanaan implementasi kurikulum, berbagai
kekuatan dan kelemahan proses implementasi.
Evaluator harus merekam berbagai pengaruh variable
input terhadap proses.

4) Product Adapun tujuan utama dari evaluasi hasil


adalah untuk menentukan sejauh mana kurikulum yang

24
Mohamad Ansyar, Kurikulum: Hakikat, Fondasi, Desain, dan Pengembangan, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2015), hlm. 487.
25
Mohammad Ansyar, hlm. 487-488.
diimplementasikan tersebut telah dapat memenuhi
kebutuhan kelompok yang menggunakannya. Evaluator
mengumpulkan berbagai macam informasi mengenai
hasil belajar, membandingkannya dengan standard dan
mengambil keputusan mengenai status kurikulum
(direvisi, diganti atau dilanjutkan). Dari uraian diatas
diketahui bahwa model CIPP adalah model evaluasi
yang tidak hanya dilaksanakan dalam situasi inovasi
sedang dilaksanakan, tetapi justru model ini dilakukan
ketika inovasi akan dan belum dilaksanakan.

2. Model Evaluasi Ekonomi Mikro

Model ekonomi mikro pada dasarnya adalah model yang


menggunakan pendekatan kuantitatif. Model ini memiliki fokus
utama pada hasil. Levin adalah tokoh yang banyak bekerja dalam
model evaluasi ekonomi mikro. Menurut Levin ada empat model di
lingkungan ekonomi mikro yaitu cost-effectiveness, cost-benefit,
cost-utility, dan costfeasibility.

Dari keempat model ini maka model cost- effectiveness


dianggap lebih sesuai untuk evaluasi kurikulum. Evaluator yang
menerapkan model cost-effectiveness harus dapat membandingkan
dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang
digunakan untuk masing-masing program maupun hasil yang
diakibatkan oleh setiap program. Perbandingan hasil dari kedua
program tadi akan memberikan masukan bagi para pembuat
keputusan mengenai program mana yang lebih menguntungkan
dilihat dari hubungan antara dana dan hasil.26

Dalam mengukur hasil, digunakan suatu instrumen yang sudah


distandarisasi. Penggunaan instrumen standar penting karena hanya

26
R Ibrahim dan Masitoh, “Evaluasi Kurikulum “ dalam Kurikulum dan pembelajaran.
(Jakarta : Tim Pengembang MKDP FIP UPI, Rajawali Pers, 2011), hlm. 222.
dengan demikian perbandingan antara biaya dengan hasil dapat
dilakukan secara berimbang (fair). Di sini terlihat bahwa penerapan
model costeffectiveness menggunakan pendekatan pengembangan
kriteria preordinate. Dengan menggunakan kriteria pre-ordinate
karakteristik masing- masing kurikulum yang dibandingkan tidak
diperhitungkan.27

Oleh karena itu, Levin mengatakan bahwa model cost-


effectiveness hendakanya diterapkan untuk membandingkan dua
kurikulum atau program yang mempunyai tujuan identik atau
serupa. Apabila tidak, validitas perbandingan semakin
menimbulkan persoalan. Model evaluasi ekonomi mikro yang
kedua adalah cost-benefit. Berbeda dengan cost-effectiveness yang
menggunakan angka (score) sebagai unit pengukuran hasil belajar,
cost-benefit menggunakan unit uang dalam mengukur hasil. Berapa
besar uang yang diterima setelah seseorang bekerja untuk jangka
waktu tertentu sebagai akibat dari pendidikan yang dialaminya.

Perbedaan karakteristik kedua kurikulum yang dibandingkan,


baik perbedaan tujuan, proses, isi, dan lain sebagainya adalah
variable yang menjelaskan adanya perbedaan hasil belajar.28 Model
ketiga dalam kelompok model ekonomi mikro evaluasi kurikulum
adalah cost-utility. Pengertian utility menurut Levin adalah “the
estimated utility or value of their outcomes” dan bukan hasil
belajar. Pengertian utility yang dikemukakan Levin memberikan
peluang bagi evaluator untuk menggunakan baik data kuantitatif
maupun data kualitatif.29

Dengan peluang tersebut evaluator tidak dibatasi ruang


geraknya atas satu jenis data saja. Perkiraan-perkiraan dari para
pakar mengenai kegunaan dan nilai dari satu atau lebih program

27
Ibid.
28
Ibid., hlm. 223.
29
Ibid., hlm. 223-224.
dapat digunakan. Levin menganjurkan agar digunakannya skala
kegunaan (utility scale). Skala ini dapat bergerak dari 0 – 1 tapi
dapat pula bergerak dari 1 – 4, atau skala lainnya. Pokok utama
skala yang digunakan ialah bahwa setiap orang yang jadi
responden memberikan pendapat mereka berdasarkan skala yang
sama.30

Hal penting lainnya ialah bahwa skala penilaian tersebut diukur


pada tingkat pengukuran interval dan bukan ordinal. Dengan
demikian setiap orang yang menempatkan kegunaan ataupun nilai
suatu program menyadari bahwa jarak antara satu titik dengan titik
lainnya diasumsikan sama. Pengukuran pada tingkat interval
memberikan kemungkinan kepada evaluator untuk menggunakan
berbagai statistic dibandingkan pengukuran pada tingkat ordinal.
Levin menggunakan istilah “cardinal” untuk skala yang
dianjurkannya. Model terakhir dari kelompok mikro ekonomi ialah
yang dinamakan model cost-feasibility.

Berbeda dengan ketiga model terdahulu, model cost-feasibility


tidak berusaha mencari hubungan antara biaya dengan hasil
tertentu. Sesuai dengan namanya, model costfeasibility didesain
untuk menjawab pertanyaan evaluasi apakah biaya yang diperlukan
memang tersedia.31 Artinya, setelah ide suatu kurikulum
dirumuskan, perhitungan biaya untuk pelaksanaan kurikulum harus
dilakukan. Apabila lembaga atau departemen yang bersangkutan
memiliki biaya di masa mendatang, perhitungan biaya masa depan
perlu diperhitungkan agar kurikulum yang dikembangkan tersebut
mendapat jaminan dalam implementasinya.

Jangan sampai biaya yang tersedia hanya untuk satu atau dua
tahun pelaksanaan implementasi kurikulum sedangkan tahun-tahun
berikutnya dana untuk implementasi kurikulum tidak tersedia,
30
Ibid.
31
Ibid.
tidak cukup atau bahkan masih belum tahu sumbernya. Kalau
ketiga atau salah satu dari ketiga keadaan terakhir yang terjadi,
kontinuitas implementasi kurikulum tidak terjamin, terjadi
pemborosan dalam pengembangan kurikulum, dan kurikulum tidak
akan menghasilkan apa yang dikemukakan dalam ide kurikulum.

3. Model Evaluasi Kualitatif (Humanistik-Naturalistik)

a. Model Evaluasi Connoisseurship Model evaluasi kurikulum ini


dikembangkan oleh Elliot W. Eisner dan kemudian dinamakan
model evaluasi connoisseurship. Elliot W. Eisner dilahirkan pada
1933dan dibesarkan di Chicago. Ia mendapatkan gelar Magister of
Science bidang Art Education dari Illinois Institut Technology dan
Master of Arts bidang pendidikan seni dari University of Chicago
dan Ph.D dalam bidang pendidikan pada universitas yang sama.32

Berdasarkan bidangnya pada seni, evaluasi model ini


didasari oleh kegiatan Eisner dalam mengkritisi hasil karya seni
misalnya lukisan, opera dan film bahkan anggur. Model kritik
Eisner diadopsi pada dunia pendidikan dan melahirkan model baru
dalam mengevaluasi kurikulum yang disebut dengan model
kononurship dan kritisisme. “Eisner points out that educational
connoisseurship is the art of appreciating the educationally
significant”.

Eisner mengatakan menilai pendidikan merupakan salah


satu seni terhadap pendidikan.33 Ciri khas dari model ini, sebagai
model penelitian dengan pendekatan humanistic naturalistik,
evaluan berpartisipasi langsung sebagai observer pada proses
penelitiannya. Evaluan secara seksama dan teliti menganalisa pola
kerja siswa dan guru. Ciri lainnya pada model ini adalah

32
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 103.
33
Ibid.
penggunaan teknologi sebagai media di dalam penelitiannya
seperti penggunaan film, videotape, kamera dan audiotape.34

Walaupun model ini belum memiliki struktur penelitian


yang baku, akan tetapi model penelitian ini memiliki tiga tahap:
Tahap pertama disebut tahap deskriptif yaitu mendeskripsikan
seluruh pola pembelajaran dan aktivitas di dalam kelas, tahap
kedua yaitu interpretasi di mana evaluan mulai menginterpretasi
dan mengkritisi pada yang terjadi pada tahap pertama. Penjelasan
pada tahapan ini akan menimbulkan aksi, reaksi dan interaksi pada
apa yang diamati dan tahap ketiga adalah tahap evaluasi di mana
pada tahap ini evaluan akan memberikan pertimbangan dan
keputusan dari program tersebut.35

Pertimbangan dan keputusan yang dibuat oleh evaluan


didasarkan kepada kritik yang dibuat oleh evaluan sendiri
berdasarkan data yang diperoleh pada tahap pertama dan kedua.

b. Model Illuminative. Model ini pada awalnya diperkenalkan oleh


Hanley pada 1969, namun dikembangkan lebih lanjut oleh Parlett
dan Hamilton pada tulisan mereka yang berjudul Evaluation as
illumination: a new approach to study of innovatory programs.
Pada akhirnya kedua tokoh ini dikenal sebagai tokoh evaluasi yang
melahirkan model illuminatif. Banyak tokoh evaluasi lainnya yang
merujuk kepada Parlett dan Hamilton ketika menggunakan model
ini diantaranya Stenhouse dan Scrimshaw.36

Parlett dan Hamilton mengatakan bahwa model ini tidak


membatasi diri dalam pengumpulan datanya seperti pada evaluasi
tradisional. Model ini memiliki fokus pada deskripsi daripada

34
Ibid., hlm. 105.
35
Ibid.
36
Hamid Hasan, hlm. 233.
interpretasi angka dalam memprediksi penelitian. Parlett dan
Hamilton mengatakan bahwa model ini bertujuan:37

a) Menggunakan prosedur yang disebut Progressive Focussing


dengan langkah-langkah pokok; orientasi, pengamatan lebih
terarah, dan analisis sebab akibat.

b) Bersifat kualitatif-terbuka, dan fleksibel-elektif.

c) Teknik evaluasi mencakup; observasi, wawancara, angket,


analisis dokumen dan bila perlu juga mencakup pula tes.

Ada tiga tahapan dan metode dalam mengumpulkan data


dengan menggunakan model illuminatif yaitu:38 Pertama,
observasi. Pada tahap ini evaluan mengobservasi keseluruhan
program pendidikan diantaranya tujuan sekolah, metode dalam
belajar mengajar, materi yang digunakan, dan teknik evaluasi yang
dilakukan guru. Kedua, inkuiri. Pada tahap ini evaluan akan
memisahkan data penting dan yang tidak penting untuk dianalisa.
Pada tahap ini pula evaluan tidak hanya “mengetahui” program itu
berjalan tetapi mengapa program itu dapat berjalan. Untuk mencari
jawaban tersebut evaluan harus menghabiskan waktunya di
lapangan untuk meneliti. Ketiga, ekspalanasi. Pada tahap ini
evaluan tidak saja memberikan pertimbangan dan keputusan pada
hasil penelitiannya, tetapi memperkaya data tersebut dengan cara
menjelaskan apa yang terjadi dan mengapa itu bisa terjadi.

c. Model Responsive Stake Model kedua yang dikembangkan oleh


Stake untuk mengevaluasi kurikulum adalah model responsive.
Model ini digunakan untuk memberikan penegasan kepada
beberapa hal dengan ciri: deskripsi beberapa variabel yang tidak
selalu bisa diisolasi; data berasal dari hasil obsevasi personal;
37
Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran,
(Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 113.
38
Hamid Hasan, hlm. 235.
komparasi yang mungkin implisit daripada eksplisit; pentingnya
pemahaman tentang kasus studi itu sendiri; generalisasi sebagai
hasil pengalaman evaluator itu sendiri yang berasal dari
pengetahuan yang dialami peneliti; gaya laporan bernada
informal.39

Kegiatan evaluasi cenderung ditempuh pendekatan berikut:

a) Membandingkan performance program setiap dimensi program


dengan kriteria internal.
b) Membandingkan performance program dengan menggunakan
kriteria eksternal yaitu performance program yang lain.
c) Teknik evaluasi mencakup tes, observasi, wawancara, angket dan
analisis dokumen.

Dengan mempelajari model evaluasi kurikulum, kita dapat


memahami keunggulan dan kelemahan setiap model. Sehubungan dengan
model yang disarankan, untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh
tentang kurikulum yang sedang dikembangkan, model educational system
evaluation merupakan model yang paling tepat. Kelemahan masing-
masing model dapat ditanggulangi oleh model ini.40

Langkah-langkah untuk mengevaluasi kurikulum adalah dengan


menilai bahwa apakah suatu kurikulum tersebut memerlukan perencanaan
yang saksama dan sistematis. Ada dua tahap yang biasanya dilakukan
dalam menilai suatu kurikulum yakni tahap persiapan dan tahap
pelaksanaan. Tahap berikutnya adalah tahap pemanfaatan hasil penilaian
merupakan tahap tindak lanjut dari penilaian, sehingga tidak dimasukkan
kedalam tahap penilaian. 41

1. Tahap Perisapan

39
Mohammad Ansyar, hlm. 491-492.
40
Jumal Ahmad, “Evaluasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI)” (n.d.).2021
41
Sudjana, nana. (2002). Pembinaan dan pengembangan kurikulum di sekolah. Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Tahap persiapan pada dasarnya ,enentukan apa dan
bagaimana penilaian harus dilakukan. Artinya perlu rencana yang
jelas mengenai kegiatan penilaian termasuk alat dan sarana yang
diperlukan. Ada beberapa langkah yang harus dikerjakan dalam
tahap persiapan ini, yakni:42

a) Menyusun term of reference (TOR) penilaian, sebagai


rujukan pelaksanaan penilaian. Dalam TOR ini dijelaskan
target dan sarana penilaian, lingkup atau objek yang
dinilai alat dan instrument yang digunakan, prosedur dan
cara penilaian, organisasi yang menangani peniilaian serta
biaya pelaksanaan penilaian.
b) Klarifikasi,artinya mengadakan penelaahan perangkat
evaluasi seperti tujuan yang ingin dicapai, isi penilaian,
strategi yang digunakan, sumber data, instrument dan
jadwal penilaian.
c) Uji coba penilaian (try-out), yakni melaksanakan teknik
dan prosedur penilaian diluar sampel penilaian. Tijuan
utama adalah untuk melihat keterandalan alat-alat
penilaian dan melatih tenaga penilai termasuk logistiknya,
agar kualiatas data yang kelak akan diperoleh lebih
meyakinkan.

2. Tahap Pelaksanaan

Setelah uji coba dilaksanakan dan perbaikan atau


penyempurnaan prosedur, teknik serta instrument penilaian, langkah
berikutnya adalah melaksanakan penilaian.Beberapa kegiatan yang
dilakukan dalam tahap pelaksanaan ini antara lain :

a) Pengumpulan data di lapangan artinya melaksanakan


penilaian melalui instrument yang telah dipersiapkan

42
Sudjana, nana. (2002). Pembinaan dan pengembangan kurikulum di sekolah. Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
terhadap sumber data sesuai dengan program yang telah
dirncanakan.
b) Menyusun dan mengolah data hasil penilaian baik data yang
dihasilkan berdasarkan persepsi pelaksana kurikulum dan
kelompok sasaran kurikulum (siswa) maupun data
berdasarkan hasil amatan dan monitoring penilaian.
c) Menyusun deskripsi kurikulum tersebut, berdasarkan data
dan informasi yang diperoleh dari hasil penilaian. Deskripsi
tersebut pada hakikatnya adalah melukiskan kurikulum yang
seharusnya dilaksanakan serta membandingkannya dengan
hasil-hasil penilaian sehingga dapat diketahui
kesenjangannya.
d) Menentukan judgment terhadap deskripsi kurikulum
berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditentukan. Judgment
dapat menggunakan dua macam logika yaknilogika vertical
dan horizontal.
e) Menyusun laporan hasil penilaian termasuk rekomendasi-
rekomendasinya, implikasi pemecahan masalah dan tindakan
korektif bagi para pengambil keputusan
perbaikan/penyempurnaan kurikulum.

Disimpulkan bahwa evaluasi kurikulum memegang perenan


penting baik dalam penetuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya,
maupun pada pengambilan keputusan dalam kurikulum.

Hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang


kebjaksanaan pendidikan dan para pemegang kurikulum dalam memilih
dan menetapkan kebjaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan
pengembanagan model kurikulum Yang digunakan.

Hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru, kepala


sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya, dalam memahami dan
membantu perkembangan siswa, memilih bahan pelajaran, memilih
metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian dan fasilitas
pendidikan lainnya.

Adapun dimensi evaluasi kurikulum dibagi sebagai berikut :

1. Input           : lingkungan, guru, staff dan siswa


2. Process    : metodologi pembelajaran, system pemberian feedback,
sikap dalam pembelajaran dan gaya belajar mengajar.
3. Output         : ketercapaian tujuan pembelajaran siswa.

Dimensi waktu dilakukannya evaluasi kurikulum adalah :

1. Formatif

Dimensi ini dilaksanakan apabila kegiatan evaluasi diarahkan


untuk memperbaiki bagian tertentu dari kurikulum yang sedang
dikembangkan. Jadi sama sekali bukan untuk mengganti kurikulum
yang ada. Bagian yang diperbaiki itu dapat saja merupakan baigan dari
kurikulum sebagai ide, rencana, kegiatan ataupun hasil. Perbaikan itu
dapat pula dilakukan ketika melakukan evaluasi terhadap dimensi
kurikulum lainnya. fungsi formatif evaluasi dilaksanakan ketika
kurikulum tersebut belum dianggap sebagai sesuatu yang final.

2. Sumatif

Dimensi ini dilaksanakan apabila kurikulum telah dianggap selesai


pengembangannya dan telah dilakukan evaluasi terhadap hasil
kurikulum. Ada dua pendekatan sistem yang digunakan dalam evaluasi
sumatif, yaitu sistem tertutup dan sistem penerobosan. Pada sistem
evaluasi sistem tertutup, evaluasi berasal dari sekolah atau sistem
sekolah. Sedangkan dalam sistem terobosan, tujuan evaluasi kurikulum
adalah untuk mengadakan perbandingan.
C. Prinsip-Prinsip Evaluasi Kurikulum PAI

Adapun prinsip-prinsip evaluasi kurikulum PAI adalah sebagai berikut :

1. Tujuan tertentu, artinya semua program evaluasi kurikulum terarah


untuk mencapai yujuan yang telah ditentukan secara jelas dan spesifik.

2. Bersifat objektif, artinya evaluasi didasarkan pada keadaan yang


sebenarnya dan bersumber dari data yang nyata dan akurat.

3. Bersifat komprehensif, mencakuo semua dimensi atau aspek yang


terdapat dalam ruang lingkup kurikulum.

4. Kooperatif dan tanggungjawab dalam perencanaan. Pelaksanaan dan


keberhasilan suatu program evaluasi kurikulum merupakan tanggung
jawab bersama pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendidikan seperti
guru, kepala sekolah, orang tua dan siswa itu sendiri.

5. Efisien, terutama dalam penggunaan waktu, biaya, tenaga, dan peralatan


yang menjadi unsur penunjang.

6. Berkesinambungan, hal ini diperlukan mengingat tuntutan dari luar


sistem sekolah yang meminta diadakannya perbaikan kurikulum. 43

D. Manfaat Evaluasi Kurikulum PAI


Secara umum, manfaat evaluasi kurikulum dapat dikelompokkan
berdasarkan sasarannya, yaitu:

1. Bagi guru, evaluasi berguna untuk menilai sejauh mana proses


pembelajaran yang telah dilaksanakan, apakah berhasil atau tidak,

2. Bagi pengguna Kebijakan, evaluasi kurikulum berguna untuk menilai


sejauh mana kurikulum itu telah dilaksanakan oleh semua sekolah,
apakah berhasil atau tidak,

3. Bagi orang tua dan masyarakat, evaluasi kuriklum berguna untuk


menilai dan mengukur sejauh mana kurikulum yang telah dilaksanakan

Rahayu Juwarini, “Evaluasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam”, Paper (Online), dalam
43

www.academia.edu, diakses 26 April 2020.


itu menunjukkan hasil nyata sesuai dengan harapan dan aspirasi para
orangtua dan masyarakat.44

Selain itu, ada juga pendapat lain mengenai manfaat daripada


evaluasi kurikulum, yaitu sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui sejauh mana keuntungan dan kelemahan dari


tujuan yang telah dicapai,

2. Untuk mengambil keputusan antara menerima, merevisi atau


menolak program yang sudah dibuat,

3. Untuk menyaring data guna mendukung keputusan yang diambil.

Sedangkan menurut Dr. Sukiman manfaat evaluasi kurikulum


meliputi :

1. Memperbaiki substansi/ isi kurikulum

2. Memperbaiki implementasi kurikulum

3. Memperbaiki pengaruh kurikulum

E. Tujuan Evaluasi Kurikulum PAI


Tujuan evaluasi kurikulum mecakup dua hal yaitu : pertama, evaluasi
digunakan untuk menilai efektifitas program. Kedua, evaluasi dapat
digunakan sebagai alat bantu dalam pelaksanaan kurikulum (pembelajaran).
Tujuan dari evaluasi kurikulum adalah penyempurnaan kurikulum dengan
jalan mengungkapkan proses plaksanaan kurikulum yang telah berhasil
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi kurikulum dimaksudkan
untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai
kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi adalah efektivitas, efesinsi,
relavansi, dan kelayakan (feasibility) program. Diadakanya evaluasi
kurikulum , menurut Ibrahim (2006) dimaksudkan untuk keperluan :

1. Perbaikan Program

44
Eli Fitrotul Arofah, “Evaluasi Kurikulum Pendidikan,” Tawadhu 5, no. 2 (2021): 218.
Yaitu peranan evaluasilebih bersifat konstruktif, karena
informasi hasil evaluasi dijadikan masukan bagi perbaikan yang
diperlukan didalam program kurikulum yang sedang dikembangkan.
Disini evaluasi kurikulum lebih merupakan kebutuhan yang datang
dari dalma sistem itu sendiri karena evaluasi itu dipandang sebagai
faktor yang memungkinkan dicapainya hasil pengembangan yang
optimal dari sistem yang bersangkutan.

2. Pertanggungjawaban Kepada Berbagai Pihak

Setelah pengembangan kurikulum dilakukan, perlu adanya


semacam pertanggungjawaban dari pihak pengembang kurikulum
kepada pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak yang dimaksud
mencakup pihak yang mensenposori kegiatan pengembangan
kurikulum tersebut maupun pihak yang akan menjadi konsumen dari
kurikulum yang telah dikembangkan.

Dengan kata lain, pihak-pihak tersebut mencakup pemerintah,


masyarakat, orang tua, pelaksana pendidikan, dan pihak-pihak lainnya
yang ikut mensponsori kegiatan pengembangan kurikulum yang
bersangkutan. Bagi pihak pengembang kurikulum, tujuan yang kedua
ini tidak dipandang sebagai suatu kebutuhan dari dalam melainkan
lebih merupakan suatu keharuasan dari luar. Sekalipun demikian hal
ini tidak biasa kita hindari karena persoaln ini mencakup
pertanggungjawaban sosial, ekonomi dan moral, yang sudah
merupakan suatu konsekuensi logis dalam kegiatan pembharuan
pendidikan.

Dalam mempertanggungjawabkan hasil yang telah dicapainya,


pihak pengembang kurikulum perlu mengemukakan kekuatan dan
kelemahan dari kurikulum yang sedang dikembangkan serta usaha
lanjt yang diperlukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan jik ada,
yang masih terdapat. Untuk menghasilkan informasi mengenai
kekuatan dan kelemahan tersebut di atas itulah diperlukan kegiatan
evaluasi.

3. Penentuan Tindak Lanjut Hasil Pengembangan

Tindak lanjut hasil pengembangan kurikulum dapat berbentuk


jawaban atas dua kemungkinan pertanyaan : pertama, apakah
kurikulum baru tersebut akan atau tidak akan disebar luaskan kedalam
sistem yang ada? Kedua, dalam kondisi yang bagaimana dan denga
cara yang bagaimana pula kurikulum baru tersebut akan
disebarluasakan kedalam sistem yang ada? Ditinjau dari proses
pengembangan kurikulum yang sudah berjalan, pertanyaan
pertama,dipandang tidak tepat untuk diajukan apada akhir fase
perkembanagn.

Pertanyaan tersebut hanya memungkinkan memiliki dua jawaban


yang diberikan itu adalah tidak. Jika hal ini terjadi, kita akan
dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan : biaya, tenaga,
dan waktu yang telah dikerahkan selama ini ternyata terbuang dengan
percuma, peserta didik telah menggunakan kurikulum baru tersebut
selama fase pengembanagan telah terlanjur dirugikan ; sekolah-
sekolah dimana proses pengembangan itu berlangsug harus kembali
menyesuaikan diri lagi kepda cara lama, dana kan timbul sikap
skeptis dikalangan orang tua dan masyarakat terhadap perubahan
pendidikan dalam bentuk apapun.

Pertanyaan kedua, dipandang lebih tepat untuk diajukan pada akhir


fase penegmbangan kurikulum. Pertanyaan tersebut
mengimplikasikan sekurang-kurangnya tiga anak pertanyaan, aspek-
aspek mana dari kurikulum tersebut yang masih perlu diperbaiki
ataupun disesuaikan, strategi penyebaran yang bagaimana sebaiknya
ditempuh, dan persyaratapersyaratan apa yang perlu dipersiapkan
terlebbih dahulu didalam sistem yang ada. Pertanyaan –pertanyaan ini
lebih bersifat konstruktif dan lebih dapat diterima ditinjau dari segi
sosial, ekonomi, moral maupun tekhnis. Untuk menghasilkan
informasi yang diperlukan dalam menjawab pertanyaan yang kedua
itulah diperlukan adanya kegiatan evaluasi.45

F. Kriteria Evaluasi Kurikulum PAI


Kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan adalah ukuran yang akan
digunakan dalam menilai suatu kurikulum. Kriteria penilaina harus relevan
dengan kriteria keberhasilannya, sedangkan kriteria harus dilihat dalam
hubungannya dengan sasaran program. Kriteria evalusi menurut Morrison
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Relevan dengankerangka rujukan dan tujuan evaluasi program


kurikulum

2. Ditetapkan pada data deskrivtif yang relevan dan menyangkut


program/kurikulum

Beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa evaluasi lebih


bersifat komfrehensif yang didalamnya meliputi pengukuran. Disamping itu,
evaluasi pada hakekatnya merupakan suatu proses membuat keputusan
tentang nilai suatu objek. Keputusan evaluasi (value judgment) tidak hanya
didasarkan kepada hasil pengukuran (quantitatif description), dapat pula
didasarkan kepada hasil pengukuran (measurement) maupun bukan
pengukuran (non-measurement) pada akhirnya menghasilkan keputusan nilai
tentang suatu program / kurikulum yang dievaluasi.

45
R Ibrahim dan Masitoh, “Evaluasi Kurikulum “ dalam Kurikulum dan pembelajaran.
(Jakarta : Tim Pengembang MKDP FIP UPI, Rajawali Pers, 2011),
PENUTUP

A. Kesimpulan
Evaluasi kurikulum PAI adalah suatu kegiatan yang bertujuan
untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan di dalam pendidikan
Islam yang dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang
pencapaian dan kemajuan siswa yang didasarkan pada kriteria
keberhasilan dan hasilnya digunakan sebagai dasar untuk menentukan
siswa yang boleh melanjutkan ke materi selanjutnya dan siswa yang
belum mencapai ketuntasan menapatkan perbaikan (remidi).
Adapun model – model evaluasi kuriulum yaitu measurement,
congruence, illumination, dan educational system evaluation.
Sedangkan prinsip-prinsip evaluasi krikulum adalah tujuan tertentu,
bersifat objektif, bersifat komprehensif, kooperatif dan
tanggungjawab dalam perencanaan efisien, dan berkesinambungan.
Dan manfaat dari evaluasi kurikulum adalah untuk
DAFTAR PUSTAKA

Eli Fitrotul Arofah, “Evaluasi Kurikulum Pendidikan,” Tawadhu 5, no. 2 (2021):


218.;
Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2009), hlm. 188.
Helaluddin and Hengki Wijaya, Analisis Data Kualitatif (Makassar: Sekolah
Tinggi theologia Jaffray, 2019)
Jumal Ahmad, “Evaluasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI)” (n.d.).2021
Mohamad Ansyar, Kurikulum: Hakikat, Fondasi, Desain, dan Pengembangan,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2015)
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah,(Bandung:
Sinar Baru Algesindo, 1996)
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 103.
Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006).
R Ibrahim dan Masitoh, “Evaluasi Kurikulum “ dalam Kurikulum dan
pembelajaran. (Jakarta : Tim Pengembang MKDP FIP UPI, Rajawali Pers,
2011),
Rahayu Juwarini, “Evaluasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam”, Paper
(Online), dalam www.academia.edu, diakses 26 April 2020.
S. Nasution Asas-Asas Kurikulum (Bandung : Citra Aditya Bakti 1993
Suharsimi Arikunto dan Cepe Safrudin Abdul Jabar, Evaluasi Program
Pendidikan
Suharsimi Arikunto dan Cepe Safrudin Abdul Jabar, Evaluasi Program
Pendidikan
Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan
Pembelajaran, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 113.
Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung, PT.
Rosda Karya, 2014), hlm 281.
Mulyono, Yatin. 2017. Sardimi, Ayatusa’adah, dan Nanik Lestariningsih,
Implementasi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Biologi Terintegrasi
Keislaman Di Madrasah Aliyah (MA): Model Evaluasi CIPPO, Jurnal
Transformatif, vol. 1, no. 2 Oktober.

Anda mungkin juga menyukai