Anda di halaman 1dari 15

Makalah Pengembangan Kurikulum

Model-Model Evaluasi Kurikulum

Heri Nur Cahyono, Intan Pratiwi, Muhammad Nahrowi, Zulfikri Alwy Jauhari
Program pascasarjana
Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo

ABSTRAK: Evaluasi adalah suatu proses yang berupaya untuk mengumpulkan


informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pengambilan
keputusan. Kurikulum adalah keseluruhan kegiatan yang dirancang oleh sekolah
untuk membekali siswa dengan berbagai pengalaman baik di dalam maupun di
luar kelas. Proses evaluasi, di sisi lain, terdiri dari tiga komponen, yaitu
mengumpulkan informasi, membuat penilaian, dan membuat keputusan. Peran
dan status evaluasi kurikulum dalam pendidikan meliputi tiga aspek, yaitu: konsep
evaluasi nilai, evaluasi dan pengambilan keputusan, dan evaluasi nilai konsensus.
Model evaluasi kurikulum dalam pendidikan terutama meliputi: model penelitian
evaluasi kurikulum, model evaluasi kurikulum berorientasi tujuan, model evaluasi
kurikulum keluar dari tujuan, model campuran multivariat, model EPIC, model
CIPP, model Ten Brink, model pendekatan proses, model evaluasi kuantitatif,
model evaluasi kualitatif.
KATA KUNCI: Kurikulum; Modelevaluai; Evaluasi Kurikulum

ABTRACK : Evaluation is a process that seeks to collect information that can be


used as material for consideration in decision making. The curriculum is the
whole activity designed by the school to equip students with various experiences
both inside and outside the classroom. The evaluation process, on the other hand,
consists of three components, namely gathering information, making judgments,
and making decisions. The role and status of curriculum evaluation in education
includes three aspects, namely: the concept of value evaluation, evaluation and
decision making, and consensus value evaluation. Curriculum evaluation models
in education mainly include: curriculum evaluation research model, goal-oriented
curriculum evaluation model, out-of-goal curriculum evaluation model,
multivariate mixed model, EPIC model, CIPP model, Ten Brink model, process
approach model, quantitative evaluation model, evaluation model qualitative.
KEY WORDS: Curriculum; model evaluation; Curriculum Evaluation
PENDAHULUAN
Evaluasi, atau Evaluasi kurikulum, adalah bagian dari evaluasi akademik yang
berfokus pada program pendidikan siswa. Kurikulum juga merupakan program
pelatihan atau studi yang dirancang untuk siswa, yang memerlukan evaluasi
sebagai bahan umpan balik dan perbaikan sesuai dengan kebutuhan dan
kebutuhan masyarakat, siswa, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hasil evaluasi sangat berguna bagi pengambil keputusan dalam
melakukan perubahan kurikulum yang perlu disesuaikan dengan perkembangan
zaman. Tujuan evaluasi kurikulum adalah untuk memeriksa tingkat implementasi
tujuan pendidikan yang dilaksanakan oleh kurikulum. Namun seiring berjalannya
waktu, evaluasi terhadap kurikulum juga mulai berkembang. Salah satu
kecenderungan perkembangannya terlihat pada munculnya model-model evaluasi
kurikulum yang berasal dari pemikiran para pakar dunia. Evaluasi kurikulum
sangat penting untuk dilaksanakan, karena dalam mengevaluasi kurikulum
ditentukan sejauh mana hasil evaluasi tersebut sesuai dengan harapan yang
terkandung dalam tujuan evaluasi, sehingga dapat dilakukan koreksi dan evaluasi
dapat dilanjutkan atau diganti. Baru.
Dari uraian diatas, makalah ini akan membahas pengertian evaluasi kurikulum,
model-model kurikulum yang sebagai salah satu bahan bacaan untuk masyarakat
umum, khususnya mahasiswa yang sedang menempuh program strata satu dalam
bidang pendidikan.

METODE
Penelitian ini menggunakan metode Library Research. Termasuk jenis
penelitian Kepustakaan, menggunakan literatur berupa buku, catatan maupun hasil
penelitian sebelumnya yang sudah pernah di teliti. Sumber data yang digunakan
adalah data skunder, yaitu data yang diperoleh dari berupa buku-buku, jurnal,
makalah maupun artikel-artikel yang relevan yang tentunya berkaitan dengan
Ayat-Ayat Yang Relevan Dengan Obyek Pendidikan.
Tehnik pengumpulan data pada penilitian ini menggunakan penelitian
pustaka (Library Research) Teknik kepustakaan Penelitian Kepustakaan adalah
kegiatan penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dan data
dengan bantuan berbagai macam material yang ada di perpustakaaan seperti buku
refrensi, hasil penelitian sebelumnya yang sejenis, artikel, catatan serta berbagai
jurnal yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan1.

1 Milya Sari, “Penelitian Kepustakaan (Library Research) Dalam Penelitian Pendidikan


IPA”, Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA, Vol. 6 No. 1 (2020), 44
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Evaluasi Kurikulum
Pembahasan penilaian kurikulum tidak terlepas dari banyak konsep
yang berkaitan dengan penilaian, evaluasi dan kurikulum itu sendiri.
Menurut Hamid Hasan, evaluasi adalah proses menilai nilai dan
pentingnya sesuatu yang diamati. Sesuatu yang dipandang berdasarkan
orang, objek perbuatan, keadaan atau kriteria tertentu yang berupa entitas
tertentu, sehingga tidak bersifat acak. Tanpa kriteria yang jelas, tidak bisa
dinilai bernilai.
Menurut Nana Sudjana, evaluasi adalah proses penentuan nilai
sesuatu berdasarkan kriteria tertentu, dimana proses tersebut berusaha
mencari dan mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk
menentukan nilai objek evaluasi, seperti program. , prosedur, proposal,
metode, pendekatan, model pengelolaan, hasil program..
Kurikulum memiliki dimensi yang luas karena mencakup banyak
hal, mulai dari perencanaan, pengembangan komponen, implementasi
serta hasil belajar dianggap sebagai ruang lingkup kajian evaluasi
kurikulum. Dengan demikian, evaluasi kurikulum merupakan suatu proses
evaluasi terhadap  kurikulum secara menyeluruh baik yang bersifat makro
atau ruang lingkup yang luas maupun ruang lingkup mikro dalam bentuk
pembelajaran.2
Secara umum dapat dikatakan bahwa evaluasi kurikulum adalah
pencermatan yang sistematik tentang (kriteria) manfaat, kesesuaian,
efektivitas dan efesiensi dari kurikulum yang diterapkan, atau penerapan
prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk
membuat keputusan tentang kurikulim yang sedang berjalan atau yang
telah dijalankan. Evaluasi kurikulum ini dapat mencakup keseluruhan
masing-masing komponen kurikulum, seperti tujuan, isi, metode
pembelajaran yang ada dalam kurikulum. Tujuan evaluasi kurikulum
untuk mengumplkan, menganalisis dan menyajikan data untuk bahan
penentuan keputusan mengenai kurikulum apakah direvisi atau diganti.[3]
Evaluasi kurikulum dengan demikian adalah proses
mempertimbangkan nilai sistemik dan pentingnya (kriteria) manfaat,
penerapan, efektivitas dan efisiensi kurikulum yang dilaksanakan, atau
penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan
dapat diandalkan untuk membuat keputusan tentang kurikulum yang
sedang berlangsung. . . kurikulum atau dieksekusi.

2
B.     Model-Model Evaluasi Kurikulum
1. Model Evaluasi Kuantitatif
Model kuantitatif ditandai oleh ciri yang menonjol dalam
penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai
konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivistis. Oleh karena
itu, model-model evaluasi kuantitatif yang dibicarakan pada sub bab
ini menerangkan peran penting metodologi kuantitatif dan
penggunaan tes. Model-model kuantitaif ini ialah persamaan mereka
dalam fokus evaluasi yaitu pada dimensi kurikulum sebagai  hasil
belajar. Dimensi ini dianggap sangat penting bahkan dapat dikatakan
bahwa hasil belajar merupakan kriteria pokok bagi model-model
kuantitaitf. Ada beberapa model yang memberikan perhatian kepada
dimensi kurikulum sebagai proses tetapi tetap mempertahankan fokus
kurikulum sebagai hasil belajar[4], diantaranya
a. Model Black Box Tyler

Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama


resmi yang diberikan oleh pengembangannya. Model yang
dikemukakannya dibangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang
ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus
dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik sebelum suatu
pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah
melaksanakan kurikulum tersebut. Dengan kedua dasar ini, Tyler
ingin mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya
hanya berhubungan dengan dimensi hasil belajar.[5]
Model evaluasi Tyler memiliki keunggulan dalam
kesederhanaannya. Evaluator dapat memfokuskan kajian
evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi
hasil belajar. Keunggulan model Tyler pada sisi lain menjadi titik
lemah model ini. Fokus pada hasil belajar dan mengabaikan
dimensi proses adalah sesuatu yang tidak sejalan dengan
pendidikan. Karena evaluasi yang mengabaikan proses sebagai
fokus berarti mengabaikan satu komponen kurikulum yang
penting. Faktor lain yang menyebabkan kelemahan model Tyler
adalah kenyataan yang diungkapkan oleh banyak studi yang
mengkaji dimensi proses.[6]
Dapat dikatakan bahwa model ini hanya berfokus pada hasil
belajar siswa dan mengabaikan evaluasi terhadap proses
kurikulum yang sangat penting sehingga harus dievaluasi demi
kelancaran fungsi kurikulum itu sendiri.
b. Model Teoritik Taylor dan Maguire

Model Teoritik Taylor dan Maguire ini lebih mendasarkan


dirinya pada pertimbangan teoritik suatu model evaluasi
kurikulum. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa
pertimbangan praktis tidak diberikan dalam penerapan beberapa
langkah model tersebut. Dengan pertimbangan teoritik, Taylor dan
Maguire mencoba menerapkan apa yang seharusnya secara teoritik
terjadi dalam suatu proses pelaksanaan evaluasi kurikulum.
Walaupun dalam literatur yang mereka pergunakan tidak
tercantum tulisan Tyler mengeanai evaluasi, kajian terhadap model
ini memperhatikan adanya pengaruh Tyler. Unsur-unsur yang ada
dalam model ini seperti sumber sosial tujuan, tujuan yang
dikembangkan berdasarkan pendekatan behavioral, pengembangan
strategi, dan semangat psikometrik.[7]
Model ini juga menitikberatkan pada hasil belajar siswa
berdasarkan penggunaan model perilaku, namun tidak
mengabaikan proses kurikulum itu sendiri berdasarkan
pengembangan strategi kurikulum.
c. Model Pendekatan Sistem Alkin

Pendekatan yang dilakukan Alkin memiliki keunikan


dibandingkan pakar  evaluasi lainnya, ia memasukkan unsur
pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi. Dalam
model pendekatannya dengan pendekatan sistem Alkin telah
memasukkan variabel perhitungan ekonomi. Alkin membagi
model ini atas tiga komponen yaitu masukan, perantara dan
keluaran (hasil). Dalam model ini, Alkin juga mengenalkan
adanya sistem internal yang merupakan interaksi antar komponen
yang lansgung berhubungan dengan pendidikan, dan juga sistem
luar (eksternal) yang mempunyai pengaruh dan dipengaruhi oleh
pendidikan.
Model ini dikembangkan berdasarkan empat
asumsi. Pertama, variabel perantara adalah satu-satunya kelompok
variabel yang dapat dimanipulasi. Kedua, sistem luar tidak
langsung dipengaruhi oleh keluaran sistem
(persekolahan). Ketiga, para pengambil keputusan sekolah tidak
memiliki kontrol mengenai pengaruh yang diberikan sistem luar
terhadap sekolah. Keempat, faktor masukan mempengaruhi
aktivitas faktor perantara dan pada gilirannya faktor perantara
berpengaruh terhadap keluaran.[8]
Sistem luar yang berpengaruh terhadap sekolah adalah
lingkungan sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Dalam hasil-hasil
penelitian bahwa sekolah yang berada di lingkungan lapisan
tertentu mempunyai karakteristik pengelolaan yang berbeda
dengan sekolah yang berada di lingkungan lapisan tertentu
lainnya.[9] Misalnya, sekolah dalam lingkungan ekonomi akan
berbeda dengan sekolah dalam lingkungan politik. Sekolah yang
dalam lingkungan ekonomi akan memfokuskan hasil belajar siswa
berorientsi pada keterampilan yang berguna untuk menunjang
. Informasi yang diperoleh dari data masukan digunakan
dalam proses evaluasi dan mempengaruhi faktor perantara, besar
kecilnya informasi yang diperoleh dari faktor masukan juga
mempengaruhi besar kecilnya faktor perantara dan besarnya hasil
yang mempengaruhi. evaluasi faktor-faktor produksi itu sendiri.
Semua model sistem Alkin tidak menggunakan pendekatan
ekonomi mikro, tetapi hanya memuat unsur-unsur tersebut. Dalam
model evaluasi ini eksternalitas tidak secara langsung berpengaruh
signifikan terhadap sekolah, dan sebaliknya sekolah tidak
berpengaruh secara langsung terhadap eksternalitas.
d. Model Countenance Stake

Model Countenance adalah model pertama evaluasi


kurikulum yang dikembangkan Stake. Dalam suatu
pengertian countenance adalah keseluruhan. Dalam tulisan ini,
Stake ingin mengemukakan keseluruhan kegiatan evaluasi yang
harus dilakukan dan cara yang diinginkannya bagaimana evaluasi
tersebut dilakukan.
Stake mendasarkan modelnya pada evaluasi formal, yaitu
dimana dikatakannya sebagai suatu kegiatan evaluasi yang sangat
tergantung pada pemakaian atau evaluasi yang dilakukan oleh
pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan.[13]
Dalam evaluasinya, Stake menekankan pada evaluasi total
terhadap kurikulum. Ini terkait dengan evaluasi kualitatif, tetapi
dikelompokkan dengan evaluasi kuantitatif karena pendekatan
kuantitatif digunakan pada masa-masa awalnya. Saat sikap Stake
berubah, model ini beralih ke penilaian kualitatif.
e. Model CIPP
Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketahui
oleh Stufflebeam. Model yang dikembangkan inni kadang-kadang
dinamakan model PDK (Phi Delta Kappa). Namun nama CIPP,
dalam kenyataanya, lebih dikenla masyarakat perguruan tinggi dan
kalangan evaluator. CIPP adalah singkatan dari Context, Input,
Process, dan Product.[14]
Adapun yang terkenal dan paling penting adalah evaluasi
terhadap produk atau hasil. Karena hasil belajar adalah tujuan
yang telah diterapkan dalam model ini, maka instrumennya juga
ditetapkan berdasarkan domain apa yang menjadi tujuan dari
proses tersebut.[15]
Model ini terbentuk dari empat jenis evaluasi,
yaitu context (konteks) artinya evaluator diminta mengidentifikasi
berbagai faktor guru, peserta didik, manajemen, fasilitas kerja,
suasana kerja, peraturan, peran komite sekolah, masyarakat dan
faktor lain yang mungkin berpengaruh dalam
kurikulum. Input (masukan) artinya evaluator menentukan tingkat
pemanfaatan dari berbagai faktor yang dikaji dalam konteks
pelaksanakan kurikulum dan menjadi dasar untuk melakukan
revisi dalam kurikulum. Process (proses) artinya evaluator
mengumpulkan berbagai informasi dalam keterlaksanaan
implementasi kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan dalam
implementasi kurikulum. Product (hasil) artinya evaluator
mengumpulkan berbagai informasi mengenai hasil dari belajar,
membandingkannya dengan standar dan mengambil keputusan
mengenai status kurikulum (direvisi atau dilanjutkan).[16]
Ada penyederhanaan dalam perubahan model penilaian ini
yang tidak membandingkan kedua kurikulum. Model ini terdiri
dari empat asesmen, namun seorang asesor hanya dapat
melakukan satu jenis asesmen berdasarkan model CIPP ini.
Meskipun disarankan untuk menghubungkan keempatnya. Dengan
demikian, analis dapat mengembangkan model evaluasi tersebut di
mana analis dapat memilih di antara empat jenis evaluasi model
CIPP.

2. Model Ekonomi Mikro


Model ekonomi mikro pada dasarnya adalah model yang
menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebagaimana kebanyakan
model kuantitaitf, model ekonomi mikro memiliki fokus utama pada
hasil (hasil dari pekerjaan, hasil belajar, dan hasil yang diperkirakan).
Pertanyaan besar dari model ekonomi mikro adalah apakah hasil
belajar yang diperoleh peserta didik sesuai dengan dana yang telah
dikeluarkan. Menurut Levin, ada empat model lingkungan ekonomi
mikro yaitu cost-effectiveness, cost-benefit, cost-utility dan cost-
feasibility.[17]
Cost-effectiveness, model yang harus dapat membandingkan
dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang digunakan
untuk masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh
setiap program. Dan hendaknya diterapkan untuk membandingkan dua
kurikulum atau program yang mempunyai tujuan identik atau serupa.
[18]
Berbeda dengan cost-effectiveness yang menggunakan angka
sebagai unit pengukuran hasil belajar. Cost-benefit menggunakan unit
uang dalam mengukur hasil belajar. Cost-utility dikemukakan Levin
ialah memberikan peluang bagi evaluator untuk menggunakan baik
data kuantitatif maupun data kualitatif, sehingga evaluator tidak
dibatasi ruang geraknya atas satu jenis data saja.[19]
Cost-feasibility didesain untuk menjawab pertanyaan evaluasi
apakah biaya yang diperlukan memang tersedia. Artinya setelah ide
kurikulum dirumuskan, perhitungan biaya untuk pelaksanaan
kurikulum harus dilakukan agar kontinuitas implementasi kurikulum
terjamin.[20]
Baik valuasi ekonomi mikro maupun kuantitatif menggunakan
data kuantitatif, namun terdapat perbedaan mendasar yang
membedakannya. Yakni, penggunaan pendekatan dan prosedur
ekonomi selama proses evaluasi evaluasi ekonomi mikro. Unsur uang
atau sumber daya sangat menonjol dalam proses evaluasi kurikulum.
Dari proses awal hingga hasil akhir dari evaluasi kurikulum itu
sendiri.

3. Model Evaluasi Kualitatif


Model evaluasi kualitatif menggunakan metodologi kualitatif
dalam pengumpulan data evaluasi. Ciri khas dari model evaluasi
kualitatif ialah selalu menempatkan proses pelaksanaan kurikulum
sebagai fokus utama evaluasi.[21]
a. Model Studi Kasus

Evaluasi ini menggunakan model studi kasus yang


menitikberatkan pada kegiatan pengembangan kurikulum pada satu
satuan pendidikan. Ciri khas dari model evaluasi kualitatif adalah
bahwa informasi yang dikumpulkan sebagian besar adalah data
kualitatif. Diyakini bahwa data kualitatif dapat lebih baik
mengungkapkan peristiwa lapangan dan menggambarkan peristiwa
proses seperti terus menerus.Meskipun demikian, model studi
kasus tidak menolak pemakaian data kuantitatif apabila data
tersebut memang diperlukan. Penolakan data kuantitatif dilakukan
pada prosedur pengumpulan data kuantitatif yang harus memenuhi
persyaratan metodologi kuantitatif.[22]
Model ini sangat tepat dalam evaluasi dimensi proses atau
evaluasi bersifat formatif serta langsung dapat mengena kesalahan
dalam proses kurikulum itu sendiri.
b. Model Illuminatif

Model evaluasi illuminatif mendasarkan dirinya pada


paradigma antropologi sosial. Dan memberikan perhatian terhadap
lingkungan luas dan bukan hanya kelas dimana suatu inovasi
kurikulum dilaksanakan. Perhatian ini merupakan salah satu
kekuatan model illuminatif. Model evaluasi ini dikembangkan atas
dua dasar konsep utama, yaitu sistem intruksi dan lingkungan
belajar. Sistem intruksi diartikan katalog, perspektus, dan laporan-
laporan pendidikan yang secara khusus berisi berbagai macam
rencana yang berhubungan dengan pengaturan suatu pengajaran.
Lingkungan belajar adalah lingkungan sosial-psikologis dan materi
dimana guru dan peserta didik saling berinteraksi.[23]
Model ini sangat cocok untuk memahami perkembangan
intensif siswa, yang perlu dievaluasi dalam kurikulum. Dan
pengajaran atau pembelajaran dapat disesuaikan dengan keadaan
siswa sehingga mereka mengetahui secara pasti kemajuannya dan
dapat memaksimalkan kesempatan belajar siswa atau mengetahui
hasilnya.
c. Model Responsive

Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari


model countenance, meskipun dalam beberapa hal terdapat
perbedaan. Perbedaan pertama dalam hal fokus. Model
countenance berfokus pada kurikulum sebagai suatu rencana
sedangkan model responsive berfokus pada kurikulum dalam
dimensi proses.
Kedua ialah dalam pendekatan pengembangan kriteria.
Model countenance berdasarkan pengembangan kriteria fidelity,
model responsive mengembangan kriterianya berdasarkan
pendekatan proses.[24]
Model ini tidak cocok digunakan karena strukturnya sangat
ketat dan menggunakan pendekatan berbasis proses dengan kriteria
evaluasi yang cukup banyak. Hasilnya tidak menjelaskan banyak
tentang komponen inti penilaian kurikulum.
Berikut ini perbedaan mendasar yang menunjukkan evaluasi kuantitaif dan
evaluasi kualitatif :
No Evaluasi Kuantitatif Evaluasi Kualitatif
1 Menggunakan prosedur kuantitatif dan Menggunakan prosedur
data kuantitatif kualitatif dan data kualitatif
2 Menggunakan metodologi kuantitatif Menggunakan metodologi
kualitatif
3  Kriterianya berupa pre-prdinate dan Kriterianya berdasarkan
fidelity pendekatan proses
4 Berfokus pada dimensi hasil belajar Berfokus pada dimensi proses
5 Menekankan pada pendekatan Menekankan pada pendekatan
Behavioral proses
6 Alat ukurnya berupa tes awal dan akhir Alat ukurnya berupa multiple
(behavioral dan kuantitatif) realitis
7 Jenis evaluasi sumatif Jenis evaluasi formatif

8 Bergantung pada hasil evaluasi dan tidak Sangat bergantung pada


tergantung pada kepandaian evaluator pengolahan data dan
dalam pengolahan data kepandaian evaluator dalam
pengolahan data
9 Berorientasi pada hasil belajar siswa Berorientasi pada lingkungan
kelas
10 Tidak menekankan pada observasi Menekankan pada observasi

4. Model Fenomena Sejarah


Evaluasi kurikulum sebagai fenomena sejarah, suatu elemen
dalam proses sosial dihubungkan dengan perkembangan pendidikan.
a. Evaluasi Model Penelitian

Model penelitian ini didasarkan atas teori dan metode tes


psikologis dan eksperimen lapangan. Tes psikologi mempunyai dua
bentuk, yaitu tes intelegensi yang ditujukan untuk mengukur
kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang mengukur perilaku
skolastik. Eksperimen lapangan dalam pendidikan, dimulai tahun
1930 dengan menggunakan metode penelitian botani pertanian.
Model eksperimen dalam botani pertanian dapat digunakan dalam
pendidikan, anak didik dapat disamakan dengan benih, sedang
kurikulum disamakan dengan fasilitas dalam pertanian, sistem
sekolah disamakan dengan tanah dan pemeliharaannya.[25]
Model evaluasi ini hampir sama dengan model evaluasi
studi kasus karena menggunakan metode penelitian suatu kasus.
Bedanya model ini menggunakan perumpamaan evaluasi seperti
eksperimen pada botani pertanian yang telah dijelaskan diatas.
b. Evaluasi Model Objektif

Perbedaan model obyektif dengan model komparatif adalah


dalam dua hal. Pertama dalam model objektif, evaluasi merupakan
bagian yang sangat penting dari proses pengembangan kurikulum.
Evaluasi dilakukan pada akhir pengembangan kurikulum, kegiatan
penilaiaan ini sering disebut evaluasi sumatif. Informasi yang
diperoleh dari hasil penilaiannya yang sedang berjalan disebut
evaluasi formatif.[26]
Model objektif ini hampir merupakan keseluruhan model
evaluasi di atas, karena setiap proses evaluasi pasti memiliki sifat
objektif dari analis yang ada. Target model juga menjadi sorotan
dalam keseluruhan proses evaluasi kurikulum, karena proses dan
hasil belajar siswa yang dievaluasi dan komponen yang dianalisis
dioptimalkan.
c. Model Campuran Multivariasi

Model evaluasi perbandingan dan model Tyler dan Bloom


melahirkan evaluasi model campuran multivariasi, yaitu strategi
evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dari kedua pendekatan
tersebut. Strategi ini memungkinkan pembandingan lebih dari satu
kurikulum dan secara serempak keberhasilan tiap  kurikulum
diukur berdasarkan kriteria tertentu dari masing-masing kurikulum.
[27]
Model evaluasi ini sangat cocok diterapakan pada macam-
macam kurikulum yang ada, karena proses evaluasinya menyeluruh
dan menyatukan unsur-unsur pendekatan yang berbeda dalam
evaluasi kurikulum serta hasil dapat terlihat dari masing-masing
kurikulum. Model ini tepat diterapkan bila pergantian kurikulum
atau modifikasi kurikulum. Sehingga dapat menentukan kurikulum
yang cocok untuk suatu bangsa dengan menyesuaikan kebutuhan
dan tujuan yang hendak dicapai.

5. Model Evaluasi Pengembangan


Secara garis besar, model evaluasi yang telah dikembangkan
selama ini dapat digolongkan menjadi beberapa yaitu,
a. Measurement

Evaluasi didasarkan pada pengukuran perilaku siswa untuk


mengungkapkan perbedaan individu atau kelompok. Hasil evaluasi
digunakan untuk perbandingan efektivitas antara dua atau lebih
program/metode pendidikan. Obyeknya menitikberatkan pada hasil
belajar dalam aspek kognitif yang dapat diukur serta dapat
dibakukan. Jenis data yang dikumpulkan adalah skor hasil tes.[28]
Kelemahan dari konsep ini terletak pada penekanannya yang
berlebihan pada aspek pengukuran dalam kegiatan evaluasi
pendidikan. Sebagai konsekuansi dari penekanan yang berlebihan
pada aspek pengukuran, evaluasi cenderung dibatasi pada dimensi
tertentu dari program pendidikan yang “diukur”.[29]
Model evaluasi ini menekankan pada objektivitas dalam
proses yang mengutamakan hasil belajar peserta didik. Jadi model
evaluasi ini hampir sama dengan evaluasi kuantitatif dan cocok
digunakan saat evaluasi berfokus pada hasil dari belajar peserta
didik.
b. Congruence

Evaluasi didasarkan pada pemerikasaan kesesuaian antara


tujuan pendidikan dan hasil belajar yang dicapai untuk melihat
sejauh mana perubahan hasil pendidikan telah terjadi. Hasil evaluasi
digunakan untuk penyempurnaan program dan pemberian informasi
kepada pihak-pihak luar pendidikan. Obyeknya menitikbertakan
pada hasil belajar dalam bentuk kognitif, psikomotorik maupun nilai
dan sikap.[30]
Konsep ini tidak menjadikan input dan proses pelaksanaan
sebagai objek langsung evaluasi. Yang dijadikan perhatian adalah
hubungan tujuan pendidikan dan hasil belajar. Dalam pelaksanaan
evaluasi dari konsep ini dilaksanakan dengan jalan membandingkan
antara hasil pretest dan postest.[31]
Model evaluasi ini untuk mengkaji efektivitas kurikulum
dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Dengan model
ini sangat tepat diterapkan bila direfleksikan dengan tujuan
pendidikan nasional dan berfokus dalam mencapai tujuan
pendidikan.
c. Educational System Evaluation

Evaluasi didasarkan pada perbandingan antara performa


setiap dimensi program dan kriteria, yang akan berakhir dengan
suatu deskripsi dan penilaian. Hasil evaluasi digunkaan untuk
penyempurnaan program dan penyimpulan program secara
keseluruhan. Obyeknya mencakup input, proses dan hasil yang
dicapai dalam kegiatan pendidikan.[32]
Konsep ini kiranya dapat dipandang sebagai kelemahan
adalah mengenai pandangannya tentang evaluasi untuk
menyimpulkan kebaikan program secara menyeluruh. Ada dua
persoalan yang perlu mendapat penegasan dari konsep ini, yang
pertama menyangkut segi teknis dan yang kedua menyangkut
segi  strategis.[33]
Dalam pelaksanaannya model ini mempunyai kesamaan
dengan model evaluasi CIPP dan model evaluasi ekonomi mikro,
yaitu mengevaluasi dari awal sampai akhir dari evaluasi.
Menggunakan sifat evaluasi formatif dan sumatif. Jadi model
evaluasi ini sangat tepat diterapkan dalam berbagai macam
kurikulum entah dari bangsa A atau bangsa B.

Untuk mengetahui siapa saja yang menjadi evaluator dalam


kurikulum, seyogyanya kita ketahui dahulu secara garis besar posisi
evaluator yaitu ada dua, evaluator internal dan evaluator eksternal.
Evaluasi internal adalah evaluasi yang dilakukan oelh seorang
anggota tim pengembang kurikulum. Evalutor bertugas melakukan
pekerjaan selama proses belangsung baik ketika dalam proses konstruksi
kurikulum maupun implementasi kurikulum. Dan untuk penyempurnaan
dokumen kurikulum dan penyempurnaan proses implementasi kurikulum.
[34] Dapat disimpulkan evaluator internal adalah orang yang
mengevaluasi kurikulum dan terlibat langsung pada proses evaluasi
kurikulum dan proses evaluasinya bersifat formatif atau bisa disamakan
dengan monitoring kurikulum.
Apabila evaluator pada evaluasi proses merupakan pelaksana
langsung, yaitu guru, kepala sekolah, para supervisor pendidikan, atau tim
penilai khusus. Guru disini bertugas sebagai evaluator bagi peserta didik
dan mencari informasi apa yang menjadi kekurangan dalam proses
kurikulum. Kepala sekolah juga bertugas sama seperti guru dan menjadi
evaluator bagi kinerja guru. Para supervisor pendidikan atau tim penilai
khusus tugasnya sebagai evaluator semakin kompleks.
Evaluasi eksternal dilakukan oleh seorang yang tak terlibat dalam
tim pengembangan kurikulum. Kedudukannya “orang luar” tentu
memberikan berbagai keuntungan dalam hal objektivitas. Kemungkinan
kelemahan bagi evaluator eksternal adalah pemahaman mengenai
karakteristik evaluan.[35] Dengan demikian, yang termasuk dari evaluator
eksternal adalah masyarakat luas yang setidaknya tahu tentang proses
pendidikan atau proses kurikulum entah itu dari kalangan akademisi,
pensiunan PNS, bahkan dari kalangan mahasiswa.
Untuk ketentuan sebagai evaluator belum diketahui secara pasti,
namun dari penjelas di atas dapat disimpulkan bahwa evaluator harus
paham seluk-beluk tentang proses pendidikan atau proses kurikulum
(evaluator internal), mengetahui dan dapat menggunakan data masukan,
perantara dan keluaran, harus bersikap objektif, berfungsi sebagai
evaluator formatif dan evaluator sumatif, bisa membuat yang tepat demi
kelanjutan dari proses kurikulum atau pendidikan, paham penggunaan
pendekatan yang tepat sesuai dengan model dari evaluasi kurikulum.
Dari sekian banyak dari model yang telah dijelaskan pada
pembahasan sebelunya, model yang paling efektif digunakan adalah model
Pendekatan Sistem Alkin, model CIPP, model Campuran Multivariasi dan
model Educational System Evaluational. Karena kesemuanya dalam
proses evaluasi itu sendiri mengevaluasi secara menyeluruh mulai dari
proses awal hingga hasil akhir dari pendidikan atau kurikulum itu
dievaluasi. Evaluasinya bersifat evaluasi formatif dan evaluasi sumatif
serta metodologi bisa menggunakan metodologi kuantitatif dan
metodologi kualitatif. Namun dalam memilah model evaluasi yang ada
harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada, mana akan dievaluasi,
menggunakan pendekatan apa, mengguanakan metodologi apa.
SIMPULAN
Evaluasi kurikulum merupakan suatu proses evaluasi terhadap  kurikulum secara
menyeluruh baik yang bersifat makro atau ruang lingkup yang luas maupun ruang
lingkup mikro dalam bentuk pembelajaran.
Yang masuk dalam model evaluasi kuantitatif adalah model Black Box Tyler,
model Teoritis Taylor dan Maguire, model Pendekatan Sistem Alkin, model
Countenance dan model CIPP. Sedang yang termasuk dalam model evaluasi
kualitatif adalah model Studi Kasus, model Illuminatif dan model Responsive.
Model fenomena sejarah terbagi menjadi beberapa model, yaitu model Penelitian,
model Objektif dan model Campuran Multivariasi. Sedang dalam perkembangan
secara garis besar model evaluasi terbagi menjadi beberapa yaitu, model
Measurement, model Congruence dan model Educational System Evaluation.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai