net/publication/333394348
CITATIONS READS
0 6,171
1 author:
Imron Maulana
STAIN PAMEKASAN
4 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Imron Maulana on 27 May 2019.
Pendahuluan
Evaluasi kurikulum merupakan suatu aktivitas ilmiah yang
memiliki keterkaitan erat dengan proses pengembangan kurikulum.
Keduanya tidak terpisahkan dan hubungan antara keduanya saling terkait
dan menjadi hal yang penting. Evaluasi kurikulum tanpa kurikulum tidak
punya arti, sebaliknya kurikulum tanpa evaluasi tidak akan mendapatkan
hasil yang maksimal baik dalam proses konstruksi kurikulum maupun
dalam proses pelaksanaan kurikulum.
Evaluasi kurikulum juga merupakan suatu kebijakan publik.
Keberadaan evaluasi didasari oleh ketentuan bahwa pengembangan
kurikulum harus terbuka untuk di evaluasi. Dengan adanya Undang-
Undang Nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Indonesia telah memiliki landasan hukum yang mewajibkan adanya
evaluasi terhadap konstruksi kurikulum dan pelaksanaan kurikulum.
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam
Page 1 of 18
penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya maupun
pengambilan keputusan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan
langkah pengembangan kurikulum selanjutnya.
Evaluasi kurikulum sendiri memiliki beberapa model-model yang
digunakan dalam mengevaluasi kurikulum. Model-model tersebut
diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada evaluator untuk
mempertimbangkan model yang tersedia untuk dipilih sesuai dengan
pekerjaan yang dilakukan. Evaluator yang akan melakukan pekerjaanya
harus memahami keunggulan dan kelemahan tersebut dan kemudian
menggunakan model yang sesuai dengan keperluannya.
Beberapa model-model evaluasi kurikulum yang cukup popular
akan dibahas pada sub bahasan tulisan ini.
Page 2 of 18
fokus evaluasi yaitu pada dimensi kurikulum sebagai hasil belajar.
Dimensi ini (hasil belajar) adalah merupakan kriteria pokok bagi model-
model kuantitatif. Adapun diantara model-model evaluasi kurikulum yang
terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah sebagai berikut:
a. Model Black Box Tyler
Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama
resmi yang diberikan oleh pengembangnya yaitu Tyler. Walaupun
model ini tergolong tua tapi masih banyak digunakan dalam proses
evaluasi kurikulum, sehingga masih dianggap aktual. Model ini
dibangun atas dua dasar, yaitu evaluasi yang ditunjukkan pada
peserta didik dan bahan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku
awal peserta didik dan saat peserta didik telah melaksanakan
kurikulum itu sendiri.1 Fokus evaluasi ini sebenarnya hanya
berhubungan pada dimensi belajar.2
1
Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung, PT. Rosda Karya, 2014),
hlm 281.
2
Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2009), hlm. 188.
3
Ibd., hlm. 190-191
4
Ibid.
Page 3 of 18
c) Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk
megukur tingkah laku peserta didik. Alat evaluasi ini dapat
berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara dan
sebagainya. Adapun instrument evaluasi ini harus teruji
validitas dan reliabilitasnya.5
5
Ibid., 190-193.
6
Ibid., hlm. 193
7
Ibid.
8
Ibid., hlm. 194.
Page 4 of 18
pertimbangan evaluator. Kedua, pengumpulan data yang merupakan
hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas tujuan,
masukan dan hasil belajar.9
Adapun cara kerja model evaluasi Taylor dan Maquaire ini
adalah sebagai berikut:10
9
Ibid., hlm. 194-195.
10
Ibid., hlm. 195-199.
Page 5 of 18
untuk dijadikan program sekolah. adapun hasil dari kegiatan
ini adalah sejumlah tujuan behavioral yang sudah tersaring
dan akan dijadikan tujuan yang akan dicapai oleh mata
pelajaran yang bersangkutan.
Page 6 of 18
perantara, dan keluaran) seperti dalam pendekatan sistem pada
umumnya. 11
11
Ibid., hlm. 200.
12
Ibid., hlm. 202.
13
Zainal Arifin, hlm. 286.
Page 7 of 18
dengan system. Dengan model pendekatan system ini kegiatan
sekolah dapat diikuti dengan seksama mulai dari variable-variable
yang ada dalam komponen masukan, proses dan keluaran. Komponen
masukan yang dimaksudkan adalah semua informasi yang
berhubungan dengan karakteristik peserta didik, kemampuan
intelektual, hasil belajar sebelumnya, kepribadian, kebiasaan, latar
belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan sebagainya.14
Yang dimaksud dengan proses disini meliputi factor
perantara yang merupakan kelompok variable yang secara langsung
memperngaruhi keluaran. Adapun yang masuk dalam variable
perantara ini diantaranya adalah rasio jumlah guru dengan peserta
didik, jumlah peserta didik dalam kelas, pengaturan administrasi,
penyediaan buku bacaan, prosedur pengajaran dan sebagainya.
Adapun keluaran peserta didik adalah setiap perubahan yang
terjadi pada diri peserta didik sebagai akibat dari pengalaman belajar
yang diperolehnya. Perubahan ini harus diikuti sejak peserta didik
masuk sistem hingga keluar system. Perubahan harus diukur meliputi
setiap aspek perubahan yang mungkin terjadi termasuk didalamnya
kemampuan peserta didik dalam melanjutkan pelajaran ditingkat
pendidikan yang lebih tinggi, pada waktu memasuki lapangan kerja,
dalam melakukan pekerjaan bahkan termasuk aktifitas dalam
kehidupna di masyarakat.
Dari uraian diatas kita temukan kelemahan dari model Alkin
adalah keterbatasannya dalam fokus kajian yaitu yang hanya fokus
pada kegiatan persekolahan. Sehingga model ini hanya dapat
digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap
dilaksanakan disekolah.15
14
Hamid Hasan, hlm. 205.
15
Ibid., hlm. 206.
Page 8 of 18
kurikulum yang dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan
modelnya ini pada evaluasi formal. Evaluasi formal adalah evaluasi
yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan.
Model countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matrik pertama
dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks
Pertimbangan.16 Penjelasannya sebagai berikut:17
a) Matrik Deskripsi
Kategori pertama dari matrik deskripsi adalah sesuatu
yang direncanakan (intent) pengembang kurikulum dan
program. Dalam konteks KTSP maka kurikulum tersebut
adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan
pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan RPP
yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah observasi,
yang berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai
implementasi dari apa yang diinginkan pada kategori
pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan
observasi mengenai antecendent, transaksi dan hasil yang ada
di satu satuan pendidikan atau unit kajian yang terdiri atas
beberapa satuan pendidikan.
b) Matrik Pertimbangan
Dalam matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan
dan fokus antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang
diperoleh). Standar adalah criteria yang harus dipenuhi oleh
suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan.
Berikutnya adalah evaluator hendaknya melakukan
pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori
pertama dan matrik deskriptif.
16
Ibid.
17
Ibid., hlm. 208-210.
Page 9 of 18
congruence. Kedua konsep ini adalah konsep yang memperlihatkan
keterkaitan dan keterhubungan 12 kotak tersebut. Contingency
terdiri atas contigency logis dan contingency empiric. Contingency
logis adalah hasil pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan logis
antara kotak antecedence dengan traksaksi dan hasil. Kemudian
evaluator juga harus memberikan pertimbangan empiris berdasarkan
data lapangan.18
Evaluator juga harus memberikan pertimbangan congruence
atau perbedaan yang terjadi antara yang direncanakan dengan yang
terjadi dilapangan. Adapun kelebihan dari model ini adalah adanya
analisis yang rinci. Setiap aspek dicoba dikaji kesesuainnya.
Misalkan, analisis apakah persyaratan awal yang direncanakan
dengan yang terjadi sesuai atau tidak? Hasil belajar peserta didik
sesuai tidak dengan harapan.
e. Model CIPP
Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketuai
oleh Stufflebeam. Sehingga sesuai dengan namanya, model CIPP ini
memiliki 4 jenis evaluasi yaitu: evaluasi context (konteks), input
(masukan), process (proses), dan product (hasil).19 Adapun tugas
evaluator dari keempat jenis evaluasi tersebut adalah sebagai
berikut:20
a) Evaluasi Context
Tujuan utama dari evaluasi context adalah untuk
mengetahui kekuatan dan kelemahan evaluan. Evaluator
mengidentifikasi berbagai factor guru, peserta didik,
manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran
18
Ibid., hlm. 212.
19
Mohamad Ansyar, Kurikulum: Hakikat, Fondasi, Desain, dan Pengembangan, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2015), hlm. 487. Lihat juga di, Yatin Mulyono, Sardimi, Ayatusa’adah, dan
Nanik Lestariningsih, Implementasi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Biologi Terintegrasi
Keislaman Di Madrasah Aliyah (MA): Model Evaluasi CIPPO, Jurnal Transformatif, vol. 1, no. 2
(Oktober 2017), hlm. 250.
20
Mohammad Ansyar, hlm. 487-488.
Page 10 of 18
komite sekolah, masyarakat dan factor lain yang mungkin
berpengaruh terhadap kurikulum.
b) Evaluasi Input
Evaluasi ini penting karena untuk pemberian
pertimbangan terhadap keberhasilan pelaksnaan kurikulum.
Evaluator menentukan tingkat kemanfaatan berbagai factor
yang dikaji dalam konteks pelaksanaan kurikulum.
Pertimbangan mengenai ini menjadi dasar bagi evaluator
untuk menentukan apakah perlu ada revisi atau pergantian
kurikulum.
c) Process
Evaluasi proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan
dari suatu inovasi kurikulum. Evaluator mengumpulkan
berbagai informasi mengenai keterlaksanaan implementasi
kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan proses
implementasi. Evaluator harus merekam berbagai pengaruh
variable input terhadap proses.
d) Product
Adapun tujuan utama dari evaluasi hasil adalah untuk
menentukan sejauh mana kurikulum yang diimplementasikan
tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan kelompok yang
menggunakannya. Evaluator mengumpulkan berbagai
macam informasi mengenai hasil belajar,
membandingkannya dengan standard dan mengambil
keputusan mengenai status kurikulum (direvisi, diganti atau
dilanjutkan).
Page 11 of 18
Model ekonomi mikro pada dasarnya adalah model yang
menggunakan pendekatan kuantitatif. Model ini memiliki fokus utama
pada hasil. Levin adalah tokoh yang banyak bekerja dalam model evaluasi
ekonomi mikro. Menurut Levin ada empat model di lingkungan ekonomi
mikro yaitu cost-effectiveness, cost-benefit, cost-utility, dan cost-
feasibility. Dari keempat model ini maka model cost- effectiveness
dianggap lebih sesuai untuk evaluasi kurikulum.
Evaluator yang menerapkan model cost-effectiveness harus dapat
membandingkan dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana
yang digunakan untuk masing-masing program maupun hasil yang
diakibatkan oleh setiap program. Perbandingan hasil dari kedua program
tadi akan memberikan masukan bagi para pembuat keputusan mengenai
program mana yang lebih menguntungkan dilihat dari hubungan antara
dana dan hasil.21
Dalam mengukur hasil, digunakan suatu instrumen yang sudah
distandarisasi. Penggunaan instrumen standar penting karena hanya
dengan demikian perbandingan antara biaya dengan hasil dapat dilakukan
secara berimbang (fair). Di sini terlihat bahwa penerapan model cost-
effectiveness menggunakan pendekatan pengembangan kriteria pre-
ordinate. Dengan menggunakan kriteria pre-ordinate karakteristik
masing- masing kurikulum yang dibandingkan tidak diperhitungkan.22
Oleh karena itu, Levin mengatakan bahwa model cost-effectiveness
hendakanya diterapkan untuk membandingkan dua kurikulum atau
program yang mempunyai tujuan identik atau serupa. Apabila tidak,
validitas perbandingan semakin menimbulkan persoalan.
21
R Ibrahim dan Masitoh, “Evaluasi Kurikulum “ dalam Kurikulum dan pembelajaran. (Jakarta :
Tim Pengembang MKDP FIP UPI, Rajawali Pers, 2011), hlm. 222.
22
Ibid.
Page 12 of 18
uang dalam mengukur hasil. Berapa besar uang yang diterima setelah
seseorang bekerja untuk jangka waktu tertentu sebagai akibat dari
pendidikan yang dialaminya. Perbedaan karakteristik kedua kurikulum
yang dibandingkan, baik perbedaan tujuan, proses, isi, dan lain
sebagainya adalah variable yang menjelaskan adanya perbedaan hasil
belajar.23
Model ketiga dalam kelompok model ekonomi mikro evaluasi
kurikulum adalah cost-utility. Pengertian utility menurut Levin adalah
“the estimated utility or value of their outcomes” dan bukan hasil belajar.
Pengertian utility yang dikemukakan Levin memberikan peluang bagi
evaluator untuk menggunakan baik data kuantitatif maupun data
kualitatif.24 Dengan peluang tersebut evaluator tidak dibatasi ruang
geraknya atas satu jenis data saja. Perkiraan-perkiraan dari para pakar
mengenai kegunaan dan nilai dari satu atau lebih program dapat
digunakan. Levin menganjurkan agar digunakannya skala kegunaan
(utility scale). Skala ini dapat bergerak dari 0 – 1 tapi dapat pula bergerak
dari 1 – 4, atau skala lainnya. Pokok utama skala yang digunakan ialah
bahwa setiap orang yang jadi responden memberikan pendapat mereka
berdasarkan skala yang sama.25
Hal penting lainnya ialah bahwa skala penilaian tersebut diukur
pada tingkat pengukuran interval dan bukan ordinal. Dengan demikian
setiap orang yang menempatkan kegunaan ataupun nilai suatu program
menyadari bahwa jarak antara satu titik dengan titik lainnya diasumsikan
sama. Pengukuran pada tingkat interval memberikan kemungkinan
kepada evaluator untuk menggunakan berbagai statistic dibandingkan
pengukuran pada tingkat ordinal. Levin menggunakan istilah “cardinal”
untuk skala yang dianjurkannya.
Model terakhir dari kelompok mikro ekonomi ialah yang
dinamakan model cost-feasibility. Berbeda dengan ketiga model
terdahulu, model cost-feasibility tidak berusaha mencari hubungan antara
23
Ibid., hlm. 223.
24
Ibid., hlm. 223-224.
25
Ibid.
Page 13 of 18
biaya dengan hasil tertentu. Sesuai dengan namanya, model cost-
feasibility didesain untuk menjawab pertanyaan evaluasi apakah biaya
yang diperlukan memang tersedia.26
Artinya, setelah ide suatu kurikulum dirumuskan, perhitungan
biaya untuk pelaksanaan kurikulum harus dilakukan. Apabila lembaga
atau departemen yang bersangkutan memiliki biaya di masa mendatang,
perhitungan biaya masa depan perlu diperhitungkan agar kurikulum yang
dikembangkan tersebut mendapat jaminan dalam implementasinya.
Jangan sampai biaya yang tersedia hanya untuk satu atau dua tahun
pelaksanaan implementasi kurikulum sedangkan tahun-tahun berikutnya
dana untuk implementasi kurikulum tidak tersedia, tidak cukup atau
bahkan masih belum tahu sumbernya.
Kalau ketiga atau salah satu dari ketiga keadaan terakhir yang
terjadi, kontinuitas implementasi kurikulum tidak terjamin, terjadi
pemborosan dalam pengembangan kurikulum, dan kurikulum tidak akan
menghasilkan apa yang dikemukakan dalam ide kurikulum.
26
Ibid.
27
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 103.
Page 14 of 18
lukisan, opera dan film bahkan anggur. Model kritik Eisner diadopsi
pada dunia pendidikan dan melahirkan model baru dalam
mengevaluasi kurikulum yang disebut dengan model kononurship
dan kritisisme. “Eisner points out that educational connoisseurship
is the art of appreciating the educationally significant”. Eisner
mengatakan menilai pendidikan merupakan salah satu seni terhadap
pendidikan.28
28
Ibid.
29
Ibid., hlm. 105.
30
Ibid.
Page 15 of 18
pada tulisan mereka yang berjudul Evaluation as illumination: a new
approach to study of innovatory programs. Pada akhirnya kedua
tokoh ini dikenal sebagai tokoh evaluasi yang melahirkan model
illuminatif. Banyak tokoh evaluasi lainnya yang merujuk kepada
Parlett dan Hamilton ketika menggunakan model ini diantaranya
Stenhouse dan Scrimshaw.31
31
Hamid Hasan, hlm. 233.
32
Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran,
(Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 113.
33
Hamid Hasan, hlm. 235.
Page 16 of 18
meneliti.
Penutup
Dari sekian uraian diatas dpat disimpulkan bahwa model-model
evaluasi kurikulum berdasarkan perkembangan evaluasi di dibedakan
menjadi:
Model Kuantitatif. Meliputi model Black Box Tyler, Model
Teoritik Taylor dan Maguire, Model Pendekatan Sistem Alkin, Model
Countenance Stake, Model CIPP. Ciri evaluasi kuantitatif adalah
penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai
konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme dan tidak
menggunakannya pendekatan proses dalam mengembangkan kriteria
evaluasi.
Model Ekonomi Mikro meliputi cost-effectiveness yang
menggunakan angka (score) sebagai unit pengukuran hasil belajar, cost-
34
Mohammad Ansyar, hlm. 491-492.
Page 17 of 18
benefit yang menggunakan unit uang dalam mengukur hasil, cost-utility
yang diukur pada tingkat pengukuran interval dan bukan ordinal, dan
yang terakhir model cost-feasibility yang tidak berusaha mencari
hubungan antara biaya dengan hasil tertetu melainkan menjawab
pertanyaan evaluasi apakah biaya yang diperlukan memang tersedia.
Model Kualitatif. Meliputi Model Evaluasi Connoisseurship yang
menggnakan pendekatan humanistic naturalistik, model illuminativ yang
berfokus pada deskripsi dari pada interpretasi angka dalam memprediksi
penelitian dan yang terakhir model Responsive Stake
Daftar Literatur
Ansyar, Mohamad. 2015.Kurikulum: Hakikat, Fondasi, Desain, dan
Pengembangan, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Arifin, Zainal. 2014.Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung, PT.
Rosda Karya.
Hasan, Hamid. 2009. Evaluasi Kurikulum, Bandung: PT. Rosda Karya.
Mulyono, Yatin. 2017. Sardimi, Ayatusa’adah, dan Nanik Lestariningsih,
Implementasi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Biologi Terintegrasi
Keislaman Di Madrasah Aliyah (MA): Model Evaluasi CIPPO, Jurnal
Transformatif, vol. 1, no. 2 Oktober.
Sukmadinata,Nana Syaodih. 2012. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Page 18 of 18