Anda di halaman 1dari 19

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/333394348

Model Evaluasi Kurikulum PAI dalam Pembelajaran

Article · May 2019

CITATIONS READS

0 6,171

1 author:

Imron Maulana
STAIN PAMEKASAN
4 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Hadis Shahih dan Syarat-syaratnya View project

All content following this page was uploaded by Imron Maulana on 27 May 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Model Evaluasi Kurikulum PAI dalam Pembelajaran

Imron Maulana (18380011017)


Email: imronmaulana22@gmail.com

Abstrak: tulisan ini membahas model-model evaluasi kurikulum


sebagai acuan para evaluator untuk melakukan pelacakan
keberhasilah sebuah kurikulum dalam pembelajaran. Jenis
tulisan ini merupakan jenis tulisan deksriptif, apa yang dijelaskan
di dalamnya mendiskrpsikan soal-soal model evalusia kurikulum
tersebut. Akhirnya dari tulisan ini dapat disimpulkan secara
umum model evaluasi kurikulum bisa dibedakan menjadi dua,
diantaranya: Model Kuantitatif. Meliputi model Black Box Tyler,
Model Teoritik Taylor dan Maguire, Model Pendekatan Sistem
Alkin, Model Countenance Stake, Model CIPP. Dan Model
Kualitatif. Meliputi Model Evaluasi Connoisseurship yang
menggnakan pendekatan humanistic naturalistik, model
illuminativ yang berfokus pada deskripsi dari pada interpretasi
angka dalam memprediksi penelitian dan yang terakhir model
Responsive Stake.
Kata kunci: model evaluasi, kurikulm PAI, pembelajaran

Pendahuluan
Evaluasi kurikulum merupakan suatu aktivitas ilmiah yang
memiliki keterkaitan erat dengan proses pengembangan kurikulum.
Keduanya tidak terpisahkan dan hubungan antara keduanya saling terkait
dan menjadi hal yang penting. Evaluasi kurikulum tanpa kurikulum tidak
punya arti, sebaliknya kurikulum tanpa evaluasi tidak akan mendapatkan
hasil yang maksimal baik dalam proses konstruksi kurikulum maupun
dalam proses pelaksanaan kurikulum.
Evaluasi kurikulum juga merupakan suatu kebijakan publik.
Keberadaan evaluasi didasari oleh ketentuan bahwa pengembangan
kurikulum harus terbuka untuk di evaluasi. Dengan adanya Undang-
Undang Nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Indonesia telah memiliki landasan hukum yang mewajibkan adanya
evaluasi terhadap konstruksi kurikulum dan pelaksanaan kurikulum.
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam

Page 1 of 18
penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya maupun
pengambilan keputusan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan
langkah pengembangan kurikulum selanjutnya.
Evaluasi kurikulum sendiri memiliki beberapa model-model yang
digunakan dalam mengevaluasi kurikulum. Model-model tersebut
diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada evaluator untuk
mempertimbangkan model yang tersedia untuk dipilih sesuai dengan
pekerjaan yang dilakukan. Evaluator yang akan melakukan pekerjaanya
harus memahami keunggulan dan kelemahan tersebut dan kemudian
menggunakan model yang sesuai dengan keperluannya.
Beberapa model-model evaluasi kurikulum yang cukup popular
akan dibahas pada sub bahasan tulisan ini.

Model-Model Evaluasi Kurikulum

1. Model Evaluasi Kuantitatif

Ada beberapa model evaluasi yang tersedia untuk dipilih para


evaluator sesuai pertimbangan pekerjaan yang dilakukan. Pemilihan ini
perlu karena setiap model memiliki sisi unggul dan sisi lemah, sehingga
dua sisi itulah yang harus dipahami oleh para evaluator. Sekalipun
demikian bukan berarti tidak ada kemungkinan bagi evaluator untuk
mengembangkan modelnya sendiri, karena model-model yang akan
dibahas disini merupakan model yang banyak digunakan bukan model
yang satu- satunya ada.

Adapun ciri yang menonjol dari evaluasi kuantitatif adalah


penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai
konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme. Sehingga
model-model evaluasi kuantitatif yang ada menekankan peran penting
metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya dari model-
model kuantitatif adalah tidak digunakannya pendekatan proses dalam
mengembangkan kriteria evaluasi.

Berikutnya model-model kuantitatif ini sama-sama memiliki

Page 2 of 18
fokus evaluasi yaitu pada dimensi kurikulum sebagai hasil belajar.
Dimensi ini (hasil belajar) adalah merupakan kriteria pokok bagi model-
model kuantitatif. Adapun diantara model-model evaluasi kurikulum yang
terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah sebagai berikut:
a. Model Black Box Tyler
Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama
resmi yang diberikan oleh pengembangnya yaitu Tyler. Walaupun
model ini tergolong tua tapi masih banyak digunakan dalam proses
evaluasi kurikulum, sehingga masih dianggap aktual. Model ini
dibangun atas dua dasar, yaitu evaluasi yang ditunjukkan pada
peserta didik dan bahan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku
awal peserta didik dan saat peserta didik telah melaksanakan
kurikulum itu sendiri.1 Fokus evaluasi ini sebenarnya hanya
berhubungan pada dimensi belajar.2

Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler


adalah sebagai berikut:

a) Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Tujuan


kurikulum yang dimaksud disini adalah model tujuan
behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah dikembangkan
sejak kurikulum 1975. Adapun untuk kurikulum KTSP saat
ini maka harus mengembangkan tujuan behavioral ini jika
berkenaan dengan model kurikulum berbasis kompetensi.3

b) Menentukan situasi dimana peserta didik mendapatkan


kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang
berhubungan dengan tujuan. Dari langkah ini diharapkan
evaluator memberikan perhatian dengan seksama supaya
proses pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil
belajar yang dirancang kurikulum.4

1
Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung, PT. Rosda Karya, 2014),
hlm 281.
2
Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2009), hlm. 188.
3
Ibd., hlm. 190-191
4
Ibid.

Page 3 of 18
c) Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk
megukur tingkah laku peserta didik. Alat evaluasi ini dapat
berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara dan
sebagainya. Adapun instrument evaluasi ini harus teruji
validitas dan reliabilitasnya.5

Inilah tiga prosedur dalam evaluasi model Tyler. Adapun


kelemahan dari model Tyler ini adalah tidak sejalan dengan
pendidikan karena fokus pada hasil belajar dan mengabaikan
dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses
belajar. Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti
mengabaikan komponen penting dari kurikulum.6
Adapun kelebihan dari model Tyler ini adalah
kesederhanaanya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya
hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar.
Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi fokus evaluasi.7

b. Model Teoritik Taylor dan Maguire


Model evaluasi kurikulum Taylor dan Maguire ini lebih
menitik beratkan pada pertimbangan teoritik suatu model evaluasi
kurikulum.8 Dengan pertimbangan teoritik, Taylor dan Maguire
ingin menerapkan apa yang seharusnya terjadi pada proses
pelaksanaan kurikulum.
Dalam melaksanakan evaluasi kurikulum sesuai model
teoritik Taylor dan Maguire meliputi dua hal, yaitu: pertama,
mengumpulkan data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber
mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode, konten,
hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam jangka panjang.
Dikatakan data objektif karena mereka berasal dari luar

5
Ibid., 190-193.
6
Ibid., hlm. 193
7
Ibid.
8
Ibid., hlm. 194.

Page 4 of 18
pertimbangan evaluator. Kedua, pengumpulan data yang merupakan
hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas tujuan,
masukan dan hasil belajar.9
Adapun cara kerja model evaluasi Taylor dan Maquaire ini
adalah sebagai berikut:10

a) Dimulai dari adanya tekanan/keinginan masyarakat terhadap


pendidikan. Tekanan dan tuntutan masyarakat ini
dikembangkan menjadi tujuan. Kemudian tujuan dari
masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan yang ingin
dicapai kurikulum. Adapun dalam pengembangan KTSP
maka tekanan dari masyarakat ini dikembangkan pada tingkat
Nasional dalam bentuk Standar Isi dan Standar Kompetensi
Kelulusan. Dari dua standar ini maka satuan pendidikan
mengembangkan visi dan tujuan yang hendak dicapai satuan
pendidikan. Kemudian tujuan satuan pendidikan tersebut
menjadi tujuan kurikulum dan tujuan mata pelajaran.

b) Evaluator mencari data mengenai keserasian antara tujuan


umum dengan tujuan behavioral. Maka tugas evaluator disini
mencari relevansi antara tujuan satuan pendidikan,
kurikulum dan mata pelajaran yang berbeda dalam tingkat-
tingkat abstraksinya. Dalam tahap ini evaluator harus
menentukan apakah pengembagan tujuan behavioral tersebut
membawa gains atau losses dibandingkan dengan tujuan
umum ditahap pertama.

c) Penafsiran tujuan kurikulum. Pada tahap ini tugas evaluator


adalah memberikan pertimbangan mengenai nilai tujuan
umum pada tahap pertama. Adapun dua criteria yang
dikemukan oleh Taylor dan Maguaire dalam memberi
pertimbangan adalah: Pertama, kesesuaian dengan tugas
utama sekolah. Kedua, tingkat pentingnya tujuan kurikulum

9
Ibid., hlm. 194-195.
10
Ibid., hlm. 195-199.

Page 5 of 18
untuk dijadikan program sekolah. adapun hasil dari kegiatan
ini adalah sejumlah tujuan behavioral yang sudah tersaring
dan akan dijadikan tujuan yang akan dicapai oleh mata
pelajaran yang bersangkutan.

d) Mengevaluasi pengembangan tujuan menjadi pengalaman


belajar. Tugas evaluator disini adalah menentukan hasil dari
suatu kegiatan belajar. Menelaah apakah hasil belajar yang
telah diperoleh dapat digunakan dalam kehidupan
dimasyarakat. Karena kurikulum yang baik adalah kurikulum
yang menjadikan hasil belajar yang diperoleh peserta didik
dapat digunakan dalam kehidupannya di masyarakat.

e) Mengevaluasi keterhubungan antara strategi yang


dikembangkan dalam dokumen dengan strategi yang
dikembangkan dalam realita interaksi. Artinya evaluator
harus mencari data strategi yang mampu memajukan gerak
pencapaian tujuan sebagai bentuk bukti nyata bahwa strategi
tersebut layak digunakan.
Kelebihan dari model ini adalah memberikan kesempatan
pada evaluator untuk menerapkan kajian secara komprenhensip.
Baik nilai maupun arti kurikulum dapat dikaji dengan menggunakan
model ini. Adapun masalahnya bila diterapkan di Indonesia bahwa
model ini hanya diterapkan di tingkat satuan pendidikan. Sehingga
keseluruhan proses pengembangan kurikulum tingkat nasional tidak
dapat dievaluasi dengan model ini.

c. Model Pendekatan Sistem Alkin


Model evaluasi yang dikembangkan Alkin termasuk model
yang unik dimana ia selalu memasukkan unsur pendekatan ekonomi
mikro dalam pengerjaan evaluasinya. Alkin memasukkan variabel
perhitungan ekonomi. Adapun dua hal yang harus diperhatikan oleh
evaluator dalam model ini adalah pengukuran dan control variable.
Sistem Alkin tetap memakai tiga komponen pembagian (masukan,

Page 6 of 18
perantara, dan keluaran) seperti dalam pendekatan sistem pada
umumnya. 11

Alkin juga mengenal sistem internal dalam yang merupakan


interaksi antar komponenyang berhubungan langsung dengan
pendidikan, juga sistem eksternal3luar yang memiliki pengaruh atau
dipengaruhi oleh pendidikan.

Model Alkin dikembangkan berdasarkan empat asumsi.


Apabila keempat asumsi ini sudah dipenuhi maka model Alkin dapat
digunakan. Adapun keempat asumsi itu yaitu:12
a) Variable perantara adalah satu-satunya variable yang dapat
dimanipulasi.
b) Sistem luar tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran sistem
(persekolahan)
c) Para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki kontrol
mengenai pengaruh yang diberikan sistem luar terhadap
sekolah.
d) Faktor masukan mempengaruhi aktivitas faktor perantara
dan pada gilirannya faktor perantara berpegaruh terhadap
faktor keluaran.
Alkin juga mengemukakan bahwa ada lima jenis evaluasi,
yaitu: sistem assessment, memberikan informasi tentang keadaan
atau posisi dari suatu sistem; program planning,membantu pemilihan
program tertentu yang mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhan
program; program implementation, menyiapkan informasi apakah
suatu program sudah diperkenalkan kepada kelompok terntentu yang
tepat sebagaimana yang direncanakan; program improvment,
memberikan informasi bagaimana sebuah sistem bekerja sekaligus
berfungsi; program certification, memberikan informasi tentang nilai
atau manfaat suatu program.13
Adapun kelebihan dari model ini adalah keterikatannya

11
Ibid., hlm. 200.
12
Ibid., hlm. 202.
13
Zainal Arifin, hlm. 286.

Page 7 of 18
dengan system. Dengan model pendekatan system ini kegiatan
sekolah dapat diikuti dengan seksama mulai dari variable-variable
yang ada dalam komponen masukan, proses dan keluaran. Komponen
masukan yang dimaksudkan adalah semua informasi yang
berhubungan dengan karakteristik peserta didik, kemampuan
intelektual, hasil belajar sebelumnya, kepribadian, kebiasaan, latar
belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan sebagainya.14
Yang dimaksud dengan proses disini meliputi factor
perantara yang merupakan kelompok variable yang secara langsung
memperngaruhi keluaran. Adapun yang masuk dalam variable
perantara ini diantaranya adalah rasio jumlah guru dengan peserta
didik, jumlah peserta didik dalam kelas, pengaturan administrasi,
penyediaan buku bacaan, prosedur pengajaran dan sebagainya.
Adapun keluaran peserta didik adalah setiap perubahan yang
terjadi pada diri peserta didik sebagai akibat dari pengalaman belajar
yang diperolehnya. Perubahan ini harus diikuti sejak peserta didik
masuk sistem hingga keluar system. Perubahan harus diukur meliputi
setiap aspek perubahan yang mungkin terjadi termasuk didalamnya
kemampuan peserta didik dalam melanjutkan pelajaran ditingkat
pendidikan yang lebih tinggi, pada waktu memasuki lapangan kerja,
dalam melakukan pekerjaan bahkan termasuk aktifitas dalam
kehidupna di masyarakat.
Dari uraian diatas kita temukan kelemahan dari model Alkin
adalah keterbatasannya dalam fokus kajian yaitu yang hanya fokus
pada kegiatan persekolahan. Sehingga model ini hanya dapat
digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap
dilaksanakan disekolah.15

d. Model Countenance Stake


Model countenance adalah model pertama evaluasi

14
Hamid Hasan, hlm. 205.
15
Ibid., hlm. 206.

Page 8 of 18
kurikulum yang dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan
modelnya ini pada evaluasi formal. Evaluasi formal adalah evaluasi
yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan.
Model countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matrik pertama
dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks
Pertimbangan.16 Penjelasannya sebagai berikut:17
a) Matrik Deskripsi
Kategori pertama dari matrik deskripsi adalah sesuatu
yang direncanakan (intent) pengembang kurikulum dan
program. Dalam konteks KTSP maka kurikulum tersebut
adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan
pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan RPP
yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah observasi,
yang berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai
implementasi dari apa yang diinginkan pada kategori
pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan
observasi mengenai antecendent, transaksi dan hasil yang ada
di satu satuan pendidikan atau unit kajian yang terdiri atas
beberapa satuan pendidikan.
b) Matrik Pertimbangan
Dalam matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan
dan fokus antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang
diperoleh). Standar adalah criteria yang harus dipenuhi oleh
suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan.
Berikutnya adalah evaluator hendaknya melakukan
pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori
pertama dan matrik deskriptif.

Adapun dua hal lain yang harus diperhatikan dalam


menggunakan model countenance adalah contingency dan

16
Ibid.
17
Ibid., hlm. 208-210.

Page 9 of 18
congruence. Kedua konsep ini adalah konsep yang memperlihatkan
keterkaitan dan keterhubungan 12 kotak tersebut. Contingency
terdiri atas contigency logis dan contingency empiric. Contingency
logis adalah hasil pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan logis
antara kotak antecedence dengan traksaksi dan hasil. Kemudian
evaluator juga harus memberikan pertimbangan empiris berdasarkan
data lapangan.18
Evaluator juga harus memberikan pertimbangan congruence
atau perbedaan yang terjadi antara yang direncanakan dengan yang
terjadi dilapangan. Adapun kelebihan dari model ini adalah adanya
analisis yang rinci. Setiap aspek dicoba dikaji kesesuainnya.
Misalkan, analisis apakah persyaratan awal yang direncanakan
dengan yang terjadi sesuai atau tidak? Hasil belajar peserta didik
sesuai tidak dengan harapan.

e. Model CIPP
Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketuai
oleh Stufflebeam. Sehingga sesuai dengan namanya, model CIPP ini
memiliki 4 jenis evaluasi yaitu: evaluasi context (konteks), input
(masukan), process (proses), dan product (hasil).19 Adapun tugas
evaluator dari keempat jenis evaluasi tersebut adalah sebagai
berikut:20
a) Evaluasi Context
Tujuan utama dari evaluasi context adalah untuk
mengetahui kekuatan dan kelemahan evaluan. Evaluator
mengidentifikasi berbagai factor guru, peserta didik,
manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran

18
Ibid., hlm. 212.
19
Mohamad Ansyar, Kurikulum: Hakikat, Fondasi, Desain, dan Pengembangan, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2015), hlm. 487. Lihat juga di, Yatin Mulyono, Sardimi, Ayatusa’adah, dan
Nanik Lestariningsih, Implementasi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Biologi Terintegrasi
Keislaman Di Madrasah Aliyah (MA): Model Evaluasi CIPPO, Jurnal Transformatif, vol. 1, no. 2
(Oktober 2017), hlm. 250.
20
Mohammad Ansyar, hlm. 487-488.

Page 10 of 18
komite sekolah, masyarakat dan factor lain yang mungkin
berpengaruh terhadap kurikulum.
b) Evaluasi Input
Evaluasi ini penting karena untuk pemberian
pertimbangan terhadap keberhasilan pelaksnaan kurikulum.
Evaluator menentukan tingkat kemanfaatan berbagai factor
yang dikaji dalam konteks pelaksanaan kurikulum.
Pertimbangan mengenai ini menjadi dasar bagi evaluator
untuk menentukan apakah perlu ada revisi atau pergantian
kurikulum.
c) Process
Evaluasi proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan
dari suatu inovasi kurikulum. Evaluator mengumpulkan
berbagai informasi mengenai keterlaksanaan implementasi
kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan proses
implementasi. Evaluator harus merekam berbagai pengaruh
variable input terhadap proses.
d) Product
Adapun tujuan utama dari evaluasi hasil adalah untuk
menentukan sejauh mana kurikulum yang diimplementasikan
tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan kelompok yang
menggunakannya. Evaluator mengumpulkan berbagai
macam informasi mengenai hasil belajar,
membandingkannya dengan standard dan mengambil
keputusan mengenai status kurikulum (direvisi, diganti atau
dilanjutkan).

Dari uraian diatas diketahui bahwa model CIPP adalah


model evaluasi yang tidak hanya dilaksanakan dalam situasi inovasi
sedang dilaksanakan, tetapi justru model ini dilakukan ketika inovasi
akan dan belum dilaksanakan.

2. Model Evaluasi Ekonomi Mikro

Page 11 of 18
Model ekonomi mikro pada dasarnya adalah model yang
menggunakan pendekatan kuantitatif. Model ini memiliki fokus utama
pada hasil. Levin adalah tokoh yang banyak bekerja dalam model evaluasi
ekonomi mikro. Menurut Levin ada empat model di lingkungan ekonomi
mikro yaitu cost-effectiveness, cost-benefit, cost-utility, dan cost-
feasibility. Dari keempat model ini maka model cost- effectiveness
dianggap lebih sesuai untuk evaluasi kurikulum.
Evaluator yang menerapkan model cost-effectiveness harus dapat
membandingkan dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana
yang digunakan untuk masing-masing program maupun hasil yang
diakibatkan oleh setiap program. Perbandingan hasil dari kedua program
tadi akan memberikan masukan bagi para pembuat keputusan mengenai
program mana yang lebih menguntungkan dilihat dari hubungan antara
dana dan hasil.21
Dalam mengukur hasil, digunakan suatu instrumen yang sudah
distandarisasi. Penggunaan instrumen standar penting karena hanya
dengan demikian perbandingan antara biaya dengan hasil dapat dilakukan
secara berimbang (fair). Di sini terlihat bahwa penerapan model cost-
effectiveness menggunakan pendekatan pengembangan kriteria pre-
ordinate. Dengan menggunakan kriteria pre-ordinate karakteristik
masing- masing kurikulum yang dibandingkan tidak diperhitungkan.22
Oleh karena itu, Levin mengatakan bahwa model cost-effectiveness
hendakanya diterapkan untuk membandingkan dua kurikulum atau
program yang mempunyai tujuan identik atau serupa. Apabila tidak,
validitas perbandingan semakin menimbulkan persoalan.

Model evaluasi ekonomi mikro yang kedua adalah cost-benefit.


Berbeda dengan cost-effectiveness yang menggunakan angka (score)
sebagai unit pengukuran hasil belajar, cost-benefit menggunakan unit

21
R Ibrahim dan Masitoh, “Evaluasi Kurikulum “ dalam Kurikulum dan pembelajaran. (Jakarta :
Tim Pengembang MKDP FIP UPI, Rajawali Pers, 2011), hlm. 222.
22
Ibid.

Page 12 of 18
uang dalam mengukur hasil. Berapa besar uang yang diterima setelah
seseorang bekerja untuk jangka waktu tertentu sebagai akibat dari
pendidikan yang dialaminya. Perbedaan karakteristik kedua kurikulum
yang dibandingkan, baik perbedaan tujuan, proses, isi, dan lain
sebagainya adalah variable yang menjelaskan adanya perbedaan hasil
belajar.23
Model ketiga dalam kelompok model ekonomi mikro evaluasi
kurikulum adalah cost-utility. Pengertian utility menurut Levin adalah
“the estimated utility or value of their outcomes” dan bukan hasil belajar.
Pengertian utility yang dikemukakan Levin memberikan peluang bagi
evaluator untuk menggunakan baik data kuantitatif maupun data
kualitatif.24 Dengan peluang tersebut evaluator tidak dibatasi ruang
geraknya atas satu jenis data saja. Perkiraan-perkiraan dari para pakar
mengenai kegunaan dan nilai dari satu atau lebih program dapat
digunakan. Levin menganjurkan agar digunakannya skala kegunaan
(utility scale). Skala ini dapat bergerak dari 0 – 1 tapi dapat pula bergerak
dari 1 – 4, atau skala lainnya. Pokok utama skala yang digunakan ialah
bahwa setiap orang yang jadi responden memberikan pendapat mereka
berdasarkan skala yang sama.25
Hal penting lainnya ialah bahwa skala penilaian tersebut diukur
pada tingkat pengukuran interval dan bukan ordinal. Dengan demikian
setiap orang yang menempatkan kegunaan ataupun nilai suatu program
menyadari bahwa jarak antara satu titik dengan titik lainnya diasumsikan
sama. Pengukuran pada tingkat interval memberikan kemungkinan
kepada evaluator untuk menggunakan berbagai statistic dibandingkan
pengukuran pada tingkat ordinal. Levin menggunakan istilah “cardinal”
untuk skala yang dianjurkannya.
Model terakhir dari kelompok mikro ekonomi ialah yang
dinamakan model cost-feasibility. Berbeda dengan ketiga model
terdahulu, model cost-feasibility tidak berusaha mencari hubungan antara

23
Ibid., hlm. 223.
24
Ibid., hlm. 223-224.
25
Ibid.

Page 13 of 18
biaya dengan hasil tertentu. Sesuai dengan namanya, model cost-
feasibility didesain untuk menjawab pertanyaan evaluasi apakah biaya
yang diperlukan memang tersedia.26
Artinya, setelah ide suatu kurikulum dirumuskan, perhitungan
biaya untuk pelaksanaan kurikulum harus dilakukan. Apabila lembaga
atau departemen yang bersangkutan memiliki biaya di masa mendatang,
perhitungan biaya masa depan perlu diperhitungkan agar kurikulum yang
dikembangkan tersebut mendapat jaminan dalam implementasinya.
Jangan sampai biaya yang tersedia hanya untuk satu atau dua tahun
pelaksanaan implementasi kurikulum sedangkan tahun-tahun berikutnya
dana untuk implementasi kurikulum tidak tersedia, tidak cukup atau
bahkan masih belum tahu sumbernya.
Kalau ketiga atau salah satu dari ketiga keadaan terakhir yang
terjadi, kontinuitas implementasi kurikulum tidak terjamin, terjadi
pemborosan dalam pengembangan kurikulum, dan kurikulum tidak akan
menghasilkan apa yang dikemukakan dalam ide kurikulum.

3. Model Evaluasi Kualitatif (Humanistik-Naturalistik)

a. Model Evaluasi Connoisseurship


Model evaluasi kurikulum ini dikembangkan oleh Elliot W.
Eisner dan kemudian dinamakan model evaluasi connoisseurship.
Elliot W. Eisner dilahirkan pada 1933 dan dibesarkan di Chicago. Ia
mendapatkan gelar Magister of Science bidang Art Education dari
Illinois Institut Technology dan Master of Arts bidang pendidikan
seni dari University of Chicago dan Ph.D dalam bidang pendidikan
pada universitas yang sama.27

Berdasarkan bidangnya pada seni, evaluasi model ini didasari


oleh kegiatan Eisner dalam mengkritisi hasil karya seni misalnya

26
Ibid.
27
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 103.

Page 14 of 18
lukisan, opera dan film bahkan anggur. Model kritik Eisner diadopsi
pada dunia pendidikan dan melahirkan model baru dalam
mengevaluasi kurikulum yang disebut dengan model kononurship
dan kritisisme. “Eisner points out that educational connoisseurship
is the art of appreciating the educationally significant”. Eisner
mengatakan menilai pendidikan merupakan salah satu seni terhadap
pendidikan.28

Ciri khas dari model ini, sebagai model penelitian dengan


pendekatan humanistic naturalistik, evaluan berpartisipasi langsung
sebagai observer pada proses penelitiannya. Evaluan secara seksama
dan teliti menganalisa pola kerja siswa dan guru. Ciri lainnya pada
model ini adalah penggunaan teknologi sebagai media di dalam
penelitiannya seperti penggunaan film, videotape, kamera dan
audiotape.29

Walaupun model ini belum memiliki struktur penelitian yang


baku, akan tetapi model penelitian ini memiliki tiga tahap: Tahap
pertama disebut tahap deskriptif yaitu mendeskripsikan seluruh pola
pembelajaran dan aktivitas di dalam kelas, tahap kedua yaitu
interpretasi di mana evaluan mulai menginterpretasi dan mengkritisi
pada yang terjadi pada tahap pertama. Penjelasan pada tahapan ini
akan menimbulkan aksi, reaksi dan interaksi pada apa yang diamati
dan tahap ketiga adalah tahap evaluasi di mana pada tahap ini evaluan
akan memberikan pertimbangan dan keputusan dari program
tersebut.30 Pertimbangan dan keputusan yang dibuat oleh evaluan
didasarkan kepada kritik yang dibuat oleh evaluan sendiri
berdasarkan data yang diperoleh pada tahap pertama dan kedua.
b. Model Illuminative.
Model ini pada awalnya diperkenalkan oleh Hanley pada
1969, namun dikembangkan lebih lanjut oleh Parlett dan Hamilton

28
Ibid.
29
Ibid., hlm. 105.
30
Ibid.

Page 15 of 18
pada tulisan mereka yang berjudul Evaluation as illumination: a new
approach to study of innovatory programs. Pada akhirnya kedua
tokoh ini dikenal sebagai tokoh evaluasi yang melahirkan model
illuminatif. Banyak tokoh evaluasi lainnya yang merujuk kepada
Parlett dan Hamilton ketika menggunakan model ini diantaranya
Stenhouse dan Scrimshaw.31

Parlett dan Hamilton mengatakan bahwa model ini tidak


membatasi diri dalam pengumpulan datanya seperti pada evaluasi
tradisional. Model ini memiliki fokus pada deskripsi daripada
interpretasi angka dalam memprediksi penelitian. Parlett dan
Hamilton mengatakan bahwa model ini bertujuan:32
a) Menggunakan prosedur yang disebut Progressive Focussing
dengan langkah-langkah pokok; orientasi, pengamatan lebih
terarah, dan analisis sebab akibat.
b) Bersifat kualitatif-terbuka, dan fleksibel-elektif.
c) Teknik evaluasi mencakup; observasi, wawancara, angket,
analisis dokumen dan bila perlu juga mencakup pula tes.

Ada tiga tahapan dan metode dalam mengumpulkan data


dengan menggunakan model illuminatif yaitu:33 Pertama, observasi.
Pada tahap ini evaluan mengobservasi keseluruhan program
pendidikan diantaranya tujuan sekolah, metode dalam belajar
mengajar, materi yang digunakan, dan teknik evaluasi yang
dilakukan guru.

Kedua, inkuiri. Pada tahap ini evaluan akan memisahkan data


penting dan yang tidak penting untuk dianalisa. Pada tahap ini pula
evaluan tidak hanya “mengetahui” program itu berjalan tetapi
mengapa program itu dapat berjalan. Untuk mencari jawaban
tersebut evaluan harus menghabiskan waktunya di lapangan untuk

31
Hamid Hasan, hlm. 233.
32
Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran,
(Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 113.
33
Hamid Hasan, hlm. 235.

Page 16 of 18
meneliti.

Ketiga, ekspalanasi. Pada tahap ini evaluan tidak saja


memberikan pertimbangan dan keputusan pada hasil penelitiannya,
tetapi memperkaya data tersebut dengan cara menjelaskan apa yang
terjadi dan mengapa itu bisa terjadi.
c. Model Responsive Stake
Model kedua yang dikembangkan oleh Stake untuk
mengevaluasi kurikulum adalah model responsive. Model ini
digunakan untuk memberikan penegasan kepada beberapa hal dengan
ciri: deskripsi beberapa variabel yang tidak selalu bisa diisolasi; data
berasal dari hasil obsevasi personal; komparasi yang mungkin
implisit daripada eksplisit; pentingnya pemahaman tentang kasus
studi itu sendiri; generalisasi sebagai hasil pengalaman evaluator itu
sendiri yang berasal dari pengetahuan yang dialami peneliti; gaya
laporan bernada informal.34

Penutup
Dari sekian uraian diatas dpat disimpulkan bahwa model-model
evaluasi kurikulum berdasarkan perkembangan evaluasi di dibedakan
menjadi:
Model Kuantitatif. Meliputi model Black Box Tyler, Model
Teoritik Taylor dan Maguire, Model Pendekatan Sistem Alkin, Model
Countenance Stake, Model CIPP. Ciri evaluasi kuantitatif adalah
penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai
konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme dan tidak
menggunakannya pendekatan proses dalam mengembangkan kriteria
evaluasi.
Model Ekonomi Mikro meliputi cost-effectiveness yang
menggunakan angka (score) sebagai unit pengukuran hasil belajar, cost-

34
Mohammad Ansyar, hlm. 491-492.

Page 17 of 18
benefit yang menggunakan unit uang dalam mengukur hasil, cost-utility
yang diukur pada tingkat pengukuran interval dan bukan ordinal, dan
yang terakhir model cost-feasibility yang tidak berusaha mencari
hubungan antara biaya dengan hasil tertetu melainkan menjawab
pertanyaan evaluasi apakah biaya yang diperlukan memang tersedia.
Model Kualitatif. Meliputi Model Evaluasi Connoisseurship yang
menggnakan pendekatan humanistic naturalistik, model illuminativ yang
berfokus pada deskripsi dari pada interpretasi angka dalam memprediksi
penelitian dan yang terakhir model Responsive Stake

Daftar Literatur
Ansyar, Mohamad. 2015.Kurikulum: Hakikat, Fondasi, Desain, dan
Pengembangan, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Arifin, Zainal. 2014.Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung, PT.
Rosda Karya.
Hasan, Hamid. 2009. Evaluasi Kurikulum, Bandung: PT. Rosda Karya.
Mulyono, Yatin. 2017. Sardimi, Ayatusa’adah, dan Nanik Lestariningsih,
Implementasi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Biologi Terintegrasi
Keislaman Di Madrasah Aliyah (MA): Model Evaluasi CIPPO, Jurnal
Transformatif, vol. 1, no. 2 Oktober.
Sukmadinata,Nana Syaodih. 2012. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. 2012. Kurikulum dan


Pembelajaran. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Page 18 of 18

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai