Anda di halaman 1dari 16

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (Kajian

Teoritis Tentang Evaluasi Kurikulum Dalam


Pembelajaran)
A. Latar Belakang Masalah
9. Model Evaluasi Kurikulum
Terdapat beberapa model untuk evaluasi kurikulum, yakni mulai dari yang sederhana
sampai yang paling kompleks. Yatim (2006: 63)
memaparkan beberapa jenis evaluasi kurikulum , antara lain (1) Model Educational
System Evaluation yang terdiri dari model CIPP, model EPIC, model CEMREL, model
Atkinson, dan model stake; (2) model evaluasi yang lain yakni, model measurement,
model Congruence dan model Illuminatif.
a) Model CIPP (context, input, process, dan product)
Model desain evaluasi kurikulum CIPP dikembangkan oleh Daniel Stufelbearn yang di
dalamnya mengandung empat unsur cakupan antara lain:
1) Context adalah penilaian yang berkaitan dengan usaha-usaha penemuan kebutuhan-
kebutuhan peserta didik dengan berbagai masalah yang bersifat deskriptif dan
komparatif. Kesimpulan dari penelitian dipergunakan untuk menentukan tujuan-tujuan
sebagai titik pangkal bagi program pendidikan.
2) Input (masukan) yakni penilaian yang diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai bagaimana menggunakan sumber-sumber untuk mencapai tujuan. Penilaian
ini berfungsi untuk mencari informasi yang dipergunakan menilai adanya beberapa
alternatif strategi yang dapat dipilih sehingga mampu memberikan bantuan kepada
pengambil keputusan untuk memilih dan merancang prosedur yang kiranya sesuai
dengan mencapai tujuan program
3) Proses yaitu penilaian yang dilakukan pada saat program berlangsung, sehingga
mampu menggambarkan kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan prosedur untuk
mengetahui kekurangan-kekurangan dalam desain pembelajaran. Penilaian ini berfungsi
untuk membantu dalam pengambilan keputusan dalam berbagai kesulitan-kesulitan
4) Product yakni penilaian yang berupaya untuk mengukur dan menafsirkan pencapaian
suatu program. Hasilnya dipergunakan sebagai bahan perbandingan antara harapan
dan hasil aktual.
Penilaian ini membantu pengambilan keputusan untuk menentukan program tersebut,
apakah akan dilanjutkan, diakhiri, atau diadakan perombakan
b) Model EPIC (evaluation program innovative curriculum)
Model EPIC atau evaluation program innovative curriculum menggambarkan
keseluruhan program evaluasi dalam sebuah kubus. Menurut Nana (2005: 189) jika
dipandang bentuk evaluasi model ini dalam sebuah kubus, maka yang akan tampak
adalah tiga bidang kubus. Bidang pertama adalah behavior atau perilaku yang menjadi
sasaran pendidikan yang meliputi perilaku cognitive, affective, dan psychomotor.
Bidang kedua adalah instruction atau pengajaran, yang meliputi organization,
content, method, facilities and cost, dan bidang ketiga adalah kelembagaan yang meliputi
student, teacher, administrator, educational specialist, family and community.
Evaluasi dengan model EPIC dapat digambarkan sebagai berikut:
c) Model CEMREL (Central Midwestern Regional Education)
Model evaluasi ini dikembangkan oleh Edward Russeet dan Louis Smith yang
menitikberatkan evaluasi pada tiga aspek, yakni: (1) fokus evaluasi yang menekankan
penilaian terhadap peserta didik mediator dan material; (2) peranan evaluasi adalah
evaluasi yang berkaitan dengan kegiatan yang sedang berjalan dan evaluasi pada akhir
kegiatan; (3) data yakni penilaian yang bersumber pada skala respon kuesioner dan
observasi.
d) Model Atkinson
Evaluasi kurikulum menurut Atkinson, adalah penilaian yang diarahkan pada tiga
domain, yakni: (1) struktur adalah penilaian yang berhubungan dengan masalah
perencanaan sekolah dan organisasi sekolah; (2) proses yakni penilaian yang berkaitan
dengan proses pembelajaran yang sedang berlangsung; (3) produk yaitu penilaian yang
mencakup perilaku sebagai hasil belajar peserta didik.
e) Model Stake (the stake congruence contingency model)
Menurut Robert E. Stake (dalam Brady, 1995: 269) bahwa pelaksanaan dalam evaluasi
kurikulum mencakup deskripsi dan judgment (pertimbangan) mengenai program
pendidikan. Dalam program pendidikan ada tiga fase yang perlu mendapat perhatian,
yakni antecedents, transaction, dan outcomes.
Antecedents (pendahuluan) merupakan kondisi yang mendahului proses pembelajaran
yang mencakup karakter peserta didik dan guru, isi kurikulum, materi pembelajaran,
organisasi sekolah, dan konteks masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang
harus ada sebelum dilakukannya kegiatan transaksi, juga akan mempengaruhi hasil
atau pengeluaran. Transaction (transaksi) merupakan proses pembelajaran yang meliputi
komunikasi, alokasi waktu, urutan kegiatan, dan suasana sosial.
Outcomes (hasil) adalah hasil yang akan dicapai oleh program, meliputi prestasi siswa,
sikap, keterampilan, efek pada guru dan lembaga. Evaluasi kurikulum menurut model ini
mencakup ketiga fase di atas, melalui dua operasi evaluasi, yaitu deskripsi dan
judgment.
f) Model Measurement
Model evaluasi kurikulum ini dikembangkan Thorndike dan Ebel. Mereka menyatakan
bahwa evaluasi pada dasarnya adalah sebagai pengukuran perilaku peserta didik untuk
mengungkapkan perbedaan-perbedaan individual maupun kelompok. Hasil evaluasi
digunakan untuk kepentingan evaluasi/seleksi peserta didik untuk membandingkan
efektivitas antara dua atau lebih program atau kurikulum.
Objek evaluasi mencakup hasil belajar peserta didik, terutama yang dapat diukur melalui
“paper and pencil test”. Dengan demikian, data yang dipergunakan dalam model ini
hanya terbatas pada data objektif, khususnya skor hasil test.
Pendekatan yang digunakan dalam evaluasi ini terdiri dari (1) penentuan kedudukan
individu dalam kelompok; (2) perbandingan hasil belajar antara dua atau lebih dari
kelompok yang menggunakan program kurikulum yang berbeda, dengan teknik
penilaian yang digunakan dengan tes, khususnya tes objektif.
g) Model Congruence
Model Congruence dikemukakan Tyler, Carrol, dan Cronbach. Mereka menyatakan,
evaluasi merupakan kegiatan untuk memeriksa kesesuaian antara tujuan dan hasil
belajar yang dicapai. Hasil evaluasi ini dipergunakan untuk keperluan penyempurnaan
program dan informasi kepada pihak-pihak di luar pendidikan.
Objek evaluasi meliputi semua hasil belajar peserta didik yang mencakup aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian,
data yang dipergunakan dalam model ini cenderung pada data objektif berupa skor tes
dan teknik lainnya.
Pendekatan yang dipakai dalam model ini adalah prosedur pre dan post assessment
(tugas awal dan akhir). Hasil tes tersebut, kemudian dianalisis bagian demi bagian.
Dalam pengumpulan data mempergunakan tes maupun teknik-teknik lainnya yang
sesuai.
h) Model Illuminatif(Parlet dan Hamilton)
Menurut Robert E. Stake (dalam Brady, 1995: 269) bahwa model Illuminatif (Parlet dan
Hamilton) menyoroti masalah tentang pelaksanaan program, pengaruh lingkungan,
serta pengaruh program terhadap hasil belajar. Hasil evaluasi ini digunakan untuk
keperluan penyempurnaan program.
Objek evaluasinya mencakup latar belakang, proses pelaksanaan, hasil belajar dan
kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Data yang digunakan dalam model ini lebih banyak
merupakan data subjektif hasil keputusan dari berbagai pihak. Pendekatan evaluasi
model ini melalui berbagai tahap, mulai dari tahap orientasi pengamatan sampai
analisis. Untuk mengumpulkan data digunakan observasi atau pengamatan, wawancara,
angket, dan dokumentasi.
Dilihat dari kepentingan pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang ada
di Indonesia, model evaluasi kurikulum model Educational System Evaluation dipandang
sebagai model yang paling tepat di antara model lainnya yang telah dibahas di atas.
Dalam model ini, terlihat beberapa ciri evaluasi yang memang diperlukan untuk
menghasilkan masukan bagi pengambilan keputusan tentang penyempurnaan
kurikulum, serta tindak lanjut kegiatan pengembangan di masa yang akan datang. Ciri-
cirinya adalah sebagai berikut: (1) evaluasi selalu didahului oleh adanya kriteria yang
jelas; (2) proses evaluasi pada
dasarnya merupakan kegiatan membandingkan performance dan kriteria; (3) objek
evaluasi mencakup berbagai dimensi program dan tidak hanya hasil belajar siswa,
melainkan mencakup pula input dan proses pelaksanaan program; (4) data yang
digunakan dalam evaluasi ini tidak hanya data objektif (skor hasil tes), melainkan juga
data subjektif yang diperoleh melalui judgment kriteria intern (kriteria yang dibuat oleh
pengembang kurikulum itu sendiri) maupun perbandingan dengan kriteria eksternal
(melalui perbandingan dengan performance kurikulum yang lain); (5) dalam
pengumpulan data untuk evaluasi, digunakan berbagai macam teknik seperti tes,
observasi atau pengamatan, wawancara, angket, dan dokumentasi sehingga
kesemuanya saling melengkapi dalam menghasilkan data yang diinginkan; (6) evaluasi
terhadap berbagai dimensi program kurikulum dilakukan secara bertahap dan kontinu,
sehingga perbaikan dapat dilaksanakan pada waktunya.
C. Penutup
Penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan oleh sekolah sebagai lembaga
pendidikan yang otonom dalam mengembangkan kurikulum sangat tepat. Hal ini
dikarenakan sekolah lebih mengetahui keadaan lembaganya baik dari segi kekuatan
maupun kelemahan. Selain itu sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya
sehingga pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah sangat tepat karena
pihak sekolah yang paling tahu apa yang terbaik bagi lembaganya. Keterlibatan semua
warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum menciptakan suatu
hubungan dan itikad yang baik dan dapat menciptakan demokrasi yang sehat dan
efektif. Pertimbangan lain yang positif mengenai hak otonom yang diberikan kepada
sekolah untuk mengembangkan kurikulum di sekolahnya adalah sekolah dapat
melakukan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu
pendidikan melalui upaya-upaya yang inovatif dengan dukungan orangtua, masyarakat,
dan pemerintah. Dengan begitu sekolah dapat dengan cepat merespon aspirasi
masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat, serta mengakomodasi dan
mengasimilasikannya ke dalam kurikum tingkat satuan pendidikan yang
dikembangkannya.

Laila
Selasa, 27 Desember 2016

Model-model Evaluasi Kurikulum


A.Pendahuluan
Kehadiran pekerjaan evaluasi di bidang pendidikan sebenarnya sudah lama, dapat dikatakan
kehadiran evaluasi bersamaan dengan kehadiran kegiatan pendidikan. Ketika suatu proses pendidikan
dilaksanakan oleh sekolah dan ketika guru mengambil sebagian dari tugas orangtua dalam  mendidik
maka pada waktu  itu pekerjaan evaluasi sudah hadir.

Dalam dunia pendidikan, istilah kurikulum adalah istilah yang relatif baru dan istilah evaluasi
kurikulum berkembang pada masa ketika istilah kurikulum sudah digunakan dan baru dalam dunia
pendidikan.Namun, seiring dengan kemajuan zaman, evaluasi kurikulum dalam pendidikan mulai
berkembang.Salah satu perkembangannnya terlihat dengan munculnya model-model evaluasi kurikulum
yang berasal dari pemikiran para ahli di dunia.

B. Pengertian Evaluasi Kurikulum


Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi di mana suatu tujuan telah dapat dicapai.
[1] Evaluasi juga diartikan sebagai kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu.[2] Sedangkan menurut
Marrison evaluasi adalah perbuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat kriteria yang disepakati
dan dapat dipertanggung jawabkan.[3]

Menurut pengertian bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa inggris“evaluation” yang berarti
penilaian atau penaksiran. Sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang
terencana untuk mengikuti keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya
dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.[4] Evaluasi bukan sekedar menilai
suatu aktifitas secara spontan dan insidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu
secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan atas tujuan yang jelas. Kegiatan evaluasi
memerlukan penggunaan informasi yang diperoleh melalui pengukuran maupun dengan cara lain untuk
menentukan pendapat dan membuat keputusan pendidikan.

Evaluasi merupakan tahap dalam memberikan pertimbangan dan keputusan. Memberikan


pertimbangan dan keputusan di dalam evaluasi diistilahkan sebagai judgment. Worthen dkk
mengatakan, “evaluation uses inquiry and judgement methods including determining standars for
judging quality and deciding whether those standards should be relative or absolute”.[5] Evaluasi
menurut Print, sebagai kegiatan akhir dari proses pengukuran dan penilaian sehingga diperoleh
keputusan. “With the information gained from measurement and assessment, educators are in a better
position to make value judgement which are invariably expressed as written comments”.[6] Menurut
Lopat, “evaluation is the overarching concept which both depends upon measurements and assessment
to make a composite judgment or decision” .[7] Evaluasi menurut Lopat adalah pengambilan keputusan
berdasarkan pengukuran dan penilaian.

Evaluasi kurikulum terbagi menjadi dua yaitu pertama: pendekatan tradisional (traditional


evaluation) yang berkonsentrasi kepada evaluasi proses belajar mengajar antara guru dan murid, kedua:
modern (new wave) lahir dari pengertian bahwa kegiatan evaluasi tidak saja menilai hasil belajar, tetapi
evaluasi juga harus melihat keseluruhan proses pendidikan baik di dalam dan di luar kelas.[8]

Berdasarkan teori di atas diperoleh pengertian bahwa evaluasi kurikulum adalah evaluasi
terhadap seluruh aktivitas pendidikan di sekolah seperti siswa, guru, model dan metode pengajaran,
administrasi, sarana dan prasarana.

C.Model-Model Evaluasi Kurikulum


Ada dua pendekatan pada model-model evaluasi kurikulum, pertama: model positivistik-saintifik
yang berdasarkan adanya eksperimen dan tes di dalam pengumpulan datanya, yang  kedua  naturalistik
humanistik menitikberatkan peran sisi manusiawi evaluator sebagai peneliti di mana peneliti merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari apa yang ditelitinya.

Dari dua model pendekatan ini, melahirkan dua model evaluasi kurikulum yaitu pertama:
berdasarkan pendekatan kuantitatif (positifistic-saintific) terdiri dari beberapa model yaitu
pertama: Model Blackbox Tyler, Countenance Stake, Provus, Teoritik Taylor dan Maguire, Alkin dan
Model CIPP Stufflebeam dan kedua: pendekatan kualitatif (humanistic-naturalistic) dengan model-model
evaluasi kurikulum di antaranya Model Studi Kasus, Model Illuminatif, Model Responsive, Model Eisner’s.

Model  Evaluasi Pendekatan Kuantitatif (positifistic-saintific)


1.     Model Black Box

Model evaluasi kurikulum Black Box diawali dari beberapa tulisan lepas dari Tyler tentang
pendidikan. Tyler mengajukan empat pertanyaan mendasar berkaitan dengan
kurikulum, pertama: tujuan belajar apa yang diinginkan dan diharapkan, kedua: pengalaman belajar apa
yang mungkin diperoleh untuk mencapai tujuan pendidikan, ketiga: bagaimana cara mengorganisasi
pengalaman belajar, dan keempat: bagaimana kita mengetahui apakah tujuan belajar sudah tercapai.
Keempat komponen ini merupakan inti dari proses kurikulum yaitu: tujuan, konten, metode dan
evaluasi.[9]

Model Blackbox Tyler dibangun dari asumsi yaitu kegiatan ditujukan untuk mengevaluasi


tingkah laku peserta didik. Evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik sebelum suatu
pelaksanaan kurikulum serta pada saat telah melaksanakan kurikulum tersebut.[10] Berdasarkan asumsi
ini model BlackBox Tyler mensyaratkan adanya pretest dan posttest untuk mengukur dan menilai siswa
dalam proses belajar kurikulum model ini, tujuan kurikulum menempati urutan pertama dari proses
tersebut. Dengan adanya tujuan kurikulum akan menentukan pengalaman belajar siswa yang
merupakan tahap kedua dari pelaksanaan kegiatan evaluasi. Adanya kesenjangan antara tujuan
kurikulum dan pengalaman belajar akan menyebabkan bias terhadap evaluasi kurikulum. Untuk itu
kedua komponen itu menjadi pondasi dalam melanjutkan fase ketiga dari kegiatan kurikulum yaitu
evaluasi. Pada tahap evaluasi, pengumpulan data dilakukan oleh evaluator dengan cara membuat tes
baik berbentuk uraian atau objektif. Sedangkan non tes pada evaluasi digunakan alat bukan tes seperti
observasi, wawancara, skala likert, kuesioner dan sebagainya .[11]

2.    Model Countenance Stake

Evaluasi countenance merupakan jenis evaluasi yang dianggap cukup memadai dalam menilai


pembelajaran secara kompleks. Model ini dikembangkan oleh Stake. Kata Countenance berasal dari kata
bahasa Inggris yang berarti menyetujui atau persetujuan. Sedangkan secara istilah
evaluasi countenance berarti evaluasi yang menekankan pelaksanaan deskripsi dan pertimbangan.
Kaitan arti dengan asal kata di atas adalah pada pertimbangan yang diperoleh dari evaluator sehingga
menimbulkan keputusan atau persetujuan tentang suatu hal. Kegiatan evaluasi ini menekankan kepada
dua hal yaitu deskripsi dan pengamatan atau observasi.

Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, yaitu description (deskripsi)


dan judgement (pertimbangan), serta membedakan adanya tiga tahap dalam program pendidikan, yaitu:
(1) antecedent (program pendahulu/masukan/context); (2) transaction (transaksi/kejadian/process); dan
(3) outcomes (hasil/result). Stake berpendapat menilai suatu program pendidikan harus melakukan
perbandingan yang relatif antara program satu dan program yang lain, atau perbandingan yang absolut
yaitu membandingkan suatu program dengan standar tertentu.[12]

Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melaksanakan


evaluasi countenance tercakup dalam empat langkah pasti berdasarkan empat matriks yang ada yaitu:
a.    Sehubungan dengan kategori intent, evaluator dapat melakukan studi dokumen atau wawancara
kepada pengembang program, baik berhubungan dengan antecedents (persyaratan awal), transaksi
(proses) serta hasil. Dalam hal pembelajaran dapat dilakukan dengan mempersiapkan rencana yang
dituangkan dalam silabus dan RPP.

b.    Sehubungan dengan kategori observasi, evaluator harus megadakan analisis kongruen, yaitu
menganalisa implementasi dari rencana pada intent. Apakah sesuai atau terjadi penyimpangan, jika
terjadi penyimpangan faktor-faktor apa yang menyebabkannya.

c.    Tugas evaluator berikutnya adalah memberikan pertimbangan mengenai program yang sedang dikaji,
oleh karenanya perlu standar yang dapat diperoleh dari sekolah.

d.   Dan yang terakhir adalah memberi pertimbangan terhadap hasil dari analisis ketiga kategori
sebelumnya. Pertimbangan dapat diperoleh dengan mengumpulkan data dari sekelompok orang yang
memiliki kualifikasi untuk memberikan pertimbangan. Dalam pembelajaran pertimbangan dapat
berdasarkan faktor karakteristik siswa, sarana sekolah ataupun faktor-faktor yang lain.[13]

Kelebihan dan Kekurangan Evaluasi Model Countenance yaitu:

Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan evaluasi


model countenance adalah:

a.    Memberikan gambaran yang sangat detail terhadap suatu program, mulai dari konteks awal hingga hasil
yang dicapai.

b.    Lebih komprehensif, lebih lengkap dalam menyaring informasi.

c.    Dengan adanya pertimbangan terhadap standar, evaluasi tidak hanyamengukur keterlaksanaan program
sesuai rencana, akan tetapi juga dapat mengetahui ketercapaian standar yang telah ditentukan.

d.    Dengan adanya pertimbangan dari sekelompok orang yang berkualifikasi di bidangnya, evaluator dapat
mengetahui hambatan atau faktor-faktor yang mempengaruhi ketercapaian program.

Sedangkan beberapa kelemahan dari evaluasi model countenance adalah:

a.    Terlalu mementingkan dimana proses seharusnya dari pada kenyataan dilapangan.

b.    Cenderung fokus pada rational management dari pada mengakui kompleksitas realiatas empiris.

c.    Penerapan dalam bidang pembelajaran dikelas mempunyai tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi.

3.    Model Discrepancy Provus

Sebagai salah satu tokoh penelitian evaluasi, Malcolm Provus dikenal sebagai direktur penelitian
pada sekolah umum Pittsburg. Pandangannya tentang evaluasi disusun dalam sebuah buku yang
berjudul Discrepancy Evaluation. Provus mengatakan dalam kegiatan evaluasi ada tiga kegiatan yang
dilakukan, pertama: menetapkan standar program, kedua: menentukan kesenjangan antara aspek-aspek
hasil program dan standar baku pendidikan yang ditetapkan pemerintah, dan ketiga: dengan data dan
kesenjangan yang didapat akan ditentukan salah satu yang diganti; hasil atau kinerja atau standar
program.

Evaluator memulai evaluasi kurikulum tahap pertama dengan cara membandingkan antara
standar yang telah ditetapkan sebagai desain dari program. Kenyataan adalah “P” atau performance dan
“C” adalah standar yang ditetapkan. “D” merupakan kesenjangan antara “P” dan “C”, dan pada tahap
“D” akan terlihat dengan jelas bagaimana bias atau kesenjangan antara kenyataan di lapangan dan
standar yang ditetapkan. Informasi adanya kesenjangan menjadi data untuk mengambil keputusan
apakah penelitian dilanjutkan pada tahap berikutnya. Pada tahap ini ada “M” yang mengindikasikan
apakah program tersebut akan dimodifikasi atau tidak. Penelitian akan diulang kembali apabila program
sudah dimodifikasi. Evaluasi akan berakhir apabila program berada pada “T” yaitu terminated yang
diindikasikan bahwa program ditolak.[14]

4.    Model CIPP Stufflebeam

Model evaluasi Context, Input, Prosess dan Product (CIPP) diperkenalkan oleh Daniel Stufflebeam.
Tokoh evaluasi pendidikan ini dilahirkan di Waverly, Iowa pada tanggal 19 September 1936.
Mendapatkan gelar Master of Science dalam bidang Konseling dan Psikologi dari Purdue University dan
Gelar Philosophical Doctor (Ph.D) dalam bidang Pengukuran dan Statistik dan Post Doctoral dalam
bidang Work Experimental Design and Statistic di University of Wiscounsin.[15] Konsep yang ditawarkan
oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan tetapi
untuk memperbaiki.

CIPP merupakan akronim yang terdiri dari : contexs evaluation, input evaluation, process
evaluation, product evaluatioan. Setiap tipe evaluasi terikat pada perangkat pengambilan keputusan yang
menyangkut perencanaan dan operasi sebuah program.[16]

a.    Evaluasi Konteks (Contexs evaluation)

Evaluasi konteks merupakan evaluasi terhadap keadaan yang melingkupi proses pembelajaran. keadaan
yang termasuk konteks adalah yang berasal dari lingkungan yaitu kondisi aktual dengan kondisi yang
diharapkan.[17]Evaluasi ini pun menggambarkan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam
perencanaan program seperti karakteristik dan prilaku peserta didik, kurikulum, keunggulan dan
kelemahan tenaga pelaksana, sarana dan prasana, pendanaan dan komunitas.[18]

b.    Evaluasi Input

Evaluasi input menentukan alternatif pendekatan, pelaksanaan rencana kegiatan, penyediaan sarana,
penyediaan biaya efektif untuk penyiapan kebutuhan dan pencapaian tujuan. Pengambil keputusan
dalam evaluasi input di dalamnya memilih penyusunan rencana, penulisan proposal, alokasi sumber
daya, pengelolaan ketenagaan, jadwal kegiatan tersusun rapi dalam membantu pengambil keputusan
berusaha menyiapkan rencana dan pembiayaan.

c.    Evaluasi Produk/Hasil ( Product Evaluation)


Evaluasi produk ini merupakan tahap terakhir yaitu evaluasi terhadap berhasil tidaknya peserta
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[19] Evaluasi produk mengukur dan menginterpretasi
pencapaian program selama pelaksanaan program dan pada akhir program. Evaluasi produk melibatkan
upaya penetapan kriteria, melakukan pengukuran, membandingkan ukuran keberhasilan dengan
standar absolut atau relatif dan melakukan interpretasi rasional tentang  hasil dan pengaruh dengan
menggunakan data tentang konteks, input, dan proses.[20]

el EPIC Robert L. Hammond

Model Evaluation Program for Innovative Curriculum (selanjutnya disebut model EPIC)


dikembangkan oleh Robert L. Hammond. Tokoh evaluasi pendidikan ini banyak menghabiskan waktunya
di University of Arizona di mana beliau menjadi Direktur Pusat Evaluasi Pendidikan Model EPIC. Dr.
Hammond sangat berpengaruh pada bidangnya dan seringkali mengadvokasi serta menjadi konselor
bagi guru dan pekerja lainnya yang terlibat di dalam pendidikan. Hammond mengorganisir sebuah
konsorsium di sekolah-sekolah kecil di wilayah Arizona, meneliti efektifitas pendidikan di beberapa
negara federal.[21]

Model evaluasi yang digagas Hammond terdiri dari lima langkah, pertama: memilih dan
mengisolasi bagian kurikulum yang akan dievaluasi, kedua: mendefinisikan variabel-variabel deskriptif
(semua variabel yang berkaitan dengan sekolah dan tujuannya), ketiga: menetapkan hasil belajar yang
diinginkan, keempat: menilai hasil belajar, dan kelima: analisis hasil dengan membuat kesimpulan
terhadap suatu program.Hammond membuat kubus yang berisi tiga komponen beberapa aspek.
Komponen pertama yaitu: instructional dimension (dimensi pengajaran, Komponen kedua
yaitu: institutional dimension (dimensi institusi), Komponen ketiga yaitu behavioral
dimension (komponen hasil belajar).[22]

6.    Model Teoritik Taylor dan Maguire

Dalam melakukan model ini, ada dua kegiatan utama yang harus dilakukan oleh
evaluator.Pertama, pengumpulan data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber mengenai
komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode dan konten, serta hasil belajar langsung maupun hasil
belajar jangka panjang. Data tersebut dikatakan data objektif karena berasal dari luar pertimbangan
evaluator.Kedua, pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai
kualitas tujuan, masukan, dan hasil belajar. Unsur-unsur ini dimasukkan dalam suatu diagram yang
terdiri atas empat matrik, yaitu matriks tujuan, penafsiran, strategi, dan hasil belajar. Pada tingkat
perkembangan ini, evaluator tidak hanya melihat hasil belajar yang bersifat langsung. Evaluator harus
pula melihat apakah hasil belajar yang telah diperoleh itu dapat digunakan di lingkungan lain selain
satuan pendidikan tersebut.

el Pendekatan Sistem Alkin

Pemahaman model Alkin dan penerapannya memerlukan pengertian yang benar mengenai setiap
komponen yang ada dalam model. Sistem luar adalah sistem yang mempengaruhi sistem dalam maupun
sebagai sistem yang dipengaruhi oleh keluaran sistem internal. Faktor masukan terdiri atas komponen
masukan peserta didik dan masukan keuangan, dan keduanya adalah masukan penting yang
berpengaruh terhadap proses atau faktor perantara. Faktor perantara adalah faktor yang
menggambarkan terjadinya suatu proses interaksi dari berbagai komponen pada faktor masukan. Tentu
saja proses interaksi ini sangat menentukan hasil belajar atau faktor keluaran. Keluaran sistem terdiri
atas keluaran peserta didik.

b. Model Evaluasi Pendekatan Kualitatif (Humanistik-Naturalistik)

1 Model Evaluasi Connoisseurship

Model evaluasi kurikulum ini dikembangkan oleh Elliot W.Eisner dan kemudian dinamakan
model evaluasi connoisseurship. Elliot W. Eisner dilahirkan pada 1933 dan dibesarkan di Chicago. Ia
mendapatkan gelar Magister of Science bidang Art Education dari Illinois Institut Technology dan Master
of Arts bidang pendidikan seni dari University of Chicago dan Ph.D dalam bidang pendidikan pada
universitas yang sama.

Ciri khas dari model ini, sebagai model penelitian dengan pendekatan humanistik-
naturalistik, evaluan berpartisipasi langsung sebagai pengamat pada proses penelitiannya.
Evaluan secara seksama dan teliti menganalisa pola kerja siswa dan guru. Ciri lainnya
pada model ini adalah penggunaan teknologi sebagai media di dalam penelitiannya seperti
penggunaan film, videotape, kamera dan audiotape.

Walaupun model ini belum memiliki struktur penelitian yang baku, akan tetapi
model penelitian ini memiliki tiga tahap: Tahap pertama disebut tahap deskriptif yaitu
mendeskripsikan seluruh pola pembelajaran dan aktivitas di dalam kelas, tahap kedua yaitu
interpretasi di mana evaluan mulai menginterpretasi dan mengkritisi pada yang terjadi pada
tahap pertama. Penjelasan pada tahapan ini akan menimbulkan aksi, reaksi dan interaksi
pada apa yang diamati dan tahap ketiga adalah tahap evaluasi di mana pada tahap ini
evaluan akan memberikan pertimbangan dan keputusan dari program tersebut.
Pertimbangan dan keputusan yang dibuat oleh evaluan didasarkan kepada kritik yang
dibuat oleh evaluan sendiri berdasarkan data yang diperoleh pada tahap pertama dan
kedua.[23]

2. Model Illuminative

Model ini pada awalnya diperkenalkan oleh Hanley pada 1969, namun dikembangkan
lebih lanjut oleh Parlett dan Hamilton pada tulisan mereka yang berjudul Evaluation as
illumination: a new approach to study of innovatory programs. Pada akhirnya kedua tokoh
ini dikenal sebagai tokoh evaluasi yang melahirkan model illuminatif. Banyak tokoh evaluasi
lainnya yang merujuk kepada Parlett dan Hamilton ketika menggunakan model ini di
antaranya Stenhouse dan Scrimshaw.[24]

Ada tiga tahapan dan metode dalam mengumpulkan data dengan menggunakan
model illuminative yaitu:
1.    Observasi; pada tahap ini evaluan mengobservasi keseluruhan program pendidikan di
antaranya tujuan sekolah, metode dalam belajar mengajar, materi yang digunakan, dan
teknik evaluasi yang dilakukan guru.

2.    Inkuiri; pada tahap ini evaluan akan memisahkan data penting dan yang tidak penting
untuk dianalisa. Pada tahap ini pula evaluan tidak hanya “mengetahui” program itu berjalan
tetapi mengapa program itu dapat berjalan. Untuk mencari jawaban tersebut evaluan harus
menghabiskan waktunya di lapangan untuk meneliti.

3.    Ekspalanasi; pada tahap ini evaluan tidak saja memberikan pertimbangan dan keputusan
pada hasil penelitiannya, tetapi memperkaya data tersebut dengan cara menjelaskan apa
yang terjadi dan mengapa itu bisa terjadi.[25]

3. Model Responsive Stake

Model kedua yang dikembangkan oleh Stake untuk mengevaluasi kurikulum adalah
model responsive. Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut model countenance Stake, meskipun
beberapa hal terdapat perbedaan yang prinsipil. Pertama, model countenance mempunyai fokus yang
lebih luas dibanding model responsive. Model countenance memberikan perhatian terhadap kurikulum
sebagai suatu rencana, dalam model responsive, fokus yang demikian sudah ditinggalkan. Perbedaan
kedua ialah dalam pendekatan pengembangan kriteria. Model countenance berdasarkan pengembangan
kriteriafidelity, model responsive mengembangkan kriterianya berdasarkan pendekatan proses.

Model responsive tidak berbicara tentang pemakaian instrumen standar, tetapi memberikan


perhatian yang besar interaksi antara evaluator dengan pelaksana kurikulum. Tanpa interaksi tidak
satupun  “isu” yang dapat diungkapkan. Langkah-langkah kegiatan evaluasi ini meliputi, observasi,
merekam hasil wawancara, mengumpulkan data, mengecek pengetahuan awal peserta didik, dan
mengembangkan desain atau model.

 4. Model Studi Kasus

Model ini memusatkan perhatiannya kepada kegiatan pengembangan kurikulum di satu satuan
pendidikan.Unit tersebut dapat saja berupa satu sekolah, satu kelas bahkan hanya seorang guru atau
kepala sekolah.Karakteristik model ini adalah data yang dikumpulkan terutama adalah data kualitatif.
Data kualitatif kaya dengan deksripsi dan dianggap lebih memberikan makna dibandingkan data
kuantitatif. Data kualitatif dianggap lebih dapat mengungkapkan apa yang terjadi di lapangan. Proses
yang direkam tidak dinyatakan dengan angka tetapi dengan ungkapan menggambarkan peristiwa-
peristiwa dalam proses sebagai suatu rangkaian berkesinambungan.

Menggunakan model evaluasi studi kasus, tindakan pertama yang harus dilakukan evaluator
adalah familirialisasi dirinya terhadap kurikulum yang dikaji. Apabila evaluator belum familiar dengan
kurikulum dan satuan pendidikan yang mengembangkannya maka evaluator ini dilarang melakukan
evaluasi.Familirialisasi ada dua jenis, pertama familiriaslisasi terhadap kurikulum sebagai ide dan sebagai
rencana. Familiarialisasi kedua dilakukan ketika evaluator dilapangan. Evaluator harus menguasai
kebiasaan-kebiasaan dalam satuan pendidikan yang dievaluasi.[26]

   
 KESIMPULAN

Definisi evaluasi memiliki pengertian yang berbeda dengan pengukuran dan penilaian.
Pengukuran berkaitan dengan angka atau kuantitatif, sedangkan penilaian bersifat kualitatif. Evaluasi
adalah kegiatan yang sistematis yang mencakup pengukuran dan penilaian. Evaluasi merupakan tahapan
akhir dari penilaian dan pengukuran dan di dalamnya memiliki unsur pertimbangan dan keputusan
terhadap suatu program berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelum program
tersebut berjalan. Evaluasi kurikulum merupakan kegiatan untuk memberikan pertimbangan dan
keputusan terhadap seluruh aktivitas pendidikan di sekolah seperti siswa, guru, model dan metode
pengajaran, administrasi, sarana dan prasarana.

Ada dua pendekatan evaluasi kurikulum yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Model
kuantitatif memiliki ciri khas di mana pengumpulan data dengan menggunakan metodologi kuantitatif
dan tes sebagai alat pengumpul data. Pendekatan kuantitatif dan tes merupakan pendekatan umum
positivistik. Sedangkan model kualitatif yang berangkat dari filsafat fenomenologi memiliki ciri khas yaitu
dengan evaluator sebagai instrumen penting dan utama di dalam penelitian.

Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

Blaine R. Worthen, James R. Sanders, dan Jody L. Fitzpatrick, Program Evaluation: Alternative Approaches and
Practical Guidelines, New York: Longman, 1987.

Hamalik, Oemar. Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

Munir, Kurikulum Berbasis Tekhnologi Informasi dan Komunikasi,Bandung: Alfabeta,2008.

Print, Murray. Curriculum Development and Design, Sidney: Allen & Unwin, 1993.

Sudijono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Sudjana, Djudju. Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.

Sukardi, M.  Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Terence J. Lovat dan David L. Smith, Curriculum: Action on Reflection (Wentworth Falls: Social Science Press, 1993.

Toha, Chabib. Tekhnik Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Widoyoko, S. Eko Putra. Evaluasi Program Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.

Yusuf Tayibnapis, Farida. Evaluasi Program, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.


[1] M. Sukardi, Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) ,h. 1

[2] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 5

[3] Oemar Hamalik, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 253

[4] Chabib Toha, Tekhnik Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 1

[5] Blaine R. Worthen, James R. Sanders, dan Jody L. Fitzpatrick, Program Evaluation: Alternative


Approaches and Practical Guidelines (New York: Longman, 1987), h. 5.

[6] Murray Print, Curriculum Development and Design (Sidney: Allen & Unwin, 1993), h. 196.

[7] Terence J. Lovat dan David L. Smith, Curriculum: Action on Reflection (Wentworth Falls: Social Science
Press, 1993), h. 160

[8] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum,  (Bandung: Lentera, 2014), Vol 2, h. 4.

[9] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 7

[10]S. Hamid Hassan, Evaluasi Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 188.

[11] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 8.

[12]Farida Yusuf Tayibnapis, Evaluasi Program, Evaluasi Program, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),h. 19.

[13]S. Eko Putra Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),

h. 212.

[14] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 8.

[15] Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011),
h.93.

[16] Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2004), 29.

[17]FaridaYusufTayibnapis,EvaluasiProgram,h. 14.                                                                       

[18]Djudju Sudjana, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h.
55.

[19]Munir, Kurikulum Berbasis Tekhnologi Informasi dan Komunikasi,(Bandung: Alfabeta,2008), h.108


[20]Djudju Sudjana, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah , h. 56.

[21] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 11

[22] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 11

[23] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 11

[24] Hamid Hassan, Evaluasi Kurikulum , h. 233.

[25] Fajri Ismail, Model-Model Evaluasi Kurikulum, h. 13.

[26] Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum h. 228-229.

Diposting oleh Laila S.Th.I di 19.03 

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

1 komentar:
1.

Unknown22 Juli 2020 pukul 20.32

Tulisan yang bagus, mohon ijin copy tulisan ini ya, karena saat ini sy lagi mengevaluasi kurikulum
terima kasih
Balas

Posting Lebih BaruBeranda

Langganan: Posting Komentar (Atom)

Mengenai Saya

Laila S.Th.I
Sedang Kuliah di Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin Program Pendidikan Agama Islam
Angkatan 2015
Lihat profil lengkapku
Arsip Blog

 ►  2017 (3)
 ▼  2016 (1)
o ▼  Desember (1)
 Model-model Evaluasi Kurikulum
Tema Kelembutan. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai