Laila
Selasa, 27 Desember 2016
Dalam dunia pendidikan, istilah kurikulum adalah istilah yang relatif baru dan istilah evaluasi
kurikulum berkembang pada masa ketika istilah kurikulum sudah digunakan dan baru dalam dunia
pendidikan.Namun, seiring dengan kemajuan zaman, evaluasi kurikulum dalam pendidikan mulai
berkembang.Salah satu perkembangannnya terlihat dengan munculnya model-model evaluasi kurikulum
yang berasal dari pemikiran para ahli di dunia.
Menurut pengertian bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa inggris“evaluation” yang berarti
penilaian atau penaksiran. Sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang
terencana untuk mengikuti keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya
dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.[4] Evaluasi bukan sekedar menilai
suatu aktifitas secara spontan dan insidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu
secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan atas tujuan yang jelas. Kegiatan evaluasi
memerlukan penggunaan informasi yang diperoleh melalui pengukuran maupun dengan cara lain untuk
menentukan pendapat dan membuat keputusan pendidikan.
Berdasarkan teori di atas diperoleh pengertian bahwa evaluasi kurikulum adalah evaluasi
terhadap seluruh aktivitas pendidikan di sekolah seperti siswa, guru, model dan metode pengajaran,
administrasi, sarana dan prasarana.
Dari dua model pendekatan ini, melahirkan dua model evaluasi kurikulum yaitu pertama:
berdasarkan pendekatan kuantitatif (positifistic-saintific) terdiri dari beberapa model yaitu
pertama: Model Blackbox Tyler, Countenance Stake, Provus, Teoritik Taylor dan Maguire, Alkin dan
Model CIPP Stufflebeam dan kedua: pendekatan kualitatif (humanistic-naturalistic) dengan model-model
evaluasi kurikulum di antaranya Model Studi Kasus, Model Illuminatif, Model Responsive, Model Eisner’s.
Model evaluasi kurikulum Black Box diawali dari beberapa tulisan lepas dari Tyler tentang
pendidikan. Tyler mengajukan empat pertanyaan mendasar berkaitan dengan
kurikulum, pertama: tujuan belajar apa yang diinginkan dan diharapkan, kedua: pengalaman belajar apa
yang mungkin diperoleh untuk mencapai tujuan pendidikan, ketiga: bagaimana cara mengorganisasi
pengalaman belajar, dan keempat: bagaimana kita mengetahui apakah tujuan belajar sudah tercapai.
Keempat komponen ini merupakan inti dari proses kurikulum yaitu: tujuan, konten, metode dan
evaluasi.[9]
b. Sehubungan dengan kategori observasi, evaluator harus megadakan analisis kongruen, yaitu
menganalisa implementasi dari rencana pada intent. Apakah sesuai atau terjadi penyimpangan, jika
terjadi penyimpangan faktor-faktor apa yang menyebabkannya.
c. Tugas evaluator berikutnya adalah memberikan pertimbangan mengenai program yang sedang dikaji,
oleh karenanya perlu standar yang dapat diperoleh dari sekolah.
d. Dan yang terakhir adalah memberi pertimbangan terhadap hasil dari analisis ketiga kategori
sebelumnya. Pertimbangan dapat diperoleh dengan mengumpulkan data dari sekelompok orang yang
memiliki kualifikasi untuk memberikan pertimbangan. Dalam pembelajaran pertimbangan dapat
berdasarkan faktor karakteristik siswa, sarana sekolah ataupun faktor-faktor yang lain.[13]
a. Memberikan gambaran yang sangat detail terhadap suatu program, mulai dari konteks awal hingga hasil
yang dicapai.
c. Dengan adanya pertimbangan terhadap standar, evaluasi tidak hanyamengukur keterlaksanaan program
sesuai rencana, akan tetapi juga dapat mengetahui ketercapaian standar yang telah ditentukan.
d. Dengan adanya pertimbangan dari sekelompok orang yang berkualifikasi di bidangnya, evaluator dapat
mengetahui hambatan atau faktor-faktor yang mempengaruhi ketercapaian program.
b. Cenderung fokus pada rational management dari pada mengakui kompleksitas realiatas empiris.
c. Penerapan dalam bidang pembelajaran dikelas mempunyai tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi.
3. Model Discrepancy Provus
Sebagai salah satu tokoh penelitian evaluasi, Malcolm Provus dikenal sebagai direktur penelitian
pada sekolah umum Pittsburg. Pandangannya tentang evaluasi disusun dalam sebuah buku yang
berjudul Discrepancy Evaluation. Provus mengatakan dalam kegiatan evaluasi ada tiga kegiatan yang
dilakukan, pertama: menetapkan standar program, kedua: menentukan kesenjangan antara aspek-aspek
hasil program dan standar baku pendidikan yang ditetapkan pemerintah, dan ketiga: dengan data dan
kesenjangan yang didapat akan ditentukan salah satu yang diganti; hasil atau kinerja atau standar
program.
Evaluator memulai evaluasi kurikulum tahap pertama dengan cara membandingkan antara
standar yang telah ditetapkan sebagai desain dari program. Kenyataan adalah “P” atau performance dan
“C” adalah standar yang ditetapkan. “D” merupakan kesenjangan antara “P” dan “C”, dan pada tahap
“D” akan terlihat dengan jelas bagaimana bias atau kesenjangan antara kenyataan di lapangan dan
standar yang ditetapkan. Informasi adanya kesenjangan menjadi data untuk mengambil keputusan
apakah penelitian dilanjutkan pada tahap berikutnya. Pada tahap ini ada “M” yang mengindikasikan
apakah program tersebut akan dimodifikasi atau tidak. Penelitian akan diulang kembali apabila program
sudah dimodifikasi. Evaluasi akan berakhir apabila program berada pada “T” yaitu terminated yang
diindikasikan bahwa program ditolak.[14]
4. Model CIPP Stufflebeam
Model evaluasi Context, Input, Prosess dan Product (CIPP) diperkenalkan oleh Daniel Stufflebeam.
Tokoh evaluasi pendidikan ini dilahirkan di Waverly, Iowa pada tanggal 19 September 1936.
Mendapatkan gelar Master of Science dalam bidang Konseling dan Psikologi dari Purdue University dan
Gelar Philosophical Doctor (Ph.D) dalam bidang Pengukuran dan Statistik dan Post Doctoral dalam
bidang Work Experimental Design and Statistic di University of Wiscounsin.[15] Konsep yang ditawarkan
oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan tetapi
untuk memperbaiki.
CIPP merupakan akronim yang terdiri dari : contexs evaluation, input evaluation, process
evaluation, product evaluatioan. Setiap tipe evaluasi terikat pada perangkat pengambilan keputusan yang
menyangkut perencanaan dan operasi sebuah program.[16]
Evaluasi konteks merupakan evaluasi terhadap keadaan yang melingkupi proses pembelajaran. keadaan
yang termasuk konteks adalah yang berasal dari lingkungan yaitu kondisi aktual dengan kondisi yang
diharapkan.[17]Evaluasi ini pun menggambarkan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam
perencanaan program seperti karakteristik dan prilaku peserta didik, kurikulum, keunggulan dan
kelemahan tenaga pelaksana, sarana dan prasana, pendanaan dan komunitas.[18]
b. Evaluasi Input
Evaluasi input menentukan alternatif pendekatan, pelaksanaan rencana kegiatan, penyediaan sarana,
penyediaan biaya efektif untuk penyiapan kebutuhan dan pencapaian tujuan. Pengambil keputusan
dalam evaluasi input di dalamnya memilih penyusunan rencana, penulisan proposal, alokasi sumber
daya, pengelolaan ketenagaan, jadwal kegiatan tersusun rapi dalam membantu pengambil keputusan
berusaha menyiapkan rencana dan pembiayaan.
Model evaluasi yang digagas Hammond terdiri dari lima langkah, pertama: memilih dan
mengisolasi bagian kurikulum yang akan dievaluasi, kedua: mendefinisikan variabel-variabel deskriptif
(semua variabel yang berkaitan dengan sekolah dan tujuannya), ketiga: menetapkan hasil belajar yang
diinginkan, keempat: menilai hasil belajar, dan kelima: analisis hasil dengan membuat kesimpulan
terhadap suatu program.Hammond membuat kubus yang berisi tiga komponen beberapa aspek.
Komponen pertama yaitu: instructional dimension (dimensi pengajaran, Komponen kedua
yaitu: institutional dimension (dimensi institusi), Komponen ketiga yaitu behavioral
dimension (komponen hasil belajar).[22]
Dalam melakukan model ini, ada dua kegiatan utama yang harus dilakukan oleh
evaluator.Pertama, pengumpulan data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber mengenai
komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode dan konten, serta hasil belajar langsung maupun hasil
belajar jangka panjang. Data tersebut dikatakan data objektif karena berasal dari luar pertimbangan
evaluator.Kedua, pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai
kualitas tujuan, masukan, dan hasil belajar. Unsur-unsur ini dimasukkan dalam suatu diagram yang
terdiri atas empat matrik, yaitu matriks tujuan, penafsiran, strategi, dan hasil belajar. Pada tingkat
perkembangan ini, evaluator tidak hanya melihat hasil belajar yang bersifat langsung. Evaluator harus
pula melihat apakah hasil belajar yang telah diperoleh itu dapat digunakan di lingkungan lain selain
satuan pendidikan tersebut.
Pemahaman model Alkin dan penerapannya memerlukan pengertian yang benar mengenai setiap
komponen yang ada dalam model. Sistem luar adalah sistem yang mempengaruhi sistem dalam maupun
sebagai sistem yang dipengaruhi oleh keluaran sistem internal. Faktor masukan terdiri atas komponen
masukan peserta didik dan masukan keuangan, dan keduanya adalah masukan penting yang
berpengaruh terhadap proses atau faktor perantara. Faktor perantara adalah faktor yang
menggambarkan terjadinya suatu proses interaksi dari berbagai komponen pada faktor masukan. Tentu
saja proses interaksi ini sangat menentukan hasil belajar atau faktor keluaran. Keluaran sistem terdiri
atas keluaran peserta didik.
1 Model Evaluasi Connoisseurship
Model evaluasi kurikulum ini dikembangkan oleh Elliot W.Eisner dan kemudian dinamakan
model evaluasi connoisseurship. Elliot W. Eisner dilahirkan pada 1933 dan dibesarkan di Chicago. Ia
mendapatkan gelar Magister of Science bidang Art Education dari Illinois Institut Technology dan Master
of Arts bidang pendidikan seni dari University of Chicago dan Ph.D dalam bidang pendidikan pada
universitas yang sama.
Ciri khas dari model ini, sebagai model penelitian dengan pendekatan humanistik-
naturalistik, evaluan berpartisipasi langsung sebagai pengamat pada proses penelitiannya.
Evaluan secara seksama dan teliti menganalisa pola kerja siswa dan guru. Ciri lainnya
pada model ini adalah penggunaan teknologi sebagai media di dalam penelitiannya seperti
penggunaan film, videotape, kamera dan audiotape.
Walaupun model ini belum memiliki struktur penelitian yang baku, akan tetapi
model penelitian ini memiliki tiga tahap: Tahap pertama disebut tahap deskriptif yaitu
mendeskripsikan seluruh pola pembelajaran dan aktivitas di dalam kelas, tahap kedua yaitu
interpretasi di mana evaluan mulai menginterpretasi dan mengkritisi pada yang terjadi pada
tahap pertama. Penjelasan pada tahapan ini akan menimbulkan aksi, reaksi dan interaksi
pada apa yang diamati dan tahap ketiga adalah tahap evaluasi di mana pada tahap ini
evaluan akan memberikan pertimbangan dan keputusan dari program tersebut.
Pertimbangan dan keputusan yang dibuat oleh evaluan didasarkan kepada kritik yang
dibuat oleh evaluan sendiri berdasarkan data yang diperoleh pada tahap pertama dan
kedua.[23]
2. Model Illuminative
Model ini pada awalnya diperkenalkan oleh Hanley pada 1969, namun dikembangkan
lebih lanjut oleh Parlett dan Hamilton pada tulisan mereka yang berjudul Evaluation as
illumination: a new approach to study of innovatory programs. Pada akhirnya kedua tokoh
ini dikenal sebagai tokoh evaluasi yang melahirkan model illuminatif. Banyak tokoh evaluasi
lainnya yang merujuk kepada Parlett dan Hamilton ketika menggunakan model ini di
antaranya Stenhouse dan Scrimshaw.[24]
Ada tiga tahapan dan metode dalam mengumpulkan data dengan menggunakan
model illuminative yaitu:
1. Observasi; pada tahap ini evaluan mengobservasi keseluruhan program pendidikan di
antaranya tujuan sekolah, metode dalam belajar mengajar, materi yang digunakan, dan
teknik evaluasi yang dilakukan guru.
2. Inkuiri; pada tahap ini evaluan akan memisahkan data penting dan yang tidak penting
untuk dianalisa. Pada tahap ini pula evaluan tidak hanya “mengetahui” program itu berjalan
tetapi mengapa program itu dapat berjalan. Untuk mencari jawaban tersebut evaluan harus
menghabiskan waktunya di lapangan untuk meneliti.
3. Ekspalanasi; pada tahap ini evaluan tidak saja memberikan pertimbangan dan keputusan
pada hasil penelitiannya, tetapi memperkaya data tersebut dengan cara menjelaskan apa
yang terjadi dan mengapa itu bisa terjadi.[25]
3. Model Responsive Stake
Model kedua yang dikembangkan oleh Stake untuk mengevaluasi kurikulum adalah
model responsive. Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut model countenance Stake, meskipun
beberapa hal terdapat perbedaan yang prinsipil. Pertama, model countenance mempunyai fokus yang
lebih luas dibanding model responsive. Model countenance memberikan perhatian terhadap kurikulum
sebagai suatu rencana, dalam model responsive, fokus yang demikian sudah ditinggalkan. Perbedaan
kedua ialah dalam pendekatan pengembangan kriteria. Model countenance berdasarkan pengembangan
kriteriafidelity, model responsive mengembangkan kriterianya berdasarkan pendekatan proses.
Model ini memusatkan perhatiannya kepada kegiatan pengembangan kurikulum di satu satuan
pendidikan.Unit tersebut dapat saja berupa satu sekolah, satu kelas bahkan hanya seorang guru atau
kepala sekolah.Karakteristik model ini adalah data yang dikumpulkan terutama adalah data kualitatif.
Data kualitatif kaya dengan deksripsi dan dianggap lebih memberikan makna dibandingkan data
kuantitatif. Data kualitatif dianggap lebih dapat mengungkapkan apa yang terjadi di lapangan. Proses
yang direkam tidak dinyatakan dengan angka tetapi dengan ungkapan menggambarkan peristiwa-
peristiwa dalam proses sebagai suatu rangkaian berkesinambungan.
Menggunakan model evaluasi studi kasus, tindakan pertama yang harus dilakukan evaluator
adalah familirialisasi dirinya terhadap kurikulum yang dikaji. Apabila evaluator belum familiar dengan
kurikulum dan satuan pendidikan yang mengembangkannya maka evaluator ini dilarang melakukan
evaluasi.Familirialisasi ada dua jenis, pertama familiriaslisasi terhadap kurikulum sebagai ide dan sebagai
rencana. Familiarialisasi kedua dilakukan ketika evaluator dilapangan. Evaluator harus menguasai
kebiasaan-kebiasaan dalam satuan pendidikan yang dievaluasi.[26]
KESIMPULAN
Definisi evaluasi memiliki pengertian yang berbeda dengan pengukuran dan penilaian.
Pengukuran berkaitan dengan angka atau kuantitatif, sedangkan penilaian bersifat kualitatif. Evaluasi
adalah kegiatan yang sistematis yang mencakup pengukuran dan penilaian. Evaluasi merupakan tahapan
akhir dari penilaian dan pengukuran dan di dalamnya memiliki unsur pertimbangan dan keputusan
terhadap suatu program berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelum program
tersebut berjalan. Evaluasi kurikulum merupakan kegiatan untuk memberikan pertimbangan dan
keputusan terhadap seluruh aktivitas pendidikan di sekolah seperti siswa, guru, model dan metode
pengajaran, administrasi, sarana dan prasarana.
Ada dua pendekatan evaluasi kurikulum yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Model
kuantitatif memiliki ciri khas di mana pengumpulan data dengan menggunakan metodologi kuantitatif
dan tes sebagai alat pengumpul data. Pendekatan kuantitatif dan tes merupakan pendekatan umum
positivistik. Sedangkan model kualitatif yang berangkat dari filsafat fenomenologi memiliki ciri khas yaitu
dengan evaluator sebagai instrumen penting dan utama di dalam penelitian.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Blaine R. Worthen, James R. Sanders, dan Jody L. Fitzpatrick, Program Evaluation: Alternative Approaches and
Practical Guidelines, New York: Longman, 1987.
Sudjana, Djudju. Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Terence J. Lovat dan David L. Smith, Curriculum: Action on Reflection (Wentworth Falls: Social Science Press, 1993.
Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.
[6] Murray Print, Curriculum Development and Design (Sidney: Allen & Unwin, 1993), h. 196.
[7] Terence J. Lovat dan David L. Smith, Curriculum: Action on Reflection (Wentworth Falls: Social Science
Press, 1993), h. 160
[12]Farida Yusuf Tayibnapis, Evaluasi Program, Evaluasi Program, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),h. 19.
[13]S. Eko Putra Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
h. 212.
[15] Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011),
h.93.
[16] Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2004), 29.
[17]FaridaYusufTayibnapis,EvaluasiProgram,h. 14.
[18]Djudju Sudjana, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h.
55.
1 komentar:
1.
Tulisan yang bagus, mohon ijin copy tulisan ini ya, karena saat ini sy lagi mengevaluasi kurikulum
terima kasih
Balas
Mengenai Saya
Laila S.Th.I
Sedang Kuliah di Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin Program Pendidikan Agama Islam
Angkatan 2015
Lihat profil lengkapku
Arsip Blog
► 2017 (3)
▼ 2016 (1)
o ▼ Desember (1)
Model-model Evaluasi Kurikulum
Tema Kelembutan. Diberdayakan oleh Blogger.