Anda di halaman 1dari 5

A.

Model-model Evaluasi Pembelajaran


1. Model Tyler
Nama model ini diambil dari nama pengembangnya yaitu Tyler yang memiiki dua dasar
pemikiran, yaitu: pertama, evaluasi ditujukan pada tingkah laku peserta didik. Kedua,
evaluasi dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik sebelum melaksanakan kegiatan
pembelajaran dan sesudah melaksanakan kegiatan pembelajaran (hasil). Model ini disebut
juga model black box dan menegaskan bahwa perubahan yang terjadi merupakan perubahan
yang disebabkan oleh pembelajaran melalui tes awal (pre-test) dan tes akhir (post test).
Menurut Tyler, ada tiga langkah pokok yang harus dilakukan, yaitu menentukan tuuan
pembelajaran yang akan dievaluasi, menentukan situasi dimana peserta didik memperoleh
kesempatan untuk menunjukkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan, dan
menentukan alat evaluasi yang kan dipergunakan untuk mengukur tingkah laku peserta didik.
2. Model yang Berorientasi pada Tujuan
Model evaluasi ini menggunakan tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajran khusus
sebagai kriteria untuk menentukan keberhasila. Evaluasi diartikan sebagai proses pengukuran
untuk mengetahui sejauh mana tujuan pembelajaran telah tercapai. Model ini dianggap lebih
praktis karena menentukan hasil yang diinginkan dengan rumusan yang dapat diukur. Dapat
diartikan bahwa terdapat hubungan yang logis antar kegiatan, hasi dan prosedur pengukuran
hasil. Model evaluasi ini membantu pendidik merumuskan tujuan dan menjelaskan hubungan
anatra tujuan dengan kegiatan. Hasil evaluasi akan menggambarkan tingkat keberhasilan
tujuan program pembelajaran berdasarkan kriteria program khusus. Adapun kekurangan dari
model evaluasi ini, yaitu memungkinkan terjadinya proses evaluasi melebihi konsekuensi
yang tidak diharapkan.
3. Model Pengukuran (measurement model)
Model ini banyak mengemukakan pemikiran-pikiran dari R. Thorndike dan R.L.Ebel. model
ini sangat menitikberatkan pada kegiatan pengukuran untuk menentukan kuantitas suatu sifat
(attribute) tertentu yang dimiliki oleh objek orang maupun peristiwa dalam bentuk unit
ukuran tertentu. Objek evaluasi dalam model ini adalah tingkah laku pesrta didik, mencakup
hasil belajar (kognitif), pembawaan, sikap, minat, bakat, dan juga aspek-aspek kepribadian
peserta didik. Instrument yang digunakan adalah tes tertulis (paper and pencil test) dalam
bentuk tes objektif.
4. Model Kesesuaian
Menurut model ini, evaluasi adalah suatu kegiatan untuk melihat kesesuaian (congruence)
antara tujuan dengan hasil belajar yang telah dicapai. Hasil evaluasi digunakan untuk
menyempurnakan system bimbingan peserta didik dan untuk memberikan informasikepada
pihak-pihak yang memerlukan. Aspek evaluasi adalah tingkah laku peserta didik meliputi
aspek kogitif, afektif maupun psikomotorik. Untuk itu, teknik evaluasi yang digunakan tidak
hanya tes tetapi juga non tes yang memerlukan informasi perubahan tingkah laku sebelum
dan sesudah kegiatan pembelajaran. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan, yaitu
merumuskan tujuan tingkah laku (behavioral objectives), menentukan situasi dimana peserta
didik dapat memperlihatkan tingkah laku yang akan dievaluasi, menyususn alat evaluasi, dan
menggunakan hasil evaluasi pada pendekatan penilaian acuan patokan (criterion referenced
assessment).
5. Educational System Evaluation
Model Tokoh model ini antara lain Daniel L. Stuflebeam, Michael Scriven, Robert P Stake,
dan Malcolem M. Provus. Menurut model ini evaluasi berarti membandingkan performance
dari berbagai dimensi dengan sejumlah criterion baik yang bersifat mutlak atau interen
maupun relatif atau eksteren. Model ini, merupakan penggabungan dari beberapa model,
diantaranya: Model contenance dari Stake, Model CIPP dan CDPP dari Stuflebeam, Model
Scriven, Model Provus, Model EPIC (Evaluative innovative curriculum), Model CEMREL
(central midwestren reginal education laboratory) dan Model Atkinson. Model continance
dari Stake, yang meliputi keadaan sebelum kegiatan berlangsung (antecedent atau context),
kegiatan yang terjadi dan saling mempengaruhi (transacations atau process) dan hasil yang
diperoleh (outcomes atau output). Model ini menitikberatkan evaluasi pada dua hal pokok,
yaitu description yang terdiri dari intens (goal) dan observation (effect)dan judgement terdiri
atas standart dan judgement. Dalam model ini, evaluasi dilakukan dengan membandingkan
antar satu program dengan program lain yang dianggap standart. Data dibandingkan tidak
hanya untuk menentukan apakah ada perbedaan tujuan dengan keadaaan yang sebenarnya,
tetapi juga dibandingkan dengan standart yang absolut untuk menilai manfaat program. Dapat
digambarkan dalam matrik berikut ini: Jika ingin menggunakan model countenance dalam
program pelatihan contohnya, maka kita dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut, yaitu
rationale, antecedents, transactions, outcomes, judgements, intents, observationdan standards.
Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan (a decision oriented evaluation approach
structured). Tujuannya adalah untuk membantu administrator didalam membuat keputusan.
Model ini membagi empat jenis kegiatan evaluasi, yaitu:
a. Context evaluation to serve planning decision Yaitu kontek evaluasi untuk membantu
administrator merencanakan keputusan, menentuan kebutuhan program, dan merumuskan
tujuan program.
b. Input evaluation, structuring decision Yaitu kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk
membantu mengatur keputusan, menentukan sumber alternatif apa yang akan diambil,
rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan, dan bagaimana prosedur kerja untuk
mencapainnya.
c. Process evaluation to serve implementing decision Bertujuan untuk membantu
melaksanakan keputusan. Meliputi sejauh mana rencana yang dilakukan, apaka sesuai
dengan prosedur dan apakah ada yang harus diperbaiki.
d. Prodct evalution to serve decision Bertujuan untuk mrmbantu keputusan selanjutnya
mengenai apa yang telah dicapai dan apa yang dilakukan setelah program berjalan.
Keempat jenis kegiatan tersebut merupakan sasaran evaluasi, yang tidak lain adalah
komponen dari proses sebuah program kegiatan. Dengan kata lain, model CIPP adalah
model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem. Proses
evaluasi tidak hanya berakhir dengan suatu description mengenai keadaan sistem yang
bersangkutan, tetapi harus sampai pada judgeent sebagai kesimpulan dari hasil evaluasi.
Model ini menuntut agar hasil evaluasi digunakan sebagai input untuk decision making
dalam rangka penyempurnaan sistem secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan
adalan penilaian acuan norma (PAN) dan penilaian acuan patokan (PAP).
6. Model Alkin
Model ini sesuai dengan nama pengembangnya, yaitu Marvin Alkin yang menyatakan
evaluasi adalah suatu proses untuk meyakikan keputusan, mengumpulkan informasi, memilih
informasi yang tepat, dan menganalisis informasi untuk memilih alternaif. Adapun lima jenis
evaluasi, yaitu:
a. Sistem assessment: untuk memberikan informasi tentang keadaan atau posisi darisuatu
sistem.
b. Program planning: untuk membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan
berhasil memenuhi kebutuhan program.
c. Program implementation: untuk menyiapkan informasi tentang program yang
diperenalkan kepada kelompok tertentu sebagaiman yang direncanakan.
d. Program improvement: untuk memberikan informasi tentang fungsi suatu program, tujuan
dan apakah ada masalah yang muncul tiba-tiba.
e. Program certification: untuk memberikan informasi tentang nilai atau mafaat suatu
program.
7. Model Brinkerhoff Robert
O. Brinkerhoff mengemukakan ada tiga jenis evaluasi, yaitu:
a. Fixed vs emergent evaluation design Desain evaluasi fixed (tetap) harus direncanakan dan
disusun secara sistematik-terstruktur berdasarkan tujuan program sebelum program
dilaksanakan dengan kebutuhan yang dapat berubah. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
dalam desain fixed ini, atara lain: menyusun pertanyaan-pertanyaan, menyiapkan instrumnen,
menganalisis hasil evaluasi, dan melaporkan hasil evaluasi secara formal kepada pihak-pihak
yang berkepentingan. Dalam desain ini dapat digunakan berbagai teknik, seperti tes,
observasi, wawancara, kuesioner, dan skala penilain guna menghasilkan data yang bersifat
kuantitatif. Sementara itu, dalam desain evaluasi emergent bertujuan untuk beradaptasi
dengan situasi yang sedang berlangsung dan berkembang, seperti menampung pendapat
audiensi, masalah-masalah, dan kegiatan program. Teknik pengumpulan data dapat
menggunakan observasi, studi kasus dan laporan tim pendukung untuk menhasilkan
informasi yang bersifat kualitatif-naturalistik.
b. Formative vs summative evauation Evaluasi formatif berfungsi untuk memperbaiki
kurikulum dan pembelajaran. Sedangkan evaluasi sumatif berfungsi untuk melihat
kemanfaatan kurikulum dan pembelaaran secara menyeluruh. Fokus evaluasi sumatif adalah
variable-variabel yang dianggap penting dalam kurikulum dan pembelajaran dengan
menentukan apakah kurikulum dan pembelajara harus diteruskan atau tidak.
c. Desain eksperimental dan desain quasi eksperimental vs natural inquiry Desain evaluasi
eksperimental menggunakan pendekatan kuantitatif, random sampling, memberikan
perlakuan, dan mengukur dampak. Tujuannya adalah untuk menilai manfaat hasil percobaan
program pembelajaran. Desain evaluasi ini agak sulit dilakukan karena umumnya proses
pembelajaran sudah atau sedang terjadi. Jika proses pembelajaran sudah terjadi cukup melihat
dokumen-dokumen sejarah atau menganalisis hasil tes. Untuk proses pembelajaran sedang
terjadi, dapat melakukan pengamatan atau wawancara dengan orang-orang yang
terlibat.Sedangkan desain evaluasi natural-inkuiri dilakukan menggunakan teknik studi
dokumentasi dengan pendekatan informal.
8. Illuminative Model (Malcolm Parlett dan Hamilton)
Model ini lebih menekankan pada evaluasi kualitatif-terbuka (open-ended). Kegiatan evaluasi
dihubungkan dengan learning milieu, Dimana dalam konteks sekolah sebagai lingkungan
material dan psikososial yang didalamnya terjadi interaksi antar guru dan siswa. Hasil
evaluasi lebih bersifat deskriptif dan interpretasi, bukan pengukuran dan prediksi. Objek
evaluasi model ini mencakup latar belakang dan perkembangan sistem pembelajaran, proses
pelaksanaan sistem pembelajaran, dan hasil belajar peserta didik. Adapun tiga fase evaluasi
yang harus ditempuh, yaitu observe, inqury further, dan seek to explain.
9. Model Responsif
Model ini menekankan pada pendekatan kualitatif-naturalistik. Evaluasi tidak diartikan
sebagai pengukuran melainkan memberikan pandangan orang-orang yang terlibat, berminat
dan berkepentingan dengan program pembelajaran. Instrument yang digunakan pada
umumnya mengandalkan observasi langsung maupun tdidak langsung dengan interpretasi
data yang impresionistik. Langkah-lagkah dalam model ini, diantaranya: observasi, merekam
hasil wawancara, mengumpulkan data, mengecek pengetahuan awal peserta didik, dan
mengembangkan desain. Adapun kelebihan model ini, yaitu peka terhadap beberapa
pandangan dan kemampuannya mengakomodasi pendapat yang ambigius dan tidak fokus.
Sedangkan kekurangannya, yaitu:
a. Pembuatan keputusan sulit menyederhanakan informasi
b. Tidak mungkin menampung semua argument
c. Membutuhkn waktu dan tenaga Perlu kita ketahui bahwa keberhasilan satu evaluasi
pembelajaran secara keseluruhan bukan hanya dipengaruhi penggunaan yang tepat pada
sebuah model evaluasi, mealainkan juga harus memperhatikan factor yang lain, seperti tujuan
pembelajaran, sistem sekolah dan pembinaan guru.
B. Pendekatan Evaluasi
Pendekatan merupakan sudut pandang seseorang dalam mempelajari sesuatu begitu juga
dalam menelaah dan mempelaari evaluasi. Dilihat dari komponen pembelajaran, pendekatan
evaluasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan sistem.
Sedangkan dilihat dari penafsiran hasil evaluasi, pendekatan evaluasi dibagi menjadi dua,
yaitu criterion-referenced, dan norm referenced evaluation.
1. Pendekatan Tradisional Pendekatan ini ditujukan pada perkembangan aspek intelektal peserta
didik yang dituntut untuk menguasai mata pelajaran. Kegiatan-kegiatan juga lebih difokuskan
pada komponen produk sedangkan komponen proses cenderung diabaikan. Namun, banyak
guru mengalami kesulitan untuk mengembangkan sistem evaluasi ini di sekolah, karena
bertentangan dengan tradisi yang selama ini sudah berjalan. Misalnya, ada tradisi bahwa
target kuantitas kelulusan setiap sekolah harus diatas 95 %, begitu juga untuk kenaikan kelas.
Ada juga tradisi bahwa dalam mata pelajaran tertentu nilai peserta didik dalam rapor harus
minimal enam. Seharusnya, kebijakan evaluasi lebih menekankan pada target kualitas, yaitu
kepentingan dan kebermaknaan pendidikan bagi anak.
2. Pendekatan Sistem Sistem adalah totalitas dari berbagai komponen yang saling berhubungan
dan ketergntungan. Jika pendekatan sistem dikaitkan dengan evaluasi, maka pembahasan
lebih difokuskan pada komponen evaluasi, meliputi komponen kebutuhan dan Feasibility,
komponen input, komponen proses, dan komponen produk.
3. Criterion-Referenced Evaluation Criterion-referenced evaluation atau lebih dikenal dengan
Penilaian Acuan Patokan (PAP) dapat digunakan dengan membandingkan hasil yang
diperoleh peserta didik dengan sebuah patokan atau kriteria yang secara absolut atau mutlak
telah ditetapkan. Adapun langkah-langkahnya, yaitu: menentukan skor ideal, mencari rata-
rata dan simpangan baku ideal, kemudian menggunakan pedoman konversi skala nilai.
Pendekatan ini sering disebut penilaian norma absolut yang cocok digunakan dalam evaluasi
formatif yang berfungsi untuk perbaikan proses pembelajaran dan menggambarkan prestasi
belajar peserta didik scara objektif.
4. Norm- Referenced Evaluation Norm- Referenced Evaluation atau Penilaian Acuan Norma
(PAN) adalah pendekatan yang membandingkan skor setiap peserta didik dengan teman satu
kelasnya yang bersifat relatif.
SUMBER :

Judul Buku                  : Evaluasi Pembelajaran (Prinsip, Teknik, Prosedur)


Pengarang                   : Drs. Zainal Arifin, M.Pd
Penerbit                       : PT Remaja Rosda Karya Bandung
Tanggal Terbit             : Oktober 2014
Jumlah Halaman          : 312
No ISBN                     : 9789796929566
https://bintisalamun.blogspot.com/2019/05/karakteristik-model-dan-pendekatan.html

Anda mungkin juga menyukai